referat diaper rash

27
BAB 1 PENDAHULUAN Napkin Eczema atau Diaper Rash atau juga disebut Diaper Dermatitis merupakan suatu erupsi pada area kulit yang tertutupi diaper atau popok pada bayi. Kondisi ini dapat disebabkan karena penggunaan atau kontak langsung popok dengan kulit bayi (dermatitis kontak iritan) yang merupakan penyebab terbanyak. Selain itu penggunaan diaper juga dapat memperparah kondisi kulit yang sudah memiliki erupsi misalnya pada psoriasis. Hal tersebut dibuktikan pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa pada daerah tertentu yang jarang menggunakan popok pada bayi akan memiliki insiden Napkin Eczema (NE) yang lebih rendah (Serdaroglu & Ustunbas, 2010). Beberapa hal yang dapat mencetuskan Napkin Eczema (NE) atau Diaper rash (DR) meliputi kondisi kulit yang lembab, pajanan langsung kulit dengan urin atau feses, infeksi mikroorganisme (jamur, bakteri, dan virus), gangguan nutrisi, iritasi bahan kimia, antibiotic, penyakit diare, dan anomali traktus urinarius. Diaper rash adalah salah satu gangguan kulit yang paling umum pada masa anak-anak, tercatat hampir 1 juta anak berobat jalan tiap tahunnya. Dalam suatu survei pada 1.089 bayi, 50% di antaranya mengalami diaper rash, namun hanya 5% yang memiliki ruam parah. Puncak kejadian diaper rash yaitu antara usia 9 sampai 12 bulan. Hubungan antara usia dan frekuensi diaper rash dapat disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk 1

Upload: atarprasetya

Post on 03-Feb-2016

88 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

medical

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Diaper Rash

BAB 1

PENDAHULUAN

Napkin Eczema atau Diaper Rash atau juga disebut Diaper Dermatitis

merupakan suatu erupsi pada area kulit yang tertutupi diaper atau popok pada bayi.

Kondisi ini dapat disebabkan karena penggunaan atau kontak langsung popok dengan

kulit bayi (dermatitis kontak iritan) yang merupakan penyebab terbanyak. Selain itu

penggunaan diaper juga dapat memperparah kondisi kulit yang sudah memiliki erupsi

misalnya pada psoriasis. Hal tersebut dibuktikan pada beberapa penelitian

menyebutkan bahwa pada daerah tertentu yang jarang menggunakan popok pada bayi

akan memiliki insiden Napkin Eczema (NE) yang lebih rendah (Serdaroglu &

Ustunbas, 2010).

Beberapa hal yang dapat mencetuskan Napkin Eczema (NE) atau Diaper rash

(DR) meliputi kondisi kulit yang lembab, pajanan langsung kulit dengan urin atau

feses, infeksi mikroorganisme (jamur, bakteri, dan virus), gangguan nutrisi, iritasi

bahan kimia, antibiotic, penyakit diare, dan anomali traktus urinarius. Diaper rash

adalah salah satu gangguan kulit yang paling umum pada masa anak-anak, tercatat

hampir 1 juta anak berobat jalan tiap tahunnya. Dalam suatu survei pada 1.089 bayi,

50% di antaranya mengalami diaper rash, namun hanya 5% yang memiliki ruam

parah. Puncak kejadian diaper rash yaitu antara usia 9 sampai 12 bulan. Hubungan

antara usia dan frekuensi diaper rash dapat disebabkan oleh beberapa faktor,

termasuk perubahan pola makan dari ASI ke susu formula dan makanan padat selama

12 bulan pertama kehidupan. Bayi yang diberi ASI lebih jarang mengalami diaper

rash daripada bayi yang diberi susu formula. ASI mengandung sel darah putih yang

aktif melawan infeksi dan bahan kimia alami yang sekaligus memberikan peningkatan

perlindungan terhadap infeksi pada bulan-bulan pertama. Insidensi diaper rash 3

sampai 4 kali lebih tinggi pada bayi yang mengalami diare (Singalavanija & Frieden,

2005).

Sejauh ini, tipe diaper rash yang paling banyak adalah irritant diaper

dermatitis. Dermatitis ini ditemukan pada siapa saja yang memakai popok, tanpa

pengaruh umur. Predileksi yang paling sering adalah pada gluteal, genital, bagian

bawah abdomen, pubis dan paha atas. Irritant diaper dermatitis menampakkan

efloresensi berupa daerah eritema, lembab dan kadang timbul sisik pada genital dan

1

Page 2: Referat Diaper Rash

gluteal, yang awalnya timbul pada daerah yang lebih sering kontak dengan popok

(Gawkrodger, 2002).

