prevalensi penyakit dan gangguan kesehatan pada …
TRANSCRIPT
PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA
KARANG DI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA
PUTRI
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1442 H
i
PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA
KARANG DI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
PUTRI
11160950000017
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1442 H
ii
PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA KARANG DI KEPULAUAN SERIBU, DKI
iii
iv
v
ABSTRAK
Putri. Prevalensi Penyakit dan Gangguan Kesehatan Pada Karang di
Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas
Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2021. Dibimbing oleh Lily Surayya Eka Putri dan Seiji Arakaki
Pulau-pulau di Kepulauan Seribu banyak mendapatkan tekanan dari lingkungan
sekitar, baik secara alami maupun faktor antropogenik. Kondisi ini dapat
mempengaruhi kehidupan biota di perairan dan sekitarnya, salah satunya terumbu
karang. Penelitian ini bertujuan menganalisis kondisi terumbu karang dan
prevalensi penyakit serta gangguan kesehatan pada karang di Kepulauan Seribu.
Penelitian dilakukan pada 6 stasiun yaitu Pulau Air (Timur), Semak Daun (Selatan),
Karang Beras (Timur), Kotok Besar (Selatan), Kotok Kecil (Utara) dan Karang
Congkak (Timur) dengan metode Underwater Photo Transect (UPT). Pengambilan
data dilakukan di perairan dangkal dengan kedalaman 3-5 meter, meliputi
pengambilan data life form, genus, penyakit, dan parameter kimia dan fisik. Data
life form terumbu karang diolah menggunakan perangkat lunak CPCe 4.1. Kondisi
tutupan terumbu karang pada stasiun penelitian berada dalam kondisi sedang
hingga baik. Life form yang mendominasi berbeda pada setiap stasiun penelitian
diantaranya foliose, branching, submasif dan masif. Penyakit karang yang
ditemukan pada stasiun penelitian antara lain Black Band Disease (BBD), White
Syndrome (WS), dan Ulcerative White Syndrome (UWS) serta kategori gangguan
kesehatan karang lainnya, yaitu Bleaching (Bl), Pigmentation Response (PR),
Sediment Damage (SD), Predation (Pr), dan Growth Anomalies (GA). Prevalensi
keseluruhan penyakit dan gangguan kesehatan karang yang tertinggi terdapat pada
stasiun Pulau Air (17,99%) dan Kotok besar (17,46%). Sediment damage
merupakan gangguan kesehatan karang yang paling banyak ditemukan di semua
stasiun penelitian. Terdapat hubungan yang lemah antara tutupan karang hidup dan
prevalensi penyakit karang.
Kata kunci: Kepulauan Seribu, penyakit, terumbu karang
vi
ABSTRACT
Putri. The Prevalence of Coral Disease and Compromised Health in Seribu
Islands, DKI Jakarta. Undergraduated Thesis. Department of Biology, Faculty
of Science and Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2021. Advised by Lily Surayya Eka Putri dan Seiji Arakaki
Seribu Islands receive a lot of pressure from the surrounding environment, both
biological and anthropogenic factors. This condition can affect the life of biota in
the waters and its surroundings, one of which is coral reefs. This study aims to
analyzed the condition of coral reefs and the prevalence of diseases and
compromised health in coral reefs in the Seribu Island. The study was conducted at
6 stations, covering Air Island (East), Semak Daun Island (South), Karang Beras
Island (East), Kotok Besar Island (South), Kotok Kecil Island (North), and Karang
Congkak Island (East) applied the Underwater Photo Transect (UPT). Data were
collected in shallow water with a depth of 3-5 meters. Coral reef lifeform data were
processed used CPCe 4.1 software. The condition of coral reef cover at the research
station is in moderate to good condition. The dominated coral life forms was
different at each research station include foliose, branching, submassive and
massive. Coral diseases found at research stations include Black Band Disease
(BBD), White Syndrome (WS), and Ulcerative White Syndrome (UWS) as well as
other categories of coral compromised health, namely Bleaching (Bl), Pigmentation
Response (PR), Sediment Damage (SD), Predation (Pr), and Growth Anomalies
(GA). The highest overall prevalence of disease and compromised health was found
at Pulau Air (17.99%) and Kotok Besar (17.46%) stations. Sediment damage was
the most common coral disease and compromised health in all research stations.
There was a weak relationship between live coral cover and prevalence of coral
disease.
Keywords: Seribu Island; coral reefs; disease
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
kelimpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis diberikan kemudahan dalam
menyusun skripsi yang berjudul “Prevalensi Penyakit dan Gangguan Kesehatan
Pada Karang Di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta” sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana sains pada Program Studi Biologi, Fakultas Sains
dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak atas segala
bimbingan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Segala dukungan
dalam bentuk apapun, baik itu langsung maupun tidak lansung, sangat berarti dalam
proses penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Nashrul Hakiem, M.T., Ph.D selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu adiministrasi untuk
penelitian dan skripsi.
2. Dr. Priyanti, M.Si dan Narti Fitriana, M.Si selaku ketua dan sekretaris
Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu adiministrasi untuk penelitian dan
skripsi.
3. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud selaku pembimbing 1 yang
telah memberikan izin pelaksanaan penelitian telah membimbing saya dalam
menyusun skripsi.
4. Dr. Seiji Arakaki selaku pembimbing 2 yang telah membimbing saya dalam
menyusun skripsi.
5. Orang tua yang telah memberikan dukungan materi dan moril, serta
mendoakan sampai saat ini.
6. Seluruh pihak yang terlibat dalam penelitian dan penulisan skripsi ini yang
tidak dapat disebutkan satu per satu.
7. Teman-teman Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi banyak dukungan moril
kepada penulis.
viii
Demikianlah skripsi ini disusun, semoga bermanfaat bagi para pembaca
untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan.
Jakarta, Februari 2021
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
ABSTRACT ........................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................. 3
1.5. Kerangka Berpikir .................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5
2.1. Ekosistem Terumbu Karang ................................................................... 5
2.2. Faktor Pembatas Terumbu Karang ......................................................... 8
2.3. Manfaat Terumbu Karang..................................................................... 10
2.4. Penyakit dan Gangguan Kesehatan Karang .......................................... 11
2.5. Kepulauan Seribu.................................................................................. 13
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 16
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................... 16
3.2. Alat dan Bahan ..................................................................................... 16
3.3. Teknik Sampling ................................................................................... 17
3.4. Cara Kerja ............................................................................................. 17
3.4.1. Pengukuran Faktor Kimia dan Fisika Perairan ............................. 17
3.4.2. Pengambilan Data Terumbu Karang ............................................. 17
3.5. Analisis Data ......................................................................................... 18
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 20
4.1. Gambaran Lokasi Penelitian ................................................................. 20
4.2. Kondisi Tutupan Terumbu Karang ....................................................... 24
4.3. Prevalensi Penyakit dan Gangguan Kesehatan Pada Karang ............... 29
4.4. Hubungan Prevalensi Penyakit dan Gangguan Kesehatan Karang
dengan Tutupan Karang Hidup .................................................................... 35
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 38
5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 38
5.2. Saran ..................................................................................................... 38
x
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 39
LAMPIRAN .......................................................................................................... 45
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kondisi umum lokasi penelitian ............................................................. 20
Tabel 2. Kondisi Kimia dan Fisik Perairan ........................................................... 22
Tabel 4. Prevalensi penyakit dan gangguan kesehatan pada karang di stasiun
penelitian ................................................................................................. 30
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka bepikir dari penelitian prevalensi penyakit dan gangguan
kesehatan pada karang di Kepulauan Seribu ........................................ 4
Gambar 2. Contoh penyakit dan gangguan kesehatan pada karang. a) brown band
disease; b) pigmentation response (Beeden et al., 2008) ................... 12
Gambar 3. Peta lokasi penelitian ........................................................................... 16
Gambar 4. Ilustrasi metode Underwater Photo Transect (UPT) .......................... 18
Gambar 5. Persentase tutupan karang hidup di stasiun penelitian ........................ 24
Gambar 6. Bentuk pertumbuhan karang hidup di stasiun penelitian .................... 26
Gambar 7. Tutupan substrat dasar di stasiun penelitian ........................................ 28
Gambar 8. Penyakit Ulcerative White Spot pada karang Porites.......................... 32
Gambar 9. Gangguan penyakit karang di stasiun penelitian; a) pigmentation
response dan b) sediment damage pada stasiun penelitian ................ 33
Gambar 10. Hubungan prevalensi penyakit dan gangguan kesehatan karang
dengan tutupan karang hidup ............................................................. 36
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Pengambilan data dan identifikasi menggunakan perangkat lunak
CPCe 4.1 .......................................................................................... 45 Lampiran 2. Penyakit dan gangguan kesehatan pada yang yang ditemukan di
stasiun penelitian .............................................................................. 46 Lampiran 3. Data pada stasiun Pulau Air.............................................................. 47 Lampiran 4. Data pada stasiun Pulau Semak daun ............................................... 49 Lampiran 5. Data pada stasiun Pulau Karang beras .............................................. 51 Lampiran 6. Data pada stasiun Pulau Kotok besar ............................................... 52 Lampiran 7. Data pada stasiun Pulau Kotok kecil ................................................ 55 Lampiran 8. Data pada stasiun Pulau Karang congkak......................................... 57
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kepulauan Seribu terletak di Laut Jawa dan Teluk Jakarta yang terdiri dari
110 gugus-gugus pulau. Secara administrasi, Kabupaten Admininstrasi Kepulauan
Seribu memiliki luas wilayah 8,70 km2, yang terbagi menjadi 2 kecamatan, yaitu
Kepulauan seribu bagian utara dan bagian selatan. Kepulauan Seribu memiliki
karakteristik dan potensi alam yang berbeda dengan wilayah DKI Jakarta lainnya
(BPS Kabupaten Kepulauan Seribu, 2019). Pulau-pulau di Kepulauan Seribu
banyak mendapatkan tekanan dari lingkungan sekitar, baik secara alami maupun
faktor antropogenik. Kondisi ini dapat mempengaruhi kehidupan biota di perairan
dan sekitarnya, salah satunya terumbu karang (Dedi & Arifin, 2017).
Kondisi terumbu karang yang buruk dapat dipengaruhi oleh aktivitas manusia
dan perubahan iklim (Hadi et al., 2018). Peruntukan Kepulauan Seribu mengalami
perubahan, yang awalnya untuk pemukiman, perikanan dan pertambangan,
ditambah menjadi kawasan konservasi dan pariwisata (Estradivari, Setyawan, &
Yusri, 2009). Perubahan tersebut meningkatkan aktivitas manusia di sekitar
Kepulauan Seribu yang dapat menyebabkan pertumbuhan karang keras terganggu
bahkan rusak. Meningkatnya aktivitas pariwisata yang tidak mengedepankan
kondisi lingkungan serta penambatan jangkar nelayan dilokasi snorkeling atau
diving diduga dapat berdampak cukup signifikan pada karang keras (Hadi et al.,
2018; Latuconsina, 2019). Konsekuensi dengan meningkatnya aktivitas manusia di
wilayah pesisir sehingga mengganggu kesehatan lautan (Hetherington et al., 2005).
Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat
memijah, mencari makan, daerah asuhan bagi biota laut dan sebagai sumber plasma
nutfah. Keberadaan terumbu karang dari tahun ke tahun mengalami kemunduran,
yaitu terjadi kerusakan yang mengkhawatirkan sehingga menimbulkan penyusutan
dalam jumlah kuantitas dan kualitas. Kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu
beberapa dekade terakhir dan berdasarkan data tahun 2005 dan 2007, pulau-pulau
yang terletak di Teluk Jakarta memiliki kekayaan karang keras yang sangat terbatas.
2
Penelitian tutupan karang keras di beberapa pulau di Kepulauan Seribu
menunjukkan kondisi terumbu karang dengan kategori sedang hingga buruk
(Banata, 2015; Tanzil, 2018; Utami, 2018). Rendahnya persentase karang keras
dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor lingkungan, biologis maupun
antropogenik. Ketiga faktor ini memiliki keterkaitan satu sama lain. Penyakit
karang merupakan dampak yang dapat ditimbulkan dari berbagai faktor tersebut
dan salah satu ancaman utama yang dapat menyebabkan kematian karang secara
cepat dan masal (Estradivari et al., 2009; Giyanto et al., 2017)
Penyakit karang dapat timbul dikarenakan adanya hubungan antara patogen,
lingkungan dan hewan karang (Sabdono, 2008). Penelitian mengenai prevalensi
penyakit karang di Kepulauan Seribu telah dilakukan oleh Johan, Kristanto,
Haryadi, & Radiarta (2014) tentang puncak prevalensi Black Band Disease dengan
melakukan survei kondisi terumbu karang di beberapa pulau berdasarkan jarak
lokasi penelitian dengan Teluk Jakarta dengan metode belt transect. Penelitian
lainnya mengenai kondisi kesehatan pada karang dilaporkan oleh Dedi & Arifin
(2017) tentang prevalensi beberapa penyakit dan gangguan kesehatan pada karang
di pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta yang mencakup Pulau Bokor, Pulau Lancang
Kecil, Pulau Kongsi, Pulau Burung dan Pulau Pari. Diantaranya ditemukan
penyakit seperti skeletal eroding band, brown band disease, white syndrome, dan
lain-lain.
Seiring dengan adanya perubahan iklim dan meningkatnya aktivitas manusia,
perairan semakin banyak menerima buangan limbah dan faktor antropogenik
lainnya yang dapat meningkatkan kerusakan pada terumbu karang dan timbulnya
penyakit-penyakit karang yang lain. Maka dari itu perlu dilakukan penelitian
mengenai penyakit karang untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang
dan sebagai monitoring dan salah satu upaya pemantauan dalam pengambilan
tindakan pengelolaan.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1) Bagaimana kondisi terumbu karang di perairan Kepulauan Seribu?
3
2) Bagaimana prevalensi penyakit dan gangguan kesehatan pada karang di
perairan Kepulauan Seribu?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1) Memperoleh data kondisi terumbu karang di perairan Kepulauan Seribu
2) Memperoleh data prevalensi penyakit dan gangguan kesehatan pada karang
di perairan Kepulauan Seribu
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dan
data ilmiah terkait kondisi terumbu karang dan prevalensi penyakit serta gangguan
kesehatan karang di perairan Kepulauan Seribu serta sebagai salah satu upaya
pemantauan dalam pengambilan tindakan pengelolaan.
