refarat mery sindrom nefrotik
DESCRIPTION
xsdsdTRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan
berkah dan rahmatnya sehingga saya mampu menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik
bagian ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia di RSU
UKI,Jakarta.
Saya ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr.dr Sahala Panggabean SpPD-KGH, selaku pembimbing dalam penyusunan referat
ini.
2. dr.Eko yang ikut membantu dalam menyelesaikan referat ini sehingga dapat selesai
dan dikumpulkan tepat pada waktunya.
Saya menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik
yang membangun sangat diperlukan untuk perbaikannya dan saya berharap semoga referat ini
dapat bermanfaat bagi pembaca.
Jakarta, April 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata pengantar……………………………………………………………………..
Daftar isi……………………………………………………………………………
Bab I. Pendahuluan……………………………………………………………...
Bab. II Anatomi dan Fisilogi Ginjal …………………………………………….
Bab III. Sindroma nefrotik……………………………………………………….
Definisi dan insidens…………………………………………………….
Etiologi ………….………………………………………………………
Patogenesis ………………………………………………………………
Manifestasi klinis ………………………………………………………..
Diagnosis…………………………………………………………..........
Klasifikasi histopatologis………………………………………………...
Klasifikasi SN kongenital………………………………………………
Komplikasi……………………………………………………………..
Diagnosis banding ………………………………………………………
Penatalaksanaan………………………………………………………….
Prognosis…………………………………………………………………
Bab IV. Kesimpulan……………………………………………………………….
Daftar pustaka………………………………………………………………………
BAB IPENDAHULUAN
Sindrom Nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinis dengan gejala :
1. Proteinuria Masif (> 40 mg/m² LBP/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu > 2 mg/dipstik >2+)
2. Hipoalbuminemia <2,5 g/dl
3. Edema Anasarka
4. Hiperlipidemia
Etiologi SN dibagi 3 yaitu : kongenital,primer/idiopatik,dan sekunder mengikuti penyakit lain seperti Lupus Eritematosus sistemik (SLE),Purpura Henoch Scholen,dan lain-lain.
Pada anak-anak kira-kira 90% disebabkan oleh panyakit Glomerulus primer dan 10% adalah sekunder disebabkan oleh penyakit Sistemik.
Sampai pertengahan abad ke 20 Morbiditas SN pada anak masih tinggi, yaitu melebihi 50%
pasien-pasien ini dirawat untuk jangka waktu lama karena Edema Anasarka dengan disertai
Uiserasi dan Interaksi kulit.
Dengan ditemukannya obat Sulfonamid dan Penisillin tahun 1940 dan dipakainya hormon
Adreno Kortikotropik (ACTH) dan Kortikosteroid pada tahun 1950, mortilitas penyakit ini
diperkirakan mencapai 67% yang sering disebabkan oleh komplikasi Peritonitis dan Sepsis.
Kematian menurun kembali mencapai 35% setelah obat penisilin mulai digunakan tahun
1946-1950.
Pada awal 1950-an kematian menurun mencapai 20% setelah pemakaian ACTH atau
Kortison. Diantara pasien SN yang selamat dari infeksi sebelum Era Sulfonamid umumnya
kematian disebabkan oleh gagal ginjal kronik.
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL
II. 1. Anatomi Ginjal
Ginjal terletak di dalam ruang retroperitoneum sedikit di atas ketinggian
umbilikus. Ginjal mempunyai lapisan luar, korteks yang berisi glomeruli, tubulus
kontortus proksimalis dan distalis dan duktus koletivus, serta di lapisan dalam, medula
yang mengandung bagian-bagian tubulus yang lurus, lengkung (ansa) Henle, vasa
rekita dan duktus koligens terminal.
Pasokan darah pada setiap ginjal biasanya terdiri dari arteri renalis utama
yang keluar dari aorta. Arteri renalis utama membagi menjadi medula ke batas antara
korteks dan medula. Pada daerah ini, arteri interlobaris bercabang membentuk arteri
arkuata, dan membentuk arteriole aferen glomerulus. Sel-sel otot yang terspesialisasi
dalam dinding arteriole aferen, bersama dengan sel lacis dan bagian distal tubulus
(makula densa) yang berdekatan dengan glomerulus, membentuk aparatus
jukstaglomeruler yang mengendalikan sekresi renin.
Setiap ginjal mengandung sekitar satu juta nefron (glomerulus dan tubulus
terkait). Pada manusia, pembentukan nefron telah sempurna pada saat lahir, tetapi
maturasi fungsional belum terjadi sampai di kemudian hari. Karena tidak ada nefron
baru yang dapat dibentuk sesudah lahir, hilangnya nefron secara progresif dapat
menyebabkan insufisiensi ginjal.
