ragam frasa verba

17
AFIKS YANG TERGOLONG RAGAM FRASA VERBA PADA ESAI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS BANGSAKARYA SASTRI SUNARTI MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Sintaksis Bahasa Indonesia Yang dibina oleh Bapak Sumadi Oleh Dita Devi Defianti 150211600396 UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS SASTRA JURUSAN SASTRA INDONESIA Desember 2016

Upload: dita-devi

Post on 13-Apr-2017

146 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ragam frasa verba

AFIKS YANG TERGOLONG RAGAM FRASA VERBA PADA ESAI

“BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS BANGSA”

KARYA SASTRI SUNARTI

MAKALAH

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH

Sintaksis Bahasa Indonesia

Yang dibina oleh Bapak Sumadi

Oleh

Dita Devi Defianti 150211600396

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS SASTRA

JURUSAN SASTRA INDONESIA

Desember 2016

Page 2: Ragam frasa verba

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan sarana komunikasi yang digunakan masyarakat

dunia. Setiap wilayah memiliki bahasa tersendiri yang menjadi identitas

dari masing-masing wilayah. Negara indonesia menggunakan bahasa

Indonesia sebagai identitas sekaligus sebagai bahasa nasional pemersatu

bangsa. Akan tetapi, pada masing-masing daerahnya menggunakan bahasa

daerah tersendiri sebagai warisan kearifan lokal budaya Indonesia.

Sintaksis sebagai cabang ilmu bahasa mempunyai kedudukan yang

sama dengan fonologi, morfologi, dan semantik. Cabang-cabang ilmu

bahasa ini terbagi menjadi dua bagian besar yaitu morfologi dan sintaksis

termasuk tataran gramatika, sedangkan fonologi dan semantik termasuk

tataran di luar gramatika. Sintaksis adalah bahagian dari tata bahasa yang

membicarakan struktur frase dan kalimat (Ramlan dalam Tarigan, 1986).

Dalam kajian sintaksis terdapat pembahasan mengenai frasa yang

dapat digolongkan menjadi beberapa bagian. Oleh karena itu, dalam

makalah ini akan dibahas mengenai konsep dasar frasa, pengklasifikasian

frasa, yang pada akhirnya akan dibahas mengenai penggolongan frasa

verba.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimanakah konsep dasar frasa?

1.2.2 Bagaimanakah konsep dasar frasa verba?

1.2.3 Bagaimanakah konsep dasar afiks?

1.2.4 Bagaimanakah klasifikasi afiks yang tergolong frasa verba dalam esai?

1.3 Tujuan

1.3.1 Memahami konsep dasar frasa.

1.3.2 Memahami konsep dasar frasa verba.

1.3.3 Memahami kosep dasar afiks.

Page 3: Ragam frasa verba

1.3.4 Mengetahui klasifikasi afiks yang tergolong frasa verba dalam esai.

Page 4: Ragam frasa verba

2. Pembahasan

2.1 Konsep Dasar Frasa

Frasa merupakan bagian kecil dalam kalimat. Menurut Ramlan

(1986:143), frase ialah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau

lebih yang tidak melampaui batas fungsi, maksudnya frase itu selalu

terdapat dalam satu fungsi, ialah dalam S, P, O, Pel, atau KET. Elson dan

Pickett dalam (Sugondo dan Indiastini, 1994:14) mendefinisikan frasa

sebagai komposisi unit yang secara potensial terdiri dari dua kata atau

lebih, tetapi tidak memiliki ciri-ciri suatu klausa, dan kontruksi ini dapat

mengisi slot-slot pada tataran klausa. Chaer (dalam Sumadi, 2016)

mendefinisikan frasa sebagai gabungan dua kata atau lebih yang

merupakan satu kesatuan dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat

(subjek, predikat, objek, atau keterangan). Sementara itu, Samsuri (dalam

Sumadi, 2016) menyatakan bahwa frasa merupakan satuan sintaksis

terkecil yang merupakan pemadu kalimat.

Berbeda dengan pendapat ahli di atas, Sumadi (2016:12) frasa

menyatakan ialah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih

yang tidak melampaui batas fungsi dan tidak bersifat predikatif.

