referat drug eruption

36
 REFERAT DRUG ERUPTION Penyusun: Tiara Rahmawati 030.08.240 Pembimbing: dr. Dewi Anggreni, Sp.KK dr. Iwan Trihapsoro, Sp.KK dr. A. A Sri Budhyani Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RSAU Dr. Esnawan Antariksa Periode 15 Juli 2013  24 Agustus 2013 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti   Jakarta 2013

Upload: olhan-cdr

Post on 05-Nov-2015

43 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kulkel

TRANSCRIPT

  • REFERAT

    DRUG ERUPTION

    Penyusun:

    Tiara Rahmawati

    030.08.240

    Pembimbing:

    dr. Dewi Anggreni, Sp.KK

    dr. Iwan Trihapsoro, Sp.KK

    dr. A. A Sri Budhyani

    Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin

    RSAU Dr. Esnawan Antariksa

    Periode 15 Juli 2013 24 Agustus 2013

    Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta

    2013

  • 2

    DRUG ERUPTION

    I. PENDAHULUAN

    Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit

    atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang

    biasanya sistemik. Obat masuk ke dalam tubuh secara sistemik, dapat melalui

    mulut, hidung, telinga, vagina, suntikan atau infus. Juga dapat sebagai obat

    kumur, obat mata, tapal gigi dan obat topical. Obat adalah zat yang dipakai untuk

    menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Pemberian obat secara

    topikal dapat pula menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan obat oleh

    kulit.1

    Obat semakin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga

    reaksi terhadap obat juga meningkat yaitu reaksi simpang obat (adverse drug

    reaction) atau RSO. Salah satu bentuk RSO adalah reaksi obat alergik (ROA).

    Manifestasi reaksi obat pada kulit disebut erupsi obat alergik (EOA). 1

    Konsekuensi dari penggunaan obat-obatan tersebut adalah peningkatan

    morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Satu macam obat dapat

    menyebabkan lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat

    disebabkan oleh bermacam-macam obat. 1

    Erupsi Obat dapat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang

    mengancam jiwa manusia. Reaksi obat dapat terjadi hanya pada kulit ataupun

    pada kelainan sistemik, seperti Sindrom Hipersensitivitas Obat (Drug

    Hypersensitivity Syndrome) atau Toxic Epidermal Necrolysis. 2

    II. EPIDEMIOLOGI

    Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi

    obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi,

    uji klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat

    adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari

    keseluruhan efek samping pemakaian obat-obatan.3

    Sekitar 10% fixed drug eruption terjadi pada anak dan dewasa, usia paling

    muda pernah dilaporkan adalah 8 bulan dan usia tertua adalah 87 tahun.(6)

  • 3

    Kajian dari NOEGROHOWATI (1999) mendapatkan fixed drug eruption (63%),

    sebagai manifestasi klinis dari erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus bayi

    dan anak, disusul dengan erupsi eksematosa (3%) dan urtikaria (12%).4

    Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative

    Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap

    pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada

    bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993.3 Di internasional, drug

    eruption terjadi pada 2-3% pasien rawat inap. 5

    Di Amerika Serikat, lebih dari 100.000 kematian diakibatkan karena reaksi

    simpang obat (RSO) atau adverse drug reactions yang serius. 3-6% pasien rawat

    jalan dan 6-15% dari pasien rawat inap mengalami reaksi simpang obat yang

    serius. Faktor yang berhubungan dengan meningkatnya risiko reaksi

    hipersensitivitas obat adalah asma, SLE (Systemic Lupus Erythematosus), atau

    pada pengguna beta bloker. Walaupun pasien atopik tidak banyak tersensitisasi

    oleh obat, tetapi pasien atopic memiliki risiko tinggi untuk menghadapi reaksi

    alergi serius.6

    III. ETIOPATOGENESIS

    a. Reaksi Simpang Obat dan Reaksi Obat Alergik

    Reaksi Simpang Obat (RSO) didefinisikan oleh WHO sebagai respon

    terhadap obat yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis

    normal pada penggunaan sebagai profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit,

    atau untuk modifikasi fungsi fisiologis.7

    Rawlin dan Thompson membagi RSO menjadi 2 kelompok yaitu tipe A

    dan tipe B. Reaksi tipe A adalah reaksi yang dapat diprediksi, lazim terjadi,

    bergantung pada dosis, berhubungan dengan farmakologi obat, dan dapat

    terjadi pada tiap individu. Reaksi tipe A terjadi sekitar 80% dari kasus- kasus

    RSO. Reaksi tipe B merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi, tidak lazim

    terjadi, tidak bergantung pada dosis, dan sering tidak berhubungan dengan

    farmakologi obat, serta hanya terjadi pada individu yang rentan. Reaksi ini

    meliputi intoleransi, reaksi idiosinkrasi, reaksi alergi (hipersensitivitas), dan

    pseudoalergi. Sekitar 25 - 30% reaksi tipe B merupakan reaksi obat alergik.7

    Belakangan ditambahkan beberapa tipe reaksi, yaitu reaksi yang

  • 4

    berhubungan dengan dosis dan waktu (tipe C), reaksi lambat (tipe D), efek

    withdrawal (tipe E) dan kegagalan terapi yang tidk diharapkan (tipe F). Reaksi

    tipe C tidak Iazim terjadi, dan berhubungan dengan dosis kumulatif, misalnya

    pada ketergantungan benzodiazepin, nefropati analgetik serta penekanan

    aksis hypothalamic - pituitary - adrenal oleh kortikosteroid. Tipe D dapat

    dibagi menjadi 2 reaksi yaitu reaksi yang berhubungan dengan waktu (yang

    kemudian disebut sebagai tipe D), dan efek withdrawal (tipe E). Reaksi tipe D

    tidak lazim terjadi, biasanya berhubungan dengan dosis, dan terjadi atau

    kadang - kadang terlihat setelah penggunaan obat, misalnya efek

    karsinogenik dan teratogenik dari obat. Sedangkan reaksi tipe E tidak lazim

    terjadi, dan timbul segera setelah penghentian obat, misalnya pada opiate

    withdrawal syndrome. Reaksi tipe F lazim terjadi, berhubungan dengan dosis,

    dan seringkali disebabkan oleh interaksi obat, misalnya pemberian dosis

    kontrasepsi oral yang tidak adekuat, khususnya pada pemakaian penginduksi

    enzim spesifik.6

    Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang dihasilkan

    dari respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya. ROA merupakan

    bagian dari RSO (reaksi tipe B).6 ROA memiliki beberapa karakteristik klinis

    tertentu, yaitu :

    1. Reaksi alergi jarang pada pemberian obat pertama kali.

    2. Reaksi alergi terbatas pada sejumlah sindroma tertentu.

    3. Umumnya reaksi alergi terjadi pada populasi kecil.

    4. Adanya kecendrungan pasien bereaksi terhadap obat pada dosis jauh

    di bawah kisaran dosis terapeutik.

    5. Adanya eosinofilia pada darah atau jaringan mendukung keterlibatan

    proses alergi.

    6. Reaksi alergi biasanya hilang setelah penghentian obat.

    Beberapa faktor risiko dapat mempengaruhi respons imun terhadap obat,

    yaitu faktor yang berhubungan dengan obat dan pengobatan (sifat obat, dan

    pajanan obat), serta faktor yang berhubungan dengan pasien (usia, genetik,

    reaksi obat sebelumnya, penyakit dan pengobatan medis yang menyertai).6

  • 5

    1. Sifat Obat

    Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya antiserum,

    streptokinase, L-asparaginase dan insulin, merupakan antigen

    kompleks yang potensial untuk menyebabkan sensitisasi pada pasien.

    Obat- obatan dengan berat molekul rendah(dibawah 1000 Dalton)

    merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik.6

    2. Pajanan Obat

    Pemberian obat secara topikal umumnya memiliki risiko terbesar untuk

    tersensitisasi, sedangkan pemberian oral memiliki risiko paling kecil

    untuk tersensitisasi. Aplikasi topikal menginduksi reaksi

    hipersensitivitas tipe lambat. Pemberian oral atau nasal menstimulasi

    produksi imunoglobulin spesifik obat, yaitu IgA dan IgE, kadang

    kadang IgM.

    Dosis dan lamanya pengobatan berperan pada perkembangan

    respons imunologik spesifik obat, contohnya adalah pada lupus

    eritematosus yang diinduksi obat, dosis dan lamanya pengobatan

    hidralazin merupakan faktor penting, demikian juga pada anemia

    hemolitik yang diinduksi penisilin 6,7

    Dosis profilaksis tunggal antibiotika kurang mensensitisasi

    dibandingkan dengan pengobatan parenteral lama dengan dosis tinggi.

