referat ophthalmoplegia 2
DESCRIPTION
MataTRANSCRIPT
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ophthalmoplegia adalah kelumpuhan atau kelemahan dari satu atau lebih
dari otot-otot yang mengontrol pergerakan bola mata. Kondisi ini dapat
disebabkan oleh gangguan langsung pada otot-otot yang mengendalikan
pergerakan bola mata atau terjadi gagguan pada jalur saraf yang mengendalikan
pergerakan otot-otot mata. Penyakit ini biasanya berkaitan dengan saraf kranial
ketiga (oculomotorius), keempat (trochlear), dan keenam (abducens). Terdapat
dua macam ophthalmoplegia, yaitu ophthalmoplegia external dan
ophthalmoplegia internuclear.
Pada ophtalmoplegia, mata tidak bergerak bersamaan sehingga pasien
mengeluh penglihatan ganda (diplopia). Selain itu juga terdapat keluhan berupa
mata buram. Beberapa penderita juga mengeluh kesulitan menggerakkan bola
matanya ke arah tertentu atau terdapat kelumpuhan pada palpebra superior. Gejala
lainnya dapat berupa kesulitan menelan dan kelemahan pada otot-otot tubuh
secara general.
Ophthalmoplegia dapat bersifat kongenital atau berkembang pada masa
kehidupan. Ophthalmoplegia internuclear dapat terjadi akibat multiple sclerosis,
trauma, atau infark. Sedangkan ophthalmoplegia ekstrernal biasanya disebabkan
oleh penyakit gangguan otot atau mitokondria seperti pada penyakit graves dan
Kearnes-Sayre Syndrome. Selain itu, ophthalmoplegia juga dapat disebabkan oleh
beberapa penyakit lainnya seperti migraine, stroke, penyakit pada tiroid, trauma
otak, tumor otak, dan infeksi.
1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi Otot Ekstraokuler
Otot ekstraokuler terdiri atas empat otot rektus, dua otot oblikus, dan otot
levator palpebral superior (Gambar 2.1). Nervus kranialis VI (abdusen)
menginervasi otot rektus lateralis, nervus kranialis IV (trokhlearis) menginervasi
otot oblikus superior, sedangkan nervus kranialis III (okulomotorius) memberikan
persarafan pada otot levator palpebra superior, rektus superior, rektus medialis,
rektus inferior, dan otot oblikus inferior (Budiono et all, 2012).
Gambar 2.1 Otot ekstraokuler (Sumber: Putz & Pabst, 2006)
Otot rektus horisontalis terdiri atas otot rektus medialis dan rektus lateralis,
yang keduanya berasal dari annulus Zinnii. Otot rektus medialis diinervasi oleh
nervus okulomotorius ramus inferior dan divaskularisasi oleh arteri-arteri
oftalmika cabang muskularis medialis. Aksi otot rektus medialis pada posisi
primer adalah adduksi, yaitu gerakan bola mata ke arah nasal atau rotasi ke dalam.
Sedangkan otot rektus lateralis diinervasi oleh nervus abdusen serta
divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis lateralis dan arteri
2
lakrimalis. Aksi otot rektus lateralis pada posisi primer adalah abduksi, yaitu
gerakan bola mata ke arah temporal atau rotasi ke luar (Budiono et all, 2013).
Otot rektus vertikalis terdiri dari otot rektus superior dan rektus inferior.
Otot rektus superior diinervasi oleh nervus okulomotorius ramus superior dan
divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis lateralis. Pada posisi
primer, otot rektus superior membentuk sudut 23⁰ ke arah lateral sumbu
penglihatan serta memiliki aksi primer elevasi, aksi sekunder intorsi atau
insikloduksi, dan aksi tersier adduksi. Otot rektus inferior diinervasi oleh nervus
okulomotorius ramus inferior dan di divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang
muskularis medialis dan arteri infraorbitalis. Pada posisi primer, otot rektus
inferior membentuk sudut 23⁰ ke arah lateral dari sumbu penglihatan, serta
memiliki aksi primer depresi, aksi sekunder ekstorsi atau eksikloduksi dan aksi
tersier adduksi (Budiono et all, 2013).
Otot oblikus superior diinervasi oleh nervus trochlearis dan divaskularisasi
oleh arteri oftalmika cabang muskularis lateralis. Pada posisi primer, otot oblikus
superior membentuk sudut 51-54⁰ dari sumbu penglihatan, serta memiliki aksi
primer intorsi atau insikloduksi, aksi sekunder depresi, dan aksi tersier abduksi
(Budiono et all, 2013).
Otot oblikus inferior diinervasi oleh nervus okulomotorius ramus inferior
serta divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis medialis dan arteri
infraorbitalis. Pada posisi primer, otot oblikus inferior membentuk sudut 51⁰ dari
sumbu penglihatan, serta memiliki aksi primer ekstorsi atau eksikloduksi, aksi
sekunder elevasi, dan aksi tersier abduksi (Budiono et all, 2013).
3
Gambar 2.2 Otot ekstraokuler dilihat dari anterior dan posterior
(Sumber: Putz & Pabst, 2006)
2.1.2 Jaras Saraf Untuk Pengaturan Gerakan Mata
Seperti yang tampak dalam Gambar 2.3, nukleus saraf kranial III
(okulomotorius), IV (throklear), dan VI (abdusen) di batang otak dan hubungan
ketiga saraf dengan saraf perifer yang menuju ke otot-otot mata. Dalam gambar
tersebut juga tampak hubungan antara ketiga nukleus ini yang melewati jaras
persarafan disebut fasikulus longitudinalis medial. Masing-masing dari ketiga
susunan otot untuk tiap mata diinervasi secara timbal balik sehingga otot agonis
akan berkontraksi, sedangkan otot antagonis akan berileksasi (Guyton & Hall,
2008).
Gambar 2.3 Otot-otot ekstraokuler mata dan persarafannya. Sumber: Guyton & Hall, 2008
4
Gambar 2.4 memperlihatkan pengaturan kortikal terhadap apparatus
okulomotorius, menunjukkan penyebaran sinyal yang berasal dari area
penglihatan di korteks oksipitalis melewati traktus oksipitotektal dan traktus
oksipitokolikular menuju area pretektal dan area kolikulus superior pada batang
otak. Dari area pretektal area kolikulus superior, sinyal pengaturan okulomotor
selanjutnya akan menuju ke nukleus nukleus saraf okulomotor di batang otak.
Juga ada sinyal kuat yang dijalarkan dari pusat pengatur keseimbangan tubuh di
batang otak ke sistem okulomor (yang asalnya dari nukleus vestibularis melewati
fasikulus longitudinal medial) (Guyton & Hall, 2008).
