produksi bioetanol dari tandan kosong sawit melalui
TRANSCRIPT
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
PRODUKSI BIOETANOL DARI TANDAN KOSONG SAWIT MELALUI SIMULTANEOUS SACCHARIFICATION AND FERMENTATION
Ahmad Hamidi1 dan Dewi Tristantini1
1 Chemical Engineering Department, Faculty of Engineering, University of Indonesia, Depok 16424, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penghematan energi dan upaya mencari bahan bakar alternatif yang terbarukan seperti bioetanol perlu dilakukan saat ini. Produksi bioetanol dapat ditingkatkan diantaranya dengan mengoptimasi temperatur fermentasi dan waktu retensiya. Waktu retensi dipengaruhi oleh laju reaksi pembentukan, yang dalam penelitian ini akan diteliti lebih lanjut mengenai konstanta laju reaksi pembentukan bioetanol. Pada penelitian ini akan diproduksi bioetanol berbasis tandan kosong sawit (TKS). TKS terlebih dahulu didelignifikasi untuk menghilangkan kandungan ligninnya, kemudian TKS tersebut dikonversi menjadi bioetanol dengan menggunakan metode Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF). Pada proses ini, suhu reaksi divariasikan yaitu 30, 33, dan 35℃ agar diperoleh suhu terbaik, dengan pengambilan sampel setiap 24 jam selama 4 hari. Kondisi terbaik pada penelitian dicapai pada suhu 30℃ dengan waktu sakarifikasi dan fermentasi selama 24 jam. Koefisien kinetika yang diperolah pada kondisi terbaik tersebut yaitu maximum spesific growth reaction rate (µmax) = 0,008 h-1; monod constant (Ks) = 0,005 g/dm3; specific natural death constant (Kd) = 0,011 h-1; dan cell maintenance constant (m) = 0,457 h-1.
Kata kunci; bioetanol, koefisien kinetika, selulosa, tandan kosong sawit
Bioethanol Production from Oil Palm Empty Fruit Bunch through Simultaneous Saccharification and Fermentation
Abstract
It is necessary for energy savings as well as searching for alternative renewable fuels, such as bioethanol.
Bioethanol production could be improved such as by optimizing the fermentation temperature and retention time. The retention time is influenced by the rate of reaction formation, which in this study will be further examined on the reaction rate constant formation of bioethanol. In this research, bioethanol will be produced from oil palm empty fruit bunches (EFB). Empty fruit bunches of oil palm (EFB) will undergo delignification process to remove its lignin content, then cellulosic rich- oil palm empty fruit bunches (EFB) will then be converted into bioethanol using Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF) method. In this process, the reaction temperature variation 30, 33, and 35℃ performed to determine the optimum temperature, with sampling every 24 hours for 4 days. The optimum conditions in the study achieved at a temperature of 30°C in 24 hour of sacarification and fermentation. Meanwhile, the kinetic coefficients achieved in this optimum condition are maximum spesific growth reaction rate (µmax) = 0,008 h-1; monod constant (Ks) = 0,005 g/dm3; specific natural death constant (Kd) = 0,011 h-1; and cell maintenance constant (m) = 0,457 h-1.
Keywords; bioethanol, cellulose, oil palm empty fruit bunches, rate of reaction.
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
Pendahuluan
Permasalahan energi dunia yang sedang terjadi saat ini ini adalah ketidakseimbangan
permintaan (demand) dan penawaran (supply) serta akses terhadap sumber daya energi. Salah
satu faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan ini adalah pesatnya laju pertumbuhan
penduduk dan masifnya industrialisasi dunia. Hal ini meningkatkan konsumsi energi dunia secara
drastis dan mengakibatkan tersedotnya cadangan energi khususnya energi fosil.
Kondisi energi Indonesia saat ini masih mengandalkan pada migas sebagai penghasil devisa
maupun untuk memasok kebutuhan dalam negeri. Namun saat ini cadangan minyak bumi dalam
kondisi depleting. Untuk energi baru dan terbarukan, Indonesia sebenarnya memiliki potensi
beragam, namun pengelolaan dan penggunaannya belum optimal. Oleh sebab itu, dalam
pemenuhan sumber energi di Indonesia, penelitian saat ini difokuskan untuk mencari sumber
bahan baku untuk dikonversi menjadi sumber energi yang berkelanjutan, yaitu biomassa. Alasan
pemilihan biomassa adalah karena Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber hayati
dan potensinya yang cukup tinggi.
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas andalan terutama dalam industri pengolahan
di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia,
pada tahun 2015 menunjukkan bahwa potensi kelapa sawit berdasarkan luas perkebunannya
mencapai 11.444.808 ha. Dengan total luas perkebunan tersebut, diperoleh total produksi kelapa
sawit mencapai 30.948.931 ton. Berdasarkan data yang diolah Gabungan Pengusaha Kelapa
Sawit Indonesia (GAPKI), total ekspor CPO dan turunannya asal Indonesia tahun 2015 mencapai
28 juta ton atau naik 22% dibandingkan dengan total ekspor tahun 2014, yaitu 21,76 juta ton.
Seiring dengan meningkatnya jumlah produksi minyak sawit di Indonesia, maka meningkat pula
jumlah limbah kelapa sawit yang dihasilkan.
