prinsip subrogasi dalam perjanjian (polis) asuransi

81
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i i PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI KERUGIAN DITINJAU DARI HUKUM PERASURANSIAN DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Ayu Agustina Arini E0007091 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

Upload: dokhue

Post on 25-Jan-2017

265 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i

i

PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

KERUGIAN DITINJAU DARI HUKUM PERASURANSIAN DI

INDONESIA

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu

Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

Ayu Agustina Arini

E0007091

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

Page 2: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

KERUGIAN DITINJAU DARI HUKUM PERASURANSIAN DI

INDONESIA

Oleh

Ayu Agustina Arini

E0007091

Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, Juli 2011

Pembimbing,

Djuwityastuti, S.H., M.H.

NIP. 19540511 198003 2 001

Page 3: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

KERUGIAN DITINJAU DARI HUKUM PERASURANSIAN DI

INDONESIA

Oleh

Ayu Agustina Arini

E0007091

Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Tanggal : DEWAN PENGUJI

1. TUHANA, S.H., M.Si : Ketua

2. Pujiono, S.H., M.H. : Sekretaris

3. Djuwityastuti, S.H., M.H : Anggota

Mengetahui Dekan,

Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. NIP. 19570203 198503 2 001

Page 4: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

iv

PERNYATAAN

Nama : Ayu Agustina Arini NIM : E0007091 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

“Prinsip Subrogasi Dalam Perjanjian (Polis) Asuransi Kerugian Ditinjau

Dari Hukum Perasuransian Di Indonesia” adalah betul-betul karya sendiri.

Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda

citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti

pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik

berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari

penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Juli 2011

Yang membuat pernyataan,

Ayu Agustina Arini

NIM. E0007091

Page 5: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

v

ABSTRAK

Ayu Agustina Arini. E 0007091. 2011. PRINSIP SUBROGASI DALAM

PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI KERUGIAN DITINJAU DARI

HUKUM PERASURANSIAN DI INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret.

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah dalam perjanjian

asuransi kerugian terdapat prinsip subrogasi sebagaimana ditentukan hukum perasuransian di Indonesia, baik di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan juga Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian.

Penulisan ini merupakan penulisan hukum normatif bersifat preskriptif dengan pendekatan perundang-undangan. Penulisan hukum (skripsi) ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan teknik riset kepustakaan dan cyber media serta bahan pustaka. Teknik analisis yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah interpretasi dengan pola berpikir deduktif, yang berpangkal pada prinsip-prinsip dasar kemudian menghadirkan obyek yang ingin diteliti.

Berdasarkan hasil penulisan dan pembahasan dihasilkan beberapa simpulan, bahwa di dalam ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang telah termuat secara tegas mengenai ketentuan subrogasi. Ketentuan tersebut juga diperkuat di dalam Polis Standart Asuransi Kebakaran Indonesia yang dikeluarkan oleh PT Wahana Tata Tahun 2005 tepatnya di dalam Pasal 16 dan juga termuat di dalam Polis Standart Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia yang dikeluarkan oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) melalui Surat Keputusan Nomor 06 Tahun 2007 di dalam Pasal 22, yang mempunyai legitimasi hukum dimana proses pengalihan kedudukan dari tertanggung kepada penanggung atau yang disebut subrogasi hanya dapat terjadi apabila penanggung telah memberikan penggantian kerugian pada tertanggung.

Polis Standar Asuransi Kebakaran dan Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia masing-masing sudah mengakomodir konsep subrogasi dalam polisnya. Jadi bagi para pihak, baik pihak tertanggung maupun penanggung memiliki hak dan kewajiban masing-masing, baik untuk mengajukan klaim atau hak subrogasi yang diperoleh penanggung untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak ketiga. Kata Kunci : Asuransi Kerugian, Prinsip Subrogasi, Ganti Rugi

Page 6: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

vi

ABSTRACT

Ayu Agustina Arini. E 0007091. 2011. PRINCIPLE OF SUBROGATION IN LOSS INSURANCE (POLICY) AGREEMENT VIEWED FROM INSURANCE LAW IN INDONESIA. Faculty Of Law, Sebelas Maret University.

This research aims to determine whether the insurance contract there is the

principle of subrogation as provided insurance law in Indonesia, both in the Book of the Law of Commercial Law and Law No. 2 of 1992 on Insurance Business. This research is a normative law is prescriptive approach to legislation. This research uses primary, secondary and teritary legal materials. A technique to find the legal materials made with library research techniques, cyber media and also library materials research. The analysis technique used in this research is the interpretation of the pattern of deductive reasoning, which stem from the basic principles and then bring the object you want explained.

Based on the results of research and discussion of the resulting conclusion, that in the Book of the provisions of Article 284 of Commercial Law Act has contained provisions expressly concerning subrogation. Provisions are also strengthened in the Standard Fire Insurance Policy issued by PT Indonesian Forum for Tata in 2005 precisely in Article 16 and also contained in the Standard Automobile Insurance Policy issued by the Indonesian General Insurance Association of Indonesia (AAUI) through Decree No. 06 Year 2007 in its Article 22 which have legal legitimacy which the process of transferring the position of the insured to the insurer or the so-called subrogation can only occur if the insurer has provided indemnity to the insured.

The Standard Fire Insurance Policy and Standards Policy Automobile Insurance Indonesia each had to accommodate the concept of subrogation in the policy. So for the parties, both the insured and the insurer has the rights and obligations of each, either to file a claim or right of subrogation obtained by the insurer to sue for losses to third parties.

Keywords: Loss Insurance, Principles Subrogation, Indemnity

Page 7: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa

atas berkah, karunia, kesabaran, dan jalan kemudahan sehingga Penulis dapat

menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini guna melengkapi persyaratan untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta. Adapun judul dari penulisan hukum (skripsi) Penulis adalah “Prinsip

Subrogasi Dalam Perjanjian (Polis) Asuransi Kerugian Ditinjau Dari Hukum

Perasuransian Di Indonesia”. Dalam penulisan hukum (skripsi) ini, Penulis

telah berusaha sebaik mungkin namun karena keterbatasan yang dimiliki, Penulis

menyadari masih banyak kekurangan baik dari penyajian materi maupun

penyampaiannya. Untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran bagi berbagai

pihak guna memberikan masukan demi kesempurnaan penilisan hukum (skripsi)

ini. Dalam masa penulisan hukum (skripsi) ini Penulis menyadari sepenuhnya

bahwa Penulis banyak sekali menerima bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena

itu, dalam kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Ayah dan Ibu tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang dan doa serta

tidak henti-hentinya memberi semangat kepada Penulis ;

2. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret ;

3. Ibu Rahayu Subekti, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik

Penulis ;

4. Ibu Djuwityastuti, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing yang telah

bersedia dengan teliti dan sabar memberikan bimbingan dan pengarahan

dalam penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini, sehingga Penulis dapat

menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini ;

5. Seluruh Dosen dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta. Terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama Penulis

menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;

Page 8: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

viii

6. Sahabat-sahabatku “Amalia Taufani, Sri Wahyu Febrina Handarbeni, Yuni

Asih, Amelia Intiastuti dan Ardatila Intan Nabilla” yang selama ini telah

memberikan semangat, dukungan dan membantu Penulis dalam

menyelesaikan penelitian hukum (skripsi) ini ; dan

7. Semua teman-teman angkatan 2007 Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

Akhir kata, dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas

segala rahmat dan karuniaNya, Penulis berharap penulisan hukum (skripsi) ini

dapat bermanfaat baik bagi Penulis sendiri maupun bagi para pembaca dan dapat

digunakan untuk kemajuan bangsa dan negara.

Surakarta, Juli 2011

Penulis

Ayu Agustina Arini

Page 9: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .............................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .............................................. iii

HALAMAN PERNYATAAN ................................................................ iv

ABSTRAK .............................................................................................. v

ABSTRACT ............................................................................................ vi

KATA PENGANTAR ........................................................................... vii

DAFTAR ISI .......................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xi

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................... 5

C. Tujuan Penulisan Hukum (Skripsi) ............................................. 6

D. Manfaat Penulisan Hukum (Skripsi) ............................................ 6

E. Metode Penulisan Hukum (Skripsi) ............................................. 7

F. Sistematika Penulisan Hukum (Skripsi) ....................................... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori............................................................................. 15

1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ....................................... 15

a. Pengertian Perjanjian .......................................................... 15

b. Syarat Sahnya Perjanjian .................................................... 16

c. Unsur-Unsur Perjanjian ...................................................... 17

d. Prinsip-Prinsip Perjanjian ................................................... 18

e. Hapusnya Perjanjian ........................................................... 20

Page 10: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

x

2. Tinjauan Umum Tentang Asuransi ......................................... 21

a. Pengertian Asuransi ............................................................ 21

b. Risiko Dalam Asuransi Kerugian ....................................... 25

c. Subyek dan Obyek Asuransi ............................................... 28

d. Prinsip-Prinsip Dalam Perjanjian Asuransi ....................... 33

e. Polis Asuransi .................................................................... 38

f. Premi Asuransi ................................................................... 41

g. Berakhirnya Perjanjian Asuransi ....................................... 41

3. Tinjauan Umum Tentang Prinsip Subrogasi Dalam Hukum

Asuransi di Indonesia ............................................................. 42

a. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ................. 42

b. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ................. 43

c. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 .................. 45

B. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 47

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Prinsip Subrogasi Dalam Perjanjian (Polis) Asuransi

Kerugian ………………………………………………………49

B. Pengajuan Klaim Oleh Tertanggung Ketika Hak Klaim

Tidak Terpenuhi ................................................................. 60

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................... 73

B. Saran ............................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 76

LAMPIRAN ........................................................................................... 78

Page 11: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Berpikir ................................................................. 47

Page 12: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

xii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Contoh Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI) yang dikeluarkan oleh PT.

Wahana Tata Tahun 2005.

2. Contoh Polis Standar Kendaraan Bermotor Indonesia (PSKBI) yang

dikeluarkan oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia melalui Surat Keputusan

Nomor 06 Tahun 2005.

Page 13: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan merupakan suatu anugerah yang paling berharga dan bernilai

tinggi bagi setiap umat manusia. Namun tidak semua umat manusia menyadari

betapa pentingnya arti kehidupan. Seringkali setiap keputusan yang diambil oleh

manusia membahayakan keselamatannya dan juga selalu mengandung sebuah

risiko. ”Risiko adalah kemungkinan kerugian yang akan dialami, yang diakibatkan

oleh bahaya yang mungkin terjadi, tetapi tidak diketahui lebih dahulu apakah akan

terjadi dan kapan akan terjadi” (Radiks Purba, 1992 : 29).

Risiko-risiko tersebut bersifat tidak pasti, tidak diketahui apakah akan

terjadi dalam waktu dekat atau dikemudian hari, apabila risiko tersebut betul-betul

terjadi, tidak diketahui berapa kerugiannya secara ekonomis. Timbulnya risiko

tersebut membuat manusia dalam menjalani kegiatan dan aktifitasnya diliputi oleh

perasaan yang tidak nyaman. Suatu ketika seseorang mendengar kabar bahwa

rumahnya habis terbakar, kemudian ada yang mendengar bahwa mobilnya

mengalami kecelakaan dan rusak parah, serta ada juga sejumlah orang meninggal

dunia atau mengalami luka-luka akibat kecelakaan pada kendaraan bermotor,

pesawat udara maupun kapal laut yang mereka gunakan atau tumpangi. Kerugian

yang ditimbulkan dari risiko-risiko tersebut di atas mempunyai nilai ekonomis dan

financial yang tidak sedikit yang mungkin dapat mengakibatkan kebangkrutan dan

merugikan hajat hidup orang banyak.

Salah satu cara untuk mengatasi risiko tersebut adalah dengan cara

mengalihkan risiko (transfer of risk) kepada pihak lain di luar diri manusia. Pada

saat ini, pihak lain penerima risiko dan mampu mengelola risiko tersebut adalah

perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi menyediakan berbagai produk asuransi

sesuai dengan kebutuhan manusia karena asuransi merupakan salah satu hasil

peradaban manusia dan merupakan hasil evaluasi kebutuhan manusia yang sangat

Page 14: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

hakiki akan rasa aman dan terlindungi, terhadap kemungkinan menderita dari

segala macam jenis kerugian.

Asuransi sebagai lembaga keuangan bukan bank semakin mendapat

tempat di tengah-tengah masyarakat kita, baik dilihat dari sisi pengusaha maupun

dari sisi kebutuhan masyarakat, bahkan hampir dalam seluruh hal mereka harus

berurusan dengan pertanggungan. Namun, pengalihan risiko kepada perusahaan

asuransi tidak terjadi begitu saja tanpa kewajiban apa-apa kepada pihak yang

mengalihkan risiko. Hal tersebut harus diperjanjikan terlebih dahulu dengan apa

yang disebut perjanjian asuransi. Dalam perjanjian asuransi pihak yang

mengalihkan risiko disebut sebagai tertanggung dan pihak yang menerima

pengalihan risiko disebut sebagai penanggung. Adanya perjanjian pertanggungan

ini membawa konsekuensi yaitu adanya hak dan kewajiban bagi para pihak.

Perjanjian akan berjalan dengan baik apabila para pihak melaksanakan hak

dan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama, dan

akan menimbulkan suatu permasalahan apabila terdapat salah satu pihak yang

ingkar janji atau tidak memenuhi isi dari perjanjian yang telah disepakati.

Perjanjian pertanggungan merupakan suatu perjanjian timbal balik yang

senilai, dimana kedua belah pihak masing-masing mempuyai kewajiban untuk

membayar premi yang besarnya telah ditentukan oleh penanggung. Penanggung

sendiri, mempunyai kewajiban untuk mengganti kerugian yang diderita oleh

tertanggung. Seperti tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pasal 1774 yang menyatakan bahwa : Suatu perjanjian untung-untungan adalah

suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak,

maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu.

Demikian adalah :

1. Perjanjian pertanggunggan;

2. Bunga cagak hidup; dan

3. Perjudian dan pertaruhan.

Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang dimaksud dengan

asuransi / pertanggungan adalah :

Perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan memperoleh premi, untuk

Page 15: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.

Peristiwa yang tidak pasti dalam pengertian asuransi tersebut di atas adalah

peristiwa terhadap mana asuransi diadakan, tidak dapat dipastikan terjadi dan

tidak diharapkan akan terjadi.

Pengertian asuransi dalam Pasal 1 angka 1 Undang–Undang Nomor 2

Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yaitu :

Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Jenis usaha asuransi berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1992 tentang Usaha Perasuransian terbagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu :

1. Usaha asuransi kerugian, yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko

atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak

ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti;

2. Usaha asuransi jiwa, yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang

dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan;

dan

3. Usaha reasuransi, yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap

risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan

Asuransi Jiwa.

Asuransi kerugian menganut beberapa prinsip asuransi yang terkait erat

satu dengan yang lainnya, yaitu prinsip indemnitas dan prinsip subrogasi, Dimana

prinsip subrogasi merupakan konsekuensi logis dari prinsip idemnitas

(keseimbangan). Prinsip indemnitas ini merupakan salah satu prinsip utama dalam

perjanjian asuransi, karena merupakan prinsip yang mendasari mekanisme kerja

dan memberi arah tujuan dari perjanjian asuransi itu sendiri (khusus untuk

asuransi kerugian). ”Perjanjian asuransi mempunyai tujuan utama dan spesifik

Page 16: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

ialah untuk memberi ganti kerugian kepada pihak tertanggung oleh pihak

penangung” (Sri Rejeki Hartono, 2001 : 98).

Obyek yang diasuransikan terkena musibah sehingga menimbulkan

kerugian, maka penanggung akan memberi ganti rugi untuk mengembalikan

posisi keuangan tertanggung setelah terjadi kerugian menjadi sama dengan sesaat

sebelum terjadi kerugian. Dengan demikian tertanggung tidak berhak memperoleh

ganti rugi lebih besar daripada kerugian yang diderita. Prinsip ini dapat dijumpai

pada awal pengaturan perjanjian asuransi, yaitu Pasal 246 Kitab Undang-Undang

Hukum Dagang : seorang tertanggung dengan memperoleh premi, untuk

memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau

kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena

suatu peristiwa yang tidak tentu.

Prinsip indemnity ini berkaitan prinsip subrogasi, dengan suatu keadaan

dimana kerugian yang dialami tertanggung merupakan akibat dari kesalahan pihak

ketiga (orang lain). Prinsip ini memberikan hak perwalian kepada penanggung

oleh tertanggung jika melibatkan pihak ketiga. Seperti diatur dalam Pasal 284

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang menyatakan bahwa :

Seseorang penanggung yang telah membayar ganti kerugian atas suatu benda yang dipertanggungkan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian tersebut, dan tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga tersebut.