4
1.5. Kerangka Berpikir
Adapun kerangka berpikir pada penelitian ini sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka bepikir dari penelitian prevalensi penyakit dan gangguan
kesehatan pada karang di Kepulauan Seribu
Aktivitas di
Kepulauan Seribu
Kerusakan pada
terumbu karang
Adanya faktor
lingkungan dan
biologis
Timbulnya penyakit dan
gangguan kesehatan pada
karang
Identifikasi bentuk
pertumbuhan terumbu
karang (lifeform)
Informasi kondisi, prevalensi
penyakit dan gangguan kesehatan
karang di Kepulauan Seribu
Identifikasi penyakit
dan gangguan kesehatan
karang
Analisis data
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang adalah suatu ekosistem yang terdiri dari hewan, tumbuhan,
ikan, kerang dan biota lainnya yang terdapat di kawasan tropis yang memerlukan
intensitas cahaya matahari untuk hidup. Kondisi yang paling baik untuk
pertumbuhan karang di suatu perairan adalah yang mempunyai kedalaman 15 – 20
meter, bahkan ia juga dapat hidup pada kedalaman 60 - 70 meter dengan
perkembangan yang tidak sempurna (Dahuri, 2003). Satu individu karang diwakili
oleh satu polip yang tersusun oleh saluran pencernaan yang sederhana dan tiga
lapisan tubuh. Seluruh jaringan karang polip didukung oleh kerangka kapur yang
merupakan hasil sekresi hewan karang (Giyanto et al., 2017).
Karang merupakan hewan hidup filum Invertebrata seperti halnya ubur-ubur,
yang dikenal sebagai Cnidaria. Karang yang terkecil disebut polip. Ukuran polip
bervariasi, yaitu kurang dari 1 mm hingga 15 cm lebih. Sebagian besar karang hidup
berkoloni yang terdiri atas ribuan polip dalam sebuah struktur karang. Namun ada
pula jenis karang yang hidup soliter sebagai polip tunggal. Karang menggunakan
kalsium dan molekul karbonat dari air laut untuk membentuk kerangkanya. Alga
berukuran mungil yang disebut Zooxanthellae atau alga simbiotik, tumbuh di dalam
struktur karang. Keberadaan Zooxanthellae dalam struktur karang membuat karang
tampak berwarna dan memberinya energi untuk tumbuh. Zooxanthellae tumbuh
pada sel-sel dalam jaringan karang. Simbiosis Zooxanthellae dengan karang
memiliki keuntungan yaitu: Zooxanthellae memberi energi sebesar 98% pada
karang dari hasil fotosintesis berupa asam amino, gula dan oksigen yang digunakan
untuk pertumbuhan dan reproduksi karang (Suharsono, 2008).
Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang
Acropora dan non-Acropora. Perbedaan Acropora dengan non-Acropora terletak
pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan
radial koralit, sedangkan non-Acropora hanya memiliki radial koralit (English et
al., 1994).
6
1) Non-Acropora
a. Bentuk Bercabang (Coral Branching), memiliki cabang lebih panjang daripada
diameter yang dimiliki. Banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian
atas lereng, terutama yang terlindungi atau setengah terbuka. Banyak
memberikan tempat perlindungan bagi ikan dan invertebrata tertentu.
b. Bentuk Padat (Coral Massive), dengan ukuran bervariasi serta beberapa bentuk
seperti bongkahan batu. Permukaan karang ini halus dan padat, biasanya
ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas lereng terumbu.
c. Bentuk Kerak (Coral Encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan
permukaan yang kasar dan keras serta berlubang- lubang kecil, banyak terdapat
pada lokasi yang terbuka dan berbatu- batu, terutama mendominasi sepanjang
tepi lereng terumbu. Memberikan tempat berlindung untuk hewan-hewan kecil
yang sebagian tubuhnya tertutup cangkang.
d. Bentuk lembaran (Coral Foliose), merupakan lembaran-lembaran yang
menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau
melingkar, terutama pada lereng terumbu dan daerah- daerah yang terlindung.
Memberikan perlindungan bagi ikan dan hewan lain.
e. Bentuk Jamur (Coral Mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur,
memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat
mulut.
f. Bentuk submasif (Coral Submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan- tonjolan
atau kolom-kolom kecil.
g. Karang api (Millepora), semua jenis karang api dapat dikenali dengan adanya
warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh.
h. Karang biru (Heliopora), dapat dikenali dengan adanya warna biru pada
rangkanya.
2) Acropora
a. Acropora bentuk cabang (Acropora Branching), bentuk bercabang seperti
ranting pohon.
b. Acropora meja (Acropora Tabulate), bentuk bercabang dengan arah mendatar
dan rata seperti meja. Karang ini ditopang dengan batang yang berpusat atau
bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar.
7
c. Acropora merayap (Acropora Encrusting), bentuk merayap, biasanya terjadi
pada Acropora yang belum sempurna.
d. Acropora submasif (Acropora Submassive), percabangan bentuk gada/lempeng
dan kokoh.
e. Acropora berjari (Acropora Digitate), bentuk percabangan rapat dengan cabang
seperti jari-jari tangan.
Terumbu karang adalah ekosistem yang rentan dan mudah rusak. Terdapat
dua faktor yang dapat merusak terumbu karang diantaranya:
1) Faktor Alam
Karang merupakan organisme yang rentan terhadap perubahan lingkungan.
Faktor-faktor alam yang potensial mengganggu karang adalah predator, kompetitor
dan bioerosi, dan penyakit. Salah satu faktor utama yang menyebabkan karang
rusak adalah keberadaan predator yang mampu merusak koloni terumbu karang dan
memodifikasi struktur karang. Acanthaster planci (bintang laut berduri atau bulu
seribu) merupakan bintang laut bertangan banyak yang berukuran sangat besar
memakan jaringan karang hidup dan mampu merusak seluruh koloni-koloni karang.
Bencana alam juga dapat menyebabkan kerusakan massal pada karang, seperti
badai tropis, banjir, gelombang pasang (tsunami), aktivitas gunung api dan gempa
bumi.
2) Faktor Manusia
Kegiatan manusia dapat menyebabkan kerusakan pada karang, baik langsung
maupun tidak langsung , seperti sedimentasi, eutrifikasi , pencemaran minyak dan
kegiatan konstruksi dan pebangunan serta pemboman. Pembangunan pesisir untuk
perumahan, resort, hotel, industri, pelabuhan dan pembangunan marina seringkali
menyebabkan terjadinya reklamasi daratan dan pengerukan tanah. hal ini dapat
meningkatkan sedimentasi sehingga meningkatkan kerusakan karang. Peledak
seberat 0,5 kg yang diledakkan pada dasar terumbu karang yang menyebabkan
karang pada radius 3 m dari pusat ledakan hancur. Ikan pada radius 10 m dari pusat
ledakan jatuh/mati. Bahan yang digunakan untuk membuat bom sangat bervariasi
antara lain: mesin dari bahan bom dan pupuk yang berasal dari jenis pupuk urea
dengan kandungan Nitrogen yang tinggi, sedangkan alat yang digunakan yaitu botol
plastik (Afni, 2017). Sampah yang semakin banyak di perairan juga menjadi salah
8
satu penyebab kerusakan karang. Ekosistem terumbu karang telah terkontaminasi
oleh sampah yang berasal dari aktifitas manusia (Assuyuti, Zikrillah, Tanzil,
Banata, & Utami, 2018).
Kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan terumbu karang
hidup mengacu pada Keputusan Menteri LH No. 4 tahun 2001 sebagai berikut
(Menteri Lingkungan Hidup, 2001):
a. Baik Sekali : 75 - 100%
b. Baik : 50 - 74,9%
c. Sedang : 25 - 49,9%
d. Buruk : 0 - 24,9%
2.2. Faktor Pembatas Terumbu Karang
Terumbu karang tidak dapat hidup di air tawar atau muara ataupun hidup
disemua tempat, akan tetapi hidup di perairan laut. Ada beberapa faktor pembatas
yang membatasi penyebaran karang, yaitu:
a. Up welling
Akibat dinamika massa air yang disebabkan oleh arus, kondisi batimetri dan
faktor-faktor lain menyebabkan fenomena up welling. Arus up welling ini
membawa massa air dingin dari lapisan bawah ke lapisan
substat terumbu karang (Santoso & Kardono, 2008).
b. Cahaya Matahari
Cahaya yang cukup harus tersedia untuk fotosintesis Zooxanthellae simbiotik
dalam jaringan karang dapat terlaksana dengan baik. Tanpa cahaya yang cukup, laju
fotosintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemampuan karang untuk
menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang pula.
Titik kompensasi untuk karang ialah kedalaman, intensitas cahaya berkurang
sampai 15 – 20% dari intensitas di permukaan (Nybakken, 1998).
c. Salinitas
Salinitas merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas air
laut daerah tropis rata-rata sekitar 35 ‰ dan binatang karang hidup subur pada
salinitas 34-36 ‰. Perairan pantai akan terus menerus mengalami pemasukan air
tawar secara teratur dari aliran sungai, sehingga salinitasnya berkurang yang akan
9
mengakibatkan kematian terumbu karang, yang juga membatasi sebaran karang
secara lokal (Nybakken, 1998; Supriharyono, 2007).
d. Suhu
Perkembangan terumbu yang paling optimal terjadi di perairan yang ratarata
suhu tahunannya 23-35°C. Perairan yang terlalu panas juga tidak baik untuk karang.
Batas atas suhu bervariasi, tetapi biasanya antara 30 - 35°C (86 sampai 95°F). Salah
satu tanda karang mengalami stress karena suhu yang terlalu tinggi adalah karang
mengalami pemutihan (coral bleaching) dan karang mengeluarkan
Zooxanthellae dari tubuhnya (Castro & Huber, 2005).
e. Sedimentasi
Terumbu karang sangat sensitif terhadap sedimentasi, akibatnya terumbu
karang tidak lagi ditemukan pada daerah yang terlalu banyak pemasukan air tawar
yang membawa banyak endapan lumpur meskipun keadaan lingkungannya cukup
baik. Kebanyakan hewan karang tidak dapat bertahan karena adanya endapan yang
menutupinya sehingga menyumbat struktur pemberian makanannya. Endapan juga
menyebabkan kurangnya cahaya matahari yang dibutuhkan untuk fotosintesis,
sehingga akan menyebabkan kematian bagi karang (Supriharyono, 2000).
f. Arus
Proses pertumbuhan karang memerlukan arus. Gelombang yang kuat tidak
akan merusak koloni karang dengan kerangka-kerangka yang padat dan masif.
Gelombang laut memberikan sumber air yang bagus, memberi oksigen dalam air
laut dan menghalangi pengendapan sedimen pada koloni karang. Gelombang juga
memberi plankton yang baru bagi koloni karang (Nybakken, 1998). Gelombang
yang cukup kuat menghalangi pengendapan sedimen pada koloni karang. Struktur
terumbu karang mampu bertahan dari gelombang besar khususnya struktur terumbu
karang yang masif (Rachmawati, 2001).
g. Nutrien
Kebanyakan terumbu karang tumbuh di perairan dengan sedikit nutrien. Pada
perairan rendah nutrien, alga tidak tumbuh dengan cepat dan tetap terkontrol. Hal
ini menjadikan karang tetap mendapatkan ruang dan cahaya. Perairan yang
memiliki nutrien yang tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman dan alga
di perairan tersebut akan meningkat. Terumbu karang dapat dipengaruhi oleh
10
peningkatan pertumbuhan alga karena meningkatnya nutrient anorganik. Alga
khususnya makroalga berkompetisi dengan terumbu karang pada substrat bahkan
dapat menyebabkan tertutupnya koloni karang dan menyebabkan kematian karang
(Castro & Huber, 2005).
2.3. Manfaat Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang mempunyai banyak manfaat. Manfaatnya tidak
hanya berasal dari terumbu karang, tetapi juga dari berbagai macam penyusun
ekosistem yang berkaitan erat dengan hewan karang dalam hubungan yang
fungsional dan harmonis. Menurut Amin (2009), terumbu karang dapat
diklasifikasikan menurut fungsinya, yaitu:
a. Fungsi pariwisata
Terumbu karang memiliki keanekaragaman jenis biota sangat tinggi dan
sangat produktif, dengan bentuk dan warna yang beraneka ragam. Keindahan
karang, kekayaan biologi dan kejernihan airnya membuat kawasan terumbu karang
terkenal sebagai tempat rekreasi. Skin diving atau snorkeling, SCUBA dan fotografi
adalah kegiatan yang umumnya untuk menikmati terumbu karang.
b. Fungsi perikanan
Terumbu karang merupakan tempat tinggal ikan-ikan karang yang harganya
mahal, sehingga nelayan menangkap ikan di kawasan terumbu karang. Jumlah
panenan ikan, kerang dan kepiting dari terumbu karang secara lestari di seluruh
dunia mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12% dari jumlah tangkapan perikanan
dunia.
c. Fungsi perlindungan pantai
Jenis terumbu karang yang berfungsi untuk melindungi pantai adalah terumbu
karang tepi dan penghalang. Jenis terumbu karang ini berfungsi sebagai pemecah
gelombang alami yang melindungi pantai dari erosi, banjir pantai, dan peristiwa
perusakan lainnya yang diakibatkan oleh fenomena air laut. Terumbu karang juga
memberikan kontribusi untuk akresi (penumpukan) pantai dengan memberikan
pasir untuk pantai dan memberikan perlindungan terhadap desa-desa dan
infrastruktur seperti jalan dan bangunan-bangunan lainnya yang berada di
11
sepanjang pantai. Apabila dirusak, maka diperlukan milyaran rupiah untuk
membuat penghalang buatan yang setara dengan terumbu karang.
d. Fungsi biodiversitas
Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas dan keanekaragaman
jenis biota yang tinggi. Keanekaragam hidup di ekosistem terumbu karang per unit
area sebanding atau lebih besar dibandingkan dengan hal yang sama di hutan tropis.
Terumbu karang ini dikenal sebagai laboratorium untuk untuk ilmu ekologi. Potensi
untuk bahan obat-obatan, anti virus, anti kanker dan penggunaan lainnya sangat
tinggi.
