presus tinea korporis
DESCRIPTION
dermatoTRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
Tinea Korporis
Disusun oleh :
Astri Rusmarici(FK UPN 122-022-1141)
Moderator :
dr. Lilik Norawati, Sp.KKDipresentasikan tanggal :
16 Juni 2014KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN KULIT KELAMIN
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTOPERIODE 26 MEI 27 JUNI 2014BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIENNama
: Ny. AUmur
: 73 tahun
Jenis kelamin
: PerempuanAlamat
: Komp. Yon Hub, Kebon Jeruk, Jakarta BaratPekerjaan
: Ibu Rumah TanggaSuku bangsa
: JawaNomor Rekam Medis: 20-06-29II. ANAMNESIS
Autoanamnesis, tanggal 10 Juni 2014 Keluhan utama
: Gatal disertai bercak kemerahan pada kedua lipat payudara Keluhan tambahan: Gatal terutama ketika berkeringatRiwayat perjalanan penyakit :
Pasien merasa gatal di kedua lipat payudara sejak 2 minggu sebelum masuk Rumah Sakit. Gatal dirasakan terutama saat berkeringat, awalnya timbul di payudara kanan, kemudian di payudara kiri juga muncul kemerahan dan rasa gatal. Pasien sering menggaruk pada bagian lipat payudara karena gatal yang dirasa semakin berat sampai kadang terasa perih. Sejak timbulnya rasa gatal ini, pasien mengoles bagian yang gatal dengan menggunakan minyak telon. Saat itu pasien merasa gatal berkurang, tetapi tidak lama kemudian gatal muncul kembali. Jika pasien sudah merasa badannya berkeringat dan gatal terasa makin hebat, biasanya pasien langsung mengganti bajunya. Pasien memiliki kebiasaan mandi sekali sehari, mengganti seprai tempat tidur 1-2 bulan sekali. Pasien juga mengaku 2 bulan sebelum masuk Rumah Sakit, rumah pasien terkena banjir sekitar sampai ukuran pinggang orang dewasa. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak adaRiwayat Penyakit Keluarga Anak pasien diakui pernah merasa keluhan gatal dengan kemerahan di bagian perut sekitar 1 bulan yang lalu setelah rumah pasien kebanjiran.III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Kompos mentis
Berat Badan/Tinggi Badan: 75 kg/156 cmStatus Gizi
: obesitasTanda-tanda vital
Tekanan darah
: 130/90 mmHg
Nadi
: 89 x/menit
Pernapasan
: 20x/menit
Suhu
: Afebris
Kepala
: Normocephali
Mata
: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
THT
: Faring hiperemis -/-, tonsil T1-T1
Leher
: Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid maupun KGB
Jantung: Suara jantung S1-S2 reguler, murmur -/-, gallop -/-
Paru
: Suara nafas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen: Cembung, dinding perut supel, bising usus (+) normal,
nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepatosplenomegali (-)
Ekstremitas: Akral hangat, edema tungkai (-), capillary refill < 2 detikStatus Dermatologikus Lokasi
:
Daerah lipatan mammae dekstra dan sinistra Efloresensi:
Tampak bercak-bercak eritematosa berbentuk tidak beraturan, dengan ukuran plakat, berbatas tegas papul dan skuama halus di atas permukaannya.
