referat elis

26
Referat MORFEA Oleh: Elis Tresia 04061001039/04104705039 Pembimbing: Dr. Mutia Devi, SpKK

Upload: linkenciel

Post on 04-Jul-2015

329 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat elis

Referat

MORFEA

Oleh:

Elis Tresia

04061001039/04104705039

Pembimbing:

Dr. Mutia Devi, SpKK

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG

2011

Page 2: Referat elis

HALAMAN PENGESAHAN

Referat berjudul:

MORFEA

oleh:

Elis Tresia

04061001039/04104705039

telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik

Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Sriwijaya, Rumah

Sakit Umum Pusat Dr. Moh. Hoesin Palembang periode 17 Januari – 14 Februari 2011.

Palembang, Februari 2011

Pembimbing,

Dr. Mutia Devi, SpKK

1

Page 3: Referat elis

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi ALLAH, atas rahmat dan karunia-Nya jualah, akhirnya referat

yang berjudul “Morfea” ini dapat diselesaikan dengan baik. Referat ini ditujukan sebagai

salah satu syarat untuk mengikuti ujian kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Penyakit

Kulit dan Kelamin RS Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

Ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya penulis sampaikan kepada Dr. Mutia

Devi, SpKK selaku pembimbing dalam referat ini yang telah memberikan bimbingan dan

banyak kemudahan dalam penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu saran

dan kritik yang membangun sangat diharapkan penulis demi kebaikan di masa yang akan

datang. Harapan penulis semoga referat ini bisa membawa manfaat bagi siapa saja yang

membacanya.

Palembang, Februari 2011

Penulis

2

Page 4: Referat elis

MORFEA

Elis Tresia, S.KedDepartemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

FK UNSRI/RSMH Palembang2011

PENDAHULUAN

Morfea atau lebih dikenal dengan istilah skleroderma lokalisata adalah sklerosis kulit

terlokalisir yang ditandai dengan penebalan dan indurasi pada kulit (epidermis, jaringan

subkutan, atau keduanya) akibat deposit kolagen yang berlebihan tanpa keterlibatan sistemik.1

Insiden terjadinya morfea dilaporkan sebanyak 2,7 per 100.000 penduduk dengan

rasio insiden laki-laki dan wanita 1:2-3. Morfea lebih banyak terjadi pada ras Kaukasia dan

Asia dibandingkan Afrika dan Amerika. Semua variasi bentuk morfea dapat terjadi pada

anak-anak maupun dewasa pada semua umur.1 Penyakit ini menyerang kurang lebih 300.000

penduduk Amerika atau sebesar 1 per 1.000 (0,001% dari 310 juta populasi AS) dan

diperkirakan sekitar 27 kasus baru/1 juta populasi/tahun. Walaupun insidennya jarang, studi

epidemiologi memberi kesan bahwa 0,9-5,7% pasien dengan morfea berkembang menjadi

skleroderma sistemik.2 Terdapat tiga varian utama dari sklerodema lokalisata yaitu morfea,

morfea genealisata, dan morfea linier. Jenis morfea linier lebih umum ditemukan pada anak-

anak dan remaja dan dapat terjadi pada usia dekade pertama dan kedua, dengan dua per tiga

dari kasus ditemukan sebelum usia 18 tahun. Sedangkan morfea generalisata lebih umum

pada dewasa dan biasanya muncul pada pertengahan usia.1

Etiologi morfea sampai saat ini masih belum diketahui, diduga morfea terjadi setelah

infeksi measles, varicella, dan Borrelia burgdorferi serta faktor-faktor lain: trauma, vaksinasi

Basil Calmette-Guerin (BCG) dan tetanus, injeksi vitamin B dan K, terapi radiasi,

penicillamine, dan bromocriptine serta faktor hormonal.1,3

Morfea sendiri adalah suatu penyakit yang jinak dan self-limited. Namun dapat

menyebabkan morbiditas khususnya pada anak-anak di masa pertumbuhan. Mulai dari

kontraktur sendi, manifestasi neurologi dan oftalmologi, sampai depresi dan ansietas dapat

terjadi akibat penyakit ini.2 Maka mengingat segala komplikasi yang dapat terjadi dan

kurangnya pengetahuan dokter akan penyakit ini, penulis merasa perlu membuat refrat

tentang morfea untuk mengetahui gambaran umum, cara menegakkan diagnosis dan

penatalaksanaannya.