    Frekuensi pemberian obat dapat berdampak sensitisasi. Kerapnya

    pemberian obat lebih memicu reaksi alergi, interval pengobatan makin

    lama, maka reaksi alergi lebih jarang terjadi.7

    3. Usia

    Secara umum reaksi obat alergik dapa terjadi pada seluruh golongan,

    namun umumnya anak - anak kurang tersensitisasi oleh obat

    dibandingkan dengan dewasa, walaupun demikian ROA yang serius

    dapat juga terjadi pada anak-anak. Bayi dan usia lanjut jarang

    mengalami alergi obat dan kalau pun terjadi lebih ringan, hal tersebut

    dikaitkan dengan imaturitas atau involusi sistem imun. 7.8

    4. Genetik

    Gen HLA spesifik dihubungkan dengan risiko terjadinya alergi obat.

    Kemungkinan alergi obat familial pernah dilaporkan. Di antara individu

  • 6

    dewasa yang orang tuanya mengalami reaksi alergi terhadap

    antibiotika, 25,6 % mengalami reaksi alergi terhadap agen antimikroba;

    sedangkan individu dengan orang tua tanpa reaksi alergi, hanya 1,7%

    mengalami reaksi alergi. 6,7

    5. Reaksi Obat Sebelumnya

    Faktor risiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi terhadap obat

    sebelumnya. Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam jangka

    waktu tidak terbatas. Sensitisasi silang antara obat dapat terjadi,

    misalnya antara berbagai kelompok sulfonamid. Pasien dengan riwayat

    hipersensitivitas memiliki peningkatan tendensi untuk terjadinya

    sensitivitas terhadap obat baru, contohnya pasien dengan alergi

    penisilin memiliki peningkatan risiko 10 kali untuk terjadinya alergi

    terhadap antimikroba non--laktam. Reaksinya tidak terbatas pada

    hipersensitivitas tipe cepat.7

    6. Penyakit medis yang menyertai

    Pasien dengan penyakit medis yang menyertai yang mempengaruhi

    sistem imun seperti HIV-AIDS meningkatkan resiko dan frekuensi

    terjadinya ROA.5 Hal tersebut terjadi akibat tertekannya sistem imun

    sehingga tubuh mengalami defisiensi limfosit T supresor yang

    mengatur sintesis antibodi IgE.2 Contoh lain adalah ruam

    makulopapular setelah pemberian ampisilin yang lebih sering terjadi

    selama infeksi virus Epstein-Barr dan di antara pasien dengan

    leukemia limfatik. 6,7

    7. Pengobatan medis yang menyertai

    Beberapa pengobatan dapat mengubah risiko dan beratnya reaksi

    terhadap obat.7

    b. Erupsi Obat Alergik

    Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada

    kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang

    biasanya sistemik. 1,6

    Mekanisme terjadinya erupsi obat dapat secara non imunologik dan

    imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik.1

  • 7

    Erupsi obat dengan mekanisme imunologik disebut erupsi obat alergik

    (EOA).1,6

    Mekanisme imunologik

    EOA terjadi pada pemberian obat kepada penderita yang sudah

    mempunyai hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Obat dan metabolitnya

    berfungsi sebagai hapten yang menginduksi antibody humoral. Terjadinya

    reaksi hipersensitivitas karena obat harus dimetabolisme terlebih dahulu

    menjadi produk yang secara kimia sifatnya reakif. Untuk memudahkan

    pemahaman mengenai terjadinya erupsi obat alergik dilakukan klasifikasi

    secara imunopatogenesis, yaitu : 6

    1. Reaksi yang diperantarai oleh antibodi :

    a) IgE : eritema, urtikaria, angioedema.

    b) IgG : purpura, vaskulitis, erupsi morbiliformis.

    2. Reaksi yang diperantarai oleh sel : fotosensitivitas

    3. Reaksi yang kemungkinan didasari mekanisme imunologik

    a) Eksantema fikstum /fixed drug eruption

    b) Eritema multifomis (Stevens Johnson Syndrome)

    c) Nekrolisis epidermal toksik

    4. Reaksi tersangka alergi : reaksi Jarisch- Herxheimer.

    Reaksi alergik yang secara (immediate), terjadi dalam beberappa menit

    dan ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu

    membahayakan jiwa maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat

    (accelerated) timbul dari 1 sampai 72 jam sesudah pemberian obat dan

    kebanyakan bermanifestasi sebagai urtikaria. Kadang-kadang berupa rash

    morbiliformis atau edema laring. Reaksi yang lambat (late) timbul lebih dari 3

    hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat dan lambat ini ditimbulkan oleh antibody

    IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik dan exanthema dihubungkan dengan

    antibody IgM.6

    Aspek imnunopatogenesisnya adalah:

    1. Metabolisme Obat dan Hipotesis Hapten

    Suatu subtansi dikatakan merupakan imunogen lemah atau tidak

    imunogenik bila berat molekul kurang dari 4000 Dalton.2 Sebagian besar

  • 8

    obat-obatan merupakan senyawa kimia organik sederhana dengan berat

    molekul rendah, sehingga merupakan imunogen lemah atau bahkan tidak

    imunogenik.5,6 Obat-obatan dengan berat molekul rendah dapat menjadi

    imunogenik bila obat atau metabolit obat berikatan dengan karier

    makromolekul, seringkali melalui ikatan kovalen, membentuk kompleks

    hapten-karier, sehingga pengolahan antigen menjadi efektif.7,8 Untungnya,

    sebagian besar obat merupakan molekul yang stabil dan memiliki sedikit

    kemampuan atau tidak mampu (tidak cukup reaktif) membentuk ikatan

    kovalen dengan komponen jaringan. Hal ini menerangkan rendahnya

    insidens alergi obat.7 Ternyata terdapat beberapa obat dengan BM rendah

    (misalnya polimiksin), yang bersifat irnunogenik tanpa konjugasi dengan

    jaringan. Meski mekanisme yang pasti belum diketahui, imunogenesitas

    suatu obat mungkin berhubungan dengan kemampuan obat membentuk

    polimer rantai panjang. Sedangkan obat-obatan dengan berat molekul

    tinggi merupakan antigen lengkap yang dapat menginduksi respons imun

    dan memicu reaksi hipersensitivitas.6,7 Kecenderungan obat tertentu untuk

    menimbulkan sensitisasi adalah karena obat tersebut memang cenderung

    membentuk metabolit yang sangat reaktif.

    Pemahaman baru tentang pengenalan obat oleh sistem imun

    berdasarkan pada model hapten. Potensi obat untuk menjadi alergenik

    sangat bergantung pada struktur kimia obat. Peningkatan ukuran molekul

    dan kompleksitas berhubungan dengan peningkatan kemampuan untuk

    memicu respons imun.6,7

    Umumnya obat - obatan yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas

    harus mengalami bioaktivasi atau metabolisme menjadi produk kimia yang

    reaktif. Umumnya metabolisme obat dianggap sebagai proses

    detoksifikasi, obat yang sebelumnya nonpolar dan larut lemak menjadi

    lebih polar dan hidrofilik sehingga mudah dieksresi. Jika metabolit tidak

    mengalami detoksifikasi yang adekuat, dapat menyebabkan toksisitas

    langsung pada sel atau hipersensitivitas yang diperantarai imun.7

    Metabolisme obat dibagi menjadi 2 langkah, yaitu reaksi fase I dan

    reaksi fase II. Reaksi fase I adalah oksidasi - reduksi atau reaksi hidrolisis,

    dan reaksi fase II adalah reaksi konjugasi yang menghasilkan

  • 9

    pembentukan senyawa inaktif yang mudah diekskresi.1,6 Reaksi oksidasi

    membutuhkan isoenzim sitokrom P450, prostaglandin sintetase, dan

    bermacam- macam peroksidase jaringan. Reaksi fase II diperantarai oleh

    berbagai enzim antara lain epoksida hidrolase, glutation S-transferase

    (GST), dan N-asetyl transferase (NAT).1 Untuk dapat menimbulkan reaksi

    imunologik hapten harus bergabung dengan protein pembawa (carrier)

    yang ada di dalam sirkulasi atau protein jaringan hospes. Carrier

    diperlukan oleh obat atau metabolitnya untuk merangsang sel limfosit T

    agar merangsang sel limfosit B membentuk antibodi terhadap obat atau

    metabolitnya.8

    Pada umumnya metabolit reaktif yang dibentuk pada fase I seringkali

    mengalami detoksifikasi dan eliminasi secara cepat.1,6 Metabolit reaktif

    obat yang tidak didetoksifikasi dapat mengikat protein atau asam nukleat,

    sehingga menyebabkan nekrosis sel atau menyebabkan perubahan

    produk gen. Reaksi tersebut merupakan efek toksik langsung. Hal ini

    terjadi pada metabolit reaktif sulfonamid. Kemungkinan lain, metabolit

    reaktif dapat bertindak sebagai hapten yang terikat secara kovalen dengan

    makromolekul yaitu protein atau membran permukaan sel. Pengikatan

    tersebut membentuk imunogen besar dan multivalen yang dapat

    menginisiasi respon imun. Respon imun dapat langsung terhadap obat

    atau rnetabolitnya, dapat pula terhadap determinan antigen baru

    (neoantigen) yang terbentuk melalui kombinasi obat dengan protein,

    misalnya trombositopelia karena kuinin, terbentuk antibodi IgG yang

    spesifik untuk kuinin yang terikat pada permukaan trombosit.

