referat kandidiasis vulvovaginal by ika putri yusmarita
DESCRIPTION
kandidiasisTRANSCRIPT
KANDIDIASIS VULVOVAGINAL
Ika Putri Yusmarita, S.Ked
Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
PENDAHULUAN
Kandidiasis (atau kandidosis, monoliasis, trush) merupakan berbagai
macam penyakit infeksi yang disebabkan oleh Candida albicans dan anggota
genus kandida lainnya. Organisme ini dapat menginfeksi kulit, kuku, membran
mukosa dan traktus gastrointestinal, dan bahkan dapat menyebabkan penyakit
sistemik.1 Manifestasi klinis antara lain kandidiasis oral, kandidiasis
intertriginosa, kandidiasis vulvovaginalis, paronikia, onikomikosis, glossitis, dan
angular stomatitis.1,2 Sekitar 3-4 dari semua wanita akan mengalami episode
kandidiasis vulvovaginal (KVV) seumur hidupnya. Candida albicans merupakan
penyebab 80-90% KVV, dan Candida glabrata merupakan spesies yang paling
sering terlibat selanjutnya.1 Faktor resiko KVV meliputi diabetes melitus (DM),
penggunaan steroid, alat kontrasepsi, memakai celana ketat dan baju sintetik,
peningkatan estrogen, penggunaan antibiotik dan imunosupresi.1,3,8 Pada
umumnya, pasien KVV akan menemukan cairan vagina yang kental dihubungkan
dengan rasa terbakar, rasa gatal dan kadang disuria.1,3,5, Pemeriksaan penunjang
untuk KVV antara lain miroskopik langsung, pewarnaan Gram, pemeriksaan
sediaan basah, pemeriksaan pH, biakan, pemeriksaan histopatologi dan tes
fermentasi.11
Tujuan dari referat ini adalah untuk memahami definisi, penyebab,
gambaran klinis dari kandidiasis vulvovaginalis sehingga dapat memudahkan
dalam mendiagnosis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, memahami
pemeriksaan penunjang yang diperlukan, dan mengetahui pengobatan yang dapat
diberikan untuk mengobati penyakit ini.1
PEMBAHASAN
Definisi
Kandidiasis (atau kandidosis, monoliasis, trush) merupakan berbagai
macam penyakit infeksi yang disebabkan oleh Candida albicans dan anggota
genus kandida lainnya.1
Epidemiologi Kandidiasis Vulvovaginalis
Informasi mengenai insiden KVV tidak lengkap, sejak KVV tidak
dilaporkan. Pengumpulan data pada KVV terhambat oleh ketidaktelitian diagnosis
dan menggunakan studi populasi yang bersifat tidak mewakili. Banyak studi
menyatakan 5-15% prevalensi KVV, tergantung pada studi populasi. Sekitar 3-4
dari semua wanita akan mengalami episode KVV seumur hidupnya. KVV
mempengaruhi banyak wanita paling sedikit satu kali selama hidupnya, paling
sering pada usia mampu melahirkan, diperkirakan 70-75%, 3-5 dari 40-50% akan
mengalami kekambuhan. Subpopulasi kecil yang mungkin kurang dari 5% semua
wanita dewasa mengalami episode KVV berulang diartikan sebagai ≥4 episode
per tahun. Setiap wanita dengan gejala vulvovaginitis, 29,8% telah diambil isolasi
ragi, yang memperkuat diagnosis KVV. Banyak studi mengindikasikan KVV
merupakan diagnosis paling banyak diantara wanita muda, mempengaruhi
sebanyak 15-30% wanita yang bersifat simptomatik yang mengunjungi dokter.
