referat bronchi ectasis, spondylo listhesis
DESCRIPTION
referat co-ass radiologiTRANSCRIPT
1
Referat
BRONCHI ECTASIS
SPONDYLOLISTHESIS
PenyajiRoi Holan Ambarita, S.Ked
0718011080
Pembimbingdr. Haryadi, Sp. Rad
KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGISMF RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNGRSUD dr. H. ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNGDESEMBER 2012
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat –
Nya penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul BRONCHI ECTASIS,
SPONDYLOLISTHESIS, yang merupakan salah satu tugas di dalam kepaniteraan
klinik SMF Radiologi. Penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Haryadi, Sp.Rad selaku pembimbing penulis di dalam kepaniteraan klinik
SMF Radiologi RS Abdul Moeloek Bandar Lampung
2. Kedua orang tua penulis
3. Kepada teman-teman yang turut membantu dalam penyelesaian Referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Referat ini, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk memperbaiki
penulisan berikutnya. Semoga penulisan Referat ini bermanfaat bagi semua yang
membacanya.
Bandar Lampung, 16 Desember 2012
Penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar…........................................................................................... i
Daftar Isi…………………………………………………………………… ii
I. BRONCHI ECTASIS…………………………………………………… 1
A. Definisi……………………………………………………………… 1
B. Epidemiologi....................................................................................... 1
C. Etiologi............................................................................................... 2
D. Anatomi.............................................................................................. 3
E. Patofisiologi…………………………………………………………. 5
F. Diagnosis…………………….............................................................. 7
G. Diagnosis Banding…………………………………………………… 16
H. Pengobatan…………………………………………………………… 16
I. Prognosis……………………………………………………………... 17
Kepustakaan………………………………………………………………….. 18
II. SPONDYLOLISTHESIS............................................................................. .19
A. Definisi................................................................................................... 19
B. Etiopatofisiologi…………………………………………...………….. 19
C. Epidemiologi…………………………………………………………... 20
4
D. Gejala Klinis…………………………………………………………… 21
E. Diagnosis……………………………………………………………… 22
F. Pemeriksaan Penunjang……………………………………………….. 24
G. Penatalaksanaan……………………………………………………….. 25
H. Komplikasi…………………………………………………………….. 26
I. Prognosis………………………………………………………………. 27
Kepustakaan…………………………………………………………................. 28
5
I. BRONCHI ECTASIS
A. DEFINISI
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi (ektasi)
dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten
dan irreversible. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-
perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis, otot-
otot polos bronkus, tulang rawan dan pembuluh darah, bronkus yang terkena
adalah bronkus kecil (Rahmatullah, 2007). Sehingga dilatasi tersebut
menyebabkan berkurangnya aliran udara dari dan ke paru-paru. Dengan alasan
ini, bronkiektasis digolongkan dalam penyakit paru obstruktif kronik, yang
bermanifestasi sebagai peradangan saluran pernafasan dan mudah kolaps, lalu
menyebabkan obstruksi aliran udara dan menimbulkan sesak, gangguan
pembersihan mukus yang biasanya disertai dengan batuk dan kadang-kadang
hemoptisis (O’Regan & Berman, 2004).
B. EPIDEMIOLOGI
Bronkiektasis merupakan penyebab utama kematian pada negara-negara
berkembang terutama pada negara yang sarana medis dan terapi antibiotika
terbatas. Bronkiektasis umumnya terjadi pada penderita dengan umur rata-rata 39
tahun, terbanyak pada usia 60-80 tahun dan prevalensinya lebih tinggi pada
penduduk dengan golongan sosioekonomi yang rendah. Sebab kematian yang
terbanyak pada bronkiektasis adalah karena gagal napas. Lebih sering terjadi
pada perempuan daripada laki-laki, dan yang bukan perokok (Sari, 2007).
6
Angka kejadian yang sebenarnya dari bronkiektasis tidak diketahui pasti. Di
negara-negara Barat, insidens bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3% diantara
populasi. Insidensinya cenderung menurun dengan adanya kemajuan pengobatan
antibiotika. Akan tetapi, perlu diingat bahwa insidens ini juga dipengaruhi oleh
kebiasaan merokok, polusi udara dan kelainan kongenital.
Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti mengenai
penyakit ini. Data terakhir yang diperoleh dari RSUD Dr. Soetomo tahun 1990
menempatkan bronkiektasis pada urutan ke-7 terbanyak. Dengan kata lain
didapatkan 221 penderita dari 11.018 (1.01%) pasien rawat inap (Siampa, 2010).
C. ETIOLOGI
Penyebab bronkiektasis sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Namun
diduga bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat.
1. Kelainan kongenital
Dalam hal ini, bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan.
Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan memegang
peranan penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital biasanya mengenai
hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua bronkus. Selain itu,
bronkiektasis kongenital biasanya menyertai penyakit-penyakit kongenital
seperti Fibrosis kistik, Sindroma Kertagener, William Campbell syndrome,
Mounier-Kuhn syndrome, dan lain sebagainya.
