referat obstructive sleep apnea

23
REFERAT OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA OLEH Lisantiyas Nurani H1A 009 002 PEMBIMBING: dr. Markus Rambu, Sp.THT-KL DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

Upload: alnaj

Post on 14-Dec-2015

162 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

psikiatri

TRANSCRIPT

REFERAT

OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA

OLEH

Lisantiyas Nurani

H1A 009 002

PEMBIMBING:

dr. Markus Rambu, Sp.THT-KL

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

RSU PROVINSI NTB

2015

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Tidur adalah suatu proses fundamental yang dibutuhkan oleh setiap

manusia. Manusia dewasa memerlukan tidur rata-rata 6-8 jam/hari. Tidur terdiri

dari stage nonrapid eye movement sleep (NREM) dan stage rapid eye movement

sleep (REM). Lebih dari separuh tidur total adalah fase NREM sedangkan 20-35%

adalah fase REM.1,2 Gangguan tidur sering terjadi pada fase REM.1 Bentuk

gangguan tidur yang paling sering ditemukan adalah sleep apnea (henti napas

pada waktu tidur) dan gejala yang paling sering timbul pada sleep apnea adalah

mendengkur.3

Menurut studi yang ada, mendengkur dan obstructive sleep apnea (OSA)

meningkatkan risiko hipertensi 2-3 kali, serta meningkatkan risiko dua kali lipat

penyakit koroner atau serangan jantung. Pendengkur dan penderita OSA juga

berisiko terserang stroke dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang

tidak dengan OSA dan mendengkur.1

Mendengkur dan OSA umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama pria,

usia pertengahan dan obesitas. Sekitar 50 juta orang Amerika tidur mendengkur

dan 20 juta orang Amerika menderita sleep apnea syndrom. Hal ini menyebabkan

terjadinya peningkatan keluhan dari pasangan dan yang lebih penting membawa

peningkatan risiko penyakit kardiovaskular serta kematian dini.3

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah keadaan apnea (penghentian aliran

udara selama 10 detik atau lebih sehingga menyebabkan 2-4% penurunan saturasi

oksigen) dan hipopnea (pengurangan aliran udara >30% untuk minimal 10 detik

dengan desaturasi oksihemoglobin >4% atau pengurangan dalam aliran udara

>50% untuk 10 detik dengan desaturasi oksihemoglobin >3%) akibat adanya

sumbatan total (apnea) atau sebagian (hipopnea) jalan napas atas yang terjadi

secara berulang pada saat tidur selama fase non-REM atau REM sehingga

menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat.1,3

OSA merupakan bagian dari sindrom henti napas yang dialami oleh 10,9%

pria dan 6,3% wanita.4 Sindrom henti napas saat tidur dibagi menjadi 3 tipe yaitu

tipe sentral, tipe obstruksi dan tipe campuran. Pada tipe sentral terjadi aliran udara

ini disebabkan berhentinya upaya bernapas selama beberapa saat akibat otak gagal

mengirimkan sinyal ke diafragma dan otot dada untuk mempertahankan siklus

pernapasan. Sedangkan pada tipe obstruksi terjadi hambatan aliran udara ke paru-

paru.3,5,6

II.2 Epidemiologi

OSA pertama kali dipublikasikan pada tahun 1956 oleh Sidney Burwell.

Prevalensi OSA di negara-negara maju diperkirakan mencapai 2- 4% pada pria

dan 1-2% pada wanita. Prevalensi OSA pada pria 2-3 kali lebih tinggi dari wanita.

Belum diketahui mengapa OSA lebih jarang ditemukan pada wanita.1,3

Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi

pada usia 2-5 tahun. Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil

dan adenoid, tetapi dapat juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada

sindroma Pierre Robin dan Down. Secara umum frekuensi OSA meningkat secara

progresif sesuai dengan penambahan usia.1,2,3

3

II.3 Anatomi Saluran Napas Atas

Gambar 1: Anatomi Saluran Napas Atas

(Dikutip dari kepustakaan 2)

II.4 Patofisiologi Mendengkur dan OSA

Obstruksi pada OSA adalah akibat dari gangguan aliran udara yang

disebabkan oleh dinding faring yang kolaps sewaktu tidur. Etiologi dan

mekanisme kolaps multifaktorial. Obesitas, hipertrofi jaringan lunak, kelainan

kraniofasial seperti retrognathia menambah kecenderungan kolapsnya dinding

faring saat tidur.1,3

Pada waktu tidur aktivitas otot dilator faring relatif tertekan (relaksasi)

sehingga ada kecenderungan lumen faring menyempit pada saat inspirasi.

