proposal penlitian echino

Upload: yusri-annisa-auliana

Post on 13-Jul-2015

188 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KEANEKARAGAMAN DAN LUAS TUTUPAN TERUMBU KARANG DI PULAU MELINJO, TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

Oleh : Evy Kurniawati (3415106783) Fathan Hadyan Rizki (3415196786) Indah Cahaya Pramesti (3415106777) Shofy S

JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA JULI 2011

I.

JUDUL PENELITIAN Keanekaragaman dan Luas Tutupan Terumbu Karang di Pulau Melinjo, Taman Nasional Kepulauan Seribu

II.

BIDANG ILMU Zoologi.

III.

PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 1998, luas terumbu karang Indonesia adalah 42.000 km2 atau 16,5 % dari luasan terumbu karang dunia yaitu seluas 255.300 km2 dengan 70 genus dan 450 spesies. Terumbu karang dan segala kehidupan yang terdapat di dalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang bernilai tinggi. Manfaat yang terkandung di dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam, baik manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Terumbu karang memiliki peranan sebagai sumber makanan, habitat biota- biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Nilai estetika yang dapat dimanfaatkan sebagai kawasan pariwisata dan memiliki cadangan sumber plasma yang tinggi. Selain itu juga dapat berperan dalam menyediakan pasir untuk pantai, dan sebagai penghalang terjangan ombak dan erosi pantai. Menurut Sawyer (1992) dalam Dahuri (2003) bahwa terumbu karang diidentifikasi sebagai sumberdaya yang memiliki nilai konservasi yang tinggi karena memiliki keanekaragaman biologis yang tinggi, keindahan, dan menyediakan cadangan plasma nutfah. Saat ini, beberapa permasalahan telah timbul di ekositem terumbu karang. Faktor ekosistem terumbu karang dapat disebabkan 2 faktor , yaitu karena faktor alam dan ulah manusia (antrophogenik). Faktor alam berupa perubahan faktor fisika dan kimia lingkungan dari faktor biologi. Kerusakan terumbu karang karena ulah manusia dapat terjadi melalui

aktifitas, seperti kegiatan pengambilan karang, penangkapan ikan dengan menggunakan bom, kegiatan pariwisata yang pasti akan menimbulkan limbah baik limbah padat maupun limbah cair, serta berbagai kegiatan pembangunan yang dilakukan di sekitar pantai (Dahuri, 2001). Aktifitas-aktivitas ini dapat menimbulkan terjadinya degradasi lingkungan dimana pada awalnya ditandai dengan adanya penurunan kualitas perairan yang selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan biotabiota penyusun ekosistem tersebut. Faktor non antropogenik dapat disebabkan oleh salinitas berpengaruh besar terhadap produktivitas terumbu karang. Debit air tawar dari sungai yang besar sangat berpengaruh pada salinitas perairan pantai, hal ini akan menyebabkan salinitas perairan menjadi menurun yang pada gilirannya mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang, terutama karang tepi. Salinitas air laut ratarata di daerah tropis adalah sekitar 35, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-36 (Kinsman dalam Supriharyono, 2007). Selain itu peristiwa La Nina dan El Nino berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang. La Nina akan menyebabkan curah hujan di indonesia menjadi tinggi, sehingga akan mempengaruhi salinitas perairan laut. Fenomena El Nino menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang, tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat tergantung dari intensitas El Nino tersebut. (Dahuri,2001) Namun karena posisi geografis Indonesia yang dikenal sebagai benua maritim, maka tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino. kedua hal ini sangat berdampak bagi pertumbuhan terumbu karang yang menyebabkan pertumbuhannya menjadi tidak optimal dan terganggu. Taman Nasional Kepulauan Seribu memiliki potensi sumber daya terumbu karang yang besar dengan salah satunya adalah Pulau Melinjo. Pulau Melinjo memiliki keanekaragaman jenis karang yang cukup tinggi, namun karena adanya tekanan yang datang dari alam maupun manusia, menyebabkan penurunan keanekaragaman jenis dan tutupan terumbu karang disini.