2. Kelainan didapat
Bronkiektasis paling sering disebabkan karena infeksi dan obstruksi bronkus
seperti korpus alienum, karsinoma bronkus, atau tekanan dari luar lainya
terhadap bronkus (Rahmatullah, 2007).
7
D. ANATOMI
Gambar dibawah ini menunjukkan anatomi dari sistem respirasi.
Gambar 1: Anatomi bronkus.
Dari gambar dapat kita lihat bahwa cabang utama bronkus kanan dan kiri akan
bercabang menjadi bronkus lobaris dan bronkus segmentalis. Percabangan ini
berjalan terus-menerus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai
akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu bronkiolus yang tidak mengandung
alveoli. Bronkiolus terminalis mempunyai diameter kurang lebih 1 mm.
Bronkiolus tidak diperkuat oleh kartilago tetapi dikelilingi oleh otot polos
sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara sampai pada tingkat ini
disebut saluran penghantar udara karena fungsinya menghantarkan udara ke
tempat pertukaran gas terjadi.
Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional dari paru-
paru. Asinus terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakkus
alveolaris terminalis. Asinus atau kadang disebut lobulus primer memiliki
8
diameter 0,5 sampai 1 cm. Terdapat sekitar 23 percabangan mulai dari trakea
sampai sakkus alveolaris terminalis. Alveolus dipisahkan dari alveolus di
dekatnya oleh septum. Lubang pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn yang
memungkinkan komunikasi antara sakkus. Alveolus hanya selapis sel saja,
namun jika seluruh alveolus yang berjumlah sekitar 300 juta itu dibentangkan
akan seluas satu lapangan tennis.
Alveolus pada hakikatnya merupakan gelembung yang dikelilingi oleh kapiler-
kapiler darah. Batas antara cairan dengan gas akan membentuk suatu tegangan
permukaan yang cenderung mencegah ekspansi pada saat inspirasi dan
cenderung kolaps saat ekspirasi. Di sinilah letak peranan surfaktan sebagai
lipoprotein yang mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi saat
inspirasi sekaligus mencegah kolaps saat ekspirasi.
Pembentukan surfaktan oleh sel pembatas alveolus dipengaruhi oleh kematangan
sel-sel alveolus, enzim biosintetik utamanya alfa anti tripsin, kecepatan
regenerasi, ventilasi yang adekuat serta perfusi ke dinding alveolus. Defisiensi
surfaktan, enzim biosintesis serta mekanisme inflamasi yang berjung pada
pelepasan produk yang mempengaruhi elastisitas paru menjadi dasar patogenesis
emphysema, dan penyakit lainnya (Wilson, 2006).
Bronkus merupakan percabangan dari trachea. Terdiri dari bronkus dextra dan
bronkus sinistra.
1. Bronkus Dextra, mempunyai bentuk yang lebih besar, lebih pendek dan
letaknya lebih vertikal daripada bronkus sinistra. Hal ini disebabkan oleh
desakan dari arcus aortae pada ujung caudal trachea ke arah kanan, sehingga
benda-benda asing mudah masuk ke dalam bronkus dextra. Panjangnya kira-
kira 2,5 cm dan masuk kedalam hilus pulmonis setinggi vertebra thoracalis
VI. Vena Azygos melengkung di sebelah cranialnya. Ateria pulmonalis pada
mulanya berada di sebelah inferior, kemudian berada di sebelah ventralnya.
Membentuk tiga cabang (bronkus sekunder), masing-masing menuju ke lobus
9
superior, lobus medius, dan lobus inferior. Bronkus sekunder yang menuju ke
ke lobus superior letaknya di sebelah cranial a.pulmonalis dan disebut bronkus
eparterialis. Cabang bronkus yang menuju ke lobus medius dan lobus inferior
berada di sebelah caudal a.pulmonalis disebut bronkus hyparterialis.
Selanjutnya bronkus sekunder tersebut mempercabangkan bronkus tertier
yang menuju ke segmen pulmo.
2. Bronkus Sinistra, mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi bentuknya
lebih panjang daripada bronkus dextra. Berada di sebelah caudal arcus aortae,
menyilang di sebelah ventral oesophagus, ductus thoracicus, dan aorta
thoracalis. Pada mulanya berada di sebelah superior arteri pulmonalis, lalu di
sebelah dorsalnya dan akhirnya berada di sebelah inferiornya sebelum
bronkus bercabang menuju ke lobus superior dan lobus inferior, disebut letak
bronkus hyparterialis. Pada tepi lateral batas trachea dan bronkus terdapat
lymphonodus tracheobronchialis superior dan pada bifurcatio trachea (di
sebelah caudal) terdapat lymphonodus tracheobronchialis inferior. Bronkus
memperoleh vascularisasi dari a.thyroidea inferior. Innervasinya berasal dari
n.vagus, n.recurrens, dan truncus sympathicus (Siampa, 2010).
E. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan definisinya, bronkiektasis menggambarkan suatu keadaan dimana
terjadi dilatasi bronkus yang ireversibel (> 2 mm dalam diameter) yang
merupakan akibat dari destruksi komponen muskular dan elastis pada dinding
bronkus. Rusaknya kedua komponen tersebut adalah akibat dari suatu proses
infeksi, dan juga oleh pengaruh cytokine inflamasi, nitrit okside dan netrophilic
protease yang dilepaskan oleh system imun tubuh sebagai respon terhadap
antigen.
Bronkiektasis dapat terjadi pada kerusakan secara langsung dari dinding bronkus
atau secara tidak langsung dari intervensi pada pertahanan normal jalan nafas.
10
Pertahanan jalan nafas terdiri dari silia yang berukuran kecil pada jalan nafas.
Silia tersebut bergerak berulang-ulang, memindahkan cairan berupa mucus yang
normal melapisi jalan nafas. Partikel yang berbahaya dan bakteri yang
terperangkap pada lapisan mukus tersebut akan dipindahkan naik ke tenggorokan
dan kemudian batukkan keluar atau tertelan.
Terlepas dari apakah kerusakan tersebut diakibatkan secara langsung atau tidak
langsung, daerah dinding bronkus mengalami kerusakan dan menjadi inflamasi
yang kronik. Bronkus yang mengalami inflamasi akan kehilangan keelastisannya,
sehingga bronkus akan menjadi lebar dan lembek serta membentuk kantung atau
saccus yang menyerupai balon yang kecil. Inflamasi juga meningkatkan sekresi
mukus. Karena sel yang bersilia mengalami kerusakan, sekret yang dihasilkan
akan menumpuk dan memenuhi jalan nafas dan menjadi tempat berkembangnya
bakteri. Yang pada akhirnya bakteri-bakteri tersebut akan merusak dinding
bronkus, sehingga menjadi lingkaran setan antara infeksi dan kerusakan jalan
nafas (Siampa, 2010).
Gambar 2: Pada bronkiektasis, produksi mukus meningkat, silia mengalami kerusakan dan daerah bronkus mengalami inflamasi kronik dan mengalami kerusakan.
11
F. DIAGNOSIS
1. Gambaran Klinis
Manifestasi klasik dari bronkiektasis adalah batuk dan produksi sputum harian
yang mukopurulen sering berlangsung bulanan sampai tahunan. Sputum yang
bercampur darah atau hemoptisis dapat menjadi akibat dari kerusakan jalan
nafas dengan infeksi akut.
Variasi yang jarang dari bronkiektasis kering yakni hemoptisis episodik
dengan sedikit atau tanpa produksi sputum. Bronkiektasis kering biasanya
merupakan sekuele (gejala sisa) dari tuberculosis dan biasanya ditemukan
pada lobus atas.
Gejala spesifik yang jarang ditemukan antara lain dyspnea, nyeri dada
pleuritik, wheezing, demam, mudah lelah dan berat badan menurun. Pasien
relatif mengalami episode berulang dari bronkitis atau infeksi paru, yang
merupakan eksaserbasi dari bronkiektasis dan sering membutuhkan antibiotik.
Infeksi bakteri yang akut ini sering diperberat dengan onsetnya oleh
peningkatan produksi sputum yang berlebihan, peningkatan kekentalan
sputum, dan kadang-kadang disertai dengan sputum yang berbau (Siampa,
2010).
Batuk kronik yang produktif merupakan gejala yang menonjol. Terjadi hampir
90% pasien. Beberapa pasien hanya menghasilkan sputum dengan infeksi
saluran pernafasan atas yang akut. Tetapi sebaliknya, pasien-pasien itu
mengalami infeksi yang diam. Sputum yang dihasilkan dapat berbagai
macam, tergantung berat ringannya penyakit dan ada tidaknya infeksi
sekunder. Sputum dapat berupa mukoid, mukopurulen, kental dan purulen.
Jika terjadi infeksi berulang, sputum menjadi purulen dengan bau yang tidak
sedap. Dahulu, jumlah total sputum harian digunakan untuk membagi
karakteristik berat ringannya bronkiektasis. Sputum yang kurang dari 10 ml
12
digolongkan sebagai bronkiektasis ringan, sputum dengan jumlah 10-150 ml
perhari digolongkan sebagai bronkiektasis moderat dan sputum lebih dari 150
ml digolongkan sebagai bronkiektasis berat. Namun sekarang, berat ringannya
bronkiektasis dikalsifikasikan berdasarkan temuan radiologis. Pada pasien
fibrosis kistik, volume sputum pada umumnya lebih banyak dibanding
penyakit penyebab bronkiektasis lainnya (Barker, 2002).
