prosiding workshop

223
Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi ISBN: 978 602 1681 00 8 PROSIDING WORKSHOP ITTO Project RED-SPD 009/09 Rev. 2 (F) STAKEHOLDER CONSULTATION THE APPLICATION OF METHOD AND TECHNOLOGIES TO ENHANCE THE TESTORATION OF PSF ECOSYSTEM Palembang, 25 April 2013

Upload: dangtruc

Post on 11-Jan-2017

232 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Kementerian Kehutanan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

ISBN: 978 – 602 – 1681 – 00 – 8

PROSIDING WORKSHOP ITTO Project RED-SPD 009/09 Rev. 2 (F)

STAKEHOLDER CONSULTATION THE APPLICATION OF

METHOD AND TECHNOLOGIES TO ENHANCE THE

TESTORATION OF PSF ECOSYSTEM

Palembang, 25 April 2013

Prosiding Workshop

Stakeholder Consultation the Application of Method and Technologies to

Enhance the Restoration of PSF Ecosystem

Hak Cipta@P3KR 2013

Publikasi ini diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan

Konservasi dan Rehabilitasi dengan biaya atas kerjasama Balai

Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang dengan International

Tropical Timber Organization (ITTO) melalui ITTO Project RED-

SPD 009/09 Rev. 2 (F)

ISBN: 978-602-1681-00-9

Tim Penyunting:

Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Penanggung Jawab)

Ir. Didik Purwito, M.Sc. (Koordinator)

Ir. Tajudin Edi Komar, M.Sc. (Penyunting)

Ir. Atok Subiakto, M.App.Sc. (Penyunting)

Drs. Kuntadi, M.Agr. (Penyunting)

Drs. Haryono (Sekretariat)

Sufyan Suri, SP. (Sekretariat)

Foto Sampul: Hendra Priatna, ST (BPK Palembang)

Diterbitkan oleh:

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR)

Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia

Telp. : +62 (0251) 8633234

Fax. : +62 (0251) 8638111

Email : [email protected]

Website : http://www.puskonser.or.id

i

KATA PENGANTAR

Teknologi rehabilitasi dan restorasi lahan dan hutan rawa gambut (HRG) telah dikembangkan dan dikenalkan oleh berbagai institusi untuk pemulihan ekosistemnya yang telah terdegradasi. Berbagai teknologi tersebut dikembangkan berdasarkan tingkat kerusakan dan penyebab utama kerusakan. Penyebab utama kerusakan hutan rawa gambut adalah kebakaran hutan, penebangan ilegal dan alih fungsi (konversi) ke penggunaan lainnya. Penebangan ilegal dan konversi hutan rawa gambut kebanyakan disertai dengan pembuatan saluran air baik untuk sarana pengangkutan kayu maupun untuk menurunkan level air. Dalam rangka perbaikan ekosistem HRG, level air perlu dijaga sesuai dengan kondisi alaminya. Level air yang telah turun sebagai akibat konversi HRG dan penebangan liar perlu dinaikkan.

Rehabilitasi dan restorasi HRG terdegradasi selain bertujuan untuk pemulihan ekosistem juga bertujuan untuk menurunkan emisi dan meningkatkan serapan karbon. Beberapa institusi termasuk LSM telah melakukan berbagai percobaan untuk memperbaiki ekosistem melalui penanaman kembali, perbaikan penutupan lahan secara alami dengan penyekatan saluran air, dan penyekatan saluran/kanal disertai dengan penanaman. Teknologi rehabilitasi dan restorasi HRG yang dikenalkan telah direview dalam salah satu kegiatan dari proyek ITTO. Bidang ilmu lain yang relevan dalam restorasi dan rehabiltasi HRG juga diulas dan diba-has dalam diskusi parapihak yang kemudian dikemas dalam prosiding ini.

Seluruh makalah dalam prosiding ini, baik yang dipresentasi (makalah utama) maupun makalah penunjang telah disunting oleh Tim Penyunting pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Untuk itu, kepada semua pihak yang telah membantu hingga prosiding ini dapat diterbitkan, diucapkan terimakasih.

Kepala Pusat, Ir. Adi Susmianto, M.Sc NIP. 195712211982031002

ii

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ....................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................. iii

Sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan ........ vii

Hasil Rumusan dan Rekomendasi ...................................................... xi

MAKALAH UTAMA

1. Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Gambut untuk Penurunan Emisi Carbon: Aplikasi untuk Provinsi Sumatera Selatan Fahmudin Agus ........................................................................... 1

2. Review Teknologi Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Rawa Gambut di Indonesia Adi Kunarso dan Bastoni ............................................................ 17

3. Pengalaman dan Pembelajaran Rehabilitasi dan Restorasi Lahan Gambut di Indonesia Iwan Tri Cahyo Wibisono ............................................................ 35

4. Pendekatan Edafologi dalam Rehabilitasi dan Restorasi Hutan dan Lahan Rawa Gambut Terdegradasi

Bastoni ........................................................................................ 45

MAKALAH PENUNJANG

5. Pendekatan Penghidupan Pedesaan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut

Bondan Winarno ........................................................................ 61

6. Upaya Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut melalui Pengembangan Peran dan Partisipasi Masyarakat Sri Lestari .................................................................................... 73

7. Pengukuran Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Sekunder Bekas Terbakar (Studi Kasus di Desa

Kedaton, Kecamatan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering

Ilir, Provinsi Sumatera Selatan)

Dody Prakosa .............................................................................. 87

iv

8. Pengalaman Yayasan BOS dalam Restorasi Ekosistem Hutan Rawa Gambut di Kawasan Mawas Kalimantan Tengan

Baba S. Barkah ............................................................................ 99

9. Potensi Kerusakan dan Upaya Rehabilitasi Kawasan Rawa Gambut di Wilayah Kerja BPDAS Musi, Sumatera Selatan

Agus Kurniawan, Eni Rulianti dan Yunita Dwi Hastuti ................ 111

10. Budidaya Jabon sebagai Alternatif Rehabilitasi dan Pemanfaatan Lahan Rawa di Sumatera Selatan

Hengki Siahaan dan Agus Sumadi .............................................. 121

11. Penyerapan Karbon pada Hutan Tanaman Acacia crasicarpa di Lahan Gambut Terdegradasi PT. SBA WI

Agus Sumadi, Mamat Rahmat dan Teten Rahman S. ................. 127

12. Pertumbuhan Acacia crasicarpa pada Lahan Rawa Gambut Bekas Terbakar (Studi Kasus di HTI PT. SBA Wood Industry)

Agus Sumadi dan Sri Lestari ........................................................ 135

13. Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Rawa Gambut dengan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar

Agus Kurniawan .......................................................................... 141

14. Kondisi dan Sisa Cadangan karbon di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Sekunder Bekas Kebakaran Berulang

Dody Prakosa .............................................................................. 149

15. Restorasi Hutan Rawa Gambut untuk Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan: Sebuah Tilikan di Sumatera Selatan Mamat Rahmat ........................................................................... 161

16. Pembibitan Gelam (Melaleuca leucadendron) untuk Mendukung Restorasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa Gambut

Bersulfat Masam

Bastoni ........................................................................................ 175

v

LAMPIRAN

Agenda Workshop ............................................................................ 189

Daftar Peserta Workshop ................................................................. 191

Notulensi Workshop ........................................................................ 197

Susunan Panitia Workshop .............................................................. 209

vi

vii

SAMBUTAN KEPALA DINAS KEHUTANAN PADA ACARA

WORKSHOP ITTO PROJECT 009/09 REV.2 (F) Hotel Swarna Dwipa Palembang, 25 April 2013

Bismillahirrahmanirrahim, Yang terhormat:

1. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan/mewakili 2. Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi/mewakili 3. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Se-Provinsi Sumatera Selatan/

mewakili 4. Kepala BAPEDA Provinsi Sumatera Selatan/mewakili 5. Kepala BALITBANGDA Provinsi Sumatera Selatan/mewakili 6. Kepala Bidang Program dan KerjasamaSekretariat Badan Litbang

Kehutanan 7. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian Kehutanan Se-Sumatera

Selatan/mewakili 8. Akademisi, praktisi, LSM, dan peserta Workshop yang berbahagia

Assalamualaikum Wr. Wb, Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua,

Seperti kita ketahui bersama bahwa hutan Indonesia diperkirakan sekitar 120 juta ha. Hutan tersebut terdiri dari berbagai tipe ekosistem dan salah satu tipe ekosistem tersebut adalah Hutan Rawa Gambut. Di Indonesia, total luas hutan rawa gambut diperkirakan sekitar 20 juta ha dan yang terbesar tersebar di pulau Sumatera, sekitar 7.2 juta ha. Di Sumatera Selatan, luas hutan rawa gambut diperkirakan lebih dari 1,4 juta ha.

Kondisi Hutan Rawa Gambut di Sumatera Selatan dan di daerah-daerah lain di Indonesia tengah menghadapi berbagai tantangan. Seperti pembalakan liar, konversi ke penggunaan lain, kebakaran dan lain-lain yang mengakibatkan terjadinya degradasi dan deforestasi yang telah berlangsung sejak pertengahan tahun 1990an. Kebakaran Hutan Rawa Gambut terbesar yang pernah dialami oleh Indonesia terjadi pada sekitar tahun 1996-1997 dan pada saat itu telah menimbulkan berbagai dampak kerusakan yang hebat termasuk musibah asap yang menyelimuti tidak hanya wilayah Indonesia tetapi juga beberapa negara tetangga.

viii

Dampak berbagai kejadian di atas juga berlangsung lebih lama terutama terjadinya degradasi dari hutan yang kondisi awalnya sangat baik menjadi hutan sekunder atau hutan bekas kebakaran yang tidak memiliki atau hanya memiliki nilai ekonomi dan ekologi yang sangat sedikit. Kondisi yang lebih parah adalah hilangnya struktur vegetasi dan tutupan lahan rawa gambut menuju lahan kritis, semak belukar dan terbuka. Dengan demikian, berbagai potensi keanekaragaman hayati, fungsi ekosistem dan termasuk kandungan karbon terbesar yang tersimpan di dalam hutan rawa gambut tidak berfungsi secara optimal bahkan tidak berfungsi sama sekali. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana menurunkan laju kerusakan tersebut, mempertahankan yang masih tersisa dan memulihkan ekosistem yang rusak kembali ke kondisi semula.

Para hadirin yang berbahagia,

Untuk menjawab permasalahan tersebut, Badan Litbang Kehutanan, dengan bantuan hibah dari ITTO Organisasi Kayu Tropis Internasional, akan melaksanakan berbagai upaya baik langsung maupun tidak langsung untuk menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutan rawa gambut di Sumsel, menjaga kelestarian yang tersisa dan mengembangkan berbagai inisiatif untuk mengembalikan ekosistem hutan rawa gambut ke kondisi semula dengan berbagai metoda restorasi ekosistem, khususnya yang ada di Sumatra Selatan. Upaya-upaya tersebut antara lain: 1. Melakukan review (tinjauan) terhadap skema dan pembelajaran dalam

mengurangi laju deforesasi dan degradasi hutan. Dari review ini berbagai rekomendasi perbaikan untuk mempercepat upaya mengurangi laju deforestasi tersebut dapat dilakukan.

2. Menyelenggarakan workshop nasional, penyadartahuan dan peningkatan kapasitas pengelolaan Hutan Rawa Gambut termasuk menghilangkan disharmoni pengelolaan antar institusi/pihak terkait. Kegiatan ini didasari pada pemahaman bahwa keberhasilan berbagai kegiatan tersebut sangat tergantung pada faktor manusia.

3. Melakukan review dan kajian terhadap teknologi restorasi dan rehabilitasi yang ada, yang telah diterapkan di hutan rawa gambut. Sejak sepuluh tahun terakhir, upaya restorasi ekosistem telah banyak dilakukan. Dengan tinjauan ini diharapkan teknologi tersebut dapat segera diadopsi dan diterapkan untuk memulihkan ekosistem Hutan Rawa Gambut.

4. Konsultasi multipihak bertujuan untuk melakukan pencermatan terhadap aplikasi teknologi untuk mempercepat upaya restorasi ekosistem Hutan Rawa Gambut. Konsultasi ini dimaksudkan untuk

ix

menyatukan dan menghimpun berbagai pengalaman dalam kegiatan restorasi dan mencermatinya untuk implementasi lebih lanjut.

5. Mengembangkan, menyediakan dan mendistribusikan bibit (bahan tanaman) dan melakukan kerjasama penanaman jenis-jenis pohon nggulan setempat (indigenous spesies). Kegiatan konkrit proyek dalam rangka mendorong upaya restorasi adalah dengan kegiatan penanaman, mulai dari skala kecil. Upaya tersebut dimulai dengan pengadaan bibit dengan jumlah yang cukup.

6. Membangun demonstrasi berupa petak penanaman (demontrasi plot) di beberapa lokasi strategis untuk dijadikan percontohan. Demo plot ini merupakan kegiatan percontohan penanaman yang diharapkan akan dapat segera diikuti oleh pihak-pihak lain, terutama para mitra kerja.

Para hadirin yang berbahagia,

Ada beberapa hal yang dapat menjadi indikator keberhasilan kita di dalam menurunkan laju deforestasi dan degradasi serta restorasi ekosistem, yaitu antara lain: 1. Meningkatnya kesadaran, kapasitas lokal dan membaiknya koordinasi

dalam pengelolaan ekosistem Hutan Rawa Gambut dan fungsinya di Sumatera Selatan. Setidaknya 40 peserta dari kehutanan dan pemangku kepentingan lainnya ikut serta dalam berbagai kegiatan dan sekurang-kurangnya 20 penduduk lokal ikut terlibat di dalam kegiatan pembangunan demontrasi plot.

2. Meningkat dan meluasnya penerapan teknologi untuk rehabilitasi dan restorasi ekosistem yang terlanjur rusak. Metoda penambatan kanal (canal blocking) sebagai salah satu cara meningkatkan permukaan air dapat dibangun dan diadopsi secara luas.

3. Meningkatnya penambatan karbon melalui kegiatan restorasi di hutan rawa gambut. Sekurang-kurangnya ada 4 lokasi kegiatan demontrasi plot terbangun di provinsi, kabupaten, HTI dan sekitar perkebunan kelapa sawit.

4. Meningkatnya penyediaan bahan tanaman (bibit) dari jenis-jenis lokal dan jenis-jenis yang memiliki nilai ekonomi tinggi minimal 8000 bibit (bahan tanaman) dari 4-5 jenis lokal dapat diproduksi untuk kemudian digunakan dalam mendukung pembangunan demontrasi plot.

5. Meningkatnya kegiatan restorasi di Hutan Rawa Gambut pada tingkat unit management dan sebanyak 4 demontrasi plot dapat dimulai selama kurun waktu proyek dan diikuti oleh kegiatan-kegiatan yang sama oleh masyarakat.

x

Sehubungan dengan beberapa hal tersebut di atas, yang dapat kita pertimbangkan sebagai langkah awal yang dapat dicapai dalam workshop ini, yaitu: 1. Penyampaian informasi terkini mengenai program, skema dan

kegiatan-kegiatan yang telah ada yang berhubungan dengan upaya menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutan si Sumatera Selatan.

2. Penyampaian informasi saat ini mengenai implementasi kebijakan pemerintah, peraturan dan perundangan terkait pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan halhal yang berhubungan dengan REDD di Sumsel.

3. Penyampaian mengenai kesadaran masyarakat dan praktek-praktek dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dan ekosistem oleh instansi litbang setempat, Merang REDD Pilot Project dan Lembaga Swadaya Masyarakat.

4. Penetapan daftar kegiatan-kegiatan prioritas menuju perbaikan implementasi berbagai aturan dan kebijakan dalam pengelolaan Hutan Rawa Gambut.

Pada akhir kegiatan ini diharapkan dapat memperoleh rumusan yang konkrit untuk pengelolaan hutan rawa gambut di Sumatera Selatan. Demikian sambutan yang dapat kami sampaikan, jika ada hal-hal yang kurang berkenan kami mohon maaf. Akhirnya diiringi ucapan terima kasih atas perhatian yang diberikan, maka dengan melafazhkan Bismillahirrah-manirrahim, Workshop dengan tema “Membangun Sinergi Para Pihak (Stakeholders) untuk Mencegah Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut di Sumatera Selatan” ini resmi dibuka. Selamat mengikuti acara ini, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Palembang, 25 April 2013 Kepala Dinas Kehutanan,

Ttd

Ir. Sigit Wibowo, MM

MAKALAH UTAMA

1

KONSERVASI DAN REHABILITASI LAHAN GAMBUT UNTUK PENURUNAN EMISI KARBON: APLIKASI UNTUK PROVINSI

SUMATERA SELATAN*

Fahmuddin Agus**

*Makalah pada Workshop ”Stakeholder Consultation the Application of Method and Technologies to Enhance the Restoration of PSF Ecosystem”,

Palembang, 25 April 2013

**Peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor

ABSTRAK Karena tingginya tingkat emisi dari lahan gambut, maka konservasi dan rehabilitasi lahan gambut diharapkan banyak berkontribusi dalam penurunan emisi gas rumah kaca. Di Sumatera Selatan (Sumsel), dari sekitar 1,28 juta ha lahan gambut sekitar 0,61 juta ha ditutupi oleh semak belukar dan sekitar 0,17 juta ha berupa rumput-rumputan. Kedua jenis penutupan lahan ini mengemisi CO2 karena terpengaruh drainase gambut dan kebakaran. Emisi di Sumsel dari perubahan penggunaan lahan mineral dan lahan gambut tahun 2006-2011 diperkirakan berjumlah 29,8 juta ton CO2/tahun; 25.5 juta ton CO2 di antaranya berasal dari dekomposisi gambut. Bila keadaan sekarang berlanjut (business as usual, BAU) emisi tahun 2020 diperkirakan berjumlah 30,5 juta ton CO2/tahun. Beberapa skenario (S) mitigasi dapat dikembangkan, antara lain dengan (S1) mengalihkan pengembangan 2000 ha perkebunan ke depan dari hutan gambut ke lahan semak belukar di lahan mineral, (S2) = (S1) + pencegahan konversi semua hutan gambut yang tersisa, dan (S3) = (S2) + rehabilitasi 7500 ha belukar gambut menjadi hutan gambut. Jika berhasil diterapkan secara sempurna S3 diperkirakan dapat menurunkan emisi sebanyak 18% dari emisi pada skenario BAU menjelang tahun 2020. Penerapan setiap skenario mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda. Berbagai prakondisi diperlukan sebelum penerapan berbagai skenario, antara lain verifikasi penutupan lahan sekarang, verifikasi status kawasan dan kepemilikan lahan, kesepakatan para pihak tentang skenario dan opsi teknologi serta sumber dan pengalokasian pembiayaan mitigasi.

Kata kunci: Emisi CO2, drainase, semak belukar, lahan terlantar, business as usual

2

I. PENDAHULUAN

Provinsi Sumatera Selatan mempunyai lahan gambut seluas 1,28 juta ha atau sekitar 9% dari total luas lahan gambut seluruh Indonesia seluas 14,9 juta ha (Ritung et al., 2011). Hutan alam lahan gambut memberikan berbagai jasa lingkungan, antara lain sebagai penyimpan karbon, baik di dalam tanah gambut itu sendiri maupun di dalam jaringan tanaman yang tumbuh di atasnya. Tanah gambut juga menyimpan keaneka-ragaman fauna dan flora serta menyimpan air sampai 13 kali berat kering tanahnya (Agus & Subiksa, 2008; Agus et al., 2009; 2012; Parish et al., 2007; 2012; Lim et al., 2012).

Tanah gambut mempunyai kesuburan alami yang rendah karena tingkat kemasamannya yang sangat tinggi dan kandungan haranya yang rendah. Sifat fisik tanah gambut tidak ideal untuk pertumbuhan berbagai jenis tanaman non-endemic lahan gambut. Namun karena ketersediaan lahan untuk tujuan berbagai pembangunan, termasuk pembangunan pertanian dan hutan tanaman industri (HTI), semakin berkurang pada lahan mineral, maka sekalipun dengan investasi yang tinggi, lahan gambut didrainase dan dijadikan lahan pertanian.

Pada lahan gambut yang didrainase emisi karbon dioksida (CO2) akan meningkat secara drastis. Kecepatan emisi CO2 pada lahan gambut yang didrainase pada umumnya tidak tertandingi oleh kecepatan penyerapan (sequestration) CO2 ke dalam jaringan tanaman (Parish et al., 2007; 2012; Agus et al., 2009; Lim et al., 2012). Dengan demikian konservasi hutan gambut merupakan opsi terpenting dalam mengurangi laju peningkatan emisi dari lahan gambut.

Makalah ini membahas tentang sumber emisi CO2 dari lahan gambut serta cara menurunkan emisi, perubahan penggunaan lahan di Sumatera Selatan, perkiraaan jumlah emisi dari perubahan penggunaan lahan, skenario penurunan emisi serta prakondisi untuk menerapkan skenario penurunan emisi.

II. SUMBER EMISI DAN SEKUESTRASI DARI LAHAN GAMBUT

Dalam keadaan hutan alam yang pada umumnya jenuh air, lahan gambut tumbuh secara perlahan sehingga membentuk suatu kubah. Penambatan (sekuestrasi) karbon berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi. Namun, kebakaran hutan gambut atau kemarau panjang dapat menyebabkan hutan gambut berubah menjadi sumber emisi CO2 (Parish et al., 2007).

3

Penebangan hutan gambut dan pengelolaan lahan gambut, terutama dengan cara membuat saluran drainase, akan merubah fungsi lahan gambut dari penambat karbon menjadi sumber emisi CO2 (Rieley & Page, 2008; Jauhiainen et al., 2012; Agus et al., 2012). Sumber emisi utama dari lahan gambut yang hutannya dibuka adalah:

2.a. Emisi karena Dekomposisi dan Kebakaran Biomasa Tanaman

Biomasa tanaman pada lahan hutan primer menyimpan sekitar 150 sampai 200 t C ha-1 (Rahayu et al., 2005; Gambar 1). Karbon yang tersimpan tersebut akan hilang dengan cepat apabila hutan ditebang. Penebangan yang diikuti dengan pembakaran mempercepat proses emisi dari biomassa hutan gambut. Sekitar 30% dari kayu hutan yang ditebang dijadikan berbagai bahan perabotan dan perumahan sehingga karbon di dalamnya akan tersimpan dalam waktu cukup lama (10-25 tahun). Sisa pohon yang tertinggal di atas permukaan tanah akan terdekomposisi atau terbakar dalam waktu yang relatif singkat menghasilkan gas CO2.

(Review dari berbagai literatur yang dikompilasi oleh Tim RAN GRK, tidak dipublikasi)

Gambar 1. Cadangan karbon rata-rata untuk berbagai jenis penutupan lahan di Indonesia

Jumlah emisi dari dekomposisi atau kebakaran biomasa tanaman tergantung pada cadangan (stock) karbon di dalam tanaman tersebut. Cadangan karbon yang digunakan sebagai faktor emisi dalam perhitungan emisi dari perubahan penggunaan pada Rencana Aksi Nasional Penurunan

19

5

17

0

17

0 19

6

12

0 1

55

64

63

30

30

30

10

10

5

4.5

2.5

2

0

0

0

0

0

50

100

150

200

250

Cad

anga

n k

arb

on

(t

C/h

a)

4

Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) tercantum pada Gambar 1. Review tentang cadangan karbon pada biomas tanaman dari berbagai penggunaan lahan diuraikan pada Agus et al. (2009; 2013). Dengan menggunakan Gambar 1 dapat dihitung emisi atau penyerapan karbon dari perubahan penggunaan lahan. Misalnya, apabila hutan rawa gambut sekunder dikonversi menjadi perkebunan maka akan terjadi emisi sebanyak 155-63 = 92 t C/ha = 92 t C/ha * 44/12 = 337 t CO2/ha. Faktor konversi 44/12 adalah perbandingan berat molekul CO2 terhadap berat atom C.

Cara perhitungan ini didasarkan atas asumsi bahwa seluruh biomasa dalam tanaman hutan akan terdekomposisi sempurna dalam waktu dekat dan menghasilkan CO2 (IPCC, 2006; Hairiah et al., 2011). Perhitungan ini merupakan penyederhanaan karena proses pelapukan bisa memakan waktu beberapa tahun sampai semua biomasa terdekomposisi. Selain itu cara ini tidak memperhitungkan jumlah kayu yang dijadikan sebagai hasil hutan (timber products) yang karbonnya tersimpan dalam bentuk perabot dan bangunan. Apabila data laju pelapukan dan persentase kayu yang digunakan sebagai papan untuk bangunan dan perabot tersedia, maka perhitungan kehilangan karbon karena penebangan pohon dapat disesuaikan.

2.b. Emisi dari Kebakaran Gambut

Kebakaran lahan gambut bisa menjalar ke lapisan gambut dan bisa pula hanya membakar tanaman dan sisa tanaman di atas permukaan tanah gambut. Hal ini sangat ditentukan oleh kekeringan gambut dan kedalaman permukaan air tanah gambut pada saat kebakaran. Pada tahun El Niño, kebakaran gambut dapat mencapai ketebalan 50 cm (Page et al., 2002). Pengukuran di Kalimantan Tengah pada tahun 2002 memberikan kisaran kedalaman kebakaran gambut antara 0 sampai 104 cm atau rata-rata 31 cm (Dr. Ryusuke Hatano, pers. comm. 2009). Apabila pada suatu lokasi kandungan karbon gambut rata-rata adalah 50 kg m-3 dan 15 cm dari lapisan gambut terbakar, maka akan terjadi emisi karbon sebanyak 75 t C ha-1 atau ekivalen dengan 275 t CO2 ha-1.

Tingkat emisi historis dari kebakaran lahan gambut biasanya diestimasi dari data time series sebaran dan jumlah titik api (hot spots), namun titik api tidak selalu berhubungan dengan kebakaran tanaman dan tidak selalu berhubungan dengan kebakaran gambut. Data yang lebih sulit didapatkan adalah ketebalan dan luas gambut yang terbakar. Hal ini menyulitkan dalam perhitungan emisi historis dari kebakaran. Prediksi

5

emisi dari kebakaran untuk waktu yang akan datang lebih sulit lagi dibandingkan dengan pendugaan emisi historis karena berhubungan dengan berbagai faktor seperti iklim dan sistem pengelolaan lahan.

2.c. Emisi dari Dekomposisi Gambut

Selama lahan gambut didrainase, maka proses emisinya berlanjut. Tingkat dekomposisi gambut sangat dipengaruhi oleh kedalaman drainase (Hooijer et al., 2006; 2012; Cowenberg et al., 2010). Untuk kedalaman drainase antara 30 sampai 120 cm, emisi meningkat sebanyak 0,91 t CO2 ha-1 tahun-1 untuk setiap penambahan 1 cm kedalaman drainase. Agus et al. (2010) memodifikasi hubungan yang dibuat oleh Hooijer et al. (2006) ini yang dibuat berdasarkan review literatur penelitian yang menggunakan teknik sungkup tertutup (closed chamber). CO2 yang berasal dari dekomposisi gambut serta CO2 yang berkaitan dengan aktivitas akar tanaman sama-sama masuk ke dalam sungkup tertutup dan sama-sama terukur sebagai emisi total dari tanah gambut. Emisi yang berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi gas rumah kaca adalah emisi yang berasal dari dekomposisi gambut oleh mikroba. Respirasi akar sebagian besar dinetralisir dalam proses penyerapan CO2 dalam proses fotosintesis. Kontribusi aktivitas akar berkisar antara 20 sampai lebih dari 50%.. Berdasarkan penelitian di Aceh, Agus et al. (2010) menyarankan untuk mengurangi angka pendugaan respirasi akar sekitar 30% dari emisi total. Dengan demikian perkiraan jumlah emisi, E, dari lahan gambut adalah:

E = 0,7 * 0,91 * kedalaman drainase (ton CO2 ha-1 tahun-1) [1]

Untuk berbagai penggunaan lahan diasumsikan kedalaman rata-rata saluran drainase dan dihitung faktor emisi dari oksidasi atau dekomposisi gambut dengan Persamaan 1 (Tabel 1). Faktor emisi dari hutan primer gambut diperkirakan nol (IPCC, 2006). Dari Tabel 1 terlihat bahwa tanah gambut perkebunan dengan kedalaman drainase rata-rata 60 cm diperkirakan mengeluarkan emisi rata-rata 38 ton CO2 ha-1 tahun-1.

Tabel 1. Asumsi kedalaman drainase rata-rata faktor emisi dari oksidasi gambut untuk beberapa penggunaan lahan

Penggunaan lahan Asumsi Kedalaman

drainase (cm) Perkiraan faktor emisi

(t CO2 ha-1

tahun-1

)

Hutan Tanaman 50 32

Semak Belukar 30 19

Perkebunan 60 38

Permukiman 70 45

Tanah Terbuka 30 19

6

Penggunaan lahan Asumsi Kedalaman

drainase (cm) Perkiraan faktor emisi

(t CO2 ha-1

tahun-1

)

Rumput 30 19

Hutan Rawa Sekunder 30 19

Belukar Rawa gambut 30 19

Pertanian Lahan Kering 30 19

Pertanian Lahan Kering Campur 50 32

Sawah 10 6

Pertambangan 100 64

(Sumber: Tim RAN-GRK, tidak dipublikasi)

2.d. Penambatan C oleh Tanaman

Selama masa pertumbuhan tanaman akan terjadi penambatan karbon yang jumlahnya sangat ditentukan oleh jenis tanaman dan faktor lingkungan tanah dan iklim. Penyerapan CO2 ke dalam jaringan tanaman terjadi melalui proses fotosintesis. Lahan dengan cadangan C rendah yang berubah menjadi lahan dengan cadangan C tinggi menyerap sejumlah karbon dari atmosfir. Misalnya, apabila semak belukar direhabilitasi menjadi perkebunan maka akan terjadi penyerapan (sekuestrasi) C sebesar 30-63 = 33 t C/ha = 33 t C/ha *44/12 = 121 t CO2/ha.

III. CARA MENURUNKAN EMISI CO2 DARI LAHAN GAMBUT

Pendekatan yang dapat ditempuh untuk menurunkan emisi CO2 dari lahan gambut antara lain adalah:

Konservasi hutan gambut agar tetap sebagai hutan (Lim et al., 2012; Parish et al., 2012). Hutan gambut, terutama hutan primer, hampir selalu berada dalam keadaan jenuh, bahkan terendam air. Dalam keadaan demikian aktivitas mikroba perombak bahan organik sangat rendah dan emisi CO2 juga sangat rendah.

Minimalkan saluran drainase. Lahan gambut yang digunakan untuk pertanian pada umumnya memerlukan drainase untuk pertumbuhan akar. Untuk tanaman kelapa sawit kedalaman drainase yang ideal adalah sekitar 50-75 cm. Apabila saluran drainase terlalu dangkal emisi gas rumah kaca akan rendah, namun hasil tanaman kelapa sawit juga menjadi rendah. Bila saluran drainase terlalu dalam (>75 cm), selain terjadi peningkatan emisi CO2, hasil tanaman juga akan menurun (Lim et al., 2012).

Hindari kebakaran dan pembakaran lahan gambut karena kebakaran dapat dengan cepat mengemisikan CO2 dalam jumlah besar. Menjaga

7

agar permukaan air tanah sedangkal mungkin dan kewaspadaan terhadap api merupakan langkah utama pengendalian kebakaran. Selain itu, pengetatan peraturan tentang pengendalian api sangat membantu dalam penurunan frekuensi dan intensitas kebakaran gambut.

Efisienkan pemupukan, terutama pupuk N. Sekitar 1% dari pupuk N yang digunakan akan menjelma menjadi N2O. Gas ini diemisikan dalam jumlah yang sedikit, namun untuk satuan berat yang sama, N2O mempunyai daya pemanasan global (global warming potential) 296 kali lebih tinggi dibandingkan dengan CO2 (IPCC, 2006).

Tingkatkan produktivitas lahan yang sudah dibuka. Dengan meningkatnya produktivitas, maka tekanan untuk membuka hutan akan berkurang.

IV. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI SUMATERA SELATAN

Data spasial perubahan penggunaan lahan tahun 2006-2011 yang berasal dari Tim RAN GRK tercantum pada Tabel 2. Dari 1,28 juta ha lahan gambut, yang berupa hutan gambut primer pada tahun 2006 hanya tinggal 31.551 ha. Antara tahun 2006 sampai 2011, sebagian hutan gambut primer tersebut berubah menjadi hutan sekunder, perkebunan, tanah terbuka, dan belukar sehingga pada tahun 2013 luasnya tinggal 12.492 ha. Belukar rawa merupakan tutupan lahan yang dominan yang luasnya pada tahun 2011 adalah sekitar 600.727 ha atau sekitar 50% dari total luas lahan gambut. Ini mungkin berhubungan dengan sistem sonor, yaitu sistem tebas bakar untuk bertanam padi. Masa bera sistem ini sekitar 6 tahun dan citra satelit kelihatannya memperlihatkan image yang sama antara masa bera sonor dengan semak belukar. Masa bera pada sistem ini dominan ditumbuhi oleh tumbuhan gelam (Melaleuca cajuputi). Penurunan emisi CO2 dari sistem ini dapat ditempuh melalui pemberian subsidi kepada petani berupa pupuk buatan dan pupuk kandang sehingga pembakaran lahan yang ditujukan untuk memperbaiki kesuburan tanah tidak perlu lagi dilakukan.

Tabel 2 dapat diringkas menjadi Gambar 2 yang memperlihatkan kecenderungan perubahan penggunaan lahan gambut antara tahun 2006 dan 2011. Lahan yang luasnya mengalami penurunan adalah hutan primer, hutan sekunder, dan semak belukar. Penurunan luas lahan semak belukar bisa dipercepat dengan mengonsentrasikan perluasan hutan tanaman industri (HTI), perkebunan, dan pertanian lainnya pada semak

8

belukar dan tanah terbuka. Dengan demikian laju deforestasi hutan gambut dapat dikurangi.

Gambar 2. Kecenderungan perubahan luas penutupan lahan pada lahan gambut antara tahun 2006 dan 2011

Tabel 2. Perubahan penggunaan lahan gambut di Provinsi Sumatera Selatan antara tahun 2006-2011

Penggunaan lahan

Hutan Primer

Hutan sekunder

Hutan tanaman

Per-

kebunan

Per-

mukiman

Tanah Terbuka

Rumput Belukar Rawa

Pertanian tan. semusim

Pertanian Campuran

Sawah Tambak Per-

tambangan Rawa Jumlah

Hutan Primer 12.492 9.216 6.241 3.280 322 31.551

Hutan sekunder 117.268 4.180 8.666 4.339 600 135.053

Hutan Tanaman 11.678 4.377 16.055

Perkebunan 57.861 57.861

Permukiman 23.745 23.745

Tanah Terbuka 9.317 7.139 56.600 73.056

Rumput 238 88.921 89.159

Belukar Rawa 62.167 1.300 12.298 596.066 671.831

Pert. tan. Semusim 7.662 7.662

Pert. Tan. Campuran 19.228 19.228

Sawah 104.376 104.376

Tambak 6.717 6.717

Transmigrasi 716 716

Pertambangan 11.984 272 29.340 41.596

Jumlah 12.492 126.484 95.146 76.993 23.745 85.459 88.921 600.727 8.262 19.228 104.376 6.717 716 29.340 1.278.606

(Sumber: Tim RAN-GRK, Tidak dipublikasi)

9

10

V. EMISI DARI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

Dengan menggunakan data faktor emisi seperti pada Gambar 1 dan Tabel 1 dan mengalikannya dengan matriks perubahan penggunaan lahan gambut (Tabel 2) dan matriks perubahan penggunaan lahan mineral (tidak disajikan) menggunakan perangkat lunak “Abacus” (Harja et al., 2012) dapat dihitung perkiraan emisi historis dan proyeksi emisi dua periode lima tahunan yang akan datang (2011-2016 dan 2016-2021). Hasil perhitungan disajikan pada Gambar 3. Terlihat bahwa untuk Povinsi Sumatera Selatan emisi dari dekomposisi lahan gambut sangat dominan. Hal ini disebabkan sangat luasnya lahan gambut yang sudah berupa semak belukar, lahan pertanian, dan HTI yang kesemuanya merupakan sumber emisi. Emisi dari dekomposisi gambut sedikit meningkat pada periode 2011-2016 dan 2016-2021 dan ini menandakan terjadinya perluasan lahan non hutan pada lahan gambut (Tabel 2 dan Gambar 2). Sebaliknya, emisi dari kehilangan biomas tanaman sedikit menurun dan ini ditentukan oleh kecenderungan perubahan penggunaan lahan yang makin sedikit melibatkan lahan dengan cadangan karbon biomas tanaman yang tinggi.

Gambar 3. Perkiraan emisi historis tahun 2006-2011 dan proyeksi emisi tahun 2011-2016 dan tahun 2016-2021 untuk lahan gambut dan lahan mineral di Provinsi Sumatera Selatan

Emisi CO2 pada skenario BAU dan beberapa skenario (S) penurunan emisi disajikan pada Gambar 4. Pengertian dari ketiga skenario adalah sebagai berikut:

BAU = business as usual, dimana perubahan penggunaan lahan ke depan mengikuti kecenderungan tahun 2006-2011

11

S1 = Cegahan konversi hutan rawa primer ke perkebunan seluas 2000 ha dan alihkan perluasan perkebunan ke semak belukar pada lahan mineral

S2 = S1 + Cegah semua konversi hutan gambut, dan S3 = S2 + rehabilitasi 75.000 ha belukar rawa menjadi hutan

gambut

S1, S2 dan S3 hanya merupakan alternatif beberapa skenario. Banyak skenario lain yang dapat dikembangkan, terutama dengan memanfaatkan lahan semak belukar. Dari S1 terlihat bahwa konservasi atau rehabilitasi lahan gambut tidak bisa hanya diselesaikan melalui pengelolaan lahan gambut, namun juga memerlukan aksi tertentu pada lahan mineral.

Gambar 4 menunjukkan bahwa pengalihan pengembangan 2000 ha perkebunan dari hutan gambut primer ke lahan semak belukar pada lahan mineral (S1) tidak banyak merubah emisi dibandingkan dengan tingkat emisi pada keadaan BAU. Akan tetapi dengan skenario ini pembangunan perkebunan tetap berjalan. Pencegahan deforestasi semua hutan gambut (S2) mampu menurunkan emisi CO2 sampai 5% dibandingkan dengan BAU. Seterusnya, rehabilitasi seluas 75.000 ha belukar rawa gambut menjadi hutan gambut (S3) diperkirakan dapat menurunkan emisi CO2 sekitar 18% di bawah tingkat emisi BAU pada periode 2016-2021.

Gambar 4. Perkiraan emisi CO2 dari lahan gambut dan lahan mineral pa-da keadaan business as usual (BAU), dan emisi pada bebera-pa skenario (S) penurunan emisi yang bersifat additive (S2 merupakan gabungan S1 dan S2, dan seterusnya, S1: Kurangi konversi hutan rawa primer ke perkebunan seluas 2000 ha dan alihkan perluasan perkebunan dengan menggunakan se-mak belukar pada lahan mineral, S2 = S1 + Cegah semua konversi hutan gambut, dan S3 = S2 + Rehabilitasi 75.000 ha belukar rawa menjadi hutan gambut

12

VI. PRAKONDISI UNTUK PENURUNAN EMISI DARI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

Setiap pilihan skenario seperti diuraikan pada Bagian V memerlukan penyiapan serangkaian prakondisi. Prakondisi utama yang berlaku untuk semua skenario adalah verifikasi penutupan atau penggunaan lahan saat ini (Tabel 4), karena dalam jangka 1-3 tahun saja penutupan lahan dapat mengalami perubahan dari apa yang tergambar pada citra satelit tahun 2011. Verifikasi juga diperlukan untuk memastikan apakah suatu penggunaan lahan yang tergambar dari interpretasi citra setelit sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Ada kemungkinan sebagian lahan yang diinterpretasi sebagai semak belukar adalah merupakan lahan pertanian campuran atau agroforestry. Prakondisi yang tidak kalah pentingnya adalah penelusuran kepemilikan (tenure) dan status lahan. Se-lanjutnya negosiasi lintas pemangku kepentingan terkait (stakeholders) sa-ngat krusial dilakukan. Pemangku kepentingan yang dimaksud antara lain adalah:

Penyandang dana untuk mitigasi (apakah berasal dari dana pribadi pengelola lahan, Anggaran Pendapatan Belanja Negara, APBN; Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, APBD; dana swasta dalam negeri, dana swasta luar negeri atau dana pemerintah luar negeri)

Pemilik atau pengelola lahan (pemerintah, swasta atau orang pribadi)

Perwakilan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. kecamatan dan desa

Masyarakat adat dan masyarakat sekitarnya di dalam suatu unit pemerintahan yang lahannya akan dikonservasi atau direhabilitasi

Tabel 4. Prakondisi yang diperlukan untuk beberapa skenario mitigasi emisi CO2

Skenario Prakondisi Keterangan

S1: Pengalihan perkembangan 2000 ha perkebunan dari hutan rawa primer ke semak belukar pada lahan mineral

• Verifikasi penutupan lahan saat ini (apakah lahan hutan gambut primer dan semak belukar yang akan digunakan sebagai pengganti pengembangan perkebunan masih tetap seperti keadaan tahun 2011)

• Bila semak belukar di lahan mineral berada dalam kawasan hutan diperlukan perubahan statusnya menjadi areal penggunaan lain (APL) dan bila hutan primer yang dimaksud berada pada lahan APL

13

Skenario Prakondisi Keterangan

diperlukan perubahan statusnya menjadi kawasan hutan lindung

• Pemilik lahan/HGU bersedia me- mindahkan areal pengembangan perkebunannya dari lahan hutan gambut primer ke lahan semak be-lukar di lahan mineral.

S2: Pencegahan deforestasi semua hutan gambut

Jika sudah bersertifikat atau sudah berupa HGU diperlukan mekanisme tukar-guling seperti pada S1. Untuk itu perlu dipastikan bahwa lahan terdegradasi tersedia untuk perlu-asan perkebunan dan pembangun-an lainnya.

• Status lahan pada lahan mineral pengganti areal perkebunan perlu dibebaskan seperti halnya pada S1 diperlukan pengawasan yang ketat untuk mencegah deforestasi pada lahan yang akan dikonservasi

S3: Rehabilitasi 75.000 ha belukar gambut menjadi hutan gambut

• Verifikasi penutupan lahan saat ini, apakah lahan semak belukar yang akan direhabilitasi masih tetap sebagai lahan belukar gambut

• Perlu dipelajari status belukar rawa (apakah dalam transisi untuk suatu penggunaan atau bukan)

• Perlu dipelajari siapa atau badan apa yang akan membiayai rehabilitasi mengingat insentif ekonomi rehabilitasi sangat kecil sedangkan biaya pelaksanaan dan pengawasannya diperkirakan cukup tinggi. Apakah dana REDD atau da-na reboisasi tersedia untuk ini?

• Rehabilitasi bisa dalam bentuk paludiculture (sistem penggunaan rawa dalam keadaan basah untuk meningkatkan insentif ekonomi)

• Skenario ini le-bih rumit dilak-sanakan apa-bila lahan ber-ada di luar ka-wasan hutan.

• Nilai absolut pengurangan emisi dari re-habilitasi di-perkirakan ja-uh lebih kecil (irreversible) dibandingkan peningkatan emisi dari konversi hutan gambut menja-di semak belukar

Negosiasi lintas pemangku kepentingan sangat penting untuk menyepakati skenario, penentuan sumber dana, dan mekanisme serta

14

besarnya insentif yang akan diberikan kepada pengelola lahan sebagai penyedia jasa publik berupa penurunan emisi CO2.

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

Lahan gambut yang dalam keadaan alami tidak ideal untuk tujuan produksi karena rendahnya kesuburan dan keadaan jenuh atau terendam air dewasa ini semakin banyak digunakan untuk berbagai tujuan ekonomi karena makin terbatasnya ketersediaan lahan di tanah mineral. Deforestasi hutan gambut dan penggunaan drainase menyebabkan peningkatan emisi karbon (C) yang disimpan oleh hutan gambut di dalam biomasa tanaman dan di dalam tanah gambut menjadi karbon dioksida (CO2), suatu gas rumah kaca terpenting. Emisi akan diperparah apabila deforestasi dan pengelolaan lahan melibatkan api.

Berbagai skenario penurunan emisi dapat dikembangkan dan besarnya penurunan emisi dapat diperhitungkan, namun untuk dapat menjalankan suatu skenario diperlukan langkah-langkah persiapan. Langkah terpenting antara lain memastikan (verifikasi) keadaan penutupan lahan yang ada sekarang, penelusuran status lahan, evaluasi preferensi pemangku kebijakan terhadap skenario atau kombinasi beberapa skenario, serta penetapan sumber dana serta jumlah dan mekanisme pemberian insentif kepada pengelola lahan.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. & I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan (Peat soil: Potential for Agriculture and the Environmental Aspects), Indonesian Soil Research Institute and World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor.

Agus, F., E. Runtunuwu, T. June, E. Susanti, H. Komara, H. Syahbuddin, I. Las & M. van Noordwijk. 2009. Carbon budget in land use transitions to plantation. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 29: 119−126.

Agus F., E. Handayani, M. van Noordwijk, K. Idris, & S. Sabiham. 2010. Root respiration interferes with peat CO2 emission measurement. In Proceedings 2010 19th World Congress of Soil Science, 1–6 August 2010, Brisbane, Australia. Pp. 50-53.

Agus, F., Wahyunto, A. Dariah, E. Runtunuwu, E. Susanti & W. Supriatna. 2012. Emission reduction options for peat soil in Kubu Raya and

15

Pontianak Districts, West Kalimantan, Indonesia. Journal of Oil Palm Research, 24: 1378-1387.

Agus, F., I.E. Henson, B. H. Sahardjo, N. Harris & M van Noordwijk. 2013. Review of emission factors for assessment of CO2 Emission from land use change to oil palm in Southeast Asia. Roundtable on Sustainable Palm Oil, Kuala Lumpur (In Prep).

Couwenberg, J., R. Dommain, & H. Joosten, H. 2010. Greenhouse gas fluxes from tropical peat soils in south-east Asia. Global Change Biology, 16: 1715-1732.

Hairiah, K., S. Dewi, F. Agus, S. Velarde, A. Ekadinata, S. Rahayu & M. van Noordwijk. 2011. Measuring Carbon Stocks Across Land Use Systems: A Manual. World Agroforestry Centre (ICRAF), SEA Regional Office, Bogor, 154 hal.

Harja, D., S. Dewi, M. van Noordwijk, A. Ekadinata & A. Rahmanullah. 2012. REDD Abacus SP – User Manual and Software. World Agroforestry Centre – ICRAF SE Asia, Bogor, Indonesia. 89 p.

Hooijer, A., M. Silvius, H. Wosten & S. Page. 2006. Peat-CO2 assessment of CO2 emissions from drained peat soils in SE Asia, Delft Hydraulics, Report Q3943, 36 pp.

Hooijer, A., S.E. Page, J. Jauhiainen, W.A. Lee, X.X. Lu, A. Idris, A & G. Anshari. 2012. Subsidence and carbon loss in drained tropical peat soils. Biogeosciences, 9: 1053–1071.

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Prepared by The National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., L. Buendia, K. Miwa, T. Ngara and K. Tanabe (eds.). Published by IGES Japan.

Jauhiainen, J., A. Hooijer & S.E. Page. 2012. Carbon dioxide emissions from an Acacia plantation on peat soil in Sumatra, Indonesia, Biogeosciences, 9: 617–630.

Lim, K.H., S.S. Lim, F. Parish and R. Suharto, r. (eds) 2012. RSPO Manual on Best Management Practices (BMPs ) for Existing Oil Palm Cultivation on Peat. RSPO, Kuala Lumpur.

Page, S.E., F. Siegert, J.O. Rieley, H.V. Boehm, A. Jaya & S. Limin. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature, 420: 61-65.

16

Parish, F., A. Sirin, D. Charman, H. Joosten, T. Minayeva, M. Silvius, & L. Stringer (Eds.). 2007. Assessment on Peat soils, Biodiversity and Climate Change: Main Report. Global Environment Centre, Kuala Lumpur and Wetlands International, Wageningen.

Parish, F., S.S. Lim, B. Perumal & W. Giesen (eds) 2012. RSPO Manual on Best Management Practices (BMPs) for Management and Rehabilitation of Natural Vegetation Associated with Oil Palm Cultivation on Peat. RSPO, Kuala Lumpur.

Rahayu, S., B. Lusiana & M. van Noordwijk. 2005. Above ground carbon stock assessment for various land use systems in Nunukan, East Kalimantan. p. 21−34. In B. Lusiana, M. van Noordwijk, and S. Rahayu (Eds.) Carbon Stock Monitoring in Nunukan, East Kalimantan: A spatial and modeling approach. World Agroforestry Centre, Southeast Asia Office, Bogor.

Rieley, J.O. & S.E. Page. 2008. Carbon budgets under different land uses on tropical peat soil. In Feehan, J. and C.A. Farrell (Eds.), Proceedings 13th International Peat Congress. Tullamore, Ireland.

Ritung, S., Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto & C. Tafakresnanto, C. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

17

REVIEW TEKNOLOGI REHABILITASI DAN RESTORASI HUTAN RAWA GAMBUT DI INDONESIA*

Adi Kunarso** dan Bastoni**

*Makalah pada Workshop ”Stakeholder Consultation the Application of Method and Technologies to Enhance the Restoration of PSF Ecosystem”,

Palembang, 25 April 2013

**Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Hutan Rawa Gambut (HRG) mempunyai fungsi yang penting dalam suatu ekosistem, antara lain sebagai penyimpan karbon, penyimpan air dan pencegah banjir, pencegah intrusi air laut, serta sumber keanekaragaman hayati. Namun demikian eksploitasi HRG yang berlebihan tanpa disertai upaya konservasi telah mengakibatkan rusaknya ekosistem HRG di Indonesia. Penebangan kayu, drainase, kebakaran, dan konversi lahan merupakan penyebab utama kerusakan HRG di Indonesia.Upaya-upaya pemulihan lahan dan hutan rawa gambut terdegradasi sudah dilakukan oleh berbagai pihak baik instansi pemerintah, swasta, perguruan tinggi maupun organisasi non pemerintah. Rehabilitasi dan restorasi HRG terdegradasi dilakukan melalui penanaman dengan jenis-jenis lokal, penyekatan saluran diikuti dengan pemantauan regenerasi alami, dan penyekatan saluran diikuti dengan penanaman jenis-jenis lokal. Beberapa teknologi sudah diaplikasikan untuk rehabilitasi dan restorasi HRG terdegradasi di Sumatera dan Kalimantan, yaitu berupa teknik penyekatan saluran dan teknik budidaya jenis-jenis lokal meliputi aspek pembibitan, penyiapan lahan dan penanaman.

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, restorasi

I. PENDAHULUAN

Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 20 juta ha (Hooijer et al., 2006; Wahyunto et al., 2006) atau sekitar 10 persen dari luas daratan Indonesia. Penyebaran lahan gambut di Indonesia terutama ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatera, pantai barat dan selatan Kalimantan dan pantai barat Papua dengan kedalaman gambut yang bervariasi mulai kurang dari 1 m sampai lebih dari 12 m (Hooijer et al.,

18

2006). Pada kondisi alaminya, Hutan Rawa Gambut (HRG) mempunyai fungsi yang penting dalam suatu ekosistem antara lain sebagai penyimpan karbon, penyimpan air dan pencegah banjir, pencegah intrusi air laut, serta sumber keanekaragaman hayati. Namun demikian eksploitasi HRG yang berlebihan tanpa disertai upaya konservasi telah mengakibatkan rusaknya ekosistem HRG beserta fungsi-fungsi ekologisnya. Hasil kajian Miettinen dan Liew (2010) menunjukkan bahwa dari sekitar 13 juta ha lahan rawa gambut di Sumatera dan Kalimantan, luas hutan rawa gambut primer hanya tersisa kurang dari 4%, sedangkan sekitar 37% berupa hutan rawa gambut terdegradasi dengan tingkat kerusakan yang bervariasi, 20% berupa semak belukar/hutan sekunder yang tidak dikelola, sekitar 34% lainnya berupa perkebunan, baik yang dikelola oleh masyarakat maupun perkebunan swasta (termasuk HTI), dan selebihnya berupa pemukiman, industri, badan air dan daerah terbuka.