Hal ini sangat berdampak pada kondisi terumbu karang terutama dari segi keanekaragaman dan kelimpahan yang mengalami penurunan. Faktor alam juga dapat mempengaruhi kondisi terumbu karang, salah satunya adalah meningkatnya suhu air laut akibat peristiwa El Nino dan penurunan salinitas air akibat peristiwa La Nina (Bayard, 1983). Oleh karena itu perlu diadakan penelitian mengenai keanekaragaman dan luas tutupan terumbu karang untuk mendapatkan data terbaru mengenai kondisi terumbu karang. IV. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang, dirumuskan masalah sebagai berikut: "Bagaimana keanekaragaman dan luas tutupan terumbu karang di Pulau Melinjo, Taman Nasional Kepulauan Seribu ? V. TUJUAN PENELITIAN Mengetahui keanekaragaman dan luas tutupan terumbu karang di Pulau Melinjo, Taman Nasional Kepulauan Seribu.VI.

KONTRIBUSI PENELITIAN Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai:1. Memberikan informasi tentang keanekaragaman terumbu karang. di

Pulau Melinjo, Taman Nasional Kepulauan Seribu2. Sebagai bahan pertimbangan dalam usaha pelestarian terumbu karang

di Pulau Melinjo, Taman Nasional Kepulauan Seribu VII. TINJAUAN PUSTAKA 1. Keanekaragaman Keanekaragaman menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hal atau keadaan yang beranekaragam. Keanekaragaman adalah kumpulan seluruh penghuni biosfer yang berhubungan antara satu dengan lainnya dan saling mempengaruhi. Indonesia merupakan salah satu Negara dengan

tingkat ekosistem

keanekaragaman di Indonesia.

hayati

yang

sangat

tinggi.

Ingginya ekosistem,

keanekaragaman hayati ini di tunjang dengan tingginya keanekaragaman Tingginya keanekaragaman mencerminkan beranekaragamnya spesies tumbuhan dan hewan yang menghuni wilayah ini (Salman, 2004). Keanekaragaman dalam kajiannya dibidang biologi di sebut dengan keanekaragaman hayati. Keanekaragamann hayati secara luas di pergunakan untuk tiga tingkatan dari organisasi biologi, yaitu keanekaragaman ekosistem, spesies dan keanekaragaman genetic. Menurut Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity), keanekaragaman hayati (biodiversity) didefinisikan sebagai variabilitas makluk hidup dari semua sumber termasuk di antaranya ekosistem daratan ,lautan dan ekosistem perairan lain, serta komplekskompleks ekologis yang merupakan bagian dari keanekaragamannya. Keanekaragaman spesies di laut sangat bervariasi berdasarkan lokasi. Bringgs dalam Norse (1993) menyatakan bahwa variasi keanekaragaman spesies ditentukan oleh gradien geografi. Gradien geografi di tentukan oleh posisi geografis dan posisi perairan. Posisi geografis bervariasi mulai dari perairan tropis dan perairan dingin. Pada ekosistem laut tropis padang lamun dan terumbu karang keanekaragamannya sangat bervariasi, berbeda dengan perairan dingin yang yang jenis bintang laut dan alga coklat yang lebih bervariasi. Keanekaragaman pada suatu ekosistem berbeda-beda. Faktor yang mempengaruhi keanekaragaman menurut Krebs (1978), adalah: 1. Waktu, keragaman komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas tua yang sudah lama berkembang, lebih banyak terdapat organisme dari pada komunitas muda yang belum berkembang. Waktu dapat berjalan dalam ekologi lebih pendek atau hanya sampai puluhan generasi. 2. Heterogenitas ruang, semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin kompleks komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebar dan semakin tinggi keragaman jenisnya.

3.

