referat hepatoma
DESCRIPTION
referat hepatomaTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hepatocellular carcinoma (HCC) merupakan kanker paling sering ke-enam
diseluruh dunia dan peringkat ketiga penyebab kematian karena kanker. Kurang
lebih tiga-perempat dari kasus di Asia karena tingginya prevalensi infeksi kronis
virus hepatitis B (HBV). HCC merupakan ancaman besar bagi ksehatan di
wilayah Asia. Prevalensi HCC diseluruh dunia sejalan dengan distribusi dari virus
hepatitis, dan mayoritas kasus berhubungan dengan HBV dan virus hepatitis C
(HCV). HCC mempunyai variasi luas pada insidens penyakit berdasarkan lokasi
geografis. Wilayah dengan insidens tinggi meliputi Afika subsahara, Asia
timur, dan Asia Tenggara (yaitu Cina, Hongkong, Taiwan, Korea, dan Jepang).
Peran pemeriksaan penunjang dalam diagnosis HCC dapat dibagi menjadi
dua kategori utama, yang pertama yaitu pada surveilans pada pasien dengan risiko
tinggi terjadi HCC dan yang kedua adalah untuk diagnosis HCC yang didasarkan
pada hasil pemeriksaan skrining yang abnormal.2 Peran yang lain adalah
untuk evaluasi HCC setelah mendapatkan terapi.
Sebagian besar pasien HCC didiagnosis pada stadium menengah lanjut
(intermediet-advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya. Dalam
rekomendasi Asian Pacific Association for the Study of the liver
2
consensus (APASL), transarterial chemoembolization (TACE) direkomendasikan
sebagai pengobatan pilihan pertama bagi pasien dengan HCC yang tidak dapat
direseksi dengan tumor besar/ multifocal yang tidak memiliki invasi vaskuler atau
penyebaran ekstrahepatik. Rekomendasi lain adalah TACE selektif dapa
dilakukan pada pasien tahap dini dimana RFA sulit dialkukan karena lokasi tumor
atau adanya komorbiditas medis.
Salah satu pemeriksaan penunjang pada HCC adalah ultrasonografi (USG)
yang diperjelas dengan kontras (contrast enhanced ultrasound/ CEUS). Dalam
rekomendasi APASL tentang HCC disebutkan bahwa USG adalah suatu tes
skrining dan bukan suatu tes diagnosis untuk konfirmasi. Rekomendasi
yang lain adalah bahwa USG yang diperjelas dengan kontras (CEUS) adalah sama
sensitifnya seperti Computerized Tomography (CT) dinamik atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI) dinamik dalam diagnosis HCC.
Salah satu peran dari CEUS dalam pencitraan bidang onkologi adalah
penggunaan pada evaluasi terhadap efikasi TACE pada tumor hati. CEUS telah
dibuktikan cukup efisien dalam membedakan tumor residual (enhancing) dengan
nekrotik (non-enhancing) setelah TACE, dan efek terapi dapat dinilai dengan
evaluasi subjektif, visual atau dengan penghitungan sederhana (misalnya
pengukuran uni- atau bi-dimensional dari residual tumor yang menyangat pada
potongan yang representatif).
Untuk mencapai pengukuran yang lebih akurat dan penilaian kuantitatif dari
penyangatan pada tumor
3
hati dengan CEUS, telah dikembangkan suatu software yang canggih.
Untuk evaluasi pengobatan, perlu dinilai apakah dapat dipergunakan CEUS bila
modalitas CT dinamik atau MRI dinamik tidak tersedia ataupun didapatkan kendala
lainnya. Dalam evidence based case report ini akan dibahas mengenai USG kontras
sebagai pemeriksaan penunjang untuk evaluasi pada hepatocellular carcinoma yang
mendapat terapi Transarterial Chemoembolization (TACE).
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Karsinoma hepatoseluler atau hepatoma adalah keganasan pada hepatosit
dimana stem sel dari hati berkembang menjadi massa maligna yang dipicu oleh
adanya proses fibrotik maupun proses kronik dari hati (crrhosis). Masa tumor ini
berkembang di dalam hepar, dipermukaan hepar maupun ekstrahepatik seperti pada
metastase jauh.
Tumor dapat muncul sebagai massa tunggal atau sebagai suatu massa yang
difus dan sulit dibedakan dengan jaringan hati disekitarnya karena konsistensinya
yang tidak dapat dibedakan dengan jaringan hepar biasa. Massa ini dapat
mengganggu jalan dari saluran empedu maupun menyebabkan hipertensi portal
sehingga gejala klinis baru akan terlihat setelah massa menjadi besar. Tanpa
pengobatan yang agresif, hepatoma dapat menyebabkan kematian dalam 6-20 bulan.
2.2 Etiologi
Dewasa ini hepatoma dianggap terjadi dari hasil interaksi sinergis multifaktor
dan multifasik, melalui inisiasi, akselerasi dan transformasi dan proses banyak
tahapan, serta peran serta banyak onkogen dan gen terkait, mutasi multigenetik.
