referat dvt nur
DESCRIPTION
trombosis vena dalamTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Trombosis adalah terbentuknya massa dari unsur darah di dalam pembuluh
darah vena atau arteri pada mahkluk hidup sedangkan trombosis vena dalam
adalah pembekuan darah di dalam pembuluh darah vena terutama pada tungkai
bawah. Trombosis merupakan istilah yang umum dipakai untuk sumbatan
pembuluh darah, baik arteri maupun vena. Trombosis hemostatis yang bersifat
self-limited dan terlokalisir untuk mencegah hilangnya darah yang berlebihan
merupakan respon normal tubuh terhadap trauma akut vaskuler, sedangkan
trombosis patologis seperti trombosis vena dalam (TVD), emboli paru, trombosis
arteri koroner yang menimbulkan infark miokard, dan oklusi trombotik pada
serebro vaskular merupakan respon tubuh yang tidak diharapkan terhadap
gangguan akut dan kronik pada pembuluh darah dan darah.
Konsep trombosis pertama kali diperkenalkan oleh Virchow pada tahun
1856 dengan diajukamya uraian patofisiologi yang terkenal sebagai Triad of
Virchow, yaitu terdiri dari abnormalitas dinding pembuluh darah, perubahan
komposisi darah, dan gangguan aliran darah. Ketiganya merupakan faktor-faktor
yang memegang peranan penting dalam patofisiologi trombosis. Dikenal 2 macam
trombosis, yaitu :
1. Trombosis arteri
2. Trombosis vena
Etiologi trombosis adalah kompleks dan bersifat multifaktorial. Meskipun
ada perbedaan antara trombosis vena dan trombosis arteri, pada beberapa hal
terdapat keadaan yang saling tumpang tindih. Trombosis dapat mengakibatkan
efek lokal dan efek jauh. Efek lokal tergantung dari lokasi dan derajat sumbatan
yang terjadi pada pembuluh darah, sedangkan efek jauh berupa gejala-gejala
akibat fenomena tromboemboli. Trombosis pada vena besar akan memberikan
gejala edema pada ekstremitas yang bersangkutan. Terlepasnya trombus akan
menjadi emboli dan mengakibatkan obstruksi dalam sistem arteri, seperti yang
terjadi pada emboli paru, otak dan lain-lain.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI
Sirkulasi darah terjadi melalui satu lengkungan arteri dan vena yang
kontinu serta terbagi menjadi sirkuit pulmonal dan sistemik. Sirkulasi pulmonal
menghantarkan darah dari jantung ke paru, di mana darah dioksigenasi dan
kemudian dikembalikan ke jantung. Sirkulasi sistemik, atau sistem vascular
perifer, meliputi arteri, arteriol, vena, venula, dan kapiler, dimana sistem ini
membawa darah dari jantung ke seluruh organ dan jaringan lain dan kemudian
membawa darah kembali ke jantung.
2.1.1 Sirkulasi darah arteri
Jantung memompa darah baru yang telah teroksigenasi melalui arteri,
arteriol, dan bantalan kapiler menuju seluruh organ dan jaringan. Arteri tersusun
atas otot polos yang tebal dan serat elastis. Serat yang kontraktil dan elastis
membantu menahan tekanan yang dihasilkan saat jantung mendorong darah
menuju sirkulasi sistemik. Arteri utama/mayor dari sirkulasi sistemik meliputi
aorta, karotis, subklavia dan iliaka. Aorta melengkung membentuk seperti busur
di
2
belakang jantung dan turun ke bawah hingga pertengahan tubuh. Arteri lain
merupakan cabang dari aorta dan mengalirkan darah menuju kepala, leher dan
organ-organ utama di dalam abdomen. Arteri karotis bergerak naik di dalam leher
dan mengalirkan darah ke organ di dalam kepala dan leher, termasuk otak. Arteri
subklavia mengalirkan darah menuju lengan, dinding dada, bahu, punggung, dan
sistem saraf pusat. Arteri iliaka mengalirkan darah menuju pelvis dan kaki.
2.1.2 Arteri-arteri di Lengan dan Kaki
Setelah meluas melalui rongga dada/toraks, arteri subklavia menjadi arteri
aksilaris. Arteri aksilaris kemudian menyebrangi aksila dan menjadi arteri
brakhialis, yang terletak di dalam lekukan/sulkus bisep-trisep pada lengan atas.
Arteri brakhialis mengalirkan sebagian besar darah menuju lengan. Pada fosa
kubiti (yaitu lipatan siku), arteri brakhialis bercabang menjadi arteri radialis dan
arteri yang meluas ke lengan bawah dan, selanjutnya bercabang menjadi arkus
palmaris yang mengalirkan darah ke telapak tangan.
