referat asma

Upload: tessa-septian-anugrah

Post on 30-Oct-2015

76 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

asma

TRANSCRIPT

PENANGANAN ANESTESI PADA PASIEN ASMA

PENANGANAN ANESTESI PADA PASIEN ASMAPENDAHULUAN

Asma adalah suatu peradangan kronis saluran nafas yang melibatkan berbagai sel radang, yang mengakibatkan hipereaktivitas bronkus dengan berbagai tingkat. Akibat hiperaktivitas bronkus timbul gejala yang biasanya berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas bronkus dan penyempitan saluran nafas yang reversibel baik secara spontan atau dengan pengobatan.1

Gejala serangan asma berupa sesak nafas yang paroksismal, berulang- ulang dengan mengi (wheezing), batuk ,peradangan mukosa bronkus dan produksi lendir kental yang berlebihan.Ada beberapa faktor pencetus spesifik ( olahraga atau alergi) yang menyebabkan timbulnya gejala. Penyakit yang kurang terkontrol sering menyebabkan memburuknya gejala pada malam hari.

Angka kejadian asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Asma dapat timbul pada setiap usia, pada setiap lapisan masyarakat dan tidak bergantung pada status sosial ekonomi tertentu.Pada masa kanak- kanak ditemukan prevalensi anak laki- laki berbanding perempuan 1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak dari laki- laki. Asma terdapat pada setiap negara dan angka kesakitannya berbeda- beda pada setiap negara. Mengingat bahwa jumlah penderita asma sedemikian tinggi dan asma mempunyai dampak sosial yang cukup besar karena penderita asma sering mengalami serangan hingga angka kehilangan hari sekolah atau hari kerja cukup tinggi, maka diperlukan penanganan asma yang sebaik- baiknya.2,3Penyakit asma dapat bersifat ringan, tetapi kadang dapat membahayakan atau mengancam jiwa jika terjadi serangan yang berat. Pada saat terjadi serangan penderita asma akan mengalami kesulitan mempertahankan keseimbangan ventilasi dan perfusi,dimana pada kondisi ini ventilasi akan meningkat sementara perfusi biasanya tidak terganggu, sehingga penderita akan jatuh dalam keadaan hipoksia.

Serangan asma jika terjadi pada saat operasi berlangsung akan sangat membahayakan oleh karena secara normal penderita yang mengalami pembedahan dan anestesi akan mengalami peningkatan kebutuhan oksigen karena stress operasi dan anestesi, sedangkan pada saat serangan asma terjadi gangguan dalam pemenuhan kebutuhan oksigen.Dengan demikian akan terjadi keadaan hipoksia dan jika tidak segera ditanggulangi dapat membahayakan pasien.

Pasien asma yang terkontrol dengan baik dapat tahan terhadap anestesi dan operasi dengan baik. Insiden bronkospasme perioperatif pada pasien asma yang menjalani operasi rutin kurang dari 2 %, terutama bila pengobatan rutinnya tetap diteruskan. Frekwensi komplikasi paling tersering terjadi pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun, pasien yang menjalani operasi mayor dan penderita penyakit yang tidak stabil. Asma yang kurang terkontrol memiliki resiko masalah respirasi perioperatif (bronkospasme, retensi sputum, atelektasis, infeksi, dan gagal nafas). Operasi elektif baru bisa dilakukan bila asma sudah terkontrol secara optimal.Dengan demikian pada penderita yang mempunyai riwayat penyakit asma jika akan dilakukan operasi dan pembiusan diperlukan pengelolaan perioperatif yang sebaik- baiknya, sehingga episode serangan asma dan komplikasi dapat dicegah.

DEFINISI

Asma adalah suatu penyakit paru obstruksi yang ditandai oleh sumbatan jalan napas yang reversible secara spontan atau dengan pengobatan, peradangan jalan napas, kenaikkan reaktifitas jalan napas terhadap berbagai rangsang.1

Konsep peradangan jalan napas pada asma telah dikembangkan pada workshop WHO yang menjelaskan asma sebagai suatu kelainan peradangan kronis jalan nafas dimana beberapa macam sel memainkan peran, khususnya sel mast, eosinofil, lymposit T. Pada individu yang dicurigai, peradangan ini menyebabkan episode kambuh berupa wheezing, nafas sesak, dada sesak dan batuk khususnya pada malam hari atau awal pagi. Gejala- gejala tersebut umumnya berkaitan dengan perkembangan penyakit dan hambatan aliran udara yang dapat reversible (minimal sebagian) secara spontan atau dengan pengobatan, peradangan ini menyebabkan kenaikkan reaktifitas jalan napas terhadap berbagai macam rangsangan.4PATOFISIOLOGI

Asma bronkiale adalah penyakit radang kronis yang ditandai oleh penyempitan/ sumbatan jalan napas spontan dan reversibel dengan atau tanpa pengobatan, serta meningkatnya kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan.1

