prolog - lbh semarang
TRANSCRIPT
DAFTAR ISI
MENEMBUS JALAN BUNTU : FAKTA HAM JAWA TENGAH
I. PROLOG
JAWA TENGAH OVERVIEW : INFO GRAFIS JAWA TENGAH
LUAS WILAYAH
JUMLAH PENDUDUK
KOMPOSISI PENDUDUK
GAMBARAN UMUM HAM JAWA TENGAH
II. POTRET LAYANAN HUKUM
III. FAKTA HAM JAWA TENGAH
IV. PENGUATAN VISI-MISI
V. BANTUAN HUKUM STRUKTURAL
VI. EPILOG
PROLOG
A. Sekilas Jawa Tengah
Jawa Tengah adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa.
Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan
Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut
Jawa di sebelah utara. Luas wilayahnya 32.548 km², atau sekitar 25,04% dari luas pulau
Jawa. Provinsi Jawa Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan (dekat
dengan perbatasan Jawa Barat), serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa.
Pengertian Jawa Tengah secara geografis dan budaya kadang juga mencakup wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta. Jawa Tengah dikenal sebagai "jantung" budaya Jawa.
Meskipun demikian di provinsi ini ada pula suku bangsa lain yang memiliki budaya yang
berbeda dengan suku Jawa seperti suku Sunda di daerah perbatasan dengan Jawa Barat.
Selain ada pula warga Tionghoa-Indonesia, Arab-Indonesia dan India-Indonesia yang
tersebar di seluruh provinsi ini.
Jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah adalah
32.380.687 jiwa terdiri atas 16.081.140 laki-laki dan 16.299.547
perempuan
Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk terbesar adalah
Kabupaten Brebes (1,732 juta jiwa), Kabupaten Cilacap (1,644
juta jiwa), dan Kabupaten Banyumas (1,553 juta jiwa).
Komposisi Penduduk
Sebaran penduduk umumnya terkonsentrasi di pusat
kota. Kawasan permukiman yang cukup padat berada di daerah Semarang Raya (termasuk
Ungaran dan sebagian wilayah Kabupaten Demak dan Kendal), Solo Raya (termasuk
sebagian wilayah Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali), serta Tegal
Slawi.
Pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Tengah sebesar 0,67% per tahun. Pertumbuhan
penduduk tertinggi berada di Kabupaten Demak (1,5% per tahun), sedang yang terendah
adalah Kota Pekalongan (0,09% per tahun).
Dari jumlah penduduk ini, 47% di antaranya merupakan angkatan
paling banyak adalah di sektor
industri (15,71%), dan jasa (10,98%).
Sebaran penduduk umumnya terkonsentrasi di pusat-pusat kota, baik kabupaten ataupun
permukiman yang cukup padat berada di daerah Semarang Raya (termasuk
Ungaran dan sebagian wilayah Kabupaten Demak dan Kendal), Solo Raya (termasuk
sebagian wilayah Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali), serta Tegal
penduduk Provinsi Jawa Tengah sebesar 0,67% per tahun. Pertumbuhan
penduduk tertinggi berada di Kabupaten Demak (1,5% per tahun), sedang yang terendah
adalah Kota Pekalongan (0,09% per tahun).
Dari jumlah penduduk ini, 47% di antaranya merupakan angkatan kerja. Mata pencaharian
paling banyak adalah di sektor pertanian (42,34%), diikuti dengan perdagangan
(10,98%).
pusat kota, baik kabupaten ataupun
permukiman yang cukup padat berada di daerah Semarang Raya (termasuk
Ungaran dan sebagian wilayah Kabupaten Demak dan Kendal), Solo Raya (termasuk
sebagian wilayah Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali), serta Tegal-Brebes-
penduduk Provinsi Jawa Tengah sebesar 0,67% per tahun. Pertumbuhan
penduduk tertinggi berada di Kabupaten Demak (1,5% per tahun), sedang yang terendah
kerja. Mata pencaharian
perdagangan (20,91%),
B. Gambaran Umum
Tahun 2011 merupakan tahun dimana tergambar jelas kondisi Hak Asasi Manusia di
Indonesia. Tragedi demi tragedi muncul sampai dengan penhujung akhir tahun 2011. Baik
mulai mencuatnya kasus Bentrok antara warga dan TNI di Kebumen, Mesuji, Bima, maupun
kasus-kasus lainnya. Gambaran kekerasan dan konflik begitu kentara meski respon ini atas
beberapa kejadian juga tidak menunjukkan keseriusan negara dalam pemenuhan dan
penghormatan Ham bagi setiap warganya.
Tidak berbeda dengan Jawa Tengah, meski di Tahun 2011 terkesan tidak terlihat konflik
dan kekerasan yang terjadi. Namun sejatinya Jawa Tengah juga menyimpan potensi konflik
yang sama. Sedikitnya jika berkaca dari kasus Mesuji yang berakar pada konflik Agraria, di
Jawa Tengah juga sebetulnya terpendam potensi konflik yang sama. Hal ini dapat dilihat
dari dokumentasi LBH Semarang, dimana selama tahun 2011 saja, di Jawa Tengah tercatat
ada 42 konflik Agraria yang kurang lebih melibatkan ribuan masyarakat. Konflik ini hampir
merata terjadi di setiap kabupaten di Jawa Tengah. Hanya yang membedakan antara Jawa
Tengah dan daerah lainnya, seperti Mesuji dan Bima adalah dari sisi kekuatan letupan
konflik. Di Jawa Tengah saat ini relatif tidak terlihat, hanya sesekali letupan konflik itu
muncul yaitu di Kebumen. Dimana kekerasan yang hampir serupa seperti di Mesuji dan
Bima juga terjadi di salah satu kabupaten di Jawa Tengah ini. Yang membedakan hanya
aktor dan jenis tindakan yang dilakukan serta motif kekerasan dilakukan.
Selain kondisi HAM, dapat pula digambarkan mengenai kondisi Bantuan Hukum di Jawa
Tengah. Hampir sama dengan kondisi HAM, catatan mengenai kondisi bantuan hukum di
Jawa Tengah juga tidak beranjak ke arah yang lebih baik dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya. Sepanjang tahun 2011, LBH Semarang telah melakukan pemberian bantuan
hukum sebanyak 135. Bantuan Hukum diberikan baik melalui konsultasi hukum, surat-
menyurat, pembuatan berkas, dll serta pendampingan secara langsung. Angka ini lebih
banyak dibandingkan tahun 2009 dan 2010 yang tercatat sebanyak 125 dan 134.
Sementara dari sejumlah bantuan hukum tersebut juga tercatat jenis masalah hukum yang
dihadapi cukup beragam, mulai dari masalah pidana, Perkawinan/ KDRT, Perburuhan,
Pertanahan, Pencemaran/ perusakan lingkungan hidup, Konsumen, serta Perdata lain.
Berdasarkan data-data diatas, terlihat pula bahwa ternyata pelanggaran HAM masih
banyak terjadi di Jawa Tengah. Selain itu, masih berdasarkan catatan LBH Semarang,
sebagian besar di kabupaten/ kota Jawa Tengah terdapat pelanggaran HAM. Angka diatas
terjadi di 25 daerah kabupaten/ kota di Jawa Tengah.
Selain itu, YLBHI-LBH Semarang telah memberikan bantuan hukum dalam bentuk Bantuan
Hukum Struktural sebanyak 29 dan layanan hukum sebanyak 135 dengan penerima
manfaat bantuan hukum struktural sebanyak 6.784 orang serta penerima manfaat layanan
hukum sebanyak 1.436 orang. Sehingga secara keseluruhan yang tidak mendapatkan akses
bantuan hukum oleh negara sebanyak 8.220 orang.
Berdasarkan gambaran tersebut, maka kami merasa perlu untuk membuat Catatan Akhir
Tahun 2011 tentang kondisi HAM dan Bantuan Hukum di Jawa Tengah khususnya tahun
2011 ini. Laporan ini ditujukan untuk mempromosikan Hak Asasi Manusia serta sebagai
bentuk pertanggungjawaban LBH Semarang terhadap publik (Public Accountability).
Laporan Pelaksanaan Program
Tahun 2011
POTRET LAYANAN HUKUM
Untuk memperjelas mengenai Potret Layanan Hukum yang telah diberikan oleh LBH Semarang
baik yang berasal dari konsultasi, surat
paparkan laporan lebih rinci yang dirangkai dalam bentuk tabel, grafik dan narasi yang diolah
dari data base yang telah terdokumentasikan di LBH Semarang.
A. Fluktuasi Layanan Hukum
Dari tahun ke tahun pemberian konsultasi di LBH Semarang
jumlah. Tercatat sepanjang tahun 2011 dapat dilaporkan bahwa ada 135 Konsultasi yang
telah diberikan oleh LBH Semarang.
2009 dan 2010. Berikut gambaran dalam bentuk grafik men
Semarang. Untuk lebih jelas dapat kami paparkan dalam bentuk grafik, tabel dan narasi
sebagaimana berikut.
90
125
0
50
100
150
200
250
2004 2005
POTRET LAYANAN HUKUM
Potret Layanan Hukum yang telah diberikan oleh LBH Semarang
konsultasi, surat-menyurat maupun pembuatan berkas.
paparkan laporan lebih rinci yang dirangkai dalam bentuk tabel, grafik dan narasi yang diolah
dari data base yang telah terdokumentasikan di LBH Semarang.
Dari tahun ke tahun pemberian konsultasi di LBH Semarang mengalami naik turun dari segi
epanjang tahun 2011 dapat dilaporkan bahwa ada 135 Konsultasi yang
telah diberikan oleh LBH Semarang. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan tahun
2009 dan 2010. Berikut gambaran dalam bentuk grafik mengenai data konsultasi LBH
Semarang. Untuk lebih jelas dapat kami paparkan dalam bentuk grafik, tabel dan narasi
164
195
141125
134
2006 2007 2008 2009 2010
Potret Layanan Hukum yang telah diberikan oleh LBH Semarang,
menyurat maupun pembuatan berkas. Berikut kami
paparkan laporan lebih rinci yang dirangkai dalam bentuk tabel, grafik dan narasi yang diolah
mengalami naik turun dari segi
epanjang tahun 2011 dapat dilaporkan bahwa ada 135 Konsultasi yang
Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan tahun
genai data konsultasi LBH
Semarang. Untuk lebih jelas dapat kami paparkan dalam bentuk grafik, tabel dan narasi
135
2011
B. Jumlah Penerima Layanan Hukum
Dalam proses konsultasi ini, LBH Semarang telah memberian bantuan berupa
dengan memberikan masukan serta penjelasan mengenai persoalan hukum klien,
melakukan surat menyurat, membantu pembuatan berkas maupun upaya
pendampingan secara langsung kepada klien.
Berdasarkan rekapitulasi data klien,
konsultasi sendiri terjadi fluktuasi. D
dihadapi klien LBH Semarang adalah sebagai berikut :
Terlihat dari grafik diatas, bah
perjanjian, hutang piutang, kartu kredit, dll
mengalami kenaikan sebanyak 7 kasus. Terdapat pula
Dibandingkan tahun 2010 angka ini mengalami peningkatan cukup signifikan yaitu 10
kasus. Sementara, terdapat 8 persoalan perkawinan/ KDRT. Angka ini cenderung
menurun dibandingkan tahun 2010 yang mencapai
15 pesoalan perburuhan. Diamana angka ini meningkat dibandingkan tahun 2010, yang
tercatat ada 8 kasus. Sementara permasalahan
tidak muncul, justru pada tahun 2011 muncul sebanyak
2
1
56
Jumlah Penerima Layanan Hukum
Dalam proses konsultasi ini, LBH Semarang telah memberian bantuan berupa
memberikan masukan serta penjelasan mengenai persoalan hukum klien,
melakukan surat menyurat, membantu pembuatan berkas maupun upaya
pendampingan secara langsung kepada klien.
Berdasarkan rekapitulasi data klien, tahun 2011 terdapat 135 konsultasi. Untuk
konsultasi sendiri terjadi fluktuasi. Dari 135 konsultasi, permasalahan hukum yang
dihadapi klien LBH Semarang adalah sebagai berikut :
Terlihat dari grafik diatas, bahwa terdapat 56 persoalan perdata lain seperti persoal
n, hutang piutang, kartu kredit, dll. Dibandingkan tahun 2010, angka ini
mengalami kenaikan sebanyak 7 kasus. Terdapat pula 39 persoalan pidana.
Dibandingkan tahun 2010 angka ini mengalami peningkatan cukup signifikan yaitu 10
Sementara, terdapat 8 persoalan perkawinan/ KDRT. Angka ini cenderung
menurun dibandingkan tahun 2010 yang mencapai 26 kasus. Permasalahan lain adalah
15 pesoalan perburuhan. Diamana angka ini meningkat dibandingkan tahun 2010, yang
ementara permasalahan-permasalahan yang pada tahun 2010
tidak muncul, justru pada tahun 2011 muncul sebanyak 14 persoalan pertanahan diluar
39
8
15
14
Pidana
Perkawinan/ KDRT
Perburuhan
Pertanahan
Pencemaran/ perusakan
lingkungan hidup
Konsumen
Perdata lain
Dalam proses konsultasi ini, LBH Semarang telah memberian bantuan berupa konsultasi
memberikan masukan serta penjelasan mengenai persoalan hukum klien,
melakukan surat menyurat, membantu pembuatan berkas maupun upaya
5 konsultasi. Untuk
ari 135 konsultasi, permasalahan hukum yang
56 persoalan perdata lain seperti persoal an
. Dibandingkan tahun 2010, angka ini
39 persoalan pidana.
Dibandingkan tahun 2010 angka ini mengalami peningkatan cukup signifikan yaitu 10
Sementara, terdapat 8 persoalan perkawinan/ KDRT. Angka ini cenderung
26 kasus. Permasalahan lain adalah
15 pesoalan perburuhan. Diamana angka ini meningkat dibandingkan tahun 2010, yang
permasalahan yang pada tahun 2010
14 persoalan pertanahan diluar
Perkawinan/ KDRT
Perburuhan
Pertanahan
Pencemaran/ perusakan
lingkungan hidup
Konsumen
Perdata lain
kasus struktural, seperti sengketa tanah karena waris dan jual
pencemaran/ perusakan lingkungan hi
C. Rupa-rupa Layanan Hukum
Sebanyak 84 orang yang
Sementara 41 lainnya adalah perempuan
Dibandingkan dengan tahun 2010, yang
ke LBH Semarang sebagian besar adalah laki
perempuan sebanyak 57 (42,54
semntara sisanya sebanyak 41 dalah perempuan. Meski k
dikonsultasikan tidak mendasarkan pada jenis kelamin tertentu, namun
tahun menunjukkan gambaran bahwa laki
ke LBH Semarang dibandingkan perempuan.
kasus struktural, seperti sengketa tanah karena waris dan jual-beli,
pencemaran/ perusakan lingkungan hidup, serta 1 persoalan konsumen.
rupa Layanan Hukum
yang melakukan konsultasi di LBH Semarang adalah laki
Sementara 41 lainnya adalah perempuan
Dibandingkan dengan tahun 2010, yang diketahui bahwa masyarakat yang berkonsultasi
ke LBH Semarang sebagian besar adalah laki-laki, sebanyak 77 konsultasi (57,46%), dan
perempuan sebanyak 57 (42,54%), pada tahun 2011 terdapat 84 adalah laki
semntara sisanya sebanyak 41 dalah perempuan. Meski kasus
dikonsultasikan tidak mendasarkan pada jenis kelamin tertentu, namun
gambaran bahwa laki-laki lebih banyak mengadukan persoalannya
ke LBH Semarang dibandingkan perempuan.
Laki-
laki; 84
Peremp
uan; 41
beli, dan 2 kasus
dup, serta 1 persoalan konsumen.
adalah laki-laki.
masyarakat yang berkonsultasi
laki, sebanyak 77 konsultasi (57,46%), dan
%), pada tahun 2011 terdapat 84 adalah laki-laki,
asus-kasus yang
dikonsultasikan tidak mendasarkan pada jenis kelamin tertentu, namun dari tahun ke
laki lebih banyak mengadukan persoalannya
Dari segi presentase, klien LBH ya
Protestan, 7 % Katholik dan 2 % Budha
Dari sejumlah 135 klien yang mengadu ke LBH Semarang pada tahun 2011
sebanyak 92 berasal dari kota Semarang dan 43 sisasnya berasal dari luar kota
Semarang. Luar kota Semarang ini kebanyakan berasal dari Kendal,
Semarang dan Demak serta daerah sekitarnya
tahun 2010 terlihat bahwa sebagian besar masyarakat yang datang ke LBH Semarang
berasal dari kota Semarang yakni 108 kasus (80,60%). Sedangkan sisanya berasal dari
kota-kota sekitar Semarang, seperti Demak, Kudus, Grobogan, Pati, Kediri, Sragen,
Boyolali, Temanggung, Sukabumi, Kendal, Tegal, Yogyakarta, ada 26 orang (19,40%).
Islam
Semarang
Dari segi presentase, klien LBH yang datang untuk berkonsultasi adalah 81% Islam, 10 %
Protestan, 7 % Katholik dan 2 % Budha.
Dari sejumlah 135 klien yang mengadu ke LBH Semarang pada tahun 2011
sebanyak 92 berasal dari kota Semarang dan 43 sisasnya berasal dari luar kota
Luar kota Semarang ini kebanyakan berasal dari Kendal,
serta daerah sekitarnya. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan
bahwa sebagian besar masyarakat yang datang ke LBH Semarang
ang yakni 108 kasus (80,60%). Sedangkan sisanya berasal dari
kota sekitar Semarang, seperti Demak, Kudus, Grobogan, Pati, Kediri, Sragen,
Boyolali, Temanggung, Sukabumi, Kendal, Tegal, Yogyakarta, ada 26 orang (19,40%).
81%
7%
10%2%
Islam Katholik Protestan Budha
Semarang Luar Semarang
92
43
ng datang untuk berkonsultasi adalah 81% Islam, 10 %
Dari sejumlah 135 klien yang mengadu ke LBH Semarang pada tahun 2011, terdapat
sebanyak 92 berasal dari kota Semarang dan 43 sisasnya berasal dari luar kota
Luar kota Semarang ini kebanyakan berasal dari Kendal, Kabupaten
Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan
bahwa sebagian besar masyarakat yang datang ke LBH Semarang
ang yakni 108 kasus (80,60%). Sedangkan sisanya berasal dari
kota sekitar Semarang, seperti Demak, Kudus, Grobogan, Pati, Kediri, Sragen,
Boyolali, Temanggung, Sukabumi, Kendal, Tegal, Yogyakarta, ada 26 orang (19,40%).
Jenis pekerjaan klien pun cukup beragam.
orang sebagai ibu rumah tangga, 11 orang sebagai buruh, 10 orang sebagai pekerja
informal, 6 orang sebagai petani dan 5 orang sebagai PNS serta sisanya 28 orang tidak
bekerja/ tidak mengisi.
Sementara tingkat pendidikan klien LBH Semarang sebanyak 55 orang adalah SLTA/
SMA, 24 orang sarjana, 19 orang SMP, 19 orang SD, 9 orang akademi (Diploma) dan 5
orang tidak sekolah serta 4 orang tidak mengisi.
Buruh Petani
116
Akademi; 9
enis pekerjaan klien pun cukup beragam. 62 orang bekerja sebagai wiraswasta, 13
orang sebagai ibu rumah tangga, 11 orang sebagai buruh, 10 orang sebagai pekerja
informal, 6 orang sebagai petani dan 5 orang sebagai PNS serta sisanya 28 orang tidak
ingkat pendidikan klien LBH Semarang sebanyak 55 orang adalah SLTA/
SMA, 24 orang sarjana, 19 orang SMP, 19 orang SD, 9 orang akademi (Diploma) dan 5
orang tidak sekolah serta 4 orang tidak mengisi.
Swasta Ibu Rumah
Tanggal
Tidak
bekerja/
tidak
mengisi
PNS Pekerja
Informal
62
13
28
5
Tidak Sekolah;
5
SD; 19
SMP; 19
SMA; 55
Sarjana; 24
Tidak Mengisi;
4
62 orang bekerja sebagai wiraswasta, 13
orang sebagai ibu rumah tangga, 11 orang sebagai buruh, 10 orang sebagai pekerja
informal, 6 orang sebagai petani dan 5 orang sebagai PNS serta sisanya 28 orang tidak
ingkat pendidikan klien LBH Semarang sebanyak 55 orang adalah SLTA/
SMA, 24 orang sarjana, 19 orang SMP, 19 orang SD, 9 orang akademi (Diploma) dan 5
Pekerja
Informal
10
Penerima manfaat secara kes
bentuk konsultasi, pembuatan berkas, dll
pribadi, orang lain maupun kelompok orang.
Pibadi
89
enerima manfaat secara keseluruhan dari bantuan hukum yang telah
ltasi, pembuatan berkas, dll tercatat ada 1436 penerima manfaat baik dari
pribadi, orang lain maupun kelompok orang.
orang lain Kelompok
28
1319
telah diberikan dalam
tercatat ada 1436 penerima manfaat baik dari
Dasar Pengakuan, Penghormatan, Perlindungan serta Pemenuhan HAM
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Undang-Undang No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvenan Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya
Undang- Undang No. 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvenan Hak Sipil dan Politik
Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
Peraturan Presiden RI No 23 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional HAM
tahun 2011-2014
BAB III
FAKTA HAM JAWA TENGAH
Sebagaimana telah sedikit disinggung di pendahuluan, selain memberikan layanan hukum,
juga akan kami laporkan mengenai kondisi HAM, yang terangkum dalam Fakta HAM Jawa
Tengah 2011.
Sebelum lebih jauh menceritakan kondisi HAM, terlebih dahulu kami sampaikan bahwa
untuk LBH Semarang, basis kerja operasional terbagi berdasarkan 4 (empat) issue yaitu
buruh, nelayan dan masyarakat korban lingkungan, petani serta komunitas miskin
perkotaan.
Keempat sektor issue ini dipilih mengingat banyaknya kasus pelanggaran HAM yang sering
terjadi serta karena juga merupakan basis kerja terutama dalam hal pemberian bantuan
hukum struktural. Selain itu, di Jawa Tengah 4 komunitas ini tergolong komunitas miskin
dan tidak mampu baik secara ekonomi maupun akses.
Dari keempat sektor issue tersebut, dapat disampaikan bahwa tercatat ada sejumlah 178
pelanggaran HAM di Jawa Tengah baik berupa pelanggaran HAM Sipil dan Politik maupun
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Lebih rinci mengenai gambaran pelanggaran HAM di keempat
sektor issue, dengan rincian sebagai berikut :
Tabel pelanggaran HAM
Kabupaten/Kota Miskot Buruh Lingkungan&Nelayan Tanah Jumlah /daerah
KOTA SEMARANG 100 8 5 113
KAB SEMARANG 2 1 2 1 6
KENDAL 4 1 2 1 8
SALATIGA 1 1
SURAKARTA 1 1
DEMAK 2 1 2 5
KUDUS 5 1 1 7
PURWODADI 2 2
WONOSOBO 2 1 3
BATANG 1 3 4
KAB
PEKALONGAN
1
1 1 3
KOTA 2 2
PEKALONGAN
KEBUMEN 2 1 3
KOTA
MAGELANG
3
3
KAB MAGELANG 1 1 2
TEMANGGUNG 1 1
KOTA TEGAL 1 1
PURWOKERTO 2 2
CILACAP 1 1
KLATEN 1 1 2
KARANGANYAR 1 1
PATI 1 1
JEPARA 3 3
REMBANG 1 1
PEMALANG 1 1
Jumlah Total 135 17 23 3 178
01-03.2011
Januari s/d Maret merupakanbulannya Penggarukan,
Diskriminasi dan Kebijakanyang tidak Adil. Fakta ini
terlihat dimana sepanjangbulan Januari s/d Maret
tercatat ada 5 kasus razia/ penggarukan anak jalanan dan
PSK. Sementara ada 5 kasusdiskriminasi serta 41 kebijakan
yang tidak adil lainnyaberkaitan dengan HAM.
04.2011 Bulan Kekerarasan terhadap Petani
MAGELANG, KOMPAS.com — Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mengatakan, konflik antara TNI dan masyarakat di Kebumen, Jawa Tengah, dipicu oleh ulah oknum provokator tertentu. Menurut Bibit, kondisi diperparah oleh pola perilaku masyarakat saat ini yang cenderung mudah tersulut emosi dan mudah marah.
Bibit menilai keliru sikap warga yang menghadapi
Bentrok TNI-Warga Bibit Waluyo: TNI Kok Dilawan Regina Rukmorini | Nasru Alam Aziz | Rabu, 20 April 2011 | 20:13 WIB
Robert Adhi Kusumaputra/KOMPAS
Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo
TNI. "TNI kok dilawan. Kalau tetap nekat, ya, begini jadinya," kata Bibit, seusai upacara hari ulang tahun ke-49 Perlindungan Masyarakat di Lapangan Resimen Induk Kodam IV/Diponegoro, Kota Magelang, Rabu (20/4/2011).
Oknum yang menjadi provokator tersebut, menurut Bibit, hanya memancing bentrok demi kepentingannya sendiri. Setelah kerusuhan terjadi, oknum tersebut lari begitu saja tanpa bertanggung jawab.
"Perilaku mudah terprovokasi ini adalah perilaku sangat buruk. Selain menimbulkan korban dari lingkungan sendiri, konflik yang ditimbulkan juga menghambat kemajuan pembangunan," katanya.
04.2011
Analisis
05-06.2011
Bulan Penggusuran PKL, Penghuni Bantaran Sungai dan Pedagang Pasar Tradisional.
Setidaknya ada 23 kasus
07.2011
Bulan Kriminalisasi
Setidaknya pada bulan ini, ada 6 orang yang menjadi korban kriminalisasi. 2 orang
dijadikan Terdakwa karena dianggap melanggar Pasal 170 KUHP Ayat 1 jo Pasal 55 Ayat 1
tentang Penganiayaan. Mereka terancam hukuman maksimal lima tahun penjara. Sementara 4
orang lainnya juga dijadikan terdakwa karena perusakan gapura latihan TNI.
Kriminalisasi ini sebagai dampak pasca bentrok antara warga dan TNI di Urutsewu,
Kebumen. Persoalan Kriminalisasi ini berakar pada konflik agraria.
Persoalan klaim mengklaim di atas tanah rakyat atau perampasan hak-hak rakyat dengan
menggunakan ruang-ruang legislasi ternyata tidak hanya dilakukan oleh perkebunan-
perkebunan besar, baik itu yang masuk ke dalam kategori Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), ataupun perkebunan besar yang merupakan badan usaha swasta. Tidak juga
hanya dilakukan oleh Perusahaan Negara lainnya, yaitu yang bergerak di bidang kehutanan,
Perhutani untuk wilayah Jawa dan Madura, serta Inhutani di wilayah luar Jawa dan Madura.
Ada alat Negara lain yang sebenarnya diamanahkan oleh Konstitusi untuk menjalankan
tugas yaitu mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan
Negara, namun nyatanya seringkali terlihat, khususnya di dalam kasus-kasus agraria malah
cenderung lebih memilih sikap menjadi musuh rakyat. Bahkan tidak jarang mereka
bertindak untuk kepentingan golongannya sendiri. Kondisi ini yang kemudian memicu
konflik dengan latar belakang konflik agraria dan akhirnya terjadi bentrokan pada tanggal
16 April 2011. Atas peristiwa bentrok ini, 6 orang kemudian menjadi korban kriminalisasi
dengan ditahan sampi dengan disidangkan ke Pengadilan.
LBH Semarang yang tergabung dalam Tim Advokasi menjadi kuasa hukum dari Terdakwa
Asmarun dan Terdakwa Sutiono, yang didakwa dengan Pasal 170 ayat (1) KUHP Atau Pasal
351 KUHP ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, karena diduga telah melakukan
penganiayaan terhadap warga setempat, yang akan mengantarkan konsumsi kepada
personel TNI-AD yang sedang berlatih militer di Pantai Bocor; serta kuasa hukum dar
Terdakwa Solekhan Alias Lekhan Bin Sadimin, Terdakwa Mulyono Bin Mihad, Terdakwa
Adiwiluyo Bin Banjir dan Terdakwa Sobirin Alias Birin Bin Wasijo yang didakwa dengan Pasal
170 ayat (1) dan Pasal 406 ayat (1) junto Pasal 55 ayat (1), karena diduga telah melakukan
pengrusakan terhadap gapuran Dislitbang TNI-AD di Desa Setrojenar.
Pendampingan terhadap masyarakat dalam perkara pidana ini dimulai sejak pemeriksaan di
tingkat Penyidikan sampai dengan tingkat banding.
Tindakan pemidanaan terhadap warga Desa Setrojenar ini merupakan salah satu bentuk
tindakan Negara yang menciderai rasa keadilan masyarakat, khususnya masyarakat Desa
Setrojenar, Kelurahan Buluspesantren. Para Terdakwa seperti sengaja dipidanakan dengan
alasan klise layaknya pemidanaan dilakukan, yaitu sebagai efek jera bagi pelakunya. Namun,
sebenarnya tindakan pemidanaan ini merupakan dampak dari aksi penolakan masyarakat
terhadap klaim TNI-AD atas wilayah tanah seluas 1.150 Ha di Kawasan Urutsewu Selatan
dan aksi penolakan terhadap latihan tembak yang dilakukan TNI AD di Kawasan Urutsewu
Selatan, Kebumen, sejak 1980, yang pada tahun 1980 dan tahun 1997 sempat memakan
korban nyawa anak warga desa Ambalresmi (Ambal, 1980) maupun 5 anak warga desa
Setrojenar (Buluspesantren, 22 Maret 1997).