Berdasarkan paparan pendapat dari masing-masing ahli di atas,

dapat disimpulkan bahwa dapat disebut frasa apabila (1) terdiri atas satu

kata atau lebih, (2) tidak melampaui batas fungsi, serta (3) tidak bersifat

predikatif.

Dalam pengklasifikasian frasa terdapat dua dasar yang mendasari

pengklasifikasian frasa tersebut. Frasa dapat diklasifikasikan (1)

berdasarkan persaman distribusi dengan unsurnya atau pemadunya, (2)

berdasarkan kategori kata yang menjadi unsur pusat (UP) atau penandanya

(Sumadi, 2016).

Berdasarkan persamaan distribusi dengan unsurnya, frasa

diklasifikasikan menjadi frasa endosentris dan frasa eksosentris. Frasa

endosentris dapat dibagi menjadi frasa endosentris koordinatif, frasa

endosentris atributif, frasa endosentris apositif, serta frasa endosentris Ø

Page 5: Ragam frasa verba

(Zero). Sedangkan frasa eksosentris dapat dibagi menjadi frasa eksosentris

konjungtif dan frasa eksosentris disjungtif.

Berdasarkan kategori kata yang menjadi UP atau penanda, frasa

diklasifikasikan menjadi frasa nomina, frasa verba, frasa adjektiva, frasa

numeralia, frasa preposisiona, dan frasa konjungsi.

2.2 Konsep Dasar Frasa Verba

Berdasarkan kategori kata yang menjadi UP atau penanda, frasa

diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, salah satunya adalah frasa

verba. Frasa verba adalah kelompok kata yang didalamnya mengandung

verba. Sumadi (2016:99) mendefinisikan frasa verba sebagai frasa yang

UP-nya berupa kata-kata yang termasuk kategori verba. Frasa verba

biasanya ditandai dengan adanya afiks, yaitu meN-, meN-i, meN-kan,

memper, memper-i, memper-kan, di-, di-i, di-kan, ber-, ber-i, ber-kan, ter-,

ke-an, dsb.

Sedangkan dalam sumber lain menggunakan istilah frase verbal

dan frase golongan V untuk menyebut frasa verba. Frase verbal atau frase

golongan V ialah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata

golongan V (Ramlan, 1986:158-159). Berbeda dengan pendapat ahli

diatas, Kridalaksana (dalam Sugono dan Indiyastini, 1994:15) menyatakan

frasa verba sebagai satuan gramatikal yang didampingi partikel tidak dan

tidak dapat didahului preposisi di, ke, dari, atau dengan patikel seperti

sangat lebih atau agak.

Sementara itu dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia,

Alwi, dkk. (2003:157) mendefinisikan frasa verbal sebagai satuan bahasa

yang terbentuk dari dua kata atau lebih dengan verba sebagai intinya tetapi

bentuk ini tidak merupakan klausa.

Berdasarkan pendapat ahli mengenai frasa verba di atas, dapat

disimpulkan bahwa dikatakan sebagai frasa verba apabila mempunyai ciri

(1) terdapat unsur yang berkategori verba, (2) tidak dapat didahului

preposisi di, ke, dari, atau dengan partikel lain sangat lebih atau agak, (3)

Page 6: Ragam frasa verba

ditandai adanya afiks meN-, meN-i, meN-kan, memper, memper-i,

memper-kan, di-, di-i, di-kan, ber-, ber-i, ber-kan, ter-, ke-an, dsb.

Frasa verba dapat diklasifikasikan menjadi beberpa bagian. Sugono

dan Indiyastini (1994) mengklasifikasikan verba berdasarkan bentuknya.

Berdasarkan bentuknya verba terdiri atas verba tanpa tanda bentuk, dan

verba dengan tanda bentuk.

a) Verba tanpa tanda bentuk dapat disebut juga dengan verba

dasar. Verba tanpa tanda bentuk adalah verba yang tanpa

diikuti dengan afiks.

Matahari terbit pada keesokan harinya.

Generasi muda bangkit dari tidurnya.