Etiologi hepatoma belum jelas, menurut data yang ada, virus hepatitis, aflatoksin dan
pencemaran air minum merupakan 3 faktor utama yang terkait dengan timbulnya
hepatoma
5
1. Virus Hepatitis
- HBV
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma
terbukti kuat, baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental.
Karsinogenisitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses
inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV
DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktifitas protein spesifik-HBV
berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari
kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi
menentukan tingkat karsinogenesis hati.
- HCV
Infeksi HCV berperan penting dalam patogenesis hepatoma pada
pasien yang bukan pengidap HBV. Pada kelompok pasien penyakit
hati akibat transfusi darah dengan anti-HCV positif, interval antara
saat transfusi hingga terjadinya HCC dapat mencapai 29 tahun.
Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktifitas
nekroinflamasi kronik dan sirosis hati.
2. Aflatoksin
Aflatoksin BI (AFBI) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur
Aspergillus. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3 epoksid merupakan
karsinogen utama dari kelompok aflatoksin yang mampu membentuk
ikatan dengan DNA maupun RNA. Salah satu mekanisme
hepatokarsinognesisnya ialah kemampuan AFB 1 menginduksi mutasi
pada kodon 249 dari gen supresor tumor p53.
3. Pencemaran air minum
Dari survei epidemiologi di China ditemukan pencemaran air minum dan
kejadian hepatoma berkaitan erat, di area insiden tinggi hepatoma seperti
kecamatan Qidong dan Haimen di propinsi Jiangshu, Fuhuan di Guangxi,
Shunde di Guangdong dll. Menun jukan peminum air saluran perumahan,
6
air kolam memiliki mortalitas hepatoma secara jelas lebih tinggi dari
peminum air sumur dalam. Dengan beralih ke minum air sumur dalam,
mortalitas hepatoma penduduk cenderung menurun. Algae biru hijau
dalam air saluran perumahan dan air kolam dianggap sebagai salah satu
karsinogen utama.
2.3 Faktor Risiko
a. Sirosis Hati
Sirosis hati merupakan faktor risiko utama hepatoma di dunia dan
melatarbelakangi lebih dari 80% kasus hepatoma. Otopsi pada pasien sirosis
hepatis mendapatkan 20-80% diantaranya telah menderita HCC. Prediktor utama
hepatoma pada SH adalah jenis kelamin laki-laki, peningkatan kadar alfa feto
protein (AFP) serum, beratnya penyakit dan tingginya aktifitas proliferasi sel
hati.
b. Obesitas
Seperti diketahui, obesitas merupakan faktor risiko utama untuk non-alcoholic
fatty liver disease (NAFLD), khususnya nonalcoholic steatohepatitis (NASH)
yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian dapat berlanjut
menjadi HCC.
c. Diabetes Mellitus
DM merupakan faktor risiko baik untuk penyakit hati kronik maupun untuk HCC
melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatitis non-alkoholik (NASH).
Disamping itu, DM dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan insulin-
like growth factors (IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial untuk
kanker.
7
d. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat
alkohol (>50-70 g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita HCC
melalui sirosis hati alkoholik. Efek hepatotoksik alkohol bersifat dose-dependent,
sehingga asupan sedikit alkohol tidak meningkatkan risiko terjadinya HCC.
e. Selain yang telah disebutkan diatas, bahan atau kondisi lain yang merupakan
faktor risiko HCC namun lebih jarang dibicarakan/ditemukan, antara lain :
penyakit hati autoimun (haepatitis autoimun, sirosis billier primer), penyakit hati
metabolik (hemokromatosis genetik, defisiensi antitripsin-alfa 1, penyakit
wilson), kontrasepsi oral, senyawa kimia (thorotrast, vinil klorida,
nitrosamin,insektisida organoklorin,asam tanik), tembakau.
2.4 Patofisiologi
Inflamasi, nekrosis, fibrosis, dan regenerasi dari sel hati yang terus berlanjut
merupakan proses khas dari cirrhosis hepatic yang juga merupakan proses dari
pembentukan hepatoma walaupun pada pasien-pasien dengan hepatoma, kelainan
sirosis tidak selalu ada. Hal ini mungkin berhubungan dengan proses replikasi DNA
virus dari virus hepatitis yang juga memproduksi HBV X protein yang tidak dapat
bergabung dengan DNA sel hati, yang merupakan host dari infeksi virus hepatitis,
dikarenakan protein tersebut merupakan suatu RNA. RNA ini akan berkembang dan
mereplikasi diri di sitoplasma dari sel hati dan menyebabkan suatu perkembangan
dari keganasan yang nantinya akan menghambat apoptosis dan meningkatkan
proliferasi sel hati. Para ahli genetika mencari gen-gen yang berubah dalam
perkembangan sel hepatoma ini dan didapatkan adanya mutasi dari gen p53, PIKCA,
dan β-Catenin.