Lahan rawa gambut termasuk tipe lahan marginal dan sulit untuk kembali ke kondisi alaminya apabila telah rusak. Penebangan kayu, drainase, kebakaran, dan konversi lahan merupakan penyebab utama kerusakan HRG di Indonesia (Silvius et al., 1987; Van Eijk dan Leenman, 2004; Hooijer et al., 2006; Jaenicke et al., 2010; Miettinen dan Liew, 2010). Aktivitas penebangan kayu secara ilegal umumnya diikuti dengan pembuatan saluran yang digunakan selain untuk akses menuju kawasan hutan juga sebagai sarana transportasi kayu. Pembuatan jaringan saluran/kanal secara masif juga dilakukan pada areal konsesi Hutan Tanaman Industi (HTI) maupun perkebunan kelapa sawit. Pembuatan jaringan kanal ini selain bertujuan untuk menurunkan level air sehingga lahan dapat ditanami, juga untuk keperluan produksi (transportasi kayu, bibit, dan tenaga kerja). Keberadaan saluran pada HRG berpotensi mengubah kondisi hidrologi kawasan karena air hujan yang turun akan langsung mengalir ke sungai atau ke lokasi lain melalui saluran tanpa mampu disimpan lagi oleh tanah gambut (Rieley, 2007).

Begitu level air tanah turun akibat drainase, pori-pori tanah gambut yang semula terisi air akan tergantikan dengan oksigen. Akibat adanya oksigen, proses dekomposisi dan pematangan lapisan gambut akan berlangsung dan mengakibatkan pelepasan karbon (CO2) ke atmosfer serta penurunan level permukaan tanah (land subsidence). Konsekuensi lain akibat drainase adalah kebakaran. Pada kondisi alaminya, 90% tanah gambut terdiri dari air dan 10% berupa bahan organik, sehingga jarang terjadi kebakaran (Jaenicke et al., 2010). Jika level air tanah kurang dari ambang kritisnya yaitu 40 cm dibawah permukaan tanah, maka tanah gambut yang kering akan menjadi rawan untuk terbakar. Sejarah

19

mencatat sekitar 2 juta ha lahan gambut di Sumatera, Kalimantan, dan Papua mengalami kebakaran pada tahun 1997/1998 dan menjadi penyumbang emisi karbon mencapai 0.81 sampai dengan 2.57 Gt ton (Page et al., 2002).

Rusaknya lahan dan hutan rawa gambut selain menimbulkan kerugian dari segi ekologis, juga menimbulkan kerugian dari sisi ekonomi yang tidak sedikit. Upaya-upaya pemulihan lahan dan hutan rawa gambut terdegradasi sudah dilakukan oleh berbagai pihak baik instansi pemerintah, swasta, perguruan tinggi maupun organisasi non pemerintah. Rehabilitasi dan restorasi HRG terdegradasi dilakukan melalui penanaman dengan jenis-jenis lokal, penyekatan saluran diikuti dengan pemantauan regenerasi alami, dan penyekatan saluran diikuti dengan penanaman jenis-jenis lokal. Selain itu, di beberapa lokasi seperti di kawasan HRG Merang Sumatera Selatan dan di lahan eks-PLG Kalimantan Tengah kegiatan penyekatan saluran dan penanaman pohon dilakukan sebagai kegiatan yang terpadu dan diikuti dengan upaya pelibatan masyarakat setempat dalam upaya merestorasi kawasan (Suryadiputra et al., 2005).

Tulisan ini bertujuan untuk melakukan review terhadap upaya-upaya rehabilitasi dan restorasi HRG di Indonesia beserta teknologi yang diterapkan. Sumber data diperoleh baik melalui diskusi dengan pihak-pihak yang berperan langsung dalam rehabilitasi dan restorasi HRG (WI-IP dan Yayasan BOS), maupun penelusuran pustaka melalui internet serta dari pengalaman penulis dalam melakukan rehabilitasi HRG di Sumatera Selatan.

II. TAHAPAN PELAKSANAAN REHABILITASI DAN RESTORASI HRG

Secara umum tahapan pelaksanaan rehabilitasi dan restorasi HRG terbagi dalam empat tahap, yaitu: tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan tahap tindak lanjut (Barkah, 2009a; Euroconsult Mott MacDonald, 2009; Wibisono et al., 2005).

A. Tahap perencanaan

Meliputi kegiatan-kegiatan antara lain: indentifikasi tingkat kerusakan areal dan tipe intervensi/metode rehabilitasi yang diperlukan, pengecekan areal rencana rehabilitasi, serta pemilihan jenis yang sesuai. Tingkat kerusakan/degradasi HRG digolongkan menjadi tiga klasifikasi (Barkah, 2009a; Euroconsult Mott MacDonald, 2009), yaitu:

a) HRG primer terdegradasi: Hutan rawa gambut yang sudah terganggu namun kondisi fisik (tanah, kelembaban) dan struktur vegetasi hutan

20

rawa gambut asli masih ada. Intervensi silvikultur mungkin tidak diperlukan, namun demikian pada kawasan HRG yang sudah terdapat parit/saluran (parit ilegal), penyekatan parit mungkin diperlukan untuk mendukung regenerasi alami.

b) HRG sekunder: Hutan rawa gambut yang telah mengalami berbagai tahapan proses suksesi, dengan struktur vegetasi telah berubah menjadi hutan sekunder dengan dominasi seperti gelam dan tembesu terutama disebabkan karena kebakaran. Metode rehabilitasi dan restorasi dapat berupa penyekatan saluran, pengayaan jenis-jenis penting, penanaman kembali dengan jenis-jenis lokal atau jenis pohon serbaguna.

c) HRG yang terdegradasi (kerusakan berat): Hutan rawa gambut yang tutupannya telah berubah menjadi areal terbuka atau semak belukar. Dicirikan dengan defisiensi kandungan nutrisi tanah, terganggunya sistem hidrologi kawasan, penurunan keanekaragaman tumbuhan dan satwa. Suksesi alami sangat sulit terjadi karena tidak adanya ketersediaan buah/biji atau anakan alam, rendahnya kandungan nutrisi tanah, dan kebakaran. Intervensi manusia mutlak diperlukan guna memulihkan kondisi HRG, meliputi kegiatan penyekatan saluran, penanaman kembali/reforestasi dengan jenis-jenis lokal dan MPTS serta perlindungan areal.

B. Tahap persiapan

Tahapan ini antara lain meliputi kegiatan sosialisasi rencana rehabilitasi, penyiapan pra kondisi areal, penyiapan bibit, dan persiapan/pembersihan lahan. Hal-hal yang bisa disepakai dalam kerangka sosialisasi rencana rehabilitasi antara lain pembagian peran masing-masing pihak dalam kerjasama rehabilitasi, tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak serta mekanisme insentif pelaksanaan kegiatan. Sedangkan salah satu bentuk penyiapan kondisi awal lapangan yaitu berupa upaya mengembalikan kondisi hidrologi ekosistem kawasan HRG melalui kegiatan penyekatan saluran (canal blocking). Tujuan penyekatan saluran adalah untuk menaikkan level air sehingga dapat meminimalisasi terjadinya bahaya kebakaran dimusim kemarau dan memudahkan upaya rehabilitasi kawasan yang terdegradasi di sekitarnya.

C. Tahap pelaksanaan

Antara lain meliputi kegiatan seleksi bibit, pengangkutan bibit, penanaman dan pengecekan/pengukuran areal penanaman. Secara umum, bibit yang dipilih harus sehat, kuat, mempunyai pertumbuhan

21

cabang yang simetris dan akar yang tidak rusak. Tinggi bibit saat penanaman harus disesuaikan dengan tinggi genangan air pada puncak musim hujan (Bastoni, 2009). Pengangkutan bibit sebaiknya secepat mungkin sampai di lokasi penanaman untuk menghindari kerusakan bibit dalam perjalanan. Kelembaban bibit selama dalam pengangkutan perlu dijaga untuk menghindari kematian bibit. Sementara itu, waktu yang tepat untuk penanaman adalah diawal musim penghujan (Oktober-Desember), ketika suhu udara rendah, dan tidak menyebabkan stres pada tanaman. Pada saat itu genangan air belum mencapai puncak yang akan terjadi pada bulan Januari. Sehingga diharapkan pada umur 3 bulan setelah tanam, bibit sudah mampu beradaptasi dengan kondisi genangan.

D. Tahap tindak lanjut

Meliputi kegiatan pemeliharaan dan pemantauan dan perlindungan tanaman. Pemeliharaan mencakup penyulaman, yaitu mengganti tanaman yang mati dengan bibit yang baru, pembersihan gulma (weeding), pemupukan, monitoring pertumbuhan, dan pencegahan kebakaran. Bibit yang dapat bertahan hidup dalam 1 bulan pertama pada kondisi normal, diprediksi dapat tumbuh sampai menjadi pohon. Untuk itu evaluasi setelah 1 atau 2 bulan tanam diperlukan untuk mengetahui jumlah bibit yang mati/yang harus disulam. Penggantian bibit yang mati/sulaman sangat diperlukan apabila jumlah bibit yang mati di lapangan lebih dari 10%. Pembersihan gulma dan pemupukan dilakukan sampai tanaman umur 3 tahun atau ketika sudah mampu bersaing dengan tumbuhan disekitarnya, dengan frekuensi pemeliharaan disesuaikan dengan kondisi setempat (Bastoni, 2009).

III. UPAYA-UPAYA REHABILITASI DAN RESTORASI HRG

Upaya-upaya rehabilitasi dan restorasi HRG sudah dilakukan baik di Sumatera maupun Kalimantan melalui penanaman dengan jenis-jenis lokal, penyekatan parit/saluran diikuti dengan pemantauan regenerasi alami, dan penyekatan parit/saluran diikuti dengan penanaman jenis-jenis lokal. Penyekatan saluran adalah kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menahan air di dalam parit/saluran dengan membuat sekat di dalamnya (Suryadiputra et al., 2005). Kegitan penanaman dilakukan terutama pada areal HRG yang terdegradasi berat sehingga regenerasi alami sulit tercapai.

22

A. Penyekatan Parit/Saluran

Sampai dengan tahun 2005, beberapa kegiatan penyekatan parit/saluran sudah dilakukan oleh Wetlands International-Indonesia Program (WI-IP), yaitu di Provinsi Sumatera Selatan (Sungai Merang, Kab. Musi Banyuasin) sebanyak 14 sekat pada 7 parit (lebar 2-4 meter) dan Provinsi Kalimantan Tengah (Blok A eks-PLG Kab. Kapuas) sebanyak 7 sekat pada 3 saluran (lebar 25-30 meter). Selain WI-IP, WWF (World Wide Fund) dan yayasan BOS (Borneo Orangutan Survival) juga melakukan kegiatan penyekatan saluran di kawasan sebangau dan bagian atas dari Blok A eks-PLG Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (Barkah, 2009b; Suryadiputra et al., 2005).

B. Penanaman dengan Jenis-Jenis Lokal

Upaya penanaman/rehabilitasi HRG terdegradasi telah dilakukan baik di Sumatera maupun Kalimantan dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi (UMP-GIZ, 2011; Bastoni, 2009; Barkah, 2009a; Euroconsult Mott MacDonald, 2009; Daryono, 2006; Subagyo dan Arinal, 2003).

1. Sumatera

Kegiatan rehabilitasi HRG dilakukan antara lain di Provinsi Jambi, Riau dan Sumatera Selatan, baik berupa penanaman langsung dengan jenis-jenis lokal, maupun dengan terlebih dahulu melakukan penyekatan parit/saluran diikuti kegiatan penanaman. Di Provinsi Riau, PT. Caltex Pasific bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan kegiatan rehabilitasi HRG pada lahan rawa (termasuk lahan gambut) yang terdegradasi berat dan sedang akibat aktivitas pengeboran minyak di daerah Dumai. Di antara beberapa jenis pohon setempat yang dipilih untuk ditanam, jenis mahang (Macaranga hypoleuca) mempunyai tingkat adaptasi yang cukup tinggi pada lahan gambut terdegradasi (Euroconsult Mott MacDonald, 2009).

Sementara itu di Provinsi Jambi kegiatan rehabilitasi HRG telah dilakukan antara lain oleh PT. Dyera Hutan Lestari (DHL) yang beroperasi sampai dengan tahun 2008 di wilayah Sungai Aur (Wibisono, 2008 dalam Euroconsult Mott MacDonald, 2009). Jenis-jenis yang ditanam antara lain jelutung (Dyera lowii), ramin (Gonystylus bancanus), pulai (Alstonia sp.), dan sesendok (Endospermum diadenum). Teknik penanaman mengguna-kan sistem jalur. Pertumbuhan tanaman dikategorikan baik, dengan persen tumbuh mencapai 90% dan riap pertumbuhan mencapai 2 cm per tahun. Upaya lain dilakukan oleh PT. Putra Duta Indahwood (PT. PDI) dengan melakukan penanaman di areal konsesinya yang berbatasan

23

dengan Taman Nasional Berbak (Lubis, 2002 dalam Euroconsult Mott MacDonald, 2009). Sejak tahun 2001, jenis-jenis lokal seperti meranti (Shorea pauciflora), durian burung (Durio carinatus), ramin dan jelutung telah ditanam. Hasil penelitian Bastoni (2009) di areal konsesi PT. PDI menunjukkan bahwa jelutung dan ramin yang ditanam dengan sistem gundukan (mound system) mampu tumbuh baik pada tanah gambut dalam (> 3 m). Pada tahun 2003, di dalam kawasan Taman Nasional Berbak, tepatnya di daerah Sungai Air Hitam Laut juga telah dilakukan upaya rehabilitasi dengan sistem gundukan (Giesen, 2004). Jenis-jenis yang ditanam antara lain ramin, meranti (S. pauciflora), punak (T. glabra), rengas (G. waliichii), kelat (Eugenia sp.), balam (Palaquium sp.), perepat (C. rotundatus), jelutung, dan pulai (A. pneumatophora). Setelah 3 bulan penanaman, persen hidup tanaman sekitar 65-85% dengan tinggi genangan sekitar 0,5 m. Jenis-jenis dengan persen hidup tertinggi yaitu Eugenia sp. dan S. pauciflora.

Di Sumatera Selatan, rehabilitasi dan restorasi HRG dilakukan di kawasan Merang, Kab. Musi Banyuasin oleh GIZ melalui Merang REDD Pilot Project (MRPP). Jenis-jenis yang ditanam antara lain cempedak air (Artocarpus mangayi), medang (Litsea, sp), punak, kelat, balam, keranji (Dialium indum) dan dara-dara (Vitis bicolor). Hasil evaluasi tanaman menunjukkan persen hidup mencapai 60%-80% (UMP-GIZ, 2011).

2. Kalimantan

Beberapa proyek rehabilitasi telah dilakukan pada areal Ex-Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di Kalimantan Tengah oleh berbagai lembaga yang bergerak dibidang konservasi, antara lain oleh CIMTROP (Center for International Cooperation in Sustainable Management of Tropical Peatland), WI-IP, WWF, dan BOS Mawas (Euroconsult Mott MacDonald, 2009). Dilaporkan tidak kurang dari sekitar 2.000 ha lahan rawa di beberapa blok areal Ex-PLG telah ditanami dengan berbagai jenis antara lain belangeran, meranti (S. pinanga), meranti (S. siminis), sungkai (Peronema canescens), balam, jelutung, madang (Alseodaphne coriace), pulai, kapur (Dryobalanops), perepat dan lain-lain. Hasil studi menunjukkan bahwa jenis belangeran mempunyai daya tahan hidup yang paling tinggi (65-100%), baik pada ujicoba tanam yang dilakukan oleh CIMTROP maupun WI-IP di tiga blok yang berbeda. Sementara jelutung mempunyai pertumbuhan yang baik dengan tinggi rata-rata mencapai 2,5-3 m (bahkan ada yang mencapai 4 m) setelah umur 2 tahun. Hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru di Hutan Penelitian Tumbang Nusa juga menunjukkan bahwa belangeran

24

merupakan salah satu jenis yang potensial untuk rehabilitasi hutan rawa gambut.

IV. TEKNOLOGI REHABILITASI DAN RESTORASI HRG

Seperti diuraikan sebelumnya bahwa upaya-upaya yang telah dilakukan dalam rangka rehabilitasi dan restorasi HRG terkait dengan kegiatan penyekatan parit/saluran dan kegiatan penanaman dengan jenis-jenis lokal. Kegiatan penyekatan parit/saluran dimaksudkan untuk menaikkan tinggi muka air dan retensi air di dalam saluran dan di sekitar lahan sehingga meminimalisasi terjadinya kebakaran dan memudahkan upaya rehabilitasi (Suryadiputra et al., 2005). Sedangkan penanaman dengan jenis-jenis lokal adalah upaya untuk mempercepat suksesi pada HRG terdegradasi dengan teknik silvikultur yang tepat dan sesuai dengan kondisi tapak dan hidrologi setempat.

A. Teknologi Penyekatan Parit/Saluran

Jumlah sekat dalam satu parit/saluran harus disesuaikan dengan kemiringan/topografi lahan gambut, tinggi muka air yang diharapkan untuk naik, dan kecepatan aliran air dalam parit/saluran. Semakin curam kemiringan lahan, maka semakin banyak sekat yang direkomendasikan untuk dibangun dengan jarak antar sekat yang tidak terlalu jauh (100-200 m) (Barkah, 2009b; Suryadiputra et al., 2005).

Gambar 1. Posisi beberapa sekat untuk menaikkan tinggi muka air (Sumber: Barkah, 2009b; Suryadiputra et al., 2005)

Selain jumlah sekat dalam satu parit, tipe sekat yang akan dibangun juga sangat bergantung pada kondisi fisik lahan gambut. Setidaknya ada 4

25

(empat) tipe sekat yang diusulkan untuk digunakan yaitu sekat papan, sekat dengan bahan pengisi, sekat plastik dan sekat geser (Sumber: Barkah, 2009b; Suryadiputra, et al., 2005). Dari ke empat tipe sekat tersebut, tipe sekat papan dan sekat dengan bahan pengisi lebih banyak diaplikasikan untuk rehabilitasi dan restorasi HRG di Sumatera dan Kalimantan.

1. Sekat papan

Sekat papan dapat terbuat dari bahan papan kayu keras (misal: ulin, belangeran) yang telah banyak berhasil digunakan di beberapa lokasi di Kalimantan. Penempatan sekat yang tepat dan pemasangan yang cermat dapat digunakan untuk memblok aliran air parit/saluran yang cukup besar (kedalaman lebih dari 1 m dan lebar lebih dari 2 m). Pemasangan sekat jenis ini dapat dilaksanakan oleh tenaga kerja biasa dan tidak membutuhkan keahlian khusus.

Gambar 2. Gambar sketsa sekat papan (Sumber: Barkah, 2009b

Suryadiputra et al., 2005)

2. Sekat isi

Sekat isi terbuat dari dua buah atau lebih penyekat (dari papan kayu ataku kayu balok/gelondongan), yang diantara sisinya setelah dilapisi lembaran plastik atau geotekstil, diisi dengan bahan material gambut atau tanah mineral yang dibungkus karung-karung bekas (disarankan berbahan geotekstil agar tidak mudah lapuk). Bahan isian gambut atau tanah mineral berfungsi sebagai pendukung struktur sekat agar sekat menjadi lebih kuat dan tahan terhadap tekanan air. Lapisan atas dari sekat juga dapat berfungsi sebagai jembatan penyeberangan atau apat ditanami tumbuhan penguat sekat (Barkah, 2009b; Suryadiputra et al., 2005).

26

Gambar 3. Sekat isi dari bahan papan kayu (Sumber: Barkah, 2009b; Suryadiputra et al., 2005)

3. Sekat plastik

Sekat plastik umumnya terbuat dari lembaran papan plastik yang kedap air (impermeable). Meskipun secara ekonomis lebih mahal dari sekat kayu, namun mempunyai umur pakai yang lebih lama. Sekat plastik merupakan salah satu jenis sekat yang dapat mengatur jumlah debit air yang mengalir pada suatu parit/saluran (Barkah, 2009; Suryadiputra et al., 2005).

Gambar 4. Sekat dari bahan papan plastik (Sumber: Barkah, 2009 b; Suryadiputra et al., 2005)

27

4. Sekat geser (sluice)

Sekat geser merupakan suatu pintu air yang dapat dikendalikan guna mengatur debit aliran suatu saluran. Sekat geser terdiri dari dua lembar papan/plat besi dengan ketebalan 2 - 5 cm yang dapat digerakkan melalui secara naik turun melalui tali yang dilengkapi dengan kerekan dan pipa PVC untuk membuang kelebihan air dari bagian atas. Pergerakan naik-turunnya papan disesuaiakan dengan tinggi air yang dikehendaki.

Gambar 5. Sekat geser (Sumber: Barkah, 2009b; Suryadiputra et al., 2005)

B. Teknik Budidaya Jenis-jenis Pohon Lokal

Keberhasilan penanaman jenis-jenis lokal dalam program rehabili-tasi dan restorasi HRG memerlukan teknik silvikultur yang tepat sesuai dengan kondisi tapak dan hidrologi lahan gambut. Beberapa teknologi yang sudah diterapkan antara lain:

1. Teknik pembibitan jenis-jenis lokal

a) Teknik pembibitan dengan genangan buatan

Yaitu teknik pembibitan dengan cara menyusun bibit pada bak ge-nangan yang terbuat dari pasangan batu bata dengan alas genangan dari plastik polyetilen. Keunggulan sistem ini yaitu antara lain (Bastoni, 2009):

- Masa siap tanam bibit menjadi lebih cepat berkisar antara 4 - 6 bulan setelah sapih

- Menghemat konsumsi air dan biaya perawatan. Selama masa pembibitan tidak diperlukan penyiraman bibit tetapi cukup mengisi air pada bak genangan apabila diperlukan

28

- Kombinasi antara masa siap tanam bibit yang lebih cepat dan penghematan pos-pos biaya pemeliharaan menjadikan teknik ini lebih murah dibanding pembibitan tanpa genangan.

Gambar 6. Teknik pembibitan dengan sistem genangan buatan (Sumber: Bastoni, 2009)

b) Teknik Perbanyakan Vegetatif dengan Sistem KOFFCO

Sistem KOFFCO (Komatsu-FORDA Fog Cooling System) ini dikem-bangkan oleh Badan Litbang Kehutanan bekerjasama dengan Komatsu (Subiakto, 2009). Pada awalnya sistem ini bertujuan untuk mengembangkan teknik pengadaan bibit jenis-jenis dipterokarpa dan teknik rehabilitasi hutan terdegradasi. Namun demikian sistem ini juga dapat diaplikasikan pada jenis-jenis lokal HRG lainnya seperti ramin, balam (Palaquium sp), punak (Tetramerista glabra), pulai dan lain-lain (Subiakto, 2009). Teknik ini dilakukan dengan cara mengatur kondisi cahaya, kelembaban, temperatur, dan media tanam sedemikian rupa sehingga optimal untuk proses pembentukan akar stek. Adapun sarana dan peralatan utama yang diperlukan adalah rumah kaca, shading net, pompa air, nozel dan sungkup propagasi. Rata-rata keberhasilan stek dengan sistem ini sekitar 70% dengan tingkat pertumbuhan tanaman yang sama baiknya dengan bibit asal biji (Subiakto, 2009).

29

Gambar 7. Sistem KOFFCO untuk jenis pohon ramin (Sumber: Subiakto, 2009)

c) Inokulasi Mikoriza

Cendawan mikoriza merupakan salah satu alternatif teknologi rehabilitasi hutan dan lahan yang dapat diterapkan di Indonesia (Santoso et al., 2006). Aplikasi cendawan mikoriza dimungkinkan dengan cara memanfaatkan cendawan mikoriza lokal yang cocok dengan inang (pohon) yang akan diintroduksi dalam skala besar. Bibit tanaman yang dibekali mikoriza pada sistem perakarannya akan memiliki daya hidup yang lebih tinggi di lapangan. Beberapa hasil penelitian pada skala persemaian sebagian besar tanaman rawa menunjukkan respon yang positif terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter setelah inokulasi (Yuwati, 2013). Keberhasilan penggunaan jenis mikroba sangat ditentukan oleh kesesuaian jenis mikroba dengan tanaman inang dan kesesuaian antara jenis jamur dan bakteri. Hasil penelitian Turjaman et al. (2007), menunjukkan inokulasi cendawan ektomikoriza Boletus sp. dan Scleroderma sp. di persemaian dapat meningkatkan pertumbuahn S. balangeran 40 bulan setelah penanaman di lahan rawa gambut.

2. Teknik penyiapan lahan

a) Penyiapan lahan dengan sistem gundukan

Teknik penyiapan lahan yang sudah banyak digunakan untuk program rehabilitasi dan restorasi HRG di Indonesia yaitu sistem gundukan (mound system) (UMP-GIZ, 2011; Bastoni, 2009; Wibisono et al., 2005; Giesen 2004; Subagyo dan Arinal, 2003). Sistem ini sudah diterapkan untuk program rehabilitasi HRG di Jambi, Kalimantan Tengah, maupun Sumatera Selatan. Sistem ini bertujuan untuk mengumpulkan massa tanah yang subur untuk awal pertumbuhan tanaman dan meninggikan bagian tanah agar bibit tidak terendam air pada puncak

30

musim hujan (Bastoni, 2009). Sistem ini juga dapat dilihat sebagai modifikasi dari sistem parit/kanal di areal HTI sehingga lahan dapat ditanami sekaligus dapat mempertahankan ekosistem kawasan (Subagyo dan Arinal, 2003). Sistem ini terbukti efektif untuk meningkatkan persen tumbuh tanaman terutama pada lahan gambut dengan genangan dalam. Kombinasi antara rendahnya mutu bibit dan penyiapan lahan tanpa gundukan menyebabkan kematian tanaman rehabilitasi di Taman Nasional Berbak mencapai hampir 100% (Giesen, 2004). Sementara sistem gundukan dengan ketinggian 0,3-0,5 m pada areal lain di kawasan yang sama, menghasilkan persen hidup tanaman sekitar 65-85%.

Gambar 7. Teknik pembuatan gundukan sesuai dengan karakter genangan

(Sumber: Bastoni, 2009)

b) Pembuatan sumur (tandon air)

Pembuatan lubang galian/sumur pada areal rehabilitasi juga mungkin diperlukan, yaitu sebagai tandon air pada saat musim kemarau, baik untuk menyiram tanaman maupun sebagai sumber air apabila terjadi kebakaran. Sumur dapat dibuat pada setiap 100 m (misal: 4 buah sumur per hektar) dengan ukuran lebar 1,5 m dan kedalaman 2 m. Metode ini sudah diaplikasikan di Kalimantan Selatan oleh BPK Banjarbaru dan di Sumatera Selatan oleh BPK Palembang.

V. PENUTUP

Upaya rehabilitasi dan restorasi HRG terdegradasi telah dibanyak dilakukan oleh berbagai pihak. Beberapa teknologi rehabilitasi dan

31

restorasi HRG telah diterapkan dan dapat diadopsi untuk diaplikasikan pada lokasi HRG terdegradasi lainnya.

Penyekatan saluran yang sudah dilakukan oleh beberapa lembaga seperti WI-IP, WWF dan yayasan BOS terbukti mampu memperbaiki kondisi hidrologis kawasan. Namun demikian, sampai dengan review ini dibuat (sekitar 8 tahun pasca penyekatan parit/saluran), data/informasi mengenai keberhasilan program yang tersedia masih sangat minim. Beberapa informasi penting yang perlu diketahui antara lain meliputi umur pakai bangunan sekat, keberhasilan rehabilitasi jenis-jenis lokal yang dilakukan secara integratif dengan kegiatan penyekatan, dan tingkat partisipasi masyarakat. Hal ini perlu dikaji sebagai bahan evaluasi keberhasilan program.

Teknik pembibitan jenis-jenis pohon lokal dengan teknik genangan buatan dapat diadopsi karena selain lebih murah dibanding pembibitan konvensional juga lebih sederhana dalam proses perawatan bibit di persemaian. Sementara itu, perbanyakan vegetatif dengan sistem KOFFCO yang dikembangkan Badan Litbang Kehutanan adalah untuk memenuhi kebutuhan bibit secara masal. Teknik penanaman dengan sistem gundukan yang sudah diujicobakan di Sumatera dan Kalimantan menunjukkan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibanding tanpa gundukan. Sehingga teknik ini dapat direkomendasikan untuk diterapkan pada setiap upaya rehabilitasi HRG terdegradasi.

Tingkat keberhasilan kegiatan rehabilitasi secara umum dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kualitas bibit, kesesuaian jenis dengan kondisi setempat, waktu penanaman, serta adanya ancaman banjir dan kebakaran. Data evaluasi tingkat keberhasilan penanaman yang diperoleh rata-rata berupa data pertumbuhan sampai dengan tanaman berumur 3 tahun. Tidak adanya data terkini terkait dengan kondisi tanaman rehabili-tasi menunjukkan masih lemahnya sistem evaluasi jangka panjang terha-dap pelaksanaan program rehabilitasi dan restorasi HRG di Indonesia.

VI. UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang telah membantu terwujudnya review ini, terutama kepada ITTO melalui project RED-SPD 009/09 Rev.2 (F). Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada Tajudin Edy Komar (Puskonser), Anita Silalahi, dan Syaiful Islam (BPK

32

Palembang), Iwan Tri Cahyo Wibisono (WI-IP) dan Baba S. Barkah (Yayasan BOS) atas kesempatan kesempatan diskusi dan suporting data.

DAFTAR PUSTAKA

Barkah B.S. 2009a. Panduan Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Berbasis Masyarakat di Areal MRPP Kabupaten Musi Banyuasin. Report No. 18.TA.FINAL/SOP No. 01. PSF Rehabilitation. Rev 0. GIZ

Barkah B.S. 2009b. Panduan Penyekatan Parit/Kanal dan Pengelolaannya Bersama Masyarakat Di areal Hutan Rawa Gambut MRPP Kabupaten Musi Banyuasin. Report No. 20.TA. FINAL / SOP. No.03. PSF Rehabilitation. Rev 0. GIZ

Bastoni. 2009. Teknik Budidaya Jenis-Jenis Pohon Lokal Hutan Rawa Gambut. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang "Mengenal Teknik Budidaya Jenis-Jenis Pohon Lokal Sumsel dan Upaya Pembangunannya", 11 Desember 2008. Puslitbang Hutan Tanaman. Badang Litbang Kehutanan. Bogor

Daryono, H. 2006. Pengelolaan Hutan Rawa Gambut Secara Bijaksana dalam Rangka Menjaga Kelestariannya. Dalam Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu. Palembang 28 Maret 2006. Puslitbang Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan.

Euroconsult Mott MacDonald. 2009. Guidelines for the Rehabilitation of Degraded Peat Swamp Forests in Central Kalimantan. Master Plan for teh Conservation and Development of the Ex-Mega Rice Project Area in Central Kalimantan. 2nd Draft. Government of Indonesia-Royal Netherlands Embassy, Jakarta.

Giesen W. 2004. Causes of Peat Swamp Forest Degradation in Berbak National Park, Indonesia, and Recommendations for Restoration. Wetlands International-Indonesia programme, 2004

Hooijer, A., Silvius, M., Wosten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assesment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943 (2006)

Jaenicke, J., H. Wosten and Arif Budiman. 2010. Planning Hydrological Restoration of Peatlands in Indonesia to Mitigate Carbon Dioxide Emissions. www.springerlink.com

33

Miettinen, J., S. C. Liew. 2010. Status of Peatland Degradation and Development in Sumatra and Kalimantan. Royal Swedish Academy of Sciences. www.springerlink.com

Page S.E., F. Siegert, J.O. Rieley, H.D.V. Boehm, A. Jaya and S. Limin. 2002. The amount of Carbon Released from Peat and Forest Fires in Indonesia During 1997. Nature

Rieley, J.O. 2007. The Role of Drainage in The Wise Use of Tropical Peatlands. Proceeding of The International Symposium and Workshop on Tropical Peatland, Yogyakarta, 27-29 Agustus. EU CARBOPEAT and RESTROPEAT Partnership, Gadjah Mada University and University of Leicester.

Santoso E., Maman Turjaman, Ragil SB Irianto, 2006. Aplikasi Mikoriza untuk Meningkatkan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Terdegradasi. Ekspose Hasil-Hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Hutan. 20 September 2006. Padang. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam.

Silvius, M.J., APJM Steeman, E.T. Berczy, E. Djuharsa, and A.W. Taufik, 1987. The Indonesian Wetland Inventory; a Preliminary Compilation of Information on Wetlands of Indonesia. PHPA-AWB, Bogor, Indonesia.

Subagyo H dan I. Arinal, 2003. Ujicoba Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Bekas Kebakaran di Lokasi Taman Nasional Berbak Bersama Kelompok Masyarakat. Lokakarya Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Wetlands Internatioanal-Indonesia. Bogor

Subiakto A. 2009. Aplikasi KOFFCO untuk Produksi Stek Jenis Pohon Indigenous. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. http://www.forda-of.org/files/deskripsi%20KOFFCO%20System.pdf

Suryadiputra, I.N.N., Alue Dohong, Roh, S.B. Waspodo, Lili Muslihat, Irwansyah R. Lubis, Ferry Hasudungan, dan Iwan T.C. Wibisono. 2005. Panduan Penyekatan Parit dan Saluran di Lahan Gambut Bersama Masyarakat. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Program dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.

Turjaman, M., H. Saito, E. Santoso, A. Susanto, S. Gaman, S. H. Limin, M. Shibuya, K. Takahashi, Y. Tamai, M. Osaki, dan K. Tawaraya. 2007. Effect of Ectomycorrizal Fungi Inoculated on Shorea Balangeran Under Field Conditions in Peat-Swamp Forest. Proceeding of the

34

International Symposium and Workshop on Tropical Peatland, Yogyakarta, 27-29 Agustus. EU CARBOPEAT and RESTROPEAT Partnership, Gadjah Mada University and University of Leicester.UMP - GIZ, 2011. Evaluasi Pertumbuhan Beberapa Jenis Tanaman pada Berbagai Tapak di Hutan Rawa Gambut Merang-Kepayang KPHP Lalan Kabupaten Musi Banyuasin. Laporan Akhir. www.giz.de

Van Eijk, P. and P.H. Leenman. 2004. Regeneration of fire degraded peatswamp forest in Berbak National Park and implementation in replanting programmes. Water for Food & Ecosystems Programme project on: "Promoting the river basin and ecosystem approach for sustainable management of SE Asian lowland peatswamp forest"Case study Air Hitam Laut river basin, Jambi Province, Indonesia. Alterra Green World Research, Wageningen, the Netherlands.

Wahyunto, Bambang Heryanto, Hasyim Bekti dan Fitri Widiastuti. 2006. Peta-Peta Sebaran Lahan Gambut, Luas dan Kandungan Karbon di Papua/Maps of Peatland Distribution, Area and Carbon Content in Papua, 2000 - 2001. Wetlands International – Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC)

Wibisono I.T.C., L. Siboro, I.N.N Suryadinata, 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia. Wetlands International - Indonesia Program dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.

Yuwati T.W., 2013. Inokulasi Mikroba Tanah Lokal pada Jenis Tanaman Jawa Gambut untuk Peningkatan Pertumbuhannya. http:// foreibanjarbaru.or.id/?p=44

35

PENGALAMAN DAN PEMBELAJARAN REHABILITSI DAN RESTORASI LAHAN GAMBUT DI INDONESIA*

(Experience and Lessons learn from Peatlands Rehabilitation and Restoration in Indonesia)

Iwan Tri Cahyo Wibisono**

*Makalah pada Workshop ”Stakeholder Consultation the Application of Method and Technologies to Enhance the Restoration of PSF Ecosystem”,

Palembang, 25 April 2013

**Forestry and rehabilitation specialist of Wetlands International Indonesia Programme

ABSTRAK

Peatlands is a unique ecosystem, rich of biodiversity, providing range of environmental services including regulatory water system and carbon sink. Unfortunately, they have been severely degraded as consequence from some commercial developments (i.e timber concession, plantation, mining, agriculture development), illegal logging, encroachment, and fire. Unfortunately, rehabilitation of peatlands is difficult, costly and low/less successful rate. Facilitated by CCFPI project (Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia) and CKPP (Central Kalimantan Peatlands Project), Wetlands International Indonesia Programme carried out peatlands rehabilitation with different approaches, using indigenous species and adapting to site specific condition. In Jambi Province, rehabilitation was conducted in 20 ha of ex-burnt area in Berbak National Park. With the purpose to adapt flooding, artificial mound system was applied. While in Central Kalimantan province (ex-mega rice project), rehabilitation was integrated with hydrology restoration. Planting was focused in ex-burnt area, open area alongside primary canal, and at the dam construction. From these programs, it was learnt that selection of appropriate species and planting site are very important to achieve the success of rehabilitation. Some local species including Jelutung paya Dyera polyphylla (lowii), Pulai rawa Alstonia pneuomatophora, Tumih Combretocarpus rotundatus, Belangiran Shorea belangeran, considered to be promising species to rehabilitate ex-burnt area. While for the wet areas, Perupuk Lapopetalum spp, Terentang Campnosperma spp, and Pandanus heterophylus are strongly recommended. Especially for drained peatlands, rehabilitation would be more effective conducted after hydrology

36

intervention (blocking canal). Apart from that, the assurance and security from various threats (i.e fire treats, land conversion) post program period is very crucial to ensure planted trees surviving in the future.

Keywords: peatlands, CCFPI, CKPP, WIIP, rehabilitation

1. Lahan Gambut Indonesia: Karakteristik dan Ancamannya

Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang unik, dibentuk oleh proses akumulasi bahan organik yang berasal dari vegetasi di atasnya dalam kurun waktu lama, hingga ribuan tahun. Akumulasi ini terjadi karena laju dekomposisi yang lebih lambat dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik di lantai hutan yang basah/tergenang tersebut. Wahyunto (2003,2004) memperkirakan lahan gambut Indonesia seluas 20.6 juta hektar, tersebar di lima pulau yaitu Sumatra (7.2 juta hektar), Kalimantan (4.4 juta hektar), Sulawesi (44.000 hektar), Maluku (48.000 hektar) , dan Papua (8.9 juta hektar).

Ekosistem ini memiliki peran yang sangat penting bagi manusia dan mahluk hidup lain yang berada di atas dan di sekitarnya. Lahan gambut tidak saja berfungsi sebagai pendukung kehidupan secara langsung (misalnya sebagai sumber ikan air tawar, habitat beraneka ragam mahluk hidup) melainkan juga memiliki berbagai fungsi ekologis seperti pengen-dali banjir dan pengendali iklim global. Kawasan lahan gambut akan sulit dipulihkan kondisinya apabila mengalami kerusakan (KKPLGN, 2006).

Berbeda dengan tipe ekosistem lainnya, lahan gambut memiliki tiga komponen yang terkait satu sama lainnya yaitu komponen vegetasi (tumbuhan yang ada di atas gambut), hidrologi (sistem tata air) dan tanah (substrat gambut). Ketiga komponen ini membentuk suatu sistem yang sangat kompleks. Apabila salah satu komponen terganggu, maka akan mengganggu keseimbangan ekosistem secara keseluruhan. Pada umumnya ekosistem hutan rawa gambut ditandai dengan adanya kubah gambut di bagian tengah dan mendatar/rata di bagian pinggir serta digenangi air berwarna coklat kehitaman sehingga sering disebut ekosistem air hitam (Wibisono, 2004).

Lahan gambut yang masih utuh umumnya terdapat hutan di atasnya yang kemudan diistilahkan sebagai Hutan Rawa Gambut. Biodiversitas yang ada di Hutan Rawa Gambut sangatlah unik dimana sebagian besar tumbuhannya memiliki sifat endemik. Giesen (1992) mencatat setidaknya terdapat 261 jenis tumbuhan di Taman Nasional Berbak, dimana 67% nya berupa pohon dan semak, 17% liana, 8%

37

tumbuhan herba, dan 8% epifit. Dari survey WIIP yang dilakukan di lokasi yang sama, beberapa pohon yang umum dijumpai diantaranya adalah jelutung rawa Dyera lowii, ramin Gonystylus bancanus, kempas atau bengeris Kompassia malaccensis, punak Tetramerista glabra, pulai rawa Alstonia pneumatophora, putat sungai Barringtonia racemosa, terentang Campnosperma macrophylla, nyatoh Palaquium rostratum, bintangur Calophyllum sclerophyllum, meranti Shorea spp. dan rengas manuk Melanorrhoea walichii (Wibisono, 2004).

Namun sayang, keberadan lahan gambut saat ini berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Konversi untuk keperluan komersial seperti Hutan Tanaman Industri dan Perkebunan Kelapa Sawit tidak dipungkiri memiliki andil besar dalam menyumbang kerusakan lahan gambut Indonesia. Dibangunnya kanal atau parit dilahan gambut secara berangsur menyebabkan penurunan permukaan lahan gambut (subsidence) yang secara bersamaan melepaskan emisi CO2 ke atmosfer. Rata-rata kecepatan penurunan adalah 0,3-0,8 cm/bulan, dan terjadi selama 3-7 tahun setelah drainase dan pengolahan tanah (Stranas Gambut, 2006). Lebih jauh lagi, setiap penurunan 10 cm muka air tanah di lahan gambut berpotensi melepaskan emisi CO2 sebesar 9.1 ton/ha/thn (Hooijer et al.,2010). Selain dari kegiatan-kegiatan tersebut, aktifitas ilegal seperti penebangan, pertambangan serta penyerobotan lahan juga memiliki andil besar dalam kerusakan lahan gambut Indonesia.

2. Rehabilitasi dan Restorasi Lahan Gambut

Rehabilitasi dan restorasi merupakan suatu upaya untuk memper-baiki lahan gambut yang mengalami kerusakan. Sejak tahun 2002, WIIP secara aktif terlibat dalam beberapa upaya perbaikan lahan gambut di Sumatra dan Kalimantan sebagaimana dijelaskan paragraf di bawah ini.

2.1. Rehabilitasi areal bekas terbakar di Taman Nasional Berbak (TNB), Propinsi Jambi

Difasilitasi oleh proyek CCFPI, WIIP bekerjasama dengan TNB dan PT. Putra Duta Indah Wood merealisasikan program rehabilitasi areal bekas terbakar di Taman Nasional Berbak. Pelaksana program di lapangan adalah kelompok pencari ikan yang memiliki aktifitas di sekitar lokasi penanaman. Pemilihan kelompok ini merupakan rekomendasi dari kajian sosial ekonomi yang dilakukan oleh Universitas Jambi (UNJA).

Lokasi penanaman merupakan areal bekas terbakar yang tersebar di lima lokasi yang berbeda disepanjang sungai Air Hitam Laut dengan luas total + 20 hektar. Pemilihan ini lokasi penanaman ini merupakan hasil

38

rekomendasi dari tim teknis WIIP berdasarkan kunjungan biofisik yang telah dilakukan sebelumnya. Selain merekomendasikan lokasi penanaman, tim teknis juga mengidentifikasi adanya ancaman genangan terutama saat musim penghujan. Atas dasar inilah maka diputuskan untuk melakukan penanaman diatas gundukan buatan (artificial mound).

Kegiatan penanaman dilakukan dalam dua tahap. Penanaman pertama dilakukan pada Oktober-November 2003. Pada tahap ini, sebanyak 14.000 bibit ditanam diatas gundukan. Berdasarkan monitoring pada bulan Januari 2004, terlihat bahwa masing-masing lokasi memiliki tingkat keberhasilan 50%-70%. Namun pada bulan Mei 2004, prosentase tumbuh turun drastis hingga menjadi 5%. Kematian masal bibit terjadi karena adanya genangan yang sangat berat di lokasi, mencapai 100-200 cm di lokasi yang bebeda dalam waktu hingga lebih dari 1 bulan.

Penanaman tahap dua dilakukan pada bulan Septermber 2004. Pada tahap ini, sebanyak 6000 bibit ditanam di atas gundukan. Saat penanaman dilakukan, tinggi genangan berkisar antara 20 hingga 40 cm. Berdasarkan monitoring yang dilakukan pada Desember 2004, dilaporkan bahwa prosentase tumbuh tanaman di kelima lokasi penanaman berkisar antara 40% hingga 83% (Wibisono, 2005).

2.2. Restorasi hidrologi dan rehabilitasi di Blok A Utara - Areal Eks PLG (Proyek Lahan Gambut)

2.2.1. Restorasi hidrologi dengan sistem canal blocking

Melalui proyek CCFPI dan CKPP, WIIP memperkenalkan konsep restorasi hidrologi di Blok A Utara - Areal Eks PLG dengan cara penyekatan kanal (blocking canal) sejak tahun 2002. Masyarakat setempat menyebut kegiatan ini dengan istilah “penabatan”. Melalui kegiatan ini, diharapkan muka air tanah (yang telah jatuh) akan naik dan membasahi kembali permukaan gambut. Dengan demikian maka resiko kebakaran di lahan gambut akan berkurang. Di sisi yang lain, upaya ini juga diharapkan berkontribusi nyata dalam mengurangi laju emisi CO2 sebagai akibat dari penurunan muka air tanah.

Dari tahun 2002 hingga 2009, sebanyak 24 bendungan (tabat) berhasil dibangun dilokasi proyek. Dalam hal ini proyek CKPP memfasilitasi terbangunnya 16 buah tabat, sementara CCFPI sebanyak 8 buah. Lebar tabat bervariasi antara 10 - 15 meter, sesuai dengan jenis kanal (primer, sekunder, tersier) di areal Eks-PLG.

Dari hasil evaluasi, diketahui bahwa penabatan/blocking canal ini memberikan dampak positif bagi areal yang berada di sekitar kanal yang

39

di tabat. Sementara untuk lokasi yang jauh dari lokasi penabatan, dampak dari kegiatan ini belum terasa. Oleh karena itu, diperlukan dilakukan penabatan yang lebih banyak agar dapat memberikan pengaruh yang signifikan di seluruh wilayah proyek.

2.2.2. Rehabilitasi lahan gambut rusak di Blok A Utara Areal Eks PLG

Selain kegiatan penabatan, WIIP juga melakukan kegiatan rehabilitasi dengan menggunaan berbagai jenis tanaman setempat. Melalui proyek CCFPI (2002-2007), WIIP merealisasikan penanaman sebanyak 96.523 bibit yang terdiri dari 12 tanaman di atas areal seluas 350 hektar (Dohong, 2006). Penanaman di lakukan di beberapa lokasi target yaitu hamparan areal bekas terbakar, di atas pematang kanal, di tepi kanal, dan di atas tabat.

Penanaman kemudian dilanjutkan oleh proyek CKPP pada tahun 2007 dan 2008. Melalui proyek ini, WIIP berhasil merealisasikan penanaman di atas areal seluas 225 hektar (Wibisono, 2007 dan 2008). Penanaman ini dilakukan melalui empat tahap sebagai berikut:

Penanaman tahap pertama dilakukan di tahun 2007 di areal seluas 50 ha. Total bibit yang ditanam sebanyak 20 ribu, terdiri dari tiga jenis Jelutung rawa Dyera lowii, Belangiran Shorea belangeran dan Kepot bajuku Stenomorus spp. Berdasarkan monitoring di lapangan, prosentase tumbuh tanaman diperkirakan sebesar 65%.

Pada tahap dua, penanaman dilakukan pada Maret 2008. Dalam penanaman ini, jumlah total bibit yang ditanam di lapangan sebanyak 30.000 bibit terdiri dari 28.166 bibit Belangeran Shorea belangeran dan 1.834 bibit Pasir-pasir Stenomuros spp. Lokasi areal yang ditanami adalah 75 Ha. Dari monitoring di lapangan, dilaporkan prosentase tumbuh tanaman sebesar 60%.

Penanaman tahap tiga dilakukan pada bulan April 2008, dimana sebanyak 30.000 bibit Jelutung rawa Dyera lowii dan Belangiran Shorea belangeran ditanam di areal seluas 75 hektar. Berdasarkan monitoring di lapangan, prosentase tumbuh tanaman diperkirakan sebesar 70%.

Penanaman tahap empat dilakukan pada bulan April 2008 dimana sebanyak 20.000 bibit Pulai Alstonia pneumatophora dan Belangaera Shorea belangeran ditanam di areal seluas 50 hektar. Monitoring yang lakukan menunjukkan bahwa prosentase tumbuh tanaman cukup tinggi yaitu 82.5%.

40

2.3. Ujicoba penanaman jenis lokal di lokasi yang berbeda dari kanal

Bekerjasama dengan mahasiswa Universitas Palangkaraya, WIIP melakukan uji coba penanaman beberapa jenis tanaman lokal di area bekas terbakar di sekitar kanal primer di Blok A Utara Eks PLG. Dalam kegiatan ini, tiga jenis tanaman yaitu Jelutung Dyera polyphylla, Belangiran Shorea belangeran dan Pasir-pasir Stenomurus spp. Untuk setiap jenis, dibuat jalur tanam khusus yang didalamnya terdapat 5 plot yang masing-masing berjarak 10 m dari kanal, 200 m dari kanal, 400 m dari kanal, 600 m dari kanal dan 800 m dari kanal. Untuk setiap jalur, terdapat 100 tanaman (5 plot, masing-masing sebanyak 20 tanaman). Mengingat ujicoba ini menyertakan 3 jenis maka total bibit yang ditanam sebanyak 300.

Penanaman dilakukan pada bulan Juni 2007, sementara pengamatan dan pengukuran dilakukan hingga Desember 2007. Hasil dari ujicoba ini menunjukkan bahwa prosentase tumbuh terbaik diperlihatkan oleh Shorea belangeran yaitu 83.75%. Sementara keberhasilan tumbuh untuk dua jenis lainnya adalah 55% untuk Jelutung Dyera polyphylla dan 0.98% untuk jenis Stenomorus spp (Gandrung, 2007).

Gambar 1. Prosentase tumbuh tiga jenis tanaman dalam ujicoba

Berdasarkan pengamatan di lapangan, tidak dijumpai perbedaan signifikan dalam hal keberhasilan tumbuh pada plot yang berjarak 200 m dari kanal, 400 m dari kanal, 600 m, dan 800 m dari kanal. Namun untuk plot yang berjarak 10 m dari kanal, sebagian besar bibit mati (untuk semua jenis). Diduga kuat hal ini karena faktor substrat yang didominasi oleh tanah mineral yang berasal dari timbunan galian kanal.

Survival Rate (%) of all species (June-Dec 2007)

100 98.75

90.62587.5 85.625 84.375 83.75

100

86.2581.25

74.6875

61.25 58.12555

100

61.25

28.125

9.3754.0625 1.875 0.93750

20

40

60

80

100

120

1 2 3 4 5 6 7

Shorea balangeran Dyera lowii Stenomorus spp

41

3. Pengalaman dan pembelajaran

Dari kegiatan rehabilitasi dan restorasi yang telah dilakukan, diperoleh pengalaman dan pembelajaran yang sangat berharga dan berguna dalam menunjang program-program serupa di masa mendatang. Di bawah ini adalah beberapa hal penting dari pembelajaran tersebut.

3.1. Pengerasan tanaman (hardening off) sangat penting dilakukan dalam menunjang prosentase tumbuh tanaman di lapangan. Kegiatan ini dilakukan dengan cara mengurangi intensitas naungan dan penyiraman secara perlahan. Hal ini dimaksudkan agar bibit-bibit yang akan ditanam lebih siap untuk menghadapi kondisi nyata di lokasi penanaman. Tanpa adanya pengerasan tanaman, maka resiko stres tanaman pasca penanaman akan tinggi.

3.2. Untuk areal yang didrainase, penanaman lebih efektif dilakukan bila diintegrasikan dengan perlakukan hidrologi (penabatan). Kegiatan sebaiknya didahului dengan penabatan. Setelah penabatan, maka akan dapat diketahui lokasi mana yang tergenang berat, sedang, atau lembab. Dengan demikian, akan dapat diketahui lokasi mana yang akan dipilih untuk penanaman dan lokasi mana yang sebaiknya dihindari.

3.3. Terdapat banyak jenis tumbuhan yang potensial untuk kegiatan rehabilitasi gambut namun terkendala oleh minimnya penguasan teknik propagasi atau pembibitan. Atas dasar hal ini, penelitian dan uji coba propagasi perlu untuk didorong.

3.4. Sistem gundukan buatan (artificial mound system) terbukti efektif untuk tingkat tinggi banjir/genangan maksimal 1 meter, namun tidak berguna dalam kasus banjir yang ekstrim sebagaimana yag terjadi dalam penanaman tahap pertama di areal bekas terbakar Taman Nasional Berbak. Tinggi gundukan sebaiknya juga tidak lebih dari 50 cm, hal ini mengingat bibit akan berpotensi megalami kekeringan saat musim kemarau. Selain itu, perlu disadari bahwa penerapan system gundukan akan membutuhkan anggaran dan waktu khusus.

3.5. Apabila melibatkan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi, maka peningkatan kapasitas dalam bentuk pelatihan sangat penting untuk dilakukan. Dalam rangka menambah efektifitasnya, pelatihan sebaiknya dilakukan tidak terlalu lama dengan pelaksanaan kegiatan. Apabila jarak antara pelaksanaan training dan kegiatan terlalu lama, dikuatirkan materi-materi yang dipelajari akan berkurang bahkan hilang.