Pada Amerika serikat, KVV merupakan penyebab infeksi vagina tersering kedua
setelah vaginosis bakteri.3
Sumber Infeksi
Tiga sumber infeksi yang menyebabkan terjadinya KVV, meliputi reservoir,
penularan seksual dan kekambuhan.1,3
a. Reservoir
Meskipun saluran gastrointestinal menjadi sumber kolonisasi awal
kandida pada vagina, kontroversi terus berlanjut mengenai peran usus
sebagai sumber reinfeksi pada wanita dengan KVV berulang. Beberapa
penulis, telah menemukan kesesuaian yang jauh lebih rendah diantara
2
kultur dubur dan vagina pada pasien dengan KVV berulang. Tingginya
angka kultur anorektal dalam beberapa studi mungkin menyatakan adanya
kontaminasi perineum dan perianal dari keputihan. Selain itu, KVV sering
berulang pada wanita tanpa adanya kultur dubur yang positif. 1,3
b. Penularan seksual
Kolonisasi kandida pada genital laki-laki yang bersifat
asimptomatik adalah empat kali lebih sering terjadi pada laki-laki dimana
pasangan seksualnya merupakan wanita yang terinfeksi. Sekitar 20%
kandida pada penis berasal dari wanita dengan KVV berulang. Kandida
paling sering ditemukan pada laki-laki yang disunat, biasanya
asimptomatik. Patner yang terinfeksi biasanya membawa keturunan yang
identik, namun kontribusi penularan seksual hingga patogenesis infeksi
masih belum diketahui. 1,3
c. Kekambuhan
Sejumlah kecil dari mikroorganisme bertahan dalam lumen
vagina, umumnya dalam jumlah yang terlalu kecil yang dideteksi oleh
kultur vagina yang konvensional. Hal ini juga dibayangkan bahwa jumlah
kecil kandida mungkin tinggal sementara di dalam serviks superfisial atau
sel epitel vagina yang hanya muncul kembali beberapa minggu atau bulan
kemudian.1,3
Etiologi dan Patogenesis Kandidiasis Vulvovaginalis
Candida albicans merupakan penyebab 80-90% KVV, dan Candida
glabrata merupakan spesies yang paling sering terlibat selanjutnya.1 Pada biakan
jaringan, kandida tumbuh sebagai sel ragi bertunas dan oval yang berukuran 3-6
µm. Kandida membentuk pseudohifa ketika tunas-tunas terus tumbuh tetapi gagal
melepaskan diri sehingga menghasilkan rantai sel yang memanjang yang terjepit
atau tertarik pada septa di antara sel. Candida albicans bersifat dismorfik (ada
juga yang menyebutnya polimorfik); selain ragi dan pseudohifa, Candida albicans
juga bisa menghasilkan hifa sejati. Dalam media agar atau dalam 24 jam pada
suhu 37ºC atau pada suhu ruangan, spesies kandida menghasilkan koloni halus,
3
berwarna krem dengan aroma ragi. Pseudohifa jelas terlihat sebagai pertumbuhan
yang terbenam di bawah permukaan agar.2,5 Pembentukan pseudohifa terjadi
karena pembelahan sel yang terpolarisasi ketika sel jamur tumbuh dengan tunas
yang memanjang tanpa melepaskan diri dari sel yang berdekatan, sehingga sel-sel
tersebut bergabung menjadi satu. Klamidiospora dibentuk pada pseudomiselium
dimana bentuknya bulat dan terdapat spora refraktil dengan dinding sel yang
tebal. Perubahan dari komensal ke patogen dipengaruhi oleh perubahan kondisi
lingkungan dan penyebaran pada tubuh pejamu. Jika terdapat pertumbuhan yang
invasif dari pseudohifa multiseluler menyebabkan infeksi jamur kandidiasis.5
Gambar 1. Berbagai bentuk morfologi Candida albicans3