Mengapa hal ini terjadi hanya pada sebagian orang, terutama berhubungan dengan

ukuran faring dan faktor-faktor yang mengurangi dimensi statik lumen sehingga

menjadi lebih sempit atau menutup pada waktu tidur. Selain itu obstruksi nasal

menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara dan perburukan OSA. Obstrusi

nasal mengakibatkan usaha pernapasan melalui mulut semasa tidur sehingga

terjadi relaksasi otot genioglosus yang mengakibatkan lidah tergeser ke belakang.3

Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada saluran

napas atas akibat sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis lidah

atau palatum. Sumbatan terjadi akibat kegagalan otot-otot dilator saluran napas

atas menstabilkan jalan napas pada waktu tidur di mana otot-otot faring

berelaksasi, lidah dan palatum jatuh ke belakang sehingga terjadi obstruksi.3

4

Gambar 2 : Perbandingan Saluran Napas Normal dan Penderita Snoring

(Dikutip dari kepustakaan 5)

Trauma pada jaringan di saluran napas atas pada waktu mendengkur

mengakibatkan kerusakan pada serat-serat otot dan serabut-serabut saraf perifer.

Akibatnya kemampuan otot untuk menstabilkan saluran napas terganggu dan

meningkatkan kecenderungan saluran napas untuk mengalami obstruksi.

Obstruksi yang diperberat oleh edema karena vibrasi yang terjadi pada waktu

mendengkur dapat berperan pada progresivitas mendengkur menjadi sleep apnea

pada individu tertentu.3

Prinsip utama pada OSA yaitu terdorongnya lidah dan palatum ke

belakang hingga menempel pada dinding faring posterior menyebabkan oklusi

nasofaring dan orofaring. Tidur berbaring (supine) dapat menyebabkan kolapsnya

saluran napas akibat pergerakan mandibula, palatum mole dan lidah ke arah

belakang. Sistem saraf pusat berperan penting dalam OSA kombinasi aktivitas

otot saluran napas atas yang menurun pada saat tidur. Aktivasi kemoreseptor oleh

hipoksemia dan hiperkapnia selama apnea mengakibatkan hiperventilasi disertai

proses terbangun mendadak yang tidak disadari.1

5

Pada pasien obesitas terjadi peningkatan deposit lemak disekeliling leher

dan ruang parafaring menyebabkan penyempitan dan kompresi salur napas atas

dan mengganggu otot dilator yang mempertahankan patensi salur napas atas.

Obesitas bisa mengurangi volume paru yang menyebabkan pengurangan

functional residual capacity. Perubahan dalam volume paru secara signifikan

menurunkan ukuran faring salur napas atas melalui efek mekanikal traksi trakea

dan toraks yang dikenal tracheal tug meningkatkan resiko kolaps.7

II.5 Gambaran Klinis

Gejala yang dapat ditemukan pada penderita OSA adalah mendengkur,

mengantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea,

nokturia, sakit kepala pada pagi hari, penurunan libido sampai impotensi dan

enuresis, mudah tersinggung, depresi, kelelahan yang luar biasa dan insomnia.