42

3.6. Dari pengamatan prosentase tumbuh tanaman di lokasi yang berbeda-beda, diperoleh suatu pola kesesuaian jenis tanaman dengan kondisi tapaknya. Untuk areal bekas terbakar, Dyera lowii, Alstonia pneumatophora, Combretocarpus rotundatus, Shorea belangeran menunjukkan performa yang meyakinkan, baik dalam hal keberhasilan tumbuh maupun pertunbuhannya. Sementara untuk areal yang basah, Perupuk Lophopetalum spp, Terentang Campnosperma spp, Shorea belangeran, and Rasau/padan Pandanus helicopus menunjukkan performa yang bagus. Hal ini dapat dijadikan referensi dalam penentuan jenis tanaman dalam kegiatan rehabilitasi gambut.

3.7. Pencegahan kebakaran sangat penting dalam menunjang keberhasilan rehabilitasi, baik saat kegiatan dilakukan atau setelahnya. Sosialisasi dan pendekatan kepada para pihak, terutama masyarakat di sekitar lokasi penanaman perlu untuk dilakukan.

3.8. Berdasarkan observasi di lapangan, terdapat indikasi kuat bahwa tumbuhan alami dapat digunakan sebagai indikator dalam penentuaan lokasi penanaman yang tepat. Observasi dilapangan menunjukkan bahwa, kegiatan rehabilitasi cenderung berhasil dilakukan pada lokasi yang ditumbuhi oleh tumbuhan paku Stenochlaena palustris dan Nephrolepis spp. Sementara untuk lokasi yang didominasi oleh Thoracostachyum sp, kegiatan rehabilitasi seringkali mengalami kegagalan (Wibisono, 2006). Dari sisi yang lain, Eijk dan Lenmann (2004) melihat adanya pola kecenderungan yang jelas antara komposisi vegetasi dengan kondisi genangan di di areal yang ditumbuhinya. Pada lokasi yang ditumbuhi oleh Pandanus helicopus, Thoracostachyum sp dan Hymenachme sp, maka kawasan ini cederung mengalami genangan yang berat. Dengan demikian, lokasi-lokasi yang diidominasi oleh ketiga jenis ini, sebaiknya tidak dipilih untuk lokasi penanaman.

3.9. Kegiatan rehabilitasi dan kajian hidrologi di TN Berbak memberikan suatu pelajaran bahwa pemahaman terhadap dinamika hidrologi sangatlah berarti dalam mendukung kegiatan rehabilitasi di lahan gambut. Pemahaman akan pola dan fluktuasi genangan atau muka air tanah sangat membantu pelaksana kegiatan dalam membuat perencanaan yang lebih baik dan efektif, terutama dalam menyusun tata waktu kegiatan mulai dari persiapan hingga penanaman.

43

Gambar 2. Ilustrasi sederhana aplikasi penanaman di atas gundukan dan

pengaturan tahapan kegiatan berdasarkan dinamika genangan air

(Wibisono, 2004)

DAFTAR PUSTAKA

Dohong, A. 2006. Laporan akhir Kegiatan Rehabilitasi Komponen WBS 130. Climate Change Forest and Peatlands in Indonesia (CCFPI). Wetlands International - Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC).

Eijk.P.V., P. Leenman. 2005. Regeneration of fire degraded peatswamp forest in BerbakNational Park and implementation in replanting programmes.Water for Food & Ecosystems Programme project on: “Promoting the river basin and ecosystem approach for sustainable management of SE Asian lowland peatswamp forest” Case study Air Hitam Laut river basin, Jambi Province, Indonesia. WIIP-IAC Wageningen-Alterra-Arcadis-LEI Wageningen-Delf Hydraulic

Gandrung, A.Y., I.T.C. Wibisono. 2007. Laporan akhir ujicoba penanaman jenis lokal di sekitar saluran air (kanal) di Blok A Utara, Areal Eks PLG. CKPP.

Giesen, W. (1991) - Berbak Wildlife Reserve, Jambi, Sumatra. Final Draft Survey Report. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report No. 13, Bogor.

Giesen, W. 2004. Causes of Peatswamp Forest Degradation in Berbak NP, Indonesia and Recommendations for Restoration. Water for Food

44

and Ecosystem Programme project on ”Promoting the river basin and ecosystem approach for sustainable management ofSE Asian lowland peatswamp forest: Case study Air Hitam Laut river basin, Jambi Province, Indonesia. International Agriculture Center/Wetlands International - Indonesia Programme.

Hooijer, A. S. Page, J. G. Canadell, M. Silvius, J. Kwadijk, H. Wosten, and J. Jauhiainen. 2010. Current and future CO2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences, 7, 1505–1514, 2010

Kelompok Kerja Pengelolaan Lahan Gambut Nasional (KKPLGN). 2006. Strategi dan rencana tindak nasional pengelolaan lahan gambut berkelanjutan (SRTNPLGB). Dirjen Bangda, Departemen Dalam Negeri RI.

Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo. 2003. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Pulau Sumatera / Maps of Area of Peatland Distribution and Carbon Content in Sumatera, 1990 – 2002. Wetlands International - Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC).

Wahyunto, Bambang Heryanto, Hasyim Bekti dan Fitri Widiastuti. 2006. Peta-Peta Sebaran Lahan Gambut, Luas dan Kandungan Karbon di Papua / Maps of Peatland Distribution, Area and Carbon Content in Papua, 2000 - 2001.Wetlands International – Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC)

Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo. 2004. Peta Sebaran Lahan Gambut, Luas dan Kandungan Karbon di Kalimantan / Map of Peatland Distribution Area and Carbon Content in Kalimantan, 2000 – 2002. Wetlands International - Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC).

Wibisono, I.T.C, L.Siboro, INN Suryadipura. 2004. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Wetlands International Indonesia Programme – Wildlife Habitat Canada. Bogor

Wibisono, I.T.C. 2005. Laporan kegiatan rehabilitasi areal bekas terbakar di Taman Nasional Berbak. Wetlands International Indonesia Programme.

Wibisono, I.T.C., Wardoyo. 2007. Laporan Final komponen 4C. Proyek CKPP. Bogor.

45

PENDEKATAN EDAFOLOGI DALAM REHABILITASI DAN RESTORASI HUTAN DAN LAHAN RAWA GAMBUT TERDEGRADASI*

Bastoni**

*Makalah pada Workshop ”Stakeholder Consultation the Application of Method and Technologies to Enhance the Restoration of PSF Ecosystem”,

Palembang, 25 April 2013

**Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK Kerusakan (degradasi) hutan dan lahan rawa gambut disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu: penebangan hutan, kebakaran dan konversi lahan. Untuk meningkatkan keberhasilan rehabilitasi dan restorasinya dibutuhkan pemahaman yang menyeluruh tentang karakteristik lahan yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetasi di atasnya (pendekatan edafologi). Berdasarkan hasil kajian dan penelitian yang telah dilakukan pada hutan dan lahan rawa gambut di Sumatera Selatan dan Jambi, karakteristik lahan yang paling menentukan pertumbuhan vegetasi adalah kedalaman gambut dan kedalaman genangan air. Kombinasi kedua karakter lahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) tipologi lahan rawa gambut terdegradasi, yaitu: (1) Gambut dangkal - Genangan air dangkal, (2) Gambut dangkal - Genangan air sedang sampai dalam, (3) Gambut sedang sampai dalam - Genangan air dangkal, (4) Gambut sedang sampai dalam - Genangan air sedang sampai dalam. Pola dan teknik rehabilitasi dan restorasi yang digunakan akan berbeda untuk setiap tipologi lahan. Secara umum tingkat kesulitan dan input rehabilitasi dan restorasi akan meningkat pada lahan rawa gambut dengan genangan air yang makin dalam dan gambut yang makin dangkal.

Kata kunci: hutan, lahan, rehabilitasi, restorasi, genangan air, kedalaman gambut

I. PENDAHULUAN

Luas lahan rawa gambut di pulau Sumatera sekitar 7,2 juta hektar dan 1,48 juta hektar diantaranya terdapat di provinsi Sumatera Selatan (Wahyunto et. al, 2005). Pada awalnya tutupan lahan alami dari lahan rawa gambut adalah hutan yang membentuk ekosistem khas dan unik

46

yaitu hutan rawa gambut (peat swamp forest). Sejalan dengan pertambahan penduduk maka tekanan terhadap sumberdaya hutan makin meningkat. Dari lahan rawa gambut seluas 13 juta hektar di Sumatera dan Kalimantan, saat ini hutan alam primer yang tersisa tinggal 4 persen (Miettinen dan Liew, 2010).

Penebangan hutan dan konversi lahan adalah aktivitas utama yang turut menyumbang kerusakan hutan dan lahan rawa gambut. Kebakaran makin mempercepat kerusakan dan kehilangan sumberdaya hutan rawa gambut sehingga fungsi ekologis hutan menjadi sangat menurun. Kerusakan hutan rawa gambut juga menjadi perhatian internasional karena disinyalir menjadi pengemisi karbon dalam jumlah besar yang turut menyumbang pemanasan global. Luas hutan dan lahan rawa gambut yang terbakar pada tahun 1997 mencapai 2 juta hektar dengan emisi karbon ditaksir mencapai 0,81 – 2,57 giga ton (Page et al., 2002)

Saat ini kondisi hutan rawa gambut sebagian besar sudah terdegradasi. Untuk pemulihannya dibutuhkan upaya rehabilitasi dan restorasi. Upaya tersebut mulai banyak dilakukan baik oleh instansi pemerintah, swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Pada makalah ini disajikan hasil-hasil kajian dan penelitian rehabilitasi dan restorasi hutan dan lahan rawa gambut terdegradasi yang telah dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Fokus pembahasan ditujukan untuk memahami karakteristik hutan dan lahan rawa gambut terdegradasi serta teknik rehabilitasi dan restorasi yang diperlukan.

II. DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN RAWA GAMBUT

Hutan rawa gambut tergolong tipe ekosistem yang mudah rusak (fragile). Kerusakannya terutama disebabkan oleh (1) penebangan hutan, (2) kebakaran dan (3) konversi lahan (Hoojier et al., 2006; Jaenicke et al., 2010).

Dampak penebangan terhadap degradasi hutan sangat ditentukan oleh intensitas dan teknik pembalakan (logging) dengan konsentrasi kerusakan terutama terjadi pada sistem tegakan hutan. Kerusakannya bersifat sementara dan dapat diperbaharui apabila pada tegakan tinggal terdapat pohon dan permudaan yang sehat dalam jumlah cukup. Selain itu kerusakan dapat dipulihkan dengan kegiatan rehabilitasi dan penanaman pengayaan (enrichment planting) yang dilakukan pada areal bekas tebangan.

47

Gambar 1. Hutan rawa gambut bekas tebangan di daerah Kumpeh Ilir – Jambi

Kerusakan yang disebabkan oleh kebakaran hutan berlangsung sangat cepat dengan dampak negatif yang serius. Data dari 2 HPH di Sumatera Selatan dan Jambi menunjukkan luas areal hutan rawa gambut yang terbakar pada musim kemarau panjang tahun 1997 selama 3 bulan (September – Nopember) mencapai 33.455 hektar (Bastoni dan Sianturi, 2000). Dampak kebakaran hutan rawa gambut mengakibatkan kerusakan yang lebih berat dibandingkan dangan dampak eksploitasi hutan karena kerusakan tidak saja terjadi pada tegakan hutan tetapi juga terjadi pada tanah (gambut). Kerusakan pada kedua sistem tersebut akan menurunkan produktivitas lahan dan menurunkan daya dukung lahan dalam menopang pertumbuhan vegetasi di atasnya.

Gambar 1. Hutan rawa gambut bekas kebakaran di daerah Kumpeh Ilir – Jambi

Pada kebakaran hutan yang ringan, tumbuhan yang terbakar masih dapat pulih kembali dengan cara penumbuhan kembali (resprouting). Sementara itu pada tingkat kebakaran yang parah, kemungkinan pulihnya kembali suatu tanaman yang telah terbakar akan sangat kecil. Pada kondisi seperti ini, sering dijumpai areal yang kosong tak bervegetasi (Wibisono et al., 2005). Selain itu, kebakaran lahan gambut juga

48

dikhawatirkan akan meningkatkan pelepasan gas CO2 sehingga akan menimbulkan pencemaran udara yang berbahaya bagi kesehatan mahluk hidup dan menyebabkan pemanasan global (Noor, 2001).

Gambar 3. Konversi lahan rawa gambut untuk HTI di Kabupaten OKI - Sumatera

Selatan

Kerusakan yang disebabkan oleh konversi hutan dan lahan gambut lebih bersifat permanen akibat adanya penurunan permukaan lapisan gambut (subsidence). Penurunan terjadi karena suplai bahan organik penyusun gambut terhenti akibat penebangan habis pohon-pohon penyusun tegakan hutan dalam kegiatan land clearing. Subsidensi gambut pada tahun pertama setelah pembuatan saluran drainase berkisar antara 50 – 70 cm pada proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah (Mulyanto, 2000).

III. KARAKTERISTIK HUTAN RAWA GAMBUT ERDEGRADASI

A. Hutan Rawa Gambut Bekas Tebangan Hutan rawa gambut bekas tebangan yang tersisa saat ini sudah sangat jarang, karena sebagian besar hutan sekunder bekas tebangan telah mengalami kebakaran.

1. Karakteristik Vegetasi Hutan rawa gambut bekas tebangan dicirikan oleh penurunan

kerapatan tegakan hutan akibat pemanenan pohon yang mempunyai diameter batang > 40 cm sesuai ketentuan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Kerusakan yang terjadi berupa pohon roboh, patah batang dan patah cabang akibat tertimpa oleh pohon yang ditebang. Selain itu terbentuk areal terbuka di areal penyaradan kayu dan jalan logging. Pada areal terbuka setelah beberapa bulan akan muncul suksesi tumbuhan bawah yang didominasi oleh pakis-pakisan, terutama pakis udang

49

(Stenochlaena palustris). Terbentuknya areal terbuka akan mempercepat pertumbuhan pohon tingkat semai, pancang dan tiang karena tersedia ruang tumbuh dan cahaya yang cukup setelah penebangan pohon-pohon besar.

2. Karakteristik Tanah (Gambut) Pada hutan rawa gambut bekas tebangan, kerusakan tanah terjadi

pada jalan sarad dan jalan logging. Kerusakannya relatif ringan karena umumnya perusahaan HPH tidak membuat saluran drainase. Namun demikian di beberapa daerah, penebangan hutan rawa gambut didahului oleh pembuatan parit untuk penyaradan kayu bulat. Parit yang dibuat meskipun kecil dan dangkal tetapi dapat mencapai panjang puluhan kilometer. Pembuatan parit tersebut akan mendrainase air dan memicu bahaya susulan di musim kemarau yaitu kebakaran hutan yang akan merusak tanah dan tegakan hutan.

3. Karakteristik Hidrologi (Genangan Air) Pada hutan rawa gambut bekas tebangan, kondisi hidrologi

terutama fluktuasi genangan air musiman, relatif tidak berbeda dengan kondisi hutan primer. Perubahan kondisi hidrologi yang drastis baru akan dijumpai pada areal hutan yang telah dibangun parit-parit untuk transportasi kayu. Umumnya dijumpai pada kawasan hutan yang banyak aktivitas penebangan liarnya karena mereka mengandalkan pengeluaran kayu melalui parit-parit tersebut.

B. Hutan Rawa Gambut Bekas Kebakaran

Hutan rawa gambut bekas kebakaran memiliki luasan yang cukup besar akibat banyaknya kawasan hutan yang telah mengalami kebakaran dan kebakaran berulang (multiple fire) pada musim kemarau. Hutan rawa gambut yang telah terbakar dicirikan oleh terbentuknya areal terbuka karena hampir seluruh pohon penyusun tegakan hutan mati terbakar.

Hutan rawa gambut bekas kebakaran umumnya memiliki genangan air yang lebih dalam karena terdapat lapisan gambut yang hilang terbakar. Hasil pengukuran lapisan gambut yang terbakar pada tahun 1997 di daerah Air Sugihan Sumatera Selatan dan daerah Kumpeh Ilir Jambi berkisar antara 50 - 120 cm (Bastoni dan Sianturi, 2000).

Berdasarkan hasil kajian pada hutan rawa gambut bekas kebakaran di Sumatera Selatan dan Jambi, karakteristik lahan yang paling menentukan pertumbuhan vegetasi adalah kedalaman gambut dan

50

kedalaman genangan air. Kombinasi kedua karakter lahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) tipologi lahan rawa gambut bekas kebakaran, yaitu: 1. Gambut dangkal – Genangan air dangkal 2. Gambut dangkal – Genangan air sedang sampai dalam 3. Gambut sedang sampai dalam - Genangan air dangkal 4. Gambut sedang sampai dalam – Genangan air sedang sampai dalam

Kriteria kedalaman gambut yang digunakan mengikuti klasifikasi yang sudah umum digunakan, yaitu: a. Gambut dangkal (kedalaman gambut ≤ 100 cm, b. Gambut sedang (kedalaman gambut 101-200 cm), c. Gambut dalam (kedalaman gambut 201-300 cm), d. Gambut sangat dalam (kedalaman gambut ≥ 301 cm. Jenis-jenis vegetasi yang tumbuh pada hutan rawa gambut sangat beragam dan dominasi setiap jenis dipengaruhi oleh kedalaman gambut tersebut.

Kriteria kedalaman genangan air yang digunakan adalah: a. Genangan dangkal (kedalaman genangan ≤ 25 cm), b. Genangan sedang (kedalaman genangan 26-50 cm), c. Genangan dalam (kedalaman genangan 51-100 cm), d. Genangan sangat dalam (kedalaman genangan ≥ 101 cm). Penyusunan kriteria genangan air tersebut didasarkan pada hambatan suksesi tumbuhan bawah dan pohon, hambatan perkecam-bahan biji dan tingkat kesulitan dalam rehabilitasi dan restorasi. Berdasarkan hasil kajian dan penelitian yang telah dilakukan di Sumatera Selatan dan Jambi, hambatan suksesi vegetasi dan tingkat kesulitan rehabilitasi akan meningkat pada areal hutan rawa gambut bekas kebakaran yang memiliki genangan air makin dalam.

Gambar 4. Areal terbuka yang terbentuk 6 bulan setelah kebakaran tahun 1997 pada hutan rawa gambut di daerah Air Sugihan – Sumatera Selatan

51

Gambar 5. Areal dengan genangan air yang lebih dalam setelah kebakaran tahun 1997 pada hutan rawa gambut di daerah Air Sugihan – Sumatera Selatan

C. Hutan dan Lahan Rawa Gambut yang Telah Dikonversi

Penebangan hutan melalui pemberian konsesi HPH pada hutan rawa gambut mulai dilakukan pada dekade 1980-an sampai akhir 1990-an. Ada 18 perusahaan HPH yang pernah beroperasi pada hutan rawa gambut di Sumatera Selatan (Armaizal, 2012). Penurunan drastis aktivitas penebangan hutan oleh HPH terjadi setelah kebakaran besar tahun 1997.

Konversi hutan dan lahan rawa gambut untuk HTI dan perkebunan mulai banyak dilakukan pada awal tahun 2000 sampai saat ini. Beberapa pertimbangan yang mendasari konversi, diantaranya adalah hutan rawa gambut yang telah terbakar sukar dipulihkan melalui permudaan alam, pemulihan akan dapat dipercepat dengan permudaan buatan melalui pembangunan HTI. Tuntutan pengembangan wilayah untuk memacu pertumbuhan ekonomi pada daerah-daerah yang wilayahnya didominasi oleh lahan rawa gambut juga menjadi pertimbangan utama konversi.

Hutan dan lahan rawa gambut yang telah dikonversi sebagian besar merupakan kawasan hutan produksi, hutan produksi konversi dan areal penggunaan lain yang telah mengalami kebakaran. Ciri utama lahan rawa gambut yang telah dikonversi adalah perubahan kondisi hidrologi yang drastis dari areal yang tergenang berubah menjadi lahan yang tidak tergenang akibat pembuatan saluran drainase. Perubahan tersebut memang dikehendaki karena komoditi yang diusahakan sebagian besar merupakan tanaman lahan kering yang rentan terhadap genangan air, seperti Acacia crassicarpa dan A. mangium untuk HTI serta kelapa sawit dan karet untuk perkebunan.

52

Perubahan karakteristik habitat dari tergenang menjadi tidak tergenang setelah drainase merupakan kondisi yang kurang sesuai untuk pertumbuhan jenis-jenis pohon lokal (indigeneous species) hutan rawa gambut. Rehabilitasi dan restorasi lahan rawa gambut yang telah dikonversi membutuhkan input yang lebih besar terutama untuk pembasahan kembali (rewetting) lahan yang terlanjur kering melalui pembangunan bendungan dan penyekatan parit, serta input untuk pemilihan jenis dan pemeliharaan tanaman yang lebih kompleks.

IV. POLA DAN TEKNIK REHABILITASI DAN RESTORASI HUTAN RAWA GAMBUT TERDEGRADASI

Untuk menyamakan persepsi dalam penggunaan istilah rehabilitasi dan restorasi berdasarkan tingkat degradasi dapat digunakan “Anak Tangga Degradasi Hutan Rawa Gambut” yang disusun oleh Chazdon (2008) dalam Euroconsult MMD (2009) seperti disajikan pada diagram berikut:

Areal hutan dan lahan rawa gambut yang terdegradasi berat dapat dipulihkan melalui kegiatan reklamasi dan rehabilitasi. Areal yang terdegradasi sedang dapat dipulihkan dengan kegiatan reboisasi untuk tujuan komersial dan reboisasi dengan jenis-jenis pohon lokal. Sedangkan areal yang terdegradasi ringan dapat dipulihkan dengan permudaan buatan dan permudaan alam. Semakin berat tingkat degradasi, input biaya makin besar dan waktu pemulihan makin lama karena kondisi areal sangat miskin biodiversitas dan sangat rendah dalam menyediakan jasa-jasa lingkungan. Teknik pembibitan, penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan untuk rehabilitasi dan restorasi hutan dan lahan rawa gambut dapat mengacu pada Bastoni (2008), Wibisono et al., 2005 dan sumber pustaka lainnya yang relevan.

53

A. Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Rawa Gambut Bekas Tebangan

BPK Palembang telah melakukan penelitian dan uji coba rehabilitasi hutan rawa gambut bekas tebangan pada tahun 1995 – 2000. Dari hasil penelitian dan ujicoba tersebut, secara umum hutan rawa gambut bekas tebangan dapat diklasifikasikan menjadi: 1. Areal bekas tebangan dengan tingkat kerusakan ringan (jumlah pohon

berdiameter > 10 cm pada tegakan tinggal > 100 batang/ha). 2. Areal bekas tebangan dengan tingkat kerusakan sedang (jumlah

pohon berdiameter > 10 cm pada tegakan tinggal berkisar antara 51 - 100 batang/ha).

3. Areal bekas tebangan dengan tingkat kerusakan berat (jumlah pohon berdiameter > 10 cm pada tegakan tinggal ≤ 50 batang/ha).

Pola dan teknik rehabilitasi dan restorasi yang dapat diterapkan pada masing-masing tingkat kerusakan disajikan pada tabel berikut:

Tingkat Kerusakan

Saran pemulihan melalui kegiatan rehabilitasi dan restorasi

Ringan - Permudaan alam (natural regeneration) - Pemeliharaan tegakan tinggal dan permudaan alam

melalui pembebasan tumbuhan bawah dan penjarangan

Sedang - Permudaan alam (natural regeneration) - Permudaan buatan (assisted natural regeneration)/

penanaman pengkayaan (Enrichment planting) pada areal kosong dengan teknik penanaman dalam kelompok (group planting)

- Pemeliharaan tegakan tinggal dan permudaan alam melalui pembebasan tumbuhan bawah

Berat - Permudaan alam (natural regeneration) - Permudaan buatan (assisted natural regeneration)/ pe-

nanaman pengkayaan (Enrichment planting) dengan tek-nik penanaman dalam jalur (line planting)

- Pemeliharaan tegakan tinggal dan permudaan alam melalui pembebasan tumbuhan bawah

B. Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Rawa Gambut Bekas Kebakaran

BPK Palembang telah melakukan penelitian dan uji coba rehabilitasi hutan rawa gambut bekas kebakaran pada tahun 2000 - 2009. Hasil penelitian dan uji coba yang telah diperoleh antara lain adalah pengelompokan hutan rawa gambut bekas kebakaran ke dalam 4 tipologi.

54

Pengelompokan tersebut bertujuan untuk memudahkan pengenalan karakteristik lahan di lapangan dan memudahkan penentuan teknik yang tepat untuk meningkatkan keberhasilan rehabilitasi dan restorasi yang akan dilakukan.

1. Gambut Dangkal – Genangan Air Dangkal

Lahan rawa gambut yang terdapat di Sumatera umumnya terdapat pada wilayah pasang surut dan banyak dijumpai tanah mineral yang mengandung pirit membentuk lahan bersulfat masam. Lahan dengan gambut dangkal (< 100 cm) apabila tidak mengandung pirit relatif mudah untuk direhabilitasi, tetapi apabila mengandung pirit maka rehabilitasi akan menjadi lebih sulit karena pengelolaan dan pilihan jenis tanaman rehabilitasi terbatas. Genangan dangkal (< 25 cm) juga akan memudahkan upaya rehabilitasi yang dilakukan karena hambatan pertumbuhan vegetasi menjadi lebih sedikit.

Areal lahan rawa gambut bekas kebakaran yang memiliki gambut dangkal dan genangan dangkal didahului oleh suksesi vegetasi dari jenis-jenis tumbuhan bawah seperti purun (Fimbristylus sp.) dan pakis (Stenochlaena palustris). Pada lahan rawa gambut bersulfat masam suksesi setelah kebakaran didominasi oleh permudaan alam gelam yang sangat melimpah (kerapatan kecambah gelam 1.000 – 1.500 batang/m2) sampai terbentuk tegakan hutan gelam yang sangat rapat (2.000 – 5.000 pohon/ha). Pola dan teknik rehabilitasi yang dapat dilakukan adalah pemeliharaan permudaan gelam yang ada kemudian diperkaya dengan jenis-jenis pohon komersial lain seperti belangeran (Shorea belangeran), jabon (Antochepalus cadamba) dan jenis-jenis lain yang sesuai dengan kondisi lahan. Pola Agrosilvofishery juga dapat diterapkan untuk melipatgandakan hasil (sayuran, ikan) dalam satu hamparan lahan.

2. Gambut Dangkal – Genangan Air Sedang sampai Dalam

Suksesi vegetasi pada lahan rawa gambut bekas kebakaran dengan tipe ini didominasi oleh jenis rumput-rumputan, terutama rumput kumpai (Leersia hexandra). Pertumbuhan yang cepat dari jenis rumput tersebut akan menyumbang pembentukan bahan gambut baru pada areal yang terbakar. Pola dan teknik rehabilitasi dan restorasi yang dapat diterapkan pada lahan ini adalah penyiapan lahan dengan gundukan, pemilihan jenis dan penanaman jenis yang sesuai dengan areal terbuka dan genangan dalam. Gelam (Melaleuca leucadendron), perepat (Combretocarpus rotundatus) dan mahang (Macaranga sp.) adalah jenis-jenis yang dapat digunakan sebagai tanaman rehabilitasi.

55

3. Gambut Sedang sampai Dalam – Genangan Air Dangkal

Suksesi vegetasi setelah kebakaran didominasi oleh tumbuhan bawah dari beragam jenis seperti: pakis udang, pakis tanah, purun, melastoma serta jenis-jenis pohon pionir seperti gelam, perepat, geronggang (Cratoxylon sp.) dan beriang (Ploiarum alternifolium). Lahan rawa gambut bekas kebakaran dengan tipe ini termasuk yang relatif mudah direhabilitasi dan direstorasi karena hampir semua jenis pohon rawa gambut dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

Pola dan teknik rehabilitasi yang dapat diterapkan adalah permudaan buatan untuk pengkayaan jenis-jenis pohon komersial hutan rawa gambut dengan teknik gundukan dan penanaman dalam jalur (line planting). Jelutung (Dyera lowii), ramin (Gonystylus bancanus), meranti (Shorea spp.), punak (Tetrameristra glabra), perupuk (Lophopetalum sp.) dan jenis lainnya dapat digunakan untuk tanaman rehabilitasi dan restorasi.

4. Gambut Sedang sampai Dalam – Genangan Air Sedang sampai Dalam

Suksesi vegetasi didominasi oleh jenis tumbuhan bawah yang mampu baradaptasi dengan genangan dalam seperti purun dan rumput kumpai. Jenis-jenis pohon pionir yang mampu tumbuh pada genangan dalam seperti gelam dan perepat akan mendominasi permudaan alam pada lahan tipe ini dan mampu membentuk hutan perepat atau hutan gelam seperti hutan monokultur.

Lahan rawa gambut bekas kebakaran dengan tipe ini relatif sukar direhabilitasi karena hambatan genangan air. Perepat dan gelam adalah jenis yang dapat digunakan untuk tanaman rehabilitasi. Pola dan teknik rehabilitasi yang dapat dilakukan melalui permudaan alam jenis-jenis pionir yang ada (perepat dan gelam) atau dengan permudaan buatan melalui penerapan teknik gundukan dan penanaman dalam jalur.

C. Rehabilitasi dan Restorasi Lahan Rawa Gambut yang Telah Dikonversi

BPK Palembang telah melakukan penelitian dan uji coba rehabilitasi hutan rawa gambut yang telah dikonversi dari tahun 2010-sekarang. Ciri umum lahan rawa gambut yang telah dikonversi adalah adanya saluran drainase untuk menurunkan genangan air lahan sehingga muka air tanah dikondisikan selalu lebih rendah dari permukaan gambut. Kondisi ini membawa implikasi pada perubahan kondisi habitat yang lebih kering yang kurang sesuai untuk restorasi jenis-jenis pohon lokal. Penurunan muka air yang berlebihan dapat diatasi dengan penerapan pengelolaan air

56

(water management) yang tepat. Tujuannya untuk menghindari kebanjiran/genangan air di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.

Pengelolaan air pada lahan rawa gambut yang telah didrainase tidak selalu dapat mempertahankan muka air pada batas yang dikehendaki. Kondisi yang sering terjadi pada musim kemarau adalah muka air turun sampai lebih dari 100 cm sehingga permukaan gambut menjadi sangat kering. Selain berbahaya karena lahan menjadi lebih rawan kebakaran, juga dapat menghambat pertumbuhan tanaman rehabilitasi. Hasil penelitian dan uji coba menunjukkan tingkat kematian tanaman rehabilitasi meningkat pada kondisi muka air tanah di musim kemarau > 100 cm. Penurunan muka air tanah yang rendah juga memacu dekomposisi gambut yang menyumbang pada peningkatan emisi gas rumah kaca (Fahmudin dan Subiksa, 2008).

Pola dan teknik rehabilitasi yang dapat diterapkan adalah melalui pengelolaan air yang tepat dan ketat untuk menghindari drainase berlebihan serta pembuatan bendungan/penyekatan parit (saluran drainase) untuk pembasahan (rewetting) kembali lahan yang terlanjur kering. Setelah kelembaban lahan yang sesuai diperoleh maka dapat dilakukan penyiapan lahan dan penanaman jenis-jenis pohon yang sesuai untuk rehabilitasi dan restorasi.

V. PENUTUP

Metode dan teknologi rehabilitasi dan restorasi hutan dan lahan gambut telah banyak dikembangkan oleh beragam lembaga, seperti lembaga pemerintah (Badan Litbang Kehutanan), lembaga non pemerintah (Wetlands International -Indonesia Program, WWF Indonesia Program, Yayasan BOS (Borneo Orangutan Survival), CIMTROP)), Euroconsult dan lain-lain. Pemangku kepentingan yang mempunyai kewajiban merehabilitasi dan merestorasi hutan dan lahan rawa gambut juga cukup beragam dan tersebar mulai dari instansi pemerintah (Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten), swasta (perusahaan HTI dan perkebunan) dan kelompok masyarakat.

Metode dan teknologi rehabilitasi dan restorasi lahan gambut yang telah tersedia dapat membantu para pemangku kepentingan untuk melaksanakan kewajiban rehabilitasi dan restorasi dengan baik. Kesulitan dalam mengakses metode dan teknologi yang ada dapat diatasi melalui kerjasama antara lembaga penelitian dengan para pemangku kepentingan

57

sehingga penerapan teknologi yang tersedia dapat segera dilakukan. Dari proses tersebut akan ada pengujian, perbaikan dan pembaharuan metode dan teknologi rehabilitasi dan restorasi lahan gambut sehingga pada akhirnya akan diperoleh metode dan teknologi yang dapat diaplikasikan secara efektif dan efisien dalam skala yang lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA

Armaizal. 2012. Kebijakan dan Praktek Pengelolaan HTI Lestari dan

Pengelolaan Areal Konservasi, Tanaman Unggulan dan Tanaman Kehidupan di HTI PT. SBA Wood Industries. Prosiding Workshop ITTO Project RED-SPD 009/09 Rev.2(F). Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.

Bastoni dan A. Sianturi. 2000. Dampak Kebakaran Hutan Rawa Gambut Terhadap Tanah dan Tegakan Hutan serta Implikasinya dalam Rehabilitasi Areal Bekas Kebakaran. Prosiding Seminar nasional Pengelolaan Hutan Rawa Gambut. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Bastoni. 2008. Teknik Budidaya Jenis-jenis Pohon Lokal Hutan Rawa Gambut. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor.

Euroconsult Mott MacDonald. 2009. Guidelines for the Rehabilitation of Degraded Peat Swamp Forests in Central Kalimantan. Master Plan for the Conservation and Development of the Ex Mega Rice Project in Central Kalimantan. 2nd Draft. Government of Indonesia – Royal Netherlands Embassy. Jakarta.

Fahmudin, A. dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan ICRAF. Bogor.

Hoojier, A., M. Silvius, H. Wosten, S. Page. 2006. Peat-CO2, Assesment of CO2 emissions from drained peatlands in South East Asia. Delft Hydraulics Report Q3943 (2006).

Jaenicke, J., H. Wosten, and A. budiman. 2010. Planning Hidrological Restoration of Peatlands in Indonesia to Mitigate Carbon Dioxide Emissions. www.springerlink.com

58

Miettinen, J., S. C. Liew. 2010. Status of Peatland Degradation and Development in Sumatra and Kalimantan. Royal Swedish Academy of Sciences. www.springerlink.com

Mulyanto, B. 2000. Pendekatan dan Strategi Pemanfaatan Hutan Rawa Gambut Ex PLG Sejuta Hektar. Dalam Pros. Seminar Nasional Pengelolaan Hutan Rawa Gambut. Puslitbang Hutan dan Konservasi alam. Bogor.

Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Page, S.E., F. Siegert, J.o. Riley, H,D.V. Boem, A. Jaya and S. Limin. The Amount of carbon released from peat and forest Fires in Indonesia during 1997. Nature

Wahyunto, S. Ritung, Suparto, H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.

Wibisono, I.T.C., Labueni Siboro dan I Nyoman N. Suryadiputra. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.

MAKALAH PENUNJANG

60

61

PENDEKATAN PENGHIDUPAN PEDESAAN BERKELANJUTAN DALAM PENGELOLAAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT

Bondan Winarno

Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Fungsi sosial, ekonomi, dan ekologi hutan dan lahan gambut terus berkurang akibat degradasi dan deforestasi yang cukup masif. Degradasi dan deforestasi hutan dan lahan gambut saat ini juga telah memengaruhi penghidupan masyarakat yang berada di sekitarnya. Ketidakberdayaan dan kemiskinan menjadi dua hal yang dekat dengan masyarakat. Upaya pengelolaan hutan dan lahan gambut perlu melibatkan peran aktif masyarakat untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji pendekatan penghidupan pedesaan berkelanjutan dalam pengelolaan hutan dan lahan gambut. Perubahan penghidupan masyarakat mengikuti perubahan kondisi hutan dan lahan gambut yang berada di sekitarnya. Hal tersebut terjadi karena ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan lahan gambut di sekitarnya. Peningkatan kapabilitas dan aset masyarakat menjadi hal mendasar dalam upaya memperbaiki penghidupan masyarakat. Strategi diversifikasi penghidupan menjadi strategi yang dapat dikembangkan dalam upaya pengelolaan hutan dan lahan gambut yang lebih baik.

Kata kunci: penghidupan, masyarakat, hutan dan lahan gambut, kapabilitas, diversifikasi

I. Pendahuluan

Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi yang memiliki areal lahan gambut yang cukup luas di Pulau Sumatera. Luas lahan gambut di Sumatera Selatan mencapai 1.262.385 ha atau sekitar 19,61% dari total luas lahan gambut di Sumatera yang mencapai 6.436.649 ha (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, 2011). Penutupan lahan gambut yang berupa hutan memiliki fungsi sosial dan ekonomi yang penting bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Hasil hutan kayu dan non kayu serta hasil ikan secara tradisional merupakan sumber pendapatan utama masyarakat di sekitar lahan gambut (Najiyati

62

et al., 2005). Selain itu, lahan gambut juga memiliki fungsi yang penting sebagai sumber keanekaragaman hayati, penyeimbang siklus hidrologi, dan penambat karbon yang dapat mengurangi efek gas rumah kaca di atmosfir (Agus & Subiksa, 2008; Hooijer et al., 2010).

Kondisi lahan dan hutan rawa gambut di Sumatera Selatan cukup memprihatinkan. Degradasi dan deforestasi terjadi dalam skala yang luas akibat kegiatan eksploitasi hasil hutan kayu yang berlebihan, kebakaran, dan konversi lahan untuk penggunaan lain (Lubis, 2006; Miettinen et al., 2011). Deforestasi telah menurunkan persentase penutupan lahan berhutan di lahan gambut Sumatera dari sekitar 75% menjadi 28% dalam kurun waktu 1990 sampai dengan 2010 (Miettinen et al., 2011). Hasil riset tersebut juga menunjukkan bahwa 74% hutan gambut di Sumatera Selatan mengalami deforestasi dalam kurun waktu tersebut.

Upaya rehabilitasi dan konservasi hutan dan lahan gambut yang mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat menjadi hal yang mengemuka untuk mengatasi permasalahan biofisik dan sosial ekonomi pada hutan dan lahan gambut. Degradasi dan deforestasi hutan dan lahan gambut juga telah menghilangkan sumber pendapatan penting bagi masyarakat di lahan gambut dan membuat mereka rentan terhadap kemiskinan. Menurut Brown (2004) dalam Wollenberg et al. (2004), sekitar 48,8 juta orang tinggal di sekitar kawasan hutan, 10,2 juta diantaranya tergolong miskin. Pendekatan penghidupan pedesaan berkelanjutan dapat menjadi konsep yang digunakan dalam upaya pengelolaan lahan gambut yang mempertimbangkan kondisi biofisik dan kesejahteraan masyarakat.

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji pendekatan penghidupan pedesaan berkelanjutan dalam pengelolaan hutan dan lahan gambut. Mata pencaharian tersebut berkelanjutan bila mampu bertahan dan mengatasi berbagai tekanan permasalahan dan gangguan serta mampu mempertahankan dan meningkatkan kapabilitas dan aset yang dimiliki masyarakat tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam (Chambers & Conway, 1991). Konsep dan strategi mata pencaharian masyarakat desa berkelanjutan dari Chambers dan Conway (1991) dan Scoones (1998) menjadi dasar dalam pengelolaan lahan gambut yang melibatkan peran aktif masyarakat.

II. Penghidupan Masyarakat di Sekitar Hutan dan Lahan Gambut

Hutan dan lahan gambut merupakan ekosistem unik yang memiliki fungsi ekologis dan sosial ekonomi penting, namun rentan terhadap

63

kerusakan. Sumberdaya hutan dan lahan gambut merupakan sumber pendapatan penting bagi kehidupan masyarakat. Perubahan ekosistem dan kerusakan hutan dan lahan gambut akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat pedesaan yang berada di sekitarnya. Degradasi dan deforestasi mengakibatkan perubahan terhadap pola mata pencaharian masyarakat di sekitar hutan dan lahan gambut. Berikut disampaikan secara ringkas mengenai sumber-sumber mata pencaharian masyarakat di hutan dan lahan gambut.

a. Perikanan

Ketika era pengusahaan hutan belum dilakukan (sebelum era 1970-an), sektor perikanan secara umum menjadi sumber kehidupan utama masyarakat di sekitar hutan dan lahan gambut di Sumatera Selatan (Chokkalingam et al., 2004; Suyanto & Khususyiah, 2004). Pencarian ikan di areal hutan dan lahan gambut merupakan hal yang banyak dilakukan oleh masyarakat karena pada lokasi tersebut memiliki potensi hasil ikan yang cukup melimpah. Masyarakat mengandalkan potensi hasil perikanan yang ada di alam dalam berproduksi. Hasil ikan yang melimpah biasanya diperoleh pada musim kemarau karena banyak ikan yang terperangkap pada rawa-rawa di hutan dan lahan gambut.

Kegiatan perikanan mulai berkurang ketika era eksploitasi hasil hutan kayu berlangsung dari tahun 1970-an sampai 1990-an. Kegiatan eksploitasi kayu dianggap lebih menguntungkan dibandingkan dengan kegiatan perikanan yang hasilnya fluktuatif dan tergantung pada kondisi musim. Hasil hutan kayu dapat memberikan pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan kegiatan perikanan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Sebagian besar masyarakat mulai beralih dari kegiatan perikanan ke kegiatan pembalakan kayu yang lebih menjanjikan.

Sistem lelang lebak lebung juga menjadi kegiatan perikanan yang menjadi sumber pendapatan masyarakat. Sistem ini biasanya dilakukan di bawah pengelolaan pemerintahan setempat (Chokkalingam et al., 2004). Pemenang lelang biasanya akan membayar sejumlah dana kepada pemerintah setempat untuk dapat mengelola sungai dengan panjang tertentu sebagai areal pencarian ikan. Pemenang lelang biasanya akan mengenakan pungutan bagi anggota masyarakat lainnya yang hendak mencari ikan atau melakukan sub-kontrak pemanenan ikan pada lokasi tersebut. Kegiatan lelang lebak lebung masih berlangsung saat ini pada beberapa lokasi di sekitar hutan dan lahan gambut.

64

b. Sonor

Sonor merupakan sistem pertanian padi tradisional di lahan gambut yang dilakukan oleh masyarakat pada musim kemarau. Api digunakan sebagai alat dalam persiapan lahan. Setelah lahan dibakar, masyarakat menyebar benih padi lalu ditinggalkan selama lebih kurang 6 bulan. Input yang digunakan dalam kegiatan ini cukup rendah karena tidak adanya pemeliharaan dan pemupukan selama kegiatan berlangsung. Sonor dilakukan pada lahan gambut yang dikuasai oleh adat dan pribadi maupun pada kawasan hutan gambut yang berupa alang-alang (Chokkalingam et al., 2004).

Hasil padi sonor merupakan sumber bahan pokok yang penting bagi masyarakat di sekitar hutan dan lahan gambut untuk memenuhi kebutuhan pangan selama beberapa waktu. Pengamatan Chokkalingam et al. (2004) di Kabupaten Ogan Komering Ilir menunjukkan bahwa produksi padi sonor (2,6 ton/ha) lebih tinggi daripada padi lading (2,2 ton/ha), namun masih lebih rendah dibandingkan dengan padi sawah yang mencapai 4,4 ton/ha. Degradasi hutan dan ketersediaan kayu yang semakin berkurang diduga memicu kegiatan pertanian padi sonor yang terus berkembang di masyarakat dan kejadian kebakaran hutan dan lahan yang tidak terkendali (Suyanto & Khususyiah, 2004; Setijono, 2004). Hasil dari pertanian padi sonor sebenarnya hanya berfungsi subsisten bagi masyarakat dengan hasil yang tidak menentu. Kegiatan ini ditengarai sering menimbulkan kebakaran hutan dan lahan gambut yang tidak terkendali sehingga pembakaran lahan, termasuk untuk sonor, mulai dilarang di berbagai tempat.

c. Pembalakan Kayu

Pembalakan kayu di sekitar hutan dan lahan gambut pernah mengalami masa-masa kejayaan pada era 1970 sampai 1990-an. Pemberian hak pengusahaan hutan kepada berbagai perusahaan telah membuka kegiatan eksploitasi kayu di hutan-hutan gambut di berbagai wilayah, termasuk di Sumatera Selatan. Eksploitasi tersebut membuka kesempatan lapangan kerja tidak hanya bagi masyarakat sekitar tetapi juga bagi para pendatang. Kegiatan eksploitasi hutan tersebut telah memberikan pendapatan yang cukup menguntungkan bagi masyarakat dan membuka berbagai kegiatan usaha lainnya, seperti jasa transportasi dan perdagangan.

Kegiatan eksploitasi kayu yang tidak terkendali berdampak pada degradasi dan deforestasi hutan dan lahan gambut yang cukup masif.

65

Kerusakan ekosistem hutan dan lahan gambut juga diperparah dengan kejadian kebakaran yang terjadi secara berulang. Hal ini juga berpengaruh pada penurunan potensi kayu di hutan gambut. Kegiatan pembalakan kayu mulai redup seiring dengan berkurangnya potensi kayu di hutan gambut dan berhentinya kegiatan eksploitasi oleh perusahaan hak pengusahaan hutan pada pertengahan sampai akhir dekade 90-an.

Kegiatan pembalakan kayu masih dilakukan oleh sebagian masyarakat untuk mencari sisa-sisa tegakan kayu yang masih dapat dimanfaatkan dan mencari gelondongan kayu yang terbenam di rawa-rawa hutan dan lahan gambut. Sebenarnya potensi tegakan kayu yang tersisa di hutan gambut sulit diperoleh karena sebagian besar hutan gambut telah berubah menjadi lahan alang-alang dan tegakan kayu yang tersisa letaknya sulit diakses. Gelondongan kayu yang terbenam merupakan sisa-sisa tegakan yang roboh karena kejadian kebakaran dan masih dapat dimanfaatkan.

Pembalakan kayu sebenarnya pekerjaan yang sulit karena pencarian kayu dilakukan dengan menelusuri hutan dan lahan gambut bekas terbakar melalui parit-parit yang ada sebelumnya. Sebagian masyarakat tetap melakukan upaya pembalakan kayu walaupun potensi kayu di lahan gambutsudah sangat jauh berkurang karena kegiatan tersebut telah sejak lama mereka tekuni dan belum ada alternatif pekerjaan lain yang dapat mereka lakukan. Pendapatan dari kegiatan pembalakan kayu tidak menentu tergantung pada jumlah kayu yang berhasil mereka hasilkan.

d. Kegiatan Jasa yang Berkaitan dengan Pembangunan Hutan Tanaman Industri

Pada akhir dekade 90-an, pasca kebakaran hutan dan lahan terburuk pada tahun 1997/1998, pembangunan hutan tanaman industri mulai dilakukan pada kawasan hutan gambut tidak produktif bekas terbakar. Hal ini merupakan upaya pemanfaatan hutan gambut yang sebagian besar telah berupa lahan alang-alang. Saat ini sebagian besar kawasan hutan produksi gambut telah diusahakan menjadi hutan tanaman industri yang dikelola swasta. Kondisi ekosistem yang unik menjadi tantangan tersendiri dalam membangun hutan tanaman industri pada lahan gambut. Selain itu, investasi yang cukup besar dalam pembangunannya mendorong pemerintah untuk memberikan konsesi pengusahaan hutan tersebut pada pihak swasta.

Walaupun pro kontra mengenai pembangunan hutan tanaman industri terus bergulir, namun pembangunan tersebut telah membuka

66

kesempatan kerja bagi masyarakat yang berada di sekitar hutan dan lahan gambut. Pekerjaan di sektor jasa seperti pengemudi perahu dan pekerja di bagian persemaian, penanaman, dan pemeliharaan tanaman merupakan sebagian dari kesempatan kerja yang berhubungan langsung dengan pembangunan hutan tanaman industri. Aktifitas pembangunan hutan tanaman industri juga menggerakkan aktivitas perekonomian lainnya di desa, seperti perdagangan dan jasa transpotasi.

Kesempatan kerja yang tercipta dari keberadaan perusahaan hutan tanaman industri belum sepenuhnya dapat memberikan kehidupan yang memadai bagi masyarakat di lahan gambut karena keterbatasan yang mereka miliki. Banyak peluang kerja yang tidak dapat dimasuki oleh sebagian masyarakat karena mereka tidak memenuhi kualifikasi yang disyaratkan oleh perusahaan. Tingkat pendidikan dan keterampilan menjadi kendala bagi masyarakat untuk menempati posisi yang lebih baik di perusahaan. Hal ini yang menjadikan sebagian masyarakat tetap berada pada posisi yang rendah di perusahaan atau hanya bekerja sebagai tenaga harian pada kontraktor-kontraktor perusahaan hutan tanaman industri.

Kehidupan masyarakat di sekitar hutan dan lahan gambut mengalami perubahan seiring dengan perubahan ekosistem di sekitarnya, dan menempatkan mereka pada posisi yang rentan terhadap ketidakberdayaan dan kemiskinan. Hal tersebut terjadi karena ketergantungan masyarakat terhadap hutan dan lahan gambut yang telah terdegradasi dan relatif sulit direhabilitasi. Kerentanan terhadap kemiskinan dan rehabilitasi hutan dan lahan gambut merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan. Najiyati et al. (2005) menerangkan bahwa ada beberapa kondisi yang menyebabkan kemiskinan masyarakat di lahan gambut, yaitu:

1. Lahan yang tidak subur (marjinal) dan rentan (fragile). Kondisi lahan seperti ini yang membedakan lahan gambut dengan lahan mineral, sehingga kegiatan pertanian kurang memberikan keuntungan yang memadai.

2. Keterisolasian. Akses transportasi masyarakat di lahan gambut memerlukan biaya yang mahal karena letaknya yang jauh dari pusat perkonomian. Akses transportasi sebagian besar melalui air sehingga biayanya lebih mahal dibandingkan dengan transportasi darat dan tidak memiliki alternatif transportasi lain. Akses yang sulit mengakibatkan pelayanan pemerintah sulit diperoleh oleh masyarakat di sekitar hutan dan lahan gambut.

67

3. Kompetensi sumberdaya manusia. Rendahnya kompetensi sumberdaya manusia di sekitar hutan dan lahan gambut berhubungan dengan rendahnya tingkat produksi, perekonomian, dan minimnya akses informasi.

4. Kerentanan. Masyarakat di lahan gambut cenderung subsisten dan hanya mengandalkan hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan sendiri sehingga rawan terhadap gejolak yang terjadi pada kehidupannya.

III. Pendekatan Penghidupan Pedesaan Berkelanjutan dalam Pengelo-laan Hutan dan Lahan Gambut oleh Masyarakat

Masyarakat yang berada di sekitar hutan dan lahan gambut merupakan masyarakat yang berada pada nuansa pedesaan yang kental karena lokasinya yang jauh dari pusat kegiatan perekonomian dan akses yang sulit. Kehidupan pedesaan yang stagnan karena semakin terbatasnya sumberdaya hutan dan lahan yang tersedia menyebabkan masyarakat berada pada kondisi yang cenderung miskin dan tidak berdaya. Oleh sebab itu, untuk memperbaiki kondisi tersebut, pendekatan pedesaan berkelanjutan menjadi salah satu pilihan yang dapat digunakan dalam pengelolaan hutan dan lahan gambut dengan melibatkan peran aktif masyarakat.

Penghidupan dalam konteks pedesaan terdiri dari kapabilitas, asset, dan aktivitas yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk melangsungkan hidupnya (Chambers &Conway, 1991). Tiga hal di atas harus dimiliki oleh masyarakat untuk dapat melangsungkan hidupnya. Kapabilitas adalah kemampun yang dimiliki individu atau masyarakat untuk dapat melakukan fungsi-fungsi mendasar dalam hidupnya seperti, kecukupan nutrisi dan gizi, kelayakan sandang, kemampuan untuk terhindar dari kondisi yang mudah terserang penyakit dan kematian, dan menjalani kehidupan tanpa malu (Sen, 1987 dalam Chambers & Conway, 1991). Dalam artian yang lebih luas, kapabilitas berkaitan dengan kemampuan untuk mengakses informasi dan pengetahuan, kemampuan untuk merespon dan beradaptasi dengan kondisi sekitar serta menganalisis tentang kondisi dan situasi di masa depan. Aset merupakan simpanan, sumberdaya, klaim dan akses yang berguna untuk menjalankan hidup. Sedangkan aktivitas adalah kegiatan yang dilakukan oleh individu atau masyarakat untuk memperoleh sesuatu dalam hidupnya.

