prospektif+klinis obi
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam praktek klinik, seorang dokter akan sering menjumpai peristiwa
interaksi obat di mana aksi dari suatu obat berubah oleh karena pengaruh obat yang
lain yang diberikan secara bersamaan atau hampir bersamaan. Kepentingan untuk
membahas masalah interaksi obat tidak lepas dari kenyataan kebiasaan dalam
praktek pengobatan, di mana umum sekali untuk memberikan obat lebih dari satu
secara bersamaan kepada pada seorang penderita atau yang sering disebut sebagai
polifarmasi. Interaksi obat tidak selamanya merugikan, tetapi jika kemungkinan
terjadi interaksi ini dan tidak diwaspadai pada waktu memberikan obat pada pasien,
maka terjadinya dampak negatif yang merugikan akan lebih besar.
Pengaruh interaksi beberapa macam obat yang kita konsumsi secara
bersamaan, atau yang lebih dikenal dengan istilah interaksi obat, merupakan salah
satu kesalahan pengobatan yang paling banyak dilakukan saat ini. Namun, biasanya
kesalahan pengobatan karena interaksi obat jarang terungkap, karena kekurang-
pengetahuan, baik dokter, apoteker, apalagi pasien tentang interaksi obat. Jika terjadi
kegagalan pengobatan, umumnya sangat jarang dikaitkan dengan interaksi obat.
Padahal kemungkinan terjadinya interaksi obat ini cukup besar, terutama pada pasien
yang mengonsumsi lebih dari 5 macam obat pada saat yang bersamaan. Pada saat ini
lebih dari 25 jenis obat baru dilempar ke pasar setiap tahunnya. Dan, tampaknya
hampir mustahil jika seorang dokter atau apoteker harus menghafalkan dan
menguasai masalah interaksi obat dari sekian ribu macam obat yang beredar
sekarang ini. Oleh sebab itu. setiap pusat pengobatan modern, apakah itu rumah
sakit, puskesmas atau praktek dokter pribadi, dan juga apotek, sebaiknya atau bahkan
seharusnya memiliki akses paling tidak ke salah satu pusat data interaksi obat. Agar
berbagai macam obat yang diberikan kepada pasien dapat diperhitungkan terlebih
dahulu dengan seksama kemungkinan interaksinya.
Swamedikasi atau pengobatan sendiri yang kini banyak dilakukan juga sangat
potensial menimbulkan masalah interaksi obat. Demikian pula jika pasien
berkonsultasi dan mendapat obat dari beberapa orang dokter pada saat bersamaan.
1
Karena itu, konsumen harus selalu memberi tahu dokter yang mengobatinya, obat
apa yang sedang dikonsumsinya saat itu. Selain itu, pasien juga harus
menginformasikan kepada dokter apakah pada saat itu ia juga sedang mengikuti
program KB tertentu, atau sedang minum jamu atau suplemen makanan tertentu.
Agar dokter pemberi resep dapat mempertimbangkan dan memilih obat yang akan
diberikan kepada pasien, yang tidak ada atau paling sedikit efek negatif interaksi
obatnya. Konsumen juga sebaiknya tidak malas dan tidak bosan mencari informasi
sebanyak-banyaknya tentang berbagai obat yang dikonsumsinya, baik obat yang
diresepkan dokter ataupun obat-obat OTC (over the counter, atau yang biasa disebut
obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter). Informasi tentang obat dan interaksi
obat ini dapat ditanyakan pada dokter yang memberikan resep, pada apoteker di
apotek, atau dapat mencari sendiri di buku-buku farmasi dan kesehatan, atau di
pusat-pusat data interaksi obat yang dapat dipercaya, yang beberapa di antaranya
dapat diakses melalui internet.