Membrana basalis glomerulus (BMG) membentuk lapisan berkelanjutan
antara endotel dan sel mesangium pada satu sisi dengan sel epitel pada sisi yang lain.
Membran ini mempunyai 3 lapisan. (1) lamina densa yang sentralnya padat-elektron,
(2) lamina rara interna, yagn terletak di antara lamina densa dan sel-sel endotelian ;
dan (3) lamina rara eksterna, yang terletak di antara lamina densa dan sel-sel epitel.
Kapsula Bowman, yang mengelilingi glomerulus, terdiri dari (1) membrana basalis,
yang merupakan kelanjutan dari membrana basalis kapiler glomerulus dan tubulus
proksimalis, dan (2) sel-sel epitel parietalis, yang merupakan kelanjutan sel-sel epitel
viscera.
II.2. FISIOLOGI DASAR GINJAL
Fungsi Utama Ginjal
Fungsi Ekrkresi
Mempertahankan osmolaritas plasma sekitar 258 m osmol dengan mengubah ekskresi
air.
Mempertahankan PH plasma skitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan
membentuk kembali HCO3.
Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein, terutama urea,
asam urat dan kreatinin.
Fungsi Non-eksresi
Menghasilkan renin-penting untuk pengaturan tekanan darah.
Menghasilkan eritropoietin-faktor penting dalam stimulasi produk sel darah merah
oleh sumsum tulang.
Metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
Degenerasi insulin
Menghasilkan prostaglandin
BAB III
SINDROM NEFROTIK
III.1. DEFINISI
Sindrom nefrotik bukan suatu penyakit tersendiri, melainkan merupakan
komplek gejala klinik yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, dengan ciri-ciri
sebagai berikut :
- Proteinuria masif, termasuk albuminuria ; (>40 mg/m2/jam).
- Edema umum (anasarka), terutama jelas pada muka dan periorbital.
- Hipoalbuminemia ( < 2,5 g/dl)
- Dapat disertai dengan Hiperlipidemi, khususnya hiperkolesterolemi.
Kadang-kadang tidak semua gejala tersebut di atas ditemukan. Ada yang
berpendapat bahwa proteinuria, terutama albuminuria yang masif serta hipoalbuminemi
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis sindrom nefrotik. Bisa juga disertai dengan
hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal.
III.2. INSIDENS
Terbanyak pada anak berumur antara 1½ - 5 tahun dengan perbandingan pria : wanita = 2:1.
Kelompok responsif steroid sebagai besar terdiri dari anak-anak dengan sindrom nefrotik
kelainan minimal (SNKM). Kelompok tidak responsif steroid atau resisten steroid terdiri
dari anak-anak dengan kelainan glomerulus lain.
III.3. ETIOLOGI
Sebab yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit
autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi.
KLASIFIKASI
I. Berdasarkan etiologi :
1. Sindrom nefrotik bawaan.
Diturunkan sebagai resesif automosal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada neonatus.
Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik sekunder.
Disebut sindrom nefrotik sekunder apabila penyakit dasarnya adalah penyakit sistemik karena obat-obatan, alergen, toxin, dan lain-lain. Disebabkan oleh :
Malaria kuartana atau parasit lain.
Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura
anafilaktoid.
Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosis vena
renalis.
Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,
sengatan lebah racun otak, air raksa.
Amiloidosis, penyakit sickle sel, hiperprolinemia, nefritis
membranoproliferatif hipokomplementemik.
3. Sindrom nefrotik idiopatik /primer.
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik.penyakit ini ditemukan pada 90% kasus anak. Berdasarkan gejala klinis SN primer :
i. Kongenital
Bentuk kongenital ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya. Pada umumnya kasus-kasus ini adalah SN tipe Finlandia, suatu penyakit yang diturunkan secara resesif autosom.
ii. Responsif steroid
Kelompok responsive steroid sebagian besar terdiri atas anak-anak dengan sindrom nefrotik kelainan minimal.
iii. Resisten streroid
Kelompok resisten steroid terdiri tasa anak-anak dengan kelainan glomerulus lain
II. Berdasarkan kelainan patologis :
SN dilakukan biopsi ginjal maka dibagi menjadi :
1. Penyakit perubahan minimal ( nefrosis lemak)
Ditandai secara khas oleh glomeruli yang tampaknya normal dibawah mikroskop cahaya., tetapi tampak adanya kehilangan difus epitel tajuk kaki apabila diteropong dengan mikroskop elektron. Golongan ini lebih banyak pada anak daripada dewasa.
2. Glomerulonefritis membranosa ( Nefropati membranosa )
Penyakit progresif lambat pada dewasa muda dan usia pertengahan ini ditandai secara morfologi khas dengan kelainan berbatas jelas pada membrana basalis
glomerulus. Glomerulonefritis membranosa adalah sutu bentuk penyakit kompleks imun.