Kedua contoh diatas mengandung verba dasar berupa terbit

dan bangkit. Verba dasar terbit dan bangkit merupakan verba

dasar yang membutuhkan komplemen yang mengikutinya

berupa keterangan.

b) Verba dengan tanda bentuk adalah verba yang mengandung

afiks. Afiks adalah satuan gramatik terikat yang bukan

merupakan bentuk dasar, tidak mempunyai makna leksikal, dan

hanya mempunyai makna gramatikal, serta dapat dilekatkan

pada bentuk asal atau bentuk dasar untuk membentuk bentuk

dasar dan atau kata baru (Sumadi, 2015:74). Umunya berupa

afiks meN-, di-, ber-, ter, per, dan ke-an.

Verba dengan tanda bentuk diklasifikasikan menjadi beberpa

bagian seperti berikut.

1) Verba Berafiks meN-

Verba berafiks meN- dapat berupa mem-, men-,

memper-kan, memper-i, mem-kan, mem-i. Dapat dilihat

pada contoh berikut ini.

Bocah itu akan memperlihatkan barisan giginya

yang rusak.

Page 7: Ragam frasa verba

Aku bangkit memperbaiki baju yang telah

kukenakan.

2) Verba Berafiks di-

Verba berafiks di- dapat berupa di-i, di-kan, diper-,

diper-i, serta diper-kan. Seperti terdapat pada contoh

berikut ini.

Makanan Vietnam itu tidak bisa dinikmati di

lidah melainkan di langit-langit.

Seorang puteri Champa dipersunting sebagai

permaisuri.

3) Verba Berafiks ber-

Verba berafiks ber- dapat dilihat melalui contoh berikut

ini.

Tusuk konde itu berbentuk naga.

Kain itu bermotifkan bunga-bunga dan kupu-

kupu.

4) Verba Berafiks ter-

Verba berafiks ter- dapat dilihat melalui contoh berikut

ini.

Sakitnya hanya dapat terobati oleh obat-obat.

Sejumlah binatang liar terdesak ke tempat-

tempat yang tidak enak.

5) Verba Berafiks ke-an

Verba berafiks ke-an dapat dilihat melalui contoh

berikut ini.

Para pengungsi korban banjir kekurangan

makanan dan obat-obatan.

6) Verba Berafiks per-

Verba berafiks per- dikelompokkan menjadi dua yaitu

verba yang kata dasarnya diawali konsonan /r/ dan yang

kedua adalah verba yang tidak diawali konsonan /r/.

Contoh verba berafiks per- yang kata dasarnya diawali

Page 8: Ragam frasa verba

/r/ perajut, perendah, dsb. Sedangkan yang tidak

berawalan /r/ perketat, percepat, perpanjang, dsb.

Berbeda dengan pendapat di atas, Sumadi (2016:99) memilah verba

menjadi verba aktif dan verba keadaan. Verba aktif merupakan verba

yang ditandai dengan adanya kata ―sedang‖ di awal frasa, sedangkan

verba keadaan merupakan verba yang ditandai dengan adanya kata

―sudah‖. Berikut merupakan contoh dari verba aktif dan verba keadaan.

a) Semua mahasiswa sedang mendiskusikan masalah bangsa.

b) Kedua orang tuanya sudah meninggal.

Pada contoh kalimat a) menunjukkan contoh verba aktif karena

ditandai dengan adanya kata sedang, sedangkan pada kalimat b)

menunjukkan verba keadaan ditandai dengan adanya kata sudah.

2.3 Analisis Pengklasifikasian Afiks yang Tergolong Verba dalam Esai

“Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai Identitas Bangsa” Karya Sastri

sunarti

Berdasarkan pemaparan mengenai konsep dasar frasa, konsep

dasar frasa verba serta bentuk-bentuknya, maka akan diklasifikasikan

berbagai afiks yang tergolong verba pada tabel berikut.

