publish pemberdayaan petani penggarap garam melalui kebijakan berbasis pertanahan
DESCRIPTION
Publish Pemberdayaan Petani Penggarap Garam Melalui Kebijakan Berbasis PertanahanTRANSCRIPT
PEMBERDAYAAN PETANI PENGGARAP GARAM MELALUI KEBIJAKAN BERBASIS PERTANAHAN1
Oleh: Ihsannudin
[email protected] Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
ABSTRACT Salt producer in Indonesia especially peasant farmers of salt have low income condition. This research aims to provide a constructive recommendation related to empowering peasant farmer of salt through land policy. Qualitative and quantitative approaches are conducted in this study. The result shows peasant farmers of salt have low bargaining position. One solution is empowering peasant farmer of salt through land policies. They are land consolidation, spatial protection and redistribution of land reform object Key words: peasant farmer, salt, policy, land PENDAHULUAN
Indonesia dikenal sebagai negara maritim dengan potensi sumberdaya
kelautan baik hayati maupun non hayati yang sangat besar. Salah satu kekayaan
sumberdaya daya kelauatan non hayati yang dimiliki adalah produksi garam.
Meskipun memiliki potensi sumberdaya kelautan non hayati yang besar, ironisnya
ternyata Indonesia masih menjadi importir garam yang cukup besar. Menurut
Maulida (2010) Indonesia masih mengimpor garam sebesar 1,6 juta ton garam
dari total kebutuhan garam nasional sebesar 2,8 juta ton pada 2010. Ini artinya
menunjukkan bahwa Indonesia hanya mampu memproduksi garam sebanyak 1,2
juta ton.
Selama ini produksi garam di Indonesia dilakukan oleh petani garam dan
PT. Garam sebagai satu-satunya BUMN yang memproduksi garam. Secara
nasional luas lahan yang diusahakan untuk produksi garam adalah seluas 34.731
Ha dan baru seluas 20.089 ha yang produktif, dimana 74,16% lahan tersebut
diusahakan oleh petani garam. Sementara itu 60% dari luas lahan garam produktif
1 ACTIVITA, Jurnal Pemberdayaan Mahasiswa dan Masyarakat, LPPM Universitas Sebelas Maret
Surakarta Vol. 2 No. 1 Edisi Februari 2012
nasional berada di Pulau Madura (terdiri atas kabupaten Sampang, Pamekasan dan
Sumenep) dengan luas 16.421 ha lahan protensial dan 11.625 ha lahan produktif.
Sebagai pelaku produksi yang berkontribusi besar terhadap produksi
garam nasional ternyata petani garam kondisinya juga masih belum sejahtera.
Keadaan petani garam sebagaimana kehidupan pada masyarakat pesisir umumnya
menghadapi berbagai permasalahan yang menyebabkan kemiskinan. Pada
umumnya mereka menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya laut
dan pantai yang membutuhkan investasi besar dan sangat bergantung musim
(Widodo, 2010). Kondisi iklim dan cuaca yang seringkali tidak bersahabat,
mekanisme harga dan pasar garam yang cenderung tidak berpihak kepada petani
garam menjadikan usaha garam ini dilingkupi risiko (Ihsannudin, 2012).
Demikian pula mayoritas tingkat pendidikan penduduk yang rendah dan
keterampilan berusaha yang sangat terbatas (Syafi’i, 2006).
Kondisi ini terutama dialami oleh petani garam yang tidak memiliki lahan
atau petani penggarap garam yang dalam istilah Madura dinamakan “mantong”.
Jumlah petani penggarap ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan petani garam
yang memiliki lahan. Petani penggarap garam ini memiliki banyak terbatasan
yang sulit dilepaskan. Mulai dari keterbatasan permodalan, pengambilan
keputusan hingga permasalahan sosial ekonomi yang lain. Sehingga sebenarnya
sasaran pemberdayaan yang tepat adalaha dilakukan pada petani penggarap garam
ini.
