proses perceraian anggota tentara nasional …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2892/1/tri...
TRANSCRIPT
PROSES PERCERAIAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL
INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI-AD) (Studi Kasus di Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun
2010-2012)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Kewajiban dan Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
TRI YUNIANTO
21209004
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AS – SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2014
SKRIPSI
PROSES PERCERAIAN ANGGOTA TENTARA
NASIONAL INDINESIA ANGKATAN DARAT (TNI-AD) (Studi Kasus di Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012)
Disusun Oleh
TRI YUNIANTO
21209004
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan
Syari’ah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 5 Maret
2014 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar
Sarjana S1 Kependidikan Hukum Islam
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
___________________
Sekretaris Penguji : Illya Muchsin, S.HI, M.Si.
___________________
Penguji I : Drs. Badwan, M.Ag ___________________
Penguji II : Farkhani, S.HI, SH, M.H
___________________
Penguji III : Evi Ariyani, S.H, M.H.
___________________
Salatiga, 05 Maret 2014
Ketua STAIN Salatiga
Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd.
NIP. 19670112 199203 1 005
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara:
Nama : Tri Yunianto
NIM : 21209004
Jurusan : Syari’ah
Program Studi : Al-ahwal Al-syaksyyiah
Judul : PROSES PERCERAIAN ANGGOTA TNI-AD (Studi
Kasus di Korem 073/Mkt Salatiga Tahun 2010-2012)
Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.
Salatiga, 05 Maret 2014
Pembimbing
Evi Ariyani, M.H.
NIP. 19731117 200003 2 002
KEMENTERIAN AGAMA RI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN) SALATIGA
Jl. Stadion 03 TELP 0298323433 Salatiga 50721
Website: www.stainsalatiga.ac.id
Email administrasi @ stainsalatiga.ac.id
DEKLARASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Tri Yunianto
NIM : 21209004
Jurusan / Prodi : Syari’ah / ahwal Al-Syahkhsiyyah
Judul : Proses Perceraian Anggota TNI-AD ( Stadi Kasus
di Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012)
Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang
lain atau pernah diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun
pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi
yang dijadikan bahan rujukan.
Apabila dikemudian hari ternyata terdapat materi atau pikiran-pikiran orang lain
di luar referensi yang peneliti cantumkan, maka peneliti sanggup
mempertanggung jawabkan keaslian skripsi ini dihadapan sidang
munaqasyah skripsi.
Demikian deklarasi ini dibuat oleh penulis untuk dapat dimaklumi.
Salatiga, 05 Maret 2014
Yang menyatakan
TRI YUNIANTO
NIM : 212091004
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain”
“Apa yang kita dapat tergantung sejauh mana yang kita perbuat”
PERSEMBAHAN:
Skripsi ini saya persembahkan kepada :
1. Bapak dan Ibu saya tercinta, yang telah memberikan do’a restunya.
2. Istri dan anak-anakku yang secara sabar dan ihlas telah mendukungku untuk maju
dalam menuntut ilmu.
3. Kakak-kakak dan adikku yang telah mendorong dan memberi semangat.
4. Komandan dan para pimpinan serta teman-temanku di Korem 073/Mkt yang telah
mendukung dan mentolerir aktifitasku.
5. Bapak dan Ibu Dosen Al-ahwal asyakhsiyyah, yang begitu sabar dalam mengajar dan
membimbingku.
6. Teman-temanku NON REGULER 2009,M. Fatwa, A. Kurniawan, Anif Latifah, Pujo
Wasono, Uswatun Hasanah, Syamsul Bahri, Raichan Rofi’I, Eka Jayanti, Muliyah,
Salim , semoga sukses selalu !!!
ABSTRAK
Yunianto.Tri 2014. Proses Perceraian Anggota TNI-AD (Studi Kasus di Korem
073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012) Skripsi. Jurusan Syari’ah.
Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Salatiga. Pembimbing : Evi Ariyani, M.H.
Kata Kunci : Proses Perceraian, Studi Kasus.
Skripsi ini membahas tentang hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis
tentang tata cara atau proses pengajuan ijin cerai di lingkungan TNI-AD beserta
persyaratan dan landasan hukumnya, para pimpinan yang berhak memberikan ijin
cerai kepada anggota TNI-AD, kebijakan Danrem 073/Mkt dan praktek perceraian
anggota Korem 073/Mkt yang menyimpang dari hukum dan peraturan.
Ketertarikan penulis terhadap penelitian ini bermula ketika penulis melihat
adanya beberapa kebijakan Danrem 073/Mkt yang saling bertolak belakang
bahkan ada yang tidak sesuai dengan hukum dan peraturan. Hal ini disebabkan
oleh sering adanya pergantian pejabat yang memiliki latar belakang yang berbeda
baik secara sosiologis, relegius maupun edukatif. Juga adanya beberapa tindakan
prajurit/istri prajurit yang menyimpang dari peraturan yang ada.
Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian kwalitatif , maka peneliti
melakukan langkah-langkah sebagai berikut: mengadakan pengamatan dan
observasi terhadap lokasi yang hendak diteliti yaitu di Korem 073/Mkt serta
melakukan wawancara dengan berbagai fihak yang berkompeten dan bisa
memberikan keterangn yang penulis butuhkan tentang kebijakan Danrem
073/Mkt terkait dengan masalah perceraian serta tindakan prajurit/istri prajurit
yang menyimpang dari hukum dan peraturan. Setelah itu penulis mengadakan
pengamatan terhadap buku-buku dan dokumen baik yang berada di kantor
Bintalrem maupun yang berada di perpustakaan terutama yang berkaitan dengan
masalah perceraian.
Dari hasil penelitian ini penulis mendapati :
1. Adanya satu kebijakan Danrem 073/Mkt terkait masalah perceraian yang
terlalu longgar sehingga tekesan tidak ada usaha untuk merukunkan atau
menyelesaikan permasalahan anggotanya, bahkan bertentangaan dengan
Peraturan Panglima TNI No. 11 tahun 2007 pasal 10 dan 11.
2. Adanya dua kebijakan Danrem 073/Mkt yang terlalu ketat, sehingga
terkesan memaksakan kehendak, walaupun sudah jatuh talak tiga bahkan
sudah terbit akte cerai dari PA, Danrem 073/Mkt masih berusaha untuk
mendamaikan keduanya . Hal ini bertentangan dengan Al-Qur’an Surat al-
Baqarah 229-230.
3. Adanya dua tindakan istri prajurit yang mengajukan gugatan perceraian
langsung ke PA, hal ini menimbulkan kesan bahwa yang bersangkutan tidak
menghargai pimpinan dan bertentangan dengan Peraturan Panglima TNI NO.
11 tahun 2007 Bab IV pasal 11 .
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi besar Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, dan pengikut beliau pada sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan, untuk
itu kritik dan saran penulis harapkan untuk sempurnanya penelitian ini.
Keberhasilan penyusunan penelitian ini, selain atas ridho dari Allah SWT, juga
tak lepas dari bantuan, dorongan, dan bimbingan dari semua pihak. Oleh karena
itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat :
1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Pd., selaku ketua STAIN Salatiga.
2. Bapak Mubasirun, M.Ag., selaku ketua jurusan STAIN Salatiga.
3. Bapak Illya Muhsin, M.Si., selaku ketua Progdi studi al-Ahwal al-
Syakhsiyyah STAIN Salatiga.
4. Ibu Evi Ariyani, M.H selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu dosen dan para civitas akademika lingkungan Jurusan Syari’ah
yang telah dengan sabar dan ikhlas membagi ilmunya.
6. Para dosen serta karyawan STAIN Salatiga yang telah memberikan jalan ilmu
dan pelayanan.
7. Komandan dan para pimpinan serta teman-temanku di Korem 073/Mkt yang
telah mendukung dan mentolerir aktifitasku.
8. Teman-teman sekelasku non-reguler angkatan 2009 yang telah menjadi
inspirator, motivator dan penyemangat.
Ilallahi nasyku ana fina maruman nantahi bihi ila husnil khitam
Penulis
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................................... ii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................................... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................................. iv
DEKLARASI ................................................................................................................... v
ABSTRAK ...................................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... x
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 5
D. Manfaat atau Kegunaan Penelitian ...................................................... 6
E. Penegasan Istilah ................................................................................. 6
F. Telaah Pustaka ..................................................................................... 8
G. Kerangka Teoritik ................................................................................ 8
H. Metode Penelitian ................................................................................ 12
I. Sistematika Penulisan .......................................................................... 14
BAB II. TINJAUAN UMUM PERCERAIAN ................................................................. 17
A. Perceraian Menurut Fiqh ..................................................................... 17
B. Perceraian Menurut UU Perkawinan dan KHI .................................... 29
C. Perceraian menurut Peraturan Panglima TNI Nomor 11 Tahun 2007
dan Skep KASAD Nomor 491 Tahun 2006. ....................................... 36
BAB III. PROSES PERCERAIAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL
INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI-AD) (Studi Kasus Di
Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012) ............... 41
A. Gambaran Umum Korem 073/Makutarama ........................................ 41
B. Tata cara Perceraian di Lingkungan TNI-AD ..................................... 54
C. Pejabat yang Berwenang Memberikan Ijin Cerai. .............................. 61
D. Kebijakan Danrem 073/Makutarama terkait Masalah Perceraian
Anggota Korem 073/Makutarama. ...................................................... 62
E. Praktek Perceraian Anggota Korem 073/Makutarama yang
Menyimpang dari Peraturan. ............................................................... 66
BAB IV. ANALISIS TERHADAP KEBIJAKAN DANREM 073/
MAKUTARAMA DAN ANALISIS TERHADAP PRAKTEK
PERCERAIAN ANGGOTA KOREM 073/MAKUTARAMA YANG
MENYIMPANG DARI PERATURAN .................................................... 68
A. Analisis Terhadap Kebijakan-Kebijakan Danrem 073/ Makutarama
............................................................................................................. 71
B. Analisis Tentang Praktek Perceraian Anggota Korem 073 /
Makutarama yang Menyimpang dari Peraturan dan akibat yang
ditimbulkannya. ................................................................................... 77
BAB V. PENUTUP .................................................................................................. 78
A. Kesimpulan .......................................................................................... 78
B. Saran .................................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 82
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................ 84
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata “TENTARA” merupakan sebuah kata yang mengandung
berbagai macam makna. Ada yang memaknai tentara sebagai sebuah institusi
yang tegas, teratur dan berdisiplin tinggi, ada juga yang memandang tentara
sebagai organisasi yang otoriter, keras dan kaku, ada yang sangat extrim
memaknai tentara sebagai alat kekuasaan negara yang siap menjadi mesin
pembunuh bagi musuh negara. Tapi apapun pandangan orang tentang arti dan
makna tentara, yang jelas tentara dalah tentara.
Tentara terdiri dari tiga suku kata dan dari masing-masing suku kata
itu mengandung satu kata, jadi didalamnya terkandung tiga kata, yaitu tenar
tapi sengsara. Hal ini memberikan gambaran bahwa segala macam tugas yang
diemban oleh tentara selalu berhadapan dengan sengsara/derita/ keprihatinan,
sebagai contoh penugasan tentara di daerah rawan/konflik seperti di Aceh,
Ambon, Papua, Timor-Timur, yang kesemuanya mengandung derita/sengsara,
harus berpisah dan jauh dari keluarga, makan tidur dengan sarana seadanya,
dan sebagainya. Juga memberikan kesadaran bahwa untuk mencapai
ketenaran harus melalui penderitaan, kesuksesan hanya dapat dicapai dengan
perjuangan yang membutuhkan pengorbanan baik waktu, tenaga, harta bahkan
nyawa.
Agar tentara dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, benar dan
terarah maka segala kegiatan dan aktifitasnya didasarkan pada aturan, mulai
bangun tidur sampai tidur lagi bahkan dalam tidurpun setiap anggota Tentara
Nasional Indonesia (TNI) mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah,
mulai pangkat tertinggi sampai pada pangkat terendah, harus selalu
berpedoman pada aturan, baik peraturan-peraturan yang sudah digariskan oleh
pemerintah maupun kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pimpinan tertinggi
TNI, dalam hal ini adalah Panglima TNI. Peraturan dan kebijakan tersebut
dituangkan dalam undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan
Menhankam/Pangab, dan disahkan dengan surat keputusan Kasad (Kepala
Staf TNI Angkatan Darat). Kemudian peraturan dan kebijakan yang sudah
disahkan tersebut didistribusikan ke instansi tingkat pusat sampai ke jajaran
tingkat daerah, untuk dipedomani serta dilaksanakan dalam kehidupan
keprajuritan dan kedinasan di lingkungan masing-masing.
Di dalam bergerak, berjalan, berlari baik sendirian maupun dalam
hubungan kelompok, tentara diatur dengan Peraturan Baris Berbaris (PBB).
Bagaimana tata cara menghormati orang lain baik penghormatan kepada
atasan langsung, atasan biasa, sesama rekan dan kepada bawahan, baik
perorangan maupun dalam hubungan kelompok tentara diatur dengan
Peraturan Penghormatan Militer (PPM). Dalam hidup bermasyarakat baik di
lingkungan militer maupun dilingkungan masyarakat sipil, tentara diatur
dengan Peraturan Dinas Garnisun dan dipandu dengan 8 wajib TNI.
Pelanggaran terhadap aturan dan kebijakan yang telah disahkan
tersebut akan menimbulkan sanksi bagi yang bersangkutan, baik sanksi
disiplin yang berupa tegoran, penahanan ringan, penahanan sedang dan
penahanan berat, maupun sanksi administrasi yang berupa pemotongan gaji,
pengurangan makan dan penurunan pangkat atau penundaan kenaikan
pangkat.
Dalam kaitanya dengan masalah perceraian, al-Qur’an dan Hadits telah
mengatur dengan tegas, juga pemerintah telah menetapkan aturan yang jelas
dan mendasar yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1971, tentang perkawinan. Juga
berbagai macam keputusan yang dikeluarkan oleh pimpinan TNI, yang secara
jelas dan tegas telah mengatur bagaimana tata cara pelaksanaan perceraian
bagi anggota tentara atau seorang prajurit yang masih berada di dalam dinas
keprajuritan, mulai pangkat terendah sampai pangkat yang paling tinggi.