Pada prinsipnya interaksi obat dapat menyebabkan dua hal penting. Yang
pertama, interaksi obat dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan khasiat obat,
baik melalui penghambatan penyerapannya atau dengan mengganggu metabolisme
atau distribusi obat tersebut di dalam tubuh. Yang kedua, interaksi obat dapat
menyebabkan gangguan atau masalah kesehatan yang serius, karena meningkatnya
efek samping dari obat-obat tertentu. Risiko kesehatan dari interaksi obat ini sangat
bervariasi, bisa hanya sedikit menurunkan khasiat obat namun bisa pula fatal.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Memahami berbagai bentuk interaksi obat
2. Memahami mekanisme interaksi obat
3. Memahami dampak klinik dari intertaksi obat
4. Mampu menelaah interaksi dan melakukan upaya untuk menghindari terjadinya
dampak yang merugikan dari interaksi obat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Interaksi obat adalah peristiwa di mana aksi suatu obat diubah atau
dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan secara bersamaan. Kemungkinan
terjadinya peristiwa interaksi harus selalu dipertimbangkan dalam klinik, manakala
dua obat atau lebih diberikan secara bersamaan atau hampir bersamaan. Tidak semua
interaksi obat membawa pengaruh yang merugikan, tetapi beberapa interaksi justru
diambil manfaatnya dalam praktek pengobatan, misalnya peristiwa interaksi antara
probenesid dengan penisilin, di mana probenesid akan menghambat sekresi penisilin
di tubuli ginjal, sehingga akan memperlambat ekskresi penisilin dan
mempertahankan penisilin lebih lama dalam tubuh. Interaksi dapat membawa
dampak yang merugikan kalau terjadinya interaksi tersebut sampai tidak dikenali
sehingga tidak dapat dilakukan upaya-upaya optimalisasi. Sehingga dampak negatif
dari interaksi ini yang kemungkinan akan timbul antara lain:
- Terjadinya efek samping,
- Tidak tercapainya efek terapetik yang diinginkan.
2.2 Obat – Obat Yang Terlibat Dalam Peristiwa Interaksi Obat
Interaksi obat sedikitnya melibatkan 2 jenis obat yaitu:
1. Obat obyek, yakni obat yang aksinya atau efeknya dipengaruhi atau diubah oleh
obat lain.
2. Obat presipitan (precipitan drug), yakni obat yang mempengaruhi atau
mengubah aksi atau menimbulkan efek obat lain.
2.2.1 Obat Obyek
Obat – obat yang kemungkinan besar menjadi obyek interaksi atau
efeknya dipengaruhi oleh obat lain, umumnya adalah obat – obat yang memenuhi
ciri:
a. Obat – obat di mana perubahan sedikit saja terhadap dosis (kadar obat) sudah
akan menyebabkan perubahan besar pada efek klinik yang timbul. Secara
3
farmakologi obat – obat seperti ini sering dikatakan sebagai obat – obat
dengan kurva dosis respons yang tajam (curam; steep dose response curve).
Misalnya dalam hal ini pengurangan kadar sedikit saja sudah dapat
mengurangi manfaat klinik (clinical efficacy) dari obat.
b. Obat – obat dengan rasio toksis terapik yang rendah (low toxic:therapeutic
ratio), artinya antara dosis toksik dan dosis terapetik tersebut perbandinganya
(atau perbedaanya) tidak besar. Kenaikan sedikit saja dosis (kadar) obat
sudah menyebabkan terjadinya efek toksis.
Kedua ciri obat obyek di atas, yakni apakah obat yang manfaat kliniknya
mudah dikurangi atau efek toksiknya mudah diperbesar oleh obat presipitan, akan
saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Obat – obat seperti ini juga
sering dikenal dengan obat – obat dengan lingkup terapetik sempit (narrow
therapeutic range). Obat – obat yang memenuhi ciri-ciri di atas dan sering
menjadi obyek interaksi dalam klinik meliputi:
- antikoagulansia: warfarin,
- antikonvulsansia (antikejang): antiepilepsi,
- hipoglikemika: antidiabetika oral seperti tolbutamid, klorpropamid dll,
- anti-aritmia: lidokain,prokainamid dll,
- glikosida jantung: digoksin,
- antihipertensi,
- kontrasepsi oral steroid,
- antibiotika aminoglikosida,
- Obat – obat sitotoksik,
- Obat – obat susunan saraf pusat, dan lain-lain.
2.2.2 Obat presipitan
Obat – obat presipitan adalah obat yang dapat mengubah aksi/efek obat
lain. Untuk dapat mempengaruhi aksi/efek obat lain, maka obat presipitan
umumnya adalah obat – obat dengan ciri sebagai berikut:
a. Obat – obat dengan ikatan protein yang kuat, oleh karena dengan demikian
akan menggusur ikatan-ikatan yang protein obat lain yang lebih lemah. Obat
– obat yang tergusur ini (displaced) kemudian kadar bebasnya dalam darah
4
akan meningkat dengan segala konsekuensinya, terutama meningkatnya efek
toksik. Obat – obat yang termasuk dalam kelompok obat dengan ikatan
protein kuat misalnya aspirin, fenilbutazon, sulfa dan lain lain.