Tidak adil. Jika Negara adil, seharusnya tindakan represif TNI-AD terhadap masyarakat Desa
Setrojenar yang dilakukan pada tanggal 16 April 2011, yang sampai mengakibatkan 13 (tiga
belas) orang warga luka tembak dan luka berat, belasan orang lain luka ringan dan
teraniaya, serta 12 motor warga dirusak tentara, juga seharusnya ditindaklanjuti dan
terhadap para oknum yang secara terang-terangan melakukan tindakan penganiayaan
terhadap orang dan barang pada saat kejadian juga seharusnya dikenakan sanksi pidana.
Namun nyatanya laporan yang pernah dibuat oleh Sdr. Aris Irianto dan Sdr. Sadir, selaku
korban dalam insiden tanggal 16 April 2011, di Kepolisian Resort Kebumen atas dugaan
tindak pidana yang dilakukan oleh TNI sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 170 KUHP
subs 351 KUHP dan Pasal 170, yang kedua tercatat dalam Laporan Nomor :
LP/76/IV/2011/Jateng/Res Kbm tertanggal 26 April 2011, belum menemui titik terang
sampai dengan saat ini.
Bentuk ketidak-adilan lainnya adalah bahwa dalam pemeriksaan perkara pidananya
terhadap Para Terdakwa Majelis Hakim yang memeriksa perkara telah menjatuhkan putusan
pada tanggal 8 September 2011, yang masing-masing pada pokoknya adalah sebagai
berikut dalam Putusan atas nama Terdakwa Asmarun dan Terdakwa Sutiono, Majelis Hakim
menjatuhkan hukuman 5 bulan dikurangi masa tahanan. Sedangkan putusan atas nama
Terdakwa Solekhan alias Lekhan Bin Sadimin, Terdakwa Mulyono Bin Mihad, Terdakwa
Adiwiluyo Bin Banjir dan Terdakwa Sobirin Alias Birin Bin Wasijo, Majelis Hakim
menjatuhkan hukuman 6 bulan dikurangi masa tahanan.
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim cenderung mengesampingkan fakta-fakta
yang terungkap dalam persidangan, yang mengungkapkan bahwa peristiwa perusakan
gapura milik TNI AD dan penganiayaan warga yang mengantar ransum makanan untuk
latihan perang TNI merupakan kejadian/peristiwa yang tidak berdiri sendiri. Ada unsur
sebab akibat yang melatar belakanginya dan terdakwa secara spontan melakukan tindakan
tersebut karena adanya provokasi secara aktif dari TNI yang melakukan latihan perang di
daerah Desa Setrojenar Kecamatan Buluspesantren dimana warga secara tegas menolak
adanya latihan perang disana.
Posko Pengawas THR Dibentuk
Saturday, 13 August 2011
SEMARANG– Dari tahun ke tahun, persoalan pembayaran THR selalu saja menimbulkan masalah antara perusahaan dengan pekerja. Menjawab hal ini, Disnakertrans Kota Semarang membentuk Posko Pengawas THR. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Semarang Gunawan Saptogiri menjelaskan, posko tersebut selain berfungsi melakukan pantauan dan pengawasan tunjangan hari raya (THR), juga bisa menerima pengaduan sekaligus memfasilitasi jalan keluar. “Misalnya,perusahaan minta ada penangguhan THR, itu bisa dilakukan asal ada kesepakatan dengan karyawan.Prosesnya, penangguhan dilaporkan ke tim, untuk nanti ditindaklanjuti pertemuan dengan karyawan untuk mencari solusi. Sehingga gejolak bisa diminimalkan,” papar Gunawan kemarin. Kewajiban THR harus diberikan maksimal tujuh hari sebelum Lebaran (H-7). Meminimalisasi persoalan yang muncul terkait pemberian THR,Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Semarang membentuk posko pengawas. Posko Pengawas THR tersebut tidak seperti posko umumnya. Posko ini hanya sekadar simbolisasi karena dua personel yang tiap hari melakukan pantauan THR hingga Lebaran tetap ngantor seperti biasa di Kantor Disnakertrans. “Kalau hari ini ada pengaduan, besoknya langsung ditindaklanjuti sehingga tidak berlarut-larut,” katanya. Untuk antisipasi lainnya,pihaknya sudah mengirim surat ke pengusaha meminta mereka memberi THR sesuai waktunya. Selain itu, pengusaha diimbau memberikan gaji sebelum Lebaran agar para pekerja punya cukup uang menyambut Idul Fitri. “Kami juga sudah mendatangi perusahaan yang dulu pernah bermasalah dengan THR.Mereka sudah menyatakan komitmennya untuk bayar tepat waktu,” ungkap Gunawan. Kewajiban THR diberikan kepada pekerja yang punya masa kerja lebih dari satu tahun. Jumlahnya mengacu aturan yang telah ditentukan,bervariasi tergantung masa kerja dan jumlah gaji pokok bulanannya.“ Masa kerja tiga bulan sampai satu tahun juga ada aturannya sendiri. Tapi yang kurang dari tiga bulan belum bisa mendapat THR,”paparnya. Ketua Komisi D DPRD Kota Semarang Supriyadi berharap Lebaran tahun ini tidak ada lagi persoalan THR yang muncul. Pengalaman di tahun sebelumnya harus menjadi bahan kajian dan evaluasi Disnakertrans untuk meminimalisasi persoalan. “Kalau persoalan yang sama selalu muncul,berarti perlu dievaluasi kinerja dinas terkait. Mengindikasikan dinas tidak tegas terhadap pelanggaran yang terjadi. Ini yang tidak boleh ada di kinerja SKPD di Pemkot agus joko_Semarang,”kata Supriyadi.
KETENAGAKERJAAN
Pekerja dari Dua Pabrik di Jateng Tuntut THR
| Kamis, 25 Agustus 2011 | 04:32 WIB
KUDUS, KOMPAS - Sepekan menjelang Idul Fitri, pekerja perusahaan di sejumlah daerah semakin
gencar menuntut pembayaran tunjangan hari raya sebagai salah satu hak dasar.
Aksi itu paling tidak dilakukan pekerja dari dua perusahaan berbeda di Jawa Tengah, Rabu
(24/8), yakni pekerja pabrik rokok PT Jambu Bol di Kabupaten Kudus dan pekerja pabrik
pengolahan kayu PT Central Jawa Wood Industry di Kabupaten Temanggung.
Perwakilan dari 3.400 buruh rokok PT Jambu Bol, kemarin, mendatangi pabrik dan rumah
pemilik PT Jambu Bol di Desa Ngembal, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Mereka menagih tunjangan hari raya yang belum mereka terima.
Koordinator buruh PT Jambu Bol, Ismail, mengatakan, buruh berhak mendapat THR karena
belum diberhentikan secara resmi oleh perusahaan. Selain itu, PT Jambu Bol masih tercatat
secara administratif di Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai Tipe Madya Kudus
serta Persatuan Pengusaha Rokok Kudus.
”Pada tahun lalu saja para buruh mendapat THR meski cuma separuh, Rp 360.000. Masak
tahun ini tidak,” katanya.
Secara terpisah, Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Kudus
Noor Yasin meminta agar PT Jambu Bol memberikan THR kepada para buruh. Pasalnya,
pengajuan penangguhan pembayaran THR ke Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan
alasan kekurangmampuan perusahaan ditolak.
Sementara itu, sekitar 100 tenaga kerja outsourcing di PT Central Jawa Wood Industry di
Desa Nguwet, Kecamatan Kranggan, Kabupaten Temanggung, mogok kerja, Rabu. Aksi ini
dilakukan sebagai bentuk ketidakpuasan mereka karena tuntutan pembayaran THR satu
bulan gaji tidak dipenuhi oleh perusahaan yang merekrut mereka, PT Adistama Gemilang.
Dalam pertemuan dengan pihak perusahaan, Manajer PT Adistama Gemilang Boimin
mengatakan, karena kondisi keuangan perusahaan sedang kurang baik, tuntutan
pembayaran THR satu bulan gaji baru bisa dipenuhi tahun depan.
Jawaban itu tetap tidak mampu menenangkan buruh karena janji serupa juga pernah
dilontarkan perusahaan pada tahun lalu.
Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Temanggung Agus Wahyudi
mengatakan, pihaknya akan mengirimkan nota pemeriksaan kepada PT Adistama Gemilang
dan akan mendalami kasus ini lebih lanjut mengapa perusahaan tidak bisa memenuhi
tuntutan karyawannya.
Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, hingga H-6 Lebaran belum ada laporan yang masuk ke
pos pengaduan tunjangan hari raya. Meski demikian, dinas sosial, tenaga kerja, dan
transmigrasi setempat tetap melakukan pemantauan ke daerah untuk mencari tahu ada
tidaknya perusahaan yang melanggar soal THR. Pos pengaduan di halaman Dinas Sosial,
Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kalsel, Jalan Ahmad Yani, Banjarmasin, sepi.
(HEN/EGI/WER
08.2011
THR bagi buruh.
Bulan ini seharusnya menjadi bulan spesial bagi kaum buruh. Dalam satu tahun, bulan ini
juga biasanya paling ditunggu-tunggu karena merupakan bulan spesial dimana terdapat
hari raya, yang kemudian konsekuensinya buruh dapat libur untuk sementara waktu dan
melepaskan penat atau lelah untuk sekedar merayakan. Selain itu, seharusnya bulan ini
juga merupakan bulan dimana diberikan Tunjangan Hari Raya. Artinya ada dua kesenangan
yang didapat dari buruh yang berbeda dengan hari, bulan yang lainnya.
Jauh api dari panggang
Mungkin itu pepatah yang dapat menggambarkan kondisi sebagian buruh. Bulan yang seharusnya
menjadi spesial justru tidak dirasakan oleh sebagian buruh. Setidaknya untuk THR masih terdapat
problem dalam pembayarannya. Meski persoalan ini selalu terjadi berulang tapi tetap saja tidak
ada pemecahan masalah. THR yang merupakan hak buruh terkadang tidak diberikan. Ataupun
kalau diberikan, tidak sesuai dengan harapan yaitu sesuai upah yang didapatkan 1 bulan, tapi
banyak juga yang mendapatkannya kurang dari itu.
Realitas ini juga jauh berbeda dari regulasi atau aturan yang diberlakukan. Sesuai Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No., perusahaan wajib memberikan THR satu minggu
sebelum hari raya. Perusahaan dapat memberikan THR dibawah upah dengan catatan kondisi
keuangan yang tidak memungkinkan dan hal ini dapat dibuktikan. Namun faktanya, dengan
berbagai alasan aturan berkaitan THR belum sepenuhnya dijalankan oleh perusahaan. Ada
perusahaan yang terlambat memberikan THR atau bahkan tidak memberikan THR.
Dengan realitas seperti ini bagaimana peran pemerintah dalam pengawasan serta apakah
perusahaan yang melanggar diberikan sanksi?. Ternyata faktanya tidak demikian, meski komentar
atau steatment pemerintah akan melakukan pengawasan, tapi ada beberapa kasus yang akhirnya
juga menunjukkan pemerintah absen. Bahkan komentar atau steatment dimedia, pemerintah
cenderung tidak tegas dengan hanya menyatakan bahwa sanksi tidak dapat langsung diberikan
namun diarahkan masuk sengketa hubungan industrial atau PHI.
Absennya pemerintah, akhirnya juga membuat buruh menempuh upaya lain dengan mengadukan
ke LBH Semarang terkait permasalahan tidak dibayarkannya THR. Setidaknya dari Posko yang
dibentuk LBH Semarang untuk pengawasan THR, ada dua perusahaan di Kota Semarang yang
diadukan. Dimana masing-masing perusahaan terdapat 10 buruh dan 45 buruh yang belum
dibayarkan THRnya.
Tidak Bayar THR, FSPSI Adukan Dua Perusahaan
Gara gara tidak membayarkan tunjangan hari raya (THR), Federasi Serikat Pekerja Seluruh
Undonesia (FSPSI) Jawa Tengah mengadukan dua perusahaan ke Lembaga Bantuan Hukum
YLBHI-LBH Semarang. perusahaan tersebut adalah CV. Garuda Mandiri Garmindo, Kota
Semarang dan PT. Arta Kayu Indonesia yang beralamat di Jalan Semarang- Demak KM-15,5.
PT. Arta Kayu Indonesia tak memberikan sebanyak 10 pekerjanya dan CV. Garuda Mandiri
Garmindo, Kota Semarang, sebanyak 45 pekerja. “Karena tak memberi THR maka pihak
perusahaan telah melanggar Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor
Per-04/ MEN/ 1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan,”
kata Direktur LBH Semarang Slamet Haryanto, Senin (29 Agustus 2011).
Slamet menyatakan sesuai Permenaker No/4/1994 diatur sanksi bagi perusahaan yaitu
dalam Pasal 8 ayat 1 yang berbunyi : bagi pengusaha yang melanggar ketentuan pasal 2
ayat (1) dan pasal 4 ayat (2) diancam dengan hukuman sesuai dengan ketentuan pasal 17
Undang- Undang No 14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai tenaga
kerja. Pasal 2 berbunyi : Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
pelanggaran.
Karena Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi berperan sebagai pengawas maka LBH
mendesak kepada mereka untuk segera memerintahkan kepada CV. Garuda Mandiri
Garmindo dan PT. Arta Kayu Indonesia membayarkan THR.
Jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka Kepada Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kota Semarang dan Kabupaten Demak untuk secara tegas menindak
perusahaan tersebut.
“Perusahaan juga bias dilaporkan ke Kepolisian jika ada dugaan Tindak Pidana
Ketenagakerjaan,” kata Slamet.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Tengah Siswolaksono menyatakan jika
ada perusahaan tak memberikan THR maka tak bisa langsung diberikan sanksi. “masuknya
sengketa hubungan industrial,” kata Siswolaksono.
Kholis/B21
BALAI KOTA - Empat perusahaan di Kota Semarang hingga kini belum membayarkan tunjangan hari
raya (THR) kepada para karyawan. Padahal sesuai aturan, pembayaran THR paling lambat tujuh hari
menjelang Lebaran sebesar satu kali gaji. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Disnakertrans) Gunawan S menyebutkan, empat perusahaan tersebut bergerak di bidang garmen,
ritel, hotel, dan SPBU. Ada 75 pekerja yang belum menerima THR.
”Yang mengadukan ke kami karyawan dari lima perusahaan, tapi yang satu sudah selesai. Yang satu
lagi, akan dibayar tapi sudah keburu masuk media dan akhirnya mengelak lagi,” ujarnya, kemarin.
Satu dari empat perusahaan itu tidak membayar THR hanya pada satu karyawan. Alasannya,
karyawan tersebut tidak disiplin dalam bekerja. Satu perusahaan lainnya, mengaku kolaps. Karena
itu, yang akan diproses nantinya hanya tiga perusahaan. Adapun pengaduan terhadap tiga
perusahaan itu akan diselesaikan minggu ini. Dijelaskan permasalahan tersebut terlebih dulu akan
diselesaikan melalui jalur mediasi.
”Surat panggilan sudah kami layangkan, minggu ini akan kami selesaikan.” Disinggung adakah
sanksi bagi perusahaan yang tidak mau membayarkan THR, terang dia, secara hukum di dalam
undang-undang sanksi itu tidak ada. Hanya saja secara moral, hal itu berpengaruh pada
keharmonisan hubungan antara pengusaha dan pekerja. Lebih lanjut, jika melalui mediasi gagal,
akan diarahkan ke pengadilan hubungan industrial (PHI). (J9,H37-61) (/)
09.2011
46 Konflik Agraria Terjadi di Jateng Share4
Semarang, CyberNews. Lebih dari 10 ribu hektare lahan di Jawa Tengah diperebutkan. Luasan lahan tersebut terpecah dalam 46 kasus sengketa tanah antara rakyat dengan pihak pertambangan, perkebunan, kehutanan, hingga militer. Fakta dicatat oleh LBH Semarang tahun 2011.
Jumlah itu menurun dari tahun 2010 yang tercatat 53 konflik, namun luasan lahan sengketa tak berkurang nyata. Sebagai perbandingan lebih lanjut, tahun 2009 lalu terdapat 42 konflik tanah dengan luas 10.587,18 hektare.
"LBH telah melakukan pendampingan terhadap lebih dari separuh jumlah konflik tanah di Jawa Tengah. Pengembalian lahan kepada rakyat tidak signifikan," jelas aktivis LBH Semarang Andiyono di Semarang Kamis (22/9).
Menurutnya, ujung konflik tanah itu kerap merugikan rakyat. Terjadi penganiayaan petani, penembakan yang menyebabkan luka hingga kematian, bahkan penangkapan sampai pemenjaraan atau kriminalisasi petani. Dalam 10 tahun terakhir, telah terjadi 262 kasus kriminalisasi petani di Jateng. "Pemerintah sulit diharapkan dapat menyelesaikannya, ini mengecekawan rakyat, terutama petani," lanjut Andi.
Kekecewaan petani Jateng itu tertuang dalam aksi unjuk rasa belasan aktifis Gerakan Tani untuk Kedaulatan (Gertak) Jateng di Kawasan Videotron Jalan Pahlawan Semarang, Kamis (22/9). Sejumlah poster dibentang massa aksi, di antaranya bertuliskan "Tolak Impor Beras", "Tolak RUU Pengadaan Tanah", "Perlindungan Produksi Kaum Tani" dan "Laksanakan Reforma Agraria dalam UUPA 1960".
Aksi tersebut digelar menjelang Hari Tani Nasional yang jatuh pada Sabtu (24/9) besok, bertepatan dengan hari disahkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 silam. "Keberpihakan UUPA pada kaum tani begitu jelas, namun hingga kini undang-undang itu tak pernah dilaksanakan," jelas Ketua Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Jateng, Purwanto di sela aksi
Rencananya, Senin (26/9) mendatang akan ada aksi besar di Semarang dengan mendatangkan 5000 petani dari Kendal, Grobogan, Demak, Boyolali dan daerah lain.
( Eka Handriana / CN26 / JBSM )
10-11.2011
Bibit: ‘Untuk apa buruh unjuk rasa!’
13 Oktober 2011 | Filed underBerita | Posted by Ariyanto Mahardika
Semarang [SPFM], Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mengungkapkan buruh tidak
perlu beraksi menuntut upah yang layak. Menurut Bibit, upah tidak hanya ditentukan dari
buruh saja, tetapi juga dari pihak pengusaha. Bibit mengungkapkan hal itu di Rawa
Pening, Kabupaten Semarang seusai membuka Konferensi Nasional Danau kedua, Kamis
(13/10).
Menurut Bibit, penentuan upah sudah menjadi kewenangan kabupaten atau kota dan
sangat bergantung pada Dewan Pengupahan, serta kesepakatan antara buruh dan
pengusaha. Bibit menegaskan dirinya hanya menyetujui dan membantu jika memang ada
angka yang tidak wajar.
Ratusan buruh dari Gerakan Buruh Semarang turun ke jalan menuntut pemerintah daerah
menetapkan UMK 2012 sebesar Rp 1,4 juta. Aksi buruh tersebut dilakukan dengan
memblokir jalan di depan kantor Gubernur Jawa Tengah sehingga mengakibatkan lalu
lintas dialihkan. [kcm/dtc/ary]
Ribuan Buruh Demo
Jumat, 14 Oktober 2011 14:00
(Releaase : Bag. Humas Setda). KAJEN-Ribuan buruh yang bergabung dalam Serikat Pekerja
Nasional (SPN) Kabupaten Pekalongan melakukan unjuk rasa di depan Kantor Bupati
Pekalongan, Jumat (14/10). Mereka menuntut supaya Upah Minimum Kabupaten (UMK) Tahun
2011 dinaikkan menjadi sebesar Rp. 885.000/ bulan, dari UMK tahun sebelumnya sebesar Rp.
810.000. Unjuk rasa digelar juga lantaran pekerja kecewa terhadap Bupati yang telah
menyampaikan rekomendasi UMK pada Gubernur Jawa Tengah sebesar Rp. 861.000.
Aksi dimulai dari Lapangan Pekuncen Wiradesa sekitar pukul 08.00. Unjuk rasa melibatkan
peserta yang menggunakan truk dan ratusan sepeda motor. Sejumlah pengunjuk rasa berorasi
di atas truk sepanjang perjalanan dari Wiradesa hingga Kajen. Aksi sempat membuat jalur
pantura Wiradesa tersendat.
Konvoi sampai di lingkungan Kantor Bupati Pekalongan sekitar pukul 10.45. Saat sampai di
Kajen, terdengar pengunjuk rasa mengumandangkan lagu ” Indonesia Tanah Air Beta”.
Sejumlah peserta demo berorasi di depan Kantor Bupati dan peserta lain tampak membawa
spanduk dan banner berisi tuntutan buruh. “ UMK tahun 2011 Kabupaten Pekalongan sebesar
Rp 810.000, kemudian berdasarkan survei pasar bahwa nilai kebutuhan hidup layak (KHL) saat
ini Rp 888.972. Jumlah tersebut belum mencerminkan kebutuhan riil buruh. Namun, bupati
telah merekomendasikan kepada Gubernur Jawa Tengah UMK Tahun 2012 Rp 861.000.
Meskipun naik Rp 51.000 namun jauh dari nilai KHL,” ucap Damirin dalam orasinya.
Menurutnya bupati secara nyata telah membuat kebijakan yang memiskinkan buruh. Hal itu
tidak sesuai dengan visi dan misi bupati yang menyatakan bahwa terwujudnya masyarakat
sejahtera dan bermartabat berbasis pada kearifan lokal. “ Oleh karena itu dapat dikatakan visi
dan misi tersebut hanya retorika belaka dan hanya janji manis pada saat kampanye,” tegas
Damirin.
Koordinator Lapangan Aksi Ibnu Masud menyatakan bahwa SPN Kabupaten Pekalongan
meminta bupati untuk mencabut rekomendasi UMK sebesar Rp 861.000 dan
merekomendasikan kembali UMK tahun 2012 di Kabupaten Pekalongan sebesar Rp 885.000.
Menanggapi tuntutan buruh siang itu, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat
Kabupaten Pekalongan, H Umaidi meminta untuk bermusyawarah dengan jernih. "Mari kita
bermusyawarah tentang aspirasi dari SPN bersama rekan-rekan DPRD dan pemerintah daerah
supaya ada titik temu," ajaknya saat berada di atas truk yang dibawa pengunjuk rasa.
Sebelumnya, proses dialog antar SPN dan Apindo yang dimediasi oleh pemkab Jumat (30/9)
deadlock. Pengurus SPN yang mewakili rapat saat itu keluar dari ruangan Bupati sebelum rapat
usai. SPN menuntut agar UMK sesuai nilai KHL atau paling tidak Rp.885.000, namun dari
Apindo hanya menyanggupi sebesar Rp. 840.000. Mereka juga mengaku kecewa Bupati
meninggalkan rapat untuk menghadiri acara Pembinaan Sekdes PNS di Aula Lantai 1. Rapat
dipimpin Asisten Kesra, Umaidi, dan melibatkan unsur Dewan Pengupahan minus SPN.
Keputusan Dewan Pengupahan
Dalam konferensi pers di Rumah Makan Tirta Alam, Kamis (13/10) siang, Bupati Pekalongan
mengatakan bahwa rekomendasi UMK 2012 sebesar Rp. 861.000 disampaikan pada Gubernur
Jawa Tengah berdasarkan keputusan Dewan Pengupahan dengan perhitungan yang
mempertimbangkan sejumlah faktor. Keputusan UMK 2012 segera disampaikan bupati karena
terkait batas akhir bahwa rekomendasi UMK harus dikirimkan ke Gubernur pada akhir
September.
Bupati mengaku kecewa dengan sikap SPN yang tidak mau berdialog untuk menentukan UMK
waktu itu dan malah memilih untuk keluar ruangan. “Sebelum meninggalkan ruang rapat, saya
sudah mohon izin untuk datang ke acara pembinaan Sekdes yang sudah diagendakan dan saya
berjanji untuk kembali lagi. Namun, saat kembali, perwakilan SPN dan anggota lainnya sudah
pulang dan rapat yang dipimpin Pak Umaidi saya tanya, sudah menghasilkan angka Rp. 861.000
berdasarkan penghitungan Dewan Pengupahan,” tutur Bupati.(lei/humas setda)
Minggu, 23 Oktober 2011 | 16:18 WIB
UMK Jawa Tengah Rendah Dibanding Provinsi Lain
Besar Kecil Normal
TEMPO.CO, Jakarta - Upah minimum kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dinilai paling
rendah dibandingkan dengan upah di provinsi-provinsi lain. Divisi Informasi dan Dokumentasi
Yayasan Wahyu Sosial Semarang Siti Qomariyah mengatakan dari tahun ke tahun UMK di Jawa
Tengah tak pernah naik signifikan, sehingga menempatkan provinsi ini sebagai provinsi paling
rendah UMK-nya se-Indonesia.
“Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) tentang UMP
(Upah Minimum Provinsi) seluruh provinsi di Indonesia tahun 2011, Jawa Tengah peringkat
terbawah,” kata Qomariyah, Ahad, 23 Oktober 2011.
Qomariyah mencontohkan UMK DKI Jakarta meningkat sebesar 15,38 persen dari Rp 1.118.009
tahun 2010 menjadi Rp 1.290.000 tahun 2011. Sedangkan UMK Jawa Tengah rata-rata naik di
bawah 10 persen, yakni dari Rp 660 ribu pada tahun 2010 menjadi Rp 675 ribu pada 2011.
Pada 2011 UMK paling tinggi di Jawa Tengah adalah di Kota Semarang yang nilainya Rp 960
ribu.
Di Provinsi Jawa Timur, upah buruh 2011 juga sudah banyak yang di atas Rp 1 jutaan. Misalnya
Kabupaten Pasuruan dan Sidoarjo (Rp 1.107.000), Kota Batu (Rp 1.050.000), Kota Malang (Rp
1.079.887), Kabupaten Malang (Rp 1.077.800), dan Kabupaten Mojokerto (Rp 1.105.000).
Karena upah buruh di Jawa Tengah rendah, banyak warga Jawa Tengah lebih tertarik merantau
ke daerah lain karena dengan pekerjaan yang sama mendapatkan upah jauh lebih tinggi. Pada
saat yang sama, banyak pula pengusaha yang tertarik berinvestasi di Jawa Tengah karena biaya
upah buruhnya rendah.
Pemerintah daerah, yang diharapkan mampu membuat jaring pengaman untuk melindungi
buruh, malah menyalahgunakan menjadi makelar pemilik modal. Qomariyah meminta Provinsi
Jawa Tengah harusnya segera menyadari bahwa komitmen untuk mensejahterakan buruh salah
satunya dengan memperbaiki sistem pengupahan.
Untuk itu, Yayasan Wahyu Sosial meminta Pemprov Jawa Tengah dalam menetapkan UMK
tahun 2012 wajib 100 persen sesuai dengan kebutuhan hidup layak (KHL).
Saat ini pembahasaan UMK tahun 2012 masih dilakukan di Dewan Pengupahan Provinsi Jawa
Tengah, sebelum diserahkan kepada Gubernur Jawa Tengah untuk ditetapkan.
Anggota Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Tengah, Fajar Eib Utomo, menyatakan dari angka
UMK 2012 yang diajukan 35 bupati/wali kota kepada Gubernur Jawa Tengah hanya ada
sembilan yang sudah mencapai KHL 100 persen. Sembilan daerah itu masing-masing Kota
Semarang, Salatiga, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, Temanggung, Kota Solo, Kabupaten Semarang,
dan Pekalongan. Sedangkan daerah-daerah lainnya usulan UMK 2012 masih di bawah 100
persen KHL.
Fajar menyatakan meski usulan UMK 2012 mencapai 100 persen KHL, secara nominal masih
minim. Sebab, para kepala daerah melakukan siasat dalam survei agar nilai KHL-nya tetap
rendah. “Kepala daerah merasa sudah merasa berhasil kalau UMK-nya 100 persen KHL. Seperti
menjadi gagah-gagahan, yang penting 100 persen KHL,” kata Fajar.
ROFIUDDIN
Buruh Paksa Ikut Rapat Dewan Pengupahan Jateng
Buruh Jawa Tengah memaksa ikut dalam rapat penetapan upah minimum kota tahun 2012. Mereka
menuding Dewan Pengupahan Provinsi Jateng tidak transparan dalam menyusun UMK buruh.
• Andhika Puspita / Angga Haksoro
• 25 Oktober 2011 - 16:0 WIB
VHRmedia, Semarang – Lima puluh anggota Gerakan Buruh Berjuang memaksa ikut rapat penetapan
upah minimum kota (UMK) Provinsi Jawa Tengah. Komponen penetapan UMK tidak sesuai dengan
survei kebutuhan hidup layak buruh tahun 2011.
Buruh memaksa masuk ruang rapat pleno Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Tengah yang
dihadiri perwakilan Dinas Tenaga Kerja. Dewan Pengupahan menggunakan standar konversi gas
dalam survei kebutuhan hidup layak (KHL) buruh.
”Dalam surat edaran Dirjen PHI Kementerian Tenaga Kerja, komponen survei untuk penentuan
KHL menggunakan konversi gas. Padahal dalam Peraturan Menteri ditetapkan komponen yang
digunakan adalah perlengkapan minyak tanah,” kata Slamet Kiswanto dari DPC Serikat Pekerja
Nasional (SPN) Semarang.
Akibatnya besaran KHL buruh Jawa Tengah turun. Padahal hasil survei kebutuhan hidup layak
menjadi acuan penetapan upah minimum kota di Provinsi Jawa Tengah.