Hemoptisis terjadi pada 56-92% pasien dengan bronkiektasis. Hemoptisis
mungkin terjadi masif dan berbahaya bila terjadi perdarahan pada arteri
bronkial. hemoptisis biasanya terjadi pada bronkiektasis kering, walaupun
angka kejadian dari bronkiektasis tipe ini jarang ditemukan.
Dyspnea terjadi pada kurang lebih 72% pasien bronkiektasis tapi bukan
merupakan temuan yang universal. Biasanya terjadi pada pasien dengan
bronkiektasis luas yang terlihat pada gambaran radiologisnya.
Wheezing sering dilaporkan dan mungkin akibat obstruksi jalan nafas yang
diikuti oleh destruksi dari cabang bronkus. Seperti dyspnea, ini juga mungkin
merupakan kondisi yang mengiringi, seperti asma.
Nyeri dada pleuritik kadang-kadang ditemukan, terjadi pada 46% pasien pada
sekali observasi. Paling sering merupakan akibat sekunder pada batuk kronik,
tetapi juga terjadi pada eksaserbasi akut (O’Regan & Berman, 2004).
Penurunan berat badan sering terjadi pada pasien dengan bronkiektasis yang
berat. Hal ini terjadi sekunder akibat peningkatan kebutuhan kalori berkaitan
dengan peningkatan kerja pada batuk dan pembersihan sekret pada jalan
nafas. Namun, pada umumnya semua penyakit kronik disertai dengan
penurunan berat badan. Demam biasanya terjadi akibat infeksi yang berulang
(Siampa, 2010).
13
2. Gambaran Radiologis
Foto thorax
Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronkiektasis dapat
ditemukan gambaran seperti dibawah ini:
Ring shadow
Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran (dapat mencapai
diameter 1 cm) dengan jumlah satu atau lebih bayangan cincin sehingga
membentuk gambaran ‘honeycomb appearance’ atau ‘bounches of grapes’.
Bayangan cincin tersebut menunjukkan kelainan yang terjadi pada bronkus
(Kusumawidjaja, 2006).
.
Gambar 3: Tampak Ring Shadow yang pada bagian bawah paru yang menandakan adanya dilatasi bonkus.
14
Gambar 4: Tampak dilatasi bronkus yang ditunjukkan oleh anak panah.
Gambar 5: Tampak Ring Shadow yang menandakan adanya dilatasi bonkus.
15
Tramline shadow
Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru-paru. Bayangan ini
terlihat terdiri atas dua garis paralel yang putih dan tebal yang dipisahkan
oleh daerah berwarna hitam. Gambaran seperti ini sebenarnya normal
ditemukan pada daerah parahilus. Tramline shadow yang sebenarnya
terlihat lebih tebal dan bukan pada daerah parahilus (Kusumawidjaja,
2006).
Gambar 6: Tramline shadow terlihat diantara bayangan jantung.
Tubular shadow
Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal. Lebarnya dapat mencapai 8
mm. Gambaran ini sebenarnya menunjukkan bronkus yang penuh dengan
sekret. Gambaran ini jarang ditemukan, namun gambaran ini khas untuk
bronkiektasis.
16
Glove finger shadow
Gambaran ini menunjukkan bayangan sekelompok tubulus yang terlihat
seperti jari-jari pada sarung tangan (Sutton, 2003).
Bronkografi
Bronkografi merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian media kontras
ke dalam sistem saluran bronkus pada berbagai posisi (AP, Lateral, Oblik).
Pemeriksaan ini selain dapat menentukan adanya bronkiektasis, juga dapat
menentukan bentuk-bentuk bronkiektasis yang dibedakan dalam bentuk
silindris (tubulus, fusiformis), sakuler (kistik) dan varikosis. Pemeriksaan
bronkografi juga dilakukan pada penderita bronkiektasis yang akan
dilakukan pembedahan pengangkatan untuk menentukan luasnya paru yang
mengalami bronkiektasis yang akan diangkat (Kusumawidjaja, 2006).
Pemeriksaan bronkografi saat ini mulai jarang dilakukan oleh karena
prosedurnya yang kurang menyenangkan terutama bagi pasien dengan
gangguan ventilasi, alergi dan reaksi tubuh terhadap kontras media
(Siampa, 2010).
.
17
18
CT-Scan thorax
CT-Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan penunjang terbaik
untuk mendiagnosis bronkiektasis, mengklarifikasi temuan dari foto thorax
dan melihat letak kelainan jalan nafas yang tidak dapat terlihat pada foto
polos thorax. CT-Scan resolusi tinggi mempunyai sensitivitas sebesar 97%
dan spesifisitas sebesar 93%. CT-Scan resolusi tinggi akan memperlihatkan
dilatasi bronkus dan penebalan dinding bronkus. Modalitas ini juga mampu
mengetahui lobus mana yang terkena, terutama penting untuk menentukan
apakah diperlukan pembedahan (Barker, 2002).