Tujuan dari terapi diaper rash yaitu: (1) memperbaiki kerusakan kulit, dan (2)

mencegah rekurensi. Prinsip terapi yaitu menjaga area popok tetap bersih dan kering,

meskipun hal ini tidak mudah. Popok tipe superabsorbent (berdaya serap tinggi)

merupakan jenis popok yang paling bagus, dan sebaiknya diganti secara teratur,

terutama di malam hari. Jika menggunakan popok kain, sebaiknya dicuci secara

menyeluruh dengan bersih dan juga diganti secara teratur. Area yang bersentuhan

dengan popok sebaiknya dibersihkan dengan air, dan aqueous cream setiap kali

pergantian popok. Ointment protektif, seperti zink, dan ointment silikon protektif,

seringkali berguna. Steroid poten sebaiknya tidak digunakan pada kasus-kasus ringan.

Penggunaan topikal steroid pada bayi perlu diperhatikan dan dibatasi selama 3 sampai

7 hari, sebab obat ini lebih banyak diabsorbsi perkutaneus pada bayi dibanding pada

orang dewasa. Terapi anti jamur hendaknya tidak digunakan secara rutin, hanya jika

dicurigai adanya infeksi Candida spp (Chang & Orlow, 2008).

2

Page 3: Referat Diaper Rash

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Napkin Eczema atau Diaper Rash atau juga disebut Diaper Dermatitis

merupakan suatu erupsi pada area kulit yang tertutupi diaper atau popok pada bayi.

Kondisi ini dapat disebabkan karena penggunaan atau kontak langsung popok dengan

kulit bayi (dermatitis kontak iritan) yang merupakan penyebab terbanyak. Selain itu

penggunaan diaper juga dapat memperparah kondisi kulit yang sudah memiliki erupsi

misalnya pada psoriasis. Hal tersebut dibuktikan pada beberapa penelitian

menyebutkan bahwa pada daerah tertentu yang jarang menggunakan popok pada bayi

akan memiliki insiden Napkin Eczema (NE) yang lebih rendah (Serdaroglu &

Ustunbas, 2010).

Erupsi seperti ini mempunyai banyak penyebab, sehingga istilah diaper rash

sebaiknya dihindari dan hanya dipakai untuk pengertian yang lebih umum. Istilah

dermatitis popok iritan primer lebih tepat dipakai pada keadaan dimana erupsi yang

terjadi akibat kontak iritan, meskipun etiologi belum diketahui pasti (Serdaroglu &

Ustunbas, 2010).

2.2 Epidemiologi

Diaper rash adalah salah satu gangguan kulit yang paling umum pada masa

anak-anak, tercatat hampir 1 juta anak berobat jalan tiap tahunnya. Dalam suatu survei

pada 1.089 bayi, 50% di antaranya mengalami diaper rash, namun hanya 5% yang

memiliki ruam parah. Puncak kejadian diaper rash yaitu antara usia 9 sampai 12

bulan. Hubungan antara usia dan frekuensi diaper rash dapat disebabkan oleh

beberapa faktor, termasuk perubahan pola makan dari ASI ke susu formula dan

makanan padat selama 12 bulan pertama kehidupan. Bayi yang diberi ASI lebih

jarang mengalami diaper rash daripada bayi yang diberi susu formula. ASI

mengandung sel darah putih yang aktif melawan infeksi dan bahan kimia alami yang

sekaligus memberikan peningkatan perlindungan terhadap infeksi pada bulan-bulan

pertama. Insidensi diaper rash 3 sampai 4 kali lebih tinggi pada bayi yang mengalami

diare (Singalavanija & Frieden, 2005).

Frekuensi dan tingkat keparahan diaper rash lebih rendah jika jumlah rata-rata

penggantian popok per hari sebanyak delapan kali atau lebih, terlepas dari jenis popok

3

Page 4: Referat Diaper Rash

yang digunakan. Bayi yang menggunakan popok sekali pakai yang superabsorbent

memiliki frekuensi dan tingkat keparahan ruam popok yang jauh lebih rendah bila

dibandingkan dengan bayi yang menggunakan popok kain (Singalavanija & Frieden,

2005).

Pada populasi di China dilaporkan 25% bayi mengalami diaper rash selama 4

minggu pertama kehidupan. Pada penelitian lain menunjukan 52% anak mulai dari

masa bayi hingga usia <24 bulan dapat mengalami diaper rash. Meskipun jarang

menimbulkan efek samping yang dapat mengancam kehidupan, namun diaper rash

dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman pada anak-anak (Li, Zhu, & Dai, 2012).

2.3 Etiologi

Penyebab dermatitis popok adalah multifaktorial. Faktor-faktor pemicunya

adalah kelembaban yang berkepanjangan, urin, feses, dan lain-lain. Hal ini dapat

membuat integritas kulit mudah rusak akibat gesekan, menurunkan fungsi sawar, dan

membuat kulit menjadi mudah terkena iritasi yang tidak jarang akan menimbulkan

infeksi sekunder pada kulit (Serdaroglu & Ustunbas, 2010).

Faktor yang mendasari terjadinya iritasi pada kulit, meliputi derajat

kelembapan ( kulit yang basah lebih mudah mengalami kerusakan), peningkatan pH

( kulit yang alkalis dapat meningkatkan penetrasi mikroorganisme dan aktivitas fecal

enzim), kolonisasi mikroorganisme (Staphylococcus aureus atau Candida), dan

riwayat keluarga mengenai keadaan dermatologik primer ( psoriasis, eksema, atau

dermatitis seboroik) (Dunitz, 2004).

Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi timbulnya diaper rash, antara

lain:

1. Maserasi dan kelembapan

Stratum korneum menentukan fungsi pertahanan (barrier) pada epidermis.

Stratum korneum terdiri atas sel yang akan berhenti mengelupas dan

memperbarui diri pada siklus 12-24 hari. Matriks ekstraselular hidrofobik

berperan sebagai barier, mencegah kehilangan cairan dan sebagai tempat

masuknya air dan bahan hidrofilik lainnya. Sel hidrofilik pada stratum

korneum (korneosit) memberikan perlindungan mekanis dari lingkungan luar

dalam bentuk lapisan lilin. Keadaan basah yang berlebihan akan memberikan

dampak berat pada stratum korneum. Pertama, keadaan ini akan membuat

permukaan kulit menjadi pecah-pecah dan lebih sensitif terhadap gesekan.

4

Page 5: Referat Diaper Rash

Kedua, keadaan ini mengganggu fungsi perlindungan, menambah penyerapan

bahan iritan ke dalam lapisan sensitif pada kulit di bawah stratum korneum

dan membuka lapisan ini sehingga menjadi kering dan menjadi tempat

masuknya mikroorganisme. Oklusi kulit yang berkepanjangan dapat

menimbulkan eritema, terutama jika air kontak dengan permukaan kulit dan

akhirnya dapat terjadi dermatitis (Serdaroglu & Ustunbas, 2010)

2. Gesekan

Gesekan antara kulit dan popok merupakan faktor penting dalam beberapa

kasus diaper rash. Hal ini didukung oleh predileksi tersering diaper rash yaitu

di tempat yang paling sering terjadi gesekan, misalnya pada permukaan dalam

paha, permukaan genital, bokong dan pinggang (Serdaroglu & Ustunbas,

2010)

3. Urin

Bayi yang baru lahir mengeluarkan urine lebih dari 20 kali dalam 24 jam.

Frekuensi berkemih ini berkurang seiring pertumbuhan dan mencapai 7 kali

dalam 24 jam pada umur 12 bulan. Selama beberapa tahun, amonia dipercaya

sebagai penyebab utama terjadinya diaper rash. Namun sekarang telah

diketahui bahwa amonia bukan penyebab utama terjadinya diaper rash.

Jumlah mikroorganisme terkait amonia tidak berbeda antara bayi dengan atau

tanpa diaper rash. Hal ini menunjukkan bahwa hasil degradasi urine lainnya

selain amonia memegang peranan penting pada kejadian diaper rash. Suatu

penelitian membuktikan bahwa urin yang disimpan selama 18 jam pada suhu

37o C dapat menginduksi terjadinya dermatitis ketika diberikan pada kulit

bayi. Saat ini jelas bahwa pH urin memegang peranan penting pada penyakit

ini. Urin yang memiliki pH tinggi (alkalis) pada bayi dapat menimbulkan

irritant napkin dermatitis (Serdaroglu & Ustunbas, 2010).

4. Feses

Telah diketahui selama bertahun-tahun bahwa feses manusia memiliki efek

iritan pada kulit. Pada feses bayi terdapat protease, pankreas, lipase, dan

enzim-enzim lainnya yang dihasilkan oleh bakteri dalam usus. Enzim ini

berperan penting dalam proses terjadinya iritasi kulit. Efek iritan dari enzim

tersebut semakin meningkat dengan adanya kenaikan pH dan gangguan fungsi

barier (Serdaroglu & Ustunbas, 2010).

5

Page 6: Referat Diaper Rash

5. Urea yang diproduksi oleh berbagai bakteri pada feses dapat meningkatkan pH

feses. Meningkatnya pH dapat meningkatkan aktivitas enzim lipase dan

protease pada feses. Produksi feses cair yang berlebihan berhubungan dengan

pemendekan waktu transit dan feses ini mengandung sejumlah besar sisa

enzim percernaan yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit (Serdaroglu &

Ustunbas, 2010)

6. Mikroorganisme

Mikroorganisme seperti bakteri (Streptococcus dan Staphylococcus), dan

jamur (Candida) dapat menyebabkan diaper rash. Meskipun sering dinyatakan

bahwa infeksi bakteri berperan penting dalam terjadinya napkin dermatitis tipe

iritasi primer, studi kuantitatif menunjukkan bahwa flora bakteri yang diisolasi

dari daerah yang mengalami erupsi tidak berbeda dengan bakteri yang

diisolasi dibeberapa area kulit yang normal pada bayi (Serdaroglu &

Ustunbas, 2010)

7. Antibiotik

Penggunaan antibiotik spektrum luas pada bayi dengan otitis media dan

infeksi traktus respiratorius menunjukkan peningkatan insiden terjadinya

irritant napkin dermatitis. Antibiotik dapat membunuh bakteri, baik flora

normal maupun bakteri patogen. Ketidakseimbangan kedua bakteri ini, dapat

menyebabkan infeksi jamur. Hal ini dapat terjadi ketika bayi mengkonsumsi

antibiotik atau pemberian ASI oleh ibu yang mengkonsumsi antibiotik. Selain

itu, kesalahan dalam penggunaan bahan topikal untuk melindungi kulit juga

dapat meningkatkan resiko terjadinya diaper rash (Serdaroglu & Ustunbas,

2010).