Sementara pada proses sirosis terjadi pembentukan nodul-nodul di hepar, baik
nodul regeneratif maupun nodul diplastik. Penelitian prospektif menunjukan bahwa
8
tidak ada progresi yang khusus dari nodul-nodul diatas yang menuju kearah hepatoma
tetapi, pada nodul diplastik didapatkan bahwa nodul yang terbentuk dari sel-sel yang
kecil meningkatkan proses pembentukan hepatoma. Sel-sel kecil ini disebut sebagai
stem cel dari hati.
Sel-sel ini meregenerasi sel-sel hati yang merusak tetapi sel-sel ini juga
berkembang sendiri menjadi nodul-nodul yang ganas sebagai respons dari adanya
penyakit yang kronik yang disebabkan oleh infeksi virus, nodul-nodul inilah yang
pada perkembangan lebih lanjut akan menjadi hepatoma.
2.5 Manifestasi Klinis
1. Hepatoma fase subklinis
Yang dimaksud hepatoma fase subklinis atau stadium dini adalah pasien yang
tanpa gejala dan tanda fisik hepatoma yang jelas, biasanya ditemukan melalui
pemeriksaan AFP dan teknik pencitraan. Caranya adalah dengan gabungan
pemeriksaan AFP dan pencitraan, teknik pencitraan terutama dengan USG lebih
dahulu, bila perlu dapat digunakan CT atau MRI. Yang dimaksud kelompok risiko
tinggi hepatoma umumnya adalah : masyarakat di daerah insidien tinggi hepatoma:
pasien dengan riwayat hepatitis atau HbsAg positif,pasien dengan riwayat keluarga
hepatoma, pasien pasca reseksi hepatoma primer.
2. Hepatoma fase klinis
Hepatoma fase klinis tergolong hepatoma stadium sedang, lanjut, manifestasi
utama yang sering ditemukan adalah:
a. Nyeri abdomen kanan atas: hepatoma stadium sedang atau lanjut sering
datang berobat karena kembung dan tak nyaman atau nyeri samar di abdomen
kanan atas. Nyeri umumnya bersifat tumpul (dullache) atau menusuk
intermiten atau kontinu, sebagian merasa area hati terbebat kencang,
disebabkan tumor tumbuh dengan cepat hingga menambah regangan pada
9
kapsul hati. Jika nyeri abdomen bertambah hebat atau timbul akut abdomen
harus pikirkan ruptur hepatoma.
b. Massa abdomen atas : hepatoma lobus kanan dapat menyebabkan batas atas
hati bergeser ke atas, pemeriksaan fisik menemukan hepatomegali dibawah
arkus kostae berbenjol-benjol, hepatoma segmen inferior lobus kanan sering
dapat langsung teraba massa dibawah arkus kostae kanan, hepatoma lobus kiri
tampil sebagai massa di bawah prosesus xifoideus atau massa dibawah arkus
kostae kiri.
c. Perut kembung: timbul karena massa tumor sangat besar, asites dan gangguan
fungsi hati.
d. Anoreksia : timbul karena fungsi hati terganggu, tumor mendesak saluran
gastrointestinal, perut tidak bisa menerima makanan dalam jumlah banyak
karena terasa begah.
e. Letih, mengurus: dapat disebabkan metabolit dari tumor ganas dan
berkurangnya masukan makanan dll, yang parah dapat sampain kakeksia.
f. Demam: timbul karena nekrosis tumor disertai infeksi dan metabolit tumor,
jika tanpa bukti infeksi disebut kanker, umunya tidak disertai menggigil.
g. Ikterus : tampil sebagai kuningnya sklera dan kulit, umunya karena gangguan
fungsi hati, biasanya sudah stadium lanjut, juga dapat karena sumbat kanker di
saluran empedu atau tumor mendesak saluran empedu hingga timbul ikterus
obstruktif.
h. Asites: juga merupakan tanda stadium lanjut. Secara klinis ditemukan perut
membuncit dan pekak bergeser, sering disertai udem kedua tungkai.
i. Lainya: selain itu terdapat kecenderungan perdarahan, diare, nyeri bahu
belakang kanan, udem kedua tungkai bawah, kulit gatal dan lainya, juga
manifestasi sirosis hati seperti splenomegali, palmar eritema, lingua hepatik,
spider nevi, venodilatasi dinding abdomen dll. Pada stadium akhir hepatoma
sering timbul metastasis paru, tulang dan banyak organ lain.
10
2.6 Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium
1. Alfa-fetoprotein (AFP)
Adalah sejenis glikoprotein, disintesis oleh hepatosit dan sakus vitelinus,
terdapat dalam serum darah janin. Pasca partus 2 minggu, AFP dalam serum
hampir lenyap, dalam serum orang normal hanya terdapat sedikit sekali (<25
ng/L). Ketika hepatosit berubah ganas, AFP kembali muncul. Selain itu
teratoma testes atau ovarium serta beberapa tumor lain (seperti karsinoma
gaster, paru dll) dalam serumpaisen juga dapat ditemukan AFP, wanita hamil
dan sebagian pasien hepatitis akut kandungan AFP dalam serum mereka jga
dapat meningkat.
