referat hipertensi portal dan koma hepatikum pd sirosis hepatis
DESCRIPTION
Referat Hipertensi Portal Dan Koma Hepatikum Pd Sirosis HepatisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke-7 penyebab kematian. Sekitar
25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hati merupakan
penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang perawatan Bagian Penyakit Dalam.
Penyebab terbanyak sirosis hati di Asia Tenggara adalah akibat komplikasi infeksi
(hepatitis) virus hepatitis B dan C, demikian juga di Indonesia. Perawatan di Rumah
Sakit sebagian besar kasus terutama ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit
yang ditimbulkan seperti perdarahan saluran cerna bagian atas, koma hepatikum,
hepatorenal sindrom, dan asites, spontaneous bacterial peritonitis serta hepatosellular
carsinoma.1,8
Gejala klinis dari sirosis hati sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai
dengan gejala yang sangat jelas. Apabila diperhatikan, laporan di negara maju, maka
kasus sirosis hati yang datang berobat ke dokter hanya kira-kira 30% dari seluruh
populasi penyakit in, dan lebih kurang 30% lainnya ditemukan secara kebetulan
ketika berobat untuk penyakit lain, sisanya ditemukan saat atopsi.1
Gambaran klinis pada sirosis hati muncul akibat kegagalan hepatoseluler dan
terjadinya hipertensi portal. Hipertensi portal ini disebabkan oleh karena
meningkatnya resistensi vaskular hati terhadap aliran darah portal dan diperberat oleh
peningkatan aliran darah portal yang timbul akibat dilatasi arteri splanknik.
Komplikasi sirosis dapat terjadi secara fungsional, anatomi ataupun
neoplastik. Kelainan fungsi hepato-selular disebabkan gangguan kemampuan sintesis,
detoksifikasi ataupun kelaian sistemik yang sering melibatkan organ ginjal dan
endokrin. Kelainan anatomis terjadi karena pada sirosis terjadi perubahan bentuk
parenkim hati, sehingga terjadi penurunan perfusi dan menyebabkan terjadinya
hipertensi portal, dengan perubahan alur pembuluh darah balik yang menuju viseral
berupa pirau baik intra maupun ekstra hepatal. Sirosis yang dibiarkan dapat berlanjut
dengan proses degeneratif yang neoplastik dan dapat menjadi karsinoma hepato-
selular. Komplikasi dari sirosis dapat berupa kelainan ginjal berupa sindroma
hepatorenal, nekrosis tubular akut. Juga dapat terjadi ensefalopati porto-sistemik,
perdarahan varises, peritonitis bakterialis spontan.1,8
1
BAB II
SIROSIS HEPATIS
Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata
Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna pada
nodul-nodul yang terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat dikatakan sebagai suatu
keadaan disorganisasi yang difuse dari struktur hati yang normal akibat nodul
regeneratif yang dikelilingi jaringan mengalami fibrosis. Secara lengkap, Sirosis Hati
adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar dan
seluruh sitem arsitektur hati mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi
penambahan jaringan ikat (fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami
regenerasi. 9
II.1 ANATOMI DAN HISTOLOGI HATI
Hepar merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh manusia. Hepar pada
manusia terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah diafragma, di
kedua sisi kuadran atas, yang sebagian besar terdapat pada sebelah kanan.
Beratnya 1200 – 1600 gram. Permukaan atas terletak bersentuhan di bawah
diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas organ-organ abdomen.
Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan intraabdominal dan dibungkus oleh
peritoneum kecuali di daerah posterior-superior yang berdekatan dengan v.cava
inferior dan mengadakan kontak langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak
diliputi oleh peritoneum disebut bare -area. Terdapat refleksi peritoneum dari
dinding abdomen anterior, diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa
ligamen.10
Macam-macam ligamennya:
1. Ligamentum falciformis : Menghubungkan hepar ke dinding ant. abd dan
terletak di antara umbilicus dan diafragma.
2. Ligamentum teres hepatis = round ligament : Merupakan bagian bawah lig.
falciformis ; merupakan sisa-sisa peninggalan v.umbilicalis yg telah menetap.
3. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis : Merupakan
bagian dari omentum minus yg terbentang dari curvatura minor lambung dan
duodenum sblh proximal ke hepar. Di dalam ligamentum ini terdapat Aa.hepatica,
v.porta dan duct.choledocus communis. Ligamen hepatoduodenale turut
membentuk tepi anterior dari Foramen Wislow.
2
4. Ligamentum Coronaria Anterior ki–ka dan Lig. coronaria posterior ki-ka:
Merupakan refleksi peritoneum terbentang dari diafragma ke hepar.
5. Ligamentum triangularis ki-ka : Merupakan fusi dari ligamentum coronaria
anterior dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar.
Secara anatomis, organ hepar tereletak di hipochondrium kanan dan epigastrium, dan
melebar ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh cavum toraks dan bahkan pada
orang normal tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti ada pembesaran hepar).
Permukaan lobus kanan dpt mencapai sela iga 4/ 5 tepat di bawah aerola mammae.
Lig. falciformis membagi hepar secara topografis bukan secara anatomis yaitu lobus
kanan yang besar dan lobus kiri.9,10
II.1.1 Secara Mikroskopis
Hepar dibungkus oleh simpai yg tebal, terdiri dari serabut kolagen dan
jaringan elastis yg disebut Kapsul Glisson. Simpai ini akan masuk ke dalam parenkim
hepar mengikuti pembuluh darah getah bening dan duktus biliaris. Massa dari hepar
seperti spons yg terdiri dari sel-sel yg disusun di dalam lempengan-lempengan/plate
dimana akan masuk ke dalamnya sistem pembuluh kapiler yang disebut sinusoid.
Sinusoid-sinusoid tersebut berbeda dengan kapiler-kapiler di bagian tubuh yang lain,
oleh karena lapisan endotel yang meliputinya terdiri dari sel-sel fagosit yg disebut sel
kupfer. Sel kupfer lebih permeabel yang artinya mudah dilalui oleh sel-sel makro
dibandingkan kapiler-kapiler yang lain. Lempengan sel-sel hepar tersebut tebalnya 1
sel dan punya hubungan erat dengan sinusoid.
