refer a ttttt
DESCRIPTION
hhjllTRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
Ketergantungan tembakau merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada
populasi dengan penyakit mental berat. Sekitar 70-80% dari individu dengan
skizofrenia, kelainan bipolar dan penyakit mental berat lain menggunakan
tembakau sementara prevalensi merokok pada populasi umum hanya 20-30%.
Individu denganskizofrenia memilik frekuensi merokok 1,5-2 kali lebih tinggi
dibanding populasi umum, dan diantara semua diagnosis psikiatri frekuensi
merokoknya 1,5 kali lebih tinggi (Patel, 2010).
Skizofrenia merupakan salah satu penyakit mental yang paling melemahkan,
mempengaruhi kira-kira 1% populasi global. Penyakit ini ditandai dengan
adanya gangguan pada kognisi dan emosi, serta mempengaruhi bahasa, pikiran,
persepsi, afek, dan perasaan diri. Gejala meliputi manifestasi psikotik seperti
mendengar suara dari dalam diri, atau mengalami sensasi lain yang tidak
berhubungan dengan sumber yang jelas (halusinasi) dan memberikan arti atau
maksud yang tidak biasa pada kejadian normal atau mempertahankan
kepercayaan personal yang salah (delusi) (Patel, 2010).
Ketergantungan tembakau telah menjadi pusat perhatian pada populasi ini.
Individu dengan skizofrenia memiliki angka ketergantungan tembakau 2-4
kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Penggunaan tembakau
tidak hanya menurunkan kualitas hidup pasien, tapi juga menyebabkan kematian
akibat penyakit medis (Patel dan Winterer, 2010 ).
Individu dengan skizofrenia rata-rata menghisap sebanyak 25 batang rokok tiap
harinya. Hal ini lebih tinggi secara signifikan dari populasi umum. Biaya
bulanan yang dikeluarkan pasien skizofrenia untuk rokok menjadi sangat besar.
Efek berbahaya dari merokok pada pasien dengan skizofrenia meliputi angka
kejadian kanker yang tinggi, penyakit kardiovaskular dan respirasi, serta
meningkatnya gejala psikiatri dan gejala kambuhan yang lebih berat (Patel dan
Winterer, 2010 ).
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Skizofrenia
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan
psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran,
afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian (Sadock, 2003).
Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu
gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi,
kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala
negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau
isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak
bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan
dorongan kehendak atau inisiatif.
Paling tidak, terdapat enam kriteria diagnostik skizofrenia menurut DSM-IV
TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-IV Text Revision)
sebagai berikut :
1. Simtom-simtom Khas
Dua atau lebih dari yang berikut ini, masing-masing muncul cukup jelas
selama jangka waktu satu bulan (atau kurang, bila ditangani dengan baik) :
Delusi,
Halusinasi,
Pembicaraan kacau,
Tingkah laku kacau atau katatonik,
Simtom-simtom negatif.
2. Disfungsi sosial/okupasional.
3. Durasi
Simtom-simtom gangguan ini tetap ada untuk paling sedikit 6 bulan.
Periode 6 bulan ini mencakup paling tidak 1 bulan dimana simtom-simtom
muncul.
4. Tidak termasuk gangguan schizoaffective atau gangguan mood.
5. Tidak termasuk gangguan karena zat atau karena kondisi medis.
6. Hubungan dengan Pervasive Developmental Disorder (PDD)
Bila ada riwayat Autistic Disorder atau gangguan PDD lainnya, diagnosis
tambahan skizofrenia hanya dibuat bila ada halusinasi atau delusi yang
menonjol, selama paling tidak 1 bulan (atau kurang bila tertangani dengan
baik).
Sedangkan menurut PPDGJ-III, pedoman diagnostic untuk skizofrenia
adalah harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang sangat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas) :
1. “Thought echo” = isi fikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda; atau
“Thought insertion or withdrawal” = isi fikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
“Thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya;
2. “Delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
“Delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
“Delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang “dirinya” = secara
jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran,
tindakan, atau penginderaan khusus); dan
“Delusion perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi diri, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
3. Halusinasi auditorik :
Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (di antara
berbagai suara yang berbicara), atau
Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh;
4. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di
atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, ayau
berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas :
1. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila baik disertai
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun yang disertai oleh ide-ide
berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap
hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
2. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme;
3. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativism, mutisme,
dan stupor;
4. Gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya
kinerja social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodormal)
Harus ada suatu perubahna yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan,
tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude),
dan penarikan diri secara social (Maslim, 2001).
Salah satu patofisiologi dari skizofrenia adalah peningkatan dopamin pada
hipotalamus. Hipotesis dopamin pada skizofrenia adalah yang paling
berkembang dari berbagai hipotesis, dan merupakan dasar dari banyak terapi
obat yang rasional. Beberapa bukti yang terkait menunjukkan bahwa
aktifitas dopaminergik yang berlebihan dapat mempengaruhi penyakit
tersebut :
(1) Kebanyakan obat-obat antipsikosis menyekat reseptor D2 pascasinaps di
dalam sistem saraf pusat, terutama di sistem mesolimbik frontal
(2) Obat-obat yang meningkatkan aktifitas dopaminergik, seperti levodopa
(suatu prekursor), amfetamin (pelepas dopamin), atau apomorfin (suatu
agonis reseptor dopamin langsung), baik yang dapat mengakibatkan
skizofrenia atau psikosis pada beberapa pasien.
(3) Densitas reseptor dopamin telah terbukti, postmortem, meningkat di
otak pasien skizofrenia yang belum pernah dirawat dengan obat-obat
antipsikosis.
(4)Positron emission tomography (PET) menunjukkan peningkatan densitas
reseptor dopamin pada pasien skizofrenia yang dirawat atau yang tidak
dirawat, saat dibandingkan dengan hasil pemeriksaan PET pada orang
yang tidak menderita skizofrenia.
