proposal skripsi kualitatif demak
DESCRIPTION
Proposal skripsi kualitatif mengenai pilpres 2014 di DemakTRANSCRIPT
Nama : Putri Maharani S
Nim : 3312412047
Prodi : Ilmu politik
1. Judul
“FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN DUKUNGAN SUARA
KEPADA JOKOWI-JK DALAM PILPRES 2014 OLEH MASYARAKAT DESA
SUMBEREJO KECAMATAN BONANG KABUPATEN DEMAK”
2. Pendahuluan
2.1 Latar Belakang
Pemilihan Presiden (Pilpres) adalah agenda 5 tahunan untuk
memperebutkan posisi sebagai orang nomor satu di Indonesia. Agenda ini disebut
juga sebagai pesta demokrasi, karena dalam kesempatan tersebut rakyat dapat
menggunakan hak pemberian suara kepada calon yang dianggapnya pantas untuk
menduduki kursi jabatan sebagai presiden dan wakil presiden. Peserta pemilu
dapat berupa perseorang dan partai politik, tetapi yang paling utama adalah partai
politik. Partai politik mengajukan kandidat dalam pemilu untuk kemudian dipilih
oleh rakyat.
Di Negara Indonesia yang menganut paham demokrasi, pemilu menjadi
salah satu sarana penerapan dari asas-asas demokrasi tersebut. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim yang dikemukakan dalam
Dinasthi (2013), bahwa “Pemilihan umum merupakan sebuah cara untuk memilih
wakil-wakil rakyat. oleh karenanya bagi sebuah negara yang mennganggap
dirinya sebagai negara demokratis, pemilihan umum itu wajib dilaksanakan dalam
periode tertentu.”
Bagir Manan juga mengatakan dalam Roswati (2014) bahwa, “Pemilihan
umum yang diselenggarakan dalam periode lima 5 tahun sekali adalah saat
ataupun momentum memperlihatkan secara langsung dan nyata pemerintahan
oleh rakyat. Ketika pemilihan umum itulah semua calon yang bermimpi duduk
sebagai penyelenggara negara dan juga pemerintahan bergantung sepenuhnya
pada kehendak atau keinginan rakyatnya.”
1
Di dalam negara demokrasi, pemilihan umum merupakan salah satu unsur
yang sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis tidaknya
suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan pemilihan umum yang
dilaksanakan oleh negara tersebut. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan
oleh rakyat. Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat adalah dengan memilih
wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme yang dinamakan dengan
pemilihan umum. Jadi pemilihan umum adalah satu cara untuk memilih wakil
rakyat.
Sigit pamungkas di dalam bukunya yang berjudul Perihal Pemilu (2009:3)
mengemukakan bahwa pada zaman modern ini pemilu menempati posisi penting
karena terkait dengan beberapa hal. Pertama, pemilu menjadi mekanisme
terpenting bagi keberlangsungan demokrasi perwakilan. Kedua, Pemilu menjadi
indikator Negara demokrasi. Ketiga, pemilu juga terkait dengan implikasi-
implikasi yang luas, misalnya dalam menghentikan kekuasaan rezim otoriter.
Dalam pelaksanaan Pemilu, rakyat memiliki peranan penting dan sangat
sentral. Dalam hal ini rakyat bagaikan malaikat yang menentukan nasib seorang
kandidat untuk terpilih maupun gugur, baik itu dalam pemilihan kepala desa,
pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Selain
keberadaannya sebagai konstituen yang menentukan terpilihnya seorang kandidat,
tujuan utama pemilihan tersebut pada esensinya bermuara kepada kepentingan
rakyat itu sendiri.
Warga desa Sumberejo terletak di kecamatan Bonang, kabupaten Demak.
Warga Demak, khususnya desa Sumberejo, mayoritas bermata pencaharian
sebagai petani. Warga Demak juga merupakan warga yang sangat agamis dan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama islam. Karakteristik agamis kota Demak
tersebut membuatnya menjadi target pengumpulan suara oleh Partai Islam,
misalnya PKB. Dalam pileg 2014 sendiri, PKB berhasil menjadi pemenang
dengan perolehan suara sebesar 114.742 suara (data KPU Demak).
Sebagai capres yang diusung oleh PDI-P dalam pilpres 2014, Jokowi-JK
menampilkan image sebagai pemimpin “wong cilik”. Sejak karir politiknya di
solo, image tersebut telah melekat kuat pada diri Jokowi. Image ini cocok bagi
penduduk indonesia yang sebagian besar berprofesi sebagai petani dan nelayan
yang notabene menganggap diri mereka sebagai “wong cilik”.
Pada Pilpres 2014, Jokowi-JK berhasil menjadi pemenang dan menjadi
orang nomor satu di Indonesia. Di Demak sendiri, menurut data KPU Demak,
Jokowi-JK berhasil meraih kemenangan. Dari data KPU, Jokowi-JK mendapatkan
kemenangan dengan persentase suara 64,8%.
2.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana strategi kampanye yang dilakukan PDI-P di masyarakat Desa
Sumberejo?
2. Faktor yang mempengaruhi masyarakat Desa Sumberejo dalam
memberikan dukungan suara terhadap Jokowi-JK?
3. Bagaimana parpol melakukan marketing politik terhadap kandidat yang
diusungnya?
2.3 Tujuan Penelitian
Penulisan penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui bagaimana strategi kampanye yang dilakukan PDI-P di
masyarakat Desa Sumberejo.
2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi masyarakat Desa Sumberejo
dalam memberikan dukungan suara terhadap Jokowi-JK.
3. Mengetahui bagaimana parpol melakukan marketing politik terhadap
kandidat yang diusungnya.
2.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis.
1. Manfaat Teoristis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Politik yang di
dalamnya memuat pemilu presiden. Disamping itu hasil penelitian ini
dapat menjadi referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang tertarik
dengan kajian-kajian pemilu terutama factor yang mempengaruhi
pemberian suara pada pilpres.
2. Manfaat Praktis
Bagi pihak lain, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan yang digunakan dalam upaya peningkatan pemilu yang ada di
Desa Sumberejo kecamatan Bonang Kabupaten Demak.
Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan serta dapat mengaplikasikan dan mensosialisasikan teori yang
telah diperoleh selama perkuliahan
3. Tinjauan Pustaka
3.1 Pengertian Pemilu
Menurut Pamungkas (2009), Pemilu adalah arena kompetisi untuk mengisi
jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari
warganegara yang memenuhi syarat. Menurut uu no 8 tahun 2012, pemilu adalah
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945.
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk
memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan
presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR,
disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan
ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali
pada Pemilu 2004. Pada 2007 berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga
dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.
3.2 Sistem pemilu di Indonesia
perkembangan sistem pemilihan umum di Indonesia dapat disimpulkan,
keputusan untuk tetap menggunakan sistem proporsional pada tahun 1967 adalah
keputusan yang tepat karena tidak ada distorsi atau kesenjangan antara perolehan
suara nasional dengan jumlah kursi dalam DPR. Yang kedua ketentuan didalam
UUD 1945 bahwa DPR dan presiden tidak dapat saling menjatuhkan merupakan
keuntungan, karena tidak ada lagi gejala sering terjadinya pergantian kabinet
seperti zaman demokrasi parlementer.