Gambar 2.4 Jaras saraf untuk pengaturan gerakan konjugat mata Sumber: Guyton & Hall, 2008
2.2 Fisiologi Pembentukan Pergerakan Bola Mata
2.2.1 Posisi Gaze
Terdapat berbagai terminologi yang berkaitan dengan posisi gaze. Posisi
primer adalah posisi bola mata saat terfiksasi lurus ke depan dengan posisi kepala
tegak. Posisi sekunder ialah posisi bola mata ketika melihat lurus ke atas, bawah,
kanan, ataupun kiri. Posisi tersier merupakan empat posisi oblik bola mata ke arah
kanan atas, kiri atas, kanan bawah, dan kiri bawah. Posisi cardinal ada enam arah,
5
yaitu kanan atas, kiri atas, kanan, kiri, kanan bawah, dan kiri bawah. Posisi garis
tengah adalah posisi bola mata ketika lurus ke atas dan ke bawah. Posisi
diagnostik adalah seluruh sembilan posisi gaze, yaitu enam posisi cardinal, dua
posisi tengah, dan posisi primer (Budiono et all, 2012).
Aksi otot ekstraokuler pada posisi primer dapat disimpulkan sebagai
berikut: semua otot rektus adalah abductor kecuali rektus lateralis, semua otot
oblikus adalah abductor, semua otot superior adalah intortor, dan semua otot
inferior adalah ekstortor (Budiono et all, 2012).
Tabel 2.1 Aksi Otot Ekstraokuler pada Posisi Primer
Muscle Primary Secondary Tertiary
Medial rectus Adduction - -
Lateral rectus Abduction - -
Inferior rectus Depression Ektorsion Adduction
Superior rectus Elevation Intorsion Adduction
Inferior oblique Extorsion Elevation Abduction
Superior oblique Intortion Depression Abduction
Sumber : Budiono, 2013
Field of action sebuah otot adalah posisi gaze saat otot tersebut menjadi
penggerak utama bola mata. Seluruh pergerakan bola mata merupakan hasil
kombinasi kontraksi dan relaksasi beberapa otot, namun terdapat delapan posisi
gaze dengan sebuah otot memberikan kekuatan dominan (Budiono et all, 2012).
Duksi adalah pergerakan monokuler bola mata mengitari axes of Fick,
terdiri atas adduksi, abduksi, elevasi, atau supraduksi, depresi atau infraduksi,
intorsi atau insikloduksi, dan ekstorsi atau eksikloduksi. Gerakan duksi dapat
dievaluasi klinis dengan menutup mata jiran, lalu penderita diperintahkan
mengikuti target pada setiap arah gaze (Budiono et all, 2013).
Pasangan agonis-antagonis adalah pasangan otot di satu mata yang
menggerakkan bola mata tersebut pada arah yang berlawanan. Pasangan agonis-
antagonis tersebut antara lain: otot rektus medialis dan rektus lateralis, rektus
6
superior dan rektus inferior, serta oblikus superior dan oblikus inferior. Sinergis
ialah otot di mata yang sama dengan agonis, dan menggerakkan bola mata
tersebut pada arah yang sama, misanya: otot oblikus inferior bertidak sinergis
bersama otot rektus superior pada gerakan elevasi bola mata.
Pergerakan mata binokuler terdiri atas versi dan vergen. Versi adalah
pergerkan konjugasi kedua mata secara simultan pada arah yang sama, antara lain:
dekstroversi, levoversi, elevasi, depresi, dekstrosikloversi, dan levosikloversi.
Yoke muscles atau sinergis kontralateral digunakan untuk menggambarkan
dua otot pada dua mata berbeda yang berpasangan dan menjadi penggerak utama
setiap bola mata pada posisi cardinal. Setiap otot ekstraokuler memiliki yoke
muscle pada mata jirannya. Hukum hering menyatakan bahwa inervasi sepadan
dan simultan akan mengalir ke yoke muscles pada arah gaze yang diinginkan.
Vergen adalah gerakan kedua bola mata secara simultan pada arah yang
berlawanan. Konvergen ialah gerakan adduksi secara simultan, dapat terjadi
secara volunteer ataupun merupakan reflex. Divergen gerakan bola mata ke arah
luar dari posisi konvergen (Budiono et all, 2013).
2.2.2 Gerakan Fiksasi Mata
Mungkin gerakan mata yang paling penting adalah gerakan mata yang
menyebabkan mata itu terfiksasi pada bagian yang paling luas dari lapangan
pandang. Gerakan fiksasi ini diatur oleh dua mekanisme saraf. Yang pertama
adalah pengaturan yang menyebabkan orang dapat menggerakkan mata secara
volunter untuk menemukan objek dalam penglihatannya yang kemudian akan
difiksasinya, gerakan ini disebut sebagai mekanisme fiksasi vountar (Guyton &
Hall, 2008).
Seperti yang terlihat dalam Gambar 2.4, gerakan fiksasi volunter diatur oleh
bagian kortikal yang terletak bilateral di regio premotor kortikal lobus frontalis.
Disfungsi bilateral atau kerusakan pada daerah ini orang tersebut sukar atau tidak
dapat memindahkan matanya dari titik fiksasi dan selanjutnya menggerakkan mata
ke sisi yang lain. Biasanya orang tersebut perlu mengedipkan mata atau mentup
7
mata dengan tangan dalam waktu yang singkat, setelah itu baru dapat
mengerakkan mata (Guyton & Hall, 2008).
Sebaliknya, mekanisme fiksasi yang menyebabkan mata dapat terpaku pada
suatu objek yang menjadi perhatiannya ketika objek itu ditemukan, diatur oleh
area penglihatan sekunder di korteks oksipitalis, yang terutama terletak di sebelah
anterior korteks penglihatan primer. Bila area fiksasi ini mengalami kerusakan
bilateral pada binatang coba, binatang tersebut akan mengalami kesulitan untuk
memfiksasi matanya ke titik fiksasi atau dapat menjadi benar-benar tidak mampu
melakukan gerakan tersebut (Guyton & Hall, 2008).
Ringkasnya, lapangan mata involuntar di korteks oksipitalis sebelah
posterior secara otomatis akan memaku mata pada suatu titik pada lapangan
pandang yang diinginkan sehingga dapat mencegah terjadinya gerakan bayangan
menyilang retina. Untuk melepaskan diri dari fiksasi penglihatan ini, sinyal
voluntar harus dijalarkan dari lapangan mata voluntar kortikal yang terletak di
korteks frontal (Guyton & Hall, 2008).
Jenis fiksasi involunter yang telah dibahas pada bagian sebelumnya berasal
dari mekanisme umpan balik negatif yang mencegah objek perhatian agar tidak
sampai meninggalkan fovea retina. Secara normal, mata memiliki tiga macam
gerakan yang berjalan secara kontinu namun tidak terasa yaitu tremor yang terus
menerus dengan kecepatan 30-80 siklus per detik yang disebabkan oleh kontraksi
yang beruntun dari unit motor pada otot-otot mata, penyimpangan yang lambat
dari bola mata ke satu jurusan atau ke jurusan lainnya, dan gerakan ceklikan tiba-
tiba yang diatur oleh mekanisme fiksasi involuntar.