Asma sebagai penyakit inflamasi saluran napas ditandai dengan adanya kalor ( panas karena vasodilatasi) dan rubor (kemerahan karena vasodilatasi), tumor ( eksudasi plasma dan edema), dolor ( rasa sakit karena rangsangan sensoris), functio laesa (fungsi yang terganggu),dan infiltrasi sel- sel radang.5

Pada asma karena alergi, terjadi reaksi hipersensitivitas type 1 yang melibatkan adanya interaksi antara antibody humoral kelas Ig E, antigen dan sel mast atau basofil yang banyak tersebar dalam tubuh.Antigen yang terlibat dalam reaksi ini merupakan allergen yang banyak dijumpai disekitar kita (terutama inhalan seperti tepung sari,spora jamur, debu rumah, bulu hewan). Mekanisme alergi ini dimulai dari pembentukan antibody Ig E dalam jumlah besar karena rangsangan alergen. Ig E mempunyai sifat homositotropik yang berarti memiliki kemampuan berikatan dengan sel sasaran seperti sel mast. Ikatan antara allergen dengan Ig E mast sel akan merangsang receptor pada membran mast sel, berakibat aktivasi enzim di dalam mast sel yang menyebabkan fusi granula dengan membran yang akan diikuti degranulasi, sehingga terjadi pelepasan mediator dari granula mast sel seperti histamin, serotonin, bradikinin, SRS- A, PAF,leukotrin, prostaglandin,dll yang menyebabkan :

kontraksi otot polos bronkiolus

peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan edema dan keradangan pada dinding bronkiolus

peningkatan produksi mucus dalam lumen bronkiolus

Ketiga hal tersebut menyebabkan penyempitan jalan napas/ peningkatan tahanan saluran napas terutama saluran napas bagian bawah yang menimbulkan gejala- gejala klinis seperti wheezing (mengi ) dan sesak napas.6

Pada asma terjadi peningkatan sensitifitas sistem kolinergik dan adrenergik alfa, atau blokade respon adrenergik beta. Pada keadaan peningkatan sensitifitas sistem kolinergik dan adrenergik alfa maka rangsangan yang kecil seperti hawa dingin, asap rokok, partikel- partikel dalam udara, gerakan respirasi yang kuat seperti pada waktu exercise, dapat menimbulkan bronkokonstriksi. Sedangkan pada keadaan blokade adrenergik beta terjadi penurunan sensitifitas terhadap katekolamin/ hipofungsi reseptor simpatis beta yang dapat menyebabkan penyempitan bronkus.6

Pada asma sistim saraf parasimpatis memegang peranan penting dalam pemeliharaan tonus bronkus yang normal. Vagal afferen pada bronkus sensitif terhadap histamin dan multipel noxius stimuli, termasuk udara dingin, irritan hirup dan instrumentasi ( contoh endotrakeal intubasi). Aktivasi reflek vagal akan menyebabkan bronkokonstriksi, yang dimediasi oleh kenaikkan cGMP interselluler.6

Selama serangan asma ( bronkokonstriksi) udem mukosa, dan sekresi lendir akan meningkatkan tahanan aliran udara pada semua level airway bagian bawah. Bila serangan asma membaik, tahanan jalan napas menjadi normal dimulai pada jalan napas yang lebih besar, lalu diikuti jalan napas yang lebih perifer. Akibatnya, kecepatan aliran ekspirasi mengalami penurunan, pada awalnya kapasitas vital, tetapi selama penyembuhan serangan asma kecepatan aliran ekspirasi mengalami penurunan hanya pada volume paru bagian bawah. Kapasitas paru total, volume residu dan kapasitas residu fungsional semua meningkat.Pada serangan akut, volume residu dan FRC sering meningkat masing- masing lebih dari 400% dan 100%.2Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata diseluruh bagian paru. Ada daerah- daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia.Penurunan PaO2 mungkin merupakan kelainan asma subklinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga PaCO2 menurun kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot- otot pernapasan bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi CO2 .Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2 ( hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, yang akibatnya memperburuk hiperkapnia.5

PENANGANAN ANESTESIPenanganan PreoperatifA. Evaluasi Preoperatif

Evaluasi pasien asma yang akan menjalani tindakan anestesi dan pembedahan penting dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan kejadian bronkospasme baik intra operatif atau post operatif.Pasien terbaik mampu mengendalikan serangan asma akut. Data-data yang diperlukan pada evaluasi penderita meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru dan analisa gas darah, Rontgen thorax.8,91. Riwayat penyakit

Data penting pada riwayat penyakit meliputi lama penyakitnya, frekwensi serangan, hebat/lamanya serangan, keluhan/gejala penyakit, faktor- faktor yang mempengaruhi serangan, riwayat penggunaan obat- obatan dan hasilnya, riwayat perawatan di rumah sakit, riwayat serangan terakhir, beratnya dan pengobatannya.10 Bila baru- baru ini mendapat infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan asma,maka operasi elektif sebaiknya ditunda 4- 5 minggu untuk mencegah reaktifitas jalan napas.112. Pemeriksaan fisik