Secara keseluruhan sistem pemilu di Indonesia pada tahun 1955
menggunakan sistem proporsional yakni jumlah anggota DPR ditetapkan
berdasarkan imbangan jumlah penduduk. Setiap 300.000 penduduk diwakilkan
oleh 1 anggota DPR. Calon yang terppilih adalah yang memperoleh suara sesuai
BPPD (bilangan pembagi pemilih daftar). Apabila tidak ada calon yang
memperoleh suara sesuai dengan BPPD, suara yang diberikan kepada partai yang
akan menentukan.
Kemudian sistem pemilu tahun 1955 sampai dengan tahun 1999
menggunakan sistem proprsional dengan stelsel daftar tertutup. Pemilih hanya
memberikan suara hanya kepartai dan partai akan memberikan suaranya kepada
calon dengan nomor urut teratas. Suara akan diberikan kepada urutan berikutnya
bila calon dengan nomor urut teratas sudah kebagian suara cukup untuk kuota 1
kursi. Pada pemilihan tahun ini setiap anggota DPR mewakili 400.000 penduduk.
Pada pemilu tahun 2004 ada satu lembaga didalam legislatif yaitu DPD
(dewan perwakilan daerah) untuk pemilihannya menggunakan sistem distrik tetapi
dengan wakil 4 kursi untuk setiap provinsi dan pesertanya adalah individu. Untuk
pemilihan anggota DPR dan PDRD digunakan sistem proporsional dengan stelsel
daftar terbuka sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung
kepada calon yang dipilih. Dalam hal ini pemilih yang memberikan suaranya
kepada partai, calon pada urutan pertama mendapatkan peluang yang cukup besar
untuk terpilih. Dari sudut pandang gender pemilu tahun 2004 secara tegas
memberikan peluang lebih besar secara afirmatif bagi peran perempuan. Pasal 65
UU no. 12/2003 menyatakan bahwa setiap partai politik dapat mengajukan calon
anggota DPR dan DPRD dengan memerhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% untuk setiap daerah pemilihan.
Ada juga upaya untuk kembali menyederhanakan atau mengurangi jumlah
partai melalui cara yang bukan paksaan. Hal ini tampak pada prosedur seleksi
partai yang akan menjadi peserta pemilu. Ada sejumlah syarat baik administratif
maupun substansial yang harus dipenuhi oleh setiap partai untuk dapat menjadi
peserta pemilu. Syarat tersebut antara lain ditentukannya electoral threshold
dengan memperoleh sekurang-kurangnya 3% dari jumlah kursi dari anggota
badan legeslatif pusat, memperoleh minimal 4% jumlah kursi DPRD provinsi
yang tersebar paling tidak setengah jumlah provinsi di Indonesia, atau minimal
memperoleh 4 % dari jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar
disetengah jumlah kabupaten di Indonesia. Untuk pemilihan presiden dan wakil
presiden memperoleh minimal 3% jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan
atau 5% dari perolehan suara sah secara nasional.
3.2 Partai Politik Di Indonesia
Partai politik di Indonesia adalah organisasi yang bersifat nasional dan
dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengertian ini
tercantum dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik.
Banyak definisi tentang partai politik, baik secara umum maupun
pendapat-pendapat dari para ahli, sebagai misal partai politik adalah organisasi
yang bertujuan untuk membentuk opini publik dikemukakan oleh Seilere dalam
Firmanzah (2012). Lain dengan pengertian politik secara umum, partai politik
adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai
nilai dan cita-cita yang sama tujuannya untuk memperoleh kekuasaan politik serta
merebut kekuasaan politik.
Ramlan Surbakti (1992) mendefinisikan partai politik sebagai kelompok
anggota yang terorganisasikan secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan
dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan
mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum guna
melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun.
Ada berbagai macam tipologi partai, dalam pembahasan kali ini. Akan
digunakan klasifikasi menurut Katz (2006) yang membagi tipe partai politik
menjadi 4 tipe, yaitu:
1) Partai Elit. Partai jenis ini berbasis lokal, dengan sejumlah elit inti yang
menjadi basis kekuatan partai.
2) Partai Massa. Partai jenis ini berbasiskan individu-individu yang
jumlahnya besar, tetapi kerap tesingkirkan dari kebijakan negara. Partai ini
kerap memobilisasi massa pendukungnya untuk kepentingan partai.
Biasanya, partai massa berbasiskan kelas sosial tertentu, seperti “orang
kecil”, tetapi juga bisa berbasis agama.
3) Partai Catch-All. Partai jenis ini di permukaan hampir serupa dengan
Partai Massa. Namun, berbeda dengan partai massa yang mendasarkan diri
pada kelas sosial tertentu, Partai Catch-All mulai berpikir bahwa dirinya
mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan.
4) Partai Kartel. Partai jenis ini muncul akibat berkurangnya jumlah pemilih
atau anggota partai. Kekurangan ini berakibat pada suara mereka di tingkat
parlemen.
5) Partai Integratif. Partai jenis berasal dari kelompok sosial tertentu yang
mencoba untuk melakukan mobilisasi politik dan kegiatan partai. Mereka
membawakan kepentingan spesifik suatu kelompok.
3.3 Marketing Politik
Sejak Konsep marketing diutarakan Kotler ditahun 19 mengemukakan
bahwa marketing berlaku baik pada sektor publik dan non-komersial. Cakupan
dari marketing ini sangatlah luas. Diungkapakan oleh Firmanzah (2012) bahwa
pertukaran yang terjadi tidak saja pertukaran ekonomi, pertukaran ini juga dapat
terjadi dalam konteks sosial secara luas, tidak hanya terbatas pada perusahaan
swasta, tetapi juga pada organisasi sosial non frofit, museum, rumah sakit
pemerintah, dalam bentuk pertukaran ide, norma dan symbol. Dalam hal ini,
konteks politik pun dalam mengaplikasikan konsep dan teori marketing.
Firmanzah (20012) meyakini bahwa marketing politik merupakan metode
dan konsep aplikasimarketing dalam konteks politik, marketing dilihat sebagai
seperangkat metode yang dapat memfasilitasi kontestan (individu atau partai
politik) dalam memasarkan insiatif politik, gagasan politik, isu politik, ideology
partai, karakteristik pemimpin partai dan program kerja partai kepada masyarakat
atau kontestan.
Dalam penggunaan metode marketing dalam bidang politk dikenal sebagai
marketing politik (marketing politik). Levi dan Kotler, (1969) menganggap bahwa
marketing berperan dalam membangun tatanan sosial, dan berargumen bahwa
penggunaan konsep marketing tidak hanya terbatas pada bisins saja. Kenyatan ini
lebih menarik perhatian banyak pihak untuk menerapkan ilmu marketing diluar
konteks organisasi bisnis. Marketing dapat diaplikasikan kedalam bentuk
organisasi, yang tidak hanya berorientasi kepada keuntungan ekonomi semata dan
lebih menitik beratkan aktifitasnya kepada hubungan jangka panjang dengan
konsumen dan stakeholder.