3. Glomerulonefritis proliferatif membranosa
Bentuk glomerulonefritis ini ditandai dengan penebalan membran dan proliferasi
selular. Proliferasi sel mesangial dan penempaan fibrin yang menyerupai
membrana basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta 1A rendah.
4. Glomerulo segmental fokal
Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Sering disertai dengan atrofi
tubulus. Prognosis buruk.
III.4. PATOFISIOLOGI
Proteinuria
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada kelainan
dasar glomerulus. Pada SN Kelainan Minimal protein yang keluar hampir seluruhnya
terdiri atas albumin dan disebut sebagai proteinuria selektif.
Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal bergantung pada
tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat penurunan klirens protein netral
dengan semua berat molekul, namun terdapat peningkatan klirens protein bermuatan
negatif seperti albumin. Keadaan ini menunjukkan bahwa di samping hilangnya sawar
muatan negatif juga terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau kelainan pada
kedua-duanya.
Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu yaitu polianion yang terdapat pada
tonjolan kaki sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini yang
penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolan-tonjolan kaki sel epitel.
Pada SNKM, kandungan sialoprotein kembali normal sebagai respons pengobatan steroid
yang menyebabkan hilangnya proteinuria.
Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan
pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal. Pada anak
dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju sekresi protein urin dan derajat
hipoalbuminemia. Laju sintesis albumin pada SN dalam keadaan seimbang ternyata tidak
menurun, bahkan meningkat atau normal. Suatu penelitian pada anak ditemukan kenaikan
laju sintesis dua kali pada SN ( pada anak dengan hipoalbuminemia dengan penyebab
non hepatik lainnya) menunjukkan bahwa kapasitas meningkat sintesis hati terhadap
albumin tidak cukup untuk mengkompensasi laju kehilangan albumin yagn abnormal.
Meningkatnya katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme
ekstrarenal dapat menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yang normal albumin
plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh meningkatnya eksresi albumin dalam
urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama disebabkan karena
meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang melampaui daya sintesis hati.
Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah menurunnya - 1 globulin, (normal
atau rendah), dan - 2-globulin, B globulin dan fibrinogen meningkat secara relatif atau
absolut. Peningkatan - 2 globulin disebabkan oleh retensi selektif protein dengan berat
molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang normal. Pada beberapa
pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG menurun.
Kelainan metabolisme lipid
Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang
meningkat atau karena degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya
abnormal. Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya
sintesis albumin dan sekunder terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan.
Namun meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang
normal. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya -glikoprotein
asam sebagai perangsang lipase.
Selektivitas protein
Jenis protein yang keluar pada sindroma nefrotik bervariasi bergantung pada kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM (Sindroma Nefrotik Kelainan Minimal ) protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albumin dan disebut sebagai proteinuria selektif. Pada SN dengan kelainan glomerulus yang lain, keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein dengan berat molekul besar, dan jenis proteinuria ini disebut proteinuria non selektif. Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara sederhana dengan membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari 0,2 menunjukkan adanya proteinuria selektif. Pasien SN dengan rasio rendah umumnya berkaitan dengan KM (Kelainan Minimal) dan responsive terhadap steroid. Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak sulit untuk membedakan jenis KM (Kelainan Minimal) dan BKM (Bukan Kelainan Minimal) dengan pemeriksaan ini sehingga pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.
Perubahan pada filter kapiler glomerulus
Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal bergantung pada tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat penurunan klirens protein netral dengan semua berat molekul, namun terdapat peningkatan kliren protein bermuatan negatif seperti albumin. Keadaan ini menunjukkan bahwa kelainan utama pada SNKM ini ialah hilangnya sawar muatan negatif selektif. Namun pada SN dengan glomerulonefritis proliferatif klirens molekul kecil menurun dan yang bermolekul besar meningkat. Keadaan ini menunjukkan bahwa disamping hilangnya sawar muatan negatif juga terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau kelainan pada kedua-duanya.
meningkat secara relatif dan absolut. Meningkatnya -2 globulin disebabkan oleh retensi selektif protein berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang normal. Pada beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG menurun.