Salah satu jenis limbah padat yang paling banyak dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit
adalah tandan kosong sawit (TKS) yaitu sekitar 22-23% dari total tandan buah segar (TBS) yang
diolah. Industri minyak kelapa sawit akan menghasilkan limbah TKS sebesar 1,1 ton untuk setiap
1 ton CPO yang diproduksi (Karina et al., 2008). Secara fisik tandan kosong sawit terdiri dari
berbagai macam serat dengan komposisi antara lain selulosa sekitar 38,76%; hemisellulosa
sekitar 26,69% dan lignin sekitar 22,23% (Darnoko, 2002) Tandan kosong sawit memiliki
potensi yang cukup besar untuk dapat dimanfaatkan. Namun, selama ini TKS baru dimanfaatkan
sebagai pupuk organik, bahan baku pembuatan kertas, dan briket. Dengan kandungan selulosa
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
nya yang cukup tinggi, pada penelitian ini TKS akan dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan bioetanol.
Bioetanol merupakan bahan bakar yang tidak mengakumulasi gas karbondioksida (CO2)
dan relatif kompetibel dengan mesin mobil berbahan bakar bensin. Bioetanol yang digunakan
pada campuran bahan bakar untuk kendaraan harus bersifat anhydrous agar tidak menyebabkan
masalah separasi fasa, distribusi penyimpanan dan penggunaan, sehingga bioetanol harus
mempunyai grade kemurnian sebesar 99,35% volume (Kumar et al., 2010). Pada tahun 2005,
pemerintah Indonesia menargetkan program bioetanol sebagai bagian dari biofuel agar mencapai
konsumsi 1,355 % dari konsumsi energi mix nasional pada tahun 2025. Target tersebut tinggi
dibandingkan dengan sumber energi alternatif lainnya seperti solar (0,020%) dan energi angin
(0,028%) (Indahsari and Wibowo, 2013).
Pada umumnya, terdapat 2 jenis metode fermentasi untuk memproduksi etanol, yaitu
Metode Separated Hydrolysis And Fermentation (SHF) dan Metode Simultaneous
Saccharification and Fermentation (SSF). Separated Hydrolysis And Fermentation (SHF) ialah
metode pembuatan bioetanol yang melakukan tahap hidrolisis enzimatik karbohidrat dan tahap
fermentasi berlangsung secara terpisah. Sedangkan metode Simultaneous Saccharification and
Fermentation (SSF) adalah salah satu metode pembuatan bioetanol yang menggabungkan
tahapan hidrolisis enzimatik dengan tahap fermentasi. Pada penelitian ini digunakan metode SSF
karena metode SSF lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan metode Separate Hydrolysis
and Fermentation (SHF) (Olofsson, et al., 2008), karena membutuhkan biaya produksi yang lebih
sedikit dan waktu yang lebih singkat. Penggunaan SSF juga menghasilkan produktivitas yang
lebih tinggi dibandingkan metode SHF, dan juga dapat memecahkan masalah yang terdapat pada
metode Separate Hydrolysis and Fermentation (SHF), yaitu mencegah adanya inhibisi kerja
enzim hidrolisis oleh produk glukosa dan selubiosa.
Pada proses Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF), dilakukan variasi suhu
reaksi yaitu 30, 33, dan 35℃ serta pengambilan sampel setiap 24 jam selama 4 hari. Dari proses
ini, ditentukan konsentrasi dari komponen produk yaitu sel, glukosa, dan etanol untuk kemudian
diketahui pengaruhnya terhadap suhu dan waktu pengambilan sampel pada proses Simultaneous
Saccharification and Fermentation (SSF). Dan juga nilai-nilai konsentrasi ini digunakan untuk
menentukan koefisien kinetika yaitu μmax, Ks, Kd, dan m dengan persamaan Monod melalui
aplikasi MATLAB.
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
Dengan melihat dan meninjau pentingnya energi alternatif dan ketersediaan tandan kosong
sawit di Indonesia, maka pembangunan pabrik bioetanol berbasis tandan kosong sawit perlu
dipertimbangkan untuk meningkatkan produksinya. Peningkatan produksi dari bioetanol ini salah
satunya dapat dilakukan dengan mengoptimasi kondisi operasi dan laju reaksi. Oleh karena itu,
perlu ada penelitian mengenai bahasan tersebut agar produksinya menjadi lebih optimal.
Tinjauan Teoritis
Pohon kelapa sawit merupakan salah satu komoditi yang mengalami pertumbuhan yang
sangat pesat di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit
Indonesia, pada tahun 2015 menunjukkan bahwa potensi kelapa sawit berdasarkan luas
perkebunannya mencapai 11.444.808 ha. Dengan total luas perkebunan tersebut, diperoleh total
produksi kelapa sawit mencapai 30.948.931 ton.
Produk utama pohon kelapa sawit yang dimanfaatkan adalah tandan buahnya yang
menghasilkan minyak dari daging buah dan kernel (inti sawit). Setelah dilakukan proses
pengolahan kelapa sawit tersebut, pada akhirnya menyisakan Tandan Kosong Sawit (TKS)
berkisar 20 hingga 23 persen dari jumlah panen tandan buah sawit (TBS) yang dipasok ke
pengolah (Wardani dan Widiawati, 2014). Tandan kosong sawit yang merupakan 23% dari
tandan buah segar, mengandung bahan lignoselulosa sebesar 55-60 persen berat kering. TKS
termasuk biomassa lignoselulosa, yang kandungan utamanya adalah selulosa, hemiselulosa dan
lignin. Kandungan selulosa yang cukup tinggi pada TKS dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan bioetanol. Tabel 1 berikut memperlihatkan komposisi dari tandan kosong kelapa
sawit.