Tanda- tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas yang terjadi.Dari inspeksi : penderita dalam keadaan sesak, wheezing, sianosis, ekspirasi memanjang, berkeringat. Palpasi : takikardi. Perkusi : hipersonor. Auskultasi : wheezing, ronki basah.10 Tanda- tanda serangan asma yang berat meliputi penggunaan otot- otot pernapasan tambahan, tidak mampu berhenti napas yang panjang saat bicara, sianosis, sedikit atau tidak ada wheezing (jalan napas tertutup, sedikit gerakan udara, dan penurunan wheezing).93. Pemeriksaan laboratorium

Pada asma pemeriksaan darah tampak eosinofil meningkat,leukositosis, kadar immunoglobulin meningkat ( Ig G, Ig E ).Pada pemeriksaan sputum selain didapatkan eosinifil,juga ditemukan adanya kristal Charcot Leyden, spiral Churschman, dan mungkin juga miselium aspergilus fumigatus.104. Pemeriksaan Rontgen thorax

Pada umumnya hasilnya normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut umumnya dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan bila ada kecurigaan adanya proses patologi di paru atau adanya komplikasi asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atelektasis, pneumonia,dan lain- lain.9 Kadang didapatkan gambaran air trapping, diafragma datar karena hiperinflasi, jantung mengecil dan lapangan paru yang hiperluscen.5. Pemeriksaan fungsi paru (Spirometri)

Untuk menentukan derajat obstruksi dan mengevaluasi hasil pengobatan. Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran aliran udara ekspirasi yaitu volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan arus puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai volume ekspirasi paksa (FEV1) untuk laki- laki adalah lebih dari 3 liter dan lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus puncak ekspirasi ( PEFR ) adalah lebih dari 200 lt/ mnt ( pada laki- laki dewasa muda bisa lebih dari 500 lt/mnt). Nilai PEFR kurang dari 200 lt/mnt pada pria (< 150 lt/mnt pada wanita) menunjukkan gangguan efektifitas batuk dan akan meningkatkan komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50 % menunjukkan asma sedang berat. Nilai PEFR < 120 lt/mnt atau FEV1 1liter menunjukkan adanya obstruksi berat.11Pemeriksaan ini penting dilakukan oleh karena sering terjadi ketidaksesuaian antara gambaran klinis penderita asma dengan fungsi paru. Penderita yang baru sembuh dari serangan asma akut atau penderita asma kronik sering tidak mengeluh, tetapi bila diperiksa ternyata terdapat obstruksi saluran napas.Hal ini mengakibatkan pasien mudah mendapat serangan asma dan bahkan bila berlangsung lama atau kronik dapat berlanjut menjadi penyakit paru obstruksi kronik. Pemeriksaan ini diindikasikan pada pasien pasien yang menderita penyakit paru sedang sampai berat yang menjalani operasi yang berdampak pada sistim respirasi.11

Pemeriksaan ini juga memprediksi terhadap resiko komplikasi paru postoperatif, memprediksi kebutuhan bantuan ventilasi dan menilai respon pengobatan ( contoh bronkodilator preoperatif )146. Pemeriksaan analisa gas darah

Pemeriksaan analisa gas darah biasanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma yang berat. Pada fase awal serangan,terjadi hipoksemia dan hipokapnia ( PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada stadium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo- kapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadi hiperkapnia ( PaCO2 45 mmHg),hipoksemia,dan asidosis respiratorik Kondisi yang

berat akan meningkatkan resiko komplikasi paru- paru.10B. Persiapan Preoperatif

Pada pasien asma persiapan preoperative bertujuan untuk meningkatkan kondisi pasien agar gangguan paru yang ada bisa reversibel.14 Kondisi optimal penderita asma adalah bebas gejala dyspnea, batuk maupun mengi atau gejala tersebut minimal. Operasi elektif pada pasien asma yang dalam kondisi kambuh (eksaserbasi akut) harus dihindari, dan pengobatan bronkodilator harus dilanjutkan sampai saat operasi.12 Pasien dengan bronkospasme yang frekwen atau kronis harus diobati dengan preparat bronkodilator yang berisi 2- adrenergic agonis, dosis terapi teopillin dan kotikosteroid. Sumber lain menganjurkan untuk dilakukan tambahan latihan napas dan fisioterapi dada.12,13

Pasien asma dengan serangan bronkospasme aktif yang akan menjalani pembedahan emergensi harus dilakukan perawatan intensif bila memungkinkan. Pemberian oksigenasi, aminophyllin intravena, glukokortikoid dan 2- agonis aerosol dapat secara cepat meningkatkan fungsi paru dalam beberapa jam. Analisa gas darah mungkin bermanfaat pada kasus berat. Hypoxaemia dan hypokapnia sering terjadi pada serangan asma sedang dan berat, bahkan hyperkapnia ringan menunjukkan adanya air traping berat dan dapat merupakan indikasi ancaman gagal napas.2 Adanya infeksi pada saluran napas harus diobati dengan antibiotik.