Buruh menuding Dewan Pengupahan gagal mengakomodir kepentingan buruh. ”Kami ingin
masuk dan mengikuti rapat Dewan Pengupahan agar semua transparan,” ujar Slamet.
Setelah melalui negosiasi alot, perwakilan buruh dizinkan mengikuti rapat sebagai peninjau
namun tidak memiliki hak suara. (E1)
Foto: VHRmedia/Andhika Puspita
Rabu, 16 November 2011 | 15:55 WIB
Tuntut Upah Naik, Buruh Ancam Demo Besar-
besaran
Besar Kecil Normal
TEMPO.CO, Semarang - Ribuan buruh yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Buruh Berjuang
(Gerbang) Jawa Tengah, mengancam akan mengelar unjuk rasa besar-besaran. Demo yang akan
dilakukan Kamis 17 November besok itu mendesak Gubernur Jawa Tengah agar menetapkan
upah minimum kabupaten/kota di Jawa Tengah sesuai dengan 100 persen kebutuhan hidup
layak.
“Demo akan dipusatkan di Kantor Gubernur Jawa Tengah, Jalan Pahlawan, Semarang,” kata
Pengurus Federasi Serikat Buruh Independen Suwardiyono, Rabu, 16 November 2011. Sebab,
waktu penentuan akhir nominal UMK sudah mepet. Sesuai aturan, Gubernur harus sudah
mengeluarkan keputusan UMK 35 daerah pada 20 November atau 40 hari sebelum UMK itu
diberlakukan
Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Tengah sebelumnya sudah menyerahkan keputusan UMK 32
kabupaten/kota di Jawa Tengah kepada Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo. UMK tiga kota
lain belum ada keputusan karena pembahasan masih alot.
Buruh sudah menggelar unjuk rasa beberapa kali. Bahkan mereka memantau dan mengawasi
setiap kali Dewan Pengupahan Jawa Tengah menggelar rapat pleno. Buruh menganggap sesuai
dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintaha Daerah, gubernur sebagai
perwakilan pemerintah pusat di daerah memiliki kewenangan dalam ketenagakerjaan untuk
menetapkan UMK. Sedangkan, wali kota/bupati sifatnya mengusulkan.
Suwardiyono menegaskan, jika 32 daerah yang disepakati dan 3 daerah yang belum belum ada
titik temu tetap disetujui, pihaknya akan mengerahkan banyak massa. "Aksi akan dilakukan di
gubernuran dengan mendatangkan buruh dari berbagai daerah," tuturnya.
Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo menyarankan, sebaiknya demo dilakukan tidak dengan
anarkistis. Jika bangunan milik pemerintah dirusak, ini sama saja merusak barang milik rakyat.
“Nanti harus berhadapan dengan polisi,” katanya.
ROFIUDDIN
Penetapan UMK, Bibit panggil 3 kepala daerah
16 November 2011 | Filed underBerita | Posted by Ariyanto Mahardika
Semarang [SPFM], Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo segera memanggil tiga kepala daerah,
terkait belum adanya kesepakatan atas besaran Upah Minimum Kabupaten,Kota (UMK) 2012.
Padahal, penetapan UMK akan dilakukan Jumat (18/11) mendatang. Tiga kepala daerah
tersebut adalah Wali Kota Semarang Sumarmo, Wali Kota Pekalongan Basyir Achmad, dan
Bupati Semarang Mundjirin.
Belum adanya kesepakatan soal UMK di sejumlah daerah tersebut, karena belum sesuai dengan
kebutuhan hidup layak (KHL). Sehingga, terjadi tarik menarik antara dewan pengupahan dengan
organisasi buruh. Bahkan, daerah tersebut hampir setiap hari diwarnai aksi unjuk rasa buruh
yang menuntut besaran UMK Rp1,4 juta per bulan, sesuai dengan KHL.
Bibit Waluyo mengungkapkan, masih ada waktu untuk memanggil ketiga kepala daerah
tersebut sebelum penetapan UMK. Namun bila hingga hari H, tiga daerah ini belum tercapai
kesepakatan, maka besaran UMK sesuai dengan yang telah diputuskan bupati atau walikota ,
mengingat mereka yang bertanggung jawab atas sistem pengupahan. Sedangkan, gubernur
hanya mengetahui dan tidak bisa mengintervensi. [miol/dev]
12.2011
Bulan Ketidakpastian HAM
Akhir tahun 2011 ditutup dengan catatan kelam berkaitan dengan HAM. Kasus-kasus yang
sebelumnya terjadi, tidak terselesaiakan. Bahkan di nasional terjadi peristiwa-peristiwa
penting, mulai dari Mesuji di Lampung dan Sumatera Selatan serta Bima, Nusa Tenggara
Barat. Dimana gambaran kekerasan jelas terlihat. Sebetulnya di Jawa Tengah juga
kondisinya tidak jauh berbeda.
Setidaknya 11 orang di Wanareja, Cilacap juga dipanggil dan diperiksa Polisi karena diduga
melakukan penebangan pohon milik PTPN Afdeling Gunung Paninjauan. Tidak hanya itu, 3
orang didaerah Pundenrejo, Pati juga mengalami tindakan yang sama. Dipenghujung tahun
2011, mereka harus diperiksa oleh Polsek Tayu, Pati dan kemudian ditetapkan sebagai
Tersangka dengan tuduhan memasuki lahan milik orang lain.
Simpulan
a. Issue Miskin Perkotaan
Bahwa di sektor issue miskin perkotaan terdapat 135 pelanggaran HAM.
Pelanggaran HAM tersebut berupa penggarukan/ razia terhadap PKL, pengamen,
Penjaja Seks, gelandangan dan pengemis, penggusuran PKL, pedagang pasar
tradisional dan penghuni rumah pinggiran sungai, serta diskriminasi dan
penghilangan hak lainnya.
b. Issue Buruh
Di sektor buruh terdapat 17 pelanggaran HAM yang terdiri dari pelanggaran
terhadap hak berserikat, upah serta hak-hak normatif lainnya seperti PHK, dll.
c. Issue Lingkungan dan Masayarakat Pesisir
Sedangkan di sektor issue nelayan dan masyarakat korban lingkungan terdapat
sejumlah 23 pelanggaran HAM baik berupa konflik pertambangan, Bencana
Ekologi, Pencemaran udara, percemaran air, kerusakan lingkungan, dll.
d. Issue Tanah
Sementara di sektor tanah/ petani terdapat 3 kasus pelanggaran HAM baik berupa
konflik pembangunan, kekerasan dan kriminalisasi dan hak atas lahan.
BAB IV
MENINGKATKAN KEMANDIRIAN MASYARAKAT SIPIL DALAM MELAKUKAN
INTERVENSI KEBIJAKAN DAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN ISU SUMBER
DAYA ALAM, BANTUAN HUKUM DAN MASYARAKAT MARGINAL
Mengingat program kerja tengah tahun pertama masih menggunakan Visi-Misi serta Tujuan
Strategis yang lama, maka kemudian tidak semua program yang telah dilaksanakan
mencerminkan usaha pelaksanaan Visi-Misi dan Tujuan Strategis tahun 2011-2013. Namun
setidaknya setengah tahun kedua, kami telah menyelenggarakan program kerja sesuai
dengan Visi-Misi dan Tujuan Strategis tahun 2011-2013. Dimana tujuan tahun pertamanya
adalah untuk meningkatkan kemandirian masyarakat sipil dalam melakukan intervensi
kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan isu sumber daya alam, bantuan hukum dan
masyarakat marginal.
Ada 10 program yang telah dilaksanakan, baik yang pelaksanaannya sudah selesai pada tahun
2011 maupun yang masih dikerjakan pada tahun 2012. Berikut secara keseluruhan program-
program yang telah dilaksanakan pada tahun 2011.
A. MoU Penyelesaian Konflik Tenurial Sektor Hutan Jawa Tengah
B. Pendidikan Hukum Kritis Petani Wonosari, Patebon, Kendal
C. Kelompok Belajar Buruh
D. Peringatan Hari Nelayan
E. Konsolidasi Petani Pantai Selatan Jawa Tengah
F. FGD Tambak Lorok, Semarang
G. Pendokumentasian Konflik Agraria di Jawa Tengah
H. Launching Database Konflik Sumber Daya Alam
I. Riset tentang Keamanan Tenurial
J. Publikasi dan Kampanye Pelanggaran HAM di Jawa Tengah
A. MoU Penyelesaian Konflik Tenurial Sektor Hutan Jawa Tengah
LBH Semarang telah melakukan upaya untuk mendorong penyelesaian konflik agraria
dikawasan perkebunan dan hutan melalui jalur non-litigasi. Meski demikian, tak jarang
kita juga diharapkan pada penyelesaian konflik secara litigasi, baik pidana, perdata,
maupun tata usaha negara.
Pada akhir Desember 2009, LBH Semarang telah melaunching data konflik pengelolaan
perkebunan dan hutan dalam format database humawin. Setelah launching tersebut,
institusi Perhutani yang diundang dalam acara itu menindaklanjuti data-data konflik
tersebut dengan berdialog secara informal dengan LBH Semarang. Pada intinya,
Perhutani ingin konflik-konflik tersebut dicari penyelesaiannya. Untuk itu, mereka
menawarkan untuk dilakukan MoU (Memorandum of Understanding) untuk
menyelesaikan konflik agraria tersebut.
Setelah melalui beberapa diskusi internal LBH Semarang dan memetakan segala
resikonya, LBH Semarang menerima tawaran Perhutani untuk membuat MoU bersama
untuk penyelesaian konflik agraria di kawasan hutan. MoU tersebut ditandatangani
pada tanggal 23 Desember 2010.
Setelah penandatangan MoU, maka kemudian LBH Semarang melakukan beberapa
kegiatan untuk melaksanakan MoU tersebut. Agenda-agenda yang telah dilaksanakan
adalah sebagai berikut :
1. Konsolidasi dan Penyusunan Strategi Setelah MoU antara LBH Semarang dan
Perhutani Unit I Jawa Tengah tentang Penyelesaian Konflik Tenurial. Kegiatan ini
dilaksanakan di Panti Samadi Nazaret, Jalan Dr. Wahidin, Semarang.
2. Pertemuan Pembahasan Rencana Strategis Pelaksanaan MoU. Pertemuan ini untuk
menyusun draft Rencana Kegiatan Pelaksanaan MoU. Kegiatan ini di laksanakan di
Temanggung.
3. Penyelesaian Kasus melalui mekanisme MoU. Salah satu kasus yang berhasil selesai
adalah kasus konflik akses terhadap sumberdaya hutan di Dukuh Pidik, Desa
Wonosari, Kendal.
B. Pendidikan Hukum Kritis Petani Wonosari, Patebon, Kendal
Awalnya LBH Semarang menerima pengaduan berkaitan dengan pungutan liar terhadap
petani hutan oleh oknum Perhutani dan LMDH Desa Wonosari. Dari pengaduan
tersebut, bersama Mbah Kasjam, LBH Semarang kemudian menindaklanjuti dengan
beberapakali ke lapangan untuk menggali informasi. Dari investigasi yang dilakukan oleh
LBH Semarang, diketahui bahwa memang telah terjadi pengambilan pungutan liar.
Selain itu, ternyata dari latar kesejarahan masyarakat Pidik seharusnya yang punya klaim
atas lahan yang saat ini menjadi hutan, mengingat dari salah satu penuturan warga yang
mengalami hidup pada masa 1921-1922, menuturkan bahwa dahulu Belanda meminjam
tanah warga melalui Mantri Ragil. Peminjaman tersebut dilakukan untuk jangka waktu
satu kali tanam Jati atau sekitar 60-70 tahun. Sehingga sampai dengan saat ini, warga
ingin meminta kembali lahan tersebut, karena jika dihitung, masa peminjaman
seharusnya sudah habis pada tahun 1980-an. Namun sampai dengan saat ini keinginan
dan harapan tersebut tidak kunjung datang. Pemerintah tidak memberikan lahan warga
kembali, namun justru kemudian menjadikan lahan sebagai kawasan hutan yang
akhirnya diberikan kewenangan pengelolaannya kepada Perhutani, Kondisi masyarakat
yang miskin dan akhirnya banyak yang bekerja serabutan, ditambah Perhutani yang
sewenang-wenang dengan menentukan besaran sejumlah uang tertentu jika ingin
memanfaatkan lahan, membuat prihatin beberapa warga. Hingga akhirnya bersama
dengan Mbah Kasjam mengadukan permasalahan tersebut ke LBH Semarang.
Setelah mendapatkan pengaduan dan melakukan investigasi, LBH kemudian
berpandangan bahwa Pendidikan Hukum Kritis diperlukan oleh masyarakat Dukuh Pidik,
Desa Wonosari, Kendal. PHK ini diberikan dalam rangka pembentukan dan penguatan
organisasi tani lokal di Dukuh Pidik, Desa Wonosari, Kecamatan Patebon, Kendal. PHK ini
juga bertujuan untuk mmeberikan pemahaman terhadap para petani hutan di dukuh
Pidik, Wonosari, Kendal. Kegiatan ini sendiri diikuti oleh 20 orang petani hutan. Adapun
waktu pelaksanaan adalah pada hari sabtu sampai dengan minggu tanggal 22-23 Januari
2011 di Rumah bapak Rosidi.
Selain itu, materi yang diberikan di PHK ini adalah sebagai berikut :
1. Sejarah Hutan Jawa
2. Politik Agraria
3. Analisa Sosial
4. Analisa SWOT
5. Teknik Loby dan Negosiasi
C. Kelompok Belajar Buruh
Pendahuluan
Gagasan awal kegiatan kelompok belajar buruh ini adalah sederhana, LBH Semarang
sebagi lembaga yang mendukung perjuangan buruh bermaksud menyediakan ruang
untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran buruh anggota beberapa serikat
melalui sebuah pendidikan yang tidak hanya mempelajarai mengenai hukum. Adapan
untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tujuan kegiatan ini, yaitu :
1. Agar tercipta hubungan perkawanan yang erat;
2. Agar peserta kelompok belajar memiliki pemahaman tentang persoalan pokok
masyarakat Indonesia, khususnya yang dialami oleh buruh dan bagaimana cara
mengatasinya;
3. Adanya konsolidasi cara pandang, sehingga memudahkan adanya persatuan yang
strategis guna membangun gerakan buruh yang kuat secara politik;
Dari ketiga tujuan tersebut, tujuan yang pertama dan kedua merupakan syarat untuk
mencapai tujuan yang ketiga. Inti dari kegiatan ini adalah upaya memperkuat gerakan
buruh yang ada Kota Semarang.
Sasaran dari Kegiatan ini adalah pengurus serikat buruh tingkat pabrik yang berasal dari
beberapa perwakilan serikat buruh di Kota Semarang, yaitu :
1. Serikat Pekerja Nasional (SPN)
2. Federasi Serikat Pekerja Independen (FSPI)
3. Federasi Serikat Buruh Independen (FSBI)
4. Federasi Serikat Pekerja Pantai Utara (FSP Pantura)
5. Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI)
6. Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (SP KEP)
7. Serikat Pekerja Perkayuan Perhutanan & Umum Seluruh Indonesia (SP Kahutindo)
8. Jaringan Kerja Buruh (Jarikebu)
Pilihan atas ke-8 serikat tersebut didasarkan pada pertimbangan ke-8 serikat itu
memiliki keanggotaan yang jelas di tingkat pabrik dan secara subyektif karena memiliki
kedekatan dengan LBH semarang.
Pra - Pelaksanaan
Sebelum kegiatan dilaksanakan ada beberapa upaya yang dilakukan, diantaranya :
• Pembahasan materi pendidikan, ada beberapa materi yang ditawarkan oleh LBH
kepada beberapa serikat melalui sebauh pertemuan di Kantor LBH, saat itu yang
hadir adalah perwakilan dari SPN, Jarikebu dan FSPI. Tujuan dari pembahasan ini
adalah agar materi yang akan diberikan kepada peserta tidak berbenturan dengan
materi pendidikan yang ada di internal masing-masing serikat buruh. Dari
pembahasan tersebut materi yang disepakati untuk dijadikan materi dalam kegiatan
KBB adalah :
a. Tentang Buruh dan Pengusaha
b. Tentang Serikat Buruh
c. Sejarah Perkembangan Masyarakat Indonesia
d. Sejarah Gerakan Buruh Indonesia
e. Cara Membangun Serikat Buruh
f. Teknik Agitasi dan Propaganda
g. Teknik Pengangan Kasus melalul Jalur Hukum
• Menyusun rencana waktu pelaksanaan, dari beberapa materi pendidikan yang ada,
LBH kemudian menyusun pelaksanaan kegiatan, dimana kegiatan akan dilaksanakan
selama 2 minggu sekali, lebih jelasanya adalah sebagai berikut :
PERTEMUAN MATERI JAM WAKTU & TEMPAT
PELAKSANAAN
Pertemuan
Pertama
Tentang Buruh dan
Pengusaha
10.00 – 13.00 Minggu, 12 Juni
2011
LBH Semarang Tentang Serikat Buruh 14.30 – 17.30
Pertemuan
Kedua
Sejarah Perkembangan
Masyarakat Indonesia
10.00 – 13.00 Minggu, 26 Juni
2011
LBH Semarang Sejarah Gerakan Buruh di
Indonesia
14.30 – 17.30
Pertemuan
Ketiga
Cara membangun Serikat
Buruh
10.00 – 13.00 Minggu, 10 Juli
2011
LBH Semarang Teknik Agitasi dan
Propaganda
14.30 – 17.30
Pertemuan
Keempat
Teknik Penganangan
Kasus melalui Jalur Hukum
10.00 – 15.00 Minggu, 24 Juli
2011
LBH Semarang
• Memberikan Undangan, LBH mengundang ke-8 serikat buruh untuk mengirimkan 2
perwakilannya yang bisa menjadi peserta dalam kegiatan Kelompok Belajar Buruh.
• Mengkonfirmasi peserta, LBH memastikan siapa saja peserta yang bisa terlibat
dalam kegiatan KBB.
Pelaksanaan Kegiatan
Pertemuan Pertama :
Sesuai dengan yang direncanakan pertemuan pertama dilasanakan pada Minggu 12 Juni
2011 dengan Materi : “Tentang Buruh dan Pengusaha” dan “Tentang Serikat Buruh”,
adapun selaku Pemateri adalah Bung Dian -- Pekerja massa yang tergabung dalam
organisasi AGRA (aliansi gerakan reforma agraria) --.
Jadwal yang direncanakan mulai jam 10.00 WIB menjadi molor karena persoalan
kehadiran (baik pemateri dan peserta), akhirnya pendidikan di mulai jam 11.00 WIB.
Peserta yang hadir adalah :
No Nama Pabrik Produksi Serikat
1 Budi PT. RBRS Besi (Paku) Jarikebu
2 Slamet Nugroho PT. TCP Mebel KEP
3 Susilo PT. Simoplas Palstik KEP
4 Ahmad Suntari PT. KKI Mebel Kahiutindo
5 Nurimah PT. San Yu FMI Bingkai (Frame) Kahutindo
6 Purhady PT. TKPI Parquet SBSI
7 Yartatik PT. Rodeo Garmen SPN
8 Anik Ariyani PT. IKF Garmen SPN
9 Kastini PT. Richtex Garmindo Garmen SPI
10 Tunik PT. Anggun IOF Garmen SPI
11 Suyatini PT. Anggun IOF Garmen SPI
12 Asri Azis PT. Susan Photo Album Album Foto SP Pantura
Sebelum diskusi dimulai, dilakukan perkenalan terlebih dahulu dengan cara : masing-
masing peserta dan panitia membuat gambar -- di kertas karton yang sudah dibagikan
oleh panitia -- tentang masa kecil yang tidak terlupakan, cita-cita pribadi dan kekuatan
apa yang dimiliki oleh peserta untuk meraih cita-cita tersebut. Setelah selesai
menggambar, satu-persatu peserta dan panitia menjelaskan apa yang digambarnya
kepada peserta lainnya. Setelah perkenalan, panitia mencoba menjelaskan kegiatan KBB
kepada peserta.
Diskusi kemudian dimulai dengan materi pertama “Tentang Buruh dan Pengusaha” dan
setelah istirahat untuk makan dan sholat, dilanjutkan materi yang kedua “Tentang
Serikat Buruh”.
Di akhir pertemuan, panitia membagikan lembar evaluasi kepada peserta. Peserta
diminta memberikan pendapat mengenai hal-hal yang menarik selama pertemuan
pertama dan apa kekeurangan-kekurangannya.
Peserta mengusulkan agar pelaksanaan diadakan lebih pagi. Setelah diskusikan,
disepakati untuk pertemuan selanjutnya akan dimulai pukul 09.00 WIB.
Pertemuan Kedua :
Dilaksanakan pada hari Minggu 26 Juni 2011 dengan Materi : “Sejarah Perkembangan
Masyarakat Indonesia” dan “Sejarah Gerakan Buruh Indonesia”, adapun selaku pemateri
adalah : Bung Rudi (GSBI/FPR).
Peserta yang hadir :
No Nama Pabrik Produksi Serikat
1 Slamet Nugroho PT. TCP Mebel KEP
2 Susilo PT. Simoplas Palstik KEP
3 Ahmad Suntari PT. KKI Mebel Kahiutindo
4 Purhady PT. TKPI Parquet SBSI
5 Yartatik PT. Rodeo Garmen SPN
6 Anik Ariyani PT. IKF Garmen SPN
7 Kastini PT. Richtex Garmindo Garmen SPI
8 Asri Azis PT. Susan Photo Album Album Foto SP Pantura
Pertemuan Ketiga :
Dilaksanakan tidak sesuai rencana, yang semula direncanakan Minggu 10 Juli 2011
diundur menjadi Minggu 17 Juli 2011. Materi yang diberikan juga hanya mengenai “Cara
membangun serikat buruh” sedangkan untuk materi “teknik agitasi dan propaganda”
batal diberikan.
Dalam pertemuan ketiga ini tidak ada pemateri, panitia (asep) hanya memfasilitasi
masing-masing peserta untuk memberikan informasi terkait pengalaman-pengalaman
perserta dalam membangun serikat dan membuat kesimpulan-kesimpulan dari
pengalaman tersebut.
Peserta yang hadir :
No Nama Pabrik Produksi Serikat
1 Susilo PT. Simoplas Palstik KEP
2 Purhady PT. TKPI Parquet SBSI
3 Yartatik PT. Rodeo Garmen SPN
4 Anik Ariyani PT. IKF Garmen SPN
5 Asri Azis PT. Susan Photo Album Album Foto SP Pantura
6 Dedi Setiawan PT. TKPI Parquet SBSI
Di pertemuan ketiga ini Ada satu peserta baru yaitu, Dedi Setiawan.
Pertemuan Keempat :
Dilaksanakan sesuai dengan rencana, yaitu pada Minggu 24 Juli 2011 dengan Materi :
“Teknik penyelesaian kasus buruh di PHI”, selaku pemateri saya sendiri (Asep Mufti).
Peserta yang hadir :
No Nama Pabrik Produksi Serikat
1 Dedi Setiawan 4 Purhady PT. TKPI
2 Susilo PT. Simoplas Palstik KEP
3 Purhady PT. TKPI Parquet SBSI
4 Yartatik PT. Rodeo Garmen SPN
5 Anik Ariyani PT. IKF Garmen SPN
6 Kastini PT. Richtex Garmindo Garmen SPI
7 Asri Azis PT. Susan Photo Album Album Foto SP Pantura
Hambatan-hambatan :
• Program pendidikan ini (tidak hanya tentang hukum dan diselenggarakan secara
programatik) sebelumnya tidak pernah diselenggarakan oleh LBH, sehingga ini
menjadi pengalaman baru;
• Tidak adanya kepanitian, sehingga persiapan kurang begitu matang khususnya untuk
hal-hal yang bersifat teknis;
• Panitia tidak melakukan pendekatan-pendekatan kepada peserta di luar forum
diskusi, sehingga partisipasi peserta kurang aktif;
Rekomendasi :
• Perlu dibentuk kepanitian untuk menyelanggarakan kegiatan pendidikan seperti ini;
• Perlu memastikan pemateri sebelum kegiatan pendidikan dimulai, ini penting karena
tidak siapnya pemateri menjadi penyebab kegagalan memberikan materi “teknik
agitasi dan propaganda” dalam pertemuan ketiga;
• Perlu dilakukan pendekatan-pendekatan kepada peserta di luar forum diskusi,
dengan tujuan : untuk mengetahui hambatan peserta dalam mengikuti pendidikan
yang kemudian harus dibantu oleh LBH agar peserta kemudian lebih aktif dalam
kegiatan, selain itu juga untuk mendorong adanya kegiatan lanjutan dari peserta
untuk melaksanakan pendidikan di tingkat pabrik;
D. Peringatan Hari Nelayan
Pada tanggal 7 april 2011, LBH Semarang, Hysteria dan JALA Nelayan bersama dengan
nelayan Kendal, Demak dan Semarang menyelenggarakan aksi teatrikal untuk
memperingati Hari Nelayan. Dalam aksi simpatik menuntut kepada pemerintah agar
memberikan perhatian kepada nelayan. Selain itu, aksi ini juga menyoroti terkait
ketidakberpihakan pemerintah terhadap nelayan dan menyudutkan nelayan dengan
adanya Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau Kecil.
Aksi ini dilakukan dengan pesertanya menggunakan topeng serta melakukan longmarch
dari Bundaran Air Mancur Jalan Pahlawan sampai dengan Polda. Selain itu, dalam
penyampaian pesan atau melakukan kampanye aksi ini juga membawa replika tumpeng
sedekah laut yang menggambarkan bagaimana kondisi saat ini. Didalam tumpeng
sedekah laut tersebut terdapat gambar-gambar yang saling bertolak belakang dimna
satu gambar melukiskan pentingnya konsumsi ikan karena banyak mengandung protein.
Namun disisi yang lain justru nelayan tidak dilindungi dan dikesampingkan untuk tetap
dapat bekerja serta dipikirkan agarkondisi alamnya semakin tidak rusak sehingga
pengaruh-pengaruh lingkungan yang menyebabkan susah untuk memperoleh hasil
tangkapan juga dapat diatasi.
Selain menggelar aksi teatrikal didalam kegiatan ini juga terdapat ruang untuk
penyampaian aspira dalam bentuk orasi. Orasi ini antara lain diisi oleh nelayan Kendal
dan nelayan Demak. Dalam orasinya perwakilan nelayan kendal yang diwakili oleh
Sugeng menyampaikan bahwa pemerintah harus lebih memperhatikan nelayan.
Nelayan juga seharusnya mendapatkan bantuan ketika tidak dapat melaut atau musim
paceklik ikan, tidka hanya petani saja. Selain itu, nelayan juga tidak pernah mendapat
subsidi dari pemerintah ketika solar naik.
E. Pendokumentasian Konflik Agraria Jawa Tengah
Tanah bagi masyarakat petani adalah sebagai alat produksi dan merupakan satu-satunya
nyawa bagi kelangsungan hidup. Kebutuhan akan tanah ini di negara agraris merupakan
kebutuhan mutlak yang harus tersedia. Kebutuhan yang semakin besar akan tanah
untuk petani ini dalam perkembangannya tidak seimbang dengan ketersediaan tanah
yang difungsikan sebagai tanah untuk bercocok tanam dengan tanah untuk kepentingan
lainnya seperti pembangunan rumah, pabrik, kawasan perkebunan, hutan dan pendirian
kawasan latihan perang. Kepentingan petani untuk mendapatkan tanah sebagai lahan
garapan bercocok tanam kadang harus bersinggungan dengan kepentingan-kepentingan
negara dan petanilah yang selalu dikalahkan.
Sementara agar petani tidak selalu dikalahkan maka diperlukan kegiatan Advokasi. Dan
untuk menunjang kegiatan advokasi, maka dibutuhkan data yang valid serta lengkap.
Atas dorongan itu, sejak tahun 2005 LBH Semarang kemudian mengadopsi sistem
pendokumentasian konflik SDA Humawin. Dimana dalam sistem pendokumentasian ini
akan selalu di up-date setiap tahunnya. Biasanya data tersebut juga akan di launching.
Untuk keperluan diatas, kemudian LBH Semarang melakukan up-date dengan
beberapakali turun kelapangan ke daerah Temanggung, Batang, Cilacap, Banyumas,
Kendal, dan Blora. Selain beberapa tempat tersebut, LBH Semarang juga aktif dalam
pendokumentasian konflik agraria yang terbaru yaitu tindak kekerasan dan kebrutalan
TNI terhadap Petani di kawasan Urutsewu Kebumen akibat sengketa tanah. Sengketa ini
muncul karena pihak TNI menggunakan tanah di kawasan urutsewu yang meliputi
Kecamatan Mirit, Ambal dan Buluspesantren untuk digunakan sebagai kawasan latihan
perang namun ditolak oleh petani urutsewu karena para petani menjadikan tanah
tersebut sebagai area pertanian.
Berdasarkan situasi tersebut, termasuk untuk memperkuat inisiatif-inisiatif kelompok
organisasi rakyat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang memandang penting untuk
melakukan program UPDATING dan COLLECTING data konflik agraria di Urutsewu dan
Setrojenar, Kebumen.
F. Konsolidasi Petani Pantai Selatan Jawa Tengah
Kondisi di kawasan Urutsewu, Kebumen adalah gambaran dari kondisi perebutan
sumber daya alam di sepanjang pesisir selatan Jawa Tengah, sebagaimana terjadi pula
mulai dari Kulonprogo hingga Cilacap. Di Kulonprogro, petani berkonflik dengan
perusahaan pertambangan dan di Cilacap petani berkonflik dengan Perhutani dan PLTU
batubara. Kondisi ini akan terus berlangsung karena situasi di pantai utara Jawa Tengah
yang sudah terlalu padat dan diakomodirnya berbagai kepentingan pemodal dan militer
di Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 – 2029.