(5)Perawatan yang berhasil pada pasien skizofrenia telah terbukti
mengubah jumlah homovanilic acid (HVA), suatu metabolit dopamin, di
cairan serebrospinal, plasma, dan urin (Bertram, 2002).
Teori jalur dopamin yang berpengaruh dalam skizofrenia yaitu :
1. Mesokortikal dopamin pathways.
Hipoaktivitas dari daerah ini menyebabkan simptom negatif dan
gangguan kognitif.
Simptom negatif dan kognitif disebabkan terjadi penurunan dopamine
di jalur mesokortikal terutama pada daerah dorsolateral prefrontal
korteks.
Defisit behavioral yang dinyatakan dalam suatu simptom negatif
berupa penurunan aktivitas motorik. Aktivitas yang berlebihan dari
system glutamat yang bersifat eksitotoksik pada system saraf (burn
out) yang kemudian berlanjut menjadi suatu proses degenerasi di
mesokortikal jalur dopamin. Ini akan memperberat simptom negatif
dan meningkatkan defisit yang telah terjadi pada penderita
skizofrenia.
Penurunan dopamine di mesokortikal dopamine pathway dapat terjadi
secara primer maupun sekunder. Penurunan sekunder terjadi melalui
inhibisi dopamine yang berlebihan pada jalur ini atau melalui
blockade antipsikotik terhadap reseptor D2.
Peningkatan dopamin pada mesokortikal dopamine pathway dapat
memperbaiki simptom negatif atau mungkin juga simptom kognitif.
Keadaan ini akan menjadi suatu dilemma karena peningkatan
dopamin di jalur mesolimbik akan meningkatkan simptom positif,
sementara penurunan dopamine di jalur mesokortikal akan
meningkatkan simptom negatif dan kognitif.
Hal tersebut dapat diatasi dengan pemberian obat antipsikotik atipikal
(antipsikotik generasi kedua) pada penderita skizofrenia. Antipsikotik
jalur kedua menyebabkan dopamine di jalur mesolimbik menurun
tetapi dopamin yang berada di jalur mesokorteks meningkat.
2. Mesolimbik dopamin pathways.
Hiperaktivitas dari daerah ini menyebabkan simptom positif dari
skizofrenia.
Jalur ini berperan penting pada emosional, perilaku khususnya
halusinasi pendengaran, waham dan gangguan pikiran. Psikostimulan
seperti amfetamin dan kokain dapat menyebabkan peningkatan dari
dopamin melalui pelepasan dopamine pada jalur ini sehingga hal ini
menyebabkan terjadinya simptom positif dan menimbulkan psikosis
paranoid jika pemberian zat ini dilakukan secara berulang.
Antipsikotik bekerja melalui blockade reseptor dopamine khususnya
reseptor D2 sehingga simptom positif dapat menurun atau
menghilang.
Hipotesis hiperaktif mesolimbik dopamine pathways menyebabkan
simptom positif psikotik meningkat. Keadaan ini dapat merupakan
bagian dari skizofrenia, atau psikosis yang disebabkan oleh zat,
mania, depresi tau demensia.
Hiperaktivitas mesolimbik dopamin pathways mempunyai peranan
dalam simptom agresivitas dan hostilitas pada penderita skizofrenia
terutama bila terjadi penyimpangan control serotonergik dari
dopamin.
Nukleus akumbens adalah bagian dari sistem limbik yang mempunyai
peranan untuk mempengaruhi perilaku, seperti pleasurable sensation
(sensasi yang menyenangkan), powerful euphoria pada individu yang
memiliki waham, halusinasi serta pengguna zat.
Mesolimbik dopamin pathways selain dapat menyebabkan simptom
positif , juga mempunyai peranan dalam pleasure, reward dan
reinforcing behavior. Pada kasus penyalahgunaan zat dapat
menimbulkan ketergantungan karena terjadi aksi di jalur ini (Benhard,
2007)
B. Efek Merokok Pada Sistem Saraf Pusat
Rokok adalah salah satu zat adiktif yang bila digunakan
mengakibatkan bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat. Kemudian
ada juga yang menyebutkan bahwa rokok adalah hasil olahan tembakau
terbungkus termasuk cerutu atau bahan lainya yang dihasilkan dari tanamam
Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintesisnya
yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. (Hans
Tendra, 2003).
Merokok dapat diidentikkan dengan pemberian nikotin. Penelitian klinis oleh
Wilson, dkk (1995) dan White, dkk (1999), menunjukkan pemberian nikotin
pada kasus demensia hasilnya menggembirakan. Penelitian histopatologi
mendukung penelitian tersebut, didapatkan tingginya afinitas ikatan nikotin di
daerah thalamus dan basal ganglia, diikuti hippocampus, frontal temporal dan
korteks parietal, dan rendah di globus pallidus dan cerebellum, ini adalah
tempat-tempat proses kognisi dan memori (Benwell, dkk, 1998). Penelitian lain
membandingkan antara jumlah masukan nikotin dengan jumlah reseptor
nikotinik di hipokampus dan thalamus berbeda antara mantan perokok dan
perokok tetap, pada mantan perokok level reseptor nikotin pada regio ini
menurun dibanding perokok tetap (Breese, dkk, 1997). Ini mengindikasikan
bahwa dengan berhenti merokok menginduksi reseptor nikotinik secara
reversibel setelah berhenti. Pada uji klinis terhadap binatang dan manusia,
dengan penghambatan reseptor nikotinik di otak, oleh nikotinik antagonis
seperti mecamylamine mengakibatkan terjadi gangguan memori dan
penampilan aspek kognitif (Decker dan Brioni, 1988; Grundman, 2000).
Efek nikotin menginduksi eksitasi noradrenalin neuron dan meningkatkan
pelepasan katekolamin yakni sejenis hormon yang bekerja memacu sistim
aliran darah (Hajos dan Engberg, 1988) dan noradrenalin diperkirakan
berkontribusi untuk meningkatkan kognisi dan memori (Mitchel et al., 1997).