Candida albicans merupakan organisme normal dari saluran cerna tetapi
dapat menimbulkan infeksi oportunistik.6,7 Terdapat dua faktor virulensi jamur
kandida yaitu dinding sel dan sifat dismorfik kandida. Dinding sel berperan
penting dalam virulensi karena merupakan bagian yang berinteraksi langsung
dengan sel pejamu. Dinding sel kandida mengandung 80-90% karbohidrat, yang
terdiri dari b-glukan, khitin, mannoprotein, 6-25% protein dan 1-7% lemak. Salah
satu komponen dinding sel yaitu mannoprotein mempunyai sifat imunosupresif
sehingga mempertinggi pertahanan jamur terhadap imunitas pejamu. Kandida
tidak hanya menempel, namun juga penetrasi ke dalam mukosa. Enzim proteinase
aspartil membantu kandida pada tahap awal invasi jaringan untuk menembus
lapisan mukokutan yang berkeratin. Faktor virulensi lain berupa sifat dismorfik
kandida yaitu kemampuan kandida berubah bentuk menjadi pseudohifa. Bentuk
utama kandida adalah bentuk ragi (spora) dan bentuk pseudohifa (hifa, miselium, 4
filamen). Dalam keadaan patogen bentuk hifa mempunyai virulensi lebih tinggi
dibandingkan bentuk spora karena ukurannya lebih besar dan lebih sulit
difagositosis oleh sel makrofag. Selain itu, terdapat titik-titik blastokonidia
multipel pada satu filamen sehingga jumlah elemen infeksius yang ada lebih
besar. Perubahan dari komensal menjadi patogen merupakan adaptasi terhadap
perubahan lingkungan sekitarnya. Pertumbuhan dan perubahan bentuk dari ragi
menjadi hifa yang lebih invasif juga dipengaruhi imunitas seluler. IFN-γ memblok
transisi bentuk sel ragi menjadi bentuk pseudohifa.2,5
Kandida adalah sel jamur yang bersifat parasit dan menginvasi sel pejamu
dengan cara imunomodulasi dan adhesi. Imunomodulasi adalah kemampuan
potensial sel kandida dalam memodulasi sistem imunologi pejamu berupa
rangsangan untuk meningkatkan atau menurunkan reaksi imun pejamu. Zat seperti
khitin, glukan, dan mannoprotein adalah kandungan yang terdapat dalam dinding
sel yang berperan dalam proses imunomodulasi. Respon imunomodulasi
menyebabkan diproduksinya sejumlah protein yang disebut sebagai heat shock
protein (hsp) yang berperan dalam proses perangsangan respon imun dan proses
pertumbuhan kandida. Adhesi merupakan langkah awal untuk terjadinya
kolonisasi. Dengan adhesi, kandida melekat pada sel pejamu melalui interaksi
hidrofobik. Hal ini menurunkan kadar pembersihan jamur dari tubuh melalui
regulasi imun normal. Ketika Candida albicans penetrasi ke permukaan mukosa
pejamu terjadi perubahan bentuk jamur dari spora ke pseudohifa sehingga
membantu jamur menginvasi jaringan perjamu melalui pelepasan beberapa enzim
degradatif seperti berbagai proteinase, proteinase aspartil dan fosfolipase. 2,5
Faktor Resiko Kandidiasis Vulvovaginalis
Faktor resiko KVV meliputi DM, penggunaan steroid, alat kontrasepsi,
memakai celana ketat dan baju sintetik, peningkatan estrogen, penggunaan
antibiotik dan imunosupresi.1,3,8
Setiap faktor host yang mempengaruhi lingkungan vagina atau cairan
vagina memiliki peran dalam KVV. Kehamilan adalah salah satu faktor
predisposisi yang paling umum. Penelitian telah menunjukkan bahwa hingga
5
sepertiga dari wanita hamil di seluruh dunia pada hari apapun dapat terpengaruh.