Kapabilitas dan aset yang dimiliki oleh sebagian masyarakat di sekitar hutan dan lahan gambut menjadi kendala dalam memperoleh

68

penghidupan yang layak. Seperti yang diungkapkan oleh Najiyatiet al. (2005), kondisi masyarakat yang memiliki kompetensi yang rendah dan terisolasi menyebabkan mereka memiliki keterbatasan untuk memperoleh sumber penghidupan yang lebih baik dan rentan terhadap kemiskinan. Peningkatan kapabilitas dan aset masyarakat menjadi hal mendasar untuk memperbaiki penghidupan yang layak bagi masyarakat di sekitar hutan dan lahan gambut.

Scoones (1998) menerangkan bahwa sumber penghidupan terdiri empat sumberdaya yaitu sumberdaya alam, sumberdaya finansial, sumberdaya manusia, dan sumberdaya sosial. Sumberdaya sosial berkaitan dengan sumberdaya sosial yang dimiliki individu atau masyarakat (jaringan, hubungan sosial, klaim sosial, asosiasi) yang digunakan untuk menerapkan strategi penghidupan berbeda. Kombinasi modal-modal tersebut di atas diterapkan untuk memperoleh penghidupan yang layak bagi masyarakat. Dalam konteks masyarakat di sekitar hutan dan lahan gambut, sumberdaya alam yang berada di sekitar mereka saat ini tidak bisa diandalkan sebagai sumber penghidupan yang layak karena telah rusak. Selain itu, upaya manipulasi lahan gambut untuk kegiatan sektor pertanian belum dapat berjalan dengan baik karena belum berkembangnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam mengelola lahan gambut.

Dalam konteks penghidupan pedesaan berkelanjutan terdapat lima elemen penting yang berkaitan dengan kemampuan suatu individu atau masyarakat untuk bertahan terhadap suatu tekanan dan gejolak dalam hidupnya, mempertahanan dan meningkatkan asetnya tanpa merusak lingkungan di sekitarnya (Scoones, 1998), yaitu:

a. Melakukan suatu pekerjaan yang produktif b. Upaya penurunan tingkat kemiskinan c. Kapabilitas d. Adaptasi penghidupan, kerentanan, dan resiliensi e. Keberlanjutan berdasarkan sumberdaya alam

Penghidupan berkelanjutan memerlukan strategi implementasi yang sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki oleh individu dan masyarakat. Selain itu, kepemilikan kapabilitas dan aset serta kesesuaian aktivitas menjadi dasar dalam menentukan strategi penghidupan yang akan dijalankan. Scoones (1998) menyatakan bahwa terdapat tiga strategi yang dapat dijalankan dalam konteks penghidupan pedesaan berkelanjutan, yaitu:

69

a. Ekstensifikasi/intensifikasi pertanian. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan hasil produksi pertanian berdasarkan ketersediaan sumberdaya yang dimiliki oleh individu atau masyarakat dan biasanya hanya mengandalkan satu sumber penghidupan.

b. Diversifikasi. Hal ini berkaitan dengan tersedianya beberapa sumber penghidupan yang bertujuan untuk akumulasi aset atau untuk pemenuhan kebutuhan yang bersifat sementara. Selain itu, hal ini juga dilakukan sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi sumberdaya yang tersedia.

c. Migrasi. Hal ini dilakukan karena tidak tersedia lagi sumber penghidupan di sekitar individu atau masyarakat.

Dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan dan lahan gambut oleh masyarakat, strategi penghidupan masyarakat akan diuraikan berikut ini. Strategi ekstensifikasi atau intensifikasi pertanian secara umum saat ini belum menjadi pilihan yang bisa diterapkan dengan baik pada hutan dan lahan gambut. Hal ini karena keterbatasan kapabilitas masyarakat yang berhubungan pengetahuan dan keterampilan pengolahan lahan. Selama ini masyarakat di hutan dan lahan gambut mengandalkan kegiatan ekstraksi sumberdaya alam sebagai kegiatan penghidupannya. Kegiatan budidaya pertanian secara umum belum diketahui dengan baik karena masyarakat sementara menggunakan sistem tradisional padi sonor. Secara umum aset yang dimiliki masyarakat berkaitan dengan budidaya di lahan gambut juga saat ini telah jauh berkurang karena rusaknya hutan dan lahan gambut dan penghidupan masyarakat yang bersifat susbsisten.

Strategi migrasi dalam konteks penghidupan berkelanjutan telah dilakukan oleh sebagian masyarakat di lahan gambut, namun hal tersebut bukan menjadi pilihan dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan dan lahan gambut saat ini. Migrasi untuk mencari penghidupan di lokasi lain merupakan hal yang layak dilakukan karena semakin terbatasnya sumberdaya yang tersedia di sekitar hutan dan lahan gambut terdegradasi. Migrasi merupakan jawaban untuk mencari penghidupan lebih baik bagi masyarakat, namun hal tersebut belum menyelesaikan upaya pengelolaan hutan dan lahan gambut berkelanjutan yang melibatkan peran aktif masyarakat.

Diversifikasi penghidupan merupakan strategi yang saat ini banyak dilakukan oleh masyarakat di lahan gambut. Mereka mengombinasikan berbagai sumber penghidupan seperti perikanan, pembalakan kayu, dan jasa untuk menjalankan hidupnya. Walaupun kondisi potensi sumberdaya alam di hutan dan lahan gambut telah jauh berkurang, sebagian

70

masyarakat masih bertahan untuk mencari penghidupan di lokasi tersebut. Dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan gambut, strategi diversifikasi penghidupan merupakan hal yang saat ini dapat dikembang-kan bagi masyarakat. Keragaman sumber penghidupan menjadi pertimbangan utama dalam melakukan rehabilitasi hutan dan lahan gambut karena kegiatan tersebut membutuhkan waktu yang relatif lama.

Prinsip dasar dalam pengelolaan hutan dan lahan gambut berkelanjutan adalah keragaman penghidupan bagi masyarakat yang dapat memberikan pendapatan bagi masyarakat dalam waktu yang relatif singkat dan berkelanjutan. Peningkatan kapabilitas dan pemahaman sumber penghidupan yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat menjadi hal awal yang perlu dipersiapkan dalam rangkaian pengelolaan hutan dan lahan gambut. Kapabilitas mengenai pengetahuan dan keterampilan pengolahan lahan gambut merupakan hal yang perlu dibekali bagi masyarakat di sekitar hutan dan lahan gambut. Dengan bekal tersebut, praktek pengelolaan hutan dan lahan gambut terpadu seperti agroforestry dan agrosilvofishery dapat dikombinasikan dengan penghidupan masyarakat lainnya di lahan gambut, misalnya jasa.

Perbaikan infrastruktur dan pelayanan publik bagi masyarakat di sekitar lahan gambut menjadi bagian penting dalam upaya perbaikan penghidupan dalam pengelolaan hutan dan lahan gambut. Berbagai program pengelolaan hutan dan lahan gambut berkelanjutan dapat diterapkan dengan baik sepanjang pendekatan penghidupan masyarakat berkelanjutan menjadi konsep yang dipertimbangkan dalam program-program tersebut.

IV. Penutup

Penghidupan masyarakat di sekitar hutan dan lahan gambut tergantung pada kondisi sumberdaya alam yang tersedia di sekitarnya. Terdegradasinya hutan dan lahan gambut di sekitar masyarakat turut menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Kapabilitas masyarakat menjadi hal mendasar yang perlu diperbaiki dalam rangka pengelolaan hutan dan lahan gambut yang mampu memperbaiki pola penghidupan masyarakat. Strategi diversifikasi penghidupan yang mengombinasikan penghidupan off-farm dan on-farm merupakan hal yang dapat dikembangkan dalam rangka pengelolaan hutan dan lahan gambut yang melibatkan peran aktif masyarakat.

71

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F & I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Center (ICRAF). Bogor.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.

Chambers, R. & G. Conway. 1991. Sustainable rural livelihoods: practical concepts for 21st century. IDS Discussion Paper 296. Brighton. UK.

Chokkalingam, U., S. Suyanto, R.P. Permana, I. Kurniawan, J. Mannes, N. A. Darmawan, N. Khususyiah & R.H. Susanto. 2004. Pengelolaan Api, Perubahan Sumberdaya Alam dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Masyarakat di Areal Rawa/Gambut – Sumatera Bagian Selatan. Dalam: Suyanto, S., U. Chokkalingam, P. Wibowo, Eds. Prosiding Semiloka Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera: Masalah dan Solusi. Palembang, 10 Desember 2003. CIFOR.

Hooijer, A., S. Page, J.G. Canadell, M. Silvius, J. Kwadijk, H. Wosten & J. Jauhiainen. 2010. Current and future CO2 emission from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences 7: 1505-1514.

Lubis, I.R. 2006. Pemanfaatan hutan rawa gambut dipandang dari aspek konservasi: pengalaman kegiatan CCFPI di Sumatera Selatan. Dalam: Rimbawanto, A., A. Nirsatmanto & Mahfudz (Eds). Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu. Palembang, 26 Maret 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Miettinen, J., S.C. Liew & L.K. Kwoh. 2011. Peatland deforestation in Sumatra and Kalimantan over 1990s and 2000s. Makalah dalam Workshop on Tropical Wetland Ecosystem of Indonesia: Science Needs to Address Climate Change Adaptation and Mitigation, Sanur, Bali, 11-14 April 2011. Indonesia.

Najiyati,S., A. Asmana & I.N.N. Suryadiputra. 2005. Pemberdayaan masyarakat di lahan gambut. Proyek Climate Change, Forets and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programmed and Wildlife Habitat Canada. Bogor.

Scoones, I. 1998. Sustainable rural livelihoods a framework for analysis. IDS Working Paper 72. Brighton. UK.

72

Setijono, D. 2004. Kehidupan masyarakat dan kaitannya dengan kebakaran lahan rawa/gambut di Kanbupaten Ogan Komering Ilir, Propinsi Sumatera Selatan. Dalam: Suyanto, S., U. Chokkalingam, P. Wibowo, Eds. Prosiding Semiloka Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera: Masalah dan Solusi. Palembang, 10 Desember 2003. CIFOR

Suyanto, S. & N. Khususyiah 2004. Kemiskinan masyarakat dan ketergantungan terhadap sumberdaya alam: sebuah akar penyebab kebakaran di Sumatera Selatan. Makalah. Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat: Pendapatan masyarakat meningkat, sumberdaya alam lestari, tanggal 10-11 Maret 2004. Palembang.

Wollenberg, E., B. Belcher, D. Sheil., S. Dewi & M. Moeliono. 2004. Why are forest areas relevant to reduce poverty in Indonesia?. Governance Brief Number 4. CIFOR.

73

UPAYA PENGELOLAAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT MELALUI PENGEMBANGAN PERAN DAN PARTISIPASI

MASYARAKAT

Sri Lestari Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK Hutan dan lahan gambut memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung kehidupan sosial ekonomi masyarakat, diantaranya adalah sebagai pengatur hidrologi, sarana konservasi keanekaragaman hayati, sebagai tempat budidaya pertanian, kehutanan, dan perikanan, serta sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Sifat fisik dan kimia ekosistem gambut yang unik menyebabkan kawasan ini sangat rentan terhadap bahaya kerusakan, baik yang disebabkan oleh alam, maupun yang disebabkan oleh ulah manusia. Kerusakan ekosistem gambut antara lain disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan, konversi lahan, dan pembalakan liar. Untuk menekan laju kerusakan dan melakukan upaya konservasi serta rehabilitasi ekosistem gambut diperlukan pengelolaan hutan dan lahan gambut secara terpadu melalui pengembangan peran dan partisipasi masyarakat. Hal itu dapat dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat dalam menanggulangi kebakaran, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi, optimalisasi pemanfaatan lahan gambut melalui agroforestri, optimalisasi pemanfaatan lahan gambut melalui usaha tani terpadu, optimalisasi pemanfaatan saluran di lahan gambut untuk kegiatan perikanan, membantu masyarakat untuk menerapkan sistem alternatif yang tidak melibatkan pembakaran gambut, pemberian insentif dalam konservasi karbon lahan gambut, serta penyuluhan dan peningkatan pengetahuan masyarakat.

Kata kunci: hutan dan lahan gambut, pengelolaan, peran dan partisipasi masyarakat

I. PENDAHULUAN

Lahan gambut di Indonesia banyak tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Hutan rawa gambut memiliki peran yang cukup signifikan dalam mendukung kehidupan sosial ekonomi masyarakat

74

sekitar. Najiyati et al. (2005), Agus dan Subiksa (2008), dan Posa et al.(2011) mengungkapkan bahwa selain berfungsi sebagai pengatur hidrologi, sarana konservasi keanekaragaman hayati, tempat budidaya, dan sumber energi, gambut juga berperan cukup besar dalam menyerap dan menyimpan cadangan karbon dunia. Lahan gambut ini sangat rentan terhadap kerusakan, dan apabila kerusakan telah terjadi maka kondisi lahan gambut akan sulit untuk dikembalikan kepada kondisi semula. Oleh karena itu upaya konservasi lahan gambut sangat diperlukan agar peran dan fungsinya dapat terus terjaga.

Kerusakan terhadap lahan dan rawa gambut selain terjadi karena pengaruh alam, juga karena aktivitas manusia seperti, kebakaran hutan dan lahan, illegal logging, konversi lahan untuk pembangunan infrastruktur, serta konversi menjadi perkebunan kelapa sawit, dan lain sebagainya. Di beberapa wilayah di Indonesia, kebakaran hutan dan lahan gambut sering terjadi di musim kemarau yang panjang. Sulitnya upaya pemadaman api di lahan gambut mengakibatkan kerusakan yang cukup luas,bahkan mengakibatkan dampak negatif bagi kesehatan manusia karena kabut asap yang ditimbulkannya. Menurut Adinugroho et al. (2005), karena penyebaran api terjadi baik di atas maupun di dalam lapisan gambut maka kebakaran di hutan lahan gambut sangat sulit untuk dipadamkan. Upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut telah banyak dilakukan oleh pemerintah dan dinas terkait, serta dengan melibatkan peran masyarakat sekitar. Peran masyarakat sekitar hutan dan lahan gambut tidak hanya dalam upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan, akan tetapi juga dalam beberapa jenis kegiatan yang lain seperti pengamanan hutan dan lahan gambut serta budidaya tanaman kehutanan di lahan gambut.

Tingginya peran hutan dan lahan gambut bagi keseimbangan alam serta kehidupan manusia membutuhkan adanya sistem pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan. Peran dan partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan lahan gambut juga perlu dioptimalkan sehingga bahaya kerusakan dan laju deforestasi di hutan dan lahan gambut dapat diminimalkan. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi hutan dan lahan gambut di Indonesia, baik peran, ancaman, upaya konservasi dan rehabilitasi, serta upaya pengembangan peran dan partisipasi masyarakatnya.

75

II. STATUS PERAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 69/Menhut-II/2011, hutan gambut merupakan formasi pohon-pohon yang tumbuh pada kawasan yang sebagian besar terbentuk dari sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama. Selanjutnya, secara lebih spesifik, di dalam Policy Memo: Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia, Dewan nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Indonesia Climate Change Indonesia (ICCC) (2012) merekomendasikan definisi lahan gambut sebagai “daerah akumulasi bahan organik yang sebagian lapuk dengan kadar abu sama dengan atau kurang dari 35%, kedalaman gambut sama dengan atau lebih dari 50 cm, dan kandungan karbon organik (berdasarkan berat) minimal 12%”.

Secara umum gambut dikenal dengan organosol atau histosol yang merupakan tanah dengan lapisan bahan organik yang apabila dalam keadaan lembab memiliki berat jenis < 0,1 g/cm3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan berat jenis > 0,1 g/cm3dengan tebal > 40 cm (Soil Survey. Staff, 2003 dalam Agus & Subiksa, 2008). Lebih lanjut, Agus dan Subiksa (2008) mengungkapkan bahwa gambut memiliki karakteristik yang unik baik secara fisik maupun kimia. Secara fisik: (1) gambut mampu menyerap air sebesar 13 kali lipat dari bobotnya, (2) volumenya akan menyusut bila didrainase sehingga akan terjadi subsiden atau penurunan permukaan tanah, (3) daya menahan atau menyangga sangat rendah akibat dari berat jenis yang rendah, (4) gambut yang telah mengering dengan kadar air < 100% (berdasarkan berat) tidak akan mampu lagi untuk menyerap air apabila dibasahi (sifat mengering tidak balik). Sedangkan secara kimia:(1) lahan gambut umumnya memiliki tingkat kemasaman yang tinggi (pH 3 – 5), (2) lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena minimnya kandungan unsur hara dan adanya beragam unsur-unsur organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman, dan (3) unsur mikro yang terkandung dalam lahan gambut sangat rendah dan diikat cukup kuat sehingga tidak dapat dimanfaatkan bagi tanaman.

Di samping sifatnya yang unik, lahan gambut memiliki peran yang sangat penting di alam. Najiyati et al. (2005) dan Konsorsium Central Kalimantan Peatlands Project - CKPP (2008) membagi manfaat atau fungsi lahan gambut ke dalam 4 kelompok, yaitu sebagai penyimpan air atau pengatur hidrologi; sebagai lahan pertanian, kehutanan dan perikanan (sarana budidaya); sarana konservasi keanekaragaman hayati; dan penyimpan karbon atau penjaga iklim global. Gambut memiliki kemampuan menyerap air yang sangat besar, oleh karena itu gambut

76

mampu berperan dalam mitigasi banjir dan menjaga ketersediaan pasokan air bersih. Dalam keadaan normal, lahan gambut dapat menyimpan air sebanyak 0,8 – 0,9 m3 per m3 lahan gambut (Mudiyarso et al., 2004). Akan tetapi apabila kondisi drainase gambut berlebihan, fungsi gambut sebagai pengatur hidrologi dapat terganggu. Hal ini disebabkan adanya sifat kering tak balik yang dimiliki oleh lahan gambut. Rosli et al. (2010) mendeskripsikan kondisi air di lahan gambut hampir berwarna hitam sebagai akibat dari keberadaan materi organik dari proses dekomposisi gambut. Air yang berwarna hitam tersebut berasal dari interaksi antara air dengan bahan-bahan organik seperti daun dan kayu dengan tingkat dan jenis dekomposisi yang berbeda.

Sebagai sarana budidaya pertanian, lahan gambut dangkal dengan kedalaman kurang dari 100 cm dapat dimanfaatkan untuk menanam tanaman pertanian seperti padi, kedelai, jagung, ubikayu, dan berbagai jenis sayuran lainnya (Agus &Subiksa, 2008). Sedangkan sebagai sarana budidaya kehutanan, Mudiyarso et al. (2004) mengungkapkan bahwa lahan gambut merupakan ekosistem kayu gelam (Mellaleuca sp.), ramin (Gonystylus bancanus), meranti (Shorea spp), dan damar (Agathis dammara). Jenis-jenis kayu ini banyak dimanfaatkan sebagai kayu pertukangan, dan keberadaannya semakin langka akibat penebangan yang berlebihan serta illegal logging, terutama untuk jenis ramin, meranti, dan damar. Sedangkan untuk jenis gelam, kelestariannya masih tetap terjaga sampai saat ini karena jenis ini mudah dalam pembudidayaannya dengan umur daur yang pendek. Di bidang perikanan, Konsorsium CKPP (2008) menjelaskan bahwa lahan gambut masih merupakan tempat bergantung bagi jutaan orang sebagai wilayah untuk menangkap dan membudidayakan ikan. Menurut Mudiyarso et al. (2004) hal ini dikarenakan kondisi lahan gambut secara ekologis mendukung dalam proses pemijahan ikan.

Sebagai sarana konservasi keanekaragaman hayati, lahan gambut merupakan habitat yang unik untuk kehidupan berbagai macam flora dan fauna (Najiyati et al., 2005). Tabel 1 menunjukkan luasan lahan gambut di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana konservasi keanekaragaman hayati. Adinugroho et al. (2008) menyebutkan, jenis flora yang banyak terdapat di lahan gambut antara lain durian burung (Durio carinatus), terentang (Camnosperma sp), ramin (Gonystylus sp), gelam (Melaleuca sp), jelutung (Dyera costulata), perupuk (Lophopetalum mutinervium), rotan, pandan, nyatoh (Palaqium scholaris) serta beberapa jenis flora lainnya. Sedangkan untuk jenis fauna yang banyak terdapat di lahan gambut diantaranya adalah orang utan,

77

babi hutan, buaya, kera, bekantan, beruk, rusa, beberapa jenis ular, berbagai jenis burung, berbagai jenis ikan, dan lain-lain. Posa et al. (2011) menyebutkan bahwa terdapat 1.524 jenis tumbuhan ditemukan hidup di ekosistem lahan gambut. Selain itu juga terdapat 123 jenis mamalia, 268 jenis burung, 75 jenis reptil, 27 jenis amfibi, serta 219 jenis ikan.

Tabel 1. Luas hutan gambut di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara

Wilayah Luas areal sebelumnya

Luas areal tersisa

Persentase luas areal tersisa

Luas areal konservasi

Persentase luas areal konservasi

Indonesia Sumatera Kalimantan Sulawesi Malaysia Peninsular Malaysia Sabah dan Serawak Brunei Thailand Luas total

82.525 67.876 3.115 9.845 17.460 1.040 680 182.541

25.622 31.606 18 2.492 6.328 873 304 67.243

31,1 46,6 0,6 25,3 36,2 83,9 44,7 36,8

7.212 7.632 300 444 984 218 206 16.995

8,7 11,2 9,6 4,5 5,6 21,0 30,3 9,3

Sumber: Posa et al. (2011)

Peran lahan gambut Indonesia dalam menyimpan karbon memiliki dampak yang berbanding lurus dengan kemampuannya dalam menjaga iklim global. Mudiyarso et al. (2004) menyebutkan bahwa cadangan karbon di lahan gambut Indonesia diperkirakan sebesar 46 Gt. Akan tetapi lahan gambut juga dapat menjadi sumber karbondioksida yang besar apabila terjadi kesalahan dalam pengelolaan, karena gangguan terhadap ekosistem gambut akan sangat mempengaruhi akumulasi cadangan dan siklus karbon di alam, misalnya terjadinya kebakaran serta konversi lahan gambut. Tabel 2 menjelaskan sumber dan perkiraan besaran emisi dan penambatan karbon dari konversi hutan lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit atau karet.

Tabel 2. Sumber dan perkiraan besaran emisi dan penambatan karbon dari kon-versi hutan lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit atau karet

Sumber emisi/penjerapan karbon Emisi dari penggunaan lahan awal hutan gambut menjadi perkebunan sawit atau karet

Sawit Karet

t CO2 ha-1

per 25 tahun

Kebakaran/dekomposisi biomassa vegetasi awal 367 367

Kebakaran lapisan atas gambut 257 275

78

Sumber emisi/penjerapan karbon Emisi dari penggunaan lahan awal hutan gambut menjadi perkebunan sawit atau karet

Sawit Karet

t CO2 ha-1

per 25 tahun

Dekomposisi gambut 1365 455

Jumlah emisi 2007 1097

Penjerapan (sequestrasi) oleh tanaman 222 207

Emisi netto 1786 890

t CO2 ha-1

per tahun

Kebakaran/dekomposisi biomassa vegetasi awal 14,7 14,7

Kebakaran lapisan atas gambut 11,0 11,0

Dekomposisi gambut 54,6 18,2

Jumlah emisi 80,3 43,9

Penjerapan (sequestrasi) oleh tanaman 8,9 8,3

Emisi netto 71,4 35,6

Sumber: Agus dan Subiksa (2008)

III. ANCAMAN KERUSAKAN TERHADAP HUTAN DAN LAHAN GAMBUT

Indonesia memiliki luas hutan dan lahan gambut lebih tinggi dibandingkan beberapa negara tetangga di Asia Tenggara seperti Malaysia, Brunei, dan Thailand sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1. Akan tetapi, peluang terjadinya kerusakan lahan gambut di Indonesia juga cukup besar dibandingkan negara lain. Hal ini dapat dilihat dari persentase luas areal yang tersisa. Tingginya tingkat degradasi hutan dan lahan gambut di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kebakaran, konversi lahan, dan eksploitasi kayu yang berlebihan serta illegal logging.

Kebakaran gambut selain disebabkan karena pengaruh alam, misalnya kemarau yang sangat panjang, juga disebabkan oleh perbuatan manusia, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Kebakaran pada umumnya bermula dari permukaan lahan, kemudian api menyebar secara perlahan ke bawah permukaan sehingga kebakaran di lahan gambut tergolong dalam kebakaran bawah atau ground fire. Kebakaran bawah ini mengakibatkan semakin sulitnya upaya pemadaman api, dan di bagian permukaan hanya terlihat asapnya saja. Kebakaran ini tidak hanya membakar bagian organik lahan gambut, akan tetapi juga potongan-potongan kayu yang tertimbun gambut dan akar dari suatu tegakan pohon di lahan gambut tersebut (Adinugroho et al., 2005). Akibat kebakaran ini tegakan pohon lama kelamaan akan tumbang dan mengakibatkan

79

terdegradasinya kondisi lingkungan. Kerusakan lingkungan tersebut menyebabkan terganggunya peran normal dari lahan gambut, dan sebagai akibatnya kehidupan sosial ekonomi masyarakat juga akan terganggu.

Konversi lahan dan hutan gambut menjadi bentuk penggunaan lain merupakan penyebab kerusakan lahan gambut yang kedua. Tingginya kenaikan jumlah penduduk serta semakin besarnya kebutuhan hidup masyarakat merupakan salah satu faktor pendorong dilakukannya konversi lahan. Kegiatan konversi lahan tersebut antara lain ditujukan untuk pembangunan infrastruktur, serta untuk pembangunan lahan perkebunan dan pertanian. Nishimura et al. (2006) menyatakan bahwa konversi lahan dan meningkatnya frekuensi kekeringan yang panjang merupakan salah satu ancaman yang besar bagi hutan dataran rendah di wilayah Kalimantan Tengah.

Di sebagian besar wilayah Sumatera dan Kalimantan, konversi lahan banyak ditujukan untuk pembangunan kebun kelapa sawit. Konsorsium CKPP (2008) memperkirakan bahwa sekitar 25% areal kelapa sawit di Indonesia berada di wilayah lahan gambut. Hal ini berpotensi untuk menghasilkan emisi sebesar 150 juta ton karbondioksida per tahun yang berasal dari dampak drainasenya saja. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Firdaus et al. (2010) di Batang Igan, Sibu Sarawak, menyimpulkan bahwa konversi hutan gambut tropis menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan meningkatnya bulk density, kandungan mineral, dan kekuatan tanah secara signifikan. Akan tetapi kegiatan konversi lahan ini juga mengakibatkan penurunan yang signifikan terhadap kandungan bahan organik, porositas gambut, serta saturated hydraulic conductivity. Sedangkan tingkat dekomposisi, kandungan fiber, kelembaban, serta kera-patan partikel tidak terpengaruh oleh adanya konversi lahan tersebut. Namun demikian, di tahun dan lokasi yang sama, hasil penelitian Rosli et al. (2010) menyimpulkan bahwa walaupun dilakukan konversi lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit, parameter fisik dan kimia air di lokasi penelitian tetap dalam kondisi kisaran normal dengan kualitas air yang cukup baik.

Eksploitasi kayu yang berlebihan serta illegal logging mengakibatkan tingginya tingkat pengurangan populasi vegetasi hutan. Tingkat pengurangan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan upaya rehabilitasi terhadap lahan dan hutan tersebut. Satrio et al. (2009) menyatakan bahwa kegiatan penebangan pada hutan dan lahan gambut yang menggunakan alat berat dapat meningkatkan bulk density lahan karena adanya proses pemadatan. Setelah hutan rawa gambut ditebang,

80

proses humifikasi akan terus terjadi, akan tetapi lama kelamaan akan ter-jadi perlambatan dan menjadi tidak efektif sehingga karbon yang tidak stabil akan lebih banyak terdekomposisi dibandingkan dengan yang dipertahankan menjadi karbon stabil. Terdegradasinya hutan dan lahan gambut akibat eksploitasi kayu yang berlebihan serta kegiatan illegal logging menyebabkan semakin menurunnya produktivitas sumberdaya ekosistem gambut sebagai penyangga kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan tersebut.

IV. MEMBANGUN PERAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT SEBAGAI

SISTEM PENDUKUNG PENGELOLAAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT

Mata pencaharian sebagian besar masyarakat yang hidup di sekitar kawasan lahan gambut adalah petani yang melakukan budidaya tanaman, memelihara ternak, serta membudidayakan ikan atau mencari ikan (Najiyati et al., 2005). Masyarakat yang tinggal di kawasan gambut pada umumnya berada di kawasan yang cukup terisolasi dengan akses yang minimal, baik terhadap kegiatan perekonomian, pendidikan, transportasi, maupun informasi. Tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah merupakan ciri yang cukup melekat bagi masyarakat yang tinggal di kawasan lahan gambut. Rendahnya modal sosial yang dimiliki masyarakat serta minimnya penguasaan teknologi menyebabkan kegiatan perekono-mian yang dilakukan oleh masyarakat kurang produktif dan hanya meng-hasilkan pendapatan yang sangat terbatas. Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat (2004) mengungkapkan bahwa mata pencaharian penduduk yang hidup di sekitar kawasan hutan dan lahan gambut di wilayah Kabupaten Kutai Barat menjadi terganggu setelah kawasan hutan dan la-han gambut tersebut rusak dan tidak dapat lagi dijadikan sebagai tumpu-an kehidupan masyarakat. Sehingga diperlukan upaya untuk memberda-yakan masyarakat dalam kegiatan pengamanan hutan agar tidak semakin rusak, serta mengikutsertakan masyarakat tersebut dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dengan penanaman kembali atau reboisasi.

Adanya berbagai keterbatasan dan kerentanan yang dimiliki masyarakat sekitar lahan gambut menyebabkan timbulnya potensi kontribusi masyarakat tersebut terhadap kerusakan hutan dan lahan. Agus & Subiksa (2008) mengungkapkan bahwa kegiatan pertanian tradisional yang dilakukan oleh masyarakat di beberapa wilayah di sekitar hutan dan lahan gambut menerapkan praktek pembakaran lahan untuk tujuan menyuburkan tanah. Hal ini terjadi karena keterbatasan masyarakat akan akses terhadap pupuk dan minimnya pengetahuan

81

masyarakat bahwa apa yang telah mereka lakukan dapat mengakibatkan emisi dan subsiden yang relatif tinggi. Menurut Adinugroho et al. (2008), kerusakan ekosistem gambut yang disebabkan oleh masyarakat antara lain terjadi karena tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya yang ada. Akan tetapi adanya lahan rawa yang miskin hara dan tergenang air setiap tahunnya menuntut masyarakat untuk melakukan perburuan satwa liar, menangkap ikan, dan menebang kayu secara ilegal. Namun demikian, semakin langkanya populasi pohon komersial di kawasan hutan gambut semakin menurunkan tingkat pembalakan liar oleh masyarakat. Disamping itu, juga karena adanya bahaya kerusakan hutan dan lahan yang sudah dirasakan oleh masyarakat seperti menurunnya nilai produksi sumberdaya hutan (perikanan, kayu, dan hasil hutan lainnya) yang berdampak negatif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Untuk meminimalkan kontribusi masyarakat dalam kerusakan ekosistem gambut perlu adanya upaya membangun peran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan rawa gambut tersebut. Menurut Najiyati et al.(2005) dan Agus & Subiksa (2008), hal ini dapat dilakukan antara lain dengan:

1. Mengikutsertakan masyarakat dalam menanggulangi kebakaran lahan gambut

2. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi lahan gambut

3. Optimalisasi pemanfaatan lahan gambut melalui agroforestri 4. Optimalisasi pemanfaatan lahan gambut melalui usaha tani terpadu 5. Optimalisasi pemanfaatan saluran di lahan gambut untuk kegiatan

perikanan 6. Membantu masyarakat untuk menerapkan sistem alternatif yang

tidak melibatkan pembakaran gambut 7. Pemberian insentif dalam konservasi karbon lahan gambut.

Di samping ketujuh hal di atas, kegiatan penyuluhan dan pening-katan pengetahuan masyarakat sekitar akan pentingnya hutan dan lahan gambut serta bahaya yang akan timbul apabila terjadi kerusakan juga sa-ngat diperlukan, sehingga kondisi ekosistem gambut tidak semakin parah.

Dalam melaksanakan upaya pemberdayaan masyarakat untuk kegiatan pengelolaan dan rehabilitasi lahan gambut beberapa hal harus diperhatikan agar upaya tersebut optimal dan tepat sasaran. Menurut Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat, perlu dibangun sistem pendukung agar peran dan partisipasi masyarakat dapat diaplikasikan,

82

antara lain adalah dengan: (1) pengakuan hak-hak budaya lokal, (2) perlunya modal sosial dan pengorganisasian masyarakat, (3) penyelesaian sengketa, (4) pendidikan nilai dan pendidikan kritis, (5) akses masyarakat ke informasi, (6) penguatan ekonomi, serta (7) pengawasan dan penegakan hukum. Lebih lanjut, Najiyati et al. (2005) menekankan perlunya menerapkan prinsip kesetaraan, partisipasi, keswadayaan, kemandirian, serta keberlanjutan agar upaya pemberdayaan masyarakat di lahan gambut dapat dilaksanakan dengan baik.

Sumber: Najiyati et al. (2005)

Gambar 1. Tahapan upaya pemberdayaan masyarakat

Upaya pemberdayaan masyarakat dilakukan dalam beberapa tahapan utama, yaitu kajian mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat serta perencanaan kegiatan, kapasitasi atau implementasi, serta yang terakhir adalah evaluasi dan terminasi. Tahapan-tahapan tersebut

TAHAPAN KEGIATAN METODE

Tahap 1:

Kajian dan

Perencanaan

Tahap 2:

Kapasitasi

Tahap 3:

Evaluasi dan

Terminasi

Kajian partisipatif

Perencanaan tingkat masyarakat

Perencanaan tingkat lembaga

Pencerahan dan motivasi

Fasilitasi

Evaluasi

Terminasi

PRA

Pendampingan

Pendampingan,

Pengembangan

Kelompok, Pelatihan,

Bantuan Sarana,

Konservasi Lahan

Evaluasi terhadap Kelompok, Partisipasi

Masyarakat, dan Kegiatan-

kegiatan

1. Pengakhiran terhadap

seluruh kegiatan terma-

suk pendampingan

2. Penyerahan tugas-

tugas pendampingan

kepada institusi lokal

83

ditunjukkan dalam Gambar 1, dimana upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan oleh pemerintah dan atau instansi terkait dalam upaya pengelolaan dan rehabilitasi lahan gambut.

V. PENUTUP

Peran hutan dan lahan gambut cukup besar dalam mendukung kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar, diantaranya adalah sebagai sarana budidaya pertanian, kehutanan, dan perikanan, sebagai sarana konservasi keanekaragaman hayati, serta sebagai penyimpan karbon. Akan tetapi, karena adanya sifat fisik dan kimia ekosistem gambut yang unik mengakibatkan kawasan ini sangat rentan terhadap kerusakan dan memerlukan biaya yang tinggi dan waktu yang sangat lama untuk melakukan upaya rehabilitasi. Upaya menjaga kelestarian, meminimalkan kerusakan ekosistem, serta melakukan rehabilitasi hutan dan lahan gambut memerlukan dukungan dan peran serta masyarakat, karena pada umumnya masyarakat merupakan pihak yang memiliki akses terdekat dan tertinggi terhadap ekosistem gambut.

Pemerintah dan instansi terkait perlu melakukan upaya-upaya untuk mendorong peran dan partisipasi masyarakat agar dapat terealisasi sampai tahap aplikasi. Diantaranya adalah dengan melakukan kajian dan perencanaan, kapasitasi, serta evaluasi dan terminasi. Upaya pengembangan peran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan terpadu ekosistem gambut dapat dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat dalam menanggulangi kebakaran, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi, optimalisasi pemanfaatan lahan gambut melalui agroforestri, optimalisasi pemanfaatan lahan gambut melalui usaha tani terpadu, optimalisasi pemanfaatan saluran di lahan gambut untuk kegiatan perikanan, membantu masyarakat untuk menerapkan sistem alternatif yang tidak melibatkan pembakaran gambut, pemberian insentif dalam konservasi karbon lahan gambut, serta penyuluhan dan peningkatan pengetahuan masyarakat. Dengan adanya upaya pendekatan kepada masyarakat diharapkan tekanan terhadap kawasan hutan dan lahan gambut akan semakin menurun, dan upaya konservasi dan rehabilitasi ekosistem gambut dapat lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho, W.C., I.N.N. Suryadiputra, B.H. Saharjo & L. Siboro. 2005. Panduan Pengendalian kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands

84

International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.

Agus, F. & I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAFT), Bogor, Indonesia.

Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) & Indonesia Climate Change Center (ICCC). 2012. Policy Memo: Menuju Konsensus Definisi lahan Gambut Indonesia. DNPI dan ICCC.

Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat. 2004. Panduan Pengembangan Peran dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Editors: Nanang, M., dan G.S. Devung. Institute for Global Environmental Strategies. Kanagawa, Japan.

Firdaus, M.S., S. Gandaseca, O.H. Ahmed & N.M.A. Majid. 2010. Effect of converting secondary tropical peat swamp forest into oil palm plantation on selected peat soil physical properties. American Journal of Environmental Sciences 6 (4): 402-405.

Konsorsium Central Kalimantan Peatlands Project (CKPP). 2008. Tanya & Jawab Seputar Gambut di Asia Tenggara, Khusus di Indonesia. BOS Foundation, CARE International Indonesia, Universitas Palangka Raya (UNPAR), Wetlands International, WWF-Indonesia.

Mudiyarso, D., U. Rosalina, K. Hairiah, L. Muslihat, I.N.N. Suryadiputra & A. Jaya. 2004. Petunjuk Lapangan: Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.

Najiyati, S., A. Asmana & I.N.N. Suryadiputra. 2005. Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.

Nishimura, T.B., E. Suzuki, T. Kohyama & S. Tsuyuzaki. 2006. Mortality and growth of trees in peat-swamp and heath forests in Central Kalimantan after severe drought. Plant Ecology 188: 165-177.

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.69/Menhut-II/2011. Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang kehutanan Tahun Anggaran 2012.

85

Posa, M.R.C., L.S. Wijedasa & R.T. Corlett. 2011. Biodiversity and conservation of tropical peat swamp forests. Bioscience 61(1): 49-57.

Rosli, N., S. Gandaseca, J. Ismail & M. I. Jailan. 2010. Comparative study of water quality at different peat swamp forest of Batang Igan, Sibu Sarawak. American Journal of Environmental Sciences 6 (5): 416-421.

Satrio, A.E., S. Gandaseca, O.H. Ahmed & N.M.A. Majid. 2009. Effect of logging operation on soil carbon storage of a tropical peat swamp forest. American Journal of Environmental Sciences 5 (6): 748-752.

87

PENGUKURAN CADANGAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN TANAH PADA HUTAN GAMBUT SEKUNDER BEKAS TERBAKAR

(Studi Kasus di Desa Kedaton, Kecamatan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan)

Dody Prakosa

Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK Ekosistem lahan gambut berperan sangat penting dalam skala global, baik dari aspek ekologis, sosial maupun perekonomian masyarakat, kare-na dapat menyediakan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, menyimpan dan mensuplai air, serta menyimpan karbon. Penelitian ini bertujuan mengukur cadangan karbon pada lahan gambut sekunder bekas terbakar 8 tahun yang lalu, dilakukan pada April-November 2012, di Desa Kedaton, Kecamatan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Metode yang digunakan yaitu pengukuran lapangan (field mea-surement) dengan teknik sampling stratified random sampling yaitu de-ngan membuat plot-plot dengan berbagai ukuran pada tempat yang ber-beda setelah distratifikasi. Ukuran plot terbesar adalah 20x20 m (untuk tingkat pohon, pohon mati dan kayu mati), ukuran 10x10 m untuk tingkat tiang, 5x5 m untuk tingkat pancang dan 2x2 m untuk tumbuhan bawah dan serasah. Pada setiap plot diukur diameter dan tinggi pohon dan pada setiap plot diambil 3 pohon untuk dijadikan sampel batang sepanjang 5 cm untuk diukur berat basah, berat kering diukur di laboratorium tanah. Jumlah berat total serasah dan tumbuhan bawah diukur pada plot 2x2 m, selanjutnya masing-masing diambil sampelnya sebanyak 300 gram untuk dihitung berat keringnya. Alat yang digunakan: alat pengukur diameter pohon, alat pengukur panjang, alat pengukur kelerengan (clinometer), alat pengukur tinggi pohon, alat pengukur kedalaman gambut alat pengukur berat (timbangan), kompas, gergaji kecil, gunting stek, oven, dan tally sheet. Hasil yang didapatkan jumlah karbon dari berbagai simpanan karbon (carbon pool), biomassa tumbuhan menyimpan karbon dalam jumlah yang berbeda-beda jumlah karbon serasah 2,807 ton/ha, tumbuhan bawah 0,810 ton/ha dan pohon (tingkat pancang) 17,808 ton/ha. Jumlah total karbon yang tersimpan pada lahan gambut sekunder bekas terbakar 8 tahun yang lalu rata-rata sebesar 21,42 ton/ha.

Kata kunci: cadangan karbon, ekosistem, hutan gambut, terbakar

88

I. PENDAHULUAN

Isu pemanasan global telah menjadi permasalahan yang tak luput dari sorotan publik dan isu ini terus menjadi topik utama yang berkaitan dengan keadaan lingkungan terkini. Pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim yang signifikan seperti terjadi di Indonesia, dampak dari efek pemanasan ini telah menyebabkan perubahan iklim yang ekstrim. Di beberapa daerah sering terjadi hujan lebat yang mengakibatkan banjir bandang dan tanah longsor, munculnya angin puting beliung, bahkan kekeringan yang mengancam jiwa manusia (Winarso, 2001).

Pemanasan global disebabkan adanya efek rumah kaca, sebagai akibat peningkatan gas rumah kaca utama di atmosfer bumi. Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Termasuk didalamnya adalah uap air, gas yang mengandung CO2 (Karbondioksida), CH4 (Metan), N2O (Nitrous Oksida), HFCs (Hydofluorocarbons), PFCs (Perflurocarbons) dan SF6 Sulfur hexafluoride (Haneda, 2004 dalam Rungkat & Rengkuan, 2008: 2).

Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat penting dan bermanfaat bagi hidup dan kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung dari keberadaan hutan di antaranya adalah kayu, hasil hutan bukan kayu dan satwa. Sedangkan manfaat tidak langsungnya adalah berupa jasa lingkungan, baik sebagai pengatur tata air, fungsi estetika, maupun sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbon (Masripatin et al., 2010: 1).

Salah satu cara untuk mengendalikan perubahan iklim adalah dengan mengurangi emisi gas rumah kaca (CO, CH, N, O) yaitu dengan mempertahankan keutuhan hutan alami dan meningkatkan kerapatan populasi pepohonan di luar hutan. Tumbuhan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan menyerap gas asam arang (CO2) dari udara melalui proses fotosintesis, yang selanjutnya diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tumbuhan dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tumbuhan. Dengan demikian mengukur jumlah yang disimpan dalam tubuh tumbuhan hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO di atmosfer yang diserap oleh tumbuhan. Sedangkan pengukuran cadangan yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromassa) secara tidak langsung menggambarkan CO yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran (Hairiah et al., 2011).

89

Sampai saat ini Indonesia belum memiliki institusi khusus yang melakukan inventarisasi dan monitoring GRK. Hal ini menimbulkan permasalahan yaitu kurangnya ketersediaan data perubahan penggunaan lahan (activity data) dan faktor emisi/serapan lokal (emission/removal factors) untuk seluruh kategori lahan, carbon pool dan non-CO2 gas yang terkait, yang sangat berpengaruh terhadap tingkat akurasi dan kerincian hasil inventarisasi. Salah satu kategori lahan masih belum banyak diteliti adalah hutan tanaman pada lahan gambut. Di lahan kering sudah banyak data tentang teknik penghitungan karbon, tetapi di lahan gambut masih sedikit. Dalam penghitungan karbon untuk kegiatan REDD, hutan tanaman gambut juga sangat penting untuk dihitung, karena menurut IPCC guidance tahun 2006 (AFOLU/Agriculture Forestry and Other Land Uses), maka hutan tanaman gambut termasuk pada lahan hutan (Forestry). Dengan demikian salah satu aspek permasalahan yang harus diselesaikan dan disiapkan pada hutan tanaman di lahan gambut yaitu: bagaimana menghitung simpanan biomassa karbon di atas permukaan tanah (above ground biomass) termasuk pohon mati dan kayu mati (nekromasa), serasah dan tumbuhan bawah.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jumlah simpanan karbon pada hutan gambut sekunder bekas terbakar 8 tahun yang lalu. Penelitian ini berusaha menjawab masalah yang sangat penting ini secara sistematis, dengan menghitung cadangan karbon pada beberapa pool karbon. Tentunya masing-masing pool mempunyai karakter yang berbeda-beda, oleh karena itu perlu dikelompokkan untuk mempermudah didalam penghitungannya.

II. METODOLOGI

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan November 2012 di Desa Kedaton, Kecamatan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Alat yang digunakan adalah alat penentu posisi koordinat (GPS), dengan tingkat kesalahan jarak horizontal maksimal 10 m, alat pengukur diameter pohon (phi band), alat pengukur panjang, alat pengukur kelerengan (clinometer), alat pengukur tinggi pohon, alat pengukur kedalaman gambut, alat pengambil sampel tanah (ring soil sampler), alat pengukur berat (timbangan) dengan ketelitian 0,001 kg, kompas, gergaji kecil, gunting stek, oven, tally sheet, wadah sampel.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah pengukuran lapangan (field measurement). Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah pengambilan sampel berlapis secara random (stratified

90

random sampling) yaitu dengan stratifikasi hutan yang lebat dan jarang, dengan toleransi kesalahan (sampling error) maksimal 20%. Plot dibuat sebanyak tiga buah pada setiap strata (lebat dan jarang). Selanjutnya dilakukan pengukuran plot yang ditentukan secara random pada setiap strata. Ukuran plot terbesar adalah 20x20 m (Gambar 1), sedangkan untuk tiap tingkatan pertumbuhan vegetasi ukuran plotnya adalah sebagai berikut: a. Semai dengan luasan minimal 4 m2

b. Pancang dengan luasan minimal 25 m2

c. Tiang dengan luasan minimal 100 m2

d. Pohon dengan luasan minimal 400 m2

20 m

D 10 m

5 m

C 2 m

B 2 m 5 m 10 m 20 m

A

Gambar 1. Skema plot pengukuran biomassa karbon di lapangan

Keterangan: A : sub plot untuk serasah dan tumbuhan bawah (2x2 m) B : sub plot untuk pancang (5x5 m) C : sub plot untuk tiang (10x10 m) D : sub plot untuk pohon (20x20 m)

Pengukuran biomassa di atas permukaan tanah pada plot terdiri:

1. Pengukuran biomassa pohon, tiang dan pancang Tahapan pengukuran biomassa pohon, tiang dan pancang diawali

dengan identifikasi nama jenis pohon, lalu diukur diameter setinggi dada (dbh) dan tinggi. Pengukuran diikuti dengan pencatatan data dbh dan tinggi serta nama jenis tumbuhan ke dalam tally sheet. Pengam-bilan sampel dilakukan dengan destructive sampling, yaitu dengan menebang pohon, mengambil contoh kayu pada batang sepanjang 5 cm dan diukur berat basahnya. Setelah itu dihitung kerapatan kayunya

91

(BJ kayu) di laboratorium. Tahap berikutnya adalah menghitung biomassa pohon, tiang dan pancang, berdasar pengukuran diameter, tinggi dan kerapatan (BJ) kayu. Jumlah biomassa yang diperoleh adalah untuk luasan plot tertentu yaitu 25 m2 untuk pancang, 100 m2 untuk tiang dan 400 m2 untuk tingkat pohon. Cadangan biomassa per hektar dihitung dengan mengalikan jumlah berat kering biomassa dengan 10.000 dan dibagi dengan luas masing-masing plot. Untuk menentukan berat karbonnya, maka jumlah cadangan biomassa dikalikan dengan angka standar yaitu 0,47 (SNI, 2011).

2. Pengukuran biomassa tumbuhan bawah Biomassa tumbuhan bawah diukur pada plot dengan ukuran 2x2

meter. Semua bagian tumbuhan bawah dipotong di atas permukaan tanah dengan gunting stek. Lalu ditimbang berat basah total tumbuhan bawah dalam areal plot pengukuran (2x2 m), Setelah itu diambil sampelnya sebanyak ±300 gram berat basah. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan menggunakan oven di laboratorium dengan kisaran suhu 70oC sampai dengan 85oC hingga mencapai berat konstan selama 2 x 24 jam. Lalu ditimbang berat kering tumbuhan bawah menggunakan timbangan analitik, sehingga diperoleh berat biomassa dan kemudian dikalikan dengan jumlah berat basah total, baru dibagi dengan 300 gram. Dengan demikian akan diperoleh berat kering (biomassa) tumbuhan bawah seluas 4 m2. Untuk mencari berat biomassa per hektar, maka hasilnya harus dikalikan 2500 atau (10.000 m2/4 m2). Berat karbon dihitung dengan mengalikan berat biomassa tumbuhan bawah dengan angka standar 0,47.

3. Pengambilan serasah Serasah diukur pada plot yang sama dengan plot pengukuran

biomassa tumbuhan bawah, yaitu pada plot 2x2 meter. Dalam plot 2x2 m tersebut dilakukan pengukuran berat basah seluruh serasah. Sampel serasah diambil sebanyak ± 300 gram berat basah untuk dihitung berat keringnya. Setelah itu dibawa ke laboratorium tanah untuk dilakukan pengeringan dengan menggunakan oven pada kisaran suhu 70 °C - 85 oC selama 2 x 24 jam, sampai mencapai berat konstan. Setelah itu ditimbang berat kering serasah menggunakan timbangan analitik, sehingga diperoleh berat kering serasah dan kemudian dikalikan dengan jumlah berat basah total, baru dibagi dengan 300 gram. Dengan demikian akan diperoleh berat kering serasah seluas 4 m2. Untuk mencari berat biomassa per hektar, maka hasilnya harus dikalikan 2500 atau (10.000 m2/4 m2). Berat karbon serasah dihitung dengan mengalikan berat serasah dengan angka standar 0,47

92

4. Perhitungan a. Volume pohon, tiang dan pancang

V = ¼ x 3,14 (dbh)2 x t x f

Keterangan: Dbh = diameter setinggi dada pohon mati 1,3 m (cm) T = tinggi total (m) F = faktor bentuk (0,6)

b. Berat jenis kayu (kerapatan kayu)

Bj = Bks V

Keterangan: Bks = berat kering sampel V = volume pohon

c. Total Biomassa Bo = Bks x Bbt Bbs

Keterangan: Bks = Berat kering sampel (kg) Bbt = Berat basah total (kg) Bbs = Berat basah sampel (kg)

d. Karbon dari biomassa tumbuhan bawah dan serasah Perhitungan karbon dari biomassa tumbuhan bawah atau

serasah menggunakan rumus sebagai berikut:

Cb = Bo x % C organik

Keterangan: Cb = kandungan karbon dari biomassa tumbuhan bawah

atau serasah (kg) Bo = total biomassa tumbuhan bawah atau serasah (kg) % C = nilai persentase kandungan karbon sebesar 0,47

e. Cadangan karbon total dalam plot Perhitungan kandungan karbon dalam plot pengukuran

menggunakan persamaan sebagai berikut:

Cplot = (CPh + Cserasah + Ctmb)

Keterangan: Cplot = total kandungan karbon pada plot (ton/ha)

93

Cph = total kandungan karbon biomassa pohon per hektar pada plot (ton/ha)

Cserasah = total kandungan karbon biomassa serasah per hektar pada plot (ton/ha)

Ctmb = total kandungan karbon biomassa tumbuhan bawah per hektar pada plot (ton/ha)

5. Analisis data Data pengukuran tumbuhan bawah, serasah, pohon mati dan

kayu mati, dikumpulkan dan dibuat tabulasi dengan menggunkan software Microsoft Excel agar lebih mudah menghitungnya. Dengan menyatukan antara hasil pengukuran di lapangan dan hasil pengukuran di laboratorium, maka berat basah dan berat kering biomassa serta kandungan karbon dapat ditentukan dengan rumus-rumus yang sudah ditentukan sebelumnya. Selanjutnya dibuat tabel atau grafik agar dapat diketahui kecenderungan datanya. Analisis data dilakukan dengan melihat data dalam bentuk grafik maupun tabel. Dari analisis data tersebut dapat ditarik kesimpulan yang dapat digunakan untuk menjawab tujuan penelitian.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Kondisi Lahan Pada Hutan Alam Gambut Bekas Terbakar

Lokasi penelitian merupakan lahan dibawah penguasaan Dinas Kehutanan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Selain sebagai lokasi penelitian, lokasi ini juga digunakan untuk penelitian oleh ITTO yang bekerja sama dengan Balai Penelitian Kehutanan Palembang dan Pemerintah Daerah Kabupaten OKI.