Sedangkan di kaki setelah melewati daerah pelvis, arteri iliaka selanjutnya
menjadi arteri femoralis, yang bergerak turun di sebelah anterior paha. Arteri
femoralis mengalirkan darah ke kulit dan otot paha dalam. Pada bagian bawah
paha, arteri femoralis menyilang di posterior dan menjadi arteri poplitea. Di
bawah lutut, arteri poplitea terbagi menjadi arteri tibialis anterior dan tibialis
posterior. Arteri tibialis bergerak turun di sebelah depan dari kaki bagian bawah
menuju bagian dorsal/punggung telapak kaki dan menjadi arteri dorsalis pedis.
Arteri tibialis posterior bergerak turun menyusuri betis dari kaki bagian bawah
dan bercabang menjadi arteri plantaris di dalam telapak kaki bagian bawah.
3
4
2.1.3 Sirkulasi darah vena
Setelah dihantarkan melalui sistem vaskular arteri dan menuju jaringan
tubuh dan organ, darah “dikosongkan” menuju jaringan vena yang tersusun
menyebar yang dan pada akhirnya mengembalikan darah ke atrium kanan jantung.
Sistem vena berjalan berdampingan dengan sistem arteri dan memiliki nama yang
sama; walaupun terdapat perbedaan mayor antara sistem arteri dan sistem vena di
leher dan ekstremitas. Arteri di daerah ini terletak dalam di bawah kulit dan
terlindung oleh tulang dan jaringan lunak. Sebaliknya, dua set vena perifer
biasanya ditemukan di leher dan ekstremitas: satu superficial dan satu lagi terletak
lebih dalam. Vena superficial terletak dekat dengan permukaan kulit, mudah
untuk dilihat, dan membantun untuk mengatur suhu tubuh. Saat suhu tubuh,
menjadi rendah, aliran darah arteri menjadi berkurang, dan vena vena superfisial
dilewati. Sebaliknya, saat tubuh menjadi kelebihan panas, aliran darah ke kulit
meningkat, dan vena superfisialis berdilatasi. Vena-vena mayor dari sirkulasi
sistemik meliputi vena kava superior, vena kava inferior, dan vena jugularis. Vena
kava superior menerima darah dari jaringan dan organ di kepala, leher, dada,
bahu, dan ekstremitas atas. Vena kava inferior mengumpulkan darah dari sebagian
besar organ yang terletak di bawah diafragma. Darah vena dari kepala dan wajah
dialirkan menuju vena jugularis, yang terletak di dalam leher.
2.1.4 Vena-vena di Lengan dan Kaki
Arkus vena palmaris meluas dari tangan menuju lengan bawah, dimana
vena-vena ini menjadi vena radialis dan vena ulnaris. Saat vena ulnaris dan
radialis mencapai fosa kubiti (yaitu lipatan siku), vena-vena ini bergabung untuk
membentuk vena brakhialis. Saat vena brakhialis meluas melalui lengan atas, vena
ini bergabung dengan vena superfisialis lengan untuk membentuk vena aksilaris,
yang berjalan melalui aksila dan menjadi vena subklavia di dalam rongga toraks.
Vena subklavia membawa darah dari lengan dan area toraks/dada menuju vena
kava superior.
Sedangkan di kaki darah yang meninggalkan kapiler-kapiler di setiap jari
kaki bergabung membentuk jaringan vena plantaris. Jaringan plantar mengalirkan
5
darah menuju vena dalam kaki (yaitu vena tibialis anterior, tibialis posterior,
poplitea, dan femoralis). Vena safena magna dan safena parva superfisial
mengalirkan darah di telapak kaki dari arkus vena dorsalis menuju vena poplitea
dan femoralis.
