puisi malam lebaran

Upload: kartika-wijayanti

Post on 05-Jul-2018

215 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 8/16/2019 Puisi Malam Lebaran

    1/4

    Puisi

    Malam Lebaran

    Bulan di atas kuburan

    Karya : Sitor Situmorang

    Parafrase

    Salah satu puisi yang paling banyak diperdebatkan maknanya adalah “Malam

    Lebaran” karya Sitor Situmorang. Puisinya cuma sebaris “bulan di atas

    kuburan”. Pertama puisi itu sangat pendek. Kedua malam lebaran yang berarti

    malam ! Sya"al adalah saat di mana bulan sama sekali tidak kelihatan.

    #ari sisi stylistika “Malam Lebaran” bisa dibilang sebagai “pembaharu” dalam

    perpuisian $ndonesia di tengah maraknya puisi%puisi naratif kontemporer. Kalau

    kita perhatikan dengan saksama larik pendek itu tak bisa dipisahkan dari

     &udulnya. Secara sederhana puisi tersebut bisa kita parafrasekan men&adi :

    ''Pada malam lebaran ada rembulan di atas kuburan''.

    #alam penafsiran a"am setidaknya ada tiga frasa dan kata kunci yang hendak

    ditekankan oleh penyair kelahiran (arianboho Samosir Sumatera )tara *

    +ktober !,*- itu yakni “malam lebaran” “rembulan” dan “di atas kuburan”.

    #ari sisi logika larik puisi ini &elas absurd mustahil dan tak masuk akal.

    embulan tak mungkin muncul pada malam lebaran bukan/ 0amun

    sesungguhnya larik tersebut tak bisa hanya sebatas kita maknai secara har1ah.

    2da nilai%nilai kehidupan yang serba kontradiktif yang hendak didedahkan sang

    penyair.

    #ari sana ter&adilah kontro3ersi. Sitor dianggap tidak memahami penanggalan

    $slam. Meskipun dunia puisi mementingkan ima&inasi bagaimanapun puisi tetap

    bertanggung &a"ab atas logika puisi itu sendiri. 4akta alam menyatakan bah"a

    pada malam lebaran bulan belum muncul. +leh karena itu pernyataan Malam

    Lebaran' Bulan di atas kuburan melanggar logika umum. $a menyatakan sesuatu

    yang tak mungkin ter&adi.

    #alam kasus puisi Malam Lebaran latar belakang peristi"anya ter&adi pada

    malam lebaran ketika Sitor hendak berkun&ung ke rumah Pramoedya 2nanta

     5oer. $a le"at dekat kuburan. 6adilah kemudian ada “Malam Lebaran” dan“kuburan”. #i tangan penyair sekelas Sitor peristi"a itu niscaya sangat

    menggoda dan menggelisahkannya. #engan kepia"aiannya membangun

    simbolisme dan kekuatan menciptakan citraan peristi"a itu mesti direkam dan

    dinyatakan men&adi sesuatu yang mempesona dan menak&ubkan. Maka untuk

    memperkuat kesan yang lebih dalam diperlukan sebuah simbol yang dapat

    mendukung citraan yang me"artakan kesepian dan keterasingan sebagai

    pesannya. #an kata bulan itulah pilihannya. Maka lahirlah kemudian sebuah

    puisi pendek: Bulan di atas kuburan'' Sebuah puisi yang memancarkan kekuatan

    citraan yang begitu hidup dan sekaligus &uga menyimpan kekayaan simbolisme.

    Lebaran adalah hari kemenangan tetapi &uga kekalahan7 kekalahan bagi yang

  • 8/16/2019 Puisi Malam Lebaran

    2/4

    tak berhasil meningkatkan barang segaris kualitas kemanusiaannya &uga

    kekalahan bagi yang tak bisa membelikan barang sepotong ba&u baru untuk

    anaknya.

    (ari kemenangan itu telah men&adi beban karena ter&adi pengeluaran besar%

    besaran. $ronis ketika hari kemenangan &ustru disambut dengan kepanikan

    kenaikan harga%harga barang dan penambahan saldo utang.

    Lebaran sebagaimana dipahami banyak orang merupakan saat penuh

    kebahagiaan setelah sebulan lamanya berhasil men&alankan ibadah puasa.

    (ampir semua orang tenggelam dalam hiruk%pikuk kemeriahan menyambut

    saat%saat “pembebasan” itu. Semua orang apa pun pangkat dan kedudukannya

    ba&u politik "arna apa pun yang dipakai atau status sosial keseharian apa pun

    yang disandangnya 8nyaris9 semuanya tak mele"atkan momentum yang sarat

    berkah dan magh1rah itu. 5ak salah kalau Sitor Situmorang menggunakan kata

    simbolik “bulan” sebagai ikon kebahagiaan dan kemeriahan.

    0amun ada yang lupa bah"a di balik kemeriahan dan kebahagiaan pada malam

    lebaran itu ada &uga ketragisan hidup. 5idak sedikit saudara%saudara kita yang

    masih harus “berpuasa” dan mengalami kelaparan pada saat hari “pembebasan”

    itu. Mereka tak bisa mudik dan terlibat dalam hiruk%pikuk penyambutan lebaran

    di kampung halaman. Situasi dan keadaan yang kurang menguntungkan

    “memaksa” mereka untuk meniadakan momentum lebaran dalam “kamus”

    hidupnya. Mereka hanya bisa mendengarkan gema suara takbir yang terdengar

    pilu7 tak ubahnya menikmati lengkingan orkestra yang tragis dan menyayat

    nurani. 5ak salah &uga kalau Sitor Situmorang menggunakan frasa “di ataskuburan”.