Arah Gerak Ke Depan
Watak eco-develop-mentalism1 Pemerintah Jawa Tengah dalam memandang persoalan
lingkungan tergambar jelas dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6
Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 –
2029. Secara substansi terlihat agenda terselubung Pemerintah Jawa Tengah dalam
memuluskan proyek pembangunan, seperti proyek pembangunan jalan tol dan jalan
lingkar, rencana pembangunan PLTN dan PLTU batubara, penetapan kawasan militer,
penetapan kawasan budidaya dan penetapan kawasan industry, penetapan kawasan
1 Dengan meminjam istilah teori Tom Dietz, paling tidak ada tiga tataran idiologi dalam memandang persoalan
lingkungan, pertama, Eco-fasism, paham yang memandang manusia sebagai bagian yang harus disingkirkan untuk
menyelematkan lingkungan itu sendiri. Kedua, Eco-Developmentalism, paham ini memandang lingkungan sebagai
bagian dari alat produksi yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pembangunan. ketiga, eco-populism, bahwa
lingkungan memang sangat perlu untuk dilestarikan namun demikian tidaklah menutup mata, untuk
menyelamatkan lingkungan bukan berarti harus menyingkirkan masyarakat dari lingkungannya. Pelestarian
lingkungan juga merupakan penyelamatan masyarakat sekitar lingkungan sehingga masyarakat adalah pemilik mutlak dari lingkungan.
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dll. Agenda agenda ini –proyek pembangunan
dan eksploitasi SDA- jelas akan membuat alih fungsi lahan dan konflik agaria makin
meluas. Saat ini adalah momentum yang tepat untuk dapat menata langkah kedepan
dan melakukan konsolidasi.
Kegiatan ini dilaksanakan selama dua hari yaitu pada hari/tanggal : 6-7 Juli 2011,
bertempat di Kebumen. Adapun Fasilitatornya Lutfi Dwi Yoga (YLBHI-LBH Semarang)
dan narasumbernya Chalid Muhammad (HuMa), Andiyono (YLBHI-LBH Semarang), Asep
Mufti (YLBHI-LBH Semarang). Sementara Peserta kegiatan ini adalah anggota petani
pantai di kawasan pantai selatan jawa tengah yaitu dari Kebumen (15 orang), Purworejo
(5 orang), Cilacap (5 orang) dan Kulonprogo (5 orang). Jumlah total peserta adalah 30
orang.
Dalam pelaksanaan terdapat kendala, karena sempat beberapa kali kisruh akibat
kedatangan beberapa orang yang tidak dikenal seperti preman. Hingga akhirnya tempat
konsolidasi dipindah dari Gombong ke Kantor PAKHIS di Kebumen. Namun, kegiatan
tidak sempat bubar dan tetap dilanjutkan meski dengan keterbatasan tempat.
G. Launching Database Konflik Sumber Daya Alam
Angka konflik agraria dan sumber daya alam lainnya, baik di sektor kehutanan,
perkebunan, pertambangan maupun sektor lainnya cenderung masih tinggi. Dari data
yang disusun LBH Semarang, pada tahun 2011 saja tercatat ada 46 konflik atau terjadi
peningkatan sebanyak 4 kasus dibanding dengan tahun 2009 yang mencapai angka 42
konflik. Sementara secara luasan untuk semua sektor, luas area konfliknya tidak banyak
mengalami penurunan dan cenderung tetap berkisar antara 10.000 Ha.2
Masih banyaknya konflik agraria ini dengan sendirinya berdampak pada kerentanan
masyarakat, khususnya dalam hal akses terhadap sumber penghidupan serta implentasi
kebijakan dan nilai-nilai tradisional masyarakat terhadap sumber daya alam, diluar soal
klaim tata kuasa lahan antara masyarakat dengan pemerintah. Sisi kerentanan
masyarakat ini seringkali tidak dipertimbangkan dalam proses penyusunan kebijakan
pemanfaatan lahan. Informasi yang minim soal hal ini seringkali dijadikan alasan
pembenar oleh pengambil kebijakan terhadap pengaduan kerugian masyarakat yang
timbul akibat kebijakan yang telah dikeluarkan. Oleh karena itu, LBH Semarang
bekerjasama dengan HuMa memandang perlu untuk mulai mensistematisir pendataan
konflik agraria dan sumber daya alam serta mengelola informasi yang masuk untuk
dapat didistribusikan ke berbagai pihak terutama kalangan pengambil kebijakan.
Manfaat lain yang ingin dikembangkan dari sistematisir pendataan konflik ini adalah
untuk mendorong upaya penyelesaian konflik yang strategis untuk menekan jumlah
korban dan kerugian lainnya.
2 Data HuMawin, Konflik Agraria bulan September 2011
Dengan latarbelakang yang telah dipaparkan diatas, LBH Semarang bekerjasama dengan
HuMa kemudian menyelenggarakan Launching data HuMawin dengan melibatkan
lembaga mitra strategis, lembaga yang tergabung dalam GDN, dan Organisasi Rakyat
mitra LBH Semarang, serta pengambil kebijakan. Selain itu, launching ini juga
dimaksudkan untuk mendiskusikan terkait dengan hasil pendokumentasian HuMawin.
H. FGD Tambak Lorok, Semarang
Terkait dengan rencana Pengembangan Pelabuhan Tanjung Mas oleh Pelindo III Cabang
Pelabuhan Tanjung Emas, memunculkan permasalahan bagi masyarakat yang akan
terkena imbas secara langsung dari proyek tersebut. Permasalahan tersebut berupa
terancamnya warga di pemukiman padat penduduk kawasan Tambak Lorok, Kecamatan
Semarang Utara. Baik terancam segi mata pencahariannya maupun tempat tinggal
mereka.
Dampak yang ditimbulkan dapat terjadi ketika warga yang lahannya akan digunakan
perluasan dermaga nantinya akan dipindah/ direlokasi ketempat lain yang jauh dari
garis pantai. Hal ini jelas akan mengancam profesi mereka sebagai nelayan. Dimana
nantinya setelah relokasi dapat dipastikan nelayan sangat kesulitan ketika tempat
tinggalnya jauh dari garis pantai bahkan secara perlahan akan mematikan nelayan.
Selain itu, akan berimbas pula pada usaha sektor perikanan yang selama ini menjadi
tulang punggung kehidupan warga Tambak Lorok.
Kekhawatiran lain juga muncul karena sampai dengan saat ini belum ada kejelasan
terutama terkait masterplan proyek. Terlebih masyarakat dikawasan Tambaklorok pun
tidak mengetahui bagaimana nantinya proyek tersebut berjalan karena minimnya
informasi serta selama ini warga tidak pernah dilibatkan dalam rencana tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka LBH Semarang bekerjasama dengan Unisbank
kemudian menyelenggarakan Focus Group Discusion (FGD) pada tanggal 26 Oktober
2011, dengan tema : “Meneropong Tambak Lorok dari Berbagai Perspektif” untuk
membedah rencana proyek serta mendiskusikan terkait penyelesaian terhadap masalah
yang akan muncul akibat perluasan dermaga.
FGD ini bertujuan :
1. Untuk membedah rencana perluasan dermaga yang akan berdampak terhadap
masyarakat Tambak Lorok, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang;
2. Untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang akan muncul dari
berbagai macam perspektif terkait dengan rencana Pengembangan Pelabuhan
Tanjung Mas oleh Pelindo III Cabang Pelabuhan Tanjung Emas.
3. Membuat konsep metode penyelesaian masalah (problem solving) terkait dengan
permasalahan-permasalahan yang sudah teridentifikasi.
I. Riset tentang Keamanan Tenurial
Konflik agraria yang masif sekarang ini umumnya disebabkan karena adanya
pertentangan kebijakan negara dengan sistem budaya/hukum yang berkembang di
masyarakat. Ini terjadi ketika masuknya kekuasaan Kerajaan Belanda dan diteruskan
sampai terbentuknya dan perkembangan negara Indonesia sampai saat ini. Kebijakan
negara yang diterjemahkan ke dalam peraturan-peraturan atau kelembagaan soal klaim
atas wilayah tertentu, seringkali tidak mewakili atau mencerminkan bahkan menihilkan
sistem hukum dan budaya yang ada dan berkembang di masyarakat. Inilah yang
menyebabkan timbulkan kepemilikan de facto dan de yure. kepemilikan de facto
merupakan kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan yang ada, hidup dalam praktek
masyarakat. sementara kepemilikan de yure merujuk kepada kepemilikan formal yang
didasarkan kepada hukum dan aturan yang dianggap sah oleh negara atau pemerintah
yang berkuasa. Dalam semesta pertentangan itu, seringkali kepemilikan de facto
dikalahkan oleh kepemilikan de yure hanya karena tidak adanya bukti tertulis.
Dari konflik antara kebijakan negara dengan masyarakat ini berbiaklah berbagai konflik
lain. Konflik antara masyarakat dengan pengusaha menurut data HuMa dalam sepuluh
tahun terakhir menunjukkan grafik yang terus naik. Pengusaha, dengan dalih
mendapatkan ijin dari negara, kemudian menyingkirkan dan atau membatasi
masyarakat yang dulunya bebas keluar masuk ke dalam wilayah yang jadi sengketa.
Namun jika dilihat lebih jernih, kebanyakan jenis konflik tersebut berlangsung di atas
konflik antara Negara dengan masyarakat yang tidak (belum) diselesaikan.
Kebijakan negara juga dapat menempatkan posisi suatu kelompok masyarakat dalam
kondisi terjepit dan dilematis. Ini bisa dilihat dari kasus masyarakat migrant/pendatang
lewat transmigrasi (atau juga migrasi swadaya). Setelah ditempatkan oleh pemerintah di
suatu wilayah, ternyata wilayah tersebut diklaim sebagai wilayah (adat) masyarakat
lokal, sehingga terjadi konflik. Masalahnya mereka sudah tidak dapat lagi pergi dari
wilayah yang disengketakan itu.
Konflik juga sejatinya tidak hanya antara masyarakat denga pihak luar (negara,
pengusaha, kelompok masyarakat lain), tetapi juga bisa terjadi di dalam masyarakat itu
sendiri. Hal itu terjadi karena ada perebutan atas lahan yang subur yang biasanya
dikuasai oleh elit adat atau desa. Persoalan ini kadang luput dari amatan banyak pihak.
Bahkan factor kketidakseimbangan sumberdaya di internal masyarakat dapat
mendorong mereka yang berlahan sedikit dan tidak berlahan membuka lahan ke
“wilayah yang bukan haknya” atau melakukan urbanisasi. Pembukaan lahan ke wilayah
yang bukan haknya tersebut membuka front konflik dengan pihak lain, baik masyarakat
luar, negara maupun pengusaha.
Konflik agraria jelas tidak akan memberikan keamanan tenurial bagi mereka yang
bersengketa. Malah konflik tenurial juga tidak memberikan “kepastian hukum” bagi
para investor. Penyelesaian konflik harus diselenggarakan.
Negara sebenarnya sudah memiliki berbagai macam cara untuk menyelesaikan konflik
tersebut. Pendaftaran tanah dibuat, selain untuk kepentingan registrasi, sebenarnya
juga untuk memperkuat kepemilikan yang memang berhak.
Di sisi lain, pengadilan dan jalur non pengadilan juga dibuka untuk menyelesaikan
konflik yang terjadi karena ada klaim negara atas wilayah tertentu. Di ruang-ruang
tersebut, sistem hukum yang berbeda-beda dicoba dicarikan solusinya.
Karena konflik yang umum terjadi antara masyarakat denga negara dan dengan melihat
pemantik konflik yang berasal dari klaim negara dan ketidakmampuan negara mengurus
negaranya, maka lahirlah berbagai kebijakan yang intinya meminta negara untuk
menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Kelahiran Tap MPR 9/2001 mendorong pemerintah
untuk menyelesaikan konflik, memeriksa dan mengharmonisasikan peraturan-peraturan
perundangan yang dibuatnya yang ternyata tumpang tindih dan menyebabkan konflik di
lapangan. Sayangnya sampai sekarang belum terlihat inisiatif negara c.q. pemerintah
untuk menjalankan Tap MPR tersebut.
Untuk menyelesaikan kondisi masyarakat yang semakin terdesak (satu sisi, penetrasi
pasar, pembuktian klaim atas tanah, dan sisi lainnya konservasi dan “penutupan”
wilayah hutan bagi masyarakat) maka pemerintah membuatkan berbagai kebijakan di
bidang kehutanan yang memberi kesempatan pada masyarakat untuk mengakses dan
memanfaatkan hutan dan hasil hutannya. Setidaknya ada empat bentuk kehutanan
masyarakat yang diperkenalkan: hutan kemasyarakatan, hutan desa, Hutan Tanaman
Rakyat dan Hutan Adat. Tiga yang disebutkan di awal sudah memiliki peraturannya
sendiri dan sudah ada implementasinya di lapangan, sementara Hutan Adat masih harus
menunggu sebentar lagi realisasinya.
Bentuk penyelesaian konflik tidak hanya berasal dan diwadahi oleh negara saja, tetapi
ada juga yang sifatnya inisiatif dari masyarakat. Misalnya saja reclaiming tanah
(menyerobot tanah yang diklaim miliknya) atau melakukan perjanjian.
Tetapi apakah bentuk-bentuk penyelesaian konflik tersebut sudah dapat memberikan
keamanan tenurial bagi mereka yang bersengketa?. Inilah pertanyaan yang selama ini
muncul dan harus dijawab. Sehingga penelitian ini mempunyai peranan yang penting.
Lingkup penelitian
Penelitian ini mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan di paragraf di atas.
Penelitian ini mencoba mendeskripsikan sebab-musabab terjadinya konflik di suatu
wilayah. Konflik agraria sendiri sangat beragam mengikuti objek agraria itu sendiri
(tanah, air, tambang, tanaman, laut dan sebagainya) yang terjadi di wilayah perkotaan
dan pedesaan. Untuk kepentingan penelitian ini hanya konflik agraria yang
berhubungan dengan sektor kehutanan dan perkebunan saja (atau konflik agraria di
area pedesaan) yang akan diteliti.
Penelitian ini kemudian memeriksa berbagai bentuk penyelesaian konflik yang terjadi di
masyarakat. Bentuk penyelesaian konflik ini tidak mesti berupa selesainya konflik, tetapi
juga berupa berhentinya konflik (karena satu pihak memilih mendiamkannya atau
memasabodohkannya). Penyelesaiannya itu sendiri lewat jalur pengadilan maupun non
pengadilan. Diharapkan akan terlihat model-model penyelesaian konflik yang selama ini
terjadi.
Setelah model penyelesaian konflik terlihat dan dipetakan, penelitian ini akan
memeriksa keamanan tenurial setelah konflik tersebut diselesaikan (atau dihentikan).
Penelitian ini melihat dalam menguat/melemahnya tenurial (dalam hal pengakuan pihak
lain, penikmatan penuh atas haknya, dan pertahanan atas tantangan lain) setelah
konflik diselesaikan. Diharapkan akan terlihat faktor-faktor apa saja yang membuat
masyarakat paska konflik itu semakin kuat atau semakin lemah tenurialnya.
Terakhir, adanya kondisi pluralitas hukum dalam konflik agrarian menjadikan
beragamnya model-model penyelesaian konfliknya. Penelitian ini akan melihat
mekanisme penyelesaian konflik (penggunaan jalur formal yang melibatkan negara dan
mekanisme non-negara) yang dipakai oleh pihak yang berkonflik di antara berbagai
pilihan hukum yang ada. Dihubungkan dengan masalah keamanan tenurial, akan dilihat
apakah mekanisme penyelesaian itu menjadi pendukung atau malah penghambat dalam
penyelesaian konflik yang berbuah keamanan tenurial.
Metodologi penelitian
Penelitian dilakukan dengan dua cara yaitu Studi lapangan dengan memakai wawancara
untuk studi kasus. Sementara untuk kertas konsep menggunakan metode studi pustaka.
Subjek dan lokasi penelitian
Desa Kaliputih, Singorojo, Kendal, Jawa Tengah
- sudah ada informasi awal soal lokasi
- Merupakan wilayah dampingan LBH Semarang
- Kasus dimulai ketika masyarakat mereklaim wilayah PTPN IX. PTPN IX kemudian
menggugat sejumlah petani yang melakukan reklaiming tersebut. Kasus bergulir sejak
2000 dan sudah diputus oleh Mahkamah Agung pada tahun 2007. Hanya saja
pemberitahuan ke para pihak soal putusan MA itu dilakukan pada tahun 2010.
- keputusan Mahkamah Agung tersebut memenangkan pihak masyarakat.
Desa Ngareanak, Singorojo, Kendal, Jawa Tengah
- Data awal sudah ada dan merupakan wilayah dampingan LBH Semarang
- Keterbatasan tanah memaksa mereka melakukan MoU dengan Perhutani
- Dalam perjalanannya, MoU dijadikan tameng bagi petani untuk merebut wilayah
kelola dari Perhutani atau bisa dikatakan Petani di Desa Ngareanak ini berani
menjalankan aksi yang tidak sejalan dengan isi MoU untuk memperluas tanah
garapannya
Desa Tumbrep, Bandar, Batang, Jawa Tengah
- Data awal sudah ada dan merupakan wilayah dampingan LBH Semarang
- Konflik terjadi antara Petani dengan PT Tratak, sebuah perusahaan perkebunan
cengkeh. Petani melihat bahwa 90ha lahan PT Tratak ditelantarkan yang kemudian
mereka melakukan reklaiming.
- PT Tratak tidak tinggal diam. Dia melakukan pengusiran dan tindakan kekerasan
lainnya. Namun dilawan oleh para petani. PT Tratak tidak mengambil jalur
pengadilan.
- Lahan 90ha tersebut kemudian direncanakan dijadikan objek agraria. BPN sudah
melihat lokasi dan sudah sepakat. Namun sampai sekarang redistribusi tanah belum
dilakukan
Hasil yang diharapkan
Dari hasil penelitian ini diharapkan teridentifikasinya berbagai model penyelesain konflik
agrarian yang ada di Indonesia. Selain model penyelesaian konflik, diharapkan pula
dapat terlihat faktor-faktor yang dapat memperkuat keamanan tenurial masyarakat.
Bentuk hasil yang diharapkan berupa: kertas konsep, laporan penelitian dan prosiding
workshop.
Output
1. Dokumentasi riset (foto, transkip, data konflik, dll)
2. Laporan riset Jawa Tengah
J. Publikasi dan Kampanye Pelanggaran HAM di Jawa Tengah
Sebagai bagian dari akuntabilitas terhadap publik, LBH Semarang menyampaikan
informasi mengenai sejauh mana negara mengimplementasikan hak asasi manusia, baik
Hak Sipil Politik maupun Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. LBH Semarang merangkum
kondisi tersebut berdasar penanganan kasus, investigasi, laporan masyarakat, dan
monitoring dari media massa. Kami berharap laporan kondisi hak asasi manusia tersebut
menjadi kritik bagi negara untuk mengimplementasikan hak asasi manusia secara lebih
baik.
Pada 26 Desember 2011, LBH Semarang menyelenggarakan Konferensi Pers tentang
kondisi hak asasi manusia, dan bantuan hukum di Jawa Tengah sepanjang 2011. Selain
menginformasikan melalui media surat kabar dan elektronik, LBH Semarang juga
menerbitkan laporan tersebut dalam bentuk buku.
BAB V
BANTUAN HUKUM STRUKTURAL
A. Bantuan Hukum Struktural
Berdasarkan catatan, pada tahun 2011 LBH Semarang telah memberikan Bantuan Hukum
Struktural sebanyak 29, baik Litigasi maupun Non-Litigasi. Bantuan Hukum Struktural
tersebut diberikan kepada empat komunitas di empat sektor issue, antara lain sebagai
berikut :
- Sektor Buruh
Sepanjang 2011, LBH Semarang telah meberikan bnatuan hukum kepada kawan-kawan
buruh sebanyak 12 kasus, dengan rincian 8 kasus melalui jalur bi-partit, maupun tri-
partit sementara 4 kasus melalui jalur litigasi di Pengadilan Hubungan Industrial baik
tingkat pertama, banding maupun kasasi.
- Sektor Komunitas Miskin Perkotaan
LBH Semarang telah memberikan bantuan hukum terhadap PKL dan pedagang pasar
sebanyak 7 kasus, dimana 6 kasus melalui jalur non-litigasi sementara 1 kasus melalui
jalur litigasi
- Sektor Nelayan dan Masyarakat Korban Lingkungan
Di Sektor ini, LBH Semarang telah memberikan Bantuan Hukum sebanyak 4 kali, yaitu
litigasi sebanyak 1 kasus dan 3 lainnya melalui non-litigasi.
- Sektor Petani/ Tanah
Di sektor ini LBH Semarang telah memberikan Bantuan Hukum sebanyak 6 kali, dimana
4 diantaranya Non-litigasi dan 2 lainnnya litigasi.
B. Bantuan Hukum Struktural melalui jalur Non-Litigasi
1. Advokasi PKL Jalan Pemuda, Semarang
Posisi Kasus :
Terkait dengan penataan wajah kota khususnya jalan protokol di kota semarang
ternyata berdampak pada PKL berupa pelarangan berjualan. Tidak terkecuali PKL di jalan
Pemuda, ada 3 Paguyuban PKL yang sudah berjualan puluhan tahun, yaitu :
a. PKL Pemuda Barat (mulai PLN sampai perempatan sebelum Sri Ratu Pemuda)
dengan jumlah anggota 42 PKL.
b. PKL Pemuda Tengah (mulai Sri Ratu Pemuda sampai perempatan pasar johar)
dengan jumlah anggota 46 PKL.
c. PKL Pemuda Timur (depan kantor pos johar) jumlah anggota 42 PKL.
Pemerintah kota Semarang menggunakan alasan klasik untuk menggusur PKL Pemuda
yaitu dengan menyatakan wilayah jalan Pemuda sebagai larangan bagi PKL. Mulai dari
Dinas Pasar, Satpol PP, sampai pihak kelurahan telah mengeluarkan Surat peringatan
pelarangan berjualan. Surat ini juga telah di edarkan kepada PKL, bahkan razia dan
penggusuran juga sudah dilakukan oleh satpol PP, tanpa proses komunikasi yang baik
kepada PKL. Para PKL hanya ditegaskan bahwa mereka dilarang berjualan, namun tanpa
memberikan solusi apapun.
Bantuan Hukum Yang Diberikan :
YLBHI-LBH Semarang bersama Persatuan Pedagang Kaki Lima Semarang (PPKLS) selaku
pendamping PKL Pemuda melakukan negosiasi dengan Dinas Pasar dan Satpol PP agar
ada solusi penataan bagi PKL Pemuda dan tidak hanya menggusur. Tempat relokasi yang
layak juga harus disediakan ketika PKL dilarang berjualan. Beberapa tawaran tempat
relokasi yang ditawarkan dinas pasar seperti di jalan Kol Sugiyono ditolak PKL karena
lokasi tersebut rawan banjir dan sepi pembeli. Selain upaya ke Dinas Pasar dan Satpol
PP, PKL juga menyampaikan aspirasi ke DPRD Kota Semarang agar dibantu
penyelesaiannya.
Setelah melalui proses komunikasi dan negosiasi yang panjang serta lama, akhirnya
terjadi kesepakatan untuk tempat relokasi. Untuk PKL Pemuda Barat dan Tengah yang
berjualan stempel dan plat nomor pada tanggal 11 September 2011 direlokasi ke Jalan
Imam Bondjol. Sedangkan sebagiannya yang berjualan makanan direlokasi di Jalan
Gajah Mada. Sedangkan untuk PKL Pemuda Timur direlokasi di depan STIE BPD Jateng.
2. Advokasi PKL Thamrin, Semarang
Posisi Kasus :
PKL Jalan Thamrin kembali terancam akan tergusur. Hal ini dikarenakan kebijakan
penataan wajah kota khususnya jalan-jalan protokol yang dilakukan oleh Pemkot
Semarang. Pemkot menilai jalan protokol harus steril, mengingat keberadaan PKL
dianggap mengganggu kenyamanan, membuat kotor, kumuh serta dianggap melanggar
Perda khususnya mengenai jam tayang. Di Jalan Thamrin seharusnya hanya boleh
berjualan sore hari bukan pagi hari.
Upaya pelarangan berjualan mulai dijalankan, mulai dari pihak kelurahan, Dinas Pasar
dan Satpol PP. Institusi-institusi tersebut mengeluarkan surat edaran yang berisi
larangan untuk berjualan. Pihak Satpol PP bahkan dilapangan sudah mulai bersiap
melakukan penggusuran. Atas tindakan tersebut, sedikitnya 31 PKL terancam kehilangan
pekerjaan. Karena dorongan ini, maka kemudian PKL meminta pendampingan kepada
YLBHI-LBH Semarang.
Bantuan Hukum Yang Diberikan : (Non Litigasi)
YLBHI-LBH Semarang bersama Persatuan Pedagang Kaki Lima Semarang (PPKLS) selaku
pendamping PKL Thamrin melakukan upaya lobi dan negosiasi kepada Walikota
Semarang dan Satpol PP. LBH Semarang menjelaskan bahwa lokasi PKL Thamrin sudah
sesuai dengan SK Walikota Semarang nomor 511.3/16 tahun 2001 tentang penetapan
lahan/ lokasi bagi PKL di Kota Semarang. Untuk jam tayang, LBH Semarang meminta
kebijaksanaan, mengingat 50% PKL merupakan pedagang jasa reparasi jog mobil dan
motor serta jasa pembuatan stempel dan plat nomor. Ketika mereka harus berjualan
pada sore hari pukul 16.00 sampai dengan pagi pukul 04.00 WIB jelas dapat membuat
PKL gulung tikar. Selain itu, untuk PKL yang berjualan makanan, juga tidak dapat
berjualan pada sore hari karena pelanggan mereka dari para karyawan PJKA dan
Pertamina yang beraktivitas pagi sampai sore hari. Jika dipaksakan harus berjualan mulai
sore hari PKL, maka juga akan merugi karena sepi pembeli.
Upaya negosiasi dan komunikasi dengan Walikota Semarang akhirnya membuahkan
hasil. Walikota Semarang memberikan kebijakan bahwa PKL Thamrin tetap berjualan
mulai pagi hari sampai dengan sore hari dengan pertimbangan demi keberlangsungan
PKL. Selain itu, Walikota memerintahkan kepada Satpol PP untuk tidak melakukan
penggusuran.
3. Advokasi PKL Jalan Sriwijaya
Posisi Kasus :
4 (empat) PKL yang berada didepan Hotel Royal Phoenix Jalan Sriwijaya yang sudah
berjualan sejak tahun 1960-an atau jauh sebelum Hotel Royal Phoenix berdiri diminta
untuk pindah. Keberadaan 4 PKL ini terusik karena pemilik hotel tidak menghendaki
adanya PKL di depan hotelnya. Dengan difasilitasi oleh Satpol PP Kota Semarang, ke-4
(empat) PKL kemudian di panggil ke kantor Satpol PP untuk membongkar lapak mereka
dan sebagai gantinya PKL menerima ganti rugi dari pemilik hotel sebesar Rp. 7.500.000,-
per PKL. Pada pertemuan tersebut akhirnya hanya 1 PKL yang menerima ganti rugi
tersebut dan 3 PKL lainnya menolak karena ganti rugi yang ditawarkan sangat rendah
dan tidak layak. 1 PKL yang sudah menerima ganti rugi tersebut kemudian
mengontrakkan lagi lapaknya kepada orang lain tanpa memberitahukan bahwa lapak
tersebut sudah di berikan ganti rugi oleh pemilik hotel.
Ketika upaya melalui Satpol PP gagal untuk menggusur PKL, pihak Hotel kemudian
melayangkan surat pengaduan kepada Dinas Pasar Kota Semarang. Surat tersebut
isinya PKL telah melanggar Peraturan Daerah Kota Semarang nomor 11 Tahun 2011
tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Selain itu, juga dianggap
telah membuat kekumuhan, kekotoroan, kesemrawutan, ketidak indahan dan dengan
keberadaan PKL berdampak pada menurunnya omset Hotel serta menghambat para
investor untuk menanamkan investasi di Hotel tersebut.
Atas aduan pemilik hotel maka Dinas Pasar Kota Semarang memanggil 4 (empat) PKL
dan pemilik hotel untuk dilakukan upaya mediasi. Didalam mediasi tersebut Dinas Pasar
menyatakan bahwa posisi 4 (empat) PKL tersebut tidak melanggar Perda dan sudah
sesuai dengan SK Walikota Semarang nomor 511.3/16 tahun 2001 tentang penetapan
lahan/ lokasi bagi PKL di Kota Semarang. Sementara untuk masalah relokasi, Dinas Pasar
menyatakan bahwa relokasi tidak dapat dilakukan karena kebijakan merelokasi PKL
dilakukan ketika lahan yang digunakan PKL digunakan oleh Pemerintah Kota Semarang
untuk kepentingan Pemkot. Hal ini sebagaimana diatur dalam Perda No 11 tahun 2000.
Hasil mediasi tersebut adalah PKL tetap berjualan di lahan tersebut karena posisi
mereka sudah sesuai dengan peraturan yang ada.
Setelah gagal, pihak hotel kemudian meminta bantuan pihak kelurahan Wonodri
sebagai mediator untuk menawarkan ganti rugi kepada PKL dengan jumlah yang telah
dinaikkan. Dari upaya tersebut akhirnya 2 PKL menerima ganti rugi dari pemilik hotel
sebesar 35 juta per PKL. Akan tetapi 2 PKL menolak tawaran ganti rugi tersebut karena
dirasa masih terlalu rendah dan tidak cukup apabila akan digunakan untuk membuka
usaha lagi.