Kebanyakan penderita mengeluhkan kantuk yang sangat mengganggu pada siang

hari sehingga menimbulkan masalah pada pergaulan, pekerjaan dan meningkatkan

risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas.1,3

Penderita OSA seringkali juga menderita obesitas. Kesadaran tentang adanya hubungan antara OSA dan obesitas yang sangat

tinggi dapat mengurangi kesadaran akan kemungkinan adanya OSA pada orang yang tidak gemuk ( non-obese). Hanya sekitar 50% penderita

yang didiagnosis OSA juga menderita obesitas.8

Gejala Tanda

Mendengkur

Mengantuk yang berlebihan pada siang hari

Tersedak

Tidur tidak nyeyak

Letih dan lesu sepanjang hari

Penurunan konsentrasi

Riwayat OSA dalam keluarga

Obesitas

Mandibula/maksila hipoplasia

Penyempitan orofaring

Pembesaran tonsil atau lidah

Obstruksi nasal dan nasofaringeal

Tabel 1 : Gejala dan Tanda OSA

(Dikutip dari kepustakaan 8)

II.6 Diagnosis

Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya

dan datang ke dokter hanya karena partner tidur mengeluhkan suara mendengkur

6

yang keras (fase pre-obstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya

bervariasi (fase apnea obstruktif).1,3,6

Pemeriksaan fisik dilakukan pada hidung, orofaring, hipofaring, laring,

leher untuk menentukan adanya obstruksi pada bagian tersebut:7

i. Hidung : deviasi septum, hipertrofi adenoid, tumor atau polip nasal,

hipertrofi konka

ii. Orofaring : palatum molle yang besar, hipertrofi tonsil palatine,

makroglosia, penebalan (banding) dinding posterior faring

iii. Hipofaring : Kolaps dinding faring lateral, tumor hipofaring, hipertrofi

tonsil lingual, retrognathia dan micrognathia

iv. Laring : paralisis pita suara, tumor laring

v. Leher : ukur lilit leher

Diagnosis pasti penderita OSA dengan pemeriksaan polisomnografi.

Polisomnografi adalah pemeriksaan gold standard untuk diagnosa OSA. Pada

OSA untuk melihat episode berhentinya aliran udara yang berulang diikuti dengan

upaya respirasi kontinyu sedangkan pada CSA untuk melihat episode apnea

berulang diikuti dengan hilangnya upaya ventilasi, gerakan napas terhenti karena

hilangnya pergerakan iga dan abdomen juga aktivitas elektromiografi diafragma.

Polisomnografi merupakan alat uji diagnostik menevaluasi gangguan tidur,

dilakukan pada saat malam hari di laboratorium tidur. Pemeriksaan terdiri dari

elektroensefalogram (EEG), elektromyogram (EMG), elektrookulogram (EOG),

parameter respirasi, electrocardiogram (ECG), saturasi oksigen dan mikrofon

untuk merekam dengkuran. Penderita dimonitor selama 6 jam 10 menit.5

7

Gambar 4: Gambaran Polisomnogram

(Dikutip dari kepustakaan 7)

8

II.7 Terapi

A. Terapi Non-Bedah

Terapi OSA mengalami perubahan yang revolusioner ketika Sullivan et al.

memperkenalkan nasal Continuous Positive Airway Pressure (nCPAP). Prinsip

nCPAP sangat sederhana yaitu dengan pemberian tekanan positif melalui hidung,

maka setiap kecenderungan jalan napas untuk menyempit dan menutup dapat

diatasi dan dinding jalan napas dapat distabilkan, sehingga menekan suara

dengkur, menormalkan kualitas tidur dan menghilangkan gejala pada siang hari.

Keuntungan metode ini adalah menurunkan kerja pernapasan (work of

breathing).6

CPAP adalah teknik yang sering digunakan dalam tatalaksana non surgical

OSA dan merupakan tatalaksana terapi pertama OSA. CPAP mengurangi dengkur

dan apnea dan membaiki gejala ketiduran pada siang. CPAP 90-95% effective

dalam eliminasi OSA dan keefektifannya tergantung pada compliance dan

keteraturan penggunaan pasien.9

Pada penderita OSA yang mengalami obesitas dianjurkan penurunan berat

badan. Perlu dilakukan perubahan gaya hidup termasuk diet, olah raga dan

medikamentosa. Berdasarkan penelitian, penurunan berat badan 10% - 15%

dikaitkan dengan penurunan 50% kejadian apnea dan perbaikan keadaan klinis.