Bila sebuah titik cahaya sudah difiksasi pada regio fovea retina, adanya
gerakan tremor akan menyebabkan titik cahaya itu bergerak maju-mundur dengan
cepat menyilang konus, dan gerakan penyimpangan akan menyebabkan titik
tersebut menyimpang konus secara perlahan. Setiap kali titik cahaya menyimpang
sampai pada tepi fovea, timbul suatu reaksi reflex yang mendadak, sehinggan
menyebabkan gerakan ceklikan yang nantinya akan memindahkan titik itu
menjauhi tepi dan kembali ke bagian tengah fovea lagi. Jadi respon otomatis
memindahkan bayangan kembali ke bagian tengah fovea. Kemampuan fiksasi
8
involuntar ini sebagian besar akan hilang ketika kolikulus superior dirusak
(Guyton & Hall, 2008).
Bila bayangan penglihatan bergrak secara terus-menerus di depan mata,
misalnya sewaktu seseorang sedang mengendarai mobil, mata akan terfiksasi pada
satu sorotan cahaya ke satu sorotan cahaya lain dalam lapang pandang, melompat-
lompat dari satu tempat ke tempat lain dengan kecepatan dua sampai tiga
lompatan per detik. Lompatan ini disebut sakade dan gerakannya disebut
optokinetik. Gerakan sakadik ini begitu cepatnya sehingga waktu yang dibutuhkan
untuk menggerakkan mata tersebut tidak lebih dari 10 persen waktu total,
sedangkan 90 persennya dipakai untuk fiksasi. Juga, selama timbul gerakan
sakadik ini, otak akan menekan bayangan penglihatan sehingga orang itu tidak
merasakan adanya gerakan perpindahan dari satu titik ke titik lain. Gerakan
sakadik ini juga terjadi pada saat membaca atau memperhatikan suatu lukisan.
(Guyton & Hall, 2008).
Mata juga dapat tetap difiksasi pada objek yang bergerak, yang disebut
dengan gerakan mengejar. Mekanisme kortikal yang sangat berkembang secara
otomatis dapat mendeteksi rangkaian gerakan suatu objek dan selanjutnya secara
cepat membuat serangkaian pergerakan yang sama pada mata. Contohnya, bila
ada objek yang bergerak ke atas dan ke bawah seperti bentuk gelombang dengan
kecepatan beberapa kali per detik, mula-mula mata tidak mampu berfiksasi pada
objek tersebut. Namun setelah satu detik atau lebih, mata akan mulai melompat
dengan memakai gerakan sakadik menurut suatu pola yang mirip dengan
pergerakn objek tersebut, lalu setelah beberapa detik kemudian, secara progresif,
mata akan mulai semakin lancar dan semakin halus bergerak dan akhirnya
mengikuti pergerakan gelombang tersebut dengan kecepatan yang hampir sama.
Keadaan ini menunjukkan adanya kemampuan secara otomatis dan tidak disadari
serta penuh perhitungan yang dilakukan oleh sistem pengejaran untuk
mengendalikan pergerakan mata (Guyton & Hall, 2008).
9
2.2.3 Fusi Bayangan Penglihatan dari Kedua Mata
Untuk memberikan persepsi penglihatan yang lebih berarti, bayangan
penglihatan pada kedua mata normal berfusi satu sama lain pada titik
korespondensi di kedua retina. Korteks penglihatan berperan penting dalam fusi.
Titik korespondensi kedua retina menjalarkan sinyal penglihatan ke berbagai
lapisan sel saraf di korpus genikulatum lateralis, dan sinyal ini kemudian
dihantarkan ke sel saraf yang sejajar dalam korteks penglihatan. Terjadi interaksi
di antara sel-sel saraf korteks ini yang menyebabkan eksitasi gangguan dalam sel
saraf yang spesifik bila kedua gambaran penglihatan tidak tercatat, yakni tidak
terjadi fusi secara cepat. Rangsangan ini mungkin memberikan sinyal yang
dijalarkan ke apparatus okulomotor yang menyebabkan gerakan mata konvergen,
divergen, atau rotasi supaya fusi dapat dibentuk kembali. Sekali titik
korespondensi kedua retina dicatat, eksitasi gangguan dalam sel spesifik di
korteks penglihatan akan menghilang (Guyton & Hall, 2008).
2.3 Ophthalmoplegia
2.3.1 Batasan
Ophthalmoplegia adalah kelumpuhan atau kelemahan dari satu atau lebih
dari otot-otot yang mengontrol pergerakan bola mata. Kondisi ini dapat
disebabkan oleh gangguan langsung pada otot-otot yang mengendalikan
pergerakan bola mata atau terjadi gangguan pada jalur saraf yang mengendalikan
pergerakan otot-otot mata. Penyakit ini biasanya berkaitan dengan saraf kranial
ketiga (oculomotorius), keempat (trochlear), dan keenam (abducens).
2.3.2 Patofisiologi
Ophthalmoplegia dapat disebabkan oleh gangguan langsung pada otot-otot
yang mengendalikan pergerakan bola mata atau terjadi gagguan pada jalur saraf
yang mengendalikan pergerakan otot-otot mata.
Ophthalmoplegia internuklear merupakan gangguan pergerakan pandangan
atau gaze horizontal yaitu berupa kelemahan adduksi pada mata yang terkena dan
nistagmus abduksi pada mata kontralateral. Penyakit ini biasanya merupakan
10
kelainan yang terdapat pada brainstem atau batang otak, terutama lesi pada
fasikulus longitudinalis medialis pada dorsomedial tegmentum batang otak yaitu
pada pons dan/atau midbrain.
Fasikulus longitudinalis medialis adalah suatu traktus serat saraf penting
yang berjalan dari otak tengah bagian rostral ke korda spinalis. Traktus ini
mengandung banyak jaras yang menghubungkan nukleus-nukleus di dalam batang
otak, terutama yang berperan dalam gerak ekstraokular. Manifestasi paling sering
dari kerusakan fasikulus lingitudinalis medialis adalah oftalmoplegia internuklear,
dengan gerakan-gerakan mata horizontal konjugat terganggu akibat kegagalan
koordinasi antara nucleus nervus abducens di pons dan nucleus nervus
oculomotoris di otak tengah. Lesi di batang otak terletak ipsilateral terhadap mata
aduksi atau kontralateral terhadap arah pandangan horizontal yang abnormal. Pada
bentuk oftalmoplegia internuklear yang paling ringan, kelainan klinis terbatas
pada perlambatan gerakan sakadik saat mata aduksi. Pada bentuk yang paling
parah, kemampuan aduksi dalam pandangan horizontal hilang sama sekali,
menimbulkan diploplia terus-menerus dalam pandangan lateral. Konvergensi
biasanya tidak terganggu pada oftalmoplegia internuklear, kecuali bila lesinya
terletak di otak tengah – mekanisme konvergensi juga dapat terkena. Gambaran
lain oftalmoplegia internuklear adalah nistagmus pada mata yang aduksi sewaktu
berusaha memandang horizontal, yang sedikitnya merupakan bagian dari hasil
kompensasi terhadap kegagalan aduksi mata yang satunya. Pada oftalmoplegia
internuklear bilateral, dapat juga terjadi nistagmus upbet sewaktu menatap ke atas
akibat kegagalan kontrol menahun tatapan ke arah atas, dan matanya mungkin
divergen; hal ini dikenal sebagai sindrom WEBINO (wall-eyed bilateral
internuclear opthalmoplegia) (Vaughan & Asbury, 2012).