Semakin tinggi kadar nikotin di dalam darah, maka akan semakin hebat pula
rangsangannya terhadap postsinaptik di reseptor nikotinik (Picciott, dkk, 1998),
dengan kata lain merokok akan menghambat proses gangguan kognisi dan
memori.
Nikotin dikenal dengan nama kimia Beta Pyridil Alfa N methyl pyrolidine
merupakan senyawa kimia amine tersier yang tersusun atas cincin pyridine dan
pyrolidine. Zat ini pertama kali diperkenalkan oleh Nicot de Villeman pada
tahun 1530 dari ekstraksi tumbuhan Nocotiana Tobacco dari genus Solanaceus
sejenis tanaman asli di hutan tropis Amerika (Benowitz, 1996).
Mengisap sebatang rokok putih berarti mengkonsumsi 2-3 miligram nikotin.
Apabila asapnya tidak dihisap, maka nikotin yang terhisap adalah 1-2 mg. Bagi
seseorang yang tidak biasa merokok, kadar 1-2 mg dari nikotin tersebut sudah
sangat menimbulkan gangguan berupa pusing dan sakit kepala, mual, muntah,
bahkan merasa sakit pada daerah lambung. Dosis nikotin berefek 0,75-1,5 mg
pada terminal striatal nikotinik dan dopaminrgik, untuk dosis 0,75- 1,5 mg/hari
berefek stimulus, sedangkan dosis 3-30 mg/hari berefek merusak yaitu terjadi
degenerasi sel neuron. Kandungan nikotin dalam satu batang rokok 0,3-1,3 mg.
Pengaruh lainnya dari zat nikotin tersebut adalah menaikan tekanan darah serta
mempercepat denyut jantung yang berakibatkan semakin beratnya beban kerja
jantung. Nikotin dalam asap rokok juga merupakan penyebab ketagihan
merokok (Wildan, 2002).
Nikotin merupakan agonis dari reseptor nikotinik pada ganglion autonom dan
neuromuscular junction, namun demikian efek ini tergantung dosis dan cara
pemberiannya (Robertson, dkk, 1988). Efek hormonal dari nikotin berupa
peningkatan sekresi vasopresin, hormon adrenokortikotropik dan gastrin dalam
darah. Hal ini disebabkan karena nikotin berefek simpatomimetik (Joseph, dkk,
1996). Nikotin menyebabkan sedasi system saraf pusat. Pada awalnya, dalam
jumlah sedikit nikotin mengurangi anxietas. Nikotin diabsorpsi dari asap
tembakau di paru. Melalui pemakaian yang rutin, kadar nikotin terakumulasi di
tubuh sehingga perokok akan terkena efek nikotin selama 24 jam setiap hari.
Nikotin berefek pada suasana hati seperti halnya pada jantung, paru, lambung,
neurotransmiter, dan system saraf simpatik. Efek jangka pendek merokok
mengakibatkan berkeringat, mual mutah, iritasi tenggorok . selanjutnya
keadaan lebih serius bisa timbul yaitu peningkatan denyut jantung dan tekanan
darah serta kanker paru.
Mekanisme nikotin dalam mempengaruhi neurotransmitter di susunan saraf
pusat adalah melalui ikatan dengan reseptor kolinergik yang selanjutnya
memicu pelepasan dopamin. Pelepasan Dopamin ini berpengaruh pada suasana
hati dan nafsu makan. Pada susunan saraf tepi nikotin berpengaruh pada
pelepasan catecholamines, adrenaline dan noradrenaline. Pelepasan
catecholamine mempunyai efek penting pada fungsi jantung, kekakuan
pembuluh darah dan metabolisme lemak.
Nikotin dalam rokok akan beraksi di otak 10 detik setelah menghisap rokok.
Nikotin berikatan dengan reseptor nikotinik yang akan memfasilitasi pelepasan
neurotransmitter noradrenergik di locus ceroleus, proses itu penting dalam
fungsi kognitif, memori, kewaspadaan dan menurunkan nafsu makan
(Svensson, dkk, 2000). Menurut Decker & Brioni (1997) : (1) keterlibatan
neurotransmiter kolinergik pada fungsi kognitif telah terbukti pada percobaan
hewan dan manusia, (2) pada demensia maupun penyakit Alzheimer, stimulasi
nAChR menghasilkan neurotransmitter dalam jumlah yang lebih rendah,
termasuk asetilkolin sendiri, (3) mekanisme nikotinik berpartisipasi dalam
kontrol neurogenik terhadap aliran darah otak yang melemah pada demensia
maupun penyakit Alzheimer, (4) kemungkinan adanya kemampuan
neuroprotektif bahan nikotinik didukung dengan data in vitro dan in vivo serta
pengamatan klinis, bahwa pemakaian jangka panjang (merokok) berkorelasi
negatif dengan resiko demensia maupun penyakit Alzheimer, (5) berbagai sub-
tipe nAChR telah ditemukan di otak, ganglia, sambungan neuromuskular,
hingga memungkinkan pengembangan obat yang lebih selektif dan aman
dibanding dengan nikotinik sendiri.
Jalur Skema Efek Rokok di Otak
C. Hubungan Antara Skizofrenia dan Merokok
a. Tingkat Merokok Pada Skizofrenia
Jumlah pasien dengan skizofrenia yang merokok sangat tinggi. Satu
penelitian melaporkan prevalensi menjadi 88 %, hampir tiga kali lipat
tingkat pada populasi umum dan lebih tinggi dari tingkat peningkatan
merokok pada pasien dengan penyakit kejiwaan lainnya. Peningkatan
prevalensi tetap ada bahkan setelah penyesuaian untuk status perkawinan,
penggunaan alkohol dan status sosial ekonomi (Hughes, dkk, 1986).