2.4. Penyakit dan Gangguan Kesehatan Karang
Penyakit karang adalah suatu gangguan yang terjadi pada karang yang
mengakibatkan kegagalan fungsi karang secara fisiologis (Raymundo, Couch,
Bruckner, & Harvell, 2008). Penyakit karang juga didefinisikan sebagai sesuatu
kegagalan fungsi vital hewan karang, organ, atau sistem, termasuk interupsi,
penghentian pertumbuhan dan perkembangbiakan, atau kegagalan fungsi lain,
penyebabnya bisa berasal dari sumber biotik atau abiotik (Stedman’s Medical
Dictionary, 1982 dalam Johan, 2010). Penyakit yang disebabkan oleh faktor biotik,
agen etiologinya adalah makhluk hidup seperti patogen atau parasit. Terjadinya
disfungsi melibatkan interaksi antara inang, agen, lingkungan dan genetik. Definisi
ini mencakup baik penyakit menular (infectious) maupun penyakit tidak menular
(non-infectious). Istilah sindrom juga sinonim dengan penyakit. Penyakit menular
diakibatkan oleh pathogen sedangkan penyakit tidak menular disebabkan oleh
mutasi genetik, malnutrisi, dan/atau faktor lingkungan (Weil dan Rogers dalam
Dubinsky et al., 2011). Inang merupakan organisme yang dipengaruhi oleh
penyakit contohnya seperti karang hexacoral atau octocoral. Agen penyakit
merupakan faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
menyebabkan penyakit. Agen yang menular mampu menyebabkan infeksi dan
dapat menular antar inang. Lingkungan merupakan faktor ketiga yang merupakan
tahap dimana interaksi antara inang dan agen terjadi (Dubinsky & Stambler, 2011)
Penyebab munculnya penyakit karang dapat disebabkan oleh patogen,
cekaman lingkungan, atau gabungan dari faktor biotik dan abiotik. Penyakit biotik
12
disebabkan oleh mikroorganisme patogenik seperti virus, bakteri, fungi, dan
protista dan pada umumnya spesifik pada suatu spesies dan menular. Penyakit
abiotik terjadi sebagai akibat stress lingkungan alami maupun karena perbuatan
manusia termasuk perubahan pada kondisi ambien atau paparan polutan
(Sutherland, Porter, & Torres, 2004). Sementara karang sehat adalah suatu kondisi
hewan karang di mana fungsi anggota tubuhnya dapat berfungsi secara optimal
tanpa adanya penyakit atau keadaan yang tidak normal (Johan, 2010).
Penyakit pada karang memiliki jenis yang banyak dengan ciri-ciri yang juga
beragam diantaranya Skeletal Eroding Band (SEB), Black Band Disease (BBD),
Brown Band Disease (BrBD), White Syndrome (WS), predation, Ulcerative White
Spots (UWS) dan lain-lain. Sedangkan gangguan kesehatan karang lainnya adalah
pigmentation response, aggressive overgrowth, growth anomalies, sediment
damage, dan flatworm infestation.
Gambar 2. Contoh penyakit dan gangguan kesehatan pada karang. a) brown band
disease; b) pigmentation response (Beeden et al., 2008)
Prevalensi merupakan persentase jumlah koloni yang terinfeksi penyakit
dengan jumlah total koloni karang pada suatu perairan (Raymundo et al., 2008).
Sifat karang yang sesil membuat karang tidak bisa menghindar dari perubahan
lingkungan sekitar terutama pada karang yang memiliki bentuk lembaran yang
lebih mudah menampung bahan dari laut. Karang berada di dasar laut, sehingga
karang mudah sensitif dengan perubahan sekitar. Keadaan tersebut menyebabkan
karang rentan terhadap penyakit (Hamdani, 2014).
a
a
b
a
13
2.5. Kepulauan Seribu
Kepulauan Seribu berada di posisi geografis antara 106° 20’ 00’’ BT hingga
106° 57’ 00’’ BT dan 5° 10’ 00’’ LS hingga 5° 57’ 00’’ LS, terdiri dari gugus-gugus
pulau terbentang vertikal dari teluk Jakarta hingga ke utara yang berujung di Pulau
Sebira (Estradivari et al., 2009). Kepulauan Seribu sebelumnya merupakan
kecamatan yang menjadi bagian dari Kota Administrasi Jakarta Utara. Tetapi,
melalui UU No.34/1999 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Negara RI, Kepulauan Seribu menjadi Kabupaten Administrasi dan terpisah dari
Kota Administrasi Jakarta Utara. Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki luas
daratan 8.70 km2 atau 870 ha dan luas total (daratan dan perairan) mencapai 11.8
km2 atau 1,180.8 ha yang terbagi menjadi 6 kelurahan, dan 2 kecamatan, dengan
110 pulau. Secara administrasi dan Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta, wilayah
Kepulauan Seribu. yang menjadi pulau pemukiman hanya terdapat 11 pulau dengan
total luas pulau pemukiman mencapai 230.22 ha (Bahri, Hamdani, & Wibowo,
2017).
Letak Kepulauan Seribu yang berada di Laut Jawa dan Teluk Jakarta
merupakan suatu wilayah dengan karakteristik dan potensi alam yang berbeda
dengan wilayah DKI Jakarta lainnya. Wilayah ini pada dasarnya merupakan
gugusan pulau-pulau terumbu karang yang terbentuk dan dibentuk oleh biota koral
dan biota asosiasinya (algae, moluska, foraminifera dan lain-lain) dengan bantuan
proses dinamika alam. Sesuai dengan karakteristik tersebut dan kebijaksanaan
pembangunan DKI Jakarta, maka pengembangan wilayah Kepulauan Seribu
diarahkan terutama untuk meningkatkan kegiatan pariwisata, meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat nelayan melalui peningkatan budidaya laut, dan
pemanfaatan sumber daya perikanan dengan konservasi ekosistem terumbu karang
dan mangrove (BPS Kabupaten Kepulauan Seribu, 2019)
Tipe iklim di Kepulauan Seribu adalah tropika panas dengan suhu maksimum
mencapai 32 °C dan suhu minimum 21 °C, sementara suhu rata-rata mencapai 27
°C. Kelembaban udara rata-rata 80% dan termasuk sistem musim ekuator yang
cenderung dipengaruhi oleh variasi tekanan udara. Pada November hingga April
berlangsung musim hujan dengan hari hujan berkisar antara 10 sampai 20 hari per
bulan. Sementara musim kemarau terjadi pada Mei hingga Oktober dengan 4-10
14
hari hujan per bulan. Mengacu pada data tahun 2000, curah hujan bulanan di
Kepulauan Seribu tercatat rata-rata 142,54 mm dengan curah hujan terendah pada
Juni (0 mm) dan tertinggi pada September (307 mm) (Estradivari et al., 2009).
Kondisi pasang surut di Kepulauan Seribu dapat dikategorikan sebagai harian
tunggal. Kedudukan air tertinggi dan terendah adalah 0,6 m dan 0,5 m dibawah
duduk tengah. Rata-rata ketinggian air pada pasang perbani adalah 0,9 m dan rata-
rata ketinggian air pada pasang mati adalah 0,2 m. Ketinggian air tahunan terbesar
mencapai 1,10 m. Melalui beberapa pengukuran di sejumlah lokasi dalam waktu
yang berbeda, kecepatan arus di Kepulauan Seribu berkisar 0,6 cm/detik hingga
77,3 cm/detik. Kecepatan arus dipengaruhi kuat oleh angin dan sedikit pasang surut.
Arus permukaan pada musim barat berkecepatan maksimum 0,5 m/detik dengan
arah ke timur sampai tenggara. Pada musim timur kecepatan maksimumnya 0,5
m/detik. Gelombang laut yang terdapat pada musim barat mempunyai ketinggian
antara 0,5-1,175 m dan musim timur 0,55–1,0 m (Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu, 2005).
Suhu air permukaan di Kepulauan Seribu pada musim barat berkisar antara
28,5° C–30,0° C. Pada musim timur suhu air permukaan antara 28,5° C–31,0° C.
Hal tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada fluktuasi yang nyata antara musim
barat dengan musim timur. Salinitas berkisar antara 30‰ - 34‰ baik pada musim
barat maupun pada musim timur. Beberapa parameter kualitas air laut menunjukkan
ada yang melampaui baku mutu pada lokasi tertentu, seperti Cu, Cd, dan Hg,
diantaranya merupakan perairan pulau-pulau berpenghuni seperti Pulau Tidung,
Pulau Pari, Pulau Panggang, Pulau Pramuka, dan Pulau Kelapa (LAPI-ITB, 2001).
Salah satu arahan pengembangan wilayah Kepulauan Seribu adalah
peningkatan kegiatan pariwisata. Namun bagi pemerintah daerah dan masyarakat
setempat kegiatan pariwisata belum memberi kontribusi yang berarti. Eksploitasi
perairan laut seperti perikanan, pertambangan dan transportasi laut bahkan
menimbulkan dampak lingkungan yang merusak. Misalnya, penangkapan ikan
menggunakan bahan beracun atau bahan peledak merusak lingkungan perairan dan
terumbu karang (BPS Kabupaten Kepulauan Seribu, 2019).
Pariwisata merupakan sektor ekonomi penting bagi Kepulauan Seribu.
Banyak orang yang datang ke Kepulauan Seribu untuk berwisata. Berdasarkan
15
gugusan pulau-pulau di Kepulauan Seribu yang berjumlah 110 pulau, tidak semua
pulau yang merupakan pulau wisata. Pulau-pulau wisata di Kepulauan Seribu
dibagi menjadi pulau wisata umum yang berjumlah 45 pulau, pulau bersejarah 4
pulau, pulau cagar alam 2 pulau, dan pulau resort berjumlah 10 pulau. Bagi yang
menyukai puing-puing bangunan tua, bisa mengunjungi Pulau Damar dan Pulau
Onrust. Wisata yang menjadi andalan adalah wisata bahari, baik itu menikmati
pemandangan laut, maupun melakukan aktivitas seperti menyelam, snorkeling,
maupun memancing. Penyelaman banyak dilakukan di beberapa daerah seperti
Pulau Semak Daun, Pulau Karang Congkak, Karang Kroya, Karang Pilang, Pulau
Pramuka, Pulau Kotok, Karang Bongkok, Pulau Opak, Pulau Kaliage, Pulau Semut,
Pulau Petondan Timur, Pulau Petondan Barat, Pulau Sepa, dan Gosong Laga
(TNKpS, 1999 dalam Estradivari et al., 2009).
16
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Agustus 2019 di beberapa pulau di
Kepulauan Seribu yang termasuk dalam tiga zona yang berbeda diantaranya Pulau
Air (Timur), Semak Daun (Selatan), Karang Beras (Timur), Kotok Besar (Selatan),
Kotok Kecil (Utara) dan Karang Congkak (Timur).
Gambar 3. Peta lokasi penelitian
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan antara lain SCUBA (Self Contained Underwater
Breathing Apparatus), alat tulis, Global Positioning System (GPS), DO meter, pH
meter, hand refractometer, termometer, roll meter, frame persegi yang dibuat dari
pipa dengan ukuran 1x1 m, dan kamera digital bawah air.
17
3.3. Teknik Sampling
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Metode
pengambilan data yang digunakan adalah Underwater Photo Transect (UPT) atau
Transek Foto Bawah Air. Pada setiap stasiun penelitian dilakukan pengambilan data
sebanyak 5 titik dengan jarak antar titik sejauh 10 meter. Setiap titik dibentangkan
transek sepanjang 7 meter dengan peletakkan frame persegi pada setiap meternya.
Pengambilan gambar pada frame berukuran 50x50 cm untuk life form dan 1x1 m
untuk penyakit karang.
3.4. Cara Kerja
3.4.1. Pengukuran Faktor Kimia dan Fisika Perairan
Pengambilan data faktor kimia dan fisika perairan meliputi temperatur, pH,
DO dan salinitas. Suhu perairan diukur menggunakan termometer, tingkat
keasaman (pH) diukur menggunakan pH meter, DO diukur menggunakan DO
meter, dan salinitas diukur menggunakan hand refractometer. Pengambilan faktor
kimia dan fisika dilakukan satu kali pada setiap stasiun penelitian.
3.4.2. Pengambilan Data Terumbu Karang
Data terumbu karang yang diambil meliputi bentuk pertumbuhan (lifeform)
karang, genus dan penyakit serta gangguan kesehatan karang. Metode Underwater
Photo Transect (UPT) atau Transek Foto Bawah Air dilakukan di perairan dangkal
dengan kedalaman berkisar antara 3-4 meter dengan 5 titik pengambilan data pada
setiap stasiun. Pengambilan data dilakukan dengan membentangkan transek
sepanjang 7 meter di kedalaman yang telah ditentukan. Kemudian dilakukanan
peletakkan frame persegi pada setiap meternya. Selanjutnya dilakukan
pengambilan foto pada frame. Langkah-langkah tersebut dilakukan pada setiap titik
di semua stasiun penelitian.
18
Gambar 4. Ilustrasi metode Underwater Photo Transect (UPT) (Giyanto et al.,
2014)
3.5. Analisis Data
Data terumbu karang yang telah diperoleh diidentifikasi dan diolah dengan
menggunakan perangkat lunak CPCe 4.1 untuk bentuk pertumbuhan (lifeform)
terumbu karang, sedangkan genus dan penyakitnya diidentifikasi secara visual
berdasarkan buku Coral of the world (Veron, 2002), buku panduan Underwater
Cards for Assessing Coral Health on Indo-Pacific Reefs (Beeden et al., 2008) dan
Coral Disease Handbook (Raymundo et al., 2008). Analisis regresi dan korelasi
digunakan untuk mengetahui hubungan antara parameter kimia fisika dengan
tututpan karang hidup menggunakan Microsoft Excel.
Untuk mendapatkan data-data kuantitatif berdasarkan foto-foto bawah air
yang dihasilkan dari metode UPT, analisis data dilakukan terhadap setiap frame
dengan cara melakukan pemilihan sampel titik acak. Teknik ini digunakan dengan
menentukan banyaknya titik acak (random point) yang dipakai untuk menganalisis
foto. Jumlah titik acak yang digunakan adalah sebanyak 30 buah untuk setiap
framenya. Jumlah tersebut sudah representatif untuk menduga persentase tutupan
kategori dan substrat. Berdasarkan proses analisis foto yang dilakukan terhadap
setiap frame foto yang dilakukan, maka dapat diperoleh nilai persentase tutupan
kategori untuk setiap frame dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Giyanto,
2013):
𝐾𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑡𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 =𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖 𝑡𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛
𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑐𝑎𝑘 x 100%
19
Prevalensi penyakit karang diketahui dengan membandingkan jumlah koloni
karang yang terserang suatu jenis penyakit dibagi dengan jumlah total koloni yang
sehat dan terserang penyakit kemudian dikali 100% dengan rumus menurut Muller
dan Van Woesik (2011) sebagai berikut:
𝑃 = 𝑃𝑖
𝑃0 × 100%
Keterangan:
P = Persentase Prevelensi
Pi = Jumlah Koloni karang yang terserang penyakit
Po = Total koloni
20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Lokasi Penelitian
a) Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki luas daratan 8,70 km2 atau 870 ha dan
luas total (daratan dan perairan) mencapai 11,8 km2 atau 1180,8 ha yang terbagi
menjadi 6 kelurahan, dan 2 kecamatan, dengan 110 pulau (BPS Kabupaten
Kepulauan Seribu, 2019). Seluruh stasiun penelitian terletak di Kecamatan
Kepulauan Seribu Utara, kecuali Pulau Karang Beras yang terletak di bagian
Selatan. Masing-masing stasiun penelitian memiliki kondisi yang berbeda (Tabel
1). Perbedaan tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi
lingkungan sekitar pulau.