Kondisi lahan hutan gambut bekas terbakar 8 tahun yang lalu adalah relatif datar, tidak terdapat dome atau lapisan gambut yang sangat dalam. Namun demikian ketebalan gambutnya termasuk cukup dalam yaitu antara 5,73 m - 5,95 meter. Lahan di sekitarnya biasanya sering terjadi kebakaran berulang-ulang, sehingga tidak ada masa untuk memulihkan diri. Kedalaman air tanah saat diadakan pengukuran antara 30 cm - 57 cm (musim hujan). Hal ini disebabkan lokasi penelitian berbatasan dengan kebun sawit dimana sudah terdapat kanal buatan, sehingga mempengaruhi kedalaman air tanah pada lokasi penelitian.

Lahan relatif aman dari kebakaran dibandingkan dengan lokasi yang lain. Dengan adanya pengawasan dari Dinas Kehutanan, maka lahan di lokasi penelitian sudah sekitar 8 tahun tidak terbakar. Setelah 8 tahun tidak terbakar, maka pemulihan mulai terjadi, jenis-jenis pioner mulai

94

tumbuh hingga mencapai tingkat pancang, meskipun di beberapa tempat sudah ada yang mencapai tingkat tiang (diameter 10-20 cm). Jenis-jenis pioner yang tumbuh yaitu dengan nama lokal: sepungol, prepat, gelam, beriang, gerunggang dan samak. Kondisi tumbuhan bawah juga cukup rapat, karena pertumbuhan pancang belum bisa menutup permukaan tanah. Di beberapa tempat juga terdapat semai, meskipun belum banyak. Kondisi hutan gambut sekunder bekas terbakar 8 tahun yang lalu dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kondisi hutan gambut sekunder bekas terbakar setelah 8 tahun

b. Peta Lokasi Penelitian Peta lokasi penelitian di Desa Kedaton, Kecamatan Kayu Agung,

Kabupaten Ogan Komering Ilir dapat dilihat pada Gambar 3. Lokasi penelitian tidak jauh dari Kota Kayu Agung, yaitu sekitar 6 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Jarak tempuh ke lokasi penelitian sekitar 20-30 menit, karena sebagian jalannya telah rusak. Lokasi penelitian terletak pada koordinat UTM 48 M antara (486341, 9621265) dan (486469, 9621294).

95

Gambar 3. Peta lokasi penelitian di Desa Kedaton, Kecamatan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI)

c. Hasil Perhitungan Karbon pada Hutan Gambut Sekunder yang Terba-kar 8 Tahun Lalu

Sebelum melakukan perhitungan cadangan karbon, terlebih dulu harus dicari persamaan allometrik untuk jenis-jenis pohon pada lokasi yang bersangkutan. Persamaan ini digunakan untuk menentukan kandungan karbon untuk pohon tingkat pancang, karena untuk tingkat tiang dan pohon belum ada. Dengan demikian pengukuran karbon hanya dilakukan pada tingkat pancang, tumbuhan bawah dan serasah. Hasil perhitungan berat karbon pada 6 plot sampel yang terdiri atas pohon, tumbuhan bawah dan serasah disajikan pada Tabel 1.

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa kandungan karbon pada serasah setelah kurang lebih 8 tahun tidak terbakar berkisar antara 1,250 - 3,975 ton/ha, sedangkan kandungan karbon pada tumbuhan bawah antara 0,435-1,310 ton/ha. Kandungan karbon pada pohon tingkat pancang antara 1,33 - 57,65 ton/ha. Setelah dirata-rata ternyata kandungan karbon total di atas permukaan tanah pada lahan gambut yang telah terbakar 8 tahun yang lalu adalah 21,42 ton/ha. Pertumbuhan pohon baru pada tingkat pancang (diameter 2 - < 10 cm), karena untuk tingkat tiang dan pohon belum ada. Selain itu pohon mati dan kayu mati juga tidak ada pada plot yang diukur.

Lokasi Penelitian

96

Tabel 1. Berat kandungan karbon pada lokasi hutan gambut bekas terbakar setelah 8 tahun

Plot

Karbon Serasah

Karbon Tumbuhan Bawah

Karbon Pohon (Tingkat Pancang)

Jumlah Karbon

(ton/ha) (ton/ha) (ton/ha) (ton/ha)

I 1,949 1,310 1,33 4,59

II 3,975 0,605 10,31 14,89

III 3,189 0,969 6,59 10,75

IV 3,335 0,736 57,65 61,72

V 3,141 0,805 24,43 28,38

VI 1,250 0,435 6,54 8,23

Rata-rata 2,807 0,810 17,808 21,42

Lokasi yang terbakar 8 tahun yang lalu sudah mulai tumbuh pohon tingkat pancang dan tiang dengan 6 jenis yang dominan (sepungol, prepat, gelam, beriang, gerunggang dan samak). Selain itu tumbuhan bawahnya juga cukup rapat, karena masih agak terbuka, sehingga sinar matahari masih dapat menembus lantai hutan. Sedangkan kondisi hutan alam gambut sekunder yang baru 1 tahun terbakar, masih belum tumbuh jenis-jenis pohon, tiang, pancang dan semai yang dominan. Namun demikian masih terdapat serasah, nekromassa dan tumbuhan bawah.

Gambar 4. Pengukuran berat biomassa ranting dan daun

Dari hasil pengukuran diperoleh bahwa seberapa berat dan besar kebakaran yang terjadi, tetapi cadangan biomassa karbon akan terus meningkat dari waktu ke waktu dengan adanya pertumbuhan vegetasi (pohon, tumbuhan bawah dan serasah), meskipun perlu waktu yang cukup lama. Cepat atau lambatnya peningkatan cadangan karbon sangat dipengaruhi oleh besarnya tingkat kebakaran yang terjadi. Makin hebat kebakaran yang terjadi, makin lama pula pemulihan cadangan karbonnya.

97

Proses pengukuran berat biomassa pancang, tumbuhan bawah dan serasah dapat dilihat pada Gambar 4.

IV. KESIMPULAN

1) Kebakaran yang terjadi pada hutan alam di lahan gambut, ternyata tidak semua cadangan karbon di atas permukaan tanah habis terbakar, kecuali kebakaran dengan kategori berat yang hampir menghilangkan cadangan karbon di atas permukaan tanah.

2) Regenerasi alam dapat berlangsung pada hutan alam gambut bekas terbakar. Setelah 8 tahun tingkat pertumbuhan pohonnya mencapai tingkat pancang dan belum terdapat tingkat tiang maupun pohon.

3) Diperoleh 6 jenis pohon tingkat pancang yang dominan di lahan gambut bekas terbakar, yaitu sepungol, prepat, gelam, beriang, gerunggang dan samak.

4) Cadangan karbon rata-rata di atas permukaan tanah pada lahan gambut bekas terbakar yang sudah tidak terbakar kurang lebih selama 8 tahun adalah sebesar 21,42 ton/ha, yang terdiri atas pancang, tumbuhan bawah dan serasah.

DAFTAR PUSTAKA

Hairiah, K et al. 2001. Methods forsampling carbon stocks above and below ground. ASB Lecture note 4B. ICRAF: Bogor.

Hairiah K & Rahayu S. 2007. Petunjuk Praktis Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. ICRAF Southeast Asia Regional Office: Bogor.

Hairiah K, Ekadinata A, Sari R.R dan Rahayu S. 2011. Petunjuk Praktis Pengukuran Cadangan Karbon dari Tingkat Lahan ke Bentang Lahan Edisi kedua. ICRAF Southeast Asia Regional Office: Bogor.

Masripatin, N et al. 2010. Cadangan Karbon pada Berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan: Bogor.

Rungkat, J & Rengkuat, M. 2008. Peranan Warga Bumi dalam Pemanasan Global. Biologi Fmipa Unima: Malang. Vol. 1 No.4 2008.

SNI 7724. 2011. Pengukuran dan penghitungan cadangan karbon–Pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan

98

(ground based forest carbon accounting). Manggala Wanabakti: Jakarta.

SNI 7725. 2011. Penyusunan Persamaan Alometrik untuk Penaksiran Ca-dangan Karbon Hutan Berdasarkan Pengukuran Lapangan (Ground Based Forest Carbon Accounting). Manggala Wanabakti: Jakarta.

Winarso, P.A. 2001. Pemanasan Global dan Reduksi CO2. Akademi Meteorologi dan Geofisika: Jakarta.

99

PENGALAMAN YAYASAN BOS DALAM RESTORASI EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT DI KAWASAN MAWAS

KALIMANTAN TENGAH

Baba S Barkah Peneliti pada Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo

I. PENDAHULUAN

Yayasan Penyelamatan Orang Utan Borneo (Yayasan BOS) merupakan organisasi nirlaba lingkungan yang mempunyai visi yaitu “terwujudnya kelestarian orangutan Borneo dan habitatnya dengan peran serta masyarakat”. Sejak tahun 1991, Yayasan BOS melakukan kerjasama dengan Ditjen PHKA Departemen Kehutanan Republik Indonesia dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah untuk melakukan upaya pelestarian Orangutan Borneo dan Habitatnya.

Salah satu program untuk mewujudkan Visi Yayasan BOS tesebut diatas adalah Program Konservasi Mawas di Kalimantan Tengah, yang dimulai sejak tahun 2003. Program Konservasi Mawas bertujuan untuk memastikan keberlanjutan pengelolaan Kawasan Mawas di Kalimantan Tengah, melalui pelibatan masyarakat dan parapihak serta dapat memberikan manfaat lingkungan dan ekonomi bagi masyarkat sekitarnya.

Kawasan Mawas adalah kawasan hutan rawa gambut yang terletak di Blok A-Utara dan Blok E eks PLG dan berada di Wilayah Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Barito Selatan Provinsi Kalimantan tengah. Kawasan ini merupakan habitat dari sekitar 3.000 orangutan liar beserta keanekaragaman hayati lainnya. Dan terdapat sekitar 53 Desa dan dusun dengan perkiraan sekitar 29.000 kepala keluarga. Sebagai dampak proyek PLG, kawasan tersebut telah menjadi Ekosistem Hutan Rawa Gambut yang terdegradasi dan sangat rentan terhadap segala ancaman yang dapat merusak kelestarian ekosistem hutan rawa gambut tersebut.

II. KONDISI UMUM KAWASAN MAWAS

Secara Geografis letak Kawasan Mawas, terbentang antara 10o34’59,61” LS -20o26’37,50” LS dan 114o23’22,65” BT - 114o 53’ 43,56” BT, dengan luas areal sekitar 309.861 hektar, dan merupakan kawasan hutan rawa gambut yang terletak diareal eks Proyek Lahan Gambut (PLG)

100

Sejuta hektar, yaitu Blok A-Utara (seluas 77.000 ha) dan Blok E2 (seluas 232.861 ha).

Menurut klasifikasi type iklim Schmidt dan Ferguson, Kawasan Mawas memiliki Type Iklim A. Berdasarkan data tahun 2002-2004, curah hujan rata-rata antara 119-239. Kondisi suhu pada siang hari berkisar antara 27,28oC - 30,40oC dan malam hari sekitar 24,47oc. Kelembaban udara rata-rata 84% dengan lama penyinaran matahari rata-rata 5,9 jam/hari.

Secara umum Kawasan Mawas memiliki topografi yang relatif datar dengan kelerengan antara 1 - 10% dan rata-rata elevasi dari permukaan laut berkisar antara 10 - 60 m. Jenis tanahnya didominasi oleh Jenis organosol, Gley humus, Regosol dan asosiasi Regosol-Podsol. Tanah-tanah yang dijumpai tergolong ke dalam jenis tropohemist, Sulfihemist, Troposaprist, fluvaquent, Quartzipsamment, Tropoquept dystropept, dan Hapludult (Bappenas, 2004). Klassifikasi kedalaman gambut antara 0 sampai > 10 meter. Penyebaran gambut tebal (>3m) dominan di blok E dan sebagian di Blok A.

Gambar 1. Lokasi Kawasan Mawas

Kawasan Mawas merupakan lahan bergambut yang mempunyai karakteristik yang khas karena adanya 3 (tiga) buah “peat dome” atau kubah gambut dengan kedalaman > 10 meter. Secara keseluruhan wilayah ini dialiri oleh dua sungai besar yaitu sungai Kapuas dan sungai Barito. Di dalamnya terdapat kanal-kanal dan beberapa anak sungai.

Kanal primer Pemisah

Blok E dan

A-utara Blok E

Blok A-Utara

101

Kawasan Mawas

Gambar 2. Distribusi kedalaman gambut

Hutan rawa gambut di Kawasan Mawas dicirikan oleh jenis-jenis pohon rawa gambut. Jenis-jenis tersebut adalah: Belangiran/Kahoi (Shorea belangiran), Ramin (Gonystilus bancanus), Jelutung (Dyera costulata dan D. lowii), Calophylum inophyllum, Tristania sp. dan Combretocarpus sp. Kondisi hutannya sebagian besar merupakan hutan bekas tebangan (log over area), baik oleh perusahaan (HPH) maupun masyarakat (ilegal logging). Kondisi areal pada Blok A-Utara sebagian besar merupakan areal gambut yang telah terdegradasi (lahan kritis) sedangkan pada Blok-E, masih berupa hutan rawa gambut dengan tu-tupan sedang. Berdasarkan hasil survey Yayasan BOS tahun 2006, terdapat beberapa jenis flora yang dilindungi didalam Kawasan Mawas, yaitu: Ramin (Gonystilus bancanus), Kempas (Koompassia malacensis Maing.ex Benth), tutup kembali atau jenis kayu arang (Diospyros sp), Nyatoh (Palaquium scholaris), Jelutung (Dyera consulata dan Dyera lowii), kapur naga (Calophyllum sp), rambutan hutan (Nephellium sp) dan Gemor (Alseodaphne umbeliflora).

Kawasan Mawas sangat penting ditinjau dari segi konservasi, karena merupakan habitat bagi sekitar 3.000 orangutan liar. Dari seluruh potensi di dunia, habitat rawa gambut di Kalimantan merupakan kawasan terluas yang memiliki nilai konservasi tinggi untuk mendukung keragaman hayati lahan basah. Di kawasan tersebut, tercatat 16 jenis mamalia yang dilindungi, 10 jenis masuk kategori IUCN serta 12 jenis masuk dalam kategori CITES. Dari jumlah tersebut, Orangutan (Pongo pygmaeus

102

wrumbii), Bekantan (Nasalis larvatus), Beruang madu (Helarctos malayanus), Berang-berang (Lutra-lutra) dan Macan dahan (Neofelis nebolusa), masuk dalam semua kategori. Selain itu juga teridentifikasi sebanyak 12 jenis ikan dan 143 jenis burung dari 33 family (keluarga), yang diantaranya 32 jenis masuk kedalam kategori IUCN dan 12 jenis masuk kategori CITES. Sebanyak 4 ordo amfibia dan reptilia ditemukan di kawasan tersebut yang mencakup 39 spesies amfibia dan 79 spesies reptilia. Pada saat ini populasi satwa tersebut semakin menurun disebabkan oleh sifat sensitif terhadap perubahan lingkungannya, apalagi dengan ancaman kebakaran hutan dan lahan yang datang setiap tahun.

III. TINGKAT KERUSAKAN KAWASAN MAWAS

Pada tahun 1995, lahir proyek lahan gambut 1 juta hektar (PLG) melaui keputusan Presiden Nomor 82 tahun 1995 pada 26 Desember 1995, selanjutnya melalui Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 1999 pengembangan proyek PLG dihentikan. Selama kurun waktu sekitar 4 tahun proyek PLG telah memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap kerusakan Kawasan Mawas, terutama pada Blok A-Utara.

Berdasarkan tingkat kerusakannya, Kawasan Mawas dapat digolongkan kedalam 3 tingkat kerusakan, yaitu:

Kerusakan berat, yang terjadi pada sebagian besar Blok A-Utara berupa kerusakan pada gambut (sedikit pada lapisan atas), kondisi tata air dan tutupan hutan menjadi areal tidak berhutan (areal terbuka)

diakibatkan oleh pembukaan lahan, kebakaran dan pembukaan kanal.

Kerusakan sedang, banyak terjadi sepanjang tepi sungai di blok E, berupa kerusakan pada kondisi gambut (gambut dangkal dan bekas terbakar) serta perubahan pada komposisi jenis tanaman.

Kerusakan ringan, pada sebagian besar areal Blok E, berupa kerusakan pada komposisi jenis asli hutan rawa gambut dan system tata air,

diakibatkan oleh adanya penebangan dan pembukaan kanal kecil (tatas).

103

Gambar 3. Kondisi areal pada Blok - A Utara Kawasan Mawas

Sedangkan berdasarkan klassifikasi degradasi. Kawasan Mawas

digolongkan ke dalam:

Hutan rawa gambut rimer yang terdegradasi, hutan rawa gambut yang sudah terganggu akibat penebangan, kebakaran dan lain-lain tetapi kondisi serta komposisi vegetasi hutan rawa gambut asli masih ada

Hutan sekunder, hutan rawa gambut yang telah berubah menjadi hutan dengan dominasi jenis vegetasi sekunder, terutama disebabkan karena kebakaran yang berulang, dan telah berubah menjadi hutan kerangas pada sebagian besar Blok E

Lahan gambut yang terdegradasi, hutan rawa gambut yang tutupanya telah berubah menjadi areal terbuka, semak belukar dan

atau tutupan hutan < 10% yaitu pada areal Blok A.

Gambar 4. Ekosistem Hutan Kerangas

Pasca proyek PLG, secara umum tedapat 3 faktor utama yang menjadi pemicu terjadinya kerusakan Kawasan Mawas, antara lain:

104

Pembukaan kanal dan tatas yang digunakan sebagai sarana akses dan sarana transportasi hasil hutan termasuk penebangan liar yang menyebabkan ketidakstabilan kondisi tata air

Penebangan liar

Kebakaran

IV. METODE RESTORASI EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT KAWASAN MAWAS

Sejak awal dimulainya pengeloalaan Kawasan Mawas pada tahun 2003 yang dijalankan oleh Program Konservasi Mawas, Yayasan BOS telah menetapkan prinsip pelibatan dan kerjasama dengan masyarakat serta para pihak dalam upaya perlindungan dan restorasi kawasan. Tujuan utama perlindungan dan restorasi Kawasan Mawas adalah untuk menjamin kelestarian dan memperbaiki kualitas Hutan Rawa Gambut Kawasan Mawas sebagai kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi dan habitat orang utan melalui pelibatan masyarakat dan parapihak.

Atas dasar tujuan tersebut, maka Yayasan BOS menerapkan pendekatan upaya perlindungan dan restorasi kawasan melalui beberapa kegiatan berikut:

Perbaikan kondisi tata air khususnya pada kawasan di Blok E

Rehabilitasi hutan melalui kegiatan restorasi

Pengelolaan kebakaran yang dititikberatkan pada upaya pencegahannya

Pemantauan kawasan melalui patroli rutin untuk mencegah terjadinya gangguan dan kegiatan ilegal

Pemberdayaan masyarakat dengan menitikberatkan pada pelibatan masyarakat secara aktif, dan peningkatan kapasitas serta ekonomi masyarakat secara aktif dan peningkatan kapasitas serta ekonomi masyarakat.

Penelitian dan pendidikan lingkungan untuk mendukung upaya konservasi kawasan.

Khusus dalam upaya restorasi Kawasan, Yayasan BOS Menerapkan

dua kegiatan utama yaitu, perbaikan sistem tata air dan rehabilitasi

kawasan yang didukung oleh kegiatan lainnya seperti diatas. Program

restorasi Kawasan Mawas dilakukan dengan mengikuti master plan

pengelolaan kawasan yang dibagi kedalam beberapa zona, Antara lain

105

zona pemanfaatan, zona penelitian, zona rehabilitasi dan zona

perlindungan, seperti pada gambar disamping.

Gambar 5. Kondisi air kanal surut dan rentan kebakaran pada musim kemarau

Gambar 6. Zona Pengelolaan Kawasan Mawas

V. Perbaikan sistem tata air melalui kegiatan blocking tatas

Perbaikan sistem tata air pada lahan gambut merupakan faktor yang sangat penting dalam upaya rehabilitasi dan restorasi. Mengingat sifat gambut yang “kering tak balik”, maka lahan gambut yang sudah dibuka dan telah didrainase dengan membuat kanal atau parit/tatas, kan-dungan airnya menurun secara berlebihan. Penurunan air di permukaan akan menyebabkan lahan gambut menjadi kering. Gambut yang sudah mengalami kekeringan yang ekstrim, akan sulit menyerap air kembali, dan memiliki bobot isi yang sangat ringan sehingga mudah hanyut terbawa air hujan, strukturnya lepas-lepas seperti lembaran serasah, mudah terbakar, dan sulit ditanami kembali. Kondisi ini yang pada akhirnya dapat memicu kerusakan yang lebih besar.

106

Dalam upaya perbaikan sistem tata air ini, Yayasan BOS lebih fokus pada perbaikan sistem tata air disekitar Blok E, dengan cara melakukan penyekatan tatas (penabatan2/blocking tatas) yang dilakukan bekerja-sama dengan kelompok masyarakat dan pemilik tatas. Penyekatan tatas bertujuan untuk mempertahankan ketinggian muka air lahan gambut sehingga kondisi air menjadi relatif stabil terutama pada musim kemarau sehingga dapat mendukung tahapan intervensi lainnya untuk perbaikan kawasan (seperti pencegahan kebakaran, penanaman dan lain-lain). 2

Penabatan tatas (tabat berasal dari bahasa lokal Dayak Kalimantan Tengah) adalah penutupan/penyekatan tatas (parit/kanal kecil

Gambar 7. Muara Kanal Primer dengan Sungai Kapuas

Gambar 8. Contoh tatas dan blocking tatas di Kawasan Mawas

Desain blocking tatas yang digunakan adalah berupa sekat isi dua lapis (composite dam) yang sederhana dengan bahan utama yang digunakan adalah kayu, tanah yang dikemas dalam karung, terpal plastik untuk menahan aliran air. Kayu yang digunakan adalah kayu mati, baik kayu bekas kebakaran maupun kayu tumbang yang masih bisa digunakan. Dalam restorasi hutan rawa gambut, kegiatan blocking tatas merupakan tahapan awal yang harus dilakukan untuk memberikan pra-kondisi yang sesuai bagi tahapan rehabilitasi kawasan berikutnya.

107

Gambar 9. Persemaian desa secara sederhana

Gambar 10. Lokasi penanaman dan pemantauan tanaman

VI. REHABILITASI HUTAN RAWA GAMBUT MELALUI KEGIATAN RESTORASI

Reforestasi atau penanaman kembali merupakan kegiatan untuk memperbaiki kondisi tutupan hutan pada kawasan yang telah terdegra-dasi. Teknis penanaman yang dilakukan disesuaikan dengan tingkat kerusakan dan zonasi kawasan. Dalam hal ini, Yayasan BOS lebih fokus pada lahan yang telah terdegradasi, dimana pada lokasi yang berdekatan dengan pemukiman digunakan jenis tanaman multifungsi (MPTs) sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sedangkan pada zona perlindungan digunakan jenis penting terutama tanaman jenis pakan orangutan. Secara umum, metode reforestasi yang digunakan oleh Yayasan BOS di Kawasan Mawas seperti diperlihatkan dalam tabel di bawah.

Beberapa tahapan yang dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan reforestasi di Kawasan Mawas oleh Yayasan BOS adalah sebagai berikut:

108

Perencanaan dan persiapan kegiatan, mencakup penyusunan rencana kerja kelompok, survey areal penanaman, penentuan jenis dan jumlah tanaman yang akan dikembangkan dan pelatihan teknis produksi bibit dan pengelolaan persemaian desa.

Pembangunan persemaian desa melalui kerjasama dengan kelompok masyarakat dan dituangkan di dalam perjanjian kerjasama. Produksi bibit untuk kegiatan reforestasi dilakukan melalui persemaian desa dengan pendampingan teknis secara rutin dari staff Yayasan BOS. Jenis tanaman yang dipilih adalah jenis tanaman asli setempat.

Persiapan lahan secara manual dengan sistem jalur (lebar jalur 1 m dan jarak antar jalur 5 m)

Pengangkutan dan seleksi bibit di lapangan.

Pembuatan lubang tanam dan penanaman, dengan jarak 3 m x 5 m atau 5m x 5 m

Pengecekan hasil tanaman dan pemetaan

Pemeliharaan tanaman secara manual dan berkala sampai umur 1 tahun

Pemantauan pertumbuhan tanaman yang dilakukan sampai tanaman berumur 1 tahun.

Tabel Metode reforestasi di Kawasan Mawas

Kriteria Lahan

Zona Perlindungan

Zona Penelitian

Zona Pemanfaatan Masyarakat

Lahan gambut kritis berupa lahan terbuka, pakis-pakisan, campuran, semak akibat kebakaran

Reforestasi berbasis masyarakat (jenis tanaman pakan

orangutan)

Reforestasi berbasis masyarakat (jenis tanaman pakan

orangutan)

Reforestasi berbasis masyarakat (jenis

tanaman multifungsi/MPTs)

Lahan gambut kritis berupa semak belukar akibat pembukaan lahan masyarakat untuk pertanian, perkebunan, pembakaran, dll

Reforestasi berbasis masyarakat (jenis tanaman pakan

orangutan)

Reforestasi berbasis masyarakat (jenis tanaman pakan

orangutan)

Reforestasi berbasis masyarakat (jenis

tanaman multifungsi/MPTs)

Lahan gambut dengan tutupan sekunder (masih terdapat variasi penutupan tajuk pohon) yang tidak merata akibat ilegal logging, dll

Pengayaan/ regenerasi alam dan pemantauan

Pengayaan/ regenerasi alam dan

pemantauan

Pengayaan/ regenerasi alam dan pemantauan

Keterangan: Prioritas

109

VII. KESIMPULAN DAN BAHAN PEMBELAJARAN

Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan restorasi ekosistem hutan rawa gambut di Kawasan Mawas Kalimantan Tengah, yang dilakukan oleh Yayasan BOS, beberapa hal yang dapat disimpulkan dan menjadi bahan pembelajaran adalah antara lain:

1. Intervensi teknis restorasi hutan rawa gambut harus disesuaikan dengan tingkat kerusakan kawasan dan dilakukan melalui kerjasama dengan masyarakat sekitar.

2. Pada kondisi sosial ekonomi masyarakat tertentu, pengembangan persemaian desa berbasis individu memberikan hasil yang lebih baik dibanding pengelolaan persemaian desa secara bersama-sama

3. Pada lahan gambut terdegradasi dengan indikator adanya kanal/parit, maka perbaikan sistem tata air kawasan tersebut merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk memberikan pra-kondisi yang mendukung upaya intervensi lainnya

4. Penyekatan parit/tatas di Kawasan Mawas, telah dapat memberikan dampak yang positif terhadap penurunan kerusakan kawasan karena adanya pengurangan akses, keseimbangan ketinggian muka air dan mendukung kegiatan penanaman pada areal sekitarnya

Jenis Tanaman pada kegiatan reforestasi Kawasan Mawas

1. Jenis MPTs pada zona pemanfaatan

Pantung/Jelutung (Dyera lowii)

Belangiran (Shorea belangeran) 2. Beberapa jenis penting pada zona lindung (jenis pakan orangutan)

Manggis hutan (Garcinia sp.)

Rumbangun (Acronychia sp.)

Kumpang (Horsfieldia sp.)

Katiau (Palaquium sp)

Karandau (Palaquium sp)

Nyatoh Undus (Palaquium sp)

Piais (Xerospermum norchianum)

Tantimun (Tetramerista glabra)

Mahawai ( Poliyalthya sumatrana)

Mahadingan (Calophyllum soulatri)

Keput bajuku (Stemonorus sp.)

Tagula ( Alseodaphne sp.)

Lewang (Palaquium sp)

Tutup kembali (Diospyros pilosanthera)

Bintan (Syzigium sp.)

dan lain-lain.

110

5. Penanaman jenis Balangiran (Shorea belangeran) dan jelutung rawa (Dyera lowii) terbukti dapat tumbuh dengan baik pada kondisi lahan gambut terdegradasi dengan tingkat kerusakan yang ekstrim di Kawasan Mawas

6. Untuk menjamin keberhasilan penanaman pada lahan terdegradasi, maka harus didukung dengan kegiatan pemeliharaan dan pemantauan tanaman serta perlindungan dari bahaya kebakaran

7. Pada kondisi tutupan hutan sedang, penyiapan prakondisi areal untuk mendukung regenerasi anakan alam (misalnya melalui perbaikan kondisi tata air) akan lebih efektif dari pada kegiatan penanaman.

8. Restorasi HRG memerlukan biaya yang cukup besar dan sebaiknya dikelola dalam jangka panjang

9. Kegagalan restorasi HRG banyak disebabkan oleh faktor non-teknis terutama kondisi sosial ekonomi masyarakat, ancaman kebakaran dan pengelolaan yang berbasis proyek jangka pendek

REFERENSI

ITTO guidelines for the restoration, management and rehabilitation of degraded and secondary tropical forest. ITTO Policy Development Series No 13.ITTO in collaboration with the Center for International Forestry Research (CIFOR), the Food and Agriculture Organization of the United Nation (FAO), the World Conservation Union (IUCN) and the world Wide Fund for nature (WWF) International. 2002

BOSF Mawas. 2006. Standar Operating Procedure (SOP) Pengembangan Program Reforestasi Berbasis Masyarakat di Kawasan Konservasi Program Mawas. Palangkaraya. Indonesia.

111

POTENSI KERUSAKAN DAN UPAYA REHABILITASI KAWASAN RAWA GAMBUT DI WILAYAH KERJA BPDAS MUSI, SUMATERA SELATAN

Agus Kurniawan*, Eni Rulianti** dan Yunita Dwi Hastuti**

* Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang, **

Pengendali Ekosistem Hutan pada Balai Pengelolaan DAS Musi

ABSTRAK

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Musi memiliki wilayah kerja seluas 8.621.371,61 Ha dan 1.3 juta Ha atau 16,02% merupakan kawasan bergambut. Kawasan ini tersebar di tersebar pada 4 provinsi yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bengkulu, Provinsi Jambi dan Provinsi Lampung. Lahan gambut memiliki fungsi yang sangat penting dalam tata air maupun kehidupan masyarakat sekitarnya. Kawasan bergambut seluas 640.240,487 Ha (46,35%) telah dikonversi dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan perkebunan, pertanian, pertambangan, tambak dan pemukiman. Interaksi yang intensif antara manusia (masyarakat) dengan kawasan bergambut berpotensi menimbulkan kerusakan hutan rawa gambut di wilayah ini. Kerusakan hutan rawa gambut di antaranya adalah penebangan liar, kebakaran hutan, subsidence dan rusaknya tata air tanah akibat pembuatan saluran drainase (kanal/ parit). Upaya rehabilitasi lahan dan hutan rawa gambut yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman intensif dan penanaman pengayaan (enrichment planting), sylvofishery dan mengupayakan kelangsungan suksesi alami. Sedangkan upaya yang lain adalah dengan membentuk kelembagaan yang dapat mendukung proses rehabilitasi kawasan gambut diantaranya pembentukan kelompok kader konservasi gambut, kelompok pemadam kebakaran, penyuluhan dan sosialisasi. Kelembagaan usaha ekonomi perlu diupayakan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan rawa gambut agar kerusakan hutan dapat ditekan.

Kata kunci: hutan rawa gambut, kebakaran, rehabilitasi

I. PENDAHULUAN

Indonesia memiliki hutan rawa gambut (peat swamp forest) sekitar 13,5 – 26,6 juta ha atau 50% dari total luas lahan gambut tropika di seluruh dunia (Wibisono et al., 2005; Suryadiputra et al., 2005). Dari

112

seluruh lahan gambut yang ada di Indonesia, sekitar 35% berada di pulau Sumatera. Penyebaran lahan gambut di pulau Sumatera secara dominan terdapat di dataran rendah sepanjang pantai timur, dari Lampung sampai Sumatera Utara, tetapi lebih dominan terdapat di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi dan Sumatera Utara (Barkah, 2009).

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Musi memiliki wilayah kerja seluas 8.621.371,61 Ha, yang tersebar pada 4 provinsi yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bengkulu, Provinsi Jambi dan Provinsi Lampung. Berdasarkan analisa citra spot Tahun 2009-2010, BPDAS Musi memiliki lahan bergambut seluas 1.3 juta Ha atau 16,02% dari total wilayah kerja (lihat tabel 1). Luasan lahan gambut dan fungsinya yang kompleks menunjukkan bahwa lahan gambut memiliki peran penting bagi kehidupan manusia. Lahan gambut memiliki fungsi yang sangat penting dalam tata air kawasan sebab gambut bersifat seperti busa yang dapat menyerap kelebihan air di musim penghujan sehingga dapat mencegah banjir dan melepaskan kandungan airnya secara perlahan di musim kemarau (BPDAS MUSI, 2011).

Lahan bergambut juga menjadi tempat berlindung berbagai jenis spesies langka seperti Harimau Sumatera, Orang Utan, Ikan Arwana dan Buaya; berbagai jenis kayu yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti Ramin (Gonystylus sp), Kayu Putih (Melaleuca sp), Jelutung (Dyera costulata), Meranti Rawa (Shorea sp), Nyatoh (Palaquium cachlearia), Bintangur (Calophylum kunstlerii), Gelam (Melaleuca sp), Pulai rawa (Alstonia pnematophora), Melur (Dacrydium beccarii) dan lain-lain (Wet Land Internasional, 2004 dalam BPDAS, 2011; Retnowati, 2007). Fungsi-fungsi tersebut menyebabkan lahan bergambut merupakan asset yang sangat penting bagi pembangunan nasional.

Laju kerusakan hutan tidak terlepas dari peningkatan jumlah penduduk. Banyak sumberdaya hutan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pendapatan masyarakat yang makin komplek. Hampir semua kerusakan hutan dan lahan khususnya lahan gambut disebabkan oleh aktivitas manusia. Secara teknis, kerusakan lahan gambut dapat dipicu antara lain kegiatan penebangan liar, kebakaran, kegiatan panambangan dan pembuatan saluran drainase (kanal/parit) serta konversi lahan. Selain itu ketergantungan masyarakat di kawasan bergambut cukup tinggi. mayoritas mata pencaharian masyarakat sebagai petani, peladang dan pekebun.

113

Tabel 1. Sebaran kawasan bergambut di wilayah kerja BPDAS Musi

Sumber: Analisa GIS, BPDAS Musi, 2011

II. POTENSI KERUSAKAN KAWASAN RAWA GAMBUT DI WILAYAH KERJA BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI

Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam sistem hidrologi kawasan hilir suatu DAS karena mampu menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Selain itu, kawasan gambut juga merupakan penyimpan cadangan karbon yang sangat besar, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Wilayah kerja BPDAS Musi sebagian merupakan kawasan bergambut (16,02%). Dari kawasan bergambut tersebut 76,76% dalam kondisi kritis dan 7,64% sangat kritis.

Gambar 1. Peta Sebaran Kawasan Gambut di Wilayah Kerja BPDAS Musi Sumber: Analisa GIS, BPDAS Musi, 2011

114

Gambar 2. Peta Kekritisan Kawasan Bergambut di Wilayah Kerja BPDAS Musi Sumber: Analisa GIS, BPDAS Musi, 2011

Tabel 2. Kondisi kekritisan lahan bergambut di wilayah kerja BPDAS Musi

Sumber: Analisa GIS, BPDAS Musi, 2011

115

Dari 1.3 juta ha kawasan bergambut di wilayah kerja BPDAS Musi dan 76,76% termasuk dalam katagori kritis dan 7,64% sangat kritis (Gambar 2 dan Tabel 2). Jika dilihat dari fungsi kawasan,hampir 64,30% atau seluas 888.052, 772 Ha berada di dalam kawasan hutan dan sisanya 35,70% atau seluas 493.124,760 Ha berada di luar kawasan hutan. Sebagian besar kawasan bergambut di wilayah kerja BPDAS Musi rusak diakibatkan oleh konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian khususnya perkebunan skala besar atau kawasan produksi kayu (HTI), eksploitasi, penebangan liar dan kebakaran.

Data ini menunjukkan bahwa interaksi masyarakat terhadap kawasan bergambut di wilayah kerja BPDAS Musi sangat tinggi. sehingga akibatnya potensi kerusakan lahan dan hutan rawa gambut di wilayah ini juga sangat tinggi. Kerusakan yang ditimbulkan menyebabkan kawasan bergambut ini tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya.

Tabel 3. Penutupan lahan begambut di wilayah kerja BPDAS Musi

No. Penggunaan Lahan Luas (Ha)

1 Hutan Mangrove Sekunder 2.300,524

2 Hutan Rawa Primer 97.286,768

3 Hutan Rawa Sekunder 54.075,410

4 Hutan Tanaman 266,631

5 Lahan Terbuka 10.889,725

6 Perkebunan 436.634,033

7 Permukiman 2.488,021

8 Pertambangan 163,473

9 Pertanian Lahan Kering (PLK) 6.245,473

10 PLK Campur Semak 60.598,896

11 Rawa 16.149,849

12 Savanna 47.908,002

13 Sawah 103.311,421

14 Semak Belukar 21.562,511

15 Semak Belukar Rawa 490.160,840

16 Tambak 12.067,561

17 Transmigrasi 18.465,025

18 Tubuh Air 603,369

TOTAL 1.381.177,532

Sumber: Analisa GIS, BPDAS Musi, 2011

Beberapa kegiatan yang menyebabkan kerusakan hutan rawa

gambut secara umum diantaranya adalah:

116

1. Pembalakan Pembalakan khususnya penebangan liar (illegal logging) menyebabkan kerusakan hutan gambut dan merusak proses suksesi hutan. Illegal log-ging memicu penurunan potensi dan peran ekosistem hutan gambut. Sebagai contoh, pemanfaatan tanaman ramin setelah illegal logging potensinya menurun dari 3,5 pohon per Ha menjadi 0,04 pohon per Ha (Retnowati, 2007).

2. Pembuatan saluran drainase Kanal atau parit digunakan untuk sarana transportasi dan mengatur muka air tanah. Dampak yang ditimbulkan dari pembuatan kanal ada-lah kemampuan gambut dalam mengikat air akan jauh menurun. Selain itu, turunnya muka air tanah akan mengakibatkan turunnya ketebalan gambut secara permanen (subsidence). Pembuatan saluran ini bertu-juan untuk memudahkan pengangkutan hasil hutan. Pengeringan hu-tan gambut ini akan meningkatkan potensi kerusakan seperti terjadinya kebakaran hutan gambut.

3. Kebakaran Hutan rawa gambut merupakan salah satu ekosistem yang paling rawan terhadap ancaman kebakaran. Kontribusi dampak kebakaran hutan rawa gambut sangat besar karena tingginya kandungan karbon dan besarnya jumlah karbon yang dilepaskan saat terjadi kebakaran (Lubis dan Suryadiputra, 2003). Kebakaran yang terjadi di lahan rawa gambut umumnya merupakan kebakaran bawah permukaan (ground-fire). Kebakaran tidak disertai dengan nyala api dan hanya terlihat asap mengepul di atas permukaan. Proses kebakaran terjadi sangat lambat sehingga membakar seluruh bahan organik yang ada di atasnya (Sumardi dan Widyastuti, 2004). Kebakaran bawah ini mengakibatkan kerusakan perakaran tanaman yang mengakibatkan kematian tanam-an. Selain itu kebakaran bawah permukaan ini mengakibatkan banyak hara hilang dan mematikan mikro organism dan mikro fauna yang hidup di lapisan bahan organic (Sumardi dan Widyastuti, 2004).

Hampir semua kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh aktivitas manusia, baik sengaja maupun tidak (Wibisono et al., 2005). Secara tradisional, pembakaran telah lama dimanfaatkan oleh mayarakat dalam mempersiapkan lahan pertanian. Persiapan lahan menggunakan api, selain murah juga relatif cepat. Demikian juga yang dilakukan oleh umumnya petani di Sumatera Selatan (Setijono, 2003).

117

4. Kegiatan Penambangan Kegiatan penambangan menimbulkan ekosistem hutan terdegradasi. Kegiatan penambangan yang menimbulkan kerusakan diantaranya penebangan pohon untuk akses jalan, pembuatan kanal untuk menurunkan muka air tanah dan lain-lain. Kegiatan penambangan di wilayah kerja BPDAS Musi dijumpai di Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Musi Banyuasin.

5. Konversi lahan Hampir sebagian kawasan bergambut di wilayah kerja BPDAS Musi telah dikonversi menjadi lahan pertanian, perkebunan, HTI, tambak, kegiatan pertambangan dan pemukiman (46,35%). Hal ini menyebab-kan peran dan fungsi lahan dan hutan rawa gambut menjadi berkurang atau bahkan hilang.

III. UPAYA REHABILITASI LAHAN RAWA GAMBUT

Rehabilitasi hutan rawa gambut perlu dilakukan sebelum terjadi kerusakan yang lebih parah. Upaya rehabilitasi kerusakan hutan rawa gambut akan sangat sulit dilakukan karena kerusakan gambut bersifat tidak dapat terbaharukan terutama kemampuannya dalam mengikat air.

Upaya rehabilitasi lahan dan hutan rawa gambut yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman intensif dan penanaman pengayaan (enrichment planting), sylvofishery dan mengupayakan kelangsungan suksesi alami. Pemilihan jenis tanaman untuk kegiatan rehabilitasi diupayakan dengan mengembangkan jenis-jenis lokal yang memiliki nilai tinggi. selain memudahkan dalam memperoleh materi tanaman, hal ini juga untuk menghindari kegagalan penanaman akibat persyaratan tumbuh yang tidak sesuai. Persiapan lahan diupayakan menghindari penggunaan api untuk menghindari kebakaran hutan. Teknologi persiapan lahan tanpa bakar telah banyak dikembangkan diantaranya dengan menggunakan tenaga manusia untuk menebang, membuka jalur dan menyemprot herbisida sebelum dilakukan penanaman. Selain itu dapat juga dilakukan secara mekanis menggunakan peralatan berat seperti traktor atau buldoser (Wibowo, 2007).

Selain tindakan silvikultur diperlukan upaya kelembagaan yang dapat mendukung proses rehabilitasi kawasan gambut diantaranya pembentukan kelompok kader konservasi gambut, kelompok pemadam kebakaran, penyuluhan dan sosialisasi. Kelembagaan usaha ekonomi juga perlu diupayakan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan rawa gambut sehingga kerusakan dapat ditekan.

118

Pengembangan kelembagaan ekonomi harus diiringi dengan tersedianya sarana yang memadai seperti tersedianya bank, pasar dan koperasi.

IV. PENUTUP

Hutan rawa gambut merupakan asset yang tidak ternilai harganya. Fungsi tata air tanah dan habitat berbagai macam species flora dan fauna sangat penting untuk dipertahankan selain sebagai penyedia sumberdaya alam bagi masyarakat. Upaya penyelamatan dan rehabilitasi perlu dilakukan untuk melestarikannya. Interaksi kepentingan manusia terha-dap kawasan hutan rawa gambut menyebabkan potensi kerusakan makin tinggi. Upaya silvikultur seperti penanaman, enrichment planting dan pembentukan kelembagaan ekonomi maupun kader konservasi gambut diperlukan untuk mengembalikan fungsi lahan dan hutan gambut.

DAFTAR PUSTAKA

Barkah, Baba. S. 2009. Laporan Kegiatan Survey dan Kerusakan Hutan Rawa Gambut Areal MRPP. GTZ. Palembang

BPDAS Musi. 2011. RTk RHL DAS Pada Kawasan Bergambut Berfungsi Lindung dan Budidaya di Wilayah Kerja BPDAS Musi Tahun 2011. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Musi. Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial. Kementerian Kehutanan.

Lubis. I.R dan I.N.N. Suryadiputra. 2003. Upaya Pengelolaan Terpadu Hutan Rawa Gambut Bekas Terbakar di Wilayah Berbak – Sembilang. Prosiding semiloka: Kebakaran di lahan rawa/gambut di Sumatera: masalah dan solusi. Eds. Suyanto dkk. CIFOR. Bogor

Retnowati. E. 2007. Beberapa Permasalahan dan Tindakan Pengelolaan untuk Pelestarian Hutan Gambut (Peat Forest). Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. 243-247p

Setijono. D. 2003. Kehidupan Masyarakat dan Kaitannya dengan Kebakaran Lahan Rawa/Gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir – Propinsi Sumatera Selatan. Prosiding semiloka: Kebakaran di lahan rawa/gambut di Sumatera: masalah dan solusi. Eds. Suyanto dkk. CIFOR. Bogor

119

Sumardi dan S.M. Widyastuti. 2004. Dasar-Dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Suryadiputra. I.N.N., Alue Dohong, Roh, S.B. Waspodo, Lili Muslihat, Irwansyah, R. Lubis, Ferry Hasudungan dan I.T.C. Wibisono. 2005. Panduan Penyekatan Parit dan Saluran di Lahan Gambut Bersama Masyarakat. Wetlands International. Bogor

Wibisono. I, L. Siboro, I.N.N. Suryadiputra. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forest and Peatlandi in Indonesia. Wetland International-Indonesia Programe dan Wildlife Habitat Canada. Bogor

Wibowo, A. 2007. Upaya Pengendalian Kebakaran Pada Unit Pemngelolaan Hutan Tanaman Lahan Gambut di Sumatera Selatan. Info Hutan Tanaman Vol. 2 No. 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. 9-25p

120

121

BUDIDAYA JABON SEBAGAI ALTERNATIF REHABILITASI

DAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI SUMATERA SELATAN

Hengki Siahaan dan Agus Sumadi

Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Budidaya jabon telah berkembang pada lahan rawa di berbagai lokasi di Sumatera Selatan. Minat masyarakat menanam jabon semakin tinggi karena pertumbuhan jabon di lahan rawa sangat baik. Melalui penerapan teknik silvikultur sistem parit dan pemupukan yang intensif pada umur 2 tahun dapat mencapai diameter 10,71 cm dan tinggi 10,13 meter. Dengan potensi pertumbuhan demikian, budidaya jabon secara ekonomis layak diusahakan. Secara ekologis, budidaya jabon dapat memperbaiki kualitas lingkungan dengan terciptanya iklim mikro melalui pertumbuhan tajuk tegakan yang cepat. Lahan rawa seluas 1,42 juta ha di Sumatera Selatan dapat memberikan keuntungan secara ekologis maupun ekonomis apabila dikelola dengan baik, salah satunya dengan budidaya jabon.

Kata Kunci: jabon, budidaya, lahan rawa

I. PENDAHULUAN

Jabon (Anthocephalus cadamba Miq), saat ini merupakan salah satu jenis tanaman yang cukup diminati oleh masyarakat di Sumatera Selatan untuk dibudidayakan, khususnya di lahan rawa. Beberapa alasan yang menjadikan jabon diminati masyarakat antara lain karena jabon merupakan jenis cepat tumbuh (fast growing species) dengan daur 6-8 tahun untuk kayu pulp dan 12 tahun untuk kayu pertukangan, secara teknis mudah dibudidayakan, dapat ditanam pada berbagai tipe lahan, termasuk lahan rawa, kualitas kayunya baik sehingga dapat digunakan untuk berbagai keperluan, dan pasarnya terbuka lebar.

Secara alami jabon tumbuh di dekat aliran sungai atau lokasi yang dekat air (lembab) pada jenis tanah alluvial dan pada zona transisi lahan rawa dan lahan kering yang secara berkala tergenangi luapan banjir. Dengan sifat alami ini, jabon dapat tumbuh dengan baik pada lahan rawa yang mempunyai sumber air melimpah. Agar tanaman tidak tergenang maka penanaman dapat dilakukan dengan sistem parit.

122

Kemampuan jabon tumbuh pada lahan rawa menjadikan budidaya jabon salah satu alternatif dalam pemanfaatan dan rehabilitasi lahan rawa. Di Sumatera Selatan, yang mempunyai luas lahan rawa 1,42 juta ha (Wahyunto et al., 2003), budidaya jabon menjadi pilihan yang rasional. Hingga tahun 2013, jabon telah dibudidayakan oleh masyarakat secara mandiri pada beberapa lokasi lahan rawa di Kota Palembang, Kabupaten Banyuasin, Ogan Ilir, dan Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Budidaya jabon pada berbagai lokasi lahan rawa di Sumatera Selatan dilakukan dengan teknik silvikultur yang sangat beragam, dari yang sangat sederhana hingga penerapan teknik silvikultur yang cukup intensif. Teknik silvikultur yang diterapkan juga berbeda, sesuai dengan tapak lokasi penanaman. Penerapan teknik silvikultur yang beragam berdampak pada pertumbuhan tanaman yang beragam pula, sehingga akan memberikan produktifitas yang berbeda. Tulisan ini menyajikan teknik budidaya dan pertumbuhan jabon pada lahan rawa di beberapa kabupaten di Sumatera Selatan.

II. PENYEBARAN DAN SIFAT EKOLOGI JABON

Jabon merupakan jenis asli Indonesia, sebarannya meliputi Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua (Martawidjaja et al., 1989). Di Sumatera Selatan, jabon dapat dijumpai di sepanjang bantaran Sungai Musi, Sungai Ogan, dan Sungai Komering. Jabon tumbuh baik pada berbagai jenis tanah, yaitu tanah alluvial, tanah liat dan tanah lempung podzolik coklat yang mempunyai aerasi yang baik (tidak tergenang).

Secara alami jabon tumbuh pada hutan sekunder pada ketinggian 0-800 meter dpl, pada tipe iklim basah hingga kering dengan klasifikasi iklim A sampai D pada klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson. Kosasih (2011) menyebutkan bahwa jabon tumbuh pada daerah dengan suhu rata-rata 23oC dan curah hujan rata-rata 1600 mm/tahun. Jenis ini merupakan jenis pionir, permudaan alami terjadi secara baik pada daerah lembab dan terbuka, seperti pada hutan-hutan sekunder yang dekat aliran air dan mempunyai kemampuan ekologis mendominasi areal yang bebas dari persaingan cahaya.

Secara fisik, jabon tumbuh menjulang tinggi dengan bentuk tajuk yang lebar. Pertumbuhan dapat mencapai tinggi 40 meter dengan diameter (dbh) mencapai 120 cm. Pertumbuhan batang silindris dan lurus dengan tinggi bebas cabang mencapai 30 meter sehingga, apabila dimanfaatkan, pengerjaanya dapat dilakukan dengan mudah dan efisien.

123

Fase pertumbuhan generatif mulai terjadi pada umur 4 tahun, yang ditandai dengan munculnya bunga. Pembungaan dan pembuahan terjadi setiap tahun. Buah berbentuk bulat dan mengandung biji yang sangat banyak. Jumlah buah mencapai 33 butir/kg dengan jumlah biji 18-26 juta/kg (Pratiwi, 2003).

Jabon termasuk kelas kayu ringan dengan berat jenis 0,42 gr/cm3 dengan kelas kuat III-IV dan kelas awet V (Martawidjaja et al., 1989). Dengan sifat fisik seperti ini, kayu jabon dapat dimanfaatkan untuk konstruksi ringan, pembuatan korek api, peti, cetakan beton, dan bahan baku pulp (Heyne, 1987). Kayu jabon mudah dibuat venir (tanpa perlakuan pendahuluan) dan dapat direkatkan dengan menggunakan urea-formaldehida menjadi kayu lapis dengan standar kualitas Indonesia, Jepang, dan Jerman.

III. TEKNIK SILVIKULTUR DAN PERTUMBUHAN JABON PADA LAHAN RAWA

Budidaya jabon di Sumatera selatan dimulai pada awal tahun 2010. Pengembangan umumnya dilakukan dengan pola monokultur pada berbagai type lahan, baik lahan basah maupun lahan kering; tetapi sebagian besar dilakukan pada lahan basah (rawa). Pada lahan rawa, budidaya dilakukan dengan sistem parit sedangkan pada lahan kering dengan sistem pembersihan lahan (land clearing) (Tabel 1). Pada lahan kering, budidaya dilakukan pada lokasi yang berdekatan dengan sumber air, seperti di sekitar kolam atau lahan rawa lebak.

Pembuatan parit pada lahan rawa dilakukan utuk menurunkan permukaan air, sehingga terbentuk alur penanaman dengan kondisi kering (Gambar 1, kiri). Jarak antar parit yang sekaligus menjadi jarak antar jalur tanam, pada plot pengamatan yang dijumpai berkisar antara 2,7 - 5,0 meter dan lebar 1-2 meter. Penanaman jabon pada lahan rawa dengan sistem parit akan membantu tanaman tumbuh sehat, karena sumber air tetap tersedia tetapi terhindar dari genangan.