Adnan Nursal memiliki konsep seperti konsep marketing politiknya
Firmanzah. Adnan Nursal memandang political marketing adalah strategi
kampaye politik untuk membentuk serangkaian makna politis tertentu didalam
pikiran para pemilih. Maka polits ini inilah yang menjadi output penting
marketing politk yang menentukan, pihak mana yang akan dicoblos oleh pemilih.
Produk politik yang dimaksud oleh Adnan dapat diartikan sebagai figure,
gagasan politik dan visi misi. Yang terangkum dalam identitas khas dan konsisten
berupa nama, logo. Push marketing pada dasarnya adalah usaha agar produk
politik dapat menyentuh para pemilih secara langsung atau dengan cara yang lebih
costumized (personal). Pull marketing adalah penggunaan media dengan dua cara
yaitu dengan membayar atau tidak membayar. Pas marketing ialah pihak-pihak,
baik perorangan maupun kelompok yang bepengaruh besar terhadap pemilih yang
dikelompokkan kedalam dua kelompok yaitu infulencer aktif dan infulencer pasif.
Paid marketing adalah penggunaan media yang lazim digunakan untuk memasang
iklan adalah televisi, radio, media cetak, website dan media luar ruang.
Dalam tujuannya untuk mempengaruhi kosnstituen agar dapat berpihak
kepaa seseorang kontestan diperlukanlah seperangkat instrument fasilitas yang
dapat mendekatkan seseorang kontestan kepada konstituen tersebit dipilih oleh
konstituen, pemahaman marketing politik oleh Firmanzah maupun Adnan Nursal
adalah merupakan dua konsep yang sama, yang berbicara tentang perjuangan
untuk menjadikan seseorang kontestang dapat dipilih melalui pemilihan umum
kepada konstituen. Tapi ini bukanlah sebuah garansi yang menghasilkan sebuah
kemenangan akan tetapi apabila konsep marketing politik yang dibentuk serta
diaplikasikan secara trampil akan dapat menghasilkan hasil yang memuaskan.
3.3.1 Konsep Positioning Dalam Marketing Politik
Dalam disiplin Marketing, “menempatkan” seorang kandidat atau sebuah
partai dalam pikiran para pemilih disebut positioning. Bagi orang-orang
marketing, positioning sangat menentukan keberhasilan pemasaran. Positioning
adalah sebuah mantra yang penting bagi orang-orang pemasaran di akhir abad 20.
Menurut definisi, positioning adalah tindakan untuk menancapkan citra
tertentu ke dalam benak para pemilih agar tawaran produk politik dari suatu
kontestan memiliki posisi khas, jelas, dan meaningful. Positioning yang efektif
akan menunjukkan perbedaan nyata dan keunggulan sebuah kontestan
dibandingkan dengan kontestan pesaing. Positioning secara tidak langsung juga
mendefenisikan pesaing: bahwa pesaing tidak dapat mewujudkan tawaran-
tawaran tertentu sebaik pihak yang mencanangkan positioning tersebut.
Posisi yang khas, jelas, dan meaningful dari sebuah kontestan bersumber
dari faktor-faktor pembeda yang dimiliki oleh kontestan tersebut dibandingkan
dengan kontestan lain. Tetapi tidak semua faktor pembeda yang dimiliki oleh
sebuah kontestan itu akan menghasilkan positioning yang egektif. Setidaknya
diperlukan enam syarat agar sebuah perbedaan itu menjadi berharga:
1) Penting (Important)
2) Istimewa
3) Superior
4) Dapat dikomunikasikan
5) Orisinil
Jadi, positioning harus memiliki peran sentral dalam political marketing.
Produk-produk politik seperti partai, kandidat, platform program dan sebagainya
haruslah sebangun dengan positioning. Pengatur strategi harus berusaha melalui
strategi branding bahwa kebijakan, ide-ide, isu-isu, gaya, dan nuansa yang
diluncurkan merupakan hal otentik milik sendiri.
3.4 Kampanye Politik
3.4.1 Definisi Kampanye Politik
Terdapat banyak definisi mengenai kampanye yang dikemukakan oleh
para ilmuwan komunikasi, namun berikut ini adalah beberapa definisi yang
populer. Snyder (2002) dalam Venus (2004), mendefinisikan bahwa kampanye
komunikasi merupakan aktivitas komunikasi yang terorganisasi, secara langsung
ditujukan kepada khalayak tertentu, pada periode waktu yang telah ditetapkan
untuk mencapai tujuan tertentu. Pfau dan Parrot (1993) dalam Venus (2004),
mendefinisikan kampanye sebagai kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk
menunjang dan meningkatkan proses pelaksanaan yang terencana pada periode
tertentu yang bertujuan mempengaruhi khalayak sasaran tertentu. Rogers dan
Storey (1987) dalam Venus (2004), mendefiniskan kampanye sebagai serangkaian
kegiatan komunikasi yang terorganisasi dengan tujuan untuk menciptakan dampak
tertentu terhadap sebagian besar khalayak sasaran secara berkelanjutan dalam
periode waktu tertentu.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, Venus (2004) mengidentifikasi
bahwa aktivitas kampanye setidaknya harus mengandung empat hal yakni, (1)
ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu (2) ditujukan kepada
jumlah khalayak sasaran yang besar (3) dipusatkan dalam kurun waktu tertentu
dan (4) dilakukan melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisasi.
Kampanye politik adalah bentuk komunikasi politik yang dilakukan
seseorang atau sekelompok orang atau organisasi politik dalam waktu tertentu
untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat (Arifin, 2003). Salah satu
jenis kampanye politik adalah kampanye massa, yaitu kampanye politik yang
ditujukan kepada massa (orang banyak), baik melalui hubungan tatap muka
maupun dengan menggunakan berbagai media, seperti surat kabar, radio, televisi,
film, spanduk, baligo, poster, folder dan selebaran serta medium interaktif melalui
komputer (internet). Penyampaian pesan politik melalui media massa merupakan
bentuk kampanye yang handal dalam hal menjangkau khalayak luas.
Kampanye politik saat ini sudah mengadopsi prinsip-prinsip pemasaran
dan pembentukan citra. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena perubahan
sistematika pemilihan kepala daerah dari yang sebelumnya dipilih oleh legislatif
menjadi dipilih langsung oleh masyarakat. Menurut Ruslan (2005), kampanye
politik merupakan jenis kampanye yang pada umumnya dimotivasi oleh hasrat
untuk meraih kekuasaan politik. Tujuan dari kampanye ini adalah untuk
memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang diajukan
partai politik agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik yang diperebutkan
lewat proses pemilihan umum. Kampanye politik dapat diartikan pula sebagai
bentuk komunikasi politik yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang atau
organisasi politik dalam waktu tertentu untuk memperoleh dukungan politik dari
rakyat (Arifin, 2003).