Tabel 1. Kondisi umum lokasi penelitian (Dinas Penataan Kota, 2014; Putri &
Kristiyanto, 2018)
Stasiun Pengelola Zonasi Sub Zona Kegiatan
Pulau Air Pribadi Kawasan luar
TNKpS
Zona
perdagangan
dan jasa
-Wisata air
-Penginapan
-Area
perkemahan
Pulau Semak
Daun Pribadi Pemukiman
Zona terbuka
hijau
budidaya
-Wisata air
-Area
perkemahan
- Sea farming
Pulau Karang
Beras Pribadi
Kawasan luar
TNKpS
Zona
perdagangan
dan jasa
-Wisata air
-Pendopo
Pulau Kotok
Besar Pribadi
Pemanfaatan
wisata
Zona
perdagangan
dan jasa
-Wisata air
-Konservasi
Elang Bondol
-Penginapan
-Restoran
Pulau Kotok
Kecil Pribadi
Pemanfaatan
wisata
Zona terbuka
hijau
budidaya
-Wisata air
-Penginapan
Pulau Karang
Congkak
Pemerintah
Provinsi Pemukiman
Zona terbuka
hijau
budidaya
-Wisata air
-Area
perkemahan
21
Kepulauan Seribu diperuntukkan untuk pemukiman, perikanan,
pertambangan, kawasan konservasi dan pariwisata. Pada tahun 2002, Kepulauan
Seribu ditetapkan sebagai Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS). Kawasan
TNLKpS terbagi ke dalam 4 zona, yaitu Zona Inti, Zona Perlindungan, Zona
Pemanfaatan Wisata, dan Zona Pemukiman. Pulau Air yang berada di luar kawasan
TNKpS dijadikan sebagai daerah penyangga. Daerah penyangga berfungsi
melindungi keberadaan taman nasional beserta ekosistemnya terhadap gangguan
dari luar kawasan yang dapat membahayakan kelestarian potensi di dalam kawasan
TNKpS (Yulianda et al., 2017). Hanya Pulau Karang Congkak yang dikelola oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sedangkan pulau lainnya dikelola secara pribadi
oleh perorangan atau perusahaan. Dengan adanya fasilitas yang menunjang
kegiatan di pulau-pulau tersebut, terdapat beberapa kekurangan seperti keterbatasan
air tawar di Pulau Air, Karang Beras dan Karang Congkak. Air tawar biasanya
didapatkan di pulau sekitar yang berpenduduk.
Pembagian zonasi berdasarkan dari sumber daya alam yang terdapat di pulau-
pulau tersebut. Meskipun Pulau Semak Daun dan Karang Congkak termasuk ke
dalam zona pemukiman, namun pulau tersebut merupakan pulau yang tidak
berpenghuni. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 juga membagi pulau-pulau di
Kepulauan Seribu menjadi beberapa sub zona. Sub zona ditujukan guna pengaturan
dan pengendalian pemanfaat tata ruang dan pelaksanaan kegiatan yang yang
diadakan di pulau tersebut.
b) Kondisi Kimia dan Fisik Perairan
Parameter kimia dan fisika perairan yang diambil meliputi suhu, DO, salinitas
dan pH. Suhu yang diperoleh berkisar 29,8-33,4 °C, nilai DO berkisar 7,5-12,5
(mg/l), salinitas memiliki nilai antara 35-43 ‰ dan nilai pH antara 6,25-7,22. Data
secara lengkap disajikan pada Tabel 2.
22
Tabel 2. Kondisi Kimia dan Fisik Perairan
No. Pulau Suhu(°C) DO(mg/l) Salinitas(‰) pH
1. Air 30,8 7,8 43 6,3
2. Semak Daun 30,2 7,5 35 7,1
3. Karang Beras 31,5 10,3 35 7,2
4. Kotok Besar 30,7 11,6 35 6,3
5. Kotok Kecil 33,4 7,7 40 7,1
6. Karang Congkak 29,8 12,5 35 6,5
Suhu merupakan salah satu parameter fisik perairan yang menjadi faktor
pembatas bagi terumbu karang. Perubahan suhu yang bervariasi dapat
mempengaruhi kehidupan terumbu karang. Suhu yang berubah secara mendadak
sekitar 4-6oC di bawah atau di atas ambang batas dapat mengurangi pertumbuhan
karang, bahkan dapat menyebabkan kematian (Tambunan, Anggoro, & Purnaweni,
2013). Suhu pada stasiun penelitian berkisar 29,8-33,4 °C. Hanya suhu perairan
pada Pulau Karang Congkak yang merupakan suhu ideal bagi pertumbuhan
terumbu karang, sedangkan suhu pada lokasi lainnya memiliki nilai yang cukup
tinggi bagi terumbu karang. Hal tersebut dikemukan pada standar baku mutu
perairan laut berdasarkan KepMen LH Nomor 51 tahun 2004 bahwa suhu perairain
untuk terumbu karang berkisar antara 28-30°C. Kenaikan suhu air laut di atas suhu
normalnya, akan menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) sehingga
warna karang menjadi putih. Bila hal tersebut berlanjut secara terus-menerus dalam
kurun waktu beberapa minggu, akan menyebabkan kematian pada karang (Giyanto
et al., 2017). Meskipun begitu, terumbu karang masih dapat hidup pada suhu
perairan yang tinggi. Hewan karang dapat bertahan hidup pada kisaran suhu antara
18 - 36°C dengan suhu optimal untuk pertumbuhan adalah 26 - 28°C dan sebagian
besar karang akan mengalami kehilangan kemampuan untuk menangkap makanan
pada suhu <16 oC dan >33,5oC (Supriharyono, 2000). Pola suhu dalam perairan
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas,
ketinggian geografis dan oleh faktor penutupan oleh vegetasi pepohonan sekitar
(Reid, Marshall, Logan, & Kleine, 2011).
Parameter kondisi perairan lainnya adalah Dissolve Oxygen (DO). Nilai DO
pada stasiun penelitian berada dalam kisaran yang cukup tinggi yaitu 7,5-12,5 mg/l.
23
Kadar oksigen terlarut dalam perairan tersebut sesuai dengan standar baku mutu
untuk air laut berdasarkan KepMen LH Nomor 51 Tahun 2004, yaitu >5 mg/l.
Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari
udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut.
Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung dari beberapa faktor seperti
kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara sepeti arus,
gelombang, dan pasang surut (Odum, 1993).
Salinitas menjadi salah satu faktor penting bagi keberlangsungan hidup
terumbu karang. Salinitas pada stasiun penelitian berkisar 35-43 ‰. Salinitas ideal
bagi pertumbuhan adalah berkisar antara 30-36‰ dan terumbu karang rentan pada
salinitas dengan kisaran kurang dari 27 ‰ (Giyanto et al., 2017). Pulau Air dan
Pulau Kotok Kecil memiliki nilai salinitas yang sangat tinggi (Tabel 2). Kondisi
tersebut masih berada dalam kisaran toleransi terumbu karang karena karang juga
memiliki tingkat pertahanan terhadap salinitas tinggi seperti dari jenis Acropora
dan Porites yang mampu bertahan hidup sampai pada salinitas 48 ‰ (Thamrin,
2006). Meskipun terumbu karang mampu bertahan pada salinitas di luar kisaran
tersebut, pertumbuhannya menjadi kurang baik bila dibandingkan pada salinitas
normal (Dahuri, 2003). Salinitas dapat berubah akibat bertambah dan berkurangnya
molekul-molekul air melalui proses penguapan dan air hujan. Apabila laju
penguapan di suatu daerah lebih besar dari pada hujan maka salinitas akan
meningkat. Sebaliknya pada daerah dengan curah hujan lebih besar dari pada
penguapan maka salinitas berkurang, namun kondisi ini juga dipengaruhi oleh garis
lintang dan musim (Reid et al., 2011).
Nilai derajat keasaman (pH) pada stasiun penelitian berkisar antara 6,3-7,2.
Kisaran pH dalam baku mutu air untuk biota laut menurut KepMen LH Nomor 51
Tahun 2004, yaitu sebesar 7-8. Tiga pulau pada stasiun penelitin diantaranya Pulau
Air, Kotok Besar dan Karang Congkak memiliki pH dibawah dari baku mutu. Hal
tersebut kurang baik untuk terumbu karang karena pH perairan yang terlalu asam
atau terlalu basa dapat mengurangi produktivitas terumbu karang bahkan dapat
menyebabkan kematian. Tingkat keasaman air laut mempengaruhi pengandapan
logam dalam sedimen, semakin tinggi nilai pH maka akan semakin mudah terjadi
akumulasi dengan logam. Peningkatan nilai pH dari muara hingga laut lepas
24
disebabkan oleh adanya masukan limbah dari daratan (sungai) ke lingkungan
perairan (Nybakken, 1998; Paramitha, Utomo, & Desrita, 2013).
4.2. Kondisi Tutupan Terumbu Karang
Tutupan karang hidup pada setiap stasiun penelitian memiliki persentase yang
berbeda (Gambar 5). Persentase tutupan karang hidup merupakan persentase rata-
rata dari beberapa transek. Persentase tutupan karang tertinggi berada di Pulau
kotok Kecil sebesar 73,24%. Kemudian Pulau Karang beras dengan persentase
71,91%, Pulau Air 57,01%, Pulau Kotok Besar 54,96%, Pulau Karang Congkak
43,19%, dan Pulau Semak Daun dengan persentase terendah, yaitu 36,19%.
Gambar 5. Persentase tutupan karang hidup di stasiun penelitian
Kondisi terumbu karang pada suatu perairan dapat ditentukan dengan
persentase tutupan karang hidup. Berdasarkan KepMen LH No.4 tahun 2001,
tutupan karang hidup di Pulau Kotok kecil dan Pulau Karang beras masuk dalam
kategori baik bahkan hampir mencapai kategori sangat baik. Terdapat berbagai
macam faktor yang memengaruhi tingginya persentase tutupan karang, seperti
faktor lingkungan dan aktivitas manusia. Berdasarkan data kimia fisik, kedua pulau
memiliki beberapa faktor lingkungan yang cukup baik, kecuali suhu. Suhu pada
kedua pulau memiliki nilai yang cukup tinggi. Hal tersebut akan menimbulkan
dampak yang buruk jika terjadi terus-menerus. Kenaikan suhu pada terumbu karang
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
P. Air P. SemakDaun
P. KarangBeras
P. KotokBesar
P. KotokKecil
P. KarangCongkak
Per
sen
tase
(%
)
Stasiun penelitian
25
dapat menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) dan akan menyebabkan
kematian pada karang (Giyanto et al., 2017).
Hal lain yang menjadi faktor tingginya tutupan karang adalah kecepatan arus
yang rendah. Penelitian yang dilakukan Fauziah, Komala, & Hadi (2018)
menyatakan bahwa Pulau Karang beras merupakan wilayah dengan kecepatan arus
yang rendah dengan nilai rata-rata 0,04m/s. Rendahnya kecepatan arus
memudahkan planula karang keras untuk menempel pada substrat. Faktor lainnya
adalah susunan vegetasi daratan yang rapat dan tidak terdapat kegiatan
pembangunan pada pulau tersebut. Meskipun tergolong dalam pulau yang
diperuntukan untuk pariwisata, Pulau Karang beras dan Kotok kecil merupakan
pulau yang dimiliki oleh pribadi. Dengan begitu, tidak semua wisatawan dapat
mengunjungi pulau tersebut sehingga aktivitas disekitar pulau menjadi sangat
rendah (Fauziah et al., 2018; Syam & Mujiyanto, 2011). Bentuk pertumbuhan
terumbu karang yang mendominasi pada stasiun Karang Beras adalah foliose (CF)
(Gambar 6). Sementara itu, pada stasiun Kotok Kecil didominasi bentuk
pertumbuhan branching (ACB). Bentuk foliose sangat tergantung pada kejernihan
suatu perairan dan sering ditemukan mendominasi suatu daerah (Barus, Prartono,
& Soedarma, 2018). Biasanya berada pada perairan dangkal berkaitan dengan
intensitas cahaya yang diperolehnya dengan bentuk koloni berupa lembaran
(Suharsono, Tuti, Giyanto, & Manogar, 2010). Bentuk karang bercabang tergolong
jenis karang dengan pertumbuhan yang cepat, namun sangat rentan terhadap
partikel tersuspensi yang tinggi dan arus kencang. Jenis karang ini biasa digunakan
oleh ikan dan invertebrata laut sebagai tempat berlindung (Barus et al., 2018).
26
Gambar 6. Bentuk pertumbuhan karang hidup di stasiun penelitian. a) P. Air; b) P.
Semak Daun; c) P. Karang Beras; d) P. Kotok Besar; e) P. Kotok Kecil;
f) P. Karang Congkak. Keterangan; ACB: Acropora branching; ACE:
Acropora encrusting, ACS: Acropora submassive, ACT: Acropora
tabulate, ACD: Acropora digitate, CE: Coral encrusting, CM: Coral
massive, CB: Coral branching, CF: Coral foliose, CS: Coral submassive,
CMR: Coral mushroom, dan CME: Coral millepora
Pulau Air memiliki persentase tutupan terumbu karang yang termasuk dalam
kategori terumbu karang yang baik dengan persentase 57,01%. Wilayah perairan
dangkal ke tubir Pulau Air cukup jauh dan tipe pertumbuhan karang yang
merupakan karang tepi atau fringing reef, memungkinkan Pulau Air cukup
terlindung (Iqbal, 2013). Selain itu, Pulau Air merupakan daerah penyangga yang
dekat dengan Pulau Pramuka sebagai pulau yang berada dibagian selatan Taman
Nasional Kepulauan Seribu (Banata, 2015). Menurut Soemarwoto (1985), daerah
penyangga adalah daerah yang mengelilingi kawasan lindung yang berfungsi
membatasi aktifitas manusia di kawasan lindung agar tidak merusak ekosistem di
dalam kawasan lindung. Kondisi terumbu karang yang baik didukung oleh faktor
kimia fisika yang baik untuk pertumbuhan karang, namun salinitas pada stasiun
penelitian memiliki nilai cukup tinggi, yaitu 43 ‰. Kondisi tersebut masih berada
dalam kisaran toleransi terumbu karang karena karang memiliki tingkat pertahanan
f e d
c b a
27
terhadap salinitas tinggi (Thamrin, 2006). Salinitas ideal bagi terumbu karang
berkisar antara 30-36 ‰. Namun, meskipun terumbu karang mampu bertahan pada
salinitas diluar kisaran tersebut, pertumbuhannya menjadi kurang baik bila
dibandingkan pada salinitas normal (Dahuri, 2003).