    Kemungkinan lain, ikatan antara obat dan protein jaringan (komponen

    jaringan lain) dapat mengubah tempat pengikatan obat pada molekul

    protein jauh dari tempat pengikatan yang sesungguhnya. Perubahan pada

    protein jaringan ini kemudian dapat dikenali sebagai benda asing oleh

    sistem imun. Mekanisme ini terjadi pada drug-induced autoimmunity.

    Contoh fenomena ini adalah sindrom lupus eritematosus sistemik yang

    diinduksi hidralazin.5

    Antigen harus memiliki multipel combining site (multivalen) sehingga

    dapat memicu reaksi hipersensitivitas. Hal ini menyebabkan bridging

  • 10

    molekul antibodi IgE dan lgG atau reseptor antigen pada limfosit.

    Konjugasi obat atau metabolitnya (hapten) dengan karier makromolekul

    membentuk hapten-karier yang multivalen yang penting untuk inisiasi

    respon imun dan elisitasi reaksi hipersensitivitas. Ligan yang univalen

    (obat atau metabolitnya) dalam jumlah besar dapat menghambat respon

    imun melalui kompetisi dengan konjugat multivalen pada reseptor yang

    sama, oleh karena itu konsentrasi menentukan frekuensi, berat dan angka

    kejadian ROA. 6,8

    Kulit merupakan organ yang aktif bermetabolisme, mengandung enzim

    untuk memetabolisme obat baik fase I maupun II. Isoenzim sitokrom P450

    multiple berada di kulit. Netrofil, monosit dan keratinosit memiliki enzim

    yang potensial yang dapat mengoksidasi obat menjadi metabolit reaktif.

    Kulit juga merupakan organ imunologis yang mengandung sel Langerhans

    dan sel dendritik pada pathogenesis ROA. Kombinasi aktivitas metabolik

    mungkin dapat menerangkan mengapa kulit merupakan organ yang paling

    sering mengalami ROA.6

    2. Pengenalan Obat Oleh Sel T

    Berbeda dengan sel B, sel T dapat mengenali antigen peptida hanya

    melalui molekul major histocornpatibitity complex (MHC). Antigen eksogen

    misalnya protein ditangkap oleh antigen presenting cell (APC), diproses

    melalui perencanaan enzimatik menjadi peptida kecil, yang kemudian

    dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II kepada sel T CD4+.

    Sedangkan peptida pendek dari antigen endogen dipresentasikan molekul

    MHC kelas I kepada se T CD 8+. Sel T tidak hanya mengenal suatu

    peptida tetapi juga antigen nonpeptida baik alami atau sintetik, antara lain

    lemak, fenil-pirofosfat, glukosa, logam, atau obat-obatan yang

    dipresentasikan melalui MHC atau molekul sepert MHC kepada sel T.8

    Mekanisme imunologik erupsi obat yang terpenting adalah presentasi

    obat oleh APC, yaitu sel dedritik termasuk sel Langerhans kulit, kepada

    limfosit T. Hal tersebut merupakan interaksi yang kompleks antara ikatan

    haptenated peptide pada molekul MHC pada APC dan reseptor sel T.

    Pengikatan ini dimodulasi oleh beberapa faktor termasuk sitokin,

    haptenated peptide itu sendiri dan molekul adhesi antara sel T dan APC.

  • 11

    Beberapa kemungkinan presentasi obat oleh APC telah dikemukakan

    sebagai berikut :8

    a) Metabolisme obat ekstra hepatik (aktivasi intraseluler)

    Kebanyakan obat didetoksifikasi intraseluler melalui isoenzim sitokrom

    P450. Metabolisme obat melibatkan reaktive intermediate yang dapat

    mengikat protein secara langsung. Jalan ini dialami sulfametoksasol,

    dimana metabolit reaktif yang terbentuk (hidroksilamin dan nitroso

    supranetoksasol) mengikat protein secara kovalen.

    b) Aktivasi ekstraseluler

    Aktivasi ekstraseluler dapat terjadi secara spontan atau melalui

    metabolisme dependent myeloperoksidase. Reaktive intermediate

    dapat mengikat secara langsung kompleks peptida - MHC atau

    mengikat protein ekstraseluler. Ikatan protein obat tersebut akan

    ditangkap APC dan diolah menjadi peptida - obat, yang kemudian

    dipresentasikan molekul MHC pada permukaan.

    3. Tidak ada aktivasi

    Jalan ini melibatkan pengikatan obat secara langsung, dan agak labil

    kepada kompleks peptida - MHC. Obat ini dapat mengikat MHC, peptida

    atau keduanya. Tidak dibutuhkan pengikatan dengan protein sebelumnya,

    ambilan (uptake) maupun pengolahan, serta metabolisme untuk

    presentasi.8

    Diferensiasi subset Th bergantung pada konsentrasi antigen, sifat

    APC, dan faktor lingkungan mikro (misalnya hormon). Keberadaan IL-4

    menyebabkan polarisasi kuat kepada Th2, sedangkan diferensiasi Th1

    diinduksi oleh IFN- atau TGF - , terutama tanpa keberadaaan IL-4. Th2

    menstimulasi produksi sel mast, eosinofil dan antibodi IgE. IL-4

    bertanggung jawab pada produksi IgE, IL-5 untuk eosinofilia, dan

    kombinasi IL-3, IL-4, dan IL-10 untuk produksi sel mast. Sedangkan sitokin

    yang dihasilkan Th1 memperantarai respons imun yang berbeda-beda.

    Aktivasi makrofag oleh IFN-, dan lebih luas lagi oleh TNF dan

    granulocyte macrophage colony stimulating factor. Th1 juga

    memperantarai respon imflamasi seluler kompleks yang dikenal sebagai

    hipersensitivitas tipe lambat, dan dengan sekresi IFN dan TNF, juga

  • 12

    berefek sitotoksik langsung ke berbagai tipe sel. Jadi, tiap subset Th

    menginduksi dan meregulasi kumpulan fungsi efektor yang saling

    berkaitan yang bekerja pada antigen dan patogen yang spesifik. 8

    Aktivasi ThI menyebabkan produksi sitokin sepertiI IL-2 dan IFN-,

    yang mengakibatkan aktivasi sel T sitotoksik, serta menyebabkan reaksi

    seperti dermatitis kontak, eksim obat, NET, atau erupsi mortibiliformis.

    Aktivasi Th2 menyebabkan produksi IL-4, IL-5, IL-13, dan produksi

    antibodi IgE yang mengakibatkan reaksi klinis seperti urtikaria anafilaksis.8

    4. Klasifikasi Reaksi Alergik

    Reaksi Obat Alergik dibagi dalam 4 tipe reaksi hipersensitivitas oleh

    Coombs dan Gell yaitu Tipe I (Reaksi hipersensitivitas cepat/reaksi

    anafilaktik), tipe II (Reaksi sitotoksik), tipe III (Reaksi komplek imun), dan

    tipe IV (Reaksi hipersensitivitas tipe lambat). Reaksi tipe I - III diperantarai

    oleh antibodi spesifik obat, sementara reaksi tipe IV oleh limfosit T spesifik

    obat. ROA pada beberapa keadaan dapat sesuai dengan salah satu dari

    keempat tipe tersebut, namun pada umumnya sulit untuk

    mengklasifikasikan ROA ini ke dalam sistem Coombs dan Gell, karena

    mekanisme yang bertanggung jawab untuk elisitasi belum diketahui.1,8

    a) Tipe I (Reaksi Anafilaktik)

    Pajanan pertama kali terhadap obat tidak menimbulkan reaksi yang

    merugikan, tetapi pajanan selanjutnya dapat menimbulkan reaksi.