Tabel 1. Komposisi Tandan Kosong Sawit
No Parameter Kandungan (%) 1 Lignin 22,23 2 Selulosa 38,76 3 Hemiselulosa 26,69 5 Kadar Abu 6,59 6 Zat Ekstraktif 6,47
(Sumber: Darnoko, 1995)
Gambar 1 di bawah ini menunjukkan struktur dari selulosa.
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
Gambar 1. Struktur Selulosa
Bioetanol merupakan hasil metabolit mikroba seperti Saccharomyces cerevisiae pada
substrat bahan nabati yang mengandung gula (nira tebu, aren, molase), pati (ubi kayu, ubi jalar,
sorgum, jagung) atau bahan lignoselulosa (jerami padi, tongkol jagung, tandan kosong kelapa
sawit, bambu, dan kayu). Berdasarkan jenis bahan bakunya, bioetanol dibagi menjadi dua
kelompok yaitu bioetanol generasi pertama dan bioetanol generasi kedua. Bioetanol generasi
pertama adalah etanol yang diproduksi dari sumber bahan nabati bergula dan berpati. Sedangkan
bioetanol yang diproduksi dari bahan berlignoselulosa seperti limbah padat agroindustri
merupakan bioetanol generasi kedua. Saat ini perkembangan industri bioetanol di Indonesia
masih menggunakan bioetanol yang berbahan baku dari generasi pertama seperti molasses/tetes
tebu dan pati singkong. Namun, bioetanol jenis generasi pertama mempunyai harga yang relatif
mahal karena substrat yang tersedia digunakan juga sebagai bahan pangan dan pakan ternak.
Untuk menurunkan harga dan menghindari masalah tersebut maka bioetanol generasi kedua perlu
dikembangkan.
Salah satu metode yang digunakan untuk mengurangi biaya produksi pada proses
biokonversi bahan berlignoselulosa menjadi bioetanol adalah dengan melakukan proses
sakarifikasi dan fermentasi dalam waktu yang bersamaan. Metode ini dikenal dengan nama
Simultaneous Saccharification and Fermentation. Metode SSF ini lebih efisien dan efektif
dibandingkan dengan metode Separate Hydrolysis and Fermentation (SHF) (Olofsson et al.,
2008). Penggunaan SSF juga menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan metode
SHF. Pada kondisi substrat dan enzim selulase yang sama metode SHF menghasilkan derajat
konversi glukosa menjadi etanol sekitar 40% sedangkan SSF dapat mencapai 60%. Oleh karena
itu, pada penelitian ini digunakan metode Simultaneous Saccharification and Fermentation
(SSF), dengan tahapan pengonversian residu selulosa menjadi glukosa dan fermentasi glukosa
menjadi etanol dilakukan secara bersamaan dalam satu waktu.
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
Kelebihan utama dari metode Simultaneous Saccharification And Fermentation (SSF) ini
ialah memecahkan masalah yang terdapat pada metode tahapan hidrolisis dan fermentasi secara
terpisah, atau yang lebih dikenal dengan metode Separate Hydrolysis and Fermentation (SHF)
yaitu mencegah adanya inhibisi kerja enzim hidrolisis oleh produk glukosa dan selubiosa. Selain
itu, studi menunjukkan bahwa proses fermentasi simultan dapat memperpendek lamanya waktu
yang dibutuhkan ragi untuk mengkonversi glukosa menjadi etanol. Proses ini membutuhkan
jumlah enzim kurang dari yang dibutuhkan dalam hidrolisis enzimatik biasa karena SSF
menggabungkan hidrolisis dan fermentasi, waktu reaksi keseluruhan untuk mengkonversi
biomassa menjadi etanol dipersingkat (Gauss et al., 1976). Manfaat lainnya dari penggunaan
metode SSF ialah efisiensi penggunaan peralatan dan investasi biaya produksi dapat ditekan
sebesar 20% (Wingren et al., 2003).
Terdapat dua kelemahan metode SSF, yaitu proses hidrolisis dan fermentasi masing-masing
memiliki rentang suhu optimum yang berbeda. Kondisi optimum aktivitas enzim selulase terjadi
pada pH 4,8 dan suhu 50oC (Samsuri et al., 2009), sedangkan mikroba fermentasi etanol,
misalnya S.cerevisiae, kondisi optimumnya terjadi pada suhu sekitar 25 °C dan pH 4-5
(Wasungu, 1982). Setiap suhu ekstrim selama fermentasi, baik tinggi maupun rendah akan
menghasilkan rendemen etanol yang minim. Hal ini dikarenakan sebagian ragi tidak tumbuh baik
pada suhu jauh lebih rendah dari 20 0C atau jauh lebih tinggi dari 40 0C. Oleh karena itu, agar
proses SSF dapat berjalan secara maksimal, kondisi optimum enzim dan mikroba seharusnya
berdekatan. Menurut Tengborg (2001) suhu optimum teknik ini terjadi pada suhu 38oC jika
menggunakan enzim selulase yang optimum pada suhu 45-50oC sebagai enzim penghidrolisis
dan S. cerevisae yang optimum pada suhu 30-35oC sebagai mikroba penghasil etanol (Tengborg
et al., 2001).