Kelainan metabolisme lipid
Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan hiperlipidemia dan kenaikan ini tampak lebih nyata pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi terbalik antara konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien dengan analbuminemia congenital dapt juga timbul hiperlipidemia yang menunjukkan bahwa kelainan lipid ini tidak hanya disebabkan oleh penyakit ginjalnya sendiri. Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah ( VLDL ) dan lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadang sangat mencolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat pada anak-anak dengan SN walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap rendah. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal.meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan sekunder terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya, kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya degradasi ini rupanya berpengaruh terhadap hiperlipidemia karena menurunnya aktivitas lipase liprotein. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya -glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali. Gejala ini mungkin akibat tekanan onkotik albumin serumnya, karena efek yang sama dapat ditimbulkan dengan pemberian infus polivunilpirolidon tanpa mengubah keadaan hipoabuminemianya. Pada beberapa pasien, HDL tetap meningkat walaupun terjadi pada SN-nya pada pasien lain VLDL dan LDL tetap meningkat pada SN relaps frekuen yang menetap bahkan selama remisi. Lipid dapat juga ditemukan didalam urin dalam bentuk titik lemak oval dan maltese cross. Titik lemak itu merupakan tetesan lipid didalam sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese cross tersebut adalah esterkolesterol yang berbentuk bulat dengan palang ditengah apabila dengan cahaya polarisasi.
Edema
Teori pembentukan edema ini adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes keruang interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas glomerulus, albumin keluar menimbulkan albumineria dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular keruang interstitial yang menyebabkan terbentuknya edema.
Kelainan glomerulus
Albuminuria
Hipoalbuminemia
Tekanan onkotik koloid plasma
Volume plasma
Retensi Na renal sekunder
Edema
III.5. MANISFESTASI KLINIS(1,5)
Edema
Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema dapat menetap atau
bertambah, baik lambat atau cepat atau dapat hilang dan timbul kembali. Selama periode
ini edema periorbital sering disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema
menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang
sebenarnya menjadi tambah nyata. Biasanya orangtua pasien sering mengeluh berat badan
anak tidak mau naik, namun kemudian mendadak berat badan bertambah dan
pertambahan ini tidak diikuti oelh nafsu makan yang meningkat.
Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas dalam posisi
berdiri. Edema pada anak umumnya dinyatakan sebagai lembek dan pitting.
Pada keadaan yang berat, edema telah mengenai semua jaringan dan menimbulkan
asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi plerura. Muka dan tungkai pada
pasien ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti malnustrisi
sebagai tanda adanya edema menyeluruh sebelumnya.
Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare sering
dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya tidak berkaitan
dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema submukosa di mukosa usus.
Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis
albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya.
Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada, kemungkinan
penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding perut atau
pembengkakan hati. Nafsu makan berkurang berhubungan erat dengan beratnya edema
yang diduga sebagai akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin
mengakibatkan malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif
steroid dan persisten. Anak dapat menderita anemia defisiensi besi karena transferin
banyak keluar melalui urin. Kadang protein bound iodine rendah tanpa adanya hipotiroid.
Pada 10% kasus terdapat defisiensi fc.IX. LED meningkat. Kadar Ca dlm darah rendah.
Pada keadaan lanjut kadang terdapat glukosuria tanpa hiperglikemi.
Gangguan pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pelura maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Penderita sangat
rentan terhadap infeksi sekunder. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus
albumin dan obat furosemid.
Gangguan fungsi psikososial
Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada penyakit berat
umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadp anak yang sedang berkembang dan
keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja
pada orangtua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Perasaan-perasaan ini
memerlukan diskusi, penjelasan dan kepastian untuk mengatasinya.
Kriteria diagnostik SN primer:
- edema
- proteinuria masif (+2 atau dengan pemeriksaan protein kuantitatif >40mg/m2/jam)
atau 1gr/L dalam 24jam (esbach)
- hipoproteinemia (<2,5mg/dl)
- hiperkolesterolemia(>250mg/dl)
III.6. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium terhadap air kemih menunjukkan kadar protein yang tinggi.
Konsentrasi albumin dalam darah adalah rendah karena protein vital ini dibuang
melalui air kemih dan pembentukannya terganggu.
Kadar natrium dalam air kemih adalah rendah dan kadar kalium dalam air kemih
adalah tinggi.
Konsentrasi lemak dalam darah adalah tinggi, kadang sampai 10 kali konsentrasi
normal.
Kadar lemak dalam air kemih juga tinggi.
Bisa terjadi anemia. Faktor pembekuan darah bisa menurun atau meningkat.
Analisa air kemih dan darah bisa menunjukkan penyebabnya.
Jika penderita mengalami penurunan berat badan atau usianya lanjut, maka dicari
kemungkinan adanya kanker.
Biopsi ginjal efektif mengelompokkan kerusakan jaringan ginjal yang khas.
III.7 KLASIFIKASI HISTOPATOLOGIS
Klasifikasi kelainan histopatologis glomerulus pada SN yang digunakan sesuai dengan
rekomendasi Komisi Internasional (1982). Kelainan glomerulus ini sebagian besar
ditegakkan dengan pemeriksaaan mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan
mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Pada tabel di bawah ini dipakai istilah /
terminologi yang sesuai dengan laporan ISKDC (1970) dan Habib dan Kleinknecht
(1971).