Gambar 8: CT-Scan Thorax menunjukkan adanya dilatasi bronkus pada lobus inferior kiri.
3. Patologi Anatomi
Terdapat berbagai variasi bronkiektasis, baik mengenai jumlah atau luasnya
bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit.
19
Perubahan morfologis bronkus yang terkena
Dinding bronkus
Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan berupa proses
inflamasi yang sifatnya destruktif dan ireversibel. Pada pemeriksaan
patologi anatomi sering ditemukan berbagai tingkatan keaktifan proses
inflamasi serta terdapat proses fibrosis. Jaringan bronkus yang mengalami
kerusakan selain otot-otot polos bronkus juga elemen-elemen elastis.
Mukosa bronkus
Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel
menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa, dan terjadi sebukan
hebat sel-sel inflamasi. Apabila terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada
mukosa akan terjadi pengelupasan, ulserasi, dan pernanahan.
Jaringan paru peribronkial
Pada parenkim paru peribronkial dapat ditemukan kelainan antara lain
berupa pneumonia, fibrosis paru atau pleuritis apabila prosesnya dekat
pleura. Pada keadaan yang berat, jaringan paru distal bronkiektasis akan
diganti jaringan fibrotik dengan kista-kista berisi nanah.
Variasi kelainan anatomi bronkiektasis
Pada tahun 1950, Reid mengkasifikasikan bronkiektasis sebagai berikut :
Bentuk tabung (tubular, cylindrical, fusiform bronchiectasis)
Variasi ini merupakan bronkiektasis yang paling ringan. Bentuk ini sering
ditemukan pada bronkiektasis yang menyertai bronchitis kronik.
Bentuk kantong (saccular bronkiektasis)
Merupakan bentuk bronkiektasis yang klasik, ditandai dengan adanya
dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat ireguler. Bentuk ini
kadang-kadang berbentuk kista.
20
Varicose bronkiektasis
Bentuknya merupakan bentuk diantara bentuk tabung dan kantong. Istilah
ini digunakan karena perubahan bentuk bronkus yang menyerupai varises
pembuluh vena (Rahmatullah, 2007).
G. DIAGNOSIS BANDING
Fibrosis Kistik
Kelainan yang ditemukan dapat bervariasi dari pasien yang satu ke pasien yang
lain, namun banyak individu yang memiliki gambaran radiografi yang
memperlihatkan bronkiektasis kronis disertai fibrosis kistik yang meliputi:
hiperinflasi, penebalan dan dilatasi bronkus, peribronkial cuffing, mucoid
impaction, kistik radiolusen, peningkatan tanda interstisial dan penyebaran
nodul-nodul (Rahmatullah, 2007).
H. PENGOBATAN
Pengobatan pasien bronkiektasis terdiri atas 2 kelompok, yaitu :
1. Pengobatan konservatif
Pengelolaan umum, meliputi:
- Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien
- Memperbaiki drainase sekret bronkus
- Mengontrol infeksi saluran napas, misalnya dengan pemberian
antibiotik.
Pengelolaan khusus
- Kemoterapi pada bronkiektasis
- Drainase sekret dengan bronkoskopi
Pengobatan simtomatik
- Pengobatan obstruksi bronkus, misalnya dengan obat bronkodilator
- Pengobatan hipoksia, dengan pemberaian oksigen
21
- Pengobatan hemoptisis misalnya dengan obat-obat hemostatik
- Pengobatan demam, dengan pemberian antibiotik dan antipiretik.
2. Pengobatan Pembedahan
Tujuan pembedahan adalah untuk mengangkat (reseksi) segmen atau lobus
yang terkena. Indikasinya pada pasien bronkiektasis yang terbatas dan
resektabel, yang tidak berespon terhadap tindakan-tindakan konservatif yang
adekuat, selain itu juga pada pasien bronkiektasis terbatas, tetapi sering
mengalami infeksi berulang atau hemoptisis yang berasal dari daerah tersebut.
Pasien dengan hemoptisis masif seperti ini mutlak perlu tindakan operasi
(Rahmatullah, 2007).
I. PROGNOSIS
1. Kelangsungan Hidup
Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat-ringannya serta luasnya
penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara
tepat (konservatif atau pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit.
Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek,
survivalnya tidak akan lebih dari 5-15 tahun. Kematian pasien tersebut
biasanya karena pneumonia, empiema, payah jantung kanan, hemoptisis dan
lain-lain. Pada kasus-kasus tanpa komplikasi bronkitis kronik berat dan difus
biasanya disabilitasnya ringan.
2. Kelangsungan Organ
Kelainan pada bronkiektasis biasanya mengenai bronkus dengan ukuran
sedang. Adanya peradangan dapat menyebabkan destruksi lapisan muscular
dan elastic dari bronkus serta dapat pula menyebabkan kerusakan daerah
peribronchial. Kerusakan ini biasanya akan menyebabkan timbulnya daerah
fibrosis terutama pada daerah peribronkial (Rahmatullah, 2007).