Pada pemantauan selanjutnya nampak parenkim tersusun dalam lobuli-lobuli.
Di tengah-tengah lobuli terdapat 1 vena sentralis yang merupakan cabang dari vena-
vena hepatika (vena yang menyalurkan darah keluar dari hepar). Di bagian tepi di
antara lobuli-lobuli terhadap tumpukan jaringan ikat yang disebut traktus portalis/
TRIAD yaitu traktus portalis yang mengandung cabang-cabang v.porta, A.hepatika,
ductus biliaris. Cabang dari vena porta dan A.hepatika akan mengeluarkan isinya
langsung ke dalam sinusoid setelah banyak percabangan. Sistem bilier dimulai dari
canaliculi biliaris yang halus yang terletak di antara sel-sel hepar dan bahkan turut
membentuk dinding sel. Canaliculi akan mengeluarkan isinya ke dalam intralobularis,
dibawa ke dalam empedu yg lebih besar, air keluar dari saluran empedu menuju
kandung empedu.8,9,10
3
II.2 FISIOLOGI HATI
Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber
energi tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 – 25% oksigen darah. Ada
beberapa fungsi hati yaitu :
Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat
Pembentukan, perubahan dan pemecahan KH, lemak dan protein saling berkaitan
satu sama lain. Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari usus halus
menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen lalu ditimbun di
dalam hati kemudian hati akan memecahkan glikogen menjadi glukosa. Proses
pemecahan glikogen menjadi glukosa disebut glikogenelisis. Karena proses-proses
ini, hati merupakan sumber utama glukosa dalam tubuh, selanjutnya hati
mengubah glukosa melalui heksosa monophosphat shunt dan terbentuklah
pentosa. Pembentukan pentosa mempunyai beberapa tujuan : Menghasilkan
energi, biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan membentuk/
biosintesis senyawa 3 karbon (3C) yaitu piruvic acid (asam piruvat diperlukan
dalam siklus krebs).10
4
Fungsi hati sebagai metabolisme lemak
Hati tidak hanya membentuk/mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan
katabolisis asam lemak. Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :
1. Senyawa 4 karbon – KETON BODIES
2. Senyawa 2 karbon – ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam lemak dan
gliserol)
3. Pembentukan cholesterol
4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid
Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi
kholesterol. Dimana serum kolesterol menjadi standar pemeriksaan metabolisme
lipid.10
Fungsi hati sebagai metabolisme protein
Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. Dengan proses
deaminasi, hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino. Dengan
proses transaminasi, hati memproduksi asam amino dari bahan-bahan non
nitrogen. Hati merupakan satu-satunya organ yg membentuk plasma albumin dan
∂ - globulin dan organ utama bagi produksi urea. Urea merupakan end product
metabolisme protein. ∂ - globulin selain dibentuk di dalam hati, juga dibentuk di
limpa dan sumsum tulang β – globulin hanya dibentuk di dalam hati. Albumin
mengandung ± 584 asam amino dengan BM 66.000. 10
Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan
koagulasi darah, misalnya : membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX,
X. Benda asing menusuk kena pembuluh darah – yang beraksi adalah faktor
ekstrinsik, bila ada hubungan dengan katup jantung – yang beraksi adalah faktor
intrinsik. Fibrin harus isomer agar kuat pembekuannya dan ditambah dengan
faktor XIII, sedangakan Vit K dibutuhkan untuk pembentukan protrombin dan
beberapa faktor koagulasi.9,10
Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin
Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K
Fungsi hati sebagai detoksikasi
Hati adalah pusat detoksikasi tubuh, Proses detoksikasi terjadi pada proses
oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam
bahan seperti zat racun, obat over dosis.
5
Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas
Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan
melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi ∂ -
globulin sebagai imun livers mechanism.
Fungsi hemodinamik
Hati menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal ± 1500
cc/ menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica ±
25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke
hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran
ini berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari dan shock. Hepar
merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah.10
II.3 KLASIFIKASI
Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis Hati atas 3 jenis, yaitu :
1. Mikronodular
2. Makronodular
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)
Secara Fungsional Sirosis terbagi atas :
1. Sirosis hati kompensata
Sering disebut dengan Laten Sirosis Hati. Pada stadium kompensata ini belum
terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat
pemeriksaan screening.
2. Sirosis hati Dekompensata
Dikenal dengan Active Sirosis Hati, dan stadium ini biasanya gejala-gejala
sudah jelas, misalnya ; asites, edema dan ikterus.1
6
II.4 ETIOLOGI1,8
1. Virus hepatitis (B,C,dan D)
2. Alkohol
3. Kelainan metabolic :
1. Hemakhomatosis (kelebihan beban besi)
2. Penyakit Wilson (kelebihan beban tembaga)
3. Defisiensi Alpha-antitripsin
4. Glikonosis type-IV
5. Galaktosemia
6. Tirosinemia
4. Kolestasis
Saluran empedu membawa empedu yang dihasilkan oleh hati ke usus, dimana
empedu membantu mencerna lemak. Pada bayi penyebab sirosis terbanyak adalah
akibat tersumbatnya saluran empedu yang disebut Biliary Atresia. Pada penyakit
ini empedu memenuhi hati karena saluran empedu tidak berfungsi atau rusak. Bayi
yang menderita Biliary Atresia berwarna kuning (kulit kuning) setelah berusia satu
bulan. Kadang bisa diatasi dengan pembedahan untuk membentuk saluran baru
agar empedu meninggalkan hati, tetapi transplantasi diindikasikan untuk anak-anak
yang menderita penyakit hati stadium akhir. Pada orang dewasa, saluran empedu
dapat mengalami peradangan, tersumbat, dan terluka akibat Primary Biliary Sirosis
atau Primary Sclerosing Cholangitis. Secondary Biliary Cirrosis dapat terjadi
sebagai komplikasi dari pembedahan saluran empedu.