Tabel 7.1 KLASIFIKASI KELAINAN GLOMERULUS PADA SN PRIMER
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus EKSUDATIF
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotlial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe IIi dengan deposit subendotlial transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Tabel 7.2. KLASIFIKASI SN KONGENITAL DAN INFANTIL
Idiopatik Sindroma nefrotik kongenital tipe Finlandia Sklerosis mesangial difus
Kelainan glomerulus lainnya Sekunder
Sifillis kongenital Infeksi perinatal lainnya Intoksikasi merukuri
Simtomatik Sindrom Drash Sindrom malformasi lainnya
III.8 KOMPLIKASI PADA SN
Komplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya sendiri atas
sebagai akibat pengobatan.
1. Infeksi
Beberapa sebab meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah:
1. Kadar imunoglobulin yang rendah
2. Defisiensi protein secara umum
3. Gangguan opsonisasi terhadap bakteri
4. Hipofungsi limpa
5. Akibat pengobatan imunosupresif
2. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis
Pada SN terjadi peningkatan faktor-faktor I, II, VII, VIII dan X disebabkan oleh
meningkatnya sintesis di hati diikuti dengan peningkatan sintesis albumin dan lipoprotein.
Secara ringkas kelainan hemostatik pada SN dapat timbul dari 2 mekanisme:
a. Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:
(1). Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein di dalam urin seperti
antitrombin III, protein S bebas, plasminogen dan α antiplasmin.
(2). Hipoalbuminemia, menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2,
meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena tertekannya fibrinolisis.
b. Aktivasi sistem hemostatik di dalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit
dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerulus yang selanjutnya
mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.
3. Perubahan hormon dan mineral
Pada pasien SN berbagai gangguan hormon timbul karena protein pengikat
hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada
beberapa pasien SN dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya
proteinuria. Terdapat juga peningkatan ekskresi T3 urin dan T4. walaupun ditemukan
hasil yang demikian, TSH normal dan pasien secara klinis eutiroid. Hipokalsemia pada
SN disebabkan oleh albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunnya kalsium
terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Hubungan antara hipokalsemia,
hipokalsiuria dan menurunnya absorpsi kalsium dalam gastrointestinal menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D.
4. Pertumbuhan abnormal dan nutrisi
Penyebab utama retardasi pertumbuhan pada pasien dengan SN tanpa diberikan
kortikosteroid adalah malnutrisi protein, kalori, kurang nafsu makan, hilangnya protein
dalam urin, dan malabsorbsi karena edema saluran gastrointestinal. Sekarang penyebab
utama adalah karena pengobatan dengan kortikosteroid. Pengobatan kortikosteroid dosis
tinggi dan waktu lama dapat memperlambat maturasi tulang dan terhentinya pertumbuhan
linier, terutama apabila dosis melampaui 5 mg/m2/hari. Selama pengobatan kortikosteroid
tidak terdapat berkurangnya produksi atau sekresi hormon pertumbuhan. Telah diketahui
bahwa kortikosteroid mengantagonis efek hormon pertumbuhan endogen atau eksogen
pada tingkat jaringan perifer melalui efeknya terhadap somatomedin.
5. Peritonitis
Streptokokus pneumonia merupakan penyebab pada sebagian pasien dan
seperempat lainnya oleh kuman E.coli. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
peritonitis adalah pengeluaran IgG, protein faktor B dan D di urin, disfungsi sel T, obat
imunosupresif, dan hipoproteinemia.
6. Infeksi kulit
Erupsi erisipeloid pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan
kulit ini berbatas tegas, tetapi kurang menonjol seperti pada erisipelas dan biasanya tidak
ditemukan organisme apabila kelainan kulit ini dibiak.
7. Anemia
Anemia ringan hanya kadang-kadang ditemukan pada pasien SN. Anemianya
hipokrom mikrositik, karena defisiensi besi yang tipikal, namun resisten terhadap
pengobatan besi. Pada pasien dengan volume vaskular yang bertambah anemianya terjadi
karena pengenceran. Pada beberapa pasien anemia dapat terjadi karena penurunan
produksi eritrosit akibat penurunan eritropoetin.
8. Gangguan tubulus renal
Hiponatremia sering ditemukan pada anak dengan SN. Keadaan ini sering
disebabkan oleh retensi air daripada kekurangan natrium. Keadaan ini diperbaiki dengan
pemberian furosemid yang meningkatkan hantaran ke tubulus distal dan menimbulkan
lingkaran intraluminal yang negatif yang diperlukan untuk sekresi ion hidrogen
maksimal. Gangguan fungsi tubulus proksimal terlihat pada bikarbonaturia atau
glukosuria pada SN, terutama pada GSFS. Disimpulkan bahwa penyebab primer gagal
ginjal akut adalah edema interstitial dengan akibat meningkatnya tekanan tubulus
proksimal yang menyebabkan turunnya LFG.