Kotok besar juga termasuk dalam terumbu karang kategori baik dengan
persentase 54,96%. Kondisi ini didukung oleh faktor kimia fisika yang baik, hanya
saja suhu pada stasiun penelitian (30,7 °C) sedikit melebihi dari standar baku mutu
perairan, yaitu 28-30 °C. Penelitian yang dilakukan oleh (Fauziah et al., 2018) juga
menunjukkan terumbu karang dengan kategori sedang di Pulau Kotok Besar.
Menurut Estradivari et al., (2009), Pulau Kotok besar yang merupakan tujuan
wisata, telah mengalami peningkatan penutupan karang yang sangat signifikan,
Pulau Kotok besar yang dimanfaatkan sebagai tujuan wisata ternyata memberi
pengaruh yang baik terhadap kondisi tutupan karang hidup karena pulau ini lebih
mendapat perhatian khusus agar manarik wisatawan. Bentuk pertumbuhan terumbu
karang didominasi oleh karang submasif (CS) (Gambar 6). Umumnya karang-
karang kecil yang berbentuk submassive menempati daerah rataan terumbu
(Suryanti, Supriharyono, & Roslinawati, 2011).
Berdasarkan persentase tutupan terumbu karang pada Pulau Semak daun dan
Karang congkak, keduanya termasuk dalam kategori dengan kondisi terumbu
karang sedang (25%-49,9%). Penelitian sebelumnya telah dilakukan di kedua pulau
yang sama dan diperoleh persentase terumbu karang dengan kategori sedang
(Purnomo, Hariyadi, & Yonvitner, 2013; Santoso, 2010). Pulau Semak daun dan
Karang congkak dikunjungi wisatawan untuk kegiatan snorkling, diving dan wisata
pantai seperti berenang, berjemur atau berkemah. Tingginya minat pengunjung
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kategori pasir pantai yang merupakan
pasir putih, ketersediaan air tawar, pantai yang sangat luas dan arus (Direktorat
PJLHK, 2017). Tingginya aktivitas pariwisata di Pulau Semak Daun dan Karang
congkak merupakan salah satu penyebab lebih rendahnya tutupan karang di pulau
ini daripada stasiun penelitian yang lainnya. Kegiatan wisata bahari memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi terumbu karang. Tanpa adanya
pengawasan yang baik, aktivitas-aktivitas tersebut cenderung merusak terumbu
karang (Putri, Hidayat, & Sukandar, 2012). Bentuk perumbuhan yang mendominasi
28
di kedua pulau adalah bentuk karang masif (Gambar 6). Umumnya karang dengan
bentuk pertumbuhan masif lebih kebal terhadap tekanan dari arus yang cukup besar.
Karang masif mampu beradaptasi di lingkungan yang keruh hal ini menunjukan
karang masif dapat mendominasi karena mampu beradaptasi dalam lingkungan
kronis (Suharsono, 2008). Hal ini dikarenakan CM memiliki ukuran yang besar dan
struktur yang lebih kokoh dibanding bentuk pertumbuhan lainnya sehingga lebih
tahan terhadap tekanan arus yang cukup besar. Menurut Supriharyono (2007), CM
memiliki ketahanan yang paling toleran terhadap kenaikan suhu. Edinger, Kolasa,
& Risk (2000) menyatakan bahwa CM lebih toleran terhadap sedimentasi dan
eutrofikiasi.
Ekosistem terumbu karang tidak hanya terdiri dari karang keras. Terdapat
beberapa kompenan lain yang menyusun ekosistem terumbu karang antara lain
alga, biota lain dan komponen abiotik. Masing-masing kompenen yang terdapat
pada stasiun penelitian memiliki persentase yang berbeda (Gambar 7).
Gambar 7. Tutupan substrat dasar di stasiun penelitian
Persentase abiotik di stasiun penelitian berkisar 3,90 % - 29,14 %. Komponen
abiotik terdiri dari batu, pasir, dan patahan karang (rubble). Rubble merupakan
kompenen abiotik yang mendominasi di hampir seluruh stasiun penelitian
(Lampiran 2-7). Tingginya persentase patahan karang diduga dapat disebabkan oleh
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
P. Karang Beras P. Kotok Kecil P. Air P. Kotok Besar P. Semak Daun P. KarangCongkak
Per
sen
tase
(%
)
Stasiun Penelitian
Karang Hidup Karang Mati Biota Lain Alga Abiotik
29
faktor antropogenik berupa aktivitas manusia seperti lalu lintasnya kapal-kapal
(Utami, 2018). Adanya muatan dari darat yang terbawa oleh arus pesisir pantai juga
dapat menjadi salah satu faktor terdapatnya patahan karang.
Substrat dasar alga berkisar antara 4,12 % - 32,10 % dengan beberapa
kategori alga seperti Halimeda sp., Padina sp., turf algae, kumpulan alga dan
makroalga lainnya. Persentase karang mati juga didominasi oleh DCA (dead coral
with algae). Apabila biota-biota pemakan alga jumlahnya sangat sedikit maka
terumbu karang akan didominasi oleh dead coral with algae (DCA). Lapisan alga
dapat menghambat proses pemulihan karang. Alga dengan cepat mengambil alih
kerangka karang yang mati sehingga substrat yang terbentuk tidak sesuai untuk
pertumbuhan karang (Anggara, Afrizal, & Elizal, 2017). Selain pengaruh dari
kegiatan manusia, umumnya ekosistem terumbu karang mengalami tekanan seperti
eutrofikasi (penyuburan), pengembangan pesisir, sedimentasi dan penangkapan
berlebih sehingga kondisi terumbu karang menurun. Tekanan-tekanan tersebut
dapat mengakibatkan pergantian fase komunitas sehingga makroalga memiliki
pertumbuhan lebih cepat daripada terumbu karang itu sendiri (Jompa & Mccook,
2002; Lardizabal, 2007). Salah satu penyebab utama terjadinya blooming
makroalga pada ekosistem terumbu karang adalah meningkatnya unsur hara yang
menyebabkan peningkatan laju pertumbuhan alga sampai pada kondisi dimana
ketersediaan populasi hewan herbivora tidak sanggup lagi mengontrol kelimpahan
alga ini yang pada gilirannya menyebabkan kematian karang akibat tertutup alga.
Sementara karang sendiri hanya membutuhkan sedikit nutrient untuk kondisi ideal
perkembangannya (Mansur, Kamal, & Krisanti, 2013).
4.3. Prevalensi Penyakit dan Gangguan Kesehatan Pada Karang
Prevalensi keseluruhan penyakit dan gangguan kesehatan pada karang yang
ditemukan di tiap stasiun menunjukkan hasil yang variatif. Pulau Air dan Kotok
besar menjadi stasiun yang memiliki nilai prevalensi tertinggi, yaitu 17,99% dan
17,46%. Kemudian prevalensi pada Pulau Karang congkak 14,71%, Semak daun
14,09%, Kotok kecil 9,96% dan Karang beras 8,55%.
Penyakit karang menyebabkan kegagalan fungsi vital hewan karang, organ
atau sistem organ, terganggunya proses pertumbuhan dan perkembangbiakan,
30
gangguan dalam proses reproduksi, perubahan struktur komunitas, penurunan
keanekaragaman spesies dan kelimpahan asosiasi hewan laut di terumbu karang.
Penyebabnya bisa berasal dari sumber biotik atau abiotik (Stedman's Medical
Dictionary, 1982 dalam Johan, 2010). Total penyakit dan gangguan kesehatan
karang yang ditemukan berjumlah 8 jenis (Tabel 3). Penyakit karang yang
ditemukan pada stasiun penelitian antara lain Black Band Disease (BBD), White
Syndrome (WS), dan Ulcerative White Syndrome (UWS) serta kategori gangguan
kesehatan karang lainnya, yaitu Bleaching (Bl), Pigmentation Response (PR),
Sediment Damage (SD), Predation (Pr), dan Growth Anomalies (GA). Bleaching,
pigmentation response dan sediment damage merupakan jenis yang ditemukan di
seluruh stasiun penelitian. Sementara itu, black band disease, white syndrome dan
growth Anomalies yang paling sedikit ditemukan, masing-masing hanya diperoleh
di dua stasiun yang berbeda-beda. Data lengkap disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Prevalensi penyakit dan gangguan kesehatan pada karang di stasiun
penelitian
No Penyakit dan gangguan
kesehatan
Prevalensi (%)
Air Semak
Daun
Karang
Beras
Kotok
Besar
Kotok
Kecil
Karang
Congkak
Penyakit
1. Black Band Disease
(BBD) - - 0,28 0,3 - -
2. White Syndrome (WS) 0,26 - 0,28 - - -
3. Ulcerative White
Syndrome (UWS) 0,26 0,34 0,28 0,3 - 0,59
Gangguan Kesehatan
1. Bleaching (Bl) 3,08 3,02 3,7 3,25 4,21 2,06
2. Pigmentation Response
(PR) 1,8 2,68 0,28 2,96 0,38 0,88
3. Sediment Damage (SD) 11,31 4,7 3,13 10,65 5,36 10,59
4. Predation (Pr) 1,03 3,36 0,57 - - 0,29
5. Growth Anomalies (GA) 0,26 - - - - 0,29
Total 17,99 14,09 8,55 17,46 9,96 14,71
BBD ditemukan pada Pulau Karang beras dan Kotok besar dengan nilai
prevalensi yang rendah, yaitu 0,28-0,3%. Penyakit BBD dikenali dengan adanya
pita melingkar berwarna hitam atau merah kecoklatan antara jaringan karang yang
hidup dan skeleton karang yang terbuka (Beeden et al., 2008), Penelitian
sebelumnya mengenai penyakit BBD di Kepulauan Seribu memiliki prevalensi
31
berkisar antara 0.31% sampai 31.64% (Delpopi, Zamani, Soedharma, & Johan,
2015; Johan, 2013). Pengamatan secara optikal menunjukkan adanya beragam jenis
bakteri yang mengkoloni jaringan karang tersebut. Namun, agen utama penyebab
penyakit BBD tersebut adalah bakteri golongan Cyanobacterium. Jumlah penyakit
BBD yang tinggi dapat dijadikan indikator perubahan iklim di suatu perairan
(Edmunds, 1991). Penelitian Harvell (2007) juga menyatakan bahwa telah ada
korelasi dengan meningkatnya insiden penyakit karang Black Band Disease dengan
meningkatnya suhu perairan dan juga polusi. Di kedua stasiun, penyakit BBD
menginfeksi genus Acropora dengan bentuk pertumbuhan branching. Laju infeksi
BBD pada karang branching cukup cepat yaitu sekitar 4-8 mm/hari sedangkan pada
karang tabular sekitar 1-4 mm/hari (Beeden et al., 2008).
White syndrome juga hanya ditemukan di dua stasiun penelitian, yaitu Pulau
Air dan Karang beras dengan prevalensi 0,26% dan 0,28%. WS ditandai dengan
hilangnya jaringan karang dan tidak adanya pita yang terlihat jelas diantara jaringan
yang sehat dan skeleton yang kosong. Lesi yang terjadi pada skeleton menunjukkan
warna putih pada awalnya dan perlahan menjadi cokelat seiring dengan skeleton
yang mejadi kotor (Raymundo et al., 2008). Karang yang terinfeksi WS dapat
kehilangan jaringan dengan cepat, yaitu >20 mm/hari. Ulcerative White Spot juga
memiliki tanda hilangnya jaringan pada karang sehingga karang menjadi putih.
Namun berbeda dengan WS, hilangnya jaringan karang yang disebabkan oleh UWS
berbentuk pola multifocal (bintik-bintik yang tersebar) dan berbentuk bulat telur
dengan diameter <1 cm. UWS ditemukan pada hampir semua stasiun penelitian
kecuali P. Kotok kecil. Nilai prevalensi penyakit UWS berkisar antara 0,26-0,59%.
Pada stasiun penelitian, penyakit UWS didominasi menginfeksi genus Porites
dengan bentuk pertumbuhan karang masif (Gambar 8). Kepadatan karang Porites
sebagai inang dapat menjadi salah satu penyebab rentannya genus ini terhadap
penyakit karena hampir disetiap stasiun penelitian, jumlah karang Porites
mendominasi komposisi karang masif. Tingginya kepadatan inang berhubungan
dengan meningkatnya laju transmisi penyakit secara horizontal (Bruno et al., 2007;
Riznawati, 2015).
32
Gambar 8. Penyakit Ulcerative White Spot pada karang Porites
Penyakit karang timbul akibat kombinasi dan interaksi antara karang
sebagai inang, media penularan, dan tekanan dari lingkungan. Infeksi oleh virus,
bakteri, fungi dan protista adalah penyakit yang disebabkan faktor biotis. Selain
penyakit, terdapat juga kategori gangguan kesehatan karang. Gangguan kesehatan
secara abiotis disebabkan oleh tekanan lingkungan seperti suhu, sedimen, toksit,
dan radiasi ultra violet (Raymundo et al., 2008). Bleaching merupakan pemutihan
pada terumbu karang yang ditandai dengan hilangnya alga Zooxanthellae dari
jaringan karang. Berbeda dengan WS, dalam kondisi bleaching karang masih
memiliki jaringan yang hidup. Namun, jika kondisi ini terus berlanjut, akan
menimbulkan stress dan kematian pada karang. Bleaching ditemukan di semua
stasiun penelitian dengan prevalensi 2,06%-4,21%.
Pemutihan karang umumnya dikategorikan dalam jenis penyakit karang
yang disebabkan oleh tekanan lingkungan seperti naiknya suhu permukaan laut,
penuruan suhu laut, dan peningkatan radiasi matahari (Cervino, Hayes, Goreau, &
Smith, 2004; Le Tissier & Brown, 1996; Yee, Yeung, & Cheng, 2008). Pemutihan
karang merupakan tanggapan terhadap perubahan lingkungan yang menyebabkan
keluarnya polip karang ketika terjadinya stres pada karang (Hayes dan Goreau,
1992). Selain suhu yang dapat menyebabkan terjadinya pemutihan karang, salinitas
merupakan salah satu faktor yang berdampak pada terjadinya pemutihan karang.
Suhu dan salinitas pada semua stasiun penelitian memiliki nilai yang tinggi, yaitu
29,8-33,4 °C dan 35-43 ‰. Suhu ideal bagi pertumbuhan karang berkisar 27-29 °C,
sedangkan Nilai salinitas yang ideal berkisar 30-36 ‰ (Giyanto et al., 2017).