5. Sumbatan saluran vena hepatica
- Sindroma Budd-Chiari
- Payah jantung
6. Gangguan Imunitas (Hepatitis Lupoid)
7. Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotetrexat, amiodaron,INH, dan lainlain)
8. Operasi pintas usus pada obesitas
9. Kriptogenik
10. Malnutrisi
11. Indian Childhood Cirrhosis
7
II.5 GEJALA KLINIS1
Manifestasi klinis dari Sirosis hati disebabkan oleh satu atau lebih hal-hal yang
tersebut di bawah ini :
1. Kegagalan Parekim hati
2. Hipertensi portal
3. Asites
4. Ensefalophati hepatitis
Keluhan dari sirosis hati dapat berupa :
a. Merasa kemampuan jasmani menurun
b. Nausea, nafsu makan menurun dan diikuti dengan penurunan berat badan
c. Mata berwarna kuning dan buang air kecil berwarna gelap
d. Pembesaran perut dan kaki bengkak
e. Perdarahan saluran cerna bagian atas
f. Pada keadaan lanjut dapat dijumpai pasien tidak sadarkan diri (Hepatic
Enchephalopathy)
g. Perasaan gatal yang hebat
Klasifikasi Sirosis hati menurut criteria Child-pugh
Child A : 5 – 6 (life expectancy 15-20 years)
Child B : 7 – 9 (indication transplant evaluation)
Child C : 10 – 15 (life expectancy 1-3 years)
8
BAB III
HIPERTENSI PORTAL
III.1 DEFINISI
Tekanan portal normal berkisar antara 5-10mmHg. Hipertensi portal timbul
bila terdapat kenaikan tekanan dalam sistem portal yang sifatnya menetap diatas nilai
normal. Disebut hipertensi portal bila tekanan portal lebih dari 20cm air atau
15mmHg.3
III.2 PATOGENESIS
Kelainan anatomis terjadi karena pada sirosis terjadi perubahan bentuk
parenkim hati, sehingga terjadi penurunan perfusi dan menyebabkan terjadinya
hipertensi portal. Hipertensi portal merupakan gabungan hasil peningkatan resistensi
vaskular intra hepatik dan peningkatan aliran darah melalui sistem portal. Resistensi
intra hepatik meningkat melalui 2 cara yaitu secara mekanik dan dinamik.
Secara mekanik resistensi berasal dari fibrosis yang terjadi pada sirosis,
sedangkan secara dinamik berasal dari vasokontriksi vena portal sebagai efek
sekunder dari kontraksi aktif vena portal dan septa myofibroblas, untuk mengaktif-
kan sel stelata dan sel-sel otot polos. Tonus vaskular intra hepatik di atur oleh
vasokonstriktor (norepineprin, angiotensin II, leukotrin dan trombioksan A) dan di
perkuat oleh vasodilator (seperti nitrat oksida). Pada sirosis peningkatan resistensi
vaskular intra hepatik disebabkan juga oleh ketidak seimbangan antara vasokontriktor
dan vasodilator yang merupakan akibat dari keadaan sirkulasi yang hiperdinamik
dengan vasodilatasi arteri splanknik dan arteri sistemik.
Hipertensi portal ditandai dengan peningkatan cardiac output dan penurunan
resistensi vaskular sistemik. Vasodilatasi arteri splanknik mendahului peningkatan
aliran darah portal, yang selanjutnya menjadikan hipertensi portal yang lebih berat.
Vasodilatasi arteri splanknik berasal dari pelepasan vasodilator endogen seperti nitric
oksida, glukagon dan peptide vasointestianal aktif.
Peningkatan gradien tekanan portocava mendahului terjadinya kolateral vena
portal sistemik sebagai usaha untuk dekompresi sistem vena portal. Varises esophagus
adalah kolateral yang paling penting karena tingginya kecendrungan untuk terjadinya
perdarahan. Varises esophagus terjadi ketika gradien tekanan vena portal meningkat
di atas 10 mmHg. 3,4,7
9
Semua faktor yang meningkatkan hipertensi portal bisa meningkatkan resiko
perdarahan termasuk perburukan penyakit hati, intake makanan, kegiatan fisik dan
peningkatan tekanan intra abdominal. Faktor-faktor yang merubah dinding varises
seperti NSAID dapat juga meningkatkan resiko perdarahan.
Perdarahan dari varices-varices biasanya adalah parah/berat dan apabila tanpa
perawatan segera, dapat menjadi fatal. Gejala-gejala dari perdarahan varices-varices
termasuk muntah darah (muntahan dapat berupa darah merah bercampur dengan
gumpalan-gumpalan atau "coffee grounds" dalam penampilannya, yang belakangan
disebabkan oleh efek dari asam pada darah), mengeluarkan tinja/feces yang hitam dan
bersifat ter disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam darah ketika ia melewati
usus (melena), dan kepeningan orthostatic (orthostatic dizziness) atau membuat
pingsan (disebabkan oleh suatu kemerosotan dalam tekanan darah terutama ketika
berdiri dari suatu posisi berbaring).
Perdarahan juga mungkin terjadi dari varices-varices yang terbentuk dimana
saja didalam usus-usus, contohnya; usus besar (kolon), namun ini adalah jarang.
Untuk sebab-sebab yang belum diketahui, pasien-pasien yang diopname karena
perdarahan yang secara aktif dari varices-varices kerongkongan mempunyai suatu
risiko yang tinggi mengembangkan spontaneous bacterial peritonitis.