III.9. DIAGNOSIS BANDING
Glomerulonefritis akut (GNA)
Berdasarkan etiologi GNA terutama disebabkan proses autoimun. Umumnya SN
memiliki gejala yang mirip dengan GNA, namun keduanya masih dapat dibedakan baik
berdasarkan gejala klinik maupun secara laboratorium. Dilihat dari gejala kliniknya GNA
memiliki gejala edema yang lebih ringan dari SN, edema terutama pada periorbital.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan gross hematuria yang nyata dan hipoalbuminemia
yang ringan, ini dapat dilihat pada urin penderita GNA yang memiliki warna merah
seperti air cucian daging. Hipertensi lebih sering ditemukan pada GNA daripada SN.
Gejala klinik ini terjadi karena letak kelainan pada GNA terdapat pada tubulus,
sedangkan pada SN terdapat di membran basalis. Pada pemeriksaan complemen, GNA
memiliki C3 yang rendah sedangkan pada SN memiliki C3 yang normal.
III.10. PENATALAKSANAAN
I. Kortikosteroid
Prednison diberikan dengan dosis 60mg/m2/hari atau 2mg/kg/hari (max dosis
sehari 80mg). Dibagi 2-3 dosis selama 4 minggu. Beberapa kasus menunjukkan dosis
inisial steroid selama 6 minggu dapat menurunkan angka relaps. Setelah dosis inisial 4-6
minggu, dosis prednison harus diturunkan sampai 40 mg/m2/hari ( max 60 mg per hari).
Diberikan satu kali sehari setiap makan pagi, secara intermiten (3X dalam seminggu).
Dengan pengobatan inisial ini dalam 2 minggu pertama telah terjadi remisi pada 80%
kasus, sedangkan setelah pengobatan prednison 4 minggu pertama remisi ditemukan pada
95% kasus. Berikutnya dosis terus diturunkan sampai akhirnya dihentikan setelah 2-3
bulan. Anak-anak yang tetap mengalami proteinuria (> 2+) setelah 8 minggu terapi
steroid diduga resisten disebut SNRS dan sebaiknya dilakukan renal biopsi.
Sebagian besar SN (80 – 90%) pada anak berusia di bawah 10 tahun mengalami
remisi dengan pemberian steroid selama 8 minggu, ini disebut SNSS. Banyak anak dengan
SN akan mengalami 1x relaps (3-4+ proteinuria dan oedem). Relaps diobati dengan
prednison 60mg/m2/hari sampai terjadi remisi (proteinuria – selama 3 hari). Kemudian
dilanjutkan dengan dosis 40mg/m2/hari secara altenating selama total 28 hari/14 dosis
(ISKDC). Untuk SN relaps sering/dependen steroid diberikan steroid jangka panjang
yaitu setelah remisi dengan prednison dosis penuh dilanjutkan dengan steroid altenating
dengan dosis yang diturunkan bertahap sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan
relaps (0,1-0,5mg/kg) secara altenating, diberikan minimal 4-6 bulan lalu dihentikan
perlahan.
Untuk anak dengan SN komplikasi dan SN resisten steroid diberikan metil
prednison dosis tinggi 30mg/kg bolus (max 1000mg) dimulai dengan 3x seminggu untuk
2 minggu pertama, 1 kali seminggu, kemudian 1 kali perminggu untuk 8
mingguberikutnya, lalu tiap 2 minggu selama 8 minggu, kemudian setiap 4 minggu
selama 9 bulan, dilanjutkan dengan tiap 8 minggu selam 6 bulan lagi, dikombinasikan
dengan prednison oral 2 mg/kg dosis altenating
Klasifikasi berdasarkan respon terhadap steroid :
SN resisten steroid (30%) yaitu SN yang dengan pemberian prednison dosis penuh
(2 mg/ kgBB/hari) selama 4 minggu tidak mengalami remisi.
SN relaps jarang (10 – 20%) yaitu SN yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6
bulan sejak respons awal atau < 4 kali dalam 1 tahun.
SN relaps sering yaitu SN yang mengalami relaps ≥ 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau ≥ 4 kali dalam 1 tahun.