Dapat ditarik sebuah kesimpulan, apabila tertanggung mengalami kerugian akibat

kelalaian atau kesalahan pihak ketiga, maka setelah memberikan ganti rugi kepada

tertanggung, akan mengganti kedudukan tertanggung dalam mengajukan tuntutan

kepada pihak ketiga tersebut. Karena dalam prinsip subrogasi mengedepankan

prinsip keseimbangan sehingga pihak tertanggung tidak akan menerima ganti rugi

ganda (Double Pay) dari pihak penanggung dan pihak ketiga serta bertujuan untuk

mencegah pihak ketiga melarikan diri dari tanggung jawab dengan sepenuhnya

menyerahkan tanggung jawab penggantian kepada pihak penanggung.

Dengan demikian, prinsip subrogasi yang telah tercantum dalam Pasal 284

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang merupakan suatu perlindungan yang

Page 17: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

diberikan oleh hukum kepada penanggung yaitu perusahaan asuransi dalam hal

melaksanakan perjanjian asuransi kerugian yang telah dilakukan dengan

tertanggung apabila terjadi evenement yang menimbulkan kerugian yang

disebabkan oleh pihak ketiga. Dalam hal kerugian yang diakibatkan oleh pihak

ketiga, maka munculah prinsip subrogasi yang memiliki kaitan hubungan yang

erat antara tertanggung, penanggung dan pihak ketiga dalam hal penggantian

kerugian yang diterima tertanggung.

Perusahaan asuransi sebagai sebuah perusahaan yang menerima peralihan

risiko ( transfer of risk ) akan memberikan ganti rugi untuk mengembalikan posisi

keuangan tertanggung setelah terjadi kerugian menjadi sama dengan sesaat

sebelum terjadi kerugian. Lain halnya ketika kerugian yang diakibatkan oleh

evenement atau peristiwa yang tidak pasti itu disebabkan oleh pihak ketiga,

penanggung tidak serta merta langsung memberikan penggantian kerugian.

Karena dalam evenement ini, terjadi campur tangan dari pihak ketiga baik secara

sengaja maupun tidak. Maka berlakulah prinsip subrogasi sesuai dengan keadaan

di atas, dengan terlebih dahulu menganalisis kemungkinan kerugian antara pihak-

pihak.

Berdasarkan uraian sebelumnya, Penulis hendak mengkaji prinsip

subrogasi dalam asuransi kerugian ditinjau dari hukum perasuransian di Indonesia

melalui sebuah penulisan hukum yang berjudul : PRINSIP SUBROGASI

DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI KERUGIAN DITINJAU

DARI HUKUM PERASURANSIAN DI INDONESIA.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka

dalam rencana penulisan hukum (skripsi) ini penulis merumuskan masalah yang

hendak diteliti sehingga dapat memudahkan penulis dalam mengumpulkan,

menyusun, menganalisa, dan megkaji data secara lebih rinci. Adapun pokok

permasalahan yang hendak dikaji dalam penulisan ini adalah :

1. Apakah prinsip subrogasi dalam hal perasuransian terdapat di dalam perjanjian

(polis) asuransi kerugian?

Page 18: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

2. Apa yang harus dilakukan oleh Tertanggung jika hak atas klaim tidak terpenuhi?

C. Tujuan Penulisan Hukum (Skripsi)

Suatu rencana penulisan hukum (skripsi) harus mempunyai tujuan yang

hendak dicapai dengan jelas. Tujuan penulisan hukum (skripsi) diperlukan untuk

memberikan arah dalam mencapai tujuan penulisan hukum (skripsi). Adapun

tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan hukum (skripsi) ini adalah sebagai

berikut :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui bagaimana prinsip subrogasi dalam perjanjian (polis)

asuransi kerugian ditinjau dari hukum Perasuransian di Indonesia; dan

b. Untuk mengetahui langkah-langkah apa yang dapat dilakukan oleh

Tertanggung ketika hak atas klaimnya tidak terpenuhi.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah pengetahuan Penulis di bidang hukum perdata

mengenai prinsip subrogasi dalam perjanjian (polis) asuransi

kerugian ditinjau dari hukum perasuransian di Indonesia;

b. Untuk melatih kemampuan Penulis dalam menerapkan teori ilmu

hukum, mengembangkan dan memperluas wacana pemikiran serta

pengetahuan yang didapat selama masa perkuliahan guna

menganalisis mengenai prinsip subrogasi dalam perjanjian (polis)

asuransi kerugian ditinjau dari hukum perasuransian di Indonesia;

dan

c. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar sarjana

dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penulisan Hukum (Skripsi)

Suatu penulisan hukum (skripsi) tentunya diharapkan dapat memberikan

manfaat bagi berbagai pihak. Adapun manfaat yang penulis harapkan dari

penulisan hukum (skripsi) ini yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Page 19: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

a. Hasil penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat bermanfaat dan

memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di

bidang Ilmu Hukum pada umumnya, dan Hukum Perdata pada

khususnya; dan

b. Hasil penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat memperkaya

referensi dan literatur kepustakaan tentang prinsip subrogasi dalam

perjanjian (polis) asuransi kerugian ditinjau dari hukum

perasuransian di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Melalui penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat

mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis,

sekaligus untuk mengembangkan kemampuan penulis dalam

menerapkan ilmu hukum yang diperoleh selama di bangku kuliah;

b. Melalui penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat membantu

memberikan pemahaman, memberikan tambahan masukan dan

pengetahuan kepada pihak-pihak terkait dengan masalah yang

sedang diteliti, dan juga kepada berbagai pihak yang berminat pada

permasalahan yang sama; dan

c. Melalui penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan pemikiran bagi berbagai pihak yang

terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, dalam upaya

pelaksanaan hukum asuransi di Indonesia.

E. Metode Penulisan Hukum (Skripsi)

Penulisan hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,

prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum

yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 35). Penulisan hukum digunakan

untuk mencari pemecahan masalah hukum atau isu hukum yang timbul. Penulisan

hukum merupakan suatu penulisan di dalam kerangka Know-How di dalam

hukum. “Hasil yang dicapai adalah untuk preskripsi dalam memecahkan masalah

yang dihadapi” (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 41).

Page 20: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

Adapun metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini dapat

dijelaskan sebagi berikut :

1. Jenis Penulisan

Berdasarkan penulisan dan rumusan masalah, penulisan ini dilakukan

termasuk dalam kategori penulisan hukum doktrinal atau penulisan hukum

kepustakaan (Doctrinal Research). Menurut Hutchinson dalam buku Peter

Mahmud Marzuki, Doctrinal Research adalah : “Research which provides a

systematic axposition of the rules governing a particular legal category, analyses

the relationship between rules, explain areas of difficulty, and perhaps predict

future development” ( Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 32).

Penulisan hukum doktrinal atau normatif, terdiri atas :

a. Penulisan pada ranah dogmatig hukum;

b. Penulisan pada ranah teori hukum; dan

c. Penulisan pada ranah filsafat hukum.

Jenis penulisan hukum normatif atau penulisan hukum dokrinal

(doctrinal research) yang digunakan penulis adalah penulisan pada ranah

dogmatig hukum, yaitu penulisan berdasarkan bahan-bahan hukum

(library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-

bahan hukum primer dan sekunder (Johnny Ibrahim, 2006 : 44).

Penulisan hukum normatif atau penulisan hukum dokrinal pada

dasarnya adalah penulisan terhadap bahan-bahan pustaka yang terdiri dari

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

Bahan-bahan hukum tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji,

kemudian ditarik kesimpulan.

2. Sifat Penulisan

Ilmu hukum mempunyai karateristik sebagai ilmu yang bersifat

preskriftif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 22). Dari hasil telaah

dapat dibuat opini atau pendapat hukum. Opini atau pendapat dikemukakan oleh

ahli hukum merupakan suatu preskripsi. Untuk dapat memberikan preskripsi

itulah guna praktik penulisan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 37).

Page 21: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

Berdasarkan definisi tersebut, penulis akan mencoba mengkaji tentang

prinsip subrogasi dalam asuransi kerugian ditinjau dari hukum perasuransian di

Indonesia.

3. Pendekatan Penulisan

Penulisan normatif dapat dilakukan dalam berbagi pendekatan. Dari

pendekatan itu yang akan diperoleh jawaban yang diharapkan atas permasalahan

hukum yang diajukan. Pendekatan yang dipakai dalam penulisan hukum yaitu :

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach);

b. Pendekatan kasus (case approach);

c. Pendekatan historis (historical approach);

d. Pendekatan perbandingan (comparative approach); dan

e. Pendekatan konseptual (conseptual approach) (Peter Mahmud Marzuki,

2006 : 93).

Penulisan hukum (skripsi) ini menggunakan pendekatan

perundang-undangan (statute approach). Pendekatan ini dilakukan dengan

menelaah semua peraturan perundang-undangan yang ada dan semua

regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang dikaji. Dalam

metode pendekatan perundang-undangan ini, penulis perlu memahami

hierarki dan prinsip-prinsip dalam peraturan perundang-undangan (Peter

Mahmud Marzuki, 2006 : 93).

Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang penulis

gunakan, antara lain :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;

3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian;

dan

4) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang

Penyelenggaraan Usaha Perasuransian Di Indonesia sebagaimana

telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999

Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992

trntang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.

Page 22: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

4. Jenis dan Sumber Data

Dalam buku Penulisan Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki, beliau

mengatakan bahwa pada dasarnya penulisan hukum tidak mengenal adanya

“Data”, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum. Dalam penulisan ini

bahan hukum yang penulis gunakan, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat dan

bersifat autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum

primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan

resmi, atau risalah di dalam pembuatan peraturan perundang-

undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer dalam

penulisan ini adalah :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;

3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha

Perasuransian; dan

4) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang

Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah

diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun

1999 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 73

Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu berupa publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki,

2006 : 41). Bahan hukum sekunder berupa data yang diperoleh secara

tidak langsung dari kepustakaan yaitu berupa buku-buku, dokumen-

dokumen,, jurnal hukum, artikel-artikel, internet dan sumber-sumber

lainnya yang memilki korelasi, khususnya yang berkaitan dengan

penulisan hukum penulis.

Page 23: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder berupa kamus hukum atau kamus bahasa Indonesia untuk

menjelaskan maksud atau pengertian istilah-istilah yang sulit untuk

diartikan.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam

penulisan ini adalah studi kepustakaan atau studi dokumen. Teknik ini merupakan

teknik pengumpulan data dengan mempelajari, membaca, dan mencatat buku-

buku, literatur, catatan-catatan, peraturan perundang-undangan, serta artikel-

artikel penting dari media internet yang erat kaitannya dengan pokok-pokok

masalah yang digunakan untuk menyusun penulisan hukum ini yang kemudian

dikategorikan menurut pengelompokan yang tepat.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk memperoleh hasil

penulisan menjadi laporan. Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini

adalah dengan metode silogisme dan interpretasi dengan menggunakan pola

berpikir deduktif. Pola berpikir deduktif yaitu berpangkal dari prinsip-prinsip

dasar, kemudian penulis tersebut menghadirkan objek yang hendak diteliti.

Sedangkan metode silogisme yang menggunakan pendekatan deduktif menurut

yang diajarkan Aristoteles yaitu berpangkal dari pengajuan premis mayor.

Kemudian diajukan premis minor, dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu

kesimpulan atau conclusion ( Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 46).

Penulisan tersebut telah memberikan sumbangan bagi pengembangan

ilmu dan praktek hukum. Interpretasi dibedakan menjadi interpretasi berdasarkan

kata undang-undang, interpretasi berdasarkan kehendak pembentuk undang-

undang, interpretasi sistematis, interpretasi histories, interpretasi teleologis,

interpretasi antisipatoris,dan interpretasi modern ( Peter Mahmud Marzuki, 2006 :

106-107).

Page 24: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

Adapun metode interpretasi yang digunakan dalam penulisan ini adalah :

a. Interpretasi Berdasarkan Undang-Undang

Interpretasi ini berdasarkan dari makna kata-kata yang terdapat

di dalam undang-undang. Intertpretasi ini dikenal dengan sebutan

interpretasi harafiah atau interpretasi literal atau plain meaning

yakni berdasarkan kata-kata yang tertuang dalam undang-undang.

Interpretasi ini akan dapat dilakukan apabila kata-kata yang di

gunakan dalam undang-undang itu singkat artinya tidak bertele-

tele, tajam, artinya akurat mengenai apa yang dimaksud dan tidak

mengandung sesuatu yang bersifat dubious atau makna ganda. Hal

itu sesuai dengan karakter undang-undang sebagai perintah atau

aturan ataupun larangan (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 108-112).

b. Interpretasi Sistematis

Interpretasi sistematis yaitu interpretasi dengan melihat kepada

hubungan di antara aturan dalam suatu undang-undang yang saling

bergantung. Di samping itu, harus dilihat pula bahwa hubungan itu

tidak bersifat teknis, melainkan juga harus dilihat prinsip yang

melandasinya. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah

undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satu pun

ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri

sendiri ( Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 111-112).

F. Sistematika Penulisan Hukum (Skripsi)

Penulisan dalam penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yaitu

pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup. Selain itu, ditambah

dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran. Adapun sistematika yang terperinci

adalah sebagai berikut :

Page 25: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis mengemukakan mengenai latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan,

manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika

penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis memaparkan sejumlah landasan teori

atau penjelasan secara teoritik dari para pakar dan doktrin

hukum berdasarkan literatur-literatur yang berhubungan

dengan permasalahan penulisan yang diangkat. Tinjauan

pustaka dibagi menjadi dua (2) yaitu :

1. Kerangka teori, yang berisikan tinjauan

mengenai Perjanjian, Asuransi, dan Prinsip

subrogasi dalam Hukum Perasuransian di

Indonesia; dan

2. Kerangka pemikiran, yang berisikan gambaran

alur berpikir dari penulis berupa konsep yang

akan dijabarkan dalam penulisan ini.

BAB III : PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis hendak menguraikan pembahasan dan

hasil perolehan dari penulisan yang dilakukan. Berdasarkan

rumusan masalah yang ada, maka dalam bab ini penulis

akan membahas mengenai prinsip subrogasi dalam

perjanjian ( polis ) asuransi kerugian ditinjau dari hukum

perasuransian di Indonesia.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan hasil

penulisan serta memberikan saran yang yang relevan

Page 26: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

dengan penulisan terhadap pihak-pihak yang terkait dengan

penulisan tersebut.

Page 27: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

a. Pengertian Perjanjian

Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. Sedeangkan

dalam bahasa Belanda, disebut dengan overeenkomst (perjanjian). Menurut

Kamus Umum Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau

dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang masing-masing berjanji

akan mentaati apa yang tersebut dipersetujuan itu.

Pengertian perjanjian itu sendiri diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “ Suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih

lainnya.”

Definisi perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata ini, memiliki beberapa kelemahan. Diantaranya definisi perbuatan

sangatlah luas, perbuatan yang seperti apa yang dapat disebut perjanjian.

Kemudian mengikatkan diri untuk berbuat apa dan bagaimana, tidak tercantum

secara jelas mengenai prestasi yang harus diperbuat ( Salim HS, 2003 : 25).

Menurut pendapat Sri Soedewi Masjehoen Sofwan, perjanjian adalah

perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap seorang lain atau lebih. Sedangkan menurut R. Wiryono Prodjodikoro

menyebutkan “Perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda

kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan

suatu hal, atau tidak melakukan suatu hal sedangkan pihak lain berhak menuntut

pelaksanaan janji itu” (www.tips-belajar-internet-blogspot.com/pengertian-

perjanjian.html).

Page 28: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

b. Syarat Sahnya Perjanjian

Adapun syarat sah perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata adalah :

1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan perjanjian.

Bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus

bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang

diadakan.

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Dalam Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan

orang-orang yang tidak cakap dalam melaksanakan suatu perjanjian

adalah orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di

bawah pengampuan, dan istri. Namun dalam perkembangannya,

seorang istri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang

diatur didalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan jo. SEMA Nomor 3 Tahun 1963.

3) Suatu pokok persoalan tertentu.

Suatu hal tertentu terkait dengan obyek perjanjian atau prestasi yang

wajib dipenuhi. Prestasi dalam perjanjian harus tertentu atau

sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Kejelasan objek perjanjian

sangat diperlukan dalam pemenuhan prestasi (hak dan kewajiban).

4) Suatu sebab yang tidak terlarang.

Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-

undang, kesusilaan, dan ketertiban umum ( Salim HS, 2003 : 33).

Keempat syarat sah perjanjian di atas digolongkan menjadi syarat

obyektif perjanjian dan syarat subyektif perjanjian. Jadi, syarat sah perjanjian

yaitu :

a) Syarat Subyektif

(1) Kesepakatan antara kedua belah pihak ;

(2) Kecakapan para pihak.

Kedua syarat di atas merupakan syarat subyektif

karena mengenai para pihak dan orang-orangnya/subjek

Page 29: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

yang mengadakan perjanjian. Apabila kedua syarat di

atas tidak dipenuhi, maka prjanjian dapat dibatalkan atau

dapat dilanjutkan, sesuai kesepaktan para pihak ( Munir

Fuady, 2001 : 34).

b) Syarat Obyektif

(1) Suatu hal tertentu; dan

(2) Suatu sebab yang halal.