Tingginya hormon reproduksi dan peningkatan kandungan glikogen dalam
lingkungan vagina menghasilkan lingkungan yang menguntungkan bagi spesies
kandida. Pada kombinasi, 2 perubahan ini menyediakan sumber karbon yang
berlimpah untuk pertumbuhan, germinasi, dan adheren kandida. Selain itu,
keasaman flora vagina ibu hamil dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme
lain yang secara alami menghambat kandida. Meskipun awalnya organisme lebih
mudah terjadi pada pH tinggi (6-7), pembentukan tuba kuman dan perkembangan
miselia menyukai pH vagina yang rendah (<5). 1,3
Kolonisasi kandida pada vagina lebih sering pada wanita yang mengalami
diabetes. Wanita dengan DM tipe 2 lebih cenderung akibat kolonisasi C. glabrata.
Pada pasien DM, terjadi peningkatan kerentanan terhadap infeksi termasuk infeksi
jamur kandida. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan adanya gangguan
imunitas. Selain itu, terjadi penurunan kemampuan leukosit dalam memfagositosit
kuman. Hiperglikemia menyebabkan terjadi hiperosmolaritas plasma sehingga
kemampuan migrasi berkurang dan respon leukosit menurun. Defek fagositosis
juga diakibatkan oleh berkurangnya difusi nutrien ke sel-sel inflamasi
ekstravaskular, dan defek pada interleukin dependen insulin akibat berkurangnya
insulin. Selain itu, kondisi metabolik berupa kadar gula darah yang meningkat
dapat mempermudah pertumbuhan jamur patogen.11 Semua faktor tersebut
menyebabkan pasien DM lebih rentan terhadap kandidiasis. 1,3
Beberapa studi menunjukkan bahwa meningkatnya kolonisasi spesies
kandida akibat penggunaan kontrasepsi oral yang mengandung estrogen yang
tinggi. Studi pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral yang mengandung
estrogen yang rendah tidak ditemukan meningkat pada KVV. Namun, banyak
investigasi lebih lanjut melibatkan kontrasepsi oral sebagai predisposisi KVV
berulang. Antibiotik bertindak dengan cara mengeliminasi flora bakteri pada
vagina yang bersifat protektif sehingga membiarkan pertumbuhan kandida
berlebihan di traktus gastrointestinal, vagina atau keduanya. Vagina terutama
Lactobacillus spp, flora yang menyebabkan resistensi kolonisasi dan mencegah
germinasi, mempertahankan jumlah ragi yang sedikit, dan mencegah invasi
6
mukosa superficial. Auger dan Joly menemukan jumlah Lactobacillus spp pada
kultur vagina diperoleh dari wanita dengan KVV simptomatik. 1,3
Insiden KVV meningkat secara dramatis pada dekade kedua, sesuai
dengan onset aktivitas seksual. Puncaknya pada dekade ketiga dan keempat,
menurun pada wanita yang lebih tua dari 40 tahun, sampai efek permisif dari
terapi penggantian hormon menjadi jelas. Beberapa studi telah menunjukkan
bahwa penularan kandida terjadi selama bersetubuh, meskipun peran praktik non-
seksual dalam memperkenalkan kandida ke saluran genital belum dinilai. Ada
bukti yang bertentangan seperti peran perilaku seksual dalam menyebabkan
KVV bersifat simptomatik. Beberapa penulis menyatakan bahwa frekuensi
hubungan seksual baru-baru ini dihubungkan dengan vaginitis akut, dan lain-lain
telah teridentifikasi seksual orogenital yang bersifat reseptif. Meskipun bukti yang
bersifat anekdot, Foxman menemukan tidak adanya bukti epidemiologi yang
memberatkan kebiasaan kebersihan wanita sebagai faktor risiko KVV.
Penggunaan pakaian berventilasi dan pakaian katun mungkin bernilai dalam
mencegah infeksi. Di sisi lain, Foxman menemukan tidak adanya peningkatan
risiko KVV diantara pemakai pakaian ketat atau pakaian bukan katun. Tidak ada
bukti yang menyatakan bahwa kekurangan zat besi merupakan predisposisi
infeksi. Kontak bahan kimia, alergi lokal, atau reaksi hipersensitivitas
dapat mengubah lingkungan vagina dan memungkinkan transformasi
dari kolonisasi yang bersifat asimptomatik menjadi vaginitis yang bersifat
simptomatik. 1,3
Gambaran Klinis Kandidiasis Vulvovaginalis
Candida albicans merupakan penghuni yang lazim pada traktus vagina.
