profil imun respon terhadap rabies dan

64
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan yang bersifat zoonosis (menular ke manusia). Lebih dari 55.000 kasus rabies pada manusia dilaporkan setiap tahun di dunia (Rupprecht et al., 2001; Wilde et al., 2008; Bourhy et al., 2008). Rabies disebabkan oleh virus rabies, dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae (OIE, 2008). Virus rabies termasuk virus yang memiliki genom RNA untai tunggal berpolaritas negatif (ss-RNA virus), memiliki ukuran diameter 75 nm dan panjang 180 nm. Virus rabies memiliki lima jenis partikel protein yang berbeda yakni glikoprotein (G), matrik protein (M), RNA polymerase (L), nukleoprotein (N), dan phosphoprotein (P) (Coll, 1995). Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan ditularkan melalui gigitan, cakaran atau melalui kulit yang terluka (Bingham, 2005; Kang et al., 2007). Kasus klinis rabies pada hewan maupun manusia selalu berakhir dengan kematian. Penyakit Rabies menimbulkan dampak psikologis seperti kepanikan, kegelisahan, kekhawatiran, kesakitan dan ketidaknyamanan pada orang-orang yang terpapar. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada daerah tertular terjadi karena biaya penyidikan, pengendalian yang tinggi, serta tingginya biaya post- exposure treatment. Disamping itu, kerugian akibat pembatalan kunjungan wisatawan, terutama di daerah yang menjadi tujuan wisata penting di dunia, seperti Bali, dapat saja terjadi jika tingkat kejadian rabies sangat tinggi.

Upload: hoangnhu

Post on 31-Dec-2016

263 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: profil imun respon terhadap rabies dan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan yang bersifat

zoonosis (menular ke manusia). Lebih dari 55.000 kasus rabies pada manusia

dilaporkan setiap tahun di dunia (Rupprecht et al., 2001; Wilde et al., 2008;

Bourhy et al., 2008). Rabies disebabkan oleh virus rabies, dari genus Lyssavirus,

famili Rhabdoviridae (OIE, 2008). Virus rabies termasuk virus yang memiliki

genom RNA untai tunggal berpolaritas negatif (ss-RNA virus), memiliki ukuran

diameter 75 nm dan panjang 180 nm. Virus rabies memiliki lima jenis partikel

protein yang berbeda yakni glikoprotein (G), matrik protein (M), RNA

polymerase (L), nukleoprotein (N), dan phosphoprotein (P) (Coll, 1995). Virus

rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan ditularkan melalui

gigitan, cakaran atau melalui kulit yang terluka (Bingham, 2005; Kang et al.,

2007).

Kasus klinis rabies pada hewan maupun manusia selalu berakhir dengan

kematian. Penyakit Rabies menimbulkan dampak psikologis seperti kepanikan,

kegelisahan, kekhawatiran, kesakitan dan ketidaknyamanan pada orang-orang

yang terpapar. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada daerah tertular terjadi

karena biaya penyidikan, pengendalian yang tinggi, serta tingginya biaya post-

exposure treatment. Disamping itu, kerugian akibat pembatalan kunjungan

wisatawan, terutama di daerah yang menjadi tujuan wisata penting di dunia,

seperti Bali, dapat saja terjadi jika tingkat kejadian rabies sangat tinggi.

Page 2: profil imun respon terhadap rabies dan

2

Rabies telah ada di Indonesia sejak abad ke-19 dan telah tersebar di

sebagian besar wilayah. Rabies dilaporkan pertama kali oleh Stchorl pada tahun

1884, yaitu pada seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Selanjutnya kasus rabies

pada kerbau dilaporkan pada tahun 1889, kemudian rabies pada anjing dilaporkan

oleh Penning tahun 1890 di Tangerang. Kasus rabies pada manusia dilaporkan

oleh Eilerts de Haan pada seorang anak di Desa Palimanan, Cirebon tahun 1894.

Selanjutnya rabies dilaporkan semakin menyebar kebeberapa wilayah di

Indonesia, yaitu Sumatra Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 1953,

Sulawesi Selatan tahun 1959, Lampung 1969, Aceh tahun 1970, Jambi dan DI

Yogyakarta tahun 1971. Rabies di Bengkulu, DKI Jakarta, dan Sulawesi Tengah

di laporkan tahun 1972, Kalimantan Timur tahun 1974 dan Riau tahun 1975.

Pada dekade 1990-an dan 2000-an rabies masih terus menjalar ke wilayah yang

sebelumnya bebas historis menjadi tertular, yaitu Pulau Flores tahun 1998, Pulau

Ambon dan Pulau Seram tahun 2003, Halmahera dan Morotai tahun 2005,

Ketapang tahun 2005, serta Pulau Buru tahun 2006. Kemudian Pulau Bali

dilaporkan tertular rabies tahun 2008, Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat di

Propinsi Riau tahun 2009 (Direktorat Kesehatan Hewan, 2006; Kepmentan,

2008).

Bali merupakan propinsi terbaru tertular rabies di Indonesia dan Bali

dinyatakan tertular secara resmi berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian

No.:1637.1/2008 tertanggal 1 Desember 2008. Secara laboratorium rabies pada

anjing di Bali didiagnosis pertama kali pada tanggal 27 Nopember 2008 yaitu

pada satu ekor anjing asal Kelurahan Kedonganan. Dengan mengkaji kasus pada

Page 3: profil imun respon terhadap rabies dan

3

manusia dan hewan serta masa inkubasi rabies, rabies diduga masuk ke

Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung, Propinsi Bali sekitar bulan April 2008

(Putra et al., 2009). Selanjutnya dalam beberapa bulan rabies sudah ditemukan

menyebar kebeberapa wilayah antara lain di Kota Denpasar pada 19 Desember

2008. Pada pertengahan tahun 2009 wabah sudah menyebar ke Kabupaten

Tabanan, Kabupaten Karangasem, Kabupaten Buleleng, Kabupaten Bangli dan

Kabupaten Gianyar. Kabupaten Klungkung tertular akhir Maret 2010, dan

akhirnya bulan Juni 2010 Kabupaten Jembrana dinyatakan tertular rabies. Dengan

demikian, saat ini, semua kabupaten/kota di Propinsi Bali sudah tertular rabies.

Pengendalian penyakit rabies umumnya dilakukan dengan vaksinasi dan

eliminasi anjing liar/diliarkan, disamping program sosialisasi, dan pengawasan

lalu lintas hewan penular rabies (HPR). Vaksinasi massal merupakan cara yang

efektif untuk pencegahan dan pengendalian rabies. Di Kabupaten Badung,

Propinsi Bali, vaksinasi rabies pada anjing, sudah dilakukan sejak tanggal 4

Desember 2008, yang dilanjutkan dengan vaksinasi massal pada tanggal 21sampai

22 Desember 2008. Vaksinasi massal terus dilakukan sampai saat ini (Juni 2011)

di seluruh Bali. Vaksin rabies yang digunakan adalah vaksin Rabivet Supra92 dan

Rabisin.

Upaya untuk mengendalikan rabies dengan vaksinasi dan eliminasi anjing

yang tidak optimal tidak banyak memberikan hasil. Di daerah-daerah tertentu,

kasus rabies bahkan semakin meningkat (Adjid et al., 2005). Demikian juga

halnya yang terjadi di Bali. Itu terbukti dengan semakin luasnya wilayah yang

terkena rabies. Hal ini mungkin disebabkan karena cakupan vaksinasi yang tidak

Page 4: profil imun respon terhadap rabies dan

4

memadai. Cakupan vaksinasi merupakan salah satu hal yang sangat penting

dalam pengendalian suatu penyakit, disamping kualitas vaksin, teknik aplikasi dan

waktu pelaksanaan vaksinasi (Rahman dan Maharis, 2008; Touihri et al.,2011).

Berdasarkan data yang ada di Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet

Denpasar), 3 ekor anjing yang didiagnosis positif rabies ternyata sudah pernah

mendapatkan vaksinasi rabies. Hal yang hampir sama juga dilaporkan oleh Wilde

dan Tepsumethanon (2010), bahwa 3 sampai 6% kasus anjing rabies di Thailand

memiliki sejarah sudah pernah divaksinasi.

Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa kasus-kasus tersebut

kemungkinan disebabkan oleh virus isolat vaksin itu sendiri. Penyebab lainnya

yang perlu dikaji antara lain rentang waktu kekebalan yang ditimbulkan oleh

vaksin yang dipakai terlalu singkat, penanganan vaksin yang tidak baik (misalnya

rantai dingin yang tidak terpenuhi), salah aplikasi, ataukah terjadi perbedaan

struktural gen pada glikoprotein virus rabies yang ada di Bali.

Yang disebut terakhir itu dapat menyebabkan vaksin yang diberikan tidak

mampu lagi memberikan protektivitas pada anjing yang divaksin. Seperti

diketahui bahwa glikoprotein virus rabies merupakan protein yang berperan dalam

menginduksi produksi antibodi netralisasi yang bersifat protektif setelah

vaksinasi. Glikoprotein juga sebagai faktor penting dalam patogenisitas virus

rabies (Benmansour et al., 1991; Susetya, 2005; Nagarajan et al., 2006; Maillard

dan Gaudin, 2002).

Page 5: profil imun respon terhadap rabies dan

5

Masalah-masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan surveilans

serologis untuk deteksi antibodi pasca vaksinasi dan analisis genetika terhadap

gen penyandi glikoprotein virus rabies yang ada di Bali.

Deteksi antibodi rabies sangat penting dilakukan untuk mengetahui

efektivitas vaksin rabies. Jenis vaksin tampaknya menghasilkan respon imun

yang berbeda. Hasil penelitian Minke et al. (2009) menunjukkan bahwa vaksin

Rabisin menginduksi respon kebal tertinggi pada hari 14 setelah vaksinasi yaitu

87%. Vaksin yang lain, yaitu Nobivac, disebutkan menginduksi kekebalan yang

lebih seragam yang mencapai 100% (Minke et al. 2009). Penelitian yang

dilakukan di Nigeria (Ohore et al. 2007) menunjukkan bahwa titer antibodi

tertinggi dicapai antara 3 sampai 6 bulan pasca vaksinasi (PV) dan terendah antara

9 sampai 12 bulan PV.

Metode uji untuk deteksi antibodi terhadap rabies yang sering digunakan

adalah serum netralisasi (SN), yaitu Rapid Fluorscent Focus Inhibition Test

(RFFIT) dan Fluorscent Antibodi Virus Neutralisation (FAVN) (OIE, 2008).

Kedua metode uji tersebut menggunakan virus rabies hidup, sehingga

pengerjaannya memerlukan laboratorium dengan fasilitas biosekuriti yang

memadai dan staf yang telah terlatih baik serta sudah divaksinasi. Enzym Linked

Immunosorbent Assay (ELISA) untuk deteksi antibodi pada serum hewan dan

manusia sudah dikembangkan di beberapa negara. Kit ELISA untuk deteksi

antibodi pada hewan telah diterima oleh OIE untuk uji sekrining atau uji alternatif

dari FAVN. Kelebihan dari uji ELISA adalah dapat dilakukan dalam waktu

empat jam, tidak menggunakan virus hidup, tidak memerlukan laboratorium

Page 6: profil imun respon terhadap rabies dan

6

dengan fasilitas biosekuriti yang tinggi, dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel

yang lebih banyak. Hal ini terbalik dengan FAVN yang memerlukan waktu

pengujian selama 4 hari (McElhinney et al., 2008).

Pada penelitian ini metode ELISA digunakan untuk mendeteksi adanya

antibodi terhadap rabies pada anjing setelah divaksinasi dengan vaksin Rabivet

Supra92 dan vaksin Rabisin. Kit ELISA yang digunakan adalah produksi Pusat

Veterinaria Farma (Pusvetma) Surabaya, merupakan produksi dalam negeri, lebih

murah dibandingkan dengan Kit produksi luar negeri. Sejauh ini belum ada

informasi tentang kualitas Kit ELISA rabies produksi Pusvetma tersebut. Untuk

itu perlu dipelajari akurasi Kit yang digunakan, dengan membandingkan Kit

ELISA produksi Pusvetma (lokal) dengan Kit ELISA yang sudah divalidasi oleh

OIE (Platelia II rabies KIT produksi Bio-rad).

1.2 Rumusan Masalah

1. Berapa lamakah vaksin rabies Rabivet Supra92 dan vaksin Rabisin

yang digunakan di Bali bisa memberikan kekebalan pada anjing?.

2. Bagaimanakah agreement between test (Kappa) KIT ELISA rabies

produksi Pusvetma Surabaya dengan Kit PlateliaII rabies produksi

Bio-Rad?.

3. Apakah sekuen gen penyandi glikoprotein virus rabies isolat Bali

mempunyai kesamaan dengan isolat lainnya di Indonesia atau negara

lain?.

Page 7: profil imun respon terhadap rabies dan

7

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui rentang waktu kekebalan anjing yang divaksinasi

rabies dengan vaksin Rabivet Supra92 dan vaksin Rabisin di Bali.

2. Untuk mengetahui agreement between test (Kappa) KIT ELISA rabies

produksi Pusvetma Surabaya (lokal) dengan melakukan uji banding

dengan KIT ELISA yang sudah divalidasi oleh OIE (Platelia rabies II

produksi Bio-Rad) sebagai standard.

3. Untuk mengetahui sekuen gen penyandi glikoprotein virus rabies

isolat Bali dan disepadankan dengan sekuen isolat lainnya di Indonesia

atau negara lain.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengetahui berapa lama

vaksin rabies yang digunakan bisa memberikan kekebalan pada anjing, serta

agreement between test (Kappa) KIT ELISA Rabies produksi Indonesia

(Pusvetma Surabaya). Dari hasil analisis gen penyandi glikoprotein yang didapat

diharapkan dapat diketahui kekerabatan (jarak genetik) virus rabies isolat Bali.

Page 8: profil imun respon terhadap rabies dan

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Rabies

Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang dapat menular

ke manusia (bersifat zoonosis) (WHO, 2010). Rabies disebabkan oleh virus rabies

dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae (Jallet et al., 1999). Virus rabies di

keluarkan bersama air liur hewan terinfeksi dan ditularkan melalui luka gigitan

atau jilatan. Rabies sangat penting artinya bagi kesehatan masyarakat, karena

apabila penyakit tersebut menyerang manusia dan tidak sempat mendapat

perawatan medis akan mengakibatkan kematian dengan gejala klinis yang

mengharukan dan bersifat fatal (Adjid, et al., 2005; Bingham, 2005; Dietzschold

et al., 2005; Miah et al., 2005; Rupprecht et al., 2001).