Kedua syarat di atas merupakan syarat obyektif

karena berkaitan dengan obyek perjanjian. Apabila

kedua syarat di atas tidak dipenuhi, maka perjanjian

dianggap batal demi hukum, atau dapat dikatakan

perjanjian dianggap tidak pernah ada sebelumnya (

Munir Fuady, 2001 : 34).

c. Unsur-Unsur Perjanjian

Berdasarkan perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga

unsur dalam perjanjian, antara lain :

1) Unsur Esensialia (Essensial Unsure)

Unsur esensialia adalah unsur yang wajib ada dalam suatu

perjanjian, bahwa tanpa keberadaan unsur tersebut, maka perjanjian

yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak

dapat menjadi berbeda, akibatnya menjadi tidak sesuai dengan

kehendak para pihak.

2) Unsur Naturalia ( Natural Unsure)

Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu

perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti.

Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur esensialia jual

beli, pasti terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual

untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat

tersenbunyi.

3) Unsur Aksidentalia (Accidental Unsure)

Page 30: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu

perjanjian yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur

secara menyimpang oleh para pihak. Unsur aksidentalia merupakan

persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para

pihak. Misalnya dalam jual beli, unsur aksidentalia adalah ketentuan

mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau

dibeli.

d. Prinsip-Prinsip Perjanjian

Ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata diberikan berbagai prinsip-prinsip umum, yang merupakan

pedoman atau patokan, serta menjadi batasan dalam mengatur dan membentuk

perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang

berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya. Prinsip-prinsip

umum dalam perjanjian tersebut antara lain :

1) Prinsip Personalia

Prinsip ini diatur dalam ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, yang berbunyi “Pada umumnya tidak

seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta

ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan

tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang

dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek

hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya

sendiri.

2) Prinsip Kebebasan Berkontrak

Prinsip yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk

membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian

dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,

persyaratannya, dan menentukan bentuk perjanjian yang tertulis atau

tidak tertulis selama tidak bertentangan dengan ketentuan undang-

undang. Seperti tertera dalam ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “Suatu sebab

Page 31: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila

berlawanan dengan Kesusilaan baik atau Ketertiban umum.”

3) Prinsip Pacta Sunt Servanda

Prinsip ini adalah suatu perjanjian yang dibuat secara sah

mempunyai ikatan hukum yang penuh, yang diatur di dalam Pasal

1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang

menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.”

4) Prinsip Konsensualisme

Prinsip konsensualisme mempunyai pengertian bahwa suatu

perjanjian sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat,

tentunya selama syarat sah perjanjian lainnya sudah terpenuhi, jadi

dengan adanya kata sepakat, perjanjian tersebut pada prinsipnya

sudah mengikat dan sudah mempunyai akibat hukum sehingga mulai

saat itu juga sudah timbul hak dan kewajiban diantara para pihak (

Salim HS, 2003 : 9).

Prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum perjanjian itu

memperlihatkan bahwa sistem yang dianut pada Buku III Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata adalah sistem terbuka yang memberikan kebebasan seluas-

luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian sesuai dengan apa yang

dikehendaki, selama tidak bertentangan dan melanggar ketentuan undang-

undang, ketertiban umum serta kesusilaan. Dan perkembangan perjanjian dapat

mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin maju, dimana muncul

macam-macam perjanjian baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

e. Hapusnya Perjanjian

Menurut Salim HS, cara berakhirnya perjanjian, yaitu :

a) Jangka waktunya berakhir;

b) Dilaksanakan objek perjanjian;

c) Kesepakatan kedua belah pihak;

d) Pemutusan secara sepihak oleh salah satu pihak; dan

e) Adanya putusan pengadilan. (Salim HS, 2003 : 165).

Page 32: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

2. Tinjauan Umum Tentang Asuransi

a. Pengertian Asuransi

Asuransi dalam Bahasa Belanda disebut ”verzekering” atau juga berarti

pertanggungan. Secara yuridis, pengertian asuransi atau pertanggungan menurut

Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang adalah :

Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan diderita karena suatu peristiwa yang tak tertentu. Pengertian asuransi menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang

Hukum Dagang mendefinisikan mengenai asuransi kerugian, karena

secara historis ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang kebanyakan diambil dari asuransi laut, yang merupakan asuransi

kerugian yang paling lengkap peraturannya.

Dalam Jurnal Essentials and Legalities of an Insurance Contract

menyebutkan :

Insurance means the act of securing the payment of a sum of money in the event of loss or damage to property, life, a person etc., by regular payment of premiums. Insurance is a method of spreading over a large number of persons, a possible financial loss too serious to be conveniently borne by an individual. The aim of all insurance is to protect the owner from a variety of risks which he anticipates. The happening of the specified event must involve some loss to the assured or at least should expose him to adversity which is, in the law of insurance, called commonly the ‘risk’ (G. Gopalakrishna. 2008:6). Adapun terjemahan dalam bahasa Indonesia dari jurnal di atas

yaitu :

“Asuransi berarti tindakan mengamankan pembayaran jumlah uang dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan properti, kehidupan, dan lain-lain orang, dengan pembayaran premi berkala. Asuransi adalah sebuah metode untuk menyebarkan ke sejumlah besar orang, kerugian keuangan yang mungkin terlalu serius untuk bisa mudah ditanggung oleh individu. Tujuan dari semua asuransi adalah untuk melindungi pemilik dari berbagai risiko yang mengantisipasi. Terjadinya beberapa peristiwa tersebut berkaitan dengan beberapa kerugian atau setidaknya harus mengekspos dia

Page 33: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

dari kesulitan yang, dalam hukum asuransi, biasanya disebut dengan 'risiko'.”. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian, yang dimaksud dengan

asuransi atau pertanggungan adalah :

Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Dari definisi ini dapat ditentukan beberapa unsur penting dalam

pertanggungan, yaitu :

1) Ada pihak-pihak yaitu penanggung dan tertanggung jadi merupakan

perjanjian timbal balik;

2) Peralihan risiko dari tertanggung kepada penanggung;

3) Premi dari tertanggung kepada penanggung;

4) Peristiwa yang tidak tentu; dan

5) Ganti Kerugian (Abdulkadir Muhammad, 2002 : 28).

Asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian, maka

didalamnya paling sedikit terdapat dua pihak yang mengadakan

kesepakatan. Pihak yang satu adalah pihak yang mengalihkan risiko

kepada pihak lain, yang disebut dengan tertanggung. Sedangkan pihak

yang lain adalah pihak yang menerima risiko dari pihak tertanggung, yang

disebut dengan penanggung, yaitu perusahaan asuransi.

Perjanjian dalam asuransi merupakan perjanjian dengan ciri dan

sifat khusus, jika dibandingkan dengan perjanjian lainnya. Kekhususan

tersebut antara lain :

a) Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat aleatair

(aleatary), maksudnya ialah bahwa perjanjian ini merupakan

perjanjian, yang prestasi penanggung harus digantungkan pada

suatu peristiwa yang belum pasti, sedangkan prestasi tertanggung

Page 34: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

sudah pasti. Dan meskipun tertanggung sudah memenuhi

prestasinya dengan sempurna, pihak penanggung belum pasti

berprestasi dengan nyata;

b) Perjanjian asuransi adalah perjanjian bersyarat (conditional),

maksudnya adalah bahwa perjanjian ini merupakan suatu

perjanjian yang prestasi penanggung hanya akan terlaksana

apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian dipenuhi.

Pihak tertanggung pada suatu sisi tidak berjanji untuk memenuhi

syarat, tetapi ia tidak dapat memaksa penanggung melaksanakan,

kecuali dipenuhi syarat-syaratnya;

c) Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat pribadi

(personal), maksudnya ialah bahwa kerugian yang timbul harus

merupakan kerugian orang perorangan, secara pribadi, bukan

kerugian kolektif ataupun kerugian masyarakat luas. Kerugian

yang bersifat pribadi itulah yang nantinya akan diganti oleh

penanggung;

d) Perjanjian asuransi sebagai perjanjian sepihak, maksudnya dalam

perjanjian asuransi prinsipnya hanya ada satu pihak yang berjanji

akan mengganti kerugian yang dilakukan penanggung, yaitu jika

tertanggung sudah membayar premi dan sebaliknya penanggung

tidak berjanji apapun pada penanggung;

e) Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang melekat pada syarat

penanggung (adhesion), karena di dalam perjanjian asuransi pada

hakikatnya syarat dan kondisi perjanjian hampir seluruhnya

ditentukan diciptakan oleh penanggung / perusahaan asuransi

sendiri, dan bukan karena adanya kata sepakat yang murni atau

menawar. Oleh karena itu dapat dianggap bahwa kondisi

perjanjian asuransi sebagian besar ditentukan sepihak oleh

penanggung sehingga penanggung dianggap sebagai penyusun

perjanjian dan seharusnya mengetahui apabila timbul pengertian

yang tidak jelas, harus diuntungkan pihak tertanggung; dan

f) Perjanjian asuransi adalah perjanjian dengan syarat itikad baik

yang sempurna, maksudnya ialah bahwa perjanjian asuransi

merupakan perjanjian dengan keadaan kata sepakat dapat

Page 35: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

tercapai / negosiasi dengan posisi masing-masing mempunyai

pengetahuan yang sama mengenai fakta, dengan penilaian sama

penelaahannya untuk memperoleh fakta yang sama pula,

sehingga dapat bebas dari cacat-cacat tersembunyi ( Man

Suparman Sastrawidjaja, 2003 : 18 ).

Sifat kekhususan perjanjian asuransi juga nampak dari syarat

sahnya perjanjian asuransi. Syarat sah perjanjian asuransi, yaitu :

(1) Kesepakatan antara kedua belah pihak dalam :

(a) Benda yang menjadi obyek asuransi;

(b) Pengalihan risiko dan pembayaran premi;

(c) Evenement dan ganti kerugian;

(d) Syarat khusus asuransi; dan

(e) Dibuad secara tertulis.

(2) Kecakapan atau kewenangan melakukan perbuatan hukum.

Dibagi menjadi 2, yaitu :

(a) Kewenangan subyektif dimana pihak-pihak yang

melakukan perjanjian asuransi dewasa, sehat, dan

tidak berada dibawah pengampuan; dan

(b) Kewenangan obyektif dimana tertanggung

mempunyai hubungan yang sah dengan benda yang

dijadikan obyek asuransi.

(3) Obyek pertanggungan tertentu yang dapat berupa :

(a) Harta kekayaan;

(b) Kepentingan yang melekat pada diri tertanggung;

dan

(c) Jiwa manusia itu sendiri.

(d) Kausa yang halal, tidak bertentangan dengan

undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan ;

dan

(4) Pemberitahuan ( Notifications)

Dalam teori obyektifitas dimana tertanggung mempunyai

kewajiban memberitahukan (Notify) keadaan benda yang

dipertanggungkan kepada penanggung, apabila tertanggung

lalai memberitahukan maka perjanjian asuransi dinyatakan

Page 36: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

batal sebagai akibat hukumnya. Ketentuan ini tercantum

dalam Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (

Abdulkadir Muhammad, 2002 : 49 ).

Mengingat asuransi adalah perjanjian, maka ketentuan-

ketentuan perikatan dan perjanjian yang terdapat dalam buku

III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat berlaku bagi

perjanjian asuransi, selama ketentuan-ketentuan Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang tidak mengatur atau sebaliknya.

b. Risiko Dalam Asuransi Kerugian

Dalam asuransi, risiko sangat diperlukan untuk menganalisis berbagai

cara untuk memberikan perlindungan terhadap obyek pertanggungan. Definisi

atau pengertian risiko diartikan beragam oleh para ilmuwan. Hal ini merupakan

akibat luasnya ruang lingkup serta banyaknya segi-segi yang mempengaruhinya,

sehingga tergantung dari sudut pandang dan titik berat dari mana seseorang itu

melihat dan mengamati.

Pengertian risiko menurut Radiks Purba adalah: ”Kemungkinan kerugian

yang akan dialami, yang diakibatkan oleh bahaya yang mungkin terjadi tapi tidak

diketahui lebih dahulu apakah akan terjadi dan kapan akan terjadi ( Radiks Purba,

1992 : 29). Sedangkan Sri Rejeki Hartono, mengartikan risiko sebagai

ketidakpastian tentang terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa yang

menciptakan kerugian ( Sri Rejeki Hartono, 2001 : 58).

Mempelajari tentang asuransi, khususnya asuransi kerugian risiko cukup

dilihat sebagai ketidakpastian akan terjadinya kerugian atau peristiwa yang tidak

diharapkan terjadi. Dengan demikian setiap terjadi kejadian hanya perlu

memfokuskan pada dua hal pokok, yakni “Ketidakpastian” (uncertainty) dan

“Kerugian” (loss). Segala sesuatu yang dapat dipastikan akan terjadi, tidak dapat

disebut sebagai risiko. Misalnya, kematian. Kematian adalah suatu hal yang pasti

terjadi, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai risiko. Namun kapan matinya

seseorang adalah sesuatu hal yang tidak pasti sehingga dapat dikategorikan

sebagai risiko. Kriteria risiko dalam asuransi, diantaranya :

Page 37: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

1) Bahaya yang mengancam benda atau obyek asuransi;

2) Berasal dari factor ekonomi, alam, dan manusia;

3) Diklasifikasikan menjadi risiko pribadi, harta kekayaan, dan

tanggung jawab; dan

4) Hanya berpeluang menimbulkan kerugian ( Abdulkadir Muhammad,

2002 : 118).

Berdasarkan sifatnya risiko dibagi menjadi dua, yaitu : risiko murni

(pure risk) dan risiko spekulatif (speculative risk). Dalam risiko murni

kemungkinan yang akan timbul hanyalah dua hal yaitu adanya kerugian

(loss) atau tidak adanya kerugian (no loss). Sebagai contoh, ketika kita

berkendara menuju ke suatu tempat, kita menghadapi risiko kecelakaan

atau tidak terjadi kerugian apapun sampai di tujuan. Sedangkan dalam

risiko spekulatif, kemungkinan yang timbul tidak hanya kemungkinan

adanya kerugian atau tidak adanya kerugian, namun juga adanya

kemungkinan dapat menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak dan

menimbulkan kerugian bagi pihak lain ( Sri Rejeki Hartono, 2001 : 64).

Risiko berdasarkan obyek yang dikenai dapat dibagi menjadi 3

(tiga) yaitu :

a) Risiko perorangan atau pribadi (personal risk);

Risiko perorangan berhubungan dengan kematian atau

ketidakmampuan dari seseorang, dapat mengenai jiwa atau

kesehatan seseorang. Misalnya, kematian merupakan suatu hal

yang sudah pasti terjadi, akan tetapi mengenai kapan matinya

seseorang itu tidak dapat dipastikan. Seseorang juga pada suatu

dapat tidak mampu lagi bekerja karena kecelakaan.

b) Risiko harta kekayaan (property risk); dan

Risiko harta kekayaan dapat terjadi, karena suatu peristiwa

secara tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya. Misalnya, seseorang

konglomerta tiba-tiba saja mengalami musibah took-tokonya

terbakar, sehingga secara langsung took-toko miliknya musnah,

dan secara tidak langsung seseorang tersebut kehilangan

keuntungan akibat toko-tokonya terbakar.

Page 38: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

c) Risiko tanggung jawab (liability risk)

Risiko tanggung jawab berhubungan dengan kerugian yang

menimpa pihak ketiga akibat perbuatan seseorang. Misalnya

karena kelalaian seseorang dalam mengemudikan kendaraan

menimbulkan kecelakaan dan mengakibatkan kerugian kepada

pihak ketiga, maka sesorang tersebut bertanggung jawab untuk

mengganti kerugian ( Sri Rejeki Hartono, 2001 : 50 ).

Di dalam kenyataannya, ada beberapa usaha manusia untuk

mengatasi suatu risiko, yaitu:

(1) menghindari risiko (avoidance);

(2) mencegah risiko (prevention);

(3) mengalihkan risiko (transfer); dan

(4) menerima risiko (assumption or retention) (Sri

Rejeki Hartono, 2001 : 69).

Usaha untuk mengatasi risiko yang berhubungan

dengan asuransi adalah memperalihkan risiko. Adalah tidak

mungkin bagi para penanggung untuk menanggung segala

risiko. Risiko-risiko yang dapat dialihkan kepada

penanggung adalah risiko-risiko yang dapat diasuransikan

(insurable risk).