Beberapa laporan kasus menunjukkan gejala OSA dapat diatasi dengan

mengurangi berat badan. Posisi tidur dapat membantu menghilangkan gejala

OSA. Beberapa pasien mengalami perbaikan setelah tidur dengan posisi miring

atau telungkup (pronasi).5

Salah satu pendekatan terapi terbaru adalah penggunaan alat mandibular

advancement dengan beberapa variasinya. Alat ini dipasang pada gigi dan

menahan mandibula dan lidah ke depan (protrusi parsial dari rahang bawah)

sehingga dapat memaksimalkan diameter faring dan mengurangi kemungkinan

kolaps pada waktu tidur. Alat ini hanya digunakan pada penderita OSA yang tidak

dapat menjalani operasi dan penderita OSA yang ringan sampai sedang khususnya

yang tidak gemuk atau pada penderita yang intoleran terhadap CPAP. Tetapi perlu

diingat alat ini dapat mempengaruhi oklusi dan sendi temporomandibula sehingga

pemakaiannya diperlukan seorang ortodontic karena pembuatannya tergantung

individu.3

9

B. Terapi Bedah

Sebagian penderita tidak dapat menerima pengobatan dengan nCPAP

karena beberapa sebab, di antaranya klaustrofobia, suara bising dari mesin dan

karena timbulnya efek samping seperti hidung tersumbat dan mukosa hidung serta

mulut yang kering. Banyak pasien yang tidak mau penggunakan alat CPAP karena

tidak nyaman dan mengurangi nilai estetika, sehingga diusahakan bentuk lain

terapi OSA.3,5

Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang

menyebabkan obstruksi saluran napas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep

endoscopy. Beberapa prosedur operasi dapat dilakukan:

1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil yang

besar, tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan tidak

memerlukan terapi CPAP.6

2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP). Metode ini uvula serta jaringan faring

yang berlebih diangkat sehingga ruang faring bertambah serta membuat

kaku dinding faring yang akan mencegah kolaps. Metode ini angka

keberhasilannya 50% dalam menyembuhkan OSA. Komplikasi metode ini

adalah terjadinya regurgitasi nasofaring saat minum namun hanya bersifat

sementara karena akan berkurang dalm 3 bulan.3

3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus

endoskopik fungsional dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila

sumbatan terjadi di hidung. Kelainan hidung harus dicari pada penderita

yang mengalami gejala hidung pada pengobatan dengan CPAP.4

4. Laser-Assisted Uvulopalatoplasty. Teknik yang digunakan oleh

sebagian

besar ahli bedah menghapus bagian segitiga jaringan berdekatan dengan

setiap sisi akar dari uvula diikuti dengan pengurangan 50% dari uvula

distal sehingga memperpendek dan meningkatkan ukuran dan posisi

uvulopalatal kompleks.3,6

5. Maxillofacial (Skeletal) Surgery. Teknik ini meningkatkan ukuran

saluran udara bagian atas dengan menggerakkan pangkal lidah jauh dari

hypopharyngeal posterior dan dinding orofaringeal, penurunan kolaps

jalan napas. Pasien ada yang dipilih berdasarkan tingkat keparahan mereka

10

apnea (sedang sampai berat), adanya kelainan kraniofasial, seperti

micrognathia atau retrognathia, atau kegagalan untuk menanggapi terapi

lain.3,6

6. Radiofrequency Tissue Volume Reduction. Teknik ini dengan

memasukkan elektroda ke berbagai bagian langit-langit lunak

dan menerapkan energi panas, jaringan lunak akan mengalami

lesi termal akan timbul fibrosis jaringan. Prosedur ini dapat diulang

beberapa kali dan dalam beberapa sasaran situs dari saluran udara bagian

atas, termasuk tonsil dan pangkal lidah.3,6

7. Pemasangan implan Pillar pada palatum. Implan Pillar atau implan palatal

merupakan teknik yang relatif baru, merupakan modalitas dengan invasi

minimal. Digunakan untuk penderita dengan habitual snoring dan OSA

ringan sampai sedang. Prosedur ini bertujuan untuk memberi kekakuan

pada palatum mole. Tiga buah batang kecil diinsersikan ke palatum mole

untuk membantu mengurangi getaran yang menyebabkan snoring.6

8. Trakeostomi, tatalaksana surgical yang gold standard dan terakhir apabila

metode lain tidak berhasil adalah trakeostomy. Trakeostomi dilakukan

dengan by pass obstruksi salur napas atas. Indikasi trakeostomi adalah

pasien dengan cor pulmunale, obesity hypoventilation syndrome, aritmia,

pasien yang tidak toleransi CPAP dan intervensi surgical lain gagal.9

II.7 Komplikasi

OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia,

di antaranya:1-5

1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi

dan daya ingat, sakit kepala, depresi.