b. Obat – obat dengan kemampuan menghambat (inhibitor) atau merangsang
(inducer) enzim-enzim yang memetabolisir obat dalam hati. Obat – obat yang
mempunyai sifat sebagai perangsang enzim (enzyme inducer) misalnya
rifampisin, karbamazepin, fenitoin, fenobarbital dan lain-lain akan
mempercepat eliminasi (metabolisme) obat – obat yang lain sehingga kadar
dalam darah lebih cepat hilang. Sedangkan obat – obat yang dapat
menghambat metabolisme (enzyme inhibator) termasuk kloramfenikol,
fenilbutason, alopurinol, simetidin dan lain-lain,akan meningkatkan kadar
obat obyek sehingga terjadi efek toksik.
c. Obat – obat yang dapat mempengaruhi/merubah fungsi ginjal sehingga
eliminasi obat – obat lain dapat dimodifikasi. Misalnya probenesid, obat –
obat golongan diuretika dan lain-lain. Ciri-ciri obat presipitan tersebut adalah
jika dilihat dari segi interaksi farmakokinetika, terutama pada proses
distribusi (ikatan protein), metabolisme dan ekskresi renal. Masih banyak
obat – obat lain yang dapat bertindak sebagai obat presipitan dengan
mekanisme yang berbeda-beda.
2.3 Pembagian Dan Mekanisme Interaksi
Interaksi obat berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 3 golongan
besar, yaitu:
1 Interaksi Farmasetik
2 Interaksi famakokinetik
3 Interaksi farmakodinamik.
2.3.1 Interaksi farmasetik
Interaksi ini merupakan interaksi fisika-kimia di mana terjadi reaksi
fisika-kimia antara obat – obat sehingga mengubah (menghilangkan) aktifitas
farmakologi obat. Yang sering terjadi misalnya reaksi antara obat – obat yang
dicampur dalam cairan secara bersamaan, misalnya dalam infus atau suntikan.
5
Campuran penisilin (atau antibiotika β-laktam yang lain) dengan aminoglikosida
dalam satu larutan tidak dianjurkan. Walaupun obat – obat ini pemakaian kliniknya
sering bersamaan, jangan dicampur dalam satu suntikan. Beberapa tindakan hati-hati
(precaution) untuk menghindari interaksi farmasetik ini mencakup, jangan
memberikan suntikan campuran obat kecuali kalau yakin betul bahwa tidak ada
interaksi antar masing-masing obat.
Dianjurkan sedapat mungkin juga menghindari pemberian obat bersama-sama
lewat infus. Selalu perhatikan petunjuk pemberian obat dari pembuatnya
(manufacturer leaflet), untuk melihat peringatan-peringatan pada pencampuran dan
cara pemberian obat (terutama untuk obat – obat parenteral misalnya injeksi infus
dan lain-lain).
Sebelum memakai larutan untuk pemberian infus, intravena atau yang lain,
harus perhatikan bahwa tidak ada perubahan warna, kekeruhan, presipitasi dan lain-
lain dari larutan. Sediaan intravena sebaiknya disiapkan jika diperlukan, Jangan
menimbun terlalu lama larutan yang sudah dicampur, kecuali untuk obat – obat yang
memang sudah tersedia dalam bentuk larutan seperti metronidazol , lidakoin dan
lain-lain. Botol ifus harus selalu diberi label tentang jenis larutannya, obat – obat
yang sudah dimasukkan, termasuk dosis dan dan waktunya. Jika harus memberi per
infus dua macam obat, berikan lewat 2 jalur infus, kecuali kalau yakin tidak ada
interaksi
2.3.2 Interaksi Farmakokinetik
Interkasi farmakokinetik terjadi bila obat presipitan mempengaruhi atau
mengubah proses absorpsi, distribusi (ikatan protein), metabolisme, dan ekskresi dari
obat – obat obyek. Sehingga mekanisme interaksi inipun dapat dibedakan sesuai
dengan proses-proses biologik (kinetik) tersebut.
a. Interaksi dalam proses absorpsi
Interaksi dalam proses absorpsi dapat terjadi dengan berbagai cara misalnya,
1. Perubahan (penurunan) motilitas gastrointestinal oleh karena obat – obat
seperti morfin atau senyawa-senyawa antikolinergik dapat mengubah
absorpsi obat – obat lain.
6
2. Tingkat pengikatan molekul obat – obat tertentu oleh senyawa logam
sehingga absorpsi akan dikurangi, oleh karena terbentuk senyawa kompleks
yang tidak diabsorpsi. Misalnya tingkat pengikatan antara tetrasiklin dengan
senyawa-senyawa logam berat akan menurunkan absorpsi tetrasiklin.