2.1.1 Masa inkubasi dan gejala klinis rabies

Masa inkubasi dan gejala klinis rabies bervariasi pada spesies satu dengan

lainnya. Menurut Hiswani (2003), masa inkubasi rabies pada anjing dan kucing

berkisar antara 10 hari sampai 8 minggu. Pada sapi, kambing, kuda, dan babi

berkisar antara 1 sampai 3 bulan. Peneliti lain mengemukan bahwa massa

inkubasi anjing penderita rabies kurang dari 10 hari (Tepsumethanon et al., 2004;

2008).

Masa inkubasi rabies pada manusia juga bervariasi. Masa inkubasi rabies

pada manusia kurang dari 30 hari ditemukan sebanyak 25%, 30 hari sampai 90

hari sebanyak 50%, 90 hari sampai 1 tahun sebanyak 20%, dan lebih dari 1 tahun

Page 9: profil imun respon terhadap rabies dan

9

sebanyak 5% (Transfuzion, 2009). Peneliti lain mengemukakan bahwa masa

inkubasi rabies pada manusia berkisar antara 30 hari sampai 90 hari, namun ada

yang 4 hari sampai beberapa tahun, dan cendrung lebih singkat pada gigitan di

muka dari pada di tungkai (WHO., 2010).

Gejala klinis rabies pada anjing dan kucing hampir sama. Triakoso

(2007), mengemukakan bahwa Gejala klinis rabies dikenal dalam dua bentuk

yaitu bentuk ganas dan bentuk diam. Pada rabies bentuk ganas (furious rabies)

masa eksitasi panjang, kebanyakan akan mati dalam dua sampai lima hari setelah

tanda-tanda rabies terlihat. Sedangkan pada rabies bentuk diam atau dungu (dumb

rabies) terjadi kelumpuhan (paralisa) sangat cepat menjalar keseluruh anggota

tubuh dan masa eksitasi pendek.

Perjalanan penyakit rabies pada anjing dan kucing dibagi dalam tiga

tahap/phase (Triakoso, 2007; CIVAS., 2010) yaitu phase prodormal, dilanjutkan

ke phase eksitasi, dan phase paralisa. Pada phase prodormal hewan mencari

tempat dingin dan menyendiri, tetapi dapat menjadi lebih agresif dan nervus, pupil

mata melebar, dan sikap tubuh kaku (tegang). Phase ini berlangsung selama satu

sampai tiga hari. Pada phase eksitasi hewan menjadi ganas dan menyerang siapa

saja yang ada di sekitarnya dan memakan barang yang aneh-aneh. Selanjutnya

mata menjadi keruh dan selalu terbuka serta tubuh gemetaran, kemudian masuk ke

phase paralisa. Pada phase paralisa hewan mengalami kelumpuhan pada semua

bagian tubuh dan berakhir dengan kematian.

Gejala klinis rabies pada hewan pemamah biak adalah gelisah, liar, adanya

rasa gatal pada seluruh tubuh, kelumpuhan pada kaki belakang, dan akhirnya

Page 10: profil imun respon terhadap rabies dan

10

hewan mati. Pada hari pertama atau kedua gejala klinis biasanya tempratur

normal, anorexia, ekspresi wajah berubah dari biasanya, dan sering menguak

(Hiswani, 2003).

2.1.2 Karakteristik virus rabies

Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam ordo

Mononegavirales, famili Rhabdoviridae (CDC., 2007). Genus virus yang

termasuk dalam famili Rhabdoviridae antara lain genus Lyssavirus, genus

Ephemerovirus, genus Vesiculovirus, genus Cytorhabdovirus, genus

Dichorhabdovirus, genus Novirhabdovirus, dan genus Nucleorhabdovirus. Virus

yang termasuk dalam Genus Lyssavirus adalah virus rabies, lagos bat virus,

mokola virus, Duvenhage virus, European bat virus 1 & 2 dan Australian bat

virus (Gould et al., 1998; Guyat et al., 2003; Sissoe et al., 2005; CDC., 2007;

Metlin et al.,2007; Zee et al., 2004; Triakoso, 2007).

Virus rabies memiliki bentuk seperti batang peluru (silindris) dengan salah

satu ujungnya berbentuk kerucut (Gambar 2.1). Virus rabies berukuran diameter

75 nm dan panjang 180 nm, memiliki panjang genom sekitar 12 kilo base (CDC,

2010; Suwarno, 2005; Bourhy et al., 2008). Peneliti lain mengemukakan ukuran

virus rabies mempunyai diameter 45nm sampai 100nm, panjang 100nm sampai

430nm, dan panjang genom 11,9 kb (Tranfuzion, 2009).

Virus rabies memiliki lima jenis protein yang berbeda, yaitu dua protein

berada pada amplop yakni glikoprotein (G) dan matrik protein (M), tiga pada

nukleokapsid yakni nukleoprotein (N), phospoprotein (P), dan RNA-dependent

Page 11: profil imun respon terhadap rabies dan

11

RNA polymerase (RdRp, L) (Metlin et al.,2007). Berat molekul masing-masing

protein adalah glikoprotein 64 kD sampai 68 kD, matrik protein 24 kD sampai 25

kD, nukleoprotein 60 kD, phospoprotein 40 kD sampai 45 kD dan RNA-dependent

RNA polymerase 190 kD. Panjang nukleotida (nt) masing-masing protein adalah

glikoprotein 1575 nt, matrik protein 805 nt, nukleoprotein 1424 nt, phospoprotein

991 nt dan RNA-dependent RNA polymerase 6475 nt (Coll, 1995; Nagarajan et

al., 2006; Nagaraja et al., 2008; Swarno, 2005; Ren, 2010; Tomar et al.,2010;

Warrell, 2009) (Gambar 2.2).

Gambar 2.1.

Struktur Virus Rabies Sumber:

http://expasy.org/viralzone/all_by_species/2.html

Page 12: profil imun respon terhadap rabies dan

12

Gambar 2.2. Genom virus rabies

Genom virus rabies adalah RNA untai tunggal, polaritas negatif, tidak bersegmen, dan mempunyai panjang sekitar 12 kb. Genom mempunyai leader-sequence

(LDR) sepanjang 50 nukleotida yang diikuti oleh gen N, P, M, G, dan L (Sumber: http://www.cdc.gov/rabies/transmission/virus.html)

2.1.3 Glikoprotein virus rabies

Glikoprotein virus rabies merupakan protein penyusun permukaan virus

yang berbentuk “spike” atau duri (berjumlah kurang lebih 400 duri) (CDC, 2010),

dengan berat molekul sekitar 64 kD sampai 68 kD (Suwarno, 2005). Peneliti lain

menyebutkan 65 kD (Sissoe et al.,2005). Glikoprotein virus rabies merupakan

protein yang berperan dalam proses masuknya virus ke dalam sel inang dan

merupakan protein yang menginduksi produksi antibodi netralisasi yang bersifat

protektif (Benmansour et al., 1991; Langevin dan Tuffereau, 2002; Susetya, 2005;

Nagarajan et al., 2006; Maillard dan Gaudin, 2002; Gupta et al., 2005; Sissoe et

al.,2005).

Glikoprotein juga sebagai faktor penting dalam patogenisitas virus rabies,

terutama asam amino arginin pada posisi 333 (Ito et al.,2001; Susan et al.,2010).

Page 13: profil imun respon terhadap rabies dan

13

Beberapa jenis vaksin virus rabies yang mengandung asam aspartat (Asp) atau

asam glumaic (Glu), bukan sebuah arginin (Arg) pada posisi 333 dari glikoprotein

virus rabies tidak patogen untuk tikus (Faber et al., 2005). Namun demikian

peneliti lain mengemukakan bahwa patogenisitas strain virus rabies tidak hanya

ditentukan oleh substitusi pada posisi G333. Substitusi lain dalam protein G,

seperti N194K, juga mempengaruhi patogenisitas virus pada tikus (Tau et al.,

2010). Hasil analisis genetika gen penyandi glikoprotein virus rabies Indonesia

terhadap satu isolat asal Sumatra Barat, menunjukkan bahwa isolat tersebut

mempunyai kekerabatan yang lebih dekat dengan isolat virus rabies asal China

dibandingkan dengan isolat asal Thailand dan Malaysia (Susetya, 2005; Susetya et

al., 2005).

2.2 Program Pengendalian dan Pemberantasan Rabies

Strategi pengendalian dan pemberantasan rabies pada hewan umumnya

dilakukan melalui program vaksinasi massal. Rabies dapat diberantas dengan

cakupan vaksinasi yang memadai pada anjing berpemilik dan pengendalian

populasi anjing jalanan (stray dog). Jepang berhasil bebas dari rabies sejak tahun

1957 dengan melakukan kontrol legislasi yang kuat, termasuk sistem karantina

dan vaksinasi pada anjing setiap tahun (Inoue, 2003).

Kunci utama dalam menangani rabies adalah mencegah pada sumbernya

yaitu hewan. Sesuai dengan pedoman pengendalian rabies terpadu, metoda

pemberantasan rabies dilakukan dengan a) vaksinasi dan eliminasi dilakukan pada

anjing, kucing, dan kera dengan fokus utama pada anjing, b) vaksinasi dilakukan

Page 14: profil imun respon terhadap rabies dan

14

terhadap anjing dan kera berpemilik, dan c) eliminasi dilakukan terhadap anjing

tidak berpemilik dan anjing berpemilik yang tidak divaksinasi/diliarkan

(Direktorat Kesehatan Hewan, 2006).

Upaya untuk mengendalikan rabies dengan vaksinasi dan eliminasi anjing

yang tidak optimal tidak banyak memberikan hasil, bahkan didaerah-daerah

tertentu kasus rabies semakin meningkat (Adjid et al., 2005). Demikian juga

halnya yang terjadi di Bali, terbukti dengan semakin luasnya wilayah yang terkena

rabies. Secara laboratorium seluruh kabupaten/kota di Propinsi Bali sudah tertular

rabies sejak Juni 2010. Hal ini mungkin disebabkan karena cakupan vaksinasi

yang rendah (kurang dari 70%) atau vaksin yang digunakan hanya mampu

memberikan kekebalan dalam waktu yang relatif singkat. Cakupan vaksinasi

minimal 70% telah dibuktikan di banyak negara berhasil mencegah terjadinya

wabah.

Namun demikian pemberantasan rabies tidak hanya tergantung pada

masalah anjing, tetapi juga menyangkut masalah manusia. Pada dasarnya

keberhasilan pengendalian dan pemberantasan rabies bergantung kepada tingkat

kesadaran masyarakat. Perlu ada perubahan perilaku yang membuat masyarakat

dapat menerima dan mematuhi berbagai kewajiban sesuai aturan yang berlaku.

Kewajiban yang dimaksud antara lain mengandangkan atau mengikat anjing yang

dimiliki, merawat dan menjaga kesehatannya, serta memvaksinnya secara rutin.

Hal ini akan membantu petugas pengendali rabies menjadi lebih mudah mengatasi

keadaan.

Page 15: profil imun respon terhadap rabies dan

15

2.3 Vaksin Rabies

Vaksin rabies sudah mengalami beberapa tahap perubahan dalam proses

pembuatannya. Sejarah vaksin rabies diawali oleh Louis Pasteur yang membuat

attenuated live vaccine pada tahun 1980-an. Seiring dengan berjalannya waktu

vaksin rabies terus mengalami modifikasi. Pada tahun 1908 Enrico Fermi berhasil

membuat killed vaccine yang pertama, menggunakan phenol untuk

menginaktivasi virus (Wilde, 2009). Peneliti lain, Hiswani (2003) mengemukakan

bahwa vaksin rabies telah dikenal sejak tahun 1879, dibuat pertama kali oleh

Victor Galtier. Kemudian pada tahun 1958 Kissling membiakkan virus rabies

challenge virus standar (CVS) pada biakan sel ginjal anak hamster. Selanjutnya

pada tahun 1963 Kissling dan Reese berhasil membuat vaksin rabies inaktif

menggunakan virus rabies yang dibiakkan pada sel ginjal anak hamster (BHK).

Di Indonesia vaksin rabies untuk hewan telah diproduksi sejak tahun 1967

oleh Pusat Veterinaria Farma (Pusvetma) Surabaya, menggunakan fixed virus

rabies. Sebagai media untuk membiakkan virus rabies digunakan otak

kambing/domba umur 3 bulan. Vaksin yang dihasilkan diberi nama paten

Rasivet. Aplikasi vaksin tersebut melalui suntikan dibawah kulit dengan dosis 4

ml. Masa kebal vaksin Rasivet relatif pendek yaitu 6 bulan (Hiswani, 2003).

Lebih lanjut dikemukakan bahwa sejak tahun 1983 pembuatan vaksin rabies di

Pusvetma menggunakan biakan sel sebagai media pertumbuhan virus rabies.

Setelah melalui rangkaian percobaan maka pada tahun 1984, Pusvetma telah

mengeluarkan vaksin rabies yang menggunakan biakan sel sebagai tempat

Page 16: profil imun respon terhadap rabies dan

16

pembiakan virus yaitu vaksin Rabivet. Namun vaksin ini menimbulkan masalah

dilapangan yaitu beberapa daerah melaporkan adanya endapan warna hitam pada

dasar vial. Selanjutnya Pusvetma memproduksi vaksin rabies yang diberi nama

Rabivet Supra92. Dibandingkan dengan vaksin Rabivet maka vaksin Rabivet

Supra92 mempunyai kandungan protein yang jauh lebih rendah yaitu 2 mg/ml.

Dengan turunnya kandungan protein diharapkan tidak terjadi reaksi anafilaksis

dan tidak menimbulkan rasa sakit pada suntikan. PH vaksin juga menunjukkan

kestabilan yaitu kurang lebih 7 sesuai dengan pH tubuh (Hiswani, 2003).

2.4 Antibodi

Antibodi juga dikenal sebagai immunoglobulin, sering disingkat dengan

Ig. Antibodi dipergunakan oleh sistem imun untuk identifikasi dan netralisasi

agen asing, seperti bakteri dan virus. Antibodi merupakan protein plasma

globular dengan berat sekitar 150 kD. Berdasarkan isotipenya antibodi pada

mamalia dapat dibedakan menjadi IgA, IgD, IgE, IgG, dan IgM. Unit Fungsional

dari setiap antibodi adalah immunoglobulin (Ig). Bentuk monomer dari antibodi

berisi hanya satu unit Ig seperti IgD, IgE, dan IgG. Antibodi juga bisa dalam

bentuk dimerik dengan dua unit Ig seperti IgA, bentuk tetramerik dengan empat

unit Ig seperti IgM pada ikan, atau pentamerik dengan lima unit Ig seperti IgM

pada mamalia (Tizard, 2004, Roitt et al., 2000).