Foto klinis :
Gambar 1. Lesi pada lipatan mammae dekstra
Gambar 2. Lesi pada lipatan mammae dekstra bagian lateral
Gambar 3. Lesi pada lipat mammae dekstra
Gambar 4. Lesi pada lipat mammae sinistra
Gambar 5. Lesi pada lipat mammae sinistra
IV. PEMERIKSAAN LAB
Pemeriksaan KOH 10% diambil dari kerokan kulit di lipat mammae dekstra Hasil pemeriksaan: positif (terdapat hifa sejati)
Foto mikroskopis:
V. RESUME
Pasien wanita, Ny. A, umur 73 tahun, datang dengan keluhan gatal disertai bercak kemerahan pada lipatan mammae dekstra dan sinistra. Gatal terutama dirasa makin berat saat berkeringat. Pasien memiliki kebiasaan jarang mandi, dan jarang mengganti seprai tempat tidur. Sejak adanya keluhan gatal, pasien menjadi lebih sering mengganti baju terutama bila sudah mulai berkeringat. Anak pasien memiliki keluhan yang serupa 2 bulan yang lalu saat rumahnya kebanjiran. Pasien memiliki status gizi obesitas dengan pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pada status dermatologikus ditemukan di lipatan mammae dekstra dan sinistra bercak-bercak eritematosa berukuran plakat dengan batas tegas yang disertai papul serta skuama halus di atas permukaannya. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan KOH 10% dari preparat kerokan kulit di kedua lipat mammae ditemukan hifa sejati. VI. DIAGNOSIS KERJA
Tinea KorporisVII. DIAGNOSIS BANDING
Tidak adaVIII. RENCANA/ANJURAN PEMERIKSAAN
Pembiakan jamur dengan menggunakan medium agar Sabouraud dextrose.IX. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
Tidak menggaruk area yang gatal
Menjaga kebersihan kulit dengan mandi sehari 2 kali
Mencegah area lipatan kulit dari kelembaban yang berlebihan dengan cara mengeringkan kulit setelah mandi dan berkeringat, mengganti pakaian dalam ketika mulai berkeringat
Medikamentosa
Sistemik
Cetirizine 1 x 10 mg/hari TopikalMikonazol nitrat krim 2% 2x/hariX. PROGNOSIS
Quo ad vitam
: bonam
Quo ad functionam: bonam
Quo ad sanationam: bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINEA KORPORISI. DEFINISI
Tinea korporis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superficial golongan dermatofita, menyerang daerah kulit tak berambut pada wajah, badan, lengan, dan tungkai.1 Tinea korporis ini memiliki kesamaan nama dengan tinea sirsinata atau tinea glabrosa.2,3II. EPIDEMIOLOGI
Tinea korporis merupakan infeksi umum yang sering terlihat pada daerah dengan iklim yang panas dan lembab. Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum di seluruh dunia dan sekitar 47% menyebabkan tinea korporis. Trycophyton tonsuran merupakan dermatofit yang lebih umum menyebabkan tinea kaptis dan orang dengan infeksi tinea kapitis antropofilik akan berkembang menjadi tinea korporis. Prevalensi tinea korporis dapat disebabkan oleh peningkatan Tricophyton tonsuran atau Microsporum canis yang merupakan organism ketiga sekitar 14% menyebabkan tinea korporis.4III. ETIOLOGI
Dermatofita adalah jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini memiliki sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Ketiga genus ini memiliki sifat keratolitik.2
Gambar 6. Tricophyton mentagrophytes
(Sumber: http://www.doctorfungus.org/imageban/images/Kaminski003/284.jpg)
Gambar 7. Epidermophyton floccosum(Sumber: http://www.doctorfungus.org/thefungi/img/305MIKE.JPG)
Gambar 8. Microsporum gypseum(Sumber: http://www.doctorfungus.org/Thefungi/img/mic1_l.jpg)IV. KLASIFIKASI5Berdasarkan lokasi dari lesi, dermatofitosis dibagi menjadi:
1. Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala.
2. Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jenggot.
3. Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.
4. Tinea pedis et manus, dermatofitosis pada kaki dan tangan.
5. Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki.
6. Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk 5 tinea di atas.
Selain dari 6 bentuk tinea di atas, ada beberapa arti khusus yang dapat dianggap sebagai sinonim tinea korporis, yaitu:1. Tinea imbrikata
Dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris dan disebabkan oleh Tricophyton concentricum.
2. Tinea favosa atau favus
Dermatofitosis yang terutama disebabkan oleh Tricophyton schonleini yang secara klinis berbentuk skutula dan berbau seperti tikus (mousy odor).
3. Tinea fasialis
Tinea aksilaris yang juga menunjukkan daerah kelainan.