2. Petanda tumor lainya
Zat petanda hepatoma sangat banyak, tapi semuanya tidak spesifik untuk
diagnosis sifat hepatoma primer. Penggunaan gabungan untuk diagnosis kasus
dengan AFP negatif memiliki nilai rujukan tertemu, yang relatif umum
digunakan adalah des-gama karboksi protrombin (DCP), alfa-L-fukosidase
(AFU), gama glutamil transpeptidase (GGT-II), CA19-9, antitripsin, feritin,
CEA, dll.
3. Fungsi hati dan sistem antigen antibodi hepatitis B
Karena lebih dari 90% hepatoma disertai sirosis hati, hepatitis dan latar
belakang penyakit hati lain, maka jika ditemukan kelainan fungsi hati, petanda
hepatitis B atau hepatitis C positif, artinya terdapat dasar penyakit hati untuk
hepatoma, itu dapat membantu dalam diagnosis.
Pemeriksaan pencitraan
1. Ultrasonografi (USG)
Dengan ultrasonografi, gambaran khas dari KHS adalah pola mosaik,
sonolusensi perifer, bayangan lateral yang disebabkan pseudokapsul fibrotik, dan
11
peningkatan akustik posterior. KHS yang masih berupa nodul kecil cenderung
bersifat homogen dan hipoekoik, sedangkan nodul yang besar biasanya
heterogen. Penggunaan ultrasonografi sebagai sarana screening untuk
mendeteksi tumor hati pada penderita dengan sirosis yang lanjut memberikan
hasil bahwa 34 dari 80 penderita yang diperiksa menunjukkan tanda-tanda tumor
ganas dan 28 di antaranya adalah KHS. Ultrasonografi memberikan sensitivitas
sebesar 45% dan spesifisitas 98%. Oleh karena sensitivitas tes ini maka setiap
massa yang terdeteksi oleh ultrasonografi harus dianggap sebagai keganasan.
Karsinoma hati sekunder memberikan gambaran berupa nodul yang diameternya
kecil mempunyai densitas tinggi dan dikelilingi oleh gema berdensitas rendah.
Gambaran ini berbentuk seperti mata sapi.
2. CT-scan dan angiografi
KHS dapat bermanifestasi sebagai massa yang soliter, massa yang dominan
dengan lesi satelit di sekelilingnya, massa multifokal, atau suatu infltrasi
neoplasma yang sifatnya difus. CT-scan telah banyak digunakan untuk melakukan
karakterisasi lebih lanjut dari tumor hati yang dideteksi melalui ultrasonografi.
CT-scan dan angiografi dapat mendeteksi tumor hati yang berdiameter 2 cm.
Walaupun ultrasonografi lebih sensitif dari angiografi dalam mendeteksi
karsinoma hati, tetapi angiografi dapat lebih memberikan kepastian diagnostik
oleh karena adanya hipervaskularisasi tumor yang tampak pada angiografi.
Dengan media kontras lipoidol yang disuntikkan ke dalam arteria hepatika, zat
kontras ini dapat masuk ke dalam nodul tumor hati. Dengan melakukan
12
arteriografi yang dilanjutkan dengan CT-scan, ketepatan diagnostik tumor akan
menjadi lebih tinggi.
3. MR imaging
Magnetic resonance (MR) imaging umum digunakan secara rutin untuk screening
penderita-penderita dengan sirosis. Pada studi yang dilakukan oleh Krinsky dkk(8)
menguji sensitivitas dan spesifisitas dari sarana tes ini untuk KHS dan nodul
displastik pada sirosis hati. Hasil studi menunjukkan sensitivitas untuk diagnosis
KHS dilaporkan hanya sebesar 53% saja. Hal ini disebabkan karena lesi-lesi yang
tidak terdeteksi tersebut kebanyakan mempunyai diameter kecil yaitu rata-rata 1,3
cm. Sebaliknya, nodul displastik derajat tinggi meskipun dapat dideteksi namun
terdiagnosis sebagai KHS karena adanya arterial phase enhancement. Dengan
demikian, diperlukan kriteria lain selain arterial phase enhancement untuk
membedakan nodul displastik dari KHS yang kecil.
4. Biopsi
Untuk pemastian diagnosis karsinoma hati, diperlukan biopsi dan pemeriksaan
histopatologi. Biopasi dilakukan terhadap massa yang terlihat pada ultrasonografi,
Ctscan atau melalui angiografi. Biopsi aspirasi jarum halus dapat dilakukan secara
buta (blind). Ada kalanya dibutuhkan tindakan laparoskopi atau laparatomi untuk
melakukan biopsi.
5. Uji faal hati
Karsinoma hati dapat menyebabkan terjadinya obstruksi saluran empedu atau
merusak sel-sel hati oleh karena penekanan massa tumor atau karena invasi sel tumor
13
hingga terjadi gangguan hati yang tampak pada kelainan SGOT, SGPT, alkali
fosfatase, laktat dehidrogenase. Gangguan faal hati ini tidak spesifik sebagai petanda
tumor. Alfafetoprotein (AFP) adalah suatu glikoprotein dengan berat molekul sebesar
70,000. AFP disintesis oleh hati, usus dan yolk sac janin.