Ophthalmoplegia internuklear mungkin disebabkan oleh sclerosis multipel
(terutama dewasa muda), infark batang otak (terutama pada pasien tua), tumor,
malformasi arteriovena, ensefalopati Wernicke, dan ensefalitis. Oftalmoplegia
internuklear bilateral paling sering disebabkan oleh sclerosis multipel.
11
Gambar 2.5 Ophthalmoplegia bilateral akibat multipel sclerosis
Sumber: Vaughan & Asbury, 2013
Kelumpuhan menatap horizontal bersama oftalmoplegia internuklear, akibat
suatu lesi di nucleus abdusens atau formation reticularis pontis paramedian yang
meluas ke dalam fasikulus longitudinalis medialis ipsilateral, mempengaruhi
semua gerak mata horizontal di mata ipsilateral dan aduksi di mata kontralateral.
Hal ini dikenal sebagai sindrom satu setengah (one and a half syndrome), atau
eksotropia pontin paralitik.
Kelumpuhan saraf motorik mata berakibat pada gangguan pergerakan mata;
kesejajaran mata-pada stadium akut, sedikitnya memiliki tingkat keparahan yang
bervarasi dalam berbagai posisi tatapan tergantung otot mana yang lumpuh; dan
ptosis bila terdapat kelumpuhan otot levator palpebra superioris. Ketidaksejajaran
sumbu penglihatan berakibat diploplia, kecuali bila ada supresi, yang lebih sering
timbul pada anak-anak daripada orang dewasa. Dapat diserai pusing dan rasa tidak
seimbang, tetapi keluhanan ini menghilang dengan penutupan satu mata. Dapat
timbul kelainan posisi kepala. Pada kelumpuhan nervus keenam, kepala menoleh
ke sisi yang lumpuh, dan pada kelumpuhan nervus keempat, posisi kepala miring
ke sisi kontralateral. Kelumpuhan suatu otot ekstraokular dapat dirangsang dengan
melakukan restriksi kerja otot pasangannya, misalnya keterbatasan abduksi dapat
terjadi akibat restriksi rektus medialis bukan akibat kelumpuhan rektus lateralis.
Pemeriksaan laju sakadik mungkin berguna, tetapi perlu diakukan uji duksi paksa
(forced duction test). Pemeriksaan laju sakadik juga dapat mengidentifikasi otot
yang lumpuh, contohnya untuk membedakan kelumpuhn otot obliqus superior
dari rektus inferior.
Etiologi dan lokasi gangguan pada kelumpuhan saraf motorik mata sangat
bervariasi. Lesi-lesi di nukleus mempunyai ciri-ciri yang spesifik untuk
melakukan lokalisasi. Lesi fasikulus di dalam batang otak menyerupai lesi saraf
12
perifer, tetapi biasanya dapat dibedakan dengan adanya tanda-tanda batang otak
lainnya. Setiap kelumpuhan otot ekstraokular yang terjadi setelah trauma kepala
ringan (cedera subkonkusif) harus diperiksakan adanya tumor di dasar tengkorak.
Pada kelumpuhan akibat iskemia (ischemic/microvascular palsy), pemulihan
umumnya terjadi dalam 4 bulan. Kelumpuhan yang belum mulai pulih dalam 4
bulan-terutama yang melibatkan nervus keenam harus dicari adanya penyebab
lain, khususnya suatu lesi structural. Harus dilakukan pemeriksaan segera bila
terdapat petunjuk adanya disfungsi nervus kranialis multipel atau adanya
kelumpuhan otot ekstraokular pada seorang dewasa muda. Penilaian kelumpuhan
saraf motorik mata apapun harus melibatkan penilaian fungsi nervus kranialis
kedua, kelima, dan ketujuh.
Serat-serat motorik saraf oculomotorius berasal dari sekelompok inti di
substansia gria sentralis vetral terhadap aquaductus cerebri setinggi colliculus
superior. Nukleus kudalis sentral di garis tegah mempersarafi kedua otot levator
palpebrae superior. Subnukleus resktus superior yang berpasangan mempersarafi
rektus superior kontralateral. Serat-serat eferen segera berdekusasi dan berjalan
melalui subnukleus rektus superior yang berlawanan. Subnukleus untuk otot
rektus medialis, rektus inferior, dan obliqus inferior juga mempersarafi otot-otot
ipsilateral. Fasikulus nervus oculomotorius berjalan melalui nukleus rubra dan sisi
medial pedunculus cerebrum. Saraf berjalan di sepanjang sisi sela tursika, di
dinding luar sinus cavernonus, dan melalui fisura orbitalis superior masuk ke
dalam orbita. Sesaat sebelum memasuki orbita, saraf tersebut terbagi dua menjadi
cabang superior palpabrae dan rektus superior, sedangkan cabang inferior
mempersarafi otot-otot lain dan sfingter.
Parasimpatis berasal dari nukleus Edinger Westphal tepat rostral dari
nukleus motorik nervus ketiga dan berjalan melalui divisi inferior nervus ketiga
ke ganglion ciliare. Dari sini nervus ciliaris brevis meyebar ke otot sfingter iris
dan ke otot siliaris.
13
Lesi di nukleus nervus ketiga mempengaruhi otot rektus medialis dan
inferior serta obliqus inferior ipsilteral, kedua otot levator, dan kedua otot rektus
superior. Akan dijumpai ptosis bilateral dan pembatasan elevasi bilateral serta
pembatasan aduksi dan depresi ipsilateral.