Metode Penelitian
Terdapat beberapa tahap pada penelitian ini, dimulai dengan penentuan persamaan
kinetika, dimana persamaan yang digunakan adalah Monod equation. Kemudian dilakukan
penentuan variabel penelitian, yang terdiri dari variabel terkontrol, terikat, dan bebas. Pada
penelitian ini variabel terkontrol adalah konsentrasi NaOH yang digunakan pada saat
delignifikasi TKS, ukuran partikel TKS, konsentrasi yeast untuk proses fermentasi, dan
konsentrasi enzim selulase. Variabel bebas pada penelitian ini adalah suhu. Suhu yang akan
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
digunakan pada penelitian ini adalah 30, 33, dan 35℃. Selain itu waktu pengambilan sampel juga
divariasikan yaitu pada jam ke 24, 48, 72, dan 96. Pada penelitian ini, yang dijadikan variabel
terikat adalah besarnya konstanta laju reaksi pembentukan bioetanol. Nilai konstanta laju reaksi
yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi bioetanol yang terbentuk. Setelah itu
dilakukan proses pretreatment terhadap bahan baku yaitu TKS, dimana selanjutnya bahan baku
akan masuk ke proses delignifikasi untuk menghilangkan kandungan lignin. Kemudian TKS yang
telah diminimalisir kandungan liginnya digunakan sebagai bahan baku untuk proses sakarifikasi
dan fermentasi yang bertujuan untuk menghasilkan bioetanol. Kemudian, larutan yang diperoleh
dari proses sakarifikasi dan fermentasi akan dianalisis konsentrasinya, yaitu konsentrasi etanol
dengan menggunakan GC, dan konsentrasi glukosa dan cell dengan Spektrofotometer.
Selanjutnya, konsentrasi yang diperoleh dimasukkan ke Monod equation, untuk nantinya akan
ditentukan koefisien kinetika pembentukan bioetanol dengan menggunalan aplikasi MATLAB.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biorefinery, Lantai 7 Enginering Center, Universitas
Indonesia.
Gambar 3 berikut merupakan diagram alir penelitian yang dilakukan,
Gambar 2. Diagram alir penelitian
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
Hasil Penelitian
Hasil Pengukuran Konsentrasi Glukosa
Untuk analisis konsentrasi glukosa dengan menggunakan spektrofotometer, diperlukan
suatu kurva standar glukosa yang berfungsi untuk mempermudah pembacaan sampel hasil
sakarifikasi dan fermentasi yang dilakukan.
Tabel 2. berikut merupakan hasil absorbansi pada setiap variasi konsentrasi dalam
pembuatan kurva standar glukosa. Tabel 2. Variasi Konsentrasi Glukosa untuk Kurva Standar
Konsentrasi
(mg/ml)
Absorbansi
0,08 0,064
0,16 0,207
0,24 0,409
0,32 0,507
0,40 0,589
Setelah dilakukan pengukuran absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer, maka
diperoleh kurva standar glukosa seperti pada Gambar 3 dibawah ini,
Gambar 3. Kurva Standar Glukosa
Sampel hasil sakarifikasi dan fermentasi dikukur konsentrasi glukosanya setiap 24 jam
sekali selama 4 hari, maka diperolehlah data konsentrasi glukosa sebagaimana tertera pada Tabel
3 berikut,
y = 1.6864x - 0.0489 R² = 0.97242
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
Abs
orba
si
Konsentrasi (g/L)
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
Tabel 3. Hasil Pengukuran Konsentrasi Glukosa selama Proses Sakarifikasi dan Fermentasi
t (h)
T= 30° C T=33° C T=35° C
Konsentrasi
Glukosa
(g/L)
Absorbasi
Konsentrasi
Glukosa
(g/L)
Absorbasi
Konsentrasi
Glukosa
(g/L)
Absorbasi
24 2,333 3,984 2,576 4,393 2,579 4,399
48 2,126 3,635 2,181 3,727 2,286 3,904
72 1,503 2,585 1,429 2,459 2,163 3,697
96 0,691 1,215 1,384 2,383 1,047 1,814
Hasil Pengukuran Konsentrasi Cell
Sampel hasil sakarifikasi dan fermentasi harus dikukur konsentrasi cell nya setiap 24 jam
sekali selama 4 hari, maka diperolehlah data konsentrasi cell sebagaimana tertera pada Tabel 4
berikut,
Tabel 4. Hasil Pengukuran Konsentrasi Cell selama Proses Sakarifikasi dan Fermentasi
t (h)
T= 30° C T=33° C T=35° C
OD yeast
Konsentrasi
Yeast
(g/L)
OD yeast
Konsentrasi
Yeast
(g/L)
OD yeast
Konsentrasi
Yeast
(g/L)
24 1,201 0,600 2,063 1,031 1,861 0,930
48 2,670 1,335 3,136 1,568 3,001 1,500
72 2,820 1,410 4,059 2,029 4,632 2,316
96 3,013 1,506 4,625 2,312 4,744 2,370
Hasil Pengukuran Konsentrasi Etanol
Untuk analisis konsentrasi etanol dengan menggunakan gas chromatography, diperlukan
suatu kurva standar etanol yang berfungsi untuk mempermudah pembacaan sampel hasil
sakarifikasi dan fermentasi yang dilakukan.