Pada manusia, AFP mulai terdeteksi pada fetus umur 6-7 minggu kehamilan dan
mencapai puncaknya pada minggu ke-13. Pada bayi yang baru lahir, kadarnya adalah
sebesar 10,000 - 100,000 ng/ml, kemudian menurun dan pada usia 250-300 hari
kelahiran kadarnya sama dengan kadar pada orang dewasa. Adanya peningkatan
kadar AFP diduga karena sel-sel hati mengalami diferensiasi menyerupai sel hati
pada janin. AFP merupakan petanda karsinoma hati.
Sistem staging
Beberapa sistem yang dipakai untuk staging HCC adalah :
a. Tumor-Node-Metastases (TNM) Staging System
b. Okuda staging system
c. Cancer of the liver italian program (CLIP) scoring system
d. Chinese university prognostic index (CUPI)
e. Barcelona clinic liver cancer (BCLC) staging system
Standar diagnosis
Pada tahu n 2001 Komite khusus hepatoma asosiasi antitumor china telah
menetapkan standar diagnosis dan klasifikasi stadium klinis hepatoma primer.
1. Standar diagnosis klinis hepatoma primer
14
a. AFP >400 ug/L, dapat menyingkirkan kehamilan, tumor embrional sistem
reproduksi, penyakit hati aktif, hepatoma metastatik, selain itu teraba hati
membesar, keras dan bermassa nodular besar atau pemeriksaan pencitraan
menunjukkan lesi penempat ruang karakteristik hepatoma
b. AFP <400 ug/L, dapat menyingkirkan kehamilan, tumor embrional sistem
reproduksi, penyakit hati aktif, hepatoma metastatik, selain itu terdapat
dua jenis pemeriksaan pencitraanmenunjukkan lesi penempat ruang
karakteristik hepatoma atau terdapat dua petanda hepatoma (DCP, GGT-
II,AFU,CA 19-9, dll) positif serta satu pemeriksaan pencitraan
menunjukan lesi penempat ruang karakteristik hepatoma.
c. Menunjukan manifestasi klinis hepatoma dan terdapat kepastian lesi
metastatik ekstrahepatik (termasuk asites hemoragis makroskopik atau di
dalamnya ditemukan sel ganas) serta dapat menyingkirkan hepatoma
metastatik.
2. Standar klasifikasi stadium klinis hepatoma primer
Ia : tumor tunggal berdiameter < 3 cm, tanpa emboli rumor, tanpa metastasis
kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh : Child A
Ib : tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan <5cm, di
separuh hati , tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal
ataupun jauh : Child A
Ha : tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan <10 cm,
diseparuh hati, atau dua tumor dengan diameter gabungan <5cm, di kedua
15
belahan hati kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar
limfe peritoneal ataupun jauh : Child A
Iib : tumor tunggal atau multipel dengan diameter gabungan > 10 cm, di
separuh hati, atau tumor multipel dengan diameter gabungan > 5cm, di kedua
belahan hati kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar
limfe peritoneal ataupun jauh :Child A.
Terdapat emboli tumor dipercabangan vena portal, vena hepatik atau saluran
empedu dan/atau Child B.
IIia : tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama
vena porta atau vena cava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal atau
jauh, salah satu daripadanya : Child A atau B.
IIIb : tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis : Child
C.
Tabel 1.Klasifikasi Child-Pugh untuk Sirosis Hati
1 poin 2 poin 3 poin
Albumin serum
(g/dl)
>3,5 2,8-3,5 <2,8
Bilirubin serum
(mg/dl)
<2,0 2,0-3,0 >3,0
Protrombin
time/PT (detik)
<4 4-6 >6
16
Atau INR <1,7 1,7-2,3 >2,3
Asites Tidak Ringan-sedang Berat
Ensefalopati
(derajat)
0 1-II III-IV
Jumlah dan poin masing-masing variabel akan menghasilkan poin total untuk
diklasifikasikan menurut Child-Pugh. Child A = 5-6 poin, Child B = 7-9 poin,
Child C = 10-15 poin.
Diagnosis Banding
1. Diagnosis banding hepatoma dengan AFP positif
Hepatoma dengan AFP positif harus dibedakan dari kehamilan, tumor embrional
kelenjar reproduktif, metastasis hati dari kanker saluran digestif dan hepatitis serta
sirosis hati dengan peninggian AFP.
Pada tumor embrional kelenjar reproduktif, terdapat gejala klin is dan tanda fisik
tumor bersangkutan, umumnya tidak sulit dibedakan : kanker gaster, kanker pankreas
dengan metastasis hati. Kanker gaster, kanker pankreas kadang kala disertai
peninggian AFP, tapi konsentrasinya umumnya relatif, rendah dan tanpa latar
belakang penyakit : hati, USG dan CT serta pemeriksaan minum barium dan
pencitraan lain sering kali dapat memperjelas diagnosis. Pada hepatitis, sirois hati, jika
disertai peninggian AFP agak sulit dibedakan dari hepatoma dari hepatoma, harus
dilakukan pemeriksaan pencitraan hati secara cermat, dilihat apakah terdapat lesi
17
penempat ruang dalam hati, selain secara berkala harus diperiksa fungsi hati dan AFP,
memonitor perubahan ALT dan AFP.