Berdasar patofisiologinya, pengobatan asma terdiri atas kortikosteroid untuk mencegah gejala, menurunkan hiperaktifitas bronkus dan menurunkan eksaserbasi, dan bronkodilator yang berfungsi memperbaiki fungsi paru dan mengurangi beratnya gejala. Pengobatan terbaru menganjurkan pemakaian kortikosteroid sedini mungkin pada pasien yang menggunakan agonis 2 inhalasi. Terapi kombinasi solmeterol 50 mg dan flutikason dalam satu sediaan terbukti lebih efektif dibanding peningkatan dua kali lipat dosis budesonide 80 mg.16Pasien asma perlu diberikan latihan napas dalam dan upaya batuk yang kuat pada masa paska bedah, bertujuan untuk meningkatkan pengembangan paru dan pembersihan sekresi lendir.11C. Penatalaksanaan Medis

1. Kortikosteroid sering digunakan pada pasien asma. Terutama bentuk parenteral yang digunakan untuk terapi serangan asma berat. Mekanisme kerja obat ini melalui pengurangan oedem mukosa, stabilisasi membrane mast sel. Sebagai anti inflamasi, kortikosteroid bekerja melalui mekanisme antara lain:1- menghambat metabolisme asam arakidonat sehingga mempengaruhi leukotrin dan prostaglandin.

- Mengurangi kebocoran mikrovaskuler.

- Mencegah migrasi langsung sel-sel inflamasi

-Menghambat produksi cytokins

-Meningkatkan kepekaan reseptor beta pada otot polos bronkus. Kortikoksteroid yang diberikan secara sistemik dalam jangka panjang dapat menimbulkan efek samping, oleh karena itu dianjurkan pemberian obat secara inhalasi.1 (Kortikosteroid inhalasi yang dapat digunakan misalnya budesonide, beclometasone) dengan dosis maksimal 2000 mcg, sangat efektif dalam pengendalian gejala asma dan dalam mencegah eksaserbasi.10 Bila pemberian secara inhalasi belum bisa mengontrol serangan asma, maka dianjurkan pemberian secara parenteral. Kortikosteroid parenteral yang biasa digunakan adalah (1-2 mg/kg) hydrocortisone 100 mg IV per 8 jam dan methyl prednisolone 40-80 mg IV per 4-6 jam, atau 80 mg IV per 8 jam, atau 0,8 mg/kg.11Pada pasien yang sudah dapat terapi steroid lebih dari dua minggu diperlukan dosis dua kali lebih besar, sebab kadar plasma kortikosteroid lebih rendah akibat pemakaian lama yang menimbulkan supresi pada supra renale.112. Sympathomimetics, atau -agonis agen, menyebabkan bronchodilatasi melalui cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang memediasi relaxaxi otot polos bronchus.14 Obat-obat ini juga menghambat pelepasan histamin dan juga neurotransmitter kholinergik.15a. Obat-obat dengan campuran efek 1 dan 2 termasuk epinefrine (adrenaline), isoproterenol (Isuprel), dan Isoetharine (bronkosol). Efek samping takikardi dan arithmogenik obat ini membahayakan pada penderita penyakit jantung.14b. Obat-obat dengan selektif 2 termasuk albuterol (Ventolin), terbutaline (Brethine) dan metaproterenol (Alupent). Umumnya obat-obat ini diberikan secara inhaler.14 Agonis 2 inhalasi sampai saat ini merupakan bronkodilator yang paling efektif dan paling banyak dipakai. Ada 2 jenis sediaan bronkodilator inhalasi yaitu agonis 2 aksi pendek dan aksi panjang. Agonis 2 aksi pendek seperti salbutamol,fenoterol dan terbutaline ini sangat efektif, cepat dan aman untuk mengobati serangan asma akut. Agonis 2 aksi panjang adalah salmeterol dan formoterol.163. Phosphodiesterase inhibitor (Theophylline), obat ini menyebabkan bronkodilatasi dengan cara meningkatkan kadar cAMP intraseluler yang menghambat kerja ensim phosphodiesterase. Selain bekerja sebagai inhibitor phosphodiesterase, theophylline juga bekerja sebagai antagonis prostaglandin, inhibitor transport kalsium, meningkatkan clearans mucosiliare dan meningkatkan kerja diafragma.15Loading dose aminophylline adalah 5-6 mg/kg BB lebih dari 30 menit diikuti infus kontinyu 0,4-0,9 mg/kg BB. Kadar theophylline dalam darah perlu diperiksa dan dosisnya disesuaikan untuk menjaga kadar terapi yang sempit antara 10-20 g/dl. Penggunaan obat ini perlu dilanjutkan sampai pagi menjelang operasi. Level obat di atas 20 g/dl sering menyebabkan tanda-tanda toxic berupa mual, muntah, headache, cemas, takikardia, arithmia dan kejang.144. Sodium Cromolyn dan Iodium nedokromil, adalah preparat inhalasi yang digunakan sebagai profilaksis pada asma. Mekanisme kerja obat ini melalui stabilisasi membrane mast cell dan anti inflamasi, Obat-obat ini sering digunakan pada anak untuk mencegah efek samping kortikosteroid pada pertumbuhan anak.15. Anticholinergik, mempunyai efek langsung berupa bronkodilatasi dengan menghambat pembentukan cGMP. Atropine sulphat sebagai obat antikholinergik mempunyai efek samping takikardia, sehingga jarang digunakan. Glycopyrolate digunakan dengan nebulizer dosis 0,4-0,8 mg. Ipratoprium bromide adalah turunan atropin dan bekerja sebagai antikholinergik. Pada serangan asma akutdapat memperbesar efek bronkodilatasi dari beta-agonis dengan dosis 0,25-0,5 mg secara metered dose inhaler.