Produksi garam di Indonesia yang menggunakan teknologi evaporasi
(solar evaration) hendaknya dapat dilakukan dengan cara merekayasan kondisi
lahan pegaraman dengan menempatkan jumlah bozem, peminihan dan meja
garam secara optimal. Salah satu upaya pemberdayaan yang dapat dilakukan
terhadap petani penggarap garam ini adalah pemberdayaan berbasis kebijakan
pertanahan (lahan). Lahan adalah variabel penting dalam produksi garam
(Ihsannudin, 2011). Berkaitan dengan lahan pegaraman yang dimiliki oleh petani
garam masih terdapat beberapa permasalahan yang perlu dipecahkan. Masih
banyak petani garam rakyat yang memiliki luasan kurang dari 2 Ha, bahkan juga
luasan lahan garam yang terpisah-pisah. Kondisi petani garam semakin
termarjinalkan pada sisi yang juga dimaknai telah terjadi polarisasi dalam
penguasaan lahan garam dan dominasi modal produksi kapitalis
(Rochwulaningsih, 2009). Sehingga upaya pemberdayaan terhadap petani
penggarap garam melalui kebijakan pertanahan menarik untuk dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendapatan petani penggarap garam
dari usaha produsi garam serta alternatif kebijakan pertanahan yang dapat
ditetapkan untuk dapat memberdayakannya.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) di Kabupaten
Sampang. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Kabupaten
Sampang dapat merepresentasikan pegaraman rakyat karena merupakan sentra
pegaraman rakyat paling luas di Madura yaitu 4.246 Ha, paling luas jika
dibandingkan dengan Kabupaten Pamekasan 975 Ha dan Sumenep 1214 Ha
(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010). Lahan pegaraman yang ada di
Kabupaten Sampang ini tersebar di 7 kecamatan yaitu Sampang, Camplong,
Torjun, Pengarengan, Jrengik, Sreseh dan Banyuates.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah petani penggarap garam. Metode
penentuan sampel dilakukan secara insidential yaitu menjadikan petani garam
yang saat itu ditemui. Metode sampling insidential ini dilakukan karena sulitnya
memperoleh nama-nama petani garam yang jelas. Jumlah sampel/ responden yang
diambil sebagai sebanyak 50 orang. Jumlah ini dianggap telah memenuhi
sebagaimana yang diungkapkan Singarimbun dan Effendi (1995) bahwa sampel
dengan lebih dari 30 sudah termasuk dalam sampel besar.
Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan data
kualitatif baik yang diperoleh dari sumber primer dan sekunder. Data primer
diperoleh dengan cara pengamatan, kuisioner, dan wawancara. Sementara data
sekunder diperoleh dari kantor desa, kantor kecamatan, Dinas Kelautan, Perikanan
dan Peternakan, PT. Garam serta instansi terkait lainnya.
Metode Pengumpulan Data
Analisis data yang dilakukan adalah analisis pendapatan yang digunakan
untuk mengetahui pendapatan petani penggarap garam dari usaha produksi garam.
Menurut Effendi (2006), alat analisis yang digunakan untuk mengestimasi
keberhasilan usaha adalah sebagai berikut:
N.I = Total Penerimaan (TR) – Total Biaya (TC)
= (Q . Pq) - (TFC+TVC)
di mana :
NI : Nett Income
Q : Total produksi
Pq : Harga per satuan produk
TFC : Total Biaya Tetap
TVC : Total Biaya Variabel
Sementara upaya pemberdayaan petani penggarap garam dengan kebijakan
pertanahan dilakukan dengan melakukan analisis kualitatif. Analisis kualitatif
terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan antara reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Gambar 1.
Alur Analisis Kualitatif
Pengumpulan Data
Penyajian Data Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan
Analisis kualitatif terdiri dari empat kegiatan yaitu :
1. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dalam bentuk non metric dan juga didukung data metric.
Data dikumpulkan dari kuisioner, wawancara, pengamatan dan studi literatur.