2. Kardiovaskuler: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina,

penyakit jantung iskemik, gagal jantung kongestif, stroke.

3. Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale.

4. Metabolik: diabetes, obesitas.

5. Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi.

6. Hematologis: polisitemia.

11

Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSA

dengan hipertensi, stroke dan penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit

kardiovaskular pada penderita OSA diduga sebagai akibat stimulasi simpatis yang

berulang-ulang yang terjadi pada setiap akhir fase obstruktif. Pada penderita OSA

juga terjadi pelepasan faktor-faktor protrombin dan proinflamasi yang berperan

penting pada terjadinya aterosklerosis.1

Terjadinya gangguan kardiovaskuler pada penderita OSA diperkirakan

melalui dua komponen:1,3

1. Efek mekanis dari henti napas terhadap tekanan intratorakal dan fungsi

jantung.

2. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan

simpatis yang berlebihan dan disfungsi sel-sel endotel.

Sekitar 40% penderita OSA mengalami hipertensi ketika bangun tidur.

OSA dikenal sebagai faktor risiko yang independen pada hipertensi. Bagaimana

OSA menyebabkan peningkatan tekanan darah belum sepenuhnya diketahui. Ada

kemungkinan peranan hiperaktivitas simpatis dalam peningkatan tekanan darah

pada penderita OSA. Mekanisme lain yang berpotensi meningkatkan tekanan

darah pada penderita OSA adalah hiperleptinemia, resistensi insulin, peningkatan

kadar angiotensin II dan aldosteron, disfungsi sel-sel endotel dan gangguan fungsi

barorefleks.1

OSA diduga merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya

penyakit aterosklerosis pada pembuluh darah arteri. Banyak peneliti

mengemukakan beberapa kemungkinan mekanisme efek aterosklerotik dari OSA,

di antaranya:1

Peningkatan tekanan darah yang berulang akibat hiperaktivitas simpatis

dan stres oksidatif.

Disfungsi sel endotel yang mengakibatkan peningkatan kadar endotelin-I

dalam plasma, penurunan produksi nitrit-oksida dan peningkatan respons

peradangan terbukti dengan meningkatnya kadar C-reactive protein dan

interleukin-6.

Beberapa penelitian memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan

antara OSA dan infark miokard. Mekanismenya mungkin melalui efek tidak

12

langsung dari hipertensi, aterosklerosis, desaturasi oksigen, hiperaktivitas sistem

saraf simpatis, peningkatan koagulopati dan respons inflamasi.1,3

Insidensi OSA yang tinggi (45-90%) ditemukan pada penderita stroke.

Kemungkinan peran OSA dalam patogenesis stroke di antaranya melalui proses

aterosklerosis, hipertensi, berkurangnya perfusi serebral akibat penebalan dinding

arteri karotis, output jantung yang rendah, peninggian tekanan intrakranial,

peningkatan koagulopati dan peningkatan risiko terbentuknya bekuan darah akibat

aritmia. 1

Aritmia dapat terjadi pada penderita OSA terutama berupa sinus

bradikardi, sinus arrest dan blokade jantung komplet. Risiko untuk terjadinya

aritmia berhubungan dengan beratnya OSA. Mekanisme terjadinya aritmia pada

penderita OSA kemungkinan melalui peningkatan tonus vagus yang dimediasi

oleh kemoreseptor akibat apnea dan hipoksemia.1

13

BAB III

PENUTUP

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah keadaan apnea dan hipopnea akibat

adanya sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang terjadi secara berulang

pada saat tidur selama fase non-REM atau REM sehingga menyebabkan aliran

udara ke paru menjadi terhambat. Gejala utamanya adalah mendengkur. OSA

terjadi karena lidah dan palatum jatuh ke belakang (kolaps) sehingga terjadi

obstruksi. Penyebab terjadinya kolaps ini multifaktorial, sehingga tidak bisa

dijabarkan berdasarkan etiologi tunggal.