Verba Tanpa Tanda Bentuk

Verba dengan Tanda Bentuk Verba Aktif

(sedang)

Verba Keadaan (sudah) Berafiks

meN- Berafiks di-

Berafiks ber-

Berafiks ter-

Berafiks ke-an

Berafiks per-

Digunakan √ √

Menerima √ √

Mencetuskan

√ √

Menelusuri √ √

Mengetahui

√ √

Dilakukan √ √

Menyebutkan

√ √

Mencakup √ √ √

Terbit √ √ √

Bekerja √ √ √

Page 9: Ragam frasa verba

Ditemukan √ √

dilaung-laungkan

√ √

Menggunakan

√ √

Mencuat √ √

Menggolongkan

√ √

Dimaklumi √ √

Dibicarakan

√ √ √

Mengusung

√ √

Menyebabkan

√ √

Didengungkan

√ √

Diharapkan √ √

Menyumbangkan

√ √

Dikukuhkan

√ √

Berkembang

√ √ √

Dipelajari √ √ √

Dianggap √ √

Menyangkut

√ √

Menorehkan

√ √

Dikenal √ √ √

Mengandung

√ √

Menawarkan

√ √

Terbaca √ √

Diberontaki

√ √

Berupaya √ √ √

Terinspirasi

√ √

Berkonsentrasi

√ √ √

Memperlihatkan

√ √ √

Memuat √ √ √

Dimuat √ √

Sejalan √ √

Page 10: Ragam frasa verba

Disebabkan

√ √

Diterapkan √ √ √

Menginginkan

√ √

Menggunakan

√ √

√ √

Berperan

Berdasarkan bentuknya verba dipilah menjadi verba tanpa tanda

bentuk dan verba dengan tanda bentuk. Pada tabel diatas verba dengan

tanda bentuk berupa afiks meN- dan afiks di- mendominasi pada

pengklasifikasian tersebut. Afiks meN- terdiri dari meN-, meN-kan, serta

meN-i, yang berupa menerima, mencetuskan, menelusuri, mengetahui,

menyebutkan, mencakup, menggunakan, mencuat, menggolongkan,

mengusung, menyebabkan, menyumbangkan, menyangkut, menorehkan,

mengandung, menawarkan, memperlihatkan, memuat, menginginkan dan

menggunakan. Sedangkan afiks di- terdiri dari di-, di-kan, serta di-i, yang

berupa digunakan, dilakukan, ditemukan, dilaungkan, dimaklumi,

dibicarakan, didengungkan, diharapkan, dikukuhkan, dipelajari, dianggap,

dikenal, diberontaki, dimuat, disebabkan, serta diterapkan.

Sementara itu selain afiks meN- dan di- terdapat pula afiks ter- dan

ber- yang tidak mendominasi pada tabel tersebut. Afiks ter- yang berupa

terbaca dan terinspirasi, sedangkan afiks ber- yang berupa bekerja,

berkembang, berupaya, berkonsentrasi, dan berperan.

Terdapat pula klasifikasi verba tanpa tanda bentuk atau verba

dasar. Verba tanpa tanda bentuk merupakan verba yang tanpa diikuti afiks.

Page 11: Ragam frasa verba

Pada tabel di atas yang tergolong verba tanpa tanda bentuk atau verba

dasar adalah terbit dan sejalan.

Selain klasifikasi verba berdasarkan bentuknya, terdapat pula

klasifikasi verba yang berupa verba aktif dan verba keadaan. Verba aktif

diikuti oleh ―sedang‖ , sedangkan verba keadaan diikuti oleh ―sudah‖ di

awal frasa. Pada tabel analisis diatas verba pasif lebih mendominasi dari

verba aktif, akan tetapi terdapat pula afiks yang tergolong kedalam dua

verba yakni, aktif dan keadaan. Afiks yang tergolong pada verba aktif

adalah menelusuri, dilaungkan, menggunakan, mencuat, menggolongkan,

mengusung, menyebabkan, mengandung, menawarkan, diberontaki,

dimuat, menginginkan, dan menggunakan. Sedangkan yang tergolong

verba keadaan adalah berperan, disebabkan, sejalan, terbaca, menorehkan,

menyangkut, dikukuhkan, menyumbangkan, diharapkan, didengungkan,

menyebabkan, dimaklumi, ditemukan, menyebutkan, dilakukan,

mengetahui, mencetuskan, menerima, serta digunakan. Sementara yang

tergolong kedalam dua verba yakni aktif dan keadaan adalah mencakup,

terbit, bekerja, dibicarakan, berkembang, dipelajari, dikenal, berupaya,

terinspirasi, berkonsentrasi, memperlihatkan, memuat, serta diterapkan.