Sampai dengan saat ini, masih ada 2 PKL yang masih bertahan karena Pemerintah telah
menyatakan bahwa posisi PKL sudah sesuai dengan Perda No 11 tahun 2000 dan SK
Walikota Semarang nomor 511.3/16 tahun 2001
Bantuan Hukum Yang Diberikan :
YLBHI-LBH Semarang dalam kasus ini bersama dengan PPKLS melakukan upaya lobi dan
negosisasi dengan Dinas Pasar Kota Semarang, Satpol PP dan pihak hotel. LBH Semarang
menjelaskan bahwa posisi PKL sudah sesuai dengan Perda No 11 tahun 2000 dan SK
Walikota Semarang nomor 511.3/16 tahun 2001 sehingga sah menurut hukum. Apabila
Pemkot dalam hal ini melalui Satpol PP melakukan penggusuran atas dasar kepentingan
pihak hotel maka LBH Semarang akan menempuh jalur hukum. Atas desakan ini
akhirnya proses penyelesaian dilakukan melalui jalur musyawarah dengan loby dan
negosiasi. Tinggal 2 (dua) PKL yang belum sepakat dan sementara masih tetap
berjualan.
4. Advokasi PKL depan Masjid Baiturahman, Semarang
Posisi Kasus :
Penataan kawasan simpang lima yang meliputi juga penataan PKL oleh Pemkot
Semarang sangat diskriminatif. Hal ini disebabkan pembangunan shelter untuk PKL
jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah PKL yang ada. Jumlah shelter yang dibangun
sebanyak 87 buah, sedangkan jumlah PKL yang ada sebanyak 201 PKL. Kesemuanya
terdiri dari 7 (tujuh) paguyuban PKL.
Perlakuan diskriminatif tidak hanya berhenti pada penyediaan fasilitas, namun dalam
penentuan siapa-siapa yang dapat menempati shalter juga terjadi. Setelah shalter
selesai dibangun, Dinas Pasar kemudian melakukan pembagian shelter yang tidak adil.
PKL Baiturrahman hanya mendapatkan 5 shelter yang digunakan untuk 10 PKL.1 Padahal
jumlah PKL ada 25 orang. Sedangkan untuk paguyuban PKL lainnya masing-masing PKL
mendapatkan 1 shelter bahkan ada 1 PKL yang mendapatkan 2 shelter.
Bantuan Hukum Yang Diberikan : (Non Litigasi)
YLBHI-LBH Semarang bersama Persatuan Pedagang Kaki Lima Semarang (PPKLS) selaku
pendamping PKL Baiturrahman sampai saat ini masih melakukan upaya investigasi
terhadap pembagian shelter yang tidak adil. Ada indikasi permainan antara oknum
pengurus salah satu paguyuban PKL dengan Dinas Pasar. Selain itu, LBH Semarang juga
menyurati Dinas Pasar Kota Semarang agar segera melakukan penataan ulang sehingga
PKL Baiturrahman terakomodir dalam shelter yang telah disediakan tanpa ada
diskriminasi.
5. Advokasi Kenaikan Tarif RSUD Kota Semarang
Posisi Kasus :
Pada tanggal 8 Maret 2011 Peraturan Walikota (Perwal) Nomor 7 Tahun 2011 Tentang
Tarif Layanan Rumah Sakit Pada Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang telah
1 Masing-masing shalter untuk 2 orang PKL
diberlakukan tanpa adanya penyebarluasan/ sosialisasi kepada masyarakat. Didalam
Perwal tersebut mengatur tentang kenaikan tarif RSUD untuk kelas Kelas III, Kelas II,
Kelas I B, Kelas I A, dan VIP. Sebelum Perwal ini diberlakukan tarif layanan RSUD
menggunakan dasar Perwal Kota Semarang Nomor 23 A tahun 2010 tentang tarif
layanan kesehatan RSUD.
Kenaikan dari tarif lama ke tarif baru ini sangat diskriminatif dan memberatkan
masyarakat miskin atau tidak mampu. Diskriminasi ini terlihat didalam kenaikkan tarif
layanan kesehatan dimana kenaikan untuk kelas III jauh lebih besar dibandingkan
dengan kelas lainnya yang itu diperuntukan bagi masyarakat mampu. Diskriminasi
kenaikan tarif antara lain bisa dilihat dalam tabel berikut:
JENIS PELAYANAN TARIF LAMA TARIF BARU PROSENTASE
PELAYANAN RAWAT INAP
Kelas III Rp. 20.000,- Rp. 40.000,- 100%
Kelas II Rp. 40.000,- Rp. 80.000,- 100%
Kelas I B Rp. 80.000,- Rp. 100.000,- 25%
Kelas I A Rp. 100.000,- Rp. 110.000,- 10%
VIP Rp .120.000,- Rp. 130.000,- 8%
VISIT/KONSULTASI DOKTER
SPESIALIS
Kelas III Rp. 5.000,- Rp. 20.000,- 300%
Kelas II Rp. 10.000,- Rp. 32.000,- 220%
Kelas I B Rp. 18.000,- Rp. 40.000,- 122%
Kelas I A Rp. 22.500,- Rp. 45.000,- 100%
VIP Rp . 27.000,- Rp . 52.000,- 93%
Sumber : Lampiran Perwal Kota Semarang Nomor 23 A tahun 2010 dan Perwal Nomor 7
tahun 2011 tentang Tarif Layanan Rumah Sakit pada RSUD Kota Semarang
Respon LBH Semarang :
Peraturan Walikota Nomor 7 tahun 2011 tentang Kenaikan tarif layanan kesehatan
RSUD Kota Semarang secara substansi dan yuridis formal cacat hukum karena
bertentangan dengan peraturan yang berada diatasnya yaitu UU No 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan. Dalam proses pembentukan
Perwal ini juga dianggap telah bertentangan dengan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan sesuai dengan UU no 12 tahun 2011, yaitu asas keterbukaan, asas
kejelasan rumusan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan.
Selain itu, dasar yang digunakan oleh Direktur RSUD Kota Semarang untuk menaikkan
tarif layanan kesehatan RSUD adalah laporan keuangan RSUD tahun 2007-2010
mengalami defisit/rugi sehingga perlu menaikkan tarif layanan untuk menutupi kerugian
tersebut adalah sangat tidak tepat. Menurut Prof. Andreas Lako (guru besar ekonomi
dan Dekan FakultaS Ekonomi Unika Soegijopranoto Semarang) setelah menganalisis
laporan keuangan RSUD Kota Semarang tahun 2007-2010 menyatakan bahwa kondisi
keuangan RSUD Kota Semarang dalam keadaan surplus atau untung sehingga belum
perlu menaikkan tarif layanan kesehatan.
Atas dasar itulah LBH Semarang bersama jaringan LSM di Kota Semarang melakukan
penolakan atas pemberlakuan Perwal No 7 tahun 2011. Upaya penolakan tersebut
dilakukan dalam bentuk penggalangan petisi dari masyarakat yang menolak kenaikan
tarif RSUD. Selain itu juga mendesak kepada Walikota Semarang agar segera melakukan
revisi terhadap Perwal tersebut.
Terkait dengan kenaikan tarif tersebut, pada tanggal 3 Juli 2011 diadakan rapat dengan
DPRD Kota Semarang, Direktur RSUD Kota Semarang, LBH Semarang dan LSM di kota
Semarang guna membahas revisi Perwal. Hasil rapat tersebut adalah bahwa dalam
jangka waktu 10 hari sejak pertemuan tersebut Direktur RSUD Kota Semarang mau
untuk merevisi Perwal Nomor 7 Tahun 2011. Akan tetapi setelah 10 hari sebagaimana
dijanjikan oleh Direktur RSUD Kota Semarang untuk mervisi Perwal tidak ditepati dan
RSUD menolak untuk merevisi Perwal begitu juga Walikota Semarang menolak untuk
menolak revisi Perwal.
Atas dasar tersebut, maka LBH Semarang bersama jaringan LSM akan melakukan Uji
Materi terhadap Peraturan Walikota Semarang Nomor 7 tahun 2011 tentang kenaikan
tarif layanan kesehatan RSUD Kota Semarang dan sampai saat ini tengah menyusun
draft permohonan Uji Materi dan akan diajukan kepada Mahkamah Agung melalui
Ketua Pengadilan Negeri Semarang.
6. Advokasi Pasar Rejowinangun
Posisi Kasus :
Pada tanggal 26 Juni 2008 pasar Rejowinangun di kota Magelang terbakar. Setelah
hampir 3 tahun lebih, pemerintah kota Magelang tidak kunjung memperhatikan nasib
pedagang korban kebakaran. Padahal Pemkot Magelang sudah 5 kali melakukan lelang
pembangunan pasar, akan tetapi selalu dibatalkan dengan berbagai alasan yang tidak
jelas. Ketidakjelasan ini menyebabkan kurang lebih 2.134 pedagang terlantar selama 3
tahun lebih di tempat relokasi, bahkan diantaranya banyak yang gulung tikar.
Bantuan Hukum Yang Diberikan :
Setelah mendapatkan informasi mengenai permasalahan kasus pedagang pasar
Rejowinangun yang menjadi korban kebakaran, LBH Semarang kemudian aktif
melakukan komunikasi dengan jaringan maupun paguyuban pedagang. Setelah aktif
berkomunikasi, LBH Semarang kemudian menyusun rencana advokasi. Tindakan
pertama yang dilakukan adalah melakukan investigasi. Setelah itu, LBH Semarang akan
melakukan pengorganisasian dan kampanye terkait pedagang pasar Rejowinangun.
Target advokasi selanjutnya adalah untuk memperjuangkan pedagang agar
mendapatkan haknya untuk berjualan kembali di pasar Rejowinangun. Baik lewat jalur
non-litigasi maupun melalui jalur litigasi jika tidak berhasil.
7. Raperda RTRW Kota Semarang
Posisi Kasus
Penataan Ruang atau lazim disebut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) adalah,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian ruang. Penataan ruang dilakukan berdasarkan,
pertama. Fungsi utamanya, meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. kedua.
Aspek administrative, meliputi ruang Wilayah Nasional, Wilayah Propinsi dan Wilayah
Kabupaten. Rencana Tata Ruang sebagai acuan dalam pembangunan wilayah adalah
pembangunan yang dilandasi oleh peng-wilayahan fakta. Wilayah fakta inilah yang
mencerminkan persamaan persamaan ataupun perbedaan-perbedaan yang ada di
masyarakat, yang selanjutnya akan mencerminkan kebutuhan-kebutuhan anggota
masyarakat.
Kota Semarang adalah salah satu Kota yang pada 2011 menyusun RTRWK. Menurut
salah satu Anggota Komisi A DPRD Kota Semarang Imam Mardjuki yang disampaikan
dalam salah satu media cetak, bahwa pansus Rancangan Perda RTRW akan menargetkan
selesai 2 Februari 2011, padahal ada persoalan krusial di dalam RTRWK yaitu pertama,
tidak ada naskah Kajian Lingkungan Hidup Strategis, kedua konversi kawasan
konservasi menjadi kawasan industry, reklamasi dan pertambangan.
Bantuan Hukum yang diberikan:
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang melakukan konsolidasi dengan melibatkan
beragam komunitas yaitu komunitas miskin perkotaan, komunitas masyarakat korban
bencana ekologis, masyakat pesisir dan jaringan akademisi. Konsolidasi ini kemudian
membentuk Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Semarang 2030. Mandat kepada
jaringan ini adalah untuk mendesak penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS) dilakukan sebelum penusunan Raperda. Beragam upaya advokasi kemudian
dilakukan dari kampanye di media, aksi bentang spanduk di rapat pansus, audiensi
dengan Bappeda dan Pansus RTRWK dan penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS) versi masyarakat sipil.
8. Nelayan Tambak Lorok, Semarang
Posisi Kasus :
Terkait dengan rencana Pengembangan Pelabuhan Tanjung Mas oleh Pelindo III Cabang
Pelabuhan Tanjung Emas, memunculkan permasalahan bagi masyarakat yang akan
terkena imbas secara langsung dari proyek tersebut. Permasalahan tersebut berupa
terancamnya warga di pemukiman padat penduduk kawasan Tambak Lorok, Kecamatan
Semarang Utara. Baik terancam segi mata pencahariannya maupun tempat tinggal
mereka.
Dampak yang ditimbulkan dapat terjadi ketika warga yang lahannya akan digunakan
perluasan dermaga nantinya akan dipindah/ direlokasi ketempat lain yang jauh dari
garis pantai. Hal ini jelas akan mengancam profesi mereka sebagai nelayan. Dimana
nantinya setelah relokasi dapat dipastikan nelayan sangat kesulitan ketika tempat
tinggalnya jauh dari garis pantai bahkan secara perlahan akan mematikan nelayan.
Selain itu, akan berimbas pula pada usaha sektor perikanan yang selama ini menjadi
tulang punggung kehidupan warga Tambak Lorok.
Kekhawatiran lain juga muncul karena sampai dengan saat ini belum ada kejelasan
terutama terkait masterplan proyek. Terlebih masyarakat dikawasan Tambaklorok pun
tidak mengetahui bagaimana nantinya proyek tersebut berjalan karena minimnya
informasi serta selama ini warga tidak pernah dilibatkan dalam rencana tersebut.
Respon LBH Semarang :
Bahwa mendengar pemberitaan mengenai nelayan Tambak Lorok, kemudian LBH
Semarang ke lapangan untuk melakukan investigas. Dari hasil investigasi kemudian
ditemukan fakta mengenai rencana perluasan dermaga hingga rencana penggusuran
pemukiman nelayan tambak lorok masih sebatas issue dan belum ada kejelasan.
Sehingga menindaklanjuti hasil temuan awal investigasi tersebut, maka LBH Semarang
bersama dengan Unisbank kemudian menyelenggarakan Focus Group Discusion (FGD)
untuk membedah permasalahan ini.
Dalam FGD hadir perwakilan dari Pemerintah Kota Semarang, Akademisi dari Unisula
dan Unika serta kawan-kawan media. Dari proses diskusi memang masih menyimpulkan
bahwa rencana perluasan dermaga belum ada, namun tidak menutup kemungkinan
rencana tersebut direalisasikan. Catatannya jika Pemerintah Pusat menghendaki. Jika
hal ini benar-benar terjadi warga nelayan tambak lorok meyampaikan aspirasi kepada
pemerintah kota Semarang untuk tetap memperhatikan keberlangsungan hidup warga.
Mengenai tempat tinggal dan pencaharian ini harus didahulukan dan dijadikan
pertimbangan yang matang.
9. Warga korban banjir Tanah Mas, Semarang
Posisi Kasus
Sekira bulan Agustus 2010, terjadi penjebolan atau pengeprasan tanggul yang dilakukan
di 3 (tiga) titik, yaitu 2 (dua) titik penjebolan di depan SMA Negeri 14 Semarang dan 1
(satu) titik di depan Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Semarang Tanah Mas Alamat Jln
Kokrosono Kav 40-42.
Selain melakukan penjebolan atau pengeprasan tanggul, pihak kontraktor
pembangunan proyek normalisasi sungai banjir kanal barat dalam pelaksanaan proyek
melakukan penumpukan tanah bekas pengerukan sungai di badan sungai yang menjadi
aliran air sehingga menghambat arus air sungai.
Pada tanggal 9 November 2010 kurang lebih pukul 17.00 WIB air di sungai banjir kanal
barat mulai meninggi dan air bercampur lumpur mengalir deras melewati 2 (dua) lubang
di depan SMA Negeri 14 Semarang dan lewat lubang di depan Gereja Katolik Hati Kudus
Yesus kemudian luapan air bercampur lumpur mengarah ke Perumahan Tanah Mas.
Sekitar pukul 18.30 WIB banjir bercampur lumpur telah sampai ke daerah paling ujung
Perumahan Tanah Mas yaitu daerah Panggung Mas dan telah merendam 14 (empat
belas) RW atau 125 (seratus dua puluh lima) RT yang terdiri dari hampir 5000 (lima ribu)
Kepala Keluarga (KK) dan terdapat kurang lebih 14.276 (empat belas ribu dua ratus tujuh
puluh enam) jiwa dengan ketinggian air mencapai 120 centimeter.
Penjebolan tanggul yang dilakukan oleh kontraktor pembangunan proyek normalisasi
sungai banjir kanal barat, selaku Konsultan pelaksana proyek Normalisasi Banjir Kanal
Barat memang disengaja sebagaimana diakui secara langsung oleh TERGUGAT II yang
dimuat dalam harian Kompas Rabu, 22 Desember 2010.
Bantuan Hukum Yang Diberikan
Setelah mendapatkan pengaduan dari warga, LBH Semarang kemudian
menyelenggarakan pertemuan dengan warga Tanah Mas khususnya korban banjir pada
tanggal 21 Desember 2010. Kemudian sekitar 1.200 orang berkumpul disebuah kedai
Somay yang cukup luas pada waktu yang telah ditemtukan. LBH Semarang melakukan
diskusi dengan warga terkait peristiwa banjir tanggal 9 Nopember 2010. Hasil
pertemuan tersebut menyepakati untuk memudahkan koordinasi perlu perwakilan
untuk senantiasa berkoordinasi. Kemudian atas usul beberapa orang dibentuklah
paguyuban korban banjir tanah mas, yang kemudian akan menyelenggarakan
pertemuan selanjutnya. Setelah pertemuan tersebut diadakan pertemuan-pertemuan
lanjutan. Dan saat pertemuan-pertemuan lanjutan mulai muncul intimidasi agar
beberapa orang pengurus mundur dan diminta tidak usah menuntut penyelesaian
masalah banjir.
Mulai saat itu, beberapa pengurus yang tidak berani kemudian mundur. Namun,
paguyuban warga tanah mas tetap jalan dan bersama LBH Semarang, perwakilan warga
mengupayakan ke BLH Jawa Tengah untuk meminta pertanggungjawaban dan
penyelesaian masalah banjir. Tidak hanya itu, LBH Semarang bersama perwakilan warga
juga sempat mendatangi JICA atau pemberi dana proyek normalisasi banjir kanal barat.
Beberapa upaya melalui jalur non-litigasi tidak berhasil sehingga tahun 2012
penyelesaian ini akan diupayakan melalui jalur litigasi, baik menggunakan gugatan
Perbuatan Melawan Hukum maupun Gugatan Warga Negara atau Citizen Law Suit (CLS)
10. Buruh PT. SAI Garment
Posisi Kasus
PT.Sai Garment dahulu bernama PT.Sainath. Jam kerja di PT.Sai Garment menggunakan
3 Shift/Hari, 8 jam/hari untuk Senin-Jumat dan 5 Jam/hari untuk Sabtu. Persoalan buruh
yang mencolok dalam perusahaan adalah tindakan perusahaan yang kerap meliburkan
buruh dengan alasan sepi order, namun karena diliburkan tersebut justru buruh
dianggap “berhutang jam kerja” kepada perusahaan (1 hari libur, hutang 8 jam kerja);
Hutang jam tersebut dibayarkan tiap hari sabtu atau hari kerja lainnya ketika sedang
ramai order.
Pada sekitar tahun 2009 sebagian buruh pernah mencoba membentuk serikat bernama
Serikat Karyawan Reformasi (Sekar), namun serikat ini hancur karena sebagian anggota
di PHK oleh perusahaan dan pimpinan serikatnya diberikan jabatan oleh perusahaan.
Tahun 2011, sebagian buruh kembali membentuk serikat dengan nama Forum Karyawan
Sai Garment (FKGS). Pada 4 Juli 2011 Pengurus mencoba memberitahukan perihal
serikat kepada pihak perusahaan dengan tujuan agar serikat tersebut diakui
keberadaannya, namun pihak perusahaan mengabaikan. Juli 2011, FKGS didaftarkan
oleh Pengurusnya ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang dan
mendapatkan Bukti Pencatatan dengan Nomor 811/251/OP.SP/17/VII/2011. Setelah itu,
pada tanggal 23 Juli 2011 banyak buruh diminta untuk menandatangani kertas kosong,
namun banyak yang menolak karena tidak jelas. Terakhir pada tanggal 25 Juli 2011
buruh diminta pulang oleh pihak personalia perusahaan, sejak saat itu buruh tidak
diperbolehkan masuk kerja.
Bantuan Hukum Yang Diberikan
Tindakan yang sudah dilakukan oleh Buruh bersama dengan LBH Semarang atas
persoalan tersebut adalah melakukan demontrasi, mediasi sampai dengan proses bi
partit dan tri partit. Demo di DPRD Kota Semarang terjadi tanggal 28 Juli 2011. Selain di
DPRD, demo juga di Disnakertrans pada tanggal 26 Juli, 3 dan 15 Agustus 2011. Setelah
beberapa kali menyampaikan aspirasinya, akhirnya dilakukan proses penyelesaian tri
partit. Seharusnya persoalan ini selesai, mengingat hasil tri partit adalah buruh diminta
tetap bekerja, namun perusahaan tidak dapat menerima hasil ini.
11. Buruh PT. IGN
Posisi Kasus
Sdr Budi dan Sdr Nugroho adalah karyawan PT Industri Gula Nusantara ( IGN ) masing –
masing telah bekerja selama 10 tahun dan 2,5 tahun.pada bulan Juli 2011, Sdr Nugroho
dan Sdr Budi di putus hubungan kerja (PHK ) oleh pimpinan PT IGN karena dianggap
melakukan doktrin kepada karyawan lain untuk tidak menaati perintah dari manajemen
baru. Setelah di PHK,kedua karyawan tidak mendapat Hak –hak Normatif sesuai dalam
UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Setelah itu kedua karyawan PT IGN
mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH Semarang).
Bantuan Hukum
Setelah melakukan proses penyelesaian secara Bipartit selama 3 kali pertemuan dengan
perwakilan perusahaan. Tapi tidak menemukan kesepakatan, maka Sdr Nugroho dan Sdr
Budi mengadukan permasalahan ini ke kantor YLBHI- LBH Semarang. Setelah itu, LBH
Semarang memberikan pendapat agar Sdr Nugroho dan Sdr Budi agar menyelesaikan
permasalahan ini melalui proses Mediasi di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kabupaten Kendal. Setelah mengadukan permasalahan melalui Mediator Disnaker
Kendal dan dilakukan pertemuan sebanyak 3 kali pada tanggal 3 September 2011, 17
September 2011, dan 30 September 2011 di kantor Disnaker Kendal yang pada
pokoknya inti terdapat dalam Anjuran tertulis pembicaraan dalam Mediasi adalah 1.)
Sdr Nugroho dan Sdr Budi tidak terbukti melakukan Doktrin kepada karyawan lain sesuai
apa yang dituduhkan pimpinan PT IGN Kendal. 2 ) PT IGN diharuskan membayar Hak-hak
Normatif sesuai dalam UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Sdr Nugroho
sebesar Rp 144.5000 ( Seratus empat puluh empat juta lima ribu rupiah ) dan untuk Sdr
Budi sebesar Rp 8.7500.00 ( Delapan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah ). Tetapi
pihak IGN menolak untuk menaati anjuran tertulis dari Mediator Disnaker Kabupaten
Kendal.
12. Kriminalisasi Buruh PT. Sanyu Frame Moulding
Posisi Kasus :
Nurimah, seorang buruh perempuan yang bekerja pada PT. SAN YU FRAME MOULDING
INDUSTRIES (PT. SAN YU), menjadi terdakwa dalam perkara pidana nomor :
932/Pid.B/2010/PN.Smg yang mulai disidangkan sejak Kamis 23 Desember 2010 di
Pengadilan Negeri Semarang. Nurimah oleh Jaksa Penuntut Umum didakwa melakukan
tindakan penganiayaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP).
PT. SAN YU adalah sebuah perusahaan milik pengusaha asal Taiwan, yang memproduksi
bingkai (frame) dan beralamat di Jl. Tambak Aji IA No.1 Semarang, Sedangkan Nurimah
adalah Ketua Pengurus Unit Kerja Serikat Pekerja Perkayuan Perhutanan dan Umum
Seluruh Indonesia (PUK SP Kahutindo) pada PT. SAN YU.
Pada pagi hari Selasa 12 Januari 2010, terjadi aksi mogok kerja secara spontan selama 2
jam yang dilakukan oleh para buruh PT.SAN YU di bagian kerjanya masing-masing. Aksi
mogok tersebut merupakan puncak keresahan buruh akibat keterlambatan pembayaran
upah yang telah terjadi secara terus-menerus selama 2 tahun di PT.SAN YU. Selain itu,
PT.SAN YU juga telah membedakan pembayaran upah antara buruh staf bulanan dan
buruh harian, dimana buruh staf bulanan lebih didahulukan pembayaran upahnya
daripada buruh harian. Hal inilah yang menyulut protes para buruh dengan melakukan
mogok kerja secara spontan.
Setelah terjadinya aksi mogok kerja tersebut, pihak perusahaan melakukan tindakan-
tindakan seperti : melakukan penghinaan terhadap pengurus PUK SP Kahutindo,
memotong upah buruh yang terlibat aksi, melakukan mutasi terhadap anggota dan
pengurus PUK SP Kahutindo, melarang pengurus PUK SP Kahutindo menemui Nurimah
sebagai Ketua Serikat, serta melakukan intimidasi-intimidasi lain terhadap buruh agar
keluar dari keanggotaan PUK SP Kahutindo. Atas intimidasi dari pihak perusahaan
tersebut, terjadi penurunan jumlah anggota PUK SP Kahutindo per Juni 2010.
Nurimah, akhrinya dilaporkan oleh salah satu buruh PT.San Yu (pelapor) kepada
Kepolisian Sektor Ngaliyan atas tuduhan telah melakukan penganiayaan terhadap
pelapor yang terjadi pada tahun 2006. Terdapat beberapa keganjilan dalam proses
pemidanaan terhadap Nurimah, karena baru dilaporkan ke pihak berwenang pada tahun
2010 atau setelah terjadinya persitiwa mogok kerja. Pelapor juga pada akhirnya melalui
sebuah pernyataan dan kesaksiannya di persidangan mengakui kalau dirinya
melaporkan Nurimah karena desakan dari pihak perusahaan.
Upaya Yang dilakukan LBH Semarang :
Menyikapi kasus tersebut, LBH Semarang bersama Serikat Pekerja Perkayuan dan
Perhutanan dan Umum Seluruh Indonesia (SP Kahutindo), Serikat Pekerja Metal
Indonesia (SPMI), Serikat Pekerja Pos Indonesia (SP Pos Indonesia), Federasi Serikat
Pekerja Independen (FSPI), Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI), Yayasan Wahyu Sosial (Yawas), membentuk sebuah aliansi
solidaritas bernama Solidaritas Pembebasan Nurimah. Solidaritas yang terbentuk
memliki beberapa tujuan, yaitu : Mengawal proses persidangan, mengkonsolidasikan
serikat-serikat buruh, mengkampanyekan soal kebebasan berserikat. Peran LBH
Semarang dititik-beratkan untuk tujuan kampanye kebebasan serikat. Sementara untuk
pendampingan Nurimah di persidangan sudah ditunjuk 2 orang advokat dari LKBH
Universitas 17 Agustus Semarang.
Dalam perkembangannya, kasus ini berhasil menyita perhatian masyarakat khususnya di
Kota Semarang, karena peran rekan-rekan media yang rutin meliput kasus tersebut
serta aksi-aksi yang dilakukan oleh solidaritas dalam setiap persidangan, sehingga
mendapat dukungan lebih luas dari banyak organisasi, anggota legislatif, tokoh
masyarakat dll.
Berkat dukungan dari solidaritas yang terus mendesak pengadilan dan mengumpulkan
banyak penjamin pengangguhan penahanan, akhirnya penahanan terhadap Nurimah
yang sudah dilakukan sejak 9 Desember 2012 (Tahanan Penuntut Umum dan Hakim)
berhasil ditangguhkan pada 19 Januari 2011.
Pada tanggal 22 Februari 2011, Majelis Hakim membacakan putusan yang menyatakan
Nurimah bersalah melakukan tindakan penganiayaan dan menghukum Nurimah dengan
pidana penjara 1 bulan 11 hari (41 Hari). Lama hukuman tersebut sama dengan masa
penahanan yang sudah dijalani oleh Nurimah. Namun demikian, Nurimah tetap
mengajukan banding atas putusan tersebut.
13. Buruh Mega Cargo
Posisi Kasus :
Sdri Nuryaningsih adalah Karyawan PT Mega Kargo Semarang yang telah bekerja selama
6 tahun. Pada tahun 2011,terjadi perselisihan hubungan industrial antara Sdri
Nuryaningsih dengan PT Mega Kargo yang mengakibatkan Sdri Nuryaningsih mengalami
Pemutusan Hubungan Kerja(PHK).alasan PT Mega Kargo melakukan PHK karena Sdri
Nuryaningsih dianggap melakukan kesalahan(melanggar pasal 158 ayat (1),(3),(4) UU No
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.sehingga hanya diberi Uang Penggantian Hak
ssuai ketentuan pasal 156 ayat(4) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan uang
pisah.
Bantuan Hukum
LBH Semarang mendampingi dari proses bi-partit dan tri-partit. Namun, proses ini tidak
berhasil. Saat ini sudah didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI ) Semarang, pada
Januari 2012.