Atherosklerosis Perifer
6
2.1.5 Atherosklerosis Perifer
Atherosklerosis adalah penyakit vaskular yang menyebabkan
pembentukkan plak yang kaya lemak di dalam dinding pembuluh darah yang
menonjol ke dalam lumen. Saat atherosklerosis berkembang lebih lanjut, dinding
pembuluh darah menebal, menjadi keras, dan kehilangan elastisitas, yang
mengurangi aliran darah melalui pembuluh dan meningkatkan risiko
pembentukkan thrombus. Pembuluh darah mayor yang biasanya terkena meliputi
aorta dan arteri koroner serta arteri serebral. Atherosklerosis perifer lebih sering
disebut dengan penyakit arteri perifer/peripheral arterial disease (PAD). Hal ini
merupakan manifestasi dari atherosklerosis sistemik dimana lumen arteri pada
ekstremitas bawah menjadi tersumbat secara progresif oleh plak atau lesi
atherosklerotik, terutama pada pembuluh darah arteri perifer. Arteri yang
umumnya terkena, berdasarkan kejadiannya adalah arteri femoralis, poplitea, dan
tibialis. Faktor risiko mayor untuk pembentukkan PAD adalah sangat serupa
dengan penyakit arteri koroner dan meliputi:
Usia (>40)
Hiperlipidemia (kolesterol low-density lipoprotein/LDL yang tinggi atau
high-density lipoprotein/HDL yang rendah)
Hipertensi
Diabetes
Merokok
Gambaran klinis PAD bervariasi dan meliputi rentang gejala mulai dari
tidak bergejala (umumnya pada awal penyakit) hingga nyeri dan rasa tidak
nyaman. Dua gejala yang paling umum yang terkait dengan PAD adalah
klaudikasio intermitten dan nyeri/sakit pada ekstremitas bawah. Klaudikasio
intermiten ditandai dengan adanya kelemahan, rasa tidak nyaman, nyeri, kram,
dan rasa ketat atau baal pada ekstremitas yang terkena (biasanya pada bokong,
paha atau betis). Gejala-gejala ini biasanya terjadi saat beraktivitas dan reda
setelah beristirahat dalam beberapa menit. Nyeri saat istirahat biasanya terjadi
selanjutnya ketika aliran darah tidak adekuat untuk melakukan perfusi ke
ekstremitas. Gejala lain dari penyakit yang lanjut dapat meliputi baal atau nyeri
7
kontinu pada jari kaki atau kaki, yang dapat menyebabkan terjadinya ulserasi,
nekrosis jaringan, dan pada akhirnya dilakukan amputasi.
Tanda dan Gejala yang Berkaitan dengan Penyakit Arteri Perifer
Nyeri otot kaki dan rasa kencang yang biasanya terjadi saat beraktivitas dan reda
dengan beristirahat.
Baal atau nyeri pada jari‐jari kaki, telapak kaki, dan kaki bagian bawah
Atrofi otot kaki
Suhu permukaan kulit yang dingin
Kuku jari kaki menebal dan mengeras
Edema perifer
Nyeri otot kaki dan rasa kencang yang biasanya terjadi saat beraktivitas dan reda
dengan beristirahat.
Kelemahan otot kaki atau nyeri yang biasanya terjadi saat beraktivitas dan reda
dengan
beristirahat
Baal atau nyeri pada jari‐jari kaki, telapak kaki, dan kaki bagian bawah
Atrofi otot kaki
Kulit pada telapak kaki atau kaki bagian bawah lebih mulus dan mengkilat
Suhu permukaan kulit yang dingin
Kuku jari kaki menebal dan mengeras
2.1.6 Perbedaan trombosis vena dan arteri
Trombosis vena Trombosis arteri
• Hiperkoagulabilitas
• Aliran darah stasis
• Trombus merah
• Fibrin dan eritrosit
• Kerusakan vaskuler
• Trombosit hiperaktif
• Trombus putih
• Trombosit dan fibrin
2.1.7 Trombosis Vena Dalam8
Adanya thrombus (yaitu bekuan darah) pada vena dalam dan disertai
dengan proses inflamasi/peradangan dinding pembuluh darah disebut dengan
trombosis vena dalam(TVD)/ deep venous thrombosis (DVT), atau trombofleibitis.
2.2 Epidemiologi
Thrombosis vena dalam berkaitan dengan berbagai kondisi medis maupun
prosuder bedah tertentu. Pada pasien yang menjalani operasi , DVT berkisar 30%
di Eropah dan 16 % di US. Pada pasien yang menjalani operasi panggul atau lutut
DVT berkisar 45-70%, bagi operasi ginekologi dan saraf DVT berkisar 7-45%
dan 9-50%.
2.3 Patofisiologi
Dalam proses pembentukan trombosis vena, sangat penting diperhatikan tiga
faktor, yaitu pembuluh darah, komponen darah, dan vena statis. Peranan dari
ketiga faktor tersebut sudah dikemukakan oleh Virchow tahun 1856 dan dikenal
dengan trias Virchow.
A. Pembuluh darah
Kerusakan dinding pembuluh darah menyebabkan trombosit langsung
terpapar pada subendotelium dan dengan perantaraan faktor von
Willebrand trombosit melekat pada Subendotelium (adhesi).
Selanjutnya, trombosit yang berdekatan dihubungkan satu sama lain oleh
fibrinogen dan terjadi agregasi trombosit yang membentuk trombosit plak. Selain
itu, kerusakan jaringan akan menyebabkan faktor jaringan mengaktifkan
sistem koagulasi jalur ekstrinsik dan membentuk fibrin dan trombus.