3. Penutup

3.1 Kesimpulan

Pada dasarnya penggunaan frasa verba merujuk pada lengkap ada

tidaknya predikat pada suatu kalimat. Tidak semua afiks di- tergolong

kedalam verba keadaan, begitupula pada afiks meN- tidak semua merujuk

pada verba aktif. Setelah diklasifikasi ternyata ditemukan afiks di- yang

tergolong verba aktif begitupula dengan afiks meN- yang tergolong verba

keadaan, bahkan terdapat afiks di- atau meN- yang tergolong kedalam dua

verba tersebut.

Page 12: Ragam frasa verba

Daftar Rujukan

Alwi, Hasan; Soenjono Dharjowidjoyo; Hans Lapoliwa; Anton

Moeliono. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai

Pustaka.

Ramlan, M. 1986. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta:CV

Karyono.

Sugondo, Dendy dan Titik Indiyastini. 1994. Verba dan

Komplementasinya. Jakarta:Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa.

Sumadi. 2015. Morfologi Bahasa Indonesia. Malang:Universitas Negeri

Malang.

Sumadi. 2016. Sintaksis Bahasa Indonesia. Malang:A3 (Asih Asah

Asuh).

Sunarti, Sastri. 2014. Bahasa dan Sastra sebagai Identitas Bangsa.

(Online), (http://www.horisononline.or.id/esai/bahasa-dan-sastra-

indonesia-sebagai-identitas-bangsa) diakses pada 30 November

2016.

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Sintaksis. Bandung:Angkasa.

Page 13: Ragam frasa verba

Lampiran

Esai “Bahasa dan Sastra Indonesia Sebagai Identitas Bangsa” Karya Sastri

Sunarti

Kapan istilah Indonesia mulai digunakan?

Meski kita sudah menerima jadi kongres Pemuda yang mencetuskan

kesepakatan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di Hindia

Belanda pada masa lalu, ada baiknya juga kita menelusuri kembali kapan

sebetulnya istilah Indonesia ini digunakan.

Untuk mengetahui hal ini marilah kita mulai dari pengkajian surat kabar

dan dunia percetakan yang terbit di Hindia Belanda dan sudah dilakukan oleh

beberapa peneliti seperti Ahmad Adam (2003) dan disertasi saya sendiri (2011).

Ahmad Adam (2003:39),menyebutkan bahwa surat kabar berbahasa

Melayu pertama di pulau Jawa adalah adalah, Selompret Melajoe di Semarang

(1860) dan Bientang Timoor di Jawa Timur (1862).

Penyebaran surat kabar Bientang Timoor ini ternyata juga mencakup

wilayah Sumatera dan Makassar, sehingga di daerah lain seperti Minangkabau

juga terpicu menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu pertama dengan nama

yang mirip yakni Bintang Timoer dengan beraksara Latin.

Edisi perdananya ialah pada tanggal 7 Desember 1864 dan kemudian

terbit secara rutin (mingguan setiap Rabu) mulai 4 Januari 1865.

Oleh sebab tidak memiliki mesin cetak sendiri maka penerbit ini bekerja

sama dengan percetakan Chatelin Press milik orang Belanda (Ahmad Adam,

2003, 41-43).

Pada periode ini penggunaan bahasa Indonesia di kalangan penerbit

pribumi masih belum ditemukan.

Barulah pada awal abad keduapuluh ketika semangat kebangsaan mulai

bangkit di kalangan pemuda dan rakyat Indonesia istilah Indonesia mulai ramai

dilaung-laungkan penggunaannnya

Para pemuda pergerakan yang duduk di wakil rakyat seperti Haji Agus

Salim dan kemudian diikuti oleh Muhammad Yamin, sudah mulai menyebutkan

bahasa Indonesia dan bukan lagi bahasa Melayu dalam pidato-pidato mereka yang

dimuat dalam surat kabar maupun ketika dalam rapat-rapat di wakil rakyat

(volksraad) di Hindia Belanda tahun 1919.