Sejumlah studi cross-sectional yang lebih baru dari berbagai negara telah
melaporkan tingginya tingkat merokok pada pasien dengan skizofrenia
(Goff, dkk, 1992, Chong dan Choo, 1996). Satu studi besar 360 rumah sakit
pemerintah, di antaranya 237 adalah didiagnosa menderita skizofrenia atau
menderita skizofrenia-gangguan afektif , menemukan bahwa prevalensi
keseluruhanmerokok adalah 85 % , dan 93 % pada laki-laki muda pasien
dengan skizofrenia (De Leo, dkk, 1995). Merokok terjadi pada tingkat yang
jauh lebih tinggi daripada yang lain jenis penyalahgunaan zat atau
ketergantungan, yang telah terbukti juga yang akan diangkat antara pasien
dengan skizofrenia.
Dalam penelitian Kelly dan McCreadie (1999) kita menemukan bahwa usia
rata-rata ketika pasien dengan skizofrenia mulai merokok adalah sama
seperti pada populasi umum, yaitu remaja; 90% dari pasien yang merokok
telah mulai merokok sebelum penyakit mereka dimulai. Pasien dengan
skizofrenia yang merokok merupakan perokok berat daripada orang-orang
di populasi umum- lation dan orang-orang dengan gangguan kejiwaan
lainnya. Dalam penelitian kami sendiri, 68% dari pasien dengan skizofrenia
yang merokok yang diklasifikasikan sebagai perokok berat (25 atau lebih
rokok setiap hari) dibandingkan dengan hanya 11% dari populasi umum
yang merokok. Dalam studi lain (Olincy, dkk, 1997), pasien dengan
skizofrenia yang merokok memiliki tingkat jauh lebih tinggi dari nikotin
metabolit cotinine dibandingkan dengan lainnya perokok, membenarkan
penelitian kami. Merokok berlebihan cenderung menjadi kebiasaan seumur
hidup antara pasien dengan skizofrenia. Proporsi mereka yang berhenti
adalah lebih rendah dibandingkan pada populasi umum; dalam penelitian
kami dari populasi pasien dengan skizofrenia, hanya 8% dari laki-laki
adalah mantan perokok, dibandingkan dengan 31% dari laki-laki dalam
populasi umum setempat.
b. Teori Antara Skizofrenia dan Merokok
Beberapa model telah diajukan untuk menjelaskan mengapa individu
dengan skizofrenia cenderung merokok lebih dari populasi umum. Sebagian
dari model ini cenderung untuk menerangkan keuntungan yang dirasakan
pasien dari merokok. Model ini juga menjelaskan mengapa pasien dengan
skizofrenia memiliki angka merokok yang lebih tinggi (Patel, 2010 dan
Kumari, 2005 ).
1. Model yang pertama adalah model “self-medication” dari gejala negatif
Menyebutkan bahwa individu dengan skizofrenia menggunakan rokok
sebagai cara untuk menghilangkan gejala depresif dan psikotik mereka.
Nikotin dapat mengatasi gejala negatif seperti anhedonia dan penarikan
sosial karena kemampuan nikotin untuk meningkatkan level dopamin
pada nucleus accumbens dan korteks prefrontal, serta adanya
peningkatan pada sistem reward efek umum dari nikotin yang
memberikan perasaan relaks dan bahagia. Nikotin diketahui dapat
meningkatkan proses kognitif yang berhubungan dengan fungsi
prefrontal seperti atensi atau aktivitas berpikir. Nikotin berperan sebagai
fasilitator dalam proses ini dan menyelaraskan aktivitas neuronal pada
korteks prefrontal. Nikotin dapat meningkatkan proses plastis di
hipokampus yang menguntungkan bagi defisit kognitif pada skizofrenia
yang berhubungan dengan proses belajar dan memori (Patel, 2010 dan
Kumari, 2005 ).
Penjelasan sosial untuk ketergantungan tembakau pada populasi ini yaitu
pasien skizofrenia memiliki sangat banyak waktu dengan sangat sedikit
kegiatan yang dapat dilakukan selain merokok. Karena pasien dengan
gejala negatif mayor cenderung menghindari interaksi sosial, suatu alasan
yang masuk akal untuk menjelaskan ketergantungan tembakaunya yaitu
bahwa merokok dapat dengan mudah menjadi suatu “pengisi waktu” dan
suatu alat untuk menghindari kebosanan untuk pasien (Patel dan
Winterer, 2010 ).
Individu dengan skizofrenia memiliki angka ketergantungan tembakau
yang tinggi adalah karena mereka bias any amemiliki kesulitan yang
besar dalam penghentian merokok. Hal ini dikarenakan pasien
menggunakan tembakau sebagai “self-medication”untuk menenangkan
gejala negatif mereka, sehingga berhenti merokok dapat menjadi suatu
tantangan besar untuk banyak pasien (Patel, 2010 dan Kumari, 2005 ).
Anhedonia atau ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan yang
merupakan salah satu dari fenomena klinis pada pasien skizofrenia,
sering dikaitkan dengan merokok. Angka kejadian anhedonia yang tinggi
dilaporkan terdapat pada populasi yang merokok, dan dianggap
merupakan suatu faktor resiko yang menyebabkan kekambuhan merokok
diantara pasien psikiatri. Faktanya,perokok dengan anhedonia dan
memiliki afek positif yang rendah memiliki keinginan yang sangat tinggi
untuk merokok dan memiliki angka penghentian merokok yang rendah
(AhnAllen, dkk, 2012).
Banyak studi telah melaporkan bahwa gejala awal skizofrenia
menyebabkan inisiasi dari merokok. Telah diduga bahwa individu
dengan skizofrenia termotivasi untuk merokok karena merokok tidak
hanya berperan sebagai mekanisme menghadapi penyakit tetapi juga
menyediakan pembebasan sementara dari gejala psikiatri. Fase
prodromal dari skizofrenia berlangsung satu atau dua tahun sebelum
onset dari gejala psikotik. Selama fase ini pasien biasanya mengalami
gejala-gejala kecemasan, berkurangnya atensi dan penarikan sosial. Ini
tidak sampai akhir dari fase prodromal saat gejala positif mulai muncul.