Karakteristik risiko-risiko yang dapat diasuransikan,

adalah :

(a) Risiko tersebut dapat menimbulkan kerugian

yang dapat dinilai dengan uang. Misalnya,

kerusakan harta benda dimana tingkat rugi

dapat diukur dari biaya perbaikannya;

(b) Kerugian tersebut timbul akibat bahaya atau

evenement;

(c) Risiko tersebut haruslah risiko murni,

sehingga usaha untuk mencari keuntungan

dari adanya kerugian dapat dicegah;

Page 39: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

(d) Tidak bertentangan dengan undang-undang,

ketertiban umum, dan kesusilaan; dan

(e) Tertanggung mempunyai Insurable Interest

tersendiri ( Abdulkadir Muhammad, 2002 :

119).

c. Subyek dan Obyek Asuransi

Subyek dalam perjanjian asuransi adalah pihak-pihak yang bertindak

aktif yang melaksanakan perjanjian itu, yaitu :

1) Pihak Tertanggung

Pengertian tertanggung secara umum adalah pihak yang

mengalihkan risiko kepada pihak lain dengan membayarkan

sejumlah premi. Berdasarkan Pasal 250 Kitab Undang-Undang

Hukum Dagang yang dapat bertindak sebagai tertanggung adalah :

Bilamana seseorang yang mempertanggungkan untuk diri sendiri, atau seseorang, untuk tanggungan siapa diadakan pertanggungan oleh seorang yang lain, pada waktu pertanggungan tidak mempunyai kepentingan atas benda tidak berkewajiban mengganti kerugian.

Berdasarkan Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang tersebut yang berhak bertindak sebagai tertanggung

adalah pihak yang mempunyai interest (kepentingan) terhadap

obyek yang dipertanggungkan. Apabila kepentingan tersebut

tidak ada, maka pihak penanggung tidak berkewajiban

memberikan ganti kerugian yang diderita pihak tertanggung.

Pasal 264 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menentukan,

selain mengadakan perjanjian asuransi untuk kepentingan diri

sendiri, juga diperbolehkan mengadakan perjanjian asuransi

untuk kepentingan pihak ketiga, baik berdasarkan pemberian

kuasa dari pihak ketiga itu sendiri ataupun di luar pengetahuan

pihak ketiga yang berkepentingan.

Page 40: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

Tertanggung dalam pelaksanaan perjanjian asuransi

mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan,

sehingga apabila terjadi peristiwa yang tidak diharapkan yang

terjamin kondisi polis maka penanggung dapat melaksanakan

kewajibannya. Hak-hak tertanggung adalah :

a) Menuntut agar polis ditandatangani oleh penanggung (Pasal

259 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang);

b) Menuntut agar polis segera diserahkan oleh penanggung

(Pasal 260 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang); dan

c) Meminta ganti kerugian ( Man Suparman Sastrawidjaja,

2003 : 20).

Sementara itu yang menjadi kewajiban tertanggung adalah :

a) Membayar premi kepada penanggung (Pasal 246 Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang);

b) Memberikan keterangan yang benar kepada penanggung

mengenai obyek yang diasuransikan (Pasal 251 Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang);

c) Mencegah atau mengusahakan agar peristiwa yang dapat

menimbulkan kerugian terhadap obyek yang diasuransikan

tidak terjadi atau dapat dihindari; apabila dapat dibuktikan

oleh penanggung, bahwa tertanggung tidak berusaha untuk

mencegah terjadinya peristiwa tersebut dapat menjadi salah

satu alasan bagi penanggung untuk menolak memberikan

ganti kerugian bahkan sebaliknya menuntut ganti kerugian

kepada tertanggung (Pasal 283 Kitab Undang-Undang

Hukum Dagang); dan

d) Memberitahukan kepada penanggung bahwa telah terjadi

peristiwa yang menimpa obyek yang diasuransikan, berikut

usaha–usaha pencegahannya ( Man Suparman Sastrawidjaja,

2003 : 21).

2) Pihak Penanggung

Pengertian penanggung secara umum, adalah pihak yang

menerima pengalihan risiko dimana dengan mendapat premi, berjanji

Page 41: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

akan mengganti kerugian atau membayar sejumlah uang yang telah

disetujui, jika terjadi peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya,

yang mengakibatkan kerugian bagi tertanggung. Dari pengertian

penanggung tersebut di atas, terdapat hak dan kewajiban yang

mengikat penanggung.

Hak-hak dari penanggung adalah :

a) Menerima premi dari tertanggung sesuai perjanjian;

b) Mendapatkan keterangan dari tertanggung berdasar prinsip

itikad baik (Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang);

c) Hak-hak lain sebagai imbalan dari kewajiban tertanggung;

d) Memiliki premi dan bahkan menuntutnya dalam hal

peristiwa yang diperjanjikan terjadi tetapi disebabkan oleh

kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang);

e) Memiliki premi yang sudah diterima dalam hal asuransi batal

atau gugur yang disebabkan oleh perbuatan curang dari

tertanggung (Pasal 282 Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang); dan

f) Melakukan asuransi kembali kepada penanggung yang lain,

dengan maksud untuk membagi risiko yang dihadapinya

(Pasal 271 Kitab Undang Undang Hukum Dagang) (Man

Suparman Sastrawidjaja, 2003 : 22).

Sedangkan kewajiban dari penanggung adalah :

a) Memberikan ganti kerugian atau memberikan sejumlah uang

kepada tertanggung apabila peristiwa yang diperjanjian

terjadi, kecuali jika terdapat hal yang dapat menjadi alasan

untuk membebaskan dari kewajiban tersebut;

b) Menandatangani dan menyerahkan polis kepada tertanggung

(Pasal 259, Pasal 260 Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang);

c) Mengembalikan premi kepada tertanggung jika asuransi

batal atau gugur, dengan syarat tertanggung belum

Page 42: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

menanggung risiko sebagian atau seluruhnya (premi

restorno, Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang);

dan

d) Dalam asuransi kebakaran, penanggung harus mengganti

biaya yang diperlukan untuk membangun kembali apabila

dalam asuransi tersebut diperjanjikan demikian (Pasal 289

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) ( Man Suparman

Sastrawidjaja, 2003 : 23).

Badan hukum penyelenggara perasuransian dalam Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian,

disebut perusahaan perasuransian. Kemudian jenis usaha

perasuransian seperti tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian tersebut

adalah :

(1) Perusahaan asuransi kerugian, yaitu perusahaan atau

usaha asuransi yang memberikan jasa dalam

penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan

manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga

yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti;

(2) Perusahaan asuransi jiwa, yaitu perusahaan atau usaha

asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan

risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya

seseorang yang dipertanggungkan; dan

(3) Perusahaan reasuransi, yaitu perusahaan atau usaha

asuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan

ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan

asuransi kerugian dan atau perusahaan asuransi jiwa.

3) Obyek Pertanggungan

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992

menyatakan bahwa : Obyek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan

raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua

kepentingan lainnya yang dapat hilang rusak, rugi, dan atau

berkurang nilainya.

Page 43: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

Sementara itu ketentuan dalam Pasal 268 Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang menyatakan bahwa : ”Pertanggungan

dapat berpokok semua kepentingan, yang dapat dinilai dengan

uang, diancam oleh suatu bahaya, dan oleh undang-undang

tidak terkecualikan.”

d. Prinsip-Prinsip dalam Perjanjian Asuransi

Suatu perjanjian asuransi tidak cukup hanya dipenuhi syarat umum

perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata saja, tetapi

harus pula memenuhi prinsip-prinsip khusus yang diatur dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang. Hal ini agar sistem perjanjian asuransi tersebut dapat

dipertahankan, karena suatu norma tanpa dilengkapi dengan prinsip tidak

mempunyai kekuatan mengikat. Prinsip-prinsip tersebut antara lain :

1) Prinsip Kepentingan Yang Dapat Diasuransikan (Principle of

Insurable Interest)

Prinsip ini dijabarkan dalam Pasal 250 Kitab Undang-Undang

Hukum Dagang yang menentukan bahwa :

Apabila seorang yang telah mengadakan pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seorang, yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi.

Kepentingan yang terdapat dalam Pasal 250 Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang harus memenuhi syarat yang diatur

dalam Pasal 268 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang di

mana kepentingan tersebut dapat dinilai dengan uang, dapat

diancam oleh suatu bahaya dan tidak dikecualikan oleh

undang-undang.

Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan dapat timbul

dari beberapa hal sebagai berikut :

Page 44: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

a) Adanya kepemilikan atas harta benda atau tanggung gugat

seseorang kepada orang lain dalam hal kelalaian;

b) Adanya kontrak. Menempatkan suatu pihak dalam suatu

hubungan yang diakui secara hukum dengan harta benda atau

tanggung jawab yang menjadi pokok perjanjian itu.

Misalnya, dalam perjanjian kontrak sewa bangunan,

perjanjian kredit; dan

c) Adanya undang-undang. Misalnya, di Indonesia terdapat

asuransi keselamatan kerja yang diatur dengan Jaminan

Sosial Tenaga Kerja.

2) Prinsip Indemnitas atau Prinsip Keseimbangan (Indemnity Principle)

Prinsip ini merupakan salah satu prinsip utama dalam perjanjian

asuransi, karena merupakan prinsip yang mendasari mekanisme kerja

dan memberi arah tujuan dari perjanjian asuransi itu sendiri (khusus

untuk asuransi kerugian). ”Perjanjian asuransi mempunyai tujuan

utama dan spesifik ialah untuk memberi ganti kerugian kepada pihak

tertanggung oleh pihak penangung” (Sri Rejeki Hartono, 2001 : 98).

Apabila obyek yang diasuransikan terkena musibah sehingga

menimbulkan kerugian, maka penanggung akan memberi ganti rugi

untuk mengembalikan posisi keuangan tertanggung setelah terjadi

kerugian menjadi sama dengan sesaat sebelum terjadi kerugian.

Dengan demikian tertanggung tidak berhak memperoleh ganti rugi

lebih besar daripada kerugian yang diderita.

3) Prinsip Itikad Baik (Utmost Good Faith Principle)

Prinsip itikad baik merupakan prinsip atau prinsip yang harus ada

dan dilaksanakan dalam setiap perjanjian. Hal ini ditegaskan dalam

Pasal 1388 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan

bahwa : “Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad

baik.” Penekanan terhadap berlakunya prinsip itikad terbaik dalam

perjanjian asuransi diatur secara tegas dalam Pasal 251 Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang yang menyatakan :

Page 45: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya, sehingga, seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak ditutup dengan syarat-syarat yang sama mengakibatkan batalnya perjanjian.

Hal untuk melaksanakan itikad baik bukan hanya

merupakan kewajiban tertanggung, namun juga menjadi

kewajiban penanggung. Pihak penanggung yaitu pihak

Asuransi tidak dibenarkan memberikan pernyataan atau

keterangan yang tidak benar pada saat merundingkan

penutupan asuransi; penanggung tidak dibenarkan

menyembunyikan fakta-fakta yang dapat merugikan posisi

tertanggung.

4) Prinsip Subrogasi atau Prinsip Perwalian (Subrogation Principle)

Prinsip Subrogasi pada dasarnya hanya dikenal dalam asuransi

kerugian bukan asuransi sejumlah uang. Karena di dalam asuransi

kerugian, bertujuan untuk mengganti kerugian yang timbul pada

harta kekayaan tertanggung yang disebabkan sebuah evenement yang

terjadi akibat campur tangan pihak ketiga. Sedangkan pada asuransi

sejumlah uang bertujuan untuk membayar sejumlah uang tertentu dan

tidak tergantung apakah evenement menimbulkan kerugian atau

tidak.

Prinsip ini berkaitan dengan suatu keadaan dimana kerugian

yang dialami tertanggung merupakan akibat dari kesalahan pihak

ketiga (orang lain). Prinsip ini memberikan hak perwalian kepada

penanggung oleh tertanggung jika melibatkan pihak ketiga. Prinsip

ini diatur dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

yang menyatakan bahwa :

Seseorang penanggung yang telah membayar ganti kerugian atas suatu benda yang dipertanggungkan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang

Page 46: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

diperolehnya terhadap pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian tersebut, dan tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga tersebut.

Dimana prinsip yang merupakan konsekuensi logis dari

prinsip idemnitas (keseimbangan).

5) Prinsip Kontribusi ( Contribution Principle)

“Prinsip kontribusi adalah hak penanggung untuk mengajak

penanggung lainnya yang sama-sama menanggung, tetapi tidak

harus sama kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut

memberikan indemnity”, dikutip dari

(http://id.wikipedia.org/wiki/asuransi).

Menurut Man Suparman, apabila dalam suatu polis

ditandatangani oleh beberapa penanggung, maka masing-masing

penanggung itu menurut imbangan dari jumlah mereka

menandatangani polis, memikul hanya harga yang sebenarnya dari

kerugian itu yang diderita oleh tertanggung.

Prinsip kontribusi ini terjadi apabila ada asuransi berganda

(double insurance) sebagai dimaksud dalam Pasal 278 Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang : Bila pada satu polis saja,

meskipun pada hari yang berlainan oleh berbagai penanggung

dipertanggungkan lebih dari nilainya, mereka bersama-sama menurut

perimbangan jumlah yang mereka tanda tangani, hanya memikul

nilai sebenarnya yang dipertanggungkan

Ketentuan ini juga berlaku bila pada hari yang sama,

terhadap satu benda yang sama diadakan berbagai

pertanggungan (Pasal 278 Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang).

Page 47: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

6) Prinsip Sebab Akibat (Causalitiet Principle)

Menurut definisi asuransi yang diatur dalam Pasal 246 Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang, pihak penanggung hanya akan

wajib membayar ganti rugi, apabila kerugian atau kerusakan itu

disebabkan oleh suatu peristiwa yang tidak tertentu, yang dimaksud

dengan suatu peristiwa yang tidak tertentu disini adalah suatu

peristiwa yang tak tertentu yang telah diperjanjikan antara pihak

tertanggung dengan pihak tertanggung.

Dari aspek hubungan sebab akibat, untuk menentukan apakah

penyebab terjadinya kerugian dijamin atau tidak dijamin oleh polis,

terdapat 3 (tiga) pendapat, yaitu :

a) Causa proxima yaitu sebab dari kerugian itu adalah peristiwa

yang mendahului kerugian itu secara urutan kronologis

terletak paling dekat pada kerugian itu;

b) Condition Sine Quanon, yaitu segala kejadian dan kenyataan

yang merupakan syarat mutlak untuk terjadinya suatu akibat;

dan

c) Causa remota yaitu peristiwa yang menjadi sebab dari

timbulnya kerugian itu ialah peristiwa yang terjauh. (M.

Suparman Sastrawijaya, 2003 : 64).

e. Polis Asuransi

Hal-hal yang telah disepakati oleh pihak tertanggung dan pihak

penanggung berkenaan dengan resiko yang hendak

dipertanggungkan dituangkan dalam suatu dokumen atau akta yang

disebut polis. Hal ini tercantum dalam Pasal 255 Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang yang menyatakan bahwa suatu

pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang

dinamakan polis. Polis asuransi merupakan dokumen hukum utama

yang dibuat secara sah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan

dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal

251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Polis bukanlah suatu

kontrak atau perjanjian asuransi, melainkan sebagai bukti adanya

kontrak atau perjanjian itu.

Page 48: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

Hal ini tercantum dalam Pasal 258 Kitab Undang-Undang

Hukum Dagang ayat (1) yang menyatakan :

Untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut, diperlukan pembuktian tulisan, namun demikian bolehlah lain-lain alat pembuktian dipergunakan juga, manakala sudah ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan.

Sementara itu dalam Pasal 258 ayat (2) disebutkan :

Namun demikian ketetapan-ketetapan dan syarat-syarat khusus, apabila tentang itu timbul suatu perselisihan, dalam jangka waktu antara penutupan perjanjian dan penyerahan polisnya, dibuktikan dengan segala alat bukti, tetapi dengan pengertian bahwa segala hal yang dalam beberapa macam pertanggungan oleh ketentuan undang-undang atas ancaman-ancaman batal, diharuskan penyebutannya dengan tegas dalam polis, harus dibuktikan dengan tulisan. Kontrak dianggap telah terjadi pada saat pihak tertanggung

dan penanggung mencapai kata sepakat (konsensus),

sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 257 ayat (1) KUHD

sebagai berikut :

Perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup; hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan si tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani. Sementara itu dalam ketentuan Pasal 257 ayat (2) KUHD,

menyebutkan bahwa ditutupnya perjanjian menerbitkan

kewajiban bagi si penanggung untuk menandatangani polis

tersebut dalam waktu yang ditentukan dan menyerahkan

kepada si penanggung.

Perjanjian asuransi adalah perjanjian antara dua pihak,

dimana sebelum terjadi kesepakatan, calon tertanggung

mempelajari lebih dulu syarat-syarat yang berlaku pada

asuransi. Apabila syarat-syarat yang ditawarkan penanggung

disetujui maka pihak tertanggung mengajukan surat

permohonan penutupan asurasi (SPPA) dan kemudian

Page 49: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

ditandatangani. Atau dibuatkan nota penutupan asuransi

(covernote) yang ditandatangani oleh kedua belah pihak,

sebagai bukti telah terjadi kesepakatan mengenai syarat-syarat

asuransi.

Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun

1992 menyatakan bahwa :

Polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang merupakan satu kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda mengenai resiko yang ditutup asuransinya, kewajiban penanggung dan kewajiban tertanggung atau mempersulit tertanggung mengurus haknya.