Kompetisi, terjadi apabila sejumlah organisme menggunakan

sumber yang sama yang ketersediannya kurang, atau walaupun ketersediannya cukup, namun persaingan tetap terjadi juga bila organisme-organisme itu memanfaatkan sumber tersebut, yang satu menyerang yang lain atau sebaliknya. 4. Pemangsaan, untuk mempertahankan komunitas populasi dari jenis persaingan yang berbeda di bawah daya dukung masing-masing selalu memperbesar kemunginan hidup berdampingan sehingga mempertinggi keragaman. Apabila intensitas dari pemangsaan terlalu tinggi atau rendah dapat menurunkan keragaman jenis. 5. Kestabilan iklim, makin stabil, suhu, kelembaban, salinitas, pH dalam suatu lingkungan tersebut. Lingkungan yang stabil, lebih memungkinkan keberlangsungan evolusi. 6. Produktifitas, Keenam juga ini dapat saling menjadi syarat mutlak untuk keanekaragaman yang tinggi. faktor berinteraksi untuk menetapkan keanekaragaman jenis dalam komunitas yang berbeda. Keanekaragaman spesies sangatlah penting dalam menentukan batas kerusakan yang dilakukan terhadap sistem alam akibat turut campur tangan manusia (Michael, 1995). Hambatan lingkungan merupakan faktor biotik dan abiotik di ekosistem yang cendrung menurunkan fertilitas dan kelangsungan hidup individu-individu dalam populsi organisme. Faktor tersebut menghalangi suatu organisme untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi biotiknya. Foktor-faktor ligkungan tersebut ada dua yaitu faktor yang berasal dari luar populasi (faktor ekstrinsik) terdiri dari faktor biotik seperti makanan, peredasi dan kompetisi dan faktor abiotik seperti iklim, tanah, air dan faktor yang berasal dari dalam populasi (faktor intrinsik) seperti persaingan intrasfesifik dalam bentuk teritorialitas dalam tekanan sosial (Untung, 1996). Untuk faktor posisi perairan, daerah yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia adalah perairan Indo-Pasifik Barat

yang meliputi perairan Philipina, Indonesia, Australia Barat Laut. Daerah Pasifik Barat dan Atlantik Barat memiliki keanekaragaman yang lebih sedikit di banding perairan Indo-Pasifik Barat. 2. Tutupan Karang Tutupan karang adalah penempatan permukaan terumbu yang ditutupi oleh karang batu yang hidup yang terbentuk dari spongia, alga atau organisme lain. batu karang yang membentuk terumbu karang merupakan contributor utama pembentuk terumbu karang yang dapat di gunakan sebagai habitat untuk banyak organisme. Tutupan karang merupakan indicator pertumbuhan karang yang optimal (Alustco,Syarviddint, 2009). Setiap terumbu karang memiliki syarat hidup yang

berbeda beda tetapi pada umumnya pertumbuhan karang yang baik memiliki karakter sebagai berikut : a. Tutupan karang relative tinggi b. Kandungan makroalga yang rendah

3. Terumbu Karang Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas terdapat di perairan dangkal daerah tropis, dengan produktivitas primer dnegan keanekaragaman yang tinggi. Meskipun terumbu karang dapat di temukan di berbagai tempat di seluruh perairan dunia, tetapi hanya di daerah tropis saja terumbu karang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga menjadikannya sebagai spawning ground dan nursery ground bagi berbagai biota laut (Nybakken, 1988). Luas tutupan karang di Indonesia sekitar 14 % dari total penutupan terumbu karang dunia. Namun demikin ssekitar 60 70 % telah mengalami kerusakan yang sangat erius dan hanya 50 % saja yang masih dalam kondisi baik (Tomaseik et al, 1997). Ekosistem terumbu karang merupakan suatu kumpulan dari tumbuhan dan hewan dan saling bersimbiosis serta berada didaerah perairan laut dangkal. Kumpulan tersebut menghasilkan zat kapur yang