8. Kesalahan atau kurangnya perawatan kulit

Penggunaan sabun mandi dan bedak yang salah dapat meningkatkan resiko

terjadinya dermatitis iritan. Cara pembersihan dan pengeringan di daerah

popok yang tidak tepat serta frekuensi penggantian popok yang jarang juga

dapat menjadi faktor pencetus (Serdaroglu & Ustunbas, 2010).

9. Reaksi alergi

Alergennya biasanya adalah parfum dan bahan dari popok. Kulit yang

mengalami iritasi terlihat berwarna merah, berbatas tegas dengan

permukaannya terdapat vesikel dan erosi. Untuk itu, diperlukan pemeriksaan

berupa patch test untuk mengidentifikasi agen penyebab. Namun, secara

6

Page 7: Referat Diaper Rash

umum reaksi alergi jarang menyebabkan diaper rash (Serdaroglu & Ustunbas,

2010).

10. Kelainan anomali pada traktus urinarius

Kelainan anomali pada traktus urinarius dapat menyebabkan terjadinya infeksi

traktus urinarius (Serdaroglu & Ustunbas, 2010).

2.4 Patofisiologi

Etiologi pasti dari diaper rash belum dapat dijelaskan. Timbulnya

ruam ini merupakan hasil kombinasi dari beberapa faktor yang terdiri dari keadaan

lembab, gesekan, urin, feses dan adanya mikroorganisme. Secara anatomis, bagian

kulit yang menonjol dan daerah lipatan menyulitkan pembersihan dan pengontrolan

terhadap lingkungan. Bahan iritan utama adalah enzim protease dan lipase dari feses,

dimana aktivitasnya akan meningkat seiring dengan kenaikan pH (James, Berger, &

Elston, 2006)

Aktivitas enzim lipase dan protease feses akan meningkat akibat percepatan

transit gastrointestinal, oleh karena itu insiden tertinggi diaper rash terjadi pada bayi

yang diare dalam waktu kurang dari 48 jam. Penggunaan popok menyebabkan

peningkatan kelembaban kulit dan pH. Kondisi lembab yang berkepanjangan dapat

menyebabkan terjadinya maserasi pada stratum korneum, lapisan luar, dan lapisan

pelindung kulit yang berhubungan dengan kerusakan pada lapisan lipid interselular.

Kelemahan integritas fisik membuat stratum korneum lebih mudah terkena kerusakan

oleh gesekan permukaan popok dan iritasi local (James, Berger, & Elston, 2006).

7

Page 8: Referat Diaper Rash

Kulit bayi mempunyai barier yang efektif terhadap penyakit dan memiliki

permeabilitas yang sama dengan kulit orang dewasa. Berbagai studi melaporkan

bahwa kehilangan cairan transepidermal pada bayi lebih rendah daripada kulit orang

dewasa. Namun, kondisi yang lembab, kekurangan paparan udara, keasaman, paparan

bahan iritan, dan meningkatnya gesekan pada kulit dapat menyebabkan kerusakan

barier kulit (James, Berger, & Elston, 2006).

Pada kulit normal, pH berkisar antara 4,5-5,5. Ketika zat urea dari urin dan

feses bercampur, enzim urease akan menguraikan urine dan menurunkan konsentrasi

ion hidrogen (meningkatkan pH). Peningkatan pH juga menyebabkan peningkatan

hidrogen pada kulit dan membuat permeabilitas kulit meningkat (James, Berger, &

Elston, 2006).

2.5 Gejala Klinis

Sejauh ini, tipe diaper rash yang paling banyak adalah irritant contact

dermatitis. Gejala akut yang sering muncul adalah eritema pada kulit area pubis,

pantat dan beberapa area yang memiliki lipatan kulit yang menunjukkan bahwa gejala

tersebut muncul akibat paparan langsung kulit dengan diaper atau popok. Gambaran

eritema tersebut akan menetap selama 3-12 minggu. Terkadang hal ini sulit dibedakan

dengan dermatitis kontak alergi. Gejala lain yang dapat muncul adalah bula dan

vesikel seperti pada impetigo bulosa jika permukaan kulit sudah terinfeksi bakteri

Staphylococcus aureus, sedangkan infeksi Streptococcus group A akan memberikan

gejala erythematous patch pada perianal. Selain itu bakteri enteric dapat

menyebabkan nyeri saat BAK, gatal pada vagina dan radang pada vulva. Coxsackie

virus menyebabkan papul eritematosa pada pantat, telapak tangan dan kaki, bahkan

ulkus pada faring posterior. Vesikel yang bergerombol dan nyeri pada area perianal

dan vaginal dapat disebabkan akibat infeksi virus herpes. Pruritus merupakan gejala

tipikal dari infeksi akibat cacing dan parasite misalnya Sarcoptes scabiei

(Serdaroglu & Ustunbas, 2010).