Suatu studi yang memeriksa hubungan antara faktor lingkungan dan
familial yang dapat menyebabkan pasien merokok mendapatkan hasil
utama bahwa rata-rata perbedaan waktu diantara permulaan dari merokok
dan onset dari skizofrenia adalah 2,3 ± 6,6 yang secara signifikan lebih
rendah dari perbedaan waktu untuk subjek dengan psikosis lain (8,6 ±
6,3). Studi lain menunjukkan bahwa merokok mungkin merupakan suatu
tanda dari fase prodromal skizofrenia. Temuan ini dapat berhubungan
dengan model “self medication”sebab temuan itu menyatakan bahwa
individu dengan skizofrenia mengalami ketergantungan tembakau
sebagai akibat dari gejala abnormal selama fase prodromal, yang
menyebabkan pasien menggunakan ketergantungan tembakau sebagai
suatu bentuk pembebasan dari gejala psikiatri (Patel, 2010 dan Kumari,
2005 ).
2. Interaksi dari rokok tembakau dengan obat-obat antipsikotik.
Suatu studi mengajukan hipotesis bahwa individu dengan skizofrenia
termotivasi untuk merokok untuk mendapatkan pembebasan dariefek
samping obat antipsikotik (Patel, 2010). Hal ini disebabkan oleh induksi
enzimpolycyclic aromatic carbohydrates yang diproduksi ketika
tembakau dibakar. Enzim ini kemudian akan menginduksi cytochrome
P450 1A2 (CYP1A2) dan UDP glucoronosyltransferase (UGT),yang
berguna dalam metabolisme obat-obatan antipsikotik, yang akan
terbentuk penuh 2 minggu setelah inisiasi merokok. Enzim ini dapat
menurunkan level obat-obatan antipsikotik (baik tipikal maupun atipikal)
dalam plasma sampai sepertiga dari dosisnya. Hal inilah yang
menyebabkan efek samping obat berkurang, termasuk gejala
ekstrapiramidal dan depresi farmakogenik. Enzim tersebut akan kembali
normal dalam 2-4 minggu setelah seseorang berhenti merokok. Obat
antipsikotik tipikal seperti haloperidol memiliki efek blok terhadap
dopamin yang sangat kuat. Disinilah merokok dapat meredakan efek
samping dari pengobatan melalui efektivitasnya dalam menstimulasi
pelepasan dopamin (Kumari, 2005). Berkurangnya level obat antipsikotik
dalam plasma menyebabkan pasien memerlukan dosis pengobatan yang
lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Dosis yang lebih
tinggi dapat berakibat pada efek samping yang lebih banyak,dan sebagai
akibatnya pasien juga memiliki angka ketergantungan tembakau yang
lebih tinggi (Patel, 2010 dan Krishnadas, dkk, 2012).
Temuan bahwa merokok dapat disebabkan oleh karena gejala dari
skizofrenia, banyak studi telah melaporkan bahwa merokok dapat
merupakan satu dari banyak faktor resiko lingkungan yang menyebabkan
skizofrenia. Dalam suatu studi kohort didapatkan bahwa perokok usia
remaja memiliki resiko yang lebih besar kedepannya untuk mengalami
skizofrenia dan secara signifikan lebih mungkin dirawat inap untuk
skizofrenia ke depannya. Sebagai tambahan, ditemukan juga bahwa
nikotin mengaktifasi aktifitas neurotransmisidari dopamin mesolimbik
yang berperan sebagai reward. Reward ini penting untuk para remaja
yang mulai menunjukkan gejala dari penyakit psikiatri (Patel, 2010 dan
AhnAllen, dkk, 2012).
Dalam suatu studi ditemukan bahwa dibandingkan dengan perokok tanpa
gangguan mental, perokok dengan skizofrenia dan depresi merasakan
rokok lebih menguntungkan karena adanya nilai reward yang besar
dibandingkan dengan reward alternative untuk aktivitas lain. Walaupun
nilai reward dari merokok berarti bagi pasien skizofrenia, neurotransmisi
dari dopamin mesolimbik dapat meningkatkan resiko psikosis pada
individu yang sudah terekspos olehresiko familial dan lingkungan lain
dariskizofrenia. Jadi, dapat dibuat hipotesis bahwa merokok pada
individu dengan skizofrenia yang berada pada resiko tinggi untuk
mendapatkan penyakit tersebut karena faktor lain, dapat menjadi suatu
tanda untuk perkembangan skizofrenia (Patel, 2010 dan AhnAllen, dkk,
2012).
Walaupun faktor-faktor yang berhubungan dengan merokok dapat
dianalisis pada hampir semua titik dari penyakit, remaja adalah suatu
waktu yang kritis untuk mengevaluasi merokok karena merokok rata-
ratadimulai pada umur 15 tahun. Pada sebagian besar kasus, merokok
juga terjadi sebelum onset dari penyakit. Banyak studi telah disahkan
bahwa onset dari skizofrenia terjadi sekitarumur 18 tahun. Fakta bahwa
inisiasi dari merokok terjadi hampir selalu 3tahun sebelum onset dari
penyakit mungkin dapat dijelaskan oleh pengaruh familial,
penyalahgunaan zat dan juga neurotransmisi nikotinik yang berperan
dalam patofisiologi skizofrenia (Patel, 2010 dan Krishnadas, dkk,
2012).