22
KEPUSTAKAAN
1. Barker, A.F.. 2002. The New English Journal of Medicine: Bronkiektasis.
2. Kusumawidjaja, K.. 2006. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Editor Iwan
Ekayuda. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
3. O’Regan A.W. & Berman J.S.. 2004. Baum’s Textbook of Pulmonary Disease 7 th
Edition. Editor James D. Crapo, MD. Lippincott Williams & Walkins.
Philadelphia.
4. Rahmatullah, P.. 2007. Bronkiektasis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi IV. Jakarta: FKUI.
5. Sari, I.M.. 2007. Bronkiektasis. www.google.com. Diakses 14 Desember 2012.
6. Siampa, V.N.. 2010. Bronkiektasis. www.google.com. Diakses 14 Desember 2012.
7. Sutton, D.. 2003. Textbook of Radiology and Imaging volume 1. Tottenham:
Churchill livingstone.
8. Wilson, L.M.. 2006. Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi Enam. Editor
Hartanto Huriawati, dkk. Jakarta: EGC.
23
II. SPONDYLOLISTHESIS
A. DEFINISI
Kata spondylolisthesis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas kata
spondylo yang berarti “tulang belakang (vertebra)”, dan listhesis yang berarti
“bergeser”. Maka spondilolistesis merupakan istilah deskriptif untuk pergeseran
(biasanya ke anterior) dari vertebra relatif terhadap vertebra yang dibawahnya,
(Sjamsuhidajat, 2005).
B. ETIOPATOFISIOLOGI
Penyebab dari sindrom ini adalah malformasi persimpangan lumbosakral (kecil
bagian belakang dan bagian belakang panggul) yang kecil, sendi facet tidak
kompeten, yang dapat bersifat kongenital (bawaan), disebut sebagai
spondilolisthesis displastik, atau mungkin terjadi selama masa remaja karena
patah tulang atau cedera pada salah satu tulang-tulang belakang darikegiatan
olahraga terkait seperti angkat berat, berlari, berenang, atau sepak bola yang
menyebabkan seseorang memiliki spondilolisthesisisthmic (Sjamsuhidajat,
2005).
Ada lima jenis utama dari Spondilolisthesis dikategorikan oleh sistem klasifikasi
Wiltse:
1. Displatik
- Sendi facet memungkinkan pergeseran ke depan
- Lengkungan neural biasanya masih utuh
2. Isthmic
- Lesi dari pars
24
- Terdapat 3 subtipe: fraktur stress, pemanjangan dari pars, dan fraktur pars
akut.
3. Degeneratif
Spondilolisthesis bisa disebabkan oleh penuaan, umum, dan keausan tulang,
jaringan, otot-otot, dan ligamen tulang belakang disebut sebagai
spondilolisthesis degenerative.
4. Trauma
Setelah kecelakaan besar atau trauma untuk kembali menghasilkan kondisi
yang disebut spondilolisthesis trauma.
5. Patologis
Jenis terakhir Spondilolisthesis, yang juga yang paling langka, disebut
spondilolisthesis patologis. Jenis Spondilolisthesis terjadi karena kerusakan
pada elemen posterior dari metastasis (kanker sel-sel yang menyebar ke
bagian lain dari tubuh dan menyebabkan tumor) atau penyakit tulang
metabolik. Jenis ini telah dilaporkan dalam kasus-kasus penyakit Paget tulang
(dinamai Sir James Paget, seorang ahli bedah Inggris yang menggambarkan
gangguan kronis yang biasanya menghasilkan tulang membesar dan cacat),
tuberkulosis (penyakit menular mematikan yang biasanya menyerang paru-
paru tetapi dapat menyebar ke bagian lain dari tubuh), tumor sel raksasa, dan
metastasis tumor.
Diagnosis yang tepat dan identifikasi jenis atau kategori Spondilolisthesis adalah
penting untuk memahami serta keparahan dari pergeseran yang terbagi menjadi 5
kelas sebelum pengobatan yang tepat untuk kondisi tersebut dapat disarankan
(Word press, 2011).
C. EPIDEMIOLOGI
Insidensi spondilolisthesis tipe ismik berkisar 5% berdasarkan studi otopsi.
Spondilolisthesis degeneratif memiliki frekuensi tersering karena secara umum
25
populasi pastinya akan mengalami penuaan. Paling sering melibatkan level L4-
L5. Sampai 5,8% pria dan 9,1% wanita memiliki listhesis tipe ini (Japardi, 2002).