B. Koagulasi Darah
Selain aktivasi sistem koagulasi ekstrinsik maupun instrinsik oleh
faktor jaringan yang dihasilkan pada trauma/operasi juga terjadi migrasi
leukosit pada tempat jaringan yang rusak yang juga mengaktifkan sistem
koagulasi. aktivasi koagulasi, baik melalui jalur ekstrinsik maupun instrinsik,
9
mengaktifkan F X menjadi F Xa, dan melalui jalur umum, F Xa bersama F V dan
faktor 3 trombosit akan mengubah protombin menjadi trombin dan kemudian
trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin inilah yang menjadi dasar
bekuan atau trombosis.
Koagulasi darah juga dapat meningkat karena faktor umur, trombofilia,
dan kondisi tertentu. Trombofilia, yaitu kecenderungan darah untuk
membentuk trombus. Trombofilia dapat herediter atau didapat Trombofilia
herediter, yaitu defisiensi AT III, protein C, protein S, faktor V Leiden dan mutasi
gen protrombin, Trombofilia didapat, sindrom antifosfolipid (APS), resistensi
protein C, Keadaan kondisi tertentu, seperti kanker, polisitemia, infark miokard,
berbaring lama, kehamilan.
C. Stasis Vena
Stasis merupakan faktor penting untuk terjadinva trombosis. Hal ini
terutama karena pada stasis faktor koagulasi aktif lambat dibawa ke hati untuk
mengalami kliren, dan juga terjadi pencegahan bercampurnya faktor
pembekuan aktif dengan antikoagulan. Selain itu, pada stasis akan mempermudah
interaksi trombosit dan faktor pembekuan dalam pembuluh darah. Akibat
terbentuknya trombus, aliran darah di vena menjadi terhambat sehingga
cairan keluar dari pembuluh darah ke jaringan interstisial dan terjadi edema.
Pembengkakan dapat menyebabkan penekanan pada saraf perifer sehingga
penderita akan mengeluh merasa sakit, terutama bila disertai aktivitas.
Bendungan pada kaki sering disertai infeksi sehingga bisa terjadi trombo-
flebitis. Bila ada aktivitas, kadang menyebabkan sakit dan mengakibatkan
gangguan fungsi organ tersebut disebut functio laesa. Stasis vena dapat terjadi
akibat dari imobilitas, obstruksi vena, dan gagal jantung. aliran darah vena
batik ke jantung biasanya diperkuat oleh konstraksi dari otot betis. Pads orang tua
berbaring lama, varikose vena, kehamilan terjadi gangguan kontraksi
tersebut.
Trombosis dapat terjadi pada bagian distal dan proksimal vena.
Pada pasien DVT yang disertai dengan gejala lokasi trombosis ditemukan,
10
10% pada poplitea, 42% pada poplitea dan femoralis superfisialis, 35% pada
semua vena proksimal dan 5% pada femoralis superfisialis atau iliaka.
2.4 Gejala klinis
Sesuai dengan patofisiologi tersebut, gejala utama DVT adalah bengkak,
perubahan warna, nyeri, dan fungsi berkurang. Walaupun semua gejala dapat
terjadi pada DVT, dalam kenyataannya gejala ini tidak selalu ditemukan
semua. Bahkan, sering ditemukan hanya dengan gejala merasa sakit di betis
atau di paha, terutama bila berjalan. Hasil penelitlan sejumlah besar data yang
dipublikasi mengenai Insiden trombosis vena pada pasien bedah dan medis yang
dirawat di rumah sakit; menunjukkan bahwa pada kebanyakan kasus (lebih
kurang 90%) DVT ditemukan tanpa gejala klinis. Oleh karena itu. dokter
harus waspada kemungkinan trombosis kaki pada pasien dengan risiko
tinggi. Tidak jarang pasien dengan DVT mendapat pengobatan yang tidak tepat
dan cukup lama, misalnya pasien dengan kaki bengkak berulang.
Komplikasi yang terparah bila pasien sudah tergolong sindrom
pascatrombosis (PTS). Pasien dengan PTS bisa dengan gejala kaki bengkak
yang tidak pernah hilang atau luka yang tidak sembuh. Bila terjadi sumbatan
masif pada vena iliofemoral, aliran darah balik dari pembuluh darah balik
kaki tersumbat total sehingga terjadi pembengkakan mulai dari paha sampal
kaki yang tampak kebiruan disertai sakit. Keadaan seperti ini disebut
phlegmasia cerulae dolores. Bila hanya sumbatan terjadi pada sebagian vena,
11
gejala yang diperlihatkan, seperti edema pada betis dan mata kaki disertai kulit
berwarna merah kebiruan akibat meningkatnya aliran darah vena di permukaan.