Infeksi bakteri bisa menyebabkan perdarahan awal dan perdarahan berulang.3,4,7
Gambar. Mekanisme gangguan fungsi liver berkaitan dengan hipertensi portal
10
III.3 ETIOLOGI
Hipertensi portal dapat terjadi karena sebab prehepatik, post hepatik maupun sebab
hepatik. Pada orang dewasa penyebab hipertensi portal dapat dikatakan selalu terkait
dengan sirosis hati, meskipun beberapa penyebab lain dapat menjadi penyebab
meningkatnya tekanan vena portal.3
III.4 DIAGNOSIS
Diagnosis hipertensi portal sering baru dibuat setelah terjadi perdarahan
saluran cerna bagian atas akibat pecahnya varises esofagus. Pemeriksaan endoskopi
merupakan pemeriksaan yang sangat penting untnuk menetapkan ada tidaknya varises
esofagus. Selain itu karena hipertensi portal biasanya disebabkan oleh penyakit hati
yang menahun, maka beberapa cara diagnosis berikut ini dapat dipakai untuk
membantu diagnosis pasien yaitu:
1. Gambaran klinis dan laboratorium
2. Pemeriksaan non-invasif:
a) Foto barium SCBA
b) USG dengan atau tanpa doppler
c) CT-Scan
d) MRI
e) Radionuclide angiography
3. Pemeriksaan invasif:
a) Arterial portography
b) Spleno-porthography
c) Transhepatic venography.
4. Biopsi hati
Pengukuran tekanan portal sendiri dapat dikerjakan dengan cara tak langsung dengan
mengukur gradien tekanan vena hepatika (HVPG = hepatic vein pressure gradient)
yang merupakan perbedaan antara tekanan wedge vena hepatika (WHVP = wedge
hepatic vein pressure) dengan free hepatic vein pressure (FHVP). Ketiga tekanan vena
hepatika ini dapat diukur dengan cara kateterisasi vena hepatica. Pengukuran tekanan
portal juga dapat dikerjakan dengan cara langsung dengan teknik pungsi splein pada
saat mengerjakan pemeriksaan splenophotografi atau melalui pungsi varises esofagus
pada saat endoskopi.3
11
III.5 TATA LAKSANA
Terapi medikamentosa terutama ditujukan terhadap penyebab dari hipertensi
portal. Perdarahan dari varises gastro-esophageal merupakan komplikasi yang paling
dramatik dan mempunyai komplikasi yang cukup besar untuk menyebabkan suatu
kematian. Terapi medikal yang dibahas terutama adalah pada varises gastro-
esophageal yang meliputi terapi emergensi, profilaktik primer, dan terapi elektif.4
III.5.1 Terapi emergensi4,5 :
• Perdarahan yang berasal dari varises oesophagus :
1. Biasanya terjadi spontan pada sekitar 40% penderita. Masing-masing
perdarahan varises dengan episode yang berulang berhubungan dengan
angka mortalitas sebesar 30%. Keadaan ini terjadi pada penyakit hepar
yang berat dan terdapat perdarahan berulang yang segera. Perdarahan
berulang ini terjadi pada 40% dari penderita dalam waktu 6 minggu.
2. Setelah dilakukan resusitasi, terapi dari perdarahan varises akut
termasuk kontrol perdarahan (setelah 24 jam tanpa perdarahan, 48 jam ke
dua segera dilakukan terapi) dan tindakan preventif untuk mencegah
perdarahan berulang.
• Initial resusitasi dengan mengganti volume darah yang hilang.
1. Darah harus sesegera mungkin diganti dengan target hematokrit 25-30%
2. Hindari volume intra vascular untuk mencegah perdarahan berulang.
• Diagnosa sumber perdarahan
• Pencegahan komplikasi (hepatic encephalopathy, aspirasi bronkial,gagal
ginjal, infeksi sistemik )
1. Semua penderita dengan sirosis dan perdarahan saluran cerna atas
mempunyai resiko untuk terjadinya infeksi bakteri yang berat.
2. Sehingga dalam hal ini sesuai dengan rekomendasi Rimola tahun 2000
dapat dilakukan pemberian antibiotic broad spectrum. Antibiotik ini
digunakan sebagai profilaksis.
• Terapi spesifik untuk lesi yang mengalami perdarahan
12
• Terapi farmakologi :
1. Somatostatin adalah suatu hormon endogenous yang menurunkan
aliran darah portal dengan cara vasokontriksi pada pembuluh darah splnik
tanpa adanya suatu efek samping yang cukup signifikan
2. Octreotide : merupakan suatu sintetik analog dari somatostatin.
Diberikan secara konstan melalui infus dengan dosis 50mcg/jam.
Octreotide cukup efektif untuk mengurangi komplikasi dari perdarahan
varises setelah scleroterapi emergensi atau ligasi varises.
3. Vasopressin : merupakan vasokonstriktor splanik yang paling poten
untuk mengurangi aliran darah keseluruh splanik organ. Penggunaan
vasokonstriktor ini terbatas karena efek samping yang disebabkan antara
lain adalah bowel iskemia, myocardial iskemia. Dosis yang diberikan
adalah 0,2-0,4 IU/m melalui infus (pemberian tidak boleh lebih dari
0,8IU/m).
Karena efek samping yang terjadi, maka pemberian vasopressin disertai
dengan pemberian nitroglyserin secara intra vena dengan dosis 40 mcg/m
(tidak boleh melebihi 400mcg/m) untuk mempertahankan tekanan sistolik
lebih dari 90 mmHg.
4. Terlipressin : merupakan suatu sintetik analog vasopressin yang
mempunyai efek yang lebih panjang dengan efek samping yang lebih
rendah dibandingkan vasopressin.
Penelitian akhir-akhir ini secara randomized control trial memperlihatkan bahwa
pemberian octreotide hanya mengurangi tekanan portal sementara saja.
• Terapi endoscopy :
1. Keuntungan yang dicapai untuk control perdarahan adalah 80% dengan
efektifitas sebesar 70% pada 5 hari pertama karena adanya perdarahan
berulang.
2. Kegagalan terapi endoscopy yang pertama dapat diulangi sampai
kedua kali, tetapi bila masih didapatkan kegagalan maka harus segera
dilakukan trans jugular intra hepatic portosistemik shunt, atau dengan terapi
bedah.
3. Endoscopy dengan injeksi sclerosan ke dalam varises akan
menyebabkan obliterasi lumen karena suatu trombosis atau terjadi inflamasi
karena suatu fibrosis.
13
Jenis sclerosan yang tersedia adalah 5% sodium morrhuate, 1-3% sodium
tetradecyl sulphate, dan 5% ethanolamine oleate. Volume injeksi adalah 1-2 cc
dengan total volume sebanyak 10-15cc.