14. Buruh PT. Askes
Posisi Kasus
Sdr Abu Karmanto adalah Karyawan dengan status Pekerja Waktu Tertentu yang
dikontrak oleh koperasi Askes selama 1 tahun sejak tahun 2005 setelah itu Sdr Abu
Karmanto diperpanjang kontraknya berturut-turut sampai dengan tahun 2011, pada
bulan Januari 2011, Pimpinan PT Askes memutus hubungan kerja ( PHK) Sdr Abu
Karmanto dengan alasan masa kontrak kerja habis dengan alasan status PKWT. Sdr Abu
Karmanto menerima PHK asalkan mendapat Uang Pesangon, Uang Pengargaan Masa
Kerja, dan Pergantian Hak sesuai dengan UU No 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaaan.
Bantuan Hukum
Sdr Abu Karmanto telah mengadukan kasusnya ke Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan
Kependudukan Provinsi Jawa Tengah untik proses Mediasi dengan didampingi oleh Sdr
Nanda Tanjung dari YLBHI-LBH Semarang sejak proses Mediasi ke II.dalam Sidang
Mediasi ke II, pihak PT ASKES menyatakan bahwa status Sdr Abu Karmanto adalah
karyawan kontrak( PKWT ) sehingga tidak mendapatkan uang pesangon sesuai UU NO
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan..Mediatordari Disnakertrans Jateng,Sdr
Muslihuddin berpendapat bahwa status Sdr Abu Karmanto adalah Karyawan kontrak
sampai tahun 2009 sehingga masa kerja dimulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun
2011. YLBHI- LBH Semarang berpendapat bahwa status Sdr Abu Karmanto adalah
Karyawan Tetap sesuai dengan ketentuan UU NO 13 Tahun 2003 Pasal 59..karena masa
kerja Sdr Abu Karmanto sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 adalah 5 tahun.
Sesuai pasal 59 UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa PKWT maksimal
diperpanjang satu kali kontrak. Sdr Abu Karmanto minta didampingi oleh LBH Semarang
dalam gugatan ke PHI
15. Penetapan Upah Minimum Kota Semarang dan Upah Minimum Regional Jawa Tengah
Latar Belakang
Penetapan UMK dan UMR senantiasa dianggap bermasalah. Sesuai jadwal, setiap tahun
dilaksanakan proses Penetapan Upah Minimum Kota (UMK) maupun Upah Minimum
Regional (UMR) di seluruh Indonesia. UMK dan UMR ini mulai dibahas setiap
pertengahan tahun oleh Dewan Pengupahan Provinsi, Dewan Pengupahan Kabupaten
maupun Dewan Pengupahan Kota. Tidak terkecuali pembahasan Penetapan Upah
Minimum Kota Semarang 2012 dan UMR Provinsi Jawa Tengah 2012 juga dilaksanakan.
Sesuai Keputusan Presiden Nomor 107 tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahan
disebutkan bahwa Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten maupun Kota mempunyai
tugas untuk memberikan saran, dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka
perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan nasional.
Untuk mengawal proses pembahasan sampai dengan penetapan UMK dan UMR, dalam
konteks Gerakan Buruh di Semarang dan Jawa Tengah, kemudian ikut mengawalnya.
Pada bulan September 2011, beberapa Serikat Buruh di kota Semarang bersama
elemen-elemen yang mempunyai kepedulian terhadap buruh akhirnya membentuk
sebuah Aliansi Gerakan Buruh Kota Semarang atau yang disingkat Gerbang untuk
mengawal proses penetapan UMK Kota Semarang 2012. Upaya ini ditujukan agar ada
kenaikan upah yang signifikan untuk para buruh di kota Semarang.
Aliansi Gerbang terdiri dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kota Semarang, Federasi
Serikat Pekerja Indepeden (FSPI), SP Kahutindo, Federasi Serikat Pekerja Metal
Indonesia (FSPMI), Federasi Serikat Pekerja Pantai Utara (FSP Pantura) Jawa Tengah,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia
(PBHI) Jawa Tengah.
Upaya yang dilakukan
Atas deskripsi tersebut, pada bulan September 2011, beberapa Serikat Buruh di kota
Semarang bersama elemen –elemen yang mempunyai kepedulian terhadap Buruh
membentuk Aliansi Gerakan Buruh Kota Semarang ( Aliansi Gerbang ) untuk mengawal
proses penetapan Upah Minimum Kota (UMK) Kota Semarang tahun 2012. Koordinator
Aliansi ini adalah Sdr Heru Budi Utoyo dari SPN Kota Semarang. Agenda yang telah
dilakukan oleh Aliansi Gerbang antara lain sebagai berikut.
1. Aksi turun ke jalan menyuarakan aspirasi agar ada kenaikan upah terhadap para
buruh di kota Semarang. Aksi yang dilakukan sebanyak 10 kali ini dimulai dari bulan
September sampai bulan Oktober 2011. Targetan aksi antara lain ke kantor Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang, Kantor Walikota Semarang,
Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Semarang dan Dewan
Pengupahan Kota Semarang. Tuntutan utama Aliansi adalah Penetapan Upah
Minimum Kota (UMK) Semarang untuk tahun 2012 adalah sebesar Rp, 1.400.000
(satu juta empat ratus ribu rupiah). Atas aksi yang dilakukan oleh para Buruh yang
tergabung dalam Aliansi Gerbang Kota Semarang, tanggapan Pemerintah kota
Semarang mempersilahkan para Buruh untuk berdemo, namun mengenai Tuntutan
utama untuk kenaikan UMK Kota Semarang 2012 sebesar Rp. 1.400.000 (satu juta
empat ratus ribu rupiah), sikap Walikota Semarang, adalah menunggu usulan resmi
dari Dewan Pengupahan Kota Semarang. Setelah ada rekomendasi, ternyata Dewan
Pengupahan Kota Semarang yang terdiri dari perwakilan dari Pemerintah,
Akademisi, Serikat Buruh, dan Perwakilan Pengusaha terpecah dalam pengambilan
keputusan. Hal ini didasarkan pada elemen survey Kualitas Hidup Layak (KHL) yang
akhirnya membuat perbedaan besaran angka. Hingga akhirnya Perwakilan Buruh
dalam Dewan Pengupahan yaitu dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) dan SP
Kahutindo mengusulkan agar UMK 2012 kota Semarang sebesar Rp. 1.400.000.
Sementara sikap perwakilan pengusaha yang dalam hal ini diwakili Apindo Kota
Semarang mengusulkan UMK 2012 sebesar Rp 941.000. Atas ususlan Apindo para
perwakilan buruh di Dewan Pengupahan kota Semarang metolak.
2. Setelah aksi yang pertama, selanjutnya Pemerintah kota Semarang melakukan
pertemuan dengan perwakilan Aliansi Gerbang kota Semarang, Apindo Kota
Semarang, serta masukan dari Dewan Pengupahan kota Semarang untuk
menetapkan Upah Minimum Kota (UMK) Semarang tahun 2012 sebesar Rp 991.000
(Sembilan Ratus Sembilan puluh satu ribu rupiah). Kali ini tidak hanya buruh tapi
perwakilan pengusaha melakukan penolakan. Perwakilan pengusaha mengancam
akan menggugat Surat Keputusan (SK) Walikota Semarang tentang Penetapan UMK
2012, sedangkan Aliansi Gerbang Kota Semarang tetap seperti semula. Aliansi
Gerbang kota Semarang kemudian tetap melakukan aksi turun ke jalan menentang
Penetapan UMK Kota Semarang 2012 yang tidak sesuai dengan tuntutan. Peran LBH
Semarang dalam Aliansi Gerbang kota Semarang adalah sebagai anggota aliansi yang
memberi masukan mengenai strategi Advokasi baik melalui jalur hukum maupun
non hukum. Selain itu LBH juga ikut berperan dalam konsolidasi maupun dalam
setiap aksi yang dilakukan Gerbang.
3. Selanjutnya setelah penolakan penetapan Umk Kota Semarang, proses selanjutnya
ada di Provinsi. Sama halnya dengan UMK, Penetapan Upah Minimum Provinsi (
UMP ) Jateng 2012 juga dikawal oleh Gerbang. Bahkan dalam pengawalan ini, aliansi
bertambah dengan masuknya beberapa elemen buruh diluar kota Semarang. Serta
dalam perkembangan, aliansi ini menjadi tingkat Jawa Tengah dengan tidak hanya
dalam memperjuangkan Penetapan UMK Kota Semarang tetapi juga
memperjuangkan usulan Serikat Buruh daerah lain seperti Kabupaten Semarang,
Kabupaten Temanggung, dan Kabupaten Pekalongan. Maka nama Aliansi Gerbang
Semarang diubah menjadi Aliansi Gerakan Buruh Jawa Tengah ( Gerbang Jateng )
yang terdiri dari anggota Aliansi Gerbang Kota Semarang ditambah Serikat Buruh
yang berasal dari luar kota Semarang seperti SPN Kabupaten Semarang, termasuk
SPN Jawa Tengah, dan Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) 1992 Solo. Koordinator
Aliansi berubah menjadi Sdr Nanang Setiyono dari SPN Jawa Tengah. Agenda
advokasinya kemudian menjadi memperjuangkan Upah Minimum di seluruh
Kabupaten dan kota di Jawa Tengah.
Agenda advokasi untuk tingkat Jawa Tengah dimulai dari bulan Oktober 2011 sampai
dengan Desember 2011 yang dilakukan antara lain :
1. Aksi turun ke jalan sebanyak 31 kali menyuarakan aspirasi kenaikan upah dalam
Penetapan UMP Provinsi Jateng 2012.
2. Melalui aksi Aliansi Gerbang Jawa Tengah berusaha menyampaian aspirasi ke
Gubernur Jawa Tengah meskipun tidak pernah berhasil, karena Gubernur selalu
mewakilkan ke Kepala Disnakertrans Jateng untuk menemui perwakilan Aliansi
Gerbang Jateng;
3. Penyampaian aspirasi ke anggota DPRD Jateng serta meminta dukungan politik dari
beberapa anggota DPRD Jateng;
4. Penyampaian aspirasi dengan Kepala Disnakertrans Jawa Tengah;
5. Penyampaian aspirasi dengan Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Tengah serta ikut
mengawal sidang–sidang Dewan Pengupahan dalam penetapan UMP Jateng 2012.
Sikap Gubernur Jateng, Bibit Waluyo dalam konteks penetapan UMP Jateng 2012
menyerahkan kepada mekanisme melalui Dewan Pengupahan Provinsi Jateng. Gubernur
Jateng memandang aspirasi perwakilan Buruh dalam memperjuangkan kenaikan upah
dengan aksi turun ke jalan hanya menghabiskan tenaga dan uang.
Sementara, dalam sidang Penetapan UMP Jateng 2012 terjadi perbedaan pendapat soal
perhitungan dalam penetapan angka UMP 2012. Aliansi Gerbang Jateng mengusulkan
angka untuk UMP Jateng tahun 2012 sebesar Rp 1.400.000 (Satu juta empat ratus ribu
rupiah). Sedangkan perwakilan pengusaha di Dewan Pengupahan Provinsi Jateng
menolak usulan dari perwakilan Buruh baik yang ada di Dewan Pengupahan maupun
yang ada di Aliansi Gerbang Jawa Tengah.
Meski kondisinya demikian, namun akhirnya Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan
Keputusan Gubernur Jateng Nomor 561.4/73/2011 Tentang UMK pada 35 Kabupaten/
Kota Jawa Tengah. Surat Keputusan ditandatangani pada tanggal 18 November 2011
oleh Gubernur Jawa Tengah. Setelah ditandatangani oleh Gubernur, karena nilai UMR
belum sesuai tuntutan maka kemudian Aliansi Gerbang Jateng tetap melakukan Aksi
turun ke jalan untuk menolak SK Gubernur mengenai Penetapan UMP Jateng 2012. Aksi
ini sempat menginap di Kantor Gubernur Jawa Tengah. Peran LBH Semarang dalam
Penetapan UMP Jateng 2012 adalah sebagai anggota jaringan serta memberi masukan
terhadap strategi advokasi dan masukan-masukan seperti pendapat hukum kepada
serikat buruh yang tergabung dalam Aliansi Gerbang Jateng. Selain itu LBH Semarang
juga memberi pendapat mengenai Strategi Advokasi diantaranya melalui Mogok Massal
buruh- buruh yang tergabung dalam Aliansi Gerbang Jateng dan Wacana Gugatan SK
Gubernur ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
16. Konflik Agraria di Kebumen
Latar Belakang
Kawasan Selatan Urutsewu, Kebumen, yang diklaim oleh pihak TNI-AD itu adalah
kawasan lahan pertanian yang selama ini dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat secara
turun temurun dan menjadi sumber penghidupan utama masyarakat, bahkan sejak
Indonesia belum memproklamasikan kemerdekaannya dan berbentuk sebagai Negara
Kesatuan seperti sekarang ini.
Bukti kepemilikan masyarakat atas tanah itu, bukan sekedar klaim. Karena selain
masyarakat telah secara turun temurun mengusahakan lahan pertanian tersebut secara
produktif, sejarah kepemilikan tanah beserta siapa pemiliknya tercatat di dalam Buku C
Desa. Contohnya di Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren, dimana bukti
kepemilikan masyarakat atas tanah itu dimulai dari “Pal Budheg” dengan kodifikasi
Q222 yang berada di dekat air laut, sampai ke arah Utara. Kepemilikan tanah warga
tersebut terbagi kedalam kelas persil mulai dari D1 sampai dengan D5, yang
kesemuanya tercatat di Buku C Desa. Bahkan saat ini sudah ada beberapa orang dari
masyarakat yang telah memiliki sertifikat hak milik.
Sedangkan dari “Pal Budheg” ke arah Selatan sampai dengan air laut, merupakan tanah
yang dikenal masyarakat setempat dengan sebutan “tanah brangsengaja” (tanah yang
sengaja di “bra” kana tau dibiarkan, yang sampai dengan hari masih digunakan oleh
masyarakat di Urutsewu Selatan untuk melakukan “ritual adat”, yang tiap tahunnya
dilakukan di tiap bulan Mulud. Ritual adat tersebut, dikenal dengan nama “sangonan”,
karena konon wilayah tersebut sejak masa pertama masyarakat menetap disana,
digunakan sebagai tempat “mengangon ternak – kambing, dll”.
Sejarah mengenai keberadaan “Pal Budheg” sendiri terjadi pada tahun 1932, dimana
pernah dilakukan pemetaan tanah, yang dalam idiom lokal disebut masa ”Klangsiran”.
Pemetaan tanah pada saat itu dilakukan oleh Negara (waktu itu oleh petugas Agraria
atau popular disebut “Ndoro Klangsir”) dengan dukungan partisipasi luas masyarakat
Urutsewu. Hasil dari pemetaan tanah tersebut antara lain : Pertama, klasifikasi tanah.
Klasifikasi tanah tersebut menghasilkan pembagian kategori menjadi 5 persil atau kelas
tanah yang didalam data administrasi disebut persil mulai dari D-1 hingga D-5; dimulai
dari jalan raya (kini disebut Jl. Daendels) hingga patok beton ”Pal Budheg”. Kedua,
menentukan batas antara “tanah negara” dengan ”tanah rakyat”. Sebagai penanda
batas antara “tanah Negara” dan “tanah rakyat” itu maka dibuatlah patok-patok yang
kemudian dikenal dengan sebutan “Pal Budheg” sampai dengan saat ini. “Pal Budheg”
dengan kodifikasi Q, masih dapat kita temui di beberapa desa, antara lain : Q222 di Desa
Setrojenar (Buluspesantren), Q216 di Desa Entak (Ambal), Q215 (Kaibon, Ambal).
Sebenarnya masih terdapat beberapa “Pal Budheg” di titik lain yang disinyalir hilang
atau rusak akibat digunakan untuk latihan titis dengan penanda bendera dan digunakan
untuk sasaran tembakan kanon pada saat latihan TNI. Jarak “Pal Budheg” dari garis air
pantai ke utara kira-kira hanya sejauh 216 meter, 222 meter dan paling jauh 250 meter
dari, dan membentang sepanjang 22,5 Km dari muara sungai Lukulo di desa Ayamputih,
hingga muara sungai Wawar di perbatasan Kab. Purworejo.
Awalnya pada tahun 1980-an, TNI-AD masuk ke wilayah Urutsewu, Kebumen dengan
meminta izin kepada Pemerintah Desa dan masyarakat setempat untuk berlatih.
Kemudian tanpa disangka-sangka seiring dengan makin seringnya TNI menggunakan
lahan tersebut sebagai tempat latihan, TNI pun mulai melakukan pematokan-
pematokan illegal ditanah warga. Alasan yang disampaikan masyarakat saat itu adalah
sebagai batas aman. Ternyata hasilnya kini, keluguan masyarakat tersebut harus
berbuah pait.
Kehadiran TNI-AD di wilayah tersebut, bukan tanpa akibat. Telah banyak kerugian yang
di derita masyarakat setiap kali TNI melakukan latihan di wilayah tersebut, mulai dari
gagal panen, kerusakan tanah akibat kejatuhan mortir, sampai dengan kehilangan
nyawa anak-anak mereka akibat adanya mortir yang terpendam di dalam tanah
pertanian masyarakat. Dan potensi kerugian terakhir dan sepanjang masa yang akan
diterima warga adalah kehilangan hak atas tanah dan sumber kehidupannya dan
keluarganya dengan cara-cara yang arogan dan bertentangan dengan Hak Asasi
Manusia.
Dasar Klaim TNI
Awal klaim TNI di Wilayah Urutsewu Selatan, Kebumen adalah berdasarkan :
• Proses Penyerahan secara Verbal oleh KNIL tanggal 25 Juli 1950;
• Keppres No. 4 tahun 1960 tentang barang rampasan Negara;
• Berita Acara rekonsiliasi barang milik Negara pada Denzibang logistic tertanggal 1
Januari 1993 (register TNI No. 30709034);
• Pernyataan lisan TNI mengenai penguasaan lahan sebagai tempat latihan uji coba
senjata sejak dahulu.
Perkembangan klaim TNI saat ini :
• TNI AD sudah memasukkan register 30709034 ke IKN Kementerian Keuangan No. S-
825/KN/2011 tertanggal 29 April 2011 atas 1.150 Ha tanah di wilayah Urutsewu;
• TNI memiliki peta versi sendiri, yang dianggap sebagai peta resmi � belum ada
data;
• Patok-patok illegal yang dibuat TNI di atas tanah masyarakat;
• Hasil pengukuran sepihak yang dilakukan oleh TNI dengan membawa BPN Kanwil
(kalo di Entak dilakukan sekitar juni/juli tahun 2011). Terhadap hasil pengukuran ini,
menurut kesaksian beberapa pihak, hanya tinggal 3 Kepala Desa yang belum
memberikan tandatangan untuk menyetujui proses pengukuran tersebut, yaitu Desa
Setrojenar, Desa Brecong dan Desa Entak.
Peta Wilayah
Kawasan Urutsewu Selatan, Kebumen adalah Kawasan yang terdiri dari 3 Kecamatan
dan 16 Desa, yang membentang sepanjang 22,5 Km dari muara sungai Lukulo di desa
Ayamputih, hingga muara sungai Wawar di perbatasan Kab. Purworejo. 3 Kecamatan
dan 15 Desa antara lain (baca : Barat ke Timur) :
• Kecamatan Buluspesantren :
− Ayamputih
− Setrojenar (Luas wilayah : 252,827 Ha)
Batas-batas Wilayah :
� Barat : Desa Ayamputih
� Timur : Desa Brecong
� Utara : Desa Bocor
� Selatan : Samudra Hindia
− Bercong (Luas wilayah : … Ha)
Batas-batas wilayah :
� Barat : Desa Setrojenar
� Timur : Desa Entak dan Desa Kembaran
� Utara : Desa Banjur Pasar, Desa Banjur Mukadan dan Desa Waluyo
� Selatan : Samudra Hindia
• Kecamatan Ambal :
− Entak (Luas wilayah : 454, 895 Ha)
Batas-batas Wilayah :
� Barat : Desa Kembaran dan Desa Brecong
� Timur : Desa Kenoyojayan
� Utara : Desa Gondang Legi dan Desa Ambal Kebrek
� Selatan : Samudra Hindia
− Kenoyojayan
− Ambalresmi
− Kaibon petangkuran (Luas wilayah : 20.955, … Ha)
Batas-batas Wilayah :
� Barat : Desa Ambalresmi
� Timur : Desa Kaibon
� Utara : Desa Benerkulon
� Selatan : Samudra Hindia
− Kaibon
− Sumber jati
• Kecamatan Mirit :
− Merit petikusan
− Tlogo depok
− Merit
− Tlogo prayoto
− Lembu purwo
− Wiromartan
Peristiwa-peristiwa2
Desa Kaibonpetangkuran, Kecamatan Ambal
Latihan TNI di Kawasan Urutsewu Selatan dilakukan sejak sekitar ± 25 tahun lalu. Dahulu
saat selesai latihan TNI, banyak warga yang mencari pecahan peluru/bom untuk
dijadikan rongsok. Namun, sejak ± 2 tahun terakhir, kegiatan latihan TNI di Kawasan
tersebut menimbulkan kekhawatiran dan kerugian bagi warga. Karena setiap kali ada
latihan TNI, warga terpaksa harus keluar dari tanahnya. Tidak hanya itu, latihan TNI juga
berakibat kepada rusaknya tanaman warga.
Sekitar akhir tahun 1990-an, TNI diduga pernah menariki uang kepada rakyat secara
diam-diam.
Sejak tahun 2003, pihak TNI melalui Koramil, diduga mulai berani memperjualbelikan
tanah di wilayah Selatan.
Pada tahun 1998, TNI mengadakan pengukuran sepihak. Mengenai hal tersebut
informasi yang disampaikan pihak TNI kepada Pemerintah setempat, bahwa itu
dilakukan sebagai zona aman apabila ada latihan TNI di wilayah tersebut.
� Disinyalir kuat, hasil pengukuran berupa patok-patok inilah yang kemudian menjadi
salah satu awal munculnya perencanaan RTRW Kabupaten Kebumen untuk wilayah
Urutsewu selatan.
Pada tahun 2009, terjadi proyek pembebasan lahan untuk keperluan proyek JLSS (Jalan
Lingkar Selatan – Selatan). Pada saat terjadinya proses pembebasan lahan, TNI langsung
melakukan pematokan tanah di dalam jalur JLSS.
2 Dokumentasi live-in
� Sekitar tahun …, Pangdam IV/Diponegoro mengeluarkan Surat yang ditujukan
kepada Gubernur yang pokoknya meminta ganti rugi terkait dengan adanya proyek
JLSS (Jalan Lingkar Selatan – Selatan) � katanya ada berkas di Tapuk.
Sekitar tahun 2006 atau 2007, muncul perencanaan RTRW Kabupaten Kebumen tentang
Kawasan Selatan Urutsewu. Dimana di dalam perencanaan tersebut, Kawasan Urutsewu
Selatan diperuntukkan sebagai Kawasan Pertahanan dan Keamanan. Didalam rencana
RTRW tersebut pula muncul pasal-pasal yang diantaranya menyatakan bahwa di dalam
Kawasan tersebut :
− tidak boleh ada bangunan apapun selain bangunan TNI;
− tidak boleh ada kegiatan apapun selain kegiatan TNI.
Pada tahun 2011, TNI melakukan pengukuran untuk kedua kali. Kali ini pengukuran
dilakukan sampai lebih jauh lagi ke arah utara dari patok sebelumnya (adanya patok
dengan jarak > 500 m dari bibir Pantai Selatan). Mengenai pematokan ini, warga tidak
melakukan protes karena dipasang langsung oleh TNI, warga takut melawan TNI,
disamping itu penjelasan yang disampaikan oleh TNI kepada warga adalah TNI hanya
menumpang, jadi tidak apa-apa.
Tahun 2011, pada saat akan diadakan program Sismiop dari Pajak Pratama Kebumen di
wilayah Kaibonpetangkuran, petugas Sismiop membawa sebuah peta. Di dalam peta
tersebut, wilayah Selatan adalah tanah GG yang berbatasan dengan tanah petani �
petanya dibawa kembali oleh petugas Sismiop.
Desa Entak, Kecamatan Ambal
Letter C atau Buku C Desa mulai di catatkan tahun 1939, dan diperbaharui tahun 1955.
Isi riwayat tanah di dalam Buku C Desa tersebut belum maksimal, karena masih tercatat
daerah-daerah yang tidak ada tanah namun ada bukti SPPT nya, begitu juga sebaliknya.
Namun dapat dipastikan berdasarkan Buku C Desa tersebut, bahwa warga memiliki
tanah di daerah tersebut secara turun temurun. Di Desa Entak, belum ada warga yang
mempunyai sertifikat milik tanah.
Sekitar tahun 2002/2003, TNI pernah melakukan pengukuran di Jl. Daendels. Dimana
menurut Carik Desa Entak, hasil pengukuran ini kemudian menjadi peta yang dinyatakan
sebagai peta resmi oleh TNI.
Di tahun yang sama, TNI melalui Dislitbang yang berada di Desa Setrojenar membuat
perjanjian bersama dengan perangkat Desa Entak terkait dengan latihan militer yang
dilakukan oleh TNI. Adapun bunyi perjanjian tersebut antara lain :
• TNI akan memberikan pemberitahuan kepada pihak Desa untuk kemudian
disampaikan kepada masyarakat, setiap kali akan melakukan latihan;
• TNI akan memberikan ganti rugi atas kerugian yang di derita masyarakat sebagai
dampak dari latihan ujicoba senjata TNI.
Mengenai hal ini, katanya Carik Desa Entak, pernah mendapat ganti rugi dari TNI.
Sekitar akhir tahun 2006, TNI membangun menara pantau di wilayah Selatan Desa
Entak. Menara pantau dibangun diatas tanah yang memang tidak masuk ke dalam
“pemajekan”, namun secara produktif tetap diusahakan oleh masyarakat setempat.
Jumlah menara pantau yang ada, tidak diketahui dengan jelas, namun dari barat ke
timur wilayah Desa Entak tiap ± 100 m terdapat 1 menara pantau. Pendirian menara
pantau oleh TNI ini tidak pernah diberitahukan kepada pemerintah Desa Entak.
Kira-kira tanggal 15 Juni 2011, TNI mulai melakukan pendekatan kepada pihak
pemerintahan desa, dimana TNI meminta kepada para Kepala Desa di Kecamatan Ambal
untuk membubuhkan tandatangan sebagai bentuk persetujuan pemerintah desa
terhadap patok-patok yang sudah dibuat oleh TNI. Mengenai hal ini, informasi terakhir,
hanya tinggal Kepala Desa Entak yang belum memberikan tandatangannya untuk
menyatakan sah patok-patok yang dibuat oleh TNI, sebagai batas tanah Negara dengan
tanah masyarakat.
Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren
Pada sekitar tahun 1982 TNI AD membeli tanah di wilayah Desa Setrojenar dengan luas
200x100 m2 untuk keperluan pembangunan asrama TNI-AD. Bahwa tanah yang dibeli
tersebut terdiri dari sebagian tanah milik Desa dan sebagian tanah milik masyarakat.
Paska pembangunan asrama tersebut, TNI kemudian kembali mendirikan bangunan-
bangunan lainnya di atas tanah warga atas nama TNI-AD, seperti bangunan lantai 3 di
dekat pantai yang dijadikan sebagai Gedung Dislitbang TNI-AD (diatas tanah bersertifikat
Hak Milik warga, atas nama Pak Mihat), gedung tempat penempatan radar di sebelah
barat gedung lantai 3, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Tidak hanya indikasi penguasaan wilayah melalui pendirian-pendirian bangunan
sebagaimana dimaksud di atas. Lebih nyata, intervensi TNI-AD di wilayah pertanian
masyarakat terlihat dari adanya patok-patok yang dibuat oleh pihak TNI di atas tanah
milik warga. Mulanya patok tersebut dibuat dengan jarak ± 250 m dari air laut ke arah
Utara, kemudian mundur ke Utara lagi dengan jarak ± 500 m dari air laut, kemudian
munur ke Utara lagi dengan jarak ± 700 m dari air laut, dan yang terakhir, berjarak ±
1000 m dari air laut. Pematokan yang terakhir terjadi di tahun 2007. Patok tersebut
brtuliskan “TNI”. Pematokan-pematokan tersebut dilakukan secara sepihak oleh pihak
TNI-AD tanpa sekalipun melibatkan pihak Perangkat Desa Setrojenar dan warga pemilik
tanah.
Pada tahun 2009, warga Setrojenar di wilayah Urutsewu Selatan, melakukan aksi massa
pertama kali, sebagai bentuk perlawanan karena pemerintah desa dan masyarakat
merasa wilayahnya di “hak-i” oleh TNI. Aksi massa ini tidak hanya diikuti oleh
masyarakat Desa Setrojenar, tapi ada juga massa dari desa lainnya, seperti Desa
Bercong, Desa Entak dan FPPKS (organ yang dibentuk dengan maksud menjadi wadah
perjuangan bersama masyarakat Urutsewu Selatan, Kebumen).
Kira-kira tanggal 8 September 2011, Pak Muhari, dari Danramil Kodim, mendatangi
rumah Pak Kades, Desa Setrojenar untuk meminta persetujuan untuk melakukan
pengukuran.
Advokasi yang dilakukan
Advokasi Pidana terhadap 6 petani yang dikriminalisasi
No Tanggal Peristiwa Keterangan
1. 4 s/d 5-7-
2011
Persidangan
perdana (baca :
pembacaan
dakwaan)
kriminalisasi 6
petani Setrojenar
Senin, 4-9-2011, sidang atas nama Asmarun
dan Sutiono, yang didakwa dengan Pasal
170 ayat (1) KUHP Atau Pasal 351 KUHP ayat
(1) jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, karena
diduga telah melakukan penganiayaan
terhadap warga setempat, yang akan
mengantarkan konsumsi kepada personel
TNI AD yang sedang berlatih militer di Pantai
Bocor. Sidang dipimpin oleh Wakil
Pengadilan Negeri Kebumen, Surono SH.