Pertumbuhan yang berlebihan dapat menyebabkan rasa gatal yang berat, rasa
terbakar, dan keputihan.1,3,5 Pruritus akut dan keputihan adalah keluhan yang
biasanya ada, tetapi bukan gejala khusus untuk KVV. Keputihan tidak selalu ada
dan sering sedikit. Meskipun digambarkan seperti keju lembut, keputihan dapat
bervariasi dari berair sampai tebal secara homogen.5 Nyeri pada vaginal, iritasi,
rasa terbakar, dispareunia, dan disuria eksternal biasanya ada. Bau, jika ada,
7
sedikit dan tidak mengganggu. Pada pemeriksaan menunjukkan plak keputih-
putihan pada dinding vagina dengan dasar eritema dan dikelilingi edema yang
dapat menyebar ke labia dan perineum.1 Labia menjadi eritematosa, basah dan
maserasi, dan hiperemis, bengkak dan erosi pada serviks, vesikel kecil pada
permukaannya. Secara karakteristik, gejaladiperburuk pada minggu sebelum onset
menstruasi. Beberapa survei menunjukkan diagnosis pasien yang tidak dapat
dipercaya. Meskipun adakalanya kandida menyebabkan balanopostitis yang
bersifat ekstensif pada laki-laki yang memiliki pasangan wanita yang mengalami
kandidiasis vagina, kejadian yang lebih sering terjadi adalah ruam sementara,
eritema, dan pruritus atau sensasi terbakar pada penis yang timbul beberapa menit
atau jam setelah hubungan seksual tanpa pelindung. Gejala tersebut sembuh
sendiri dan sering menghilang setelah mandi.1,3,5
Gambar 2. Kandidiasis vulvovaginalis3
Pemeriksaan Penunjang Kandidiasis Vulvovaginalis
Adapun pemeriksaan yang dilakukan untuk menunjang diagnosis KVV,
adalah seperti pemeriksaan miroskopik langsung, pewarnaan Gram, pemeriksaan
sediaan basah, pemeriksaan pH, biakan, pemeriksaan histopatologi, dan tes
fermentasi. 1,3,10
Diagnosis laboratorium pada penderita mudah ditegakkan karena
pemeriksaan miroskopik langsung mempunyai sensitivitas yang tinggi. Dengan
menggunakan KOH 10-20%, tampak adanya sel ragi yang polimorfik, berbentuk
8
lonjong, atau bulat berukuran 2-6 x 4-9 µm, blastospora (sel ragi yang sedang
bertunas), sel budding yang khas, hifa bersekat atau pseudohifa, kadang-kadang
ditemukan klamidiospora. Elemen jamur (budding yeast cell/ blastospora/
blastokonidia/ pseudohifa/ hifa) tampak sebagai Gram positif dan sporanya lebih
besar dari bakteri yang dapat diamati dengan pewarnaan Gram. Pemeriksaan
sediaan basah juga dapat melihat bentuk hifa dan budding yeast dari kandida,
dengan cara sediaan cairan vagina diletakkan pada objek glas kemudian ditetesi 1-
2 tetes larutan 0,9% isotonik sodium klorida dan diamati dibawah mikroskop
dengan pembesaran 400 x. pH kandidiasis vaginal kurang dari 4,5 dapat
dibuktikan dengan menggunakan kertas lakmus. Biakan memiliki nilai sensitivitas
yang tinggi sampai 90%. Medium biakan yang dipakai adalah agar dekstrose