3. Makanan juga dapat mengubah absorpsi obat – obat tertentu, misalnya:
umumnya antibiotika akan menurun absorpsinya bila diberikan bersama
dengan makanan.
Contoh interaksi obat dalam proses absorbsi
Obat Objek Obat presipitan Mekanisme interaksi
efek yang terjadi
Solusi
Fe (diabsorbsi paling baik jika cairan lambung sangat asam)
Antasid (mengurangi keasaman lambung)
Perubahan pH cairan saluran cerna
Penurunan absorpsi Fe
Diberikan jarak waktu pemberian obat yang berinteraksi minimal 2 jam
Digoksin (sukar larut dalam cairan saluran cerna)
Metoklopramid (memperpendek waktu pengosongan lambung)
Perubahan motilitas usus
Penurunan absorpsi digoksin
Diberikan jarak waktu pemberian obat yang berinteraksi minimal 2 jam
b. Interaksi dalam proses distribusi
Interaksi dalam proses distribusi terjadi terutama bila obat – obat dengan
ikatan protein yang lebih kuat menggusur obat – obat lain dengan ikatan protein
yang lebih lemah dari tempat ikatannya pada protein plasma. Akibatnya maka
kadar obat bebas yang tergusur ini akan lebih tinggi pada darah dengan segala
konsekuensinya, terutama terjadinya peningkatan efek toksik. Sebagai contoh,
misalnya meningkatnya efek toksik dari antikoagulan warfarin atau obat – obat
hipoglikemik (tolbutamid, klorpropamid) karena pemberian bersamaan dengan
fenilbutason, sulfa atau aspirin. Hampir sama dengan interaksi ini adalah
dampak pemakaian obat – obat dengan ikatan protein yang tinggi pada keadaan
malnutrisi (hipoproteinemia). Karena kadar protein rendah, maka obat – obat
dengan ikatan protein yang tinggi akan lebih banyak dalam keadaan bebas karena
kekurangan protein untuk mengikat obat sehingga dengan dosis yang sama akan
memberikan kadar obat bebas yang lebih tinggi dengan akibat meningkatnya efek
7
toksik. Disamping itu interaksi dalam proses distribusi dapat terjadi bila terjadi
perubahan kemampuan transport atau uptake seluler suatu obat oleh karena
obat – obat lain. Misalnya obat – obat antidepresan trisiklik atau fenotiasin akan
menghambat transport aktif ke akhiran saraf simpatis dari obat – obat
antihipertensif (guanetidin, debrisokuin), sehingga mengurangi/menghilangkan
efek antihipertensi.
Contoh interaksi obat dalam proses distribusi
Obat Objek Obat Presipitan Mekanisme Efek yang terjadi Solusi Tolbutamid (ikatan protein 96%)
Fenilbutazon (dapat menggeser antikoagulan oral dari ikatannya dengan albumin plasma)
Penggusuran ikatan protein tolbutamid oleh fenilbutazon
Hipoglikemia Dosis antikoagulan diperkecil.
Warfarin (ikatan protein 99%)
Fenilbutazon (dapat menggeser antikoagulan oral dari ikatannya dengan albumin plasma)
Penggusuran ikatan protein (ada mekanisme dinamik lain)
Perdarahan Dosis antikoagulan diperkecil.
c. interaksi dalam proses metabolisme
Interaksi dalam proses metabolisme dapat terjadi dengan dua kemungkinan,
yaitu Pemacuan enzim (enzyme induction) Suatu obat (presipitan) dapat memacu
metabolisme obat lain (obat obyek) sehingga mempercepat eliminasi obat
tersebut. Kenaikan kecepatan eliminasi (pembuangan atau inaktivasi) akan diikuti
dengan menurunnya kadar obat dalam darah dengan segala konsekuensinya. Obat
– obat yang dapat memacu enzim metabolisme obat disebut sebagai enzyme
inducer. Dikenal beberapa obat yang mempunyai sifat pemacu enzim ini yakni:
- Rifampisin
- Antiepileptika: fenitoin, karbamasepin, fenobarbital.
8
Dari berbagai reaksi metabolism obat, maka reaksi oksidasi fase I yang
dikatalisir oleh enzim sitokrom P-450 dalam mikrosom hepar yang paling banyak
dan paling mudah dipicu. Penghambatan enzim (enzyme inhibitor).