Mulai dari fasikulus saraf di otak tengah hingga ke terminalnya di orbital,
kelumpuhan nervus ketiga menimbulkan disfungsi ipsilateral semata. Pola
persisnya tergantung pada tingkat kelumpuhannya, tetapi umumnya mata
ipsilateral terarah keluar oleh otot rektus lateralis yang intak atau tidak lumpuh
dan sedikit kebawah oleh otot obliqus superior yang intak. Mata mungkin hanya
dapat digerakkan ke lateral. (Insiklotorsi akibat kerja otot obliqus superior yang
intak dapat diamati dengan melihat pembuluh darah halus di konjungtiva medialis
sewaktu dilakukan depresi mata). Mungkin dijumpai dilatasi pupil, hilangnya
akomodasi, dan ptosis palpebra superior, yang sering kali cukup berat hingga
menutupi pupil. Pola kelainan pupil mungkin dipengaruhi oleh Sindrom Horner
penyerta (kelumpuhan simpatis), yang menimbulkan pupil tanpa reaksi dan relatif
kecil atau regenerasi aberan (Vaughan & Asbury, 2013).
Iskemia, aneurisma, trauma kepala, dan tumor intrakranial adalah penyebab
kelumpuhan nervus ketiga tersering pada orang dewasa. Penyebab kelumpuhan
iskemik (mikrovaskular) diantaranya adalah diabetes melitus, hipertensi, dan
vaskulitis sistemik. Aneurisma biasanya berasal dari taut arteri karotis interna dan
arteri komunikans posterior. Tumor intrakranial dapat menyebabkan kelumpuhan
okulomotorius akibat kerusakan langsung pada sarafnya atau akibat efek massa.
Dilatasi pupil, awalnya unilateral kemudian bilateral, merupakan suatu tanda
penting adanya herniasi lobus temporalis medialis melalui hiatus tentorium
(herniasi tentorial) akibat pembesaran masa supratentorium yang cepat.
Kelumpuhan nervus ketiga perifer bilateral dapat terjadi sekunder akibat lesi
interpeduncular lainnya, seperti aneurisma arteria basilaris (Vaughan & Asbury,
2013).
Panduan klinis yang berguna adalah respon pupil yang tidak terganggu pada
lesi iskemik, sementara lesi kompresif termasuk aneurisma akan melibatkan pupil,
awalnya berupa hilangnya reaksi dan kemudian juga dilatasi. Kurang dari 5%
14
kelumpuhan nervus ketiga akibat lesi vaskular berkaitan dengan kelumpuhan
pupil total, dan hanya 15% yang mengalami kelumpuhan pupil parsial.
Kelumpuhan nervus ketiga terisolasi yang nyeri dan disertai keterlibatan pupil
memerlukan penyelidikan darurat adanya aneurisma arteria komunikans posterior
ipsilateral. Pemeriksaan semacam ini juga diindikasikan pada kelumpuhan nervus
ketiga terisolasi yang nyeri dan tidak disertai keterlibatan pupil, dan pada pasien-
pasien muda dengan kelumpuhan nervus ketiga terisolasi tanpa nyeri yang disertai
dengan keterlibatan pupil (Vaughan & Asbury, 2013).
Paralisis elevator monokular, ketidakmampuan mengangkat sebelah mata
pada abduksi (rektus superior) maupun aduksi (obliqus inferior) dapat terjadi
akibat paresis divisi superior nervus ketiga (tumor, sinusistis pasca virus), tetapi
dapat juga suatu kelianan kongenital atau pada ophthalmopati tiroid, miositus
orbita, fraktur dasar orbita, miastenia gravis, atau stroke di otak tengah (Vaughan
& Asbury, 2013).
Gambar 2.6 Ophthalmoplegia (Sumber: Vaughan & Asbury, 2013)
Kelumpuhan saraf ketiga pada anak-anak dapat bersifat kongenital atau
mungkin disebabkan oleh migraine ophthalmoplegi, meningitis, atau pasca virus.
Kelumpuhan saraf trochelaris kongenital dapat terjadi, tetapi tidak biasanya
memiliki asal usul neurogenik, biasanya kelumpuhan ini berasal dari kelainan
perkembangan di orbita. Kelumpuhan trochlearis kongenital dapat terjadi pada
anak-anak dengan postur kepala yang abnormal atau pada anak-anak atau dewasa
15
dengan tegangan mata atau diploplia akibat menurunnya kemampuan untuk
mengatasi deviasi okular vertikal (dekompensasi). Kelumpuhan trochlearis
didapat biasanya bersifat traumatik. Saraf ini rentan mengalami cedera pada
tempat keluarnya di permukaan dorsal batang otak. Kedua saraf dapat rusak akibat
trauma berat sewaktu berdekusasi di velum medularis anterior sehingga terjadi
kelumpuhan otot obliqus superior bilateral. Kelumpuhan trochlearis didapat bisa
juga bersifat iskemik (mikrovaskular) atau sekunder akibat tindakan bedah di
fossa posterior (Vaughan & Asbury, 2013).
Kelumpuhan otot obliqus superior menyebabkan deviasi mata ke atas atau
hipertropia yang meningkat sewaktu pasien melihat ke bawah dan ke sisi yang
berlawanan. Selain itu, pada kelumpuhan didapat, terjadi eksiklotropia dengan
demikian salah satu bayangan diploplia akan dimiringkan sesuai bayangan yang
lain. Oleh karena itu, diplopia torsional mengisyaratkan kelumpuhan yang
didapat, demikian juga tidak adanya gejala-gejala torsional mengisyaratkan suatu
kelumpuhan kongenital. Memiringkan kepala ke sisi yang terkena akan
meningkatkan deviasi vertikal mata. Kepala yang dimiringkan menjauhi sisi mata
yang terkena dapat menghilangkan diplopia, dan pasien sering melakukan
pemiringan kepala yang demikian. Riwayat postur kepala yang abnormal pada
masa kanak-kanak, yang dapat dikonfirmasi dengan melihat foto-foto keluarga
dan dengan kisaran fusi prisma vertikal yang besar, merupakan petunjuk kuat
bahwa kelumpuhan trochlear ini bersifat kongenital. Pada kelumpuhan traumatik
bilateral, biasanya terdapat postur kepala dengan dagu turun. Pembedahan
strabismus efektif pada kelumpuhan kongenital yang tidak terkompensasi dan
tidak bisa dikoreksi dengan prisma, dan untuk kelumpuhan didapat yang tidak
teratasi (Vaughan & Asbury, 2013).
Serabut-serabut motorik nervus abducens berasal dari nukleus di dasar
ventrikel keempat di bagian bawah pons dekat genu interna nervus facialis.
Setelah menembus pons, serabut-serabut tersebut keluar di sebelah anterior dan
berjalan melewati ujung pars petrosus osis temporalis kedalam sinus cavernosus.
Saraf ini kemudian masuk ke orbita bersama nervus ketiga dan keempat untuk
mempersarafi otot rektus lateralis (Vaughan & Asbury, 2013).