4. Tinea sirsinata
Arkuata yang memiliki penamaan deskriptif morfologis.V. FAKTOR RISIKO
Cara penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak langsung. Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut-rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang atau dari tanah. Penularan tak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian, debu atau air. Disamping cara penularan tersebut diatas, untuk timbulnya kelainan-kelainan di kulit tergantung dari beberapa faktor :31. Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini tergantung pada afinitas jamur itu, apakah jamur Antropofilik, Zoofilik atau Geofilik. Selain afinitas ini masing-masing jenis jamur ini berbeda pula satu dengan yang lain dalam afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh Misalnya : Tricophyton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermatofiton flokosum paling sering menyerang lipat pada bagian dalam.32. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur.33. Faktor-suhu dan kelembaban
Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokalisasi atau lokal, di mana banyak keringat seperti lipat paha dan sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur ini.34. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur di mana terlihat insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah, penyakit ini lebih sering ditemukan dibanding golongan sosial dan ekonomi yang lebih baik.35. Faktor umur dan jenis kelamin5VI. PATOFISIOLOGI6Dermatofitosis bukan merupakan jamur pathogen endogen. Transmisi dermatofit ke manusia dapat melalui 3 sumber yang masing-masing penyebabnya memberikan gambaran yang khas. Dermatofit tidak memiliki virulensi secara khusus dan hanya akan mengivasi bagian luar stratum korneum dari kulit. Penggunaan bahan yang tidak berpori akan meningkatkan suhu dan keringat sehingga mengganggu fungsi pertahanan dari stratum korneum. Infeksi dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan individu atau hewan yang terinfeksi, benda-benda seperti pakaian, alat-alat dan lain-lain. Infeksi ini dimulai dengan terjadinya kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini memproduksi enzim keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam jaringan epidermis dan merusak kertainosit. Infeksi dermatofita terjadi dalam 3 tahap, yaitu:61. Perlekatan ke keratinositJamur superficial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada jaringan keratin di antaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal lain, sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit, dan asam lemak yang diproduksi oleh kelenjar sebasea yang bersifat fungistatik. 62. Penetrasi melalui atau di antara sel
Setelah terjadi perlekatan atau penempelan, spora harus berkembang dan menembus stratum korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses deskuamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase lipase dan enzim musinolitik yang menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke jaringan. Fungal mannan di dalam dinding sel dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit. Pertahanan baru akan muncul ketika jamur mencapai lapisan terdalam dari epidermis.63. Perkembangan respons hospes
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organism yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau Delayed Type Hypersensitivity (DHT) memiliki peran yang sangat penting dalam melawan dermatofita pada pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya. Infeksi ini akan menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Disebutkan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan dipresentasikan oleh limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi dan barier epidermalmenjadi permeable terhadap transferrin dan sel-sel yang bermigrasi. Setelah itu jamur hilang dan lesi secara spontan akan menjadi sembuh.6
Akan timbul respons jaringan terjadap infeksi yang semakin jelas dan meninggi yang disebut dengan ringworm setelah adanya masa inkubasi sekitar 1 3 minggu. Respon terhadap infeksi ini berupa proses proliferasi sel epidermis dan menghasilkan skuama. Kondisi ini akan menciptakan bagian tepi yang aktif untuk berkembang dan bagian pusat akan bersih. 6VII. GEJALA DAN TANDA KLINIS
Predileksi tinea ini adalah di daerah leher, ekstremitas, dan badan. kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri dadri eritema, skuama, kadang dengan vesikel dan papul di bagian tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercaka terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat dilihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak-anak daripada orang dewasa karena umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali. 2VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan.2Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran 10x45. Pembesaran 10x10 biasanya tidak diperlukan.2Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan diatas gelas alas, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut 10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan dicampur dengan larutan KOH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah dengan diatas api kecil. Pada saat mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan sudah cukup. Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk Kristal KOH, sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur yang lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta Parker super-chroom blue black.2Pada sediaan kulit yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet pada kelainan kulit lama dan / atau sudah diobati.2Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik adalah medium agar dekstrosa Saboraud.2IX. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan rasa gatal yang sangat mengganggu, dan gatal bertambah bila berkeringat. Rasa gatal yang dirasa membuat pasien menggaruk sehingga timbul lesi dan lesi bertambah luas, terutama pada kulit yang lembab.52. Gejala klinis yang khas53. Pemeriksaan laboratorium