Kegiatan untuk membangun citra atau image merupakan bagian penting
dalam kampanye politik untuk memperoleh dukungan. Terkait dengan
komunikasi dalam kampanye politik, terdapat beberapa aktivitas komunikasi yang
dapat diidentifikasi. Menurut Nimmo (2005), kegiatan komunikasi politik adalah
kegiatan simbolik dimana kata-kata itu mencakup ungkapan yang dikatakan atau
dituliskan, gambar, lukisan, foto, film, gerak tubuh, ekspresi wajah dan segala
cara bertindak. Orang-orang yang mengamati simbol-simbol itu,
menginterpretasikannya dengan cara-cara yang bermakna sehingga membentuk
citra mental tentang simbol-simbol tersebut.
3.4.2 Teknik-Teknik Kampanye
Selama masa kampanye, tim kampanye berusaha menggalang dukungan
dan simpati pemilih agar pemilih menjatuhkan pilihannya pada calon kepala
daerah yang dikampanyekannya. Tim kampanye poltik menggunakan teknik-
teknik kampanye politik yang kemudian diwujudkan dalam suatu bentuk kegiatan
kampanye politik untuk mempengaruhi pemilih. Imawan (1997) dalam Amir
(2006) merumuskan beberapa teknik kampanye politik, yaitu:
1. Kampanye dari rumah ke rumah (door to door campaign), yaitu calon
kepala daerah mendatangi langsung para pemilih sambil menanyakan
persoalanpersoalan yang dihadapi. Kampanye ini efektif dilakukan pada
pemilihan umum tahun 1955, dengan mendatangi orang-orang yang
pilihannya dianggap masih ragu dan dapat dibujuk atau diancam untuk
mengubah sikap dan pilihan politik mereka.
2. Diskusi Kelompok (group discussion), dilakukan dengan membentuk
kelompok-kelompok diskusi kecil yang membicarakan masalah yang
dihadapi masyarakat.
3. Kampanye massa langsung (direct mass campaign), dilakukan dalam
bentuk aktivitas yang menarik perhatian massa, seperti pawai,
pertunjukkan kesenian dan sebagainya. Teknik inilah yang dilarang dalam
kampanye Pemilu 1992, karena selain tidak efektif juga berpotensi
menimbulkan bentrokan fisik.
4. Kampanye massa tidak langsung (indirect mass campaign), yang
dilakukan dengan cara berpidato di radio, televisi atau memasang iklan di
media cetak dan elektronik.
3.4.3 Strategi Kampanye Politik
Strategi dalam pengertian sempit maupun luas terdiri dari tiga unsur, yaitu
tujuan (ends), sarana (means), dan cara (ways). Dengan demikian strategi adalah
cara yang digunakan dengan menggunakan sarana yang tersedia untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan (Nasution, 2006). Tujuan akhir dalam kampanye
pemilihan kepala daerah adalah untuk membawa calon kepala daerah yang
didukung oleh tim kampanye politiknya menduduki jabatan kepala daerah yang
diperebutkan melalui mekanisme pemilihan secara langsung oleh masyarakat.
Agar tujuan akhir tersebut dapat dicapai, diperlukan strategi yang disebut
strategi komunikasi dalam konteks kampanye politik. Terdapat tiga jenis strategi
komunikasi dalam konteks kampanye politik (Arifin, 2003), yaitu (1) Ketokohan
dan kelembagaan, dengan cara memantapkan ketokohan dan merawat
kelembagaan, (2) Menciptakan kebersamaan dengan memahami khalayak,
menyusun pesan persuasif, menetapkan metode, serta memilah dan memilih
media, dan (3) Membangun konsensus, melalui kemampuan berkompromi dan
kesediaan untuk membuka diri.
3.5 Pemberian Suara dan Tindakan Pemberian Suara
3.5.1 Pemberian Suara
Dalam studi pemberian suara kita dapat menurunkan empat cara alternatif
dalam memikirkan bagaimana pemberi suara bertindak. Perspektif ini membantu
kita dalam merumuskan pandangan tentang pemberian suara sebagai tindakan
komunikasi. Keempat cara alternatif tersebut yaitu:
1) Pemberi Suara Yang Rasional
Pemberi suara yang rasional adalah pemberi suara berdasarkan aksi
atau tindakan dari diri sendiri dalam menentukan pilihan, orang-orang
yang rasional dalam memberikan suara memiliki ciri-ciri: selalu dapat
mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif, memilih alternatif-
alternatif sehingga masing-masing apakah lebih disukai, sama saja atau
lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif yang lain, menyusun
alternatif-alternatif dengan cara transitif: jika A disukai dari pada B, dan B
lebih disukai dari pada C, maka A lebih disukai dari pada C, selalu
memilih alternatif yang peringkat preferensinya lebih tinggi, dan selalu
mengambil putusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif-alternatif
yang sama. Pemberi suara yang rasional selalu dimotivasi untuk bertindak
jika dihadapkan pada pilihan politik, berminat secara aktif terhadap politik
sehingga memperoleh informasi cukup dan berpengetahuan tentang
berbagai alternatif, berdiskusi tentang politik sebagai cara untuk mencapai
suatu peringkat alternative, dan bertindak berdasarkan prinsip. Bukan
secara kebetulan atau serampangan, atau kebiasaan melainkan berkenaan
dengan standar yang tidak hanya untuk kepentingan diri pribadi tetapi
menyangkut kepentingan orang lain atau umum. Dengan demikian
pemberi suara yang rasional yang bermotifasi diri, terinformasi, dan
berprinsip itu bertindak secara konsisten dalam menghadapi tekanan dan
kekuatan politik.
2) Pemberi Suara Yang Reaktif
Gambaran tentang pemberi suara yang reaktif seperti yang
diterangkan bahwa manusia bereaksi terhadap rangsangan dengan cara
pasif dan terkondisi. Dalam kampanye politik, kandidat dan partai
menyajikan syarat yang menggerakkan para pemilih dengan memicu
faktor-faktor jangka panjang yang menetapkan arah perilaku dalam
memberikan suara. Para peneliti mengumpulkan banyak sekali data yang
mengesahkan tentang atribut sosial dan demografi yang berkolerasi dan
demografi yang berkorelasi dengan keputusan dalam memberikan suara,
ukuran kelas dan demografi yang berkorelasi dengan keputusan dalam
memberikan suara. Ukuran kelas sosial termasuk pekerjaan, pendidikan,
pendapatan, dan atribut usia, jenis kelamin, ras, agama, wilayah tempat
tinggal, dan sebagainya.
Sebagai contoh pandangan bahwa pemberi suara bereaksi terhadap
pemilihan umum berdasarkan faktor-faktor sosial dan demografi jangka
panjang, indeks ini terdiri atas seperangkat kategori sosio-demografi-
agama, status sosio-ekonomi, dan tenpat tinggal diperkotaan-pedalaman-
yang membantu para peneliti dalam menerangkan pemberian suara.