Pengaturan kerapatan tanaman sangat penting diperhatikan pada saat penanaman dilakukan, yaitu pada saat menentukan jarak antar jalur (parit) dan jarak tanaman dalam satu jalur. Kerapatan yang terlalu tinggi dapat memperlambat pertumbuhan diameter, misalnya pada plot 1 dan 8 yang ditanam pada site dan perlakuan silvikultur yang sama terjadi perbedaan pertumbuhan diameter. Plot 1 dengan kerapatan (N) 1.000 pohon/ha mempunyai riap diameter 5,15 cm/tahun sedangkan plot 2

124

dengan kerapatan (N) 1.500 pohon/ha hanya mencapai 4,80 cm/tahun (Tabel 2).

Tabel 1. Tipe dan teknik penyiapan lahan pada berbagai lokasi pengembangan jabon di Sumatera Selatan

Lokasi No

plot Tinggi

Dpl (m) Waktu Tanam

Penyiapan lahan/jarak tanam

Type lahan

Talang Jambe, Kec. Sukarami, Palembang

1 10 Desember 2010 Sistem parit (2 m x 5 m)

Rawa

2 8 Januari 2010 Sistem parit (2,3 m x 4,5 m)

Rawa

3 9 Maret 2012 Sistem parit (2 m x 3 m)

Rawa

4 9 Januari 2010 Sistem parit (2,1 m x 2,7 m)

Rawa

Tanjung Perik, Kec. Indralaya Utara, Ogan Ilir

5 28 April 2011 Land clearing (3 m x 3 m)

Darat (lembab)

6 28 April 2011 Land clearing (3 m x 3 m)

Darat (lembab)

Payakabung, Kec. Indralaya Utara, Ogan Ilir

7 37 Juni 2011 Land clearing (3 m x 3 m)

Darat (lembab)

Sukaraja Baru, Kec. Indralaya Selatan, Ogan Ilir

8 19 Oktober 2010 Sistem parit (1,5 m x 2,9 m)

Rawa

9 13 Desember 2010 Tanpa parit (2 m x 3 m)

Rawa

Gambar 1. Penanaman jabon pada lahan rawa dengan sistem parit (kiri) dan penanaman pada lahan kering (kanan)

Perbedaan site penanaman juga memengaruhi pertumbuhan jabon. Pertumbuhan tanaman pada lahan rawa lebih baik dibandingkan lahan kering. Pada lahan rawa pertumbuhan diameter dapat mencapai 5,15 cm/tahun dan tinggi 4,27 m/tahun, sedangkan pada lahan kering (darat)

125

hanya mencapai riap diameter 3,21 cm/tahun dan tinggi 2,36 m/tahun (Tabel 2). Hal ini bersesuaian dengan sifat alami jabon yang lebih banyak dijumpai pada daerah lembab di tepi aliran air (sungai). Disamping site penanaman yang sesuai, pertumbuhan jabon dapat ditingkatkan dengan pemupukan yang dilakukan secara rutin (intensif).

Tabel 2. Pertumbuhan jabon pada berbagai kerapatan (N) dan teknik silvikultur di Sumatera Selatan

No. plot

Umur (thn)

N (ph/ha)

Teknik Silvikultur

Pertumbuhan diameter

(cm)

Pertumbuhan tinggi (m)

Dbh riap Tinggi riap

1. 2,08 1.000 Sistem parit, pemupukan intensif

10,71

5,15 8,48 4,08

2. 3,00 622 Sistem parit, pemupukan kurang intensif

7,96

2,65 5,73 1,91

3. 0,83 1.256 Sistem parit, pemupukan kurang intensif

2,83

3,41 2,32 2,80

4. 3,00 1.422 Sistem parit, pemupukan kurang intensif

9,53

3,18 8,23 2,74

5. 1,75 1.033 Land clearing, pemupukan intensif

5,61

3,21 3,80 2,17

6. 1,75 1.067 Land clearing, pemupukan intensif

5,23

2,99 3,64 2,08

7. 1,50 733 Land clearing, pemupukan kurang intensif

4,60

3,07 3,54 2,36

8. 2,25 1.500 Sistem parit, pemupukan intensif

10,79

4,80 9,60 4,27

9. 2,08 1.444 Sistem parit, pemupukan kurang intensif

9,54

4,59 10,13 4,87

IV. PENUTUP

Budidaya jabon pada lahan rawa di Sumatera Selatan menunjukkan pertumbuhan yang baik. Dengan perlakuan silvikultur yang intensif, seperti pemupukan dan pembuatan parit, pertumbuhan jabon dapat mencapai riap diameter 5,15 cm/tahun dan riap tinggi 4,87 m/tahun pada umur sekitar 2 tahun. Potensi ini menunjukkan bahwa budidaya jabon merupakan salah satu alternatif pemanfaatan dan rehabilitasi lahan rawa.

Budidaya jabon pada lahan rawa tidak hanya mendatangkan keuntungan ekologis berupa kehadiran pohon-pohon yang menciptakan

126

iklim mikro yang lebih baik, tetapi juga dapat mendatangkan keuntungan secara ekonomis dengan tingginya pertumbuhan tanaman dan terbukanya pasar secara luas. Dengan demikian, potensi lahan rawa di Sumatera Selatan seluas 1,42 juta ha dapat memberikan keuntungan secara ekologis maupun secara ekonomis apabila dikelola dengan baik, salah satunya dengan budidaya jabon.

DAFTAR PUSTAKA

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Kosasih A.S. 2011. Mengenal jabon (Anthocephalus cadamba) dan teknik silvikulturnya. Mitra Hutan Tanaman 6 (1): 13-19. Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor

Martawijaya A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, K. Kadir & S. A. Prawira. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Balai Penelitian Hasil Hutan, Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Pratiwi. 2003. Prospek pohon jabon untuk pengembangan hutan tanaman. Bulletin Litbang Kehutanan 4 (1): 61-66. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.

Wahyunto, S. Ritung & H. Subagjo. 2003. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon Pulau Sumatera. Proyek Climate Change, Forest, and Peatland in Indonesia. Wetland International Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada. Bogor.

127

PENYERAPAN KARBON PADA HUTAN TANAMAN Acacia crassicarpa DI LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI PT. SBA WI

Agus Sumadi*, Mamat Rahmat* dan Teten Rahman**

* Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang ** Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Paper ini dimaksudkan untuk mengemukakan hasil penelitian pendugaan serapan karbon pada hutan tanaman Acacia crassicarpa yang dibangun pada lahan gambut terdegradasi. Penelitian dilakukan di areal HTI PT. SBA WI, yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten OKI, Provinsi Sumatera Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode destruktif, yaitu dilakukan dengan cara menebang pohon contoh lalu ditimbang berat basah dan berat keringnya yang dimaksudkan untuk mengetahui kandungan biomassa. Serapan karbon pada pohon contoh dihitung dengan menggunakan metode estimasi kandungan karbon pada vegetasi secara umum berdasarkan penelitian terdahulu yaitu sebesar 50% dari total biomassa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan biomassa pada tegakan A. crassicarpa di PT. SBA WI dapat diduga dengan menggunakan persamaan allometri Y = 0,0361X2,26858. Berdasarkan hasil estimasi, jumlah serapan karbon pada hutan tanaman A. crassicarpa pada umur dua hingga enam tahun berturut-turut sebagai berikut: 26,39, 83,28, 86,93, 117,98, dan 166,89 ton/ha. Adapun MAI serapan karbon hutan tanaman A. crassicarpa pada lahan gambut di PT. SBA WI menunjukan fluktuasi yang berkisar antara 10 – 30 ton/ha/tahun, dan MAI yang dicapai pada umur enam tahun adalah 27,82 ton/ha/tahun. Sementara itu, proporsi karbon terbesar pada pohon A. crassicarpa terdapat pada bagian batang, yaitu mencapai 63%. Pembangunan HTI pada lahan gambut terdegradasi dapat menjadi solusi penyerap karbon dan perlindungan lahan terhadap pelepasan karbon lebih besar yang disebabkan kebakaran berulang.

Kata kunci: hutan tanaman, lahan gambut, serapan karbon

I. PENDAHULUAN

Hutan rawa gambut memiliki fungsi ganda dalam konteks perubahan iklim, sebagai penyerap karbon dioksida dari atmosfir juga

128

sebagai sumber emisi gas rumah kaca. Hutan rawa gambut mampu menyimpan stok karbon pada vegetasi hutan serta dalam lapisan gambut. Namun, apabila keseimbangan ekosistem hutan rawa gambut terganggu maka hutan rawa gambut berperan sebagai sumber emisi.

Kebakaran hutan dan lahan telah menyebabkan terlepasnya simpanan karbon dari ekosistem hutan rawa gambut. Menurut Agus dan Subiksa (2008), terbakarnya lapisan gambut setebal 15 cm dapat menghasilkan emisi 275 ton CO2/ha. Kebakaran hutan dan lahan juga telah memusnahkan hutan alam rawa gambut di pantai timur OKI, Sumatera Selatan.

Menurut Suyanto dan Khususiyah (2004), kebakaran hutan yang terjadi pada hutan dan lahan gambut di Kabupaten OKI memiliki keterkaitan dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya pertanian masyarakat sekitar. Lebih lanjut mereka menyarankan bahwa pengelolaan lahan gambut bekas terbakar adalah upaya terbaik untuk mencegah terulangnya kebakaran hutan dan lahan gambut di Kabupaten OKI. Penanaman pohon dan budidaya tanpa bakar merupakan salah satu bagian dari upaya pengelolaan lahan gambut yang telah terdegradasi.

Penanaman pohon pada lahan gambut terdegradasi dapat mempertahankan simpanan karbon yang masih tersisa pada lahan gambut. Selain itu, juga dapat menambah stok karbon melalui penyerapan karbon yang oleh tanaman melalui proses fotosintesis. Paper ini menyajikan jumlah kandungan biomassa, penyerapan karbon dan CO2 oleh tanaman rehabilitasi pada hutan gambut terdegradasi. Data yang dikemukakan merupakan hasil kajian penulis yang telah dilakukan pada tahun 2007 di areal HTI PT. SBA WI, di wilayah Kabupaten OKI, Sumatera Selatan.

PT. SBA WI telah melakukan penanaman pada lahan gambut terdegradasi sejak tahun 2003. Jenis yang ditanam adalah Acacia crassicarpa. Pada saat kajian ini dilakukan, realisasi tanaman telah mencapai luas 104.000 ha (Sawyer dan Yusuf, 2007), yang terbagi ke dalam enam kelas umur, yaitu umur 1 – 6 tahun.

II. METODE PENELITIAN

Pendugaan kandungan karbon dilakukan dengan metode destruktif sampling. Plot pengamatan dengan ukuran 25 m x 30 m dibuat pada masing-masing umur tegakan A. Crassicarpa. Jumlah plot pada setiap kelas umur sebanyak empat buah. Untuk mengetahui biomassa pohon

129

dilakukan pengukuran berat basah pohon yang dipilih secara proporsional dari pohon-pohon yang terdapat di dalam plot pengamatan. Lima pohon contoh dipilih secara proporsional berdasarkan sebaran diameter setinggi dada (Dbh).

Pohon contoh terpilih ditebang untuk diukur dimensi pohon dan ditimbang berat basahnya. Masing-masing bagian pohon dikelompokan ke dalam empat kategori yaitu: batang, cabang ranting, daun dan akar.

Setiap bagian pohon diambil sampelnya untuk dianalisa kandungan biomassa dan karbonnya. Sampel dari bagian batang diambil pada setiap seksi pada ketinggian 0, 0,3, 1,3, 3,3 m dan seterusnya setiap 2 m sampai dengan ujung pohon. Sampel batang berbentuk silindris (disk) dengan tebal ± 1 cm.

Bagian cabang dan ranting pohon dipisahkan antara cabang dan ranting yang masih hidup dengan yang mati, selanjutnya masing-masing dikumpulkan dan dilakukan penimbangan serta diambil sampelnya berbentuk silindris seperti halnya sampel batang. Jumlah sampel cabang dan ranting pada masing-masing kategori hidup dan mati tersebut, diambil sampel sebanyak 3 ulangan agar dapat mewakili kondisi dan sebaran diameter ranting pohon tersebut.

Daun pohon dipisahkan antara daun hidup dan daun yang sudah mati. Masing-masing kategori daun tersebut dikumpulkan dan dilakukan penimbangan berat basahnya. Sampel daun dibuat mewakili kedua kategori daun tersebut dengan berat 100 gr.

Penggalian akar pohon dilakukan untuk mengetahui berat basah akar. Untuk mengetahui biomassanya, sampel akar dibuat berbentuk silindris seperti halnya sampel batang. Sampel akar yang diambil mewakili bagian pangkal dan ujung akar.

Jumlah karbon yang dapat diserap oleh pohon A. crassicarpa dihitung dengan mengacu kepada penghitungan biomassa yang telah dilakukan oleh Ginoga et al. (2004). Persamaan allometri yang diujikan adalah model yang dikembangkan oleh Brown (1997) sebagaimana disitir juga oleh Murdiyarso et. al. (2004). Perhitungan serapan karbon mengacu kepada perhitungan karbon yang telah dilakukan oleh Cacho et al (2002); JIPFRO (2000) yang disitir oleh Heriansyah (2005), yakni besarnya serapan karbon hutan adalah setengahnya dari biomassa pohon. Adapun, penghitungan jumlah penyerapan CO2 diperhitungkan berdasarkan berat atom C dalam senyawa CO2. Berat total atom unsur-unsur penyusun senyawa CO2 adalah 42, sedangkan berat unsur C adalah 12. Sehingga,

130

dapat diperhitungkan bahwa jumlah CO2 yang diserap dari atmosfir adalah 3,67 kali jumlah serapan C (karbon).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Persamaan Allometri

Hasil Uji Statistik (Uji F) menunjukkan bahwa diameter pohon setinggi dada memiliki hubungan sangat signifikan dengan kandungan biomassa pada pohon A. crassicarpa, sedangkan tinggi total dan umur pohon tidak signifikan. Oleh karena itu, diameter pohon setinggi dada merupakan variabel yang cukup akurat untuk menduga kandungan biomassa pada pohon A. crassicarpa di HTI PT. SBA WI.

Berdasarkan hasil analisis, biomassa pada tegakan A. crassicarpa di HTI PT. SBA WI dapat diduga dengan menggunakan persamaan Y = 0,0361X2,6858, Y adalah kandungan biomassa dan X diameter setinggi dada (Dbh). Grafik pola hubungan tersebut disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Hubungan Dbh dengan kandungan biomassa pada pohon Acacia crassicarpa

B. Biomassa, Kandungan Karbon dan Penyerapan CO2

Kandungan biomassa, karbon dan penyerapan CO2 pada pohon A. crassicarpa menunjukan peningkatan seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Hal tersebut berbanding lurus dengan rata-rata Dbh. Nilai rata-rata kandungan biomassa, serapan karbon dan CO2 per pohon disajikan pada Tabel 1.

y = 0.0361x2.6858

R2 = 0.9701

0

50

100

150

200

250

300

350

0 5 10 15 20 25 30

Dbh cm)

Biom

assa

(kg)

Total Batang Cabang & Ranting Akar Daun

131

Tabel 1. Biomassa, Karbon dan Penyerapan CO2 rata-rata per pohon pada jenis A. crassicarpa Umur 2 – 6 tahun

Parameter Umur (tahun)

2 3 4 5 6

Dbh rata-rata (cm) 11,46 16,41 19,15 19,49 24,12

Biomassa (kg/pohon) 68,28 15,28 224,90 305,23 431,79

Karbon (kg/pohon) 34,14 107,73 112,45 152,62 215,90

Penyerapan CO2

(kg/pohon) 125,29 395,36 412,69 560,10 792,33

Proporsi serapan karbon dalam bagian batang, cabang-ranting, daun serta akar pada pohon A. crassicarpa umur dua hingga enam tahun cukup bervariasi. Proporsi serapan karbon terbesar pada setiap kelompok umur tegakan A. crassicarpa terdapat pada bagian batang dan terkecil pada daun (lihat Tabel 2). Secara umum, rata-rata serapan karbon terbesar terdapat pada bagian batang yaitu mencapai 63% dan terendah sebesar 7% pada daun (Gambar 2).

Tabel 2. Proporsi Serapan Karbon pada Pohon A. crassicarpa Umur 2 – 6 Tahun

Bagian pohon Proporsi serapan karbon (%)

2 Thn 3 Thn 4 Thn 5 Thn 6 Thn

Batang 47,65 60,03 73,12 67,89 63,13

Cabang dan Ranting 22,07 15,72 6,77 8,15 9,40

Daun 13,30 5,10 4,93 3,99 7,38

Akar 16,98 19,75 15,18 19,97 20,09

Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Gambar 2. Proporsi serapan karbon pada setiap bagian pohon A. crassicarpa

63%12%

7%

18%

Batang Cabang dan Ranting Daun Akar

132

Penelitian ini juga menemukan bahwa jumlah pohon per hektar secara umum mengalami penurunan dari umur dua hingga enam tahun, walaupun pada umur tiga tahun jumlah pohon per hektar lebih kecil dibandingkan dengan umur empat dan lima tahun. Penurunan tersebut disebabkan oleh karena meningkatnya jumlah pohon yang tumbang seiring dengan bertambahnya umur tegakan. Namun walaupun demikian, jumlah kandungan biomassa, serapan karbon dan CO2 per hektar menunjukan pola yang menanjak pada umur dua hingga enam tahun (lihat Tabel 3).

Jumlah CO2 yang terserap pada tanaman dengan adanya pembangunan HTI pada lahan bekas terbakar umur 6 tahun mencapai 612 ton/ha. Sedangkan Menurut Jauhiainen, et al. (2012) besarnya emisi CO2 lahan gambut antara 80 ton/ha/thn - 94 ton/ha/thn pada lahan rawa gambut dengan kedalaman muka air tanah sebesar 0.8 m. Secara rata-rata emisi CO2 dengan pembuatan kanal sebesar 87 ton/ha/thn sehingga selama 6 tahun total emisi sebesar 522 ton/ha. Sehingga kemampuan menyerap CO2

tegakan Acacia crassicarpa pada umur tersebut lebih besar 90 ton/ha dibandingkan dengan adanya emisi gambut yang disebabkan oleh subsidensi dengan pembuatan kanal. Berdasarkan kondisi tersebut pembangunan HTI Acacia crassicarpa pada areal gambut yang terdegradasi yang disebabkan oleh kebakaran berulang tiap tahunnya dapat menjadi solusi penyerap karbon, serta dapat mengurangi pelepasan karbon dalam jumlah lebih besar yang disebabkan oleh kebakaran lahan yang terjadi secara berulang.

Tabel 3. Biomassa, karbon dan penyerapan CO2 rata-rata per hektar pada hutan tanaman A. crassicarpa umur 2 – 6 tahun

Parameter Umur (tahun)

2 3 4 5 6

Jumlah Pohon per ha 773 533 560 553 440

Biomassa (ton/ha) 52,78 166,55 173,85 235,95 333,78

Karbon (ton/ha) 26,39 83,28 86,93 117,98 166,89

Penyerapan CO2

(ton/ha) 96,85 305,62 319,01 432,97 612,49

MAI Penyerapan Karbon (ton/ha/thn)

13,20 27,76 21,73 23,60 27,82

MAI Penyerapan CO2 (ton/ha/thn)

48,43 101,87 79,75 86,59 102,08

133

IV. KESIMPULAN

1. Kandungan biomassa pada tegakan hutan tanaman A. crassicarpa di areal HTI PT. SBA WI dapat diduga dengan menggunakan persamaan: Y = 0,0361X2,6858.

2. Jumlah serapan karbon pada tegakan A. crassicarpa di PT. SBA WI pada umur dua hingga enam tahun berturut-turut adalah: 26,39; 83,28; 86,93; 117,98 dan 166,89 ton/ha.

3. MAI serapan karbon hutan tanaman A. crassicarpa di lahan gambut terdegradasi PT. SBA WI menunjukan fluktuasi yang berkisar antara 10 – 30 ton/ha/tahun. Adapun MAI serapan karbon pada umur enam tahun sebesar 27,82 ton/ha/tahun.

4. Proporsi serapan karbon terbesar pada pohon A. crassicarpa di lahan gambut PT. SBA WI terdapat pada bagian batang, yaitu mencapai 63%.

5. Pembangunan HTI pada lahan gambut dapat menjadi solusi penyerap karbon dan dapat mengurangi pelepasan karbon dalam jumlah lebih besar yang disebabkan oleh kebakaran lahan secara berulang.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor.

Cacho, O., R. Wise, K. MacDicken. 2002. Carbon Monitoring Costs and their Effect on Incentives to Sequester Carbon through Forestry. Invited Paper on International Symposium on Forest Carbon Sequestration and Monitoring, Taiwan Forestry Research Institute, 11-13 November 2002.

Ginoga, K., Y.C. Wulan., D. Djaenudin. 2004. Potential of Indonesian Smallholder Project ASEM 1999/093. http://www.une.edu.au/ febl/Econ/carbon/Area. Working Paper CC12.ACIAR Project ASEM 2002/066. http://www.une.edu.au/febl/Economics /carbon/.

Ginoga, K., O. Cacho, Erwidodo., M.Lugina, and D. Djaenudin. 2004. Economic Implications for Carbon Sequestration Services. Working Paper CC03.ACIAR Performance of Common Agroforestry Systems in Southern Sumatera: Agroforestry in the CDM: A Case Study in the Upper Citanduy Watershed.

134

Heriansyah, I. 2005. Potensi Hutan Tanaman Industri Dalam Mensequester Karbon: Studi Kasus di Hutan Tanaman Akasia dan Pinus. Inovasi 3 (17): 43 – 46.

Jauhiainen, J. A. Hoijer, and S.E. Page 2012. Carbon dioxide emissions from an Acacia plantation on peathland in Sumatera. Indonesia. Jurnal: Biogeosciences, 9, 617-630, 2012.

Murdiyarso, D., U. Rosalina, K. Hairiah, L. Muslihat, I.N.N. Suryadiputra dan Adi Jaya. 2004. Petunjuk Lapangan: Pendugaan Karbon pada Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia. Wetladns International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.

Sawyer, B. dan S. Yusuf. 2007. Rehabilitation and Fibre Plantation Management of Degraded Wetlands in South Sumatera. Peatlands International (2/2007): 40 - 43.

Suyanto, S. dan N. Khususiyah. 2004. Kemiskinan Masyarakat dan Ketergantungan pada Sumberdaya Alam: Sebuah Akar Penyebab Kebakaran di Sumatera Selatan. Paper disampaikan pada Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat: Pendapatan masyarakat meningkat, sumberdaya alam lestari, di Hotel Swarna Dwipa Palembang 10 – 11 Maret 2004.

135

PERTUMBUHAN Acacia crassicarpa PADA LAHAN RAWA GAMBUT BEKAS TERBAKAR

(Studi kasus di HTI PT. SBA Wood Industry)

Agus Sumadi dan Sri Lestari Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK Luas lahan gambut di Indonesia mencapai 17 juta ha, pada tahun 1997 dan 1998 hampir 2,12 juta ha mengalami kebakaran. Salah satu wilayah lahan rawa gambut yang mengalami kebakaran berada di Pantai Timur Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Salah satu strategi penghutanan kembali sekala luas dengan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Pengembangan HTI pada lahan rawa gambut menggunakan jenis acacia crassicarpa yang memiliki pertumbuhan cepat dan adaptif pada berbagai kondisi lahan. Tulisan ini memberikan informasi pertumbuhan diameter dan tinggi jenis Acacia crassicarpa pada lahan rawa gambut bekas terbakar. Pertumbuhan diameter tegakan ini relatif cepat pada umur 3 tahun memiliki diameter rata-rata 13, 61 cm dan tinggi 12,51 m, sedangkan pada tegakan umur 6 tahun rata-rata diameter sebesar 24.56 cm dengan tinggi 18.80 m. Jenis ini merupakan jenis potensial dalam pengembangan HTI pada lahan rawa gambut bekas terbakar.

Kata kunci: rawa gambut, kebakaran, penghutanan kembali, Acacia crassicarpa, diameter, tinggi

I. PENDAHULUAN

Menurut Driessen (1976) di Indonesia lahan gambut seluas 17 juta ha, sedangkan yang terbentang dari pantai timur Sumatera seluas 9,7 juta ha yang meliputi Propinsi Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Kondisi lahan gambut Pada tahun 1997 dan tahun 1998 tercatat sekitar 2,12 jt ha hutan rawa gambut di Indonesia terbakar (Tacconi, 2003). Salah satu lahan rawa gambut yang mengalami kebakaran pada waktu itu berada di pantai timur Ogan Kemering Ilir, Sumatera Selatan. Salah satu strategi melakukan penghutanan kembali sekala luas dengan pembangunan hutan tanaman industri. Salah satu HTI yang ada di wilayah bekas kebakaran lahan gambut di pantai timur OKI yaitu PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industri. Perusahaan ini mengembangkan jenis acacia crassicarpa. Pada

136

tulisan ini akan memberikan gambaran pertumbuhan diameter dan tinggi jenis Acacia crassicarpa yang dikembangkan pada lahan gambut.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada tegakan yang ada di di wilayah kerja PT. SBA WI. Kegiatan penelitian dilakukan dengan pembuatan Petak Ukur Permanen pada tegakan berumur 3 – 6 tahun. Pada tiap umur tegakan dibuat 4 PUP dengan ukuran ukuran PUP 40 m x 40 m. Total PUP sebanyak 16 plot yang mewakili kondisi pertumbuhan tegakan pada tiap umurnya. Untuk penyusunan model pertumbuhan diameter dan tinggi tegakan dilakukan pengukuran diameter setinggi dada dan tinggi total pada semua pohon yang ada dalam tiap PUP.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pertumbuhan diameter Acacia crassicarpa

Acacia crassicarpa secara alami tumbuh di Papua New Guinea, Irian Jaya bagian Selatan dan di Australias bagian selatan, jenis ini memiliki pertumbuhan cepat, bentuk batang baik, fiksasi nitrogennya baik serta mampu tumbuh pada berbagai kondisi tanah (Turnbull, 1986). Jenis ini dipilih dalam pengembangan HTI pada lahan gambut dikarenakan jenis ini mampu beradaptasi dengan lahan rawa gambut. Dalam pengelolaan lahan rawa untuk jenis Acacia crasicarpa dilakukan water management yang bertujuan untuk mengatur ketinggian muka air. Jenis ini dikembangkan oleh PT. SBA Wood Industries dengan jarak tanam 3 m x 2.5 m.

Pertumbuhan diameter memberikan gambaran perkembangan pertambahan besarnya diameter suatu pohon tiap tahunnya. Pada tegakan Acacia crassicarpa yang dikembangkan di lahan rawa memiliki pola pertumbuhan seperti pada Gambar 1.

Tegakan Acacia crassicarpa yang dikembangkan di areal rawa gambut pada umur 3 tahun memiliki diameter rata-rata sebesar 13.61 cm. Tegakan pada umur tersebut memiliki riap diameter rata-rata sebesar 4.54 cm/tahun. Jenis ini merupakan jenis fast growing yang memiliki pertumbuhan diameter relatif cepat. Pada umur 5 tahun tegakan ini memiliki diameter rata-rata 19.38 cm dengan riap diameter sebesar 3.88 cm/tahun, sedangkan pada umur 6 tahun tegakan Acacia crassicarpa memiliki diameter rata-rata sebesar 24.56 cm, dengan riap diameter sebesar 4.09 cm/tahun. Kondisi tegakan Acacia crassicarpa pada umur 5

137

atau 6 tahun telah memiliki diameter yang sudah cukup besar sehingga tegakan ini sudah layak tebang sebagai bahan baku pulp. Dalam penetapan daur tebang tegakan Acacia crassicarpa yang dikembangkan pada lahan rawa dapat digunakan daur 5 tahun atau 6 tahun. Perkembangan pertumbuhan diameter tegakan berdasarkan umur dapat diterangkan dengan persamaan Dbh = 15.711Ln(A) - 4.8875 dimana Dbh merupakan diameter setinggi dada dan A merupakan umur tegakan. Pertumbuhan jenis ini relatif lebih cepat dibandingkan dengan jenis pohon lokal. Menurut Daryono (2006) hasil uji coba di Lahan Gambut pada umur 3 tahun jenis lokal seperti prupuk (Lophopetalum multinervium) memiliki diameter 4,8 cm, meranti batu (Shorea uliginosa) memiliki diameter 7 cm, gronggang (Cratoxyllum arborescens) memiliki diameter 5,4 cm. Jenis Acacia crassicarpa yang memiliki pertumbuhan diameter cepat pada lahan gambut menjadi pilihan dalam penghutanan kembali sekala luas dalam bentuk hutan tanaman industri.

Gambar 1. Pertumbuhan diameter Acacia crassicarpa di lahan rawa gambut

B. Pertumbuhan Tinggi Acacia crassicarpa

Tinggi tegakan merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menggambarkan potensi suatu tegakan yang dikembangkan. Tegakan Acacia crassicarpa yang dikembangkan pada lahan rawa memiliki perkembangan tinggi sesuai dengan umurnya. Kondisi perkembangan tinggi tegakan Acacia crassicarpa pada lahan rawa gambut seperti pada Gambar 2.

Tegakan Acacia crassicarpa merupakan jenis yang adatif pada lahan rawa serta memiliki pertumbuhan cepat. Tegakan yang dikembangkan oleh PT. SBA Wood Industries pada umur 3 tahun memiliki tinggi rata-rata sebesar 12.51 m, dengan riap tinggi sebesar 4.17 m/tahun. Pada umur 6

Dbh = 15.711Ln(A) - 4.8875

R2 = 0.8889

0

5

10

15

20

25

30

2 3 4 5 6 7

Dbh (cm) Log. (Dbh (cm))

138

tahun tegakan ini memiliki tinggi rata-rata 18.80 m dengan riap sebesar 3.13 m/tahun. Perkembangan tinggi tegakan berdasarkan umurnya dapat diformulakan berdasarkan persamaan H=9.0824 Ln(A) +2.6626 dimana H merupakan tinggi tegakan sedangkan A merupakan umur tegakan. Persamaan yang terbentuk memberikan gambaran perkembangan tinggi tegakan berdasarkan umurnya. Pertumbuhan tinggi jenis Acacia crassicarpa reltif lebih cepat dibandingkan dengan jenis-jenis lokal. Jenis lokal pada umur 3 tahun hasil uji coba pada lahan gambut di Riau seperti prupuk (Lophopetalum multinervium) memiliki tinggi 4,2 m, meranti batu (Shorea uliginosa) memiliki tinggi 6 m, gronggang (Cratoxyllum arborescens) memiliki diameter 5,4 m. Berdasarkan kecepatan pertumbuhan tinggi, jenis Acacia crassicarpa dipilih perusahaan dalam rangka menghutankan kembali areal gambut yang terdegradasi bekas kebakar dalam bentuk hutan tanaman industri.

Gambar 2. Pertumbuhan tinggi Acacia crassicarpa di lahan rawa gambut

IV. KESIMPULAN

Pengembangan jenis Acacia crassicarpa pada lahan bekas terbakar dalam bentuk hutan tanaman industri dapat menjadi salah satu cara dalam penghutanan kembali. Pertumbuhan diameter tegakan ini relatif cepat pada umur 3 tahun memiliki diameter rata-rata 13, 61 cm dan tinggi 12,51 m, sedangkan pada tegakan yang telah memiliki umur 6 tahun rata-rata diameter sebesar 24.56 cm dengan tinggi 18.80 m. Persamaan pertumbuhan diameter Dbh = 15.711Ln(A) - 4.8875 sedangkan pada pertumbuhan tinggi H=9.0824 Ln(A) +2.6626. Persamaan ini dapat memberikan gambaran pertumbuhan diameter dan tinggi Acacia crassicarpa yang dikembangkan pada lahan rawa gambut berdasarkan umurnya.

H = 9.0824Ln(A) + 2.6626

R2 = 0.9768

0

5

10

15

20

25

2 3 4 5 6 7

H (m) Log. (H (m))

139

DAFTAR PUSTAKA

Daryono, H. 2006. Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu.

Driessen, P.M. 1976. Peat Soils. Di Dalam Seminar Soil and Rice. Soil Research Institute. Bogor. Indonesia 763-779 pp.

Tacconi, L. 2003. Kebakaran hutan di Indonesia: Penyebab, biaya dan implikasi kebijakan. CIFOR. Bogor. Indonesia

Turnbull, J.W., 1986. Multipurpose Australian Trees and shrubs. Lesser known species for fuelwood agroforestry. Autralian Center for International Agricultural Research (ACIAR). Canberra.

140

141

PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN RAWA GAMBUT DENGAN PEMBUKAAN LAHAN TANPA BAKAR

Agus Kurniawan

Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang,

ABSTRAK

Lahan gambut memiliki fungsi yang sangat penting dalam tata air kawasan, penyangga lingkungan/ekologi, habitat berbagai macam flora fauna, penyimpan (sink) dan penyerap karbon (sequestration) serta lahan potensial untuk pertanian. Hutan rawa gambut merupakan ekosistem yang rawan terjadi kebakaran. Hampir semua kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh aktivitas manusia. Dampak dari kebakaran hutan dan lahan gambut umumnya sangat merugikan terutama asap yang timbulkan sering mengahalangi pandangan, polusi udara dan tipe kebakaran bawah permukaan yang sulit dipadamkan. Secara tradisional, pembakaran telah lama dimanfaatkan oleh mayarakat dalam mempersiapkan lahan pertanian. Persiapan lahan menggunakan api, selain murah juga relative cepat. Upaya pencegahan terjadinya kebakaran dapat dilakukan dengan mengubah budaya masyarakat dalam cara mempersiapkan lahan dari tebas-bakar ke metode persiapan lahan tanpa bakar. Selain mencegah kebakaran, metode ini dapat membantu mempertahankan kesuburan tanah, pH tanah, mempertahankan sifat fisik tanah, menjaga habitat mikroorganisme dan mesofauna tanah, menjaga kelestarian lingkungan terutama tidak menimbulkan polusi dan dapat mencegah erosi tanah.

Kata kunci: api, rawa gambut, kebakaran hutan, persiapan lahan

I. PENDAHULUAN

Lahan gambut di Indonesia sangat luas, hampir 50% luas lahan gambut tropis di dunia ada di Indonesia. Di Indonesia terdapat hutan dan lahan bergambut seluas 13,5 – 26,6 juta ha (Wibisono dkk., 2005; Suryadiputra et al., 2005). Gambut merupakan lahan yang rapuh (fragile) dan mudah rusak. Jika dilihat dari proses pembentukannya, kawasan bergambut tergolong dalam ekosistem yang tidak dapat diperbaharui. Oleh sebab itu, lahan bergambut harus diperlakukan secara arif dan bijaksana agar tidak menimbulkan bahaya dan kendala. Lahan gambut

142

memiliki fungsi yang sangat penting dalam tata air kawasan, penyangga lingkungan/ekologi, habitat berbagai macam flora fauna, penyimpan (sink) dan penyerap karbon (sequestration) serta lahan potensial untuk pertanian (Adinugroho dkk., 2004).

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia hampir terjadi setiap tahun dan menimbulkan masalah ekonomi, social, lingkungan dan ekologi. Kebakaran hutan terbesar terjadi pada tahun 1997/1998 yang memusnahkan sekitar 9,7 juta Ha dan menimbulkan kerugian ekonomi mencapai USD 3,8 miliar untuk Indonesia dan USD 0,7 miliar untuk Negara-negara tetangga yang terkena dampaknya (Tacconi, 2002 dalam Chokkalingam dkk., 2003; Lorenzo dan Munoz, 2003). Hutan rawa gambut merupakan ekosistem yang rawan terjadi kebakaran. Pada kebakaran tahun 1997/1998, jumlah lahan basah (rawa gambut) yang terbakar mencapai 1,5 juta Ha dan menyumbang emisi sebesar 60%-76% CO2 emisi (Chokkalingam dkk., 2003).

Pembukaan lahan gambut secara besar-besaran yang diikuti pembuatan kanal/parit menyebabkan penurunan permukaan air tanah dan menyebabkan gambut mengalami kekeringan yang berlebihan. Jika hal ini terus terjadi maka potensi terjadinya kebakaran di musim kemarau akan terus terjadi. Selain itu, budaya masyarakat (petani, maupun perusahaan perkebunan/HTI) dalam persiapan lahan pertanian/perke-bunan dengan membakar masih banyak dilakukan. Untuk itu diperlukan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan penggunaan api dalam pengelolaan hutan dan lahan bergambut.

II. KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN RAWA GAMBUT

Hutan rawa gambut merupakan salah satu ekosistem yang paling rawan terhadap ancaman kebakaran. Kontribusi dampak kebakaran hutan rawa gambut sangat besar karena tingginya kandungan karbon dan besarnya jumlah karbon yang dilepaskan saat terjadi kebakaran (Lubis dan Suryadiputra, 2003). Kebakaran secara umum terjadi karena ketersediaan tiga faktor yaitu: 1. akumulasi bahan bakar; 2. api dan 3. adanya oksigen/udara. Seluruh komponen di dalam hutan merupakan bahan bakar. Potensi komponen tersebut dapat menjadi bahan bakar ditentukan oleh jumlah, kondisi kadar air dan penyebarannya dalam hutan (Sumardi dan Widyastuti, 2004). Bahan organik yang terdapat pada lahan gambut dalam kondisi kering terutama pada musim kemarau merupakan akumulasi bahan bakar yang sangat besar. Oleh karena itu pengelolaan

143

pengaturan permukaan air tanah sangat menentukan potensi terjadinya kebakaran hutan gambut. Pembuatan kanal/parit menyebakan hilangnya air tanah dalam gambut sehingga gambut mengalami kekeringan. Gambut yang telah mengalami kekeringan akan mengalami gejala kekeringan tak balik (irreversible drying) yang bersifat seperti arang dan akan kehilangan kemampuan menyimpan air (Adinugroho dkk., 2004).

Kebakaran besar di lahan gambut di Indonesia terjadi di tahun 1997/1998. Dampak terbesar dari kebakaran tersebut terjadi di pulau Sumatera. Dari pantauan satelit pada Oktober 1997, di Sumatera terpantau 2308 titik api (hotspots), yang tersebar di Sumatera Selatan sebanyak 1042 titik api (42%) dan di Jambi sebanyak 440 titik api (19%). Pada tahun 1997 - 1998 sekitar 2.124.000 ha hutan rawa gambut di Indonesia terbakar (Tacconi, 2003).

Kebakaran yang terjadi di lahan gambut umumnya merupakan kebakaran permukaan (surface fire) yang berkembang menjadi kebakaran bawah permukaan (ground fire). Kebakaran bawah jauh lebih merusak meskipun tidak terlihat nyala api di permukaan tanah. Api yang membakar bahan organik (gambut) akan membentuk lorong-lorong dan kawah api da dalam tanah (Wibowo, 2003). Api sulit dipadamkan karena berada di bawah permukaan. Proses kebakaran bergerak sangat lambat sehingga membakar seluruh bahan organik yang ada di atasnya. Kebakaran ini mengakibatkan banyak unsur hara yang hilang dan mematikan mikroorganisme maupun mesofauna yang hidup di dalam lapisan bahan organik (Sumardi dan Widyastuti, 2004).

III. PERSIAPAN LAHAN TANPA BAKAR

Melakukan pembakaran dalam persiapan lahan telah berlangsung sejak lama. Kebakaran hebat di tahun 1997/1998 merupakan salah satu contoh akibat praktek pembakaran lahan/hutan yang tidak terkendali. Pembukaan lahan dilakukan oleh para petani maupun dalam skala besar oleh perusahaan perkebunan maupun HTI. Lebih dari 50 perusahaan di tahun 1999 dan 100 perusahaan di tahun 2001 dilaporkan masih melakukan pembakaran untuk membuka lahan (Lorenzo dan Munoz, 2003). Praktek pembakaran ini masih berlangsung salah satunya disebabkan oleh lemahnya penegakan hokum bagi pelaku pembakaran.

Pengaruh kebakaran lahan dan hutan dan lahan rawa gambut terhadap tanah, dan air dalam hubungannya dengan pengelolaan lahan pertanian dapat bersifat positif dan negative. Pengaruh positifnya adalah

144

menaikan pH tanah, membersihkan sisa-sisa tanaman dan membunuh hama dan penyakit endemic. Pengaruh negatifnya adalah merusak sifat fisik dan kimia tanah, hilangnya unsure hara tanah, terbakarnya bahan organik, pencemaran udara dan secara estetika merusak keindahan landscape (Susanto, 2003). Teknik persiapan lahan dengan menggunakan pembakaran merupakan cara yang umum dilakukan (Noordwijk, 2001). Alasan utama pembakaran adalah biaya yang murah, cepat dan praktis. Secara tradisional, pembakaran telah lama dimanfaatkan oleh mayarakat dalam mempersiapkan lahan pertanian. Demikian juga yang dilakukan oleh umumnya petani di Sumatera Selatan (Setijono, 2003).

Persiapan lahan tanpa bakar dapat dilakukan dengan cara tebang habis secara manual dengan tenaga manusia menggunakan parang/kampak dan menebas tumbuhan bawah serta menyemprotkan herbisida. Selain itu dapat dilakukan dengan cara mekanik dengan menggunakan chainsaw dan alat beat (tracktor/buldoser/skidder). Persiapan lahan dengan cara kedua ini dapat dilakukan dengan cepat akan tetapi memerlukan biaya yang besar. Menurut Suparto (1980) dalam Onrizal (2005), berdasarkan prestasi kerja, system mekanis dengan buldoser pengerjaan persiapan lahan lebih cepat 1,9 kali dan lebih murah 0,7 kali dibandingkan dengan menggunakan chainsaw dan buldoser.

Tabel 1. Tahapan pembukaan lahan tanpa bakar secara manual dan mekanis

Kegiatan System Manual

System Mekanik

Dengan buldoser

Dengan chainsaw+buldoser

1. Penebangan

a. Underbrushing Parang Buldoser Chainsaw

b. Penebangan Kampak Buldoser Chainsaw

2. Pengeringan alami

3. Pembakaran

4. Pendorongan sisa batang dan tunggak

Manual Buldoser Buldoser

5. Pembakaran sisa batang dan tunggak

6. Pembajakan Manual Buldoser Buldoser

Keterangan: - Underbrushing: pembersihan anakan dan semak - Pengeringan alami 3-7 hari

Sumber: Suparto dkk. (1981) dalam Onrizal, 2005

Salah satu alternative teknik persiapan lahan tanpa bakar adalah dengan slash and mulch, dimana vegetasi yang ditebang tidak dibakar

145

tetapi ditumpuk dan dibiarkan terdekomposisi secara alami dan berfungsi sebagai mulsa organik (Noordwijk et al., 2001). Teknik tanpa bakar ini dapat membantu mempertahankan kesuburan tanah, pH tanah, mempertahankan sifat fisik tanah, menjaga habitat mikroorganisme dan mesofauna tanah, menjaga kelestarian lingkungan terutama tidak menimbulkan polusi dan dapat mencegah erosi tanah (Majid, 1997).

Penerapan teknik persiapan lahan tanpa bakar ini akan lebih baik apabila diimbangi dengan upaya pencegahan lainnya. Upaya penegakan hokum perlu ditekankan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku pembakaran lahan. Selain itu upaya peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat local dalam pencegahan kebakaran diantaranya dengan sosialisasi dan penyuluhan serta program peningkatan kelembagaan ekonomi masyarakat pengelola lahan rawa gambut.

IV. PENUTUP

Kebakaran hutan dan lahan rawa gambut menimbulkan masalah ekonomi, sosial, lingkungan dan ekologi. Upaya kesadaran masyarakat dalam menghindari penggunaan api dalam persiapan lahan perlu ditingkatkan sebagai upaya pencegahan terjadinya kebakaran. Salah satu metode yang dapat dikembangkan adalah metode persiapan lahan tanpa bakar. Metode ini dapat mengurangi potensi kebakaran yang selama ini menjadi masalah setiap tahun di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho. W.C., I.N.N. Suryadiputra, Bambang Hero Saharjo dan Labueni Siboro. 2004. Panduan Pengendalian kebakaran hutan dan lahan gambut. Wetlands International-IP. Bogor

Chokkalingam. U, Suyanto, R.P. Permana, I. Kurniawan, J. Mannes, A. Darmawan, N. Khususyiah, dan R.H. Susanto. 2003. Pengelolaan Api, Perubahan Sumberdaya Alam dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Masyarakat di Areal Rawa/Gambut – Sumatera Bagian Selatan. Prosiding semiloka: Kebakaran di lahan rawa/gambut di Sumatera: masalah dan solusi. Eds. Suyanto dkk. CIFOR. Bogor

Lorenzo, E.P. dan Canesio P. Munoz. 2003. Pembukaan Lahan tanpa Pembakaran – Sebuah Model Pembukaan Lahan tanpa Bakar dalam Mempersiapkan Pembangunan Hutan Tanaman di

146

Indonesia. Prosiding semiloka: Kebakaran di lahan rawa/gambut di Sumatera: masalah dan solusi. Eds. Suyanto dkk. CIFOR. Bogor

Lubis. I.R dan I.N.N. Suryadiputra. 2003. Upaya Pengelolaan Terpadu Hutan Rawa Gambut Bekas Terbakar di Wilayah Berbak – Sembilang. Prosiding semiloka: Kebakaran di lahan rawa/gambut di Sumatera: masalah dan solusi. Eds. Suyanto dkk. CIFOR. Bogor

Majid, R.A. 1997. Pembukaan areal baru perkebunan kelapa sawit dengan teknik tanpa bakar (zero burning). Ed.: Poeloengan, Z., K. Pamin, P. Purba, Y.T. Adiwiganda, P.L. Tobing, dan M.L. Fadli. Pembukaan areal dengan cara zero burning. Prosiding pertemuan teknis kelapa sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan.

Onrizal. 2005. Pembukaan Lahan dengan dan tanpa Bakar. E-USU Repository online. Akses 20 April 2013 di http://repository. usu.ac.id/bitstream/ 123456789/915/1/hutan-onrizal8.pdf

Setijono. D. 2003. Kehidupan Masyarakat dan Kaitannya dengan Kebakaran Lahan Rawa/Gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir – Propinsi Sumatera Selatan. Prosiding semiloka: Kebakaran di lahan rawa/gambut di Sumatera: masalah dan solusi. Eds. Suyanto dkk. CIFOR. Bogor

Sumardi dan S.M. Widyastuti. 2004. Dasar-Dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Suryadiputra. I.N.N., Alue Dohong, Roh, S.B. Waspodo, Lili Muslihat, Irwansyah, R. Lubis, Ferry Hasudungan dan I.T.C. Wibisono. 2005. Panduan Penyekatan Parit dan Saluran di Lahan Gambut Bersama Masyarakat. Wetlands International. Bogor

Susanto, R.H., 2003. Masalah Kebakaran dan Solusi Berkaitan dengan Pengembangan Pertanian di Areal Rawa/Gambut. Prosiding semiloka: Kebakaran di lahan rawa/gambut di Sumatera: masalah dan solusi. Eds. Suyanto dkk. CIFOR. Bogor.

Tacconi, L. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. CIFOR. Bogor.

Noordwijk V., M., P.M. Susswein, T.P. Tomick, C, Diaw, dan S. Vosti. 2001. Land use practices in the humid tropics and introduction to ASB benchmark areas. International Centre for Research in Agroforestry-Southeast Asian Regional Research Proggramme, Bogor, Indonesia.

147

Wibisono. I, L. Siboro, I.N.N. Suryadiputra. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forest and Peatlandi in Indonesia. Wetland International-Indonesia Programe dan Wildlife Habitat Canada. Bogor

148

149

KONDISI DAN SISA CADANGAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN TANAH PADA HUTAN GAMBUT SEKUNDER

BEKAS KEBAKARAN BERULANG

Dody Prakosa Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK Hutan memiliki kemampuan dalam menyerap karbon dari atmosfir. Indonesia termasuk salah satu negara berkembang yang giat memperjuangkan mekanisme perdagangan karbon melalui mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Hal ini dilakukan setelah adanya hasil COP-13 (Conference of Parties) di Bali. Peraturan Menteri Kehutanan No. 30, tahun 2009, telah memberi kesempatan kepada pengelola hutan untuk berpartisipasi dalam kegiatan REDD. Hutan di Sumatera Selatan pada umumnya berupa hutan alam dan hutan tanaman yang ditanam di tanah mineral maupun di tanah gambut. Emisi hutan gambut terbesar terjadi saat hutan tersebut terbakar. Pemulihan hutan gambut yang terbakar akan memakan waktu yang sangat lama, apalagi bila kebakaran terjadi berulang-ulang. Terjadinya kebakaran berulang-ulang menyebabkan tidak ada kesempatan bagi vegetasi tanaman untuk mengadakan pemulihan. Emisi maupun cadangan karbon yang terjadi pada hutan gambut sekunder di lahan gambut yang terbakar berulang-ulang masih belum banyak diketahui secara detil, khususnya di bagian yang mana yang paling besar mengeluarkan emisi CO2. Dengan demikian perlu dilakukan analisis cadangan karbon pada hutan gambut sekunder yang berulang-kali terbakar. Permasalahan yang terjadi adalah seberapa besar cadangan karbon yang tersimpan pada lahan hutan gambut yang terbakar berulang-ulang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui cadangan karbon di atas permukaan tanah pada hutan gambut yang berulang-kali terbakar. Penelitian ini dilakukan dengan mengukur cadangan karbon di atas permukaan tanah pada lahan gambut setelah terbakar. Dengan mengetahui karbon yang tersimpan, maka potensi emisi yang akan ditimbulkan sekaligus dapat diketahui, apabila hutan tersebut terbakar kembali. Pengukuran karbon dilakukan dengan cara membuat plot-plot penelitian sesuai dengan petunjuk dari SNI tahun 2011 yaitu: plot 20x20 m untuk mengukur karbon pada vegetasi tingkat pohon dan karbon pada

150

pohon mati dan kayu mati (nekromasa), plot ukuran 5x5 m dan 10x10 m digunakan untuk mengukur potensi pohon tingkat pancang dan tiang, sedangkan plot 2x2 m untuk mengukur karbon pada tumbuhan bawah dan serasah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebakaran yang terjadi pada hutan tanaman di lahan gambut, ternyata tidak semua cadangan karbon habis terbakar, kecuali kebakaran dengan kategori berat. Sisa cadangan berat basah biomassa karbon terbesar di atas permukaan tanah adalah pada pohon mati (0,452 ton/ha) dan yang terendah pada kayu mati (0,222 ton/ha). Rata-rata simpanan karbon pada lahan tersebut 1,296 ton/ha.

Kata kunci: Bekas terbakar, cadangan karbon, emisi karbon, REDD, hutan gambut

I. PENDAHULUAN

Pemanasan global yang terjadi saat ini disebabkan adanya efek rumah kaca yang berlebihan di atmosfer bumi, sebagai akibat terganggunya komposisi gas rumah kaca utama. Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Termasuk di dalamnya adalah uap air, gas yang mengandung CO2 (Carbondioksida), CH4 (Metan), N2O (Nitrous Oksida), HFCs (Hydofluorocarbons), PFCs (Perflurocarbons) dan SF6 (Sulfur hexafluoride) (Haneda, 2004 dalam Rungkat & Rengkuan, 2008: 2).

Isu pemanasan global telah menjadi permasalahan yang tak luput dari sorotan publik dan isu ini terus menjadi topik utama yang berkaitan dengan keadaan lingkungan terkini. Pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim yang signifikan seperti terjadi di Indonesia, dampak dari efek pemanasan ini telah menyebabkan perubahan iklim yang ekstrim. Di beberapa daerah sering terjadi hujan lebat yang mengakibatkan banjir bandang dan tanah longsor, munculnya angin puting beliung, bahkan kekeringan yang mengancam jiwa manusia (Winarso, 2001).

Salah satu cara untuk mengendalikan perubahan iklim adalah dengan mengurangi emisi gas rumah kaca (CO, CH, N, O) yaitu dengan mempertahankan keutuhan hutan alami dan meningkatkan kerapatan populasi pepohonan di luar hutan. Tumbuhan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan menyerap gas asam arang (CO2) dari udara melalui proses fotosintesis, yang selanjutnya diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tumbuhan dan akhirnya ditimbun

151

dalam tubuh tumbuhan. Dengan demikian mengukur jumlah yang disimpan dalam tubuh tumbuhan hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO di atmosfer yang diserap oleh tumbuhan. Sedangkan pengukuran cadangan yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromassa) secara tidak langsung menggambarkan CO yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran (Hairiah et al., 2011).