Jacquet Erosive Dermatitis (JED) merupakan bentuk dari NE yang paling

parah dan dapat terjadi pada segala umur yang dapat menyebabkan diare. Gejala yang

timbul pada kulit meliputi nodul eritema yang erosive dan ulkus serta erosi dengan

tepi yang meninggi. Namun akhir-akhir ini dengan adanya popok yang memiliki

8

Page 9: Referat Diaper Rash

kemampuan penyerapan yang tinggi maka insiden JED semakin berkurang

(Serdaroglu & Ustunbas, 2010).

Gambaran lain yang dapat timbul adalah miliaria rubra akibat oklusi dari

duktus kelenjar ekrin kulit pada daerah yang kontak dengan komponen plastic pada

popok. Sedangkan papul pseudoverrucous dan nodul terjadi pada area perianal pasien

segala usia yang memiliki predisposisi adanya kulit lembab yang terus menerus

(Serdaroglu & Ustunbas, 2010).

2.6 Diagnosis

Seperti halnya pada penyakit lain penegakan diagnosis dari NE dilakukan

melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis

keluhan yang sering muncul adalah berupa kemerahan atau rash pada pantat dan

selakangan serta area sekitar genital setelah penggunaan popok yang cukup lama.

Selain itu jenis popok dan lama penggunaan dalam satu hari juga harus digali karena

akan mempengaruhi penegakan diagnosis. Riwayat atopi pada keluarga serta

penggunaan obat-obatn juga harus ditanyakan kepada keluarga pasien (Singalavanija

& Frieden, 2005).

Kemudian pada pemeriksaan fisik, yang meliputi inspeksi (efloresensi), juga

harus dievaluasi khususnya area yang mengalami lesi. Area yang sering terjadi adalah

pada daerah yang kontak dengan popok, yaitu bokong, alat kelamin, perut bagian

bawah, daerah kemaluan, dan paha atas. Bagian-bagian yang lebih dalam dari lipatan

inguinal jarang terkena. Pola khas lain yang baru-baru ini diketahui adalah erosi yang

terlokalisir di lateral paha atas dan bokong, permukaan kulit dalam kontak terdekat

dengan popok basah atau kotor. Bokong, genitalia, perut bagian bawah, dan atas paha

biasanya yang paling parah terkena dampak, paling sering unilateral, namun tidak

jarang bilateral, dalam posisi yang sesuai ke daerah-daerah di mana kontak langsung

dapat terjadi dengan perekat yang kuat pada popok. Biasanya distribusi lesi juga

tergantung pada posisi di mana bayi diperbolehkan untuk berbaring. Pada bentuk

paling ringan hanya ada eritema, tetapi dengan meningkatnya keparahan, papula,

vesikel, erosi kecil, dan ulkus lebih besar dapat terjadi. Pada bentuk kronis, skuama

dapat disertai eritema. Skuama biasanya tampak mencolok, terutama dalam tahap

penyembuhan. Pada kasus yang parah, dapat erosi superfisial atau bahkan ulserasi

(Singalavanija & Frieden, 2005).

Pada beberapa bayi, erosi terbatas pada batas daerah yang tertutup popok dan

kadang peradangan dapat terlihat pada tepi popok akibat kontak kulit yang lama

9

Page 10: Referat Diaper Rash

dengan bagian tepi popok. Gambaran dapat berupa eritema, lembab, dan kadang

muncul plak berskuama pada daerah genital dan bokonga. Pada reaksi akut, eritema

dapat disertai pengelupasan kulit sedikit demi sedikit. Skuama yang lebih halus lebih

sering muncul pada kasus lama. Kadang-kadang, bentuk erosi diaper rash dapat

disertai vesikel kecil, dan erosi dapat berkembang menjadi lebih karakteristik,

dangkal, bulat, ulkus dengan tepi yang menonjol (Jacquet dermatitis). Pada bayi laki-

laki dapat terjadi iritasi dan krusta di ujung penis. Pada bayi laki-laki dan perempuan,

keterlibatan alat kelamin dapat menyebabkan disuria. Jika mengenai glans penis, bayi

laki-laki dapat mengalami retensi urin akut (Singalavanija & Frieden, 2005).

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis ini jarang dilakukan.

Pemeriksaan penunjang lebih cenderung untuk menemukan apakah terdapat infeksi

dan mikroorganisme apa yang menginfeksi.

- Pemeriksaan laboratorium

o Darah lengkap : Pemeriksaan darah lengkap dapat dilakukan,

terutama jika muncul gejala sistemik seperti demam dan jika

dicurigai adanya infeksi sekunder. Jika ditemukan anemia

bersama dengan hepatosplenomegali dan timbul ruam dapat

dicurigai sebagai histiositosis sel Langerhans atau sifilis

kongenital.

o Pemeriksaan serologi untuk sifilis dilakukan pada pasien

yang dicurigai menderita sifilis kongenital.

o Kadar serum zink kurang dari 50 mcg/dl dapat ditemukan

pada pasien dengan acrodermatitis enterohepatika.