2. Diagnosis banding hepatoma dengan AFP negatif
Hemangioma hati kecil paling sulit dibedakan dari hepatoma kecil dengan AFP
negatif, hemangioma umumnya pada wanita, riwayat penyakit yang panjang, progresif
lambat, bisa tanpa latar belakang hepatitis dan sirosis hati, zat petanda hepatitis
negatif, CT tunda, MRI dapat membantu diagnosis.
2.7 PENATALAKSANAAN
Banyak faktor memegang peranan dalam penanganan KHS. Pertama, adanya sirosis hati
dalam berbagai tingkatan yang mengikuti KHS sedikit banyak mempengaruhi
pilihanpilihan pengobatan. Fungsi hati pada penderita-penderita KHS dapat sangat
bervariasi dari normal sampai dekompensasi. Sirosis dapat dijumpai pada sekitar 90% dari
semua kasus KHS. Kedua, KHS menunjukkan perangai biologis yang sangat bervariasi
dari satu daerah dan daerah yang lain. Misalnya, di daerah pedesaan Afrika Selatan, KHS
mengenai penderita-penderita dalam usia yang lebih muda dan sering baru terdiagnosis
setelah tahap lanjut dan mempunyai durasi gejala-gejala yang lebih singkat dibanding
kasus-kasus di Amerika Utara. Manifestasi klinis pada penderitapenderita ini didominasi
oleh gejala-gejala yang disebabkan oleh tumornya sedangkan di Amerika Utara gejala-
gejala sirosis tampil secara dominan dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, protokol
pengobatan yang dikembangkan di suatu daerah atau negara mungkin tidak sesuai dan
tidak optimal untuk daerah lainnya. Secara umum, tatalaksana bedah (surgical
18
management) seperti reseksi dan transplantasi dianggap pengobatan yang ideal untuk
KHS. Kemajuan teknik bedah dan perawatan perioperatif telah mampu untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas akibat operasi, bahkan pada penderita-penderita sirosis. Dengan
seleksi yang baik terhadap penderita-penderita, 5-year survival rate pasca-reseksi
dilaporkan dapat mencapai sedikitnya 35%. Namun demikian, 70% dari penderita
penderita ini mengalami rekurensi setelah reseksi “kuratif” ini, biasanya antara 18-24
bulan. Meskipun penanganan terhadap karsinoma hepatoseluler secara operatif dianggap
ideal, tetapi banyak kesulitan dijumpai karena penderita-penderita umumnya datang pada
stadium yang sudah lanjut sehingga tidak dapat dilakukan reseksi dan transplantasi. Selain
itu, biaya operasi yang mahal, pemberian imunosupresi sepanjang hidup serta sulitnya
mendapatkan donor transplantasi merupakan suatu kendala yang besar terutama di negara-
negara berkembang.
Oleh karena itu, yang paling baik adalah melakukan usaha-usaha pencegahan, terutama
pencegahan terhadap penularan virus hepatitis dan bila telah terjadi infeksi, mencegah
kemungkinan terjadinya sirosis postnecrotic sehingga dapat dicegah terjadinya karsinoma
hati.
Pengobatan non-bedah
Meskipun pendekatan multidispliner terhadap KHS dapat meningkatkan hasil reseksi dan
orthotopic liver transplantation, tetapi kebanyakan penderita tidak memenuhi persyaratan
untuk terapi operasi karena stadium tumor yang telah lanjut, derajat sirosis yang berat,
atau keduanya. Oleh karena itu, terapi non-bedah merupakan pilihan untuk pengobatan
penyakit ini. Beberapa alternatif pengobatan non-bedah karsinoma hati meliputi:
19
a. Percutaneous ethanol injection (PEI)
PEI pertama kali diperkenalkan pada tahun 1986. Teknik terapi PEI dilaporkan
memberikan hasil sebaik reseksi untuk KHS yang kecil. Kerugian dari cara ini adalah
tingkat rekurensi lokal yang tinggi dan kebutuhan akan sesi terapi berulang kali
(multipel) agar didapatkan ablasi lengkap dari l e s i . PEI dilakukan dengan cara
menyuntikkan per kutan etanol murni (95%) ke dalam tumor dengan panduan
radiologis untuk mendapatkan efek nekrosis dari tumor.
Tindakan ini efektif untuk tumor berukuran kecil (<3 cm). Untuk penderita-penderita
dengan asites, koagulopati sedang atau berat dan lesi permukaan, PEI tidak
dianjurkan. Efek PEI adalah demam, sakit di daerah suntikan, perdarahan intrahepatik
dan perdarahan peritoneal.
b. Chemoembolism
Transcatheter arterial chemoembolism dapat digunakan sebagai terapi lokal (targeted
chemoembolism) atau regional (segmental,lobar chemoembolism) tergantung dari
ukuran, jumlah dan distribusi lesi. Kemoembolisme dianggap terapi baku untuk KHS
yang tidak dapat dilakukan reseksi. Lipoidol diberikan dengan obat kemoterapi yang
kemudian akan terkonsentrasi di dalam sel tumor tetapi secara aktif dibersihkan dari
sel-sel yang non-maligna. Pada cara ini, terjadi devaskularisasi terhadap tumor
sehingga menghentikan suplai nutrisi dan oksigen ke jaringan tumor dan
mengakibatkan terjadinya nekrosis tumor akibat vasokonstriksi arteri hepatika.