Dalam polis disebutkan semua ketentuan dan persyaratan

tentang pertanggungan yang telah dibuat. Polis merupakan alat

bukti yang sempurna dan lengkap tentang apa yang mereka

perjanjikan dalam perjanjian asuransi. Jadi bagi tertanggung,

polis itu menentukan nilai yang sangat menentukan bagi

pembuktian haknya. Tanpa polis maka pembuktian akan

menjadi sulit dan terbatas.

Syarat-syarat formal polis diatur lebih lanjut pada Pasal 256

KUHD yang mengatur mengenai syarat-syarat umum yang

harus dipenuhi agar suatu akta dapat disebut sebagai suatu polis

dalam setiap polis, kecuali mengenai pertanggugan jiwa, harus

memuat hal – hal sebagai berikut :

a) Hari ditutupnya pertanggungan;

b) Nama orang yang menutup pertanggungan atas tanggungan

sendiri atau atas tanggungan orang ketiga;

c) Suatu uraian yang cukup jelas mengenai barang yang

dipertanggungkan;

d) Jumlah uang untuk berapa diadakan pertanggungan;

e) Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh si penanggung;

Page 50: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

f) Saat mana bahaya mulai berlaku untuk tanggungan si

penanggung dan saat berakhirnya itu;

g) Premi pertanggungan tersebut;

h) Pada umumnya semua keadaan yang kiranya penting; bagi si

penanggung untuk diketahuinya; dan

i) Segala syarat yang diperjanjikan antara para pihak, polis

tersebut harus ditandatangani oleh tiap-tiap penanggung.

Syarat-syarat yang terdapat pada Pasal 256 Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang tersebut pada dasarnya berfungsi

sebagai ketentuan umum, oleh karena itu masih diperlukan lagi

syarat-syarat tambahan lain yang khusus berlaku bagi para

pihak pada suatu persetujuan tertentu. Syarat-syarat tambahan

yang sifatnya khusus tadi biasanya ditulis atau diketik pada

bagian kertas polis yang khusus disediakan untuk keperluan itu.

Tetapi lambat laun syarat-syarat itu dilekatkan dalam polis.

f. Premi Asuransi

Premi atau Premium adalah jumlah yang harus dibayarkan oleh

Tertanggung kepada Penanggung untuk mendapatkan pertanggungan asuransi

yang diinginkan (www.prudent.web.id/kamus-asuransi-pengertian-istilah-dalam-

asuransi).

Premi adalah prestasi yang harus diberikan tertanggung kepada

penanggung. Premi ini biasanya ditentukan dalam suatu persentase (rate) dari

jumlah yang dipertanggungkan. Biasanya premi dibayarkan pada awal perjanjian

asuransi. Apabila tertanggung tidak memenuhi prestasinya dalam jangka waktu

yang telah ditentukan maka perjanjian asuransi batal dengan sendirinya dan

penanggung terbebas dari segala kerugian yang timbul.

Penanggung wajib memberikan ganti kerugian kepada tertanggung

apabila risiko yang dialihkan benar-benar terjadi dan menimbulkan kerugian

secara ekonomis. Perlu diperhatikan, bahwa penanggung hanya wajib

Page 51: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

memberikan ganti rugi sesuai dengan kondisi pertanggungan, mengenai apa yang

terjamin dan tidak menjamin kerugian yang dikecualikan dalam polis.

g. Berakhirnya Perjanjian Asuransi

Berakhirnya perjanjian asuransi dapat dikarenakan hal-hal berikut :

1) Bila asuransi telah selesai dengan tibanya waktu yang telah

diperjanjikan;

2) Bila terjadi pemusnahan keseluruhan atau terjadi kerugian yang

mencapai jumlah yang dipertanggungkan (dalam hal asuransi jiwa

pertanggungan berakhir bila obyek pertanggungan meninggal dunia);

3) Bila asuradur (penanggung) dibebaskan oleh verzekerdenya

(tertanggung);

4) Bila perjanjian gugur karena :

a) obyek dari bahaya tidak lagi terancam bahaya (jika tidak ada

kemungkinan lagi, bahwa tertanggung akan menderita kerugian

terhadap mana telah diadakan asuransi);

b) penambahan bahaya; dan

c) bila perjanjian asuransi diputuskan, sebab salah satu pihak

melakukan wanprestasi .

3. Tinjauan Umum Tentang Prinsip Subrogasi Dalam Hukum Perasurasian di

Indonesia

a. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Subrogasi dapat kita temui dalam ketentuan Pasal 1400 hingga Pasal

1403 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut ketentuan Pasal 1400

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa : “Subrogasi atau

perpindahan hak kreditur kepada seorang pihak ketiga yang membayar kepada

kreditur, dapat terjadi karena persetujuan atau undang-undang. “

Dalam ketentuan pasal 1401 menyatakan bahwa : “Penggantian itu

terjadi dengan persetujuan :

Page 52: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

(1) Apabila kreditur, dengan menerima oembayaran dari pihak ketiga, menetapkan bahwa orang ini akan menggantikannya dalam menggunakan hak-haknya, gugatan-gugatannya, hak-hak istimewa, dan dan hipotek-hipotek terhadap debitur. Subrogasi ini harus dinyatakan dengan tegas dan dilakukan secara bersamaan pada waktu pembayaran; dan

(2) Apabila debitur menjamin sejumlah uang untuk melunasi hutangnya, dan menetapkan bahwa orang yang meminjam uang itu akan mengambil alih hak-hak kreditur, agar subrogasi ini sah baik perjanjian pinjam uang maupun tanda pelunasan, harus dibuad dengan akta otentik, dan dalam surat perjanjian pinjam uang harus diterangkan bahwa uang itu dipinjam guna melunasi hutang tersebut; sedangkan dalam surat tanda pelunasan harus diterangkan bahwa pembayaran dilakukian dengan uang yang dipinjamkan oleh kreditur baru. Subrogasi inin diloaksanakan tanpa bantuan kreditur.

Selanjutnya dalam ketentuan pasal 1402 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, menyatakan bahwa :

Subrogasi terjadi demi undang-undang :

(1) Untuk seorang kreditur yang melunasi hutang seorang debitur kepada seorang kreditur lain, yang berdasarkan hak istimewa atau hipoteknya mempunyai suatu hak yang lebih tinggi daripada kreditur tersebut pertama;

(2) Untuk seorang pembeli benda tidak bergerak, yang telah memakai uang harga benda tersebut untuk melunasi mpara kreditur, kepada siapa barang itu diperkaitkan dalam hipotek;

(3) Untuk seorang yang bersama-sama dengan orang lain, atau untuk orang-orang lain, diwajibkan membayar suatu hutang, berkepentingan untuk membayar suatu hutang, berkepentingan untuk melunasi hutang itu; dan

(4) Untuk seorang ahli waris yang telah membayar hutang-hutang warisan dengan uangnya sendiri, sedang ia menerima warisan itu dengan hyak istimewa untuk mengadakan pencatatan tentang keadaan hartya peninggalan itu.

Terakhir dalam ketentuan Pasal 1403 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, menyebutkan bahwa :

Subrogasi yang ditetapkan dalam pasal-pasal lalu yang terjadi, baik terhadap orang-orang penanggung hutang maupun terhadap para debitur, subrogasi tersebut tidak dapat mengurangi hak-hak kreditur jika ia hanya menerima pembayaran sebagian; dalam hal ini ia dapat melaksanakan hak-haknya mengenai apa yang masih harus dibayar kepadanya, lebih dahulu daripada orang yang memberinya suatu pembayran sebagian.

Page 53: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

Subrogasi yang terdapat di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata ini, lebih menitikberatkan pada perjanjian hutang-piutang antara

debitur dan kreditur serta pihak ketiga. Sehingga subrogasi dari Pasal 1400 –

1403 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya digunakan dalam perjanjian

hutang piutang.

b. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

Menurut ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

menyatakan bahwa :

Seseorang penanggung yang telah membayar ganti kerugian atas suatu benda yang dipertanggungkan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian tersebut, dan tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga tersebut.

Penggantian kedudukan semacam ini dalam perjanjian asuransi

dikenal dengan istilah prinsip subrogasi, yang secara khusus hanya dikenal

dalam asuransi kerugian. Dari ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang

Hukum Dagang di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat terjadinya

subrogasi, yaitu :

1) Tertanggung mempunyai hak terhadap penanggung dan pihak ketiga;

dan

2) Adanya hak tersebut karena timbul kerugian sebagai akibat perbuatan

pihak ketiga ( Abdulkadir Muhammad, 2002 : 129 ).

Ketentuan tersebut menyangkut risiko yang timbul dari perjanjian

pertanggungan khususnya asuransi kerugian yang melibatkan tiga pihak,

yaitu penanggung, tertanggung, dan pihak ketiga yang menimbulkan

kerugian akibat suatu perbuatan yang telah dilakukannya.

Jadi secara tegas penanggung dan pihak tertanggung telah terjadi

hubungan hukum dalam perjanjian asuransi kerugian. Maka apabila terjadi

suatu risiko atas suatu barang milik tertanggung yang dapat menimbulkan

Page 54: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

kerugian, dengan sendirinya penanggung berkewajiban untuk memberikan

pengantian sesuai yang diperjanjikan.

Dalam hal yang menimbulkan kerugian tersebut adalah pihak

ketiga, dan kemudian penanggung melakukan kewajibannya untuk

memberikan ganti kerugian, maka kepada si tertanggung tidak

diperbolehkan lagi untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak ketiga

tersebut.

Dalam keadaan yang demikian, penanggung justru akan

menggantikan kedudukan tertanggung untuk menuntut kepada pihak

ketiga guna memperoleh penggantian atas pembayaran yang telah

dilakukan kepada pihak tertanggung. Disini telah timbul prinsip subrogasi

(perwalian), yaitu penggantian kedudukan tertanggung oleh pihak ketiga

yang menyebabkan kerugian tersebut. Demikian pula ditegaskan bahwa

tertanggung bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang merugikan

hak penanggung terhadap pihak ketiga.

Subrogasi ini dilakukan untuk memenuhi prinsip Indemnitas

(Indemnity) dalam rangka mendapatkan ganti kerugian yang wajar atau

tidak boleh berlebihan, artinya tidak dibenarkan mendapatkan ganti

kerugian ganda atau dua kali atau memperkaya diri tanpa hak, yang mana

dipegang teguh dalam hukum pertanggunggan. Pada dasarnya Subrograsi

mempunyai tujuan sebagai berikut :

a) Untuk mencegah tertanggung memperoleh ganti kerugian

melebihi hak yang sesungguhnya; dan

b) Untuk mencegah pihak ketiga membebaskan diri dari

kewajibannya untuk membayar kerugian ( Abdulkadir

Muhammad, 2002 : 130).

c. Dalam Undang-Undang Perasuransian Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha

Perasuransian

Di dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha

Perasuransian, memang tidak disebutkan secara jelas dalam pasal mengenai

Page 55: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

pengertian prinsip subrogasi dan bagaimana pelaksanaannya secara nyata dalam

perjanjian asuransi.

Namun keadaan yang memungkinkan prinsip subrogasi itu muncul

disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 yang berbunyi :

Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Dari bunyi Pasal 1 angka 1 tersebut, jelas dalam kalimat tersebut, bahwa

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, telah

memperkirakan kemungkinan (possibilities) evenement yang disebabkan oleh

pihak ketiga yang akan diderita oleh tertanggung. Dari keadaan tersebut,

munculah prinsip subrogasi yang dapat diterapkan untuk mengatasi situasi yang

ada hubungannya antara, penanggung, tertanggung, dan pihak ketiga.

Page 56: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

B. Kerangka Pemikiran

KUHPER KUHD

PERJANJIAN ASURANSI KERUGIAN

TERTANGGUNG

EVENEMENT

UU ASURANSI NOMOR 2

TAHUN 1992

AKIBAT PIHAK

KETIGA

PENANGGUNG

DIBERLAKUKAN PRINSIP

SUBROGASI

Page 57: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

Keterangan ;

Kerangka pemikiran di atas mencoba untuk memberikan gambaran

selengkapnya mengenai alur berpikir dalam menemukan jawaban dari

permasalahan yang menjadi perhatian dalam penulisan yang hendak dilakukan. Di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang telah dikenal istilah subrogasi yang mempunyai makna masing-masing

dengan penggunaa masing-masing pula. Kemudian dalam Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, istilah subrogasi erat

kaitannya dengan salah satu jenis usaha perasuransani yaitu Asuransi Kerugian.

Dalam perjanjian asuransi kerugian secara garis besar merupakan

perjanjian yang melibatkan penanggung dan tertanggung berdasarkan klausula-

klausula yang telah disepakati mengenai penanggulangan risiko atas kerugian,

kehilangan manfaat, tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul

akibat peristiwa yang tidak pasti (evenement).

Di dalam perjanjian asuransi kerugian yang melibatkan penanggung dan

tertanggung, terkadang terjadi evenement yang disebabkan oleh pihak ketiga baik

secara sengaja atau tidak. Sehingga, ketika kondisi tersebut terjadi, kedua belah

pihak baik Penanggung maupun Tertanggung harus menyesuaikan dengan

keberadaan pihak ketiga sebagai pihak yang menyebabkan evenement terjadi.

Maka, karena keadaan yang demikian membuat pihak penanggung dan

tertanggung sama-sama mencari jalan tengah yang tidak merugikan kedua belah

pihak dan mencegah pihak ketiga melarikan diri dari tanggung jawab hukum yang

ia perbuat. Menurut Noist Trinite, pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang ini dapat dianggap sebagai salah satu pasal yang bertujuan untuk

melindungi prinsip indemnitas dalam asuransi. Dikatakan demikian karena prinsip

indemnitas adalah prinsip yang menekankan keseimbangan antara risiko yang

dialihkan penanggung dengan kerugian yang diderita tertanggung sebagai akibat

evenement sehingga tertanggung tidak menerima melebihi apa yang menjadi hak

dan kewajibannya. Dengan uraian di atas, timbulah prinsip subrogasi untuk

menyelesaikan keadaan atau kondisi tersebut.

Page 58: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Prinsip Subrogasi Dalam Perjanjian (Polis) Asuransi Kerugian

Usaha perasuransian tumbuh seiring dengan berkembangnya ragam kebutuhan

manusia. Asuransi telah merambah hampir semua sektor kehidupan. Pada dasarnya

asuransi dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu asuransi kerugian (senade

verzekering), asuransi sejumlah uang (sommen verzekering) atau asuransi jumlah atau

yang sering disebut dengan asuransi jiwa dan asuransi sosial. Pada asuransi kerugian

bertujuan untuk mengganti kerugian yang timbul pada harta kekayaan tertanggung.

Sedangkan pada asuransi sejumlah uang bertujuan untuk membayar sejumlah uang

tertentu dan tidak tergantung apakah evenement menimbulkan kerugian atau tidak.

Kemudian pada asuransi social adalah asuransi yang digerakan oleh Pemerintah untuk

melindungi masyarakat.

Perbedaan mudah mengenai asuransi kerugian dengan asuransi sejumlah uang

dapat dilihat dari prestasinya. Apabila penanggung mengikatkan dirinya untuk melakukan

prestasi memberikan sejumlah uang yang telah ditentukan sebelumnya, maka hal itu

merupakan asuransi sejumlah uang. Tetapi apabila penanggung mengikatkan dirinya

untuk melakukan prestasi dalam bentuk mengganti rugi sepanjang ada kerugian yang

timbul, maka hal itu merupakan asuransi kerugian.

Sementara menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, jenis produk

asuransi yang dipasarkan oleh perusahaan asuransi kerugian diantaranya asuransi

kebakaran yang terdapat dalam Pasal 287 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Selain itu terdapat jenis produk asuransi kerugian yang termasuk ke dalam

asuransi varia, misalnya, asuransi kendaraan bermotor, asuransi proyek

pembangunan, surety bond, asuransi barang-barang elektronik, asuransi mesin-

mesin (machinery breakdown), asuransi kecelakaan diri dan masih banyak jenis

asuransi yang sedang dan telah dikembangkan oleh perusahaan asuransi kerugian.

Sehubungan dengan tumbuhnya jenis baru dalam bidang asuransi, segala

macam kepentingan itu dapat diasuransikan asal memenuhi syarat yang ditentukan

dalam Pasal 268 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang menyatakan bahwa

Page 59: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

: ”Pertanggungan dapat menjadikan sebagai pokok yakni semua kepentingan yang

dapat dinilai dengan uang, dapat terancam bahaya, dan tidak dikecualikan undang-

undang.” Apabila melihat ketentuan tersebut, maka semua yang merupakan suatu

kepentingan yang memenuhi syarat-syarat di atas dapat diasuransikan dan hal itu

sangat sesuai dengan konsep asuransi kerugian.