Data dikumpulkan dan siap untuk dilakukan proses selanjutnya.
2. Reduksi data
Data yang diperoleh di lapang disusun rapi, terinci dan sistematis. Setiap
selesai mengumpulkan data, data tersebut perlu direduksi yaitu dengan memilih
hal-hal pokok yang sesuai dengan pokok penelitian. Data yang telah direduksi
memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil penelitian.
2. Display data
Data yang semakin banyak, kurang memberikan gambaran yang menyeluruh.
Dalam penelitian deskriptif, data kuantitatif juga diperlukan untuk mendukung
data kualitatif. Oleh karena itu diperlukan penyajian data yang menyajikan data
dalam bentuk peta, bagan, tabel, grafik atau deskripsi.
3. Pengambilan kesimpulan
Dari data yang didapat, peneliti mencoba mengambil kesimpulan. Verifikasi
dilakukan dengan maksud menggali data ulang yang pernah dikumpulkan atau
mencari data lain untuk mengecek tentang kebenaran fenomena tertentu.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pendapatan Petani Penggarap Garam
Garam diproduksi pada musim kemarau yang biasanya dilakukan antara
bulan April–November. Adi (2006) menyatakan bawah produksi garam sangat
dengan metode evaporasi murni sangat bergantung pada keberadaan sinar
matahari yang nantinya juga terkait dengan kelembaban dan kecepatan angin.
Selain itu produksi garam juga dipengaruhi oleh kualitas air aut yang dimasukkan
ke tambak garam, struktur dan morfologi tanah, topografi, sifat fisis tanah, kanal
air dan bebas dari pengganggu seperti tanaman, ternak dan limbah rumah tangga.
Usaha produksi garam adalah sebuah usaha yang unik, karena usaha ini
tidak memerlukan input apapun selain dari air laut. Tidak seperti seperti usaha
budidaya lain yang memerlukan input dalam melakukan usaha. Untuk dapat
mengilustrasikan pendapatan petani penggarap garam maka dapat dilakukan
analisis pendapatan petani garam yang melakukan usaha pegaraman ini. Analisis
dilakukan dengan perhitungan mengurangkan nilai penjualan garam dengan biaya
produksi pada musim 2011. Biaya produksi adalah biaya dalam melakukan usaha
pegaraman. Biaya tersebut meliputi biaya peralatan produksi, biaya garap, biaya
pungut, biaya pengarungan, biaya pengangkutan dan biaya lain-lain.
Selengkapnya elemen biaya dalam usaha pegaraman ini dapat dilihat pada tabel 1
di bawah ini.
Tabel 1 Biaya Produksi Garam Per Ha Per Musim
Jenis Biaya Besar Biaya (Rp/ha) Persentase (%) Biaya Peralatan 1.929.161 11.77 Garap 6.613.200 40.34 Pungut 1.058.667 6.46 Pengarungan 2.307.893 14.08 Pengangkutan 3.705.333 22.60 Biaya Lain-Lain 780.712 4.76 Total 16.394.966 100
Sumber: Data Primer diolaha (2011).
Sebagian besar (40,34%) biaya yang dikeluarkan adalah untuk tenaga kerja pada
saat penggarapan persiapan sebelum panen dan pemeliharaan selama masa panen.
Garam selanjutnya kemudian dapat diungut setiap 10 hari sekali. Biaya terbesar
selanjutnya adalah biaya pengangkutan (22,6%). Biaya pengangkutan ini adalah
biaya pengangkutan garam dari lahan meja kritasliasai hingga ke tSetelah panen
pertama biasanya garam mpat dikumpulkan untuk dapat diangkut ke truk
(collecting point).