diendapkan melalui proses ratusan tahun yang membentuk struktur terumbu karang. Komponen terpenting suatu terumbu karang adalah hewan karang yang termasuk kedalam filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Scleractina dan family Scleractinae (Kimball, 1999). Terumbu karang (coral reef) merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme organisme yang dominan yang hidup pada terumbu karang adalah binatang binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan alga yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan hal diatas. Terumbu karang di bedakan antara binatang karang atau karang sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang sebagai suatu ekosistem (Suharsono, 1996). Supriharyono (2000) mengatakan bahwa terumbu karang hidup dengan baik di daeerah tropis.ekosistem terumbu karang dunia diperkirakan meliputi luas 600.000 km2. Terumbu karang dapat ditemukan di 109 negara diseluruh dunia, namun diduga sebagian besar dari ekosistem ini telah mengalami kerusakan. Namun, pada kedalaman sekitar 15 m sering terdapat teras terumbu atau reef front yang memiliki kelimpahan karang keras yang cukup tinggi dan karang tumbuh dengan subur. Fungsi bangunan terumbu sebagian besar dibentuk oleh karang pembangun terumbu (hermatypic), yang membentuk endapan kapur (aragonit) massif. Kelompok karang hermatypic diwakili sebagian besar oleh ordo Scleractinia (Subklas Hexacorallia). Dua spesies dalam kelompok ini termasuk dalam ordo Octocorallia (Tubipora musica dan Heliopora coerulea), dan beberapa spesies kedalam kelas Hydrozoa (hydrocoral Millepora sp. dan Stylaster roseus). Karang hermatypik mengandung alga simbion zooxanthellae yang sangat mempercepat proses calsifikasi, dengan demikian memungkinkan karang inangnya membangun koloni massif.

Menurut Ongkosongo (1988) terdapat enam bentuk pertumbuhan karang batu yaitu (1) Tipe bercabang (branching), (2) tipe padat (massive), (3)tipe kerak (encrusting), (4) tipe meja (tabulate), (5) tipe daun (foliose), dan (6) tipe jamur (mushroom). Sesuai dengan fungsinya dalam membangunan karang (hermatypik-ahermatypik) dan, kepemilikannya atas alga simbion (symbiotic-asymbiotic), kerang dapat dibagi lagi dalam kelompok berikut: (Sorokin, 1993)1.

Hermatype-symbiont. Kelompok ini meliputi sebagian besar Hermatype-asymbiont. Karang-karang yang tumbuh lambat ini membangun skeleton kapur massif tanpa pertolongan

karang scleractinia pembangun terumbu.2.

dapat

zooxanthellae, dimana mereka dapat hidup pada lingkungan gelap, dalam gua, terowongan, dan bagian yang dalam dari kontinental solpe. Diantara mereka adalah slceractinia asymbiotic Tubastrea dan Dendrophyllia, dan hydrocoral Stylaster rosacea.3.

Ahermatype-symbionts. Diantara Scleractinian ada yang termasuk

dalam kelompok fungiid kecil ini, seperti Heteropsammia dan Diaseris, dan juga karang Leptoseris (family Agaricidae), yang ada sebagai polyp tunggal atau sebagai koloni kecil, dan karenanya tidak dapat dimasukkan dalam pembangun terumbu. Kelompok ini juga hampir seluruhnya merupakan octocoral-alcyonaceans dan gorgonacean yang memiliki alga simbion tetapi tidak membangun koloni kapur massif.4.

Ahermatypes-asymbionts. Untuk kelompok ini ada diantara

beberapa spesies scleractinia dari genera Dendrophylla dan Tubastrea yang memiliki polyp kecil. Termasuk juga hexacoral dari ordo Antipatharia dan Corallimorpharia, dan asymbiotic octocoral. Komunitas karang terdiri dari karang pembuat terumbu (hermatypic) maupun karang yang tidak membuat terumbu (ahermatypic). Sebagian besar karang pembuat terumbu yang paling dominan adalah ordo Scleractinia. Komunitas scleractinian yang menempati terumbu karang laut dunia sangat beragam. Jumah total dari taxa-nya mendekati 800 spesies yang masuk dalam 110 genera (Sorokin 1993). Komunitas tersebut