Bergantung pada posisi seseorang pada indeks itu, kita bisa mengatakan
arah mana yang akan diambil oleh orang itu dalam memberikan suara
sebagai contoh di Amerika partai demokrat jika ia katolik, status rendah,
dan penghuni perkotaan, partai republik jika ia protestan, status tinggi, dan
penghuni pedesaan. Jika para pemberi suara memiliki karakteristik yang
membuat mereka cenderung kesatu arah, tapi karakteristik lain yang lain
membuat mereka cenderung kearah yang berlawanan (misalnya protestan,
penghuni kota, pekerja kasar, maka “tekanan silang” ini menyebabkan
mereka terombang ambing dan tidak menentu.
Diantara konstruk-konstruk yang menghubungkan pengaruh sosial
dengan pemberian suara, yang paling penting bagi pemberi suara yang
reaktif ialah ikatan emosional kepada partai politik. Ikatan emosional pada
partai sebagai :identifikasi partai” yakni sumber utama aksi diri pemberi
suara yang reaktif. Sekedar mengasosiasikan lambang partai dengan nama
kandidat mendorong mereka yang mengidentifikasi diri dengan partai
untuk mengembangkan citra yang lebih menguntungkan tentang catatan
dan pengalamannya, kemampuannya, dan atribut personalnya. Oleh
karena itu, identifikasi dengan partai meningkatkan tabir perseptual.
Melalui tabir itu individu melihat apa yang menguntungkan bagi orientasi
kepartaiannya, semakin kuat ikatan parati itu semakin dibesar-besarkan
proses seleksi dan distorsi persepsi.
Focus pada hubungan atribut, sikap sebagai penyebab utama
memberikan suara membangkitkan skeptisisme bahwa kapasitas
komunikasi politik dalam kampanye memilki akibat memicu yang lebih
dari minimal. Kesetian kepada partai, misalnya hanya sedikit sekali
berkaitan dengan perhatian para pemilih terhadap isu atau masalah
kebijakan. Kesetian partai diturunkan dari ikatan emosional terhadap
lambang yang diperoleh pada masa awal proses sosialisasi.
Dimulai pada pertengahan tahun 1960-an, semakin banyak sarjana
yang merasa ragu atas gambaran pemberi suara yang reaktif dari pemilih,
presisi seperti ketika studi tentang pemberi suara yang menimbulkan
model reaktif menghadapi gambaran tentang pemberi suara yang rasional.
Yang jelas, hasil sejumlah besar pemilihan kepresidenan menyimpang dari
apa yang diharapkan oleh para peneliti berdasarkan anggapan bahwa
rakyat memberikan suara terutama berdasarkan atribut sosial atau
kesetiaan terhadap partai yang kekal.
Petunjuk lainnya bahwa atribut yang tetap tidak selalu
mempengaruhi arah pemberian suara partisan ialah fakta bahwa
sebenarnya seluruh kategori sosial dan demografi mengalihkan
dukungannya diantara partai-partai dalam pemilihan umum yang satu
kepemilihan umum yang lainnya. Survey menunjukkan bahwa perhatian
rakyat meningkat, baik terhadap isu maupun terhadap kebijakan , dan
sering menempatkan diri mereka di belakang barisan kandidat berdasarkan
persepsi mereka tentang posisi isu dan mutu pribadi kandidat tersebut.
3) Pemberi Suara Responsif
Ilmuwan politik Gerald pomper membuat gambaran tentang
pemberi suara yang responsif. Apabila karakter pemberi suara yang reaktif
( yang oleh pomper disebut pemberi suara yang “dependen”) itu tetap
stabil, dan kekal maka pemberi suara yang responsif adalah pemberi suara
yang memiliki karakter impermanen, berubah mengikuti waktu, peristiwa
politik, dan pengaruh yang berubah-ubah terhadap pilihan para pemberi
suara. Ada beberapa perbedaan antara pemberi suara yang reaktif dengan
pemberi suara yang responsiv , yaitu:
Meskipun pemberi suara yang responsive dipengaruhi oleh
karakteristik sosial demografis mereka, pengaruh yang pada
hakikatnya merupakan atribut yang permanen ini tidak
deterministik.
Pemberi suara yang responsiv juga memiliki kesetiaan kepada
partai, tetapi ini juga lagi-lagi tidak menentukan perilaku
pemilihan. Sebenarnya, ikatan kepada partai itu lebih rasional
ketimbang emosional. Sebab dengan mengasosiasikan partai
dengan isu, pemberi suara yang responsiv secara rasional
mengurangi biaya partisipasi pribadinya ( yaitu, pemberi suara itu
menggunakan partai sebagai jalan pintas untuk mengumpulkan
informasi tentang isu) dan secara efektif mengungkapkan
kepentingan personal. Apabila pemberi suara yang reaktif
mengidentifikasikan dirinya dengan partai sebagai pengganti
untuk melakukan pertimbangan yang independen, maka
identifikasi partai pada pemberi suara yang responsiv
membantunya dalam tugas membuat pilihan
Pemberi suara yang responsif lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor
jangka pendek yang penting dalam pemilihan umum. gambaran
pemberi suara yang responsif bukanlah gambaran tentang pemilih
yang dibelenggu oleh determinan sosial atau digerakkan oleh
dorongan bawah sadar yang dipicu oleh propagandis yang luar
biasa terampilnya. ia lebih merupakan gambaran tentang pemilih
yeng digerakkan oleh perhatiannya terhadap masalah pokok dan
relevan tentang kebijakan umum, tentang prestasi pemerintah dan
tentang kapribadian eksekutif.
Bagian yang dominan dari gambaran pomper tentang wajah
pemberi suara yang responsif terdiri atas pilihan yang dapat dipilih oleh
pemilih dalam setiap kampanye tertentu. Variasi dalam rangsangan yang
diberikan oleh kepemimpinan politik, partai, dan kandidat sangat penting
dalam pandangan pemberi suara karena tanggapan rakyat akan sangat
dikondisikan oleh rangsangan ini.
Jika potret pemberi suara yang reaktif mengandalkan sifat aksional
diri untuk menerangkan perilaku dalam pemilihan umum ( determinan
sosial, demografi, dan partisipan dalam putusan pemberi suara) potret
pemberi suara yang responsif berfokus pada sifat-sifat interaksional, yaitu
pemberi suara dan pilihan kampanye dipandang sebagai bagian-bagian
yang independen dari mesin yang bekerja di dalam gesekan yang sangat
banyak.
4) Pemberi Suara Yang Aktif
Kita kembali mengingat bahwa manusia bertindak terhadap objek
berdasarkan makna objek itu bagi mereka. Manusia harus dipandang
sebagai organisme yang harus berurusan dengan apa yang dilhatnya. Ia
menghadapi apa yang dilihatnya dengan melakukan proses indikasi diri
yang di dalamnya ia membuat suatu objek dari yang dilihatnya,
memberinya makna dan menggunakan makna itu untuk sebagai dasar
untuk mengarahkan tindakannya. Perilakunya terhadap apa yang
dilihatnya bukanlah tanggapan yang ditimbul oleh penyajian apa yang
dilihatnya, melainkan merupakan tindakan yang timbul dari interpretasi
yang dibuat melalui proses indikasi diri. Dalam pengertian ini manusia
yang melakukan interaksi diri bukan sekedar organisme yang menanggapi,
melainkan organisme yang bertindak, organisme yang harus membentuk
arah tindakan berdasarkan apa yang diperhitungkannya, bukan hanya
melepaskan tanggapan terhadap permaianan suatu faktor pada
organisasinya.
Rangsangan kampanye politik membangkitkan tanggapan tidak
dapat dianggap seragam dalam pikiran setiap orang. Ada yang
memperhatikan kampanye dengan cermat, barangkali terlibat secara aktif,
yang lainnya hanya melirik sedikit dan banyak yang sama sekali tidak
mengindahkannya.
Bila dipandang seperti ini, maka rangsangan atau pilihan yang
diberikan kepada para pemberi suara dalam kampanye politik tidak lagi
tetap atau terbagi merata keseluruh pemilih ketimbang atribut sosial dan
kecenderungan pemilih. Akan tetapi, isi komunikasi kampanye bervariasi
dalam penyajian oleh media.
Keterlibatan aktif mencakup orang yang menginterpretasikan
peristiwa, isu, partai, dan personalitas, dengan demikian menetapkan dan
menyususn maupun menerima serangkaian pilihan yang diberikan. Para
pemberi suara memutuskan citra tentang apa yang diperhitungkan oleh
mereka, citra yang sangat bervariasi, dan secara terus menerus. Dengan
demikian tindakan pemberian suara adalah tindakan komunikasi.
3.4.2 Tindakan Pemberian Suara
Banyak pertimbangan yang diperhitungkan kedalam proses yang
digunakan oleh pemberi suara untuk menetapkan putusan mereka. Tiga
diantaranya sangat signifikan dalam membentuk latar belakang pemberi suara
mempersepsi komunikasi tentang isu dan kandidat yang diterima selama
kampanye yaitu terdisi atas: atribut, perspektif, dan persepsi pemberi suara.
1) Atribut Pemberi Suara: karakteristik sosial dan demografi
Banyak diantara penelitian terdahulu tentang pemberi suara, membedakan
atribut sosial dan demografi dari pemberi suara partisan dan independen. Studi
menunjukkan pada pertengahan tahu 1960-an menyingkapakan bahwa golongan
independen kebanyakan terdiri atas orang-orang yang berpusat kearah jenjang
pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan yang paling rendah, dan paling kecil
kemungkinannya berpartisipasi dalam politik apapun. Sedangkan penelitian yang
lebih baru menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya terdapat pendapat
independen. Yang pertama terdiri atas nonpartisipan dalam kategori status sosio-
ekonomi rendah, dan yang kedua terdiri atas orang-orang yang berpendidikan di
atas sekolah menengah, dalam kelompok pendapatan menengah, dan dengan
pekerjaan administrasi.
Sedangkan De Vries dan Tarrance membedakan dari independen yang
lama dan baru, ini satu golongan lagi, yaitu “kekuatan yang baru” dalam politik
Amerika. Kekuatan ini adalah pemberi suara yang mengaku bahwa dalam
pemilihan umum mereka memberikan suara kepada kandidat lebih dari satu
partai, bukan langsung kepada satu partai.
Dalam beberapa pemilihan kepresidenan terakhir terdapat peningkatan
kecendrungan pada pemberi suara untuk melihat perbedaan diantara kedua partai
dan kandidat terhadap isu pemilihan. Oleh karena itu pandangan Axelrod yang
mengatakan bahwa kelompok pemberi suara di dalam masyarakat mengalihkan
dukungan mereka dari satu partai keparatai yang lain atau dari satu kandidat
kekandidat yang lain, kebanyakan sebagai tanggapan terhadap trend nasional
bukan karena alasan yang menyangkut kelompok tertentu. Tetapi yang
berspesialisasi memang melihat perbedaan diantara partai politik utama mengenai
isu yang penting bagi mereka. Jadi, misalnya golongan itu melihat perbedaan
kepartaian terhadap isu jaminan sosial dan perawatan kesehatan, pengusaha
melihat perbedaan dalam ukuran ekonomi, golongan kulit hitam mengamati
perbedaan dalam isu hak sipil dan kesempatan kerja, dan sebagainya. Bila isu itu
menonjol bagi orang dengan atribut sosial tertentu, maka isu yang
bersangkutanlah, bukan karena trend nasional, yang menerangkan tanggapan
anggota kelompok sosial terhadap partai dan kandidat yang bersaingan. Dalam hal
seperti itu, atribut sosial dan demografi seseorang menerangkan perspektif
pemberi suara.
2) Perspektif Pemberi Suara: mengembangkan citra politik
Orang belajar mengidentifikasikan diri dengan lambang-lambang
signifikan melalui pembicaraan politik, persuasi, sosialisasi, dan pembentukan
opini. Orang yang memasuki kampanye politik, misalnya membawa berbagai titik
pandang yang terikat erat kepada citra diri politik mereka, mereka tidak hanya
melihat segala sesuatu terjadi ( citra diri jangka pendek, persepsi terhadap objek-
objek politik ). Mereka mengamatinya dari titik pandang individual (citra diri
politik jangka panjang, atau perspektif mereka). Diantara pokok-pokok yang
menguntungkan yang dibawa oleh pemberi suara yang berkembang, yaitu diteliti
lima pokok: identifikasi partisan, kelas sosial, kecendrungan ideologis, konsepsi
tentang sifat-sifat yang diharapkan pada pemegang jabatan yang ideal, dan
kekhawatiran pribadi
3) Persepsi pemberi suara: citra politik yang khas kampanye.
Para pemberi suara secara selektif mempersepsi partai partai, kandidat,
isu, dan peristiwa, dalam kampanye, memberi makna kepada mereka, dan
berdasarkan itu menentukan pemberian suara. Melalui proses interpretativ,
mereka tidak hanya memperhitungkan atribut dan perkembangan mereka, yaitu
citra jangka panjang, tetapi jiuga menyusun citra jangka pendek tentang objek
kampanye.
3.5.3 Komunikasi Politik dan Citra Pemberi Suara
A. Munculnya Proses Komunikasi Kampanye
Jika diketahui kenyataan bahwa selama pemilihan untuk presiden, anggota
kongres, gubernur, legistlasi Negara bagian, dan banyak jabatan yang lebih
terendah sebagai warga Negara hampir tidak mungkin melindungi diri mereka
sendiri dari imbauan para kandidat atau yang berkampanye merupakan faktor
utama dalam membantu para pemeberi suara dalam mencapai pemilihan umum.