Namun, jauh sebelumnya beberapa sarjana Eropa seperti Adolf Sebastian

telah menggunakan istilah Indonesia ini dalam satu tulisan yang dimuat di

majalah de Malaisch tahun 1850.

Page 14: Ragam frasa verba

Begitu pula ketika terbentuknya Serikat Islam pada tahun 1912, semangat

kebangsaan nasionalismepun sudah mencuat keras dalam kancah perjuangan

politik dan kebudayaan para pemuda pergerakan.

Di bidang kesusastraan, tepatnya pada tahun 1937—1942 di Medan,

Sumatera Utara, terbit roman-roman yang dijuluki ―Roman Medan‖ oleh

Roolvink (1955).

Balai Pustaka sebagai lembaga resmi kebudayaan di Hindia Belanda pada

masa itu menggolongkan roman tersebut sebagai karya picisan dan bahkan

bacaaan liar, (Erlis, 2005:30--31).

Hal ini dapat dimaklumi karena berdasarkan hasil penelitia Erlis dan

kawan-kawan (2005) ternyata dalam Roman Medan, isu-isu kemerdekaan,

pergerakan politik, dan anti pemerintah Hindia Belanda amat banyak dibicarakan

oleh tokoh-tokoh dalam karya tersebut.

Kebanyakan peran tokoh utama dalam Roman Medan adalah kaum

pergerakan yang sudah barang tentu mengusung semangat kemerdekaan.

Oleh sebab itu dapatlah dimaklumi jika kemudian pemerintah Belanda

melalui Balai Pustaka menggolongkan karya-karya seperti itu sebagai bacaan

bermutu rendah.

Sebaliknya, dalam karya-karya Roman Medan selain ditemukan isu-isu

kebangkitan bangsa, semangat Nasionalisme, juga ditemukan isu perkawinan

antarras.

Tempat bertumbuhnya Roman Medan ini ternyata juga tidak hanya

terbatas di kota Medan saja, melainkan juga terdapat di beberapa daerah lain

seperti di Solo, Padang, Bukitinggi, dan Yogyakarta.

Semangat nasionalisme dan isu kebangsaaan yang kerap dimuat dalam

roman-roman tersebut menyebabkan beberapa penulis dan penerbitnya pernah

dibreidel oleh Belanda.

Di dalam terbitan karya-karya Roman Medan seperti inilah sebetulnya

kita banyak menemukan penggunaan istilah Indonesia dilaung-laungkan pada

masa-masa awal kebangkitan kebangsaan dan semangat nasionalisme mulai

didengungkan secara terbuka dalam dunia penerbitan dan percetakan.

Di satu sisi, penelusuran terhadap karya-karya Roman Medan,

sebagaimana yang telah dilakukan oleh Erlis dan kawa-kawan di atas merupakan

salah satu usaha untuk melengkapi penulisan sejarah sastra Indonesia.

Yang pada akhirnya nanti penulisan sejarah sastra tersebut diharapkan

akan menyumbangkan pemikiran yang berharga untuk mengetahui sejarah dan

perkembangan pemikiran bangsa Indonesia melalui penelitian yang intensif

Page 15: Ragam frasa verba

terhadap Roman Medan sehingga akan dapat diketahui ideologi kebangsaan pada

masa itu.

Sebagaimana kita mengenal beberapa karya sastra lain seperti Student

Hidjo karya Mas Marco Martodikromo yang jauh lebih awal juga telah

menyinggung masalah nasionalisme ini.

Situasi Setelah Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, bahasa Indonesia sebagai

bahasa resmi negara dikukuhkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 kkhususnya

Bab XV, pasal 32 dan 36. Kemudian dikukuhkan dalam undang-undang

kebahasaan tahun 2010. Bahasa dan sastra Indonesia semakin mantap dikukuhkan

sebagai alat pemersatu dan pengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahasa

Indonesia sebagai identitas bangsa juga semakin kuat tercermin melalui

kemunculan karya sastra Indonesia modern yang berkembang dengan pesat

setelah kemerdekaan.