Dengan melihat polis asuransi kerugian, dapat diketahui bahwa apa yang

diperjanjikan antara tertanggung dan tertanggung tidak bertentangan dengan

undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Isi dari perjanjian tersebut

adalah apa yang menjadi tujuan dari tertanggung yaitu mengalihkan risiko dari

tertanggung kepada penanggung, yang memberikan konsekuensi pembayaran

ganti rugi dari penanggung apabila tertanggung menderita kerugian akibat sebuah

evenement yang dijamin di dalam polis. Karena perjanjian asuransi antara

keduanya merupakan hubungan hukum yang bersifat timbal balik. Dengan

demikian, akibat dari perjanjian itu menyangkut hak dan kewajiban kedua pihak

dalam polis. Sehingga sudah sewajarnya, ketika ada kepentingan tertanggung

yang menderita kerugian, penanggung akan melaksanakan kewajibannya untuk

mengganti kerugian tersebut.

Berlaku Berbeda ketika evenement yang dijaminkan di dalam polis itu

terjadi akibat adanya campur tangan dari pihak ketiga, yang dalam hal ini tidak

ada hubungan sama sekali dengan perjanjian asuransi antara tertanggung dan

penanggung. Namun pada kenyataannya, tertanggung mengalami kerugian. Oleh

karena itu, kerugian yang ditimbulkan oleh pihak ketiga harus

dipertanggungjawabkan secara yuridis, sebagaimana diatur dalam pasal 1365

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : “Tiap perbuatan

yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan

orang yang menimbulkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut.” Berkaitan

dengan ketentuan itulah maka pihak ketiga wajib bertanggung jawab menurut

undang-undang kepada tertanggung. Akan tetapi, persoalannya akan menjadi lain

dalam perjanjian asuransi. Ketika tertanggung telah mendapatkan ganti kerugian

dari penanggung dan juga pihak ketiga, maka tertanggung akan mendapatkan

Page 60: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

ganti kerugian melebihi kerugiannya. Hal itu tidak dibenarkan dan melanggar

prinsip indemnitas.

Dalam pengaturan asuransi, terdapat pasal yang secara jelas menampilkan

prinsip keseimbangan atau prinsip indemnitas. Diantaranya pada ketentuan pasal

277 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang menyatakan bahwa : “

Apabila pada penanggung pertama tidak ditanggung nilai penuh, maka

penanggung berikutnya bertanggung jawab untuk nilai selebihnya menurut urutan

waktu mengadakan pertanggungan itu.” Apabila melihat ketentuan pasal tersebut,

bahwa nilai pertanggungan suatu benda tidak boleh lebih dari nilai pertanggungan

yang sebenarnya. Miasalnya, perusahaan asuransi A telah menanggung nilai

barang X sebesar 60%, dan kemudian sisanya sebanyak 40% dipertanggungkan

pada perusahaan asuransi B. Ketika terjadi evenement, maka tertanggung akan

mendapat penggantian kerugian sebesar 60% dari A dan sebanyak 40% dari pihak

B sehingga nilai obyek pertanggungan pas 100%.

Hal itu tercantum pula dalam ketentuan Polis Standart Asuransi Kebakaran

Indonesia yang dikeluarkan oleh PT Wahana Tata Tahun 2007, adapun bumyi

dalam Pasal 15 mengenai ganti rugi pertanggungan rangkap adalah :

Pasal 15

(1) Menyimpang dari Pasal 277 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan atas harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan dengan Polis ini, di mana harta benda dan atau kepentingan tersebut sudah dijamin pula oleh satu atau lebih pertanggungan lain dan jumlah seluruh harga pertanggungan polis yang ada (berlaku) lebih besar dari harga sebenarnya dari harta benda dan atau kepentingan yang dimaksud itu sesaat sebelum terjadinya kerugian, maka jumlah ganti rugi maksimum yang dapat diperoleh berdasarkan Polis ini berkurang secara proporsional menurut perbandingan antara harga pertanggungan polis ini dengan jumlah seluruh harga pertanggungan polis yang ada (berlaku), tetapi premi tidak dikurangi atau dikembalikan.

(2) Ketentuan di atas akan dijalankan, biarpun segala pertanggungan yang dimaksud itu dibuat dengan beberapa polis yang diterbitkan pada hari yang berlainan, dengan tidak mengurangi ketentuan pada Pasal 277 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu jika pertanggungan atau semua pertanggungan itu tanggalnya lebih dahulu daripada tanggal Polis ini dan tidak berisi ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) di atas.

(3) Dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan, Tertanggung wajib memberitahukan secara tertulis pertanggungan-pertanggungan lain yang sedang berlaku atas harta

Page 61: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

benda dan atau kepentingan yang sama pada saat terjadinya kerugian atau kerusakan. Dari uraian di atas, penulis beranggapan bahwa apabila harta benda

dan/atau kepentingan yang dipertanggungkan sudah dipertanggungkan terlebih

dahulu oleh satu atau lebih pertanggungan lain. Hal ini mengakibatkan, jumlah

yang telah dipertanggungkan akan berkurang menurut perbandingan antara jumlah

segala pertanggungan dengan harga yang dipertanggungkan.

Namun karena kepentingan tertanggung sudah dipenuhi oleh penanggung,

maka tidaklah mungkin tertanggung akan memperoleh ganti kerugian ganda.

Maka dari itu, tanggung jawab pihak ketiga akan beralih kepada penanggung

berdasarkan ketentuan undang-undang. Peristiwa seperti keadaan tersebut yang

disebut dengan konsep subrogasi.

Di dalam Polis Standart Asuransi Kebakaran Indonesia yang dikeluarkan

oleh PT Wahana Tata Tahun 2005 juga disebutkan mengenai ketentuan subrogasi

yang tercantum dalam Pasal 16. Adapun bunyinya adalah sebagai berikut :

Pasal 16 (1) Sesuai dengan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, setalah

pembayaran ganti rugi atas harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan dalam polis ini, Penanggung menggantikanTeranggung dalam segala hak yang diperolehnya sehubungan dengan kerugian tersebut. Hak subrogasi termasuk dalam ayat ini berlaku dengan sendirinya tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari tertanggung.

(2) Tertanggung tetap bertanggung jawabatas setiap perbuatan yang mungkin dapat merugikan hak Penanggung terhadap pihak ketiga tersebut.

(3) Kelalaian tertanggung dalam melaksanakan kewajibannya tersebut dalam ayat 2 di atas dapat menghilangkan atau mengurangi hak Tertanggung untuk mendapatkan ganti rugi (contoh Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI) yang dikeluarkan oleh Wahana Tata tahun 2005). Peralihan pertanggungjawaban berdasarkan undang-undang tersebut

sekaligus membawa konsekuensi terhadap pengalihan hak kepada penanggung

atas hak-hak dari tertanggung terhadap pihak ketiga yang telah menimbulkan

kerugian. Prinsip demikian yang disebut dengan prinsip subrogasi dalam dunia

asuransi. Seperti yang tercantum dalam pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang. Apabila melihat ketentuan pasal di atas, tampak bahwa ketika seorang

penanggung telah membayar ganti kerugian kepada pihak tertanggung, maka pada

saat itulah penanggung terjadi peralihan kedudukan dimana penanggung

menggantikan kedudukan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya dari

Page 62: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

pihak ketiga, dimana tertanggung bertanggung jawab kepada penanggung atas

setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga

tersebut. Dengan kata lain, apabila tertanggung mengalami kerugian akibat

kelalaian atau kesalahan pihak ketiga, maka Perusahaan Asuransi, setelah

memberikan ganti rugi kepada tertanggung, akan mengganti kedudukan

tertanggung dalam mengajukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut. Adapun

mekanisme aplikasi subrogasi, yaitu :

1. Pihak tertanggung harus memilih salah satu sumber pengantian kerugian, dari pihak

ketiga atau dari asuransi;

2. Jika pihak tertanggung sudah menerima penggantian kerugian dari pihak ketiga, ia

tidak akan mendapatkan ganti rugi dari asuransi, kecuali jika jumlah penggantian dari

pihak ketiga tersebut tidak sepenuhnya; dan

3. Jika pihak tertanggung sudah mendapatkan penggantian dari asuransi, ia tidak boleh

menuntut pihak ketiga akibat perbuatannya. Karena hak menuntut tersebut sudah

dilimpahkan ke perusahaan asuransi.

Konsep subrogasi hanya dipergunakan dalam asuransi kerugian, dimana

prinsip indemnitas dapat sepenuhnya diberlakukan. Pada asuransi kerugian

dikenal berlaku contract of indemnity karena harta benda yang dipertanggungkan

dapat dinilai dengan uang, sedangkan dalam asuransi jiwa adalah non indemnity

contract karena tidak ada acuan mengenai berapa harga bagi jiwa atau nyawa

seseorang. Diantara prinsip-prinsip yang lain, seperti itikad baik dan kepentingan,

prinsip ini sangatlah penting karena kerugian yang diganti haruslah seimbang

dengan risiko yang dibebankan penanggung ( Sri Rejeki hartono, 2001 : 100).

Sebaliknya risiko yang dialihkan pada penanggung harus diimbangi dengan

pemberian premi oleh tertanggung sesuai dengan nemo plus, “ tidak menerima

melebihi apa yang menjadi haknya, tidak member melebihi apa yang menjadi

kewajibannya.” ( Abdulkadir Muhammad, 2002 : 126).

Lain halnya ketika terjadi evenement yang disebabkan oleh pihak ketiga,

pihak ketiga tidak mungkin terlepas dari tanggung jawabnya. Maka pihak ketiga

memberikan penggantian kerugian terhadap tertanggung sebesar nilai obyek yang

dipertanggungkan. Dan pihak tertanggung merasa memiliki hak terhadap

penanggung, karena telah membayar premi tiap bulannya, juga meminta

Page 63: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

penggantian kerugian atas kerugian yang menimpanya. Hal ini memungkinkan

terjadinya penggantian kerugian dua kali terhadap tertanggung apabila

tertanggung telah mendapat penggantian dari pihak ketiga.

Dalam pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, secara tegas

telah ditentukan bahwa penanggung yang telah membayar kerugian kepada

tertanggung memperoleh hak tertanggung terhadap pihak ketiga mengenai

kerugian itu, dan tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang

dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga. Dalam hal penanggung

telah melakukan kewajibannya untuk memberikan ganti kerugian, maka kepada

tertanggung tidak diperbolehkan lagi untuk meminta kerugian dari pihak ketiga

tersebut.

Misalnya, dalam kasus Bapak Budi mengasuransikan sebuah mobil

dengan merek X kepada perusahaan asuransi A dengan nilai pertanggungan

sebesar 100%. Kemudian suatu ketika, mobil bapak Budi ditabrak oleh pihak

ketiga yang bernama bapak Rio ketika tengah dikemudikan saat ia akan ke kantor.

Lalu bapak Budi mengajukan tuntutan ganti rugi kepada bapak Rio, dan Pak Rio

pun menyanggupi untuk mengganti kerugian tersebut. Setelah mendapat ganti

kerugian, maka Pak Budi perlu melaporkan kejadian tersebut kepada Perusahaan

Asuransi sebagai wujud itikat baik Tertanggung sesuai pasal 251 Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang dan Pak Budi dilarang untuk meminta ganti rugi kedua

kalinya kepada Perusahaan Asuransi, karena itu akan melanggar prinsip

indemnitas (Jurnal Yustika, 207 : Volume 10 Nomor 2).

Hal itu, tercantum pula dalam Polis Standart Asuransi Kendaraan

Bermotor yang dikeluarkan pleh Surat Keputusan Asosiasi Asuransi Umum

Indonesia Nomor 06 Tahun 2007, di dalam Pasal 22 yang berbunyi sebagai

berikut :

Pasal 22 (1) Setelah pembayaran ganti rugi atas Kendaraan Bermotor dan atau kepentingan

yang dipertanggungkan dalam Polis ini, Penanggung menggantikan Tertanggung dalam hal hak penuntutan terhadap pihak ketiga sehubungan dengan kerugian tersebut. Hak Subrogasi termaksud dalam ayat ini berlaku dengan sendirinya tanpa memerlukan suatu surat kuasa khusus dari Tertanggung.

(2) Tertanggung tetap bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang mungkin dapat merugikan hak Penanggung terhadap pihak ketiga tersebut.

Page 64: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

(3) Kelalaian Tertanggung dalam melaksanakan kewajibannya tersebut pada ayat (2) di atas dapat menghilangkan atau mengurangi hak Tertanggung untuk mendapatkan ganti-rugi. Dengan demikian tertanggung tidak berhak memperoleh ganti rugi lebih

besar atau ganti rugi ganda dari kerugian yang diderita. Pada hakekatnya

mengandung dua aspek yang saling berhubungan, yaitu :

a. Aspek Pertama, yaitu berhubungan dengan tujuan dari perjanjian, harus ditujukan

kepada ganti kerugian yang tidak boleh diarahkan bahwa pihak tertangung karena

pembayaran ganti rugi jelas akan menduduki posisi yang menguntungkan. Jadi

bila terdapat klusula yang bertentangan dengan tujuan ini menyebabkan batalnya

perjanjian; dan

b. Aspek kedua, yaitu berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian asuransi sebagai

keseluruhan yang sah. Untuk keseluruhan atau sebagian tidak boleh bertentangan

dengan aspek yang pertama. Hal ini sangat penting artinya karena tujuan yang

hendak dicapai oleh perjanjian asuransi dan dalam pelaksanaannya harus

memenuhi syarat tertentu, yaitu pihak tertanggung karena memperoleh ganti rugi

tidak menjadi posisi keuangan yang lebih menguntungkan (Sri Rejeki Hartono,

2001 : 98).

Lain halnya, ketika Pak Budi mengajukan tuntutan ganti rugi kepada

Perusahaan Asuransi, ia tidak boleh lagi mengajukan tuntutan ganti kerugian

kepada pihak ketiga ( Pak Rio). Saat tuntutan ganti rugi itu dipenuhi oleh

perusahaan asuransi, maka saat itulah terjadi perpindahan kedudukan dimana

penanggung menggantikan kedudukan tertanggung atas segala hak yang ia

peroleh dari pihak ketiga, termasuk hak untuk menuntut atas perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga yang menyebabkan kerugian bagi

penanggung.

Karena apabila Pak Budi ,menuntut juga dari pihak ketiga itu akan

melanggar prinsip indemnitas dan juga ketentuan Polis Asuransi Standart

Kendaraan Bermotor Indonesia yang dikeluarkan oleh Surat Keputusan Asosiasi

Asuransi Umum Indonesia Nomor 06 Tahun 2007 terdapat dalam Pasal 20

mengenai ganti rugi rangkap, yang bunyinya sebagai berikut :

Pasal 20 (1) Dalam hal terjadi kerugian dan atau kerusakan atas Kendaraan Bermotor dan atau

kepentingan yang dipertanggungkan, apabila Kendaraan Bermotor dan atau

Page 65: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

kepentingan tersebut sudah dijamin pula oleh satu atau lebih pertanggungan lain dan jumlah seluruh harga pertanggungan polis yang ada (berlaku) lebih besar dari harga sebenarnya dari Kendaraan Bermotor dan atau kepentingan yang dimaksud itu sesaat sebelum terjadinya kerugian, maka jumlah ganti rugi maksimum yang dapat diperoleh berdasarkan Polis ini berkurang secara proporsional menurut perbandingan antara harga pertanggungan polis ini dengan jumlah seluruh harga pertanggungan polis yang ada (berlaku), tetapi premi tidak dikurangi atau dikembalikan.

(2) Ketentuan ayat (1) di atas akan dijalankan, biarpun segala pertanggungan yang dimaksud itu dibuat dengan beberapa polis yang diterbitkan pada tanggal yang berlainan, jika pertanggungan atau semua pertanggungan itu tanggalnya lebih dahulu daripada tanggal Polis ini dan tidak berisi ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) di atas.

(3) Pada saat terjadi kerugian dan atau kerusakan, Tertanggung wajib memberitahukan secara tertulis pertanggungan-pertanggungan lain yang sedang berlaku atas Kendaraan Bermotor dan atau kepentingan yang sama pada saat terjadinya kerugian dan atau kerusakan. Cara ini dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang untuk membatasi

penggantian kerugian agar-agar masing-masing pihak dapat memperoleh haknya

secara proporsional atau tidak berlebihan dan bagi pihak yang melakukan

kesalahan tidak terlepas dari kewajibannya untuk bertanggung jawab.

Tertanggung yang mengalami kerugian oleh pihak ketiga dapat meminta

penggantian melalui 2 (dua) cara yaitu :

a. Mengajukan klaim pada penanggung atas dasar perjanjian asuransi. Cara

yang pertama ini menimbulkan hak bagi penanggung meminta penggantian

kerugian pada pihak ketiga.

b. Menuntut pihak ketiga agar membayar ganti kerugian berdasarkan pasal 1365

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai perbuatan melanggar

hukum. Pada cara kedua ini, tertanggung sebenarnya tetap terbebani

kewajiban untuk memberikan informasi mengenai kondisi saat ini dari benda

yang dipertanggungkan. Hal ini merupakan pelaksanaan dari prisip itikad

baik (utmost good faith principle). Dalam masa berlakunya perjanjian, sama

halnya dengan tertanggung, penanggung dapat saja memilih melanjutkan atau

menghentikan perjanjian. Oleh karena itu, perubahan keadaan benda dapat

mempengaruhi pertimbangan penanggung. Apabila asuransi dihentikan,

berdasarkan Pasal 276 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang

menyatakan bahwa : “ Tiada kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh

kesalahan dari tertanggung sendiri, dibebankan pada penanggung. Bahkan ia

boleh tetap memegang atau menagih preminya, bila ia sudah mulai memikul

Page 66: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

bahayanya. “ Penanggung tetap memiliki hak atas premi yang telah

diterimanya. Dengan demikian, tidaklah tepat apabila kewajiban tertanggung

memberikan informasi sebagaimana diatur dalam pasal 251 Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang hanya dimaksudkan pada awal perjanjian karena

sebenarnya kejujuran dalam memberikan informasi diperlukan selama

perjanjian berlangsung.