Bila masing-masing diantara banyak produk makanan mempunyai sifat
khusus sendiri untuk membedakannya dengan pesaingnya, begitu juga para
kandidat politik.
Berdasarkan kesetian sosial dan kesetiaan pada partai, orang secara
selektif memantau komunikasi kampanye, membaca, mendengarkan, dan
menonton apa yang mendukung pendirian mereka dan menghindari pesan-pesan
yang tidak mendukungnya.
Terpaan komuniaksi membawa serta akibat otomatis sehingga bila
pemberi suara dapat diterpa imbauan berkali-kali sampai jumlahnya cukup
banyak, mereka akan bereaksi kearah yang dimaksudkan.
Tiga kemungkinan akibat komunikasi terhadap pemberian suara
memperkuat keputusan partisan yang telah dibuat, mengaktifkan warga Negara
yang acuh tak acuh kalau tidak diaktifkan, dan mengubah orang yang ragu-ragu,
menurut taksiran, kurang dari dua diantara sepuluh pemberi suara mengalami
perubahan kampenye seperti itru
B. Fungsi Komunikasi Kampanye Sebagai Katalisator
Katalisatior adalah sesuatu yang mempercepat, memodifikasi, dan sering
meningkatkan proses tau peristiwa tanpa ia sendiri menjadi habis terpakai hal ini
tentulah merupakan salah satu cara untuk memikirkan apa yang dilakukan oleh
komunikasi politik dalam kampnye pemilihan umum.
Terhadap katalisator inilah, yakni komunikasi kampanye, para pemberi
suara bertindak dalam merumuskan kepercayaan, nilai, dan pengharapan mereka
terhadap objek kampanye. Maka, jika dirangkumkan, komunikasi kampanye
adalah katalisator dengan konsekuensi kognitif, afektif, dan konatif.
1) Akibat Kognitif
Sejauh mereka meneliti apa akaibat kampanye pada pemberi suara,
studi pemberian suara generasi pertama dan kaedua. 1. Akibat terpaan
media dan 2. Mengikuti prosedur sederhana untuk mengidentifikasi
pengaruh yang dimaksudkan dari pesan tertentu, orang yang dimaksudkan
dipengaruhi oleh pesan itu, dan akibat pengaruh tersebut pada khlayak
yang dimaksudkan. Prosedur ini analog dengan menembakkan artileri
medan: peluru ( pesan media) mengenai sasaran (khlayak dengan dampak
(akibat) yang dapat diukur)
2) Tangggapan Afektif
Perhatikan bahwa swicthers dan yang lambat mengambil putusan
menggunakan televisi untuk mendapatkan informasi selama pemilihan
umum mengesankan bahwa komunikasi politik mempengaruhi penilaian
pemberi suara maupun tingkat pengetahuan mereka tentang isu dan
kandidat. Apakah televise menyajikan bahan mentah kepada pemberi
suara, yang menyebabkan berubahnya citra mereka tentang kandidat, hal
itu sebagian besar bergantung pada jenis ini televise yang ditonton oleh
pemberi suara dan bagaimana mereka memanfaatkannya.
Perubahan dalam orientasi afektif terhadap kandidat pada pemberi
suara yang diterpa bentuk lain komunikasi kampanye sangat bervariasi.
3) Konsekuensi Konatif
Media politik memainkan peran yang lebih besar dalam membantu
pemberi suara dalam menyusun pilihannya, bahkan barangkali membelot
dari kebiasaan memberikan suara.
3.6 Peran Masyarakat dalam Politik
3.6.1 Pengertian Masyarakat
Di dalam masyarakat, orang melakukan interaksi dengan orang lain,
menjalankan aktivitas, dan berupaya untuk memenuhi kebutuhannya. Ada
beberapa teori yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan mengapa manusia
hidup bersama dalam bentuk masyarakat. Manusia selamanya hidup dalam
kelompok. Hidup bersama atau hidup bermasyarakat adalah sedemikian penting
bagi manusia, sehingga manusia dapat dikatakan utuh dan sempurna bila ia hidup
bersama dengan manusia lainnya. Kata masyarakat itu berasal dari bahasa Arab,
yaitu syaraka yang berarti ikut serta. Pengertian masyarakat mencakup interaksi
sosial, perubahan sosial, dan rasa kebersamaan. Masyarakat sering juga disebut
sistem sosial. Selain itu, ada beberapa pendapat yang mengemukakan tentang
pengertian masyarakat.
Menurut Robert M. Mclver dalam Budiardjo (2009:46) masyarakat adalah
suatu sistem hubungan-hubungan yang ditata. Sementara itu Koentjaraningrat
mengatakan “Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi
menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang terikat oleh suatu rasa identitas
bersama”. Sementara itu Harold J.Laski mengemukakan bahwa “Masyarakat
adalah kelompok manusia yang hidup bersama dan bekerja sama untuk mencapai
terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama”.
3.6.2 Masyarakat Politik
Dasar organisasi pembentukan masyarakat adalah “Keinginan manusia
untuk hidup bersama atau kerjasama, tolong menolong untuk mencapai tujuan
yang sama guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya agar dapat bertahan
hidup”. Tujuan bersama menjadi salah satu hal yang mendasari kepentingan
manusia untuk membentuk organisasi atau kelompok bersama. Negara dibentuk
dan dijalankan oleh sekelompok orang dalam wilayah tertentu dalam rangka
mewujudkan tujuan bersama yang telah disepakati. Untuk dapat melaksanakan
segala aktivitas yang berhubungan dengan tujuan Negara tersebut diperlukan
adanya kekuasaan (authority). Namun, walaupun memiliki tujuan yang sama,
tidak setiap warga Negara memiliki pemikiran yang sama tentang bagaimana cara
mewujudkan tujuan bersama. Untuk itulah politik ada, karena politik menjadi
gelanggang bagi persaingan gagasan dan kepentingan warga negara .
Jadi, masyarakat politik dapat diartikan sebagai masyarakat yang
bertempat tinggal di dalam suatu wilayah tertentu dengan “aktivitas tertentu” yang
berhubungan dengan bagaimana cara-cara memperoleh kekuasaan, usaha-usaha
mempertahankan kekuasaan, menggunakan kekuasaan, wewenang dan bagaimana
menghambat penggunaan kekuasaan, pengendalian kekuasaan, dan sebagainya.
Pada masyarakat politik, interaksi setiap individu maupun kelompok
memiliki cirri-ciri sebagai berikut.
1. Perilaku Politik (Political Behavior)
Perilaku politik dapat dinyatakan sebagai keseluruhan tingkah laku,
politik dan warga negara yang telah saling memiliki hubungan antara
pemerintah dan masyarakat, antara lembaga pemerintah dan antara
kelompok masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan
penegakan keputusan politik.
2. Budaya Politik (Political Culture)
Menurut Almond dan Verba, budaya politik merupakan suatu sikap
orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka
ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di
dalam sistem itu. Warga negara mengidentifikasikan dirinya dengan
simbol-simbol dan lembaga kenegara an berdasarkan orientasi yang
mereka miliki.