3

Page 5: Referat elis

DEFINISI

Morfea atau lebih dikenal dengan istilah skleroderma lokalisata adalah sklerosis kulit

terlokalisir yang ditandai dengan penebalan dan indurasi pada kulit akibat deposit kolagen

yang berlebihan tanpa keterlibatan sistemik. Gambaran klinis morfea sangat bervariasi,

sehingga terkadang sulit untuk mendiagnosis morfea karena mempunyai gambaran klinis

yang tidak seperti biasanya.1

EPIDEMIOLOGI

Insiden terjadinya morfea dilaporkan sebanyak 2,7 per 100.000 penduduk dengan

rasio insiden laki-laki dan wanita 1:2-3. Morfea lebih banyak terjadi pada ras Kaukasia dan

Asia dibandingkan Afrika dan Amerika. Semua variasi bentuk morfea dapat terjadi pada

anak-anak maupun dewasa pada semua umur.1 Penyakit ini menyerang kurang lebih 300.000

penduduk Amerika atau sebesar 1 per 1.000 (0,001% dari 310 juta populasi AS) dan

diperkirakan sekitar 27 kasus baru/1 juta populasi/tahun. Walaupun insidennya jarang, studi

epidemiologi memberi kesan bahwa 0,9-5,7% pasien dengan morfea berkembang menjadi

skleroderma sistemik.2

ETIOLOGI

Etiologi mofea sampai saat ini masih belum diketahui. Terdapat laporan bahwa morfea

terjadi setelah infeksi measles, varicella, dan Borrelia burgdorferi. Faktor lain yang berperan

diperkirakan adalah trauma, vaksinasi BCG, vaksinasi tetanus, injeksi vitamin B dan K,

terapi radiasi, obat-obatan (penicillamine, bromocriptine, carbidopa, hydroxytryptophan,

pentazocine, bleomycin).1,3

Data lain menyatakan bahwa autoimun juga terlibat dalam terjadinya morfea.

Sejumlah penelitian menunjukkan adanya abnormalitas fibroblast secara invitro dari pasien

morfea dan peningkatan anti SS-DNA, aanti nuclear ntibody (ANA), antifosfolipid dan

beberapa autoantibodi lainnya. Salah satu penelitian retrospektif yang melibatkan 254

penderita morfea, menunjukkan bahwa ANA terdapat pada 40% penderitanya. Bukti bahwa

morfea merupakan penyakit autoimun juga didukung oleh penelitian yang menemukan

adanya peningkatan level sitokin dalam sirkulasi pada pasien morfea. Hal ini termasuk

reseptor IL-2, reseptor IL-6, CD4 dan CD8, CD23, CD30, TNF-, VCAM-1 dan E-selectin,

antibodi antiendothelial, antibodi terhadap fibrillin dan beberapa autoantibodi lainnya.1,3,4

4

Page 6: Referat elis

Baru-baru ini, trauma pembedahan telah dilaporkan sebagai stimulus dari

perkembangan lesi morfea, misalnya setelah proses pembentukan arteriovenous fistula dan

rhinoplasty. Faktor hormonal mungkin berpengaruh terhadap penyakit, dimana morfea

mungkin berkembang selama atau di eksaserbasi oleh kehamilan.3

Infeksi terhadap organisme Borrelial juga dikaitkan dengan etiologi morfea, beberapa

pusat studi Eropa berpendapat adanya hubungan antara morfea dan akrodermatitis kronika

atropikan, suatu penyakit karena terinfeksi Borrelia burgdorferi. DNA Borrelia juga

ditemukan di biopsi kulit dari pasien dengan morfea yang diperiksa dengan menggunakan

PCR. Namun pada studi-studi lain tidak ditemukan antibodi Borrelia atau DNA pada morfea

dari pasien Skandinavia, Jerman, Spanyol atau Amerika.3

Peran genetik pada morfea masih belum jelas. Insiden familial tercatat skleroderma

lokal dan sistemik terjadi pada kembar monozigot. Morfea juga dihubungkan dengan

fenilketonuria, dan perbaikan terjadi dengan diet rendah fenilalanin. Morfea juga dilaporkan

terjadi setelah terapi dengan sejumlah obat. Morphoea-like plaques muncul pada pasien

dengan terapi penicillamine dan teremisi dalam setahun pemberhentian pengobatan. Lesi

kutaneus juga dilaporkan muncul setelah terapi dengan bromokriptin, hydroxytryptophan dan

carbidopa, pentazocine, docetaxel, bleomycin.3

PATOGENESIS

Patogenesis terjadinya morfea masih merupakan hipotesis dikarenakan tidak adanya

etiologi langsung yang terlibat dalam proses terjadinya morfea. Beberapa studi menyatakan

patogenesis terjadinya morfea hampir sama dengan terjadinya sklerosis sistemik, yaitu

melibatkan proses inflamasi dan pengeluaran sitokin-sitokin yang merangsang produksi

kolagen oleh fibroblast, kerusakan sel endotel dan ketidakseimbangan matriks ekstraseluler.1

Banyak studi berpendapat adanya peran patogenik dalam transforming growth faktor-

β (TGF-β). TGF-β menstimulasi fibroblas untuk menghasilkan peningkatan jumlah dari

glikosaminoglikan, fibronektin, dan kolagen; mengurangi kerusakan matriks ekstraseluler;

dan hal ini mengurangi kerentanan fibroblas untuk di apoptosis. TGF-β telah ditemukan

meningkat di lesi morfea seperti di kulit dan paru fibrotik dari pasien dengan sklerosis

sistemik. Beberapa berpendapat bahwa setidaknya di sklerosis sistemik, ekspresi reseptor

TGF-β di fibroblas dermal meningkat. Juga terdapat data yang mendukung kemungkinan

bahwa perubahan jalur protein Smad, yang penting dalam transduksi sinyal TGF-β, dapat

memegang peran pada overproduksi kolagen. Kultur fibroblas dari sklerosis sistemik dan

5

Page 7: Referat elis

skleroderma lokalisata menghasilkan peningkatan jumlah dari komponen jaringan

penghubung, termasuk tipe I kolagen in vitro. Biopsi kulit menunjukkan kapasitas yang lebih

besar untuk overproduksi kolagen dan subpopulasi dari fibroblas dengan aktivasi ekspresi

kolagen tipe I; fibroblas-fibroblas ini satu lokasi dengan sel-sel mononukleus peradangan

yang mengekspresikan TGF-β. Biopsi lesi sklerotik juga menunjukkan ekspresi dari isoform

TGF-β yang berbeda, seperti tissue metalloproteinase-3 (TIMP-3) di subpopulasi dari

fibroblas yang dikultur dari lesi skleroderma lokalisata. TGF-β meningkatkan ekspresi TIMP-

3, dan TIMP-3 menghambat kerusakan kolagen. Harus diperhatikan bahwa tiga isoform yang

berbeda dari TGF-β (1, 2, dan 3) terdapat di manusia; TGF-β1 adalah yang terbaik yang telah

dipelajari. Beberapa bukti berpendapat bahwa respon fibrotik mungkin predominan berasal

dari sel CD4+. Sel plasma dan histiosit mungkin berkontribusi dalam stimulasi fibroblas

dermis. Sel peradangan ditemukan di dermis lesi skleroderma yang terutama adalah limfosit T

dan yang sebagian besar adalah sel T helper. Juga terdapat peningkatan produksi interleukin 2

(IL-2) dan IL-4. Kehadiran CD34+ dan faktor XIIIa dendrosit dermis berhubungan dengan

peradangan aktif dan sklerosis pada morfea. Peran patogenik dari sel mast pada skleroderma

lokalisata belum dikemukakan secara jelas, namun sel mast mungkin merupakan komponen

dari kulit sklerodermatous, khususnya saat peradangan dan fase awal. Granul sel mast

mengandung mediator kimia dan enzim proteolitik yang dapat menstimulasi fibroblas dan

bahkan mengaktivasi sitokin fibrotic, histamin juga dapat menstimulasi poduksi kolagen1,3,4.

MANIFESTASI KLINIS DAN KLASIFIKASI

Sklerodema lokalisata dibagi dalam tiga varian, yaitu:

1. Morfea

Morfea mempunyai onset penyakit yang lambat, lebih sering menyerang bagian

tubuh atas dibandingkan ekstremitas dan wajah.2 Puncak insiden terjadi pada usia 20-40

tahun dengan rasio perempuan dan laki-laki 3:1. Morfea ditandai dengan satu atau

beberapa patch atau plak berindurasi dan berbatas umumnya dengan hipo atau

hiperpigmentasi. Lesi dini ditandai dengan edema dengan atau tanpa eritema sekitar.

Nyeri muncul beberapa minggu sebelum muncul gejala klinik. Lesi aktif biasa berindurasi

dan berbatas eritema dan violaceous. Lesi berkembang menjadi keputihan atau kuning,

khususnya di sentral. Ukuran bervariasi dari 0,5-30 cm2. Variasi submorfologi morfea

termasuk guttae, bullous, keloidal, profunda dan ‘en coup de sabre’. Beberapa penulis

berpendapat bahwa liken sklerosis adalah bentuk superficial atau bentuk dini dari morfea.

6

Page 8: Referat elis

Penyakit chonic sclerodermoid graft-versus-host secara klinik dan histologi serupa

dengan liken sklerosus, morfea, dan eosinophilic fasciitis (EF), sehingga penyakit ini

dapat menjadi bagian dari penyakit fibrotic.1

Gambar 1. Morfea bentuk plak pada regio abdomen. Pada stadium awal dapat terlihat batas keunguan dan edema.1

2. Morfea generalisata

Morfea generalisata memiliki tingkat keparahan lesi yang lebih tinggi dibandingkan

dengan morfea, ditandai dengan lesi multipel, sering konfluen dan mengenai body surface

area yang lebih luas. Beberapa pasien dapat memiliki bentuk subkutaneus dengan

cakupan permukaan tubuh yang lebih kecil.1 Onsetnya biasanya perlahan-lahan sama

seperti morfea. Lesi dengan warna ungu (lilac-coloured border) disekeliling indurasi

ivory-white shiny biasanya terlihat pada stadium awal. Plak biasanya lebih besar

dibanding morfea lain. Biasanya plak dimulai pada bagian tubuh atas dan secara bertahap

meningkat dalam ukuran, dengan perkembangan plak baru selama satu atau dua tahun.

Area utama yang terkena adalah bagian tubuh atas, abdomen, dan paha atas.3

Morfea generalisata dapat menyebabkan terjadinya kontraktur tungkai dimana

tungkai menjadi kurus dan kaku, selain itu jika mengenai dinding dada atau melibatkan

otot-otot intercostal akan menyebabkan kesulitan nafas bahkan gagal nafas. Squamous cell

carcinoma juga dapat berkembang pada lesi yang telah terjadi lebih dari 20 tahun. Morfea

generalisata telah dikaitkan dengan terjadinya polymyositis, sick sinus syndrome dan

necrotizing vasculitis.3

7

Page 9: Referat elis

Gambar 2. Morfea generalisata menunjukkan Gambar 3. Morfea generalisata pada difuse tightness pada kulit dada.3 subkutaneus dengan perubahan

permukaan minimal.1

Gambar 4. Lesi bula pada morfea generalisata.3

3. Morfea linier (Linear Scleroderma)

Morfea linier ditandai dengan indurasi kulit band-like dan seringnya dengan

perubahan pigmen, yang dapat melewati garis sendi dan kadang menyebabkan kontraktur.

Bentuk morfea lebih sering terjadi pada anak-anak dan pada ekstremitas. Proses fibrotik

sering meluas ke jaringan subkutaneus, termasuk fasia dan otot. Kontraktur dapat menjadi

penyebab morbiditas dan deformitas. Pada anak yang sangat muda, dapat mempengaruhi

pertumbuhan tulang dan pertumbuhan jaringan. Proses pansklerotik yang meliputi seluruh

ekstremitas terlihat pada kasus yang sangat berat. Morfea sklerotik pada anak

dihubungkan dengan dengan resiko yang meningkat dari karsinoma sel squamous

kutaneus, khususnya pada area yang berulkus dari kulit yang terkena.1

Skleroderma linier yang terdapat pada wajah dapat berupa lapisan coklat keunguan

atau putih, pita atropi berjalan vertikal di dahi, umumnya dikenal dengan ”en coup de

sabre”. Perubahan meliputi seluruh kulit kepala biasa ditemukan. Jika hanya jaringan

subkutaneus, otot, dan tulang terkena, bentuk ipsilateral ini dikenal sebagai progressive 8

Page 10: Referat elis

facial hemiatrophy atau Parry-Romberg syndrome. Perluasan yang meliputi kulit dan

perkembangan hemiatropi wajah tidak selalu berhubungan secara langsung. Pasien

terkena lesi wajah dan Parry-Romberg syndrome datang dengan keadaan yang sangat

berat. Pasien yang bergejala ringan dapat ditandai hanya dengan single linea atrophic

band. Pasien yang bergejala berat dapat memiliki hemiatropi wajah dengan hilangnya

jaringan subkutaneus, otot, dan tulang serta atropi lidah dan kelenjar ludah pada sisi yang

sama. Pasien bergejala berat ini juga dapat memiliki gangguan sistem saraf meningen

sehingga berpotensial kejang, sakit kepala, dan perubahan penglihatan.1

Gambar 5. Morfea linier. Kiri: plak indurasi linier yang meluas dari dorsal tangan kanan ke jari ketiga dan meliputi sendi interfalang proksimal dan distal dengan kontraktur. Kanan: en

coup de sabre, tampak oblik.1

Gambar 6. Morfea Linier. Tahap akhir dari morfea linier tampak kontraktur lutut.1

PEMERIKSAAN PENUNJANG

9

Page 11: Referat elis

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Serum autoantibodi ditemukan dengan frekuensi bervariasi pada pasien morfea.

Autoantibodi yang paling umum ditemukan adalah antinuclear antibody (ANA) yaitu

sebesar 46%-80% dari seluruh pasien, biasanya dengan susunan homogenous

immunofluorescence. Bila meluas, 36%-53% kasus memiliki anti-single stranded

DNA dan/atau antibody antihiston. Lebih dari 90% pasien morfea generalisata

memiliki antibodi positif dengan frekuensi lebih tinggi dibanding jenis morfea

lainnya, dan autoantibodi berhubungan dengan manifestasi klinis yang lebih berat,

jumlah lesi yang lebih banyak, lesi yang lebih sklerotik, dan durasi klinis yang lebih

lama.1

b. Abnormalitas serum lainnya. Eosinofilia darah ditemukan pada 6%-50% pasien

morfea. Kadar eosinofilia berhubungan dengan aktivitas penyakit. Penurunan kadar

eosinofilia dapat bersamaaan dengan penurunan aktivitas dari lesi kutaneus.

Imunoglobulin yang meningkat, khususnya kadar serum imunoglobulin G,

dihubungkan dengan penyakit yang aktif dan lebih luas dan kontraktur sendi.1

2. Pemeriksaan histopatologi

Lesi dini terkadang tidak memiliki perubahan histologi yang spesifik. Tampak

vakuolisasi dan penghancuran sel endothelial dengan penggandaan lamina basalis,

khususnya pada lesi dengan indurasi yang terlihat sebagai tepi persegi (squared-off edge)

pada spesimen biopsi. Sebukan sel radang kadang-kadang terlihat. Pada lesi yang sangat

dini terdapat infiltrat peradangan di dermis dalam dan jaringan subkutaneus. Juga dapat

terlihat limfosit, makrofag, sel plasma, eosinofil, dan sel mast.1

Gambar 4. Histopatologi morfea. Perhatikan squared-off edge dari spesimen biopsi dengan infiltrat peradangan ringan dan serat kolagen padat, yang terletak paralel epidermis1

10

Page 12: Referat elis

3. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi (MRI, CT scan) dilakukan pada pasien morfea tipe linier,

contohnya “en coup de sabre”. Hal ini erat kaitannya dengan terjadinya hemiatropi facial

yang progresif dimana akan timbul gejala neurologis meliputi migrain, sakit kepala dan

epilepsi. MRI maupun CT scan membantu mendeteksi apakah ada keterlibatan pada

sistem saraf pusat.

4. 20 Mhz ultrasound

Pada morfea ultrasound berkisar 10-25 MHz. Banyak literatur menyatakan 20 MHz

sebagai ultrasound terbaik dengan resolusi aksial sekitar 80 mm dan resolusi lateral 200

mm. 20 MHz ultrasound dapat digunakan untuk melihat ketebalan kulit maksimal 1 cm.

20 MHz ultrasound menunjukkan gambaran penebalan dan hipoechoic dermis.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis morfea tampak pada pemeriksaan fisik berupa pembentukan plak indurasi

dan lesi pita pada kulit dengan atau tanpa hemiatrofi yang jarang terjadi pada penyakit

lainnya, adanya halo ungu mempermudah diagnosis. Lesi retikulata keunguan dengan indurasi

minimal dapat dianggap sebagai poliarteritis nodosa kutaneus. Lesi morfea dapat ditemukan

pada sarkoidosis, lesi bermula dari pelebaran vaskular dan sering salah dinilai sebagai macula

nevus vascular. Pada fase akut kondisi ini harus dibedakan dengan skleroderma Buschke, tapi

permulaan penyakit ini lebih akut dan setelah episode infeksi. Lesi-lesi dengan pigmentasi

sulit dibedakan, tetapi riwayat indurasi di daerah tersebut dapat membantu diagnosis. Lesi

atrofik berpigmen dapat merupakan lesi dari atrofi Pierini dan Pasini, terjadi pada 47% dalam

satu seri.1,3 Diagnosis banding morfea dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Diagnosis banding morfea1

Paling mendekati Dipertimbangkan Disingkirkan

- Sklerosis sistemik

- Eosinophilic fasciitis

- Liken sklerosus- Lupus profundus- Connective tissue nevi- Morpheaform basal cell carcinoma- Toxic oil syndrome- Chronic graft-versus-host- Lipodermatosclerosis

- Lyme disease, acrodermatitis chronic atrophicans

- Fenilketonuria- Porphyria cutanea tarda- POEMS syndrome ( Polyneuropathy,

Organomegaly, Endocrinopathy, M protein, and Skin changes)

11

Page 13: Referat elis

PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan umum (KIE)

a. Memberitahu pasien bahwa morfea adalah penyakit yang tidak berbahaya pada

kebanyakan kasus. Perjalanan penyakitnya dapat progresif lambat; namun biasanya

terjadi remisi spontan.6

b. Menjelaskan pada pasien bahwa lesi morfea pada persendian yang membatasi range of

motion (ROM) pasien dapat dipulihkan dengan rehabilitasi.6

c. Memberitahu pasien bahwa perhatian khusus diberikan pada lesi morfea pada

ekstremitas bawah karena pada pasien pediatrik dapat menyebabkan diskrepansi

panjang kaki. Keterlibatan fasial dan konstriksi ekstremitas yang meluas juga

membutuhkan follow-up yang lebih.6

2. Penatalaksanaan khusus

Pengobatan ditujukan pada komponen peradangan, pelepasan sitokin, dan aktivasi

dan deposit kolagen. Pada kebanyakan kasus, lesi skleroderma lokalisata menjadi inaktif

secara spontan dan pada kasus yang lebih berat dapat menyebabkan fibrosis ireversibel

dari kulit dan jaringan subkutan.1

Steroid topikal dan sistemik, analog vitamin D oral dan topical, methotrexate,

cyclophosphamide, azathioprine, hydroxychloroquine, intralesional interferon-,

penicillin dan D-penicillamine telah banyak digunakan. Pengobatan yang telah dilaporkan

berhasil meliputi D-penicillamine, topical tacrolimus under occlusion, calsitriol oral,

calcipotriene topical, methotrexate sendiri atau dikombinasi dengan kortikosteroid,

imiquimod topical, tretinoin dengan ammonium lactate topical, dan N-3, 4-

dimethoxycinnamoyl anthralinic acid- obat anti alergi yang menghambat anafilaksis

kutaneus pasif.1

Terapi fisik terpenting pada pasien dengan kontraktur adalah untuk

mempertahankan atau meningkatkan fungsi ekstremitas. Pada kasus pediatrik dengan

pertumbuhan yang terganggu dari ekstremitas yang terkena, intervensi bedah, dan stapling