Hutan alam dan hutan tanaman khususnya di lahan gambut juga menyimpan karbon dalam jumlah yang cukup besar, bahkan diduga lebih besar dari hutan di lahan kering. Hutan gambut mempunyai karakter yang khusus dimana dekomposisi bahan organik berjalan sangat lambat karena bahan organik tersebut terendam air (anaerob), sehingga tertumpuk dalam bentuk gambut. Besarnya bahan organik yang tersimpan tergantung dari kedalaman tanah gambut itu sendiri. Pada musim kering (kemarau) permukaan air gambut akan turun sehingga gambut sangat mudah terbakar dan sangat sulit dipadamkan. Terbakarnya gambut akan mengemisi karbon (CO2) ke udara dalam jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan hutan lahan kering. Hal ini yang menjadi alasan mengapa lahan gambut perlu dilindungi dan dijaga agar tidak terbakar. Dengan demikian pengusahaan hutan tanaman di lahan gambut perlu dipertimbangkan tidak hanya dari segi penyerapan karbon (carbon sequestration), tetapi juga dari segi emisi karbon dan usaha perlindungan terhadap kebakaran gambut yang mengandung lebih besar karbon yang akan teremisi apabila gambut terbakar.

Selain itu, hutan merupakan sumber daya alam yang sangat penting dan bermanfaat bagi kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung dari keberadaan hutan di antaranya adalah kayu, hasil hutan bukan kayu dan satwa. Sedangkan manfaat tidak langsungnya adalah berupa jasa lingkungan, baik sebagai pengatur tata air, fungsi estetika, maupun sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbon (Masripatin et al., 2010: 1).

Tanpa adanya pengelolaan, hutan gambut sekunder di lahan gambut mempunyai potensi yang lebih besar untuk terjadinya kebakaran. Hutan Tanaman Industri (HTI) mempunyai potensi yang lebih kecil untuk terjadinya kebakaran, karena arealnya selalu dipantau, sedangkan hutan alam sekunder mempunyai potensi yang cukup besar untuk terjadinya kebakaran, karena tidak ada pemantauan yang terus-menerus seperti pada HTI. Hal ini yang menyebabkan areal hutan gambut sekunder sering terbakar berulang-kali, sehingga tidak punya kesempatan untuk

152

memulihkan diri. Seberapa besar sisa cadangan karbon pada hutan gambut sekunder yang sering terbakar, masih belum banyak informasi yang diperoleh secara detil sesuai dengan metode IPCC GL (International Panel on Climate Change Guide Line) tahun 2006. Cara perhitungan karbon menurut (SNI, 2011), sudah mempertimbangkan dan menyelaraskan dengan metode IPCC Guide Line 2006.

Dengan demikian diperlukan pengukuran untuk mengetahui sisa cadangan karbon yang tersimpan pada hutan gambut sekunder yang baru terbakar, baik yang tersimpan di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah, termasuk tanah gambut itu sendiri. Namun dalam penelitian ini hanya dilakukan pengukuran pada biomassa karbon di atas permukaan tanah. Dengan diperolehnya sisa cadangan biomassa karbon ini, maka akan dapat diketahui sampai seberapa besar biomasa karbon (emisi karbon) yang hilang saat terjadi konversi dari hutan alam gambut dengan melalui cara dibakar. Dengan mengetahui jumlah karbon yang hilang (teremisi) karena terbakar, maka pembakaran hutan gambut harus betul-betul dihindari.

II. METODOLOGI

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan November 2012 di Desa Kedaton, Kecamatan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Alat yang digunakan adalah alat penentu posisi koordinat (GPS), dengan tingkat kesalahan jarak horizontal maksimal 10 m, alat pengukur diameter pohon (phi band), alat pengukur panjang, alat pengukur kelerengan (clinometer), alat pengukur tinggi pohon, alat pengukur kedalaman gambut, alat pengambil sampel tanah (ring soil sampler), alat pengukur berat (timbangan) dengan ketelitian 0,001 kg, kompas, gergaji kecil, gunting stek, oven, tally sheet, wadah sampel.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah pengukuran lapangan (field measurement). Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah pengambilan sampel berlapis secara random (stratified random sampling) yaitu dengan membuat stratifikasi hutan menjadi tiga kategori: rapat, sedang dan jarang. Plot dibuat sebanyak tiga buah pada setiap strata (lebat dan jarang). Selanjutnya dilakukan pengukuran plot yang ditentukan secara random pada setiap strata. Ukuran plot terbesar adalah 20x20 m, sedangkan untuk tiap tingkatan pertumbuhan vegetasi ukuran plotnya digambarkan pada Gambar 1.

153

D 20 m

C 10 m

B 5 m 2 m A 2 m 5 m 10 m 20 m

Gambar 1. Skema plot pengukuran biomassa dan karbon di lapangan

Keterangan: A : sub plot untuk serasah dan tumbuhan bawah (2x2 m) B : sub plot untuk pancang (5x5 m) C : sub plot untuk tiang (10x10 m) D : sub plot untuk pohon (20x20 m)

Pengukuran biomassa di atas permukaan tanah pada plot terdiri:

1. Pengukuran biomassa pohon, tiang dan pancang

Tahapan pengukuran biomassa pohon, tiang dan pancang diawali dengan identifikasi nama jenis pohon, lalu diukur diameter setinggi dada (dbh) dan tinggi. Pengukuran diikuti dengan pencatatan data dbh dan tinggi serta nama jenis tumbuhan ke dalam tally sheet. Pengambilan sampel dilakukan dengan destructive sampling, yaitu dengan menebang pohon, mengambil contoh kayu pada batang sepanjang 5 cm dan diukur berat basahnya. Setelah itu dihitung kerapatan kayunya (wood density) di laboratorium. Tahap berikutnya adalah menghitung biomassa pohon, tiang dan pancang, berdasar pengukuran diameter, tinggi dan kerapatan (BJ) kayu. Jumlah biomassa yang diperoleh adalah untuk luasan plot tertentu yaitu 25 m2 untuk pancang, 100 m2 untuk tiang dan 400 m2 untuk tingkat pohon. Cadangan biomassa per hektar dihitung dengan mengalikan jumlah berat kering biomassa dengan 10.000 dan dibagi dengan luas masing-masing plot. Untuk menentukan berat karbonnya, maka jumlah cadangan biomassa dikalikan dengan angka standar yaitu 0,47 (SNI, 2011).

2. Pengukuran biomassa tumbuhan bawah

Biomassa tumbuhan bawah diukur pada plot dengan ukuran 2x2 meter. Semua bagian tumbuhan bawah dipotong di atas permukaan tanah

154

dengan gunting stek. Lalu ditimbang berat basah total tumbuhan bawah dalam areal plot pengukuran (2x2 m), setelah itu diambil sampelnya sebanyak ±300 gram berat basah. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan menggunakan oven di laboratorium dengan kisaran suhu 70 oC sampai dengan 85 oC hingga mencapai berat konstan selama 2 x 24 jam. Lalu ditimbang berat kering tumbuhan bawah menggunakan timbangan analitik, sehingga diperoleh berat biomassa lalu dikalikan dengan jumlah berat basah total, baru dibagi dengan 300 gram. Dengan demikian akan diperoleh berat kering (biomassa) tumbuhan bawah seluas 4 m2. Untuk mencari berat biomassa per hektar, maka hasilnya harus dikalikan 2500 atau (10.000 m2/4 m2). Berat karbon dihitung dengan mengalikan berat biomassa tumbuhan bawah dengan angka standar 0,47.

3. Pengambilan serasah

Serasah diukur pada plot yang sama dengan plot pengukuran biomassa tumbuhan bawah, yaitu pada plot 2x2 m. Dalam plot 2x2 m tersebut dilakukan pengukuran berat basah seluruh serasah. Sampel serasah diambil sebanyak ± 300 gram berat basah untuk dihitung berat keringnya. Setelah itu dibawa ke laboratorium tanah untuk dilakukan pengeringan dengan menggunakan oven pada kisaran suhu 70 °C - 85 oC selama 2 x 24 jam, sampai mencapai berat konstan. Setelah itu ditimbang berat kering serasah menggunakan timbangan analitik, sehingga diperoleh berat kering serasah dan kemudian dikalikan dengan jumlah berat basah total, baru dibagi dengan 300 gram. Dengan demikian akan diperoleh berat kering serasah seluas 4 m2. Untuk mencari berat biomassa per hektar, maka hasilnya harus dikalikan 2500 atau (10.000 m2/4 m2). Berat karbon serasah dihitung dengan mengalikan berat serasah dengan angka standar 0,47.

4. Perhitungan a. Volume pohon, tiang dan pancang V = ¼ x 3,14 (dbh)2 x t x f

Keterangan: Dbh = diameter setinggi dada pohon mati (1,3 m) T = tinggi total (m) F = faktor bentuk (0,6)

b. Berat jenis kayu (kerapatan kayu) Bj = Bks V

Keterangan: Bks = berat kering sampel V = volume pohon

155

c. Total Biomassa Bo = Bks x Bbt Bbs

Keterangan: Bks = Berat kering sampel (kg) Bbt = Berat basah total (kg) Bbs = Berat basah sampel (kg)

d. Karbon dari biomassa tumbuhan bawah dan serasah Perhitungan karbon dari biomassa tumbuhan bawah atau serasah

menggunakan rumus sebagai berikut: Cb = Bo x % C organik

Keterangan: Cb = kandungan karbon dari biomassa tumbuhan bawah atau

serasah (kg). Bo = total biomassa tumbuhan bawah atau serasah (kg) % C = nilai persentase kandungan karbon sebesar 0,47

e. Cadangan karbon total dalam plot Perhitungan kandungan karbon dalam plot pengukuran menggunakan persamaan sebagai berikut:

Cplot = (Cph + Cserasah + Ctmb)

Keterangan: Cplot = total kandungan karbon pada plot (ton/ha) Cph = total kandungan karbon pohon per hektar pada plot

(ton/ha) Cserasah = total kandungan karbon serasah per hektar pada plot

(ton/ha) Ctmb = total kandungan karbon tumbuhan bawah pada plot

(ton/ha)

5. Analisis data

Data pengukuran tumbuhan bawah, serasah, pohon mati dan kayu mati, dikumpulkan dan dibuat tabulasi dengan menggunkan software Microsoft Excel agar lebih mudah menghitungnya. Dengan menyatukan antara hasil pengukuran di lapangan dan hasil pengukuran di laboratorium, maka berat basah dan berat kering biomassa serta kandungan karbon dapat ditentukan dengan rumus-rumus yang sudah ditentukan sebelumnya. Selanjutnya dibuat tabel atau grafik agar dapat diketahui kecenderungan datanya. Analisis data dilakukan dengan melihat data dalam bentuk grafik maupun tabel. Dari analisis data tersebut dapat ditarik kesimpulan yang dapat digunakan untuk menjawab tujuan penelitian.

156

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

i. Kondisi Hutan Gambut Sekunder Bekas Kebakaran Berulang

Kondisi hutan gambut yang berulang kali terbakar, banyak menyisakan pohon-pohon (pancang) mati yang tampak dominan dari pada vegetasi yang lain. Vegetasi tingkat semai dan pancang banyak yang mati terbakar, sehingga kelihatan seperti tongkat-tongkat kering yang mati. Kondisi hutan gambut sekunder bekas terbakar dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kondisi vegetasi pada hutan gambut sekunder yang terbakar berulang-ulang

Tumbuhan bawah sudah mulai tumbuh, karena hampir 1 tahun yang lalu terjadi kebakaran. Namun demikian saat terbakar lagi, maka tumbuhan bawah dan serasah akan habis terbakar. Dengan demikian hampir tidak ada kesempatan untuk memulihkan diri. Biasanya oleh petani lahan ini akan dialih-fungsikan menjadi kebun sawit, tetapi apabila tanaman sawitnya gagal akan kembali seperti semula. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa kayu mati tingkat pancang banyak sekali, hal ini akibat terjadinya kebakaran yang berulang-ulang. Apabila terjadi kemarau panjang dan kebakaran besar, maka pohon-pohon mati tersebut akan habis terbakar. Tingkat kekeringan dan tingginya muka air tanah akan sangat mempengaruhi besar-kecilnya tingkat kebakaran yang terjadi.

ii. Cadangan Karbon pada Serasah dan Tumbuhan Bawah

Cadangan karbon pada serasah dan tumbuhan bawah diukur pada plot ukuran 2x2 meter. Tumbuhan bawah dan serasah dikumpulkan dan ditimbang berat basahnya, kemudian diambil sampelnya 300 gram dan dibawa ke laboratorium untuk di ukur berat keringnya. Contoh sampel tumbuhan bawah dan serasah disajikan pada Gambar 3. Hasil perhitungan cadangan karbon pada hutan gambut sekunder yang berulang-kali terbakar disajikan pada Tabel 1.

157

Gambar 3. Contoh sampel tumbuhan bawah (hijau) dan serasah (coklat)

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa cadangan karbon serasah sedikit lebih besar (0,353 ton/ha) dibandingkan cadangan karbon tumbuhan bawah (0,270 ton/ha). Hal ini terjadi karena setelah terjadi kebakaran, maka daun-daun dari vegetasi tingkat semai dan pancang menjadi kering dan jatuh, sehingga tertumpuk di atas permukaan tanah menjadi serasah. Rata-rata jumlah cadangan karbon dari 2 pool karbon ini bila digabung sebesar 0,623 ton/ha. Cadangan ini memang sangat rendah, tetapi setidaknya diketahui sekarang bahwa areal hutan gambut sekunder yang sering terbakar, ternyata masih terdapat sisa cadangan karbon di atas permukaan tanah.

Tabel 1. Penghitungan cadangan karbon serasah dan tumbuhan bawah, pada hutan gambut yang terbakar 1 tahun yang lalu

Plot Karbon Serasah

Karbon tumbuhan bawah

Total karbon

(ton/ha) (ton/ha) (ton/ha)

1 0,209 0,222 0,431

2 0,521 0,214 0,735

3 0,328 0,375 0,703

Jumlah 1,058 0,810 1.869

Rata-rata 0,353 0,270 0,623

iii. Cadangan Karbon pada Pohon Mati dan Kayu Mati

Cadangan karbon pada pohon mati dan kayu mati diukur pada plot ukuran 20x20 meter. Pohon mati dan kayu mati dikumpulkan dan ditimbang berat basahnya, kemudian diambil sampel kayunya sepanjang 5 cm dan ditimbang berat basahnya, selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk di ukur berat keringnya. Contoh sampel pohon mati dan kayu mati dapat dilihat pada Gambar 4.

158

Gambar 4. Sampel pohon mati dan kayu mati

Hasil pengukuran dan perhitungan karbon pada pohon mati dan kayu mati dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa cadangan karbon pohon mati sedikit lebih besar (0,452 ton/ha) dibandingkan cadangan karbon kayu mati (0,222 ton/ha). Hal ini sesuai dengan kenampakan di lapangan bahwa pohon mati terlihat lebih banyak dari pada kayu mati (Gambar 2). Hal ini disebabkan pohon-pohon yang terbakar sudah mati, tetapi terlihat masih tetap berdiri dan belum patah dan jatuh ke tanah menjadi kayu mati.

Tabel 2. Penghitungan cadangan karbon pohon mati dan kayu mati, pada hutan gambut yang terbakar 1 tahun yang lalu

Plot Karbon kayu

mati Karbon pohon

mati Total karbon

(ton/ha) (ton/ha) (ton/ha)

1 0,374 1,080 1,454

2 0,188 0,146 0,334

3 0,104 0,130 0,234

Jumlah 0,665 1,356 2,022

Rata-rata 0,222 0,452 0,674

iv. Hasil Perhitungan Cadangan Karbon Total di Atas Permukaan Tanah

Hasil perhitungan kandungan karbon pada hutan alam gambut yang baru terbakar setahun yang lalu, merupakan areal dimana vegetasi pohon tingkat pancang, tiang maupun pohon hampir tidak ada lagi. Hasil perhitungan kandungan karbon pada hutan alam gambut yang baru terbakar setahun yang lalu, merupakan areal dimana vegetasi pohon tingkat pancang, tiang maupun pohon hampir tidak ada lagi. Jadi pool karbon di atas permukaan tanah yang tersisa adalah serasah, pohon mati, kayu mati dan tumbuhan bawah (Tabel 3).

159

Tabel 3. Penghitungan cadangan karbon total di atas permukaan tanah, pada hutan alam gambut yang terbakar 1 tahun yang lalu

Plot

Karbon serasah

Karbon kayu mati

Karbon pohon mati

Karbon tumbuhan

bawah

Total karbon

(ton/ha) (ton/ha) (ton/ha) (ton/ha) (ton/ha)

1 0,209 0,374 1,080 0,222 1,884

2 0,521 0,188 0,146 0,214 1,069

3 0,328 0,104 0,130 0,375 0,936

Jumlah 1,058 0,665 1,356 0,810 3,889

Rata-rata 0,353 0,222 0,452 0,270 1,296

Dengan demikian dapat diketahui bahwa cadangan karbon hanya

terdapat pada tumbuhan bawah, serasah, kayu mati dan pohon mati. Lahan ini bukan sekali saja terbakar, tetapi telah berulang-ulang terbakar, dengan demikian vegetasi pohon yang akan tumbuh akan mati kembali setelah terbakar. Dampak dari terbakar berulang-ulang tersebut, maka hampir tidak dijumpai vegetasi pohon yang hidup, meskipun hanya tingkat pancang atau tiang. Hasil pengukuran plot sampel pada lahan tersebut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa simpanan karbon terbesar setelah tanah gambut adalah pada pohon mati (0,452 ton/ha) dan yang terendah pada kayu mati (0,222 ton/ha). Rata-rata simpanan karbon pada lahan tersebut 1,296 ton/ha.

IV. KESIMPULAN

1. Kebakaran berulang yang terjadi pada hutan gambut sekunder, ternyata tidak semua cadangan karbon di atas permukaan tanah habis terbakar, tetapi masih terdapat sisa karbon yang tidak terbakar.

2. Cadangan karbon pada serasah menempati urutan ketiga yaitu 0,353 ton/ha (27,27%), dengan demikian kalau terbakar kembali, maka serasah yang cukup besar ini sangat mudah teremisi.

3. Cadangan karbon pada hutan alam gambut yang terbakar setahun yang lalu hanya 1,296 ton/ha, dan cadangan yang terbesar berada pada pohon mati yaitu 0,452 ton/ha (34,9 %).

160

DAFTAR PUSTAKA

Hairiah K, Ekadinata A, Sari R.R dan Rahayu S. 2011. Petunjuk Praktis Pengukuran Cadangan Karbon dari Tingkat Lahan ke Bentang Lahan Edisi kedua. ICRAF Southeast Asia Regional Office: Bogor.

Masripatin, N et al. 2010. Cadangan Karbon pada Berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan: Bogor.

Rungkat, J & Rengkuat, M. 2008. Peranan Warga Bumi dalam Pemanasan Global. Biologi Fmipa Unima: Malang. Vol. 1 No.4 2008.

SNI 7724. 2011. Pengukuran dan penghitungan cadangan karbon–Pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan (ground based forest carbon accounting). Manggala Wanabakti: Jakarta.

SNI 7725. 2011. Penyusunan Persamaan Alometrik untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan Berdasarkan Pengukuran Lapangan (Ground Based Forest Carbon Accounting). Manggala Wanabakti: Jakarta.

Winarso, P.A. 2001. Pemanasan Global dan Reduksi CO2. Akademi Meteorologi dan Geofisika: Jakarta.

161

RESTORASI HUTAN RAWA GAMBUT UNTUK PEMBANGUNAN EKONOMI BERKELANJUTAN: SEBUAH TILIKAN DI SUMATERA

SELATAN

Mamat Rahmat Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Konversi HRG pada mulanya dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat ekonomi berupa peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB) sektor pertanian. Namun, upaya tersebut juga telah menyebabkan hilangnya manfaat jasa-jasa lingkungan HRG. Paper ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai nilai ekonomi manfaat jasa lingkungan yang hilang sebagai akibat konversi dan degradasi HRG Sumsel dan dampaknya terhadap pembangunan berkelanjutan serta menimbang potensi restorasi sebagai upaya menuju arah pembangunan ekonomi berkelanjutan. Telaahan subjek ini dilakukan dalam kerangka ilmu ekologi ekonomi dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan yang dilandasi oleh teori pendapatan lestari. Hasil penilikan terhadap masalah tersebut menghasilkan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kerugian manfaat ekonomi yang hilang akibat konversi dan degradasi HRG Sumsel ditaksir senilai 55.806 trilyun Rupiah per tahun. Kerugian akibat hilangnya manfaat jasa lingkungan HRG Sumsel lima kali lebih besar dibandingkan dengan PDRB konvensional sektor pertanian. Sehinga, tingkat pendapatan yang sesungguhnya (tingkat pendapatan lestari) sektor pertanian bernilai negatif (sekitar minus 45 trilyun Rupiah). Mengingat kondisi tersebut, maka upaya restorasi HRG berpotensi untuk meminimalkan kehilangan manfaat lingkungan sehingga dapat membantu mengarahkan pembangunan ekonomi Sumsel menuju pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Kata kunci: hutan rawa gambut, jasa lingkungan, PDRB, pembangunan berkelanjutan, valuasi

I. PENDAHULUAN

HRG (HRG) merupakan salah satu aset bagi pembangunan ekonomi, selain modal fisik dan sumber daya manusia. HRG dikenal sebagai sumber kayu, ikan, madu, rotan hasil hutan bukan kayu lainnya. Hal yang tidak

162

dapat dikesampingkan adalah peran HRG sebagai penyedia jasa-jasa lingkungan, seperti fungsi hidrologi. HRG berperan selayaknya spons yang mampu menyerap air pada saat volumenya berlimpah dan mengalirkannya pada saat berkurang. Karena fungsinya tersebut, di beberapa daerah HRG juga menjadi sangat vital peranannya dalam menjaga kelancaran transportasi perairan, khususnya di sungai. Tidak kalah pentingnya adalah fungsi HRG sebagai penyimpan karbon.

Di antara berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari HRG, perannya sebagai penghasil kayu dan hasil hutan bukan kayu telah disertakan dalam penaksiran kinerja pembangunan ekonomi baik pada tingkat nasional (Produk Domestik Bruto, PDB) maupun regional (Produk Domestik Regional Bruto, PDRB). Dalam indikator perekonomian tersebut, nilai manfaat hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu terekam di dalam nilai kontribusi sub sektor kehutanan. Adapun nilai manfaat lingkungan belum dimasukan ke dalam indikator perekonomian tersebut, sehingga seakan-akan manfaat jasa lingkungan HRG tidak berni-lai bagi masyarakat dan perekonomian. Hal ini pula yang kemudian disinyalir menjadi penyebab maraknya konversi HRG menjadi areal penggunaan lain seperti perkebunan, hutan tanaman industri, dan areal pertanian lainnya.

Dampak dari keluputan dalam memandang manfaat HRG tersebut dapat dilihat dari fakta yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Luas lahan gambut di wilayah ini mengalami degradasi dan penyusutan ketebalan di beberapa daerah. Seperti dilaporkan Wahyunto et al. (2005), bahwa dalam periode 1990 - 2002, lahan gambut yang termasuk dalam kategori ketebalan sedang dan dalam mengalami penyusutan sedangkan lahan gambut dangkal meningkat serta lahan gambut sangat dangkal yang pada periode 1990 tidak ditemukan, pada tahun 2002 jumlahnya mencapai 10% dari total lahan gambut di Sumsel. Degradasi lahan gambut tersebut diduga merupakan dampak dari konversi HRG menjadi areal non hutan, pembuatan kanal-kanal dalam kegiatan logging dan bencana kebakaran.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan konversi dan pemanfaatan HRG untuk budidaya pertanian, perkebunan dan kehutanan memberikan manfaat ekonomi, antara lain dalam bentuk penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan produksi sektor pertianian. Manfaat tersebut terekam di dalam PDRB. Akan tetapi, di samping manfaat ekonomi yang dapat diraih tersebut, pada sisi lain telah mengorbankan manfaat-manfaat lingkungan atau dikenal sebagai eksternalitas negatif. Sayangnya, publik tidak

163

mengetahui nilai eksternalitas tersebut, karena kehilangan manfaat tersebut tidak dicatat dalam PDRB.

Berkaitan dengan permasalahan tersebut terdapat tiga pertanyaan yang diajukan, yaitu:

1. Berapakah nilai ekonomi manfaat jasa lingkungan yang hilang sebagai akibat degradasi HRG Sumsel.

2. Bagaimanakah dampak perubahan kondisi HRG terhadap keberlanjutan pembangunan ekonomi Sumsel, khususnya terhadap sector pertanian.

3. Bagaimanakah potensi peranan restorasi ekosistem dalam menuju pembangunan ekonomi Sumsel yang berkelanjutan.

Ketiga pertanyaan tersebut menjadi titik tolak olah pikir untuk memberikan gambaran dampak kehilangan manfaat jasa lingkungan akibat degradasi HRG Sumsel yang sekaligus merupakan landasan berpikir terhadap perlunya restorasi HRG guna mencapai pembangunan ekonomi sumsel yang berkelanjutan.

II. KERANGKA PIKIR DAN POLA PENDEKATAN

Keterkaitan antara HRG dengan pembangunan berkelanjutan dalam permasalahan sebagaimana dijelaskan di muka dikupas dalam kerangka ilmu ekologi ekonomi (ecological economics). Dalam kaidah ilmu ini, sistem ekonomi merupakan bagian (sub sistem) dari sistem lingkungan (Common & Stagl, 2005). Sebagai salah satu tipe ekosistem, HRG dapat dipandang sebagai salah satu sistem yang menopang keberlangsungan sub sistem ekonomi. HRG merupakan sumber input untuk proses produksi dan sekaligus sebagai penetralisir limbah yang dihasilkan dari proses produksi dan konsumsi, serta sebagai penyedia jasa-jasa lingkungan.

Karena merupakan satu kesatuan, semakin berkembangnya sub sistem ekonomi maka akan semakin menguras sediaan sumber daya yang tersedia pada ekosistem HRG serta mengurangi kapasitas HRG dalam menetralisir limbah dan menyediakan jasa-jasa lingkungan lainnya. Pada gilirannya, penyusutan HRG dapat mengancam keberlanjutan semua proses yang terjadi pada sub sistem ekonomi. Hal inilah yang dinamakan pembangunan ekonomi tidak berkelanjutan. Dengan demikian pemba-ngunan ekonomi berkelanjutan (sustainable economic development) sebagaimana dikemukakan WCED (1987) adalah pembangunan ekonomi dan social yang mampu menyediakan kebutuhan generasi saat ini maupun generasi yang akan datang.

164

Untuk keperluan kajian ini terkait dengan pemanfaatan HRG, definisi pembangunan ekonomi berkelanjutan tersebut ditafsirkan ke dalam ranah yang lebih khusus, dimana pembangunan ekonomi yang berkelanjutan adalah pembangunan ekonomi yang mampu menjaga ketersedian HRG untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan yang akan datang. Secara umum, terdapat dua jenis sumber daya yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu barang dan jasa. HRG merupakan sistem lingkungan yang mampu menyediakan kedua jenis kebutuhan manusia tersebut.

Peranan HRG dalam menghasilkan beragam jenis barang seperti kayu, hasil hutan non kayu, ikan dan lain-lain tercatat di dalam indikator perekonomian konvensional (PDRB), sedangkan nilai manfaat jasa lingkungannya yang antara lain sebagai penetralisir limbah, penyerap karbon dioksida, dan pengatur sistem hidrologi, belum terekam dalam PDRB. Perhatian terhadap berbagai jenis barang yang dihasilkan HRG namun tidak diikuti dengan kepedulian terhadap manfaat jasa lingkungan dikhawatirkan akan semakin meningkatkan eksploitasi HRG yang pada akhrnya dapat menimbulkan kebangkrutan pembangunan ekonomi.

Bertitik tolak dari landasan teori di muka serta didukung oleh teori pendapatan lestari (sustainable income) yang dikemukakan oleh Hicks (1946) maka kajian ini dilakukan untuk menilik perubahan sediann HRG di Sumsel, serta potensi upaya restorasi sebagai upaya reinvestasi untuk memelihara kapasitas HRG dalam mencapai pembangunan ekonomi lestari. Pendapatan dan pembangunan ekonomi lestari keduanya memiliki keterkaitan, karena pendapatan adalah indikator yang digunakan untuk menilai kinerja pembangunan ekonomi. Adapun yang dimaksud dengan pendapatan lestari adalah jumlah penerimaan yang dapat digunakan untuk kegiatan konsumsi sedemikian sehingga tidak mengurangi kekayaan (potensi pendapatan di masa yang akan datang).

III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Degradasi HUTAN RAWA GAMBUT (HRG): Penyebab dan Dampaknya

Nilai produksi sektor pertanian di Provinsi Sumsel menunjukkan peningkatan sejak tahun 2000 hingga 2007. Sub sektor perkebunan dan tanaman bahan makanan (hortikultura) merupakan kontributor utama output sector pertanian. Walaupun peningkatan outputnya tidak secemerlang sub sector perkebunan, sub sector kehutanan juga menunjukkan tren menaik dalam periode tersebut (Gambar 1).

165

Prestasi sub sektor perkebunan tidak terlepas dari ekstensifikasi lahan perkebunan yang telah dilakukan pada periode sebelumnya. Lahan dan HRG merupakan salah satu sasaran dari program ekstensifikasi tersebut.

Sumber: Diolah dari data BPS Prov. Sumsel (2008)

Gambar 1. Perkembangan PDRB Sektor Pertanian

Proses ekstensifikasi areal perkebunan dan pertanian, kegiatan logging yang dilakukan pada era HPH, pembangunan hutan tanaman dan bencana kebakaran diindikasikan telah berkolaborasi baik dalam menimbulkan degradasi HRG Sumsel. Hasilnya dapat terlihat dari fakta yang dikemukakan oleh Wahyunto et al. (2005) bahwa selama periode 1990 - 2002, ketebalan lahan gambut Sumsel telah mengalami penyusut-an sehingga luas pada masing-masing kategori ketebalannya mengalami perubahan cukup drastis (Gambar 2). Luas lahan gambut dalam dan sedang mengalami penyusutan, sedangkan lahan gambut dangkal dan sangat dangkal justru mendapati peningkatan. Adapun, kriteria ketebalan gambut pada kategori gambut dalam, sedang, dangkal dan sangat dangkal adalah berturut-turut 2 – 4 m, 1 – 2 m, 0,5 – 1 m, dan 0,5 m (Wahyunto et al., 2005).

- 1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 5,000,000 6,000,000

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

20

07

PD

RB

Pro

vin

si S

um

sel

(ju

ta r

up

iah

)

Tahun

Perkebunan

Tanaman Bahan Makanan

Peternakan

Kehutanan

166

Sumber: Diolah dari Wahyunto et al. (2005)

Gambar 2. Perubahan luas gambut pada berbagai ketebalan pada tahun 1990 - 2000

Fakta lainnya, yang dikemukakan oleh Miettinen & Liew (2010) menunjukkan bahwa lahan gambut yang kondisinya ditutupi oleh vegetasi hutan alam luasnya hanya sekitar 26,1% dari luas lahan gambut Sumsel, sedangkan sisanya berupa semak belukar yang didominasi oleh pakis, areal pertanian, hutan tanaman serta perkebunan kelapa sawit dan lain-lain. Dari jumlah 26,1% luas penutupan hutan tersebut hanya sekitar 6 ribu hektar atau 0,4% yang masih berupa HRG primer, sedangkan sebagian besarnya (16,4%) telah beralih menjadi hutan sekunder atau vegetasi semak belukar dengan ketinggian lebih dari 2 m. Adapun sisanya telah berubah menjadi HRG terdegradasi dengan criteria ringan hingga berat (Tabel 1).

Tabel 1. Luas lahan gambut Sumsel berdasarkan jenis penutupan lahan

Jenis Penutupan Lahan

Luas (1.000)

%

Badan air 13 1,0

Air musiman 13 1,0

HRG primer 6 0,4

HRG terdegradasi ringan 17 1,3

HRG terdegradasi sedang 97 7,2

HRG terdegradasi berat 11 0,8

Hutan skunder/semak tinggi 221 16,4

Pakis-pakisan/semak pendek 483 35,8

Areal pertanian/perkebunan skala kecil 199 14,8

- 66,201

1,363,556

53,905 159,036

313,324

982,023

29,279 -

200,000

400,000

600,000

800,000

1,000,000

1,200,000

1,400,000

1,600,000

Sangat dangkal

Dangkal Sedang Dalam

Luas

(h

a)

Ketebalan gambut

1990

2002

167

Jenis Penutupan Lahan

Luas (1.000)

%

Hutan tanaman dan perkebunan kelapa sawit 251 18,6

Pemukiman/areal industri 4 0,3

Areal terbuka/areal bekas terbakar 35 2,6

Total areal dipetakan 1.349 100,0

% Luas gambut yang dapat ditafsirkan

90,9

Jumlah total lahan gambut Sumsel menurut Wahyunto, et al. (2005) 1.484

Sumber: Miettinen & Liew (2010) Keterangan: HRG (HRG)

B. Nilai Ekonomi Manfaat Jasa Lingkungan HRG

Menurut Millenium Ecosystem Assessment (2005) sebagaimana dikutip oleh Bullock et al. (2012), manfaat jasa lingkungan HRG dapat digolongkan ke dalam empat kategori, yaitu menyediakan (provisioning), mengatur (regulating), mendukung (supporting), jasa budaya. Dalam kaitannya dengan keempat manfaat HRG tersebut, berikut ini contoh untuk masing-masing kategori:

1. Menyediakan: HRG berperan dalam menyediakan lahan untuk gambut untuk kegiatan budidaya pertanian, perkebunan, kehutanan dan bahkan sebagai sumber bahan bakar

2. Mengatur: HRG bermanfaat dalam mengatur sistem hidrologi dan penyerapan CO2

3. Mendukung: HRG berperan dalam mendukung kehidupan dengan menyediakan habitat bagi aneka ragam satwa dan menjaga sumber daya genetik

4. Nilai budaya: HRG juga memeiliki nilai budaya bagi masyarakat tertentu

Dari keempat kriteria manfaat HRG tersebut, kriteria pertama dapat terlihat nilai manfaatnya dalam indikator perekonomian konvensional seperti telah diutarakan di muka. Dalam hal ini yaitu tampak dari nilai kontribusinya terhadap PDRB. Adapun, tiga criteria lainnya menyangkut jasa-jasa lingkungan belum terrekam dalam indikator tersebut.

Mengingat kondisi HRG Sumsel sebagian besar mengalami degradasi maka tentunya nilai manfaat jasa lingkungannya juga berkurang. Berdasarkan data yang dikemukakan Miettinen & Liew (2010) dapat dketahui bahwa 346 ribu ha HRG Sumsel telah terdegradasi dari

168

mulai tingkat ringan sampai berat. Deskripsi masing-masing tingkat degradasi tersebut disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Deskripsi penutupan lahan yang tergolong ke dalam HRG asli dan terdegradasi

Tipe penutupan lahan Deskripsi

HRG primer HRG yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda intervenesi manusia

HRG terdegradasi ringan HRG dengan sedikit tanda-tanda intervensi manusia, ditunjukkan dengan adanya jalan-jalan kecil yang tidak terlalu jelas melintasi area tetapi tidak ada tanda-tanda pembukaan tajuk hutan

HRG terdegradasi sedang

HRG dengan tanda-tanda yang jelas yang mengindikasi-kan kegiatan logging yang sistematis, hal ini ditunjukkan dengan adanya bentuk jalan-jalan logging atau kanal dan atau bekas pembukaan tajuk hutan

HRG terdegradasi berat HRG yang menyisakan sedikit penutupan hutan

Hutan skunder/semak tinggi

Lahan yang ditutupi semak belukar atau hutan sekunder dengan ketinggian vegetasi rata-rata di atas 2 m

Sumber: Miettinen & Liew (2010)

Berdasarkan deskripsi pada Tabel 2, maka tipe penutupan lahan yang diindikasikan mengalami degradasi manfaat jasa lingkungan HRG yang tergolong berat adalah pada tipe HRG terdegradasi berat dan hutan sekunder. Selain itu kehilangan manfaat lingkungan HRG juga diindikasikan terjadi akibat penyusutan (deplesi) HRG yaitu konversi HRG menjadi areal pertanian, perkebunan, pemukiman dan areal industri serta kebakaran yang mengakibatkan HRG berubah menjadi areal terbuka dan semak belukar/vegetasi pakis. Dengan demikian maka total deplesi dan degradasi HRG seluas 1,204 juta ha, dengan perincian tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas deplesi dan degradasi HRG yang diindikasikan berdampak terhadap berkurangnya nilai manfaat jasa lingkungan

Tipe penutupan lahan Luas (1.000 ha) HRG terdegradasi berat 11

Hutan skunder/semak tinggi 221

Pakis-pakisan/semak pendek 483

Areal pertanian/perkebunan skala kecil 199

Hutan tanaman dan perkebunan kelapa sawit 251

Pemukiman/areal industri 4

Tipe penutupan lahan Luas (1.000 ha)

Areal terbuka/areal bekas terbakar 35

Jumlah 1.204 Sumber: Diolah dari Miettinen & LIew (2010)

169

Nilai manfaat jasa lingkungan yang hilang akibat penyusutan dan degradasi HRG tersebut dihitung adalah sekitar 55,806 trilyun per tahun. Nilai tersebut diperoleh dengan mengalikan Jumlah luas HRG yang dikonversi dan terdegradasi sebagaimana disajikan pada Tabel 3 dengan nilai manfaat jasa lingkungan HRG per ha per tahun. Nilai manfaat jasa lingkungan ini menggunakan pendekatan nilai manfaat lahan basah pada tingkat global yang dikemukakan oleh Zedler&Kercher (2005). Nilai tersebut digunakan sebagai pendekatan (proxy) karena nilai manfaat lingkungan HRG yang merupakan publikasi dari hasil kajian di wilayah Sumsel tidak ditemukan. Adapun perhitungan nilai manfaat HRG yang hilang tersebut ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Perhitungan nilai manfaat jasa lingkungan yang hilang akibat terjadinya deplesi dan degradasi HRG

Luas deplesi dan degradasi HRG

(ha)

Nilai ekonomi manfaat lingkungan HRG (Rp/ha/tahun)*)

Total nilai manfaat jasa lingkungan yang hilang

(Rp/tahun)

1.204.000 46.350.500 (US$ 4.879 x Rp

9.500/US$)

55.806.002.000.000

Sumber: Diolah dari data sekunder Keterangan: *) Nilai pendekatan (proxy) yang diperoleh dari Zedler & Kercher

(2005) US$ (United Stated Dollar): Dolar Amerika Serikat

C. Pendapatan (PDRB) Lestari Sektor Pertanian

Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, nilai manfaat lingkungan yang hilang akibat deplesi dan degradasi HRG tersebut merupakan faktor yang dapat mengurangi pendapatan. Hasil dari pengurangannya diperoleh tingkat pendapatan (PDRB) lestari. Estimasi pendapatan lestari pada kajian ini hanya diimplementasikan pada sektor pertanian, dengan pertimbangan bahwa deplesi dan degradasi HRG Sumsel memiliki keterkaitan dengan proses ekstensifikasi pada pembangunan sektor pertanian (mencakup sub sector pertanian tanaman pangan, perkebunan dan hutan tanaman). Selain itu, penghitungannya hanya dilakukan terhadap pendapatan tahun 2005 - 2007 mengingat data deplesi dan degradasi HRG yang tersedia dari Miettinen & Liew (2010) adalah hasil penafsiran citra SPOT hasil liputan tahun 2005, 2006 dan 2007. Dengan demikian kondisi tersebut diasumsikan menggambarkan kondisi deplesi dan degradasi HRG Sumsel pada ketiga tahun tersebut.

170

Pendapatan lestari sector pertanian pada penelitian ini menunjukkan hasil yang bernilai negatif (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan regional yang disumbangkan oleh sektor pertanian adalah bukan pendapatan yang lestari dan di dalamnya terkandung nilai kerugian publik (masyarakat secara keseluruhan) akibat hilangnya manfaat jasa lingkungan HRG. Hasil estimasi ini juga membuktikan bahwa nilai manfaat lingkungan yang hilang akibat deplesi dan degradasi HRG lima kali lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh dari hasil sektor pertanian.

Tabel 5. Perhitungan PDRB lestari sektor pertanian

Uraian 2005 2006 2007

PDRB konvensional (juta Rp) 9.805.678 10.437.334 11.113.699

Manfaat jasa lingkungan yang hilang (juta Rp)

55.806.002 55.806.002 55.806.002

PDRB lestari (juta Rp) - 46.000.324 - 45.368.668 - 44.692.303 Sumber: Diolah dari data sekunder

D. Restorasi HRG: Upaya Reinvestasi Sumber Daya dan Jasa Lingkungan

Restorasi HRG adalah keputusan paling rasional yang dapat dilaku-kan untuk mengembalikan manfaat jasa lingkungan HRG. Mengingat nilai manfaat jasa lingkungan HRG jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai manfaat yang diperoleh dari hasil mengonversi HRG menjadi areal penggunaan lain.

Kegiatan restorasi HRG yang paling utama adalah kegiatan pembendungan kanal-kanal dengan maksud untuk meningkatkan tingkat permukaan air tanah. Cara demikian dipandang efektif untuk mencegah oksidasi gambut sehingga pelepasan emisis karbon dapat dihindari. Selain itu, pembendungan kanal dapat menjaga agar tanah gambut senantiasa basah sehingga dapat mencegah terjadinya kebakaran yang juga dapat melepaskan emisi karbon dalam jumlah yang lebih besar (Suryadiputra et al., 2005; Jaenicke et al., 2010).

Penilaian terhadap pengaruh pembendungan kanal-kanal pada lahan gambut terdegradasi di areal eks Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar, Kalimantan Tengah yang dilakukan oleh Jaenicke et al. (2011) mengindikasikan bahwa uapaya tersebut telah berhasil meningkatkan kadar air gambut di sekitar bendungan (DAM). Mereka telah berhasil mendeteksi perubahan relatif kelembaban tanah gambut dengan menggunakan teknologi citra satelit radar.

171

Evaluasi dampak pembendungan kanal-kanal pada lahan gambut juga telah dilakukan oleh Xiaohong et al. (2012) di lahan gambut yang terdegradasi di wilayah Zioge, China. Hasil evaluasi tersebut mengungkapkan bahwa restorasi lahan gambut telah berhasil meningkatkan tinggi permukaan air tanah. Hal demikian ternyata juga berdampak terhadap peningkatan kelimpahan vegetasi perairan serta kenaikan kandungan bahan organik, kelembaban, dan kadar N, P, K tanah.

Fakta-fakta keberhasilan restorasi lahan gambut yang tersaji di muka, menjadi teladan bagi upaya restorasi HRG Sumsel untuk mengembalikan fungsi HRG dalam menyediakan jasa-jasa lingkungan. Upaya restorasi tentu tidak dengan cepat mengembalikan fungsi-fungsi lingkungan dimaksud ke kondisi awal. Namun demikian, upaya ini diharapkan dapat meningkatkan sediaan sumber daya dan jasa lingkungan sehingga dapat memandu laju pembangunan ekonomi ke arah yang berkelanjutan.

IV. KESIMPULAN

Deplesi dan degradasi hutan terbukti telah mengakibatkan lenyapnya manfaat jasa lingkungan HRG Sumsel. Nilai ekonomi manfaat lingkungan yang hilang tersebut ditaksir mencapai 55,806 trilyun per tahun atau lima kali dari PDRB sektor pertanian. Fakta tersebut menunjukkan bahwa nilai pendapatan (PDRB) dari sector pertanian belum mampu menggantikan dampak negatif dari kegiatan konversi dan degradasi HRG.

Karena nilai manfaat ekonomi jasa lingkungan yang hilang lebih besar dibandingkan dengan PDRB konvensional sektor pertanian maka PDRB lestarinya bernilai negatif atau dapat dikatakan sebagai pembangunan yang tidak berkelanjutan.

Beberapa fakta hasil evaluasi restorasi lahan gambut di beberapa lokasi baik di dalam maupun di luar negeri menunjukkan bahwa restorasi mampu memperbaiki kondisi lahan gambut dan sehingga memiliki potensi untuk mengembalikan jasa-jasa lingkungan HRG. Kecenderungan demikian diharapkan dapat mengarahkan gerak pembangunan sektor pertanian menuju jalur yang lestari.

172

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan (BPS Prov. Sumsel). 2008. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2007. BPS Provinsi Sumatera Selatan. Palembang.

Bullock, C.H., M.J. Collier, F. Convery. 2012. Peatlands, Their Economic Value and Priorities for Their Future Management – The Example of Ireland. Land Use Policy, 29 (2012): 921 – 928.

Common, M. & S. Stagl. 2005. Ecological Economics: An Introduction. Cambridge University Press. Cambridge, UK.

Hicks, J.R. 1946. Value and Capital: An Inquirry into Some Fundamental Principles of Economic Theory. Second Edition. Oxford University Press. Oxford, UK.

Jaenicke, J., S. Englhart, F. Siegert. 2011. Monitoring the effect of restoration measures in Indonesian peatlands by radar satellite imagery. Journal of Environmental Management, 92 (2011): 630 – 638.

Jaenicke, J., J.H.M. Wösten, A. Budiman, F.Siegert. 2010. Planning hydrological restoration of peatlands in Indonesia to mitigate carbon dioxide emissions. Mitig. Adapt. Strateg. Glob. Change DOI: 10.1007/s11027-010-9214-5

Suryadiputra, I.N.N., Dohong, A., Waspodo, R.S.B., Muslihat, L., Lubis, I.R., Hasudungan, F., Wibisono, I.T.C., 2005. AGuide to Blocking of Canals and Ditches in Conjunction with the Community. Wetlands International eIndonesia Programme, Bogor.

Wahyunto, S. Ritung, Suparto dan H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan 2004. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.

World Commission on Environment and Development (WCED). 1987. Our Common Future. World Commission on Environment and Development. http://www.un-documents.net/wced-ocf.htm (diakses pada tanggal 22 Oktober 2010).

Xiaohong, Z., L. Hongyua, C. Baker, S. Graham. 2012. Restoration approaches used for degraded peatlands in Ruoergai (Zoige), Tibetan Plateau, China, for sustainable land management. Ecological Engineering, 38 (2012): 86 – 92.

173

Zedler, J.B. & S. Kercher. 2005. Wetland Resources: Status, Trends, Ecosystem Services, and Restorability. Annual Review of Environment and Resources, 2005 (30): 39 – 74.

174

175

PEMBIBITAN GELAM (Melaleuca leucadendron) UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN RESTORASI DAN REHABILITASI

LAHAN RAWA GAMBUT BERSULFAT MASAM

Bastoni Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK Restorasi dan rehabilitasi lahan rawa gambut bersulfat masam terkendala oleh pilihan jenis pohon yang sangat terbatas karena kondisi lingkungan yang sangat masam dan umumnya memiliki genangan dalam. Pohon gelam (Melaleuca leucadendron) dapat digunakan untuk tujuan tersebut. Bibit gelam dapat diperoleh dari permudaan (anakan) alam, bibit cabutan, dan perkecambahan buatan. Permudaan alam gelam sangat mudah ditemukan pada areal hutan bekas terbakar, dengan kerapatan yang sangat bervarisasi mulai dari > 2.500 sampai < 50 kecambah/m2 tergantung jarak dari tegakan pohon induk.. Bibit cabutan diperoleh dari semai permudaan alam gelam yang memiliki beragam tinggi mulai dari 10 – 100 cm. Bibit dari perkecambahan biji juga mudah diperoleh karena gelam berbuah hampir sepanjang tahun. Pemeliharaan anakan gelam pada areal bekas kebakaran merupakan cara yang paling praktis dan murah untuk regenerasi hutan gelam. Penggunaan bibit gelam dari cabutan anakan alam dan perkecambahan biji dapat digunakan untuk mempercepat penyediaan bibit gelam pada penanaman (permudaan buatan) areal kosong hutan dan lahan rawa gambut bersulfat masam.

Kata kunci: gelam, lahan rawa gambut, sulfat masam, bibit, permudaan

I. PENDAHULUAN

Gelam (Melaleuca leucadendron L.) adalah jenis pohon penciri lahan rawa gambut bersulfat masam. Jenis tersebut sangat mendominasi lahan rawa yang telah mengalami kebakaran, membentuk tegakan hutan seumur dan relatif seragam baik tinggi maupun diameternya. Gelam mempunyai beberapa keunggulan komparatif, yaitu: (1) jenis yang paling adaptif pada lahan rawa sulfat masam dan genangan dalam, (2) dapat dikelola melalui 2 cara, yaitu permudaan alam dan permudaan buatan, (3) memiliki multifungsi sebagai penghasil kayu pertukangan dan kayu energi (Fakultas Kehutanan UGM, 1980). Gelam sudah lama dan telah banyak

176

dimanfaatkan untuk berbagai keperluan di Indonesia, termasuk di wilayah Sumatera Selatan. Selain memiliki penyebaran yang luas pada lahan rawa, kayu gelam juga mempunyai beragam kegunaan serta sudah lama menja-di sumber matapencaharian dan pendapatan masyarakat (Lazuardi, 2000).

Restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan rawa gambut bersulfat masam yang telah terdegradasi terkendala oleh pilihan jenis pohon yang sangat terbatas karena kondisi lingkungan yang sangat masam dan umumnya memiliki genangan dalam. Lingkungan yang sangat masam (pH < 3,5) dan genangan dalam (> 50 cm) menyebabkan banyak jenis pohon tidak dapat tumbuh dan beradaptasi, sehingga areal hanya didominasi oleh tumbuhan bawah seperti purun (Fimbristylus sp.), rumput rawa (Leersia hexandra), dan pakis-pakisan (Stenochlaena palustris, Nephrolepis exaltata). Gelam dapat digunakan untuk restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan rawa gambut bersulfat masam karena kemampuan tumbuh dan adaptasinya yang baik pada kondisi lahan tersebut.

Tahapan awal kegiatan restorasi dan rehabilitasi lahan rawa gambut bersulfat masam adalah produksi bibit gelam yang berkualitas dalam jum-lah yang mencukupi. Makalah ini membahas permudaan alam gelam dan sumber-sumber bibit dan pembibitan gelam untuk mendukung kegiatan restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan rawa gambut bersulfat masam.

II. PERMUDAAN ALAM GELAM

Permudaan alam gelam terbentuk setelah tegakan hutan alam gelam mengalami kebakaran. Permudaan alam yang terbentuk dapat digunakan untuk: (1) membangun tegakan hutan gelam baru melalui pemeliharaan permudaan alam, dan (2) sumber bibit cabutan untuk penanaman gelam pada areal kosong yang tidak tersedia anakan alamnya. Berdasarkan hasil pengamatan di daerah Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan, permudaan alam gelam yang terbentuk setelah kebakaran mengikuti pola suksesi seperti uraian berikut ini.

A. Pola Suksesi Permudaan Alam Gelam pada Areal Hutan yang Terbakar

Suksesi adalah suatu proses perubahan yang terjadi dalam komunitas atau ekosistem yang menyebabkan timbulnya penggantian dari satu komunitas atau ekosistem oleh komunitas atau ekosistem yang lain (Kandeigh, 1980 dalam Indriyanto, 2010). Suksesi sebagai suatu proses perubahan komunitas atau ekosistem terjadi melalui beberapa tahap, yaitu nudasi, invasi, kompetisi dan reaksi, serta stabilitas dan klimaks. Nudasi adalah proses pembentukan atau terjadinya daerah gundul,

177

daerah terbuka atau tidak bervegetasi, baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia maupun oleh aktivitas alam. Invasi adalah datangnya bakal kehidupan berbagai spesies organisme dari suatu daerah ke daerah yang baru dan menetap di daerah baru melalui proses migrasi, adaptasi, dan agregasi (Indriyanto, 2010).

1. Nudasi

Nudasi terjadi setelah areal hutan gelam terbakar. Kebakaran hutan gelam pada plot pengamatan terjadi pada bulan September 2011. Kondisi hutan alam gelam yang masih menyisakan tegakan hutan disajikan pada Gambar 1 dan kondisi tegakan hutan alam gelam pada areal tanpa tegakan (terbuka) disajikan pada Gambar 2. Di bawah tegakan pohon induk gelam kebakaran memusnahkan sebagian besar tumbuhan bawah yang tumbuh di lantai hutan. Batang gelam hanya terbakar kulitnya saja sehingga pohon tidak mati. Kulit yang tebal (dapat mencapai 2 cm) merupakan perisai yang menyelamatkan pohon gelam dari kematian. Lantai hutan yang bersih setelah kebakaran adalah kondisi yang ideal untuk perkecambahan biji gelam yang jatuh dari pohon induk.