Berdasarkan pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, subrogasi hanya

dapat terjadi apabila penanggung telah memberikan penggantian kerugian pada

tertanggung. Urutan peristiwa bagi terjadinya subrogasi haruslah sebagai berikut :

1) Tertanggung menderita kerugian katrena perbuatan melanggar hukum

yang dilakukan pihak ketiga;

2) Tertanggung mengajukan klaim atas kerugiannya kepada pihak asuransi

dengan menjelaskan bahwa kerugian tersebut diakibatkan oleh pihak

ketia; dan

3) Penanggung memiliki hak untuk menuntut ganti kerugian pada pihak

ketiga.

Mekanisme demikian harus dilaksanakan berurutan untuk dapat disebut

subrogasi, artinya prinbsip subrogasi tidak akan pernah terjadi apabila

penanggung mendahului melakukan pembayaran kepada tertanggung. Pada

beberapa perusahaan asuransi, diantara beragam asuransi kerugian, subrogasi

lebih sering terjadi pada asuransi kendaraan bermotor, sedangkan asuransi

kebakaran dan asuransi kerugian yang lain jumlah terjadinya subrogasi lebih

sedikit. Hal ini dipengaruhi oleh beberapan hal, yaitu :

a) Potensi terjadinya asuransi kendaraan bermotor lebih besar

dipengaruhi oleh keharusan untuk mengikatkan diri dalam asuransi

saat membeli kendaraan bermotor secara angsuran; dan

b) Kemungkinan timbulnya kerugian tertanggung dalam asuransi

kendaraan bermotor jauh kebih besar.

Pada prinsipnya setiap perbuatan hukum yang dilakukan para pihak dalam

perjanjian asuransi perlu dilandasi dokumen perjanjian. Dari dokumen tersebut

akan dapat diketahui berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan, obyek

maupun isi serta tujuan dari perjanjian yang dilakukan tertanggung dan

Page 67: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

penanggung. Dokumen tersebut juga sangat penting terutama sebagai alat bukti

yang sah baik untuk kepentingan tertanggung maupununtuk kepentingan

penanggung, serta pihak ketiga yang mempunyai keterkaitanh dengan perjanjian

asuransi.

Adapun dokumen penting yang ada dalam perjanjian asuransi kerugian

adalah sebagai berikut :

(1) Form Aplikasi

Merupakan form yang memuat berbagai macam

keterangan yang berkaitan dengan penutupan asuransi. Form

tersebut antara lain memuat tentang identitas calon tertanggung,

jenis pertanggungan, obyek yang dipertanggungkan, besarnya

pertanggungan, lama waktu pertanggungan sertabesarnya premi

yang harus dibayar calon tertanggung, serta hal penting lainnya.

Calon tertanggung dalam perjanjian asuransi dipersyaratkan

untuk mengisi dan mengajukan aplikasi permohonan membeli

asuransi meskipun pada kenyataannya yang melakukan pengisian

adalah agen asuransi, namun tanda tangan harus dibubuhkan oleh

calon tertanggung sendiri.

(2) Kwitansi Premi

Kwitansi premi merupakan dokumen penting dari

perajanjian asuransi, karena tidak hanya secara materiil saja yang

menunjukkan bahwa premi telah dibayar, akan tetapi kwitansi

tersebut juga merupakan alat bukti pembayaran yang sah tentang

telah terjadinya perjanjian asuransi terutama pada saat polis

asuransi belum diterbitkan oleh penanggung atau lembaga

asuransi. Kwitansi juga merupakan kelangkapan alat bukti yang

dipersyaratkan untuk mengajukan klaim apabila terjadi risiko

yang menimpa diri tertanggung

(3) Polis

Polis merupakan dokumen penting dalam perjanjian

asuransi karena polis memuat berbagai hal yang berkaitan

dengan perjanjian asuransi. Polis merupakan alat bukti yang

Page 68: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

menunjukkan tentang adanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban

baik tertanggung maupun penanggung.Hak tertanggung

sebagaimana tertulis dalam polis adalah hak tertanggung atas

penggantian kerugian oleh penanggung terhadap terjadinya risiko

yang diderita dan kewajiban tertanggung atas pembayaran

sejumlah uang premi asuransi sesuai kesepakatan. Dengan

adanya tandatangan polis oleh penanggung, maka dapat

dikatakan bahwa penanggung telah terikat dengan tertanggung

terhadap segala hak dan kewajiban sebagaimana tertuang dalam

polis.

B. Pengajuan Klaim oleh Tertanggung Ketika Hak Klaim Tidak Terpenuhi

Meskipun tertanggung telah mendapat penggantian dari pihak ketiga,

dapat saja penggantian tersebut belum sesuai dengan kerugian yang diderita

tertanggung. Bahkan ketika klaimnya tidak terpenuhi mutlak oleh pihak ketiga,

maka tertanggung berhak meminta dari pihak Penanggung. Oleh karena itu,

tertanggung masih dimungkinkan untuk mengajukan klaim pada penanggung.

Dengan demikian, penanggung memberikan penggantian bagi kerugian yang

tersisa. Cara yang demikian ini sebenarnya juga memungkinkan timbulnya

subrogasi karena penanggung membayar kepada tertanggung, meskipun hanya

sebagian dari keseluruhan kerugian yang diderita oleh tertanggung yang

sebenarnya harus dipikul oleh pihak ketiga.

Dalam asuransi kerugian dinyatakan secara tertulis, yaitu dengan

diajukannya permohonan dengan mengisi SPPA oleh tertanggung kepada

penanggung. Asuransi kerugian berlaku setelah Surat Permintaan Penutupan

Asuransi (SPPA) yang diserahkan tertanggung kepada penanggung disetujui oleh

Penanggung. Dengan disetujuinya SPPA, berarti telah terjadi pertemuan kehendak

dari tertanggung dan penaggung. Dengan demikian perjanjian asuransi kerugian

sudah berlaku sebelum polisnya dibuat. Polis baru akan dibuat berdasarkan SPPA.

Di dalam SPPA tersebut, termuat data lengkap dari tertanggung,

keterangan lengkap, mengenai obyek dan subyek pertanggungan, dan syarat-

Page 69: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

syarat pertanggungan. Ketika SPPA yang diajukan oleh tertanggung disetujui oleh

penanggung, maka pada saat itulah perjanjian asuransi kerugian itu muncul.

Klaim terhadap asuransi kerugian yang diajukan oleh tertanggung berlaku

setelah Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA) yang diserahkan

tertanggung kepada penanggung disetujui oleh Penanggung. Dengan disetujuinya

SPPA, berarti Tertanggung sudah berhak mengajukan klaimnya kepada

penanggung. Namun ketika klaim yang diajukan oleh tertanggung tersebut

diakibatkan oileh sebuah evenement yang dilakukan oleh pihak ketiga, maka

setelah pembayaran klaim dilakukan oleh Penanggung, penanggung dengan serta

merta mempunyai hak subrogasi kepada pihak ketiga.

Selain itu, dalam polis asuransi kerugian, tertanggung wajib

mengungkapkan fakta material mengenai informasi, keterangan, keadaan dan

fakta yang mempengaruhi pertimbangan penanggung dalam menerima atau

menolak suatu permohonan penutupan asuransi dan dalam menetapkan suku

premi apabila permohonan dimaksud diterima. Selain itu, tertanggung wajib

membuat pernyataan yang benar tentang hal-hal yang berkaitan dengan penutupan

asuransi, yang disampaikan baik pada waktu pembuatan perjanjian asuransi

maupun selama jangka waktu pertanggungan.

Disisi lain, jika tertanggung tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana

diatur di atas, penanggung tidak wajib membayar kerugian yang terjadi dan

berhak menghentikan pertanggungan serta tidak wajib mengembalikan premi. Hal

ini sesuai dengan Pasal 6 Polis Standart Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia

mengenai Kewajiban Tertanggung mengungkapkan fakta, yang berbunyi sebagai

berikut :

Pasal 6

(1) Tertanggung wajib : 1.1. Mengungkapkan fakta material yaitu informasi, keterangan, keadaan dan fakta

yang mempengaruhi pertimbangan Penanggung dalam menerima atau menolak suatu permohonan penutupan asuransi dan dalam menetapkan suku premi apabila permohonan dimaksud diterima;

1.2. membuat pernyataan yang benar tentang hal-hal yang berkaitan dengan penutupan asuransi; yang disampaikan baik pada waktu pembuatan perjanjian asuransi maupun selama jangka waktu pertanggungan.

Page 70: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

(2) Jika Tertanggung tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam ayat (1) diatas, Penanggung tidak wajib membayar kerugian yang terjadi dan berhak menghentikan pertanggungan serta tidak wajib mengembalikan premi.

(3) Ketentuan pada ayat (2) diatas tidak berlaku dalam hal fakta material yang tidak diungkapkan atau yang dinyatakan dengan tidak benar tersebut telah diketahui oleh Penanggung, namun Penanggung tidak mempergunakan haknya untuk menghentikan pertanggungan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah Penanggung mengetahui pelanggaran tersebut.

Ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal fakta material yang tidak diungkapkan

atau yang tidak dinyatakan dengan tidak benar itu telah diketahui oleh

penanggung namun penanggung tidak mempergunakan haknya untuk

menghentikan pertanggungan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah

penanggung mengetahui pelanggaran tersebut.

Dalam praktek, hak dari tertanggung kepada penanggung, secara formal

dialihkan melalui surat atau pernyataan khusus yang secara teknis dilaksanakan

sebagai berikut :

1. Pada saat pembayaran klaim oleh penanggung, tertanggung diminta

menandatangani surat kuasa khusus (letter of subrogation) yang isinya

mengalihkan hak untuk menagih pihak ketiga kepada penanggung; dan

2. Pada bagian bawah, lembar pembayaran klaim yang ditandatangani oleh

tertanggung telah tercantum kalimat yang menyatakan tentang pengalihan hak

tersebut.

Apabila melihat pada ketentuan pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

maupun isi polis, pembuatan surat kuasa atau surat pengalihan hak secara tertulis

sebenarnya tidak diperlukan, karena subrogasi yang dimaksudkan terjadi demi hukum,

bukan atas perjanjian. Namun dalam prakteknya, ketiadaan surat khusus menjadi alasan

bagi pihak ketiga untuk mengelak dengan alasan tidak memiliki hubungan hukum dengan

penanggung.

Secara teoritis, ketentuan tentang prinsip subrogasi adalah sudah semestinya

apabila dihubungkan dengan prinsip keseimbangan. Tujuan yang lain adalah untuk

mencegah pihak ketiga membebaskan diri dari kewajibannya membayar ganti kerugian (

Abdulkadir Muhammad, 2002 : 130). Dalam praktek, ketentuan pasal 284 Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang ini ternyata tidak mudah untuk dijalankan. Banyak perusahaan

asuransi yang tidak menggunakan hak yang diperolehnya atas dasar prinsip subrogasi

tersebut. Meskipun pengaturannya telah cukup jelas dan dengan tegas dicantumkan dalam

Page 71: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

polis baik dalam Polis Standar Asuarnsi Kebakaran Indonesia dan Polis Standar Asuransi

Kendaraan Bermotor Indonesia, subrogasi pada prakteknya tidak dapat berjalan karena

berbagai factor, baik dari sisi penanggung, tertanggung maupun diluar keduanya. Berikut

akan diuraikan masing-masing factor tersebut :

a. Faktor dari Tertanggung

Tertanggung memiliki andil yang amat penting bagi terjadinya subrogasi

mengingat hubungan hukum antara penanggung dan pihak ketiga hanya dapat

timbul melalui tertanggung. Beberapa factor dari tertanggung diantaranya :

1) Ketidakjujuran tertanggung mengenai adanya penggantian dari pihak

ketiga.

Tidak terlaksananya subrogasi dipengaruhi juga oleh

ketidakjujuran tertanggung bahwa ia sebenarnya sudah mendapatkan

ganti rugi dari pihak ketiga. Dalam terminology Seidman, fenomena ini

berkaitan dengan perhitungan Cost and Benefit ( Robert B. Seidman,

1978 : 69). Setiap orang selalu memperhatikan keuntungan dan kerugian

yang akan diterimanya, jika suatu tindakan. Perhitungan keuntungan dan

kerugian sebagaimana diungkapkan oleh Seidman ini nampaknya yang

mempengaruhi tertanggung dalam menuntut ganti rugi (Jurnal Yustika,

2007 : Volume 2)

Pertimbangan cost and benefit yang demikian ini dapat dikatakan

merupakan suatu hal yang wajar karena individu pada dasarnya selalu

dimotivasi oleh kalkulasi untuk memperoleh keuntungan serta berusaha

menghindari kerugian. Setiap tindakan manusia bertujuan ekonomis

(material maupun nonmaterial) untuk memperbesar keuntungan (Profit

Oriented). Tindakan yang berdasarkan rasionalitas yang cenderung

mengutamakan efisiensi dan perolehan hasil dengan biaya yang sekecil

mungkin, tanpa perduli pada nilai-nilai normative. Pilihan tertanggung

yang demikian ini dengan sendirinya bertentangan dengan prinsip

keseimbangan, karena berarti tertanggung tidak hanya dipulihkan pada

kondisi semula, tetapi sekaligus juga mendapat keuntungan. Berpijak

pada hakekat keberadaan asuransi, hal semacam ini yang seharusnya

Page 72: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

dicegah mengingat asuransi tidak dimaksudkan untuk memperkaya

tertanggung.

Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang dikutip

secara apa adanya dalam berbagai polis standart, menetapkan bahwa

tertanggung bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dapat

merugikan hak penanggung dan kelalaian tertanggung dapat berakibat

berkurangnya hak tertanggung untuk mendapatkan ganti rugi dari

penanggung,. Namun demikian, secara substansial, ketentuan ini

mengalami kelemahan kerana tidak adanya sanksi tegas pelanggaran

tertanggung terhadap kewajibannya itu. Pada sisi yang lain. Penanggung

juga tidak terlalu peduli untuk melaksanakan ketentuan tersebut.

2) Kurang pahamnya tertanggung akan adanya pengaturan tentang

subrogasi.

Kurang pahamnya tertanggung akan adanya pengaturan

semacam ini dapat dimaklumi mengingat asuransi memjangkausegmen

pasar yang sangat luas dan terdiri dari berbagai lapisan social. Tidak

hanya untuk perjanjian asuransi, bahkan untuk perjanjian lain, seperti

perjanjian pembukaan rekening bank, deposito, dan beberapa perjanjian

standart lain, seringkali isi perjanjian tidak sepenuhnya dipahami oleh

pihak yang akan mengikatkan diri. Ditinjau dari sisi isi perjanjian, orang

cenderung klebih mencermati hak daripada kewajibannya sehingga

seringkali ada penafsiran yang berbeda terhadap isi perjanjian.

Pelaksanaan subrogasi juga mendapat kendala karena

tertanggung menyatakan tidak paham mengenai ketentuan prinsip

subrogasi. Ketidakpahaman tertanggung dapat dibedakan dalam 3 (tiga)

hal, yaitu :

(a) Tertanggung tidak paham bahwa atas perbuatan melanggar

hukum pihak ketiga.

Ia hanya diberikan penggantian kerugian sebatas

kerugian yang ia derita, jadi tidak boleh mendapatkan ganti

rugi dari kedua-duanya, yaitu penanggung dan pihak ketiga.

Ketentuan mengenai subrogasi ini sering dipertanyakan oleh

Page 73: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

tertanggung karena ia merasa berhak mendapat ganti rugi

dari pihak ketiga karena perbuatan melanggar hukumnya dan

pihak asuransi sebagai imbalan premi yang telah ia bayarkan;

(b) Tertanggung tidak paham apa yang harus dilakukan

selanjutnya.

Bahwa meskipun telah mendapatkan penggantian

kerugian dari pihak ketiga, ia semestinya tetap

menyampaikan perubahan kondisi benda yang

dipertanggungkan kepada penanggung. Hal ini didasari atas

ketentuan pasal 9 Polis Standar Kendaraan Bermotor

Indonesia yang menyatakan bahwa penanggung memiliki

hak untuk setiap waktu selama masa pertanggungan

melakukan pemeriksaan terhadap kendaraan yang

dipertanggungkan.