SN dependen steroid (40 – 50%) yaitu SN yang mengalami relaps ketika dosis
prednison diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau dalam 14 hari setelah steroid
dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
Relaps yaitu timbulnya proteinuria kembali (≥+2 atau ≥ 40 mg/jam/m2 LPB)
selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
Remisi yaitu keadaan proteinuria kurang dari 4mg/m2/jam atau negatif atau trace
3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
II. Terapi non steroid
1. Sitostatika
a. Siklofosfamid
Siklofosfamid diberikan dengan dosis 2 mg/kgbb/hari selama 12 minggu atau
3mg/kgbb/hari selama 8 minggu per oral. Obat ini terutama diberikan pada SN relaps
sering atau dependen steroid yang mengalami efek toksik steroid. Siklofosfamid per oral
mulai diberikan setelah terjadi remisi yang diinduksi oleh pemberian steroid dosis penuh,
dikombinasikan dengan steroid altenating.
Siklofosfamid dapat pula diberikan secara intravena pada SN relaps sering dan
dependen steroid dengan dosis 500 mg/m2 per kali diberikan sebulan sekali selama 6
bulan. Efek samping obat ini dapat berupa alopesia, depresi sumsum tulang, gangguan
saluran cerna, dan sistitis hemoragis.
b. Klorambusil
Klorambusil dengan dosis 0,2 mg/kg per hari secara oral mempunyai efek sama
dengan siklofosfamid oral. Obat ini mempunyai efek samping yang sama dengan CPA,
tetapi efek depresi sumsum tulangnya lebih besar.
2. Siklosporin A
Pada SN yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatika dianjurkan
untuk diberi siklosporin A dengan dosis 4 – 5mg/kg/hari selama 1 – 4 tahun. Pada SN
relaps sering atau dependent steroid, siklosporin sama efektifnya dengan CPA atau
klorambusil dalam mempertahankan remisi sehingga pemberian steroid dapat
dikurangi/dihentikan, walaupun seringkali bila obat ini dihentikan akan relaps kembali.
Efek samping obat ini adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrofi gingiva, dan nefrotoksik.
Oleh karena itu perlu pemantauan kadar siklosporin dalam darah (dipertahankan antara
100 – 200 ug/ml) dan kadar kreatinin darah secara berkala.
3. Levamisol
Levamisol adalah suatu anti helmintik yang ternyata mempunyai efek imunologis
menstimulasi sel T. Suatu uji klinis pada 61 penderita SN dependen steroid menunjukkan
remisi setelah pemberian obat ini selam 112 hari. Namun seperti halnya siklosporin,
relaps terjadi setelah obat ini dihentikan, Efek samping obat ini mual, muntah, dan
neutropenia reversibel.
4. ACE Inhibitor
ACE inhibitor telah lama dikenal mempunyai efek renoprotektor dan ani proteinuria.
Pada SN yang resisten terhadap steroid, sitostatika, dan siklosporin dapat diberikan obat
ini. Jenis obat yang dipakai ialah captopril 0,3mg/kg tiga kali sehari atau enalapril 0,2 –
0,6 mg/kg/hari dibagi 2 dosis.
Tahapan Tata Laksana Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid(10)
1. SN episode pertama
Prednison 60mg/m3/hari (max 80mg) sampai remisi.
Dilanjutkan dengan 40mg/m2 (max 60mg) altenating selama 4 minggu.
2. Dua relaps pertama
Prednison 60mg/m2/hari (max 80mg) sampai remisi.
Dilanjutkan dengan 40mg/m2 (max 60mg) altenating selama 4 minggu.
3. Relaps sering
Pertahankan prednison altenating 0,1-0,5 mg/kg/hari selama 3-6 bulan, kemudian
diturunkan.
4. Relaps saat mendapat prednisolon > 0,5 mg/kg altenating
Dapat dicoba tambah levamisol 2,5 mg/kg altenating selama 4-12 bulan.
5. Relaps saat mendapat prenisolon > 0,5 mg/kg altenating & mempunyai resiko efek
samping steroid atau relaps saat mendapat prednison > 1,0 mg/kg altenating
Beri siklofosfamid 3 mg/kg/hari selama 8 minggu.
6. Relaps pasca pemberian siklofosfamid
Seperti tahap (2) & (3)
7. Relaps saat mendapat prednisolon > 0,5 mg/kg altenating
Beri siklosporin 5 mg/kg/hari selama 1 tahun
III. Terapi suportif/ simtomatik
1. Edema
Diuretik hanya diberikan pada edema yang nyata, dan tidak dapat diberikan pada
SN yang disertai dengan diare, muntah, hipovolemia. Pada edema sedang/ persisten dapat
diberikan furosemid 1 – 3 mg/kg per hari. Pemberian spironolakton dapat ditambahkan
bila pemberian furosemid telah lebih dari 1 minggu lamanya, dengan dosis 1 – 2
mg/kg/hari. Bila edema menetap setelah diberi diuretik, dapat dikombinasikan dengan
infus albumin. Pemberian infus albumin diikuti dengan pemberian furosemid 1 – 2 mg/kg
intravena. Albumin biasanya diberikan selang sehari untuk menjamin pergeseran cairan
ke dalam vaskuler dan untuk mencegah overload cairan.