Page 17: profil imun respon terhadap rabies dan

17

2.5 Diagnosa Serologis Rabies

Beberapa metode uji telah dikembangkan untuk diagnosa rabies secara

serologis. Metode uji untuk deteksi antibodi terhadap rabies yang sering

digunakan adalah serum netralisasi (SN), yaitu Rapid Fluorscent Focus Inhibition

Test (RFFIT) dan Fluorscent Antibodi Virus Neutralisation (FAVN) (OIE, 2008).

SN merupakan uji gold standard dalam pemeriksaan antibodi netralisasi terhadap

rabies (Moore dan Hanion, 2010). Metode uji tersebut menggunakan virus rabies

hidup, sehingga pengerjaannya memerlukan laboratorium dengan fasilitas

biosekuriti yang memadai dan staf yang telah terlatih baik serta sudah divaksinasi.

Complement fixation test dengan glikoprotein sebagai antigen juga dapat

digunakan untuk deteksi antibodi netralisasi terhadap virus rabies (Cox et al.,

1977).

Enzym Linked Immunosorbent assay (ELISA) juga merupakan salah satu

metode yang digunakan untuk deteksi antibodi pada serum hewan (anjing dan

kucing) serta pada serum manusia. ELISA juga digunakan untuk deteksi antibodi

pada hewan untuk uji sekrining atau uji alternatif dari FAVN (Cliquet et.al., 2004;

Meslin dan Kaplan, 1996; OIE, 2008; Shanker, 2009). Kelebihan dari uji ELISA

adalah dapat dilakukan dalam empat jam, tidak menggunakan virus hidup, tidak

memerlukan laboratorium dengan fasilitas biosekuriti yang tinggi. Hal ini terbalik

dengan FAVN yang memerlukan waktu pengujian selama 4 hari (McElhinney et

al., 2008). ELISA sudah banyak digunakan untuk deteksi antibodi rabies pada

program vaksinasi di beberapa negara antara lain Nigeria, dengan hasil prevalensi

Page 18: profil imun respon terhadap rabies dan

18

antibodi tertinggi 87,5% ditemukan pada periode 3 sampai 6 bulan PV (Ohoe et

al., 2007), di Botswana 54% (148/276) sampel yang diuji mempunyai antibodi

protektif (Sebunya, 2007), di Bangkok, Tanzania, dan negara lain (Adriana et al.,

1999: Cleaveland et al., 1999; Kasempimolporn, 2006; Salina et al., 1992;

Cliquet et al., 2000; 2003; Servat and Cliquet, 2006; Servat et al., 2006, 2007).

Kit ELISA untuk deteksi antibodi terhadap rabies sudah tersedia di Indonesia

yang diproduksi oleh Pusat Veterinaria Farma Surabaya.

Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan reaksi

pengikatan antara antigen dengan antibodi dengan bantuan enzyme sebagai

penanda. ELISA merupakan teknik laboratorium yang digunakan untuk

mendeteksi adanya antibodi atau antigen dalam sampel. Secara umum teknik

ELISA yang digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi adalah indirect ELISA,

sedangkan sandwich ELISA untuk deteksi antigen. Dalam indirect ELISA untuk

deteksi antibodi, microplate 96-wells yang berbahan polystirene dilapisi dengan

antigen dan diinkubasikan sebelum dicuci. Serum yang diuji ditambahkan ke

microplate sehingga antibodi dalam serum dapat berikatan dengan antigen.

setelah inkubasi dan pencucian untuk menghilangkan antibodi yang tidak terikat,

kehadiran dari setiap antibodi terikat terdeteksi dengan penambahan antiglobulin

kimia terkait dengan enzim (konjugat). Komplek ini mengikat antibodi, setelah

inkubasi dan pencucian, dapat dideteksi dan diukur dengan penambahan substrat.

Intensitas warna yang berkembang sebanding dengan jumlah antibodi yang hadir

dalam serum yang diuji. Intensitas warna dapat diperkirakan secara visual atau

Page 19: profil imun respon terhadap rabies dan

19

dengan spektrofotometri (Tizard, 2000). Secara singkat prinsip uji ELISA di

sajikan pada gambar 2.3.

Gambar 2.3. Indirect ELISA and Sandwich ELISA.

A) Dalam indirect ELISA, kepekatan warna mengindikasikan jumlah antibodi yang berikatan dengan antigen.

(B) Dalam sandwich ELISA, kepekatan warna mengindikasikan kuantitas antigen (Sumber : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK22420/)

2.6 Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

Reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR), merupakan

suatu metode yang sensitif untuk mendeteksi kadar ekspresi mRNA. RT-PCR

tradisional melibatkan dua langkah yaitu reaksi RT dan amplifikasi PCR. RNA

pertama direverse transkripsi menjadi DNA complement (complementary DNA,

atau cDNA) menggunakan enzym reverse transcriptase. cDNA yang dihasilkan

digunakan sebagai template untuk amplifikasi PCR selanjutnya menggunakan

primer spesifik untuk satu atau lebih gen. RT-PCR juga dapat dilakukan dalam

Page 20: profil imun respon terhadap rabies dan

20

satu langkah RT-PCR (one-step PCR). Pada satu langkah RT-PCR semua

komponen reaksi dicampur dalam satu tabung sebelum memulai reaksi (Protocol-

online.org., 2011; McPherson and Moller, 2000).

2.7 Validasi Metode

Validasi metode uji laboratorium sangat penting dilakukan sebelum

digunakan di laboratorium. Menurut Putra (2009), validasi metode adalah suatu

proses yang dilakukan untuk membuktikan bahwa suatu metode uji layak

digunakan di laboratorium. Ada dua jenis validasi metode yaitu a) validasi primer

dilakukan jika laboratorium menggunakan metode baru hasil pengembangan atau

metode yang dimodifikasi terhadap suatu metode standard dan b) validasi

sekunder dilakukan untuk verifikasi, jika laboratorium menggunakan atau

mengadopsi metode yang telah divalidasi. Pelaksanaan validasi metode tergantung

dari karakter yang dapat dideteksi oleh suatu metode uji. Beberapa kriteria yang

dapat digunakan sebagai pedoman dalam melakukan validasi suatu metode uji

yaitu limit deteksi, selektivitas/spesivisitas, linearitas dan rentang,

kekuatan/robustness, ketangguhan metode/ketidak mantapan (ruggedness),

presisi/keseksamaan, dan akurasi/kecermatan (Harmita, 2004; Wahyuriadi, 2009).

Page 21: profil imun respon terhadap rabies dan

21

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis,

disebabkan oleh virus rabies. Virus rabies memiliki lima jenis partikel protein

yang berbeda yaitu glikoprotein (G), matrik protein (M), RNA polymerase (L),

Nukleoprotein (N), dan phosphoprotein (P). Protein ini berperan dalam penularan

dan keganasan virus Rabies.

Upaya pengendalian dan pemberantasan rabies dilakukan dengan

melakukan vaksinasi pada anjing, kucing dan kera, serta eliminasi terhadap anjing

liar dan anjing yang tidak berpemilik. Untuk mengetahui keberhasilan program

vaksinasi yang telah dilaksanakan, perlu dilakukan evaluasi dengan monitoring

antibodi pasca vaksinasi. Dari hasil monitoring tersebut dapat diketahui profil

immun respon dari HPR yang di vaksinasi.

Profil respon imun pasca vaksinasi akan memberikan gambaran jangka

waktu kekebalan yang ditimbulkan oleh vaksin. Metode uji yang sering dipakai

untuk mendeteksi adanya antibodi pada serum adalah serum netralisasi (SN) dan

enzym linked immunosorbent assay (ELISA). Uji SN merupakan uji standard,

tetapi uji ini sangat beresiko karena menggunakan virus hidup. Untuk dapat

dilaksanakan uji SN memerlukan pasilitas laboratorium dengan biosekuriti yang

memadai, staf yang telah terlatih serta sudah divaksinasi, memerlukan waktu

sekitar 4 hari. ELISA merupakan uji yang lebih sederhana, lebih murah, tidak

Page 22: profil imun respon terhadap rabies dan

22

menggunakan virus hidup sehingga keamanan pekerjanya lebih terjamin, lebih

cepat (hanya memerlukan waktu sekitar 4 jam), dan saat ini sudah tersedia KIT

secara komersial, baik produksi lokal maupun luar negeri. Namun demikian,

untuk mengetahui sensitivitas dan spesivisitas kit yang diproduksi oleh Pusvetma

Surabaya (produksi lokal Indonesia), supaya mendapatkan hasil yang valid,

maka perlu dilakukan uji banding dengan kit yang sudah divalidasi.

Berdasarkan data yang ada di laboratorium Balai Besar Veteriner

Denpasar diketahui bahwa, beberapa kasus klinis rabies pada anjing adalah

berasal dari anjing yang sudah mendapatkan vaksinasi rabies. Hal ini mungkin

disebabkan oleh beberapa faktor antara lain mungkin strain virus vaksin yang

digunakan tidak cocok dengan strain virus yang ada di Bali, handling vaksin yang

tidak baik misalnya rantai dingin yang tidak terpenuhi, kemungkinan aplikasi

vaksin yang tidak tepat, dan anjing dalam masa inkubasi. Adanya kasus positif

rabies pada anjing yang sudah divaksinasi, menimbulkan pertanyaan apakah hal

ini disebabkan oleh virus dari vaksin yang dipakai, ataukah ada perbedaan

struktural gen penyandi glikoprotein rabies di Bali sehingga vaksin yang

digunakan tidak mampu lagi memberikan proktektivitas pada anjing yang

divaksin. Salah satu komponen virus rabies yang berperanan dalam pembentukan

antibodi setelah vaksinasi adalah glikoprotein. Untuk itulah maka perlu dilakukan

analisis genetika terhadap gen penyandi glikoprotein virus rabies isolat Bali.

Secara singkat kerangka konsep dari usulan penelitian ini disampaikan

pada Gambar 3.1.

Page 23: profil imun respon terhadap rabies dan

23

3.2 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat dirumuskan hipotesis

sebagai berikut :

a. Tidak ada perbedaan kekebalan anjing yang divaksinasi dengan vaksin

Rabisin dengan anjing yang divaksinasi dengan vaksin Rabivet

Supra92.

b. Tidak ada perbedaan kualitas/akurasi KIT ELISA Rabies produksi

Pusvetma dengan KIT PLATELIA II Rabies produksi Bio-rad.

c. Tidak terjadi perbedaan sekuen gen penyandi glikoprotein virus rabies

isolat Bali dengan isolat Indonesia lainnya.

Page 24: profil imun respon terhadap rabies dan

24

Gambar 3.1. Diagram Alir Kerangka Konsep Penelitian

Program pengendalian & pemberantasan rabies di Bali

Eliminasi Pengendalian lalin HPR.

Evaluasi program vaksinasi

Respon kekebalan pada anjing perlu diketahui Laporan kasus rabies pada anjing pasca vaksinasi / kegagalan vaksinasi

Metode Uji untuk deteksi antibodi Faktor Penyebab kegagalan

SN ELISA Handling vaksin dan atau aplikasi valksin tidak baik

Strain vaksin yang dipakai tidak sesuai

Aplikasi vaksin kurang tepat Lebih murah, cepat, aman, dan

tersedia kit komersial

Glikoprotein virus rabies berperanan dalam menginduksi antibodi

Analisis gen penyandi glikoprotein virus rabies isolat Bali perlu dilakukan

sekuen gen penyandi glikoprotein virus rabies isolat Bali diketahui

Uji banding kit perlu dilakukan

kualitas kit diketahui sehingga hasil uji valid

pengujian sampel serum anjing pasca vaksinasi

profil imun respon anjing diketahui

Vaksinasi

Page 25: profil imun respon terhadap rabies dan

25

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi Penelitian

Pengambilan sampel serum untuk penelitian profil imun respon terhadap

rabies dilakukan di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Bali. Uji ELISA

dilakukan di Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar. Pengujian sampel untuk

isolasi RNA dan RT-PCR dilakukan di Laboratorium Biomedik Fakultas

Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Sekuensing dilakukan di Eikjman

Institute Jakarta.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Sampel otak positif rabies untuk analisis gen penyandi glikoprotein diambil

dari arsif sampel di laboratorium BBVet Denpasar. Data primer berupa data

sampel dari lapangan dan data hasil pengujian sampel di laboratorium. Data

sekunder berupa data sekuen asam amino/susunan nukleotida gen penyandi

glikoprotein virus rabies yang tersedia di Genbank.

4.3 Intrumen Penelitian

Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tabung

venoject, spuit, mesin pembaca ELISA (Reader 250 biomeureuck, Franch), mesin

pencuci ELISA (Biomeureux, Franch), Mikropipet berbagai volume (0,5- 5μl, 5

sampai 25 μl, 20 μl sampai 200 μl, 200 μl sampai 1000 μl), multicannel pipet

volume 20 μl sampai 250 μl, (effendorf), inkubator 37oC (B&T), Micro centrifuge

(Thermo), Waterbath (B&T), tips pipet, PCR mesin (termocycle, programable

Page 26: profil imun respon terhadap rabies dan

26

termal controler, MJ-Research ink, PTC-100), gel elektrophoresis (Bio-rad),

camera, dan mesin sekuenser.

Bahan yang digunakan antara lain serum sampel, sampel otak anjing positif

rabies, serum reference rabies positif (Antirabies reference serum of dog origin,

batch number 2010-1, Maret 2010, titer 3UI/ml, produksi ANSES, Nancy

laboratory for rabies and wild life, France, OIE reference laboratory for rabies),

serum reference rabies negatif (Dog serum naive for rabies virus, batch number

SR-07, 24/12/09, produksi ANSES, Nancy laboratory for rabies and wild life,

France), kit ELISA rabies produksi bio-rad (Platelia Rabies II KiT Ref.: 355-

0180), dan kit ELISA Produksi pusvetma Surabaya tahun 2010, Trizol

(Invitrogen), primer, RNA isolation kit (Invitrogen), PCR reaktion kit

(Invitrogen), enzym taq (Super Scrip III, One step RT-PCR mix Platinum Taq.

Cat No.12574-026 Invitrogen), PCR Kit, Chlorofom, alkohol (Merck), 1%

Agarose gel (UltrapureTM agarose gel, Invitrogen, USA), TAE buffer (Invitrogen),

100 bp DNA ladder (Invitrogen), dan ethidium bromide solution (Promega Corp.,

Madison, USA).

4.4 Metode Penelitian

4.4.1 Profil imun respon antibodi rabies pada anjing

Sampel serum diambil dari anjing yang belum dan sudah mendapatkan

vaksinasi rabies. Serum anjing diambil pada saat akan dilakukan vaksinasi atau

booster vaksinasi menggunakan metode convenient sampling. Serum

dikelompokkan berdasarkan status vaksinasinya yaitu belum divaksinasi

Page 27: profil imun respon terhadap rabies dan

27

(pravaksinasi), satu bulan sampai dengan tiga bulan pasca vaksinasi, lebih dari

tiga bulan sampai dengan enam bulan pasca vaksinasi, lebih dari enam bulan

sampai dengan sembilan bulan pasca vaksinasi, dan lebih dari sembilan bulan

sampai dengan dua belas bulan pasca vaksinasi. Selanjutnya semua sampel serum

diuji menggunakan Kit ELISA produksi Pusvetma.