3. Remaja dari Orangtua yang Memiliki Kebiasaan Merokok
Suatu studi menyimpulkan bahwa remaja dari orangtua yang memiliki
kebiasaan merokok atau melakukan penyalahgunaan zat lebih mungkin
untuk mulai merokok pada usia lebih muda. Sebagai tambahan, suatu
lingkungan rumah yang stabil dengan dua orangtua biologis atau
keluarga yang mendukung perkembangan individu dapat melindungi
remaja dari penyalahgunaan zat. (Patel, 2010). Studi lain juga
mengusulkan bahwa jumlah rokok yang dihisap sebelum onset dari
penyakit juga secarasignifikan berhubungan dengan resikountuk
berkembangnya skizofrenia.
Dibandingkan dengan individu yang tidak merokok, remaja yang
merokok 1-9 batang rokok per hari memiliki resiko1.38 kali lebih besar
untuk masuk rumah sakit karena skizofrenia dan mereka yang merokok
10 batang rokokatau lebih per harinya 2.28 kali lebih mungkin untuk
diopname di rumah sakit selanjutnya(Patel, 2010 dan Krishnadas, dkk,
2012). Penyalahgunaan zat juga meningkatkan resiko terjadinya
skizofrenia. Sebagai tambahan, onset merokok yang lebih awal juga
dilihat sebagai suatu indikator dari penyalahgunaan zat (Patel, 2010).
Remaja tidak hanya memiliki resiko yang lebih besar untuk menjadi
skizofrenia karena terdapat semua faktor resiko lain, tetapi mereka juga
diketahui memiliki defisit kognitif yang lebih besar dibandingkan pasien
skizofrenia dewasa. Dalam suatu studi didapatkan bahwa pasien remaja
menunjukkan hasil tes fungsi motorik,bahasa dan daya ingat yang lebih
buruksecara signifikan dari pasien dewasa. Hal ini merupakan temuan
yang penting karena seperti sudah diketahui bahwa banyak individu
dengan skizofrenia merokok untuk menenangkan defisit kognitif mereka
dan sangat mungkin bahwa banyak dari remaja ini telahmulai merokok
untuk menenangkan defisit kognitifnya. Bagaimanapun, juga telah
diketahui bahwa merokok meningkatkan neurotransmisi dopamin
mesolimbik, yang dapat meningkatkan resiko psikosis pada individu
yang telah terpajan oleh resiko familial dan lingkungan lain dari
skizofrenia (Patel, 2010; AhnAllen, dkk, 2012, dan Zammit S, dkk, 2003).
4. Remaja yang Merokok Memiliki Resiko Lebih Besar untuk Menjadi
Skizofrenia
Remaja yang merokok memiliki resiko lebih besar untuk menjadi
skizofrenia karena selama fase prodromal, remaja mengalami penarikan
sosial, perilaku aneh dan juga pencapaian sekolah yang rendah. Hal ini
terjadi ketika permulaan merokok juga mulai menjadi suatu bentuk “self-
medication”. Merokok jugadapat memberi efek menenangkanuntuk
remaja selama fase distressafektif. Oleh karena itu, fakta bahwa remaja
mulai merokok selama periode ini mungkin menjadi suatu indicator dari
penyakit mental yang serius seperti skizofrenia (Patel, 2010 dan Kumari,
2005 ).
Pasien dengan ketergantungan nikotin berat dikatakan memiliki gejala
positif yang lebih besar serta mendapatkan resep obat-obatan antipsikotik
dengan dosis yang lebih tinggi.Gejala negatif lebih besar tampak pada
pasien dengan ketergantungan ringan, yang dikonfirmasi dengan
peningkatan angka sindrom defisit pada grup ini. Gejala positif dan
negatif yang lebih besar juga berhubungan dengan penyesuaian sosial
yang buruk. Hal ini didukung temuan bahwa pasien dengan
ketergantungan nikotin berat lebih banyak tidak bekerja.
Salah satu studi menyatakan bahwa disamping segala pengaruh
buruknya, merokok dapat merupakan suatu faktor protektif yang
independen terhadap terjadinya skizofrenia. Hal inisesuai dengan uji coba
pada binatang yang menunjukkan efek neuroprotektif dari nikotin serta
pelepasan dopamin prefrontal sebagai respon terhadap nikotin (Zammit S,
dkk, 2003).
c. Implikasi dari KetergantunganTembakau pada Skizofrenia
Ketergantungan tembakau pada pasien skizofrenia dapat memiliki banyak
implikasi yang tidak diinginkan. Berdasarkan laporan National Instituteof
Mental Health, individu dengan skizofrenia memiliki harapan hidup yang
lebih singkat dan meningkatnya angka kematian dibandingkan dengan
populasi umum. Peningkatan angka morbiditas dan mortalitas dapat
disebabkan oleh ketergantungan tembakau dan faktor resiko lain yang dapat
dimodifikasi seperti kurangnya nutrisi, obesitas, gaya hidup dan perawatan
kesehatan yang buruk. Lebih dari itu, pasien memiliki resiko dua kali lipat
untuk penyakit kardiovaskular dan tiga kali lipat resiko untuk mengalami
penyakit saluran respirasi dan kanker paru-paru. Hal ini menyebabkan usia
harapan hidup pada pasien ini berkurang hingga 20%. Perokok berat pada
populasi ini juga berhubungan dengan resiko yang lebihtinggi dari
penyalahgunaan zat (Patel, 2010; Winterer, 2010, dan Krishnadas, dkk,
2012).
Merokok tetap menjadi penyebab kematian terbesar di negara kita. Merokok
tampaknya dapat menimbulkan risiko kesehatan baik umum dan khusus
untuk pasien dengan skizofrenia. Tidak ada keraguan bahwa merokok
menyebabkan morbiditas yang cukup besar dan kematian, tetapi tidak ada
data epidemiologi mengatasi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan
dengan merokok dalam skizofrenia. Penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa antara harapan hidup orang dengan skizofrenia
diperkirakan 20% lebih sedikit daripada di umum penduduk. Ada
peningkatan kematian akibat penyebab alami dan penyebab yang paling
umum adalah penyakit jantung dan pernapasan, baik yang berhubungan
dengan merokok (Mortensen dan Juel, 1993). Prevalensi merokok
meningkat merupakan faktor potensial yang penting dalam menjelaskan
kematian tinggi pada skizofrenia.