Perubahan salinitas yang drastis akan menyebabkan suplai nutrien pada
33
Zooxanthellae berkurang dan hal ini dapat menghambat pertumbuhan karang dan
keseimbangan Zooxanthellae terganggu (Stimson & Kinzie, 1991).
Pigmentation Response merupakan gangguan kesehatan karang yang muncul
sebagai respon dari berbagai stresor seperti kompetisi dan kenaikan suhu
(Haapkylä, Seymour, Trebilco, & Smith, 2007). PR ditandai dengan adanya garis,
benjolan, bintik atau bentuk yang tidak beraturan berwarna merah muda, ungu atau
biru (Raymundo et al., 2008). PR ditemukan disemua stasiun penelitian dengan
nilai prevalensi berkisar 0,28%-2,96%. Dedi & Arifin, (2017) menyatakan bahwa
prevalensi PR di Teluk Jakarta sebesar 20,83% yang mencakup 5 pulau. Terumbu
karang genus Porites dengan bentuk pertumbuhan masif merupakan karang yang
mendominasi terkena gangguan ini. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian
Riska et al., (2019) yang menyatakan gangguan penyakit karang PR banyak
menginfeksi genus Porites. Respon dari munculnya bintik-bintik berwana merah
muda atau ungu merupakan pengaruh dari mekanisme stres karang yang disebabkan
oleh larva Cirripedia yang menempel pada permukaan karang hidup pada genus
Porites (Benzoni, Galli, & Pichon, 2010).
Ga
Gambar 9. Gangguan penyakit karang di stasiun penelitian; a) pigmentation
response dan b) sediment damage pada stasiun penelitian
Selain bleaching dan pigmentation response, sediment damage juga
ditemukan di semua stasiun penelitian sekaligus memiliki nilai prevalensi yang
paling tingi dibandingkan penyakit dan gangguan kesehatan karang lainnya. SD
ditemukan dengan nilai prevalensi yang berkisar antara 3,13%-11,31%. Pulau Air,
Kotok besar dan Karang congkak menjadi stasiun penelitian dengan nilai prevalensi
SD tertinggi. Ketiga pulau tersebut termasuk ke dalam wilayah seksi pengelolaan
taman nasional (SPTN) III. SPTN III merupakan wilayah dengan jarak paling dekat
ke daratan utama sehingga banyak dikunjungi wisatawan khususnya wisatawan-
a b
34
wisatawan lokal (Yulianda et al., 2017). SD ditandai dengan adanya sedimen yang
menumpuk sehingga penutupi permukaan dan polip karang. SD dapat terjadi
diakibatkan tingginya pengaruh aktivitas antropogenik. Adanya aktivitas wisata
bahari di seluruh stasiun penelitian menjadi salah satu faktor tingginya sedimentasi
di pulau tersebut (Tabel 1). Menurut Zikrillah (2016) juga menyatakan, kerusakan
terumbu karang di Kepulauan Seribu diakibatkan adanya sedimentasi. Tumpukan
sedimen pada karang dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan kematian
karang. Sedimen yang kaya akan bahan organ menyebabkan peningkatan konstan
hidrogen sulfida yang dapat meningkatkan degradasi lendir karang dan
menyebabkan kematian jaringan karang (Weber et al., 2012). Peningkatan
sedimentasi juga akan menutupi koralit karang dan mengurangi penetrasi cahaya
yang dibutuhkan oleh Zooxanthellae untuk proses fotosintesis. Pada umumnya
penumpukan sedimen terjadi pada kawasan perairan yang arus dan sirkulasi airnya
tidak terlalu deras sehingga partikel sendimen tidak dapat dibersihkan dari tubuh
karang (Rogers, 1990).
Gangguan kesehatan karang yang disebabkan oleh predator terdapat di semua
stasiun penelitian kecuali Pulau Kotok besar dan Kotok kecil. Predator karang yang
dapat menyebabkan gangguan kesehatan diantaranya Acanthaster plancii, Drupella
sp., Coralliophila sp., dan gigitan ikan seperti Parrotfish, Trigger/Pufferfish,
Damselfish, dan Butterflyfish (Beeden et al., 2008). Masing-masing serangan dari
predator menimbulkan tanda-tanda yang berbeda. Berdasarkan tanda-tanda yang
ditemukan pada terumbu karang di stasiun penelitian, menunjukkan tanda bekas
gigitan ikan, diduga berasal dari Parrotfish (Scaridae). Hal tersebut ditandai dengan
adanya bercak-bercak putih yang tidak beraturan pada karang genus Porites dengan
bentuk pertumbuhan masif. Penelitian Dedi & Arifin (2017) pada pulau-pulau di
Teluk Jakarta juga menunjukkan adanya gangguan kesehatan karang berupa fish
bite dengan prevalensi 1,85%. Selain dapat menimbulkan kerusakan pada terumbu
karang, Pemangsa pada karang seperti ikan, Drupella sp, Achantaster plancii
berpotensi sebagai vektor bagi infeksi penyakit yang diakibatkan oleh bakteri
(Rotjan & Lewis, 2008).
Growth anomalies adalah kondisi ketika jaringan karang mengalami kelainan
pertumbuhan. GA terbagi menjadi explained growth anomalies dan unexplained
35
growth anomalies. Explained growth anomalies berupa kelainan yang sebabkan
oleh invertebrata seperti kepiting dan teritip. Sedangkan unexplained growth
anomalies berupa gumpalan atau plak putih atau abu-abu yang tidak beraturan dan
perbesaran struktur karang atau biasa disebut tumor (Beeden et al., 2008). GA
hanya ditemukan di dua stasiun penelitian yaitu Pulau Air dan Karang congkak.
Tumor pada karang biasanya muncul berupa gumpalan pada bagian koloni karang
dengan densitas zooxanthella yang rendah. Penyebab perbedaan ukuran belum
diketahui secara pasti. Pigmen pada jaringan yang mengalami kelainan
pertumbuhan pada umumnya lebih pucat atau lebih muda dari jaringan sehat,
karena disebabkan berkurangnya Zooxanthellae atau tidak ada sama sekali (Aldyza
& Afkar, 2015). Tumor tumbuh pada bagian tubuh karang tetapi tidak membunuh
koloni. Namun pada bagian koloni yang bertumor akan mengalami penurunan
jumlah polip dan fekunditas, serta tidak munculnya tentakel pada bagian karang
yang terinfeksi tumor. Karang juga akan menjadi lebih sensitif terhadap perubahan
lingkungan seperti kenaikan suhu (Johan, 2010; Yamashiro, 2004). Menurut Aeby
et al. (2011) hubungan yang kuat ditemukan antara banyaknya gangguan growth
anomalies pada karang Acropora dan Porites serta kepadatan inang keduanya, serta
aktivitas manusia. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara aktivitas
antropogenik dan kesehatan karang.
4.4. Hubungan Prevalensi Penyakit dan Gangguan Kesehatan Karang dengan
Tutupan Karang Hidup
Berdasarkan nilai persentase prevalensi penyakit dan gangguang kesehatan
karang dan persentase tutupan karang hidup didapatkan hasil persamaan regesi
linear yang disajikan pada gambar 10.
36
Gambar 10. Hubungan prevalensi penyakit dan gangguan kesehatan karang
dengan tutupan karang hidup
Analisis regresi persentase tutupan karang hidup terhadap prevalensi penyakit
dan gangguan kesehatan karang diperoleh y = -0,1503x + 22,224 dengan nilai R2 =
33,79% yang menunjukkan bahwa adanya pengaruh negatif antara keduanya.
Koefisien korelasi (r) memiliki nilai -0,581 yang menunjukkan hubungan yang
sangat lemah. Raymundo, Rosell, Reboton, & Kaczmarsky (2005) juga menyatakan
bahwa terdapat hubungan korelasi yang lemah antara tutupan karang hidup dan
prevalensi penyakit karang. Grafik regresi linear menunjukkan bahwa semakin
tinggi persentase prevalensi, semakin rendah persentase tutupan karang hidup. Hal
tersebut berbeda dengan Dedi & Arifin (2017) yang menyatakan bahwa tingginya
nilai persentase prevalensi, diikuti dengan tingginya persentase tutupan karang
hidup. Perbedaan tersebut diduga dapat terjadi karena disebabkan oleh beberapa
faktor. Salah satunya dominansi genus tertentu pada stasiun penelitian. Porites
merupakan salah satu genus yang mendominasi di beberapa stasiun penelitian
(Lampiran 3C-8C). Beberapa penyakit yang ditemukan pada stasiun penelitian juga
didominasi menginfeksi genus Porites, seperti ulcerative white symdrome,
pigmentation response, dan predasi. Menurut Raymundo et al., (2005), Porites
rentan terhadap penyakit dan gangguan kesehatan karang seperti ulcerative white
syndrome, tumor, pigmentation response, dan necrotic syndrome. Korelasi positif
yang kuat juga ditunjukkan antara prevalensi dan kelimpahan genus Porites.
y = -0,1503x + 22,224R² = 0,3379
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
0 20 40 60 80
Pre
vale
nsi
(%
)
Persentase tutupan karang hidup (%)
37
Kondisi tersebut juga terjadi pada penelitian Fahlevy et al. (2019) yang
menunjukkan bahwa penyakit karang tertentu memiliki prevalensi tinggi pada
karang hidup yang rendah.
38
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Kondisi tutupan terumbu karang pada beberapa pulau di Kepulauan Seribu
berada dalam kondisi sedang hingga baik. Dua stasiun penelitian diantaranya
memiliki persentase tutupan karang <50%, yaitu Pulau Karang congkak dan
Semak daun. Sementara stasiun penelitian lainnya, yaitu Pulau Air, Karang
beras, Kotok besar, dan Kotok kecil memiliki persentase >50%.
2. Penyakit karang yang ditemukan pada stasiun penelitian antara lain Black Band
Disease (BBD), White Syndrome (WS), dan Ulcerative White Syndrome
(UWS) serta kategori gangguan kesehatan karang lainnya, yaitu Bleaching
(Bl), Pigmentation Response (PR), Sediment Damage (SD), Predation (Pr),
dan Growth Anomalies (GA). Prevalensi keseluruhan penyakit dan gangguan
kesehatan karang yang tertinggi terdapat pada stasiun Pulau Air dan Kotok
besar. Sediment damage adalah yang paling banyak ditemukan di semua
stasiun penelitian.
5.2. Saran
Perlu adanya penelitian secara berkala mengenai kondisi terumbu karang dan
penyakit serta gangguan kesehatan pada terumbu karang. Pengawasan dan
perhatian penuh terhadap aktivitas-aktivitas di sekitar pulau dan pemantauan serta
pengelolaan pulau-pulau juga diperlukan sehingga ekosistem terumbu karang tetap
terjaga dengan baik. Selain itu, diperlukan peran masyarakat sekitar maupun para
wisatawan untuk menerapkan ekowisata dan lebih bijak dalam membuang dan
mengelola sampah ataupun limbah.
39
DAFTAR PUSTAKA
Aeby, G. S., Williams, G. J., Franklin, E. C., Kenyon, J., Cox, E. F., Coles, S., &
Work, T. M. (2011). Patterns of coral disease across the Hawaiian
Archipelago : relating disease to environment. PloS ONE, 6(5).
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0020370
Afni, N. (2017). Kondisi terumbu karang di Pulau Samatellu Pedda Kecamatan
Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan (Skripsi). UIN
Alauddin Makassar.
Aldyza, N., & Afkar. (2015). Analisis genus dan penyakit karang di perairan Pulau
Tuan Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Biotik, 3(2),
107–115.
Amin. (2009). Terumbu karang; aset yang terancam (akar masalah dan alternatif
solusi penyelamatannya). Region, 1(2).
Anggara, S. P., Afrizal, T., & Elizal. (2017). The condition of coral reefs in the
waters around the Banyan Tree Bintan Bintan Regency Riau Islands Province
(Skripsi). Universitas Riau.
Assuyuti, Y. M., Zikrillah, R. B., Tanzil, M. A., Banata, A., & Utami, P. (2018).
Distribusi dan jenis sampah laut serta hubungannya terhadap ekosistem
terumbu karang Pulau Pramuka, Panggang, Air, dan Kotok Besar di
Kepulauan Seribu Jakarta. Majalah Ilmiah Biologi Biosfera : A Scientific
Journal, 35(2), 91–102. https://doi.org/10.20884/1.mib.2018.35.2.707
Bahri, A. D., Hamdani, A., & Wibowo, A. (2017). Di Balik Krisis Agraria dan
Ekosistem Kepulauan Seribu : Apakah Wisata Bahari adalah Jawabannya?
Jakarta.
Banata, A. (2015). Kepadatan Acanthaster planci L. dan hubungannya dengan
persentase tutupan karang hidup di Pulau Air (daerah penyangga Taman
Nasional Kepulauan Seribu) (Skripsi). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Barus, B. S., Prartono, T., & Soedarma, D. (2018). Environmental effect on coral
reefs life form in the Lampung Bay. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan
Tropis, 10(3), 699–710.
Beeden, R., Willis, B. L., Raymundo, L. J., Page, C. A., Weil, E., & Disease, C.
(2008). Underwater cards for assessing coral health on indo-pacific reefs
underwater cards for assessing coral health on Indo-Pacific reefs how to use
these cards. St.Lucia: CRTR.
Benzoni, F., Galli, P., & Pichon, M. (2010). Pink spots on Porites: not always a
coral disease. Coral Reef, 29, 4810. https://doi.org/10.1007/s00338-009-0571-
z
BPS Kabupaten Kepulauan Seribu. (2019). Kabupaten Kepulauan Seribu dalam
angka 2019. Jakarta: BPS Kabupaten Kepulauan Seribu.
Bruno, J. F., Selig, E. R., Casey, K. S., Page, C. A., Willis, B. L., Harvell, C. D., …
40
Melendy, A. M. (2007). Thermal stress and coral cover as drivers of coral
disease outbreaks. PLoS Biology, 5(6), 1220–1227.
https://doi.org/10.1371/journal.pbio.0050124
Castro, P., & Huber, M. E. (2005). Marine Biology (5th ed.). New York: Mc Graw-
Hill Companies Inc.
Cervino, J. M., Hayes, R., Goreau, T. J., & Smith, G. W. (2004). Zooxanthellae
regulation in yellow blotch/band and other coral diseases contrasted with
temperature related bleaching: In situ destruction vs expulsion. Symbiosis,
37(1–3), 63–85.