4.4.2 Uji banding kit ELISA

Sampel serum yang diambil dari anjing yang sudah divaksinasi dengan

vaksin rabies dan serum reference rabies positif dan negatif (produksi ANSES

France, OIE reference laboratory for rabies) yang sudah diencerkan, diuji dengan

Kit produksi Pusvetma Surabaya dan Platelia II rabies Kit produksi Bio-Rad,

dengan prosedur yang sudah tersedia didalam Kit sebagai berikut:

A. Prosedur uji ELISA Kit Rabies Pusvetma Surabaya

Serum sampel di inaktivasi dengan memanaskan dalam penangas air

dengan suhu 56oC selama 30 menit, kemudian diencerkan 1:50 dengan

menambahkan 5µl sampel serum dengan 245 µl pelarut. Selanjutnya diencerkan

serum kontrol positif (sediaan 25 kali) dan serum kontrol negatif secara serial dari

50 kali, 100 kali, 200 kali dan 400 kali.

Serum sampel dan kontrol dimasukkan pada lubang mikroplate masing-

masing 100µl dan dua lubang dibiarkan tanpa serum sebagai kontrol konjugat.

Kemudian mikroplate ditutup dengan plastik penutup dan diinkubasikan pada

suhu 37oC selama 45 sampai dengan 60 menit. Selanjutnya cairan serum pada

mikroplate uji dibuang dan dilakukan pencucian sebanyak minimal 5 kali. Cairan

pencuci yang tersisa dalam jumlah kecil dalam mikroplat dikeringkan dengan cara

Page 28: profil imun respon terhadap rabies dan

28

membalikkan mikroplat di atas kertas tissue tebal. Kemudian tambahkan konjugat

yang telah diencerkan sebanyak 100µl per lubang. Mikroplat ditutup kembali dan

diinkubasikan pada suhu 37oC selama 45 sampai dengan 60 menit. Selanjutnya

cairan dibuang dan dilakukan pencucian sebanyak minimal 5 kali dan

ditambahkan substrat ABTS sebanyak 100µl pada setiap lubang. Plate

diinkubasikan pada suhu kamar, dalam kondisi gelap selama 30 menit. Terakhir

ditambahkan 100µl stop solution pada setiap lubang.

Pembacaan densitas optik (OD = Optical Density) pada pembaca (Reader)

dengan panjang gelombang 405nm. Selanjutnya dihitung Equivalent Unit (EU)

dari masing-masing OD sampel dengan menggunakan rumus yang sudah

disediakan dalam KIT. Titer serum 0,5 EU atau lebih dianggap protektif.

B. Prosedur uji ELISA KIT Platelia II Kit Rabies Bio-Rad

(Platelia Rabies II KiT Ref.: 355-0180)

Mikroplate dikeluarkan dari kemasan, kemudian serum sampel, serum

kontrol positif (R4a 0,5EU) dan kontrol negatif (R3) diencerkan dengan

perbandingan 1: 100 dalam larutan pengencer (R6). Sedangkan serum kontrol

positif standar (R4b), diencerkan 1:100 (sebagai S6 dengan titer 4EU) dalam

larutan pengencer (R6), selanjutnya dari S6 tersebut diencerkan secara serial dua

kali (500µl S6 ditambah 500µl R6) menjadi S5 (2EU), demikian seterusnya

dengan cara yang sama menjadi S4(1EU), S3(0,5EU), S2(0,25EU) dan S1

(0,125EU).

Page 29: profil imun respon terhadap rabies dan

29

Kemudian masing-masing serum sampel dan serum kontrol, dimasukkan

100µl ke dalam lubang mikroplate. Mikroplate ditutup dan diinkubasikan pada

suhu 37oC selama 1 jam. Mikroplate dicuci sebanyak 3 kali. Kemudian

ditambahkan 100µl conjugate yang telah diencerkan pada semua lubang. Tutup

mikroplate dan diinkubasikan 1 jam pada suhu 37oC. Mikroplate dicuci sebanyak

5 kali. Kemudian ditambahkan 100µl substrat pada semua lubang, dan

diinkubasikan pada suhu kamar selama 30 menit dalam kondisi gelap. Kemudian

ditambahkan 100 µl stop solution pada semua lubang. Setelah 30 menit, dilakukan

pembacaan optical density pada panjang gelombang 450nm sampai 620nm.

Penghitungan dilakukan ke dalam EU dari masing-masing OD sampel dengan

menggunakan rumus yang sudah disediakan dalam KIT. Titer 0,5 EU atau lebih

dianggap protektif.

4.4.3 Analisis gen penyandi glikoprotein

Sampel otak anjing diambil dari arsip sampel positif rabies (telah diuji

FAT/ biologis) yang ada di laboratorium patologi Balai Besar Veteriner (BBVet)

Denpasar. Isolasi RNA dilakukan dengan melakukan ektraksi sampel otak dengan

menggnunakan trizol (Invitrogen). Selanjutnya dilakukan uji Reverse

transcription- polymerase chain reaction (RT-PCR) pada single-step reaction,

dengan total volume 25 µl, menggunakan primer yang didisain oleh IGNK

Mahardika dengan sofware primer 3, berdasarkan sekuen nukleotida glikoprotein

(protein G) virus rabies yang tersedia di GenBank. Produk PCR divisualisasikan

secara elektrophoresis dalam 1% agarose dengan ethidium bromide. Band DNA

Page 30: profil imun respon terhadap rabies dan

30

hasil amplifikasi diobservasi dalam ruangan gelap menggunakan UV

transluminator. Setelah produk PCR difurifikasi, selanjutnya dilakukan sekuen.

Analisis sekuen nukleotida dari glikoprotein virus rabies isolat Bali dibandingkan

dengan sekuen virus rabies isolat lain di Indonesia atau isolat negara lain. Data

sekunder diperoleh dari GenBank. Data primer dan data sekunder disepadankan

dan dianalisis dengan program Mega4. Parameter yang dianalisis adalah

filogenetik dan jarak genetik. Prosedur inaktivasi virus, isolasi RNA dan reverse

transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) adalah sebagai berikut :

A. Inaktivasi virus

Organ positif rabies dicuci dengan phospate buffer saline (PBS) pH 7,2

sebanyak tiga kali dan dimasukkan ke dalam tabung, kemudian digerus sampai

halus. Selajutnya ditambahkan PBS sampai volume 500 µl dan ditambahkan 50

µl sodium dodecyl sulfate (SDS) 10% (dalam aquadest) sehingga konsentrasi

SDS menjadi 1%. Selanjutnya divortex sebentar untuk mencampur, kemudian

ditutup dan diselotip serta di desinfektan, terakhir disimpan pada suhu minus 20oC

sebelum dipakai.

B. Isolasi RNA

Sebanyak 250 µl suspensi sampel yang telah diinaktivasi ditambah 750 µl

trizol, kemudian divortex selama 1 menit dan diinkubasikan pada suhu kamar

selama 5 menit. Selanjutnya ditambahkan 200 µl Chloroform, kemudian divortex

selama 15 detik dan di inkubasikan pada suhu kamar selama 15 menit.

Selanjutnya disentrifuge 13.000 rcf (12.700 rpm) selama 15 menit. Kemudian

Page 31: profil imun respon terhadap rabies dan

31

dipisahkan supernatan ke tabung steril (yakinkan bahwa trizol tidak ikut terambil

karena mempengaruhi Band menjadi tidak bersih) dan ditambahkan Isopropil

alkohol (2 propanol) 500 µl. Selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar 10

menit, kemudian disentrifuge 13.000 rcf selama 10 menit dan supernatannya

dibuang, ditambahkan alkohol 70% (Pro analisis) sebanyak 1000 µl, dan

dihomogenkan dengan tangan dengan cara membentuk angka 8. Kemudian

disentrifuge 7500 rcf selama 5 menit dan supernatannya dibuang, kemudian

dikeringkan (air dry) 5-10 menit pada inkubator dengan suhu 55oC. Selanjutnya

ditambahkan Treaded water (Aquadest injeksi/ nuklease free water) 20µl.

Kemudian disimpan dalam lemari es selama 1 malam, selanjutnya disimpan dalam

freezer sampai digunakan.

C. Primer design

Primer dirancang sendiri oleh IGNK Mahardika, menggunakan program

Primer 3 (http://biotool.umassmed.edu/bioapps/Primer3-www.cgi). Primer

dirancang berdasarkan susunan nukelotida dari glikoprotein (protein G) virus

rabies yang tersedia di GenBank. Primer dirancang khusus untuk

mengamplifikasi sekitar 751bp, yaitu dari nukleotida nomor 688 sampai 1439

berdasarkan ORF protein G virus rabies 03003INDO-G/Padang

Pariaman/Sumatera Barat/2003/acession number EU086151. Primer tersebut

adalah:

BPRG : 5’CAACATGTCATTAGGAAAATTATCAACA 3’

G688F : 5’GATGAAAGAGGATTGTAGAAGTC 3’

Page 32: profil imun respon terhadap rabies dan

32

D. Reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR)

Reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) dilakukan pada

single-step reaction, dengan total volume 25 µl yang mengandung PCR mix 12,5

µl, RNA sampel 2,5 µl, forward primer 1,5 µl, reverse primer 1,5 µl, enzym taq

polymerase (Super ScripTM III One-Step RT-PCR System with Platinum Taq

DNA Polymerase Kit, Invitrogen, Carlsbad, CA, USA ) 0,5 µl dan 6,5 µl akuades

dalam micro tube (PCR tube), kemudian dihomogenkan, selanjutnya di masukkan

kedalam mesin PCR (Thermal cycler) untuk sintesis cDNA yang diikuti dengan

amplifikasi PCR, dengan program sebagai berikut: satu siklus untuk sintesis

cDNA pada suhu 50oC selama 1 jam, satu siklus denaturasi pada suhu 95oC

selama 45 detik , kemudian diikuti dengan 40 siklus yang terdiri atas denaturasi

pada suhu 94oC selama 45 detik, anneling pada suhu 52oC selama 45 detik dan

ekstensi pada suhu 72oC selama 1 menit. Setelah 40 siklus selanjutnya step

terakhir adalah ekstensi pada suhu 72oC selama 5 menit dan terakhir diinkubasi

pada suhu 22oC.

E. Visualisasi produk PCR

Produk PCR yang diperoleh divisualisasikan dengan elektrophoresis

menggunakan 1% agarose (0,5 gram Ultrapure TM agarose gel, Invitrogen, dalam

50 ml TAE 1x buffer dan 5 µl ethidium bromide ). Kemudian pada setiap lubang

agar gel diisi 3 µl campuran terdiri dari 1 µl Blue joice (loading day) dan 2 µl

produk PCR. Running gel dalam waktu 30 menit, voltase 100 volt dan ampere

Page 33: profil imun respon terhadap rabies dan

33

400mA. Pada setiap gel pada salah satu lubangnya diisi marker 100bp DNA lader

(Invitrogen).

F. Sekuensing

Sekuensing dilakukan di Eijkman Institute Jakarta. Produk PCR

dikirim bersama-sama dengan primernya.

4.5 Analisis data

1. Data hasil uji titer antibodi protektif dianalisis secara statistik dengan

logistik regresi dan data parametrik (titer EU) dianalisis dengan

analisis of variance (ANOVA), menggunakan program Epi Info

version 3.5.1 (CDC, 2009).

2. Data hasil uji banding 2 kit ELISA dianalisis berdasarkan agreement

between test (kappa) (Viera dan Garrett, 2005, Robertson, 2008)

dengan rumus sebagai berikut:

(Po – Pe) Kappa = (1 – Pe)

Keterangan :

Po (Observed agreement) = (a+d)/n Pe (expected agreement) = [(a+c/n) x (a+b/n)] + [(b+d/n) x (c+d/n)] a = Jumlah hasil positif dengan kit PlateliaII dan kit Pusvetma, b = Jumlah Hasil positif dengan kit Pusvetma dan negatif dengan kit PlateliaII, c = Jumlah hasil uji positif dengan PlateliaII dan negatif dengan kit Pusvetma, d = Jumlah hasil uji negatif dengan kit

Page 34: profil imun respon terhadap rabies dan

34

PlateliaII dan kit Pusvetma, dan n = Jumlah keseluruhan sampel yang diuji (a+b+c+d), secara ringkas disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Tabulasi hasil uji banding 2 kit ELISA rabies

Hasil uji Kit Platelia II Kit Platelia II Total

Positif Negatif ________________________________________________________ Kit Pusvetma a b a+b Positif Kit Pusvetma Negatif c d c+d ________________________________________________________ Total a+c b+d n(a+b+c+d)

Interpretasi nilai Kappa adalah seperti berikut :

>0,8 – 1,0 = Excelent agreement 0,6 – 0,8 = Substantial agreement 0,4 – 0,6 = Moderate agreement 0,2 – 0,4 = Fair agreement 0,0 – 0,2 = Slight agreement 0,0 = Poor agreement -1 – 0 = Disagreement

3. Data primer hasil sekuensing fragmen gen penyandi glikoprotein

virus rabies (3 isolat Bali, 1 isolat Flores dan 1 isolat Sulawesi) dan data

sekunder hasil sekuensing gen penyandi glikoprotein virus rabies yang

ada di genbank (lampiran C1), disepadankan dan dianalisis dengan

program MEGA4 (Tamura et al., 2007). Parameter yang dianalisis

adalah filogenetik dan jarak genetik.

Page 35: profil imun respon terhadap rabies dan

35

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Profil imun respon.

Hasil pengujian antibodi terhadap rabies dari kelompok anjing yang

divaksinasi Rabivet Supra92 yang diambil pada periode pasca vaksinasi (PV)

yang berbeda ditampilkan pada Tabel 5.1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa

persentase anjing yang mempunyai kekebalan protektif tertinggi (75,83%)

ditemukan pada kelompok anjing yang diambil 3 bulan sampai dengan 6 bulan

PV. Persentase pada kelompok periode 3 minggu sampai dengan 3 bulan PV, >6

bulan sampai dengan 9 bulan, dan kelompok >9 bulan sampai dengan 12 bulan

PV berturut-turut adalah 40,35%, 25,24%, dan 35,29%. Persentase kekebalan

tersebut tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, status kastrasi, jenis anjing, dan

kondisi anjing. Pengujian statistik dari pengaruh faktor tersebut ditampilkan pada

Tabel 5.2.