hidup dalam perairan hangat pada daerah dimana suhu air tidak kurang dari 18-19 0C pada musim dingin dan pada kedalaman 80- 100m, dibatasi oleh cahaya yang mereka butuhkan sebagai hewan simbiosis. Komposisi fauna scleractinia dan juga tingkat diversitasnya bervariasi dalam area dan wilayah yang berbeda. Total jumlah generanya mencapai maksimum pada wilayah Indonesia,Philipina-Australia Utara, dimana lebih dari 70, dengan total jumlah spesies 250-350. Dahuri (2003) menyebutkan bahwa sampai tahun 1998 jumlah spesies karang Scleractinian yang telah tercatat di seluruh perairan Indonesia diperkirakan sebanyak 364 spesies dari 76 genera. Sedangkan menurut Borel-Best dkk (1989) dalam Supriharyono (2000) jenis terumbu karang yang di temukan di perairan Indonesia Timur hasil Ekspedisi Snellius pada tahun 1984 adalah 76 genera dengan 362 spesies. Ada lebih dari 480 spesies kerang batu (Scleractinian) yang telah di data di Indonesia timur merupakan 60% spesies scleractinian dunia (Burke et al, 2002). Veron (2002b) menyatakan bahwa sebanyak 490 spesies telah diketahui dari perairan timur Indonesia dan sebanyak 581 spesies tercatat berada diseluruh Indonesia. Veron (2002a)menyatakan bahwa sebanyak 456 spesies dari 77 genera berhasil ditemukan selama survai RAP di Kepulauan Raja Ampat Papua. Selain itu terdapat 9 spesies yang belum diketahui nama spesiesnya..Menurut Tomascik dkk. (1997a) jumlah genera karang pembuat terumbu berjumlah 80 dengan jenis spesies 45. Diantara varietas besar dari taxa modern scleractinian hermatypic, dapat dibedakan tiga kelompok. Dua yang pertama memiliki strategi hidup yang berlawanan yaitu r-strategy dan k-strategy. Dan kelompok ketiga adalah di tengah-tengah antara kedua keolmpok itu. Kelompok pertama adalah karang (r-strategy) yang hidup oportunistik (mengembara) dalam ukuran koloni kecil atau sedang, memiliki pertumbuhan terbatas, mencapai kematangan seksual lebih awal, dan menghabiskan sebagian besar energinya untuk breeding (menambah keturunan). Sebagian besar dari

kelompok ini memiliki siklus pembelahan seksual setiap bulan. Mereka mempunyai durasi hidup yang pendek dan laju pertumbuhan yang tinggi. Keberhasilan dalam substrat kelangsungan keras. hidupnya ditingkatkan itu melalui juga fertilisasi yang intensif dengan persyaratan untuk hidup berkompetisi yang Untuk mkasud mereka mengembangkan perkembangbiakan vegetatif melalui pembentukan tunas (membentuk cabang). Karang oportunistik dapat hidup pada berbagai jenis tekanan seperti eksposure (terbuka), tekanan salinitas rendah, polusi, dan perairan panas dan keruh pada perairan terumbu yang dangkal. Diantara karang oportunistik yang umum di terumbu Indo-pasifik adalah Stylopohra pistillata, Psammocora contigua, Pocillopora damicornis, Seriatipora histrix, dan beberapa spesies dari genera Montipora, Acropora, dan Pavona. Kelompok karang konservatif (kstrategy) menggunakan sebagian besar energinya untuk pertumbuhan dan metabolisme. Pertumbuhannya tak terbatas. Koloni yang tua dapat mencapai diameter 1-3 m. Sehubungan dengan itu mereka menggunakan sebagian kecil energi untuk perkembangbiakan dan mengatasi kerasnya substrat yang ada pada seluruh formasi koloni besar dan memiliki umur yang panjang. Mereka dapat hidup selama puluhan atau ratusan tahun. Secara fenotif, terumbu karang terbentuk dalam berbagai lingkungan dengan adaptasi ecomorfologi yang banyak. Diantaranya adalah terumbu karang dari sebagian besar spesies dengan genus Acropora. Sebagaian besar genus Acropora dari Pavona, Hydronophora, Galaxea, dan Goniopora. Selain ordo Scleractinian terdapat famili lain yang menghasilkan terumbu yaitu Alcyoniina.4. Pulau Melinjo

Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan salah satu perwakilan kawasan pelestarian alam bahari di Indonesia yang terletak kurang lebih 45 km sebelah Utara Jakarta. Gugusan Kepulauan yang berjumlah sekitar 110 pulau besar dan kecil ini terbagi atas Pulau Wisata, Konservasi, pemberdayaan masyarakat dan sejarah karena masing-masing mempunyai keunikan yang berbeda beda.