3. Kelompok Kepentingan (Interest Group)
Yaitu sebuah kelompok/organisasi yang berusaha mempengaruhi
kebijakan pemerintah tanpa berkehendak memperoleh jabatan publik.
Kelompok kepentingan bisa menghimpun ataupun mengeluarkan dana dan
tenaganya untuk melaksanakan tindakan-tindakan politik, biasanya mereka
berada di luar tugas partai politik.
4. Kelompok Penekan (Pressure Group)
Menurut Stuart Gerry Brown, kelompok penekan adalah kelompok
yang dapat mempengaruhi atau bahkan membentuk kebijaksanaan
pemerintah. Adapun cara yang digunakan dapat melalui persuasi,
propaganda atau cara lain yang lebih efektif. Mereka antara lain:
kelompok pengusaha, industriawan dan asosiasi lainnya.
Di dalam masyarakat politik, agar kepentingan seseorang atau suatu
kelompok diketahui oleh pihak lain dan dijadikan sebagai pokok bahasan, maka
diperlukan adanya komunikasi politik. Komunikasi politik adalah semua kegiatan
dalam sistem politik yang dimaksudkan agar inspirasi dan kepentingan politik
warga negara diakomodasi menjadi berbagai kebijakan.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa masyarakat politik bukanlah
masyarakat yang statis. Jika kehidupan politik yang demokratis diterapkan, maka
kehidupan masyarakat politik akan menjadi sangat dinamis. Karena kelompok-
kelompok yang berbeda akan mencoba memperjuangkan berbagai
kepentingannya melalui saluran komunikasi politik yang ada.
3.7 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dan skema dalam penelitian ini ditampilkan pada
Gambar 3.7 berikut ini
Gambar 3.7 Kerangka Berpikir
4. Metode Penelitian
4.1 Desain Penelitian
Desain Penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
Kualitatif. Dengan menggunakan desain Kualitatif, penulis akan dapat
menganalisa hasil penelitian yang berupa data abstrak. Dari analisa tersebut akan
dapat disimpulkan apa saja yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi
Pemberian Suara oleh Masyarakat Desa Sumberejo Kabupaten Demak Dalam
Pilpres 2014.
PEMBERIAN DUKUNGAN SUARA KEPADA JOKOWI -JK
MARKETING POLITIK
TERHADAP KANDIDATSTRATEGI KAMPANYE
PDI-PPENGARUH
TOKOH TERKEMUKA
ANALISIS
DATA
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGAR
UHI PEMBERIAN DUKUNGAN
SUARA
4.2 Fokus Penelitian
Fokus dalam penelitian ini adalah:
1. Strategi kampanye partai politik di desa Sumberejo saat pilpres 2014
2. Pandangan warga desa Sumberejo terhadapk Jokowi-JK.
3. Pengaruh tokoh terkemuka dalam pemberian suara oleh warga desa
Sumberejo.
4.3 Lokasi Penelitian
Lokasi yang akan menjadi tempat penelitian adalah desa Sumberejo di
Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak.
4.3 Sumber Data
1. Data Primer, data yang diperoleh dari lapangan wawancara dengan:
a) Kepala Desa Sumberejo
b) Tokoh besar (berpengaruh) di Desa Sumberejo
c) Kepala Dusun Sumberejo
2. Data Sekunder, data yang diperoleh tidak langsung, dari bahan-bahan
kepustakaan dan dokumentasi.
4.4 Teknik Pengambilan Data
Alat pengambilan data yang akan digunakan adalah:
a) Wawancara
Wawancara adalah suatu cara pengumpulan data dengan mengajukan
pertanyaan langsung kepada seorang informan atau otoritas atau seorang
ahli yang berwenang dalam suatu masalah.
b) Dokumentasi
Dokumentasi adalah metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat
atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau
oleh orang lain tentang subjek.
4.5 Keabsahan Data
Keabsahan (validitas) data ditentukan dengan menggunakan triangulasi.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding
terhadap data itu. Norman K. Denkin mendefinisikan triangulasi sebagai
gabungan atau kombinasi berbagai metode yang dipakai untuk mengkaji
fenomena yang saling terkait dari sudut pandang dan perspektif yang berbeda.
4.6 Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data:
Peneliti mencatat semua data secara obyektif dan apa adanya sesuai
dengan hasil wawancara di lapangan dan studi pustaka dan dokumentasi.
2. Reduksi Data
Reduksi data yaitu memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus
peneliti. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data-data
yang direduksi. Memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil
pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencari sewaktu-waktu
diperlukan.
3. Penyajian Data
Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Penyajian data merupakan analisis dalam bentuk matrix network chart atau
grafis sehingga peneliti dapat menguasai data
4. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Peneliti berusaha mencari pola model, tema, hubungan, persamaan, hal-
hal yang sering muncul, dan sebagainya. Jadi dari data tersebut peneliti mencoba
mengambil kesimpulan. Verifikasi dapat dilakukan dengan keputusan
didasarkan pada reduksi data dan penyajian data yang merupakan jawaban atas
masalah yang diangkat dalam penelitian. Metode Analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini digambarkan dalam skema berikut ini:
Gambar 4.6 Metode Analisis Data
Pengumpulan
data Penyajian Data
Kesimpulan,
penafsiran/
verifikasi
Reduksi Data
Daftar Pustaka
Amir, Fauziah. (2006). Strategi Kampanye Politik di Media Massa oleh Pasangan
SBY-JK dalam Kampanye pemilihan Presiden langsung 2004. Skripsi.
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Depok: Universitas Indonesia.
Arifin, Anwar. (2003). Komunikasi Politik: Paradigma-Teori-Aplikasi Strategi
dan Komunikasi Politik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dinasthi, Juna. 2013. Pemilu di Indonesia: Sistem Pemilihan Umum.
http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.com [online]. Tersedia di
http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.com/2013/06/pemilu-di-
indonesia-sistem.html. (Diakses pada 13 september 2014, pukul 19:22
WIB).
Firmanzah. (2012). Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Katz, Richard S.& William Crotty. (2006). Handbook of Party Politics. Sage
Publication.
Kotler, P. and Levy, S.J. (1969), Broadening the Concept of Marketing, Journal
of Marketing, 33, pp. 10-15.
Nimmo, Dan. (2000). Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Bandung:
PT.Remaja Rosda Karya.
Nursal, Adnan. (2004). Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pamungkas, Sigit. (2009). Perihal Pemilu. Universitas Gajah Mada: Yogyakarta.
Ramlan Surbakti. (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Roswati, Sri. (2014). Pemilu (One Person, One Vote, One Value) – bag 1.
Tempokini.com [online]. Tersedia di
http://www.tempokini.com/2014/06/pemilu-one-person-one-vote-one-value-
bag-1/. (Diakses pada 15 september 2014, pukul 19.47 WIB).
uu no 8 tahun 2012 tentang pemilihan umum.
Venus, Antar. (2004). Manajemen Kampanye. Bandung: Simbiosa Rekatama
Media.