D. GEJALA KLINIS
Presentasi klinis dapat bermacam-macam, tergantung pada jenis pergeseran dan
usia pasien.Selama tahun-tahun awal kehidupan, presentasi klinis dapat berupa
nyeri punggung bawah ringan yang sesekali dirasakan pada panggul dan paha
posterior, terutama saat beraktivitas. Gejala jarang berkorelasi dengan tingkat
pergeseran, meskipun mereka disebabkan ketidakstabilan segmental. Tanda
neurologis seringkali berkorelasi dengan tingkat selip dan melibatkan motorik,
sensorik, dan perubahan refleks yang sesuai untuk pelampiasan akar saraf
(biasanya S1) (Japardi, 2002).
Gejala yang paling umum dari spondylolisthesis adalah:
1. Nyeri punggung bawah
Hal ini sering lebih memberat dengan latihan terutama dengan ekstensi tulang
belakang lumbal.
2. Beberapa pasien dapat mengeluhkan nyeri, mati rasa, kesemutan, atau
kelemahan pada kaki karena kompresi saraf. Kompresi parah dari saraf dapat
menyebabkan hilangnya kontrol dari usus atau fungsi kandung kemih.
3. Keketatan dari paha belakang dan penurunan jangkauan gerak dari punggung
bawah
Pasien dengan spondilolistesis degeneratif biasanya lebih tua dan datang dengan
nyeri punggung, radikulopati, klaudikasio neurogenik, atau kombinasi dari
gejala-gejala tersebut. Pergeseran yang paling umum adalah di L4-5 dan kurang
umum di L3-4. Gejala-gejala radikuler sering hasil dari stenosis recessus lateral
dari facet dan ligamen hipertrofi dan/ atau disk herniasi. Akar saraf L5
dipengaruhi paling sering dan menyebabkan kelemahan ekstensor halusis longus.
26
Stenosis pusat dan klaudikasio neurogenik bersamaan mungkin atau mungkin
tidak ada.
Penyebab gejala klaudikasio selama ambulasi adalah multifaktorial. Rasa sakit
ini berkurang ketika pasien memfleksikan tulang belakang dengan duduk atau
bersandar. Fleksi memperbesar ukuran kanal oleh peregangan ligamentum
flavum menonjol, pengurangan lamina utama dan aspek, dan pembesaran
foramen tersebut. Hal ini mengurangi tekanan pada akar saraf keluar dan, dengan
demikian, mengurangi rasa sakit (Nicrovic, 2009).
E. DIAGNOSIS
Pada kebanyakan kasus, jarang ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik
pasien spondilolistesis. Pasien biasanya mengeluh nyeri di bagian punggung
yang disertai dengan nyeri intermitten pada tungkai. Spondilolistesis sering
menyebabkan spasme otot, atau kekakuan pada betis.
Spondilolistesis mudah didiagnosis dengan menggunakan foto polos tulang
belakang. X-ray lateral akan menunjukkan kelainan apabila terdapat vertebra
yang bergeser ke depan dibandingkan dengan vertebra didekatnya.
Spondilolistesis dibagi berdasarkan derajat persentase pergeseran vertebra
dibandingkan dengan vertebra didekatnya, yaitu:
1. Derajat I: pergeseran kurang dari 25%
2. Derajat II diantara 26-50%
3. Derajat III diantara 51-75%
4. Derajat IV diantara 76-100%
5. Derajat V, atau spondiloptosis terjadi ketika vertebra telah terlepas dari
tempatnya.
27
Gambar 1. Pengukuran Derajat Spondilolisthesis
Gambar 2. Spondilolisthesis Grade I
28
Gambar 3. Spondilolisthesis Traumatik Grade IV.
Jika pasien mengeluh nyeri, kebas-kebas, kelemahan pada tungkai, pemeriksaan
penunjang tambahan mungkin diperlukan. Gejala-gejala ini dapat disebabkan
stenosis atau penyempitan ruang tempat lewatnya saraf pada tungkai. CT scan
atau MRI dapat membantu mengidentifikasi kompresi saraf yang berhubungan
dengan spondilolistesis. Pada keadaan tertentu, PET scan dapat membantu
menentukan adanya proses akftif pada tulang yang mengalami kelainan.
Pemeriksaan ini juga berperan dalam menentuskan terapi pilihan untuk
spondilolistesis (Japardi, 2002).
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berikut adalah pemeriksaan-pemeriksaan yang menunjang diagnosis
spondilolisthesis:
1. X-ray
Pemeriksaan awal untuk spondilolistesis yaitu foto AP, lateral, dan spot view
radiograffi dari lumbal dan lumbosacral junction. Foto oblik dapat
memberikan informasi tambahan, namun tidak rutin dilakukan. Foto lumbal
29
dapat memberikan gambaran dan derajat spondilolistesis tetapi tidak selalu
membuktikan adanya isolated spondilolistesis.
2. Computed tomography (CT) scan
CT scan dengan potongan 1 mm, koronal ataupun sagital, dapat memeberikan
gambaran yang lebih baik dari spondilolistesis. CT scan juga dapat membantu
menegakkan penyebab spondilolistesis yang lebih serius.