Dengan teknik ini didapatkan respon yang lebih baik dibandingkan kemoterapi
arterial atau sistemik. Selain lipoidol dapat juga digunakan gelfoam dan kolagen. Efek
20
samping yang sering terjadi antara lain adalah demam,nausea, vomitus, sakit di
daerah abdominal. Kemoembolisasi pada penderita-penderita dengan karsinoma
hepatoseluler yang tidak dapat direseksi dilaporkan menunjukkan reduksi dari
pertumbuhan tumor tetapi tidak memberikan peningkatan survival. Efikasi yang
terbatas dari kemoembolisasi pada penderita KHS dengan tumor yang besar dan tidak
dapat direseksi dapat dijelaskan oleh adanya sel-sel tumor yang tetap hidup setelah
terapi, terutama dengan adanya invasi vaskuler, adanya anak nodul kecil-kecil, dan
adanya trombi tumor. Kemoembolisasi efektif untuk tumor kecil tunggal dengan
hipervaskularisasi. Respons yang lebih besar dan derajat survival yang lebih tinggi
diperoleh bilamana kemoembolism diikuti dengan PEI.
c. Kemoterapi sistemik
Pemberian terapi dengan anti-tumor ternyata dapat memperpanjang hidup penderita.
Sitostatika yang sering dipakai sampai saat ini adalah 5-fluoro uracil (5-FU). Zat ini
dapat diberikan secara sistematik atau secara lokal (intra-arteri). Sitostatika lain yang
sering digunakan adalah adriamisin (doxorubicin HCl) atau adriblastina. Dosis yang
diberikan adalah 60-70 mg/m2 luas badan yang diberikan secara intra-vena setiap 3
minggu sekali atau dapat juga diberikan dengan dosis 20-25 mg/m2 luas badan
selama 3 hari berturut-turut dan diberikan setiap 3 minggu sekali. Adriamisin sebagai
obat tunggal sangat efektif dengan peningkatan survival rate sebesar 25%
dibandingkan bila tidak diberi terapi. Penggunaan kombinasi sisplatin, IFN-∝2B,
adriamisin dan 5-FU yang diberikan secara sistematik pada penderita KHS
memberikan rerspon yang sangat baik untuk tumor hati dan ekstrahepatik. Dengan
21
rejimen seperti ini ternyata 18% penderita yang awalnya tidak dapat dieseksi dapat
direseksi dan 50% menunjukkan remisi histologis yang sempurna. Namun demikian,
kombinasi di atas tidak dapat ditoleransi penderita-penderita sirosis lanjut.
d. Kemoterapi intra-arterial
(transcatheter arterial chemotherapy)
Pengobatan karsinoma hati dengan sitostatika ternyata kurang memberikan manfaat
yang diharapkan. Respon parsial hanya mencapai 25% saja. Pemberian 5-FU ternyata
tidak memperpanjang usia penderita. Oleh karenanya diberikan sitostatika secara
intra-arterial dengan beberapa keuntungan seperti misalnya, konsentrasi sitostatika
lebih tinggi pada target (tumor), mengurangi toksisitas sistemik dan kontak antara
obat dengan tumor berlangsung lebih lama. Pada teknik ini kateter dimasukkan per
kutaneus ke dalam arteri brachialis atau a. femoralis atau melalui laparotomi ke arteri
hepatika, kemudian obat sitostatika disuntikkan secara perlahan-lahan selama 10-30
menit.
Sitostatika yang disuntikkan adalah mitomisin C 10-20 mg dikombinasikan dengan
adriablastiina 10-20 mg dicampur dengan 100-200 ml larutan garam faal. Pemberian
sitostatika diulang satu bulan kemudian sambil mengevaluasi hasil pengobatan
sebelumnya. Efek samping dari cara pengobatan di atas tersebut dapat berupa demam,
septikemia, perdarahan, trombosis, emboli udara. Kontraindikasi dari kemoterapi
intra-arterial adalah kaheksia, asites yang intraktabel, dan gangguan faal hati berat.
e. Radiasi
22
Terapi radiasi jarang digunakan sebagai terapi tunggal dan tidak banyak perannya
sebab karsinoma hati tidak sensitif terhadap radiasi dan sel-sel hati yang normal
sangat peka terhadap radiasi. Terapi radiasi dengan menggunakan 50 Gy untuk
membunuh sel-sel kanker hati dapat menyebabkan radiationinduced hepatitis. Dosis
yang diberikan umumnya berkisar antara 30-35 Gy dan diberikan selama 3-4 minggu.