Metabolisme suatu obat juga dapat dihambat oleh obat lain. Obat – obat
yang punya kemampuan untuk menghambat enzim yang memetabolisir obat lain
dikenal sebagai penghambat enzim (enzyme inhibitor). Akibat dari penghambatan
metabolisme obat ini adalah meningkatnya kadar obat dalam darah dengan segala
konsekuensinya, oleh karena terhambatnya proses eliminasi obat. Obat – obat
yang dikenal dapat menghambat aktifitas enzim metabolisme obat adalah:
- kloramfenikol
- isoniazid
- simetidin
- propanolol
- eritromisin
- fenilbutason
- alopurinol, dll.
Tergantung dari jenis obat obyek yang mengalami interaksi, yakni terutama obat
dengan lingkup terapi yang sempit, maka interaksi metabolisme dapat membawa
dampak merugikan. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa:
- Pemacuan enzim akan berakibat kegagalan terapi, karena kadar optimal tidak
tercapai.
- Penghambatan enzim akan berakibat mengingkatnya kadar obat melampaui
ambang toksik, sehingga efek toksik meningkat
Contoh-contoh interaksi dalam metabolisme baik berupa pemacuan enzim atau
penghambatan enzim ditampilkan
Contoh-contoh interaksi pada proses metabolisme
Obat Objek Obat Presipitan Mekanisme Akibat Klinik Solusi warfarin (banyak disimpan di hati)
Fenobarbital (larut lemak dan dapat menginduksi sintesis enzim metabolisme di hati dan mukosa
Mempercepat metabolisme warfarin.
Penurunan efek antikoagulan
Dosis warfarin diperbesar 2- 10 kali, tetapi jika fenobarbital dihentikan, dosis warfarin diturunkan kembali.
9
saluran cerna)Estradiol Rifampisin
(menginduksi sintesis enzim metabolisme di hati dan mukosa saluran cerna)
Mempercepat metabolisme estradiol.
Kegagalan kontrasepsi
Diberikan jarak waktu pemakaian.
d. Interaksi dalam proses ekskresi
Interaksi obat atau metabolitnya melalui organ ekskresi terutama ginjal
dapat dipengaruhi oleh obat – obat lain. Yang paling dikenal adalah interaksi
antara probenesid dengan penisilin melalui kompetisi sekresi tubuli sehingga
proses sekresi penisilin terhambat, maka kadaar penisilin dapat dipertahankan
dalam tubuh. Interaksi probenesid dan penisilin adalah contoh interaksi yang
menguntungkan secara terapetik. Klinidin juga menghambat sekresi aktif
digoksin dengan akibat peningkatan kadar digoksin dalam darah, kira-kira
sampai 2 kali, sehingga terjadi peningkatan kejadian efek toksik digoksin.
Salisilat menghambat sekresi aktif metotreksat. Obat – obat diuretika
menyebabkan retensi lithium karena hambatan pada proses ekskresinya.
Furosemid juga dapat meningkatkan efek toksik ginjal dari
aminoglikosida,kemungkinan oleh karena perubahan ekskresi aminoglkosida.
Interaksi obat pada proses ekskresi
Obat objek Obat presipitan
Mekanisme interaksi
Akibat klinik Solusi
Digoksin (ekskresi melalui ginjal)
Kinidin,(dapat menghambat p-glikoprotein yaitu transporter di usus dan tubulus ginjal)
Menghambat sekresi aktif di tubuli ginjal
Menurunkan sekresi digoksin di tubulus ginjal dan menaikkan absorbsi di usus halus, sehingga efek digoksin meningkat
Menurunkan dosis digoksin menjadi separuhnya.
Metotreksat (diekskresi hanya
Salisilat (ekskresi dalam bentuk
Menghambat sekresi aktif di tubuli
kadar metotreksat tinggi, sehingga toksisitas hebat
Dosis metotreksat diturunkan.
10
melalui ginjal)
metabolitnya melalui ginjal)
ginjal (juga akibat kerusakkan ginjal oleh AINS)
2.3.3 Interaksi farmakodinamik
Pada interaksi farmakokinetik terjadi perubahan kadar obat obyek oleh karena
perubahan pada proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat. Pada
interaksi farmakodinamik tidak terjadi perubahan kadar obat obyek dalam darah.
Tetapi yang terjadi adalah perubahan efek obat obyek yang disebabkan oleh obat
presipitan karena pengaruhnya pada tempat kerja obat . Interaksi farmakodinamik
dapat dibedakan menjadi Interaksi langsung (direct interaction) dan interaksi tidak
langsung (indirect interaction). Interaksi langsung terjadi apabila dua obat atau lebih
bekerja pada tempat atau reseptor yang sama, atau bekerja pada tempat yang berbeda
tetapi dengan hasil efek akhir yang sama atau hampir sama. Sedangkan interaksi
tidak langsung terjadi bila obat presipitan punya efek yang berbeda dengan obat
obyek, tetapi efek obat presipitan tersebut akhirnya dapat mengubah efek obat
obyek.