    Terjadi jika obat atau metabolitnya mengikat sekurang - kurangnya 2

    molekul IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basophil

    sehingga mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil serta

    pelepasan histamin dan berbagai mediator lain (misal serotonin,

    bradikinin, heparin, SRSA leukotrien dan prostaglandin) dari sel.

    Gambaran klinis yang khas tipe I adalah urtikaria dengan atau tanpa

    angioederma. Selain itu juga bisa terjadi spasme bronkus, muntah dan

    yang paling bahaya adalah reaksi anafilaktik. Penisilin merupakan

    penyebab utama erupsi obat tipe cepat yang IgE dependent.3,6-8

    b) Tipe II (Reaksi sitotoksik)

    Tipe II terjadi jika antibodi IgG atau IgM mengikat antigen di

    permukaan sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh

  • 13

    sel efektor yang diperantarai komplemen. Gabungan obat-antibodi-

    komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel sasaran ialah

    eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis sel sehingga

    reaksi tipe ini disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik.3,6,8

    Reaksi sitotoksik memiliki 3 kemungkinan mekanisme ; pertama,

    obat terikat secara kovalen pada membran sel dan antibodi kemudian

    mengikat obat dan mengaktivasi komplemen (misalnya penisilin);

    kedua kompleks obat-antibodi yang terbentuk, terikat pada permukaan

    sel dan mengaktivasi komplemen (rnisalnya sefalosporin); ketiga obat

    yang terikat pada permukaan sel menginduksi respons imun yang

    mengikat langsung antigen spesifik jaringan (misalnya -methyl-dopa).

    Contoh obat yang menimbulkan reaksi ini adalah sedormid (sedatif)

    yang dapat mengikat trombosit dan imunoglobulin yang terbentuk

    terhadapnya sehingga menghancurkan trombosit (trombositopenia)

    dan menimbulkan pulpura. Kloramfenikol dapat mengikat sel darah

    putih dan mengakibatkan agranulositosis. Fenasetin, klorpromazin,

    penisilin, kina, dan sulfonamid dapat mengikat sel darah merah,

    mengakibatkan anemia hemolitik. 6

    c) Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)

    Tipe III ditandai oleh pembentukan kompleks antigen-antibodi

    (antibodi IgG atau IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan

    mengaktifkan komplemen.1 Komplemen yang teraktivasi kemudian

    melepaskan berbagai mediator diantaranya enzim-enzim yang dapat

    merusak jaringan seperti macrophage chermotatic factor. 1,5 Makrofag

    dikerahkan ketempat tersebut melepas enzim yang dapat merusak

    jaringan. Komplemen juga membentuk C3a dan C5a (anafilatoksin)

    yang merangsang sel mast dan basofil rnelepas granul. Komplemen

    juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan di

    jaringan.6

    Mekanisme tipe III diduga terlibat pada banyak erupsi obat, meliputi

    urtikaria, vaskulitis dan eritema multiforme. Lesi urtikaria dapal juga

    terlihat pada awal reaksi yang diikuti demam, limfadenopati, dan

    artralgia.1 Reaksi ini berhubungan dengan kompleks imun dalam

  • 14

    sirkulasi terdiri atas antibodi IgG dan obat, yang mengaktifkan kaskade

    komplemen, menyebabkan pembentukan anafilatoksin (C3a, C5a).8

    Selanjutnya terjadi pelepasan histamin dan mediator lain dari sel mas

    dan basofil. Reaksi ini lebih sering disebabkan oleh sulfonamid dan

    penisilin. Pada vaskulitis yang diinduksi obat, reaksi diperkirakan

    disebabkan oleh deposit kompleks imun obat dan IgG pada endotel

    pembuluh kulit kecil yang menyebabkan peradangan yang diperantarai

    komplemen. Pada eritema multiforme, peradangan yang diperantarai

    kompleks imun mungkin berperan atau metabolisme yang diperantarai

    IgE yang bertanggung jawab, melibatkan elemen reaksi fase lambat.6

    d) Tipe IV(Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)

    Reaksi ini tidak melibatkan immunoglobulin, melainkan limfosit,

    APC dan sel Langerhans yang mempresentasikan antigen kepada

    limfosit.1 Limfosit T yang sudah tersensitisasi mengenali antigen dan

    12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen menyebabkan

    pembebasan serangkaian limfokin, antara lain marcrophage inhibilition

    factor dan macrophage activation factor. Makrofag yang diaktifikan

    dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh klasiknya adalah

    dermatitis kontak alergik.1

    Erupsi eksematosa, eritroderma, dan fotoalergik merupakan reaksi

    tipe IV. Reaksi tipe ini melibatkan limfosit efektor yang spesifik yang

    juga terlibat pada purpura, sindrom Lyells, bulosa, likhenoid, dan

    erupsi obat yang menyerupai lupus. Mekanisme tipe IV bersama-sama

    tipe III terlibat pada erupsi makulo-papular, fixed drug eruption, dan

    eritema nodosum.6

    Pada kenyataannya, reaksi-reaksi ini tidak selalu berdiri sendiri,

    namun dapat bersama sama. Limfosit T berperan pada inisiasi respons

    antibodi, dan antibodi bekerja sebagai essensial link pada beberapa

    reaksi yang diperantarai sel, misalnya ADCC.

    Mekanisme Non-Imunologis

    Reaksi pseudo-allergik menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody

    dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan

  • 15

    kontras media. Ada teori yang menyatakan bahwa ada satu atau lebih

    mekanisme yang terlibat, pelepasan mediator sel mast dengan cara

    langsung, aktivasi langsung dari sy=istem komplemen , atau pengaruh

    langsung pada metabolisme enzim arakidonat sel.9

    Efek kedua diakibatkan oleh proses farmakologik obat terhadap tubuh

    yang dapat menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena

    penggunaan kemoterapi antikanker. Penggunaan obat-obat tertentu secara

    progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan

    mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata difus.9

    IV. GAMBARAN KLINIS

    ROA dapat mengenai setiap organ, seperti darah, pulmo, hepar, dan renal,

    tetapi yang tersering mengenai kulit (EOA).3,7 Manifestasi EOA yang tersering

    (erupsi morbiliformis, urtikaria, angioedema, fixed drug eruption), yang terberat

    (sindroma Stevens Jhonson, nekrosis epidermal toksik), serta beberapa

    manifestasi lain berupa dermatitis kontak alergik, dermatitis eksfoliative, purpura,

    vaskulitis, reaksi fotoalergik, eritema multiformis dan eritema nodosum.1,7

    a. Erupsi Makulopapular atau Morbiliformis

    Erupsi makulopapular atau morbiliformis atau disebut juga erupsi

    eksantematosa merupakan EOA yang paling sering dijumpai dan dapat

    diinduksi oleh hampir semua obat. Erupsi ini timbul generalisata dan

    simetris, dan dapat terdiri atas eritema, makula yang berkonfluens,

    dan/atau papul yang tersebar di wajah, telapak tangan dan kaki. Membran

    mukosa tidak terkena. Lesi biasanya mucul dalam 1 2 minggu setelah

    inisial terapi, tapi kadang-kadang dapat muncul setelah obat dihentikan.

    Lesi selalu diikuti dengan gejala pruritus, dapat pula diikuti demam, edema

    fasial / kelopak mata, malaise, dan nyeri sendi yang biasanya hilang

    dalam beberapa hari sampai minggu setelah obat dihentikan. Erupsi dapat

    hilang tanpa penghentian obat, namun hal ini sangat jarang terjadi.

    Sebaliknya, ruam dapat berkembang progresif menjadi eritroderma atau

    dermatitis eksfoliativa dengan melanjutkan terapi.1,5=6

  • 16

    Gambar 1. Erupsi Eksantematosa

    Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.

    Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352

    Tipe khusus erupsi ini adalah pustulosa eksantematosa generalisata

    akut (PEGA) yang ditandai dengan erupsi bulosa yang muncul mendadak

    diikuti malaise dan demam tinggi. Lesi kulit berupa vesikopapula, pustul,

    dan bula yang terjadi harnpir diseluruh tubuh. Mernbran mukosa jarang

    terlibat. Gambaran klinis menyerupai psoriasis pustular.1,10

    Mekanisme terjadinya erupsi makulopapular yang diinduksi obat belum

    diketahui dengan jelas, nampaknya melibatkan lebih dari satu mekanisme,

    yaitu mekanisme reaksi tipe III dan tipe IV. Reaksi ini terjadi setelah

    beberapa hari pemberian obat dan tidak terjadi setelah pemberian dosis

    pertama, hal ini menunjukkan perlunya periode sensitisasi sebelum reaksi

    terjadi. Beberapa erupsi makulopapular diperantarai oleh sel T. Baru-baru

    ini dilaporkan keterlibatan sel T CD8+ dalam mekanisme terjadinya erupsi

    obat morbiliformis dan bulosa. Keterlibatan limfosit CD8+ dalam erupsi

    obat dihasilkan dari bioaktivasi obat menjadi intemediate reaktif.

    Intemediate reaktif intraseluler ini mengikat protein sitoplasma secara

    kovalen, kemudian dipresentasikan oleh MHC kelas I kepada sel T

    CD8+.6,8

    Erupsi makulopapular sering dikaitkan dengan penggunaan ampisillin,

  • 17

    NSAID, sulfonamid, antikonvulsan, allopurinol, tetrasiklin, eritromisis,

    fenobarbital, dan bahkan retinoid.1,6 Penyebab utama adalah antibiotika

    laktam, dan arti epilepsi. Harus diingat bahwa tidak semua eksantem

    morbiliformis atau makulopapular diinduksi oleh obat. Infeksi tertentu

    khususnya virus dapat menginduksi eksatem yang sukar dibedakan

    dengan yang diinduksi oleh obat. Kasus PEGA kebanyakan dihubungkan

    dengan penggunaan antibiotika terutama kelompok penisilin.6

    b. Urtikaria dan angioedema

    Urtikaria dan angioedema merupakan erupsi obat tersering kedua.

    Urtikaria merupakan reaksi vascular di kulit dengan adanya oedema

    setempat yang pucat atau kemerahan dengan halo yang timbul mendadak

    dan terasa gatal serta panas. Lesi urtika biasanya hilang dalam beberapa

    jam, jarang lebih dari 24 jam dan secara serentak muncul lesi urtika yang

    baru pada tempat yang lain. Ukuran lesi urtika bervariasi antara beberapa

    milimeter hingga 10-20 cm. Urtikaria yang diinduksi obat seringkali diikuti

    demam dan gejala umum lain berupa malaise, vertigo, dan sakit

    kepala.3,6,8

    Gambar 2. Urtikaria Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku

    Kedokteran EGC ; 2005.

    Angioedema terjadi bila pembengkakan juga terjadi pada dermis dan

    jaringan subkutan, ditandai dengan edema setempat yang hanya

    berkembang pada lokasi tertentu saja.1 Edema biasanya simetris. Daerah

    predileksinya adalah bibir, kelopak mata, gentalia eksterna, dan punggung

    tangan dan kaki.1,6 Edema pada glottis, laring dan lidah merupakan reaksi

  • 18

    edema yang paling berat dan tanpa pertolongan pertama dapat

    menqakibatkan kematian akibat asfiksia. Penyebab tersering ialah

    penisilin, asam asetilsalisilat dan NSAID.1

    Gambar 3. Angiooedema

    Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd

    edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003

    Urtikaria selain diperantarai reaksi tipe I, juga dapat merupakan bagian

    dari reaksi tipe III. Mekanisme terjadinya urtikaria diperantarai IgE, dan

    juga melalui pembentukan kompeks imun. Penyebab tersering urtikaria

    adalah penisillin, asam asetisalisilat, dan NSAID lain. Sebuah penelitian

    mengungkapkan bahwa antibiotika -laktam (melalui mekanisme alergi)

    bertanggung jawab pada sepertiga kasus, dan NSAID (melalui mekanisme

    pseudoalergi) bertanggung jawab pada sepertiga kasus lainnya dari reaksi

    urtikaria yang diinduksi obat.

    c. Fixed Drug Eruption (FDE)

    FDE atau disebut juga exantema fikstum adalah satu-satunya EOA

    yang selalu diprovokasi oleh obat atau bahan kimia.1 Tidak ada faktor

    etiologi lain yang dapat mengelisitasi. FDE merupakan EOA yang sering

    dijumpai ketiga. Gambaran FDE berupa eritema dan vesikel berbentuk

    bulat atau lonjong dan biasanya numular, pada kasus yang berat dapat

    timbul bula. Tempat predileksi adalah di sekitar mulut, di daerah bibir dan

    daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin

  • 19

    karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan

    rasa panas setempat.1 Lesi kemudian meninggalkan bercak

    hiperpigmentasi yang lama dan baru hilang bahkan sering menetap.

    Kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama.11

    Gambar 4. Fixed drug eruption

    Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd

    edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003

    Obat yang sering menyebabkan FDE ialah sulfonamide, barbiturate,

    trimethoprim dan analgesic. Ukuran lesi bervariasi dari beberapa milimeter

    hingga sentimeter. Dengan pemberian obat inisial, lesi soliter dapat

    terbentuk. Pada pemberian ulang obat penyebab, lesi terjadi tidak hanya

    pada lokasi biasanya, tapi juga pada tempat lain.1

    Gambar 5. Fixed drug erupsi pada genitalia akibat sulfonamide

    Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.

    Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003

  • 20

    .

    Mekanisme terjadinya FDE diduga melalui reaksi tipe III dan IV.

    Terdapat peningkatan jumlah limfosit T baik helper maupun supresor.

    Limfosit T helper / sitotoksik epidermis ditemukan dekat dengan keratinosit

    yang nekrotik.5,7 Limfosit T yang menetap di lesi kulit berperan dalam

    memori imunologis dan menjelaskan rekurensi lesi pada tempat yang

    sama. Ditemukannya keratinosit pada lesi kulit FDE menunjukkan

    peningkatan ICAM 1 (yang terlibat dalam interaksi antara keratinosit dan

    limfosit) dan FILA-DR. Peningkatan ekspresi ICAM-1 menjelaskan migrasi

    limfosit T ke epidermis. Beberapa obat penyebab FDE adalah sulfonamid,

    tetrasiklin, barbiturat, fenazon, fenitoin, trimetoprim, dan analgesik.1,5

    d. Dermatitis Eksfoliativa(Eritroderma)

    DE atau eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang

    biasanya disertai skuama. DE biasanya muncul dalam beberapa minggu

    atau bahkan beberapa hari setelah penggunaan obat. Erupsi berupa

    eritema diseluruh tubuh diikuti deskuamasi terutama pada telapak tangan

    dan kaki3. Proses dapat berlanjut beberapa minggu atau bulan setelah

    penghentian obat. Pada eritroderma karena alergi obat terlihat eritema

    tanpa skuama, skuama baru timbul pada stadium penyembuhan. 6,12

    Gambar 6. Dermatitis eksfoliativa, erupsi dan skuama di wajah, lengan dan tubuh.

    Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku

    Kedokteran EGC ; 2005.

    Mekanisme yang pasti belum diketahui, diduga melalui mekanisme tipe

    IV. DE dapat berasal dari erupsi eksantematosa jika obat penyebab masih

  • 21

    dilanjutkan.2 DE selain diinduksi obat, juga dapat merupakan perluasan

    penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya seperti psoriasis, atau

    berkaitan dengan limfoma hodgkin, leukemia, dan keganasan lainnya.1,5

    Banyak obat yang dapat menjadi penyebab DE, namun yang paling sering

    adalah sulfonamid, penisilin, barbiturat, karbamazepin, fenitoin,

    fenilbutason, allopurinol, dan garam emas.1

    e. Purpura

    Purpura adalah perdarahan di dalam kulit/mukosa berupa

    bercak/pembengkakan berwarna merah/kebiruan yang tidak hilang bila

    ditekan.1 Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat.

    Erupsi biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki, termasuk

    pergelangan kaki atau tungkai bagian bawah dengan penyebar keatas.

    Erupsi terdiri atas makula atau bercak kecil berbatas tegas berwarna

    merah kecoklatan yang tidak hilang dengan penekanan, dan disertai rasa

    gatal.1,5 Kelainan dapat berupa Petekie (makula merah, diameter 2-3 mm,

    merah, kemudian coklat & akhirnya menghilang), Ekimosis (makula

    kebiruan, sedikit bengkak, diameter > 2-3 mm, letak kelainan lebih dalam;

    kemudian menguning & akhirnya menghilang), Vebeses (purpura

    berbentuk linear), Hematoma (kumpulan darah dalam jaringan kulit /

    mukosa. Berjumlah cukup banyak pembengkakkan & fluktuasi)1

    Gambar 7. Purpura pada tungkai bawah

    Sumber Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.

    Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003

  • 22

    Purpura karena hipersensitivitas obat dapat diakibatkan oleh

    trombositopenia. Mekanisme trombositopenia berhubung dengan

    pembentukan kompleks antigen antibodi dengan afinitas pada trombosit.

    Teryata banyak obat yang menyebabkan kerusakan kapiler tanpa

    mengenai tombosit. Tipe ini dikenal sebagai purpura non trombositopenik

    atau purpura vascular/purpura primer. Purpura non

    trombositopenik/purpura sekunder secara umum berkaitan dengan deposit

    kompleks imun di dinding venula.

    Beberapa obat penyebab purpura trombositopenik adalah asam

    asetilsalisilat, karbamazepin, indometasin, isoniazid, nitrofurantoin,

    penisilinamin, fenitoin, dan derivatnya, derivat pirazolon, quinidin,

    sulfonamid, dan tiourasil. Sedangkan beberapa obat penyebab purpura

    non trombositopenik adalah ampisilin, penisilin, sulfatrimetoprim,

    sulfonamid, asam asetilsalisilat.5

    f. Vaskulitis

    Vaskulitis adalah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa

    palpable purpura yang mengenai kapiler.3 Vaskulitis ditandai dengan

    adanya inflamasi dan nekrosis pembuluh darah.3 Bentuk tersering adalah

    vaskulitis yang mengenai kapiler dan venul. Vaskulitis dapat hanya

    terbatas pada kulit, atau dapat melibatkan organ lain, antara lain hepar,

    ginjal, dan sendi. Ukuran dan jumlah lesi bervariasi. Biasanya distribusi

    simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum. Vaskulitis biasanya

    disertai demam, malaise, myalgia dan anoreksia.3,5 Vaskulitis clapat terjadi

    pada semua umur, dengar awitan rata-rata pada dekade kelima.

    Vaskulitis yang diinduksi obat dianggap terjadi melalui mekanisme

    reaksi tipe III, jadi berhubungan dengan deposit kompleks imun. Obat

    hanya salah satu penyebab vaskulitis.2 Obat-obatan yang dianggap

    sebagai penyebab adalah penisilin, sulfonamid, tiourasil, hidantoin, iodida,

    alopurinol, tiazid, NSAID, antidepresan, antiaritmia.3,4

  • 23

    g. Reaksi fotoalergik

    Fotosensitivitas dapat berupa fenomena non imunologik fototoksik,

    atau reaksi imunologik fotoalergik.2 Reaksi fotoalergik bergantung pada

    obat, respons imun dan cahaya. UVA (320-400nm) terlibat pada sebagian

    besar reaksi fotoalergik. Reaksi fotoalergik dapat diinduksi oleh obat

    topikal atau sisternik.13

    Gambaran klinis reaksi fotoalergik sama dengan gambaran dermatitis

    kontak alergi pada umumnya. Reaksi kulit diawali di daerah yang terpajan

    sinar matahari, kemudian dapat meluas yang tidak terpajan matahari.3

    Reaksi fotoalergik terhadap photosensitizer sistemik lebih jarang

    dibandingkan dengan yang diinduksi kontaktan.6

    Gambar 8. Ruam pada reaksi fotoalergik

    Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku

    Kedokteran EGC ; 2005.

    Reaksi fotoalergik diperantarai oleh limfosit dan merupakan reaksi

    hipersensitivitas tipe lambat serupa dengan dermatitis kontak alergik.

    Reaksi fotoalergik membutuhkan fase induksi dan elisitas. Periode

    sensitisasi dapat beberapa hari sampai beberapa bulan. Konsentrasi obat

    yang dibutuhkan untuk elisitasi dapat sangat kecil.2 sebagaian besar

    reaksi fotoalergik disebabkan oleh agen topikal, antara lain sulfonamid,

    fenotiazin, dan halogennated salicylanilides. Fotoalergen sistemik,

    misalnya fenotiazin, klorpromazin, sulfa, tiazid, kuinidin, dan griseofulvin

    dapat menimbulkan reaksi fotoalergik.1,6

  • 24

    h. Pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA)

    Penyakit pustulosis eksemantosa generalisata akut(PEGA) atau acute

    generalized exanthematous pustulosis(AGEP) jarang terjadi, diduga

    disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus, hipersensitivitas

    terhadap merkuri, dan dermatitis kontak.3

    Kelainan kulitnya berupa pustule-pustul miliar non-folikular yang timbul

    pada kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai

    lesi target. Kelainan kulit timbul pada waktu demam tinggi(>380C), dan

    pustule-pustul tersebut cepat menghilang sebelum 7 hari yang kemudian

    diikuti deskuamasi selama beberapa hari.3

    Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustule intraepidermal atau

    subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrate

    polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinophil atau nekrosis fokal sel-

    sel keratinosit.3

    Terdapat 2 perbedaan utama antara PEGA dan psoriasis pustulosa

    yaitu PEGA terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada PEGA

    pustule-pustul pada kulit yang eritematosa dan demam lebih cepat

    menghilang, selain itu gambaran histopatologik juga berbeda.3

    i. Eritema nodosum (EN)

    EN merupakan EOA yang jarang terjadi. Kelainan kulit berupa eritema

    yang lunak dan nodus yang nyeri dengan eritema diatasnya disertai gejala

    umum berupa demam, malese dan artritis tidak biasa pada EN yang

    diinduksi obat. Distribusi lesi simetris dengan tempat predileksinya di

    daerah tungkai bawah. Pada kasus yang berat dapat mengenai paha dan

    lengan. Awitan EN cepat namun regresi perlahan. EN dapat pula

    disebabkan oleh beberapa penyakit lain misalnya tuberculosis, infeksi

    streptokokus, dan leprae.

  • 25

    Gambar 10. Eritema nodusum pada tungkai bawah

    Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku

    Kedokteran EGC ; 2005.

    Terdapat beberapa pertentangan apakah obat dapat menyebabkan

    EN. Biasanya dengan Imunofluoresen langsung gagal menunjukkan

    deposit imun, tapi kadang-kadang terdapat IgG atau IgM. Reaksi

    imunologis yang menyebabkan inflamasi di pembuluh darah subkutan

    mungkin mencetuskan lesi.

    Obat-obatan yang dianggap sering menyebabkan EN adalah

    sulfonamid, bromida, dan kontrasepsi oral.1 Obat-obatan lain seperti

    penisilin, barbiturat, dan salisilat lebih jarang menyebabkan EN.2

    j. Eritema Multiforme (EM)

    Eritema Multiforme atau disebut juga Herpes iris, dermatostomatitis

    dan eritema eksudativum multiforme merupakan erupsi mendadak dan

    rekuren pada kulit dan kadang-kadang pada selaput lendir dengan

    gambaran bermacam-macam spectrum(polimorfik) dan gambaran khas

    bentuk iris. Pada kasus yang berat disertai symptom konstitusi dan lesi

  • 26

    vesikel. Penyebab yang pasti belum diketahui. Obat merupakan penyebab

    EM pada 10-20% kasus, sisanya kemungkinan disebabkan oleh infeksi

    dan penyakit lain.1,5

    Gejala klinis berupa spektrum yang bervariasi dari erupsi lokal kulit dan

    selaput lendir sampai bentuk berat berupa kelainan multi system yang

    dapat menyebabkan kelainan. Terdapat dua tipe dasar yaitu tipe macula

    eritema dan tipe vesikobulosa.3

    Gambar 11. Eritema Multiformis

    Sumber: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In:

    Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas

    Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139

    Tipe makula-eritema mendadak, simetris dengan tempat predileksi di

    punggung tangan, telapak tangan, bagian ekstensor ekstremitas , dan

    selaput lender. Pada keadaan berat mengenai badan. Lesi tidak terjadi

    serentak, tetapi berturut-turut dalam 2-3 minggu. Gejala khas ialah bentuk

    iris(target lesion) yang terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian tengah berupa

    vesikel atau eritema yang keungu-unguan, dikelilingi oleh lingkaran

    konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran yang merah.3

    Pada tipe vesikobulosa lesi mula-mula berupa macula, papul,dan urtika

    yang kemudian timbul lesi vesikobulosa di tengahnya. Bentuk ini dapaat

    juga mengenai selaput lender.3 Pada pemeriksaan darah tepi tidak

    ditemukan kelainan, pada kasus yang berat dapat terjadi anemia dan

    proteinuria ringan.3

  • 27

    k. Sindroma Stevens Johnson (SSJ)

    Sindrom Steven Johnson (SSJ) disebut juga eritema multiforme mayor

    merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lender dan orifisium dan

    mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan

    paada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.1

    Penyebab utama dari SSJ adalah alergi obat(>50% kasus). Penyebab

    lainnya adalah infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma

    dan radiasi. Banyak obat yang menjadi penyebab sindrom ini, yang

    tersering adalah sulfonamid, antikonvulsan aromatik, beberapa NSAID

    dan alopurinol yang bertaggung jawab pada 2/3 kasus SSJ.