Meskipun demikian, penderita biasanya meninggal dalam kurun waktu 6 bulan.
karena survival-nya pendek. Teknik baru yang dengan proton therapy adalah teknik
yang menggunakan partikel bermuatan positif untuk menghantar
energi membunuh sel-sel tumor dengan cedera minimal pada jaringan hati yang
nonneoplastik.
Dengan proton therapy dosis 70-80 Gy sangat aman karena sel target adalah hanya
sel tumor. Ukuran tumor dapat berkurang sampai 50% dari sebelumnya, dan efek
samping yang terjadi sangat minimal sehingga memberikan kualitas hidup yang lebih
baik.
f. Tamofixen
Tamofixen digunakan pada penderitapenderita KHS dengan sirosis lanjut, tetapi tidak
meningkatkan survival. Tamofixen dapat dikombinasikan dengan etoposide dan
menunjukkan perbaikan serta memberikan toksisitas rendah dan bermanfaat sebagai
terapi paliatif. Secara in vitro, tamofixen bermakna meningkatkan efek sitotoksik
doxorubisin pada KHS. Kombinasi antara tamofixen dengan doxorubisin ternyata
tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tamofixen tunggal.
23
g. Injeksi asam asetat perkutaneus
Prinsip dan cara kerja metode ini sama dengan injeksi etanol perkutan, hanya saja zat
yang disuntikkan adalah larutan asam asetat 15-50%. Pemberian pada penderita KHS
dengan tumor yang berdiameter <3 cm menunjukkan survival rate 1 tahun sebesar
93%, 2 tahun sebesar 86%, 3 tahun sebesar 83% dan 4 tahun sebesar 64%. Efek
samping tidak dijumpai.
2.8 PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis karsinoma hati adalah jelek. Tanpa pengobatan, kematian
rata-rata terjadi sesudah 6-7 bulan setelah timbul keluhan pertama. Dengan
pengobatan, hidup penderita dapat diperpanjang sekitar 11-12 bulan. Bila karsinoma
hati dapat dideteksi secara dini, usaha-usaha pengobatan seperti pembedahan dapat
segera dilakukan misalnya dengan cara sub-segmenektomi, maka masa hidup
penderita dapat menjadi lebih panjang lagi. Sebaliknya, penderita karsinoma hati fase
lanjut mempunyai masa hidup yang lebih singkat. Kematian umumnya disebabkan
oleh karena koma hepatik, hematemesis dan melena, syok yang sebelumnya didahului
dengan rasa sakit hebat karena pecahnya karsinoma hati. Oleh karena itu
langkahlangkah terhadap pencegahan karsinoma hati haruslah dilakukan. Pencegahan
yang paling utama adalah menghindarkan infeksi terhadap HBV dan HCV serta
menghindari konsumsi alkohol untuk mencegah terjadinya sirosis.
BAB III
24
KESIMPULAN
1. Sebagian besar HCC terjadi sirosis hati yang disebabkan oleh faktor risiko
yang sudah dikenal dan dapat dicegah (HBV, HCV, alkohol, dan NASH).
2. Infeksi HBV dan HCV adalah penyebab terpenting HCC. Faktor lingkungan
seperti aflatoksin ikut berperan dalam proses transformasi pada patogenesis
molekuler HCC. Semakin banyak bukti bahwa obesitas dan diabetes mellitus
adalah faktor risiko untuk HCC.
3. Sebagian besar kasus HCC berprognosis buruk karena tumor yang
besar/ganda dan penyakit hati yang lanjut serta ketiadaan atau
ketidakmampuan penerapan terapi yang berpotensi kuratif (reseksi,
transplantasi, dan PEI).
4. USG abdomen secara periodik merupakan cara terbaik untuk surveilans
HCC, namun belum jelas pengaruh surveilance terhadap mortalitas spesifik
penyakit. Stadium tumor, kondisi umum kesehatan, fungsi hati dan intervensi
spesifik mempengaruhi prognosis.
5. Diagnosis dini merupakan masalah yang besar, umumnya pendeita datang
terlambat sehingga alternatif pengobatan menjadi sangat sedikit dan kurang
bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
25
1. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K,
Siti Setiati. “ Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Jilid I, Edisi IV.” Hal: 455-
459. Pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta:juni 2006.
2. Desen, Wan. “ Onkologi Klinik:edisi 2”. Hal 408-423. Balai penerbit
FKUI.jakarta:2008.
3. Gani,Abdulah. :Gastroentero Hepatologi:edisi 1”. Hal 370-381. Info medika
airlangga.jakarta:1990.
REFERAT
26
HEPATOMA
Oleh:
Nastiti Hasnawati, S.Ked
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNGTAHUN 2014
DAFTAR ISI
27
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang........................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi........................................................................................ 4
2.2 Etiologi........................................................................................ 4
2.3 Faktor Risiko............................................................................... 5
2.4 Patofisiologi................................................................................. 7
2.5 Manifestasi Klinik....................................................................... 8
2.6 Diagnosis..................................................................................... 10
2.7 Penatalaksanaan........................................................................... 17
2.8 Prognosis .................................................................................... 23
BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA
ii