Obat objek Obat presipitan
Mekanisme interaksi
Akibat klinik Solusi
Digoksin Furosemida Peningkatan ekskresi kalium dan magnesium sehingga mempengaruhi kerja jantung.
Furosemid menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit sehingga mempengaruhi digiksin yang menyebabkan aritmia.
Penambahan diuretic hemat kalium dan pengukuran kadar kalium dan magnesium dalam darah.
Warfarin Salisilat Aspirin menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan
Efek koagulan meningkat sehingga resiko pendarahan meningkat.
Diberikan jarak waktu pemakaian
11
terhambatnya pembentukan thrombus terutama ditemukan pada system arteri
2.4 Interaksi Obat dengan Makanan
Pada interaksi jenis ini efek suatu obat akan dipengaruhi oleh makanan atau
minuman. Interaksi jenis ini tidak mudah dikelompokkan, tetapi lebih mudah
diperkirakan dari efek farmakologi obat yang dipengaruhi. Dalam hal ini
makanan atau minuman dapat memberikan efek sinergisme ataupun antagonis
( berlawanan ). Akibat dari interaksi jenis ini adalah terjadinya peningkatan efek
samping karena terjadinya peningkatan obat atau manfaat obat dapat berkurang
bahkanmenghilang jika makanan atau minuman yang dikonsumsi memberikan
efek antagonis terhadap obat. Gunakan obat berikut ini satu jam sebelum atau dua
jam sesudah makan untuk mencegah interaksi yang mungkin menurunkan efek
obat:
Interaksi obat dengan makanan dapat terjadi karena:
- Penundaan absorbsi karena perubahan pH lambung
- Perubahan motilitas usus
Pengetahuan mengenai pengaruh obat terhadap makanan terhadap kerja
obat masih sangat kurang. Karena itu, pada banyak bahan obat, masih belum jelas
bagaimana pengaruh pemberian makanan pada saat yang sama terhadap kinetika
obat. Pada sejumlah senyawa makanan menyebabkan penundaan absorbsi karena
perubahan harga pH dalam lambung serta motilitas usus. Misalnya,
tuberkulostatika rifampisisn dan isoniazid, absorpsinya ditunda dan diabsorpsi
dalam jumlah lebih kecil pada pemakaian setelah makan dibandingkan dengan
apabila obat-obat ini digunakan pada waktu lambung kosong.
12
1. Kinidin (Cardioquin, Duraquin, Quinaglute Dura-Tabs, Quinidex Extentabs,
Quinora)
Kinidin digunakan untuk menormalkan kembali denyut jantung yang tak
beraturan. Makanan beralkali; seperti: amandel, susu mentega, kastanye, sari
buah jeruk, kelapa, kepala susu, buah-buahan (kecuali jagung, miju-miju);
dapat meningkatkan efek kinidin. Dengan peningkatan efek tersebut dapat
mengakibatkan kemungkinan terjadinya efek samping merugikan karena
terlalu banyak kinidin disertai gejala jantung berdebar, atau denyut jantung
tidak teratur, pusing, sakit kepala, telinga berdenging, dan gangguan
penglihatan.
2. Golongan Teofilin
Obat asma golongan Teofilin bekerja sebagai stimulant system saraf pusat
dengan cara melebarkan jalan udara dan memudahkan pernapasan penderita
asma. Makanan yang mengandung kofein dapat meningkatkan efek obat
asma karena makanan berkofein dapat menstimulasi system saraf pusat
sehingga menyebabkan terjadinya rangsangan berlebihan. Akibatnya
mungkin terjadi efek samping merugikan karena terlalu banyak teofilin
(rangsangan berlebih), disertai gejala mual, pusing sakit kepala, mudah
tersinggung, tremor, insomnia, takikardia, denyut jantung tidak teratur, dan
mungkin terjadi serangan. Contoh makanan yang merupakan sumber kofein
adalah: kopi, teh, kola dan minuman ringan, coklat, beberapa pil pelangsing
yang dijual bebas, sediaan untuk flu/batuk; nyeri; dan sakit yang mengganggu
akibat haid.