    Aminopenisillin dan klormenazon juga dilaporkan sebagai penyebab

    tersering. Penyakit ini serupa dengan NET disebabkan oleh reaksi

    hipersensitivitas tipe II (sitolitik). Gambaran klinis tergantung kepada sel

    sasaran (target cell). Sasaran utama SSj dan NET adalah pada kulit

    berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivasi sel T,

    termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin yang lain.

    CD4 terutama terdapat di dermis, sedangkan CD8 pada sel epidermis.

    Keratinositepidermal mengekspresi ICAM-1, ICAM-2 dan MHC II. Sel

    Langerhans tidak ada atau sedikit. TNF di epidermis meningkat.1,7

    Sindrom ini jarang dijumpai pada usia < 3 tahun karena imunitas belum

    begitu berkembang.Keadaan umumnya dapat bervariasi dari ringan

    sampai berat. Mulainya penyakit akut dapat disertai dengan gejala

    prodromal berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek dan

    nyeri tenggorokan.1

    Gambar 12. Contoh lesi pada Sindrom Stevens Johnson

    Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku

    Kedokteran EGC ; 2005.

  • 28

    Pada SSJ terlihat trias kelainan berupa kelainan kulit, kelainan selaput

    lender di orifisium dan kelainan mata. Kelainan kulit terdiri atas eritema,

    vesikel dan bula.3 Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi

    erosi yang luas. Disamping itu juga terdapat purpura. Pada bentuk yang

    berat kelainannya generalisata. Kelainan selaput lender di orifisium yang

    tersering ialah pada mukosa mulut(100%), kemudian disusul oleh kelainan

    di lubang alat genital(50%), sedangkan di lubang hidung dan anus

    jarang(masing-masing 8% dan 4%). Kelainanna berupa vesikel dan bula

    yang cepat memecah sehingga terjadi erosierosi dan ekskoriasi dan

    krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat terbentuk pseudomembran.

    Di bibir kelainan yang sering tampaik ialah krusta berwarna hitam yang

    tebal. Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus

    respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis dapat menyebabkan

    pasien sulit/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat

    menyebabkan keluhan sukar bernapas. Kelainan mata terjadi pada 80%

    diantara semua kasus, yang tersering adalah konjungtivitis kataralis.

    Selain itu dapat pula berupa konjungtivitis purulent, perdarahan,

    simblefaron, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Komplikasi tersering ialah

    bronkopneumonia, selain itu dapat pula terjadi kehilangan darah/cairan,

    gangguan keseimbangan elektrolit, syok dan ebutaan karena gangguan

    lakrimasi. Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas.3

    Gambar 13. Gambaran pasien Sindrom Stevens Jhonson

    Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku

    Kedokteran EGC ; 2005.

  • 29

    Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme,

    bervariasi dari perubahan dermal ringan sampai nekrolisis epidermal yang

    menyeluruh. Kelainan berupa3:

    1. Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah

    dermis superficial

    2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar

    3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel

    subdermal

    4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa

    5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis

    Diagnosis banding SSJ adalah NET karena NET merupakan bentuk

    parah dari SSJ. Apabila terdapat epidermolisis generalisata maka

    diangnosanya adalah NET. Keadaan umum pada NET lebih buruk.3

    Obat yang dianggap sebagai kausanya harus dihentikan, termasuk

    jamu dan adiktif. Pengobatan yang diberikan jika keadaan umum pasien

    baik dan lesi tidak menyeluruh adalah dengan prednisone 30-40mg sehari.

    Jika keadaan umum pasien kurangbaik atau lesi menyeluruh pasien harus

    dirawat inap. Penggunaan kortikosteroid merupakan life-saving, dapat

    digunakan injeksi deksametason dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg

    sehari. Setelah beberapa hari (2-3 hari) bila masa krisis telah teratasi,

    keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak

    mengalami involusi maka dosis diturunkan 5 mg setiap harinya dan

    setelah mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid.

    Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari. Selain deksametason dapat pula

    digunakan metilprednisolon degan dosis setara. Kelebihan

    metilprednisolon adalah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan

    dengan dengan deksametason namun harganya lebih mahal. Dengan

    dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan berkurang

    sehingga harus diberikan antibiotic untuk mencegah infeksi, misalnya

    bronkopneumonia yang menyebabkan kematian. Contoh antibiotic yang

    biasa digunakan adak=lah ciprofloksasin 2 x 400 mg iv, klindamisin 2 x

    600 mg iv sehari, ceftriakson 2 gr 1 x 1 sehari. Untuk mengurangi efek

    samping kortikosteroid diberikan diet yang rendah garam dan tinggi

    protein karena kortikosteroid bersifat katabolic.Setelah seminggu diperiksa

  • 30

    pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan K dapat

    diberikan KCl 3 x 500 mg.1

    Pada pasien dengan lesi di mulut dan tenggorokan yang menyebabkan

    sulit/tidak dapat menelan dapat diberikan infus seperti dextrose 5%, NaCl

    9% dan Ringer Laktat dengan perbandingan 1:1:1 dalam 1 labu yang

    diberikan 8 jam sekali. Jika dengan terapi tersebut belum tampak

    perbaikan dalam 2 hari, maka dapat diberikan transfuse darah sebanyak

    300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfusi darah (whole blood)

    adalah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia prognosisnya

    menjadi buruk, setelah diberi transfuse leukosit cepat menjadi normal.

    Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit jadi

    meninggikan daya tahan. Indikasi pemberian transfuse pada SSJ dan NET

    adalah :1

    1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat

    setelah 2 hari belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30

    mg deksametason sehari dan NET 40mg sehari.

    2. Bila terdapat purpura generalis

    3. Jika terdapat leukopenia

    Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vit.C

    500 mg atau 1000 mg sehari iv. Terapi topical tidak sepenting terapi

    sistemik. Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim

    sulfodiazin-perak, untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase

    dan betadine gargle Untuk bibir yang biasanya kelainannya berupa krusta

    tebal kehitaman data diberikan emolien misalnya krim urea 10%.1

    l. Nekrosis Epidermal Toksik (NET)

    NET disebut juga Sindrom Lyell merupakan penyakit yang berat, lebih

    berat daripada SSJ, sehingga jika pengobatan tidak cepat dan tepat dapat

    menyebabkan kematian. NET ialah penyakit berat, gejala terpenting ialah

    epidermolisis generalisata (karena sel sasarannya adalah epidermis),

    dapat disertai kelainan pada selaput lender di orifisium dan mata.3,5

    Etiologinya sama dengan SSJ. Penyebab utama juga alergi obat yang

    berjumlah 80-95% dari semua pasien. NET merupkan penyakit yang berat

    dan sering menyebabkan kematian karena gangguan cairan dan elketrolit

    atau karena sepsis. NET disertai periode prodromal berupa demam,

  • 31

    rhinitis, konjungtivitis, yang bertahan beberapa hari hingga minggu yang

    dapat disertai dengan penurunan kesadaran(spoor-komatosa), selanjutnya

    lesi kulit berkembang cepat, biasanya dalam 3 hari. Awalnya, pasien

    merasakan seperti terbakar atau nyeri pada lesi eritema generalisata

    kemudian timbul banyak vesikel dan bula dan dapat disertai dengan

    purpura. Bula dan pengelupasan kulit(epidermolisis) pada area yang luas

    mengakibatkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang eritematosa, yaitu

    kulit yan ditekan dan digeser maka kulit akan terkelupas.1.5

    Gambar 14. Nekrosis Epidermal Toksik

    Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku

    Kedokteran EGC ; 2005.