Tabel 5.1. Hasil uji antibodi terhadap rabies pada sampel serum anjing yang

divaksinasi Rabivet Supra92 dengan kit ELISA Pusvetma.

Periode Total Jumlah Persentase Rata-rata Standard

Vaksinasi Sampel Protektif Protektif titer (EU) Deviasi

3 mg – 3 bln PV 57 23 40,35%a 0,5434a 0,306

>3 s/d 6 bln PV 269 204 75,83%b 1,2236a 1,443

>6 s/d 9 bln PV 103 26 25,24%c 0,4726a 0,415

>9 s/d 12 bln PV 34 12 35,29%ac 1,0789a 2,229

Keterangan: Nilai dengan hurup yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), sedangkan nilai dengan hurup yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).

Page 36: profil imun respon terhadap rabies dan

36

Tabel 5.2. Hasil uji statistik pengaruh status kastrasi, kondisi anjing, jenis anjing dan jenis kelamin terhadap antibodi protektif pada sampel serum anjing PV Rabivet Supra92 yang diuji dengan kit ELISA Pusvertma.

_____________________________________________________________________________________

Variabel Odds Ratio 95% CI Coefficient SE Z- Statistik P-Value

________________________________________________________________________

Status Kastrasi 1,9127 0,7583 4,8244 0,6485 0,4720 1,3739 0,1695

Kondisi Anjing 0,6943 0,4693 1,0277 -0,3648 0,1998 -1,8259 0,0679

Jenis Anjing 1,2686 0,9475 1,6985 0,2379 0,1489 1,5980 0,1100

Jenis Kelamin 0,7594 0,5099 1,1312 -0,2752 0,2033 -1,3537 0,1758

Hasil pengujian terhadap serum anjing yang divaksin dengan vaksin Rabisin

ditampilkan pada Tabel 5.3. Hasil tersebut menunjukkan bahwa persentase antibodi

protektif pada kelompok periode 3 minggu sampai dengan 3 bulan, >3bulan-6

bulan, >6-9 bulan, dan >9 bulan-12 bulan berturut-turut adalah 64,91%, 72,64%,

45,28%, dan 37,25%. Persentase tersebut juga tidak dipengaruhi oleh jenis

kelamin, status kastrasi, jenis anjing dan kondisi anjing (P>0.05) seperti

ditampilkan pada Tabel 5.4.

Tabel 5.3. Hasil uji antibodi terhadap rabies pada sampel serum anjing yang

divaksinasi Rabisin yang diuji dengan Kit Pusvetma.

Periode Total Jumlah Persentase Rata-rata Standard

Vaksinasi Sampel Protektif Protektif EU Deviasi

3 mg – 3 bln PV 57 37 64,91%a 2,6530a 5,4790

>3 s/d 6 bln PV 106 77 72,64%a 4,7898a 7,8728

>6 s/d 9 bln PV 53 24 45,28%b 1,3349a 2,6114

>9 s/d 12 bln PV 51 19 37,25%b 0,6195a 0,8422

Keterangan: Nilai dengan hurup yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), sedangkan nilai dengan hurup yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).

Page 37: profil imun respon terhadap rabies dan

37

Tabel 5.4. Hasil Analisis Statistik pengaruh status kastrasi, kondisi anjing, jenis anjing dan jenis kelamin terhadap antibodi protektif pada sampel serum anjing yang divaksinasi Rabisin yang di uji dengan Kit Pusvetma.

___________________________________________________________________________

Variabel Odds 95% CI Coefficient SE Z- Statistik P-Value Ratio __________________________________________________________________________ Status Kastrasi 0,5095 0,2194 -0,6743 0,4299 -1,5684 0,1168

Kondisi Anjing 1,3663 0,8444 0,3121 0,2456 1,2710 0,2037

Jenis Anjing 0,9553 0,5704 -0,0458 0,2631 -0,1739 0,8619

Jenis Kelamin 0,6139 0,3638 -0,4879 0,2670 -1,8271 0,0677

Perbandingan titer antibodi terhadap rabies dan persentase antibodi

protektif terhadap rabies pada anjing yang divaksinasi Rabisin dan Rabivet

Supra92 ditampilkan pada Tabel 5.5. Data tersebut menunjukkan bahwa titer

antibodi yang diinduksi oleh vaksin Rabisin sangat nyata lebih tinggi

dibandingkan dengan titer antibodi yang diinduksi oleh vaksin Rabivet

Supra92 (P<0.01). Sedangkan persentase kekebalan menunjukkan hasil yang

tidak bebeda nyata antara anjing yang divaksin dengan Rabisin dan Rabivet

Supra92 (P>0,05). Perbandingan persentase antibodi protektif pada berbagai

kelompok anjing berdasarkan waktu pengambilan serum pasca vaksinasi

ditampilkan pada Tabel 5.6. Data tersebut menunjukkan bahwa persentase

antibodi protektif yang diinduksi oleh vaksin Rabisin pada periode >3

minnggu sampai dengan 3 bulan pasca vaksinasi nyata lebih tinggi

dibandingkan dengan persentase antibodi protektif anjing yang divaksinasi

dengan Rabivet Supra92 (P<0,05). Penampilan grafis titer antibodi terhadap

rabies dan persentase kekebalan kelompok anjing yang divaksin dengan

Rabisin dan Rabivet Supra92 ditampilkan pada Gambar 5.1 dan 5.2. Gambar

Page 38: profil imun respon terhadap rabies dan

38

tersebut menujukkan bahwa titer antibodi dan persentase yang tertinggi

ditemukan pada kelompok anjing yang serumnya diambil >3 bulan sampai

dengan enam bulan pasca vaksinasi.

Tabel 5.5 Rata-rata titer antibodi (EU) dan persentase antibodi protektif pada serum anjing yang divaksinasi Rabisin dan Rabivet Supra92 yang di Uji dengan kit ELISA Pusvetma

_________________________________________________________ Jenis Vaksin Hasil Uji Rabisin Rabivet Supra92 _________________________________________________________ Rata-rata titer antibodi (EU) 2,8512a 0,9622b

Rata-rata antibodi protektif 58,8%a 57,24%a _________________________________________________________ Keterangan: Nilai dengan hurup yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01), sedangkan nilai dengan hurup yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05). Tabel 5.6. Persentase Antibodi Protektif Anjing yang di Vaksinasi Rabisin

dan Rabivet Supra92 yang di Uji dengan Kit ELISA Pusvetma. _______________________________________________________ Pasca Vaksinasi Persentase antibodi protektif Rabisin Rabivet Supra92 _______________________________________________________ 3 mg – 3 bln 64,91%a 40,35%b >3 – 6 bln 72,64%a 75,83%a >6 – 9 bln 45,28%a 25,24%b >9 – 12 bln 37,25%a 35,29%a _______________________________________________________

Keterangan: Nilai dengan hurup yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), sedangkan nilai dengan hurup yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).

Page 39: profil imun respon terhadap rabies dan

39

Gambar 5.1. Rata-rata EU Serum anjing pasca vaksinasi Rabisin dan Rabivet Supra92

yang diuji dengan kit ELISA Pusvetma ( : Rabisin, : Rabivet)  

Gambar 5.2. Perbandingan Persentase antibodi protektif pada anjing yang divaksinasi dengan vaksin Rabivet supra92 dan Rabisin ( : Rabisin, : Rabivet)

Page 40: profil imun respon terhadap rabies dan

40

Pengujian terhadap 53 sampel serum yang diambil dari anjing yang belum

divaksinasi, dan diuji dengan ELISA Kit Pusvetma, menunjukkan bahwa 3 sampel

(5,66%) mempunyai antibodi protektif terhadap virus rabies, dengan titer

0,5095EU, 0,529EU dan 0,5526EU.

5.2 Hasil Uji Banding Kit ELISA.

Hasil uji banding Kit ELISA Pusvetma dan Platelia Rabies II kit (Bio-rad)

terhadap semua serum anjing (serum referens, serum lapang yang divaksin dengan

Rabivet dan Rabisin) ditampilkan pada Tabel 5.7. Sedangkan hasil yang diperoleh

terhadap serum referens, serum lapang hasil Rabivet, dan Rabisin ditampilkan

pada Tabel 5.8, 5.9, dan 5.10. Nilai kappa, sensitivitas, dan spesivisitas kit

Pusvetma dari semua serum adalah berturut-turut 0,68 (substantial agreement),

96,8% dan 73,5%. Nilai-nilai tersebut dalam pengujian terhadap serum referens

adalah 0,89 (excellent agreement), 92,3%, dan 96,29%. Dalam pengujian dengan

serum anjing yang divaksinasi dengan Rabivet, nilai tersebut adalah 0,48

(moderate agreement), 96,77%, dan 61,22%. Dengan serum anjing yang

divaksinasi dengan Rabisin, nilai tersebut adalah 0,91 (excellent agreement),

100%, dan 71,42%.

Page 41: profil imun respon terhadap rabies dan

41

Tabel 5.7 Hasil uji banding kit ELISA Bio-Rad dan Pusvetma pada semua sampel serum.

________________________________________________________________ Hasil uji Kit Bio-Rad Kit Bio-Rad Total Positif Negatif ________________________________________________________________ Kit Pusvetma 61 22 83 Positif Kit Pusvetma Negatif 2 61 63 ________________________________________________________________ Total 63 83 146

Kappa = 0,68 (Substancial agreement)

Sensitivitas = (61/63) x 100% = 96,8%

Spesivisitas = (61 /83) x 100% = 73,5%

Tabel 5.8 Hasil Uji Banding Kit ELISA Bio-Rad pada Sampel Serum Referens ________________________________________________________________ Hasil uji Kit Bio-Rad Kit Bio-Rad Total Positif Negatif ________________________________________________________________ Kit Pusvetma 12 1 13 Positif Kit Pusvetma Negatif 1 26 27 ________________________________________________________________ Total 13 27 40 Kappa = 0,8860 = 0,89 (Exelent agreement)

Sensitivitas = (12/13) x 100% = 92,30%

Spesivisitas = (26 /27) x 100% = 96.29%

Page 42: profil imun respon terhadap rabies dan

42

Tabel 5.9 Hasil Uji Banding Kit ELISA Bio-Rad dan kit Pusvetma pada Serum

anjing yang di vaksinasi Rabivet Supra92.

________________________________________________________________ Hasil uji Kit Bio-Rad Kit Bio-Rad Total Positif Negatif ________________________________________________________________ Kit Pusvetma 30 19 49 Positif Kit Pusvetma Negatif 1 30 31 ________________________________________________________________ Total 31 49 80 Kappa = 0,475 9 = 0,48 (Moderate agreement)

Sensitivitas = (30/31) x 100% = 96,77%

Spesivisitas = (30/49) x 100% = 61,22%

Tabel 5.10 Hasil uji banding kit ELISA Bio-Rad dan Pusvetma pada sampel

serum anjing yang di vaksinasi Rabisin.

________________________________________________________________ Hasil uji Kit Bio-Rad Kit Bio-Rad Total Positif Negatif ________________________________________________________________ Kit Pusvetma 19 2 21 Positif Kit Pusvetma Negatif 0 5 5 ________________________________________________________________ Total 19 7 26 Kappa = 0,9058 = 0,91(Exelent agreement)

Sensitivitas = (19/19) x 100% = 100,00%

Spesivisitas = (5 /7) x 100% = 71,42%

Page 43: profil imun respon terhadap rabies dan

43

5.3 Analisis Gen Penyandi Glikoprotein Virus Rabies Isolat Bali

Dalam penelitian ini dilakukan analisis fragmen gen penyandi glikoprotein

terhadap tiga virus rabies isolat Bali 2009, satu isolat Flores 2009 dan satu isolat

Sulawesi 2009. Fragmen yang ditargetkan adalah ujung karboksi gen protein G

yang berdasarkan analisis merupakan daerah yang paling bervariasi dari semua

sekuen virus rabies yang tersedia di GeneBank (Prof. Dr.Drh. I Gusti Ngurah

Kade Mahardika, Laboratorium Biomedik FKH Unud, 2010, komunikasi pribadi).

Hasil PCR ditunjukkan pada Gambar 5.3. Primer yang didisain menghasilkan

produk sebesar sekitar 700 bp seperti ditunjukkan pada Gambar itu. Hasil

penyepadanan sekuen yang diperoleh dari sekuensing di Eijkman Insitut

menunjukkan bahwa virus rabies yang ada di Bali berada dalam satu kluster

(Gambar 5.4), mempunyai jarak genetik paling dekat yaitu 0,0366 dengan virus

rabies isolat Flores (FL7/Flores/2009). Sedangkan dengan virus asal Sulawesi

yang diperoleh pada tahun yang sama, jarak genetiknya adalah 0,15. Disamping

itu, tabel jarak genetik (Tabel 5.11) menunjukkan bahwa Isolat Bali mempunyai

jarak genetik sebesar 0,20 dengan isolat rabies strain Pasteur/PV yang banyak

digunakan sebagai bibit vaksin.

Page 44: profil imun respon terhadap rabies dan

44

Gambar 5.3 Hasil RT-PCR fragmen gen penyandi glikoprotein virus rabies dengan primer BPRG dan G688F

(M = marker, BL1= bali 1, BL2 = bali 2, BL3 = Bali 3, SL = Sulawesi, FL = Flores). Tabel 5.11 Jarak Genetik Virus Rabies isolat Bali dengan isolat Flores, isolat

Sumatera, isolat Sulawesi, dan isolat lainnya dari GeneBank, berdasarkan gen penyandi glikoprotein

No. Kode Sekuen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1. SN01-23/ Sumatera

/2001

2. CVS/India/

0,17

3. BRct9/Brazil/

0,15 0,11

4. Hunan_Wg432/ China/

0,09 0,20 0,15

5. Guangxi_Cx14/China /2009

0,09 0,19 0,14 0,03

6. M135215/PV/India /1986

0,18 0,03 0,12 0,22 0,21

7. BL647/ BALI/2009

0,046 0,19 0,16 0,11 0,11 0,20

8. BL627/BALI/2009

0,046 0,19 0,16 0,11 0,11 0,20 0,00

9. SL_14/SULAWESI/ 2009

0,15 0,17 0,16 0,16 0,16 0,20 0,1502 0,1502

10. BL598_B/BALI/2009

0,046 0,19 0,16 0,11 0,11 0,20 0,00 0,00 0,15

11. FL7/FLORES/2009

0,02 0,18 0,15 0,08 0,08 0,19 0,0366 0,0366 0,13 0,0366

12. 03003INDO/Padang/ Sumatera/2003

0,0181 0,17 0,14 0,08 0,08 0,18 0,0367 0,0367 0,14 0,0367 0,01

100bp

300bp

600bp 700bp

Page 45: profil imun respon terhadap rabies dan

45

Hunan Wg432/China/ Hunan Wg430/China/ Guangxi Cx25/China/

Jiangsu Wx32/China/ Hunan Wg13/China/ Hunan Xx35/China/ Hunan Xx34/China/

Guangxi Yl66/China/ Guangxi Cx14/China/

BeijingHu1/China/ Jiangsu Wx1/China/

Jiangsu Yc58/China/ Jiangsu Yc37/China/

Zhejiang Wz1(H)/China/ JX09-17(fb)/China/

03003INDO G/Padang/Sumatera/2003 SN01-23/Sumatera/2001

FL7 /FLORES/2009* BL598 B/BALI/2009* BL647/BALI/2009* BL627/BALI/2009*

SL 14/SULAWESI/2009* CVS/India/ Jiangsu Wx0(H)/China/

PV/M135215/ BRdg640/Brazil/ BRdg652/Brazil/

BRdg642/Brazil/ BRdg603/Brazil/

BRdg117/Brazil/ BRdg13/Brazil/ BRdg125/Brazil/ BRct22/Brazil/ BRct9/Brazil/

6599

6197

5961

91

51

39

99

97

6479

93

91

9565

65

8944

53

47

20

63

0.02

Gambar 5.4 Pohon Phylogenetik Virus Rabies Isolat Bali dan Virus Rabies yang ada di Genbank.