Dahuri, R. (2003). Keanekragaman hayati laut. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dedi, & Arifin, T. (2017). Kondisi kesehatan karang di pulau – pulau kecil Teluk
Jakarta. Jurnal Kelautan Nasional, 11(3), 175–187.
Delpopi, M., Zamani, N. P., Soedharma, D., & Johan, O. (2015). Prevalensi,
insidensi dan perkembangan black-band disease pada karang Scleractinia
(Montipora spp) di Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari. Ilmu Kelautan,
20(1), 52–60. https://doi.org/10.14710/ik.ijms.20.1.52-60
Dinas Penataan Kota. (2014). Buku Saku Perda Nomor 1 Tahun 2014 Kepulauan
Seribu. Jakarta: Suku Dinas Penataan Kota Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu.
Dubinsky, Z., & Stambler, N. (2011). Coral reefs: An ecosystem in transition.
Springer Science, 1–552. https://doi.org/10.1007/978-94-007-0114-4
Edinger, E. N., Kolasa, J., & Risk, M. J. (2000). Biogeographic variation in coral
species diversity on coral reefs in three regions of Indonesia. Diversity and
Distributions, 6(3), 113–127. https://doi.org/10.1046/j.1472-
4642.2000.00076.x
Edmunds, P. J. (1991). Extent and effect of Black Band Disease on a Caribbean
reef. Coral Reefs, 10(3), 161–165. https://doi.org/10.1007/BF00572175
Estradivari, Setyawan, E., & Yusri, S. (2009). Terumbu Karang Jakarta. Jakarta:
Yayasan TERANGI.
Fahlevy, K., Khodijah, S., Prasetia, M. F., Idham, A., Yudha, F. K., Subhan, B., &
Madduppa, H. (2019). Live hard coral coverage and coral diseases distribution
in the Ujung Kulon National Park, Banten, Indonesia. AACL Bioflux, 12(4).
Fauziah, S., Komala, R., & Hadi, T. A. (2018). Struktur komunitas karang keras
(bangsa Scleractinia) di pulau yang berada di dalam dan di luar kawasan
Taman Nasional, Kepulauan Seribu. BIOMA, 14(1), 10–18.
https://doi.org/10.21009/Bioma14(1).6
Giyanto. (2013). Metode transek foto bawah air untuk Penilaian kondisi terumbu
karang. Oseana, XXXVIII(1), 47–61.
Giyanto, Abrar, M., Hadi, T. A., Budiyanto, A., Hafizt, M., Salatalohy, A., &
Iswari, M. yulia. (2017). Status terumbu karang di Indonesia 2017 (Suharsono,
Ed.). Jakarta: COREMAP-CTI Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI.
Giyanto, Manuputty, A. E., Abrar, M., Siringoringo, R. M., Suharti, S. R., Wibowo,
41
K., Anita, D. Z. (2014). Panduan monitoring kesehatan terumbu karang.
Jakarta: PT. Sarana Komunikasi Utama.
Haapkylä, J., Seymour, A. S., Trebilco, J., & Smith, D. (2007). Coral disease
prevalence and coral health in the Wakatobi Marine Park, south-east Sulawesi,
Indonesia. Marine Biological Association, 87(April), 403–414.
https://doi.org/10.1017/S0025315407055828
Hadi, T. A., Giyanto, Prayudha, B., Hafizt, M., Budiyanto, A., & Suharsono.
(2018). Status terumbu karang Indonesia 2018. Jakarta: Pusat Penelitian
Oseanografi – LIPI.
Hamdani, B. (2014). Laju Infeksi, Prevalensi, dan Insiden Penyakit Karang Black
Band Disease Pada Karang Keras (Scleractinia) Di Perairan Pulau
Barranglompo (Skripsi). Universitas Hasanuddin.
Harvell, C. D. (2007). Coral Disease Environmental Drivers, and The Balance
Between Coral and Microbial Associates. Oceanography, 20(1), 36–59.
Hetherington, J., Leous, J., Anziano, J., Brockett, D., Cherson, A., Dean, E., …
Reilly, K. (2005). The marine debris research, prevention and reduction act: a
policy analysis. The Marine Debris Team, …, (January 2005), 40.
https://doi.org/10.13140/RG.2.2.26619.54562
Iqbal, M. (2013). Aplikasi SIG Untuk Kesesuaian Wilayah Wisata Snorkeling dan
Scuba Diving di Pulau Air dan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu
(Skripsi). Institut Pertanian Bogor.
Johan, O. (2010). Penyebab, dampak, dan manajemen penyakit karang di ekosistem
terumbu karang. Media Akuakultur, 5(2), 144–152.
Johan, O. (2013). Epidemiologi penyakit karang sabuk hitam (black band disease)
di Kepulauan Seribu, Jakarta. Institut Pertanian Bogor.
Johan, O., Kristanto, A. H., Haryadi, J., & Radiarta, I. N. (2014). Puncak prevalensi
penyakit karang jenis sabuk hitam (black band disease) di Kepulauan Seribu,
Jakarta. Jurnal Riset Akuakultur, 9(November 2011), 307–317.
Jompa, J., & Mccook, L. J. (2002). The effects of nutrients and herbivory on
competition between a hard coral (Porites cylindrica) and a brown alga
(Lobophora variegata). American Society of Limnology and Oceanography,
47(2), 527–534.
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. (2005). Sebaiknya Anda tahu: Data
Kabupaten administrasi Kepulauan Seribu. Jakarta: Bagian Humas dan
Protokol, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
LAPI-ITB. (2001). Laporan Akhir Pengelolaan Laut Lestari: Pendataan dan
Pemetaan Potensi Sumberdaya Alam Kepulauan Seribu dan Pesisir Teluk
Jakarta. Jakarta: LAPI-ITB.
Lardizabal, S. (2007). Beyond the refugiu: a makroalgal primer. Reefkeeping
Magazine, 5(12).
Latuconsina, H. (2019). Ekologi perairan tropis: prinsip dasar pengelolaan sumber
daya hayati perairan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
42
Le Tissier, M. D. A. A., & Brown, B. E. (1996). Dynamics of solar bleaching in the
intertidal reef coral Goniastrea aspera at Ko Phuket, Thailand. Marine Ecology
Progress Series, 136(1–3), 235–244. https://doi.org/10.3354/meps136235
Mansur, W., Kamal, M. M., & Krisanti, M. (2013). Estimation of organic waste and
waters carrying capacity in relation to coral reefs management on Semak Daun
Island Thousand Islands. Depik, 2(3), 141–153.
Menteri Lingkungan Hidup. (2001). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang : kriteria baku kerusakan terumbu karang. (4), Nomor 51.
Nybakken, J. W. (1998). Biologi laut: suatu pendekatan ekologi. Jakarta:
PT.Gramedia.
Odum, E. P. (1993). Dasar-dasar ekologi (edisi keti). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Paramitha, A., Utomo, B., & Desrita. (2013). Study of chlorophyll-a around sea of
Belawan, North Sumatera. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, 106–119.
Purnomo, T., Hariyadi, S., & Yonvitner. (2013). Study the potential of shallow
water for increasing marine tourism and utilization imfact to local people (case
study semak daun island as support area tourism activity pramuka island of
Kepulauan Seribu Administration Regency) Triyadi. Depik, 2(3), 172–183.
Putri, L. S. E., Hidayat, A. F., & Sukandar, P. (2012). Diversity of coral reefs in
Badul Island Waters, Ujung Kulon, Indonesia. Journal of Biological Sciences,
1(3), 59. Retrieved from www.isca.in
Putri, Lily Surayya E, & Kristiyanto. (2018). Role of government and private sector
in marine ecotourism related to conservation of biodiversity in Seribu Islands.
International Journal of GEOMATE, 14(43), 140–147.
https://doi.org/10.21660/2018.43.3698
Rachmawati, R. (2001). Terumbu Buatan (Artificial Reef). Pusat Riset Teknologi
Kelautan Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia.
Raymundo, L. J., Couch, C. S., Bruckner, A. W., & Harvell, C. D. (2008). Coral
disease handbook. Melbourne: Coral Reef Targeted Research and Capacity
Building for Management Program.
Raymundo, L. J., Rosell, K. B., Reboton, C. T., & Kaczmarsky, L. (2005). Coral
diseases on Philippine reefs: genus Porites is a dominant host. Disease of
Aquatic Organisms, 64, 181–191.
Reid, C., Marshall, J., Logan, D., & Kleine, D. (2011). Terumbu karang dan
perubahan iklim: Panduan pendidikan dan pembangunan kesadartahuan.
Brisbane: Coral Watch The University of Queensland.
Riska, Tasak, A. R., Lalang, Kamur, S., Wahab, I., & Maharani. (2019).
Identification of coral reef diseases and health disruption in the waters of
Langgapulu Village, Konawe Selatan, Southeast Sulawesi. Ilmu Kelautan,
1(2), 63–74.
43
Riznawati, A. E. (2015). Prevalensi white syndrome padakarang masif di perairan
pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Paiton, Probolinggo (Tesis). Institut
Teknologi Sepuluh Nopember.
Rogers, C. S. (1990). Responses of coral reefs and reef organisms to sedimentation.
Marine Ecology Progress Series, 62, 185–202.
Rotjan, R. D., & Lewis, S. M. (2008). Impact of coral predators on tropical reefs.
Marine Ecology Progress Series, 367, 73–91.
https://doi.org/10.3354/meps07531
Santoso, A. D. (2010). Kondisi terumbu karang di pulau karang congkak kepulauan
seribu. Jurnal Hidrosfir Indonesia, 5(2), 73–78.
Santoso, A. D., & Kardono. (2008). Teknologi konservasi dan rehabilitasi terumbu
karang. Teknologi Lingkungan, 9(3), 121–226. Retrieved from
http://ejurnal.bppt.go.id/index.php/JTL/article/view/465/366
Soemarwoto, O. (1985). Ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan. Jakarta:
Djambatan.
Stimson, J., & Kinzie, R. A. (1991). The temporal pattern and rate of release of
zooxanthellae from the reef coral Pocillopora damicornis (Linnaeus) under
nitrogen-enrichment and control conditions. Journal of Experimental Marine
Biology and Ecology, 153(1), 63–74. https://doi.org/10.1016/S0022-
0981(05)80006-1
Suharsono. (2008). Jenis-jenis karang Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
Suharsono, S., Tuti, M. I. Y., Giyanto, & Manogar, R. (2010). Pengaruh kekeruhan
terhadap ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu. Jakarta: LIPI.
Supriharyono. (2000). Pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam di wilayah
pesisir tropis. Jakarta: Djambatan.
Supriharyono. (2007). Pengelolaan ekosistem terumbu karang. Jakarta: Djambatan.
Suryanti, Supriharyono, & Roslinawati, Y. (2011). The depth influence to the
morphology and abundance of corals at Cemara Kecil Island, Karimunjawa
National Park. Jurnal Saintek Perikanan, 7(1), 63–69.
Sutherland, K. P., Porter, J. W., & Torres, C. (2004). Disease and immunity in
Caribbean and Indo-Pacific zooxanthellate corals. Marine Ecology Progress
Series, 266(Table 1), 273–302. https://doi.org/10.3354/meps266273
Syam, A. R., & Mujiyanto. (2011). Populasi ikan karang dan biota penempel di
sekitar terumbu buatan perairan Pulau Kotok kecil dan Pulau Harapan,
Kepulauan Seribu. Prosiding Forum Nasional Pemacuan Sumber Daya Ikan
III, 1–14.
Tambunan, J. M., Anggoro, S., & Purnaweni, H. (2013). Kajian kualitas lingkungan
dan kesesuaian wisata Pantai Tanjung Pesona Kabupaten Bangka. Prosiding
Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, 356–362.
Tanzil, M. A. (2018). Tutupan karang di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu dan
kaitannya dengan kepadatan Acanthaster planci (Skripsi). UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
44
Thamrin. (2006). Karang: Biologi reproduksi dan ekologi. Pekanbaru: Mandiri
Press.
Utami, P. (2018). Kondisi karang hidup ditinjau dari kepadatan Acanthaster planci
L. dan hubungannya dengan aspek antropogenik di perairan Pulau Panggang,
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (Skripsi). UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Weber, M., Beer, D. De, Lott, C., Polerecky, L., Kohls, K., Abed, R. M. M., …
Fabricius, K. E. (2012). Mechanisms of damage to corals exposed to
sedimentation. Proceedings of the National Academy of Sciences, (May), 1–
10. https://doi.org/10.1073/pnas.1100715109
Yamashiro, H. (2004). Coral disease. Ministry of the Environment of Japan: The
Japanese Coral Reef Society.
Yee, R. W. Y., Yeung, A. C. L., & Cheng, T. C. E. (2008). The impact of employee
satisfaction on quality and profitability in high-contact service industries.
Journal of Operations Management, 26(5), 651–668.
https://doi.org/10.1016/j.jom.2008.01.001
Yulianda, F., Samosir, A., Fachrudin, A., Adimu, H. E., Febryane, A., & Muhidin.
(2017). Daya dukung lingkungan di Taman Nasional Kepulauan Seribu.
Bogor: Direktorat PJLHK.