dari lempeng epifisis dari sisi yang normal dapat efektif.3

Fototerapi juga dapat digunakan untuk pengobatan. Beberapa studi telah

menunjukkan perkembangan pada mayoritas pasien morfea menggunakan psoralen dan

sinar ultraviolet A, broad band ultraviolet A (UVA), atau fototerapi UVAI.1

12

Page 14: Referat elis

Pengobatan pada satu atau sedikit lesi morfea dapat menggunakan pengobatan

topikal seperti calcipotriene, tacrolimus, retinoids, atau tidak menggunakan pengobatan

sama sekali. Pendekatan pada lesi wajah menggunakan hydroxychloroquine dan mungkin

methotrexate dalam kombinasi dengan dosis kecil (5 sampai 10 mg) dari kortikosteroid

sistemik. Pada lesi yang lebih luas, dapat digunakan fototerapi. Jika tidak berhasil dapat

menggunakan methotrexate, D-penicillamine, cyclosporine, dan agen immunosuppressive

lainnya.1

Gambar 5. Penatalaksanaan khusus pada morfea

PROGNOSIS

Kebanyakan kasus morfea adalah self-limited, dengan aktifitas klinik yang nyata untuk

umur rata-rata 3-5 tahun. Beberapa pasien dapat memiliki reaktivasi dari lesi inaktif secara

nyata. Dalam 13% pasien dengan skleroderma linier, satu terlihat berreaktivasi setelah

beberapa tahun remisi. En coup de sabre dapat tidak terdeteksi selama beberapa dekade.

13

Page 15: Referat elis

Sedikit atropi dengan atau tanpa hiperpigmentasi dapat menjadi satu-satunya gejala penyakit

yang persisten.1

Lesi plak menunjukkan perbaikan seiring waktu. Indurasi berkurang dan lesi bergabung

dengan kulit di dekatnya, meninggalkan warna kecoklatan, bertahan sampai beberapa lama,

biasanya 3 sampai 5 tahun, namun bisa sampai 25 tahun. Lesi linear lebih sulit menghilang

dibandingkan plak. Kalsinosis biasanya terjadi pada lesi linear dan beberapa kasus

membutuhkan operasi untuk perbaikan. Kontraktur yang terjadi dapat membatasi gerakan

sendi dan menyebabkan claw hand . Atrofi unilateral juga dapat terjadi. Hemiatrofi fasial

yang disebabkan en coup de sabre biasanya menetap, namun lesi kulit dapat hilang sempurna

disertai pertumbuhan rambut. Dari 88 anak yang menderita morfea, 63 diantaranya

mengalami kesembuhan dengan gangguan kosmetik minimal. Walaupun jarang, perubahan

morfea terlokalisasi menjadi sklerosis sistemik dapat terjadi.3

RINGKASAN

Morfea yang juga dikenal sebagai skleroderma lokalisata (localized scleroderma)

adalah suatu penyakit yang ditandai dengan deposit kolagen yang berlebihan yang

menyebabkan penebalan epidermis, jaringan subkutan, atau keduanya tanpa keterlibatan

sistemik. Wanita terkena penyakit ini kira-kira 3 kali lebih sering dari pria dan lebih umum

terlihat pada bangsa kaukasian dan asia.

Etiologi morfea sampai saat ini masih belum diketahui, diduga morfea terjadi setelah

infeksi measles, varicella, dan Borrelia burgdorferi. Faktor lain yang berperan adalah trauma,

vaksinasi basil Calmette-Guerin (BCG) dan tetanus, injeksi vitamin B dan K, terapi radiasi,

penicillamine, dan bromocriptine serta faktor hormonal. Patogenesis penyakit ini belum

diketahui secara pasti namun banyak studi berpendapat adanya peran patogenik dalam

transforming growth faktor-β (TGF-β). TGF-β telah ditemukan meningkat pada lesi morfea.

Terdapat tiga varian utama dari sklerodema lokalisata yaitu morfea, morfea

genealisata, dan morfea linier. Morfea ditandai dengan satu atau beberapa patch atau plak

berindurasi dan berbatas umumnya dengan hipo atau hiperpigmentasi dan berwarna keunguan

(violaceous) dan kemudian berkembang menjadi keputihan atau kuning, khususnya di sentral.