3. Tetrasiklin adalah antibiotik yang digunakan untuk melawan infeksi.
Absorpsi tetrasiklin akan berkurang oleh ion logam bervalensi banyak
(misalnya kalsium, magnesium atau ion besi) serta kloestiramin. Tetrasiklin
akan membentuk khelat dengan logam, sehingga pemberiannya tidak boleh
bersamaan dengan pemberian susu dan produknya, antasida, atau ferrous
sulfate. Untuk menghindari pengendapan dalam gigi atau tulang yang sedang
berkembang, tetrasiklin harus dihindarkan bagi ibu hamil, dan anak-anak
13
dibawah usia 8 tahun karena tetrasiklin dapat langsung terikat pada kalsium
dan mengakibatkan pendaran (fluorescence, pemudaran warna, dan displasia
enamel. Obat juga dapat tersimpan dalam tulang dan mengakibatkan kelainan
bentuk atau hambatan pertumbuhan.
4. Litium
Litium digunakan untuk menaggulangi beberapa gangguan jiwa yang berat.
Makanan berkadar garam rendah dapat meningkatkan efek litium, sedangkan
yang berkadar garam tinggi dapat menurunkan efek litium.
Makanan yang terlalu sedikit mengandung garam dapat menimbulkan
keracunan litium dengan gejala pusing, mulut kering, lemah, bingung, tak
bertenaga, kehilangan selera makan, mual, nyeri perut, nanar, dan bicara tidak
jelas.
Contoh obat yang berinteraksi dengan makanan.
Obat objek Obat presipitan
Mekanisme interaksi
Akibat klinik Solusi
Tetrasiklin Kalium, Kalsium
Membentuk kelat dengan logam.
Pendarahan Diberikan 1 sampai 2 jam setelah makan.
2.5 Interaksi Obat pada Kasus khusus
Interaksi obat pada kasus khusus misalnya pada kasus kardiovaskuler. Obat
kardiovaskular secara umum terbagi menjadi obat gagal jantung, antiaritmia,
antiangina, antihipertensi dan hipolipidemik. Golongan obat kardiovaskular oleh
dokter penulis resep obat oral kardiovaskular pada 138 sampel di apotek “x” adalah
golongan obat ACE Inhibitors, golongan β-Blocker, golongan Ca Antagonis,
Golongan Diuretik dan Digoxin. Frekuensi terbesar dan merek dagang yang
berjumlah paling banyak digunakan dalam sampel adalah golongan ACE Inhibitor,
hal ini seiring dengan cakrawala pengobatan gagal jantung mulai berubah setelah
melalui penelitian klinis lebih dari 15 tahun ACE Inhibitor yang ditemukan oleh
14
Cushman dan Ondetti pada tahun 1977, tidak saja bermanfaat sebagai obat untuk
hipertensi, tapi juga efektif untuk pengobatan gagal jantung.
Interaksi antara Capoten yang berisi captopril golongan ACE Inhibitor
dengan KSR yang mengandung Kalium. Kejadian hiperkalemia ini dapat
diminimalisasi dengan menghentikan pemberian diuretik atau dengan memberikan
Natrium satu minggu sebelum pengobatan dengan ACE Inhibitor. Penghambat ACE
ini mengurangi pembentukan Angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan
penurunan sekresi aldosteron yang menyebabkan terjadinya ekskresi natrium dan air,
serta retensi kalium. Bila obat ini diberikan bersama obat diuretik hemat kalium atau
suplemen kalium akan meningkatkan resiko terjadinya hiperkalemia.
Interaksi yang terjadi karena adanya efek farmakologi obat yang berlawanan.
Misalnya Furosemide adalah diuretik yang dapat berperan sebagai antihipertensi
berawal dari efeknya meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga
mengurangi volume plasma dan cairan ekstra sel. Tekanan darah akan menurun
akibat berkurangnya curah jantung. Teronac yang mengandung mazindol adalah obat
adrenergik yang bekerja secara tidak langsung artinya menimbulkan efek adrenergik
melalui penglepasan Norepinefrin yang tersimpan dalam ujung syaraf, mazindol
merangsang susunan syaraf pusat yang dapat meningkatkan denyut jantung dan
kekuatan kontraksi. Sehingga bila kedua obat ini diberikan secara bersamaan akan
menyebabkan terjadinya efek yang berlawanan.
Obat objek Obat presipitan
Mekanisme interaksi
Akibat klinik Solusi
Captopril golongan ACE Inhibitor
Kalium Hiperkalemia memberikan Natrium satu minggu sebelum pengobatan dengan ACE Inhibitor.