(Keterangan : * adalah isolast virus rabies yang di analisis)

Page 46: profil imun respon terhadap rabies dan

46

BAB VI

PEMBAHASAN

Vaksinasi merupakan salah satu strategi yang sedang diterapkan dalam

pengendalian rabies di Bali. Pengujian respon imun dari hasil vaksinasi

merupakan data yang sangat penting dalam mengkaji keberhasilan vaksinasi.

Masalah muncul akibat teknik uji yang tidak baku dan tersedianya berbagai merek

vaksin yang digunakan. Teknik uji yang disediakan pemerintah dan beredar di

Indonesia adalah produksi Pusvetma Surabaya. Teknik uji tersebut belum

memperoleh validasi dari OIE. Karena itu uji banding kit akan sangat bermanfaat.

Jenis vaksin yang berbeda juga perlu dikaji efektivitasnya.

Hasil penelitian terhadap antibodi protektif pada anjing yang sudah

divaksinasi rabies menunjukkan bahwa, persentase antibodi protektif tertinggi

ditemukan pada periode waktu lebih dari 3 bulan sampai dengan 6 bulan PV, baik

pada anjing yang divaksinasi dengan vaksin rabies Rabivet Supra’92 maupun

Rabisin. Persentase antibodi protektif mengalami penurunan pada periode lebih

dari 6 bulan sampai dengan 9 bulan PV. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

yang dilaporkan oleh Ohore et al. (2007). Hasil berbeda dengan hasil yang

dilaporkan oleh Seghaier et al. (1999) bahwa persentase kekebalan protektif

ditemukan pada anjing setelah satu bulan PV.

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa vaksin rabies Rabivet Supra92

dan Rabisin hanya mampu memberikan kekebalan sekitar 6 bulan, sehingga perlu

dilakukan vaksinasi ulangan (booster). Booster penting dilakukan untuk

mempertahankan titer antibodi protektif (Simani et al., 2004). Hal ini sesuai

Page 47: profil imun respon terhadap rabies dan

47

dengan yang di laporkan oleh Wilde dan Tepsumethanon (2010), bahwa satu dosis

vaksinasi tidak menghasilkan antibodi neutralisasi yang lama. Sistem

pemeliharaan anjing di Bali yang kebanyakan masih diliarkan menyebabkan

pelaksanaan vaksinasi ulangan secara massal mengalami kesulitan. Kesulitan

dimaksud antara lain adanya kesulitan melakukan penangkapan anjing, karena

aplikasi vaksin ini melalui suntikan. Selanjutnya perlu dipikirkan atau dicarikan

alternatif penggunaan vaksin rabies lainnya yang lebih mudah aplikasinya dan

mampu memberikan kekebalan lebih lama terutama untuk anjing-anjing yang

diliarkan/tidak diikat.

Anjing yang diliarkan perlu mendapatkan vaksinasi rabies karena anjing

ini mempunyai potensi sangat besar untuk menyebarkan rabies. Hal ini sesuai

dengan yang dikemukanan oleh Soeharsono (2007), bahwa anjing liar/anjing

geladak (stray dogs) merupakan pelestari rabies yang potensial karena hidup

bebas kesana kemari. Anjing ini mempunyai kesempatan luas menyebarkan

rabies ke hewan lain, bahkan juga ke manusia.

Hasil uji potensi vaksin Rabivet Supra92 dibandingkan dengan vaksin

impor (Rabisin) menunjukkan hasil yang sama (Hiswani, 2003). Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian ini dimana persentase antibodi protektif pada sampel

serum dari anjing yang divaksinasi dengan vaksin Rabisin dengan satu kali dosis,

secara statistik tidak berbeda nyata dengan sampel serum anjing yang divaksinasi

dengan Rabivet Supra92 (P=0,971) .

Jenis vaksin yang dipakai pada penelitian ini berpengaruh nyata terhadap

titer antibodi yang diinduksi. Titer antibodi yang diinduksi oleh vaksin Rabisin

Page 48: profil imun respon terhadap rabies dan

48

sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan titer antibodi yang diinduksi oleh

Rabivet Supra92 (P<0,01). Persentase antibodi protektif yang diinduksi oleh

vaksin Rabisin pada periode lebih dari 3 minggu sampai dengan 3 bulan pasca

vaksinasi nyata lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin Rabivet Supra92

(P<0,05). Jenis vaksin tampaknya menghasilkan respon imun yang berbeda. Hasil

penelitian Minke et al. (2009) menunjukkan bahwa titer antibodi >0,5IU sebesar

87% ditemukan pada hari 14 PV dengan vaksin Rabisin dan sebesar 100% pada

anjing yang divaksinasi dengan vaksin Nobivac. Selanjutnya Kennedy et al.

(2007) melaporkan bahwa vaksin yang diproduksi oleh perusahaan yang berbeda

akan memberikan respon yang berbeda terhadap rata-rata titer antibodi dan tingkat

kegagalan. Hal ini mungkin disebabkan karena formula dan perbedaan cara

produksi, konsentrasi dan integritas kandungan antigen, serta adjuvan yang

digunakan.

Berdasarkan dosis dan aturan pakai vaksin Rabisin bahwa booster

dilakukan setiap 2 tahun (Merial, 2011). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa

vaksin Rabisin bisa memberikan kekebalan selama 2 tahun. Hal ini berbeda

dengan yang ditemukan di Bali, dimana persentase antibodi protektif sudah

mengalami penurunan setelah 6 bulan sampai dengan 9 bulan pasca vaksinasi.

Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, apakah hal ini disebabkan oleh

rantai dingin yang tidak terpenuhi dalam penanganan vaksin di lapangan, ataukah

adanya kesalahan dalam aplikasi, waktu vaksinasi yang kurang tepat, atau

mungkin data vaksinasi yang kurang akurat, misalnya anjing yang sebenarnya

belum divaksin tetapi dilaporkan sudah divaksinasi.

Page 49: profil imun respon terhadap rabies dan

49

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa secara keseluruhan

persentase anjing yang disampling yang memiliki antibodi protektif kurang dari

70% (sekitar 58%). Hasil yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Riasari

(2009), bahwa anjing yang sudah divaksinasi rabies yang dilalulintaskan melalui

pelabuhan penyebrangan Merak, sebanyak 58,7% mempunyai antibodi tidak

protektif terhadap rabies. Untuk itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan

persentase protektivitas tersebut menjadi 70% atau lebih. Untuk menghilangkan

atau mencegah wabah rabies diperlukan setidaknya 70 persen populasi anjing

harus mendapatkan kekebalan (Cleaveland et al., 2003; Reece and Chawla, 2006;

Balogh et al., 1995.).

Beberapa hambatan dalam memerangi rabies terjadi di Indonesia, antara

lain sumberdaya tidak memadai, lemahnya konsensus terhadap strategi yang

digunakan, lemahnya koordinasi lintas sektoral dan struktur manajemen serta

kurangnya kerjasama masyarakat. Banyak faktor yang membuat kecepatan

program vaksinasi anjing tidak mampu mengejar penjalaran penyakit, misalnya

cakupan vaksinasi yang tidak mencapai batas minimal 70%, seperti yang terjadi di

Bali pada awal terjadinya rabies, cakupan vaksinasi hanya berkisar 45% (Putra et

al., 2009).

Hasil uji banding kit ELISA rabies produksi Pusvetma Surabaya

dibandingkan dengan kit Platelia II rabies ELISA produksi Bio-rad, menunjukkan

bahwa agreement kedua kit tersebut sebesar 0,68 (Substantial agreement), dengan

sensitivitas 96,80% dan spesivisitas 73,05%. Nilai kesesuaian, sensitifitas dan

spesivisitas Kit Pusvetma berbeda-beda tergantung serum yang diuji. Agreement

Page 50: profil imun respon terhadap rabies dan

50

yang baik (excellent agreement) diperoleh pada pengujian dengan serum anjing

hasil vaksinasi Rabisin dan serum referens. Sensitifitas Kit Pusvetma cenderung

tinggi. Sedangkan nilai spesivisitasnya bervariasi tergantung serum yang diuji.

Spesivisitas paling kecil diperoleh pada pengujian dengan serum hasil vaksinasi

dengan Rabivet Supra92.

Hasil ini mengindikasikan adanya kesesuaian (kekuatan kesepakatan) yang

baik diantara kedua kit tersebut. Spesivisitas hasil uji sebesar 73,05%,

mengindikasikan adanya reaksi yang kurang spesifik terhadap sampel serum

negatif, sehingga hasil uji positif dengan kit Pusvetma tetapi negatif dengan kit

PlateliaII Bio-rad. Hal ini mungkin disebabkan karena antigen yang dipakai untuk

coating plate berbeda. Antigen yang dipakai oleh Pusvetma adalah whole antigen

virus rabies. Sedangkan pada Platelia II antigen yang digunakan adalah

glikoprotein. Sehingga kit platelia II Bio-Rad hanya bisa menangkap antibodi

dari glikoprotein, sedangkan kit Pusvetma bisa bereaksi terhadap semua protein

yang ada dalam virus rabies. Hal tersebut menyebabkan hasil uji negatif pada

Platelia II Bio-Rad menjadi positif pada uji dengan kit Pusvetma Surabaya.

Hasil yang hampir sama dikemukana oleh Simani (2011), bahwa rata-rata

titer antibodi pada uji ELISA lebih rendah dibandingkan dengan pada uji MNT

dan RFFIT. Hal tersebut disebabkan karena ELISA bereaksi spesifik terhadap

glikoprotein virus rabies, sedangkan MNT dan RFFIT bisa bereaksi terhadap

semua protein (whole antigen) virus rabies. Peneliti lain melaporkan bahwa

sensitivitas 94,1%, spesivisitas 95,8%, dan agreement 95,1% Kit ELISA rabies

dibandingkan dengan RFFIT (Welch et al.,2009). Sensitivitas sebesar 87,5%,

Page 51: profil imun respon terhadap rabies dan

51

spesivisitas 92,4% dan agreement 88,5% antara uji ELISA dan neutralizing

antibodies dengan metode simplified fluorescent inhibition micro test (SFIMT)

dilaporkan oleh Piza et al. (1998). Lebih lanjut disimpulkan bahwa ELISA bisa

digunakan sebagai uji skrining untuk deteksi antibodi pada beberapa jenis vaksin

yang digunakan. Adanya korelasi antara FAVN dengan liquid-phase competitive

ELISA (LPC-ELISA) dan sandwich competitive ELISA (SC-ELISA), dengan

nilai r 0,893 di laporkan oleh Fachin et al. (2005). Lebih lanjut di laporkan bahwa

pada LPC-ELISA nilai spesivisitas 98,00%, sensitivitas 99,49% dan akurasi 100%

untuk uji serum anjing. Nilai tersebut untuk uji serum sapi adalah spesivisitas

86,90% dan sensitivitas 98,43% (Fachin et al., 2005). Servat et al. (2007)

melaporkan hasil positif palsu sebesar 1 sampai 2% pada kit ELISA Platelia II

(Bio-rad) dibandingkan dengan Flourescent antibody virus neutralisation.

Selanjutnya Wattanapiron et al. (2008), melaporkan sensitivitas 64% dan

spesivisitas 100% dari hasil uji banding kit ELISA Platelia II dengan RFFIT.

Hasil analisis fragmen gen penyandi glikoprotein virus rabies isolat Bali

berada dalam satu kluster. Berdasarkan jarak genetikannya ditemukan bahwa

virus rabies isolat Bali mempunyai jarak genetik paling dekat dengan virus rabies

isolat asal Flores. Sedangkan jarak genetik dengan isolat asal Sulawesi sebesar

0,15. Data ini mengindikasikan bahwa virus yang berjangkit di Bali kemungkinan

berasal dari Flores. Hasil ini berbeda dengan temuan Dibia et al. (in press)

dilaporkan bahwa berdasarkan analisis gen penyandi nukleoprotein, virus rabies

Bali mempunyai jarak genetik terdekat dengan virus asal Sulawesi. Namun

demikian, karena jumlah sampel yang di uji dalam penelitian ini masih sangat

Page 52: profil imun respon terhadap rabies dan

52

sedikit dan minimnya informasi hasil sekuen gen penyandi glikoprotein virus

rabies isolat Indonesia di GenBank, maka penelitian lebih lanjut perlu dilakukan

dengan jumlah sampel yang representatif sehingga diperoleh data yang lebih

akurat.

Hasil analisis sekuen gen penyandi glikoprotein virus rabies isolat Bali

dengan isolat vaksin berada dalam kluster yang berbeda, dan mempunyai jarak

genetik sebesar 0,20. Hasil ini mengiindikasikan bahwa kasus rabies pada anjing

yang sudah divaksinasi di Bali bukan disebabkan oleh virus dari isolat vaksin,

tetapi kemungkinan disebabkan karena pada saat vaksinasi anjing tersebut berada

dalam masa inkubasi atau antibodi yang dimiliki sudah tidak protektif lagi.

Ditemukannya antibodi protektif pada anjing yang belum divaksinasi

kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adanya maternal antibodi.

Seperti yang dilaporkan oleh Minke et al.(2009), bahwa 2 ekor anak anjing yang

belum divaksinasi mempunyai titer SN 0,66IU/ml. Penyebab lain adalah adanya

informasi data vaksinasi yang kurang tepat, misalnya anjing yang diambil

sampelnya tersebut sebenarnya sudah pernah di vaksinasi namun oleh pemiliknya

dilaporkan belum. Dari data sampel pada penelitian ini diketahui bahwa ke tiga

sampel serum yang mempunyai antibodi protektif tersebut diambil dari anjing

yang berumur 5 bulan, 72 bulan, dan 12 bulan. Sampel diambil pada bulan

Agustus 2009 di Kabupaten Badung. Vaksinasi rabies di Kabupaten Badung

sudah dilakukan sejak akhir tahun 2008, sehingga ada kemungkinan bahwa

anjing tersebut sudah pernah di vaksinasi rabies.