Komplikasi yang terjadi karena injeksi sclerosan adalah demam, strriktur,
disfagia, perforasi, nyeri dada, mediastinitis, ulserasi dan efusi pleura. Hal ini
disebabkan karena toksisitas dari zat tersebut.
4. Ligasi varises dengan menggunakan endoscopy. Tindakan ini
komplikasinya lebih berkurang bila dibandingkan dengan penggunaan
sclerosan. Penggunaan tehnik ini lebih sulit, dan tergantung dengan
pengalaman operator.
5. Intervensi lain adalah dengan tamponade menggunakan balon.
Digunakan pada perdarahan masif dan bersifat sementara. Komplikasi yang
dapat terjadi dari teknik ini adalah terjadi ulserasi pada gaster dan oesophagus,
pneumonia aspirasi sampai perforasi.
III.5.3 Terapi primer profilaksis4,5,7
Dilakukan pada penderita dengan resiko tinggi terjadinya perdarahan. Pada
penderita ini biasanya terdapat varises berukuran yang besar, berwarna kemerahan,
dan disertai dengan gagal hati yang berat. Obat-obatan yang digunakan antara lain :
Beta bloker : termasuk yang digunakan adalah propanolol dan nadolol. Beta
bloker merupakan suatu obat-obatan non kardioselektif dan mengurangi aliran
darah portal dan aliran darah kolateral. Penggunaan obat-obatan ini akan
menyebabkan pengurangan cardiac output. Vasokonstriktor dari splanik dapat
terjadi. Pada suatu penelitian metaanalisis pada penggunaan non selektif beta
bloker memperlihatkan terjadi suatu pencegahan terhadap perdarahan berulang
sebesar 15 % bila dibandingkan dengan kontrol sebesar 25%. Propanolol
diberikan dengan dosis 20 mg tiap 12 jam. Sedangkan nadolol dosisnya diberikan
setengah dosis propanolol dan diberikan sehari satu kali. Propanolol merupakan
kontraindikasi pada penderita dengan astma, COPD, atrioventricular blok,
intermitten claudicatio. Efek samping yang ditimbulkan antara lain nyeri kepala,
fatiq, dyspneu, insomnia, bronchospasm, impotent.
14
Vasodilator : obat yang digunakan antara lain isosorbide mononitrate (ISMN).
ISMN ini terbukati mengurangi HPVG pada kondisi akut tetapi pada pemberian
dengan jangka waktu yang lama, maka kefektifannya akan berkurang. Pemberian
vasodilator juga akan mengurangi tekanan varises oesophageal. Pada penderita
sirosis yang sudah lanjut, pemberian vasodilator dapat mengurangi tekanan arteri
dan akan mengaktivasi vasoaktif system endogenous yang akan menyebabkan
retensi air dan natrium.
Kombinasi terapi : terapi digunakan kombinasi antara vasodilator dan
betabloker. Terapi kombinasi ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut
sehingga tidak direkomendasikan untuk dipakai.
Scleroterapi profilaktik : pada suatu penelitian randomize kontrol trial
memperlihatkan bahwa pada penderita yang dilakukan scleroterapi ternyata
memperlihatkan outcome yang buruk.
Profilaksis ligasi varises melalui endoscopi : tindakan ini memperlihatkan
efektifitas yang lebih baik untuk mencegah terjadinya perdarahan varises.
Tindakan ini mempunyai nilai yang sama dengan penggunaan beta bloker untuk
mencegah terjadinya perdarahan varises tetapi meningkatkan efek samping.
Tindakan ini tidak direkomendasikan menjadi suatu tindakan rutin untuk tindakan
preventif primer, tetapi merupakan salah satu opsi pilihan pada penderita dengan
varises grade 3, atau pada penderita yang tidak dapat menggunakan beta bloker.
Terapi elektif dipakai untuk mencegah terjadinya perdarahan. Perdarahan pada varises
mempunyai rekurensi selama 2 tahun sebesar 80%. Obat-obatan yang dipakai antara
lain :
Non selektif beta bloker
Endoscopy scleroterapi : digunakan dengan interval 1 minggu dengan 4-5 kali
sesi
Ligasi varises dengan endoscopy : penggunaan ligasi ini berhubungan dengan
terjadinya perdarahan berulang dan striktur yang cukup rendah.
Kombinasi penggunaan ligasi dengan terapi secara farmasi yaitu dengan
menggunakan nadolol dan sucralfat memperlihatkan hasil yang cukup efektif
untuk mencegah terjadinya perdarahan berulang bila dibandingkan dengan terapi
ligasi sendiri.
15
Gambar 3. ALGORITMA PERDARAHAN AKUT VARISES ESOFAGUS
16
TATALAKSANA INISIALResusitasi, NGT,
laktulosa/neomisin,H2 antagonis
Ocreotide bolus-rumatan-48 jam
Perdarahan (+)Ligasi/ skleroterapiTamponade balon+/- OctriotideNitrat
Perdarahan (+)OperatifAblasi, Transeksi esophagus,
Perdarahan (-)Ligasi/sklerote
Tatalaksana rumatan ß blocker dan nitrat Spironolakton +/- parasentesis Restriksi air, garam
BAB IV
KOMA HEPATIKUM
IV.1. DEFINISI
Koma hepatikum dapat timbul akibat gagal hati yang fluminan (fluminant
hepatic failure), misalnya pada infeksi hepatitis virus, hepatitis toksik karena obat-
obatan dan perlemakan hati akut pada kehamilan. Pada penyakit hati menahun (sirosis
hepatis) kerusakan sel-sel bukan merupakan faktor satu-satunya, tetapi timbulnya
sirkulasi kolateral baik intra maupun ekstra hepatic (portal-systemic encephalopathy),
dan berbagai faktor pencetus merupakan pula faktor-faktor yang penting untuk
terjadinya koma hepatic (koma eksogen).2
IV.2 PATOGENSIS1,2
Koma hepatic adalah suatu sindrom neuropsikiatrik yang ditandai dengan
adanya perubahan kesadaran, penurunan intelektual dan kelainan neurologis yang
menyertai kelainan-kelainan parenkim hati. Walaupun patogenesis koma hepatikum
belum diketahui secara menyeluruh namun berdasarkan hasil-hasil penelitian pada
binatang percobaan maupun pada pasien-pasien sendiri, diajukan beberapa konsep
patogenesis sebagai berikut:
1. Koma hepatikum merupakan gangguan proses metabolic dan neurofisiologik,
sering tanpa disertai lesi structural otak, sehingga berpotensi untuk menjadi
normal kembali dengan sempurna, tanpa ditemukan gejala-gejala sisa
neurologic atau kelainan structural. Pada koma hepatikum tidak diketahui
secara pasti daerah mana di otak yang terpengaruh. Diduga sistema aktivasi
reticular pada batang otak (yang memelihara fungsi normal kesadaran dan
perubahan korteks) merupakan daerah yang terkena.