16
Nukleus abducens mengandung neuron-neuron motorik yang menuju otot
rektus lateralis ipsilateral dan badan sel antar neuron yang mempersarafi neuron-
neuron motorik otot rektus medialis kontralateral. Nukelus ini merupakan titik
pemancar akhir bagi semua gerak mata horizontal konjugat, dan lesi di dalam
nukleus akan menimbulkan kelumpuhan menatap horizontal ipsilateral yang
mengenai semua jenis gerak mata yang termasuk gerak vestibular. Hal ini berbeda
dengan lesi di formatio reticularis pontis paramedian, yang gerak vestibularnya
tidak terganggu (Vaughan & Asbury, 2013).
Kelumpuhan nervus abducens merupakan kelumpuhan otot ekstraokular
tunggal yang paling sering terjadi. Abduksi mata berkurang atau tidak ada,
terdapat esotropia pada posisi primer yang meningkat sewaktu mata melakukan
fiksasi jauh dan menatap kesisi yang terkena. Iskemia (arteriosklerosis, diabetes,
migraine, dan hipertensi) adalah penyebab yang sering dijumpai. Akan tetapi,
peningkatan tekanan intrakanial dengan kelumpuhan nervus abducens sebagai
tanda lokalisasi semu, tumor intrakranial khususnya yang di dasar tengkorak,
trauma, meningitis, dimielinasi, fistula arterio venosa, dan pungsi lumbal
merupakan penyebab-penyebab umum lainnya. Infeksi dapat menimbulkan
kelumpuhan nervus keenam akibat keterlibatan langsung, seperti pada infeksi
telinga tengah, iskemia, atau meningitis. Malformasi Arnold Chiari (pergeseran
tonsil serebelum kongenital kebawah) dapat menimbulkan kelumpuhan nervus
keenam akibat traksi, tetapi dapat pula menimbulkan esotropia saat memandang
jauh tanpa disertai keterbatasan abduksi akibat disfungsi serebelum. Seorang anak
dengan kelumpuhan nervus keenam harus dievaluasi untuk mencari adanya
peradangan atau tumor batang otak atau glioma bila tidak ada trauma atau
traumanya minimal. Sindrom Mobius (diplegia fasial kongenital) dapat disertai
dengan kelumpuhan nervus keenam atau kelumpuhan tatapan konjugat. Pseudo
kelumpuhan nervus keenam dapat terjadi pada sindrom duane, spasme refleks
dekat, penyakit mata tiroid, miastenia, atau strabismus jangka panjang dan pada
penjepitan rektus medialis oleh suatu fraktur etmoid (Vaughan & Asbury, 2013).
17
Beberapa sindrom dapat mengenai saraf kranialis III, IV, dan VI secara
bersamaan. Pada Sindrom Fisura Orbitalis Superior semua saraf motorik dapat
terkena. Sindrom ini biasanya disebabkan oleh trauma pada fisura orbitalis
superior atau tumor yang melewati fisura tersebut (Vaughan & Asbury, 2013).
Sindrom Apeks Orbia merupakan sindrom yang serupa dengan sindrom
fisura orbitalis superior yang disertai tanda-tanda nervus optikus dan biasanya
proptosi yang lebih berat. Sindrom ini disebabkan oleh tumor, peradangan, atau
trauma.
Ophthalmoplegia total yang awitannya mendadak dapat disebabkan oleh
penyakit vaskular batang otak yang luas, ensefalopati Wernicke, sindro Fisher,
poliomielitis bulbaris, apopleksia hipofisis, aneurisma basilaris, meningits difteria
botulisme, atau krisis miastenia (Vaughan & Asbury, 2013).
Penyebab ophthalmoplegia yang lain yaitu multipel sklerosis. Penyakit ini
merupakan demielinasi pada sistem saraf pusat yang sering kambuh dan remisi.
Penyebabnya tidak diketahui. Beberapa pasien dapat mengalami bentuk penyakit
yang progresif kronik yang terjadi setelah periode kambuh dan remisi atau
progresif sekunder atau yang lebih jarang terjadi sejak awal serangan (progresif
primer). Yang khas pada penyakit ini adalah lesinya terjadi pada waktu yang
berlainan dan di lokasi-lokasi yang tidak berbatasan pada sistem saraf yakni lesi-
lesi tersebar dalam ruang dan waktu. Terdapat kecenderungan untuk melibatkan
nervus optikus dan chiasma opticum, batang otak, pedunculus serebellum, dan
medulla spinalis. Walaupun tidak ada satu pun bagian sistem saraf pusat yang bisa
lolos dari penyakit ini. Sistem saraf perifer jarang terkena.
Ophthalmoplegia eksternal biasanya disebabkan oleh penyakit gangguan
pada sistem neuromuscular. Gangguan tersebut dapat terjadi pada neuropati
perifer seperti sindrom Guillain-Barre dan sindrom Miller Fisher. Penyebab
ophthalmoplegia juga dapat terjadi pada penyakit yang menyebabkan gangguan
pada neuromuscular junction seperti toksin botulism, miastenia gravis, kongenital
miastenia, dan sindrom Lambert-eaton. Selain itu, ophthalmoplegia juga dapat
terjadi pada miopati seperti gangguan pada mitokondria (Kearns-Sayre syndrome,
18
dan progressive external ophthalmoplegia) atau pada penyakit akibat hipertiroid
(Grave’s disease) (Fauci et all, 2008).
Ophthalmoplegia eksternal progresif kronik merupakan penyakit yang agak
jarang dan ditandai oleh ketidakmampuan menggerakkan mata yang progresif
lambat dan sering berkaitan dengan ptosis dini yang parah tetapi reaksi pupilnya
normal. Kelainan ini dapat muncul di semua usia dan berkembang selama periode
5-51 tahun menjadi ophthalmoplegia eksternal total. Penyakit ini merupakan suatu
bentuk miopati mitokondria dan mungkin berhubungan dengan manifestasi
penyakit mitokondria lain, seperti degenerasi pigmentasi retina, tuli, kelainan
serebelum vestibular, kejang, defek hantaran jantung, dan neuropati sensori
motorik perifer. Pada keadaan ini dapat digunakan istilah “Ophthalmoplegia
plus”. Awitan ophthalmoplegia eksternal progresif kronik, blok jantung, dan
retinitis pigmentosa sebelum berusia 15 tahun dikenal sebagai sindrom Kearns
Sayre. Ophthalmoplegia ekstrenal progresif kronik berhubungan dengan delesi
DNA mitokondria, yang lebih sering dan lebih luas pada kasus-kasus dengan
manifestasi non okular (Vaughan & Asbury, 2013).
Penyebab dari ophthalmoplegia yang lain adalah miastenia gravis yang
ditandai oleh kelemahan abnormal otot-otot serat lintang setelah kontraksi
berulang dan membaik setelah beristirahat. Pada penemuan petama kali sering
ditemukan sebagai kelemahan otot-otot ekstraokuler. Ptosis unilateral karena
kelelahan otot sering merupakan tanda awal yang diikuti oleh keterlibatan otot-
otot ekstraokular bilateral sehingga gejala awalnya sering berupa diplopia. Pada
kasus yang tidak diobati, dapat segara timbul kelemahan umum lengan dan
tungkai, kesulitan menelan, kelemahan otot-otot rahang, dan kesulitan bernapas.