6. Antileukotrien, obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim yang mensintesa leukotrin atau mempengaruhi ikatannya pada reseptor. Termasuk antagonis reseptor leukotrin antara lain zafirlukast, pranlukast dan montelukast. Zafirlukast dapat digunakan sebagai pcngganti kortikosteroid inhalasi.1 Termasuk inhibitor 5-lipooxygenase adalah Zilueton. Obat-obat antileukotrin ini biasa digunakan untuk terapi asma kronik.

D. Premedikasi

1. Sedatif, Benzodiazepine adalah efektif sebagai anxiolitik, tetapi pada pasien yang berat bisa menyebabkan depresi respirasi.14 Sedatif ini penting, diberikan pada pasien dengan riwayat emosional sebagai pencetus serangan asma.22. Narcotic, memberikan analgesia, namun perlu waspada pada dosis besar bisa menyebabkan depresi respirasi. Penggunaan analgesia ini dipilih yang non histamin release. Pada pasien dengan disfungsi paru yang berat, narkotik paling baik dihindari.143. Antikholinegik, umumnya tidak diberikan kecuali ada sekresi lendir yang banyak atau jika ketamine mau digunakan untuk induksi anestesi.2,14 Pemberian secara parenteral tidak akan memberikan bronkodilatasi, tetapi justru menyebabkan lendir kering dan meningkatkan viskositas lendir.14

4. H2 antagonist (Cimetidine, ranitidine) dapat menyebabkan exaserbasi asmanya, karena blokade pada reseptor H2 dapat menyebabkan bronkokonstriksi.145. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inhaler atau kortikosteroid inhaler, obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi. Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral (Cortisol 1-2 mg/kg BB atau methyl prednisolone 40-80 mg) 1-2 jam sebelum induksi anestesi.17Penanganan Intraoperatif Sesuai dengan bidang kecabangan anestesi, suatu pemahaman masalah patofisiologi yang mendasari adalah lebih penting dari pada pilihan teknik anestesi khusus atau obat. Pilihan teknik anestesi bisa regional atau general anestesi atau kombinasi keduanya. Pada suatu situasi dapat digunakan regional anestesi saja, dengan pasien tetap sadar, mampu mengontrol sistem nafasnya sendiri, dan pada situasi lain diperlukan kombinasi general anestesi dengan regional anestesi, karena pertimbangan pembedahannya atau untuk mengendalikan nyeri postoperasi.12A. Regional Anestesi

Termasuk di sini adalah blok syaraf perifer atau lokal anestesi, dapat menjadi pilihan teknik anestesi terbaik bagi pasien dengan penyakit paru, dimana tempat operasinya di bagian perifer, seperti mata atau extremitas.14

Spinal atau epidural anestesi, adalah pilihan yang beralasan untuk pembedahan pada ekstremitas bawah. Pasien dengan asma berarti nafasnya tergantung pada penggunaan otot tambahan, yaitu interkostal untuk inspirasi dan otot perut untuk ekspirasi paksa. Spinal anestesi dapat memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunkan FRC, mengurangi kemampuan pasien untuk batuk dan membersihkan lendir, atau memicu gangguan respirasi atau bahkan gagal nafas.14 Para klinisi percaya bahwa spinal tinggi atau epidural anestesi dapat memperburuk bronkokonstriksi dengan terjadinya hambatan tonus sympatis pada jalan nafas bagian bawah dan menyebabkan aktivitas parasympatis tak terhambat.2 Kombinasi teknik epidural dan anestesi umum dapat menjamin kontrol jalan nafas, memberikan ventilasi adekuat, mencegah hypoxaemia dan atelectasis. Prosedur pembedahan perifer yang panjang sebaiknya dilakukan anestesi umum.14 Faktor-faktor penting yang menghalangi keberhasilan penggunaan regional anestesi, adalah :12

a. Pasien tidak tahan berbaring di meja operasi dalam waktu yang lama.

b. Batuk spontan dan tidak terkendali dapat membahayakan, yaitu pada tahap kritis pembedahan.

c. Teknik anestesi regional tidak dapat seluruhnya memuaskan untuk operasi besar, khususnya thoracotomy.