- Pemeriksaan kerokan kulit. Pada pasien yang diduga candidiasis,

pengikisan lesi papul atau pustul menunjukkan adanya pseudohifa, hifa

dan blastospora dengan diameter 2-4 µm dengan menggunakan larutan

KOH 10%, larutan lugol atau air suling

- Pemeriksaan histopatologi : biopsi kulit dilakukan untuk melihat struktur

histologinya. Gambaran histologi diaper rash umumnya seperti dermatitis

iritan primer dengan spongiosis epidermal dan inflamasi ringan pada

lapisan dermis (James, Berger, & Elston, 2006).

10

Page 11: Referat Diaper Rash

2.7 Differential Diagnosis

1. Dermatitis seboroik Infantil

Terjadi pada beberapa minggu pertama kelahiran yaitu sekitar pada

usia 2 minggu sampai 6 bulan. Predileksi pada daerah lipatan kulit misalnya

pada aksila, paha dan leher dan bahkan bisa pada wajah dan kulit kepala.

Daerah flexural tampak lembab, dan dapat pula berupa eritema, berbatas tegas,

terang, dan kadang ditemukan krusta kekuningan serta skuama, dan dapat pula

disertai vesikel. Adanya eritem pada kulit kepala (cradle cap), wajah, aksila,

retroaurikuler, dan leher dapat dijadikan petunjuk untuk diagnosis.

2. Defisiensi zink (acrodermatitis enterohepatica)

Acrodermatitis enteropathica merupakan penyakit autosomal resesif

akibat defisiensi zink. Penyakit ini perlu dipikirkan pada beberapa bayi dengan

dermatitis popok yang mengalami kegagalan terhadap terapi. Karakter lesi

pada dermatitis akibat defisiensi zink ini berupa ruam merah, berbatas,

seringkali melebar, di daerah kemaluan, anus atau wajah, serta alopesia yang

meluas. Bayi dengan erupsi popok yang disebabkan oleh defisiensi zink

biasanya muncul bersamaan dengan dermatitis fasial yang merupakan

perluasan dari daerah perioral, paronikia erosif dan lesi erosi pada lipatan

palmar telapak tangan.

11

Page 12: Referat Diaper Rash

3. Napkin Psoriasis

Diaper rash tipe psoriasis terjadi selama 2 bulan dan berakhir 2-4 bulan.

Ruam terdiri dari plak bentuk psoriasis pada area popok disertai papul satelit.

plak merah terang berbatas tegas, tidak bersisik, dan berbatas tegas, baik

terlokalisir maupun berkelompok di daerah intertriginosa/lipatan seperti ketiak

juga merupakan ciri dari penyakit ini. Terkadang lesi pada punggung dan

ekstremitas memiliki morfologi yang sama dengan lesi di area popok.

4. Histiositosis sel Langerhans

Penyakit ini memiliki ciri bintik-bintik ruam merah kecokelatan di

daerah selangkangan, kemaluan, dan anus, seringkali mengiritasi kulit, dan

sukar diobati. Berbentuk bulat besar, bersisik, dan menonjol pada kulit

kepala atau leher. Terdapat tanda-tanda lain berupa demam, diare, atau

pembesaran hati dan limpa

12

Page 13: Referat Diaper Rash

5. Candidiasis

Infeksi primer oleh C. albicans jarang terjadi pada bayi sehat. Hal ini

umumnya terjadi akibat komplikasi sekunder dari infantile seborrhoeic

eczema atau diaper rash. Lesi dapat berupa eritema, skuama dan pustul.

Seringkali melibatkan daerah fleksura, dan dapat tampak lesi satelit

.

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan dari terapi diaper rash yaitu: (1) memperbaiki kerusakan kulit,

dan (2) mencegah rekurensi. Prinsip terapi yaitu menjaga area popok tetap bersih

dan kering, meskipun hal ini tidak mudah. Popok tipe superabsorbent (berdaya

serap tinggi) merupakan jenis popok yang paling bagus, dan sebaiknya diganti

secara teratur, terutama di malam hari. Jika menggunakan popok kain, sebaiknya

dicuci secara menyeluruh dengan bersih dan juga diganti secara teratur. Area yang

bersentuhan dengan popok sebaiknya dibersihkan dengan air, dan aqueous cream

setiap kali pergantian popok. Ointment protektif, seperti zink, dan ointment silikon

protektif, seringkali berguna. Steroid poten sebaiknya tidak digunakan pada kasus-

kasus ringan. Penggunaan topikal steroid pada bayi perlu diperhatikan dan

dibatasi selama 3 sampai 7 hari, sebab obat ini lebih banyak diabsorbsi

perkutaneus pada bayi dibanding pada orang dewasa. Terapi anti jamur

hendaknya tidak digunakan secara rutin, hanya jika dicurigai adanya infeksi

Candida spp (Atherton, Gennery, & Cant, 2004).