2. Koma hepatikum merupakan kelaianan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Dapat disebabkan oleh interaksi secara sinergis bebrapa faktor pada otak
seperti kelebihan ammonia ; asam lemak berantai pendek maupun panjang,
merkapten, gangguan keseimbangan asam amino dan neurotransmitter atau
mungkin oleh karena kekurangan faktor-faktor vital yang melindungi otak.
17
Pada koma portosistemik bermacam-macam zat perusak dan gangguan
fisiologik seperti azotemia, infeksi dan alkalosis hipokalemik dapat berkerja
sama dengan toksin-toksin yang diduga sebagai pencetus koma hepatikum.
Disamping itu pada koma portosistemik sensitivitas otak dapat meningkat
terhadap berbagai bahan toksin antara lain seperti infeksi dan obat-obat
sedatif, karena metabolisme obat menurun akibat kerusakan sel-sel hati, terjadi
penimbunan obat dan selanjutnya dapat meningkatkan influx obat kedalam
otak dengan plasma protein, serta peningkatan sensitivitas reseptor otak
terhadap obat yang secara keselurhan menyebabkan kepekaan timbulnya koma
hepatikum.
3. Walaupun kelainan dasar molecular yang tepat pada koma hepatikum belum
diketahui dengan pasti, namun mekanisme-mekanisme yang diduga mendasari
terjadinya koma hepatikum adalah perubahan energi metabolisme otak,
gangguan/kekacauan fungsi membran-membran neuron, perubahan transmisi
sinaptik sebagai akibat gangguan keseimbangan neurotransmitter otak atau
kombinasi beberapa mekanisme tersebut diatas. Ketidakseimbangan antara
asam amino neurotransmitter yang merangsang dan menghambat fungsi otak
merupakan faktor yang berperan dan kelihatannya merupakan pejelasan yang
terbaik saat ini yang dapat menerangkan mekanisme terjadinya koma
hepatikum. Ketidakseimbangan ini terdiri dari menurunnya neurotransmitter
yang mempunyai efek merangsang seperti glutamate, aspartat dan dopamine
sebagai akibat menigkatnya ammonia dan peningkatan kerja gamma
aminobutirat (GABA) yang mempunyai efek menghambat transmisi impuls.
Efek GABA yang meningkat bukan oleh karena influknya kedalam otak yang
meningkat namun oleh karena perubahan reseptor GABA di otak yang
disebabkan oleh suatu substansi mirip Benzodiazepine. Reseptor ini
merupakan suatu bagian dari kompleks supramolekular yang meningkatkan
sensitivitas otak terhadap obat seperti benzodiazepine dan barbiturate pada
pasien penyakit hati menahun.
18
Patogenesis yang dikemukakan di atas merupakan suatu konsep uniform, namun
antara koma portosistemik dan koma pada kegagalan hati fluminan, terdapat
perbedaan-perbedaan patogenesis yaitu pada koma portosistemik terdapat beberapa
faktor yang diduga berkerjasama seperti:2
• Sensitivitas yang berlebihan pada perubahan fisiologis pasien sirosis hepatis,
misalnya stupor dapat tercetus oleh adanya infeksi atau pemberian obat
sedatif sedangkan pada pasien tanpa penyakit hati hal ini tidak terjadi.
• Toksin serebral tertimbun secara perlahan dan bila disertai faktor pencetus
dapat terjadi koma hepatikum.
• Akibat kerusakan sel-sel parenkim hati bahan-bahan pelindung yang dibuat
dihati dan dilepas secara normal seperti albumin dan glukosa akan menurun
atau berkurang. Pada koma hepatic fluminan, karena proses begitu fluminan
maka faktor utama yang berperan adalah influx bahan toksis secara tiba-tiba
kedalam otak, menghilangnya bahan pelindung, perubahan sawar darah otak
dan edema serebri.
Toksin Mekanisme kerja1. Ammonia
2. Merkaptan
3. Asam-asam lemak
• Berpengaruh langsung terhadap fungsi membrane sel neuron, menurunkan spike potensial dan mengubah permeabilitas membrane untuk air dan elektrolit.
• Perubahan rasio NADH/NAD sitoplasma/mitokondria dan reaksiulang alik malat-aspartat.
• Menurunkan kadar neuro transmitter yang merangsang (glutamate-aspartat)
• Mengganggu metabolisme energy otak dengan mengikat ATP dan meningkatkan laju produksi asam laktat.
• Mengacaukan kegiatan membrane sel-sel neuron dengan mempengaruhi kegiatan Na+K+ATPase
• Merusak detoksikasi ammonia.
• Merusak detoksikasi ammonia melalui hambatan sintesis urea dan pembetuka glutamate
• Pengaruh-pengaruh langsung terhadap membrane neuron dengan menggangu influx ion-ion dan penyebaran impuls.
19
4. Berbagai macam asam amino
5. Substansi-substansi lain
• Mengacaukan keseimbangan neurotransmitter diotak yang mempunyai efek merangsang dan efek menghambat transmisi rangsangan.
• Sumber pembentukan ammonia dan merkaptan.
• Mempengaruhi reseptor GABA sehingga meningkatkan sensitivitas serebral pada penderita.