B. Anestesi Umum

Teknik anestesi umum sering dipakai pada operasi abdomen bagian atas dan operasi thorax, meskipun kadang-kadang perlu dikombinasi dengan epidural anestesi.14 Obat-obat anestesi inhalasi memberikan bronchodilatasi sebanding kedalaman anestesi untuk menurunkan hiperreaktifitas airway yang sensitif.

Saat paling kritis bagi pasien asma yang menjalani operasi adalah waktu instrumentasi jalan nafas. Nyeri, stress, emosi, atau stimulasi pada anestesi umum yang dangkal dapat mencetuskan bronkospasme. Obat-obat yang menyebabkan pelepasan histamin (misalnya curare, atracurium, mivacurium, morphine) harus dihindari atau diberikan dengan sangat lambat jika digunakan.2 Tugas utama ahli anestesi pada pelaksanaan anestesi umum terhadap pasien dengan hiperreaktif airway adalah mencegah bronkokonstriksi, dan jika terjadi, perlu meminimalkan sehingga cepat reversibel.8Pemilihan obat induksi anestesi adalah tidak sepenting pencapaian anestesi yang dalam sebelum dilakukan intubasi dan stimulasi pembedahan. Thiopental adalah paling umum dipakai pada orang dewasa, tctapi kadang-kadang dapat mencetuskan bronkospasme sebagai hasil pelepasan histamin yang berlebihan. Propofol dan etomidate adalah pilihan yang cocok, dan banyak disukai oleh para klinisi. Ketamine dengan sifat bronkodilatasi adalah pilihan yang bagus untuk pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil. Ketamine sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan kadar teophilline yang tinggi, karena kombinasi kerja dua obat tersebut dapat mencetuskan serangan kejang.8 Pemakaian laryngeal mask airway (LMA) dengan atau tanpa nafas kendali tetap memberi iritasi airway, meskipun tidak seberat intubasi endotrakeal.

Untuk mencegah refleks bronkospasme, maka sebelum intubasi perlu diberikan suntikan lidocaine intravena 1-2 mg/kgBB. Anticholinergik dosis besar (atropine 2 mg, glycopyrolate 1 mg) dapat juga mencegah reflex bronkospasme, tetapi menyebabkan takikardia.2,8 Intubasi dapat memicu bronkospasme sehingga harus dilakukan dengan anestesi yang adekuat,biasanya menggunakan opioid.20 Dapat juga dipakai albuteral inhalasi sebelum induksi anestesi. Succinil choline meskipun kadang-kadang merangsang pelepasan histamin, secara umum dapat digunakan dengan aman pada kebanyakan pasien asma. Jika tidak terdapat alat capnograf, konfirmasi penempatan endotracheal yang benar dengan auscultasi dada dapat mengalami kesulitan jika muncul bronchospasme.2 Cara lain untuk mencegah timbulnya reflex bronchospasme adalah dengan mendalamkan anestesinya dengan cara menambahkan obat induksi atau agen inhalasi.2,18

Obat-obat anestesi inhalasi paling sering digunakan untuk pemeliharaan anestesi, yang menguntungkan karena sifat bronkodilatasinya. Halothan dapat mensensititasi jantung pada pemberian aminophilline dan beta-adrenergik agonis selama pembiusan dan dapat menyebabkan aritmia jantung.19 Oleh karena itu, karena halothan juga mempunyai sifat hepatoxic, maka umumnya pemakaian halothan dihindari pada orang tua.2 Untuk melindungi jantung dari bahaya arithmia maka pada pemberian adrenaline perlu diberikan lidocain secara bersamaan. Karena halothan adalah bersifat bronchodilator kuat, maka halothan dijadikan pilihan terbaik untuk pemeliharaan anestesi pada pasien dengan asma.19 Ventilasi perlu dikontrol dengan udara yang dihangatkan/dilembabkan bila memungkinkan. Sumbatan aliran udara selama ekspirasi nampak pada Capnografy sebagai kenaikan yang tertunda dari nilai end-tidal; beratnya sumbatan umumnya berbanding terbalik dengan kecepatan naiknya end-tidal CO2. Bronchospasme yang berat muncul sebagai kenaikan tekanan puncak inspirasi dan ekshalasi inkomplit. Volume tidal yang diharapkan adalah 10-12 m /kg dengan kecepatan ventilasi 8-10 nafas/menit. Waktu inspirasi dan ekspirasi yang relatif panjang memberi kesempatan terhadap distribusi aliran udara pada kedua paru dan dapat mencegah air trapping. Beberapa penelitian menganjurkan peningkatan pertukaran udara dengan aliran udara inspirasi relatif tinggi dan waktu inspirasi yang pendek untuk memberi waktu ekshalasi yang lebih besar.