Sabouraud dan modifikasi agar Sabouraud. Pada modifikasi agar Sabouraud,
komposisinya ditambahkan antibiotik kloramfenikol yang digunakan untuk
menekan pertumbuhan bakteri. Media ini merupakan media selektif untuk
mengisolasi kandida. Kandida umumnya mudah tumbuh pada suhu kamar 25-
30°C, dan pertumbuhan dapat terjadi 2-5 hari setelah biakan. Koloni tampak
berwarna krem atau putih kekuningan, permukaan koloni halus, licin, lama
kelamaan berkeriput dan berbau ragi. Biakan dinyatakan negatif bila dalam waktu
4 minggu tidak tumbuh. Untuk melakukan identifikasi spesies perlu dilakukan
subkultur untuk mendapatkan koloni yang murni, kemudian koloni baru dapat
diidentifikasi. Gambaran histopatologik dapat menyerupai reaksi radang akut,
terdapat mikroabses yang berisi sel mononuklear dengan infiltrasi limfosit pada
dermis bagian atas. Tes fermentasi dilakukan untuk menentukan spesies kandida,
menggunakan tes gula-gula yang mengandung indikator warna glukosa, maltosa,
sukrosa, dan laktosa , dikatakan positif bila dapat disertai atau tanpa pembentukan
gas. 1,3,10
Diagnosis dan Diagnosis Banding Kandidiasis vulvovaginalis
9
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, gambaran klinis, dan
pemeriksaan penunjang (pemeriksaan KOH, pemeriksaan sediaan basah,
pemeriksaan pH, biakan, histopatologi, dan tes fermentasi).3,8
Diagnosis banding kandidiasis vulvovaginal adalah termasuk
trikomoniasis danvaginosis bakterial, yang dapat dibedakan dengan mudah
melalui gejala klinis, pemeriksaan pH dan secara mikroskopis.11
Tabel 1. Diagnosis banding8,11
Normal KandidiasisVaginosis
BakteriTrikomoniasis
pH <4,5 Variase ; normal >4,5 4,5
Keputihan Putih, jelas,
jumlah sedikit
Seperti keju Homogen,
banyak, putih
keabu-abuan
Berbusa, banyak,
kuning kehijauan
Mikroskopis Sel epitel
dengan batas
jelas,
lactobasilus
Gram (+)
Budding pada
pewarnaan Gram
atau kerokan KOH,
sel darah putih
banyak, sel epitel
dengan batas jelas
Clue cell, Gram
negatif pada
pewarnaan
Gram, jumlah
bakteri banyak
Sel darah putih
banyak, adanya
motile
trikomonad
KOH “Whiff” - - + Variasi
Gejala Tidak ada Rasa gatal pada
vagina, iritasi,
keputihan
Keputihan, bau
seperti
ikan,dispanuria,
nyeri abdomen
bagian bawah
Keputihan,
pruritus pada
vulva
Penatalaksanaan Kandidiasis vulvovaginalis
Saat ini banyak antimikotik yang efektif terhadap kandida, baik untuk
pemakaian secara topikal dan sistemik. Kecenderungan saat ini adalah pemakaian
rejimen antimikotik oral maupun topikal jangka pendek dengan dosis tinggi.11,12
10
Antimikotik untuk pemakaian lokal/topikal tersedia dalam berbagai bentuk
sediaan misalnya krim, lotion, tablet vagina dan supositoria. Tidak ada inidikasi