Pulau Melinjo merupakan salah satu tempat yang indah di Kepulauan Seribu yang merupakan bagian Taman Nasional Kepulauan Seribu sehingga secara adminsitratif, segala hal yang berkaitan dengan Pulau Melinjo harus berurusan dengan TNKS. Karena bagian dari taman nasional, tidak sembarang orang boleh melakukan aktivitas wisata di tempat ini. Keindahan alam bawah laut Pulau Melinjo menjadi salah satu tujuan wisatawan penyuka wisata bawah laut seperti diving dan snorkling.. Di tempat ini, diving memungkinkan untuk sepanjang tahun dalam segala musim. Satwa yang dapat dijumpai antara lain, beberapa jenis ikan, kima, kelompok ganggang seperti Rhodophyta, Chlorophyta dan Phaeophyta, beberapa jenis rumput laut seperti Halodule sp., Halophila sp., dan Enhalus sp., serta burung pantai.. Selain itu terdapat banyak jenis karang keras/lunak salah satunya Acropora sp.VIII.

METODOLOGI PENELITIAN 1. Tujuan Operasional Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis karang dan luas tutupan terumbu karang di Pulau Melinjo, Taman Nasional Kepulauan Seribu 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptiv survai. Data diambil dengan metode transek garis (Line Transect) sepanjang 100 m dari bibir pantai, menggunakan 10 transek yang jarak antar transeknya adalah 10 m. 3. Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan yang digunakan adalah rol meter, snorkel, google, fin,buku identifikasi karang, patok besi, DO meter,dan pH meter 4. Cara Kerja Penelitian

Cara kerja penelitian ini adalaha.

Menentukan titik awal transek, dengan cara suvei sendiri daerah mana yang memiliki keterwakilan keanekaragaman terumbu karang di Pulau Melinjo

b. Menarik garis lurus dari area yang ditemui karang

hidup

sepanjang 100 m dengan rol meter.c.

Mengidentifikasi jenis karang hidup yang berada di bawah rol meter.

d. Melakukan transek yang lain sebanyak 10 transek dengan jarak

antar transek 10 m. 5. Teknik Pengumpulan Data Dengan mengamati secara langsung objek karang yang menyentuh transek 6. Teknik Analisis Data a. Persentase penutupan terumbu karang (% cover) Besar persentase tutupan karang mati, karang hidup, dan jenis lifeform lainnya dihitung dengan rumus (English et al., 1997):

Dimana : L = Presentase penutupan karang Li = Panjang life form jenis kategori ke i N = Panjang total transek (100m) Kondisi terumbu karang diperoleh dari jumlah persenttase penutupan karang hidup yang didapat, dengan kategori sebagai berikut (Gomez and Yap, 1988): Sangat baik Baik : 75% - 100% : 50% - 74,9%

Sedang Buruk

: 25% - 49,9% : 0% - 24,9%

Persantase penutupan terumbu karang hidup yang tinggi biasanya menandakan bahwa terumbu karang di suatu daerah berada dalam kondisi yang sehat.b. Dengan menggunakan rumus Shannon-Weaner untuk mengetahui

indeks keanekaragaman jenis Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

dengan : H = nilai indeks keanekaragaman Shannon-Weaner. ni =jumlah individu karang spesies ke i N=jumlah seleruh karang yang ditemukan s= jumlah spesies karang yang sitemukan kriteria indeks H menurut Shannon-Weaner adalah sebagai berikut: H 2 H 3 : keanekaragaman kecil : keanekaragaman besar 2 H 3 : keanekaragaman sedang Indeks iini dipengaruhi oleh jumlah spesies yang ada. Semakin banyak jumlah spesies yang ditemukan maka nilai keanekaragaman akan semakin besar.

