proposal intervensi politik terhadap birokrasi pemerintahan

16
MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 1 INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN 2010 INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN DAERAH DI KAWASAN TIMUR INDONESIA A. Latar Belakang Masalah Masalah birokrasi masih tetap menjadi isu sentral yang ramai dibicarakan. Memang birokrasi bukan lagi suatu yang asing dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sosial, setiap anggota masyarakat pasti akan bersentuhan dengan yang namanya birokrasi. Birokrasi pemerintah seharusnya menempatkan dirinya sebagai mediating agent, penjembatanan antara kepentingan-kepentingan masyarakat dengan kepentingan pemerintah. Namun, birokrasi sebagai “alat pemerintah” tidak mungkin “netral” dari pengaruh pemerintah. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa birokrasi tidak memiliki kemandirian. Justru karena posisinya sebagai alat pemerintah yang bekerja untuk kepentingan masyarakat, maka diperlukan kemandirian birokrasi. Dalam ketidaknetralannya tersebut, birokrasi tetap memiliki kemandirian fungsional, yaitu melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Ia menempatkan dirinya lebih sebagai “abdi masyarakat” daripada “abdi negara” atau setidak-tidaknya ada keseimbangan antara keduanya. Rancang bangun birokrasi dalam konteks hubungan kekuasaan, seharusnya apolitis, terbebas dari pengaruh interest tertentu dari pemerintah selaku pemberi tugas. Tidak mencitrakan dirinya sebagai new political power dalam peta politik yang sudah ada. Meskipun demikian, sampai saat ini birokrasi masih menjadi salah satu masalah terbesar bagi Negara-negara Asia, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Kentalnya intervensi politik di era Orde Baru telah membuat birokrasi terperosok kedalam ranah politik. Sadar atau tidak, birokrasi kini telah dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan. Penggunaan birokrasi sebagai alat politik bukan saja ditingkat nasional, di

Upload: muskamal

Post on 19-Jun-2015

4.148 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 1

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN 2010

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN DAERAH DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

A. Latar Belakang Masalah

Masalah birokrasi masih tetap menjadi isu sentral yang ramai

dibicarakan. Memang birokrasi bukan lagi suatu yang asing dalam kehidupan

sehari-hari. Dalam kehidupan sosial, setiap anggota masyarakat pasti akan

bersentuhan dengan yang namanya birokrasi. Birokrasi pemerintah

seharusnya menempatkan dirinya sebagai mediating agent, penjembatanan

antara kepentingan-kepentingan masyarakat dengan kepentingan

pemerintah. Namun, birokrasi sebagai “alat pemerintah” tidak mungkin

“netral” dari pengaruh pemerintah. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa

birokrasi tidak memiliki kemandirian. Justru karena posisinya sebagai alat

pemerintah yang bekerja untuk kepentingan masyarakat, maka diperlukan

kemandirian birokrasi. Dalam ketidaknetralannya tersebut, birokrasi tetap

memiliki kemandirian fungsional, yaitu melayani kepentingan masyarakat

secara keseluruhan. Ia menempatkan dirinya lebih sebagai “abdi

masyarakat” daripada “abdi negara” atau setidak-tidaknya ada

keseimbangan antara keduanya. Rancang bangun birokrasi dalam konteks

hubungan kekuasaan, seharusnya apolitis, terbebas dari pengaruh interest

tertentu dari pemerintah selaku pemberi tugas. Tidak mencitrakan dirinya

sebagai new political power dalam peta politik yang sudah ada.

Meskipun demikian, sampai saat ini birokrasi masih menjadi salah

satu masalah terbesar bagi Negara-negara Asia, khususnya di negara

berkembang seperti Indonesia. Kentalnya intervensi politik di era Orde Baru

telah membuat birokrasi terperosok kedalam ranah politik. Sadar atau tidak,

birokrasi kini telah dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan.

Penggunaan birokrasi sebagai alat politik bukan saja ditingkat nasional, di

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 2

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN 2010

tingkat lokal lebih nyata terlihat. Era desentralisasi politik yang

menerapkan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung telah

membuat birokrasi menjadi alat kekuasaan pemerintah daerah untuk

mempertahankan kekuasaannya. Ini semakin menegaskan bahwa birokrasi,

politik dan kekuasaan merupakan hal yang sulit dilepaskan satu sama lain.

Hal ini karena fungsi dan tugas atau pun secara lembaga, birokrasi adalah

pelaksana kebijakan politik yang bersentuhan langsung dengan masyarakat,

sehingga menjadi alat yang sangat effektif dalam rangka sosialisasi

pemenangan incumbent dalam setiap pemilihan kepala daerah (Chubay,

2008).

Intervensi politik atau politisasi merupakan gejala yang pernah

digusarkan oleh Woodrow Wilson, ketika melihat kecenderungan rusaknya

birokrasi profesional oleh partai politik. Presiden Andrew Jackson, setelah

memenangkan pemilihan Presiden AS ke-7, merombak jabatan birokrasi

federal dengan diisi orang-orang partainya. Upaya itu dikritik oleh senator

William Marcy dari Partai Republik yang menyatakan ''kepada pemenang

semua rampasan perang itu menjadi miliknya.'' Sejak itu dalam

perbendaharaan Ilmu Administrasi Publik dikenal istilah Jacksonisme, suatu

jenis penyakit birokrasi pemerintah yang diintervensi oleh partai politik.

Upaya untuk menanggulangi penyakit tersebut dilakukan oleh Woodrow

Wilson, dalam tulisannya The Art of Public Administration yang terkenal

sebagai dasar peletakan konsepsi Ilmu Administrasi Negara dan Ilmu Politik.

Ketika ia menjadi Presiden AS ke-28, diusulkannya suatu undang-undang

yang disepakati oleh rakyat dan pemerintah. Undang-undang itu dikenal

dengan nama Pendleton Act. Salah satu hal yang diatur dalam undang-

undang itu adalah, setiap upaya partai politik untuk menjadikan birokrasi

pemerintah menjadi building block bagi kepentingan partainya dinyatakan

sebagai tindakan ilegal (Thoha, 2008).

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 3

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN 2010

Di Indonesia, intervensi politik dalam birokrasi pemerintahan

mempunyai catatan panjang. Pada masa Orde Baru intervensi bersifat

monolitik oleh Golongan Karya (Golkar). Pada zaman Orde Baru, antara

pejabat politik dan pejabat karier tidak bisa dipisahkan. Artinya, mereka

yang menduduki jabatan di birokrasi juga aktif dan berafiliasi ke Golkar.

Setelah reformasi, dengan banyaknya partai, intervensi terhadap birokrasi

bersifat polisentris. Intinya sama saja, yaitu; memanfaatkan birokrasi untuk

partai (Parasojo, 2005). Jadi, walaupun birokrasi ditempatkan dalam

kedudukan yang netral, dalam prakteknya muncul birokrasi partisan karena

mereka sangat loyal dan berafiliasi politik kepada parpol yang menduduki

jabatan politik, padahal secara formal PNS tidak menjadi salah satu anggota

partai politik. Berkembangnya birokrasi partisan, berakibat birokrasi tidak

mandiri dan tidak memiliki kekuatan penyeimbang kekuasaan dengan

kedudukan pejabat politik (Makhya, 2006).

Masalah birokrasi di Indonesia masih multidimensi, antara lain

struktur yang tidak cocok dengan misi pelayanan, budaya pelayanan belum

berkembang, profesionalisme dan sumber daya manusia (SDM) buruk, dan

lingkungan politik yang kurang sehat. Struktur birokrasi masih berorientasi

pada kontrol dan kekuasaan daripada memberikan pelayanan. Distribusi

kewenangan penyelenggaraan suatu urusan cenderung tidak dilakukan

secara utuh, tetapi parsial. Subyektivitas masih lazim ditemui di birokrasi

dengan rasionalitas dan profesionalisme yang jauh dari harapan (Dwiyanto,

2007). Kondisi birokrasi seperti antara lain disebabkan oleh adanya

intervensi politik terhadap penyenggaraan birokrasi pemerintahan.

Dari berbagai uraian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa meskipun

telah dilakukan reformasi pemerintahan, namun untuk melakukan suatu

perubahan dalam birokrasi atau reformasi birokrasi adalah hal yang

sangatlah sulit. Kepentingan-kepentingan partai politik masih saja

mengintervensi birokrasi pemerintahan di Indonesia. Dengan demikian,

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 4

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN 2010

fokus masalah dalam kajian ini adalah ”Intervensi politik terhadap

penyelenggaraan birokrasi pemerintahan daerah di Kawasan Timur

Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

Birokrasi di Indonesia hingga saat ini belum efektif. Hal ini

disebabkan antara lain karena birokrasi sejak lama dijadikan alat mobilisasi

politik bagi partai penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Karenanya di

era reformasi ini, perubahan pejabat politik di level nasional maupun

daerah dimotori oleh partai politik. Pejabat politik yang menduduki

kepemimpinan melakukan perombakan besar-besaran terhadap formasi

birokrat, termasuk mutasi terhadap para aparat yang yang dianggap

memiliki kinerja buruk. Selain itu, pejabat politik memasukkan kader-kader

politik ke birokrasi dan tidak berusaha mencari pejabat-pejabat birokrat

terbaik di lingkungan kerja yang ada. Karenanya, reformasi birokrasi

kemudian tidak lebih dari sekadar menyingkirkan lawan-lawan politik untuk

mengokohkan peran partai politik baru dalam birokrasi. Akibatnya birokrasi

tidak akan pernah dapat bekerja secara optimal dan profesional (Mahmudi,

2007).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka masalah dalam penelitian

ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Sejauh mana intervensi politik terhadap penyelenggaraan birokrasi

pemerintahan daerah dalam bidang kepegawaian seperti; rekruitmen,

mutasi, dan promosi jabatan ?

2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan adanya intervensi politik terhadap

penyelenggaraan birokrasi pemerintahan daerah ?

3. Bagaimana model birokrasi yang netral dan memiliki kemandirian, serta

terbebas dari intervensi politik ?

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 5

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN 2010

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah seperti dijelaskan sebelumnya, maka

tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis intervensi politik terhadap penyelenggaraan birokrasi

pemerintahan daerah dalam bidang kepegawaian seperti; rekruitmen,

mutasi, dan promosi jabatan.

2. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan adanya intervensi politik

terhadap penyelenggaraan birokrasi pemerintahan daerah.

3. Merumuskan model birokrasi yang netral dan memiliki kemandirian,

serta terbebas dari intervensi politik.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat atau berguna dalam

memahami pola intervensi politik terhadap penyelenggaraan birokrasi

pemerintahan daerah khususnya dibidang kepegawaian, seperti; rekruitmen,

mutasi, dan promosi jebatan, serta faktor-faktor yang menyebabkan. Selain

itu, hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat atau berguna dalam

memahami model birokrasi yang memiliki kemandirian dalam hal bertindak

yang berpihak pada kepentingan masyarakat dan melayani masyarakat.

Birokrasi menempatkan dirinya lebih sebagai “abdi masyarakat” daripada

“abdi negara” atau setidak-tidaknya ada keseimbangan antara keduanya.

Birokrasi terbebas dari pengaruh interest tertentu dari pemerintah selaku

pemberi tugas, dan tidak mencitrakan dirinya sebagai new political power

dalam peta politik yang sudah ada.

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 6

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN 2010

E. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Birokrasi Pemerintahan

Max Weber ahli sosiologi Jerman mengembangkan sebuah model

struktural yang ia katakan sebagai alat yang paling efisien bagi organisasi-

organisasi untuk mencapai tujuannya. Ia menyebut struktur ideal ini sebagai

birokrasi. Struktur tersebut dicirikan dengan adanya pembagian kerja,

hirarki wewenang yang jelas, prosedur seleksi yang formal, peraturan yang

rinci, serta hubungan yang tidak didasarkan pribadi atau impersonal

(Robbins, 1994). Konsep Max Weber tentang birokrasi berkaitan dengan

organisasi rasional, in efisiensi organizational, kekuasaan yang dijalankan

oleh pejabat, administrasi negara, administrasi yang dijalankan oleh

pejabat, sebuah organisasi, dan masyarakat modern.