Sementara itu dari biaya yang dikeluarkan tersebut petani garam akan
menjadi unsure pengurang dari penerimaan yang diperoleh. Penerimaan diperoleh
dari perkalian antara jumlah produksi garam per hektar per musim dengan harga
yang diterima per hektar per musim. Berdasarkan data yang diperoleh, usaha
garam pada musim 2011 diperoleh rata-rata produksi per hektar per musim
sebesar 52,93 ton. Secara kebetulan harga garam pada 2011 adalah harga garam
yang bagus dimana petani garam memperoleh harga rata-rata garam yang diterima
adalah Rp. 484.400 per ton. Sehingga penerimaan petani garam tersebut adalah
Rp. 25.640.907. Setelah dikurangi dengan biaya (Rp 16.394.966) maka diperoleh
pendapatan petani garam sebesar Rp 9.245.941 per hektar per musim. Sehingga
jika diproksikan dalam satu tahun maka pendapatan petani garam adalah sebesar
770.495 per hektar per bulan.
Petani penggarap memperoleh bagian 30% dari jumlah produksi yang
diperoleh dan 70% sisanya diberikan kepada pemilik tanah. Hal ini jika semua
alat-alat produksi seperti kincir, gledek dan sebagainya berasal dari pemilik tanah.
Sementara jika alat-alat produksi berasal dari petani penggarap atau mantong
maka pembagiannya adalah 50% untuk petani penggarap dan 50% untuk pemilik
tanah. Namun demikian kebanyakan atau umumnya yang berlaku petani
penggarap hanya mengerjakan saja dan semua alat-alat produksi berasal dari
pemilik tanah. Dengan demikian maka data diproksikan bahwa pendapatan petani
penggarap tersebut memperoleh 30% dari jumlah tersebut sehingga pendapatan
mantong per bulannya adalah Rp 231.148 per hektar per bulan atau sekitar Rp
7.705 per hari. Bila menggunakan kriteria Bank Dunia yang menyatakan bahwa
kemiskinan adalah penduduk yang berpenghasilan di bawah 2 dollar per hari,
maka masyarakat mantong garam inilah perlu mendapat perhatian yang serius.
Perlu dicatat bahwa usaha produksi garam ini adalah paling lama 6 bulan
dalam setahun namun rata-rata berjalan 5 bulan dalam setahun, tergantung kondisi
cuaca yang ada. Bahkan pada tahun 2010 dapat dikatakan tidak ada musim garam
karena bulan yang biasanya musim kemarau ternyata turun hujan sehingga
produksi garam gagal. Maka bila sudah tidak memasuki memasuki musim garam
maka para petani penggarap ini ada yang memeilihara ikan dan udang di tambak
garam dengan hasil yang lebih sedikit. Tidak jarang pula banyak para petani
penggarap ini beralih profesi ke buruh tani atau mengadu nasib menjadi buruh di
kota besar.
Biasanya jika sudah tidak memasuki musim garam maka para petani
garam ini seringkali meminjam uang kepada pemilik tanah atau pedagang garam
dengan ikatan-ikatan tertentu. Ikatan yang umum adalah ikatan untuk tetap
bersedia bekerja di lahan garam pemilik tanah tersebut atau bisa juga ikatan untuk
melakukan penjualan garam kepada si pemberi pinjaman apabila masuk masa
produksi garam. Sehingga dengan demikian petani garam terutama petani
penggarap ini seperti berada lingkaran ketidakberdayaan.
Alternatif Pemberdayaan Petani Penggarap Berbasis Kebijakan Pertanahan
Pemberdayaan berbasis kebijakan pertanahan ini dimaksudkan agar para
petani penggarap ini tidak terkungkung dalam lingkaran modal yang tidak
berujung. Sebagaimana dibahas di depan bahwa lahan atau tanah adalah variabel
yang penting, maka upaya untuk melakukan pemberdayaan kepada petani
penggarap dengan mendasarkan pada kebijakan pertanahan adalah hal penting.