15
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Dampak Klinik Interaksi Obat
Secara teoritis banyak sekali interaksi yang mungkin terjadi dengan
mekanisme yang telah diuraikan di muka. Namun demikian, tidak semuanya
memberikan dampak klinik yang penting. Dampak klinik akan sangat tergantung
pada ciri-ciri obat obyek. Jika profil hubungan dosis (kadar) dengan respons dari obat
obyek. Di mana perubahan sedikit kadar atau jumlah obat akan berpengaruh besar
terhadap efek obat, maka setiap perubahan kadar karena interaksi obat akan
memberikan perubahan efek yang sangat berarti.
Obat – obat dengan resiko toksik terapetik yang rendah (low toxic:therapeutic ratio),
atau sering dikenal juga sebagai obat dengan lingkup terapi sempit. Di samping
kedua hal di atas, makna klinik interaksi obat juga akan sangat tergantung kepada
jenis dari efek yang terjadi, terutama untuk interaksi farmakodinamik, yakni apabila
efek obat obyek yang mengalami perubahan tersebut merupakan efek farmakologik
utama/penting terhadap timbulnya efek terapetik maupun efek toksik dari obat.
Misalnya perubahan sedikit saja dari efek antikoagulasi, bisa terjadi perdarahan atau
kegagalan antikoagulasi yaitu meningkatnya efek toksik baik disertai dengan
meningkatnya kadar obat obyek atau tidak dan dapat pula terjadi kegagalan efek
terapetik.
Mekanisme interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik tidak selamanya
berdiri sendiri-sendiri. Adakalanya interaksi tersebut terjadi karena kedua mekanisme
tersebut, sehingga untuk ini yang penting adalah mengevaluasi/mengobservasi efek
yang terjadi. Sebagai contoh interaksi antara aspirin dengan obat – obat hipoglikemik
atau dengan antikoagulan warfarin. Disamping interaksi kinetik pada ikatan protein,
juga ada interaksi dinamik yang memperberat efek yang terjadi.
3.2 Upaya Menghindari Dampak Negatif
Tindakan berhati-hati atau kewaspadaan diperlukan untuk menghindari
dampak negatif dari interaksi obat. Berikut ini adalah upaya – upaya untuk
menghindari dampak negatif dari interaksi obat:
16
1. Hindari semaksimal mungkin pemakaian obat gabungan (polifarmasi), kecuali
jika memang kondisi penyakit yang diobati memerlukan gabungan obat dan
pengobatan gabungan tersebut sudah diterima dan terbukti secara ilmiah
manfaatnya. Misalnya:
- pengobatan tuberkulosis,
- pengobatan infeksi berat seperti sepsis, dan lain-lain
2. Jika memang harus memberikan obat gabungan (lebih dari satu) bersamaan,
yakinkan bahwa tidak ada interaksi yang merugikan, baik secara kinetik atau
dinamik
3. Kenalilah sebanyak mungkin kemungkinan interaksi yang timbul pada obat –
obat yang sering diberikan bersamaan dalam praktek polifarmasi.
4. Jika ada interaksi segera lakukan tindakan-tindakan: Apakah perlu pengurangan
dosis obat obyek, Atau dapatkah obat obyek atau obat presipitan diganti
5. Evaluasi efek sesudah pemberian obat – obat secara bersamaan untuk menilai ada
tidaknya efek samping/toksik dari salah satu atau kedua obat .
6. Ikutilah sedini mungkin pemakaian obat secara bersamaan bila ternyata ada efek
samping atau efek toksik yang timbul.Beberapa interaksi yang pernah dilaporkan
mempunyai anti klinik.
17
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Interaksi obat tidak lepas dari kenyataan kebiasaan dalam praktek
pengobatan, di mana umum sekali untuk memberikan obat lebih dari satu secara
bersamaan kepada pada seorang penderita atau yang sering disebut sebagai
polifarmasi. Interaksi obat tidak selamanya merugikan, tetapi jika kemungkinan
terjadi interaksi ini dan tidak diwaspadai pada waktu memberikan obat pada pasien,
maka terjadinya dampak negatif yang merugikan akan lebih besar.
Dampak klinik dari interaksi obat sangat tergantung pada ciri-ciri obat obyek.
Jika profil hubungan dosis (kadar) dengan respons dari obat obyek. Di mana
perubahan sedikit kadar atau jumlah obat akan berpengaruh besar terhadap efek obat,
maka setiap perubahan kadar karena interaksi obat akan memberikan perubahan efek
yang sangat berarti.
18