Bronchospasme intraoperatif biasanya muncul berupa wheezing, kenaikan tekanan puncak inflasi (compliance menurun), penurunan volume tidal ekshalasi; atau suatu kenaikan pelan dari bentuk gelombang pada Capnograf. Diagnose bronchospasme adalah adanya kesulitan ventilasi secara manual, inflasi terasa berat dan terdapat peningkatan peak airway pressure serta wheezing ekspirasi. Hal ini perlu diatasi dengan menaikkan konsentrasi gas anestesi (kedalaman anestesi). Pada waktu mendalamkan anestesi perlu hati-hati terhadap timbulnya interaksi, arithmia dan penurunan tekanan darah.11 Hal-hal yang dapat merangsang bronchospasme antara lain adalah sumbatan endotracheal tube karena kinking, sekresi lendir, atau overinflasi balon; intubasi endobronchial; usaha expirasi aktif karena anestesi yang dangkal; oedem atau emboli paru; dan pneumothorak. Bronchospasme ringan sampai sedang dapat diobati dengan suatu beta-adrenergik agonist secara aerosol ke dalam jalur inspirasi sirkuit nafas. Teknik pemberian lain adalah secara matered dose inhaler, namun perlu adaptor khusus sebagai penghubung antara endotracheal tube dan sirkuit nafas. Berikan 5-10 puff obat tersebut ke dalam jalan nafas bagian bawah.2,18 Asma sedang sampai berat perlu diterapi dengan aminophylline intravena, terbutaline subcutan (0,25 mg) atau keduanya. Pasien yang tidak menerima aminophylline preoperatif perlu diberikan aminophylline bolus sebesar 5-6 mg/kg intravena lebih dari 20 menit dilanjutkan pemeliharaan 0.5-0,9 mg/kg/jam.

Pasien yang telah menerima theophylline preoperatif dapat diberi tambahan loading dosis normal (biasanya seperempat atau setengah), tergantung dari kadar theophylline preoperatif. Kortikosteroid intravena (Hydrocartisone 1,5-2 mg/kg atau methyl prednisolone 60-80 mg) perlu diberikan, khususnya pada pasien dengan riwayat terapi kortikosteroid.2,14,19 Manfaat kortikosteroid intravena ini diharapkan dalam beberapa jam, oleh karena itu perlu digunakan/ditambahkan sympatomimetik secara hati-hati (Epinefrin atau isoprate renal dosis kecil 5-10 g dilanjutkan infus titrasi dimulai dengan 1 g/menit).11Pasien asma dengan serangan asma berat sebaiknya diberikan ventilasi bantuan untuk mempertahankan PaO2 dan PCO2 pada level normal, kecepatan ventilasi yang rendah (6-10 nafas/menit), volume tidal yang rendah dan waktu ekshalasi yang panjang.18 Cara tradisional untuk memperkirakan beratnya asma acut dalam kaitannya untuk pemeliharaan homeostatis respirasi adalah mengklasifikasikan analisa gas darah ke dalam 4 kategori sebagai berikut19 :

1. Stadium 1. Hypoxaemia ringan dengan PH dan PaCO2 normal.

2. Stadium 2. Hypoxaemia ringan dengan alkalosis respiratorik (PH > 7,45 dan PCO2 < 35 mmHg).

3. Stadium 3. Hypoxaemia berat (butuh 0,4 FiO2 dengan normalizing PH dan PaCO2.

4. Stadium 4. Acidosis respiratorik acut (PH < 7,30, PaCO2 55 mmHg) dengan hypoxaemia berat.

Pada akhir pembedahan, idealnya pasien sudah bebas dari wheezing. Aksi nondepolarisasi pelemas otot perlu direveus dengan anticholin esterase yang tidak akan memicu terjadinya bronkokonstriksi, bila sebelumnya diberikan anticholinergik dengan dosis yang sesuai.

Ekstubasi dalam perlu dilakukan sebelum terjadi pulihnya refleks jalan nafas normal untuk mencegah bronchospasme atau setelah pasien asma telah sadar penuh.19 Lidocain bolus 1,5-2 mg/kg diberikan intravena atau dengan infus kontinyu dosis 1-2 mg/menit dapat menekan refleks jalan nafas.2,19

Penanganan Post Operatif Pada pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian bronchodilator harus dilanjutkan lagi sesegera mungkin pada pasca bedah. Pemberian bronchodilator aerosol melalui nebulizer atau sungkup muka, sampai pasien mampu menggunakan dengan MDl (Metered Dose Inhaler) sendiri secara benar.

Pasien-pasien yang teridentifikasi dengan resiko tinggi perlu dimasukkan ke unit monitoring postoperatif, dimana fisioterapy dada dan suction dapat dilakukan. Penanganan nyeri postoperatif adalah hal yang penting untuk menurunkan komplikasi.14 Pemberian opioid adalah teknik yang paling umum, pethidin mungkin lebih sesuai daripada morphin jika ada riwayat bronkospasme karena morphin. Berikan oksigen selama pemberian opioid.NSAIDs dapat digunakan jika sebelumnya dapat ditoleransi, hindari penggunaannya pada asma yang kurang terkontrol atau dengan penyakit parah. Jika ada peningkatan dyspneu dan wheezing setelah pembedahan pikirkan faktor lain yang mungkin mempengaruhi ( gagal ventrikel kiri dan emboli pulmoner adalah pencetus bronkospasme yang potensial). Juga pertimbangkan adanya kelebihan cairan dan pneumothorax.20 KESIMPULAN- Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik : 1. Obstruksi saluran napas yang reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. 2. Peradangan saluran napas.

3. Peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas).

- Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasi-

en, faktor keturunan, serta faktor lingkungan.

- Penilaian terhadap reversibilitas penyakit asma penting dilakukan dengan anamnesa,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan

analisa gas darah, pemeriksaan fungsi paru (spirometri).

- Tindakan anestesi pada penderita asma perlu pemahaman tentang patofisiologi,

sehingga dapat dilakukan evaluasi penyakit, peningkatan kondisi seoptimal mungkin,

persiapan operasi, persiapan tindakan darurat, premedikasi dan penanganan anestesi

dengan sebaik- baiknya untuk mencegah terjadinya serangan asma/ bronkospasme

dan mengobatinya bila terjadi serangan asma.- Pencegahan terhadap serangan bronkospasme durante operasi penting dilakukan teru-

tama pada saat manipulasi jalan napas, obat- obatan dan tindakan yang potensial

menyebabkan serangan asma atau bronkospasme perlu dihindari agar hal terse-

but tidak terjadi.

- Pemilihan dan penyiapan obat- obat anestesi yang benar dapat mencegah terjadinya

serangan asma.

- Rencana tindakan/ pengobatan dan obat- obatan untuk serangan bronkospas-

me harus disiapkan, agar bila terjadi serangan bronkospasme kondisi reveresibel dapat dicapai.

KEPUSTAKAAN1. Taib S., 2002 : Peran Kortikosteroid pada Serangan Asma dalam Pertemuan Ilmiah Paru Milenium, Surabaya, hal : 1-16.

2. Morgan G.E, 2002 : Anestesi and Respiratory Disease in Clinical Anaesthesia, 3nd ed., Stanford, Appleton and Lange page: 513-516.

3. Faisal Y, 2002 : Terapi Controller pada Asma dalam Pertemuan Ilmiah Paru Millenium 2002, Surabaya hal : 1-6.

4. Augusto A.L., Scott T.W, 1999 :Definition; Diagnostic Criteria; and Prevalence of Asthma in Up to date vol. 7 no. 3, page: 1-4.

5. Sukamto, Sundaru H., 2001 : Pendekatan Baru dalam Pengobatan Asma. dalam Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine, page 247- 252.

6. Price S.A, Wilson L.M., 1992 : Asmaa Bronkiale-Alergi dan sebaliknya dalam Patofisiologi, Mc Graw Hill, hal : 146- 158.

7. Melissa D.C, Reynold AY., 2001 : Acut Respiratory Failure to Asthma and COPD in The Intensive Care Unit Manual, W.B. Saunders Company, page. 835-845.

8. Thomas J.G., 1996 : Bronchospasme in Complication of Anaesthesia, 2nd ed., Lippin Catt-Raven, page: 67, 199-209, 246.

9. Oberoi G., Phillips G., 2000 : Management of Some Medical Emergency Situations, Mc Graw Hill, page: 315-318

10. Karnen B., 1990 : Asma Bronkiale dalam Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 21 -39.

11. Indro M., 2000 : Pengelolaan Perioperatif pada Penderita Gangguan Pernafasan dalam PIB X IDSA I di Bandung, hal : 111-133. 12. Nunn J.F., 1990 : Anaesthesia for Patients with Respiratory Disease in General Anaesthesia, 5th ed., Butterworth International, page: 699-702.13. Deepthi A., 1992 : Anaesthesia in Respiratory Disease in a Handbook of Anaesthesia, Colombo, Srilangka, page : 58.

14. Epstein P.L., 1999 : Spesific Consideration with pulmonary Disease in Clinical Anaesthesia Procedures of Massachussetts General Hospital, 6th ed, LippinCott William & Wilkins, page: 6, 33-41, 259-261.15. Venu G.R., 2002 : Pharmacological support in Status Asmaticus in 4th International Meeting on Respiratory Care Indonesia, Nusa Dua Bali, page: 42-48.16. Heru S., 2002 : Terapi Kombinasi pada Asma Bronkiale dalam The First Symposium Cardiovasculer Respiratory Immunology from Patogenesis to Clinical Application, Jakarta, hal : 33-38.17. Stoelting R.K., 1999 : Pharmacology in Pharmacology and Physiology In anaesthetic Practice, 3rd ed., LippinCott-Raven, page: 253, 297, 418.18. Mark R.E., 2002 : Pulmonary Disease in Handbook of Anaesthesiology, 2002-2003 edition, Current Clinical Strategy, California, page: 29.

19. Michael F.R., 2000: Anaesthetic Implication of Concurrent Disease, 5th ed,Livingstone, page: 996-997, 2436-2437.20. Wilson, Iain, 2005, Asthma and Anaesthesia, www.Anaesthesia UK. Com.,Word Anaesthesia.

19