Merokok juga mempengaruhi metabolisme dan kadar obat-obatan psikiatri
dalam darah. Obat-obatan yang biasa digunakan oleh pasien yang levelnya
di darah dipengaruhi oleh merokok adalah olanzapine, clozapine,haloperidol
dan fluphenazine. Hal ini penting bagi para profesional di bidang kesehatan
mental untuk mempertimbangkan ketergantungan tembakau ketika
memonitor dosis obat pasien (Patel, 2010, Zammit S, dkk, 2003 dan Kumari,
2005). Walaupun penyesuaian dosis dapat menjadi salah satu pilihan untuk
menghadapi situasi ini, strategialternatif adalah dengan mengganti
pengobatan. Contohnya risperidon dan aripiprazol yang dimetabolisme
melalui CYP2D6 dan CYP3A, serta quetiapine dan ziprasidone yang
dimetabolisme melalui CYP3A, sehingga kadarnya dalam plasma tidak
dipengaruhi oleh rokok (Winterer, 2010).
Pasien dengan skizofrenia juga sering memiliki kesulitan keuangan dan
ketergantungan tembakau hanya menambah biaya, sebab sebagian besar
pasien merokok sebanyak rata-rata 25 batang per hari. Pasien dapat
menghabiskan kurang lebih 30% dari dana bulanan hanya untuk membeli
produk-produk tembakau. Beban finansial ini membuat pasien kesulitan
untuk memperoleh rokok disamping fakta bahwa mereka ketagihan terhadap
rokok (Patel, 2010 dan Winterer, 2010).
Yang terakhir, tetapi yang palingpenting, remaja yang memiliki resiko untuk
berkembang menjadi skizofrenia dan yang mulai merokok pada usia muda
lebih mungkin menjadi pecandu rokok di kemudian hari dan juga lebih
mungkin mengalami implikasi yang tidak diinginkan dari ketergantungan
tembakau seperti yang sudah disebutkan diatas, lebih awal dari mereka yang
tidak merokok (Patel, 2010).
d. Berhenti Merokok Pada Pasien Skizofrenia
Tingkat berhenti merokok sangat rendah pada skizofrenia dan bahkan lebih
rendah pada penyakit jiwa lainnya. Upaya untuk mendapatkan pasien
dengan skizofrenia untuk menghentikan merokok telah berhasil ditemukan.
Persepsi yang ditimbulkan bahwa hal itu akan berhasil dan akan membawa
salah satu individu dari beberapa kesenangan mereka. Pandangan ini secara
inheren diskriminatif. Dalam studi Kelly dan McCreadie (1999) sepertiga
dari pasien melaporkan bahwa mereka ingin berhenti karena alasan
kesehatan.
Perokok dengan skizofrenia memiliki kecanduan nikotin yang parah , dan
farmakologis dan psikologikal dengan berhenti merokok perlu
ditambahakan. Ada beberapa studi yang telah melihat metode berhenti
(ditinjau oleh Lavin, dkk, 1996 ). Larangan merokok di dalam unit psikiatri
memiliki dihasilkan laporan naturalistik, biasanya pasien yang sangat
kecanduan diterapi saja (Addington,dkk, 1998) atau dalam kombinasi
dengan terapi pengurangan nikotin (Ziedonis dan George, 1997) . Hasil
studi yang mendesak diperlukan untuk mengevaluasi efektivitas merokok
dalam penghentian program (misalnya dalam program rawat pasien,
pengganti nikotin, perilaku teknik dan sebagainya ). Untuk kecanduan yang
parah, kombinasi berikut dapat digunakan yaitu gabungan permen karet dan
terapi patch, bupropion dan nicotine patch, nicotine nasal spray, atau inhaler
nikotin. Penggunaan bupropion menarik. Dalam Subyek biasa terus
menerus melepaskan bupropion, antidepresan, sendiri atau dalam kombinasi
dengan nikotin yang patch, mengakibatkan tingkat berhenti merokok jangka
panjang secara signifikan lebih tinggi (masing-masing 30,3 dan 35,5 %)
daripada penggunaan baik patch nikotin saja (16,4 %) atau plasebo (15,6 %)
(Jorenby dkk, 1999). Dalam laporan kasus baru-baru ini (Evins dan Tisdal ,
1999 ), melepaskan bupropion telah berhasil digunakan dengan pasien laki-
laki sakit kronis dengan skizofrenia .
Mengapa mungkin antidepresan seperti bupropion membantu dalam berhenti
merokok. Telah disarankan bahwa pemberian jangka panjang bupropion dan
nortriptyline, antidepresan adrenergik, menghasilkan responsivitas
meningkat secara signifikan untuk stimulasi sel-sel dopamin tegmental
ventral. Hal ini tidak terlihat dengan selective serotonin reuptake inhibitor
(SSRI). Ini mungkin mengapa buproprion dan nortriptyline meningkatkan
pantang merokok, tetapi tidak dengan obat golongan SSRI. Untuk
penjelasan lebih lengkap tentang kemungkinan ini , lihat Glassman (1998).
Kami baru-baru ini melaporkan (Skotlandia Schizophrenia Research Group,
2000) bahwa prevalensi merokok pada pasien episode pertama hanya
setinggi pada pasien kronis , namun bahwa jumlah rokok yang dihisap per
hari tidak lebih tinggi dari yang pada perokok pada populasi umum.
Mungkin itu adalah tahap awal yang mencoba untuk membantu pasien
berhenti merokok yang harus dilakukan .
III. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Addington, J., el-Guebaly, N., Campbell, W., et al (1998) Smoking cessation treatment for patients with schizophrenia. American Journal of Psychiatry, 155, 974-976.