IX.

HASIL PENGAMATAN

Luas tutupan berdasarkan transek :

TUTUP K ANG AN AR B AS K TR ED AR AN ANS EKTUTUPAN KARANG22.65 13.35 11.95 6.45 11.55 4.36

TRANSEK TRANSEK TRANSEK TRANSEK TRANSEK TRANSEK 1 2 3 4 5 6

Luas tutupan karang berdasarkan Tipe Pertumbuhan Karang :

L UAST UP KARANG BE AS UT AN D ARK AN T E P R UMBUH IP E T AN8 7 6 5 4 3 2 1 0 Karang Bercabang Karang Encrusting Karang Massive Karang Foliose LUASTUTUPAN KARANG

Indeks Keanekaragaman Terumbu Karang :

K ANE ARAGAMANK E K ARAN GKEANEKARAGAMAN2.095

1.946 1.467

1.389

1.357

1.329

TRANSEK 1

TRANSEK 2

TRANSEK 3

TRANSEK 4

TRANSEK 5

TRANSEK 6

X.

PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan persen tutupan terumbu karang hidup yang berbeda-beda pada setiap transek, didapatkan empat bentuk pertumbuhan karang yaitu Karang Bercabang, Karang Encrusting, Karang Massive dan Karang Foliose. Pada grafik terlihat bahwa pada transek 1 memiliki persen tutupan terumbu karang yang hidup tertinggi yaitu 22,65%. Sedangkan untuk transek2 sebesar 13,35 %, transek 3 da 5 hasilnya saling mendekati yaitu sebesar 11,95 % dan 11,55 %, lalu transek 4 sebesar 6,45 %, dan terakhir transek 6 hanya sebesar 4,63 %. Faktor yang mempengaruhi luas tutupan karang yang terukur sebagai parameter mencakup besarnya suhu, pH dan sedimen. Hasil pengukuran parameter kondisi tiap transek menjadi factor penting penguat data tutupan karang tersebut dengan, suhu 31 C dan pH sebesar 6. Suhu pada tiap plot hampir sama dengan kisaran 31 C. Nontji (1993) menyatakan bahwa suhu di permukaan perairan nusantara berkisar 28-31 C. Umumnya jenis karang ini hidup di perairan / laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masinh sampai ke dasar perairan tersebut. Selanjutnya Nybakken (1988) menyatakan bahwa untuk hidup karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 C. Nilai pH pada tiap plot sama sebesar 6, nilai pH tersebut masih tergolong tidak baik karena tidak sesuai dengan batas normal pH perairan laut tropis yang mendukung terhadap ekosistem terumbu karang. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun basa akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolism dan respirasi (Odum, 1994). Menurut Tomascik et.al. (1997), habitat yang cocok bagi pertumbuhan karang adalah yang memiliki pH 8,2-8,5. Sedangkan menurutEtkinson et.al. (1995) dalam Sadarun (1999) pertumbuhan karang yang baik trjadi pada pH rendah yaitu 7,6 sampai 8,3. Perubahan pH air laut (asam atau basa) akan mempengaruhi pertumbuhan dan aktifitas biologis (Bishop, 1983 dalam Abel, 1989). Stress berupa panas, dingin, terang dan gelap, terutama meningginya suhu air laut menyebabkan kerusakan simbiosisme antara karang dengan alga pada karang tersebut. Semakin banyak karbondioksida dilepas ke atmosfir, semakin banyak pula yang kembali ke laut melalui air hujan dan mengubah pH (keasaman)