Pendekatan pertama, dalam upaya pemberdayaan petani penggarap garam
berbasis pertanahan adalah pendekatan peningkatan produktivitas. Sebagaimana
diketahui bahwa lahan untuk memproduksi garam tersebut terbagi menjadi 3
bagian yaitu waduk atau bozem, peminihan dan meja kristalisasi atau biasa
dinamakan meja garam. Luasan untuk bozem ini memerlukan sekitar 27% dari
luas lahan dan sisanya untuk pemihan dan meja garam. Bila petani penggarap
mengelola lahan garam seluas 1 ha maka ada 2750 m2 yang digunakan untuk
bozem dan hanya 7250m2 yang digunakan untuk peminihan dan meja kristalisasi.
Jika terdapat integrasi bozem terpadu yang dapat digunakan oleh banyak petani
penggarap maka akan meningkatkan jumlah penggunaan lahan untuk peminihan
dan meja kristalisasi garam, sehingga jumlah produksi meningkat. Kebijakan ini
biasa dinamakan dengan konsolidasi tanah, yang sudah banyak juga dilakukan di
Negara-negara asia (Gaudesius, 2011). Selain itu kebijakan tata ruang yang
terencana dan terjaga konsistensinya juga perlu dilakukan untuk dapat
menghindarkan unsur pengganggu dalam produksi garam. Sehingga nantinya
dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi garam. Dengan meningkatnya
produksi maka pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan.
Pendekatan kedua, dalam upaya pemberdayaan petani penggarap garam
berbasis pertanahan adalah pendekatan efisiensi biaya. Seperti yang terdapat pada
tabel 1 bahwa elemen biaya yang cukup besar dalam produksi garam adalah biaya
angkut. Biaya angkut disini adalah biaya untuk mengangkut garam mulai dari
lahan meja kristalisasi garam hingga tempat yang dikumpulkan untuk dinaikkan
ke truk (collecting point). Pengangkutan dilakukan dengan ojek sepeda dengan
biaya angkut borongan sebesar Rp 45.000 per ton. Jika pengangkutan dilakukan
dengan perahu dengan menyusuri sungai maka biaya yang dikeluarkan adalah
Rp 18.700 per ton dan tambahan biaya bongkar sebesar Rp 17.000 per ton. Maka
jika ada konsolidasi lahan dimana sarana dan prasarana tersedia dimana jarak dari
lahan ke collecting point direduksi maka akan mengefisienkan biaya petani yang
pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan.
Pendekatan ketiga, adalah memanfaatkan hak pakai atau mengelola tanah
yang dikuasai langsung oleh negara maupun milik orang lain sesuai UUPA tahun
1960. Pengelolaan tanah milik perusahaan juga memungkinkan dilakukan. Hal ini
berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan PT. Garam, alternatif upaya
pemberdayaan berbasis kebijakan pertanahan ini dapat dilakukan dengan
memanfaatkan program tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh PT. Garam.
Sebagaimana yang diungkapkan bahwa di Kabupaten Sampang PT. Garam
mengelola tanah seluas 1.156,98 Ha. Dari luasan tersebut PT. Garam
menyediakan lahan seluas 65,6 Ha untuk dikelola petani garam di sekitar lokasi.
Bila ini terus secara konsekuen dan kontinyu dan tepat ditujukan kepada petani
penggarap yang otabene dalam kondisi lemah dilakukan maka dengan perhitungan
kasar program ini akan dapat menolong sekitar 32 petani penggarap garam dengan
asumsi per petani penggarap diberika hak pengelolaan 2 Ha. Program ini lebih
menguntungkan karena air yang masuk dalam tmbak tersebut adalah air dengan
salinitas tinggi yang telah diproses terlebih dahulu oleh PT. Garam. Alternatif
pemberdayaan ini dirasa sangat mengena karena memang tanggung jawab
pemberdayaan juga menjadi tanggung jawab semua elemen masyarakat
sebagaimana yang diungkapkan oleh Xu, et al (2010), dimana elemen masyarakat
tersebut tak terkecuali juga perusahaan.