Hal ini seharusnya bisa menjadi dasar dan landasan yang kuat bagi
setiap prajurit yang akan melaksanakan proses perceraian dan bagi para
komandan agar tidak salah dalam mengambil kebijakan, terutama yang
berkaitan dengan masalah perceraian prajurit, sehingga apapun keputusan dan
kebijakan yang diambil oleh seorang pimpinan benar-benar dapat membawa
kemaslahatan dan ketenteraman bagi anak buahnya serta meminimalisir
adanya penyimpangan dan pelanggaran terhadap undang-undang dan
peraturan-peraturan yang ada.
Namun dalam kenyataannya tidak semua undang-undang dan
peraturan yang telah dikeluarkan baik oleh pemerintah maupun pimpinan
TNI itu, dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Dalam prakteknya
banyak kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para komandan yang
bertentangan atau menyimpang dari aturan yang ada. Sebagai contoh di
Korem 073/Makutarama Salatiga, pernah ada salah satu komandan yang
mengeluarkan kebijakan, bahwa untuk mendapatkan ijin cerai dari komandan
kesatuan (Komandan Korem), maka yang bersangkutan harus memperoleh
dahulu surat cerai dari Pengadilan Agama, padahal dalam hal ini sudah ada
aturan yang jelas dari komando atas, bagi anggota militer yang akan
mengajukan perceraian, sebelum maju ke Pengadilan Agama harus mendapat
ijin dulu dari komandan satuan. Juga banyak tindakan atau perbuatan seorang
prajurit, terutama tindakan istri prajurit yang menyimpang dari aturan, yaitu
dengan mengajukan cerai gugat langsung ke Pengadilan Agama tanpa
meminta ijin terlebih dahulu kepada komandan satuannya, padahal pada saat
mengajukan ijin kawin/pernikahan, telah membuat surat pernyataan
kesanggupan menjadi istri/suami anggota TNI-AD dengan menyatakan
“bersedia mematuhi dan tunduk pada peraturan pernikahan, perceraian dan
rujuk yang berlaku di lingkungan TNI-AD”.
Hal ini menimbulkan berbagai macam pertanyaan terutama bagi
mereka yang belum faham, mengenai tata cara pengajuan cerai bagi anggota
TNI-AD. Karena itulah maka peneliti tertarik untuk meneliti proses perceraian
anggota TNI-AD, khususnya anggota Korem 073/Makutarama, dengan
harapan dapat memberikan gambaran yang sebenarnya tentang bagaimana tata
cara pengajuan ijin cerai di lingkungan TNI-AD.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang
hendak dicari jawabannya melalui penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah tata cara mengajukan permohonan ijin cerai di lingkungan
TNI-AD ?
2. Bagaimanakah kebijakan Danrem 073/Mkt terkait dengan proses
perceraian anggota Korem 073/Makutarama ?
3. Bagaimanakah jika praktek perceraian anggota Korem 073/Mkt ada yang
menyimpang dari Peraturan yang ada ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulis dalam penyusunan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui tata cara mengajukan permohonan ijin cerai di
lingkungan TNI-AD.
2. Untuk mengetahui kebijakan Danrem 073/Mkt terkait dengan proses
perceraian anggota Korem 073/Makutarama.
3. Untuk mengetahui bentuk penyimpangan dan akibat dari praktek
perceraian anggota Korem 073/Makutarama, dikaitkan dengan aturan yang
ada.
D. Manfaat atau Kegunaan Penelitian
Suatu penelitian dilaksanakan dengan harapan agar dapat bermanfaat
baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah pengetahuan dan wawasan kepada pembaca yang budiman
tentang proses perceraian anggota TNI-AD beserta landasan
hukumnya, baik hukum positif, hukum Islam maupun hukum yang
berlaku di lingkungan TNI-AD.
b. Hasil penelitian ini semoga dapat menambah khasanah perbendaharaan
karya ilmiah.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan referensi atau
landasan hukum dalam kasus yang sama, khususnya bagi anggota TNI-
AD dan umumnya bagi siapa saja yang membutuhkan.
b. Hasil penelitian ini semoga dapat memberikan sumbangan pemikiran
dan saran kepada para komandan agar lebih hati-hati dan luwes dalam
mengambil kebijakan, terutama yang berkaitan dengan hukum.
E. Penegasan Istilah
Agar tidak menimbulkan salah dalam pemahaman terhadap judul
skripsi ini, maka perlu kiranya penulis untuk menegaskan istilah tersebut:
1. Perceraian
Perceraian adalah putusnya perkawinan yang disebabkan karena
talak atau berdasarkan gugatan perceraian. (Pasal 114 KHI)
2. Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah Setiap warga negara
Indonesia yang mengabdikan dalam bentuk usaha bela negara dengan
menyandang senjata rela berkorban jiwa raga serta tunduk pada aturan
Tentara.
3. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD)
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) adalah
bagian dari TNI yang memiliki wilayah kekuasaan/teritorial di daratan
yang meliputi semua propinsi di seluruh wilayah NKRI.
4. Korem 073/Makutarama
Korem 073/Makutarama adalah bagian dari TNI-AD yang
berkedudukan di Salatiga yang daerah kekuasaan/teritorialnya membawahi
sembilan Kodim, enam Satuan Dinas Jawatan dan satu Batalyon Infanteri.
5. Anggota Korem 073/Makutarama
Anggota Korem 073/Makutarama adalah seluruh anggota TNI-AD
yang masih dinas di wilayah Korem 073/Makutarama, yang meliputi
anggota (Kodim Salatiga, Kodim Kendal, Kodim Pati, Kodim Kudus,
Kodim Demak, Kodim Purwodadi, Kodim Blora, Kodim Jepara, Kodim
Rembang), termasuk anggota Satuan Dinas Jawatan (Denpom, Denpal,
Denhub, Denzibang, Denkes, Ajenrem) dan anggota Batalyon Infanteri
410/Alg yang belum memasuki masa Pensiun.
F. Telaah Pustaka
Banyak para pihak yang telah melakukan penelitian tentang masalah
perceraian, namun lokasi atau tempat penelitian kebanyakan di Pengadilan
agama, dan masalah yang diangkat/diteliti berkisar masalah latar belakang dan
akibat dari adanya perceraian baik terhadap hak asuh anak maupun pembagian
harta gono-gini.
Sedangkan penelitian yang akan kami lakukan berlokasi di Korem
073/Makutarama Salatiga, mengangkat masalah kebijakan-kebijakan para
pejabat komandan Korem073/Mkt dan tindakan prajurit/istri prajurit yang
menyimpang dari peraturan, beserta hal-hal yang melatarbelakanginya.
G. Kerangka Teoritik
Beberapa teori yang digunakan sebagai landasan pemikiran dalam
menganalisis dan mengarahkan alur penulisan ini antara lain
1. Firman Allah dalam Al-Quran Surat al-Baqarah ayat 229–230 sebagai
berikut:
Artinya : ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara
yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu
dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami
isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah hukum-hukum
Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang
yang zalim”.
Ayat inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh.
Kulu' yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang
disebut 'iwadh.
Artinya : “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang
kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga
dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang
lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya
(bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada
kaum yang (mau) Mengetahui”.
2. Sabda Rosulullah SAW, بغظ الحالل عنداهلل الطالقٲ bahwa “Talak/Perceraian
merupakan perbuatan yang halal tapi dibenci oleh Allah”.
Hal ini mengisyaratkan bahwa perceraian merupakan jalan terakhir
setelah gagal dalam usaha-usaha untuk mendamaikannya. Dalam arti
jangan melakukan perceraian kalau tidak benar-benar karena terpaksa.
3. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
pasal 114
Perceraian adalah putusnya perkawinan yang disebabkan karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian”
4. Dalam Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/11/VII/2007, tanggal 4
Juli 2007 tentang Tata Cara Pernikahan, Perceraian dan Rujuk Bagi
Prajurit TNI.
Pasal 2
Setiap pernikahan, perceraian dan rujuk dilaksanakan menurut
ketentuan/tuntunan agama yang dianut oleh prajurit yang bersangkutan
dan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10
(1) Prajurit TNI yang akan melaksanakan perceraian harus mendapat izin
terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang.
(2) Izin cerai hanya diberikan apabila perceraian yang akan dilakukan itu
tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianut oleh kedua
pihak yang bersangkutan dan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Izin cerai pada prinsipnya diberikan kepada prajurit apabila
pernikahan yang telah dilakukannya tidak memberi manfaat
ketenteraman jiwa dan kebahagiaan hidup sebagai suami istri.
(4) Untuk hal tersebut pada ayat (2) dan (3) pasal ini perlu adanya
pernyataan tertulis dari pejabat agama Angkatan yang bersangkutan.
Pasal 11
(1) Permohonan talak/gugatan perceraian terhadap prajurit oleh
suami/istri yang bukan prajurit disampaikan langsung oleh yang
berkepentingan kepada pengadilan setelah memberitahukan kepada
atasan prajurit yang bersangkutan.
(2) Setiap prajurit yang menerima pemberitahuan dari pengadilan tentang
telah diajukannya gugatan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
segera menyampaikan laporan tentang hal tersebut kepada atasan
yang berwenang memberi ijin perceraian.
(3) Atasan yang berwenang memberi izin perceraian, setelah menerima
laporan tersebut dalam ayat (2) pasal ini, segera mengadakan usaha-
usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak.
Pasal 12
Permohonan ijin cerai ditolak apabila:
(1) Perceraian yang akan dilakukan itu bertentangan dengan hukum agama
yang dianut oleh kedua belah pihak yang bersangkutan.
(2) Alasan-alasan yang dikemukakan oleh anggota yang bersangkutan
untuk melaksanakan perceraian tidak cukup kuat atau dibuat-buat.
(3) Pada ayat (1) dan (2) tersebut di atas dituangkan dalam bentuk berita
acara pemeriksaan bagi suami dan/atau istri serta dilengkapi dengan
berita acara pendapat dari pejabat agama.
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Berangkat dari judul dan permasalahan yang mendasari penelitian,
maka penelitian ini adalah termasuk dalam jenis penelitian deskriptif
(descriptive research), yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya. (Soerjono Soekanto. 1986:10).
2. Lokasi Penelitian
Sesuai dengan judul skripsi yang penulis ajukan, maka untuk
memperoleh data-data yang diperlukan sesuai dengan pokok permasalahan
yang akan diteliti, maka lokasi yang penulis pilih adalah Korem
073/Makutarama yang beralamat di Jl. Diponegoro Salatiga.
3. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis empiris, yakni penelitian yang didasarkan pada suatu
ketentuan hukum (peraturan yang berlaku) dengan fenomena atau
kenyataan yang terjadi di lapangan serta dalam prakteknya sesuai dengan
kejadian yang sebenarnya. Sifat penelitian ini adalah observasi non
partisipatif, yaitu observasi yang dalam pelaksanaannya tidak melibatkan
peneliti sebagai partisipan atau kelompok yang diteliti.
4. Sumber Data
Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari
antara lain
a. Sumber data primer. Sumber data primer ini diperoleh melalui
wawancara dengan pihak Korem 073/Makutarama Salatiga.
b. Sumber data sekunder. Sumber data sekunder diperoleh dari studi
pustaka, arsip-arsip, agenda, peraturan-peraturan dan hukum-hukum,
baik yang bersumber dari hukum Islam, hukum positif, maupun yang
berlaku di kalangan TNI-AD.
5. Metode Pengumpulan Data
Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis-empiris,
maka sumber data yang utama adalah data yang diperoleh langsung di
lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari sumber kepustakaan
sebagai landasan teori.
Adapun metode atau alat pengumpulan data yang digunakan adalah:
a. Metode Dokumentasi.
Metode Dokumentasi adalah metode pengumpulan data
berdasar pada dokumen tertulis (buku, agenda, arsip-arsip dan lain
sebagainya). (Arikunto, 1998:131). Metode ini digunakan untuk
mengetahui data otentik tentang praktek perceraian anggota Korem
073/Makutarama Salatiga
b. Studi kepustakaan (library reasesrch)
Studi Kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan
cara mengumpulkan bahan-bahan pustaka, baik yang berupa buku-
buku literatur dokumen-dokumen (arsip kegiatan, kertas kerja dan lain
sebagainya).
c. Metode Wawancara atau interview.
Wawancara atau interview adalah suatu proses tanya jawab
secara lisan antara dua orang atau lebih dengan berhadapan secara fisik
yang satu dapat melihat dan yang satu dapat mendengar sendiri.
(Sutrisno Hadi, 1986:136)
6. Metode Analisa Data
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisa
kualitatif, yaitu metode analisis yang pada dasarnya mempergunakan
pemikiran logis, analisis dengan logika, induksi/ deduksi, analogi/
interpretasi, komparasi dan sejenisnya itu. Metode analisa data yang
digunakan adalah deduksi yaitu menganalisa berdasarkan pada hal-hal
yang bersifat umum kemudian meneliti persoalan-persoalan yang bersifat
khusus. Dari analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan yang pada
hakekatnya merupakan jawaban atas permasalahan.
I. Sistematika Penulisan
Secara garis besar skripsi ini terdiri dari tiga bagian besar, yaitu bagian
awal, bagian isi dan bagian akhir. Pada bagian awal skripsi terdiri dari cover
luar, cover dalam, Lembar Persetujuan Pembimbing, Lembar Pengesahan,
Motto, Kata Pengantar, Daftar Isi dan Daftar Lampiran.
Pada bagian isi skripsi terdiri dari lima bab, yaitu;
Bab I Pendahuluan yang didalamnya menguraikan tentang; Latar Belakang
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan manfaat Penelitian, Penegasan
Istilah, Telaah Pustaka, Kerangka teoritik, Metode Penelitian, dan Sistematika
Penulisan Skripsi.