Ketidakpahaman tertanggung dipengaruhi secara

timbal balik oleh ada tidaknya informasi yang jelas mengenai

keseluruhan isi polis pada saat awal perjanjian. Sisi awam

tertanggung sebenarnya dapat dikurangi apabila penanngung

secara cermat menjelaskan hak dan kewajiban tertanggung.

apabila dalam Pasal 251 Kitab Undangt-Undang Hukum

Dagang diatur mengenai kewajiban pemberitahuan oleh

tertanggung, semestinya kewajiban yang sama juga dapat

dibebankan kepada penanggung.

(c) Keengganan tertanggung menjalani proses subrogasi.

Apabila tertanggung melaporkan pelanggaran hukum

pihak ketiga kepada pihak penanggung, maka setelah

memberikan penggantian kepada tertanggung, penanggung

akan mengajukan tuntutan kepada pihak ketigatersebut.

Untuk keperluan tersebut, penanggung memerlukan

identitas pihak ketiga. Keterangan ini diharapkan dapat

diperoleh dari tertanggung sebagai pihak yang berhubungan

langsung.dalam kenyataannya, saat peristiwa yang

Page 74: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

menimbulkan kerugian tertanggung tersebut terjadi,

tertanggung justru sering enggan berurusan lebih jauh

dengan pihak ketiga dengan beberapa alasan seperti :

(1) Menghindari konflik lebih jauh, adu fisik misalnya,

dengan pihak ketiga mengingat emosi yang tinggi

pada saat evenement terjadi yang disebabkan oleh

pihak ketiga baik secara sengaja maupun tidak;

(2) Efisiensi waktu dan biaya;

(3) Keikutsertaan pada asuransi memang dimaksudkan

untuk mengatasi hal-hal seperti itu; dan

(4) Segala kerugian sudah menjadi tanggungan pihak

asuransi sebagai kompensasi dari premi yang

dibayarkan oleh tertanggung.

Alasan-alasan tersebut, tertanggung bersikap tidak mau berurusan

dan tidak perlu menginformasikan mengenai pihak ketiga kepada

penanggung. Dengan kata lain, tertanggung akan menyampaikan

keterangan bahwa kerusakan benda yang dipertanggungkan adalah

karena kesalahan atau kelalaian sendiri.

Keadaan seperti tersebut di atas sebenarnya merupakan

pelanggaran dari isi polis ( pasal 16 Polis Standar Kebakaran Indonesia,

Pasal 22 Polis Standar Kendaraan Bermotor Indonesia) maupun pasal

284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang karena dapat digolongkan

sebagai “ mengurangi hak penanggung untuk menuntut ganti rugi “.

Konsekuensinya, tertanggung berkewajiban untuk bertanggung jawab.

Bahkan dalam kedua polis standar tersebut, pasal 284 Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang dilengkapi dengan pemberian sanksi bagi

tertanggung berupa kemungkinan hilang atau berkurangnya hak

tertanggung atas ganti rugi.

Page 75: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

b. Faktor Dari Penanggung

Berdasarkan keterangan pihak asuransi, subrogasi hanya dapat

dilaksanakan untuk kasus dengan angka klaim yang besar, sedangkan untuk

klaim yang kecil cenderung diabaikan.hal ini didasari pertimbangan bahwa

memproseshak timbul dari keadaan subrogasi tersebut tidak mudah.

Selain mempertimbangkan factor keuntungan, penanggung sebagai

pelaku bisnis sangat memperhitungkan masalah waktu dan biaya. Mengurus

hak berdasarkan subrogasi tidaklah mudah. Penanggung terlebih dahulu harus

mengetahui secara lengkap identitas pihak ketiga, kemudian menghubungi

pihak ketiga tersebut untuk menyampaikan tuntutannya. Sekiranya pihak ketiga

berlaku kooperatif, proses subrogasi mudah untuk dilaksanakan. Namun

adakalanya juga, pihak ketiga berbelit-belit sehingga permasalahan menjadi

berlarut-larut.

Berdasarkan hak yang dialihkan oleh tertanggung kepada penanggung,

apabila pihak ketiga dirasakan sulit atau bahkan menolak membayar ganti

kerugian, penanggung dapat saja mengajukan perkara tersebut ke pengadilan

berdasarkan ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Akan

tetapi, pilihan ini juga tidak menyenangkan bagi penanggung karena beberapa

alasan seperti di bawah ini :

1) Akan semakin memperpanjang urusan yang brarti menghabiskan waktu

dan tenaga, dan biaya;

2) Pengajuan perkara ke pengadilan berpengaruh pada citra atau image

perusahaan di mata public. Karena berurusan dengan pengadilan

menimbulkan kesan kurang baik yang dikhawatirkan dapat

mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi

itu. Menyadari bahwa pengajuan tuntutan ke pengadilanberharga sangat

mahal, maka pihak asuransi cenderung untuk tidak mempermasalahkan

perkara tersebut.

Page 76: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

c. Faktor Dari Pihak Ketiga

Pihak ketiga adalah pihak yang menyebabkan proses subrogasi

dapat terjadi. Karena apbila terjadi sebuah evenement yang diakibatkan

oleh kelalaian tertanggung sendiri, maka penanggung akan mengganti.

Tidak perlu ada birokrasi yang panjang untuk mendapatkan penggantian

dari pihak lain. Lain halnya ketika evenement itu terjadi akibat perbuatan

yang dilakukan oleh pihak ketiga, maka perlu proses birokrasi yang

panjang agar klaim dibayarkan dengan proses subrogasi.

Namun ternyata tidak mudah untuk meminta pertanggungjawaban

dari pihak ketiga, banyak sekali kendala yang harus dihadapi baik oleh

pihak penanggung maupun tertanggung. beberapa kendala itu antara

lain:

1) Kesulitan menemukan kesalahan pihak ketiga.

Dalam beberapa peristiwa, walaupun kerugian tertanggung

ditimbulkan oleh pihak ketiga, tidaklah mudah untuk menetapkan bahwa

pihak ketiga yang benar-benar menyebabkan kerugian bagi tertanggung.

contohnya, kebakaran karena konsleting listrik pada rumah tetangga yang

juga mengebai rumah tertanggung. Tuntutan atas dasar subrogasi

sulit untuk dilaksanakan karena membuktikan bahwa si tetangga telah

melaksanakan kesalahn juga tidak mudah. Biasanya peristiwa semacam

ini akan diterima sebagai musibah yang tidak dapat ditimpakan sebagai

kesalahan pihak tertentu. Atas kondisi seperti tersebut di atas, tidak

mudah untuk menetapkan pihak ketiga sebagai pihak yang

memungkinkan tertanggung sehingga merugikan timbulnya subrogasi.

2) Pihak ketiga tidak dapat memberikan ganti rugi.

Dalam praktek asuransi kerugian, tuntutan gnti rugi terhadap

pihak ketiga tidak selalu mudah untuk dilaksanakan karena pihak ketiga

juga menderita kerugian. Misalnya, kebakaran yang menimpa rumah

tertanggung disebabkan oleh kompor yang meledak di rumah

tetangganya. Kecerobohan si tetangga jelas telah menimbulkkjan

kerugian bagi orang lain. Meskipun merupakan kelalaian, namun apabila

menilik konsep perbuatan melanggar hukum dalam pasal 1365 Kitab

Page 77: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

Undang-Undang Hukum Perdata, si tetanngga tetap mempunyai

kewajiban memberikan ganti rugi terhadap tertanggung karena di dalam

perdata tidak dibedakan antara kesengajaan dan kelalaian. Kesulitannya

adalah, si tetangga tidak mmemiliki kemampuan untuk membayar ganti

rugi karena ia pun menjadi korban dalam peristiwa tersebut.

3) Tidak timbul subrogasi karena terdapat klausula lain dalam polis.

Dalam polis yang telah disepakati oleh tertanggung memuat

berbagai ketentuan. Pemberlakuan subrogasi bisa saja terhalang karena

ketentuan lain dalam polis tersebut.

Seperti halnya pada asuransi kendaraan bermotor, dapat terjadi

kasus mobil yang diasuransikan dicuri supir yang baru bekerja 4 (empat)

hari bekerja pada tertanggung. melihat pada peristiwanya menimbulkan

kerugian bagi tertanggung. akan tetapi untuk diarahkan ke bentuk

subrogasi tidak mungkin. Karena dalam pasal 3 Polis Standar Kendaraan

Bermotor Indonesia telah diatur bahwa penanggung tidak memberikan

ganti terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh orang yang bekerja pada

tertanggung. Walaupun pada kenyataannyatertanggung tidak cukup

mengenal orang baru yang bekerja padanya atau memang orang tersebut

sudah beritikad buruk sebelumnya saat melamar menjadi supir

tertanggung.

4) Tertanggung dan pihak ketiga memilih jalan damai.

Kemungkinan terjadinya subrogasi bisa terhambat apabila

tertanggung dan pihak ketiga menyepakati untuk mengambil jalan damai.

Artinya, masing-masing pihak tidak akan saling menuntut. Akibatnya

hak tertanggung untuk meminta ganti rugi pada pihak ketiga menjadi

hapus pada saat penanggung membayarkan klaim tertanggung,

penanggung kehilangan hak subrogasinya.

Ditinjau dari ketentuan mengenai subrogasi di dalam pasal 16

ayat (2) Polis Standar Kebakaran Indonesia yang berbunyi “ Tertanggung

tetap bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang mungkin dapat

merugikan hak Penanggung terhadap pihak ketiga tersebut. “ Dan pasal

22 ayat (2) Polis Standar Kendaraan Bermotor Indonesia yang

Page 78: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

menyatakan bahwa “Tertanggung bertanggung jawab atas setiap

perbuatan yang mungkin dapat merugikan hak penanggung dari pihak

ketiga tersebut.” Maka perdamaian yang dilakuikan oleh tertanggung

dapat dikategorikan sebagai “perbuatan” sebagaimana yang dimaksud

dalam kedua pasal di atas akan mengurangi bahkan menghilangkan hak

Penanggung untuk melakukan subrogasi.Hal ini sesuai dengan Pasal 16

ayat (3) Polis Standar Kebakaran Indonesia yang berbunyi sebagai

berikut “ Kelalaian Tertanggung dalam melaksanakan kewajibannya

tersebut pada ayat (2 ) di atas dapat menghilangkan atau mengurangi hak

Tertanggung untuk mendapatkan ganti-rugi.” Dan Pasal 22 ayat (3) Polis

Standar Kendaraan Bermotor Indonsia menyatakan bahwa “Kelalaian

melaksanakan ayat (2) dapat menghilangkan atau mengurangi hak

tertanggung untuk mendapat ganti rugi dari mpenanggung.”

Dalam praktek, ketentuan dalam ayat (3) tidak selalu diterapkan

karena penanggung memiliki pertimbangan khusus terkait bonafiditas

tertanggung. pertimbangan-pertimbangan seperti tertanggung dianggap

potensial bagi setiap penanggung sehingga dalam kasus tertentu diberi

kelonggaran atau jumlah nominal diangkap kecil untuk dipermasalahkan

lebih lanjut, menjadi alasannya.

Sebaiknya, bisa juga terjadi perdamaian yang dilakukan

dimasukan sebagai “catatan” untuk menilai tertanggung. apabila

tertanggung dinilai terlalu banyak nmengajukan klaim, penanggung dapat

saja tidak bersedia melanjutkan pertanggungan setelah pertanggungan

yang sedang berjalan ini berakhir. Apabila kesalahan tertanggung

dianggap sangat merugikan sedangkan penanggung tidak bermaksud

memproses secara litigasi, maka berdasarkan pasal 27 ayat (1) Polis

Standar Kendaraan Bermotor Indonesia dan Pasal 22 ayat (1) Polis

Standar Kebakaran Indonesia, penanggung berhak untuk menghentikan

pertanggungan.

5) Knock For Knock Agreement

Dalam peristiwa terjadi saling tabrak yang merugikan

tertanggung dan juga pihak ketiga, dan kedua belah pihak masing-masing

Page 79: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

memiliki asuransi, maka meskipun dalam polis ada ketentuan

penggantian terhadap pihak ketiga, namun yang diganti oleh pihak

asuransi adalah tertanggungnya sendiri. Hal ini disebabkan adanya Knock

for Knock Agreement antar perusahaan asuransi. Dengan demikian,

meskipun dalam polis ada kewajiban memberikan penanggungan

terhadap pihak ketiga, masing-masin penanggung hanya perlu

menanggung kerugian tertanggungnya masing-masing. Bagian yang

harus dibayar sendiri oleh tertanggunglah, yaitu risiko sendiri yang dapat

dituntutkan pada pihak ketiga.

Page 80: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada uraian-uraian yang telah disampaikan pada bab-bab

sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Di dalam ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang telah

termuat secara tegas mengenai ketentuan subrogasi. Ketentuan tersebut juga

diperkuat di dalam Polis Standart Asuransi Kebakaran Indonesia yang

dikeluarkan oleh PT Wahana Tata Tahun 2005 tepatnya di dalam Pasal 16 dan

juga termuat di dalam Polis Standart Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia

yang dikeluarkan oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) melalui Surat

Keputusan Nomor 06 Tahun 2007 di dalam Pasal 22. Secara nyata mempunyai

legitimasi hukum dimana proses pengalihan kedudukan dari tertanggung kepada

penanggung atau yang disebut subrogasi hanya dapat terjadi apabila penanggung

telah memberikan penggantian kerugian pada tertanggung. Urutan peristiwa bagi

terjadinya subrogasi haruslah sebagai berikut :

a. Tertanggung menderita kerugian karena perbuatan melanggar hukum

yang dilakukan pihak ketiga;

b. Tertanggung mengajukan klaim atas kerugiannya kepada pihak asuransi

dengan menjelaskan bahwa kerugian tersebut diakibatkan oleh pihak

ketiga; dan

c. Penanggung memiliki hak untuk menuntut ganti kerugian pada pihak

ketiga.

2. Klaim terhadap asuransi kerugian yang diajukan oleh tertanggung berlaku setelah

Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA) yang diserahkan tertanggung

kepada penanggung disetujui oleh Penanggung. Dengan disetujuinya SPPA,

berarti Tertanggung sudah berhak mengajukan klaimnya kepada penanggung.

Namun ketika klaim yang diajukan oleh tertanggung tersebut diakibatkan oileh

sebuah evenement yang dilakukan oleh pihak ketiga, maka setelah pembayaran

klaim dilakukan oleh Penanggung, penanggung dengan serta merta mempunyai

hak subrogasi kepada pihak ketiga. Meskipun pengaturan prinsip subrogasi dalam

praktek perasuransian di Indonesia telah mendapat legitimasi berdasarkan pasal

Page 81: PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan tercantum pula dalam polis,

terkadang prinsip subrogasi sulit untuk dilaksanakan karena hambatan-hambatan

dari berbagai factor baik dari tertanggung, penanggung, maupun factor-faktor

dari unsur lain. Tertanggung memiliki andil utama agar dapat terlaksananya tahap

berikutunya dalam subrogasi. Artinya hak penanggung dalam subrogasi baru

akan timbul apabila tertanggung mau menyampaikan adanya peran pihak ketiga

dalam evenement yang terjadi dan menimbulkan kerugian yang diderita oleh

tertanggung. Apabila tertanggung tidak jujur atau enggan menjalani proses

subrogasi, maka hak subrogasi penanggung sulit untuk diwujudkan. Selanjutnya,

meskipun tertanggung telah memberitahukan adanya andil pihak ketiga dalam

kerugian yang dideritanya, penanggung juga memberikan andil atas tidak

terlaksananya prinsip subrogasi tersebut apabila memilih untuk menuntut ganti

rugi dari pihak ketiga. Pada umumnya, alasan yang dikemukakan adalah karena

jumlah nominal subrogasi jauh lebih kecil dan proses pengurusan klaimnya yang

lama. Dalam hal penanggung dan tertanggung telah sama-sama menghendaki

dilakukannya proses subrogasi, dapat saja hak subrogasi tidak dapat dilaksanakan

karena beberapa factor, seperti : kesulitan menemukan kesalahan pihak ketiga,

pihak ketiga tidak dapat memberikan ganti rugi, adanya kalusula dalam polis

yang menghambat klaim tertanggung, dan adanya knock for knock agreement.

B. Saran

Beberapa saran atas penulisan hukum ini yang dapat diberikan antara lain :

1. Hak atas subrogasi yang diperoleh oleh Penanggung sudah terdapat di dalam

ketentuan perundang-undangan yang mengatur secara tegas tentang

pemberlakuan subrogasi baik di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

maupun Polis itu sendiri. Maka sebaiknya, Penanggung tidak mengabaikan hak

tersebut dan memanfaatkan semaksimal mungkin.

2. Bagi Tertanggung yang merasa hak atas klaimnya tidak terpenuhi segera setelah

pengajuan SPPA, Tertanggung dapat meminta penggantian kerugian kepada

Penanggung. Mengingat perjanjian asuransi yang telah dibuat dan disepakati oleh

para pihak. Selama itu pula hak dan kewajiban masing-masing pihak tetap harus

dijalankan.