3. Magnetic resonance imaging (MRI)
MRI dapat memperlihatkan adanya edema pada lesi yang akut. MRI juga
dapat menentukan adanya kompresi saraf spinal akibat stenosis dadri kanalis
sentralis.
4. EMG
EMG dapat mengidentifikasi radikulopati lainnya atau poliradikulopati
(stenosis), yang dapat timbul pada spondilolistesis (Shiel Jr, William C).
G. PENATALAKSANAAN
1. Nonoperatif
Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservative. Pengobatan non
operative diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit neurologis atau
defisit neurologis yang stabil. Hal ini dapat merupakan pengurangan berat
badan, stretching exercise, pemakaian brace, pemakain obat anti inflamasi.
Hal terpenting dalam manajemen pengobatan spondilolistesis adalah motivasi
pasien.
2. Operatif
Pasien dengan defisit neurologis atau nyeri yang mengganggu aktifitas, yang
gagal dengan non operative manajemen diindikasikan untuk operasi. Bila
radiologis tidak stabil atau terjadi progresivitas slip dengan serial x-ray
30
disarankan untuk operasi stabilisasi. Jika progresivitas slip menjadi lebih 50%
atau jika slip 50% pada waktu diagnosis, ini indikasi untuk fusi. Pada high
grade spondilolistesis walaupun tanpa gejala, fusi tetap harus dilakukan.
Dekompresi tanpa fusi adalah logis pada pasien dengan simptom oleh karena
neural kompresi. Bila manajemen operative dilakukan pada dewasa muda
maka fusi harus dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang
bermakna bila dilakukan operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain: usia
muda, progresivitas slip lebih besar 25%, pekerja yang sangat aktif,
pergeseran 3mm pada fleksi/ekstensi lateral x-ray. Fusi tidak dilakukan bila
multi level disease, motivasi rendah, aktivitas rendah, osteoporosis, habitual
tobacco abuse. Pada habitual tobacco abuse angka kesuksesan fusi menurun.
Brown dkk mencatat pseudoarthrosis (surgical non union) rate 40% pada
perokok dan 8% pada tidak perokok. Fusi insitu dapat dilakukan dengan
beberapa pendekatan:
a. anterior approach
b. posterior approach (yang paling sering dilakukan)
c. posterior lateral approach (Irani, Z).
H. KOMPLIKASI
Progresifitas dari pergeseran dengan peningkatan tekanan ataupun penarikan
(traction) pada saraf spinal, bisa menyebabkan komplikasi. Pada pasien yang
membutuhkan penanganan dengan pembedahan untuk menstabilkan
spondilolistesis, dapat terjadi komplikasi seperti nerve root injury (<1%),
kebocoran cairan serebrospinal (2%-10%), kegagalan melakukan fusi (5%-25%),
infeksi dan perdarahan dari prosedur pembedahan (1%-5%). Pada pasien yang
perokok, kemungkinan untuk terjadinya kegagalan pada saat melakukan fusi
ialah (>50%). Pasien yang berusia lebih muda memiliki resiko yang lebih tinggi
untuk menderita spondilolistesis isthmic atau congenital yang lebih progresif.
31
Radiografi serial dengan posisi lateral harus dilakukan setiap 6 bulan untuk
mengetahui perkembangan pasien ini (Japardi, 2002).
I. PROGNOSIS
Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal kemungkinan
akan kembali normal apabila fraktur tersebut membaik. Pasien dengan perubahan
vertebra yang progresif dan degenerative kemungkinan akan mengalami gejala
yang sifatnya intermiten. Resiko untuk terjadinya spondilolistesis degenerative
meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan pergeseran vertebra yang
progresif terjadi pada 30% pasien. Bila pergeseran vertebra semakin progresif,
foramen neural akan semakin dekat dan menyebabkan penekanan pada saraf
(nerve compression) atau sciatica hal ini akan membutuhkan pembedahan
dekompresi (Japardi, 2002).
32
KEPUSTAKAAN
1. Irani, Z. Spondylolisthesis Imaging. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/396016-overview#showall [Diakses
tanggal 14 Desember 2012].
2. Japardi, I. 2002, Spondilolistesis. Dalam USU digital Library. Fakultas
Kedokteran, Bagian Bedah, Universitas Sumatera Utara.
3. Nicrovic, Peter. A. 2009. Back pain in children and adolescents: Overview of
causes. UpToDate Systematic review ver. 17.3.
4. Shiel Jr, William C. Spondylolisthesis. MedicineNet.com. Diunduh dari:
http://www.medicinenet.com/spondylolisthesis/page2.htm [Diakses tanggal 14
Desember 2012].
5. Sjamsuhidajat R, Jong Wd. 2005. Spondilolistesis. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Bedah Edisi ke-2. Jakarta: EGC. 835.
6. Word press. 2011. Spondylolisthesis. Diunduh dari
http://www.spondylolisthesis.org/ [Diakses tanggal 14 Desember 2012].