    Begitulah idealnya lebaran &uga perlu di&adikan sebagai momentum untuk saling

    berbagi dan bersilaturahmi khususnya kepada mereka yang bernasib kurang

    beruntung. Konon di balik kekayaan dan penghasilan yang kita miliki ada hak

     &uga bagi fakir miskin dan anak%anak telantar. Bahkan mereka yang suka

    mengemplang dan mencuri harta rakyat dan negara lebaran perlu dimaknai

    sebagai momentum pertobatan untuk mengembalikan kekayaan yang mereka

    peroleh secara tidak sah kepada negara tanpa harus menunggu diserbu KPK.

    ara semacam ini akan lebih terhormat daripada dipaksa harus memakaiseragam koruptor 3ersi KPK.

    Segala hal telah berkiblat kepada kebendaan. 5ak ada lagi yang peduli

    menyelami apa yang semestinya ter&adi di $dul 4itri. 2pakah merenungi

    menelan&angi &i"a sendiri atau ke sana ke mari "ara%"iri dengan ba&u baru dan

    gemerlap perhiasan "arna%"arni. Mengapa men&elang hari itu segalanya &ustru

    men&adi sesak7 mall pasar tradisional toko sembako seperti sesaknya dada si

    fakir yang tak tau harus membelan&akan apa menyambut hari raya sesak

    pengap membekap padahal namanya lebaran bukan sempitan.

    Bisa &adi pena1rsan “selengekan” semacam ini &auh dari apa yang dimaksudkan

  • 8/16/2019 Puisi Malam Lebaran

    3/4

    oleh Sitor Situmorang. 0amun sebagai genre sastra puisi yang multitafsir bisa

    dimaknai secara personal oleh apresiannya.

    Mereka yang menganut paham naturalisme dan positi3isme meyakini Sitor pasti

    telah melakukan kesalahan. Mana mungkin dia dapat melihat bulan pada malam

    lebaran/ Bukankah pada malam itu bulan tidak dapat dilihat mata telan&ang

    sehingga para penentu saat akhir masa puasa harus menggunakan teropong

    untuk menentukan apakah bulan sudah muncul. Kesimpulannya: Sitor ngaco.

    Lain lagi dengan pendapat kritikus yang menganut paham simbolik. Menurut

    mereka Sitor tidak melaporkan keadaan alam empirik le"at puisi itu. Benda%

    benda yang disebut dalam selarik puisi itu adalah simbol dari hal lain. Lantas

    para penganut paham ini membuat penye&a&aran antara malam dengan kuburan

    serta Lebaran dengan bulan. Malam dan kuburan dianggap memiliki kese&a&aran

    kualitas: gelap hitam kotor7 sementara bulan dan lebaran berkonotasi pada:

    terang putih bersih. #alam puisi tersebut kedua kualitas tersebut diperantaraioleh kata “di atas.” #engan demikian secara keseluruhan puisi Sitor yang paling

    ekonomis itu bermakna 8dimaknai9: terang 8putih'bersih'suci9 di atas 8mengatasi9

    gelap 8hitam'kotor'dosa9.

    #i tengah kontro3ersi tersebut Sitor pun bercerita bah"a suatu malam ia

    ber&alan kaki hendak menu&u rumah Pramoedya 2nanta 5oer dan ternyata ia

    tersesat. #i saat tersesat itu ia melihat sebuah tembok putih. $a penasaran7 apa

    yang ada di balik tembok itu. Maka Sitor pun lantas naik di atas batu di dekat

    tembok dan melongok: “; +o; kuburan.” Kemudian ia turun dan melan&utkan

     &alan kakinya mencari rumah Pram. upanya pengalaman menemukan tembokputih melongok dan melihat kuburan tersebut sangat membekas dalam diri

    Sitor dan tidak dapat segera dilupakan. $a kemudian mengekspresikan

    pengalaman itu dalam puisi sebarisnya yang telah menghebohkan banyak orang

    itu. 5idak di&elaskan apakah peristi"a itu dialaminya pada malam lebaran atau

    malam%malam yang lain tidak pula di&elaskan apakah malam itu dia melihat

    bulan.

    Salah satu puisi yang paling banyak diperdebatkan maknanya adalah “Malam

    Lebaran” karya Sitor Situmorang. Puisinya cuma sebaris, “bulan di atas kuburan”.

    Pertama puisi itu sangat pendek. Kedua, malam lebaran yang berarti malam 1 Syawal,adalah saat di mana bulan sama sekali tidak kelihatan.

    Dan saya tak ingin memperpanjang debat itu.

    Lebaran adalah hari kemenangan, tetapi juga kekalahan; kekalahan bagi yang tak berhasil

    meningkatkan barang segaris kualitas kemanusiaannya, juga kekalahan bagi yang tak bisa

    membelikan barang sepotong baju baru untuk anaknya.

    Hari kemenangan itu telah menjadi beban, karena terjadi pengeluaran besar-besaran. Ironis,

    ketika hari kemenangan justru disambut dengan kepanikan, kenaikan harga-harga barang, dan penambahan saldo utang.

  • 8/16/2019 Puisi Malam Lebaran

    4/4

    Segala hal telah berkiblat kepada kebendaan. Tak ada lagi yang peduli menyelami, apa yang

    semestinya terjadi di Idul Fitri. pakah merenungi, menelanjangi ji!a sendiri, atau ke sana ke

    mari !ara-!iri dengan baju baru dan gemerlap perhiasan !arna-!arni. "engapa menjelang

    hari itu segalanya justru menjadi sesak; mall, pasar tradisional, toko sembako, seperti

    sesaknya dada si #akir yang tak tau harus membelanjakan apa menyambut hari raya, sesak pengap membekap, padahal namanya lebaran, bukan sempitan.

    $ika begitu, lebaran memang menjadi bulan di atas kuburan. %edih, menyayat, sepi,

    men&ekik.