Kelemahan ini memperlihatkan variasi diurnal dan sering memburuk seiring
dengan berlalunya hari tetapi dapat membaik setelah tidur siang. Pada penyakit ini
tidak didapatkan gangguan sensorik (Vaughan & Asbury, 2013).
Penyakit ini berasal dari taut neuromuskular khususnya di daerah pasca
sinaps, terutama akibat antibodi terhadap daerah pasca dan pra sinaps. Adanya
antibodi reseptor anti asetil kolin bersifat diagnostik. Antibodi ini terdapat pada
80-90% pasien miastenia sistemik dan 40-60% dengan miastenia okular murni.
19
Kolinesterasi merusak asetil kolin di taut neuromuskular, dan obat-obat
penghambat kolinesterase dapat memperbaiki keadaan dengan meningkatkan
jumlah asetilkolin yang tersedia untuk tempat pasca sinaps yang rusak. Adanya
riwayat perbaikan ptosis setelah beristirahat atau pemberian es dapat membantu
diagnosis. Miastenia biasanya merupakan penyakit kronik dengan kecenderungan
remisi dan kambuh. Prognosis tergantung pada luas penyakit, respon terhadap
pengobatan, dan timektomi, serta penatalaksanaan yang tepat selama eksaserbasi
berat (Vaughan & Asbury, 2013).
Kearns-Sayre Syndrome (KSS) merupakan gangguan pada sistem multi
organ yang terjadi secara luas dan memiliki trias pada penemuan klinisnya. Trias
tersebut adalah onset terjadinya sebelum usia 20 tahun, merupakan
ophthalmoplegia ekternal progresif kronik, dan retinopati pigmentosa. Selain itu
terdapat beberapa gejala seperti blok jantung komplit, kadar protein cairan
serebospinal lebih dari 1 gr/liter atau terjadi serebelar ataksia.
KSS merupakan penyakit yang bersifat sporadis, yang ditandai dengan
miopathy mitokondria. Berbagai derajat ptosis dan kelemahan otot ekstraokuler
dapat ditemukan, biasanya tanpa disertai diplopia. Penyakit ini harus dibedakan
dengan miastenia gravis, yaitu pada penyakit ini tidak didapatkan pola remisi dan
kambuh secara berulang. Penyakit ini disebabkan oleh delesi pada mtDNA yang
diduga terjadi secara spontan pada ovum atau zigot. Delesi yang sering terjadi
(sekitar 1/3 pasien), terjadi pada mtDNA 4977 bp.
2.3.3 Gejala Klinis
Pada ophtalmoplegia, mata tidak bergerak bersamaan sehingga pasien
mengeluh penglihatan ganda (diplopia). Selain itu juga terdapat keluhan berupa
mata buram. Beberapa penderita juga mengeluh kesulitan menggerakkan bola
matanya ke arah tertentu atau terdapat kelumpuhan pada palpebra superior. Gejala
lainnya dapat berupa kesulitan menelan dan kelemahan pada otot-otot tubuh
secara general.
20
Kelumpuhan saraf motorik mata berakibat pada gangguan pergerakan mata;
kesejajaran mata-pada stadium akut, sedikitnya memiliki tingkat keparahan yang
bervarasi dalam berbagai posisi tatapan tergantung otot mana yang lumpuh; dan
ptosis bila terdapat kelumpuhan otot levator palpebra superioris. Ketidaksejajaran
sumbu penglihatan berakibat diploplia, kecuali bila ada supresi, yang lebih sering
timbul pada anak-anak daripada orang dewasa. Dapat disertai pusing dan rasa
tidak seimbang, tetapi keluhanan ini menghilang dengan penutupan satu mata.
Dapat timbul kelainan posisi kepala. Pada kelumpuhan nervus keenam, kepala
menoleh ke sisi yang lumpuh, dan pada kelumpuhan nervus keempat, posisi
kepala miring ke sisi kontralateral. Kelumpuhan suatu otot ekstraokular dapat
dirangsang dengan melakukan restriksi kerja otot pasangannya, misalnya
keterbatasan abduksi dapat terjadi akibat restriksi rektus medialis bukan akibat
kelumpuhan rektus lateralis.
Pada sklerosis multipel neuritis optik mungkin merupakan manifestasi yang
pertama. Dapat timbul serangan berulang, dan mata sebelahnya biasanya juga
terkena. Secara keseluruhan insiden neuritis optik pada sklerosis multipel adalah
90% dan adanya keterlibatan nervus optikus yang simptomatik atau sub klinis
merupakan petunjuk diagnostik yang penting. Diplopia adalah gejala awal yang
umum ditemukan, paling sering terjadi akibat ophthalmoplegia internuklear yang
sering mengenai kedua mata. Penyebab yang kurang umum, yaitu lesi pada nervus
kranialis ketiga atau keenam dalam batang otak. Nistagmus adalah tanda awal
yang umum terjadi, dan tidak seperti kebanyakan manifestasi penyakit ini (yang
cenderung mengalami remisi) nistagmus sering menetap.
Sklerosis multipel menimbulkan peradangan intraokular, terutama
pembentukan selubung (sheating) vena retina perifer, yang dapat diperjelas
dengan angiografi fluoresein. Selain ganggun pada mata, mungkin ditemukan
kelemahan motorik disertai tanda-tanda piramidal, ataksia, inkoordinasi tungkai
dengan tremor intensif, disartria, gangguan berkemih dan atau buang air besar dan
gangguan sensorik khususnya parastesia.
21
Miastenia gravis sering ditemukan pertama kali sebagai kelemahan otot-otot
ekstraokuler. Ptosis unilateral karena kelelahan otot sering merupakan tanda awal
yang diikuti oleh keterlibatan otot-otot ekstraokular bilateral sehingga gejala
awalnya sering berupa diplopia. Pada kasus yang tidak diobati, dapat segara
timbul kelemahan umum lengan dan tungkai, kesulitan menelan, kelemahan otot-
otot rahang, dan kesulitan bernapas. Kelemahan ini memperlihatkan variasi
diurnal dan sering memburuk seiring dengan berlalunya hari tetapi dapat membaik
setelah tidur siang. Pada penyakit ini tidak didapatkan gangguan sensorik.
Gejala dari KSS adalalah terjadinya ptosis, pergerakan bola mata yang
terbatas, kehilangan kemampuan pendengaran terutama pada suara frekuensi
tinggi, kelemahan ringan pada otot-otot tangan dan kaki, kesulitan ringan pada
proses menelan (disfagia), retinopati pigmentosa, neuropati perifer seperti mati
rasa, ataksia, dan gangguan pada irama jantung.