Bahasa yang dapat dipelajari melalui karya sastra sebagaiman telah

disebutkan di atas sarat dengan kandungan pemikiran dan ideologi. Kedua unsur

inilah yang kemudian dianggap sebagai jatidiri suatu bangsa. Dalam hubungan

antarbangsa, identitas menjadi penting karena menyangkut keberlanjutan

eksistensi sebuah bangsa lebih-lebih dalam konteks global. Kepentingan identitas

menjadi utama kalau kita ingin menunjukkan diri sebagai bangsa dalam gempuran

budaya global.

Karya Sastra dapat menjadi dinding identitas itu selama sang pengarang

memiliki keterpanggilan untuk berbuat sesuatu yang besar bagi bangsanya.

Sutardji Calzoum Bachri, dalam sebuah kesempatan di tahun 2006, menyatakan

bahwa dengan karyanya seorang pengarang menorehkan identitas dirinya. Ketika

seorang pengarang menorehkan identitasa dirinya, ia juga telah menorehkan

identitas bangsanya. Jadi, sastra memberikan ruang yang di dalamnya kebangsaan

dapat kita temukan. Sebagaimana alam Melayu (Malay World) di wilayah

serantau ini mengenalkan Hamzah Fansuri sebagai penyair dari zaman

kegemilangan tamaddun Melayu masa lampau atau William Shakespeare sebagai

sastrawan Inggris dari zaman Victoria yang dikenal di seluruh dunia.

Karya sastra seperti puisi misalnya mengandung lirik-lirik yang personal

dan indah, yang menyuarakan kesepian, kesendirian, dan keterasingan manusia.

Sebagaimana terbaca dalam sajak-sajak, Chairil Anwar, Abdul Hadi WM,

Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan lain-

lain. Pada sajak Sutardji Calzoum Bachri misalnya, mencuat nada nihilistik dan

renungan-renungan surealis. Pada sajak-sajak Danarto, Kuntowijoyo, dan Sutardji

Calzoum Bachri cenderung muncul unsur mistikal dan sufistik. Juga dalam

beberapa beberapa puisi, Taufiq Ismail, Emha Ainunnadjib, D. Zawawi Imron dan

lain-lain. Melalui karyanya mereka menawarkan sumber-sumber kearifan lokal –

yaitu tasawuf dan mistisisme – sebagai kerangka dasar keindahan puitikanya,

(Abdul Hadi WM, 2010: 13-14).

Page 16: Ragam frasa verba

Karya-karya sastra seperti prosa yang mengeksplorasi budaya lokal juga

akan terbaca pada novel Umar Kayyam, Chairul Harun, Y. B, Mangunwijaya, dan

lain-lain. Melalui karya sastra pula kita dapat menemukan konteks sosial dan

zaman yang terepresentasi dalam sajak-sajak milik WS. Rendra, Taufiq Ismail,

Emha Ainunnadjib, Hamid Jabbar, dan lain-lain. Demikian pula jika kita

membaca kembali tetralogi karya Pramoedya Anantatoer yang terkenal itu Bumi

Manusia, Anak Semua Bangsa, Jalan Lurus, dan Rumah Kaca, maka akan kita

temukan isu-isu yang dimuat di dalamnya tidak terbatas pada persoalan suatu

bangsa (Indonesia masa penjajahan) saja. Meskipun keempat novel itu banyak

berbicara tentang manusia Jawa tetapi menurut Sudibyo (2007:18) Jawa justru

menjadi unsur yang diberontaki oleh penulis. Terutama mentalitas Jawa yang

terbelakang, tidak kritis, hipokrit, pasrah, dan terlalu loyal pada atasan. Tokoh

protagonist Minke dalam novel tersebut berupaya keras mengingkari

kejawaaannya dan berupaya bertransformasi menjadi manusia kosmopolitan, anak

semua bangsa yang menyusu tidak hanya dari peradaban Eropa melainkan juga

peradaban unggul dari Asia. Keempat novel ini yang mengambil latar waktu pada

pergantian abad ke 19-20 sangat terinspirasi pada perubahan zaman terutama pada

kebangkitan Jepang yang sangat cepat pasca restorasi Meiji dan organisasi bawah

tanah Cina perantauan yang berusaha mengembalikan misi suci membangun

imperium Cina yang bermartabat. Dua novel Pramudya yang terakhir yakni Jalan

Lurus dan Rumah Kaca sangat berkosentrasi pada pembenihan dan persemaian

kebangkitan bangsa Hindia-Belanda (baca Indonesia) pada pergantian abad

tersebut.