Keberhasilan terapi mencakup hal-hal sebagai berikut:

Memperhatikan penggunaan popok

a) Penggunaan popok sekali pakai

Penggunaan popok sekali pakai yang berkualitas baik, terutama yang

mengandung bahan gel absorbent (popok sekali pakai berdaya serap

tinggi), dapat mengurangi kejadian diaper rash dengan tingkat keparahan

13

Page 14: Referat Diaper Rash

yang cukup ringan dibandingkan popok kain yang dapat dicuci. Gel yang

terdapat pada popok sekali pakai dapat mengabsorbsi sekitar 80 kali lipat

dari total beratnya, sehingga dapat mengurangi kelembaban, dan akhirnya

mencegah terjadi maserasi kulit. Penggunaan popok jenis ini juga

berhubungan dengan pH normal kulit. (Atherton, Gennery, & Cant, 2004)

(b) Pemakaian popok yang mengandung emolien

Saat ini tersedia popok sekali pakai yang lapisan teratasnya mengandung

emolien, biasanya didominasi oleh white soft paraffin. Penggunaan popok

ini dapat mengurangi tingkat keparahan diaper rash. Saat ini, telah tersedia

juga jenis popok dengan struktur dasar berkerut yang menahan feses di

inti popok (diaper core) (Atherton, Gennery, & Cant, 2004).

(c) Frekuensi penggantian popok

Popok sebaiknya diganti lebih dari delapan kali sehari dan sesegera

mungkin setelah defekasi. Penggantian popok juga sebaiknya dilakukan

saat tengah malam agar bayi tidak tidur dengan popok yang basah

sepanjang malam (Atherton, Gennery, & Cant, 2004).

Perawatan rutin di area popok

Perawatan kulit rutin akan mencegah rekurensi setelah erupsi hilang.

Setiap penggantian popok, dapat digunakan emolien seperti white soft

paraffin, dan campuran white soft paraffin dan cairan paraffin, zink,

Dexpanthenol ointment (Atherton, Gennery, & Cant, 2004).

Terapi spesifik

Kortikosteroid topikal berguna dan biasanya digunakan kecuali pada

kasus-kasus ringan. Namun penggunaannya tidak melebihi hidrokortison 1%.

Pendapat lainnya menyatakan dapat digunakan hidrokortison 1 sampai 2,5 %

dalam jangka pendek, yaitu 3-7 hari. Obat ini diberikan sebanyak 2 kali sehari

setelah mandi, idealnya dalam bentuk ointment. Sebuah studi penelitian

menunjukkan bahwa Aloe vera topikal dan Calendula officinalis merupakan

terapi efektif dermatitis popok pada bayi (Atherton, Gennery, & Cant, 2004).

2.9 Komplikasi

14

Page 15: Referat Diaper Rash

Komplikasi dari diaper rash yaitu ulkus punch-out atau erosi dengan tepi

meninggi (Jacquet erosive dieper dermatitis), papul dan nodul pseudoverucous dan

plak dan nodul violaceous (granuloma gluteale infantum). Jacquet erosive diaper

rash memberikan gambaran eritema, skuama berlapis-lapis, terdapat fisura dan area

erosi pada kulit yang kontak dengan popok. Granuloma gluteal infantum merupakan

penyakit yang tidak biasa dengan ciri nodul merah keunguan dengan ukuran yang

berbeda-beda (0.5-0.3 cm) timbul pada area popok pada bayi umur 2-9 bulan. Pada

pemeriksaan biopsi didapatkan infiltrat limfosit, sel plasma, netrofil, dan eosinophil

(Atherton, Gennery, & Cant, 2004).

2.10 Pencegahan

Pencegahan merupakan tindakan yang paling baik. Tujuannya adalah untuk

mengurangi kontak antara kulit dengan bahan iritan. Semakin sering popok diganti

semakin kecil kemungkinan terkena diaper rash. Popok harus diganti segera setelah

BAK/BAB untuk membatasi jumlah bahan iritan ini dan mencegah tercampurnya

feses dan urin. Penggunaan popok dengan daya serap kuat mengurangi kelembaban

pada daerah popok (Atherton, Gennery, & Cant, 2004).

Pencucian dan penggosokan yang berlebihan pada daerah popok akan

menimbulkan iritasi kulit. Setelah BAK/BAB, pencucian dapat dilakukan dengan air

hangat dan pembersih ringan (Atherton, Gennery, & Cant, 2004).

Preparat protektif yang digunakan terdiri dari losion, krim atau ointment, yang

mengandung emolien dapat ditambah dengan kaolin, talk atau zinc oxide. Penggunaan

preparat ini akan mengurangi gesekan dan absorbsi bahan iritan. pH kulit sedikit lebih

bersifat asam dan mendekati pH normal kulit dan berfungsi sebagai buffer terhadap

pH yang lebih tinggi yang disebabkan oleh adanya amonia. Emolien digunakan 2-3

kali sehari (Atherton, Gennery, & Cant, 2004).