air laut menjadi lebih rendah atau makin asam. Turunnya pH air laut ini menyebabkan karang menjadi keropos (coral esteoporosis). Karang keropos ini jika dikembalikan ke kondisi air laut semula tidak dapat membuat memperbaiki terumbu kembali (http://www.republika.co.id/berita/50096/Pakar_Terumbu _Karang_AS_Beri_Kuliah_Umum_di_IPB). Untuk seluruh transek yang diamati, tidak terdapat mangrove di tepi pantainya, seharusnya adanya mangrove di sekitar pantai akan mengurangi sedimentasi.Wolanski et.al. (1997) mengemukakan bahwa mangrove berperan mengatur pergerakan sedimen melalui pengurangan daya erosive arus air, pengayaan deposit liat dan pengurangan daya resuspensi dari deposit liat sehingga mangrove dapat meningkatkan kualitas perairan dan produktivitas primer oleh melimpahnya fitoplankton. Supriharsono (2000) menyatakan bahwa terumbu karang sangat sensitive terhadap sedimentasi, akibatnya terumbu karang tidak lagi ditemukan pada daerah yang terlalu banyak pemasukan air tawar yang membawa banyak endapan lumpur maskipun keadaan lingkungannya cukup baik. Kebanyakan karang tidak dapat bertahan karena adanya endapan yang menutupinya sehingga menyumbat struktur pemberian makanannya. Endapan juga menyebabkan kurangnya cahaya matahari yang dibutuhkan untuk fotosintesis, sehingga akan menyebabkan kematian bagi karang. Hal tersebut yang menyebabkan luas tutupan karang tergolong rendah. Mangrove juga berperan dalam meningkatkan jumlah oksigen terlarut. Perakaran mangrove berperan mengurangi materi tersuspensi dalam badan kolom air, bahkan mendeposisikannya, sehingga konsentrasi oksigen terlalu meningkat. Selain itu, mangrove dapat menyerap dan mengurangi bahan pencemar (polutan) dari badan air baik melalui penyerapan polutan tersebut oleh jaringan anatomi tumbuhan mangrove maupun menyerap polutan yang bersangkutan dalam sedimen lumpur (IUCN & E/P Forum, 1993 dalam Kusmana, 2009). Luas tutupan keseluruhan pada setiap tipe pertumbuhan karang terdiri dari Luas tutupan keseluruhan pada setiap tipe pertumbuhan karang terdiri dari Karang Bercabang sebesar 7,63 %, Karang Encrusting sebesar 1,68 %, Karang Massive sebesar 0,72 %, Karang Folliose sebesar 0,94 %. Presentase luas tutupan karang

terbesar didominasi oleh tipe pertumbuhan Karang bercabang dan yang terendah adalah tipe pertumbuhan Karang Massive. Untuk indeks keanekaragaman, hasil yang didapat sebesar 1.59. Berdasarkan kriteria indeks keanekaragaman menurut Shannon-Weaner termasuk ke dalam kategori keanekaragaman rendah. Keanekaragaman yang rendah ini diduga dipengaruhi oleh kondisi fisik dari perairan di Pulau Melinjo tidak cukup mendukung yaitu pH 6 , suhu 310 C, dan tidak adanya mangrove diskitar Pulau Melinjo.

XI.

PERSONALIA PENELITIAN1. Nama

: Fathan Hadyan Rizki

No. Reg. : 3415106786 Prodi : Pend. Biologi Billingual 2010

No. Telp. : 08567201488

2. Nama

: Indah Cahaya Pramesti : 3415106777 : Pendidikan Biologi Billingual 2010

No. Reg Prodi

No. Telp : 085691531617

3. Nama

: Evy Kurniawati : 3415106783 : Pend. Biologi Billingual 2010

No. Reg Prodi

No. Telp : 081902301499

4. Nama

: Shofy S :: Biologi 2009

No. Reg Prodi

No. Telp : 08978329192

XII.

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri. 2002. Keanekaragaman Hayati Laut. Bogor :Gramedia Pustaka Utama. English, S.,C. Wilkinson and V. Baker 1994. Survey manual for tropical marine resources. AIMS, Townsville. Nybakken, James. 2001. Marine Biology. Ney York. Animprint of Addison Weasley Longman, Inc Susetono, et al. 2010. Penyusun Panduan Evaluasi Evektifitas Pengelolaan Untuk Kawasan Konservasi Laut di Indonesia. Jakarta : Core Map II LIPI.