Terdapat dua tipe birokrasi menurut M. Albrow dalam Surie (1987),

yaitu; tipe patrimoni dan tipe rasional. Birokrasi patrimoni adalah adanya

sekelompok pejabat. Konsep pejabat (beamter) adalah fundamental bagi

birokrasi. Weber menggunakan istilah Beamtentum (officialdom =

kepejabatan) sebagai alternatif bagi istilah birokrasi. Weber memandang

birokrasi sebagai suatu istilah kolektif bagi suatu badan yang terdiri atas

pejabat-pejabat, suatu kelompok yang pasti dan jelas pekerjaan serta

pengaruhnya dapat dilihat pada semua macam organisasi. Konsep ini sejalan

dengan pendapat Thoha (2003) yang mengatakan bahwa konsep birokrasi

Max Weber yang dianut dalam organisasi pemerintahan (government)

banyak memperlihatkan cara-cara officialdom (kerajaan pejabat). Pejabat

birokrasi pemerintah adalah sentra dari penyelesaian urusan masyarakat.

Rakyat sangat tergantung pada pejabat, bukannya pejabat tergantung pada

rakyat.

Adapun birokrasi rasional Weber menurut Blau dan Meyer (1987),

dicirikan oleh tipe ideal birokrasi, seperti; (1) pejabat melakukan tugas-

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 7

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN 2010

tugas secara impersonal, (2) Terdapat hirarki jabatan yang jelas, (3) fungsi-

fungsi jabatan-jabatan itu dirinci dengan jelas, (4) para pejabat diangkat

atas dasar kontrak, (5) mereka diseleksi atas dasar kualifikasi profesional,

(6) gaji disusun sesuai kedudukan dalam hirarki, (7) pekerjaan pejabat ialah

satu-satunya dan utama, (8) terdapat suatu struktur karier, dan kenaikan

pangkat, (9) kedudukan pejabat tidak boleh dianggap milik pribadainya, dan

(10) pejabat tunduk kepada pengendalian dan sistem disipliner.

Dari berbagai uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa birokrasi

sebagai salah satu bentuk organisasi terdiri atas beberapa orang yang

berkumpul bersama baik dalam suatu hubungan yang resmi maupun tidak

resmi. Organisasi tersebut dibutuhkan sebagai wadah bersama yang

dilaksanakan melalui struktur, proses, dan aturan/norma untuk mencapai

tujuan bersama. Oleh karena itu, organisasi birokrasi dapat dikatakan suatu

susunan terorganisasi untuk menciptakan pencapaian tugas administrasi

(koordinasi sistematis terhadap banyak orang). Birokrasi juga dapat

diartikan sebagai pejabat pemerintah, aparatur pemerintah/administrasi

negara/korps pegawai negari sipil, dan atau prosedur kerja.

2. Paradigma Baru Birokrasi

Semua organisasi yang besar, pemerintah atau bukan dijalankan oleh

birokrat. Birokrat merupakan bentuk karakteristik dari organisasi modern.

Beberapa birokrasi pemerintah seperti birokrasi swasta berada pada

keseimbangan yang tidak efisien. Mengapa kritik terhadap birokrat pada

pemerintahan Amerika Serikat begitu keras dan berlanjut secara terus

menerus. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat Amerika Serikat

memiliki kecemasan yang mendalam terhadap pemerintah yang besar, dan

sebagian karena pejabat publik bekerja dibawah kendali anggota Kongres,

dan sebagainya. Birokrasi penting karena merupakan inti dari pemerintahan

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 8

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN 2010

yang besar. Pemerintahan tanpa pejabat dan pegawai, hanya merupakan

kumpulan politisi yang membuat undang-undang (Burns and Peltason, 1966).

Kecemasan masyarakat Amerika Serikat terhadap birokrasi

pemerintahan antara lain bermula ketika Margareth Tatcher pertama kali

memangku jabatan Perdana Menteri Inggiris, ia menghadapi administrasi

publik yang diterapkan dalam pemerintahan Inggris tidak lagi mampu

melayani kebutuhan rakyat Inggris secara efisien. Ia melihat pemborosan di

segala bidang pratika administrasi publik. Clinton dan Al Gore menghadapi

hal yang seperti yang dihadapi oleh Tatcher. Itulah sebabnya pada tahun

1980-an di Amerika Serikat majalah Time bertanya dalam tajuknya “Sudah

Matikah Pemerintahan”. Di awal tahun 1990-an, jawaban yang muncul bagi

kebanyakan orang Amerika adalah “ya” (Osborne dan Gaebler, 1995).

Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengamalan konsep birokrasi

Max Weber yang cenderung menjadikan kerajaan pejabat banyak

mendapatkan kritikan dari beberapa ahli seperti; Warren Bennis, Lawrence

dan Lorch, serta Heckscher dan Donellon sebagaimana dikutip oleh Thoha

(2003). Warren Bennis mengatakan bahwa bentuk hierarki piramidal yang

dikenal sebagai birokrasi telah ketinggalan dari realita zaman sekarang.

Demikian pula Lawrence dan Lorch menyatakan bahwa bentuk organik yang

berupa birokrasi itu, hanya cocok untuk situasi lingkungan kompleks dan

tidak menentu, bukannya hal-hal yang bersifat rutin dan stabil. Adapun

Heckscher dan Donellon mengemukakan bahwa bentuk organisasi masa

depan adalah apa yang mereka namakan Post Bureaucratic Organization.

Organisasi masa depan tidak akan sama dengan birokrasi Weberian. Bentuk

organisasi masa depan tidak hanya menempatkan diri pada kohirensi

internal dan pemusatan kekuasaan, akan tetapi juga pada interaksi

eksternal dan interaksi sosial yang berhubungan dengannya.

Dalam beberapa tahun terakhir ini berkembang paradigma baru

dalam administrasi publik, antara lain pandangan yang mengarah pada suatu

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 9

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN 2010

pembaruan administrasi publik yang difokuskan untuk menghasilkan “high

quality public goods and services”. Pembaruan menurut Osborne dan

Plastrik, (2000) adalah transformasi sistem dan organisasi pemerintah

secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam

efektivitas, efisiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi.

Trasformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, sistem intensif,

pertanggungjawaban, struktur kekuasaan, dan budaya sistem dan organisasi

pemerintah.

Selanjutnya, Osborne dan Plastrik menjelaskan bahwa pembaruan

adalah penggantian sistem yang birokratis menjadi sistem yang bersifat

wirausaha. Pembaruan adalah menciptakan organisasi dan sistem

pemerintah yang terus menerus berinovasi, yang secara kontinu

memperbaiki kualitas mereka, tanpa mendapat tekanan dari pihak luar.

Pembaruan adalah penciptaan sektor pemerintah yang mempunyai dorongan

dari dalam untuk melakukan perbaikan. Pembaruan tidak hanya

memperbaiki efektivitas saat ini, tetapi pembaruan menciptakan organisasi-

organisasi yang mampu memperbaiki efektivitasnya di masa mendatang,

pada saat lingkungan mereka berubah.

3. Politik dan Birokrasi di Indonesia

Birokrasi di Indonesia menurut Karl D Jackson merupakan

bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi

akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik

dan pemerintahan. Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia

merupakan birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans

Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah

anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali.

Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses

perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 10

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN 2010

kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan menggunakan regulasi yang bila

perlu ada suatu pemaksaan.

Birokrasi di Indonesia khususnya di zaman orde baru ditandai dengan

beberapa ciri-ciri seperti pegawai negeri yang menjadi pengurus partai

selain Golkar, maka dia akan tersingkirkan dari jajaran birokrasi. Selain itu,

orang atau sekelompok orang yang tidak berpihak pada Golkar, maka bisa

dipastikan akan mendapat perlakuan diskriminatif dalam birokrasi. Jika

suatu wilayah tidak merupakan basis Golkar, maka pembangunan akan

sangat tertinggal karena pemerintah lebih mengutamakan daerah yang

merupakan basis Golkar. Keberpihakan birokrasi terhadap suatu partai,

tentu saja dalam hal ini Golkar, akan mengurangi profesionalisme dari

birokrasi tersebut. Dalam zaman orde baru juga ada suatu kebijakan yang

disebut zero growth. Adanya kebijakan zero growth yang menyebabkan

jumlah anggota birokrasi makin membengkak. Hal ini menjadikan birokrasi

tidak efisien karena jumlah pekerja dengan pekerjaannya tidak sebanding.

Pada awal reformasi dan pada masa orde baru pemerintahan yang

baik belum juga terlaksana. Misalnya saja dalam pelayanan dan

pengurusuan administrasi masih saja berbelit-belit dan memerlukan waktu

yang lama, tidak jelas. Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutan-

pungutan liar. Pembangunan fisik pun juga masih sering terbengkalai atau

lamban dalam perbaikan. Masih banyak KKN yang terjadi dalam lingkungan

birokrasi. Keterlibatan birokrasi dalam partai politik membuat pelayanan

terhadap masyarakat menjadi diabaikan, karena mereka lebih

mementingkan kepentingan partai politiknya (Thoha, 2003). Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun telah dilakukan reformasi

pemerintahan, namun perubahan dalam birokrasi atau reformasi birokrasi

belum sesuai sebagaimana yang diharapkan. Kepentingan-kepentingan

partai politik masih saja mengintervensi birokrasi pemerintahan di Indonesia.