Kadang pada DVT, tanda fisik tidak jelas sehingga memerlukan ruangan
pemeriksaan yang terang. Pasien diminta untuk berdiri beberapa menit untuk
memperlihatkan perbedaan, besarnya antara kedua kaki, rasa panas, warna
dan udem di antara yang normal dan kaki yang terkena. Beberapa pasien datang
dengan riwayat gejala dan tanda trombosis vena yang berulang, yaitu bengkak
dan rasa sakit pada kaki, bengkak dan warna kulit yang gelap atau
kehitaman dan sering berkembang menjadi luka pada maleoli yang disebut
gejala pascatrombosis. Salah satu penyulit pada DVT, yaitu bila terjadi
emboli paru dengan gejala sakit di dada, sesak. gelisah dan sianosis,
hemoptisis, walaupun gejala ini jarang.
Pada setiap pasien DVT perlu selalu dipikirkan emboli paru karena
lebih dari 2/3 pasien emboli paru tanpa gejala. Walaupun jarang, emboli paru
yang berulang dapat menyebabkan pasien datang ke dokter karena hipertensi
pulmonal kronik disertai dengan kenaikan tekanan pada jantung kanan, sesak
napas, gelisah, dan sianosis.
2.5 Faktor Risiko
Pasien dengan faktor risiko trombosis, seperti operasi ortopedi, bedah
umum, artroskopi atau pada pasien stroke, gagal jantung, tumor, kehamilan,
dan pasien berbaring lama, perlu dipertimbangkan pemberian antikoagulan
sebagat profilaksis. Menurut laporan di negara Barat, pasien ortopedi yang
tidak mendapat antikoagulan profilaksis insiden DVT 40-60%. Hal yang sama
juga dilaporkan dari Malaysia oleh Dhillon tahun 1996, insiden DVT
pada pasien yang menjalani operasi ortopedi, tetapi tidak mendapat antikoagulan
profilaksis, insiden DVT ditemukan 62,5%. Wang tahun 2000 dari Taiwan
melaporkan insiden DVT pada pasien ortopedi sebanyak 63,6%.
Medis
12
Umur, obesitas, kehamilan, diabetes melitus, penyakit jantung, stroke, berbaring
lama, keganasan.
Biologis
Defisiensi AT III, protein C, protein S, faktor V Leiden, mutasi gen protrombin,
disfibrinogenemia
Bedah
Operasi mayor, operasi orthopedi.
Analisa faktor resiko tromboembolisme vena ditinjau dari Trias Virchow
Stasis vena Lesi pembuluh
darah
Kelainan
koagulasi
Umur >60 tahun +
Obesitas + +Imobilisasi + +Operasi tulang + ± +Trauma anggota gerak
bawah
+ + +
Insufisiensi jantung +Infark miokard + ±Stroke + ±Kanker ± +Operasi umum + ± +Defisiensi hemostasis
turunan atau didapat
+
Insufisiensi vena atau
varikosis
+ +
Riwayat DVT + + ±
(+) ada elemen Trias Virchow (±) ada elemen Trias Virchow
pada beberapa penderita
2.6 Diagnosis
13
Gejala klinis dari trombosis vena dalam bervariasi (90% tanpa gejala
klinis). Anamnesi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan antara lain :
a. Anamnesis
Nyeri lokal, bengkak unilateral, perubahan warna dan fungsi berkurang
pada anggota tubuh yang terkena.
b. Pemeriksaan Fisik
Edema, eritema, peningkatan suhu lokal tempat yang terkena, pembuluh
darah vena teraba, Homan’s sign (+)
c. Pemeriksaan penunjang
- Prosedur diagnosis baku adalah pemeriksaan venografi
- Kadar antitrombin III (AT III) menurun (N: 85-125%)
- Kadar fibrinogen degradation product (FDP) meningkat
- Titer D-dimer meningkat
- Ultrasonografi
- Venography
Pendekatan diagnostik
Pasien dengan gejala seperti disebut sebelumnya, kaki bengkak, sakit,
perubahan warna, perlu diwaspadai kemungkinan DVT. Lebih kurang 25% 14
pasien dengan gejala tersebut ditemukan DVT. Bahkan, walaupun jarang,
pasien dengan gejala hipertensi pulmonal kronis dengan gejala meningkatnya
tekanan pada jantung kanan, sesak napas, gelisah dan sianosis, kemungkinan
emboli paru pada DVT perlu dipikirkan.
Karena diagnosis DVT dan embolus paru yang hanya didasarkan atas
gejala klinis dan pemeriksaan fisik, sering dengan hasil negatif palsu maka
pemeriksaan yang objektif diperlukan. Untuk diagnostik pada permulaan
saat ini kompresi ultrasonografi sudah merupakan pilihan, tetapi
pemeriksaan venografi tetap merupakan gold standard. Kelemahan kompresi
ultrasonografi, terutama bila trombus pada distal karena sering menghasilkan
negatif palsu dan perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan venografi. Pemeriksaan
ultrasonografi mempunyai nilai prediksi yang tinggi pada pasien dengan
keluhan. DVT proksimal, dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 95%.
Pemeriksaan D-Dimer menunjukkan adanya aktivitas fibrinolisis, mempunyai
nilai prediksi negatif tinggi. Pemeriksaan MRI angio saat ini merupakan salah satu
pemeriksaan yang dipakai mendiagnosis DVT. Ventilasi atau perfusi lung
scanning merupakan prosedur permulaan yang dipakai untuk menentukan
emboli paru. Selain itu, Helical CT (spiral CT) dan MRI sudah dipakai luas
untuk menentukan embolus paru. Diagnosis emboli paru perlu ditegakkan
karena hampir 70% pasien dengan embolus paru tanpa gejala terbukti
mempunyai DVT, terutama DVT proksimal.
Pendekatan untuk mendiagnosis DVT dapat dilakukan sebagai berikut.
Pasien tersangka DVT dilakukan ultrasonografi bila positif diobati sebagai
DVT. Bila negatif, dapat dilakukan:
1. Pertimbangan besarnya kemungkinan secara klinis, bila rendah, DVT dapat
disingkirkan; bila kemungkinan secara klinis sedang atau tinggi, satu
minggu kemudian ulang kembali ultrasonografi, atau venografi ,terutama
bila tersangka DVT distal; bila negatif, DVT dapat disingkirkan; bila
positif, obati DVT;
2. Ulang satu minggu kemudian ultrasonografi: bila negatif, DVT dapat
disingkirkan; bila positif, obati DVT, atau venografi;
15
3. Periksa D-Dimer: bila positif, ulang 1 minggu ultrasonografi; bila positif,
obati DVT, bila D-Dimer negatif, DVT dapat disingkirkan.
Strafikasi faktor resiko menurut American College of Chest Physicians Consesus 1998.
Ringan Tanpa komplikasi
Pada pasien yang berumur 40 th dengan operasi minor dan tanpa
faktor risiko
Sedang Operasi pada pasien umur >40 th tanpa faktor risiko
Operasi mayor pada pasien <40 th dan tanpa faktor risiko
Operasi minor disertai faktor risiko
Tinggi Operasi mayor pada pasien umur >60 th tanpa faktor risiko
Operasi mayor pada-pasien umur > 40th disertai faktor risiko
Sangat tinggi Operasi mayor pasien umur >40 th
Sebelumnya terdapat VTE keganasan operasi ortopedi
Trombofilia, stroke, injuri spinal fraktur pinggul
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan terapi untuk trombosis vena dalam adalah untuk mencegah
pembentukan bekuan darah yang lebih besar, mencegah terjadinya emboli paru,
serta mencegah terjadinya bekuan darah di masa yang akan datang. Pasien yang
mempunyai risiko sedang dan tinggi untuk trombosis, perlu dipertimbangkan
untuk mendapat pengobatan pencegahan. Pencegahan dapat dilakukan, baik
dengan cara mekanis maupun pemberian obat. Cara mekanis termasuk fisioterapi,
stoking kompresi, sedangkan obat dapat diberikan antikoagulan oral, heparin
standar (unfraksionated) atau heparin berat molekul rendah.
Mobilisasi. Mobilisasi pasien sangat penting untuk mengurangi risiko
trombosis, terutama faktor risiko stasis dan penumpukan darah pada kaki.
Pasien yang dirawat, pasien pascaoperasi sesegera mungkin dimobilisasi
selama penyembuhan. Dalam keadaan tertentu seperti dalam hal
pasien sukar mobilisasi, fisioterapi disarankan.
Stoking Kompresi Elastis. Stoking ini akan mengurangi tromboembolisme 16
dengan cara meningkatkan aliran darah dan kecepatan aliran darah di
vena dalam kaki. Dapat juga dipakai kompresi pnematik intermiten, atau
stimulasi artifisial pompa vena kaki.
Antitrombosis. Sejumlah antitrombosis tersedia saat ini. Obat ini dapat
mencegah pembentukan trombus, mengganggu koagulasi darah,
memengaruhi aliran darah, dan stabilitas fibrin.
Antikoagulan Oral. Oral antikoagulan, seperti warfarin, efektif mencegah
trombosis vena pada pasien pascaoperasi pada semua kategori risiko.
Obat ini diberikan setiap hari, tetapi memerlukan pemantauan masa
protrombin untuk menentukan dosis yang efektif dan aman. Pemberian obat
ini diikuti risiko perdarahan, yang dapat dikurangi dengan pemantauan masa
protrombin. Kekurangan obat ini, yaitu manfaatnya baru dicapai sesudah 3-5
hari sehingga harus diberikan sebelum operasi.
Heparin Standar. Heparin diberikan sebagai pengobatan profilaksis
pada pasien dengan risiko sedang dan tinggi. Biasanya diberikan pada
dosis 5000 iu tiap 8 atau 12 jam subkutan. Dimulai 2 jam sebelum
operasi dan diteruskan sampai 7 hari. Obat ini dilaporkan efektif mencegah
DVT pada pasien operasi umum, ortopedi, dan urologi, dan juga
memperlihatkan berkurangnya emboli paru yang fatal dan tidak fatal.
Penyesuaian dosis heparin dilaporkan lebih baik daripada dosis rendah
heparin sebagai proteksi pada operasi pinggul elektif. Pada regimen ini,
heparin diberikan subkutan tiap 8 jam, dimulai 2 hari sebelum operasi.
Dosis dimulai dengan 3500 iu dan disesuaikan dengan aPTT di antara
31,5 dan 36 detik, 6 jam sesudah injeksi. Heparin dapat potensial
menyebabkan perdarahan, karenanya tidak diberikan pada pasien operasi
neurosurgeri, hipertensi, dan kelainan hemostasis.
Heparin berat molekul rendah (LMWH). Heparin berat molekul rendah
(LMWH) ini diberikan subkutan 12 jam sebelum operasi dan dilanjutkan 7
hari pascaoperasi. Obat dilaporkan efektif untuk mencegah DVT pada
pasien dengan risiko tinggi. Keuntungan obat ini tidak memerlukan
pemantauan seperti halnya heparin standar.
17
Antikoagulan
a) Heparin standar/heparin berat molekul rendah
Pasien dengan DVT dapat diberikan pengobatan dengan heparin standar
atau heparin berat molekul rendah. Heparin standar diberikan 100 iu/kgBB
bolus, dilanjutkan dengan heparin drips dimulai dengan 1000 iu/jam. Enam jam
kemudian diperiksa aPTT untuk menentukan dosis selanjutnya. Target untuk
pengobatan yang diinginkan, yaltu aPTT antara 1,5-2,5 kali kontrol. Bila aPTT
kurang dari 1,5 kali kontrol, dosis dinaikkan 100-200 iu/kgBB/jam, tergantung
pada. BB pasien. Bila aPTT lebih dari 2,5 kali kontrol, dosis diturunkan 100-200
iu/jam juga tergantung BB. Bila aPTT antara 1,5-2,5 kali kontrol, dosis tetap.
Untuk menyesuaikan dosis, hari pertama aPTT diperiksa. tiap 6 jam, hari
kedua tiap 12 jam dan hari ketiga tiap 24 jam. Dosis heparin dapat
mencapai 30000-40000/24 jam. Pada pasien yang dianggap terdapat risiko
tinggi perdarahan, heparin dapat dimulai dengan dosis 80 iu/kgBB,
dilanjutkan dengan 18 iu/kg/Jam, dan seterusnya berdasarkan hasil aPTT.
Bila diberikan heparin berat molekul rendah, seperti nadroparin, diberikan dengan
dosis 0,10 ml/kg atau enoxaparin 1 mg/kgBB diberikan tiap 12 jam. Biasanya
tidak diperlukan pemantauan. Akan tetapi, dalam keadaan klinis tertentu
seperti pada obesitas, pasien dengan BB kurang dari 50 kg, gaga/ ginjal
kronis, kehamilan, bila dianggap perlu, dapat diperiksa anti faktor Xa
untuk menentukan dosis LMWH dengan kisaran terapi (therapeutic range) 0,3-
0.7 iu. Pengobatan dengan heparin standar atau heparin berat molekul
rendah dapat disertai dengan memberikan warfarin pada hari pertama dan
pemberian heparin dihentikan sesudah INR 2,0-3,0 biasanya dicapai sesudah 5
hari.
b) Warfarin
Antikoagulan oral, warfarin, dapat dimulai segera sesudah pemberian
heparin sehingga lama pemberian heparin lebih singkat. Warfarin diberikan 6-
10 ing hari pertama diturunkan hari kedua dan sesudah 4-5 hari kemudian
diperiksa INR. Bila nilai INR 2-3 sudah dicapai, heparin dapat dihentikan
18
sesudah 24 jam berikutnya. Lama pemberian oral antikoagulan bergantung pada
ada tidaknya faktor risiko. Bila faktor risiko tidak ada, antikoagulan dapat
dihentikan sesudah 3-6 bulan. Bila ada. faktor risiko oral antikoagulan bisa
diberikan dalam jangka lama atau seumur hidup.
c) Trombolisis
Pengobatan dengan trombolisis seperti streptokinase, urokinase
recombinant tissue plasminogen activator (tPA) dapat dipertimbangkan pada
pasien bila disertai emboli paru masif dan syok. Obat fibrinolisis mengurangi
besarnya darah beku pada DVT kaki yang diperlihatkan dengan
angiografi, yaitu 30-40% terjadi lisis kamplit dan 30% lisis parsial. Obat
trombolisis diberikan langsung melalui kateter pada pasien dengan trombosis
iliofemoral masif. Beberapa penelitian melaporkan pada pasien yang mendapat
obat trombolisis. angka kejadian sindrom pascatrombosis berkurang. Akan
tetapi. saat ini pemberian obat trombolisis pada trombosis vena hanya dianjurkan
pada trombosis vena iliofemoral.
d) Antiagregasi trombosit
Antiagregasi trombosit umumnya tidak diberikan pada DVT, kecuali
ada indikasi, seperti sindrom antifosfolipid (APS) dan sticky platelet syndrome.
Aspirin dapat diberikan dengan dosis bervariasi mulai dari 80-320 mg.
e) Pentasacharida (ArixtraO)
Obat pentasacharida ini adalah antikoagulan sintesis yang kerjanya
menghambat faktor Xa. Beberapa penelitian melaporkan pada pasien ortopedi
pentasacharida lebih baik dibandingkan dengan enoxaparin untuk mencegah ter-
jadinya trombosis dan insiden perdarahan lebih sedikit.
2.8 KOMPLIKASI
a) Emboli paru adalah komplikasi utama dari trombosis vena dalam.
Dengan gejala nyeri dada dan sesak napas dimana kondisi yang
mengancam nyawa. Lebih dari 90% dari emboli paru timbulnya dari
kaki-kaki. Emboli Paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis (arteri
19
paru-paru) oleh suatu trombus, yang terjadi secara tiba-tiba.Sekitar 10%
penderita emboli paru mengalami kematian jaringan paru-paru, yang
disebut infark paru.Kebanyakan kasus disebabkan oleh bekuan darah
dari vena, terutama vena di tungkai atau panggul. Gumpalan darah
cenderung terbentuk jika darah mengalir lambat, yang dapat terjadi di
vena kaki jika seseorang berada dalam satu posisi tertentu dalam waktu
yang cukup lama. Jika orang tersebut bergerak kembali, gumpalan
tersebut dapat hancur, tetapi ada juga gumpalan darah yang
menyebabkan penyakit berat bahkan kematian.
b) Post-phlebitic syndrome dapat terjadi setelah trombosis vena dalam.
Kaki yang terpengaruh dapat menjadi bengkak dan nyeri secara kronis
dengan perubahan-perubahan warna kulit dan pembentukan ulcer
disekitar kaki dan pergelangan kaki.
20
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Dahlan M. Trombosis Arterial Tungkai Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbit IPD FK UI;2007.
2. Tambunan KL. Trombosis : Masalah di Indonesia Masa Kini dan Masa
Datang. Jakarta : Yoga Buana;2009.
3. Supandiman I. Trombosis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI;2001.
4. Rani AA, Soegondo, Nazir AU et al. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan
5. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R et al. Trombosis Vena. Dalam : Kapita
Selekta Kedokteran Jilid I. edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia;2001.
6. Haines ST, Seolla M, Witt DM. Venous thromboembolism. In: Dipiro JT,
Talbert RL, YeeGC, et al. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach,
6th ed. Stamford: Appleton & Lange, 2005:373-412.
7. Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR, et al. American College of Cardiology
(ACC)/American Heart Association (AHA) guidelines for the management of
patients with peripheral arterial disease (lower extremity, renal, mesenteric,
and abdominal aortic). J Am Col Card 2006;20(2):1-75.
8. Hoeben BJ, Talbert RL. Peripheral arterial disease. In: Dipiro JT, Talbert RL,
Yee GC, et al. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 6th ed.
Stamford: Appleton & Lange, 2005:453-460.
9. Krenzer ME. Peripheral vascular assessment: finding your way through
arteries and veins. AACN Clin Issues 1995;6:631-634.
10. O'Beirne-Woods B. Clinical evaluation of the peripheral vasculature. Cardiol
Clin 1991; 9:413-427.
11. Wittkowsky AK. Thrombosis. In: Koda-Kimble MA, Young LY, Kradjan
WA, et al. Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs, 8th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005:16.1-16.34.
22
12. Wim de jong. Trombosis Vena Dalam. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
2. Jakarta : EGC ;2005.
23