Pada kerokan kulit dengan KOH 10 20% bila positif memperlihatkan elemen jamur berupa hifa panjang dan artrospora (hifa yang bercabang) yang khas pada infeksi dermatofita. Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Pemeriksaan yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium Agar Dekstrosa Sabouraud.5X. PENCEGAHAN
1. Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan maserasi. Jika faktor-faktor lingkungan ini tidak diobati, kemungkinan penyembuhan akan lambat. Daerah intertrigo atau daerah antara jari-jari sesudah mandi harus dikeringkan betul dan diberi bedak pengering atau bedak anti jamur.32. Pasien dengan hiperhidrosis dianjurkan agar memakai kaos dari bahan katun yang menyerap keringat, jangan memakai bahan yang terbuat dari wool atau bahan sintetis.33. Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih dengan air panas.3XI. PENATALAKSANAANNon-Medikamentosa3,4a. Meningkatkan kebersihan badan
b. Mengurangi kelembaban dari tubuh pasien dengan menghindari pakaian yang panas dan tidak menyerap pakaian
c. Menghindari sumber penularan
d. Faktor predisposisi lain seperti diabetes mellitus, kelainan endokrin yang lain harus dikontrol.
Medikamentosa
Pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian griseofulvin yang bersigat fungistatik. Secara umum, griseofulvin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 per kgBB.2Efek samping griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada 15% penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus digestikus ialah nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut juga bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.2Obat per oral yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazol yang bersifat fungistatik. Pada kasus-kasus resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari-2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazol merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.2Sebagai pengganti ketokonazol yang mempunyai sifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari 10 hari, dapat diberikan suatu obat tiazol yaitu itrakonazol yang merupakan pemilihan yang baik. Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit oleh penyakit jamur biasanya cukup 2x100-200 mg sehari dalam kapsul selama 3 hari.2Selain itu juga dapat diberikan mikonazol yang berkhasiat sebagai fungisidal kuat dengan spectrum kerja yang lebar. Lebih efektif dan aktif terhadap dermatofit biasa dan kandida daripada fungistatika lain. Zat ini juga bekerja bakterisid pada dosis terapi terhadap sejumlah bakteri Gram positif kecuali basil-basil Doderlein yang terdapat dalam vagina. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak diberikan sebanyak 2 kali sehari dalam 4 minggu bentuk krim 2%, bedak kocok atau bedak.7Terbinafin yang bersifat fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5-250 mg sehari tergantung pada berat badan.2,7Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10% penderita, yang tersering gangguan gastrointestinal diantaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare, konstipasi, umumnya ringan. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan pengecapan yang bersifat sementara.2Obat-obat topikal, misalnya asam salisil 2-4%, asam benzoat 6-12%, sulfur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat 2-5%, dan zat warna dikenal banyak obat topikal baru seperti tolnaftat 2%; tolsiklat, haloprogin, derivate imidazol, siklopiroksolamin dan naftifine masing-masing 1%.2,7XII. PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan kelembapan dan kebersihan kulit selalu dijaga.2 ,DAFTAR PUSTAKA
1. Siregar, RS. 2008. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC. 2. Budimulja, U. 2007. Mikosis, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Editor: Djuanda A, Hamzah M, AIsah S. Edisi Kelima. Cetakan ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Harahap, M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.
4. Rushing, ME. 2012. Tinea Corporis. Tersedia: http://www.emedicine.com/asp/tineacorporis/article/page type=Article.htm.5. Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis MR. 2006. Superficial mycoses and dermatophytes. In : Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors. Tropical dermatology. China: Elsenvier inc.6. Wolff, K. 2009. Fitzpatricks Color Atlas of Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. United States of America : Mc Graw Hill.7. Cholis, M. 2001. Penatalaksanaan Tinea Glabrosa dan Perkembangan Obat Antijamur. Malang: Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
2