Selasa, 5-9-2011, sidang atas nama Solekhan
Alias Lekhan Bin Sadimin, Mulyono Bin
Mihad, Adiwiluyo Bin Banjir dan Sobirin Alias
Birin Bin Wasijo yang didakwa dengan Pasal
170 ayat (1) dan Pasal 406 ayat (1) junto
Pasal 55 ayat (1), karena telah melakukan
pengrusakan terhadap gapuran Dislitbang
TNI AD Setrojenar. Sidang dipimpin oleh
Ketua Pengadilan Negeri, Hanoeng
Wijayanto.
2. 8-9-2011 Sidang putusan
pidana 6 petani
Setrojenar
Putusan atas 6 petani yang dikriminalisasi
dilakukan dalam 1 hari. Pagi untuk putusan
atas nama Terdakwa Asmarun dan Sutiono,
yang dikenakan hukuman 5 bulan dikurangi
masa tahanan. Siang untuk putusan atas
nama Terdakwa Solekhan Alias Lekhan Bin
Sadimin, Mulyono Bin Mihad, Adiwiluyo Bin
Banjir dan Sobirin Alias Birin Bin Wasijo,
yang dikenakan hukuman 6 bulan dikurangi
masa tahanan.
Ada kejanggalan dalam sidang yang kedua,
karena sebelum Hakim Ketua mengucap
kata-kata mengadili, dia diserahi kertas kecil
yang diduga disampaikan oleh orang dari
luar pengadlan. Setelah itu Hakim Ketua
sempat melakukan renvoi dalam
putusannya, baru kemudian melanjutkan
membaca putusan.
Sampai sekarang belum diketahui isi surat
tersebut.
3. 13-9-2011 Tim kuasa hukum
menerima release
pemberitahuan
JPU mengajukan
banding
Pihak Pengadilan mengantarkan release dari
Pengadilan mengenai pembertitahuan
bahwa JPU mengajukan banding atas nama
Terdakwa Asmarun dan Sutiono. Sedangkan
untuk Terdakwa Solekhan Alias Lekhan Bin
Sadimin, Mulyono Bin Mihad, Adiwiluyo Bin
Banjir dan Sobirin Alias Birin Bin Wasijo
menurut pihak Pengadilan, releasenya tidak
akan disampaikan kepada Tim Kuasa, karena
SK hanya sampai dengan putusan tingkat
pertama saja.
4. 16-9-2011 JPU
menyampaikan
memori banding
dan
memperpanjang
masa penahanan
Para Terdakwa
Tim jaksa penuntut umum mengajukan
banding terhadap keputusan majelis hakim
Pengadilan Negeri Kebumen pekan lalu. Tim
jaksa menilai keputusan hakim yang
menghukum terdakwa lima dan enam bulan
tidak memenuhi rasa keadilan.
Di samping itu juga JPU menyampaikan
perpanjangan penahanan atas nama
Terdakwa Asmarun dan Sutiono untuk
keperluan pemeriksaan di tingkat banding.
Padahal sebelumnya, Terdakwa Asmarun
dan Sutiono direncanakan akan dikeluarkan
pada tgl 18 atau 19 September 2011, karena
telah habis menjalani masa hukuman sesuai
putusan tingkat pertama.
Menyikapi persoalan ini, Tim Kuasa
berencana akan menyurati PT untuk
meminta segera mengeluarkan Para
Terdakwa terlebih dahulu karena telah
selesai menjalani hukuman.
Advokasi Pidana terhadap tindakan TNI yang dilaporkan oleh warga
5. 26-4-2011 Warga
melaporkan tindak
pidana yang
dilakukan oleh TNI
ke Polres
Kebumen
Sdr. Aris Irianto dan Sdr. Sadir melaporkan
dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh
TNI sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 170 KUHP subs 351 KUHP dan Pasal
170, yang kedua tercatat dalam Laporan
Nomor : LP/76/IV/2011/Jateng/Res Kbm.
6. 4-5-2011 Polres Kebumen
menyampaikan
SP2HP atas
laporan warga
Berdasarkan SP2HP dengan Nomor :
B/71/V/2011/Reskrim untuk Sdr. Aris Irianto
dan B/72/V/2011/Reskrim untuk Sdr. Sadir,
keduanya tertanggal 4 Mei 2011, pihak
Polres menyatakan bahwa Laaporan
keduanya telah dilimpahkan ke Sub Den
Pom IV/2-2 Purworejo yang keduanya
dengan Surat Nomor :
B/1105/IV/2011/Reskrim tertanggal 28 April
2011,
7. 31-5-2011 Tim Advokasi
menyurati Sub
Den Pom IV/2-2
Purworejo
Tim Advokasi mengirimkan Surat Nomor :
02/TAPUK/V/2011 tertanggal 31 Mei 2011
kepada Sub Den Pom IV/2-2 Purworejo
untuk meminta penjelasan perkembangan
penyelidikan korban penembakan,
penganiayaan dan pengrusakan sepeda
motor yang diduga dilakukan oleh TNI pada
tanggal 16 April 2011.
8. 13-6-2011 Tim Advokasi
menyurati Sub
Den Pom IV/2-2
Purworejo, untuk
kedua kalinya
Tim Advokasi mengirimkan Surat Nomor :
01/TAPUK/IV/2011 tertanggal 13 Juni 2011
kepada Sub Den Pom IV/2-2 Purworejo
tentang pemberitahuan kedatangan warga
yang menjadi korban penembakan,
penganiayaan dan pengrusakan sepeda
motor yang diduga dilakukan oleh TNI ke
Markas Sub Den Pom IV/2-2 Purworejo pada
tanggal 16 Juni 2011 guna meminta
penjelasan dan kepastian hukum.
9. 15-6-2011 Sub Den Pom IV/2-
2 Purworejo
menyampaikan
Surat kepada Tim
Advokasi
Dalam Suratnya Nomor : B/126/VI/2011,
tertanggal 15 Juni 2011, menyampaikan
bahwa menindaklanjuti kedua Surat yang
disampaikan oleh Tim Advokasi,
Danpomdam IV/Diponegoro bersedia
menerima perwakilan warga Urutsewu pada
hari Senin, 20 Juni 2011, do Ma Pomdam
IV/Diponegoro.
Terhadap Surat tersebut, Tim Advokasi dan
warga menyatakan keberatannya dan tidak
hadir dengan alasan, seharusnya pihak
Pomdam IV/Diponegoro yang turun ke
lokasi, bukan sebaliknya.
Advokasi Tanah
10. 6-1-2011 LBH Semarang Di dalam RTRW Provinsi Jateng, kawasan
mengajukan
gugatan RTRW
Provinsi Jawa
Tengah
Urutsewu Selatan, Kebumen ditetapkan
sebagai kawasan pertahanan dan
keamanan. Kawasan tersebut meliputi 15
Desa di Kecamatan Buluspesantren, Ambal
dan Mirit. Padahal di atas klaim RTRW jelas-
jelas terdapat tanah milik masyarakat yang
dtercatat di dalam Buku C Desa dan ada
yang telah bersertifikat.
Berdasarkan hal ini, beberapa perwakilan
mengajukan JR RTRW bersama-sama dengan
masyarakat di daerah lain, di Jawa Tengah
yang terkena dampak juga, di damping LBH
Semarang, YAPHI,dll.
Sampai hari ini, JR tersebut belum diketahui
hasil akhirnya.
11. 11-4-2011 Warga melakukan
pemukulan
kepada warga
Desa Ambalresmi,
Kec. Ambal
Warga yang kesal terhadap tingkah laku TNI,
melakukan pemukulan terhadap 2 orang
warga dari Kecamatan Ambal yang sengaja
datang ke Desa Setrojenar untuk
mengantarkan ransum makanan untuk TNI
yang sedang melakukan latihan.
Tragedy ini sangat disayangkan terjadi,
karena akhirnya menimbulkan konflik
horizontal di antara warga masyarakat
sendiri.
Setelah pemukulan itu, kemudian warga
melakukan pemblokiran di jalan yang
biasanya dilewati oleh TNI ketika hendak
berlatih.
12. 16-4-2011 Tindakan represif
TNI kepada warga
Pkl 09.30 WIB
Sekitar 30 orang warga yang tergabung
dalam Forum Paguyuban Petani Kebumen
Selatan mengadakan ziarah kubur ke makam
5 anak yang menjadi korban ledakan mortir
pada tahun 1997. Makam berada di dukuh
Godi, Desa Setrojenar, 400 meter dari
kantor TNI.
Pkl 12.00 WIB
TNI membongkar blokade yang dibuat oleh
warga. Blokade tersebut dibuat dari pohon
waru dan kayu-kayu di beberapa titik pada
tanggal 11 April 2011. Kebetulan TNI sedang
berlatih di Kecamatan Ambal, sekitar 800 m
dari Kecamatan Buluspesantren.
Pkl 12.30 – 14.00 WIB
Kemudian, sekitar 150 orang, terdiri dari
para petani yang pulang dari sawah, kembali
membangun blokade jalan di 4 titik jalan
menuju kompleks TNI.
Selanjutnya para petani bergerak ke arah
Utara, kemarahan mereka diwujudkan
dengan merusak gapura latihan tembak
yang terletak di samping Kecamatan
Buluspesantren.
Kemudian para petani bergerak ke Selatan,
menuju ke gudang senjata. Disana para
petani merusak pagar tembok bangunan
gudang peluru. Bangunan tersebut memang
dikenal sebagai tempat menyimpan peluru,
tetapi saat ini sudah tidak digunakan lagi
untuk simpan peluru. Setelah pagar ambruk,
warga membentangkan tali dadung,
mencoba membuat ambruk bangunan
dengan menarik atapnya dengan tali secara
beramai-ramai. Tetapi para petani tidak
kuat.
Aksi para petani kembali berlanjut dengan
mendobrak bangunan menara 3 lantai milik
TNI yang letaknya didekat Gudang peluru.
Menara tersebut sebenarnya dibangun
diatas tanah warga.
Pkl 14.00 – 15.00 WIB
Setelah itu, pra petani kemudian balik ke
arah Utara, kembali menyusuri jalan menuju
kecamatan. Ternyata di sisi Utara TNI sudah
berbaris, dengan seragam dan senjata
lengkap. Warga tetap tidak takut, dan
menganggap TNI tidak mungkin menyerang.
Antara warga dengan TNI saling berhadap-
hadapan. Sebagian warga kemudian
melakukan aksi diam dekat salah satu
blokade di Jalan Deandels.
Diluar dugaan, ternyata kemudian TNI
menyerbu ke arah warga dengan tembakan-
tembakan. Warga yang panik kemudian
tercerai berai lari
Selanjutnya terjadi aksi-aksi pemukulan oleh
para tentara. Tidak hanya sampai di situ, TNi
juga mengejar dan melakukan penyisiran
(sweping). Polisi berseragam tidak ada pada
saat terjadinya bentrokan. 14 orang menjadi
korban
dan 12 motor rusak-rusak dalam aksi brutal
tersebut. Belum lagi ditambah dengan
kerugian sawah dan tanaman warga.
Kerugian ditaksir mencapai 60 jutaan.
Disamping itu, TNI juga melakukan
penangkapan terhadap 7 orang warga dan
tokoh.
13. 17-4-2011 Petani
dikriminalisasi
Pkl 10.30 – 18.30 WIB
Polisi menangkap kembali 4 warga desa
Setrojenar diantaranya : Johan, Adi Wiluyo,
Solekhan dan Yono. Sehingga pada tanggal
17 April 2011 sudah 10 warga yang diperiksa
oleh Polisi.
Pkl 18.25 WIB
7 warga yang berstatus saksi diperbolehkan
untuk pulang, sedangkan 3 lainnya masih
diperiksa, Solekhan sudah dinyatakan
sebagai tersangka, sedangkan Adi Wiluyo
dan Yono statusnya menyusul tersangka dan
butuh pendampingan. Sementara ini masih
diupayakan lewat keluarga agar tim bantuan
hukum bisa masuk. Kemungkinan ke-3 nya
dikenai pasal 170 KUHP.
Perlakukan polres terhadap kawan-kawan
cukup baik, tetapi secara prosedur
hukumnya memang tidak begitu jelas. Sebab
6 warga sudah dimintai keterangan sejak 16
April 2011, status sebagai saksi dan bisa
pulang, tetapi diminta wajib lapor setiap hari
Senin dan Kamis.
14. 28-4-2011 Tim Advokasi
melakukan
audiensi di BPN
Kanwil Jateng
BPN Jawa Tengah dihadiri oleh kepala BPN
Kebumen, FPPKS, YLBHI-LBH Semarang, KPA.
Pihak BPN menyatakan bahwa TNI
mengklaim telah menggunakan kawasan
tersebut sebagai kawasan militer dengan
bukti peminjaman tanah dari desa untuk
kawasan latihan militer. BPN juga
menyatakan TNI belum memiliki hak atas
tanah. Dalam pertemuan tersebut
perwakilan masyarakat menyatakan
memiliki hak atas tanah karena disertai
oleh beberapa bukti warkah tanah.
15. 2-5-2011 Tim Advokasi
bersama warga
mengajukan bukti
kepemilikan tanah
ke BPN
Sejumlah warga Kebumen dengan
didampingi oleh Tim Advokasi menyerahkan
bukti kepemilikan sertifikat tanah kepada
Kanwil BPN Jawa Tengah. Bukti ini
memperkuat posisi warga secara hukum.
Paryono, salah seorang warga yang
memegang dokumen surat hak milik (HM)
atas tanah seluas 2,5 hektar, diminta
melakukan pendokumenan ulang, karena
sertifikat itu rusak dimakan rayap.
Menindaklanjuti hal tersebut, Kabid
Penyelesaian di BPN Jateng Endarto
menyatakan akan segera mengklarifikasi
kepemilikan tanah di Urutsewu.
16. 17-9-2011 TNI mengklaim
telah
mensertifikatkan
Lahan seluas 1.150 hektare di Urut Sewu,
Kebumen dengan nomor regristasi
30709034, dinyatakan oleh Pangdam IV
Diponegoro Mayjen TNI Ir Mulhim Asyrof
telah.
Nomor regristrasi tersebut termuat dalam
surat bernomor S-825/KN/2011 tertanggal
29 April 2011 yang dikeluarkan oleh
Kementerian Keuangan Republik Indonesia,
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara,
mengenai penelusuran data dokumen
tempat latihan uji coba senjata TNI AD di
Urut Sewu.
Dalam surat tersebut dijelaskan, lahan Urut
Sewu itu diperoleh dari peninggalan KNIL
tahun 1949. Dan, lahan tersebut barang
milik negara (BMN) karena telah terdaftar di
inventaris kekayaan negara (IKN)
Kemhan/TNI cq TNI AD Kodam IV
Diponegoro.
Nomor regristasi dimaksud, sesuai inventaris
barang Denzibang Yogyakarta 1 Januari 1993
dan telah dilaporkan oleh Kemhan/TNI
kepada Kementerian Keuangan pada saat
pelaksanaan rekonsiliasi dan pemutakhiran
data Barang Milik Negara (BMN)
semesteran/tahunan serta telah dilakukan
inventarisasi (IP) oleh KPKNL Purwokerto
pada tahun 2010.
17. 19-9-2011 Data dikirimkan ke
Usep Setiawan
(staff ahli Ka. BPN)
LBH Semarang pernah melakukan
komunikasi kepada Usep via telpon untuk
mempertanyakan status tanah yang diklaim
TNI di Kawasan Urutsewu, Kebumen
sebagaimana dimaksud dalam berita Suara
Merdeka, 17 sept 2011. Usep minta
dikirimkan bahan, sudah dikirim via email.
Namun sampai sekarang belum ada
konfirmasi apapun dari Usep.
18. 22-9-2011 Tim Advokasi
melalui LBH
Semarang
mengirimkan
Surat ke
Kementerian
Keuangan cq.
Dirjen KN
LBH Semarang mengirimkan Surat dengan
No. 217/SK/LBH SMG/IX/2011 tertanggal 23
september 2011 kepada Menteri Keuangan
cq. Dirjen Kekayaan Negara terkait
permohonan klarifikasi tentang Surat
Menteri Keuangan cq. Dirjen Kekayaan
Negara No. S-825/KN/2011 tertanggal 29
April 2011.
Sorenya Mas Seniman, Koordinator FPPKS,
juga warga dari Kaibonpetangkuran
menyampaikan informasi melalui telpon
bahwa di Desanya terdapat ± 20 warga yang
mengaku telah memiliki sertifikat HM yang
dikeluarkan sekitar tahun 1965. Namun
secara fisik baru 4 orang yang bisa
memperlihatkan sertifikatnya.
Agenda Advokasi
No Agenda PJ
1. Mengajukan banding LBH Semarang, PAKHIS, YAPHI
dan masyarakat
2. Mengajukan Surat untuk mengeluarkan Para
Terdakwa dari tahanan
LBH Semarang, PAKHIS, YAPHI
dan masyarakat
3. (rencana) aksi masa PAKHIS dan masyarakat
4. Mengajukan Gugatan ganti rugi kepada
Presiden RI cq, Pangdam IV Diponegoro
YAPHI
5. Membuat Surat Pernyataan Bersama warga
dan Pemerintah Desa untuk penolakan
pengukuran tanah oleh TNI dan BPN, dan
menolak klaim TNI di atas tanah Urutsewu
Selatan
LBH Semarang dan perwakilan
masyarakat di masing-masing
Desa (Entak, Setrojenar,
Bercong, Petangkuran)
6. Pendampingan warga untuk memperbaiki PAKHIS dan perwakilan
sertifikat tanahnya masyarakat
7. Pendampingan warga untuk meminta Surat
Riwayat Tanah ke Desa
PAKHIS dan perwakilan
masyarakat di masing-masing
Desa (Entak, Setrojenar,
Bercong, Petangkuran)
8. Pendokumentasian data sertifikat dan Letter C
milik warga
PAKHIS dan perwakilan
masyarakat
9. Audiensi dengan Kanwil BPN Jateng +
pengawalan sertifikasi oleh TNI
LBH Semarang dan perwakilan
masyarakat
10. Audiensi dengan BPN Pusat + pengawalan
sertifikasi oleh TNI
YLBHI, LBH Semarang dan
perwakilan masyarakat
11. Audiensi dengan Komisi I dan II DPR RI YLBHI, LBH Semarang dan
perwakilan masyarakat
12. Pengawalan proses IKN di Kementerian
Keuangan cq. Dirjen Keuangan
YLBHI dan LBH Semarang
17. Konflik Agraria Pidik, Wonosari, Kendal
Posisi Kasus
Asal mula terjadinya konflik pengelolaan hutan di Desa Pidik dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Menurut penuturan salah satu warga yaitu Mbah Surat, dahulu pada sekitar tahun
1921-1922 Mantri Ragel meminjam tanah yang digarap warga untuk ditanami Jati
selama 1 kali panen karena dalih warga tidak mampu membayar upeti/ pajak.
Pada masa Orde Lama tahun 1945-1960-an, warga berharap tanahnya masih dapat
kembali, namun keadaan paska kemerdekaan tidak berpihak pada warga dukuh Pidik.
Sebagai penerus pemerintah Hindia-Belanda, negara juga tidak memberi ijin kepada
warga untuk memiliki hak.
Pada masa Orde Baru, ketika pengelolaan hutan diserahkan kepada Perhutani. Dibawah
penguasaan lahan oleh Perhutani, warga berharap dapat memperoleh tanahnya
kembali. Namun kembali warga harus gigit jari karena harapan itu juga tidak kunjung
ada terlebih situasi pada saat orde baru juga mempengaruhi. Warga tidak berani protes,
apalagi meminta haknya kembali. Kondisi ini terus berlanjut, sampai habis masa panen
jati pertama. Perhutani secara penuh masih menguasai lahan yang dahulu milik warga.
Padahal sesuai perjanjiannya sudah 60-tahun berlalu dan seharusnya sesuai perjanjian
tanah warga dikembalikan.
Sampai dengan Tahun 1998-2000 atau masa Reformasi, pada situasi ini warga kemudian
berani menebang kayu di hutan. Runtuhnya rezim orde baru juga menumbuhkan
semangat kembali buat warga untuk menuntut kembali tanahnya. Untuk meredam
gejolak warga, Perhutani meminta warga menjadi buruh tanam pohon jati. Dengan
menanam pohon jati, warga diberi upah. Selian itu, Perhutani mengambil kebijakan
system buka-tutup hutan. Selama kurun waktu ini, warga kadang-kadang diperbolehkan
menggarap dan kadang juga tidak diperbolehkan menggarap. Selama kurun waktu ini
juga warga masih belum mendapatkan kembali tanahnya.
Kini, tepat sudah sembilah puluh tahun terhitung sejak tahun 1921 tanah itu tidak dapat
dimiliki kembali warga Pidik. Padahal, berdasarkan pinjaman mantri Ragil atas
persetujuan lurah [pak Sawon] dan carik [Mugiyo], “disileh sepisan panen jati”. Sekarang
lebih kurang 20 Ha. Tanah dinyatakan sengketa oleh warga, meskipun keterangan
sesepuh desa ‘pemerintah’ meminjam tanah warga lebih dari 55 Ha. Namun pihak
perhutani bergeming, dan seolah-olah tidak tahu dan menganggap tidak pernah terjadi
apa-apa di desa Wonosari. Dengan pedoman peta tahun 1942 dari pemerintah Hindia-
Belanda, Perhutani masih menanami tanah warga dengan Jati.
Bantuan Hukum Yang Diberikan
Atas kasus ini LBH Semarang menyampaikan ke Perhutani. Setelah laporan tersebut,
Perhutani kemudian menyelenggarakan pertemuan dan kemudian LBH Semarnag dan
Perhutani Unit I Jawa Tengah bersepakat bahwa kasus ini harus diselesaikan. Kasus ini
juga dijadikan contoh penyelesaian kasus melalui mekanisme MoU.
Setelah pertemuan tersebut kemudian disepakati akan ada pertemuan yang lebih besar
menghadirkan petani hutan dukuh pidik, desa Wonosari di KPH Kendal. Dalam
pertemuan tersebut disepakati bahwa wargadiperbolehkan untuk tetap menggarap dan
sudah tidak ada lagi pungutan. Jika ada, dapat langsung dilaporkan dan akan segera
ditindaklanjuti. Namun, khusus untuk persoalan klaim lahannya mengingat kondisi ini
juga sudah lama, maka belum bisa diselesaikan.
18. Konflik Agraria di Kaliputih dan Banyuringin, Kendal
Posisi Kasus
Sebelum tahun 1940, warga dusun kalidapu Desa Kaliputih, Kec.Singorojo, Kab. Kendal,
yang berjumlah kurang lebih 100KK secara gotong royong bahkan ada juga yang
diburuhkan untuk membuka hutan. Mengingat pohon yang tumbuh di alas besar-besar
dan keras, maka untuk membuka hutan memerlukan waktu lama, setelah berhasil
membuka hutan, gangguan tetap saja datang, karena tanah merupakan bekas hutan
maih saja ada hewan liar seperti celeng, ular atau kera yang merusak tanaman yang
ditanam warga atau bahkan melukai warga.
Lambat laun tanah menjadi tanah pertanian yang subur ditanami dengan ketela, jagung,
pisang, padi gogo. Hutan yang dibuka oleh warga kurang lebih seluas 80 Ha mulai dari
Giri salam, Cilapar, kedung Bogor, Kedung Kendil sampai Munggang. Saat itu ada tugu
yang dianggap sebagai tanda batas.
Hal tersebut berlangsung terus hingga memasuki tahun 1956. Saat itu warga dusun
Kalidapu, Desa Kaliputih sebagai penggarap lahan dikumpulkan oleh perangkat desa
setempat di Kebon setro dengan Lurah Bpk.Repan, Cariknya Bpk Sutarman, Kaur
Keamanannya Bpk. Kerto Redjo dan sindernya Suwandi serta para mandor dari PTP XVIII
Kebun Merbuh (sekarang berubah menjadi PTPN IX Persero) diajak untuk mengukur
tanah masing-masing yang digarap guna dibuatkan Pethuk (letter D) dengan biaya
perorang Rp.5,-, namun setelah tanah diukur, Letter D yang dijanjikan tak kunjung
sampai ke Dusun kalidapu, dsa Kaliputih, namun meskipun demikian warga ttap
menggarap lahan sebagaimana biasanya.
Tahun 1957, setengah tahun dari peristiwa dikurnya lahan, warga kembali dikumpulkan
oleh Sinder Suwandi, kali ini mereka diminta untuk membubuhkan cap jempol diatas
kertas merah dengan alsan akan dibagikan Letter D-nya. Saat menerima kertas merah
tersebut, warga dilarang untuk membuka kertas merah tersebut dengan ancaman
sanksi jika dibuka akan mendapatkan hukuman, kontan saja warga menurut karena
ketakutan. Sesampainya dirumah mereka (sebagian besar warga buta huruf) meminta
tolong kepada warga yang bisa membaca yaitu naim (meninggal dunia) dan Pahrojin
(transmigrasi ke jambi). Terkejutlah mereka saat mengetahui ternyata kertas merah
tersebut berisikan mengenai pencabutan tanah warga. Setelah kejadian itu, warga diusir
dari tanahnya, lalu tanah dihancurkan dan diganti dengan tanaman karet. Akhirnya sejak
tahun 1957 warga tidak bisa menggarap lahannya lagi.
Bantuan Hukum Yang Diberikan
Kasus ini telah didampingi LBH Semarang sudah sejak lama. Bahkan terakhir, warga
digugat oleh PTPN IX Kebun Merbuh, Kendal. Sampai dengan proses Kasasi akhirnya
warga dimenangkan oleh Mahkamah Agung. Kemenangan ini menjadikan warga
diperbolehkan untuk menggarap lahan. Namun untuk memiliki lahan tersebut warga
harus mengupayakan lagi dengan meminta pelepasan aset ke Kementerian BUMN.
Melalui LBH Semarang warga kemudian membuat surat permohonan pelepasan aset,
namun sampai dengan saat ini belum mendapatkan jawaban dari kementerian BUMN.
19. Konflik Tanah di Pundenrejo, Pati
Posisi Kasus
Tanah yang dahulu merupakan tanah garapan warga dan masyarakat setempat, pada
tahun 1907 dikelola oleh Belanda. Kemudian setelah Belanda meninggalkan Indonesia,
tanah beralih penguasaan kepada seorang Tionghoa bernama Oei Tiong Ham dan
keluarga. Pada masa nasionalisasi tanah tersebut ternyata diberikan kepada PT.
Bapipundip yang berada dibawah Kodam VII Diponegoro. Namun penggunaan HGB tidak
sesuai untuk peruntukkannya, seharusnya berdasar ijin peruntukkan diatas tanah
tersebut didirikan bangunan, namun tanah malah ditelantarkan dan tidak dibangun apa-
apa. Begitu juga ketika tanah dialihkan kekuasaannya kepada PT.Rajawali dan PT.Laju
Perdana Indah, mereka tetap saja menelantarkan tanah tersebut.
Warga yang sangat membutuhkan lahan garapan dan pemukiman tambaha akhirnya
bangkit melakukan aksi reklaiming. Akibat tindakan ini, 3 orang warga dipanggil oleh
Polsek Tayu dan diperiksa oleh Polsek Tayu, Pati.
Bantuan Hukum Yang Diberikan :
Sudah sejak tahun 2003, 132 warga dusun Pule dan Jering, Desa Pundenrejo, Kecamatan
Tayu, Kabupaten Pati didampingi oleh LBH Semarang. Warga menuntut agar lahan yang
sekarang menjadi milik PT. Laju Perdana Indah diserahkan kepada warga untuk dapat
digarap. Terakhir LBH semarang mengupayakan kepada BPN untuk menyelenggarakan
Mediasi. Dalam proses mediasi ternyata belum membuahkan hasil.
C. Bantuan Hukum Struktural melalui jalur Litigasi
1. Kriminalisasi Petani Pundenrejo, Pati
Posisi Kasus
Tanggal 23 November 2011, 3 (tiga) petani Pundenrejo Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati di
panggil oleh Polsek Tayu. Mereka bertiga diperiksa sebagai SAKSI dalam perkara dugaan tindak
pidana larangan pemakaian tanah tanpa seijin yang berhak/kuasanya yang terjadi pada tahun
2011 di Desa Pundenrejo Kecamatan Kabupaten Pati, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) huruf a jo. Pasal 2 UU No. 51/Prp/1960 di Kepolisian Sektor Tayu.
Bantuan Hukum Yang Diberikan :
Setelah hadir di Kantor Polsek Tayu dan bertemu dengan Kanit Reskrim Polsek Pati, ketiga
petani yang di dampingi Penasihat Hukum dari YLBHI-LBH Semarang menjelaskan kronologis
dan akar permasalahan kasus ini. Pihak Kepala Unit Reskrim Polsek Tayu pada hari itu juga
berinisiatif memanggil menejemen PT. LPI untuk di dengar keteranganya. Setelah melalui
diskusi dan perdebatan yang panjang antara manajemen PT. LPI dan Penasihat Hukum, maka di
sepakati untuk pemeriksaan atau proses selanjutnya adalah menunggu hasil mediasi yang akan
di mediatori oleh BPN Kab. Pati. Mediasi ini akan dihadiri oleh Petani penggarap dan PT.LPI.