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 11

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN 2010

Antara aktivitas politik dengan aktivitas pemerintahan dalam praktek

pemerintahan bisa ditelaah dalam dua bentuk. Pertama, dalam internal

pemerintah daerah. Di lingkungan pemerintah daerah, dikenal ada yang

namanya pejabat politik, yaitu gubernur dan wakil gubernur yang dipilih

rakyat/DPRD, dan pejabat birokrasi yaitu jabatan karier di birokrasi

pemerintahan, seperti sekretaris daerah, kepala dinas, dsb. Kedua, aktivitas

politik, secara kelembagaan lebih banyak diperankan lembaga perwakilan

rakyat (DPRD) karena lembaga ini adalah pencerminan kedaulatan rakyat.

Pemahaman politik dalam konteks aktivitas politik di DPRD harus dipahami

dalam politik kebijakan, yaitu sebatas melakukan fungsi formulasi kebijakan

dan kontrol terhadap implementasi kebijakan (Makhya, 2006).

UU No. 32/2004 Pasal 19 menyebutkan penyelenggara pemerintahan

daerah adalah pemerintah dan DPRD. Pasal ini, secara jelas memposisikan

kedudukan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan. Implikasi pasal ini,

aktivitas penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan bersama-sama

antara DPRD dan kepala daerah. Aktivitas penyelenggaraan ini meliputi

tugas-tugas desentralisasi dan tugas pembantuan. Ketentuan pasal ini

menekankan baik kepala daerah maupun DPRD dalam aktivitas

penyelenggaraan pemerintahan menekankan pada service sphere bukan

pada political sphere. Pemahaman politik dalam perspektif UU No. 32/2004

tidak menjangkau pada penjatuhan kepala daerah karena dalam UU ini

tidak dikenal dengan sistem parlementer.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 sama sekali tak dikenal pemakzulan

(impeachment) terhadap kepala daerah melalui mosi tidak percaya. Sebab,

tidak ada aturan yang memungkinkan masyarakat dapat secara langsung

meng-impeach kepala daerah. Namun, DPRD bisa mengusulkan

pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada Presiden jika

memenuhi ketentuan Pasal 29 atau diberhentikan sementara oleh Presiden

apabila melakukan tindak pidana kejahatan (lihat Pasal 30–32). Kajian

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 12

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN 2010

tersebut menunjukkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,

sebenarnya ada pemisahan yang tegas antara sifat wewenang kepala daerah

sebagai pejabat politik dan fungsi birokrasi. Artinya, spirit UU No. 32/2004

menekankan pada terwujudnya tertib pemerintahan sehingga fungsi

pelayanan pada masyarakat tidak terganggu.

F. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di daerah Propinsi di Kawasan Timur

Indonesia (KTI). Kriteria KTI digunakan pendekatan geografis, yaitu wilayah

yang terletak di perairan yuridiksi nasional, dihitung mulai Selat Lombok,

Selat Makassar, Laut Sulawesi ke arah timur, meliputi Propinsi Nusa

Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Maluku Utara,

Papua, dan semua propinsi di Pulau Sulawesi. Mengingat luasnya wilayah KTI,

maka lokasi dalam penelitian ini dibatasi pada lima propinsi yang ditentukan

secara purposive, yaitu; Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Propinsi Nusa

Tenggara Timur (NTT), Propinsi Maluku Utara, Propinsi Gorontalo, dan

Propinsi Sulawesi Tengah.

2. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data sesuai tujuan penelitian, maka

pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui metode

sebagai berikut :

a. Wawancara

Wawancara (Interview): Metode wawancara digunakan untuk

mengumpulkan data dan informasi tentang masalah intervensi politik

terhadap birokrasi khususnya yang berkaitan dengan rekruitmen,

mutasi, dan promosi jabatan. Wawancara dilakukan terhadap

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 13

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN 2010

informan, seperti; Setwilda, Ketua/Anggota DPRD, Para Asisten,

Kepala Badan/Kantor, Kepala Dinas-dinas, dan Ketua/Anggota Partai

Politik.

b. Focus Group Discussion (FGD)

Metode FGD dilakukan untuk mengeskplorasi hasil wawancara yang

diperoleh sebelumnya. Berbagai permasalahan dikaji untuk dapat

dipahami lebih dalam akar permasalahan sebenarnya terutama

faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya intervensi politik

terhadap birokrasi pemerintahan. FGD dilakukan terhadap nara

sumber, yaitu; para pakar/ahli dalam bidang ilmu politik,

pemerintahan, dan administrasi publik, yang berasal dari Perguruan

Tinggi Negeri (PTN) setempat pada masing-masing lokasi penelitian.

Selain diskusi terfokus, setiap nara sumber diharapkan memberikan

tulisan 5 – 10 halaman yang disampaikan sebelumnya tentang masalah

intervensi politik terhadap penyelenggaraan birokrasi pemerintahan

di daerahnya masing-masing.

c. Pengumpulan Data Sekunder

Selain data primer yang dikumpul melalui wawncara dan FGD, juga

dikumpulkan data sekunder berupa dokumen-dokumen tertulis

pemerintah, seperti data sekunder tentang; Struktur organisasi

pemerintah daerah propinsi, kebijakan/aturan-aturan bidang

kepegawaian, jumlah pegawai menurut pendidikan, golongan, dan

eselon, struktur organisasi DPRD, jumlah anggota DPRD, jumlah dan

jenis partai politik, dan sebagainya yang dianggap relevan dengan

masalah penelitian.

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 14

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN 2010

3. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh melalui hasil wawancara dan FGD, dianalisis

secara kualitatif melalui proses mengorganisasikan, mengurutkan,

mengelompokkan, memberi kode, dan mengkategorisasikan data. Hasil

proses analisis kualitatif tersebut diinterpretasi untuk memberi gambaran

intervensi politik terhadap birokrasi pemerintahan termasuk faktor-faktor

penyebabnya. Selanjutnya dirumuskan model birokrasi pemerintahan yang

netral dan memiliki kemandirian, serta terbebas dari intervensi politik,

sesuai yang disarankan data yang diperoleh dilapang.

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 15

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN 2010

DAFTAR PUSTAKA

Blau, M Peter dan M. W. Meyer. 1987. Birokrasi Masyarakat Modern, Edisi Kedua, Alih Bahasa Gary Rachman Jusuf, UI-Press, Jakarta.

Burns and Peltason. 1966. Government By The People : The Dynamics of

American National, State and Local Government, Prentice-Hall, Inc. Chuby, Jibril. 2008. Netralisasi Birokrasi Dalam Pilkada Langsung, Makalah,

www.geogle, diakses 02 Januari 2009. Dwiyanto, Agus. 2007. Politik Masih Intervensi Birokrasi, Makalah,

www.geogle, diakses 02 Januari 2009. Mahmudi, Yon. 2007. Budaya Birokrasi dan Politik, Makalah, www.geogle,

diakses 02 Januari 2009. Makhya, Syarif. 2006. Pencampuradukan Politik dengan Pemerintahan,

www.geogle, diakses 02 Januari 2009. Osborne, David, dan Ted Gaebler. 1995. Mewirausahakan Birokrasi,

Terjemahan, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Osborne, David, dan Peter Plastrik. 2000. Memangkas Birokrasi : Lima

Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, Terjemahan, PPM, Jakarta. Prasojo, Eko. 2005. Birokrasi Versus Intervensi Politik, Makalah, www.geogle,

diakses 02 Januari 2009. Robbins, Stephen P. 1994. Teori Organisasi : Struktur, Desain, dan Aplikasi,

Edisi Ketiga, Alih Bahasa Jusuf Udaya, Arcan, Jakarta. Surie.H.G. 1987. Ilmu Administrasi Negara : Suatu Bacaan Pengantar,

Gramedia, Jakarta. Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi Politik di Indonesia, Cetakan Kedua,

RajaGrafindo Persada, Jakarta. Thoha, Miftah. 2008. Jabatan Karir versus Jacksonisme, Makalah,

www.geogle, diakses 23 Januari 2009.

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 16

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN 2010