rahmat allah bagi umat islam
TRANSCRIPT
1
Tafsir QS al-Baqarah/2: 286
Rahmat Allah Bagi Umat Islam
Nash (Teks) Ayat al-Quran
اكتسبتاامااوعليهااكسبتااماالها وسعهااإلاانفساااللاايكلفاالا
واانسينااإناتؤاخذناالااربنا نااأ
خطأ
ااعلينااتملااولااربنا أ اإص
ااحلتهااكما ينااع لنااولااربنا قبلناامناال بهاالااطاقةاالاامااتم
نتا وارحناالااواغفرااعنااواعفاناامولنااأ اافانص االقومااع
الكفرينا
“Allah tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kemaksiatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami apabila kami lupa atau kami tersalah. Wahai Rabb kami,
janganlah Engkau bebankan kepada kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Rabb kami, janganlah Engkau embankan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Berilah maaf bagi kami, ampuni dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS al-Baqarah/2: 286)
: Dia (Allah) senantiasa membebani. Allah selalu
akan memberikan tugas (kewajiban yang harus ditunaikan) kepada setiap orang.
: Kemampuannya. Batas kemampuan setiap orang
untuk (dapat) melaksanakannya. Maknanya:
“setiap orang hanya akan dibebani tugas oleh Allah selaras dengan kemampuan masing-masing.
: Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya. Kata لها dipahami sebagai ”dia
memeroleh pahala”; sedang kata كسبت ما ,
maknanya: “apa pun kebajikan yang telah dikerjakan olehnya”.
: Ia mendapat siksa (dari kemaksiatan) yang
dikerjakannya. Kata ‘عليها dipahami sebagai ”dia
mendapatkan dosa, yang berakibat pada azab
atau siksa dari Allah; sedang kata اكتسبت ما ,
2
maknanya: “apa pun kemaksiatan yang telah dikerjakan olehnya”
Al-Îdhâh (Penjelasan)
Agama Islam ini mudah, semua tuntunan ajarannya indah. Tak
pernah Allâh membiarkan umat Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam
berada dalam kesulitan dan kebingungan yang berkepanjangan. Manakala seorang mukmin menghadapi sebuah permasalahan, Islam selalu
memberikan kemudahan jalan. Bukan seperti perkataan sebagian orang yang
belum mengenal Islam lebih mendalam, “Islam begitu sulit dijalankan, berat,
menetapkan hukum yang menyisakan kebuntuan tanpa solusi (penyelesaian)”.
Syariat Islam begitu sempurna dan tak sedikit pun membenarkan kezhaliman. Islam menetapkan formula tepat dan kehebatan ajaran yang
mencakup setiap sendi kehidupan umat manusia. Kasih sayang Allâh yang begitu luas terbukti menghadirkan kesejukan kalbu dan meringankan setiap
hamba-Nya yang beriman dari berbagai beban berat. Hal ini dapat kita saksikan dengan seksama dalam banyak ayat-ayat suci al-Qur`ân dan sabda-
sabda mulia Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Dan di antara
ayat yang menunjukkan sifat kebijaksanaan, kasih sayang dan keagungan serta kemurahan Allâh bagi para hamba-Nya ialah akhir QS al-Baqarah di
atas.
Fadhîlah al-Āyah (Keutamaan Yang Terkandung Di Dalam Ayat Ini)
Ayat ini, dan ayat-ayat yang disebut sebelumnya -- menurut para
ulama – memiliki beberapa keutamaan. Antara lain:
1. Ayat ini merupakan bagian dari kekayaan di bawah `Arsy Allâh
2. Belum pernah seorang Nabi pun, sebelum Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam diberikan yang semisal dengan ayat-ayat tersebut.
3. Barangsiapa membaca dua ayat terakhir surat al-Baqarah (ayat 285-286) pada malam hari, maka dua ayat tersebut akan memberikan
kecukupan sebagai perlindungan baginya.
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh, kedua simpanan yang ada dalam rumah di bawah 'Arsy telah diberikan
3
kepadaku, dan keduanya tidak diberikan kepada seorang Nabi pun sebelumku; yaitu
dua ayat di akhir surat al-Baqarah.”1
Beliau juga bersabda:
“Barangsiapa membaca keduanya pada malam hari, maka itu cukup baginya
(menjadi pelindung).”2
Sabab an-Nuzûl (Sebab Turun Ayat)
Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu menuturkan,
1HR. Ahmad bin Hanbal dari Abu Dzar radhiyallâhu ‘anhu, Musnad Ahmad
ibn Hanbal, juz V, hal. 151, hadits no. 21381.. 2HR al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâriy, juz V, hal. 107, hadits no. 4008 dan
Muslim, Shahîh Muslim, juz II, hal. 246, hadits no. 11914 dari Abu Mas`ûd al-Badri al-Anshâri radhiyallâhu ‘anhu.
4
“Ketika turun ayat pada Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam: '(Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa
yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu) ' (QS al-Baqarah/2: 284) ' Abu
Hurairah berkata, 'Maka hal tersebut terasa berat atas para sahabat Rasulullah
shallallâhu 'alaihi wa sallam, lalu mereka mendatangi Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam dan mengucapkan salam di atas kendaraan seraya berkata, 'Wahai Rasulullah, kami diberi beban amalan yang mana kami tidak mampu melakukan
shalat, puasa, jihad, dan sedekah. Sungguh telah diturunkan ayat ini kepadamu, dan
kami tidak mampu melakukannya! Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: "Apakah kamu ingin mengucapkan sebagaimana ahli kitab sebelum kalian
mengucapkan, 'Kami mendengar dan kami mendurhakai', akan tetapi katakanlah, 'Kami mendengar dan kami menaati, Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada
Engkaulah tempat kembali'. Mereka menjawab, 'Kami mendengar dan kami menaatinya, ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.' Ketika kaum tersebut membacanya, maka lisan-lisan mereka tunduk
dengannya, lalu Allah menurunkan sesudahnya: '(Rasul telah beriman kepada al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), 'Kami tidak membeda-bedakan antara
seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya', dan mereka mengatakan, 'Kami dengar dan kami taat'. (Mereka berdoa), 'Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali'. (QS al-Baqarah/2: 285). Ketika mereka
5
melakukan hal tersebut, maka Allah menghapusnya, lalu menurunkan: '(Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan)
yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah) ' Allah menjawab: "Ya." '(Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami) ' Allah menjawab: "Ya." '(Wahai
Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya) ' Allah menjawab: "Ya." '(Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir'. (QS al-Baqarah/2: 286). Allah menjawab: "Ya”.3
Kandungan Makna Ayat
Tentang kandungan makna ayat ini, Sahabat Abdullah bin Abbâs
radhiyallâhu anhumâ bertutur,4 “maksudnya Allâh tidak akan membebani
kaum mukminin (di luar kemampuan mereka), sebagaimana dalam ayat-ayat
lainnya yang serupa dengan kandungan makna ayat di atas5. Ini merupakan
petunjuk kemurahan, kasih sayang dan ihsân (kebaikan) Allâh terhadap para
makhluk-Nya. Ayat ini menghapus apa yang sempat dirasa membebani oleh para
Sahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam ayat sebelumnya. Meskipun
Allâh meminta pertanggungjawaban dan memerhitungkan seluruh amalan,
akan tetapi Allâh tidak menyiksa hamba-Nya melainkan dengan apa yang dapat ia hindari. Adapun yang tidak kuasa dihindari oleh diri seorang hamba berupa bisikan-bisikan jiwa dan rayuan nafsu, maka seseorang tidak dibebani
dengannya (tidak dimintai pertanggungjawaban tentang itu). Dan kebencian terhadap bisikan nafsu yang buruk itu sudah merupakan bagian dari
keimanan6.
Allâh, al-Khâliq (Dzat Yang Maha Pencipta) sangat mengetahui
batas kemampuan manusia (kita semua) untuk menjalankan perintah
maupun menjauh dari larangan. Allâh berfirman:
“Apakah Allâh yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan
rahasiakan), dan Dia Maha lembut lagi Maha Mengetahui?” (QS al-Mulk/67: 14)
3HR Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, Shahîh Muslim, juz I, hal.
80, hadits no. 344. 4Ath-Thabari, Jâmi` al-Bayân fî Ta'wîl al-Qur`ân, juz III, hal. 154. 5QS al-Hajj/22: 78; QS al-Baqarah/2: 185, at-Taghâbun/64: 16. 6Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhim, juz 1, hal. 741.
6
Namun ketahuilah, sesungguhnya sebagian orang telah gegabah
bahkan salah kaprah dalam memahami ayat ini. Mereka menjadikannya sebagai hujjah (dalil) atau celah kesempatan untuk menjalankan syari’at
Islam dengan sembarangan. Ada saja di antara mereka yang memahami bahwa apabila seseorang tidak mampu shalat karena sakit, maka dirinya
boleh meninggalkan shalat. Atau mengatakan bila belum bisa (mau) mengenakan busana muslimah, maka tidak mengapa bila kaum Muslimah ‘pamer’ (memerlihatkan) aurat, karena Allâh tidak membebani satu orang di
luar kemampuannya, ungkapan lainnya (benarkah?). Pemahaman yang keliru ini merasuki sebagian orang yang berilmu yang sebenarnya ‘dangkal
ilmu’, pemahaman yang justeru akan menjerumuskan diri mereka sendiri ke
dalam lubang kenistaan dan lumpur kebinasaan. Na`ûdzubillâh min dzâlik!
Al-‘Ibrah (Beberapa Pelajaran Penting dan Berharga Yang Dapat Dipetik)7
Dari penjelasan di atas, kita bisa memetik beberapa pelajaran. Antara lain:
1. Kasih sayang Allâh terhadap para hamba-Nya. Sesungguhnya
bilamana Allâh hendak membebani mereka dengan yang mereka tidak mampu sekalipun, niscaya Allâh akan melakukannya, namun Allâh tidak membebani mereka melainkan sesuai dengan
kemampuan mereka. Mungkin seseorang akan berkata, “Memang haruslah demikian! Sebab bagaimana mungkin Allâh akan
membebani mereka dengan sesuatu di luar kesanggupan mereka padahal mereka pasti tidak menyanggupinya? Apalah untungnya
bila Allâh memerintahkan mereka dengan sesuatu yang mereka tidak sanggupi mengerjakannya!” Ungkapan demikian ini harus diluruskan; bahwa di antara pelajaran yang dapat dipetik bila Allâh
tetap membebani mereka dengan urusan yang tidak kuasa mereka kerjakan adalah jika mereka tidak menjalankannya, maka Allâh
akan menghukum mereka. Hal ini merupakan kaedah agung di antara sejumlah prinsip dasar syariat Islam, dan yang semisal
dengan kaedah ini banyak di dalam al-Qur`an dan as-Sunnah. 2. Dalam ayat ini terdapat penetapan sebuah kaedah luhur yang
masyhur di kalangan ulama, yaitu “tidak terdapat kewajiban dalam
kondisi tidak mampu, dan tidak berlaku hukum haram pada saat darurat”. Akan tetapi, bilamana kewajiban yang tidak mampu
diwujudkan itu memiliki pengganti (yang juga disyariatkan), maka menjadi wajib menjalankan pengganti tersebut. Dan bilamana tidak
terdapat pengganti, maka hukum wajib itu gugur. Demikian halnya bila pengganti itu juga tidak dapat dilaksanakan, maka itu pun menjadi gugur. Contoh, apabila seseorang tidak sanggup bersuci
7Lihat: Tafsir Syaikh al-Utsaimin, juz III, hal. 451-461.
7
dengan air, maka gugurlah kewajiban bersuci dengan air. Namun, kewajiban tersebut berpindah kepada tayamum. Dan apabila dia
pun tidak mampu untuk bertayamum pula, maka gugurlah hukum tayammum tersebut. Seperti bilamana seseorang dalam kondisi
terkurung dan terbelenggu ikatan; dirinya tidak mampu berwudhu tidak pula bertayamum, maka dia (diperbolehkan untuk) shalat
tanpa berwudhu maupun bertayamum. Contoh yang lain, seseorang yang keliru membunuh jiwa, maka sang pembunuh berkewajiban untuk memerdekakan seorang budak. Bila dia tidak
menemukannya, maka dia wajib melaksanakan puasa dua bulan berturut-turut. Bila dia tidak mampu, maka gugurlah kewajiban
membayar kafarat.
Adapun contoh dari kaedah “tidak berlaku hukum haram pada saat darurat” adalah seperti seseorang yang terdesak secara darurat untuk makan bangkai pada saat dia tidak mendapatkan sesuatu pun
untuk menghilangkan rasa laparnya selain bangkai tersebut, maka boleh bagi dirinya untuk makan bangkai itu. Namun, apakah boleh
baginya untuk makan sehingga kenyang? Atau dia makan hanya sekedar untuk memertahankan hayatnya? Jawabnya, apabila dia
menduga akan mendapatkan sesuatu yang halal dalam waktu dekat, maka wajib atas dirinya untuk makan (bangkai tersebut)
sekedar untuk memertahankan hayatnya saja. Namun, apabila dia tidak menduga akan mendapatkan sesuatu yang halal dalam waktu dekat, maka diperbolehkan baginya untuk makan bangkai tadi
sehingga kenyang. Bahkan dibenarkan baginya untuk menjadikan bangkai tersebut sebagai persediaan bila dikhawatirkan dirinya
tidak mendapatkan sesuatu yang halal dalam waktu dekat. Jadi pengertian darurat (di sini) ialah pada saat dia tidak mungkin
meninggalkan yang haram tersebut, dan kondisi daruratnya dapat teratasi dengan hal tersebut. Bila ternyata tidak, maka tidak dibenarkan. Seperti bilamana seseorang menyangka bahwa dia
berada dalam kondisi darurat untuk berobat dengan yang haram sehingga dia hendak memakannya, maka yang demikian ini tetap
tidak diperbolehkan dengan beberapa alasan:
a. Sesungguhnya Allâh mengharamkan yang demikian, dan tidaklah mungkin sesuatu yang diharamkan oleh Allâh menjadi obat bagi para hamba-Nya atau bermanfaat bagi mereka.
b. Sesungguhnya belum masuk kondisi darurat baginya untuk mengonsumsi obat haram ini, sebab boleh jadi kesembuhan
(dari Allah) terdapat pada sesuatu yang lain, atau bahkan dia dapat sembuh tanpa obat sekalipun.
c. Kita tidak dapat mengetahui (keberhasilan) kesembuhan pada obat tersebut. Berapa banyak kita ketahui obat halal yang dikonsumsi oleh seorang yang sakit, namun tidak bermanfaat
8
sama sekali. Karenanya, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam
bersabda tentang jintan hitam,
“Sesungguhnya ia (jintan hitam) merupakan penyembuh dari semua
sakit kecuali kematian”8. Berarti, sekali pun jintan hitam adalah
obat penyembuh, namun tidak dapat menghalangi kematian.
3. Sesungguhnya seseorang tidaklah memikul dosa orang lain. Allâh
berfirman dalam ayat utama di atas ”dan ia mendapat siksa (dari kemaksiatan) yang dikerjakannya”.
Apabila seseorang bertanya, “Lantas bagaimana halnya dengan
sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang
memelopori suatu kejelekan dalam Islam, maka dia akan mendapatkan dosanya beserta dosa setiap orang yang mengikuti
jejaknya tanpa dikurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”?! . Maka jawabnya ialah bahwa hal ini tidak berkaitan, sebab perbuatan itu
telah dilakukannya terlebih dahulu, barulah kemudian diikuti oleh orang lain, sehingga perbuatan mereka merupakan dampak dari
perbuatannya, dialah penyebabnya dan dialah yang memberikan contoh perbuatan tersebut, maka dia memeroleh akibat perbuatan buruknya.
4. Kemudahan dalam agama Islam. Allâh berfirman, “Allâh tidak
membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya”. Dapat terpahami dari hal ini bahwa manusia berbeda-beda dalam
kewajiban yang mereka jalankan. Seorang yang mampu melaksanakan shalat dengan berdiri, maka wajib atas dirinya untuk berdiri. Adapun yang tidak mampu berdiri, maka melaksanakannya
dengan duduk. Dan yang tidak memu duduk, maka melaksanakannya dengan berbaring. Demikian halnya seorang
yang mampu melaksanakan ibadah haji dengan harta dan dirinya sendiri, maka dia wajib melaksanakannya sendiri. Adapun yang
tidak mampu demikian karena kondisi fisiknya lemah secara
permanen, akan tetapi dia masih mampu berhaji dengan hartanya, maka wajib atasnya untuk mewakilkan kepada orang lain berhaji
untuknya. Sedangkan orang yang tidak sanggup pergi haji baik dengan harta maupun fisiknya, maka tidak wajib atasnya untuk
melaksanakan haji. Karena setiap orang memiliki kemampuan yang
8HR al-Bukhâri dari Khâlid bin Sa`ad radhiyallâhu ‘anhu, Shahîh al-Bukhâriy,
juz VII, hal. 160, hadits no: 5687 dan dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, hadits no. 5688 dari Khâlid bin Sa`ad radhiyallâhu ‘anhu dan Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, dan Muslim, Shahîh Muslim, juz VII, hal. 25, hadits no: 5896 dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.
9
terbatas, dalam segala hal; dalam hal ilmu, pemahaman, kekuatan hafalan, semua sesuai dengan kemampuannya.
5. Melalui ayat ini, dipahami pula sesungguhnya perbuatan manusia dilakukan berdasarkan keinginannya: “Allâh tidak membebani
suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya”. Ayat ini sekaligus menjadi koreksi total dan bantahan terhadap kaum
Jabariyyah yang beranggapan bahwa sesungguhnya seorang
manusia tidak memiliki kehendak (keinginan sendiri) dalam apapun yang dilakukannya. Adapun rician prinsip mereka dan
bantahan terhadapnya dapat ditelaah di dalam kitab-kitab aqidah. 6. Setiap hamba akan mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang
telah diupayakannya, tanpa dikurangi sedikit pun, berdasarkan firman Allâh,
“Dan barangsiapa beramal shalih dan dia adalah seorang mukmin, maka
dia tidak (perlu) takut akan dizhalimi atau dikurangi haknya” (QS
Thâhâ/20: 112). Setiap amal shalih adalah keberuntungan dan
setiap amal keburukan adalah kerugian. 7. Sekali lagi, Allâh mencurahkan cinta kasih-Nya melalui bimbingan
doa kepada para hamba-Nya أخطأنا أو نسينا إن تؤاخذنا ال ربنا “Duhai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami apabila kami lupa atau kami
tersalah”. Pada saat kaum Mukminin memanjatkan doa tersebut, Allâh mengabulkannya seraya berfirman, “Ya, Aku telah
melakukannya”. Lebih lanjut, Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa
sallam menegaskan dalam sebuah hadits,
“Sesungguhnya Allâh telah menggugurkan beban (perhitungan hisab) dari
umatku dalam hal kekeliruan, lupa serta desakan paksaan.”9
Sesungguhnya lupa dan khilaf adalah kewajaran manusiawi setiap
manusia. Hikmah di balik lupa dan khilaf yang Allâh ciptakan pada manusia adalah agar manusia menyadari kelemahan dan kekurangan yang ada pada dirinya, dan agar semakin tampak nyata
karunia Allâh padanya sehingga dia akan selalu merasa membutuhkan kepada Allâh. Pada akhirnya, dia pun memohon
perlindungan dan keselamatan dari Allâh dalam hal-hal di luar
9HR Ibnu Majah dari Abu Dzar al-Ghifari radhiyallâhu ‘anhu, Sunan ibn
Mâjah, juz III, hal. 99, hadits no. 2043.
10
batas kemampuannya, kemudian dia memohon ampun dari segala dosa dan kekurangan.
8. Selayaknya setiap hamba untuk bertawassul dalam berdoa dengan
sifat-sifat Allâh yang sesuai, semisal dengan rubûbiyyah Allâh.
Mayoritas doa al-Qur`an menyebutkan ربنا “Wahai Rabb kami” atau رب “Wahai Rabbku”.
9. Lupa dan kebodohan merupakan penghalang ancaman adzab. Namun hal ini tidak bermakna tergugurkannya perintah. Sehingga barangsiapa meninggalkan suatu kewajiban karena lupa atau tidak
mengetahuinya, maka ia wajib mengqadha’.
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang terlupa melakukan sebuah shalat, maka hendaklah ia shalat pada saat mengingatnya, sebab Allah ta'ala berfirman "Dirikanlah
shalat untuk mengingat-Ku.”10 .
Demikian pula ketika seorang pria yang tergesa-gesa dalam
melaksanakan shalat, Abdullah bin Umar radhiyyallâhu ‘anhumâ
pun berkata kepadanya,
“Sesungguhnya engkau belum shalat. (Oleh karena itu) kerjakan lagi
shalatmu,!”11
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan dispensasi
karena ketidak tahuannya sekalipun orang tersebut tidak dapat
melakukan yang lebih baik dari shalatnya itu. Inilah yang berlaku dalam perkara-perkara berisi perintah. Adapun dalam perkara larangan; barangsiapa melanggar sebuah larangan karena tidak
tahu atau lupa, maka dia tidak berdosa dan tidak pula berkewajiban menunaikan kafarat. Sebagaimana apabila seorang terlupa makan
pada saat dia berpuasa, maka dia tidak berdosa.
Rasûlullâh shallallîhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
10HR Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, Shahîh Muslim, juz II,
hal. 138, hadits no. 1592. 11Al-Baihaiqi, Syu’ab al-Îmân, juz II, hal. 386, hadits no. 4168 dan Ath-
Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabîr, juz XVIII, hal. 266, hadits 20741, keduanya dari Harmalah Maula Usamah bin Zaid.
11
“Barangsiapa makan atau minum karena terlupa pada saat dia berpuasa, maka hendaklah dia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya
Allah ‘Azza wa Jalla telah memberikan (rezeki berupa) makan dan minum
kepadanya.”12
Akan tetapi, bilamana dia melakukan suatu ‘keharaman’ (perbuatan haram) setelah dia mengetahui hukumnya yang haram,
meskipun belum mengetahui kafarat dan akibatnya, maka dia tetap berdosa. Sementara itu ketika seseorang berhubungan suami-isteri
pada siang hari di bulan Ramadhan, maka dia pun harus membayar kafaratnya. Tetapi, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam tetap berkenan untuk memberikan dispensasi, kalau dirinya
tidak mampu untuk membayar kafarat yang seharunya dibayar olehnya karena pelanggaran yang telah dilakukan olehnya.
Sebagaimana sabdanya.13
12HR Ahmad bin Hanbal dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, Musnad
Ahmad ibn Hanbal, juz II, hal. 489, hadits no. 10353. 13HR al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâriy, juz III, hal. 41, hadits no. 1936 dan
Muslim, Shahîh Muslim, juz III, hal. 138, hadits no. 2651, dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.
12
“Seorang laki-laki datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia lalu berkata, "Aku telah celaka, " beliau bertanya: "Apa yang membuatmu
celaka?" ia menjawab, "Aku telah menggauli isteriku di bulan Ramadhan,
"Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam lalu bersabda: "Merdekakanlah seorang budak, "ia berkata, "Aku tidak memunyai budak, " beliau
bersabda: "Berpuasalah dua bulan berturut-turut. "Ia berkata, "Aku tidak sanggup, " beliau bersabda: "Berilah makan enam puluh orang miskin." Ia berkata, "Aku tidak sanggup," beliau bersabda: "Duduklah." Maka ia pun duduk, di saat ia sedang duduk dihadapkanlah kepadanya keranjang yang disebut Al-‘Araq (sebanding antara lima belas hingga dua puluh sha').
Beliau lalu bersabda: "Pergi dan bersedekahlah ini," ia menjawab, "Wahai Rasulullah, demi Dzat yang mengutusmu dengan al-haq, antara dua lembah ini tidak ada keluarga yang lebih membutuhkan ini kecuali kami. "Beliau bersabda: "Pergi dan berilah makan keluargamu.”
10. Ketundukan hati dan kesungguhan seorang hamba ketika bersimpuh memohon kepada Allâh saat berdoa kepada-Nya merupakan bagian dari sebab terkabulnya doa dan permohonan
tersebut.
Semoga Allâh senantiasa meringankan langkah kita dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat, mengampuni segala dosa dan
mengasihi kita dengan taufiq dan hidayah-Nya. Āmîn Yâ Mujîbas Sâilîn.
Wallâhu A`lamu bish-Shawâb.
Yogyakarta, 25 Mei 2015