2. Kriminalisasi Petani Urutsewu, Kebumen
Posisi Kasus
Tanggal 4 Juli 2011 dan 5 Juli 2011 sidang kriminalisasi 6 (enam) orang petani Urutsewu
Kebumen dimulai dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dari
6 (enam) orang petani ini JPU mendakwa dengan dakwaan yang berbeda. Untuk
terdakwa Asmarun Als Lubar Bin Jaswadi dan Sutriono Als Godreg Bin Lamija didakwa
telah melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP Atau Pasal 351 KUHP ayat (1) jo. Pasal 55
ayat (1) ke 1 KUHP karena diduga telah melakukan penganiayaan terhadap warga yang
mengantarkan ransum untuk latihan TNI. Sedangkan untuk Solekhan Als Lekhan Bin
Sadimin, Mulyono Bin Mihad, Adi Wiluyo Bin Banjir, Sobirin Als Birin Bin Wasijo dan
didakwa telah melanggar Pasal 170 ayat (1) KUH Pidana atau Pasal 406 ayat (1) KUH
Pidana jo Pasal 55 ayat (1) KUH Pidana karena diduga telah melakukan perusakan
gapura yang menuju ke lapangan uji coba TNI AD.
Bantuan Hukum Yang Diberikan
Bersama dengan LPH YAPHI dan LBH PAKHIS, LBH Semarang menjadi Kuasa Hukum ke
enam Terdakwa. Setelah melalui proses persidangan yang panjang, akhirnya pada
tanggal 8 September 2011, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kebumen membacakan
putusan terhadap para Terdakwa. Putusan tersebut dibacakan pada sidang yang
terpisah.
Dalam sidang pertama dengan agenda pembacaan putusan terhadap terdakwa Asmarun
Als Lubar Bin Jaswadi dan Sutriono Als Godreg Bin Lamija, Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Kebumen yang di pimpin Ketua Majelis Hakim Surono, SH, dengan anggota
Majelis Hakim Sutikno, SH dan Lies Susilowati, SH menjatuhkan vonis pidana penjara
selama 5 bulan di potong masa tahanan karena para terdakwa telah dianggap terbukti
melakukan penganiayaan terhadap warga yang hendak mengantarkan ransum makan
latihan perang TNI pada tanggal 11 Maret 2011.
Kemudian dalam sidang kedua dengan agenda pembacaan putusan terhadap terdakwa
Solekhan Als Lekhan Bin Sadimin, Mulyono Bin Mihad, Adi Wiluyo Bin Banjir, Sobirin Als
Birin Bin Wasijo, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kebumen yang di pimpin Ketua
Majelis Hakim Hanoeng Widjajanto, SH, dengan anggota Majelis Hakim Safrudin, SH,
dan Febrian Ali, SH, menjatuhkan vonis pidana penjara selama 6 bulan dipotong masa
tahanan karena para terdakwa dianggap telah terbukti melakukan perusakan terhadap
gapura milik TNI AD.
Putusan Majelis Hakim terhadap para Terdakwa jelas telah mencederai nilai-nilai
keadilan. Dimana seharusnya hukum itu menjadi alat pelindung bagi masyarakat kecil,
dan bukan sebaliknya hukum menjadi alat penindas bagi masyarakat kecil yang sedang
memperjuangkan tanahnya dari pencaplokan oleh TNI. Hukum bagaikan pisau yang
terlihat sangat tajam ketika harus menyentuh kebawah (masyarakat kecil) sementara
tumpul ketika keatas.
“Majelis Hakim telah mengesampingkan fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan. Dimana fakta persidangan mengungkapkan bahwa peristiwa perusakan
gapura milik TNI AD dan penganiayaan warga yang mengantar ransum makanan untuk
latihan perang TNI merupakan kejadian/peristiwa yang tidak berdiri sendiri. Ada unsur
sebab akibat yang melatar belakanginya sehingga terdakwa secara spontan melakukan
tindakan tersebut. Hal lain juga disebabkan karena adanya provokasi secara aktif dari
TNI yang melakukan latihan perang di daerah Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren,
Kabupaten Kebumen meski warga secara tegas menolak adanya latihan perang
tersebut.”
“fakta persidangan juga terungkap adanya dugaan rekayasa berupa kriminalisasi
terhadap para petani Desa Setrojenar. Hal ini dapat dilihat mulai dari BAP Penyidik
Kepolisian Resort Kebumen, yang menyatakan bahwa para Terdakwa telah didampingi
oleh Pengacara/ Penasehat Hukum sejak awal pemeriksaan, padahal faktanya para
Terdakwa tidak pernah didampingi ketika Penyidikan. Selain itu, BAP pemeriksaan saksi
juga dibuat sebelum adanya laporan kepada Polisi terkait tindak pidana yang dilakukan
para terdakwa. Meski demikian, BAP tersebut tetap dijadikan landasan JPU dalam
menyusun surat dakwaan” .
3. Buruh KKCN
Posisi Kasus
Kasus ini sebetulnya kasus lama namun yang akan disampaikan adalah berkaitan dengan
kelanjutan upaya-upaya yang dilakukan sebelumnya. Untuk mengulas kembali, awal
kasus ini adalah bermula ketika Bank CIMB Niaga mengambil buruh yang dipekerjakan
sebagai satpam dari Koperasi Karyawan Citra Niaga (Outsourching). Selanjutnya pada
tahun 2008 terjadi beberapa pembicaraan antara pihak buruh (mewakili buruh se-Kota
Semarang dan Salatiga berjumlah 31 buruh) dengan Koperasi Karyawan Citra Niaga,
terkait kelebihan jam kerja, upah lembur dan tunjangan prestasi, persoalan Iuran
jamsostek (terdapat selisih pembayaran iuran jamsostek) dan kesejahteraan buruh.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh buruh tersebut justeru akhirnya berujung pada PHK
Bantuan Hukum:
YLBHI-LBH Semarang melakukan pendampingan terhadap 2 (dua) buruh dengan
melanjutkan proses gugatan di PHI baik tingkat pertama, banding maupun kasasi.
Sampai dengan tahun 2011, bahkan sampai dengan saat ini prosesnya masih di Tingkat
Kasasi. Penerima manfaat dari advokasi yang diberikan YLBHI-LBH Semarang adalah 2
(dua) orang.
4. Buruh UD. Naga Mas
Posisi Kasus
Sama dengan Kayawan Koperasi Citra Niaga, Kasus buruh Nagamas juga merupakan
kasus lanjutan dimana sampai dengan saat ini belum selesai. Kurang lebih posisi
kasusnya adalah sebagai berikut : enam orang buruh melakukan perjanjian kerja tidak
tertulis, dengan upah dibawah ketentuan Upah Minimum dan tidak didaftarkan pada
program Jamsostek.
Mereka beberapa kali mengajukan keberatan kepada UD. NAGAMAS, akan tetapi tidak
pernah ditanggapi. Karena tidak ada itikad untuk membayarkan upah sesuai dengan
upah minimum, maka pada tanggal 10-11 Februari 2009 secara spontan 2 (dua) orang
buruh melakukan mogok kerja untuk menuntut pembayaran upah sesuai dengan upah
minimum Pada tanggal 12 Februari 2009 Buruh kembali menemui UD NAGAMAS, akan
tetapi UD NAGAMAS tetap tidak mau memenuhi tuntutan tersebut.
Upaya yang dilakukan LBH Semarang
Banyak upaya telah dilakukan keenam burh UD Nagamas, hingga akhirnya gugatan
diajukan, namun sampai dengan gugatan diajukan tidak pernah ada persetujuan atau
kesepakatan tentang PHK. Sampai dengan saat ini prosesnya sudah sampai di Tingkat
Kasasi. Penerima manfaat dari advokasi yang diberikan YLBHI-LBH Semarang adalah 6
(enam) orang.
5. Pabrik Semen, Pati (Kasus PT. SMS)
Posisi Kasus
Pemerintah Kabupaten Pati melalui Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu telah
mengeluarkan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi untuk PT. SMS pada tanggal 8
Agustus 2011. IUP tersebut meliputi IUP Nomor : 545/003 Penambangan Mineral bukan
Logam (Tanah Liat) di areal lahan seluas 663 hektar yang terdapat di 4 Desa yang ada di
Kecamatan Tambakromo yaitu Desa larangan, Desa Maitan, Desa Pakis, Desa Wukirsati.
Selain itu IUP Nomor : 545/004 Penambangan Mineral bukan Logam (Batu Gamping) di
areal lahan seluas 2.025 hektar yang terdapat di Desa Brati, Desa Sumbersari, Desa
Purwokerto (Kecamatan Kayen) dan Desa Larangan, Desa Keben, Desa Maitan, Desa
Pakis, Desa Karangawen, Desa Mojomulyo dan Desa Wukirsari (Kecamatan
Tambakromo).
Ekslporasi tersebut bertujuan untuk memproduksi semen. PT.SMS yang mendapatkan
ijin eksplorasi merupakan anak perusahaan dari PT. Indocement Tbk, yaitu salahsatu
perusahaan produsen semen di Indonesia.
Warga dari 2 Kecamatan yang daerahnya masuk dalam Ijin Ekslporasi menolak rencana
tersebut. Warga yang menolak tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli
Pegunungan Kendeng (JM-PPK). Alasan JMPPK menolak rencana tersebut karena
menganggap rencana eksplorasi tersebut berpotensi merusak lingkungan, khususnya
sumber mata air yang ada di wilayah pegunungan kendeng. Mata air pegunungan
kendeng merupakan sumber air yang selama ini digunakan warga untuk keperluan
sehari-hari dan pertanian.
Upaya yang dilakukan LBH :
Kasus ini hampir sama dengan yang terjadi di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati,
dimana sebelumnya JMPPK juga menolak rencana eksplorasi yang akan dilakukan oleh
PT.Semen Gresik Tbk. Dalam kasus ini LBH masih membangun komunikasi dan ikut
dalam pertemuan dengan JMPPK dan jaringan-jaringan kerja lainnya seperti SHEEP, LPH
YAPHI, Desantara dll, hal ini dilakukan untuk memperkuat gerakan penolakan atas
rencana Eksplorasi yang akan dilakukan oleh PT.SMS.
Pertemuan terakhir dilakukan pada tanggal 12 Desember 2011 di Kudus, dimana
perwakilan yang hadir saat itu adalah SHEEP, LBH Semarang dan LPH YAPHI. Pertemuan
tersebut merekomendasikan agar ada upaya keberatan yang dilakukan oleh warga
terhadap IUP yang telah dikeluarkan oleh Pemkab Pati, hal ini perlu dilakukan sebagai
prosedur jika kemudian akan dilakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) untuk membatalkan IUP tersebut. Sementara LBH Semarang dan LPH YAPHI
mempersiapkan diri untuk menjadi kuasa hukum jika nantinya gugatan dilakukan.
6. Kriminalisasi Pedagang Pasar Rejowinangun
Posisi Kasus :
Beberapa tahun yang lalu pasar Rejowinangun di kota Magelang terbakar. Setelah
terbakar, pemerintah kota Magelang tidak kunjung membangun kembali pasar
Rejowinangun. Nasib pedagang korban kebakaran kemudian harus menempati tempat
relokasi yang sangat tidak layak untuk berjualan.
Melihat kondisi yang seperti ini akhirnya pada tanggal 10 Oktober 2011, sdr Heri
bersama dengan pedagang pasar Rejowinangun kemudian melakukan audiensi dengan
DPRD kota Magelang. Audiensi ini ditujukan untuk meminta dukungan soal hak
pedagang yang terabaikan oleh pemkot dan investor selaku pihak yang akan
membangun pasar. Akan tetapi tidak ada respon dari DPRD, hingga akhirnya pedagang
berinisiatif untuk mendatangi investor sekaligus melakukan audiensi dengan PT. Putra
Wahid selaku pihak yang akan membangun pasar. Bukannya dapat beraudiensi, tetapi
justru sampai di kantor pemasaran PT.Putra Wahid, ternyata kantor sudah tutup.
Padahal seharusnya masih jam kantor. Selain itu, tidak ada pula perwakilan perusahaan
yang bersedia menemui. Mengingat tidak ada itikad baik dari perusahaan maka seluruh
pedagang dengan spontan melakukan penyegelan terhadap kantor pemasaran tersebut.
Setelah penyegelan tersebut, ternyata karyawan PT Putra Wahid melaporkan sdr Heri
Setiawan selaku ketua Paguyuban Pedagang Pasar Rejowinangun Magelang (P3RM) dan
Slamet Widodo selaku Sekretaris P3RM kepada Kepolisian Resort Kota Magelang dengan
tuduhan perbuatan tidak menyenangkan atau dituduh telah melakukan tindak pidana
sesuai dengan pasal 335 KUHP.
Atas laporan kepada pihak kepolisian tersebut, akhirnya pada tanggal 1 November 2011
dibentuklah Tim Advokasi Pedagang Pasar Rejowinangun Magelang. Tim ini terdiri dari
LBH Semarang dan LSM di Kota Magelang.
Bantuan Hukum Yang Diberikan : (Litigasi)
Setelah menerima pengaduan bahwa ada kriminalisasi 2 (dua) orang pedagang pasar
Rejowinangun Magelang, maka LBH Semarang diminta untuk menjadi Kuasa hukum
pedagan. Pada tanggal 2 November 2011 di tandatangai Surat Kuasa antara Pedagang
sebagai pemberi kuasa dan LBH Semarang sebagai penerima kuasa. Sebagai kuasa
hukum pedagang, tanggal 3 November 2011 LBH Semarang mendampingi 2 (dua)
Pedagang yang dikriminalisasi untuk proses penyidikan di Kepolisian Resort Kota
Magelang sebagai Tersangka.
Pada tanggal 13 Desember 2011 Tim Kuasa Hukum LBH Semarang bersama Pedagang
dan Tim Advokasi Pedagang Pasar Rejowinangun Magelang diundang oleh Kepolisian
Resort Kota Magelang untuk melakukan mediasi dengan pihak pelapor yaitu PT Putra
Wahid. Dalam mediasi tersebut akhirnya disepakati bahwa PT.Putra Wahid akan
mencabut laporan polisi nomor polisi : LP/82/X/Jateng/2011/Res.Mgl.Kota tertanggal 10
Oktober 2011.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan catatan diatas, dapat disimpulkan bahwa sepanjang 2011, LBH Semarang
telah melakukan pemberian Bantuan Hukum, dengan total penerima manfaat sebanyak
8.220 orang, dimana untuk Bantuan Hukum Struktural sebanyak 6.784 orang dan
Layanan Hukum sebanyak 1.436 orang.
Selain itu, sebanyak 8.220 orang tidak mendapat akses Bantuan Hukum dari negara dan
Pelanggaran HAM Di 4 sektor yaitu Buruh, Petani, Komunitas Miskin Perkotaan,
Nelayan dan Masyarakat Korban Lingkungan. Pelanggaran Ham tersebut terjadi baik
terhadap Hak Sipol (Hak Atas Bantuan Hukum) dan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
B. Rekomendasi
Jika dlihat dari konteks Konvenan Internasional Hak-hak Sipil Politik yang telah
diratifikasi melalui Undang-undang No.12 Tahun 2005 khususnya Pasal 14 ayat (3) huruf
d menyebutkan:
“Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas
jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh : d. ... untuk
mendapatkan bantuan hukum demi kepentingan keadilan ...”
Sementara berdasarkan Undang-undang No. 16 tahun 2011 terutama tentang
Bantuan Hukum sebagaimana disebutkan dalam :
� Pasal 1 : “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan
Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum”
� Pasal 4
Ayat 1 : “Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang
menghadapi masalah hukum”.
Ayat 2 : “Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi masalah
hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi”.
Ayat 3 : “Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum”.
Sehingga berdasarkan uraian tersebut maka, YLBHI-LBH Semarang mendesak kepada
negara hal-hal sebagai berikut :
� Mengingat Hak atas bantuan hukum adalah bagian dari HAM (Hak Sipol), sehingga
menjadi kewajiban Negara dalam pemenuhan hak-hak Sipol secara mutlak dan harus
segera dilaksanakan (immediately)
� Kewajiban Negara terhadap Undang-undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum juga harus segera di laksanakan dengan melakukan pembentukan beberapa
peraturan pelaksana Undang-undang No. 16 tahun 2011.
Lampiran
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2011
TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Menimbang:
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA, a. bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk
mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia;
b. bahwa negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan;
c. bahwa pengaturan mengenai bantuan hukum yang diselenggarakan oleh negara harus berorientasi pada terwujudnya perubahan sosial yang berkeadilan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Bantuan Hukum;
Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H
ayat (2), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG BANTUAN HUKUM.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan
Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.
2. Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin.
3. Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
5. Standar Bantuan Hukum adalah pedoman pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum yang ditetapkan oleh Menteri.
6. Kode Etik Advokat adalah kode etik yang ditetapkan oleh organisasi profesi advokat yang berlaku bagi Advokat.
Pasal 2 Bantuan Hukum dilaksanakan berdasarkan asas: a. keadilan;
b. persamaan kedudukan di dalam hukum;
c. keterbukaan;
d. efisiensi;
e. efektivitas; dan
f. akuntabilitas. Pasal 3
Penyelenggaraan Bantuan Hukum bertujuan untuk: a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk
mendapatkan akses keadilan;
b. mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum;
c. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan
d. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.
BAB II RUANG LINGKUP Pasal 4
(1) Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang menghadapi masalah hukum.
(2) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi.
(3) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.
Pasal 5 (1) Penerima Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri.
(2) Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.
BAB III PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM Pasal 6 (1) Bantuan Hukum diselenggarakan untuk membantu penyelesaian
permasalahan hukum yang dihadapi Penerima Bantuan Hukum.
(2) Pemberian Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas: a. menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan Bantuan Hukum;
b. menyusun dan menetapkan Standar Bantuan Hukum berdasarkan asas-asas pemberian Bantuan Hukum;
c. menyusun rencana anggaran Bantuan Hukum;
d. mengelola anggaran Bantuan Hukum secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel; dan
e. menyusun dan menyampaikan laporan penyelenggaraan Bantuan Hukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada setiap akhir tahun anggaran.
Pasal 7 (1) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3),
Menteri berwenang:
a. mengawasi dan memastikan penyelenggaraan Bantuan Hukum dan pemberian Bantuan Hukum dijalankan sesuai asas dan tujuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini; dan
b. melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan untuk memenuhi kelayakan sebagai Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Untuk melakukan verifikasi dan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Menteri membentuk panitia yang unsurnya terdiri atas:
a. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia;
b. akademisi;
c. tokoh masyarakat; dan
d. lembaga atau organisasi yang memberi layanan Bantuan Hukum. (3) Verifikasi dan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan setiap 3 (tiga) tahun. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara verifikasi dan akreditasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IV PEMBERI BANTUAN HUKUM Pasal 8
(1) Pelaksanaan Bantuan Hukum dilakukan oleh Pemberi Bantuan Hukum yang telah memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Syarat-syarat Pemberi Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. berbadan hukum;
b. terakreditasi berdasarkan Undang-Undang ini;
c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
d. memiliki pengurus; dan
e. memiliki program Bantuan Hukum.
Pasal 9 Pemberi Bantuan Hukum berhak:
a. melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum;
b. melakukan pelayanan Bantuan Hukum;
c. menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum;
d. menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini;
e. mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain, untuk kepentingan pembelaan perkara; dan
g. mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan selama menjalankan pemberian Bantuan Hukum.
Pasal 10 Pemberi Bantuan Hukum berkewajiban untuk:
a. melaporkan kepada Menteri tentang program Bantuan Hukum; b. melaporkan setiap penggunaan anggaran negara yang digunakan untuk
pemberian Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini; c. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Bantuan Hukum bagi
advokat, paralegal, dosen, mahasiswa fakultas hukum yang direkrut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a;
d. menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh dari Penerima Bantuan Hukum berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang; dan
e. memberikan Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum berdasarkan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sampai perkaranya selesai, kecuali ada alasan yang sah secara hukum.
Pasal 11 Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat.
BAB V HAK DAN KEWAJIBAN PENERIMA BANTUAN HUKUM
Pasal 12 Penerima Bantuan Hukum berhak:
a. mendapatkan Bantuan Hukum hingga masalah hukumnya selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama Penerima Bantuan Hukum yang bersangkutan tidak mencabut surat kuasa;
b. mendapatkan Bantuan Hukum sesuai dengan Standar Bantuan Hukum dan/atau Kode Etik Advokat; dan
c. mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13 Penerima Bantuan Hukum wajib:
a. menyampaikan bukti, informasi, dan/atau keterangan perkara secara benar kepada Pemberi Bantuan Hukum;
b. membantu kelancaran pemberian Bantuan Hukum. BAB VI
SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM Pasal 14
(1) Untuk memperoleh Bantuan Hukum, pemohon Bantuan Hukum harus memenuhi syarat-syarat:
a. mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan Bantuan Hukum;
b. menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan c. melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat
yang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum. (2) Dalam hal pemohon Bantuan Hukum tidak mampu menyusun permohonan
secara tertulis, permohonan dapat diajukan secara lisan. Pasal 15
(1) Pemohon Bantuan Hukum mengajukan permohonan Bantuan Hukum kepada Pemberi Bantuan Hukum.
(2) Pemberi Bantuan Hukum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan Bantuan Hukum dinyatakan lengkap harus memberikan jawaban menerima atau menolak permohonan Bantuan Hukum.
(3) Dalam hal permohonan Bantuan Hukum diterima, Pemberi Bantuan Hukum memberikan Bantuan Hukum berdasarkan surat kuasa khusus dari Penerima Bantuan Hukum.
(4) Dalam hal permohonan Bantuan Hukum ditolak, Pemberi Bantuan Hukum mencantumkan alasan penolakan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian Bantuan Hukum diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII PENDANAAN Pasal 16
(1) Pendanaan Bantuan Hukum yang diperlukan dan digunakan untuk penyelenggaraan Bantuan Hukum sesuai dengan Undang-Undang ini dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Selain pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sumber pendanaan Bantuan Hukum dapat berasal dari: a. hibah atau sumbangan; dan/atau b. sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.
Pasal 17 (1) Pemerintah wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan Bantuan Hukum
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (2) Pendanaan penyelenggaraan Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dialokasikan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran dana Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) kepada Pemberi Bantuan Hukum diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19 (1) Daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Bantuan Hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah. BAB VIII
LARANGAN Pasal 20
Pemberi Bantuan Hukum dilarang menerima atau meminta pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani Pemberi Bantuan Hukum.
BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 21
Pemberi Bantuan Hukum yang terbukti menerima atau meminta pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 22
Penyelenggaraan dan anggaran Bantuan Hukum yang diselenggarakan oleh dan berada di Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan instansi lainnya pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, tetap dilaksanakan sampai berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
Pasal 23 (1) Pemberian Bantuan Hukum yang sedang diproses sebelum Undang-Undang ini
mulai berlaku tetap dilaksanakan sampai dengan berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
(2) Dalam hal pemberian Bantuan Hukum belum selesai pada akhir tahun anggaran yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberian Bantuan Hukum selanjutnya dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 24
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Bantuan Hukum dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 25 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 November 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 104
Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2011
TENTANG
BANTUAN HUKUM
I. UMUM
Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)). Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal 14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1) kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat. Meskipun Bantuan Hukum tidak secara tegas dinyatakan sebagai tanggung jawab negara namun ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu termasuk hak atas Bantuan Hukum. Penyelenggaraan pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Jaminan atas hak konstitusional tersebut belum mendapatkan perhatian secara memadai, sehingga dibentuknya Undang-Undang tentang Bantuan Hukum ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Oleh karena itu, tanggung jawab negara harus diimplementasikan melalui pembentukan Undang-Undang Bantuan Hukum ini. Selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak konstitusional mereka. Pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum dalam Undang-Undang ini merupakan jaminan terhadap hak-hak konstitusional orang atau kelompok orang miskin. Beberapa pokok materi yang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain mengenai: pengertian Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum, hak dan kewajiban Penerima Bantuan Hukum, syarat dan tata cara permohonan Bantuan Hukum, pendanaan, larangan, dan ketentuan pidana. II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah menempatkan hak dan kewajiban setiap orang secara proporsional, patut, benar, baik, dan tertib.
Huruf b Yang dimaksud dengan “asas persamaan kedudukan di dalam hukum” adalah bahwa setiap orang mempunyai hak dan perlakuan yang sama di depan hukum serta kewajiban menjunjung tinggi hukum.
Huruf c Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi secara lengkap, benar, jujur, dan tidak memihak dalam mendapatkan jaminan keadilan atas dasar hak secara konstitusional.
Huruf d Yang dimaksud dengan “asas efisiensi” adalah memaksimalkan pemberian Bantuan Hukum melalui penggunaan sumber anggaran yang ada.
Huruf e Yang dimaksud dengan “asas efektivitas” adalah menentukan pencapaian tujuan pemberian Bantuan Hukum secara tepat.
Huruf f Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan Bantuan Hukum harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan ini tidak mengurangi kewajiban profesi Advokat untuk menyelenggarakan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang mengenai Advokat. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1)
Huruf a Cukup jelas. Huruf b
Verifikasi dan akreditasi dimaksudkan untuk menilai dan menetapkan kelayakan lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan sebagai Pemberi Bantuan Hukum. Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9
Huruf a Yang dimaksud dengan “mahasiswa fakultas hukum” termasuk juga mahasiswa dari fakultas syariah, perguruan tinggi militer, dan perguruan tinggi kepolisian.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Yang dimaksud dengan “program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum” adalah program: investigasi kasus, pendokumentasian hukum, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas.
Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1)
Huruf a Yang dimaksud dengan “identitas” antara lain nama lengkap, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, alamat lengkap, dan pekerjaan yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk dan/atau dokumen lain yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18
Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5248
A. Penguatan Visi-Misi
Dua belas tahun belakangan, LBH Semarang memfokuskan kerja-kerjanya pada bantuan
hukum struktural. Dimana titik tekan bantuan hukum ini pada penanganan kasus-kasus
struktural yang melibatkan masyarakat marjinal dalam issue perburuhan, perkotaan,
pertanahan, lingkungan hidup dan pesisir.
Setelah 3 tahun sebelumnya atau sampai dengan 2011 awal, LBH Semarang menggunakan
Visi : “Memperkuat kelembagaan masyarakat sipil melalui pendidikan dan bantuan hukum
struktural bagi rakyat guna mendorong pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan Hak
Asasi Manusia (HAM) oleh Negara.” Maka pada tahun 2011, terutama pada saat
perumusan Rencana Strategis 3 tahunan maka Visi ini dipandang perlu untuk diubah.
Pasalnya Visi ini dipandang sudah tidak relevan dan belum mampu menjawab perubahan
masayarakat sesuai dengan cita-cita LBH Semarang melalui Bantuan Hukum Strukturalnya.
Sesuai dengan pembacaan internal dan eksternal dalam forum Rencana Strategis tanggal
22-23 Februari 2011 di Hotel Grasia maka kemudian untuk Visi-Misi dan Tujuan Strategis
tahun 2011-2014 diubah menjadi :
Visi LBH Semarang 2011-2014
“Mendorong struktur sosial yang adil melalui kemandirian kelembagaan masyarakat sipil
dan pembaharuan hukum”
Misi
1. Melakuan penguatan internal agar lembaga visioner dan responsif
2. Melakukan pendidikan, penguatan, dan pemberdayaan organisasi masyarakat sipil
3. Melakukan Bantuan Hukum
4. Mendorong Pembaharuan hukum
Tujuan Strategis
Tujuan Tahun Pertama (2011- 2012) :
Meningkatkan kemandirian masyarakat sipil dalam melakukan intervensi kebijakan dan
hukum yang berkaitan dengan isu sumber daya alam, bantuan hukum dan masyarakat
marginal.
Tujuan Tahun Kedua (2012- 2013) :
Terbentuknya/ terkonsolidasikannya masyarakat sipil untuk melakukan intervensi
kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan isu sumber daya alam, bantuan hukum dan
masyarakat marginal.
Tujuan Tahun Ketiga (2013-2014) :
Terjadi perubahan kebijakan dan hukum serta perilaku aparat Negara yang berkaitan
dengan isu sumber daya alam, bantuan hukum dan masyarakat marginal yang berkeadilan.
B. Perubahan Struktur Organisasi
Selain perubahan Visi-Misi serta Tujuan Strategis, pasca
Semarang, juga ada sedikit perubahan struktur. Perubahan tersebut adalah :
Direktur
Kepala Operasional
Kepala Program
Kepala Divisi Buruh & Miskot
Staf Divisi
Kepala Divisi Tanah, Lingkungan dan Pesisir
Staf Divisi
Voleenter
Karyawan
Kepala Operasional
Divisi Buruh & Miskot
Divisi Tanah, Lingkungan
Perubahan Struktur Organisasi
Misi serta Tujuan Strategis, pasca pergantian Dire
juga ada sedikit perubahan struktur. Perubahan tersebut adalah :
: Slamet Haryanto, S.H.
: Andiyono, S.H.
: Erwin Dwi Kristianto, S.H.
Kepala Divisi Buruh & Miskot : Luthfi Dwi Yoga, S.H.
: Nanda Ardiansyah T.H.T, S.H.
Kepala Divisi Tanah, Lingkungan dan Pesisir : Asep Mufti, S.H.
: Kristian Feran, S.H.
Misbakhul Munir, S.H.
: M. Fahmi Nasrullah, S.H.
: Skolastika Tyrama, S.E.
Nureka Yunianto A, S.Sos
Slamet Riyadi
Nurmin
Siti Kumala Dewi
Direktur
Kepala Operasional
Divisi Tanah, Lingkungan & Pesisir
Kepala Program
Staf Program
pergantian Direktur LBH
juga ada sedikit perubahan struktur. Perubahan tersebut adalah :
: Nanda Ardiansyah T.H.T, S.H.
Karyawan