Tabel 5 berikut merupakan hasil luas area pada setiap variasi konsentrasi dalam
pembuatan kurva standar etanol.
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
Tabel 5. Variasi Konsentrasi Etanol untuk Kurva Standar
Konsentrasi
(%wt)
Luas Area
0,1 73162
0,5 360992
5,0 3354905
Setelah dilakukan pengukuran dengan menggunakan Gas Chromatography, maka
diperoleh kurva standar etanol seperti pada Gambar 4 dibawah ini,
Gambar 4. Kurva Standar Etanol
Sampel hasil sakarifikasi dan fermentasi harus dikukur konsentrasi etanolnya setiap 24
jam sekali selama 4 hari, maka diperolehlah data konsentrasi etanol sebagaimana tertera pada
Tabel 6 berikut,
Tabel 6. Hasil Pengukuran Konsentrasi Etanol selama Proses Sakarifikasi dan Fermentasi
t (h)
T = 30° C T = 33° C T = 35° C
Luas
Area
Konsentrasi
(g/L)
Luas
Area
Konsentrasi
(g/L)
Luas
Area
Konsentrasi
(g/L)
24 47604 0,708 17817 0,265 11875 0,176
48 45624 0,679 15973 0,237 6677 0,099
72 31864 0,474 10890 0,162 3470 0,051
96 19119 0,284 11114 0,165 3734 0,055
y = 671510x R² = 0.9999
0
10
20
30
40
0 1 2 3 4 5 6
Luas
Are
a
x 10
0000
Konsentrasi (%wt)
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
Pembahasan
Pengaruh Suhu Terhadap Pembentukan Komponen Produk
Suhu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari proses sakarifikasi
dan fermentasi biomassa berlignoselulosa. Pada penelitian ini, dilakukan proses sakarifikasi dan
fermentasi serentak dengan variasi suhu 30, 33, dan 35°C. Untuk melihat pengaruh suhu terhadap
komponen produk, maka konsentrasi substrat awal, enzim selulase dan yeast Saccharomyces
cereviceae yang digunakan dibuat tetap. Pada subbab berikut ini akan dibahas mengenai hasil
analisis konsentrasi sel, glukosa, dan etanol dan pengaruhnya terhadap variasi suhu reaksi
sakarifikasi dan fermentasi.
Pengaruh Suhu terhadap Pembentukan Sel
Gambar 5 berikut merupakan grafik yang menggambarkan pengaruh suhu terhadap
konsentrasi sel selama proses sakarifikasi dan fermentasi.
Gambar 5. Pengaruh Suhu terhadap Pembentukan Sel
Dari ketiga variasi suhu yang dilakukan, terlihat bahwa pada ketiga sampel terjadi
peningkatan konsentrasi sel setiap harinya terhitung dari jam ke 24 sampai jam ke 96. Hal ini
menandakan pada bahwa rentang suhu 30-35℃ sel mampu bertahan hidup dan terus tumbuh dan
berkembang biak dengan adanya substrat yang cukup. Dari ketiga variasi tersebut, konsentrasi
terendah terjadi pada suhu 30℃ pada jam ke 24, sedangkan konsentrasi tertinggi terjadi pada
suhu 35℃ pada jam ke 96.
Jadi, berdasarkan hasil dari ketiga variasi suhu diatas yaitu pada suhu 30, 33, dan 35℃,
terlihat bahwa pertumbuhan sel pada suhu 33℃ menunjukkan hasil yang paling stabil. Hal ini
terlihat dari kurva yang dihasilkan yang cenderung linear. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
0 0.5
1 1.5
2 2.5
3
0 24 48 72 96 120
Kon
sent
rasi
(g/L
)
Waktu (jam)
T=30 C
T=33 C
T=35 C
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
dilakukan oleh (Dahnum, 2015) dimana dikatakan bahwa suhu terbaik untuk fermentasi oleh
yeast yaitu pada 33°C.
Pengaruh Suhu terhadap Pembentukan Glukosa
Gambar 6 berikut merupakan grafik yang menggambarkan pengaruh suhu terhadap
konsentrasi glukosa selama proses sakarifikasi dan fermentasi.
Gambar 6. Pengaruh Suhu terhadap Pembentukan Glukosa
Dari ketiga variasi suhu yang dilakukan, terlihat bahwa pada ketiga sampel terjadi
penurunan konsentrasi glukosa setiap harinya terhitung dari jam ke 24 sampai jam ke 96. Dari
ketiga variasi tersebut, konsentrasi tertinggi terjadi pada suhu 35℃ pada jam ke 24, sedangkan
konsentrasi terendah terjadi pada suhu 30℃ pada jam ke 96.