Pendekatan kelima, adalah upaya redistribusi tanah sebagaimana yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan pemberian Ganti Kerugian. Redistribusi ini dapat
dilakukan kepada petani penggarap garam sebagai obyek land reform, karena
kriteria yang ada pada petani penggarap garam memungkinkan untuk menerima
tanah redistribusi ini. Hal ini dikarenakan petani penggarap adalah seseorang yang
dapat dikatakan buruh atau sebagai seorang tanah penggarap. Tanah yang dapat
dilakukan redistribusi adalah tanah yang melebihi batas maksimum, tanah yang
diambil pemerintah karena pemiliknya berada di luar daerah, tanah swapraja dan
tanah-tanah lain yang dikuasai Negara. Dengan kebijakan redistribusi ini nantinya
akan memberikan tambahan luasan garapan kepada petani penggarap sehingga
dapat meningkatkan kemadirian dalam memproduksi garam.
PENUTUP
Perhatian terhadap lahan dalam usaha produksi garam dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan petani penggarap garam adalah hal yang esensial.
Lahan garam ini dapat dilakukan beberapa perlakuan yang dapat meningkatkan
produksi garam baik kualitas maupun kuantitas serta efisiensi biaya. Untuk itu
diperlukan beberapa kebijakan terkait dengan pertanahan yaitu konsolidasi tanah,
perlindungan tata ruang dan redistribusi tanah yang dapat digunakan untuk usaha
garam terutama bagi petani penggarap garam.
DAFTAR RUJUKAN Adi, Tukul, Rameyo, dkk. 2006. Buku Panduan Pengembangan Usaha terpadu
Garam Artemia. Pusat Riset Wilayah Laut dan Suberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta
Effendi, I dan Wawan Oktariza. 2006. Manajemen Agribisnis Kelautan. Penebar Swadaya. Depok.
Gaudesius, Rimvydas. 2011. Sustainable Land Consolidation in Lithuania - The Second Wave of Land Reform. Environmental Researach and Management Vol 57 : 39-45
Ihsannudin. 2011. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Guna Pencapaian Swasembada Garam Nasional. Prosiding. Seminar Nasional Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan. Surabaya
_________. 2012. Tingkat Risiko Usaha Pegaraman Rakyat Masa Produksi 2011: Suatu Telaah Dalam Upaya Mengurangi Ketergantungan Impor. Prosiding. Seminar Nasional Revitalisasi Pertanian Berkelanjutan Menuju Ketahanan dan Kedaulatan Pangan. Jember
Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010. Program Swasembada Garam Nasional. Makalah. Seminar Nasional Pegaraman Menuju Swasembada Garam Konsumsi. Hotel Sultan 18 Mei 2010
Maulida, Diah. 2010. Dukungan Kebijakan Pemerintah Dalam Mendukung Swasembada Garam. Makalah. Seminar Nasional Merekonstruksi Garam Rakyat: dalam Perspektif Teknis, Sosial Ekonomi dan Kelembagaan”. Universitas Trunojoyo Madura, 5 Juli 2010
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan pemberian Ganti Kerugian
Rochwulaningsih, Yety. 2007. Petani Garam dalam Jeratan Kapitalisme: Analisis Kasus Petani Garam di Rembang Jawa Tengah. Jurnal Masyarakat Kebudayaan. Tahun XX No. 3 Juli 2007
Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofyan, 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES
Syafi’i, Ahmad, 2006, Potret Pemberdayaan Petani Garam, Implementasi Konsep dan Strategi. Surabaya: Untag Press
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Poko-Pokok Agraria
Widodo, Slamet. 2011. Strategi Nafkah Berkelanjutan bagi Rumah Tangga Miskin di daerah Pesisir. Makara Sosial Humaniora Vol 15 No 1 Juli 2011: 10-20
Xu, Qingwen. Perkins, D Douglas and Chow, Julian Chun-Chun. 2010. Sense of Community and Social Capital as Predictor pf Local Political Participatian in China. Am J Community Psychol (2010) 45: 259-271.