Gambar 1. Kondisi tegakan hutan gelam setelah kebakaran

Pada areal terbuka tanpa pohon induk gelam, kebakaran mengakibatkan seluruh tumbuhan bawah mati dan mengasilkan abu setebal 5 – 10 cm. Nudasi yang terbentuk menghasilkan kondisi lahan yang terbuka hampir 100 persen. Abu yang terbentuk merupakan penyumbang unsur-unsur hara basa (K, Ca, Mg) yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber hara untuk pertumbuhan vegetasi. Namun demikian hara yang dihasilkan mudah hilang melalui pencucian oleh air hujan. Abu yang terbentuk dapat meningkatkan pH tanah (Buckman & Brady, 1987). Hasil pengamatan menunjukkan pH tanah setelah kebakaran berkisar antara 5,4 – 6.0 (agak netral).

178

Gambar 2. Kondisi lahan tanpa tegakan gelam setelah kebakaran

2. Invasi

Invasi (penyebaran) biji gelam berlangsung sepanjang waktu selama ada pelepasan biji gelam dari tabung-tabung biji yang tersusun pada tangkai buah gelam. Penyebaran biji di dalam areal tegakan maupun di luar tegakan dibantu oleh angin. Biji yang jatuh pada permukaan tanah akan berkecambah. Peluang suksesnya biji berkecambah tergantung dari kelembaban lapisan tanah dan hambatan fisik (lapisan serasah lantai hutan, kerapatan tumbuhan bawah). Hasil pengamatan di banyak tempat, perkecambahan biji gelam baru dapat berjalan baik setelah lahan mengalami kebakaran. Hal ini menunjukkan penyebaran biji gelam pada areal hutan yang terbakar akan diikuti oleh perkecambahan biji yang melimpah.

3. Kompetisi dan Reaksi

Perkecambahan biji gelam pada areal bekas kebaran tidak langsung terjadi. Perlu ada proses invasi biji dahulu dan prakondisi lahan sebelum biji sukses berkecambah. Prakondisi yang dimaksud adalah kelembaban yang cukup dan hambatan fisik yang minimal untuk berlangsungnya perkecambahan. Berdasarkan hasil pengamatan, perkecambahan baru muncul 2 bulan setelah kebakaran (Gambar 3).

Kompetisi pada permudaan alam gelam terjadi antar individu anakan alam gelam yang tumbuh sangat rapat. Kerapatan yang tinggi akan menyebabkan persaingan ruang untuk memperebutkan cahaya, hara, dan air. Anakan alam gelam yang akan menang bersaing adalah anakan yang dapat tumbuh dengan cepat. Reaksi dari persaingan tersebut adalah sebagian anakan akan kalah dan mati. Pengamatan lebih lanjut dari pola suksesi perkecambahan ini akan dapat mengetahui berapa jumlah individu anakan gelam yang sukses sampai pada tingkatan pohon berikutnya (semai, pancang, tiang, dan seterusnya).

179

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 3. Pola perkecambahan biji gelam sampai 4 bulan setelah kebakaran: (a) 0 bln, (b) 2 bln, (c) 3 bln, (d) 4 bln

4. Stabilitas dan Klimaks

Proses perkembangan permudaan alam gelam dari perkecambahan sampai menjadi tegakan yang stabil dan klimaks membutuhkan waktu belasan sampai puluhan tahun. Data dan informasi hasil kajian pola suksesi sampai tahap ini belum tersedia.

B. Jangkauan Invasi (Penyebaran) Permudaan Alam Gelam

Penelitian tentang jangkauan invasi (penyebaran) permudaan alam gelam sangat penting untuk mengetahui seberapa jauh biji dan anakan gelam menyebar pada areal hutan yang telah terbakar. Jarak areal yang dapat dijangkau dapat dijadikan tolok ukur untuk berbagai kepentingan, terutama untuk penentuan sistem silvikultur yang tepat dalam manajemen hutan gelam.

Hasil pengamatan jangkauan penyebaran permudaan alam gelam di daerah Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, disajikan pada Gambar 4. Dari gambar tersebut tampak bahwa permudaan alam gelam sangat melimpah. Di bawah tegakan pohon induk gelam yang terbakar (jarak 0

180

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

0 10 20 30 40 50

Jum

lah P

erm

udaan p

er

m2

Jarak dari Tegakan Pohon Induk (m)

Jangkauan Invasi Permudaan Alam Gelam

Tergenang

Tidak Tergenang

meter) jumlah anakan mencapai > 2.500 batang/m2 pada kondisi areal yang tidak tergenang. Jumlah anakan menurun dengan bertambahnya jarak dari pohon induk. Sampai dengan jarak 50 meter sudah mulai sulit dijumpai anakan alam gelam.

Gambar 4. Jangkauan invasi (penyebaran) permudaan alam gelam berdasarkan jarak dari tegakan induk gelam pada hutan alam gelam yang terbakar di daerah Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan

Pola yang sama dijumpai pada areal bekas kebakaran yang tergenang air. Jumlah anakan gelam di bawah tegakan pohon induk berkisar antara 1.000 sampai 1.500 batang/m2, lebih sedikit dibandingkan dengan areal bekas kebakaran yang tidak tergenang. Pada jarak 40 m dari pohon induk sudah sulit dijumpai anakan alam gelam pada areal yang tergenang. Hal ini menunjukkan bahwa genangan air merupakan salah satu penghambat perkecambahan biji gelam.

Gambar 5. Anakan alam gelam yang mampu hidup di bawah genangan air

181

Fenomena menarik yang ditemukan adalah bahwa sampai kedalaman genangan 50 cm dengan kondisi air yang jernih masih dapat ditemukan permudaan alam gelam seperti disajikan pada Gambar 5. Kemampuan hidup anakan gelam pada kondisi tergenang menunjukkan bahwa penyebaran permudaan alam gelam dapat terjadi pada lahan rawa yang tergenang air.

III. SUMBER BIBIT DAN PEMBIBITAN GELAM

A. Sumber Bibit dari Permudaan Alam

Permudaan alam gelam yang melimpah selain dapat digunakan untuk membangun tegakan hutan alam gelam yang baru juga dapat digunakan untuk sumber bibit cabutan. Penelitian pembibitan gelam dari cabutan anakan alam telah dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang pada tahun 2010 (Bastoni et al., 2011), hasilnya disajikan dalam uraian di bawah ini.

Laju pertambahan tinggi bibit gelam berdasarkan perlakuan tinggi cabutan disajikan pada Gambar 6. Dari Gambar 6 tampak bahwa laju pertambahan tinggi bibit gelam terbesar diperoleh pada perlakuan tinggi cabutan < 10 cm. Hal ini menunjukkan bahwa makin pendek (bahan cabutan muda) akan makin baik digunakan untuk pembibitan gelam asal cabutan anakan alam.

Gambar 6. Laju pertambahan tinggi bibit gelam berdasarkan perlakuan tinggi cabutan sampai umur 3 bulan setelah sapih

Laju pertambahan tinggi bibit gelam asal cabutan anakan alam berdasarkan perlakuan pemupukan NPK disajikan pada Gambar 7. Dari gambar tersebut tampak bahwa laju pertumbuhan tinggi bibit gelam sangat dipengaruhi oleh perlakuan pemupukan NPK. Laju pertumbuhan

0 2 4 6 8

10 12 14 16 18 20

0 1 2 3

Tin

gg

i (c

m)

Umur (bulan)

< 10 cm

11 - 20 cm

21 - 30 cm

31 - 40 cm

182

tinggi bibit gelam yang dipupuk berbeda sangat nyata dengan laju pertumbuhan tinggi bibit gelam yang tidak dipupuk (kontrol). Pada umur 3 bulan setelah sapih, bibit gelam dengan perlakuan dosis pupuk NPK 5 gram/bibit menghasilkan laju pertumbuhan tinggi terbaik diikuti oleh perlakuan pemupukan NPK dengan dosis 7,5 gram/bibit dan dosis 2,5 gram/bibit.

Gambar 7. Laju pertambahan tinggi bibit gelam asal cabutan anakan alam berdasarkan perlakuan pemupukan NPK sampai umur 3 bulan setelah sapih

B. Sumber Bibit dari Perkecambahan Biji

Pohon gelam berbuah hampir sepanjang tahun. Hal tersebut sangat menguntungkan karena biji akan tersedia tanpa dibatasi oleh musim berbuah. Penggunaan biji/benih untuk pembibitan gelam mempunyai kelebihan antara lain akan dapat dipilih sumber benih dari pohon-pohon induk plus dan dapat dilakukan pembibitan menggunakan beragam sumber asal benih (provenance) untuk menghasilkan bibit gelam yang berkualitas. Penelitian pembibitan gelam dari perkecambahan biji dari beberapa sumber asal benih telah dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang pada tahun 2010 (Bastoni et al., 2011), hasilnya disajikan dalam uraian di bawah ini.

Laju pertumbuhan tinggi bibit gelam berdaskarkan perlakuan asal benih disajikan pada Gambar 8. Pada Gambar 8 tampak bahwa laju pertumbuhan tinggi bibit gelam berdasarkan perlakuan asal benih menunjukkan garis yang saling berimpit yang berarti tidak ada perbedaan laju pertumbuhan tinggi bibit antar asal benih gelam dari 4 lokasi di Kabupaten Banyuasin dan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

0 1 2 3

Tin

gg

i (c

m)

Umur (bulan)

0 gram/bibit

2,5 gram/bibit

5 gram/bibit

7,5 gram/bibit

183

Gambar 8. Laju pertumbuhan tinggi bibit gelam berdasarkan perlakuan asal benih sampai umur 3 bulan setelah sapih

Dari Gambar 9 tampak bahwa laju pertumbuhan tinggi bibit gelam sangat dipengaruhi oleh perlakuan pemupukan NPK. Laju pertumbuhan tinggi bibit gelam yang dipupuk berbeda sangat nyata dengan laju pertumbuhan tinggi bibit gelam yang tidak dipupuk (kontrol). Pada umur 3 bulan setelah sapih, bibit gelam dengan perlakuan dosis pupuk NPK 5 gram/bibit mengasilkan laju pertumbuhan tinggi terbaik diikuti oleh perlakuan pemupukan NPK dengan dosis 7,5 gram/bibit dan dosis 2,5 gram/bibit.

Laju pertambahan tinggi bibit gelam berdasarkan perlakuan pemupukan NPK disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Laju pertumbuhan tinggi bibit gelam asal benih berdasarkan perlakuan pemupukan NPK sampai umur 3 bulan setelah sapih

Penampilan pertumbuhan bibit gelam berdasarkan perlakuan pemupukan NPK sampai umur 3 bulan setelah sapih disajikan pada Gambar 10. Gambar 10 menunjukkan bahwa pertumbuhan bibit gelam paling rendah diperoleh pada bibit yang tidak dipupuk (0 gram/bibit). Pertumbuhan terbaik diperoleh pada perlakuan dosis pupuk NPK 5 gram/bibit dan 7,5 gram/bibit, kemudian diikuti oleh dosis pupuk NPK 2,5 gram/bibit.

0

10

20

30

40

50

60

0 1 2 3

Tin

gg

i (c

m)

Umur (bulan)

0 gram/bibit

2,5 gram/bibit

5 gram/bibit

7,5 gram/bibit

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 1 2 3

Tin

gg

i (c

m)

Umur (bulan)

M. Sungsang, BA

S. Lilin, Muba

Sekayu, Muba

W. Teladan, Muba

184

Gambar 10. Penampilan pertumbuhan bibit gelam berdasarkan perlakuan pemupukan NPK umur 3 bulan setelah sapih

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Permudaan alam gelam tumbuh sangat melimpah pada areal hutan gelam bekas kebakaran dan dapat digunakan untuk membangun tegakan hutan gelam baru dan sumber bibit cabutan.

2. Pembibitan gelam dari cabutan anakan alam dapat dilakukan untuk mempercepat produksi bibit gelam. Materi bibit cabutan yang lebih muda memiliki pertumbuhan yang lebih baik dan lebih cepat dibandingkan dengan materi bibit cabutan yang sudah tua.

3. Pembibitan gelam dari perkecambahan biji dapat dilakukan untuk memperoleh bibit yang bersumber dari pohon induk plus dari beragam sumber asal biji/benih sehingga akan dapat diperoleh bibit yang berkualitas.

4. Pemupukan NPK dengan dosis 5 gram/bibit yang diberikan dalam 2 x pemupukan dapat memacu pertumbuhan dan meningkatkan kualitas bibit gelam.

Saran

Restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan rawa gambut bersulfat masam yang telah terdegradasi dengan jenis gelam akan dapat memper-cepat pemulihan lahan dan pembentukan tegakan hutan baru. Pada areal terdegradasi dengan suksesi permudaan alam gelam yang melimpah, upaya restorasi dan rehabilitasi dapat dilakukan dengan pemeliharaan permudaan alam yang tersedia. Sedangkan untuk areal yang terdegradasi berat tanpa permudaan alam gelam, upaya restorasi dan rehabilitasi

0 gram

/bibit

7,5 gram

/bibit

2,5 gram

/bibit

5 gram

/bibit

185

dapat dilakukan melalui penanaman dengan sumber bibit dari cabutan anakan gelam dan perkecambahan biji yang diperoleh dari tempat lain.

DAFTAR PUSTAKA

Fakultas Kehutanan. 1980. Melaleuca leucadendron. Bagian Penerbitan Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Bastoni, A.W. Nugroho, Sairun & M. Suparman. 2011. Teknik Budidaya Gelam Aspek Manipulasi Lingkungan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang.

Buckman, H.O & N.C. Brady. 1987. Ilmu Tanah. Terjemahan The Nature and Properties of Soil. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Indriyanto. 2010. Ekologi Hutan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.

Lazuardi, D. 2000. Teknik pengelolaan hutan rakyat galam (Melaleuca leucadendron) di Kalimantan Selatan. Dalam Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan Gambut dan Ekspose Hasil Penelitian di Lahan Basah, Banjarmasin Februari 2000. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. pp: 84-93.

186

187

LAMPIRAN

188

189

AGENDA KEGIATAN WORKSHOP II ITTO RED-SPD 009/09 Rev.2 (F)

25 April 2013

WAKTU MATERI PELAKSANA

08.00 - 08.30 Registrasi Peserta Panitia

08.30 - 08.45 Pembukaan MC

08.45 - 09.00 Laporan Ketua Panitia Penyelenggara Kepala BPK palembang

09.00 - 09.15 Sambutan, arahan dan pembukaan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan

09.15 - 09.30 Pembacaan doa Panitia

09.30 - 09.40 Photo Session

09.40 - 10.00 Coffee break

Sesi I

10.00 – 10.20 Hasil-Hasil Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Gambut untuk Penurunan Emisi Karbon

Prof.Dr. Fahmudin Agus (Balai Penelitian Tanah, Bogor)

10.20 – 10.40 Review Teknologi Rehabilitasi dan Res-torasi Hutan Rawa Gambut di Indonesia

Adi Kunarso, S.Hut., M.Sc (Balai Penelitian Kehutanan Palembang)

10.40 – 11.00 Pengalaman Rehabilitasi dan Restorasi Lahan Gambut Wetlands International Indonesia Program

Iwan Tri Cahyo Wibisono, S. Hut., M.Sc (Wetlands International – IP, Bogor)

11.00 – 11.20 Hasil –Hasil Penelitian Rehabilitasi dan Restorasi Lahan Gambut Balai Penelitian Kehutanan Palembang

Ir. Bastoni (Balai Penelitian Kehutanan Palembang)

11.20 – 12.30 DISKUSI Moderator: Dr. Ir. Halim PKS, M.S (Univ. Sriwijaya) Notulensi: Tubagus AAS, SP

12.30 – 13.30 ISHOMA

Sesi II

13.30 – 15.00 Diskusi para pihak dalam rangka penyu-sunan daftar prioritas implementasi metode dan teknologi rehabilitasi dan restorasi ekosistem hutan dan lahan rawa gambut di Sumatera Selatan

Fasilitator: Ir. Sabaruddin M.Sc, Ph.D (Universitas Sriwijaya) Notulen: Armellia P.Y., S. Hut

15.00 – 15.15 Coffee Break

15.15 – 15.30 Pembacaan Rumusan

15.30 – 16.00 Penutupan Kepala BPK Palembang

190

191

DAFTAR PESERTA WORKSHOP

Stakeholder Consultation the Application of Method and Technologies to Enhance the Restoration of PSF Ecosystem

Palembang, 25 April 2013

1. Abdul Hakim L. BPK Palembang Jalan Tamansari 3 Palembang Sumatera Selatan Telp. 0813-67667387 Fax. 0711 – 414864

7. Agus Sumadi BPK Palembang Maskarebet-Palembang, Sumatera Selatan Telp. 0813-73882778 Fax. 0711 – 414864

2. Abdullah MD. LPHB Mangkumerang Desa Muara Merang Kab. MUBA Sumatera Selatan Telp. 0823-7225598

8. Ahmad Muhaimin Walhi Sumatera Selatan

Lrg. Masjid Assalam RT.24A No. 42 Palembang, Sumatera Selatan

Telp. 0711-8750367

3. Adi Kunarso BPK Palembang Nuansa Dago B.10 Jl. Letkol Adrian Sukabangun II. Sumatera Selatan Telp. 0812-78269995 Fax. 0711 – 414864

9. Ali Martinus PT. Bumi Andalas Permai Komplek RSS A Blok 34 Sako Palembang, Sumatera Selatan Telp. 0812-7111497

4. Aditya Indra P. PT. TRIPUTRA JAYA Jalan Bank Raya XI No. 16 Sumatera Selatan Telp. 0852-92022882

10. Armaizal PT. SBAWI

Komplek Citra Damai II Blok F-3 Palembang, Sumatera Selatan

Telp. 0813-67546967 5. Agus Kurniawan BPK Palembang Komplek Kehutanan Blok BF-6

Maskarebet Palembang Sumatera Selatan

Telp. 0812-78483858 Fax. 0711-414864

11. Arindra Julistiowati STIPER SRIWIGAMA Jalan Taman Sari 3 No.3 Palembang, Sumatera Selatan

Telp. 0812-73063428

6. Agus Sofyan BPK Palembang Jalan Kolonel H. Burlian Palembang Sumatera Selatan Telp. 0812-7886682 Fax. 0711-414864

12. Armelia Prima Yuna BPK Palembang Lr. Sukamaju 275 Puntikayu Palembang, Sumatera Selatan Telp. 0813-80376184

Fax. 0711-414864

192

13. Asmaliah BPK Palembang Jalan Seruni B.16 No.11 Maskarebet Palembang, Sumatera Selatan

Telp. 0812-7829438 Fax. 0711 – 414864

20. Edy Warsah DISHUT OKI

Kayu Agung Kab. OKI Sumatera Selatan Telp. 0821-82255400

14. Bastoni BPK Palembang Jalan Taman Sari RT 02/01 Sriwijaya Palembang Sumatera Selatan Telp. 0813-657501635 Fax. 0711 – 414864

21. Efendi Agus Waluyo BPK Palembang

Nuansa Dago B.14 Jl. Letnan Kolonel Adrian Sukabangun II Palembang, Sumsel Telp. 0852-36000212 Fax. 0711 - 414864

15. Bidin, SP. BPAK BANYUASIN Jalan Jaya 7 Sebrang Ulu II Plaju Palembang Sumatera Selatan Telp. 0852-68660560

Fax. 0711-7690105

22. Eka Patra Sari FP. UNISTI

Jalan Jend.Bambang Utoyo Ramakasih 6 Kel.5 Ilir IT II

Palembang Telp. 0812-7898933

Fax. 0711 – 358320 16. Bondan Winarno

BPK Palembang Griya Hero Abadi Blok JJ Maskarebet, Palembang, Sumsel Telp. 0813-73304515 Fax. 0711 – 414864

23. Eman Sulaeman BP4K OKI Kayu Agung Sumatera Selatan

Telp. 0852-68489698

17. Choirul Ahmad BPK Palembang

Puntikayu Palembang, Sumsel Telp. 0812- 5328431 Fax. 0711 – 414864

24. Endang Sosilawati STIPER SRIWIGAMA Komp. Beraya Indah Jl. Melati Palembang, Sumatera Selatan

Telp. 0812-79052651

18. Damul Burhan DISHUTBUN

Palembang Sumatera Selatan

Telp. 0811-719939

25. Diansa Novili H. DISBUN MUBA

Jln Merdeka LK.1 No.21 Kayuara Sumatera Selatan Telp. 0813-67795463

Fax. 0714-321168 19. Edi

LPHB Mangkumerang Desa Muara Merang Kab. MUBA Sumatera Selatan Telp. 0812-74333013

26. Erwin Agusdy BAPPEDA OKI Jalan Perindustrian No.20 Palembang Sumatera Selatan

Telp. 0812-7812657

193

27. Esra Tambunan PT. Bumi Mekar Hijau

Griya Damai Indah Blok S No. 20 Palembang Sumatera Selatan

Telp. 0853-55567470

34. Hengki Sihaan BPK Palembang

Jalan Melati B.7 No.9 Maskarebet Palembang, Sumatera Selatan Telp. 0812-73214875

Fax. 0711 – 414864 28. Fahrizal F.

WBH – SUMSEL Jalan Sumur Tinggi II No. 1231 Palembang Sumatera Selatan

Telp. 0812-74421285

35. Herwin Purnomo DISHUT RHL SUMSEL

Jalan Parameswara Lrg. Macan Putih No.88 Bukit Baru Palembang, Sumsel

Telp. 0821-81852174 29. Fathurrozi

STIPER SRIWIGAMA Jalan Prajurit Kemas Ali IT. II Palembang, Sumatera Selatan

Telp. 0853 – 68422552

36. Husin Adam UNSRI

Jalan Pemin No. 10 A Palembang Sumatera Selatan Telp. 0812-8076030

30. Fauzanul Hafidz Fikry PT. Rimba Hutani Mas

Jalan Gotong Royong No. A4 Palembang, Sumatera Selatan

Telp. 0821-75866660

37. Indah Novitarini FP. Univ. Syakhyakirti Jalan Sukabangun 2 KM.6,5 Palembang, Sumatera Selatan

Telp. 0815-3818616

31. Ferry Kurniawan PT. Sampoerna Agro Bukit Sejahtera Palembang Sumatera Selatan

Telp. 0821-80837260

38. Imam Muslimin BPK Palembang

Perumnas Tlg Kelapa Blok II A Palembang, Sumatera Selatan Telp. 0813-335716282

Fax. 0711 – 414864 32. Ernita S. PT. SHP Jalan Manunggal 6 Palembang Sumatera Selatan

Telp. 0821-75069777

39. Fitrionnita DISPERTAMBEN Prov. SUMSEL

Jl. Kutai 15 Palembang, Sumsel Telp. 0811-789505

33. Halim PKS UNSRI

Palembang

40. Gamal Abdul Nasser FP. UNPAL Jalan Timor No.177 A Pakjo Palembang, Sumatera Selatan

Telp. 0812-7319422

41. Ir. Sukiman DISBUN OKI

Komplek akuis KM.14 Sukajadi Palembang, Sumatera Selatan

Telp. 0852-68125093 Fax. 0712-321266

48. M. Emron Fonaka DISHUT Kab. MUBA

Jalan Rama Raya No.16 AAL Palembang Sumatera Selatan

Telp. 0813-68367680

194

42. Muallimah Gustini BAPPEDA Provinsi SUMSEL Jl. Tugu Mulyo No.6 RT.27 Palembang, Sumatera Selatan Telp. 0811-784442

Fax. 0711-321181

49. Ismalia Afriani UNSRI Jalan Joko No.19 Palembang Sumatera Selatan

Telp. 0852-69066789

43. Muzawir DISHUT SUMSEL Jalan Cemara 31 A Bukit Sangkal Palembang, Sumatera Selatan Telp. 0812-71467771

50. Iwan Tri Cahyo W Woflads HI Komplek Ciamis Blok A7 / 16 Bogor

Telp. 0818-101390 44. Nanang Herdiana

BPK Palembang Komplek Kehutanan III Maskarebet Sumatera Selatan

Telp. 0813-73442256 Fax. 0711 – 414864

51. Khairul Affandi BAPPEDA KAB. BANYUASIN

Jl. Angkatan 66 No. 17 Palembang, Sumatera Selatan

Telp. 0812-7227520

45. R. Dody Prakosa BPK Palembang

Jalan Kolonel H.Burlian KM 6,5 Palembang, Sumatera Selatan Telp. 0813-73226321 Fax. 0711 – 414864

52. M. Alifwanda G. PT. Gading Cempaka Graha

Bukit Sejahtera DE – 16 Poligon Sumatera Selatan Telp. 0821-80949579

46. Ir. Najib Asmani Staff Ahli Bupati Jalan Bank Raya Palembang Sumatera Selatan Telp. 0811-715025

53. Robiyanto H. Susanto UNSRI

Jalan Padang Selasa Palembang Sumatera Selatan Telp. 0811-786501

47. Ir. Sigit Wibowo, MM. DISHUT Provinsi SUMSEL

Sumatera Selatan

54. Yudha Barata DISHUT Kab. MUBA

Multi Wahana Blok N Palembang, Sumatera Selatan

Telp. 0812-73301456

55. Yunita Dwi Hastuti BPDAS MUSI Perum Talang Kelapa Blok K Palembang Telp. 0813-73061077

Fax. 0711-413329

58. Sahwalita BPK Palembang

Jalan Sukarela KM.7 Palembang Sumatera Selatan Telp. 0813-61529737

Fax. 0711 – 414864

195

56. Zulfikar Dishut Prov. Sumsel Palembang

Sumatera Selatan Telp. 0821-80949579

59. Sri Utami BPK Palembang Jalan Puspa EG3 Maskarebet Palembang Sumatera Selatan

Telp. 0812- 89414602 57. Sabaruddin UNSRI Bukit lama, Putri Kembang Dadar RT.52 Palembang, Sumatera Selatan Telp. 0812-71944555 Fax. 0711-320310

60. Tajudin Edy K. PUSKONSER Jln. Pertanian II No. 10 Ciawi, Bogor Telp. 0812-8340441

Fax. 0251-8638-111

196

197

NOTULENSI WORKSHOP ITTO ITTO RED-SPD 009/09 Rev. 2 (F)

”Stakeholder Consultation the Application of Method and Technologies to Enhance the Restoration of PSF Ecosystem”

Palembang, 25 April 2013

Sesi I Pembicara:

1. Fahmuddin Agus (Balittanah) 2. Adi Kunarso (BPK-Palembang) 3. Tri Cahyo (Wetland) 4. Bastoni (BPK-Palembang)

Moderator: Dr. Ir. Halim PKS, M.S

Notulensi Diskusi

Termin I:

Robiyanto (Universitas Sriwijaya)

Materi yang disajikan tentang rehabilitasi dan restorasi hutan rawa gambut oleh 4 (empat) narasumber tadi saya kira masih melihat dari perspektif peneliti dan kementerian kehutanan, saya belum melihat perspektif dari pemangku kepentingan atau stakeholder, khususnya Pemerintah Daerah, karena menurut saya dibutuhkan kesinergisan anatara peneliti dan para pemangku kepentingan seperti Pemda, Perguruan Tinggi, Litbangda dan pihak swasta dalam merehabilitasi dan merestorasi hutan rawa gambut.

Saran dari saya, yang pertama, dari segi tata ruang, lahan gambut seharusnya merupakan areal konservasi, bukan HGU. Kemudian yang kedua, masalah besar di Indonesia yang berhubungan dengan lahan gambut adalah pangan, energi dan lingkungan. Dibutuhkan kabupaten yang berminat dalam mengakomodir ketiga hal tersebut. Ketiga, penanganan masalah gambut sekarang ini banyak berdasarkan keproyekan, untuk itu dibutuhkan Ad Hock agar penanganan yang awalnya bersifat keproyekan menjadi terstruktur di Pemerintah Daerah. Kemudian tentunya komitmen dari semua pihak. Terakhir mengenai keterkaitan daerah hulu, tengah dan hilir. Jika tidak ada kesinergisan

198

antara ketiga daerah tersebut akan menjadi hal yang sia-sia pak bastoni merehabilitasi daerah hilir.

Agus Sofyan (Balai Penelitian Kehutanan Palembang)

Sebagian besar, hampir 50% apa yang ingin saya sampaikan ternyata sudah disampaikan terlebih dahulu oleh Pak Rubiyanto. Ada pengalaman di kehutanan yaitu proyek JICA. Ketika proyek JICA selesai maka usai sudah semua. Bagaimana dengan proyek rehabilitasi dan restorasi ini? Kemudian hasil secara teknis mengenai rehabilitasi dan restorasi ini sudah banyak, sekarang yang kurang itu reaksi dari pemerintah daerah. Bagaimana persepsi dan tindak lanjut dari pemerintah daerah? Mengenai persepsi lagi, adakah kesinergisan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat mengingat anggaran untuk proyek rehabilitasi dan restorasi yang besar. Untuk mas Yoyok, upaya apa saja yang bisa mendorong Pemerintah Daerah untuk mencapai kesinergisan dalam hal rehabilitasi dan restorasi lahan gambut?

Zulfikar (Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan)

Berdasarkan pengalaman, lahan gambut terbakar dan terus terbakar, sehingga yang tertinggal hanyalah semak belukar, bukan semak belukar hutan rawa, jadi intepretasi jika dilihat dari citra bukan semak belukar hutan rawa, tetapi semak belukar saja. Kondisi di lahan gambut semakin diperparah dengan adanya ilegal logging mengejar kayu tegak dan kayu roboh dari lahan gambut bekas terbakar. Suksesi alam pada lahan gambut itu berjalan sangat lambat, untuk itu dibutuhkan suksesi hutan rawa gambut yang dipercepat, salah satu solusi yang dapat melaksanakan suksesi hutan rawa gambut yang dipercepat adalah industri yang melakukannya, karena salah satu keuntungannya dalam izin konsesi diwajibkan menyediakan kawasan untuk konservasi seluas 10% dari luas konsesi yang diberikan. Tentunya tantangan bagi investor yaitu bagaimana water management yang baik untuk mencegah kebakaran gambut. Ada kawasan konservasi pada HTI non monokultur, dimana tanamannya dibiarkan tumbuh secara alami hingga usia 9 tahun ternyata biodiversitasnya meningkat. Mungkin untuk pertanyaan hanya satu saja, apakah strategi yang bisa mendukung policy Pemerintah Daerah yang bisa mendukung IUPH hutan gambut?

Muhaimin (Walhi OKI)

Berhubungan dengan konflik agraria pada lahan gambut, bagaimana meletakkan peran serta masyarakat yang berhubungan dengan tata ruang pengelolaan rawa gambut? Kemudian bagaimana informasi yang prior

199

pemilikan teknologi dalam pengelolaan rawa gambut, apakah melibatkan masyarakat? Tentunya pengelolaan lahan gambut ini harus menjadi perhatian bersama mengingat mungkin tidak akan lama lagi APP akan menyerbu dengan garapan yang besar, termasuk lahan gambut. TANGGAPAN

Fahmuddin Agus

Setuju sekali dengan komentar yang diajukan, khususnya dengan gagasan dari Pak Robiyanto mengenai lahan gambut seharusnya menjadi lahan konservasi. Tentunya rehabilitasi dan restorasi berkaitan dengan kebijakan, di tingkat nasioanl kebijakan yang terbaru yaitu Inpres No.10 tahun 2011 mengenai morarorium lahan gambut, meskipun saya nilai masih ada kelemahan dalam kebijakan ini, yaitu moratorium berisikan mengenai penangguhan pemberian izin, bukan pelarangan. Dikhawatirkan jika hanya penangguhan, pemberian izin akan diberikan lagi pada saat moratorium itu berakhir. Di tingkat Internasional kebijakan mengenai rehabilitasi dan restorasi lahan gambut yaitu dengan diberlakukan tukar guling, dimana perusahaan yang memiliki usaha di lahan gambut yang memiliki karbon yang tinggi ditukar guling dengan lahan tanah mineral yang telah terdegredasi, jadi nilai restorasinya masih ada yaitu memperbaiki lahan yang terdegredasi tersebut. Untuk Pak Zulfikar, memang kita masih kekurangan data ketebalan gambut pada semak yang terbakar setiap tahunnya, jika angka tersebut dapat diketahui secara scientifik tentunya akan berguna sekali.

Adi Kunarso

Permasalahan rehabilitasi dan restorasi dilahan gambut sangat komplek, itu semua terkait kebijakan, daerah dan masyarakat. Kemudian, saya setuju dengan Pak Zulfikar, salah satu usaha merehabilitasi lahan gambut adalah memberikan konsesi pada HTI, sebab pada faktanya lahan gambut yang dikelola dapat menekan kebakaran dilahan gambut, dengan catatan tidak semua areal pada awalnya bukan rawa semak semata dan memiliki kedalaman yang dalam. Untuk areal konservasi memang bagus, namun pemanfaatan areal konservasi yang 10% dari luas konsesi itu belum maksimal.

Tri Cahyo

Untuk melestarikan lahan rawa gambut kuncinya adalah kerja bareng. Peran tata ruang ada kaitannya dengan bagaimana tata ruang tersebut dibangun dan peran partisipan dalam ikut bekerja, sehingga dibutuhkan

200

koordinasi, komunikasi dan keterlibatan para pemangku kepentingan wajib dilakukan. Untuk Pak Agus, upaya yang bisa dilakukan untuk mencapai kesinergisan yaitu bagaimana menciptakan fase exist strategy bahwa ketika selesai kegiatan atau proyek, hal-hal yang berhubungan dengan dengan kegiatan/proyek di backup agar bagaimana tidak meninggalkan begitu saja. Contohnya proyek Wetland di kalimantan dimana membangun kerjasama dengan masyarakat, Taman Nasional dan perusahaan agar diharapkan dari proses perencanaan pelaksanaan dan evaluas tetap bisa termaintanance dengan baik. Kemudian untuk mensinergikan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yaitu dengan menfasilitasi pengolahan gambut Nasional dengan BangDa sebagai lead-nya sehingga diharapkan kebijakan daerah dapat berpihak pada lahan gambut dan dapat menyentuh langsung ke pemerintah daerah. Terkait issue REDD, Wetland memberikan masukan teknis kepada tim UKP4 mengenai perhitungan karbon. Untuk Pak Zulfikar Tidak fair membandingkan HTI dengan lahan rawa gambut yang terlantar, seharusnya dari Pemerintah Daerah ada solusi pengelolaan rawa gambut yang lain selain HTI. Issue REDD mungkin bisa ditangkap, namun akan banyak perdebatan nantinya mengenai sistem apa yang akan digunakan/ diterapkan. Restorasi ekosisitem dapat menjadi alternatif pilihan dalam membentuk visi baru dalam konteks perhitungan ekonomi. Pembangunan HTI mungkin bisa mengurangi kebakaran gambut, namun tanpa dibakarpun oksidasi tetap terjadi akibat kanalisasi oleh HTI.

Bastoni

Sebenarnya HTI punya kewajiban untuk pengembangan jenis-jenis lokal. Untuk Pak Muhaimin, pola inti – plasma yang dikembangkan pada perkebunan sawit dapat meredam konflik, masalahnya masyarakat yang mendapat plasma menjual plasmanya ke masyarakat kota. HTI saya rasa perlu untuk mengembangkan pola-pola partisipatif seperti ini. Untuk itu di sesi kedua nanti yang saya kira lebih penting, diharapkan kawan-kawan pemangku kepentingan ikut memberikan sumbangsih masukan untuk menyusun priority list of actions. Untuk Pak Zulfikar, litbang sudah lama melakukan penelitian mengenai teknik-teknik di lahan gambut, pengalaman di litbang tinggal di scale up ke skala normal agar bisa dibawa di aplikasikan di HTI. Terakhir saya mau klarifikasi, tidak semua teknik rehabilitasi memerlukan gundukan, bisa saja selain digunduk itu digali. Semua tergantung characteristic site-nya.

201

Termin II:

Tajudin (Litbang kehutanan)

Saya pikir litbang sudah menjalankan fungsinya, selanjutnya bagaimana handling over kepada pemangku kepentingan untuk ditindak lanjuti? Ada beberapa daerah yang memberikan reaksi positif seperti Kabupaten OKI, namun daerah lainnya masih berfikir motif ekonomi lebih penting daripada konservasi.

Dody Prakosa (Balai Penelitian Kehutanan Palembang)

Berdasarkan diskusi ada dua sisi yaitu teknologi rehabilitasi lahan gambut dan bagaimana mengaplikasikan ke dalam skala luas. Untuk Pak Fahmuddin yang pertama berhubungan dengan karbon, data-data tentang emisi di daerah-daerah belum siap ataupub belum ter-up date, hal ini menyebabkan kesulitan dalam perhitungan karbon, kemudian yang kedua tentang penerapan tukar guling menurut saya mungkin cukup sulit jika diterapkan dilapangan. Kemudian mengenai teknologi rehabilitasi dengan membuat gundukan berdasarkan genangan bagusnya dipisah-pisah supaya pihak lain dapat melaksanakannya dengan baik. Kemudian apakah ada bentuk lain dari gunduka-gundukan tersebut selain berbentuk kotak? Untuk Pak Bastoni, apa mungkin ada teknologi rehabilitasi tersendiri untuk HTI agar rehabilitasinya dapat dilakukan? Kemudian di PT SBA itu kan areal konservasinya terpisah-pisah, bagaimana jika dibuat satu hamparan saja agar bisa terlihat bentuknya sebagai hutan konservasi. Terakhir dari tadi saya menyimak tidak ada yang membahas tentang biaya. Mungkin bisa diberitahukan berapa biaya untuk rehabilitasi ini.

TANGGAPAN

Bastoni Tindakan rehabilitasi itu bisa bermacam-macam, tergantung dengan karakteristik tempatnya. Kaitan dengan gundukan sebenarnya praktis dan tidak terlalu sulit, jangan dilihat rupa guludannya tapi fungsinya dinama guludan mempunyai fungsi untuk tumbuhan sebagai media tumbuh/tanah yang bagus untuk pertumbuhan akar dan untuk menghindari genangan. Gundukan bersifat lokal spesifik, sesuai dengan karakter tempatnya. Hal yang perlu dilihat adalah bagaimana tinggi dari gundukan itu. Disesuaikan dengan tinggi air.lebih mendorong upaya rehabilitasi dengan jenis lokal tanpa pembuatan kanal (drainase). Selama tidak visible secara ekonomi maka tidak ada yang tertarik. Untuk biaya men-scale up penelitian.standar biaya belum diitung. Kalau skala

202

operasional bisa ada modifikasi yang dapat menekan biaya. Untuk teknologi rehabilitasi pada HTI dapat dimulai dengan memberikan pelatihan kepada tenaga-tenaga teknis di stakeholder.

Tri Cahyo

Sepakat dengan Pak Bastoni, yang dilakukan bersifat lokal spesifik, membuat gundukan berdasarkan spesisik tempat atau lokasi. Untuk model gundukan, sebernarnya gundukan tidak melihat bentuk atau model, tetapi yang penting fungsinya. Alternatif lain selain HTI yaitu membangun peluang atau opsi yang lain dengan menanam jenis-jenis ekonomis lokal (jenis-jenis lokal yang ekonomis) tanpa membuat kanal. Untuk biaya berdasarkan apa yang pernah dilakukan Wetland sekitar 15-20 juta. Metode yang digunakan merupakan pendekatan khusus kepada masyarakat dimana masyarakat diberikan pinjaman tanpa bunga dan jaminan dengan konsekuensi masyarakat harus menanam.

Fahmuddin Agus

Masalah GRK perlu adanya policy dari Pemerintah Daerah, penurunan GRK diperlukan insentif ekonomi kepada pemangku kepentingan, tanpa adanya insentif ekonomi akan sangat susah. Data yang kurang adalah data mengenai emisi kebakaran gambut untuk beberapa penggunaan lahan. Hal ini membuka peluang kepada sektor-sektor seperti Litbang, Perguruan Tinggi ataupun Swasta untuk mendapatkan data yang scientifik mengenai hal tersebut.

Adi Kunarso

Teknik rehabilitasi sifatnya lokal spesifik. Untuk itu perlu kiranya sebelum melakukan atau menentukan teknik rehabilitasi yang akan dipakai untuk mengetahui karakteristik tempatnya seperti tipologi gambut, tanahnya dan genangan. Kemudian tingkat kerusakan atau degradasi pun bervariasi, tidak semua teknik rehabilitasi memakai teknik penanaman. Sebagai contoh lahan gambut yang oleh masyarakat dibuat parit-parit selebar 1-2 meter tidak perlu menggunakan teknik rehabilitasi vegetasi, cukup dengan menambat parit saja.

Sesi II

Pada sesi ke-2, diskusi diarahkan untuk menjaring masukan mengenai rencana prioritas pengelolaan HRG di Sumsel. Sebagai pengantar diskusi moderator menyampaikan review permasalahan dan langkah-langkah mengatasi persoalan HRG yang telah banyak diulas pada Sesi 1, di antaranya:

203

(1). 3 Persoalan yang dihadapi dan menyumbang kerusakan pada lahan HRG

a. Konversi b. Pembalakan Liar (Illegal Logging) c. Kebakaran Hutan

(2). Langkah yang harus dilakukan a. Review skema restorasi b. Awareness campaign c. Kajian teknologi restorasi d. Konsultasi para pihak e. Mengembangkan, menyediakan, mendistribusikan bibit tanaman

lokal (demplot) (3). Indikator keberhasilan program

a. Tersedia teknologi dan metode restorasi yang implementatif b. Meningkatnya kesadaran dan kapasitas lokal pengelolaan HRG c. Meningkatnya fiksasi C d. Meningkatnya supply bibit tanaman lokal e. Terlaksananya kegiatan restorasi pada skala demplot

(4). Masalah yang dihadapi dalam rehabilitasi HRG a. Drainase dan emisi GRK b. Faktor emisi lokal c. Teknologi sederhana (spesifik lokasi) d. Minimnya data/informasi terkait kondisi sekat dan keberhasilan

pasca program e. Sulit, kompleks, mahal dengan tingkat keberhasilan rendah f. Pendekatan berbasis proyek dan parsial g. Peran kebijakan kurang maksimal h. Adopsi kebijakan lokal

(5). Langkah yang dapat diambil a. Mengurangi penggunaan lahan HRG b. Pendekatan rehabilitasi secara alami dan buatan (intervensi

manusia) c. Pengendalian kebakaran d. Efisiensi pemupukan e. Penyekatan parit (diikuti penanaman, restorasi hidrologi,

penurunan emisi dan penekan resiko kebakaran) f. Gundukan untuk mengatasi potensi genangan (berbasis

CH/genangan maksimal) g. Penguasaan teknik propagasi dan penanaman h. Penanaman jenis lokal (percepatan suksesi melalui pemilihan jenis-

jenis adaptif)

204

i. Pilihan jenis mengacu pada perjalanan lapangan (ekologis, biodiversity dan ekonomi)

j. Capacity building (keterlibatan masyarakat) k. Implementasi kebijakan

Pada sesi diskusi terjaring beberapa masukan/pandangan dari peserta workshop, sebagai berikut: (1) Agus Sofyan

Seringkali anggaran menjadi hambatan dalam riset-riset rehabilitasi lahan HRG, sehingga dirasa perlu dibentuk POKJA-POKJA atau diadakan forum komunikasi untuk menjadi wadah membicarakan segala permasalahan lahan HRG tersebut.

(2) Yoyok Belum ada kebijakan mengenai tata laksana untuk water management di lahan komersil.

(3) Moderator Pendekatan Rehabilitasi HRG harus dilakukan secara holistik tidak bisa hanya dengan pendekatan secara parsial ataupun hidrologis saja.

(4) Fahmudin Langkah awal yang perlu dilakukan dalam rangka membangun rencana prioritas pada lahan HRG diantaranya: (a) Penyusunan moratorium yang memuat SOP pengelolaan lahan HRG; (b) Pemetaan konflik; dan (c) Peninjuaan kembali mengenai kebijakan izin pengelolaan lahan HRG

(5) Nita BPDAS Terkait upaya pengelolaah lahan HRG di Sumsel, wakil dari BPDAS Musi ini menyampaikan informasi bahwa BPDAS Musi saat ini sudah menyusun RPK mengenai rehabilitasi dan restorasi DAS pada lahan bergambut. Pada RPK tersebut sudah termuat data/informasi mengenai kategori lahan bergambut dengan berbagai tingkatan kekritisannya. Permasalahannya dalam mengelola lahan bergambut tersebut BPDAS Musi terkendala oleh minimnya informasi mengenai metode yang tepat dalam merehabilitasi/restorasi lahan gambut pada berbagai kondisi spesifik lokasi. Misal, yang berada di kawasan hutan atau di luar kawasan hutan, begitu pula yang berada di area budidaya atau konservasi.

(6) Edi Warsa Dishut OKI Luas lahan gambut di Kab. OKI sekitar 500ribu ha yang berada di dalam kawasan hutan. Pemda ingin lahan gambut tersebut dimanfaatkan, tidak hanya dikonservasi atau didiamkan begitu saja.

205

Pemanfaatan lahan HRG dengan tata kelola yang benar diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Oleh karena itu, menurut pandangan beliau yang perlu dilakukan oleh Pemda setempat adalah pengawasan lebih ketat pada investor seperti HTI dan perkebunan yang sudah mengelola bahan gambut tersebut.

(7) Aswardani (Unsri) Pelibatan masyarakat perlu dilakukan dalam upaya rehabilitasi HRG (pengelolaan HRG). Karena tanpa melibatkan masyarakat keberhasilan program akan sulit untuk dicapai. Upaya pertama yang harus dilakukan untuk mengurangi tekanan pada lahan HRG tersebut adalah bagaimana meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar lahan HRG. Hal inilah yang akan menjadi menjadi cikal bakal terbangunnya sosial kelembagaan yang baik antara masyarakat dan pemerintah.

(8) Yoyok “Scale up” kegiatan rehabilitasi dan restorasi lahan HRG perlu dilakukan agar terlihat lebih serius dan lebih nyata hasilnya. Salah satu upaya untuk mendukung keberhasilan program pengelolaan HRG tersebut adalah dengan mendorong riset-riset mengenai budidaya dan cara propagasi jenis-jenis (alternatif) baru yang prospek dikembangkan di lahan HRG.

(9) Tajudin Sangat mendukung rencana “Scale up” program rehabilitasi dan restorasi di lahan HRG, baik ditempat yang sama atau keluar dari tempat yang sudah ditetapkan pada program-program selama ini. Untuk itu adopsi kebijakan lokal dan implementasinya perlu segera dipacu, sehingga decission maker juga terdorong untuk mau menggunakan riset-riset mengenai pengelolaan lahan HRG.

(10) Agus Sofyan Prioritas utama yang penting untuk segera dilakukan adalah mendorong pemegang konsensi untuk mengadopsi riset-riset pengelolaan lahan HRG yang telah dilakukan supaya segera dijadikan kebijakan.

(11) Yoyok Kegiatan rehabilitasi HRG di Palembang bisa juga anggarannya di sokong melalui program pemerintah pusat.

(12) Moderator Sebagai pengelola lahan di HRG seharusnya pemeliharaan kesatuan ekosistem HRG dipandang sebagai salah satu bentuk investasi, terutama dalam mencegah kejadian bencana yang dapat ditimbulkan oleh kerusakan HRG.

206

(13) Adi Kunarso Water Management yang diterapkan oleh pengelola lahan HRG saat ini masih untuk tujuan transportasi dan pengangkutan kayu saja, tanpa ada upaya riset yang disertakan untuk mengurangi laju subsidence akibat kegiatan kanalisasi tersebut.

(14) Bastoni Pada dasarnya Drainase/Water Management yang dikelola para insvestor HTI sangat bermanfaat dalam tranportasi dan pengangkutan hasil kayu (kepentingan produksi). Karena pentingnya peran Water Management ini dalam kegiatan produksi, seharusnya insvestor HTI juga turut memikirkan bagaimana mengurangi penurunan laju subsidence sehingga secara tidak langsung juga akan mendorong kelestarian hasil dari HTI yang dikelola.

(15) Fahmuddin Hasil penelitian menunjukkan bahwa emisi yang dihasilkan dari penanaman akasia di lahan gambut adalah sekitar 80 ton/ha/th. Fakta ini menunjukkan bahwa emisi akasia setara dengan kelapa sawit. Hal tersebit dikarenakan kekhasan dari akasia sebagai kelompok leguminoceae mengeluarkan N yang turut menyumbang emisi di lahan gambut.

(16) Yoyok Perlu disusun kebijakan untuk penerapan monitoring dalam hal fluktuasi muka air tanah oleh investor pengelola lahan HRG.

(17) R. Dody Prakosa Pengaturan muka air tanah (genangan) sangat penting dilakukan di lahan HRG, selalin untuk mengurangi emisi juga sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman

(18) BAPPEDA Sumsel Sejak era otonomi daerah izin lokasi (konsesi/HGU) sudah sepenuhnya menjadi otoritss kabupaten/kota, sehingga BAPPEDA juga sulit untuk mengintervensinya. Upaya yang dilakukan BAPPEDA dalam rangka membenahi pengelolaan lahan HRG adalah dengan menyusun Pergub tentang penurunan emisi dengan target 10%-19%. BAPPEDA juga telah membentuk semacam Forum Gambut untuk wadah menampung dan membahas segala permasalah yang menyangkut pengelolaan lahan HRG dan direncanakan pada pertengahan tahun ini forum tersebut akan mengadakan FGD.

(19) WALHI Perlu pencermatan yang mendalam dalam penyusunan kebijakan, sehingga kebijakan yang dikeluarkan lebih berkualitas. Kemudian melakukan pengawalan terhadap implementasi atas kebijakan yang

207

telah disusun. Untuk itu dibutuhkan komitmen yang kuat dari penguasa daerah (Pemerintah Daerah/Pemda) dalam mengimple-mentasikan kebijakan yang sudah dibuat.

(20) Hengki Siahaan Saat ini jenis jabon sudah mulai dikembangkan di lahan rawa oleh masyarakat secara mandiri dengan pertumbuhan yang cukup menjanjikan, yakni pada umur 3 tahun telah mencapai riap diameter dan tinggi masing-masing sebesar 10 cm dan 10 m. Berdasarkan informasi di atas maka jabon dapat ditunjuk sebagai salah satu jenis alternatif yang dapat dikembangkan di lahan HRG karena terbukti jenis ini sudah sangat diterima oleh masyarakat.

(21) Fahmudin Perlu ketegasan dalam penetapan status lahan.

(22) Yoyok Gambut harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang utuh, artinya di dalam merencanakan pengelolaan lahan gambut harus mempertimbangkan sekaligus ketiga aspek yang membentuknya yakni, hidrologis, vegetasi dan substratnya. Motif ekonomi menjadi sangat penting untuk menarik minat masyarakat dalam pengelolaan (rehabilitasi dan restorasi) lahan HRG secara benar. Untuk itu perlu pengenalan jenis baru yang lebih menguntungkan baik secara ekologis maupun ekonomis.

(23) Agus Sofyan Dalam memilih jenis lebih baik yang memang sudah berkembang di lahan HRG itu sendiri. Pemilihan jenis baru perlu dilaksanakan secara hati-hati, jangan sampai mengikuti pengalaman jati yang dipaksakan ditanam pada tanah PMK di Sumatera. Dimana pada awalnya pertumbuhannya terlihat baik, namun tahun ke-2 dan selanjutnya mulai muncul hambatan karena faktor ketidaksesuaian tapak. Pertimbangan yang matang dalam penentuan jenis tentu akan mempengaruhi keberhasilan program rehabilitasi dan restorasi lahan HRG.

(24) Agus Kurniawan Hal terpenting dari yang sudah dibicarakan dalam pengelolaan lahan HRG ini adalah bagaiman implementasinya di lapangan. Untuk itu, rumusan yang telah disusun pada workshop ITTO hari ini harus dibawa ke Pemda untuk diimplementasikan.

(25) Moderator Kebijakan perlu disosialisasikan dan dikawal pelaksanaanya.

208

209

SUSUNAN PANITIA WORKSHOP ITTO RED-SPD 009/09 REV.2 (F) BALAI PENELITIAN KEHUTANAN PALEMBANG

TAHUN 2013

No. NAMA / NIP Jabatan

1. Ir. Choirul Akhmad, ME. Kepala Balai/ Penanggung jawab

2. Sufyan Suri, SP. Kepala Seksi Data Informasi dan Kerjasama/Ketua Pelaksana

3. Anita T. L Silalahi, SP., M.Si. Staf Seksi Data Informasi dan Kerjasama/ Sekretaris

4. Suningsih, S. Hut Staf Seksi Data Informasi dan Kerjasama/ Seksi Materi

5. Rahma Dewi, S. Hut Staf Seksi Data Informasi dan Kerjasama/ Seksi Acara

6. Hendra Priatna, ST Staf Seksi Data Informasi dan Kerjasama/ Seksi Dokumentasi

Ditetapkan di : Palembang Pada Tanggal : April 2013

Kepala Balai, DTO Ir. Choirul Akhmad, ME NIP. 196729011994031007