IV.3 GEJALA KLINIS
Koma hepatikum merupakan suatu sindrom neuropsikiatrik yang dapat
ditemukan pada pasien dengan kegagalan fungsi hati yang akut maupun yang kronik.
Gambaran klinis umum semua bentuk koma hepatikum adalah ditemukannya
perubahan-perubahan atau kelaianan mental, kelainan neurologis , adanya penyakit
parenkim hati dan beberapa kelainan laboratorium yang khas tetapi tidak spesifik.2
Pada penyakit hati kronik dengan koma portosistemik perjalanannya tidak
progresif sehingga gejala-gejala neuropsikiatrik timbul dengan perlahan dan biasanya
dicetuskan oleh berbagai macam faktor pencetus.2
Gambaran gannguan mental umumnya sama pada semua bentuk koma
hepatikum, hanya tergantung dari berat ringannya koma. Gangguan mental mungkin
hanya berupa perubahan dalam pengambilan keputusan , atau proses berfikir lainnya,
perubahan kepribadian dan kelakukan yang tidak spesifik.
Kemampuan motorik (misalnya menyetir) secara khusus mungkin terganggu
dan dapat dideteksi dengan uji psikomotor. Penilaian keadaan intelektual dapat
dikerjakan dengan menyuruh pasien membuat gambar seperti bintang sudut lima
(secara grafis) atau menghubungkan beberapa angka secara berurutan selama jangka
waktu tertentu. Pada koma portositemik yang lebih berat terjadi perubahan cara tidur
yang progresif. Pasien mengantuk, apatis dan selanjutnya akan terjadi koma yang
dalam.1,2,7
20
Fetor hepatic (bau nafas seperti bau buah-buahan atau bau hati yang busuk)
dapat ditemukan pada 50% pasien koma portosistemik. Bau ini mungkin disebabkan
oleh merkaptan atau derivatnya berupa mataniol dan etaniol yaitu produk metionin
yang dipecahkan oleh bakteri dalam usus dan tidak dapat dimetabolisme oleh hati
yang rusak atau lewat pintasan portosistemik, sehingga banyak dilepaskan dalam
nafas.2
Tanda neurologis yang paling khas pada koma portosistemik adalah flapping
tremor yaitu suatu gerakan yang tidak disengaja oleh perubahan aktivitas
neuromuskuler yang disebut asteriksis. Gerakan ini dapat dilihat dengan jelas dengan
mengulurkan lengan, pergelangan tangan hiperekstensi dan jari-jari tangan dipisahkan
satu dengan yang lain akan terjadi gerakan fleksi ekstensi jari tangan. Asteriksis
biasanya terjadi bilateral tetapi tidak singkron dan biasanya didahului dengan tremor
lateral jari-jari tangan.
Tanda-tanda neurologis lain pada koma hepatikum klasik juga disebabkan
oleh gangguan metabolic, bukan gangguan struktural otak. Perubahan hanya bersifat
sementara dan berpotensi kembali normal. Pada tingkat awal koma, pasien dapat
memperlihatkan tanda-tanda hiperefleksi, respon plantar ekstensor yang bervariasi,
kekakuan, dan pada koma yang berlangsung lebih lama lagi biasanya reflek tendon
yang dalam tertekan atau menghilang.2
Tabel tingkat derajat koma hepatik
Tingkat Gejala Tanda-tanda EEGProdromal
Koma yang mengancam
Koma yang ringan
Koma yang dalam
Afektif hilang, euphoria, depresi, apatis, kelakuan yang tidak wajar, perubahan kebiasaan tidur
Pasien kebingungan, disorientasi, mengantuk.
Kebingungan, mengantuk namun masih bisa dibangunkan, rekasi terhadap rangsang (+).
Tidak sadar, hilang reaksi pada rangsang, refleks menurun.
Asteriksis, kesulitan bicara, kesulitan menulis.
Asteriksis, fetor hepatic.
Asteriksis, fetor hepatic, lengan kaku, hiperfleksia, klonus, reflex menggenggam dan menghisap.
Fetor hepatic, tonus otot menghilang
(±)
(++)
(+++)
(++++)
21
IV.4 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING1,2,7
Sesuai dengan gambaran klinis, diagnosis KH dapat ditegakkan atas dasar:
1. Kelainan neuropsikiatrik berupa perubahan tingkat kesadaran dan intelektual
dalam berbagai tingkat, adanya flapping tremor dan kelainan EEG setalah
menyingkirkan kemungkinan penyebab lain.
2. Adanya tanda-tanda atau kelaianan gagal hati fluminan maupun gagal hati
kronis.
3. Gejala-gejala yang berhubungan dengan faktor-faktor pencetus misalnya
adanya pendarahan saluran cerna
4. Ammonia yang meningkat khususnya dalam darah arterial dan dalam
pemeriksaan laboratorium lainnya.
Diagnosa banding koma hepatikum:
1. Koma oleh sebab gangguan metabolisme lainnya seperti uremia, koma
hiper/hipoglikemi.
2. Koma akibat intoksikasi obat-obatan dan intoksikasi alcohol.
3. Trauma kepala berat seperti comutio serebri, kontusio serebri, perdarahan
subdural dan epidural.
4. Tumor otak.
5. Epilepsi.
IV.5 PENATALAKSANAAN DAN PENCEGAHAN
Penatalaksanaan dan pencegahan koma hepatikum meliputi upaya-upaya:2
1. Mengobati penyakit dasar jika memungkinakan.
2. Mengidentifikasi dan menghilangkan fakto-faktor yang merupakan pencetus.
3. Mencegah/mengurangi pembentukan atau influx toksin-toksin nitrogen ke
dalam otak dengan jalan:
3.1 mengubah, menurunkan atau menghentikan makanan-makanan yang
mengandung protein.
3.2 Menggunakan laktulosa, antibiotic atau keduanya.
3.3 Membersihkan saluran cerna bagian bawah.
4. Upaya suportif dengan menjaga kecukupan masukan kalori dan mengobati
komplikasi kegagalan hati seperti hipoglikemi, perdarahan saluran cerna,
aturan keseimbangan elektrolit.