Bab II Kajian Pustaka yang menguraikan tentang pengertian, dasar hukum,
macam dan bentuk perceraian menurut fiqh, alasan perceraian, macam-macam
talak dan akibat hukum perceraian dilihat dari Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 dan KHI, syarat dan alasan perceraian, kelengkapan administrasi, dan
sebab-sebab ditolaknya izin cerai serta akibat perceraian menurut Peraturan
Panglima TNI Nomor 11 Tahun 2007 dan Skep KASAD Nomor 491 Tahun
2006.
Bab III Laporan Hasil Penelitian yang berisi tentang: Gambaran umum
Korem 073/Makutarama Salatiga, Tata cara pengajuan ijin cerai di
Lingkungan TNI-AD beserta persyaratan dan landasan hukumnya, Para
Pimpinan yang berhak memberikan ijin cerai kepada anggota TNI-AD,
Kebijakan Danrem 073/Makutarama terkait masalah perceraian Anggota
Korem 073/Makutarama, serta Praktek perceraian Anggota korem
073/Makutarama mulai tahun 2010-1012, yang bertentangan dengan
Peraturan, beserta segala hal yang melatarbelakanginya.
Bab IV Analisis terhadap kebijakan-kebijakan Danrem 073/Makutarama dan
analisis tentang praktek perceraian anggota Korem 073/Makutarama yang
menyimpang dari Peraturan.
Bab V Penutup yang berisi tentang; Kesimpulan dan Saran.
Pada bagian akhir skripsi berisi tentang; Daftar Pustaka, Lampiran-
Lampiran dan Daftar Riwayat Hidup.
BAB II
TINJAUAN UMUM PERCERAIAN
Pada bab ini, akan menguraikan masalah perceraian ditinjau menurut fiqh,
menurut UU Perkawinan dan KHI serta menurut PP no 9 tahun 1975. Walaupun
semua yang termuat dalam UUP dan KHI serta peraturan yang berlaku di TNI-AD
(PP no 9 tahun 1975) tidak bertentangan atau sesuai dengan hukum Islam (fiqh),
tetapi dalam bab ini akan kami pisah menjadi sub bab tersendiri dengan maksud
agar perceraian mudah dipahami tidak hanya dalam fiqhnya saja, tetapi juga
dalam hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
A. Perceraian Menurut Fiqh
1. Pengertian Perceraian
Pengertian perceraian dapat dilihat dari dua segi yaitu bahasa dan
istilah. Menurut bahasa perceraian (talak) berasal dari kata THALAQA-
YATHLAQU-THALAAQAN yang bermakna melepas atau mengurai tali
pengikat, baik tali pengikat itu bersifat konkrit seperti tali pengikat kuda
maupun bersifat abstrak seperti tali pengikat perkawinan. Kata talak
merupakan isim masdar dari kata THALLAQA-YUTHALLIQU-
TATHLIIQAN, jadi kata ini semakna dengan kata tahliq yang bermakna
“irsal” dan “tarku” yaitu melepaskan dan meninggalkan. (Zakiah Darajat,
1995:172)
Abi Yahya Zakaria al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahab
memberi definisi talak sebagai berikut:
17
دم عقد انىكا دبهفظ ا نطال ق و وذىي
“Talak ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang
semacamnya. (Abi Yahya Zakaria al-Anshari, tanpa tahun:72)
Abdur Rahman Al-Jaziri dalam kitabnya AL-Fiqh Alal Madzahibil
Arba’ah memberi definisi talak sebagai berikut:
ا نطالق از انت ا نىكا ح او وقصا ن دهً بهفظ مخصىص
“Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi
pelepasan ikatannya dengan mempergunakan kata-kata tertentu”.
(Abdur Rahman Al-Jaziri, 1990:248)
Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah memberi definisi talak
sebagai berikut:
دم ر ا بطت ا نس و ا ج و ا وها ء ا نعال قت ا نس و جيت
“Talak ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan
suami istri.” (Sayyid Sabiq, 1990:5)
Pengertian perceraian ialah satu keadaan dimana antara seorang
suami dan seorang istri telah terjadi ketidakcocokan batin yang berakibat
pada putusnya suatu tali perkawinan melalui suatu putusan pengadilan.
(Mahkamah Agung RI, 1994:53)
2. Dasar Hukum Perceraian
Agama Islam membolehkan suami istri bercerai itu bukanlah
berarti pintu terbuka, yang dengan mudah dilalui orang keluar masuk
sesuka hatinya. Tapi pintu itu sebenarnya adalah pintu darurat yang tidak
boleh dilalui begitu saja. Pada pintu itu harus terpancang kalimat dilarang
masuk kecuali dalam keadaan darurat baru pintu itu dibuka. (M. Said,
tanpa tahun:35)
Mengenai hukum talak, para ahli hukum Islam berbeda pendapat.
Pendapat yang paling bisa diterima akal dan konsisten dengan tujuan
syariat yaitu pendapat yang menyatakan bahwa perceraian hukumnya
terlarang, kecuali dengan alasan yang benar. (Sri Mulyati, 2004:18-19)
Pendapat ini ditopang oleh golongan Hanafi dan Hambali. Salah satu dalil
yang digunakannya adalah
نعه ا هلل كم واق مطال ق
“Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka merasai (bersenggama)
dan bercerai (Sayyid Sabiq, 1990:11)
Namun apabila perselisihan suami istri telah sampai kepada tingkat
syiqoq (perselisihan yang mengkhawatirkan bercerai), hendaklah dicari
penyelesaian dengan cara mengangkat hakam dari keluarga suami istri,
yang akan mengusahakan dengan sekuat tenaga agar kerukunan hidup
suami istri dapat dipulihkan kembali. Apabila terpaksa perceraian tidak
dapat dihindarkan dan talak benar-benar terjadi, maka harus diadakan
usaha agar mereka dapat rujuk kembali melalui hidup baru.
Di sinilah letak pentingnya mengapa Islam mengatur bilangan talak
sampai tiga kali.
Meskipun talak benar-benar terjadi, pemeliharaan dan hubungan
baik antara bekas suami istri harus senantiasa dipupuk. Hal ini hanya dapat
dicapai apabila talak terjadi bukan karena dorongan nafsu melainkan
dengan pertimbangan untuk kebaikan hidup masing-masing. (Ahmad
Azhar Bashir, 1996:65)
Seseorang yang berusaha merusak tali hubungan suami istri
dipandang keluar dari rel kebijaksanaan hukum Islam dan tidak
sepantasnya ia menamakan dirinya seorang muslim. Hadits dalam Fiqh
Sunnah, karangan Sayyid Sabiq menyatakan
نيص مىا مه خبب ا مر أ ة عهى زوجها
“Bukanlah termasuk golonganku orang yang merongrong
hubungan seorang istri dengan suaminya.” (Sayyid Sabiq,
1990:10)
Syariat Islam melarang keras seorang perempuan yang berusaha
membujuk seorang suami agar menceraikan istrinya untuk menggantikan
kedudukannya itu. Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menyatakan
ختها نتطتفر غ صذفتها و نتىكخ فاء وما نها ما ال تطأ ل ا نمر أة طالق ا
قدر نها
“Janganlah seorang wanita minta diceraikannya saudaranya
untuk dapat menggantikan kedudukannya (sebagai istri) hendaklah
ia kawin (dengan laiki-laki lain), karena baginya telah ditakdirkan
Allah” (Sayyid Sabiq, 1990:10)
Istri yang meminta talak kepada suaminya tanpa sebab dan tanpa
alasan yang dibenarkan adalah perbuatan tercela. Hal ini dinyatakan dalam
hadist yang menyatakan
ا يما مر أة ضأ نت زو جها طال قا مه غير بأش فذراو عهيً رائذت انجىت
“Manakala istri menuntut cerai dari suaminya tanpa alasan,
maka haram baginya bau surga.” (Sayyid Sabiq, 1990:10)
Syara’ menjadikan talak sebagai jalan yang sah untuk bercerainya
suami istri, namun syara’ membenci terjadinya perbuaan ini dan tidak
merestui dijatuhkannya talak tanpa sebab dan alasan. Adapun sebab-sebab
dan alasan-alasan untuk jatuhnya talak itu adakalanya menyebabkan
kedudukan hukum talak menjadi wajib, adakalanya menjadi haram,
makruh, mubah dan sunnah.
a. Wajib
Artinya talak menjadi wajib bagi suami atas permintaan istri dalam
hal suami tidak mampu menunaikan hak-hak istri serta menunaikan
kewajibannya sebagai suami. Seperti suami tidak mampu mendatangi
istri atau suami tidak mampu menyelenggarakan nafkah istri. Dalam
hal ini istri berhak menuntut talak dari suaminya dan suami wajib
menuruti tuntutan istri, jangan membiarkan istri terkatung-katung
ibarat orang yang digantung, yakni tidak dilepaskan tetapi tidak
dijamin hak-haknya. (Abdur Rahman Al Jaziri, 1990:264)
b. Haram
Talak itu diharamkan jika dengan talak itu kemudian suami
berlaku serong, baik dengan bekas istrinya atau dengan wanita lain,
dengan kata lain suami diharamkan menjatuhkan talak jika hal itu
mengakibatkan terjatuhnya suami ke dalam perbuatan haram. (Abdur
Rahman Al Jaziri, 1990:264)
c. Makruh
Talak makruh hukumnya jika dilakukan tanpa sebab. Berdasarkan
hadits yang menetapkan bahwa talak merupakan jalan yang halal yang
paling dibenci oleh Allah. (Sayyid Sabiq, 1990:12)
d. Mubah
Talak itu mubah hukumnya (dibolehkan) ketika ada keperluan
untuk itu, yakni karena jeleknya perilaku istri, buruknya sikap istri
terhadap suami, suami menderita mudhorot lantaran tingkah laku istri,
suami tidak mencapai tujuan perkawinan dari istri.
e. Sunah
Talak disunahkan jika istri rusak moralnya, berbuat zina atau
melanggar larangan-larangan agama, seperti meninggalkan shalat,
puasa, istri tidak afifah (menjaga diri, berlaku hormat). (Sayyid Sabiq,
1990:13)
3. Macam-Macam Talak
Ditinjau dari segi ada dan tidak adanya kemungkinan bekas suami
rujuk kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu
a. Talak Raj’i
Yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya yang
pernah dikumpuli, bukan karena memperoleh ganti dari istri, talak
yang pertama atau kedua kalinya dijatuhkan dan suami mempunyai
hak untuk merujuk. Firman Allah SWT dalam surat AL Baqarah ayat
229:
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rukuk lagi
dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik.”(Departemen Agama RI, 1997:37)
b. Talak Bain
Talak bain ada dua macam yaitu
1. Talak bain sugro ialah talak bain yang menghilangkan pemilikan
bekas suami terhadap istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan
bekas suami untuk kawin kembali dengan istri dengan nikah baru.
Termasuk talak bain sugro yaitu
a. Talak sebelum berkumpul
b. Talak dengan tebusan atau khulu’
c. Talak karena aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara,
talak karena penganiayaan dan yang semacamnya. (Zakiah
Darajat, 1995:177)
2. Talak bain kubro ialah talak bain yang menghilangkan pemilikan
bekas suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan
bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istrinya kecuali
setelah bekas istri itu kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul,
telah bercerai dan telah habis masa iddahnya. Talak bain kubro
terjadi pada talak yang ketiga. Firman Allah dalam surat Al
Baqarah ayat 230:
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua),
Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain.”(Departemen Agama RI, 1997: 37)
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi
menjadi tiga macam, sebagai berikut:
a. Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan
sunnah.
Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat
1. Istri yang ditalak sudah pernah dikumpuli.
2. Istri dapat segera melakukan iddah suci, setelah ditalak.
3. Talak dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci
4. Suami tidak pernah mengumpuli istri selama masa suci dalam
masa talak itu dijatuhkan. (Zakiah Darajat, 1995:173)
b. Talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai dengan tuntunan
sunnah.
Termasuk dalam talak Bid’i ialah
1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid.
2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci, tetapi
pernah dikumpuli oleh suaminya. (Zakiah Darajat, 1995:174)
c. Talak La Sunni Wala Bid’I yaitu talak yang tidak termasuk kategori
talak sunni dan talak Bid’I, yaitu
1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah dikumpuli.
2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah berhaid,
atau istri yang telah lepas haid.
3. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil. (Zakiah
Darajat, 1995:174)
Ditinjau dari segi tegas atua tidaknya kata-kata yang dipergunakan
sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjdi dua macam yaitu:
a. Talak Sarih, ialah kata-kata talak yang ketika diucapkan dapat dengan
jelas sebagai perceraian, seperti “Kau aku cerai”, “Kau dicerai”.
Menurut Asy-Syafi’I lafal talak yang tergolong sarih ada tiga, yaitu
yang semua itu ,(cerai, pisah, lepas) انطراح dan انفر ا ق, ا نطالق
tercantum di dalam al-quran.
b. Talak Kinayah, ialah talak dengan menggunakan kata-kata yang
menurut aslinya tidak berrti menceraikan, sedang berbagai sindiran bis
aberati demikian. Seperti kata-kata: “kamu lain”. Kata ini bis aberarti
“kamu bukan istriku lagi”. (Ibrahim Muhammad Al-Jamal, t.t:398)
4. Bentuk-bentuk Perceraian
Di dalam hukum Islam ada beberapoa bentuk perceraian, diantaranya yaitu
a. Khulu’ (tebus talak)
Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas tuntutan istri disertai
tebusan atau iwadl atas persetujuan kedua belah pihak, karena suami
cacat misalnya atau karena sebab lain. Bisa juga tebusan itu
merupakan pengembalian mahar dari istri. (A. Zuhri Madlor, 1990:95)
Khulu’ dibolehkan di dalam agama berdasarkan firman Allah surat
AL-Baqarah ayat 229:
“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh istri untuk menebus dirinya. (Departemen Agama RI, 1997:37)
b. Mafqud
Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa istri
orang yang mafqud (hilang) serta hartanya, tetaplah milik mafqud
walaupun dalam jangka waktu yang lama sampai timbul dugaan bahwa
orang hilang tersebut telah mati, yaitu dengan melihat kawan-kawan
sebayanya sudah mati semua atau orang seperti dia tidak hidup lagi
pada masa yang bersangkutan. (Mahmud Syalthut, 2000:236)
Di dalam menentukan lamanya, terdapat beberapa pendapat
dalam kedua mazhab tersebut. Yaitu ada yang mengatakan 70 tahun,
ada yang mengatakan 80 tahun, dan seterusnya hingga 120 tahun.