2.11 Prognosis

Diaper rash hampir selalu menunjukkan respon yang baik terhadap terapi dan

sebagian besar kasus dapat membaik jika tidak memakai popok dalam jangka waktu

beberapa minggu. Dan jika tetap persisten kemungkinan didiagnosis dengan atopic

eczema, psoriasis, zinc defisiensi, histiosit sel langerhans atau imunodefisiensi

(James, Berger, & Elston, 2006).

BAB 3

15

Page 16: Referat Diaper Rash

KESIMPULAN

Napkin Eczema atau Diaper Rash atau juga disebut Diaper Dermatitis

merupakan suatu erupsi pada area kulit yang tertutupi diaper atau popok pada bayi.

Kondisi ini dapat disebabkan karena penggunaan atau kontak langsung popok dengan

kulit bayi (dermatitis kontak iritan) yang merupakan penyebab terbanyak. Penyebab

Diaper Dermatitis atau dermatitis popok adalah multifaktorial. Faktor-faktor

pemicunya adalah kelembaban yang berkepanjangan, urin, feses, gesekan,

mikroorganisme dan juga obat-obatan. Sejauh ini, tipe diaper rash yang paling

banyak adalah irritant contact dermatitis. Gejala akut yang sering muncul adalah

eritema pada kulit area pubis, pantat dan beberapa area yang memiliki lipatan kulit

yang menunjukkan bahwa gejala tersebut muncul akibat paparan langsung kulit

dengan diaper atau popok. Gambaran eritema tersebut akan menetap selama 3-12

minggu.

Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik

dan penunjang. Pada anamnesis keluhan yang sering muncul adalah berupa

kemerahan atau rash pada pantat dan selakangan serta area sekitar genital setelah

penggunaan popok yang cukup lama. Selain itu jenis popok dan lama penggunaan

dalam satu hari juga harus digali karena akan mempengaruhi penegakan diagnosis.

Riwayat atopi pada keluarga serta penggunaan obat-obatn juga harus ditanyakan

kepada keluarga pasien. Kemudian pada pemeriksaan fisik, yang meliputi inspeksi

(efloresensi), juga harus dievaluasi khususnya area yang mengalami lesi. Area yang

sering terjadi adalah pada daerah yang kontak dengan popok, yaitu bokong, alat

kelamin, perut bagian bawah, daerah kemaluan, dan paha atas. Gambaran yang dapat

muncul adalah eritema, vesikel, papul dan bahkan sampai erosi.

Penatalaksanaan yang paling utama adalah menjaga kebersihan kulit pada

daerah yang kontak langsung dengan popok. Popok tipe superabsorbent (berdaya

serap tinggi) merupakan jenis popok yang paling bagus, dan sebaiknya diganti secara

teratur, terutama di malam hari. Jika menggunakan popok kain, sebaiknya dicuci

secara menyeluruh dengan bersih dan juga diganti secara teratur. Area yang

bersentuhan dengan popok sebaiknya dibersihkan dengan air, dan aqueous cream

setiap kali pergantian popok. Ointment protektif, seperti zink, dan ointment silikon

protektif, seringkali berguna.

DAFTAR PUSTAKA

16

Page 17: Referat Diaper Rash

Atherton, D. J., Gennery, A. R., & Cant, A. R. (2004). The Neonate. In S. Breathnach,

N. Cox, & C. Griffiths, Rook's Textbook of Dermatology (pp. 1722-1726).

Massachusetts: Blackwell Sciences.

Chang, M. W., & Orlow, S. J. (2008). Neonatal, Pediatric and Adolescent

Dermatology. In K. Wolff, L. A. Goldsmith, S. I. Katz, B. A. Gilchrest, A. S.

Paller, & D. J. Leffell, Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine (pp.

942-944). New York: Mc Graw Hill.

Dunitz, M. (2004). Skin Care for Children. In R. Baran, Cosmetic Dermatology (pp.

349-355). London: Mc Graw Hill.

Gawkrodger, D. J. (2002). Pediatric Dermatology. In D. J. Gawkrodger, Dermatology

an Illustrated Color Text (p. 108). Edinburgh: Churchill Livingstone.

James, W., Berger, T., & Elston, D. (2006). Atopic Dermatits, Eczema, and

Noninfectious Immunodeficiency Disorders. In Andrew, Andrew's Disease

of the Skin : Clinical Dermatology (pp. 80-81). New York: Waunder's

Company.

Li, C. H., Zhu, Z. H., & Dai, Y. H. (2012). Diaper Dermatitis : a Survey of Risk

Factor for Children Aged 1 - 24 Months in China. Journal of International

Medical Research , XL, 1752-1760.

Serdaroglu, S., & Ustunbas, T. K. (2010). Diaper Dermatitis (Napkin Dermatitis,

Nappy Rash). Journal of the Turkish Academy of Dermatology , IV (4), 1-4.

Singalavanija, S., & Frieden, I. J. (2005). Diaper Dermatitis. Pediatric in Review ,

XVI, 142-147.

17