22
Mengurangi atau menghentikan pemberian protein, atau menghindari sumber
bahan-bahan toksik nitrogen, tergantung dari tingkat kelainan mental pasien. Perlu
dipahami bahwa pada penyakit hati kronis pasien tetap membutuhkan protein
untuk regenerasi sel-sel hati. Oleh karena itu bila masukan protein dihentikan
hendaknya dalam waktu yang singkat saja. Apabila tingkat kesadaran sudah baik
maka protein secara bertahap kembali dinaikkan dan disesuaikan dengan respon
klinis, bila keadaan sudah cukup stabil, 40-60gram protein/hari dianggap cukup.
Kualitas atau jenis protein yang diberikan juga penting, protein nabati
lebih baik dibandingkan dengan protein hewani, hal ini mungkin disebabkan oleh
tingginya jumlah serat dalam protein nabati yang akan meningkatkan pengikatan
dan selanjutnya pengeluaran nitrogen toksik oleh bakteri feses sehingga kadar
ammonia akan menurun. Disamping itu protein nabati mempunyai efek laksansia.2
Standar terapi lain pada komaportosistemik termasuk pula penggunaan
laktulosa, antibiotic atau keduanya. Laktulosa merupakan galaktosida fruktosa
sintetik, diberikan secara oral dengan dosis 60-120 cc/hari untuk merangsang
defekasi 2-3kali/hari. Laktulosa tidak diabsorpsi dan mempunyai efek:
1. Dipecah oleh bakteri usus menjadi asam organic yang menurunkan pH
sehingga menurunkan absorpsi ammonia yang tidak terionisasi dan
memberikan peluang bertambahnya bakteri yang lebih lambat memproduksi
ammonia.
2. Berperan sebagai substrat bagi bakteri yang menggunakan ammonia
3. Mendorong pengikatan nitrogen oleh bakteri feses
4. Merangsang percepatan pengeluaran toksin nitrogen dari usus.2
Antibiotik yang paling sering digunakan adalah Neomisin dengan dosis 2-4
gram/hari secara oral atau dengan enema dalam larutan 1%. Pemberian oral lebih baik
kecuali jika terdapat tanda-tanda ileus. Dengan ini maka bakteri yang memproduksi
toksin nitrogen menjadi inaktif.
Metronidazol 4x250mg/hari merupakan alternatif lain dan juga sangat
bermanfaat. Namun waspada akan efek samping berupa neuropati perifer dan
kelainan susunan syaraf pusat termasuk kejang bila digunakan dalam jangka waktu
yang lama.
23
Upaya lain adalah dengan membersihkan saluran cerna bagian bawah terutama
jika terjadi perdarahan (hematemesis/melena) agar bekuan darah yang merupakan
toksis nitrogen dapat dikeluarkan dengan segera.
Pemecahan protein endogen hendaknya sedini mungkin dicegah agar ammonia
tidak meningkat dengan memelihara masukan dalam bentuk larutan glukosa 10-20%
intrvena paling kuran 1600kal/hari.
Gangguan elektrolit khususnya alkalosis hipokalemik memerlukan terapi yang
cermat oleh karena alkalosis metabolic yang resisten akan menyebabkan
meningkatnya pembentukan ammonia yang tidak terionisasi. Influksnya ke dalam
otak yang suasananya asam juga meningkat. Pengobatan dilakukan dengan
memberikan arginin hidroklorida atau larutan NaCl encer.1,2,7
IV.6 PROGNOSIS2
Pada koma portosistemik hepatic dengan pengobatan standar seperti tersebut
diatas, 80% pasien akan sadar kembali. Prognosis buruk bila ada tanda-tanda klinis
berat misalnya adanya ikterus, asites, kadar albumin yang rendah. Untuk koma
hepatic pada gagal hati fulminan kemungkinan hanya 20% pasien dapat sadar dan
hidup setelah dirawat pada pusat-pusat medis. Beberap indicator digunakan untuk
meramal prognosis pada gagal hati fulminan seperti Hepatocyte Volume Fraction
(HVF) dengan melakukan biopsy hati dan bila nilainya kurang dari 35% berarti tidak
ada perbaikan, sedangkan nilai HVF lebih besar dari 35% mungkin pasien akan sadar
dan hidup dengan komplikasi atau meninggal. Pengujian lain seperti pemeriksaan
faktor VII dan alfafetoprotein dapat dilakukan. AFP memberikan gambaran kapasitas
regenerasi sel-sel hati.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Nurdjanah S (2006) Sirosis Hati, dalam buku aja ilmu penuakit dalam, jilid I Edisi IV, pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FKUI, Jakarta
2. Jubir N (2006) Koma Hepatik, dalam buku aja ilmu penuakit dalam, jilid I Edisi IV, pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FKUI, Jakarta.
3. Kusumobroto H (1996) Hipertensi Portal, dalam buku aja r ilmu penyakit dalam, jilid I Edisi III, pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FKUI, Jakarta.
4. Herrin SK. Advances in the Treatment of Complications of Cirrhosis and Portal Hypertension-Variceal Bleeding. www.medscape.com
5. Siellaff T.D., Curley S.A. (2005) Liver. dalam : Schwartz’s Principle of surgery. 8th edition. McGraw-Hill.
6. Shahara AI dan Rockey DC. Gastroesophageal variceal hemorrhage. Review article. NEJM 2001; 345, 9; 669-70.
7. Jutabha R., Jensen DM., (2002) Acute Upper Gastrointestinal bleeding dalam Current Diagnosis & Treatment in Gastroenterology McGraw-Hill/Appleton & Lange.
8. Friedman LS., (2004) Liver, Biliary Tract, & Pancreas dalam Current Medical Diagnosis & Treatment 2004, McGraw-Hill/Appleton & Lange.
9. Wilson LM., Lester LB., (1994) Hati, saluran empedu, dan pankreas. Wijaya C, editors.\Patofisiologi dalam buku 1. Edisi empat. Jakarta : Penerbit buku kedokteran ECG;.
10. Guyton & Hall Textbook Of Medical Physiology 11th Edition, saunders.
25