Zikrillah, R. B. (2016). Kondisi Ekosistem Terumbu Karang pada Zona yang
Berbeda di Kepulauan Seribu (Skripsi). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
45
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pengambilan data dan identifikasi menggunakan perangkat lunak
CPCe 4.1
46
Lampiran 2. Penyakit dan gangguan kesehatan pada yang yang ditemukan di stasiun
penelitian
Keterangan:
a. Black band disease
b. White syndrome
c. Bleaching
d. Predation (fish bite)
e. Growth anomalies
f. Growth anomalies (Invertebrate gall)
a b c
d e f
47
Lampiran 3. Data pada stasiun Pulau Air
a. Tutupan substrat
CATEGORIES # Points %
Coral
Acropora branching (ACB) 78 7,44
Acropora digitate (ACD) 0 0,00
Acropora encrusting (ACE) 4 0,38
Acropora submassive (ACS) 0 0,00
Acropora tabular (ACT) 54 5,15
Coral (general) (CORAL) 0 0,00
Coral branching (CB) 1 0,10
Coral encrusting (CE) 14 1,33
Coral foliose (CF) 155 14,78
Coral heliopora (CHL) 0 0,00
Coral juvenile (CORJU) 0 0,00
Coral massive (CM) 144 13,73
Coral millepora (CME) 9 0,86
Coral mushroom (CMR) 3 0,29
Coral submassive (CS) 136 12,96
Non-Coral
Non-Coral (NC) 0 0,00
Dead coral
Dead coral with algae (DCA) 38 3,62
Diseased coral (DCOR) 1 0,10
Old dead coral (ODC) 18 1,72
Recently dead coral (RDC) 0 0,00
Other biota
Ascidians, anemones, gorgonians, giant clams, etc
(OT) 7 0,67
soft corals (SC) 0 0,00
sponges (SP) 0 0,00
Algae
Halimeda (HA) 0 0,00
Padina sp. (PA) 9 0,86
algal assemblage (AA) 124 11,82
coraline algae (CA) 0 0,00
macroalgae (MA) 0 0,00
turf algae (TA) 30 2,86
Abiotik
rock (RCK) 12 1,14
rubble (R) 143 13,63
sand (S) 69 6,58
silt (SI) 0 0,00
Tape, wand, shadow
shadow (SH) 0 0,00
48
tape (TAPE) 0 0,00
wand (WAND) 1 0,10
Total pts. minus (tape+wand+shadow): 1049,00 100,00
b. Penyakit dan gangguan kesehatan
No. Penyakit dan gangguan kesehatan Koloni terinfeksi
1. Sedimentation Damage 44
2. Growth Anomalieses 1
3. WS 1
4. Bleaching 12
5. Predasi 4
6. Pigmentatin Response 7
7. UWS 1
Total 70
c. Genus yang ditemukan
Genus Sehat Sakit
Porites 58 17
Acropora 40 2
Montipora 134 17
Favia 10 2
Fungia 8 2
Alveopora 6 1
Pocillopora 7 0
Favites 18 4
Pachyseris 1 1
Pavona 2 0
Echinopora 3 1
Leptasrea 0 1
Platigyra 4 1
Goniastra 14 9
Acanthastrea 0 1
Cypastrea 7 7
Symphillia 3 1
Litophyllon 3 0
Barabattoia 3 1
Total 321 68
389
49
Lampiran 4. Data pada stasiun Pulau Semak daun
a. Tutupan substrat
CATEGORIES # Points %
Coral
Acropora branching (ACB) 22 2,10
Acropora digitate (ACD) 4 0,38
Acropora encrusting (ACE) 0 0,00
Acropora submassive (ACS) 1 0,10
Acropora tabular (ACT) 0 0,00
Coral (general) (CORAL) 0 0,00
Coral branching (CB) 9 0,86
Coral encrusting (CE) 16 1,52
Coral foliose (CF) 30 2,86
Coral heliopora (CHL) 0 0,00
Coral juvenile (CORJU) 0 0,00
Coral massive (CM) 230 21,90
Coral millepora (CME) 5 0,48
Coral mushroom (CMR) 9 0,86
Coral submassive (CS) 54 5,14
Non-Coral
Non-Coral (NC) 0 0,00
Dead coral
Dead coral with algae (DCA) 18 1,71
Diseased coral (DCOR) 0 0,00
Old dead coral (ODC) 6 0,57
Recently dead coral (RDC) 0 0,00
Other biota
Ascidians, anemones, gorgonians, giant clams, etc
(OT) 3 0,29
soft corals (SC) 0 0,00
sponges (SP) 0 0,00
Algae
Halimeda (HA) 0 0,00
Padina sp. (PA) 49 4,67
algal assemblage (AA) 187 17,81
coraline algae (CA) 0 0,00
macroalgae (MA) 0 0,00
turf algae (TA) 101 9,62
Abiotik
rock (RCK) 0 0,00
rubble (R) 260 24,76
sand (S) 46 4,38
50
silt (SI) 0 0,00
Tape, wand, shadow
shadow (SH) 0 0,00
tape (TAPE) 0 0,00
wand (WAND) 0 0,00
Total pts. minus (tape+wand+shadow): 1050,00 100,00
b. Penyakit dan gangguan kesehatan
No. Penyakit dan gangguan kesehatan Koloni terinfeksi
1. Sedimentation Damage 14
2. Bleaching 9
3. Predasi 10
4. Pigmentatin Response 8
5. UWS 1
Total 42
c. Genus yang ditemukan
Genus Sehat Sakit
Porites 92 22
Acropora 29 0
Montipora 33 1
Favia 27 3
Fungia 23 8
Alveopora 2 2
Pocillopora 1 0
Favites 10 0
Pachyseris 1 1
Seriatopora 1 0
Milepora 5 0
Echinopora 2 0
Platigyra 3 0
Goniastra 18 2
Diploastrea 3 0
Cypastrea 4 3
Symphillia 1 1
Ctenactis 255 43
510 86
596
51
Lampiran 5. Data pada stasiun Pulau Karang beras
a. Tutupan substrat
CATEGORIES # Points %
Coral
Acropora branching (ACB) 248 23,78
Acropora digitate (ACD) 0 0,00
Acropora encrusting (ACE) 72 6,90
Acropora submassive (ACS) 0 0,00
Acropora tabular (ACT) 5 0,48
Coral (general) (CORAL) 0 0,00
Coral branching (CB) 60 5,75
Coral encrusting (CE) 1 0,10
Coral foliose (CF) 293 28,09
Coral heliopora (CHL) 0 0,00
Coral juvenile (CORJU) 0 0,00
Coral massive (CM) 34 3,26
Coral millepora (CME) 11 1,05
Coral mushroom (CMR) 2 0,19
Coral submassive (CS) 24 2,30
Non-Coral
Non-Coral (NC) 0 0,00
Dead coral
Dead coral with algae (DCA) 18 1,73
Diseased coral (DCOR) 0 0,00
Old dead coral (ODC) 41 3,93
Recently dead coral (RDC) 0 0,00
Other biota
Ascidians, anemones, gorgonians, giant clams, etc
(OT) 0 0,00
soft corals (SC) 0 0,00
Algae
Halimeda (HA) 0 0,00
Padina sp. (PA) 1 0,10
algal assemblage (AA) 39 3,74
turf algae (TA) 3 0,29
Abiotik
rock (RCK) 7 0,67
rubble (R) 146 14,00
sand (S) 38 3,64
Tape, wand, shadow
shadow (SH) 0 0,00
52
tape (TAPE) 7 0,67
wand (WAND) 0 0,00
Total pts. minus (tape+wand+shadow): 1043,00 100,00
b. Penyakit dan gangguan kesehatan
No. Penyakit dan gangguan kesehatan Koloni terinfeksi
1. Sedimentation Damage 11
2. White Syndromee 1
3. Predasi 2
4. Pigmentatin Response 1
5. UWS 1
6. Bleaching 13
7. Black Band Disease 1
Total 30
c. Genus yang ditemukan
Genus Sehat Sakit
Porites 22 2
Acropora 64 3
Montipora 99 6
Favia 1 0
Fungia 45 11
Alveopora 2 0
Favites 5 1
Pachyseris 4 0
Seriatopora 61 1
Milepora 2 0
Echinopora 6 1
Platigyra 1 1
Physoghyra 1 0
Goniastra 4 3
Acanthastrea 1 0
Cypastrea 0 1
Symphillia 1 0
Pavona 1 0
Ctenactis 0 1
Total 320 31
351
53
Lampiran 6. Data pada stasiun Pulau Kotok besar
a. Tutupan substrat
CATEGORIES # Points %
Coral
Acropora branching (ACB) 76 7,25
Acropora digitate (ACD) 0 0,00
Acropora encrusting (ACE) 15 1,43
Acropora submassive (ACS) 20 1,91
Acropora tabular (ACT) 14 1,34
Coral (general) (CORAL) 0 0,00
Coral branching (CB) 5 0,48
Coral encrusting (CE) 117 11,16
Coral foliose (CF) 19 1,81
Coral heliopora (CHL) 0 0,00
Coral juvenile (CORJU) 0 0,00
Coral massive (CM) 38 3,63
Coral millepora (CME) 0 0,00
Coral mushroom (CMR) 4 0,38
Coral submassive (CS) 268 25,57
Coral tubipora (CTU) 0 0,00
Non-Coral
Non-Coral (NC) 0 0,00
Dead coral
Dead coral with algae (DCA) 139 13,26
Diseased coral (DCOR) 0 0,00
Old dead coral (ODC) 14 1,34
Recently dead coral (RDC) 0 0,00
Other biota
Ascidians, anemones, gorgonians, giant clams, etc
(OT) 18 1,72
soft corals (SC) 4 0,38
sponges (SP) 0 0,00
zoanthids (ZO) 0 0,00
Algae
Halimeda (HA) 0 0,00
Padina sp. (PA) 8 0,76
algal assemblage (AA) 0 0,00
coraline algae (CA) 0 0,00
macroalgae (MA) 0 0,00
turf algae (TA) 44 4,20
Abiotik
rock (RCK) 0 0,00
54
rubble (R) 197 18,80
sand (S) 48 4,58
silt (SI) 0 0,00
Tape, wand, shadow
shadow (SH) 0 0,00
tape (TAPE) 2 0,19
wand (WAND) 0 0,00
Total pts. minus (tape+wand+shadow): 1048,00 100,00
b. Penyakit dan gangguan kesehatan
No. Penyakit dan gangguan kesehatan Koloni terinfeksi
1. Sedimentation Damage 36
2. Pigmentatin Response 10
3. UWS 1
4. Bleaching 11
5. Black Band Disease 1
Total 59
c. Genus yang ditemukan
Genus Sehat Sakit
Porites 104 15
Acropora 28 1
Montipora 94 11
Favia 3 0
Fungia 20 9
Alveopora 3 2
Favites 2 4
Pachyseris 0 0
Seriatopora 7 0
Milepora 2 0
Echinopora 7 2
Sandalolitha 2 0
Goniastra 7 2
Acanthastrea 2 1
Cypastrea 0 5
Ctenactis 5 0
286 52
338
55
Lampiran 7. Data pada stasiun Pulau Kotok kecil
a. Tutupan substrat
CATEGORIES # Points %
Coral
Acropora branching (ACB) 247 23,52
Acropora digitate (ACD) 0 0,00
Acropora encrusting (ACE) 0 0,00
Acropora submassive (ACS) 0 0,00
Acropora tabular (ACT) 24 2,29
Coral (general) (CORAL) 0 0,00
Coral branching (CB) 63 6,00
Coral encrusting (CE) 46 4,38
Coral foliose (CF) 195 18,57
Coral heliopora (CHL) 0 0,00
Coral juvenile (CORJU) 0 0,00
Coral massive (CM) 7 0,67
Coral millepora (CME) 32 3,05
Coral mushroom (CMR) 4 0,38
Coral submassive (CS) 151 14,38
Coral tubipora (CTU) 0 0,00
Non-Coral
Non-Coral (NC) 0 0,00
Dead coral
Dead coral with algae (DCA) 105 10,00
Diseased coral (DCOR) 0 0,00
Old dead coral (ODC) 0 0,00
Recently dead coral (RDC) 0 0,00
Other biota
Ascidians, anemones, gorgonians, giant clams, etc
(OT) 9 0,86
soft corals (SC) 0 0,00
sponges (SP) 0 0,00
zoanthids (ZO) 0 0,00
Algae
Halimeda (HA) 0 0,00
Padina sp. (PA) 3 0,29
algal assemblage (AA) 0 0,00
coraline algae (CA) 0 0,00
macroalgae (MA) 0 0,00
turf algae (TA) 123 11,71
Abiotik
rock (RCK) 13 1,24
56
rubble (R) 22 2,10
sand (S) 6 0,57
silt (SI) 0 0,00
Tape, wand, shadow
shadow (SH) 0 0,00
tape (TAPE) 0 0,00
wand (WAND) 0 0,00
Total pts. minus (tape+wand+shadow): 1050,00 100,00
b. Penyakit dan gangguan kesehatan
No. Penyakit dan gangguan kesehatan Koloni terinfeksi
1. Sedimentation Damage 14
2. Pigmentatin Response 1
3. Bleaching 11
Total 26
c. Genus yang ditemukan
Genus Sehat Sakit
Porites 32 1
Acropora 48 8
Montipora 52 5
Favia 0 1
Fungia 20 5
Alveopora 0 1
Pocillopora 0 0
Favites 0 0
Pachyseris 2 2
Seriatopora 26 0
Milepora 15 0
Echinopora 32 3
Sandalolitha 1 0
Goniastra 2 0
Cypastrea 1 0
Pavona 1 0
Ctenactis 2 1
Total 234 27
261
57
Lampiran 8. Data pada stasiun Pulau Karang congkak
a. Tutupan substrat
CATEGORIES # Points %
Coral
Acropora branching (ACB) 26 2,51
Acropora digitate (ACD) 0 0,00
Acropora encrusting (ACE) 0 0,00
Acropora submassive (ACS) 0 0,00
Acropora tabular (ACT) 0 0,00
Coral (general) (CORAL) 0 0,00
Coral branching (CB) 0 0,00
Coral encrusting (CE) 15 1,45
Coral foliose (CF) 2 0,19
Coral heliopora (CHL) 0 0,00
Coral juvenile (CORJU) 0 0,00
Coral massive (CM) 275 26,57
Coral millepora (CME) 10 0,97
Coral mushroom (CMR) 0 0,00
Coral submassive (CS) 119 11,50
Non-Coral
Non-Coral (NC) 0 0,00
Dead coral
Dead coral with algae (DCA) 47 4,54
Diseased coral (DCOR) 2 0,19
Old dead coral (ODC) 3 0,29
Recently dead coral (RDC) 0 0,00
Other biota
Ascidians, anemones, gorgonians, giant clams, etc
(OT) 11 1,06
soft corals (SC) 10 0,97
sponges (SP) 0 0,00
Algae
Halimeda (HA) 0 0,00
Padina sp. (PA) 79 7,63
algal assemblage (AA) 138 13,33
turf algae (TA) 39 3,77
Abiotik
rock (RCK) 0 0,00
rubble (R) 125 12,08
sand (S) 134 12,95
Tape, wand, shadow
shadow (SH) 14 1,33
58
tape (TAPE) 0 0,00
wand (WAND) 0 0,00
Total pts. minus (tape+wand+shadow): 1035,00 100,00
b. Penyakit dan gangguan kesehatan
No. Penyakit dan gangguan kesehatan Koloni terinfeksi
1. Sedimentation Damage 36
2. Growth Anomalies 1
3. Bleaching 7
4. Predasi 1
5. Pigmentatin Response 3
6. UWS 2
Total 50
c. Genus yang ditemukan
Genus Sehat Sakit
Porites 73 12
Acropora 26 0
Montipora 55 8
Favia 4 0
Fungia 6 3
Alveopora 5 1
Pocillopora 12 0
Favites 37 4
Pachyseris 5 3
Pavona 1 0
Milepora 2 0
Leptasrea 1 0
Platigyra 8 1
Sandalolitha 1 0
Goniastra 18 9
Acanthastrea 9 2
Cypastrea 11 11
Symphillia 8 1
Diploastrea 2 0
Barabattoia 1 0
285 55
340