AhnAllen CG, Liverant GI, Gregor KL, Kamholz BW, Levitt JJ, Gulliver SB, dkk. The relationship between reward based learning and nicotine dependence in smokers with schizophrenia. Psychiatry Research. 2012; 196:9-14.
Benhard Rudyanto Sinaga, Skizofrenia & Diagnosis Banding; Balai Penerbit FKUI Jakarta; 2007
Benowitz, NL., 1996. Pharmacology of Nicotine : Addiction and Therapeutics. Ann Rev Pharmacology Toxicology, 36 : 597 – 613.
Benwell M.E., alfour D.J. and Anderson J.M. 1998. Evidence that tobacco smoking increase the density of [3H]nicotine binding sites in human brain. Journal of Neurochemistry, Vol 50: 1243-1247.
Bertram G. Katzung, M.D., Ph. D.; Farmakologi Dasar Dan Klinik; Penerbit Salemba Medika; 2002.
Breese C.R., Marks M.J., Logel J.L., Adams C.E., Sullivan B., Collins A.C., and Leonard S. 1997. Effect of Smoking History on [3H]Nicotine Binding in Human Postmortem Brain. JPET. 282:7-13,1997.
Decker, M.S., Brioni, J.D., 1997. Neuronal Nicotinic Receptors: Potential Treatment of Alzheimer Disease with Novel Cholinergic Channel Modulators. Pharmacological Treatment of Alzheimer’s Disease. Chap.19., pp.433-459, Wiley-Liss, New York.
Evins, A. E. & Tisdale, T. (1999) Bupropion and smoking cessation. American Journal of Psychiatry, 156, 798-799.
Glassman, A. H. (1998) Psychiatry and cigarettes. Archives of General Psychiatry, 55, 692-693.
Grundman, M., Thal, L.J., 2000. Treatment of Alzheimer’s Disease: Rationale and Strategies. Neurology Clinics, 18 (4), 807-828.
Hans Tendra. 2003. Merokok dan Kesehatan. Surabaya. http://yahoo.com. Diakses tanggal 30 April 2014.
Hajos, M., Engberg, G., 1988. Role of primary sensory neurons in the central effects of nicotine. Psychopharmacol, 94:468-470.
Jorenby, D. E., Leischow, S. J., Nides, M. A., et al (1999) A controlled trial of sustained release bupropion, a nicotine patch, or both for smoking cessation. New England Journal of Medicine, 304, 685-691.
Joseph, A.M., Norman, S.M., Ferry, L.H., Prochazka, A.V., westman, E.C. Steele, B.G. 1996. The Savety of Transdermal Nicotine as an Aid to Smoking Cessation in Patients with Cardiac Disease. The New England Journal of Medicine; 335 : 1792 – 1798.
Kelly, C. & McCreadie, R. G. (1999) Smoking habits, current symptoms, and premorbid characteristics of schizo-phrenic patients in Nithsdale, Scotland. American Journal of Psychiatry, 156, 1751-1757.
Krishnadas R, Jauhar S, Telfer S, Shivashankar S, McCreadie RG. Nicotine Dependence and Illness Severity in Schizophrenia. The British Journal of Psychiatry. 2012; 1-7.
Kumari V, Postma P. Nicotine Use in Schizophrenia: The Self Medication Hypotheses. Neuroscience and Neurobehavioral Reviews. 2005; 29: 1021-1034.
Lavin, M. R., Siris, S. G. & Mason, S. E. (1996) What is the clinical importance of cigarette smoking in schizophrenia American Journal of Addictions, 5, 189-208.
Maslim Rusdi, (2001). Buku Saku Diagnosa Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari PPDGJ – III. Nuh Jaya. Jakarta
Mitchell S.N., Smith K.M., Joseph M.H and Gray J.A., 1997. Acute and chronic effects of nicotine on catecholamine synthesis and release in the rat central nervous system. In: The biology of nicotine: Current Research Issues (PM Lippiello, AC Collins, JA Gray and JH Robinson, eds.) Raven Press, New York: 98-119.
Mortensen, P. B. & Juel, K. (1993) Mortality and causes of death in first admitted schizophrenic patients. British Journal of Psychiatry, 163, 183-189.
Patel M. Tobacco Dependence and Schizophrenia: A Complex Correlation Journal of Young Investigators. Vol 19; Issue 20.2010.
Picciotto M.R., Zoli. M.,Rimondini R., Lena C., Marubio L.M., Pich EM., Fuxe K and Changeux J.P., 1998. Acetylcholine receptors containing the beta2 subunit are involved in the reinforcing properties of nicotine. Nature, 391:173-177.
Robertson D., Tseng C,J., Appalsamy M. 1988. Smoking and Mecanisms of Cardiovascular Control. Am Heart J : 115 : 258.
Scottish Schizophrenia Research Group (2000) Smoking habits and plasma lipid peroxide and vitamin E levels in never treated first-episode patients with schizophrenia. Preliminary report. British Journal of Psychiatry, 176, 290-293.
Shochat, M., Lucchesi, M., 2000. Toxicity, Carbon Monoxide. eMedicine Journal,Volume 2, Number 5.
Svensson, T.H., 2000. Dysfunctional Brain Dopamine Systems Induced by Psychotomimetic NMDA Receptor Antagonists and The Effects of Antipsychotic Drugs. Brain Res. Rev. 31 (2-3):320-329.
Wildan Asfan. 2002. Lingkungan Kerja Tanpa Rokok (Dalam Rangka Hari Tembakau Sedunia). Kompas.
Winterer G. Why do patients with schizophrenia smoke? Current Opinion in Psychiatry.2010; 23:112-119.
Zammit S, Allebeck P, Dalman C, Lundberg I, Hemmingsson T, Lewis G. Investigating theAssociation Between Cigarette Smoking and Schizophrenia in a Cohort Study. AmericanJournal of Psychiatry. 2003; 160:2216-2221.