2. Dietetik
Jenis diet yg direkomendasikan ialah diet seimbang dengan protein dan
Kalori yang adekuat.Kebutuhan protein anak ialah 1,5 – 2g/kg,namun anak-
anak dengan proteinuria persisten yang seringkali mudah mengalami malnutrisi diberikan
protein 2-2,5 g/kg per hari.Maksimum 30% kalori berasal dari lemak.Karbohidrat
diberikan dalam bentuk kompleks seperti zattepung dan maltodekstrin.Restriksi garam
tidak perlu dilakukan pada SNSS,namun perlu dilakukan pada SN dengan edema yang
nyata.
3. Infeksi
Selulitis umumnya disebabkan oleh kuman stafilokokus, Sedang sepsis pada SN
sering disebabkan oleh gram negatif. Pada peritonitis umumnya disebabkan oleh gram
negatif. Terapinya dapat diberikan penisilin parenteral dikombinasi dengan cefotaksim/
seftriakson selama 10 – 14 hari.
4. Tromboemboli
Pencegahan tromboemboli dengan pemberian asetosal dosis rendah dan
dipiridamol. Tetapi jika sudah terjadi tromboemboli diberikan heparin dengan dosis 50
U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100 U/kg tiap 4 jam secara intravena.
5. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol, trigliserida,
fosfolipid, dan asam lemak. Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena
penurunan tekanan onkotik plasma sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar
untuk melakukan sintesis lipid dan lipoprotein, disamping itu katabolisme pada SN
juga menurun. Manfaat pemberian obat penurun lipid masih diperdebatkan sampai
saat ini.
III.10. PROGNOSIS
Prognosis sindroma nefrotik tergantung dari beberapa faktor antara lain umur, jenis
kelamin, penyulit pada saat pengobatan dan kelainan histopatologi ginjal. Prognosis pada
umur muda lebih baik daripada umur lebih tua, pada wanita lebih baik daripada laki-laki.
Makin dini terdapat penyulitnya, biasanya prognosisnya lebih buruk. Kelainan minimal
mempunyai respons terhadap kortikosteroid lebih baik dibandingkan dengan lesi dan
mempunyai prognosis paling buruk pada glomerulonefritis proliferatif.
Sebab kematian pada sindroma nefrotik berhubungan dengan gagal ginjal kronis
disertai sindroma uremia, infeksi sekunder (misalnya pneumonia), kolaps hipovolemik
lebih sering ditemukan pada penderita anak-anak.
BAB IV
KESIMPULAN
Sindroma Nefrotik (SN) dapat terjadi secara primer dan sekunder, primer apabila tidak menyertai penyakit sistemik. Sekunder apabila timbul sebagai bagian daripada penyakit Sistemik atau yang berhubungan dengan obat.
ciri-ciri sebagai berikut :
- Proteinuria masif, termasuk albuminuria ; (>40 mg/m2/jam).
- Edema umum (anasrka), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
- Hipoalbuminemia ( < 2,5 g/dl)
- Dapat disertai dengan Hiperlipidemi, khususnya hiperkolesteronimia.
Terbanyak pada anak berumur antara 1½ - 5 tahun dengan perbandingan pria :
wanita = 2:1. Etiologi yang pasti belum diketahui akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu
penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Kelainan minimal
merupakan yang tersering pada anak. Komplikasi tersering pada SN adalah infeksi
(peritonitis, sepsis). Therapi utama pada penyakit ini adalah prednison.
- Prednison 60mg/m3/hari (max 80mg) sampai remisi.
- Dilanjutkan dengan 40mg/m2 (max 60mg) altenating selama 4 minggu
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Richard E., MD, dkk Nelson Textbook of Pediatric, 17th edition,
W.B.Saunders Company, 2001
2. Markum AH. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. FKUI.Jakarta.1991
3. Bernald Gauthier, M.B. Nephrology and Urology for The Pediatrician. 2004.
4. Kanwal K, Sudesh P,Marker. Clinical Pediatric Nephrology. 2004.
5. http://www.emedicine.com. Article by Luther Travis, MD
6. http://www.nejm.com. Article by Stephan R.Orth, MD, and Eberhard Ritz, M.D
7. http://www.medline.com. Article by Hodson, EM
8.Partini P.Trihono, Damayanti R. Syarif. Current Management of Pediatrics
Problems. Edisi 1. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Jakarta. 2004
9 .Buku ajar penyakit Dalam
REFERAT
SINDROM NEFROTIK
PEMBIMBING:
Dr.dr.Sahala Panggabean SpPD,KGH
OLEH:
MERYAM CARMELITHA (0861050158)
KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM
PERIODE 2 MARET – 9 MEI 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA