referat elis tiffany clara

Upload: brolie

Post on 06-Jan-2016

35 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hep B

TRANSCRIPT

LEMBAR PENGESAHAN

Nama

: Tiffany Tristian

(406147020)

Eliata Setyowati

(406147035)

Clara Verlina S

(406147043)

Perguruan Tinggi

: Universitas Tarumanagara, Jakarta

Fakultas

: Kedokteran

Tingkat

: Program Pendidikan Profesi Dokter

Judul Referat

: DsypneuBagian

: Ilmu Penyakit Dalam

Periode Kepaniteraan: 13 April 20 Juni 2015

Diajukan

: 28 Mei 2015

Pembimbing

: dr. Luluk Adipratikto, Sp.P

Mengetahui dan Menyetujui,

Pembimbing Bagian Ilmu Penyakit Dalam

dr. Luluk Adipratikto, Sp.PDAFTAR ISIKATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-Nya hingga Penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Dyspneu ini, untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta, yang dilaksanakan pada tanggal 13 April 20 Juni 2015.Dengan bimbingan serta pengarahan yang telah diberikan sebelum dan selama kepaniteraan ini, Penulis mencoba menyusun referat ini. Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan rasa terima kasih atas kerjasama, bantuan, serta dukungan selama proses penyusunan referat ini. Ucapan rasa terima kasih ini penulis sampaikan kepada :

dr. Lukman Muliadi,Sp.PD selaku kepala SMF bagian Ilmu Penyakit Dalam

dr. Luluk Adipratikto, Sp.P Rekan-rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr. Loekmono Hadi, Kudus

Semua pihak yang telah membantu meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam proses penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, mengingat terbatasnya kemampuan dan waktu yang ada. Apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam referat ini, Penulis dengan rendah hati memohon maaf. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, agar referat ini menjadi lebih baik lagi. Penulis berharap agar referat ini dapat menambah wawasan bagi para pembaca. Terima kasih.

Kudus, 28 Mei 2015

PenulisI. Pendahuluan

DsypneaDispnea (shortness of breath) adalah keadaan nonspesifik namun merupakan gejala yang tidak jarang ditemukan pasien yang menderita kelainan pada sistem respiratori. Gejala yang jarang ditemukan antara lain adalah hemoptisis (terdapat darah ketika batuk) dan nyeri dada yang biasanya penyebabnya merupakan kelainan pada bagian pleura.1Ketika mengevaluasi pasien dengan dyspnea, klinisi haruslah pertama kali menentukan waktu dimana gejala telah termanifestasi. Pasien yang tadinya sehat dan tiba-tiba mengalami dyspnea (dalam kurun waktu menit hingga hari) mungkin menderita penyakit akut yang menyerang bagian atas atau bagian intratoraks (contoh edem laryngeal atau asma akut), bagian parenkim dari pulmo (kardiogenik akut atau edem pulmo nonkardiogenik atau infeksi akut contonhya pneumonia bakterialis), ruang pleura (pneumothoraks), ataupun bagian vaskularisasi dari pulmo sendiri (emboli pulmonalis). 1Keadaan subakut (kurun waktu hari ke minggu) menunjukkan gejala eksarsebasi dari penyakit pulmo yang memang sudah diderita sebelumnya (asma atau bronkitis kronik), infeksi parenkimal indolent (Pneumocystis jirovecipneumonia pada penderita AIDS, mycobacterial or fungal pneumonia), proses inflammatory non-infeksius yang berkembang cukup lambat (Wegeners granulomatosis, eosinophilic pneumonia, cryptogenic organizing pneumonia, dan masih banyak lagi), penyakit neuromuscular (Guillain-Barr syndrome, myasthenia gravis), penyakit pada pleura (efusi pleura dengan berbagai macam penyebab), atau penyakit jantung kronis (congestive heart failure). 1Pada presentasi kronis (bulan sampai tahun) tidak jarang menunjukkan gejala penyakit paru obstruktif, chronic interstitial lung disease, atau penyakit jantung kronis. Penyakit kronik pada saluran napas (bukan hanya penyakit paru obstruktif kronis tetapi juga asma) di karakteristikan dengan adanya eksarsebasi dan remisi. Pasien seringkali mempunyai periode dimana aktivitas mereka sangatlah terbatas akibat dari shortness of breath ini, tetapi periode ini juga diselingin oleh periode dimana gejala yang dialami minimal ataupun tidak ditemukan gejala. Banyak penyakit dari parenkim pulmonary ini dikarakteristikkan dengan progresifitas yang lambat dan tidak dapat dicegah. Gejala kronis pada respiratori dapat juga akibat multifaktorial karena pasien dengan chronic obstructive pulmonary disease dapat juga menderita concomitant heart disease. 1Dipsnea

The American Thoracic Society mendefinisikan dispnea sebagai pengalaman subjektif dari ketidaknyamanan pernafasan yang terdiri sensasi kualitatif berbeda yang bervariasi dalam intensitas. Pengalaman ini berasal dari interaksi antara beberapa faktor fisiologis, psikologis, sosial, dan lingkungan dan dapat menginduksi respon perilaku dan fisiologis sekunder. Dispnea, sebuah gejala, harus dibedakan dari tanda-tanda peningkatan kerja pernafasan.1Mekanisme Dipsnea

Sensasi pernafasan adalah konsekuensi dari interaksi antara eferen, atau keluaran motorik dari otak ke otot-otot ventilasi (feed-forward) dan aferen, atau masukan sensorik dari reseptor seluruh tubuh (feedback), serta proses informasi integratif yang harus terjadi di otak. Bila dibandingkan dengan sensasi nyeri, yang sering dapat disebabkan oleh stimulasi akhir saraf tunggal, sensasi dispnea lebih sering dipandang sebagai holistik, lebih mirip kelaparan atau kehausan. Pada penyakit tertentu dapat menyebabkan dispnea oleh satu atau beberapa mekanisme, beberapa di antaranya mungkin terjadi dalam kondisi tertentu, misalnya, latihan, tetapi tidak yang lain, misalnya pada perubahan posisi. 1

Motor efferentsGangguan pompa ventilasi, paling sering meningkatkan resistensi saluran napas atau kekakuan (decreased compliance) sistem pernapasan, berhubungan dengan peningkatan kerja pernapasan atau peningkatan upaya untuk bernapas. Ketika otot-otot lemah atau lelah, usaha yang lebih besar diperlukan, walau sistem mekanis normal. Meningkatnya keluaran neural dari korteks motorik dirasakan melalui corollary discharge, sebuah signal saraf yang dikirim ke korteks sensorik pada saat yang bersamaan dengan keluaran motorik pada otot-otot pernapasan. 1Sensory Afferents

Kemoreseptor yang terdapat pada badan karotis dan medulla yang diaktivasi oleh keadaan hipoksemia, hiperkapnia akut, dan asidemia. Stimulasi dari reseptor-reseptor ini, dapat menyebabkan peningkatan ventilasi, yang menghasilkan sensasi kelaparan udara. Mekanoreseptor di paru-paru, saat terstimulasi karena bronkospasme, menyebabkan sensasi sesak napas. J-reseptor, yang peka terhadap edema interstitial, dan reseptor vaskular pembuluh darah paru, diaktifkan oleh perubahan akut pada tekanan arteri paru, tampaknya berkontribusi pada kelaparan udara. Hiperinflasi berhubungan dengan sensasi meningkatnya kerja pernapasan dan ketidakmampuan untuk bernapas dalam atau ketidakpuasan bernapas. Metaboreseptor, yang terletak di otot skeletal, diaktivasi oleh perubahan biokimiawi jaringan aktif pada saat latihan dan, ketika terstimulasi, berkontribusi pada ketidaknyamanan bernapas. 1Integration: Efferent-reafferent mismatchSebuah perbedaan atau ketidaksesuaian antara pesan ke otot ventilasi dan umpan balik dari reseptor yang memonitor respon pompa ventilasi, meningkatkan intensitas dispnea. Hal ini sangat penting ketika ada kekacauan mekanik dari pompa ventilasi, seperti pada asma atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). 1Kecemasan

Kecemasan akut dapat meningkatkan keparahan dispnea baik dengan mengganggu interpretasi sensorik atau pola pernapasan yang meningkatkan abnormalitas fisiologik pada sistem pernapasan. Pada pasien dengan keterbatasan aliran ekspirasi, sebagai contoh, peningkatan laju pernapasan yang disertai kecemasan akut dapat menyebabkan hiperinflasi, peningkatan usaha bernafas, dan ketidakpuasan bernapas. 1Penilaian Dispnea

Kualitas Sensasi

Seperti dengan nyeri, penilaian dispnea dimulai dengan penentuan kualitas ketidaknyamanan. Kuesioner dispnea, atau daftar kalimat yang umum digunakan oleh pasien, dapat membantu mereka yang mengalami kesulitan saat menggambarkan sensasi napas mereka. 1Kumpulan deskripsi kualitatif dan mekanisme patofisiologi sesak nafas

DeskripsiPatofisiologi

Dada sesak, atau konstriksi Bronkokonstriksi, edema interstitial (asma, miokard iskemia)

Peningkatan kerja dan usaha pernapasanObstruksi jalan napas, penyakit neuromuscular (PPOK, asma sedang sampai berat, miopati, kiposkoliosis)

Kekurangan udara, keperluan bernapas, keinginan untuk bernapasPeningkatan pernapasan (CHF, emboli paru, obstruksi jalan nafas sedang sampai berat

Tidak bernapas dalam, ketidakpuasan bernapasHiperinflasi (asma, PPOK) dan restriksi volume tidak (fibrosis paru , restriksi dinding dada)

Nafas berat, nafas cepat, bernapas lebihDeconditioning

Intensitas Sensorik

Skala Borg yang dimodifikasi atau skala analog visual dapat digunakan untuk mengukur dispnea saat istirahat, setelah latihan, atau berdasarkan ingatan tentang aktivitas fisik yang dapat diulang, misalnya saat naik tangga di rumah. Pendekatan alternatif adalah untuk menanyakan tentang kegiatan yang dapat dilakukan oleh pasien, yaitu, untuk memperoleh rasa disabilitas pasien. Baseline Dyspnea Index dan Chronic Respiratory Disease Questionnaire adalah alat yang biasanya digunakan untuk tujuan ini. 1Affective dimension

Untuk sensasi yang dirasakan sebagai gejala, gejal harus dianggap sebagai rasa tidak menyenangkan dan diinterpretasikan sebagai abnormal. Penelitian laboratorium telah menunjukkan bahwa kelaparan udara dapat membangkitkan respon afektif yang lebih kuat daripada peningkatan usaha atau kerja pernapasan. Beberapa terapi untuk dipsnea, seperti rehabilitasi paru, dapat mengurangi ketidaknyamanan saat bernapas. 1DIAGNOSIS BANDING

Dyspnea adalah konsekuensi dari penyimpangan dari fungsi normal dalam sistem cardiopulmonary. Penyimpangan ini menghasilkan sesak napas sebagai akibat dari peningkatan dorongan untuk bernapas; peningkatan upaya atau kerja pernapasan; dan / atau stimulasi reseptor di jantung, paru-paru, atau sistem vaskular. Kebanyakan penyakit pada sistem pernapasan yang terkait dengan perubahan dalam sifat mekanik dari paru-paru dan / atau dinding dada, sering sebagai akibat dari penyakit saluran udara atau parenkim paru. Sebaliknya, gangguan sistem kardiovaskular lebih sering menyebabkan dyspnea dengan menyebabkan kelainan pertukaran gas atau merangsang paru dan / atau reseptor pembuluh darah. 1

Sistem pernapasan dyspnea

Penyakit saluran napas

Asma dan COPD, penyakit paru-paru obstruktif yang paling umum, yang ditandai dengan obstruksi aliran udara ekspirasi, yang biasanya menyebabkan hiperinflasi dinamis paru-paru dan dinding dada. Pasien dengan penyakit sedang ke berat telah meningkat beban resistif dan elastis (istilah yang berhubungan dengan kekakuan sistem) pada otot ventilasi dan peningkatan kerja pernapasan. Pasien dengan bronkokonstriksi akut juga mengeluhkan rasa sesak, yang bisa ada bahkan ketika fungsi paru-paru masih dalam kisaran normal. Pasien-pasien ini biasanya hiperventilasi. Kedua dada sesak dan hiperventilasi mungkin karena stimulasi reseptor paru. Asma dan COPD dapat menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia dari ventilasi perfusi (V / Q) mismatch (dan keterbatasan difusi selama exercise dengan emfisema); hipoksemia jauh lebih umum daripada hiperkapnia sebagai konsekuensi dari cara yang berbeda di mana oksigen dan karbon dioksida mengikat hemoglobin. 1 Penyakit dinding dada

Kondisi kaku pada dinding dada, seperti kyphoscoliosis, atau yang melemahkan otot ventilasi, seperti miastenia gravis atau sindrom Guillain-Barr, juga terkait dengan upaya peningkatan untuk bernapas. Efusi pleura besar dapat menyebabkan dyspnea, baik dengan meningkatkan kerja pernapasan dan dengan merangsang reseptor paru jika ada dikaitkan atelektasis. 1 Penyakit parenkim paru

Penyakit paru-paru interstisial, yang mungkin timbul dari infeksi, kecelakaan kerja, atau gangguan autoimun, berhubungan dengan meningkatnya kekakuan (penurunan compliance) dari paru-paru dan peningkatan kerja pernapasan. Selain itu, V / Q mismatch, dan perusakan dan / atau penebalan antarmuka alveolar-kapiler dapat menyebabkan hipoksemia dan mendorong meningkat untuk bernapas. Stimulasi reseptor paru lebih lanjut dapat meningkatkan karakteristik hiperventilasi ringan sampai penyakit interstitial moderat. 1Sistem kardiovaskular dyspnea

Penyakit jantung kiri

Penyakit miokardium akibat penyakit arteri koroner dan kardiomiopati nonischemic menghasilkan volume akhir diastolik ventrikel kiri yang lebih besar dan ketinggian tekanan kapiler kiri-akhir diastolik ventrikel, serta paru. Tekanan-tekanan meningkat menyebabkan edema interstitial dan stimulasi reseptor paru, sehingga menyebabkan dyspnea; hipoksemia karena V // Q mismatch juga dapat menyebabkan sesak napas. Disfungsi diastolik, ditandai dengan ventrikel kiri sangat kaku, dapat menyebabkan dyspnea berat dengan derajat relatif ringan dari aktivitas fisik, terutama jika dikaitkan dengan regurgitasi mitral. 1 Penyakit pembuluh darah paru

Penyakit thromboemoblic paru dan penyakit utama dari sirkulasi paru-paru (hipertensi pulmonal primer, vaskulitis paru) menyebabkan dyspnea melalui peningkatan tekanan paru-arteri dan stimulasi reseptor paru. Hiperventilasi adalah umum, dan hipoksemia dapat terjadi. Namun, dalam banyak kasus, penggunaan oksigen tambahan memiliki efek minimal pada tingkat keparahan dyspnea dan hiperventilasi. 1 Penyakit perikardium

Perikarditis konstriktif dan tamponade jantung keduanya berhubungan dengan peningkatan intrakardiak dan tekanan pembuluh darah paru, yang merupakan penyebab kemungkinan dyspnea dalam kondisi ini. Sampai-sampai cardiac output terbatas, saat istirahat atau dengan olahraga, stimulasi metabo-reseptor dan kemoreseptor (jika asidosis laktat berkembang) berkontribusi juga. 1Dyspneu dengan sistem pernapasan dan kardiovaskular normal

Anemia ringan sampai sedang dihubungkan dengan ketidaknyamanan saat bernapas ketika berolahraga. Penderita anemia memiliki saturasi oksigen yang normal karena adanya stimulasi dari metaboreseptor. Sesak napas karena obesitas dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme, termasuk cardiac output yang tinggi dan terganggunya fungsi ventilator pump (menurunnya compliance dari dinding dada). Cardiovascular deconditioning dikarakteristikkan dengan adanya stimulasi awal dari metabolisme anaerobic dan stimulasi dari kemoreseptor dan metaboreseptor. 1Pendekatan pada pasien ( DSYPNEA

Untuk mendapatkan riwayat lengkap tentang keluhan, pasien perlu diminta untuk mendeskripsikan bagaimana rasa ketidaknyamanan yang ia rasakan, termasuk bagaimana keluhan jika ada perubahan posisi, infeksi dan pengaruh lingkungan pada sesak napas. Orthopnea adalah indikator umum dari Congestive Heart Failure (CHF), terganggunya mekanisme dari diagfragma dapat dihubungkan dengan adanya obesitas, atau asma yang dipicu oleh refluks esophageal. Dyspnea nocturnal menandakan adanya CHF atau asma. Episode akut dan intermiten dari dyspnea biasanya menunjukkan episode dari miokardial iskemia, bronkospasme, atau emboli pulmonalis, sedangkan dyspneu kronik dan persisten merupakan gejala tipikal dari PPOK, interstitial lung disease, dan penyakit thromboemboli kronik. Faktor resiko dari penyakit pada paru yang berhubungan dengan pekerjaan dan penyakit arteri koronari haruslah disingkirkan. Left atrial myxoma atau sindrom hepatopulmonari harus dipertimbangkan ketika pasien mengeluhkan platypnea, yang didefiniskan sebagai dyspnea yang terjadi pada posisi terbalik dengan berkurangnya gejala pada posisi supine. 2Pemeriksaan fisik dimulai ketika dilakukan anamnesis pada pasien. Keterbatasan pasien dalam menglafalkan kalimat secara lengkap sebelum berhenti untuk mengambil napas dalam menunjukkan stimulasi pada controller atau terdapatnya gangguan pada ventilator pump dengan penurunan vital capacity. Terdapatnya retraksi supraklavikular, penggunaan otot pernapasan tambahan dan tripod position (posisi tangan penderita yang bertumpu pada lutut) menjadi pertanda terdapatnya resistensi saluran napas yang meningkat atau kekakuan pada paru dan dinding dada. Penting untuk dilakukan pemriksaan pada laju napas dan pengukuran pulsus paradoksus pada penderita dyspneu, jika didapatkan hasil > 10mmHg, pertimbangkan PPOK atau asma akut. 3Pada pemeriksaan umum, tanda-tanda anemia (konjungtiva pucat), sianosis dan sirosis (spider angiomata, ginekomastia) haruslah dicari. Pemeriksaan dada difokuskan pada pergerakan dada yang simetris; perkusi (redup biasanya ditemukan pada efusi pleura, hyperresonansi yang merupakan pertanda emfisema); dan auskultasi (ronkhi, fase ekspiratori memanjang, suara napas yang berkurang biasanya penunjuk terdapatnya gangguan pada saluran napas, dan edem interstisial atau fibrosis). Pemeriksaan jantung difokuskan pada tanda-tanda peningkatan tekanan pada jantung kanan (distensi vena jugularis, edema); disfungsi ventrikel kiri (gallop s3 dan s4); dan penyakit valvular (murmur). Pada pemeriksaan abdomen dengan posisi supine, perlulah diingat jika pada pemeriksaan didapatkan gerakan paradoksikal pada abdomen (gerakan masuk ketika inspirasi), tanda lemahnya diafragmatik, pembesaran abdomen pada ekspirasi merupakan pertanda edem pulmonari). Clubbing finger merupakan pertanda fibrosis pulmonalis interstisial, dan terdapatnya pembengkakan sendi atau deformitas dan juga perubahan konsistensi pada Raynauds disease merupakan tanda indikatif pada proses collagen-vascular dihubungkan dengan penyakit pulmonalis. 3Berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik, chest radiograph haruslah dilakukan. Pemeriksaan parenkim paru dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit interstisial dan emfisema. Prominent pulmonary vasculature pada bagian atas paru mengindikasikan adanya hipertensi vena pulmonal, sedangkan jika terdapat pembesaran central pulmonary artery menunjukkan adanya hipertensi arteri pulmonal. Pembesaran jantung mengindikasikan dilated cardiomyopathy atau gangguan katub. Efusi pleura bilateral khas pada CHF dan beberapa gangguan collagen-vascular disease. Gambaran efusi pleura unilateral biasanya menunjukkan keganasan atau emboli pulmonal tetapi dapat juga ditemukan pada gagal jantung. Computed tomography (CT) scan dada umumnya dilakukan untuk mengevaluasi lebih lanjut pada parenkim paru (penyakit paru interstisial) dan kemungkinan emboli pulmonal. 3Pemeriksaan penunjang termasuk electrocardiogram dilakukan untuk mencari bukti adanya pembesaran ventrikel dan miokard infark. Echocardiography diindikasikan pada pasien dengan disfungsi sistolik, hipertensi pulmonal atau gangguan katub jantung. Tes provokasi bronkus berguna pada pasien dengan gejala intermiten yang mengindikasikan asma tetapi pemeriksaan fisik dan pemeriksaan fungsi paru didapatkan normal. Sepertiga pasien dengan diagnosis klinis asma tidak mempunyai reactive airway disease ketika dilakukan pemeriksaan. 3Membedakan Dyspnea akibat Kelainan pada Sistem Kardiovaskular atau Sistem RespiratorikJika pasien memiliki penyakit jantung dan penyakit pada paru, cardiopulmonary exercise test harus dilakukan untuk menentukan sistem mana yang menyebabkan terbatasnya kegiatan. Jika pada peak exercise, terdapat ventilasi maksimal, hipoksemi atau bronkospasme, sistem respiratori merupakan penyebab masalah. Sedangkan, jika heart rate >85% dari predicted maximum, jika ambang anaerobik terjadi lebih awal, jika tekanan darah tiba-tiba menjadi tinggi atau menurun selama pemeriksaan dilakukan, O2 pulse (konsumsi O2 / heart rate/ indikator volume sekuncup) menurun, atau jika terdapat iskemik pada gambaran elektrokardiogram, gangguan sistem kardiovaskular mungkin menjadi penyebab dyspneu. 2Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk memperbaiki penyebab utama yang menyebabkan gejala. Jika ini tidak mungkin dilakukan, terapi ditujukan untuk mengurangi derajat dsypneu dan efek dsypneu pada kualitas hidup pasien. Oksigen diberikan jika saturasi O2 ( 89% atau jika saturasi pasien menurun pada level ini saat beraktivitas. Untuk pasien PPOK, program rehabilitasi paru menggambarkan efek positif pada dsypneu, kapasitas olahraga dan tingkat rawap inap. Studi dalam penggunaan anxiolitik dan antidepressant tidak menunjukkan adanya keuntungan. Intervensi eksperimental, contohnya udara dingin pada wajah, getaran pada dinding dada dan furosemide inhalasi untuk merangsang informasi afferent dari reseptor ke sistem respiratorik sedang diteliti.2

IV. KESIMPULAN

Dyspnea merupakan keluhan gangguan pernapasan yang tidak terasa nyeri namun menimbulkan keluhan tidak nyaman dan tidak sesuai dengan tingkat aktivitas. Keluhan yang serius ini memerlukan penjelasan dan pemeriksaan yang lengkap mengingat dyspnea sering terjadi karena penyakit jantung dan paru.Sebagian besar pasien dyspnea menghubungkan keluhan sesak napas dengan tingkat aktivitasnya. Pasien yang cemas memberikan gambaran berbeda. Mungkin mereka menceritakan kesulitan pada waktu menarik napas yang cukup dalam atau perasaan tercekik dengan ketidakmampuan untuk mendapatkan cukup udara yang disertai parestesi atau perasaan kesemutan atau seperti ditusuk jarum di sekitar bibir atau pada ekstremitas.Pasien yang cemas dapat mengalami serangan dyspnea yang episodik pada saat istirahat ataupun beraktivitas fisik (exercise), dan hiperventilasi atau pernapasan yang cepat serta dangkal. Terkadang mereka juga terlihat sering menghela napas.DAFTAR PUSAKA

1. Loscalzo J. 2013. Harrisons Pulmonary and Critical Care Medicine 2nd ed. McGrawHillCompanies : USA

2. Longo et al. 2012. Harrisons Principle of Internal Medicine 18thEdition. McGrawHillCompanies: USA3. Bickley L.S., Szilagyi P.G., Bates B: Guide to Physical Examination and History Taking. 8th ed. Lippincott Williams & Wilkins. Pusat pernafasan

Kemoreseptor

Mekanoreseptor

Metaboreseptor

Korteks motorik

Otot-otot pernapasan

Kualitas dan intensitas dipsnea

Korteks sensorik

Feedback

Feed-forward

Error signal

Corollary discharge

1817