Berdasarkan referensi dari penelitian yang dilakukan oleh (Dahnum,2015), proses
sakarifikasi dan fermentasi serentak akan menyebabkan penurunan konsentrasi glukosa seiring
berjalannya waktu. Glukosa yang pada awalnya terbentuk dari proses hidrolis enzimatik oleh
enzim selulase akan terus berkurang jumlahnya. Hal ini dikarenakan, selain terbentuknya glukosa
pada proses sakarifikasi, juga terjadi pengonsumsian glukosa oleh yeast Saccharomyces
cereviceae untuk membentuk etanol. Glukosa berperan sebagai sumber makanan bagi yeast
Saccharomyces cereviceae untuk tumbuh dan berkembang. Semakin banyaknya yeast yang
terbentuk, maka juga akan terjadi persaingan untuk mendapatkan makanan sehingga lama
kelamaan jumlah glukosa akan semakin berkurang (Ohgren, et al., 2006).
Jadi, berdasarkan data pada Gambar 6 terlihat bahwa pada rentang 30-35℃ bahwa proses
sakarifikasi dan fermentasi masih terus terjadi dan substrat glukosa akan terus dikonsumsi oleh
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 24 48 72 96 120
Kon
sent
rasi
(g/L
)
Waktu (jam)
T=30 C"
T = 33 C
T = 35 C
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
yeast untuk bertahan hidup dan mengasilkan etanol. Oleh karena itu ketiga variasi suhu tersebut
masih memiliki dampak yang mirip terhadap laju konsumsi substrat glukosa.
Pengaruh Suhu terhadap Pembentukan Etanol
Gambar 7 berikut merupakan grafik yang menggambarkan pengaruh suhu dan waktu
terhadap konsentrasi etanol selama proses sakarifikasi dan fermentasi
Gambar 7. Pengaruh Suhu terhadap Pembentukan Etanol
Proses fermentasi adalah proses konversi gula reduksi hasil hidrolisis menjadi etanol yang
secara biologis dilakukan oleh mikroorganisme. Proses konversi gula heksosa seperti glukosa
umumnya memerlukan kondisi anaerobik untuk memaksimalkan pembentukan etanol.
Sedangkan dengan kondisi aerobik, proses fermentasi akan menghasilkan gas CO2, H2O dan
energi.
Etanol dan CO2 yang terbentuk dari proses fermentasi ini dapat menghambat proses
fermentasi (end-product inhibition). Diperlukan teknik fermentasi yang dapat meminimalisasi
peran inhibitor tersebut karena mikroorganisme yang mengkonversi glukosa menjadi etanol tidak
tahan terhadap senyawa alkohol pada konsentrasi tertentu
S. cerevisiae memiliki daya konversi menjadi etanol yang cukup tinggi dan mempunyai
toleransi terhadap kadar etanol yang tinggi. Metabolit utamanya berupa etanol, CO2 dan air, juga
sedikit menghasilkan metabolit lainnya (Frazier dan Westhoff, 1978). Setiap 1 mol glukosa
terfermentasi menghasilkan 2 mol etanol, CO2 dan ATP. Oleh karena itu, secara teoritis setiap 1 g
glukosa yang difermentasi menghasilkan 0,51 g etanol (Wahyudi et al., 2010). Namun
kenyataannya, biasanya etanol yang dihasilkan tidak sesuai hasil teoritis. Hal ini dikarenakan
sebagian nutrisi digunakan untuk sintesa biomassa dan memelihara reaksi. Selain itu rendahnya
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0 24 48 72 96 120
Kon
sent
rasi
(g/L
)
Waktu (h)
T = 30 C
T = 32 C
T = 35 C
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
rendemen bioetanol dari bahan berlignoselulosa ini disebabkan oleh adanya zat penghambat
sebagai hasil samping dari proses hidrolisis bahan berlignoselulosa tersebut seperti asam asetat,
furan aldehid, vanilin, fenol, gliserol dan suksinat yang dapat menghambat kerja mikroba
fermentasi (Sun dan Chen, 2002).
Dari ketiga variasi suhu yang dilakukan, terlihat bahwa pada ketiga sampel cenderung
mengalami penurunan konsentrasi etanol setiap harinya terhitung dari jam ke 24 sampai jam ke
96. Dari ketiga variasi tersebut, konsentrasi tertinggi terjadi pada suhu 30℃ pada jam ke 24,
sedangkan konsentrasi terendah terjadi pada suhu 35℃ pada jam ke 72.
Jadi, berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan ketiga variasi suhu diatas yaitu pada
suhu 30℃, 33℃, dan 35℃, terlihat bahwa pembentukan etanol pada suhu 30℃ menunjukkan
hasil yang paling baik.
Pengaruh Waktu Terhadap Pembentukan Komponen Produk
Selain suhu, waktu reaksi juga merupakan salah satu faktor penting dalam suatu reaksi.
Dalam suatu reaksi dikenal istilah waktu optimum, yaitu waktu yang diperlukan oleh suatu reaksi
untuk menghasilkan suatu produk secara efektif. Untuk melihat pengaruh suhu dan waktu
terhadap produk, maka konsentrasi substrat awal, enzim selulase dan yeast Saccharomyces
cereviceae yang digunakan dibuat tetap. Pada subbab berikut ini akan dibahas mengenai hasil
analisis konsentrasi sel, glukosa, dan etanol dan pengaruhnya terhadap waktu reaksi sakarifikasi
dan fermentasi.