Menurut satu pendapat dikalangan ulama Hanafiyyah, hal tersebut
diserahkan pada pendapat dan ijtihad qadhi (hakim). Juga ada yang
mengatakan bahwa inilah pendapat yang menonjol dikalangan ulama
syafi’iyyah. (Mahmud Syalthut, 2000:236)
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa hilang itu ada dua
macam, yaitu:
1) Mafqud yang menurut lahirnya selamat, seperti niaga ketempat
yang tidak berbahaya, menuntut ilmu, atau mengembara,
hukumnya sama seperti pendapat yang dikemukakan oleh ulama
Hanafiyyah dan ulama Syafi’iyyah.
2) Mafqud yang menurut lahirnya tidak selamat, seperti orang yang
hilang tiba-tiba diantara keluarganya, atau ia keluar untuk shalat,
tetapi tidak kembali lagi, atau ia pergi karena suatu keperluan lalu
tidak ada kabar beritanya atua ia hilang antara dua pasukan yang
bertempur atau bersamaan dengan tenggelamnya sebuah kapal dan
sebagainya. Hukum mengenai hal tersebut adalah menunggu
hingga 4 (empat) tahun. (Mahmud Syalthut, 2000:237)
Hukum di Yordania membuat ketetapan tentang perceraian
dalam kasus mafqud al-khabar, yaitu ketika suami sedang hilang dan
tidak ada kabar dari atau tetangganya. Jika sang istri bisa membuktikan
suami tidak ada di tempat wilayah perkawinannya, selama lebih dari 1
(satu) tahun tanpa ada permintaan maaf atau alasan apapun yang
masuk akal maka istri dibolehkan meminta qadhi untuk cerai. (Asghar
Ali Engineer, 2003:168)
c. Lian
Lian yaitu perceraian karena tuduhan berzina dari seorang
suami, tetapi tidak dapat mengajukan 4 orang saksi dan atau suami
mengingkari anak dalam kandungan atau sudah lahir dari istrinya,
sedangkan istri menolak tuduhan atua pengingkaran tersebut atau
sebaliknya istri menuduh suami berbuat zina, tetapi tidak dapat
mendatangkan 4 orang saksi. (A. Zuhdi Madlor, 1990:96)
d. Syiqaq
Perceraian karena perselisihan berat sehingga memerlukan
campur tangan orang lain ketiga yaitu seorang hakam (perantara) dari
pihak suami dan seorang hakam lagi dari pihak istri. Bila mereka
gagal dalam penyelesaian pertikaian ini. Maka hakim boleh
memutuskan perkawinan suami istri itu.(M. Said, t.t:36)
Firman Allah Surat An-Nisa’ ayat 35 menyatakan
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal. (Departemen Agama RI, 1997:75)
e. Kematian salah seorang diantara suami istri.
f. Akibat pelanggaran taklik talak.
B. Perceraian Menurut UU Perkawinan dan KHI
1. Alasan Perceraian
Secara ideal suatu perkawinan diharapkan dapat bertahan seumur
hidup, tetapi tidak selamanya pasangan suami istri akan dapat menjalani
kehidupan yang ma’ruf sakinah mawaddah warahmah. Dalam perjalanan
perkawinannya kadang pasangan suami istri menemui masalah atau
kendala-kendala yang menyebabkan terjdinya perceraian. Perceraian tidak
mudah untuk dilakukan, karena harus ada alasan-alasan kuat yang
mendasarinya.
Pasal 39 ayat 1-2 UU No.1 tahun 1974, menyatakan:
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.
(Departemen Agama RI, 2001:125)
Alasan-alasan perceraian ada dalam pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975
tentang Penjelasan UU No.1 Tahun 1974 yaitu;
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau peyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami / istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga. (Departemen Agama Islam RI, 2001:146)
Dalam Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 Tentang KHI, pasal 116
menyebutkan tentang alasan-alasan perceraian yaitu :
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau peyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami / istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga. (Departemen Agama RI, 2001:188-189)
Alasan-alasan yang termuat dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 dan
KHI adalah sama. Tetapi dalam KHI terdapat tambahan alasan terjadinya
perceraian pada huruf g dan h, yaitu suami melanggar taklik talak dan
peralihan agama dan murtad.
2. Macam-macam Talak
Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI, menyebutkan tentang
macam-macma talak sebagai berikut: (Departemen Agama Islam RI,
2001:189)
Pasal 118
Talak Raj’I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk
selama istri di dalam masa iddah.
Pasal 119
a. Talak Bain sugra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad
nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
b. Talak Bain Sugra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah
1) talak terjadi qabla al dukhul
2) talak dengan tebusan atau khuluk
3) talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
Pasal 120
Talak Bain Kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak
jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali
apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang
lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan habis masa
iddahnya.
Pasal 121
Talak Sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan
terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam wkatu suci
tersebut.
Pasal 122
Talak Bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada
waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah
dicampuri pada waktu suci tersebut.
3. Akibat Hukum Perceraian
Setelah terjadinya perceraian, maka bekas suami atau bekas istri
mendapat kewajiban sebagai akibat hukum perceraian, yaitu
UU NO.1 tahun 1974 pasal 41 menyebutkan
a. Baik ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai pengusaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana Bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri. (Departemen Agama RI, 2001:125)
Bagi suami atas perceraian tersebut mendapatkan kewajiban
sebagai akibat talak, dalam Inpres RI No. 1 tahun 1991 tentang KHI
menyebutkan. (Departemen Agama Islam RI, 2001:195)
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul;
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada istri selama dalam iddah,
kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila
qobla al dukhu;
d. Memberikan biaya hadhnah (pemeliharaan, termasuk didalamnya
biaya pendidikan) untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21
tahun.
Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada istrinya yang masih dalam
iddah.
Pasal 151
Bekas istri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak
menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
Pasal 152
Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari suaminya
kecuali ia nusyuz.
Bagi istri setelah terjadinya perceraian wajib menjalani waktu
tunggu atau masa iddah, tertera dalam pasal 153, yaitu (Departemen
Agama RI, 2001:196)
a. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu
atau iddah, kecuiali qabla al dukhul dan perkawinannya putus bukan
karena kematian suami.
b. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
1) Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al
dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;
2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih hadi ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 (sembilan puluh) hari;
3) Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
4) Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
c. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al dukhul.
d. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan
yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak
kematian suami.
e. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu
menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali
waktu suci.
f. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka
iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun
tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.
C. Perceraian menurut Peraturan Panglima TNI Nomor 11 Tahun 2007 dan
Skep KASAD Nomor 491 Tahun 2006.
1. Syarat Perceraian.
Secara ideal suatu perkawinan diharapkan dapat bertahan seumur
hidup, tetapi tidak selamanya pasangan suami istri akan dapat menjalani
kehidupan yang ma’ruf menuju terwujudnya keluarga yang sakinah
mawaddah warahmah. Dalam perjalanan perkawinannya kadang pasangan
suami istri menemui masalah atau kendala-kendala yang menyebabkan
terjadinya perceraian. Bagi prajurit TNI, perceraian tidak mudah untuk
dilakukan, karena harus ada persyaratan yang harus dipenuhi.
Di dalam pasal 10 Peraturan Panglima TNI Nomor 11/VII/2007
disebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang prajurit TNI
yang akan mengajukan ijin cerai, antara lain
a. Prajurit TNI yang akan melaksanakan perceraian harus mendapat ijin
terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang.
b. Ijin cerai hanya akan diberikan apabila perceraian yang akan
dilakukan itu tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianut
oleh kedua pihak yang bersangkutan dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
c. Ijin cerai pada prinsipnya diberikan kepada prajurit apabila pernikahan
yang telah dilakukan tidak memberikan manfaat ketenteraman jiwa
dan kebahagiaan hidup sebagai suami istri.
d. Untuk hal tersebut pada ayat (a) dan (b) pasal ini perlu adanya
pernyataan tertulis dari pejabat agama dari Angkatan yang
bersangkutan.
Pada pasal 11 Peraturan Panglima TNI Nomor 11/VII/2007
dijelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami/istri yang
akan mengajukan gugatan cerai kepada prajurit TNI, antara lain
a. Permohonan talak/gugatan perceraian terhadap prajurit oleh
suami/istri yang bukan prajurit disampaikan langsung oleh yang
berkepentingan kepada pengadilan setelah memberitahukan kepada
atasan prajurit yang bersangkutan.
b. Setiap prajurit yang menerima pemberitahuan dari pengadilan tentang
telah diajukannya gugatan yang dimaksud dalam ayat (a) pasal ini
segera menyampaikan laporan tentang hal tersebut kepada atasan yang
berwenang memberi ijin perceraian.
c. Atasan yang berwenang memberikan ijin perceraian, setelah
menerima laporan tersebut dalam ayat (b) pasal ini, segera
mengadakan usaha-usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak.
2. Alasan Perceraian.
Pada prinsipnya permohonan izin cerai atau gugatan perceraian
yang diajukan oleh seorang prajurit TNI dapat diterima apabila alasan-
alasan yang kuat, masuk akal dan tidak dibuat-buat.
Di dalam Skep Kasad Nomor 491 tahun 2006 telah diuraikan
dengan jelas mengenai alasan-alasan perceraian, antara lain
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau peyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami / istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Salah satu pihak pindah agama. (Skep Kasad, 2006:14)
3. Kelengkapan Administrasi Perceraian.
Bagi prajurit TNI yang akan mengajukan permohonan izin cerai,
maka yang bersangkutan harus melengkapi persyaratan administrasi yang
ditentukan sesuai dengan Skep Kasad Nomor 491 tahun 2006, sebagai
berikut
a. Surat pengantar dari kesatuan.
b. Surat permohonan ijin cerai dari yang bersangkutan.
c. Surat kesanggupan diceraikan dari pihak istri.
d. Berita acara pemeriksaan suami dan istri dari kesatuan yang
bersangkutan Bila tidak hadir untuk di BAP agar dilampirkan surat
pemanggilan BAP minimal tiga kali.
e. Pas photo berwarna ukuran 4X6 sebanyak 10 lembar.
f. Foto copy akte nikah/surat nikah. (Skep Kasad, 2006:15)
4. Hal-hal yang menjadi sebab ditolaknya permohonan izin cerai.
Meskipun ijin cerai bisa diberikan oleh seorang komandan, atasan
kepada bawahannya, tetapi bukan berarti bahwa semua permohonan ijin
cerai itu diterima, ada beberapa hal yang menyebabkan permohonan ijin
cerai itu tidak diterima/ditolak. Hal ini telah dijelaskan di dalam pasal 12
Peraturan Panglima TNI Nomor 11/VII/2007, bahwa permohonan izin
cerai dapat ditolak apabila
a. Perceraian yang akan dilakukan itu bertentangan dengan hukum
agama yang dianut oleh kedua belah pihak yang bersangkutan.
b. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh anggota yang bersangkutan
untuk melaksanakan perceraian tidak cukup kuat atau dibuat-buat.
c. Pada ayat (a) dan (b) tersebut diatas dituangkan dalam bentuk berita
acara pemeriksaan bagi suami dan/atau istri serta dilengkapi dengan
berita acara pendapat dari pejabat agama.
5. Akibat Perceraian.
Di dalam pasal 13 Peraturan Panglima TNI Nomor 11/VII/2007
disebutkan bahwa ada beberapa bal yang harus dilaksanakan oleh kedua
belah pihak yang telah bercerai, sebagai berikut
a. Setelah perceraian dilangsungkan, maka salinan surat cerai dari
lembaga yang berwenang, berikut salinan izin cerai harus diserahkan
oleh yang bersangkutan kepada pejabat personalia dari kesatuannya
guna menyelesaikan administrasi personil dan keuangan.
b. Pemberian nafkah kepada mantan istri/suami yang dicerai dan atau
kepada anak yang diasuhnya serta pembagian harta kekayaan akibat
perceraian berdasarkan putusan pengadilan.
BAB III
PROSES PERCERAIAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA
ANGKATAN DARAT (TNI-AD)
(Studi Kasus Di Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012)
A. Gambaran Umum Korem 073/Makutarama
1. Latar Belakang Pembentukan Korem 073/Makutarama
Sesuai dengan proses perkembangan dan perubahan
organisasi Kodam V/Diponegoro, khususnya bagi Kesatuan Korem
073/Makutarama adalah sebagai berikut
Penggabungan Brigade Pragolo I dan Pragolo II men jadi
Brigade “ Pragolo “
Berdasarkan Surat Perintah Harian Panglima Divisi
Diponegoro Nomor 526/K.I/D.III/51 tanggal 29 Oktober 1951 dan
dikukuhkan dengan Surat Keputusan Panglima TT IV Nomor
73/B.4/d.III/51 Tanggal 30 Oktober 1951 tentang Perintah
Penyusunan Brigade Pragala.
Sebagai realisasi surat tersebut di atas, maka pada tanggal 21
Nopember 1951 bertempat di lapangan Kridanggo Salatiga telah
dilaksanakan serah terima dan penggabungan dari Brigade Pragolo –I
yang dipimpin oleh Letkol M. Sarbini dan Brigade Pragolo-II yang
dipimpin oleh Letkol Soeharto dan sebagai Komandan Brigade
Pragolo yang baru adalah Letkol Soeharto.
41
Dengan demikian jelaslah, maka mulai saat itu Brigade
Pragolo Sub Territorium IV, meliputi Wilayah Karisidenan
Semarang dan Karisidenan Pati, Komando Staf berkedudukan di Salatiga.
2. Pembentukan Resimen Infanteri (Menif)
a. Sebagai realisasi Intruksi Kasad Nomor 2/ISNTR/KASAD/1952
tanggal 5 Januari 1952, tentang pelaksanaan perubahan atas
struktur organisasi dalam pembangunan TNI di seluruh Indonesia,
maka dengan Surat Keputusan Panglima Territorium IV Divisi
Diponegoro Nomor 6/B.4/D.III/52 tanggal 8 Pebruari 1952,
dimulailah pembangunannya dalam wilayah Teritorium IV, termasuk
juga Dinas-dinas Administrasi dengan diorganisir sesuai dengan
kebutuhan organisasi baru.
b. Kemudian dengan Instruksi Kasad Nomor 65/INSTR/ KASAD/
1952 tanggal 5 Januari 1952, tentang klasifikasi personel sebagai
hasil perubahan organisasi, maka pembentukan Resimen adalah
sebagai berikut
1) Brigade Yudhonegoro menjadi Resimen Infanteri –12 dengan
Staf Komando di Purwokerto.
2) Brigade Pangeran Mangkubumi Menjadi Resimen Infanteri-13
Dengan Staf Komando di Yogyakarta.
3) Brigade Pragala Menjadi Resimen Infanteri-14 dengan Staf
Komando di Salatiga.
4) Brigade Panembahan Senopati menjadi Resimen Infanteri-15
dengan Staf Komando Di Surakarta.
c. Berdasarkan Surat Keputusan KASAD Nomor 418/6/1959 tanggal
18 Juni 1959, tentang peresmian Panji Kesatuan Resiman
Infanteri/KMKB, dalam lingkungan Territorium IV Devisi
Diponegoro, untuk Resimen Infanteri–14 menerima lambang
Kesatuan dengan nama “Makutarama” ialah suatu Mahkota Raja
yang dimiliki oleh Rama Wijaya (Ramayana), seorang raja yang
termashur dan bijaksana dalam kisah pewayangan.
“MAKUTARAMA” merupakan kata-kata yang terhormat, yang
artinya Wahyu atau Wewangson atau Pedoman hidup ke arah
kesempurnaan, yang disebut “Hasta Brata”. “Hasta” artinya delapan
dan “ Brata ” artinya Laku jadi “ Hasta Brata” berarti Delapan
Laku/Tindakan yang wajib dijadikan sendi/pedoman hidup bagi
setiap manusia, untuk menggalang / menuju kearah kesempurnaan diri
pribadi.
3. Penyusunan Komando Resor Militer
a. Sesuai dengan Surat Keputusan Panglima Kodam IV/Diponegoro
Nomor PTS-207/8/1961 tanggal 29 Agustus 1961 yang berisi tentang :
1) Menghapus / meniadakan organisasi MENIF- 12 s-d 15, Korem-
Korem, Semarang dan Pekalongan dari stuktur organisasi
Kodam VII/Diponegoro.
2) Menyusun / membentuk organisasi Komando Resor Militer
KOREM, dengan sebutan daerah kekuasaannya, tempat
kedudukannya, dan kode nomornya.
3) Menyusun / membentuk organisasi Brigade Infanteri (BRIGIF),
dengan menggunakan sebutan/kode nama, dan tempat
kedudukannya.
4) Memasukkan Batalyon - batalyon Infanteri Yonif-Yonif di
Kodam VII/Diponegoro, Organik dan administratif kedalam
Korem dan Brigif.
3) Memasukkan untuk sementara Kompi-kompi Bantuan Menif-12
s-d 15 kedalam struktur organisasi Brigif, yang administrasi
serta pe-rawatan Personel dan peralatannya sementara diurus
oleh Markas Brigade Infanteri (Mabrigif) masing-masing.
b. Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan
Darat Nomor KPTS/45/I/1962 tanggal 16 Januari 1962 yang
berlaku surut, maka sejak 1 September 1961, Resimen Infanteri-14
berubah menjadi Korem 73 / Makutarama, yang wilayah
kekuasaannya meliputi Karesidenan Semarang dan Karesidenan Pati
dan Komandonya berkedudukan di Salatiga dan membawahi 9
sembilan Kodim serta ditingkat Komando Resor Militer,
ditempatkan Dinas Jawatan / Staf yang taktis dibawah Korem
73/Makutarama.
4. Perubahan Korem 73/Makutarama menjadi Korem 073/
Makutarama.
Penertiban dan perubahan-perubahan organisasi, berjalan
terus dengan berdasarkan Surat Keputusan Panglima Daerah Militer
VII / Diponegoro Nomor KEP-41/I/1966 tanggal 29 Januari 1966 tentang
pengaturan / perubahan Kode Nomor tiap-tiap Korem dalam wilayah
Kodam VII / Diponegoro sebagai pelaksanaan Surat Keputusan
tersebut diatas, maka Kode Nomor Korem 73/ Makutarama berubah
menjadi Korem 073/Makutarama hingga sekarang.
Demikian Sejarah singkat terbentuknya Korem 073/Makutarama
5. Penjelasan arti/maksud Panji Korem 073/Makutarama
a. Penjelasan Panji
Korem 073/Mkt mempunyai lambang Satuan yang diwujudkan
“Kepala Panji” yang berwujud sama dengan apa yang dilambangkan
dalam panji. Sedangkan alas di bawahnya memberikan ruangan untuk
dituliskan suatu Surya Sengkala, yang menunjukan tahun kelahiran
dari Satuan, yang berbunyi “Bekti Tata Gapuraning Buana”.
Bekti mempunyai watak 2 (dua)
Tata mempunyai watak 5 (lima)
Gapura mempunyai watak 9 (sembilan)
Buana mempunyai watak 1 (satu)
Kesemuanya menunjukan tahun maesa 1952. Arti dari pada
rangkaian kata Sangkala tersebut ialah Suatu kebaktian yang wajar,
adalah tindak utama dari pada usaha mencapai gerbang kemulyaan.
b. Nama Panji
Komando Resor Militer 073/Mkt menggunakan lambang nama
“Makutarama” ialah suatu mahkota Raja yang dimiliki Sri
Ramawijaya (Ramayana) Seorang Raja yang termashur dan bijaksana
dalam kisah pedalangan. Adapun Mahkota tersebut sesungguhnya
tiadalah mempunyai daya penguasa sesuatu, namun “Makutarama”
merupakan suatu kata–kata yang keramat ialah suatu wahyu atau
wewenang atau pedoman hidup kearah kesempurnaan (volmacht)
wewangsan ataupun pedoman hidup tersebut, adalah yang dinamakan
“Hasta Brata” “Hasta “ artinya Delapan “Brata” artinya Laku atau
Sila delapan yang wajib dijadikan sendi pedoman hidup bagi tiap
pribadi manusia untuk menggalang kearah kesempurnaan diri pribadi.
Hasta Brata yang melambangkan kesucian dan kemurnian dari pada
benda-benda alam dalam cosmos besar yang seharusnya dapat
mencerminkan kesucian sifat dan watak pula pada setiap pribadi
manusia sebagai cosmos kecil.
Adapun benda-benda alam yang dilambangkan itu ialah ;
1) Sang Surya (Matahari) fungsinya memberi penerangan dan daya
panas kepada seluruh dunia raya, yang artinya memberi
kehidupan kepada segenap makluk (dumadi)
2) Sang Candra (bulan) fungsinya menjadi penyuluh yang
menyebabkan kesan rasa resap dan tentram kepada segenap
makluk (dumadi)
3) Sang Kartika (bintang) Fungsinya menghias ruang-ruang angkasa
raya, membuat keindahan dan keasrian dunia raya dan menjadi
petunjuk iklim.
4) Sang Hima (awan) fungsinya sebagai wujud,andaikan sedang
bergerak (hanggedanu) di angkasa, dapat mengesankan rasa takut
bagi segenap umat Tuhan yang sedang memandang kepadanya.
Akan tetapi kewajiban Sang Hima kalau berubah menjadi air hujan,
kemudian jatuh di bumi yang akhirnya memberi daya kehidupan
kepada segenap makluk dan tumbuh-tumbuhan dimana ada
hubungannya pula dengan kebutuhan kehidupan makluk (dumadi)
5) Sang Maruta Samirana (angina) fungsinya merantai seluruh dunia
raya, bahkan tempat-termpat yang tersembunyi dan yang sekalipun
dirantai oleh Sang Maruta.
6) Sang Samodra (laut) fungsinya mengelilingi seluruh permukaan
bumi, wataknya dapat memuat, termuat dan bermuat menjadi
tempat sampah sarah, kasar halus, baik buruk semua masuk dan
tiada terkembalinya.
7) Sang Pratala (bumi) fungsinya mempunyai sifat suci dan sentausa,
sungguhpun beberapa beratnya beban yang dipikulnya, akan tetapi
selamanya sang bumi tiada pernah mengeluh. Bumi tidak akan
menghindari dan mengingkari janji, yang artinya mengurangi atau
melebihi apa yang dikehendakan dalam tiap karya makluknya.
8) Sang Agni atau Dahana (api) fungsinya mengahancurkan,
melunakkan setiap benda yang nampak, tidak pandang pilih,
tidak berat sebelah, semua dapat dimusnahkan oleh daya
penguasa api. Dengan demikian, Hasta Brata merupakan suatu
wahyu, penyuluh dasar-dasar jiwa yang wajib diagungkan untuk
dapat menjiwai pribadi bagi individu maupun Korp dari Korem
073/Mkt.
c. Bentuk Panji. Suatu mahkota milik Sri Ramawijaya, dalam tata warna
hitam (langgeng). Dimana dilukiskan bulatan-bulatan kecil sejumlah
delapan (Hasta Brata), demikian pula cinduk-cinduk Mahkota yang
berjumlah delapan (Hasta Brata).
d. Letak Panji
Dekorasi di belakangnya terdapat lukisan awan (Sang Hima)
Di bawahnya terdapat lukisan api (merah), bumi (hitam) dan laut (biru
tua). Lingkaran yang terdiri dari pada; padi – kapas – bintang dan pita
bakti.
6. Perkembangan Satuan
1. Pimpinan Satuan
Pejabat Danrem 073/Mkt dari tahun 1984 sampai sekarang
a. Kolonel Inf Ambar Suripto NRP 19011 1984 - 1987
b. Kolonel Inf FX Sujasmin NRP 19720 1987 - 1988
c. Kolonel Inf Sadeli Muhtar NRP 19011 1988 - 1990
d. Kolonel Inf Yopie Winston Sakul NRP 159754 1990 - 1992
e. Kolonel Inf Robert Sitorus NRP 21251 1992 - 1994
f. Kolonel Art Ign Mulyono NRP 32652 1994 - 1995
g. Kolonel Inf Glenny Kauripan NRP 26456 1995 - 1996
h. Kolonel Art Yusuf MD NRP 24356 1996 - 1996
i. Kolonel Inf Arri Sujono SH NRP 27117 1996 - 1999
j. Kolonel Inf Syaiful Rizal Psc. S.Ip NRP 27827 1999 - 2000
k. Kolonel Inf Aji Wijono NRP 27130 2000 - 2003
l. Kolonel Czi Endang Sutrisno NRP 28052 2003 - 2005
m. Kolonel Kav F.TB. Tambunan NRP 28866 2006 - 2007
n. Kolonel Inf Moko Poerwono NRP 29068 2007 - 2009
o. Kolonel Inf Sakan Tampubolon NRP 29601 2009 - 2011
p. Kolonel Inf G. Elnadus Supit NRP 30444 2011 - 2012
q. Kolonel Kav Anang D. T. SE NRP 30514 2012 - 2013
7. Personel
Untuk memenuhi kebutuhan personel Korem 073/ Makutarama
mengajukan permohonan kepada Aspers Kasdam IV/Dip, dalam
penempatannya disesuaikan dengan kebutuhan organisasi, sedangkan
kelebihannya disalurkan ke Kodim-Kodim, guna mengisi kekurangan
personel yang kosong, akibat pensiun, pindah Satuan dan lain-lain.
8. Struktur Organisasi
DANREM
MM
KASREM
M
DAN
PASI BAKTI TNI
DAN
DIM
0717
KA KA KA
PASI PASI PASI PASI
KASI KASI KASI KASI KASI
PASI
PASI BINKANWIL
PASI KOMSOS
KAPEN KAPRIM KAJAS KABINTAL
DAN
DIM
0718
DAN
DIM
0719
DAN
DIM
0720
DAN
DIM
0721
DAN
DIM
0722
DAN
YONIF4
10/ALG
DAN
DIM
0716
DAN
DIM
0715
DAN
DIM
0714
DAN
YONIF4
10/ALG
9. Materiil
Kondisi materiil Korem 073/Mkt sampai saat ini sbb;
a. Senjata ;
1) Pistol - L Lama : 1 pucuk
- L Lam Short : 2 pucuk
- Toka Rev : 27 pucuk
- Pindad P1 : 63 pucuk
- Pistol isarat : 1 Pucuk
2) M 16 A.1 : 132 pucuk
b Kendaraan :
1) Ranmor ¼ Ton : 7 buah
2) Ranmor ¾ Ton : 4 buah
3) Ranmor 2 ½ Ton : 3 buah
4) Sepeda motor : 12 buah
5) Sedan Masda : 1 buah
6) Bis kecil : 1 buah
c. Alhub;
1) PRC 77 : 7 buah
2) HT UHF : 24 buah
3) Yaesu Sistem 600 : 1 buah
4) Rad RIG kacina UHF : 1 buah
5) RadRIG kacina UHF : 1 buah
7) Sound Sistem : 1 buah
8) Telp Perumtel : 7 buah
9) EMILTER : 1 buah
10) Faxsimil : 1 buah
10. Pangkalan
Makorem 073/Makutarama di jl. Diponegoro Nomor 28 Salatiga.
Jumlah bangunan terdiri dari
a. Bangunan Kantor Mako dan Staf.
b. Bangunan Kantor Penerangan dan Gudang Logistig.
c. Bangunan Kantor Kihub dan Perpustakaan.
d. Bangunan Rumah jaga Satri dan Pos Jaga.
e Bangunan Kantor Piket, Gudang Senjata dan Kantor Kima.
f. Bangunan Masjid.
g. Bangunan Kantor Pekas dan Kantor Persit.
h. Bangunan Kantor Primkopad dan Gudang Kima.
i. Bangunan Kantor Toko Primkopad dan Kantin.
j. Bangunan kediaman Komandan Korem 073/Mkt
11. Organisasi.
a. Komandan Korem 073/Mkt : Kolonel Inf S.Tri Mulyono
b. Kepala Staf Korem 073/Mkt : Letkol Arm. Sutriyono, S.Ap
c. Kepala Seksi Inteljen : Letkol Inf Hari P.
d. Kepala Seksi Operasi : Mayor Inf Wahyu
e. Kepala Seksi Personel : Mayor Inf Asjur
f. Kepala Seksi Logistik : Mayor Inf Deny Marantika
g. Kepala Seksi Teritorial : Letkol Kav Agus Tri S.
h. Komandan Kompi Markas : Kapten Inf Sugito
i. Kepala Hukum : Mayor Chk Munadi, SH
j. Kapala Sekretarat Umum : Kapten Inf D. Rohman
k. Kepala Infolahta : Lettu Chk Harjito
l. Kepala Jasmani Militer : Kapten Inf Triyono
m. Kepala Pembinaan Mental : Kapten Inf Qodir
12. Pembinaan Personel
a. Melaksanakan pembinaan mental Prajurit setiap minggu /jam Dan
b. Penegakan disiplin anggota
c. Pembinaan karir,mengikutkan anggota dalam seleksi secaba, secapa
d. Mengirimkan anggota untuk mengikuti kursus-kursus dan penataran
e. Menyelenggarakan pembinaan mental
f. Menyelenggarakan penataran Bintal
g. Menyelenggarakan penataran Bintal terpadu 3 hari
h. Melaksanakan Cek up rikes
i. Memberangkatkan haji atas nama PNS Muhayat tahun 2003
j. Meberangkatkan haji Kabintalrem 073/Mkt tahun 2007
k. Melaksanakan seleksi haji har Kasad Ta 2010
13. Pembinaan Materiil
Melaksanakan perawatan terhadap barang-barang yang
dipertanggung jawabkan, senjata, kendaraan baik roda empat maupun
roda dua, alat-alat perhubungan, perlengkapan Dahura,
menginventarisasikan melaporkan ke Komando atas bila ada kerusakan
berat. Pemeliharaan dilaksanakan secara bertahap dan berlanjut
14. Bidang Pangkalan
Melaksanakan perawatan bangunan/gedung yang menjadi
tanngung jawab Korem 073/Mkt, mengadakan perbaikan serta merehap
membangun bagian-bagian tertetu menurut skala periotas antara lain
a. Membangun masjid At-Taqwa Makorem 073/Mkt tahun 1995.
b. Pembuatan Gudang dan Kantor Penerangan tahun 2003.
c. Rehap rumah jaga dan Garage.
d. Rehap Kantor Mako dan Staf
e. Pengaspalan halaman dan lingkungan Makorem 073/Makutarama.
f. Pembuatan Gapura/Pintu gerbang
g. Penambahan rumah Tipe H/70 1 buah di Jl Veteran Salatiga/ untuk
Mes
B. Tata cara Perceraian di Lingkungan TNI-AD
Agar prajurit TNI-AD dapat melaksanakan tugasnya dengan baik,
benar dan terarah, maka segala kegiatan dan aktifitasnya selalu didasarkan
pada aturan yang dibuat oleh pimpinan, termasuk didalamnya proses
perceraian.
Dari hasil penelitian yang kami lakukan terhadap buku-buku dan
dokumen yang berada di kantor pembinaan mental Korem 073/Mkt, ternyata
aturan yang di pakai dalam pelaksanaan proses perceraian anggota Korem
073/Mkt sama persis dengan aturan yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Hal
ini bisa dimaklumi karena Korem 073/Mkt merupakan bagian dari TNI-AD,
yang sudah barang tentu harus mengikuti aturan yang sudah digariskan dari
pimpinan TNI-AD.
Di dalam Peraturan Panglima TNI Nomor tahun 2007 dimuat tentang
tata cara perceraian anggota TNI-AD sebagai berikut
1. Pasal 10
a. Prajurit TNI yang akan melaksanakan perceraian harus mendapat ijin
terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang.
b. Ijin cerai hanya akan diberikan apabila perceraian yang akan dilakukan
itu tidak bertentangan dengan hukum agamayang dianut oleh kedua
pihak yang bersangkutan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c. Ijin cerai pada prinsipnya diberikan kepada prajurit apabila pernikahan
yang telah dilakukan tidak memberikan manfaat ketenteraman jiwa
dan kebahagiaan hidup sebagai suami istri.
d. Untuk hal tersebut pada ayat (a) dan (b) pasal ini perlu adanya
pernyataan tertulis dari pejabat agama dari Angkatan yang
bersangkutan.
2. Pasal 11 Peraturan Panglima TNI Nomor 11/VII/2007 menjelaskan syarat-
syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami/istri yang akan mengajukan
gugatan cerai kepada prajurit TNI , antara lain
a. Permohonan talak/gugatan perceraian terhadap prajurit oleh suami/istri
yang bukan prajurit disampaikan langsung oleh yang berkepentingan
kepada pengadilan setelah memberitahukan kepada atasan prajurit
yang bersangkutan.
b. Setiap prajurit yang menerima pemberitahuan dari pengadilan tentang
telah diajukannya gugatan yang dimaksud dalam ayat (a) pasal ini
segera menyampaikan laporan tentang hal tersebut kepadaatasan yang
berwenang memberi ijin perceraian.
c. Atasan yang berwenang memberikan ijin perceraian, setelah menerima
laporan tersebut dalam ayat (b) pasal ini, segera mengadakan usaha-
usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak.
3. Alasan Perceraian.
Pada prinsipnya permohonan izin cerai atau gugatan perceraian
yang diajukan oleh seorang prajurit TNI dapat diterima apabila alasan-
alasan yang kuat, masuk akal dan tidak dibuat-buat. Di dalam Skep Kasad
Nomor 491 tahun 2006 telah diuraikan dengan jelas mengenai alasan-
alasan perceraian, antara lain
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami / istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Salah satu pihak pindah agama. (Skep Kasad, 2006:14)
4. Kelengkapan Administrasi Perceraian.
Bagi prajurit TNI yang akan mengajukan permohonan izin cerai,
maka yang bersangkutan harus melengkapi persyaratan administrasi yang
ditentukan sesuai dengan Skep Kasad Nomor 491 tahun 2006, sebagai
berikut
a. Surat pengantar dari kesatuan.
b. Surat permohonan ijin cerai dari yang bersangkutan.
c. Surat kesanggupan diceraikan dari pihak istri.
d. Berita acara pemeriksaan suami dan istri dari kesatuan yang
bersangkutan Bila tidak hadir untuk di BAP agar dilampirkan surat
pemanggilan BAP minimal tiga kali.
e. Pas photo berwarna ukuran 4X6 sebanyak 10 lembar.
f. Foto copy akte nikah/surat nikah. (Skep Kasad, 2006:15)
5. Hal-hal yang menjadi sebab ditolaknya permohonan izin cerai.
Meskipun ijin cerai bisa diberikan oleh seorang komandan,atasan
kepada bawahannya, tetapi bukan berarti bahwa semua permohonan ijin
cerai itu diterima, ada beberapa hal yang menyebabkan permohonan ijin
cerai itu tidak diterima/ditolak. Hal ini telah dijelaskan didalam pasal 12
Peraturan Panglima TNI Nomor 11/VII/2007, bahwa permohonan izin
cerai dapat ditolak apabila
a. Perceraian yang akan dilakukan itu bertentangan dengan hukum agama
yang dianut oleh kedua belah pihak yang bersangkutan.
b. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh anggota yang bersangkutan
untuk melaksanakan perceraian tidak cukup kuat atau dibuat-buat.
c. Pada ayat (a) dan (b) tersebut di atas dituangkan dalam bentuk berita
acara pemeriksaan bagi suami dan/atau istri serta dilengkapi dengan
berita acara pendapat dari pejabat agama.
6. Akibat Perceraian.
Dalam pasal 13 Peraturan Panglima TNI Nomor 11/VII/2007
disebutkan bahwa ada beberapa bal yang harus dilaksanakan oleh kedua
belah pihak yang telah bercerai, sebagai berikut
a. Setelah perceraian dilangsungkan, maka salinan surat cerai dari
lembaga yang berwenang, berikut salinan izin cerai harus diserahkan
oleh yang bersangkutan kepada pejabat personalia dari kesatuannya
guna menyelesaikan administrasi personil dan keuangan.
b. Pemberian nafkah kepada mantan istri/suami yang dicerai dan atau
kepada anak yang diasuhnya serta pembagian harta kekayaan akibat
perceraian berdasarkan putusan pengadilan.
7. Proses Perceraian.
Kata perceraian dengan talak memiliki hubungan pengertian yang
sangat erat dimana talak merupakan salah satu penyebab perceraian atau
putusnya hubungan pernikahan. Pada sisilaintalak menggambarkan tingkat
atau bobot perceraian itu sendiri. (Skep Kasad, 2006:21)
Di dalam pengurusan perceraian bagi anggota TNI-AD, ada
beberapa tahapan yang harus dilaksanakan oleh unsur pelaksana, yaitu
a. Tahap Perencanaan.
1) Merencanakan tempat danpiranti pendukung pengurusan
perceraian.
2) Merencanakan pejabat agama yang memberi nasihat.
3) Merencanakan piranti pendukung pengurusan perceraian.
4) Merencanakan materi Bimbingan dan nasehat serta penelitian
persyaratan perceraian.
5) Merencanakan penelitian persyaratan administrasi.
6) Merencanakan koordinasi internal dan eksternal dengan pihak-
pihak terkait (Pejabat Personalia maupun keluarga kedua belah
pihak atau pihak ketiga yang turut terlibat dalam urusan keluarga.
7) Merencanakan pembuatan dan pengarsipan produk administrasi
pengurusan perceraian, antara lain Surat Pernyataan Pendapat
Pejabat Agama (SPPPA), catatan hasil penelitian dan laporan.
8) Menyusun rencana pelaksanaan kegitan. (Skep Kasad, 2006:22)
b. Tahap Persiapan.
1) Membuat surat panggilan kepada suami dan istri untuk dimintai
penjelasan oleh pejabat agama dan untuk pemberian bimbingan.
2) Menyiapkan tempat dan piranti pendukung pengurusan perceraian.
3) Menyiapkan materi bimbingan dan nasehat perkawinan, penelitian
administrasi serta persyaratan perceraian.
4) Menyiapkan pejabat agama Islam TNI-AD yang berwenang
memberi bimbingan/nasehat dan meneliti persyaratan perceraian
serta menerbitkan Surat Pernyataan Pendapat Pejabat Agama
(SPPPA).
5) Menyiapkan dukungan administrasi pelayanan pengurusan
perceraian, misalnya blangko/formulir SPPPA dan surat-surat
untuk koordinasi dengan pihak-pihak terkait.
6) Melaksanakan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam
pengurusan perceraian, baik dengan Kesatuan yang bersangkutan
maupun dengan Pengadilan Agama. (Skep Kasad, 2006:22-23)
c. Tahap Pelaksanaan.
1) Meneliti kelengkapan persyaratan administrasi.
2) Meneliti ada tidaknya hal yang mengharamkan perceraian tersebut
berdasarkan hukum Islam.
3) Memberikan bimbingan, nasehat dan petunjuk perceraian.
4) Mencatat hal-hal khusus/menonjol.
5) Membuat Surat Pernyataan Pendapat Pejabat Agama SPPPA) dan
surat pengantar untuk Kesatuan yang bersangkutan.
6) Mengarsipkan administrasi perceraian.
7) Melaksanakan koordinasi lanjutan.
g. Tahap Pengakhiran.
1) Melakukan evaluasi terhadaphasil pelaksanaan kegiatan.
2) Melaporkan hasil kegiatan.
3) Melakukan pemantauan terhadap proses selanjutnya. (Skep Kasad,
2006:23)
C. Pejabat yang Berwenang Memberikan Ijin Cerai.
Di depan sudah dijelaskan bahwa setiap anggota TNI-AD yang akan
melaksanakan perceraian harus memenuhi berbagai persyaratan, termasuk
adanya ijin dari pimpina atau atasannya. Dalam hal ini Panglima TNI telah
membuat peraturan yang dituangkan dalam Bab V pasal 15 Peraturan
Panglima TNI Nomor 11 tahun 2007, tentang wewenang pemberian izin cerai
bagi anggota TNI diatur sebagai berikut
1. Presiden terhadap pejabat Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan
(Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Kepala Staf TNI Angkatan Laut dan
Kepala Staf TNI Angkatan Udara.
2. Panglima TNI terhadap para Pati/Perwira tinggi (Brigadir Jendral, mayor
jendral, letnan jendral dan Jendral)
3. Kepala Staf Angkatan Kasad, Kasal, Kasau terhadap Perwira menengah
(Mayor, Letnan Kolonal dan Kolonel) organik Mabes TNI atau instansi
diluar organik TNI.
4. Komandan jendral, gubernur, komandan, kepala dan ketua terhadap
Perwira pertama ke bawah di lingkungan masing-masing.
5. Pangkotama TNI/Angkatan terhadap Pama (letnan dua, letnan satu dan
kapten) di lingkungan tugasnya.
6. Komandan/Kepala satuan kerja yang memiliki kewenangan sebagai
Papera terhadap Bintara (Serda, sertu, serka, serma, pelda dan peltu) dan
Tamtama (Prada, pratu, praka, kopda, koptu dan kopka).
D. Kebijakan Danrem 073/Makutarama terkait Masalah Perceraian
Anggota Korem 073/Makutarama.
Di dalam tubuh TNI-AD perpindahan personil dari suatu daerah ke
daerah yang lain dan pergantian pimpinan/komandan dari suatu instansi ke
instansi yang lain merupakan hal yang wajar dan sering terjadi. Hal ini
dimaksudkan untuk penyegaran dan menghilangkan kejenuhan serta untuk
menambah wawasan dan hasanah keilmuan agar yang bersangkutan bisa
berkarier secara baik di lingkungan militer.
Perpindahan personil/anggota yang tidak sesuai dengan tujuan yang
dimaksud, akan membawa dampak yang kurang baik terhadap kondisi psikis
personil tersebut beserta keluarganya, terutama anak-anaknya yang masih
sekolah, mereka harus pindah sekolah, harus menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekolah maupun lingkungan dimana dia tinggal serta harus
mengejar ketertinggalan mereka balam menerima pelajaran.
Sedangkan pergantian pimpinan/komandan, selain berpengaruh
terhadap yang bersangkutan dan keluarganya, ternyata bisa menciptakan
dampak yang sangat komplek bagi para anggota yang berada di dalam instansi
yang menjadi obyek pergantian pimpinan tersebut. Demikiaan halnya dengan
yang terjadi di Korem 073/Makutarama Salatiga, dengan silih bergantinya
pejabat komandan berakibat terhadap munculnya berbagai macam kebijakan
yang dikeluarkan oleh para komandan tersebut, yang terkadang saling bertolak
belakang bahkan mungkin ada yang bertentangan dengan peraturan.
Sepanjang sejarah mulai tahun 2010 s/d 2012 ada beberapa kebijakan
yang dikeluarkan oleh para komandan terkait dengan proses perceraian
anggota Korem 073/Makutarama, yang menyimpang dari aturan, antara lain:
1. Kebijakan Danrem 073/Mkt pada tahun 2010 yaitu Memberikan ijin cerai
setelah ada surat cerai dari Pengadilan Agama.
Menurut keterangan dari PNS H. Muhayat, BA, seorang anggota
bintal Korem 073/Makutarama, “Bahwa pernah ada pejabat Komandan
Korem 073/Makutarama yang mengeluarkan kebijakan terkait dengan
proses perceraian anggota Korem 073/Makutarama, yaitu surat ijin cerai
dari Danrem bisa diberikan setelah yang bersangkutan memperoleh surat
cerai dari Pengadilan Agama.
Dia menceriterakan bahwa pada bulan Pebruari 2010 ada anggota
yang punya pemasalahan di dalam rumah tangganya yang sangat sulit
untuk diselesaikan, sehingga anggota yang bersangkutan memutuskan
untuk mengajukan perceraian ke pengadilan agama. Karena merasa
sebagai anggota Korem 073/Mkt maka anggota tersebut menghadap ke
kantor bintal Korem 073/Mkt untuk meminta penjelasan dan bimbingan.
Setelah dilaksanakan bimbingan dan mediasi yang dilakukan oleh
Kabintalrem 073/Mkt dan para staf, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
bersangkutan sudah mengambil keputusan yang bulat untuk mengajukan
perceraian dan tidak mau rujuk kembali, untuk itu yang bersangkutan
diarahkan untuk menghadap ke staf intelijen untuk di adakan BAP (Berita
Acara Pemeriksaan). Setelah selesai BAP yang bersangkutan diarahkan
untuk menghadap Danrem 073/Mkt. Dan setelah menghadap Komandan
Korem, maka yang bersangkutan diperintahkan untuk mengurus dulu di
PA, setelah mendapat surat cerai dari PA, baru diperintahkan untuk
menghadap Danrem lagi.
2. Kebijakan Danrem tahun 2011-2012
a. Mencabut/meniadakan izin cerai walaupun sudah ada surat cerai dari
Pengadilan Agama.
Pernah juga terjadi ada seorang pejabat Komandan Korem
073/Makutarama yang mencabut/meniadakan ijin cerai. Hal ini
disebabkan karena beliau adalah seorang pemeluk agama Nasrani
yang sangat taat. Di dalam ajaran agama Nasrani tidak ada istilah
perceraian, karena takut berdosa dan takut akan mendatangkan
kemarahan Tuhan, beliau tidak mengijinkan anggotanya bercerai,
walaupun sudah diterbitkan akte cerai dari Pengadilan Agama dan si
istri sudah nikah lagi.
b. Mempersulit perijinan yang tidak sesuai dengan prosedur, sekalipun
suami sudah menjatuhkan talak tiga.
Dari hasil wawancara peneliti dengan Drs. Fatoni, salah
seorang anggota pembinaan mental Korem 073/Mautarama diperoleh
data bahwa pernah ada seorang pejabat Danrem 073/Makutarama yang
enggan memberikan ijin cerai terhadap anggota yang mengajukan
permohonan ijin cerai dengan menyalahi prosedur, bahkan sekalipun
istri anggota yang bersangkutan menghadap dengan menghadirkan
pengacara, yang mengutarakan alasan bahwa sang suami telah
menjatuhkan talak tiga kali, dan menurut hukum Islam sudah terjadi
perceraian, yang berarti bahwa suami tidak boleh rujuk kembali
sebelum si istri nikah dengan orang lain dan sudah diceraikan, namun
Danrem 073/Mkt tetap enggan.
E. Praktek Perceraian Anggota Korem 073/Makutarama yang Menyimpang
dari Peraturan.
1. Mengajukan gugatan perceraian ke PA tanpa ijin dari Danrem.
Dari arsip/dokumen yang peneliti lihat di kantor staf intelijen
Korem 073/Makutarama yang termuat dalam hasil Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) diperoleh data bahwa ada seorang istri prajurit yang
mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya yang berstatus sebagai
anggota Korem 073/Makutarama, langsung ke Pengadilan Agama tanpa
meminta ijin dulu dari Danrem 073/Makutarama.
2. Meminta ijin gugatan cerai ke Danrem dengan menghadirkan pengacara.
Dari hasil BAP yang dilakukan oleh Serma Tri Purwanto, seorang
anggota staf intelijen Korem 073/Mkt, diperoleh keterangan bahwa ada
seorang istri prajurit yang memaksakan kehendaknya untuk memperoleh
ijin cerai dari Danrem 073/Mkt, sampai menghadirkan pengacara.
Di dalam BAP tersebut dijelaskan bahwa ada seorang prajurit
tentara anggota Korem 073/Mkt yang punya permasalahan di dalam rumah
tangganya di mana telah terjadi pertengkaran antara prajurit yang
bersangkutan dengan istrinya. Perselisihan itu memuncak manakala sudah
ada campur tangan dari pihak orang tua si istri, sehingga menimbulkan
kemarahan dan emosi dari prajurit tersebut yang mengakibatkan jatuhnya
talak terhadap istrinya dengan tanpa disadari.
Karena orang tua si istri adalah seorang tokoh agama yang fanatik,
maka keinginan prajurit yang ingin rujuk terhadap istrinya ditolak oleh
mertuanya, dan diputuskan oleh orang tua si istri bahwa mereka (prajurit
dan istrinya) harus cerai, dan si istri dipingit oleh orang tuanya agar tidak
bisa bertemu dengan prajurit yang bersangkutan.
Mengingat bahwa keutuhan rumah tangganya sudah tidak bisa
dipertahankan lagi, maka prajurit tersebut berkeinginan untuk mengajukan
permohonan ijin cerai ke Danrem 073/Mkt. Setelah prajurit tersebut
menghadap Danrem 073/Mkt dengan mengutarakan berbagai alasan yang
sebenarnya, namun tidak dapat diterima oleh Danrem 073/Mkt, maka
prajurit tersebut menyampaikan hasil dari usahanya tersebut kepada istri
dan mertuanya.
Mendengar penuturan prajurit tersebut, orang tua si istrri dengan
penuh emosional mengajukan gugat cerai terhadap menantunya dan
mengahap Danrem 073/Mkt dengan menghadirkan seorang pengacara.
Dari keterangan dan alasan yang disampaikan oleh pengacara tersebut
diketahui bahwaprajurit tersebut telah beberapa kali menjatuhkan talak,
yang menurut hukum islam sudah terjadi perceraian dan tidak boleh rujuk
lagi. Tapi karena merasa tidak dihargai sebagai pejabat yang punya
kebijakan maka pengajuan gugat cerai tersebut ditolak oleh Danrem
073/Mkt.
BAB IV
ANALISIS TERHADAP KEBIJAKAN DANREM 073/ MAKUTARAMA
DAN ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PERCERAIAN ANGGOTA
KOREM 073/MAKUTARAMA YANG MENYIMPANG
DARI PERATURAN
A. Analisis Terhadap Kebijakan-Kebijakan Danrem 073/ Makutarama
1. Kebijakan Danrem 073/Mkt tahun 2010.
Komandan Korem 073/Makutarama memberikan ijin cerai kepada
anggotanya setelah diterbitkan surat cerai dari Pengadilan Agama.
Setiap bentuk keputusan ataupun kebijakan yang mengandung
unsur pilihan, setelah ditetapkan pasti menimbulkan konsekuensi, yaitu
adanya keuntungan dan kerugian ataupun kelebihan dan kekurangan,
termasuk kebijakan yang diambil oleh Danrem 073/Makutarama juga
mengandung kelebihan dan kekurangan.
Adapun kelebihan dan kekurangan dari kebijakan Danrem
073/Makutarama tersebut adalah :
a. Kelebihan/keuntungan ;
1) Memberi keleluasaan kepada Pengadilan Agama untuk melakukan
proses perceraian sesuai dengan hukum dan peraturan tanpa harus
menunggu surat dari Danrem 073/Mkt.
2) Memberikan kemudahan kepada prajurit Korem 073/Mkt di dalam
megurus proses perceraian, agar bisa lancar sehingga bisa cepat
68
kembali berkonsentrasi dalam melaksanakan tugas-tugas
kedinasan.
b. Kekurangan/kerugian;
1) Bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun1974
tentang Perkawinan Bab X Penutup yang menyatakan bahwa
“Pengaturan tenteng perkawinan dan perceraian khusus bagi
anggota Angkatan Bersenjata diatur lebih lanjut oleh
Menhankam/Pangab”.
2) Bertentangan dengan Peraturan Panglima TNI No. 11 tahun
2007 bab IV pasal 10 ayat 1 dan ayat 4, pasal 11 ayat 1 s-d 3,
yang menyatakan bahwa :
(a) Pasal 10
(1) Prajurit TNI yang akan melaksanakan perceraian harus
mendapat ijin terlebih dahulu dari pejabat yang
berwenang.
(2) Untuk hal tersebut pada pasal ini perlu adanya
pernyataan tertulis dari pejabat agama dari Angkatan
yang bersangkutan.
(b) Pasal 11
(1) Permohonan talak/gugatan perceraian terhadap prajurit
oleh suami/istri yang bukan prajurit disampaikan
langsung oleh yang berkepentingan kepada pengadilan
setelah memberitahukan kepada atasan prajurit yang
bersangkutan.
(2) Setiap prajurit yang menerima pemberitahuan dari
pengadilan tentang telah diajukannya gugatan yang
dimaksud dalam ayat (a) pasal ini segera menyampaikan
laporan tentang hal tersebut kepadaatasan yang
berwenang memberi ijin perceraian.
(3) Atasan yang berwenang memberikan ijin perceraian,
setelah menerima laporan tersebut dalam ayat (b) pasal
ini, segera mengadakan usaha-usaha untuk mendamaikan
kedua belah pihak.
3) Kebijakan ini memberikan kesan bahwa pejabat komandan Korem
073/Makutarama tidak mau ikut campur dalam menyelesaikan
permasalahan anggotanya dan tidak ada usaha untuk
mendamaikan atau merukunkan prajuritnya yang sedang berselisih
dalam rumah tangganya. Padahal salah satu tugas dan tanggung
jawab seorang pimpinan adalah turut meningkatkan kesejahteraan
anggotanya beserta keluarganya.
4) Kebijakan ini juga mengakibatkan kurang berfungsinya Peraturan
Panglima TNI Nomor 11 tahun 2007 yang mengisyaratkan
adanya mediasi ganda sebelum prajurit yang akan cerai maju ke
PA.
2. Analisis terhadap kebijakan Danrem 073/Mkt tahun 2011-2012.
a. Komandan Korem 073/Makutarama mencabut/meniadakan izin cerai,
walaupun sudah diterbitkan surat cerai dari Pengadilan Agama.
Kebijakan Komandan Korem 073/Makutarama dengan
mencabut/ meniadakan izin cerai, walaupun sudah diterbitkan surat
cerai dari Pengadilan Agama, sebenarnya memberikan kesan akan
adanya kepedulian dari seorang pimpinan terhadap anak buahnya
untuk berusaha mendamaikan suami istri yang sedang berselisih.
Namun kalau dikaji lebih jauh, maka kebijakan ini sangtlah kurang
bijaksana, dengan alasan:
1) Bertentangan dengan hukum Islam/fiqh, dimana jika seorang suami
sudah menjatuhkan talak tiga/bain kubro, tidak dihalalkan lagi bagi
suami tersebut untuk rujuk kembali dengan bekas istrinya, sebelum
istri tersebut dinikah oleh orang lain dan telah dicerai kembali,
sesuai dengan firman Allah di dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah
ayat 120 ;
Artinya : “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak
yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.
kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya,
Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya
kepada kaum yang (mau) mengetahui.
2) Menelantarkan anak buahnya yang sudah ditinggal nikah oleh
istrinya, yang seharusnya bisa nikah dan membangun masa
depannya dengan berumah tangga, jadi terkatung-katung tidak bisa
mengajukan ijin kawin, karena belum ada surat ijin cerai dari
Danrem 073/Makutarama.
3) Kebijakan ini mengakibatkan adanya beberapa kemungkinan, al ;
a) Anggota melaksanakan nikah di luar dinas.
Karena mau mengurus nikah di kantor belum bisa dan
belum ada surat ijin cerai dari Komandan.
b) Anggota melaksanakan nikah sirri.