Jauh sebelum kemunculan sastran modern di atas, bahasa dan sastra

Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu telah memperlihatkan fungsinya

sebagai jatidiri bangsa di Nusantara. Historiografi tradisional yang terdapat

dalam khasanah sastra tulis maupun tradisi lisan masyarakat di Nusantara memuat

kearifan tersendiri. Hasil karya nenek moyang kita tersebut dimuat dalam

klasifikasi tersendiri seperti, tambo, babad, riwayat, hikayat, riwayakna,

salasilah, serat sarasilah, pustakaraja, ruwayat dan lain sebagainya memuat

pemahaman asal-usul suatu komunitas, tempat, atau tokoh dari sebuah negeri di

Nusantara. Misalnya, Hikayat Raja-Raja Pasai yang menurut Winstedt dalam

(Sweeney, 1967:94) merupakan ―sejarah‖ dalam kesusastraan Melayu yang

paling tua. Selain Hikayat Raja-Raja Pasai (1960) juga terdapat Salasilah Kutai

(1981) dari Kalimantan, Tambo Minangkabau (1991), dan sejarah raja-raja di

Jawa dalam Babad Tanah Jawi, Babad Demak, Pustakaraja Purwa, Sajarah

Ageng,Nusa Jawi, Serat Purwakanda, Serat Sarasilah Raja-Raja Jawa

(Djamaris, 1991:13), I Laga Ligo (1991) dari Sulawesi Selatan, dan lain

sebagainya.

Keadaan Kebahasaan saat ini

Kekayaan sastra yang telah digambarkan di atas hendaknya juga sejalan

dengan fungsi kekayaan bahasa daerah di Indonesia yakni sejogyanya menjadi

penyumbang bagi pengembangan bahasa Indonesia ke depan. Untuk itu, perlu

sekali kita mengingat kembali kondisi kebahasaan kita saat ini yang menurut

Yayah Lumintaintang (1999:137) adalah bahasa yang bilingual/multilingual, baik

Page 17: Ragam frasa verba

secara individual maupun secara komunal. Hal ini disebabkan penutur bahasa di

Indonesia selain menggunakan bahasa Indonesia kita juga memiliki kekayaan

bahasa daerah yang saat ini menurut data Linguists List per 1 April 2008 terdapat

sebanyak 746 bahasa daerah termasuk bahasa Cina di wilayah Indonesia (Ganjar,

2010: 34).

Di sinilah politik bahasa yang tepat perlu diterapkan sehingga bahasa

daerah tidak menjadi terancam perannya dan bahasa ibu tetap dapat hidup dan

berkembang dengan baik ketika kebijakan bahasa Indonesia menjadi pilihan

politis yang juga harus dijalankan. Kita tentu tidak menginginkan situasi

kebahasaan yang rumit seperti di India terjadi juga di negera kita. India yang juga

memiliki ratusan bahasa daerah terpaksa menggunakan bahasa Inggris sebagai

bahasa Nasional kedua ketika bahasa Nasional resmi yakni Hindi tidak mampu

menjadi jembatan bagi alat komunikasi yang menyatukan bangsa India yang multi

etnik tersebut. Belum lagi persoalan penyerapan kata asing ke dalam bahasa

Indonesia seperti yang disampaikan oleh Remy Sylado (2005) bahwa 9 dari 10

kosakata Bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Hal ini tentu agak menyedihkan

jika mengingat betapa kayanya bahasa daerah yang dapat kita kita manfaatkan

untuk menambah kosakata bahasa Indonesia tersebut. Tetapi sayang hal ini belum

terlaksana dengan baik.

Di sinilah peran dan tantangan yang harus kita ambil sebagai peneliti

kebahasaan dan kesastraan Indonesia dan daerah baik yang berada di lembaga

bahasa seperti Badan Bahasa dan kantor Balai Bahasa maupun perguran tinggi

seperti Universitas Negeri Gorontalo untuk berperan mengembangkan bahasa dan

sastra Indonesia ke depannya.