Gambar 8, 9, dan 10 berikut menampilkan pengaruh waktu reaksi terhadap pembentukan
komponen produk,
Gambar 8. Pengaruh Waktu Reaksi terhadap Pembentukan Komponen Produk pada T= 30℃
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 24 48 72 96 120
Kon
sent
rasi
(g/L
)
Waktu (h)
Konsentrasi cell T=30 C
Konsentrasi glukosa T= 30 C
Konsentrasi etanol T= 30 C
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
Gambar 9. Pengaruh Waktu Reaksi terhadap Pembentukan Komponen Produk pada T= 33℃
Gambar 10. Pengaruh Waktu Reaksi terhadap Pembentukan Komponen Produk pada T= 35℃
Terlihat pada ketiga grafik bahwa konsentrasi cell akan meningkat seiring berjalannya
waktu. Apabila dibandingkan dengan referensi dari (Fogler, 2005), data yang diperoleh pada
penelitian ini memiliki trend yang sama, yaitu konsentrasi sel akan semakin besar seiring dengan
bertambahnya waktu. Hal ini disebabkan, selama substrat yang digunakan untuk sel untuk
tumbuh masih tersedia dalam jumlah yang cukup, maka sel akan terus tumbuh dan
memperbanyak diri sehingga seiring berjalannya waktu konsentrasi sel akan terus bertambah
juga.
Sedangkan untuk konsentrasi glukosa, konsentrasi akan terus menurun seiring berjalannya
waktu. Hal ini dikarenakan, selain terbentuknya glukosa pada proses sakarifikasi, juga terjadi
pengonsumsian glukosa oleh yeast Saccharomyces cereviceae untuk membentuk etanol. Glukosa
berperan sebagai sumber makanan bagi yeast Saccharomyces cereviceae untuk tumbuh dan
berkembang. Semakin banyaknya yeast yang terbentuk, maka juga akan terjadi persaingan untuk
0 0.5
1 1.5
2 2.5
3
0 24 48 72 96 120 K
onse
ntra
si (g
/L)
Waktu (h)
Konsentrasi yeast T= 33 C
Konsentrasi glukosa T= 33 C
Konsentrasi etanol T= 33 C
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 24 48 72 96 120
Kon
sent
rasi
(g/L
)
Waktu (h)
Konsentrasi yeast T= 35 C
Konsentrasi glukosa T= 35 C
Konsentrasi etanol T= 35 C
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
mendapatkan makanan sehingga lama kelamaan jumlah glukosa akan semakin berkurang
(Ohgren et al., 2006).
Dan untuk konsentrasi etanol, terlihat bahwa konsentrasi yang dihasilkan relatif kecil dan
terus menurun seiring berjalannya waktu. Hal ini dikarenakan selain digunukan untuk membuat
etanol, sebagian nutrisi juga digunakan untuk memelihara reaksi (maintenance). Selain itu
rendahnya rendemen bioetanol dari bahan berlignoselulosa ini disebabkan oleh adanya zat
penghambat sebagai hasil samping dari proses hidrolisis bahan berlignoselulosa tersebut seperti
asam asetat, furan aldehid, vanilin, fenol, gliserol dan suksinat yang dapat menghambat kerja
mikroba fermentasi (Sun dan Chen, 2002).
Penentuan Koefisien-koefisien Kinetika Pembentukan Etanol
Untuk menentukan koefisien-koefisien kinetika laju reaksi pembentukan suatu senyawa
diperlukan data konsentrasi. Pada metode ini, data konsentrasi yang diperlukan adalah
konsentrasi glukosa, sel, dan etanol. Model kinetika yang digunakan pada penelitian ini adalah
turunan dari persaman monod, dimana terdapat tiga persamaan yang digunakan yaitu sebagai
berikut: Persamaan kinetika pembentukan sel:
!!!!"= !!"# !!!!
!!!!!−!!!! (1)
Persamaan kinetika komponen produk yang terbentuk
!!!!"
= !!! !!"# !!!!
!!!!! (2)
Persamaan kinetika substrat sisa
!!!!"= −!!
! !!"# !!!!
!!!!!−!!! (3)
Dari persamaan diatas, terlihat bahwa data-data yang diperlukan adalah konsentrasi
glukosa, konsentrasi sel, konsentrasi etanol, !!! , dan !!
!. Nilai !!
! dan !!
! merupakan yield produk
etanol yang dihasilkan dan yield penggunaan substrat terhadap konsentrasi sel. Untuk
menentukan nilai dari kedua variabel tersebut, maka dapat digunakan rumus sebagai berikut:
!!!= !"## !" !"#$%&' !"#$%&
!"## !" !"# !"## !"#$%&= ∆!!
∆!! (4)
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
!! ! =!"## !" !"#!$%&$' !"#$%&'(
!"## !" !"## !"#$%&= − ∆!!