2.3.4 Diagnosis
Diagnosis multipel skelrosis didasarkan pada adanya kelainan pada substansi
alba pada sistem saraf sentral yang bersifat diseminata (Schumacher criteria),
yang didukung dengan hasil pemeriksaan MRI dan adanya keabnormalan pada
cairan serebrospinalis (kriteria posner). Penemuan Oligoclonal bands pada cairan
serebrospinal menandakan adanya produksi imunoglobuin intratekal merupakan
karakteristik dari multipel sclerosis, namun penemuan ini bukan merupakan
diagnosis pasti. Dapat juga ditemukan limfositosis pada cairan serebrospinal atau
peningkatan ringan dari protein serebrospinal pada saat fase akut. Pada multipel
sclerosis juga didapatkan adanya neuritis optik hampir pada 60% penderita.
Defek lapisan serat saraf retina yang sesuai untuk neuritis optik sub klinis
dapat terdeteksi pada 68% pasien sklerosis multipel. VER mungkin dapat
mengkonfirmasi terkena atau tidaknya jaras penglihatan. Hasil VER tidak normal
pada 80% kasus sklerosis multipel yang jelas, 43% kasus probable, dan 22& kasus
dugaan sklerosis multipel.
Diagnosis dari miastenia gravis yaitu dengan menemukan antibodi reseptor
anti-asetilkolin. Pasien dengan antibodi positif harus menjalani pemeriksaan CT
22
scan atau MRI dada untuk mendeteksi adanya pembesaran timus. Timoma terjadi
pada 15% pasien. Sebagian besar pasien dengan miastenia gravis generalisata
tanpa antibodi reseptor asetilkolin memiliki antibodi terhadap reseptor tirosin
kinase yang spesifik. Pasien-pasien ini biasanya perempuan, dengan otot-otot
bulbar dan kranial paling banyak terkena, sering terjadi krisis respiratorik, dan
respon terhadap terapi yang lebih buruk.
Endrofonium intravena atau neostigmin intramuskular dapat digunakan untuk
diagnosis. Pada uji endrofonium (tensilon), atropin intravena disarankan untuk
diberikan sebagai praterapi. Endrofonium, 2 mg diberikan secara intravena dalam
15 detik. Bila tidak timbul respon dalam 30 detik, diberikan tambahan 5-7 mg. Uji
ini paling bermakna bila ptosisnya mencolok. Perbaikan fungsi otot yang
bermakna menunjukkan suatu respon positif dan memastikan diagnosis miastenia
gravis (Vaughan & Asbury, 2013).
2.3.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ophthalmoplegia, terapi didasarkan atas penyebabnya.
Pada multipel sklerosis, pengobatan dapat diberikan metil prednisolone intravena
untuk kekambuhan yang bersifat akut, namun pemberian obat ini tidak
mempengaruhi disabilitas yang ditimbulkan oleh penyakit maupun frekuensi
kekambuhan penyakit. Selain itu, dapat juga diberikan interferon dan glatiramer
asetat (kopolimer 1) untuk mengurangi tingkat keparahan dan tingkat
kekambuhan penyakit dan memperlambat progresivitas gambaran abnormal pada
MRI. Pengobatan lain yang dapat diberikan yaitu berup sitostatik, namun
efektifitas dari obat golongan ini masih dalam proses penelitian.
Pasien miastenia gravis dapat diobati dengan piridostigmin, steroid sistemik,
imunosupresan lain seperti azatioprin, imunoglobulin, dan plasmafaresis,
bergantung pada keparahan penyakitnya. Pada eksaserbasi yang berat, mungkin
diperlukan pernapasan buatan. Timektomi mungkin diindikasikan pada pasien
dengan timoma.
23
KESIMPULAN
Ophthalmoplegia adalah kelumpuhan atau kelemahan dari satu atau lebih
dari otot-otot yang mengontrol pergerakan bola mata. Kondisi ini dapat
disebabkan oleh gangguan langsung pada otot-otot yang mengendalikan
pergerakan bola mata atau terjadi gangguan pada jalur saraf yang mengendalikan
pergerakan otot-otot mata. Penyakit ini biasanya berkaitan dengan saraf kranial
ketiga (oculomotorius), keempat (trochlear), dan keenam (abducens).
Ophthalmoplegia dapat dibagi menjadi ophthalmoplegia internuclear yaitu
ophthalmoplegia yang disebabkan oleh kelainan yang biasanya terdapat pada
brainstem, terutama lesi pada fasikulus longitudinalis medialis pada dorsomedial
tegmentum batang otak yaitu pada pons dan/atau midbrain. Ophthalmoplegia jenis
ini biasanya disebabkan oleh sclerosis multipel (terutama dewasa muda), infark
batang otak (terutama pada pasien tua), tumor, malformasi arteriovena,
ensefalopati Wernicke, dan ensefalitis. Jenis ophthalmoplegia selanjutnya yaitu
ophthalmoplegia eksternal yang dapat disebabkan oleh penyakit gangguan pada
sistem neuromuscular seperti sindrom Guillain-Barre dan sindrom Miller Fisher.
Pada ophtalmoplegia, mata tidak bergerak bersamaan sehingga pasien
mengeluh penglihatan ganda (diplopia). Selain itu juga terdapat keluhan berupa
mata buram. Tanda, gejala, serta tatalaksana lainnya bervariasi sesuai dengan
etiologi yang mendasari ophthalmoplegia.
24
Daftar Pustaka
Budiono et all. 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya: Airlangga University Press.
Fauci et all. 2008. Harrison’s Principle of Internal Medicine 17 th Edition. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Guyton and Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edsi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hamilton Health Science. 2014. Chronic Progressive External Ophthalmoplegia (CPEO); Keran-Syre Syndrome (KSS). Mc Master Children’s Hospital.
Hung et all. 2014. Painful Ophthalmoplegia with Normal Cranial Imaging. BMC Neurology 2014 vol. 14 (7) 1-7.
Ilyas, S., Yulianti, S. 2013. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Marchite et all. 2008. Miller Fisher Syndrome, Internal and External Ophthalmoplegia After Flu Vaccination. Arch Soc Esp Oftalmol vol. 2008 (83): 433-436.
Putz, R., Pabst, R. 2006. Sobotta Atlas of Human Anatomy Volume 1. Ed. 14th. Munchen: Elsevier Urban & Fischer.
Reynolds et all. 2004. Bilateral Internuclear Ophthalmoplegia as a Presenting Sign of Multiple Sclerosis: An Interdisciplinary Approach to Diagnosis and Management. The Internet Journal of Allied Health Science and Practice vol. 2 (3): 1-6.
Snell, Richard S. et all. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Voughan & Asbury. 2013. Oftalmologi Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
25
26