Merasa baahwa yang bersangkutan sudah resmi bercerai
dan sudah punya akta cerai, tapi karena takut ketahuan
Komandan atau atasanya, maka yang bersangkutan nikah
dengan prinsip yang penting syah secara agama.
c) Anggota bisa kumpul kebo.
Karena tidak kuat menahan nafsu, sedangkan istrinya
sudah tidak mau melayaninya, bahkan istrinya sudah nikah lagi
dengan orang lain, maka yang bersangkutan bisa gelap mata
dan melakukan kumpul kebo.
b. Komandan Korem 073/Makutarama mempersulit perijinan yang tidak
sesuai dengan prosedur, meskipun suami sudah menjatuhkan talak tiga.
Kebijakan yang diambil oleh Komandan Korem
073/Makutarama ini di satu sisi cukup beralasan, karena setiap
komandan mempunyai hak untuk dihargai dan dihormati serta
mempunyai wewenang untuk menentukan kebijakan mengenai hal-hal
yang menyangkut tanggung jawabnya sebagai seorang pimpinan.
Namun di sisi lain, mengingat bahwa si suami sudah
menjatuhkan talak tiga, maka kebijakan ini bertentangan dengan :
1) Bertentangan dengan Pasal 120 Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991
tentang KHI yang menyebutkan bahwa “Talak Bain Kubro adalah
talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat
dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila
pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang
lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan habis masa
iddahnya.
2) Bertentangan dengan hukum Islam/fiqh, dimana jika seorang suami
sudah menjatuhkan talak tiga/bain kubro, tidak dihalalkan lagi bagi
suami tersebut untuk rujuk kembali dengan bekas istrinya, sebelum
istri tersebut dinikah oleh orang lain dan telah dicerai kembali,
sesuai dengan firman Allah di dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah
ayat 120 ;
Artinya : “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak
yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.
kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya,
Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya
kepada kaum yang (mau) mengetahui.
B. Analisis Tentang Praktek Perceraian Anggota Korem 073/Makutarama
yang Menyimpang dari Peraturan dan akibat yang ditimbulkannya.
1. Mengajukan gugatan perceraian ke PA tanpa ijin dari Danrem.
Tindakan istri prajurit yang mengajukan gugatan perceraian
terhadap suaminya langsung ke Pengadilan Agama tanpa meminta ijin
terlebih dahulu kepada Komandan Korem, ini sangat bertentangan dengan
berbagai macam aturan, antara lain :
a. Bertentangan dengan Peraturan Panglima TNI No. 11 tahun 2007 bab
IV pasal 11 ayat 1 s-d 3 yang menyatakan bahwa :
1) Permohonan talak/gugatan perceraian terhadap prajurit oleh
suami/istri yang bukan prajurit disampaikan langsung oleh yang
berkepentingan kepada pengadilan setelah memberitahukan
kepada atasan prajurit yang bersangkutan.
2) Setiap prajurit yang menerima pemberitahuan dari pengadilan
tentang telah diajukannya gugatan yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini segera menyampaikan laporan tentang hal tersebut
kepadaatasan yang berwenang memberi ijin perceraian.
3) Atasan yang berwenang memberikan ijin perceraian, setelah
menerima laporan tersebut dalam ayat (2) pasal ini, segera
mengadakan usaha-usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak.
b. Bertentangan dengan Surat Pernyataan kesanggupan menjadi
istri/suami anggota TNI AD yang dibuat pada saat mengajukan
pernikahan dengan menyatakan “Bersedia mematuhi dan tunduk kepada
peraturan pernikahan, perceraian dan rujuk yang berlaku yang berlaku
di TNI- AD” yang ditandatangani oleh yang bersangkutan di atas
materai dan diketahui oleh pamong praja setempat.
2. Meminta ijin gugatan cerai ke Komandan Korem 073/Makutarama dengan
menghadirkan pengacara.
Tindakan seorang seorang istri prajurit yang memaksakan
kehendaknya untuk memperoleh ijin cerai dari Danrem 073/Makutarama,
bahkan sampai harus menghadirkan seorang pengacara, berarti telah
menyimpang dari aturan dasar keprajuritan, antara lain :
a. Bertentangan dengan Peraturan Panglima TNI No. 11 tahun 2007 bab
IV pasal 11 ayat 1 dan ayat 2 yang menyatakan bahwa :
1) Permohonan talak/gugatan perceraian terhadap prajurit oleh
suami/istri yang bukan prajurit disampaikan langsung oleh yang
berkepentingan kepada pengadilan setelah memberitahukan kepada
atasan prajurit yang bersangkutan.
2) Setiap prajurit yang menerima pemberitahuan dari pengadilan
tentang telah diajukannya gugatan yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini segera menyampaikan laporan tentang hal tersebut
kepadaatasan yang berwenang memberi ijin perceraian.
b. Bertentangan dengan Surat Pernyataan kesanggupan menjadi
istri/suami anggota TNI AD yang dibuat pada saat mengajukan
pernikahan dengan menyatakan “Bersedia mematuhi dan tunduk
kepada peraturan pernikahan, perceraian dan rujuk yang berlaku yang
berlaku di TNI- AD” yang ditandatangani oleh yang bersangkutan di
atas materai dan diketahui oleh pamong praja setempat.
c. Bertentangan dengan Sumpah Prajurit yang ketiga yang berbunyi :
“Taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan
3. Dengan adanya praktek perceraian anggota Korem 073/Mkt yang
menyimpang/tidak sesuai dengan peraturan, maka akan mengakibatkan :
a. Jika yang seorang prajurit mengajukan cerai langsung ke PA, tanpa
ijin Komandan maka yang bersangkutan bisa diancam ;
1) Dipecat/dikeluarkan dari dinas
2) Dimasukkan ke dalam sel/penjara dalam waktu tertentu.
3) Diturunkan pangkatnya satu tingkat lebih rendah
4) Ditunda kenaikan pangkatnya satu atau dua periode bahkan bisa
lebih
5) Dan lain sebagainya
b. Apabila istri prajurit mengajukan cerai langsung ke PA, tanpa ijin
Komandan, maka akan timbul kebijakan Komandan yang
menyimpang, karena merasa tidak dihargai atau dihormati sebagai
pimpinan.
c. Jika Istri prajurit mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama,
tapi fihak pengadilan agama tidak memberi tembusan ke Danrem
073/Mkt, maka akan timbul ketidakharmonisan hubungan antara PA
dengan Korem, bahkan Danrem bisa menuntut pejabat PA melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap putusan Pengadilan yang
dijatuhkan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :
1. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Bap X Penutup, dinyatakan bahwa “Pengaturan tentang perkawinan dan
perceraian khusus bagi anggota Angkatan Bersenjata diatur lebih lanjut
0leh Menhankam/Pangab”.
2. Tata cara proses perceraian yang diterapkan di lingkungan TNI-AD
khususnya di Korem 073/Makutarama, ternyata berfungsi sebagai mediasi
ganda, dimana setiap prajurit Korem 073/Makutarama yang mengajukan
perceraian, sebelum meju ke Pengadilan Agama, mereka harus
memperoleh ijin terlebih dahulu dari Danrem 073/Makutarama. Dan
sebelum menghadap Danrem, mereka sudah di mediasi oleh Kabintal di
kantor Pembinaan Mental, kalau gagal akan dirukunkan oleh Kasi Intel di
kantor Staf Intelijen, Pakumrem, kasrem dan kalau masih belum berhasil,
baru menghadap Danrem.
3. Meskipun setiap pimpinan mempunyai hak dan wewenang untuk
mengeluarkan kebijakan yang menyangkut masalah yang dihadapi di
wilayah kekuasaannya, namun tidak selamanya kebijakan itu baik bagi
anggota serta benar menurut hukum dan peraturan. Ada kalanya kebijakan
78
yang diambil oleh seorang pimpinan justru menyusahkan anak buahnya
dan bahkan mungkin menyimpang dari aturan yang ada, hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain :
a. Kurangnya masukan/saran dari para pimpinan tingkat bawah yang
mengerti tentang hukum dan peraturan kepada Danrem yang mungkin
belum faham terhadap hukum dan aturan dari agama anak buahnya
yang berbeda dengan agama yang dianutnya.
b. Adanya rasa egoisme yang melekat pada jiwa seorang
pemimpinkarena kekuasaan dan kewenangannya, sehingga dalam
mengambil keputusan tidak dilandasi kearifan, tapi didorong oleh
emosi sehingga jauh dari kebijaksanaan.
c. Kurangnya komunikasi antara seorang pimpinan dan bawahanya
beserta keluarganya, sehingga gejolak permasalahan yang terjadi di
dalam keluarga anak buahnya tidak terpantau dan terlambat dalam
penyelesaiannya.
d. Kurangnya komunikasi sosial dengan pejabat Pengadilan Agama
sehingga terkadang tidak tahu bahwa ada istri prajurit yang
mengajukan gugatan perceraian langsung ke Pengadilan Agama, tanpa
meminta ijin dari Danrem.
4. Dalam hal istri/suami yang bukan anggota TNI mengajukan gugatan
perceraian langsung ke Pengadilan ( tanpa adanya surat ijin cerai dari
pejabat yang berwenang ) maka satuan yang bersangkutan dapat
mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan
terhadap proses pengadilan yang seddang berlangsung atau kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap putusan pengadilan yang
dijatuhkan.
B. Saran
Dengan melihat hubungan sebab akibat dari hasil penelitian yang telah
terurai di atas maka kami sarankan:
1. Kepada para pejabat Danrem 073/Makutarama kami sarankan agar :
a. Selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan/kebijakan terutama
yang berkaitan dengan hukum dan peraturan, agar setiap kebijakan
yang diambil dapat membawa manfaat dan ketenteraman bagi anggota
serta tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan.
b. Selalu mengaktifkan komunikasi sosial dengan anggota dengan jalan
memberikan pengarahan/jamdan, santiaji dan cara yang lain yang
dianggap efektif untuk menyampaikan informasi dan baik untuk
menjalin keakraban.
c. Selalu menjalin hubungan dan komunikasi sosial terhadap pimpinan
tingkat bawah dan instansi terkait agar mudah dan tidak salah dalam
mengambil keputusan untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang
timbul.
2. Kepada para pejabat tingkat bawah di jajaran Korem 073/Makutarama
kami sarankan agar mau dan berani memberikan masukan/saran kepada
Komandan Korem 073/Makutarama tentang sesuatu hal/permasalahan
yang dihadapi agar bisa mengambil keputusan dengan penuh
kebijaksanaan serta tidak bertentangan dengan hukum dan aturan.
3. Kepada para pejabat Pengadilan Agama kami sarankan agar menjaga
hubungan yang baik dengan Danrem 073/Makutarama terutama yang
berkaitan dengan proses perceraian anggota Korem 073/Mkt yaitu dengan
memberikan surat tembusan kepada Danrem seperti yang diamanatkan
oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1875 tentang Pelaksanaan
Undan-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Peraturan
Panglima TNI Nomor 11 tahun 2007 tentang tata cara Pernikahan,
perceraian dan rujuk bagi prajurit TNI.
4. Kepada para prajurit/istri prajurit kami himbau agar dalam melakukan
setiap tindakan selalu didasarkan pada etika, hukum dan peraturan baik
yang berlaku di lingkungan TNI maupun aturan dan hukum yang berlaku
di lingkungan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Anshari, Abi Yahya Zakaria, Fathul Wahab Jilid 2, Toha Putra Semarang, t.t.
Al-Jamal, IbrahimMuhammad, Fiqh Wanita, terj. Ansori Umar Sitanggal, Asy-
Syifa’, Semarang, t.t.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh Alal Madzhibil Arba’ah Juz 4, Dar Kutub Al-
Ilmiah, Beirut, Libanon, 1990
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, cet. VIII, 1996
Darajat, Zakiah, Ilmu Fiqh Jilid 2, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995
Departemen Agama RI, Al-Quran fan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al-Quran, 1997
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Bahan Penyuluhan
Hukum, Departemen Agama Islam RI, Jakarta, 2001
Hadi, Sutarno, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan Hukum
Adat, Hukum Agraria, Gema Insani, Jakarta, 1990
Mudlor, A. Zuhdi, Memahami Hukum Pekawinan (Nikah, Talak, Cerai dan
Rujuk) Menurut Hukum Islam, KHI, UU No. 7 Th.1989 dan UU No. 1 Th.
1974, Al-Bayan, Bandung, 1990
Mahkamah Agung RI, Penemuan dan Pemecahan Masalah Hukum Dalam
Peradilan Agama, Jakarta, 1994
M.Said, Hukum Nikah, Talak dan Rujuk, Al-Ma’arif Bandung.
82
Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1990 tentang Administrasi Prajurit
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, 1990
Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/11/VII/2007 tentang Tata Cara
Pernikahan, Perceraian dan Rujuk Bagi Prajurit. tanggal 4 Juli 2007
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Al-Ma’arif Bandung, 1990
Soekanto, Soerjono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Nur Cahaya, Yogyakarta, 1989
Surat Keputusan Kasad Nomor SKEP/491/XII/2006, Buku Petunjuk Tehnik
tentang Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk ( NTCR ), 21 Desember 2006.
Syaltut, Mahmud dan Ali As-Syis, Fiqh Tujuh Mazhab,terj. Abdullah Zakiy Al-
Kaaf, Pustaka Setia, Bandung, 2000
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Tri Yunianto
Tempat Tanggal Lahir : 03 Juni 1971
Alamat : Jl. Kyai Hasim No. 40 Cabean RT 02 RW 01 Kel.
Mangunsari Kec. Sidomukti Kota Salatiga
No. HP : 081804422929
: 085741983871
Riwayat Pendidikan :
1. SD lulus tahun 1985
2. MTs N lulus tahun 1988
3. PGAN lulus tahun 1991
Pekerjaan : TNI - AD
Demikian daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenarnya,
Salatiga, April 2014
Hormat Saya
Tri Yunianto
84