Page 53: profil imun respon terhadap rabies dan

53

Kemungkinan lain adalah adanya reaksi positif palsu yang disebabkan oleh

spesivisitas KIT ELISA yang digunakan kurang dari 100%. Seperti hasil yang

diperoleh pada uji banding kit ELISA pada penelitian ini, dimana spesivisitas kit

Pusvetman sebesar 73,5%. Hasil yang hampir sama dilaporkan oleh Piza et al.

(1999) bahwa spesivisitas uji ELISA sebesar 92,4% dan spesivisitas sebesar

95,8% dilaporkan oleh Welch et al. (2009), serta hasil positif palsu sebesar 1 – 2%

pada kit ELISA dilaporkan oleh Servat et al.(2007). Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa ada kemungkinan reaksi positif palsu pada uji ELISA

walaupun dalam jumlah yang sedikit. Di Bolivia sebesar 18% anjing yang tidak

divaksinasi juga mempunyai antibodi terhadap rabies >0,5EU/ml, yang diuji

dengan ELISA (Suzuki et al., 2008).

Adanya antibodi protektif pada anjing yang belum divaksinasi rabies juga

dilaporkan oleh Dibia et al. (2001) yaitu di Kabupaten Manggarai sebesar 56,4%

dan 33,8% di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Hal yang sama juga

dilaporkan oleh Gita (2010) yaitu sebanyak 4,41% (12/272 sampel) anjing yang

tidak berpemilik yang belum divaksinasi memiliki antibodi potektif terhadap

rabies. Di Pulau Lombok sebesar 0,27% (2/574 sampel) anjing yang di

sampling, memiliki antibodi protektif terhadap rabies (Ludra, 2010).

Page 54: profil imun respon terhadap rabies dan

54

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

1. Persentase anjing yang mempunyai titer antibodi protektif yang

divaksinasi dengan vaksin Rabivet Supra92 dan Rabisin tidak berbeda

nyata (P=0,971).

2. Titer antibodi terhadap rabies pada anjing yang divaksinasi dengan vaksin

Rabisin sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan yang divaksin

Rabivet Supra (P=0,000).

3. Persentase antibodi protektif tertinggi diperoleh pada periode lebih dari

tiga bulan sampai dengan enam bulan pasca vaksinasi.

4. Kit ELISA Pusvetma mempunyai kekuatan kesepakatan yang baik dengan

Kit Baku Platellia II Bio-rad dengan nilai kappa sebesar 0,68 (Substantial

agreement).

5. Gen penyandi glikoprotein virus rabies isolat Bali menunjukkan bahwa

virus rabies isolat Bali berada dalam satu kluster dan mempunyai jarak

genetik paling dekat dengan virus rabies isolat Flores.

7.2 Saran

Untuk mendapatkan persentase titer antibodi rabies protektif yang

memadai, disarankan untuk melakukan booster (vaksinasi ulangan) setelah 6

bulan vaksinasi pertama. Untuk memperkaya khasanah pengetahuan terhadap

respon imun vaksinasi rabies, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap

faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas vaksin rabies di Bali.

Page 55: profil imun respon terhadap rabies dan

55

DAFTAR PUSTAKA

Adriana S.T.P., J.L.F.Santos, C.L. Botelho, and Z.C.Roberto. 1999. An ELISA

suitable for the detection of rabies virus antibodies in serum samples from human vaccinated with either cell culture vaccine or sukling mouse brain vaccine. Rev. Inst. Med. Trop.S.Paulo.41(1).

Adjid.R.M.A., A.Sarosa, T.Syapriati, dan Yuningsih. 2005. Penyakit rabies di

Indonesia dan pengembangan teknik diagnosisnya. Wartazoa. 15(4 ) : 165-172

Direktorat Kesehatan Hewan. 2006. Pedoman Pengendalian Rabies Terpadu.

Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan, Direktorat Kesehatan Hewan.

Balogh.K.K.L.M.D., F.Sabbe, and P.J.de Graaf.1995. Two Day Rabies

Vaccination Campaign : A Sustainable Intervention?. School of Veterinary Medicine, Lusaka, Zambia. 125-133. http://searg.info/fichiers/articles/1995126134L.PDF.

Benmansour A., H. Leblois, P. Coulon, C.Tuffereau, Y. Gaudin, A. Flamand dan

F. Lapay. 1991. Antigenicity of Rabies Virus Glycoprotein. Journal of Virology. 65 (8): 4198-4203.

Berg J.M., J.L.Tymoczko, L. Stryer. 2002. Immunology Provides Important Techniques with Which to Investigate Proteins. Section 4.3. Biochemistry. 5th edition. New York: W H Freeman. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK22420/. Diakses januari 2011

Bingham J. 2005. Canine Rabies Ecology in Southern Africa. Emerging

Infectious Diseasses. 11(9) : 1337-1341. www.cdc.org. Diakses Maret 2011. Bourhy H., J.M.Reynes, E.J.Dunham, L.Dacheux, F.Larrous, V.T.Q.Huang,

G.Xu, J. Yan, M.E.G.Miranda, and E.C.Holmes. 2008. The Origin and Phylogeography of Dog Rabies Virus. J Gen Virol. 89(208):2673-2681.

CDC. 2007. The Rabies Virus. Centers for Diseases Control and Prevention. CIVAS. 2010. Gejala Klinis (Hewan, manusia). Posted Tuesday, 06/08/2010 by

Admin. Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies. http://www. Civas.net/gejala-klinis-hewan-manusia. Diakses tanggal 7 Nopember 2010.

Page 56: profil imun respon terhadap rabies dan

56

Cliquet F., T. Muller, F.Mutinelli, S.Geronutti, B.Brochier, T.Selhorst, J.L.Schereffer, N.Krafft, J.Burrow, A.Schmeitat,H.Schluter dan M.Aubert. 2003. Standardisation and establishment of rabies ELISA test in European laboratories for assesing the efficacy of oral fox vaccination campaigns.Vaccine 21 (2003) : 2986 – 2993.

Cliquet F., L.Sagne, J.L. Schereffer dan M.F.A. Aubert. 2000. ELISA test for

rabies antibody titration in orally vaccinated foxes sampled in the fields. Vaccine.18 (2000) : 3272 – 3279.

Cliquet F., L.M.McElhinney, A.Servat, J.M.Boucher, J.P.Lowings, T.Goddard,

K.L.Mansfield dan A.R.Fooks. 2004. Protocol. Development of a qualitative indirect ELISA for the measurement of rabies virus-specific antibodies from vaccinated dogs and cats. Journal of Virological Methods. 117 (2004):1 – 8.

Cleaveland S., J.Barrat, M.J.Barrat, M.Selve, M.Kaare, dan J.Esterhuysen. 1999.

A Rabies Serosurvey of Domestic Dogs in Rural Tanzania: result of a Rapid Flourescent focus Inhibition Test (RFFIT) and a Liquid-Phase Blocking ELISA Used in Parallel. Epidemiol.Infect.123: 157 – 164.

Cleaveland S., M.Kaare, P.Tiringa, T.Mlengeya, and J. Barrat. 2003. A dog rabies

vaccination campaign in rural Africa: impact on the incidence of dog rabies and human dog-bite injuries .Vaccine. 21(17-18):1965-1973. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0264410X02007788. di akses April 2011.

Coll.J.M. 1995. The Glikoprotein G of Rhabdoviruses. Arch.140:827-851. Cox J.H., B. Dietzschold and L.G. Schneider. 1977. Rabies Virus Glycoprotein.II.

Biological and Serological Characterization. Infect Immun. 16(3):754-759. Dietzschold B., M.Schnell, H.Koprowski. 2005. Pathogenesis of rabies. Curr.

Top. Microbial. Immunol. 292 : 45-56. Dibia I N., K.S.A. Putra, N. Sutami, dan N. Purnatha (2001). Prevalensi Antibodi

Rabies Pada Anjing Pravaksinasi di Kabupaten Manggarai dan Ende, Nusa Tenggara Timur. Buletin Veteriner, BPPV.VI. XIII (59) : 28-33.

Direktorat Kesehatan Hewan. 2006. Pedoman Pengendalian Rabies Terpadu.

Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan, Direktorat Kesehatan Hewan.

Page 57: profil imun respon terhadap rabies dan

57

Faber M., M.L.Faber, A.Papaneri, M.Bette, E.Weihe, B.Dietzschold, and M.Schnell. 2005. A Single Amino Acid Changes In Rabies Virus Glycoprotein Increases Virus Spread and Enhances Virus Pathogenicity. J.Virol.79(22):14141-14148.

Fachin N., B.A.Caralho, and T.C.Cardoso. 2005. A Comparison of Serological

Methods for Detecting The Immune Response After Rabies Vaccination in Dogs and Cows from Rabies-Endemic Areas in Brazil. Intern J Appl Res Med. 3(3) : 199-206.

Gita P.L. (2010). Pemantauan Daerah Sebar Hama Penyakit Hewan Karantina

Penyakit Anjing Gila (Rabies) di Propinsi Bali. Seminar Pemantauan, Denpasar 2010.

Gould, A.R., A.D.Hyatt, R.Lunt, J.A.Kattenbelt, S.Hengsberger, S.D.Blacksell.

1998. Characterization of novel lyssavirus isolated from Pteropid bats in Australia. Virus. Res. 54 : 165-187.

Gupta P.K., S.Sharma, S.S.Walunj, V.K.Chaturvedi, A.A.Raut, S.Patial, A.Rai,

K.D.Pandey and M.Saini. 2005. Abstrak, Immunogenic and Antigenic Properties of Recombinant Soluble Glycoprotein of Rabies Virus. Veterinary Microbiology. 198(3-4):207-214.

Guyat, K.J., J.Twin, P.Davis, E.C.Holmes, G.A.Smith, I.L.Smith, J.S.Mackenzie,

P.L.Young, 2003. A moleculer epidemiological study of Australian bat lyssavirus. J.Gen.Virol. 84: 485-496.

Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya.

Majalah Ilmu Kefarmasian. 1 (3): 117-135. Hiswani. 2003. Pencegahan dan Pemberantasan Rabies. USU digital library.

http://library-usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani10.pdf. diakses 8 Juli 2010.

Inoue, S., M.Yurie, K.Tomoko, O.Kenichiro, and Y.Akio. 2003. Safe and Easy

monitoring of anti-rabies antibody in dogs using His-Tagged Recombinant N-protein. Jpn.J.Infect.Dis. 56 : 158-160.

Ito N., M. Takayama, K. Yamada, M. Sugiyama, and N. Minamoto.2001. Rescue

of Rabies Virus From Cloned cDNA and Identification of the Pathogenicity-Related Gene : Glycoprotein Gene Is Associated With Virulance for Adult Mice. Journal of Virology.75(19): 9121-9128.

Jallet C, Y. Jacob, C.Bahloul, A. Drings, E. Desmezieres, N. Tordo and P. Perrin.

1999. Chimeric Lyssavirus Glycoprotein with Increased Immunological Potential. Journal of Virology. 73(1), Jan1999 : 225-233.

Page 58: profil imun respon terhadap rabies dan

58

Kang B., J.S.Oh, C.S.Lee, B.K.Park, Y.N.Park, K.S.Hong, K.G.Lee, B.K.Cho, and D.S.Song. 2007. Evaluation of Rapid Immunodiagnostic Test kit for Rabies Virus. Journal of Virology Methods.145(2007): 30-36.

Karamany R.M., J. Kazar, S.A. Malik, S. al-Multi, dan M. Badriya. 1988. Rapid

Quantitative Assay of Rabies Post-Vaccination Antibody ELISA. Abstract. PubMed. APMIS Suppl.(3):40-3.

Kartika H. 2008. Respon Imun Outline. http://hennykartika.wordpress.com/2008/

01/01/respon-imun-outline/ diakses juni 2010. Kasempimolporn.S., B. Sichanasai, W. Saengseesom, S. Pesempumpanich, S.

Chatraporn, and V. Sitpsija. 2006. Prevalence of rabies virus infection and rabies antibody in stray dogs : A Survey in Bangkok, Thailand. Preventive Veterinary medicine XXX (2006). PreVET. 2253. 1-8.

Kennedy L.J., M.Lunt, A.Barnes, L.McElhinney, A.R.Fooks, D.N.Baxer, and

W.E.R.Ollier. 2007. Factor Influencing the Antibody Response of Dogs Vaccinated Against Rabies. Vaccine. 25(2007) : 8500-8507.

Lancet. 2007. Rabies Has Ist Day. The Lancet Infectious Diseases. 7 (October

2007). http://Infection.thelancet.com. Diakses Nopember 2010. Langevin C.and C. Tuffereau.2002. Mutation Confering Resistance to

Neutralization by a Soluble Form of The Neurotropin Receptor (P75NTR) Map Outside of The Known Antigenic Sites of The Rabies Virus Glycoprotein. Journal of Virology.76(21): 10756-10765.

Lestari.I.S dan D.M.N. Dharma.2005. Review Rabies. Prosiding Lokakarya

Nasional Penyakit Zoonosis. Bogor, 15 September 2005. Ludra I N. (2010). Pemantauan Daerah Sebar Penyakit Anjing Gila (Rabies) di

Wilayah Pemantauan Balai Karantina Pertanian Kelas I Mataram. Seminar Pemantauan, Denpasar 2010.

Maillard.P.A. dan Y. Gaudin. 2002. Rabies virus glycoprotein can fold in two

alternative, antigenically distinct conformations depending on membrane-anchor type. Journal of General virology. 83 : 1465-1476.

Mansfield K.L., P.D.Burr, D.R.Snodgrass, R.Savers dan A.R.Fooks. 2004. Factors

Affecting the Serological Response of Dogs and Cats to Rabies Vaccination. The Veterinary Record, April 3, (2004) : 423 – 426.

McElhinney.L.M., A.R.Fooks, and A.D.Radford. 2008. Diagnostic tools for the

detection of rabies virus.EJCAP-Vol.18-issue 3 December 2008. 224-231.

Page 59: profil imun respon terhadap rabies dan

59

McPherson M.J. and S.G.Moller. 2000. Analysis of Gene Expression. Chapter 8 in PCR the Basics from Background to Bench. Bios Scientific Publishers.Ltd. Oxford IRE.UK. First Publised. 183-204.

Menteri Pertanian. 2008. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor

1637.1/Kpts/PD 640/12.2008. Tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Anjing Gila (Rabies) di Kabupaten Badung, Provinsi Bali.