khusus dalam pemilihan bentuk obat topikal. 11,12
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam pengobatan KVV/KVVR adalah
eliminasi faktor predisposisi sebagai penyebab KVV/KVVR, pemilihan regimen
antijamur yang tepat hingga keluhan menghilang dan pemeriksaan mikroskopik
dan kultur negatif, serta untuk KVVR sebaiknya selalu dilakukan kultur dan uji
sensitivitas antijamur. 11,12
Penatalaksanaan KVV dilakukan berdasarkan klasifikasiya yaitu KVV
tanpa komplikasi dan KVV dengan komplikasi . Untuk KVV tanpa komplikasi
dipilih pengobatan topikal. Derivat azole dinyatakan lebih efektif daripada
nistatin, namun hargannya jauh lebih mahal. Pengobatan dengan golongan azole
dapat menghilangkan gejala dan kultur negatif pada 80-90% kasus. 11,12
Tabel 2. Macam obat antijamur yang digunakan untuk terapi KVV tanpa
komplikasi11,12
Nama Obat Formulasi Dosis
Ketokonazole
Itrakonazole
Flukonazole
Klotrimazole
Mikonazole
Nistatin
Amphoterisin B+
Tetrasiklin
200 mg oral tablet
100 mg oral kapsul
150 mg oral tablet
50 mg oral tablet
1% krim intravagina
2% krim intravagina
100 mg tab vag
500 mg tab vag
2% krim
200 mg tab vag
100000 U tab vag
50 mg tab vag
100 mg cap
2x1 tab, 5 hari
2x1 cap, 2 hari
2x2 cap, 1 hari selang 8 jam
Dosis tunggal
1x1 tab, 7 hari
5 g, 7-14 hari
5 g, 3 hari
2x1 tab vag, 3 hari
1 tab vag, 1 hari
5 g, 1-7 hari
1 tab vag, 1-7 hari
1x1 tab, 12-14 hari
1x1 tab, 7-12 hari
1x1 tab, 7-12 hari
11
KVV dengan komplikasi seperti infeksi rekuren, KVV berat, KVV dengan
penyebab Candida non-albicans, KVV pada penderita imunokompromis, KVV
pada wanita hamil, dan KVV pada penderita HIV. Untuk infeksi rekuren perlu
dilakukan biakan jamur untuk mencari spesies penyebab. Dapat diberikan
flukonazole 150 mg selama 3 hari atau topikal golongan azole selama 7-14 hari.
Untuk pengobatan dosis pemeliharaan diberikan tablet ketokonazole 100 mg/hari,
kapsul flukonazole 100-150 mg/minggu atau itrakonazole 400 mg/bulan atau 100
mg/hari atau topikal tablet vagina klotrimazole 500 mg. Pengobatan dosis
pemeliharaan ini diberikan selama 6 bulan. KVV berat ditanda dengan vulva
eritem, edema,ekskoriasi dan fisura. Terapi dapat diberikan flukonazole 150 mg
dengan 2 dosis selang waktu pemberian 72 jam atau obat topikal golongan azole
selama 7-14 hari. Pada KVV dengan penyebab Candida non-albicans, dengan
pemberian obat golongan azole tetap dianjurkan selama 7-14 hari, kecuali
flukonazole karena banyak Candida non-albicans yang resisten. Jika terjadi
kekambuhan dapat diberikan asam borak 600 mg dalam kapsul gelatin sekali
sehari selama 2 minggu. Jika masih terjadi kekambuhan dianjurkan pemberian
nistatin tablet vagina 100000 U per hari sebagai pengobatan dosis pemeliharaan.