∆!! (5)
Kemudian, seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa terdapat empat
koefisien yang akan ditentukan dari persamaan diatas, yaitu:
µmax = maximum spesific growth reaction rate (h-1) Ks = monod constant (g/dm3)
Kd = specific natural death constant (h-1)
! = !"## !" !"#!$%&$' !"#$%&'( !"# !"#$%&$"$'&!"## !" !"## . !!"#
(h-1)
Dari hasil pengolahan data yang dilakukan dengan menggunakan aplikasi MATLAB,
maka diperoleh nilai koefisien-koefisien seperti pada tabel 7 berikut: Tabel 7. Hasil Perhitungan Koefisien-Koefisien dengan Metode Optimasi pada Aplikasi MATLAB
Suhu
(oC)
Koefisien
µmax (h-1) Ks (g/dm3) Kd (h-1) m (h-1)
30 0,008 0,005 0,011 0,457
32 0,013 0,010 0,009 0,009
35 0,024 0,031 0,383 0,913
Kesimpulan
Dari penelitian dengan judul “Produksi Bioetanol dari Tandan Kosong Sawit Melalui
Simultaneous Saccharification and Fermentation”, dapat ditarik kesimpulan sebagai barikut,
1. Dengan peningkatan suhu, maka hasil produk etanol yang dihasilkan akan semakin
rendah karena telah melebihi suhu optimumnya. Diantara variasi suhu fermentasi yang
dilakukan yaitu 30, 33, dan 35℃, hasil produk etanol yang paling banyak terbentuk adalah
pada suhu 30℃.
2. Dengan berjalannya waktu fermentasi, maka hasil produk etanol yang dihasilkan akan
semakin rendah. Pada variasi waktu pengambilan sampel yaitu pada jam ke 24, ke 48, ke
72, dan ke 96, hasil produk etanol yang paling banyak terbentuk adalah pada jam ke 24.
3. Koefisien kinetika fermentasi pembentukan etanol berbasis tandan kosong yang diperoleh
pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
• Pada variasi suhu 30°C, µmax = 0,008 (h-1); Ks = 0,005 (g/dm3); Kd = 0,011 (h-1); dan
m = 0,457 (h-1).
Produksi Bioetanol …, Ahmad Hamidi, FT UI, 2017
• Pada variasi suhu 32°C, µmax =0,013 (h-1); Ks = 0,010 (g/dm3); Kd = 0,009 (h-1); dan
m = 0,009 (h-1).
• Pada variasi suhu 35°C, µmax = 0,024 (h-1); Ks = 0,031 (g/dm3); Kd = 0,383 (h-1); dan
m = 0,913 (h-1).
Daftar Referensi Dahnum, D. (2015). Comparison of SHF and SSF Processes Using Enzym and Dry Yeast for
Optimization of Bioethanol Production From Empty Fruit Bunch. Energy Procedia, Volume 68, pp. 107-116.
Darnoko (2002). Tinjauan Fungsi Fisik Aplikasi Tandan Kosong Kelapa Sawit. Frazier, W. & Westhoff, D. C. (1978). Food Microbiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill
Book. Gauss, W., S. Suzuki, S. & Takagi, M. (1976). Manufacture of Alcohol from Celulosic Materials
Using Plural Ferments. : BioResearch Center Company Limited. Karina, M., Onggo, H., Abdullah, D. & Syamsupurwadi, A. (2008). Effect of Oil Palm Fruit
Bunch Fiber on The Physical and Mechanical Properties of Fiber Glass Reinforced Polyester Resin. Journal of Biological Sciences, pp. 1-3.
Kumar, S., Singh, N. & Prasad, R. (2010). Anhydrous Ethanol : A Renewable Source of Energy. Renewable and Sustainable Energy Reviews, Issue 14, pp. 1830-1844.
Olofsson, K., Bertilsson, M. & Lidén, G. (2008). A Short Review on SSF- An Interesting Process Option for Ethanol Production from Lignocellulosic Feedstock. Biotechnology for Biofuels 1:7, pp. 1-14.
Samsuri, M., Gozan, M., Prasetya, B. & Nasikin, M. (2009). Hydrolysis of Bagassae by Cellulose and Xylanase for Bioethanol Production in Simultaneous Saccharification and Fermentation. Jurnal of Appl and Industrial Biotech at Tropical Region 2.
Sun, Y. & Chen, J. (2002). Hydrolysis of Lignocellulosic Material for Ethanol Production. Bioresource Technol, Volume 83(1), pp. 1-11.
Tengborg, C., Galbe, M. & Zacchi, G. (2001). Influence of Enzyme Loading and Physical Parameters on The Enzymatic Hydrolysis of Steam Pretreated Softwood. Biotechnol, Volume 17(1), pp. 110-117.
Wahyudi, T. Supriyanto., Abdullah, Widayat, Hadiyanto. (2010). Proses Produksi Etanol oleh Saccharomyces cerevisiae dengan Operasi Kontinyu pada Kondisi Vakum. Seminar Rekayas Kimia dan Proses 2010. Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro. Semarang. 15 : 1-6.
Wardani, A. & Widiawati, D. (2014). Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit Sebagai Material Tekstil dengan Pewarna Alamai untuk Produk Kriya. Jurnal Tingkat Sarjana Bidang Seni Rupa Dan Desain, pp. 1-2.
Wasungu, K. (1982). Growth Characteristics Of Baker's Yeast In Ethanol. Biotechnol Bioeng, Volume 24, p. 1125–1134.
Wingren, A., Galbe, M. & Zacchi, G. (2003). Techno-Economic Evaluation of Producing Ethanol From Softwood: Comparison of SSF and SHF and Identification of Bottlenecks. Biotecnol, Volume 19 (4), pp. 1109-1117.