OSA paling banyak dialami oleh pria usia pertengahan dengan obesitas.

Gejala dari OSA antara lain mendengkur, mengantuk yang berlebihan pada siang

hari, tersedak, tidur tidak nyeyak, letih dan lesu sepanjang hari, penurunan

konsentrasi, serta riwayat OSA dalam keluarga. Tanda dari OSA antara lain

obesitas, hipoplasia mandibula atau maksila, penyempitan orofaring, pembesaran

tonsil atau lidah, serta obstruksi nasal dan nasofaringeal

Diagnosis OSA ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik untuk

mengetahui kelainan yang mungkin ada sebagai faktor penyebab dan pemeriksaan

penunjang. Gold standard diagnosa OSA adalah dengan melakukan pemeriksaan

penunjang berupa polisomnografi. Terapi OSA dibagi menjadi terapi non bedah

dan terapi bedah. Terapi non bedah dengan mengusahakan tekanan positif untuk

mengurangi obstruksi dan meminimalisir faktor penyebab melalui perubahan gaya

hidup, olah raga serta obat-obatan. Terapi bedah dilakukan sesuai dengan indikasi,

terutama jika terapi non bedah belum berhasil.

Komplikasi dari OSA dapat terjadi pada seluruh sistem dalam tubuh,

antara lain neuropsikologis (kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi

dan daya ingat, sakit kepala, depresi), kardiovaskuler (takikardi, hipertensi,

aritmia, blokade jantung, angina, penyakit jantung iskemik, gagal jantung

kongestif, stroke), respirasi (hipertensi pulmonum, cor pulmunale), metabolik

(diabetes, obesitas), genito-urinari (nokturia, enuresis, impotensi) dan hematologis

(polisitemia).

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Febriani D, Yunus F, Antariksa B, Andrianto H. Hubungan obstructive sleep

apnea dengan kardiovaskular. Dalam Jurnal Kardiologi Indonesia. Maret

2011; 32 (1):45-52.

2. Seeley, Stephens, Tate. Anatomy and physiology, sixth edition. Philadelpia:

The McGraw-Hill Companies; 2004. p. 488-89, 815.

3. Rodriguez, Hector P. Berggren, Diana A-V. Biology and treatment of sleep

apnea. In: Water BRVD, Staecker H. Otolaryngology Basic Science and

Clinical Review. New York: Thieme; 2006. p. 71-82.

4. Rohde K, Verse T. Sleep disordered breathing. In: Hormann K, Verse T.

Surgery for Sleep Disordered Breathing. Germany: Springer Berlin

Heidelberg; 2010; p. 1-3.

5. Antariksa B. Patogenesis, diagnostik dan skrining OSA (obstructive sleep

apnea). Jakarta: FKUI; 2005. Tersedia dalam:

http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10/OSA

%20Diagnosis,patogenesis,skrining.pdf

6. Prasenohadi. Penatalaksanaan obstructive sleep apnea. Jakarta: FKUI; 2006.

Tersedia dalam: http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10/OSA-

prasenohadi.pdf

7. Wakefield TL, Lam DJ, Ishman SL. Sleep apnea and sleep disorders. In: Flint

PW, Haughey BH, Robbins KT, Thomas JR, Niparko JK, Lund VJ, el al.

Cummings Otolaryngology – Head and Neck Surgery. Philadelpia: Elsevier

Sauders; 2014. p. 252-70.

8. Goldenberg D, Goldstein BJ. Obstructive sleep apnea. In: Handbook of

Otolaryngology Head and Neck Surgery. Canada: Thieme; 2011. Available

at: https://books.google.co.id

9. Lalwani AK. Current diagnosis & treatment in otolaryngology head and neck

surgery 2nd edition. Philadelpia: McGraw-Hill Education; 2012. p. 536-42.

15