KVV pada penderita imunokompromis diberikan obat antijamur konvensional
selama 7-14 hari. KVV pada wanita hamil, dianjurkan pengobatan dengan
preparat azole topikal, yakni mikonazole krim 2%, 5 g intravagina selama 7 hari
atau 100 mg tabet vagina tiap malam selama 7 hari atau mikonazol 200 mg tablet
vagina selama 3 hari. Dan juga klotrimazole krim 1 % sebanyak 5 g tiap malam
selama 7-14 hari atau 200 mg tablet vagina tiap malam selama 3 hari atau 500 mg
tablet vagina selama 1 hari. Pengobatan KVV simtomatis pada wanita dengan
HIV positif sama dengan pada wanita dengan HIV negatif. KVV tanpa komplikasi
dapat diterapi dengan flukonazole 150 mg dosis tunggal jangka pendek, atau
topikal azole jangka pendek. Terapi pada KVV komplikata, sebaiknya diberikan
obat sistemik oral atau topikal salam jangka lama dan dilanjutkan terapi dosis
pemeliharaan dengan flukonazole dosis mingguan untuk kasus KVVR atau
ketokonazole dosis 100 mg/hari selama 6 bulan. Pengobatan untuk penderita
12
kandidiasis asimtomatik masih kontroversi. Pada wanita dengan HIV negatif tidak
dianjurkan pemberian terapi antijamur. 11,12
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pengobatan KVV
yang dianjurkan adalah klotrimazole 200 mg intravagina setiap hari selama 3 hari
atau klotrimazole 500 mg intravagina dalam dosis tunggal atau flukoazole 150
mg/oral dalam dosis tunggal atau itrakonazole 200 mg/oral 2 kali sehari dosis
tunggal atau nistatin 100000 IU intravagina setiap hari selama 14 hari. 11,12
Prognosis Kandidiasis vulvovaginalis
Prognosis baik bila faktor predisposisi dapat diminimalkan.10
KESIMPULAN
Kandidiasis merupakan penyakit yang 70-80% disebabkan oleh Candida
albicans. Candida albicans merupakan jamur komensal yang dapat ditemukan
pada traktus gastrointestinal dan kulit. Pada penderita wanita, dengan diabetes
melitus, penggunaan steroid, alat kontrasepsi, memakai celana ketat dan baju
sintetik, peningkatan estrogen, penggunaan antibiotik dan imunosupresi, terjadi
kerentanan sehingga mikroba komensal yang bervirulensi rendah dapat berubah
menjadi patogen. Gambaran klinis, pemeriksaan penunjang, dan pengobatan pada
kandidiasis vulvovaginalis tidak berbeda dengan kandidiasis pada umumnya.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Janik MP, Heffernan MP. Yeast infection: candidiasis and tinea (pityriasis)
versicolor. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed.
New York: The McGraw-Hill Companies, 2008; p.1822-8.
2. Hay RJ, Moore MK. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths,
editors. Rook’s textbook of dermatology. 7th ed. Massachusets: Blackwell
Publishing; 2004; p. 31.60-75.
3. Sobel JD. Vulvovaginal candidiasis . In : Holmes KK, Sparling PF, Stamm
WE, Piot P, Wasserheit JN, Corey L, Cohen MS, Watts DH, editors. Sexually
Transmitted Disease. 4th ed. United State of America:Mc Graw Hill;2008;p
823-35
4. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 1. Jakarta:
Salemba Medika, 2005.
5. Calderone, R.A., and Fonzi, W.A. (2001). Virulence factors of Candida
albicans. Trends in Microbiology, 9(7): 327-35.
6. Stawiski MA, Prince SA. Infeksi kulit. Dalam: Prince SA, Wilson LM, editor.
Patofisiologi konsen klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC,
2005; p. 1443-54.
7. Nyirjesy, P., C. Peyton, et al. (2006). Causes of chronic vaginitis: analysis of
a prospective database of affected women. Obstet Gynecol 108(5):p 1185-91.
8. Schwebke, JR. Vaginitis . In :Zenilman JM, Shahmanesh M, editors. Sexually
Transmitted Disease: Diagnosis, Management and Treatment. United State of
America:LLC;2012;p 65
9. James, Wiliam D, Dirk M Elston, Timothy G. Berger. Andrew’s Disease of
The Skin Clinical Dermatology. 11th ed. British:Saunder elsevier; 2006; p
297-9
10. Richardson MD, Warnock DW. Fungal infection. Edisi ke 3,
Oxford :Blackwell Publication; 2003.
14
11. Daill SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi Menular Seksual. Edisi keempat.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011.
12. Workowshi KA, Berman SM. Sexually Transmitted Diseases Treatment
guidelines 2006. US Department of Health and Human Services. Centers For
Disease Control and Prevention (CDC). Morbidity and Mortality Weekly
Report; 2006. 55 : p. 54-6.
15