    Komplikasi yang dapat terjadi adalah pada ginjal yang berupa nekrosis

    tubular akut akibat terjadinya ketidakseimbangan cairan bersama-sama

    dengan glomerulonephritis. Diagnosis banding NET adalah SSJ,

    Dermatitis kontak iritan karena baygon dan Staphylococcus Scalded Skin

    Syndrome(SSSS).3

    V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

    Beberapa pemeriksaan yang dapat dilaksanakan untuk membantu

    memastikan penyebab erupsi obat alergik :6

    a. Pemeriksaan in vivo :

    1. uji tempel (patch test)

    2. uji tusuk (prick/scratch test)

    3. uji provokasi (exposure test)

    Pemeriksaan tersebut memerlukan persiapan untuk menghadapi

    kemungkinan reaksi anafilaksis.

  • 32

    b. Perneriksaan in vitro :

    1. Yang diperantarai antibodi :

    a) Hemaglutinasi pasif

    b) Radio immunoassay

    c) Degranulasi basofil

    d) Tes fiksasi komplemen

    2. Yang diperantarai sel :

    a) Tes transformasi limfosit

    b) Leucocyte migration inhibition test

    Pemilihan pemeriksaan tersebut didasarkan atas mekanisme imunologis yang

    mendasari erupsi obat. Namun perlu diingat bahwa pemeriksaan tersebut

    merupakan pemeriksaan penunjang dan hasilnya memerlukan interpretasi yang

    teliti.1

    VI. DIAGNOSIS

    Diagnosis erupsi obat berdasarkan :

    a. Anamnesis : adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan

    obat sehingga perlu ditanyakan obat-obat/jamu yang didapat, kelainan yang

    timbul akut atau beberapa hari setelah konsumsi obat, rasa gatal yang dapat

    disertai demam yang biasanya subfebril.

    b. Pemeriksaan Klinis (Kelainan kulit yang ditemukan) : adanya kelainan klinis

    sesuai dengan jenis masing- masing reaksi. Penghentian obat yang diikuti

    penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan

    oleh obat tersebut. Perlu diperhatikan distribusi lesi yang menyebar, simetris

    atau setempat, bentuk kelainan yang timbul (urtikaria, purpura, eksantema,

    papul, eritroderma, eritema nodusum).

    c. Pemeriksaan khusus ; saat ini belum ditemukan cara yang cukup sensitif dan

    dapat dipercaya untuk mendeteksi erupsi obat alergik.

    VII. DIAGNOSIS BANDING 5

    a. Dermatitis Kontak Iritan

    b. Pitiriasis Rosea

    c. Urtikaria, selain karena obat

  • 33

    VIII. PENGOBATAN

    Pengobatan erupsi obat alergik belum memuaskan, antara lain karena

    kesukaran dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau

    metabolitnya. Pengobatan dibagi dalam:

    a. Pengobatan kausal : Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka

    (apabila obat tersangka telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk

    rnenghindari obat yang mempunyai struktur kimia dengan obat tersangka

    (satu golongan).

    b. Pengobatan simtomatik :Pengobatan dilaksanakan sesuai dengan tipe

    reaksi yang mendasarinya :

    1. Pada reaksi anafilaksik (reaksi tipe I) : Bila terjadi syok dapat diberikan

    epinefrin 1 : 1000 sebanyak 0,3 0,5 ml secara subkutan atau intravena.

    Antihistamin dan kortikosteroid dapat diberikan, tetapi bukan merupakan

    pengobatan lini pertama. Umumnya reaksi dapat diatasi dalam waktu 15

    20 menit, meskipun penderita masih harus diamati selama 24 jam

    berikutnya untuk mencegah komplikasi.

    2. Pada reaksi tipe yang lain : Penghentian penggunaan obat tersangka

    umumnya cukup memberikan hasil yang baik. Sesuai dengan berat-

    ringannya reaksi, pemberian kortikosteroid (prednison 40 100 mg/hari)

    dan antihistamin dapat dipertimbangkan.l

    Pengobatan dapat diberikan secara 1:

    1. Sistemik

    a) Kortikosteroid

    Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sisteik.

    Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah tablet

    prednisone(1 tablet=5mg). Pada kelainan urtikaria, eritema,

    dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodusum, eksantema

    fikstum, dan PEGA karena alergi obat, dosis standar untuk orang

    dewasa adalah 3x10 mg prednisone sehari. Pada eritroderma

    dosisnya adalah 3x10 mg sampai 4x 10 mg sehari.

    b) Antihistamin

    Antihistamin yang bersifat sedative dapat juga diberikan, jika

    terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalau

    dibandingkan dengan kortikosteroid.

  • 34

    2. Topikal

    Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah

    kering atau basah. Kalau keadaan kering, seperti apda eritema atau

    urtikaria, dapat diberikan bedak, contohnya bedak salisilat 2%

    ditambah dengan antipruritus, misalnya menthol - 1% untuk

    mengurangi rasa gatal. Kalau keadaan membasah seperti dermatitis

    medikamentosa perlu dikompres, misalnya kompres larutan asam

    salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodusum tidak

    diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum jika kelainan

    membasah dapat diberikan kompres dan jika kering dapat diberi krim

    kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2,5%. Pada

    eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan

    skuamasi dapat diberi salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-

    sebagian.

    IX. PROGNOSIS

    Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat

    penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada

    beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-kelainan sindrom Leyll dan

    sindrom Steven-Johnson, prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas

    kulit yang terkena. 1

    X. KESIMPULAN

    Banyak tipe erupsi yang dapat disebabkan oleh obat, dan tiap obat dapat

    memicu timbulnya erupsi obat alergi. Oleh karena itu sebelum memberikan terapi

    obat, harus dipertimbangkan besar kecilnya resiko, keuntungan serta kerugian

    dari terapi tersebut. Dengan mengetahui imunopatogenesis, faktor resiko,

    manifestasi klinis EOA dan edukasi pada pasien, serta penulisan resep yang

    tepat dapat menurunkan morbiditas EOA.

    Apabila terjadi EOA dan obat tersangka penyebab erupsi tersebut telah dapat

    dipastikan, maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa kartu

    kecil yang memuat jenis obat tersebut (serta golongannya). Kartu tersebut dapat

    ditunjukkan bilamana diperlukan, sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang

    memungkinkan terulangnya erupsi obat alergik.

  • 35

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergi. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aishah S, editor.

    Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-5. Cetakan ketiga. Jakarta : FK UI ;

    2008. h 154-8.

    2. Shear NH, Knowles SR, Shapiro L. Cutaneous Reactions to Drugs. Dalam : Wolff

    K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell, editor. Fitzpatricks

    Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York : McGrawHill ; 2008. p

    355-62.

    3. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed.

    Pharmaceutical Press. 2006 (cited 2013 July 19) Available from :

    http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf.

    4. Partogi D. Fixed Drug Eruption. 2009 (cited 2013 July 19). Available from :

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3411/1/08E00858.pdf

    5. Blume JE, Elston DM. Drug Eruption. New York : Emedicine (Updated 2013 April

    8; cited 2013 July 19).

    6. Riedl MA, Casillas AM. Adverse Drug Reactions: Types and Treatment Options.

    Am Fam Physician. 2003 (cited 2013 July 18). Available from :

    http://www.aafp.org/afp/2003/1101/p1781.html.

    7. Budi Iman. Erupsi Obat Alergik. 2008 (cited 2013 July 18). Available from :

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3400/1/08E00602.pdf.

    8. DeSwarte RD, Patterson R. Drug allergy. Dalam : Patterson R, et al. Alergic

    Diseases. Edisi ke-5. Philadelpia : Lippincott-Raven Publisher ; 1997. p 317

    352.

    9. Bratawidjaya KG. Reaksi hipersensitivitas. Dalam : Bratawidjaya KG, Rengganis

    I. Imunologi Dasar. Edisi ke-8. Jakarta : FKUI ; 2009. h 106 129.

    10. Purwanto SL. Alergi Obat. Dalam : Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976.

    (cited 2013 19 July). Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files-

    07AlergiObat006_pdf-07AlergiObat006.mht

    11. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit

    Buku Kedokteran EGC ; 2005.

    12. Revuz J, Allanore LV. Drug Reactions. In : Bolognia JL, et al, editor.

    Dermatology Volume 1. 2nd ed. Spain : Mosby Elsevier ; 2008. p 301-19.

    13. James WD, Berger TG, Elston DM. Drug Eruption. In : Andrews Disease of The

    Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Canada : Saunders Elsevior ; 2006. p 115-38.

  • 36

    14. Paller AS, Manchini AJ. The Hipersensitivity Syndromes. In : Hurwitz Clinical

    Pediatric Dermatology. 4th ed. Canada : Saunders Elsevior ; 2011. p 454-69.

    15. Sumber: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi

    Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran

    Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139