Merial. 2011. Rabisin.http://uk.merial.com/data_sheet/rabisin.asp. Diakses April

2011. Meslin.F.X, dan M.M.Kaplan.1996. An overview of laboratory techniques in the

diagnosis and prevention of rabies and in rabies research hal 9-27, Chapter2 in laboratory techniques in rabies fouth edition.

Metlin A., L.Paulin, S.Suomalainen, E.Neuvonen, S.Rybakov, V.Mikhalishin and

A.Huovilainen. 2007. Characterization of Russian Rabies Virus Vaccine Strain RV-97. Short Communication. Virus Research xxx(2007) xxx-xxx. Article in Press.

Miah, A. 2005. Bat rabies – the achilles heel of a viral killer? Lancet 366: 876-

877. Minke.J.M., J.Bauvet, F.Cliquet, M.Wasniewski, A.L.Gulot, L.Lemaiter,

C.Cariou, V.Cozette, L.Vergne dan P.M.Guigal. 2009. Comparison of Antibody Responses After vaccination with two inactivated rabies vaccines. Short communication. Vet.Microbiology. 133 (2009) : 283-286.

Mirjana S.P., P. Hoetnik, S.Levinik-Stezinar, dan L. Zaletel-Kragelj. 2006.

Vaccination Against Rabies and Protective Antibodies – Comparison of ELISA and Flourescent Antibody Virus Neutralization (FAVN) Assays. Veterinary Archives.76 (4).

Moore S.M. dan C.A. Hanton. 2010. Rabies-Specific Antibodies: Measuring

Surrogates of Protection Against a Fatal Disease. PloS Neglected Tropical Diseases. http://www.plosntds.org/article/info:doi%2F10.1371%2Fjournal.pnt. Diakses Maret 2011.

Nagaraja T., B. Mohanasubramanian, E.V. Seshagiri, S.B. Nagendrakumar,

M.R.Saseendranath, M.L. Satyanarayana, D. Thiagarajan, P.N. Rangarajan, dan V.A. Srinivasan. 2006. Molecular Epidemiology of Rabies Virus Isolates in India. Journal of Clinical Microbiology. 44 (9) : 3218-3224.

Page 60: profil imun respon terhadap rabies dan

60

Nagaraja T., S.Madhusudana dan A. Desal. 2008. Molecular Characterization of Full-length Genome of Rabies Virus Isolated from India. Virus Genes. 36 : 449 – 459.

Ohore.O.G., B.O.Emikpe., O.O.Oke, and D.O.Oluwayelu. 2007. The seroprofile of rabies antibodies in companion urban dogs in Ibalan Nigeria. Journal of animal and veterinary advance 6 (1). 53-56. Medwell online.

Ondrejkova A., J.Soli, R.Ondrejka, Z. Benesek, R.Franka, S. Svrcek,M.Madar,

dan A. Bugarsky. 2002. Comparison of The Detection and Qualification of Rabies Antibodie in Canine Sera. Vet.Med-Czech, 47,2002 (8) : 218-221.

OIE . 2008. Rabies. Manual of standard for diagnostic techniques. Chapter 2.1.13.

Terrestrial manual. P.304-323. Piza A.S.D.T., J.L.F.Santos, L.B. Chaves, and C.R. Zanetti. 1998. An ELISA

Suitable For The Detection Of Rabies Virus Antibodies In Serum Samples From Human Vaccinated With Either Cell-Culture Or Suckling-Mouse-Brain Vaccine . 2009 Instituto de Medicina Tropical de Sao Paulo, Brazil.

Protocol-online.org. 2011. http://www.protocol-online.org/prot/

Molecular_Biology/PCR/RT-PCR/index.html. diakses 8 April 2011. Putra A.A.G. 2009. Validasi Metode Uji Untuk Memelihara Unjuk Kerja

Laboratorium Veteriner. Buletin Veteriner. XXI (74) : 42-47. Putra.A.A.G., I.K.Gunata, Faizah., N.L.Dartini, D.H.W.Hartawan, G.Setiaji,

A.A.G.Semara-Putra, Soegiarto, dan H.Scott-Orr. 2009. Situasi Rabies Bali: Enam bulan pasca program pemberantasan. Buletin Veteriner. XXI (74) : 13-26

Rahman A. dan R. Maharis. 2008. Analisis Keberhasilan Vaksin Oral Rabies

Sebagai Perbandingan Pengendalian Rabies di Indonesia. Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan.13 (2008).

Reece J.F. and S.K. Chawla. 2006. Control of Rabies in Jaipur, India, by The

Sterilisation and Vaccination of Neigbhourhood dogs. Vet.Record.16:379-383.http://www.fao.org/fileadmin/user_upload/animalwelfare/Vet%20Record%20Paper.pdf. di akses April 2011.

Ren L. 2010. Short report Molecular Characterization of a Chinese Variant of the

Flury-LEF Strain. VirologyJournal: 7(80). http://www.virologyj.com/content/7/1/80. diakses 9 Juli 2010.

Page 61: profil imun respon terhadap rabies dan

61

Riasari J.R.2009. Kajian Titer Antibodi terhadap Rabies pada Anjing yang di Lalulintaskan Melalui Pelabuhan Penyebrangan Merak. (Tesis) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/4622/Cover_2009jrr.pdf?sequence=5. Diakses Maret 2011.

Robertson I. 2008. VET 641 Principles of Epidemiology Reader. Murdoch

University. Perth. 148-149. Roitt I., J. Brostotoff and D. Male. 2000. Immunology. Fifth Edition. Mosby .

London Philadelphia st Louis Syndney Tokyo. 77-80 Rupprecth C.E., M.D. Leonard-Blass, K. Smith, L.A. Orciari, M. Niezgoda, S.G.

Whitfield, R.V. Gibbons, M. Guerra, dan C.A. Hanion. 2001. Human Infection Due to Recombinant Vaccinia-Rabies Glycoprotein Virus. The New England Journal of Medicine: 345 (8): 582-586.

Salinas J., F.Cuello, M.R.Coro, M.C.Gallego, M.J.Sanches, A.J.Buendia,

J.Breton, B.Marsilla. 1992. Qualification and evolution of rabies antibodies level by ELISA in dog sera with different number of vaccination. ANVET (Murcia) (8) : 3-6.

Sebunya T.K., N.Ndabumbi and S.Mpuchane. 2007. A serosurvey of rabies

antibodies in dogs in Goborone, Botswana. Journal of animal and veterinary advances 6 (4) : 549-553.

Seghaier C., F.Cliquet, S.Hammami, T. Aouina, A. Tlatli, and M. Aubert. 1999.

Rabies Mass Vaccination Campaigns In Tunisia : Are Vaccinated Dogs Correctly Immunized?. Am. J. Trop. Med. Hyg. 61(6) : 879 – 884.

Servat A. dan Cliquet F. 2006. Review. Collaborative Study to Evaluated a New

ELISA Test to Monitor The Effectiveness of Rabies Vaccination in Domestict Carnivores. Virus Research. 120 : 17 – 27.

Servat A., M.Feyssaguet, L.Blanchard, J.L.Morize, J.L.Schereffer, F.Boue dan

F.Cliquet. 2007. Review. A Quantitative Indirect ELISA to Monitor the Effectiveness of Rabies Vaccination in Domestic and Wild Carnivores. Journal of Immunological Methods. 318 : 1 – 10.

Servat A., M.Wasnieswski dan F.Cliquet. 2006. Tools for Rabies Serology to

Monitor the Effectiveness of Rabies Vaccination in Domestic and Wild Carnivores. Dev. Biol (Basel). Basel Karger. 125 : 91 – 94.

Shanker B.R. 2009. Advances in Diagnosis of Rabies. Veterinary world. 2(2) :

74-78.

Page 62: profil imun respon terhadap rabies dan

62

Simani S., A.Amirkhani, F.Farahtaj, B.Hooshmand, A.Nadim, J.Sharifion, N.Howaizi, N.Eslami, A.Gholami, A.Janami, and A.Fayas.2004. Evaluation of The Effectiveness of Pre Exposure Rabies Vaccination in Iran. Arch Med.7(4) : 251-255.

Simani S. 2011. Comparison of Tree Serological Tests For Titration Of Rabies In

Immunized Individuals. Original article.WHO-Collaborating Center For Reference and Research On Rabies, Pasteur Institute of Iran. http://www.ams.ac.ir/aim/9923/simani9923/html. Diakses Maret 2011.

Sissoe L., M. Mousi, P. England, and C. Tuffereau. 2005. Stable Trimerization of

Recombinant Rabies Virus Glycoprotein Ectodomain Is required for Interaction with P75NTR Receptor. Journal of general Virology. 86 : 2545-2552.

Soeharsono.2007. Penyakit Zoonotik Pada Anjing dan Kucing. Edisi 1. Penerbit

Kanisius Jogyakarta. Suryadi Y., I.Manzila, dan M.Machmud.2009. Tinjauan Potensi Pemanfaatan

Perangkat Diagnostik ELISA Serta Variannya Untuk Deteksi Patogen Tanaman. Journal of Agro Biogen.5(1) : 39-40.

Susan A., N.Davis, Y. Feng, D. Mousse, I Alexander, Wondeler, and s.Aris-

Brosou.2010. Spatial and Temporal Dynamic of Rabies Virus Variants in Long Brown Bat Population Across Coroda: Foot Prints of an Emerging Zoonosis. Molecular ecology.19: 2120-2136.

Susetya H. 2005. Analisis genetik gen penyandi glikoprotein dari virus rabies

isolat Indonesia. Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner. Susetya H., I. Naoto, M. Sugiyama, and N. Minamoto.2005. Genetic Analysis of

Glycoprotein Gene of Indonesian Rabies Virus. Indonesian Journal of Biotecnology.10(1) : 795-800.

Suwarno. 2005. Identifikasi Virus Rabies Diadaptasi pada Kultur Sel

Neuroblastoma dengan Indirect Sandwich – ELISA dan direct-FAT. Media Kedokteran Hewan. 21(1) : 43-47.

Suzuki K., M.R. Pecoraro, M.Perez, G.Ruiz, G. Ascarrunz, A. Loza, J.A.C.

Pereira, J.A. Guzman, dan E.T. Gonzales. 2008. Antibody Response to a Vaccine Against Rabies In Owned Dogs In Santa Cruz, Bolivia.

Page 63: profil imun respon terhadap rabies dan

63

Suzuki K., González, E. T., Ascarrunz, G., Loza, A., Pérez, M., Ruiz, G., Rojas, L., Mancilla, K., Pereira, J. A. C., Guzman, J. A. and Pecoraro, M. R. (2008), Abstrak, Antibody Response to an Anti-rabies Vaccine in a Dog Population under Field Conditions in Bolivia. Zoonoses and Public Health, 55: 414–420. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1863-2378.2008.01126.x/ abstract, diakses April 2011.

Tamura K., J. Dudley, M. Nei, and S. Kumar. 2005. MEGA4: Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) Sofware Version 4.0. MEGA4 sofware. 1597-1599.

Tao L., J. Ge, X.Wang, H. Zhai, T.Hua, B. Zhao, D. Kong, C. Yang, H. Chen, and

Z. Bu. 2010. Molecular Basis of Neurovirulence of Flury Rabies Virus Vaccine Strains: Importance of the Polymerase and The Glycoprotein R333Q Mutation. Journal of virology. 84(17) : 8926-8936.

Tepsumethanon V., B.Lumlertdacha, C. Mitmoonpitak, V.Sitprija, F.X. Meslin,

and H.Wilde. 2004. Survival of Naturally Infected Rabid Dogs and Cats. Brief Report. Clinical Infectious Diseases. 39 : 278-280.

Tepsumethanon V., H.Wilde, dan V. Sitprija. 2008. Ten-day Observation of Live

Rabies Suspected Dogs. Dev. Biol. Basel, Kanger. 131 : 543-546. Tizard I.R. 2004. Veterinary Immunology. An introduction. Sevent edition.

Saunders an Inprint of alsever. 145-168. Tomar N.R., V.Singh, S.S.Marla, R.Chandra, R.Kumar, and A.Kumar. 2010.

Molecular Docking Studies With Rabies Virus Glycoprotein to Design Viral Therapeutics. Research paper.72(4) : 486-490.

Touihri L., I. Zaouia, K.Elhili, K.Dellagi, and C.Bahloul. 2011. Evaluation of

Mass Vaccination Campaign Coverage Against Rabies in Dogs in Tunisia. Zoonoses and Public Health, 58: 110-118. Doi:10.1111/j.1863-2378.2009.01306.x

Triakoso B., 2007. Pencegahan dan Pengendalian Rabies. Penerbit Kanisius.

http://books.google.co.id. Di akses Desember 2010. Transfuzion aabb.org. 2009. Rhabdo Virus (Virus Rabies). Appendix2

Transfuzion. 49:146s-147s. Viera A.J. and J. M. Garrett. 2005. Understanding Interobserver Agreement: The

Kappa Statistic. Research series. 37 (5) : 361-363. Wahyuriadi. 2009. Validasi Metode Analisis. http://wahyuriadi.blogsport.com/

2009/03/validasi metode-analisis.html. diakses Juni 2010.

Page 64: profil imun respon terhadap rabies dan

64

Warrell M.J.2009. Rabies and Other Lyssavirus Infection. Dalam Principle &

Practice of Clinical Virology. Sixth edition. Editor. Zuckerman A.J.,choub, P.Mostimer. 777-800.

WHO. 2010. RABIES. http://www.who.int/immunization/topics/rabies/en/ Last

updated: 6 August 2010. Diakses April 2011. Wilde H., T. Hemachuda, dan A.C. Jackson. 2008. Viewpoint: Management of

Human Rabies. Trans R Soc Trop Med Hyg (2008),xxx, xxx-xxx. Wilde H.,2009. Rabies Vaccines.Travelers Vaccines State of the Art. Chapter 9 :

215 – 236. Wilde H dan V. Tepsumethanon. 2010. Rabies and Thailand. www.cueid.org : 1-

14. diakses Juni 2010. Zee Y.C. dan N.J.Maclachlan, 2004. Rhabdoviridae: Rabies. Chapter 61

Veterinary. Microbiology. 2nded. Editor: Hirch D.C., N.J.Maclachlan, R.L.Walker. http//www.ubmb.edu/gsbs/microbook/ch061.htm. Diakses 17 Februari 2010.

Zhang S., Y Liu, F. Zhang, dan R. Hu. 2009. Competitive ELISA Using a Rabies

Glycoprotein-Transformed Line to Semi-Quantify Rabies Neutralizing-Related Antibodies In Dogs. Abstract, Vaccine, 2009.Mar 28;27(15):2108-13. Epub 2009 Feb 6.