Morfea generalisata merupakan bentuk yang lebih berat yang ditandai dengan lesi multiple,

sering konfluen dan meliputi luas tubuh yang besar dan lesi berupa warna ungu disekeliling

indurasi ivory-white shiny. Morfea linear ditandai dengan indurasi kulit band-like dan

seringnya dengan perubahan pigmen, yang dapat melewati garis sendi dan kadang

14

Page 16: Referat elis

menyebabkan kontraktur. Komplikasi atropi jaringan subkutaneus dan otot dan kontaktur

sendi paling sering ditemukan pada skleroderma linier, generalisata, dan subkutaneus

(profunda), dan dapat menyebabkan gangguan mobilitas.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya pemeriksaan laboratorium,

histopatologi, pemeriksaan ultrasonografi dan MRI, pemeriksaan dengan Computerized Skin

Score (CSS). Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan autoantibodi antinuclear antibody

(ANA) serta ditemukan penurunan kadar eosinofilia bersamaaan dengan penurunan aktivitas

dari lesi kutaneus. Pada pemeriksaan histopatologi terlihat squared-off edge pada spesimen

biopsy, infiltrate peadangan, limfosit, makrofag, sel plasma, eosinofil, dan sel mast serta

deposit glikosaminoglikan dapat terdeteksi di stadium awal morfea. Pada pemeriksaan

ultrasonografi dan MRI dapat menunjukkan morfopatologi kulit yang dapat membantu klinisi

memperkirakan perjalanan morfea, misalnya kedalaman infiltrasi dan aktivitas penyakit. Lalu,

pada pemeriksaan dengan Computerized Skin Score (CSS) dapat menilai perkembangan lesi

morfea. CSS merupakan metode yang cukup baik untuk menilai lesi kulit pada pasien dengan

morfea.

Diagnosis morfea biasanya ditegakkan berdasakan gejala klinis dan dikonfimasi

dengan biopsi kulit. Pada klinis morfea dideskipsikan sebagai plak yang terlokalisir,

berindurasi dan hairless atau plak ungu. Pada pemeriksaan fisik, kulit pasien terasa “tight”,

“hard”, atau “grooved”. Pada biopsi kulit, pada lesi dini dapat tidak memiliki perubahan

histologi yang spesifik namun di stadium awal peradangan, terlihat degenerasi fibril kolagen

dan edema yang ditemukan di dermis.

Penatalaksanaan umum yang dapat dilakukan yaitu mengkomunikasikan,

menginfomasikan dan memberi edukasi kepada pasien tentang penyakit morfea ini. Pada

penatalaksanaan khusus dapat diberikan steroid topikal dan sistemik, analog vitamin D oral

dan topikal, methotrexate, cyclophosphamide, azathioprine, hydroxychloroquine, intralesional

interferon-, penicillin dan D-penicillamine. Fototerapi juga dapat digunakan untuk

pengobatan yaitu dengan psoralen dan sinar ultraviolet A, broad band ultraviolet A (UVA),

atau fototerapi UVAI. Kebanyakan kasus morfea adalah self-limited maka prognosis pasien

ini adalah baik.

15

Page 17: Referat elis

DAFTAR PUSTAKA

1. Vincent F, Christina EK. Morphea. In: Klause W, Lowell AG, Stephen IK, Barbara

AG, Amy SP, David JS, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.7 th Ed.

New York: Mc Graw Hill Medical. 2008. p.543-6.

2. Jennife VN, Victoria PW. Morphea. [internet] [cited 2011 Jan 25]. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1065782-overview

3. MJD Goodfield, SK Jones. Connective Tissue Disease. In: Tony B, Stephen B, Neil C,

Christopher, editor. Rook’s textbook of dermatology. 7 th Ed. Massachusetts:

Blackwell Publishing; 2004. p.2768-81.

4. James WD, Timothy GB, and Dirk ME. Connective Tissue Disease. In: Andrew’s

Disease of The Skin clinical Dermatology. Massachusetts: Blackwell Publishing ;

2008. p.171.

5. International Scleroderma Network. Localized Scleroderma: Morphea. [internet] [cited

2011 Jan 25]. Available from: http://sclero.org/medical/about-sd/a-to-z.html

6. Julie EG, Lawrence AS. Localized Scleroderma or Morphea?. [internet] [cited 2011

Jan 25]. Available from: http://www.bnet.com/

16