referat painful neuropati

Upload: bagus-ngurah-mahasena-gzmh

Post on 07-Jan-2016

239 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

painful neuropati

TRANSCRIPT

2

BAB IPENDAHULUANLesi susunan saraf pusat ataupun perifer pada umumnya berakibat hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf tersebut, yang disebut gejala negatif. Tetapi pada sebagian penderita dengan lesi saraf tepi (seperti pada penderita diabetes) ataupun dengan lesi saraf pusat (misalnya pada penderita stroke) akan menunjukkan gejala positif yang berupa disestesia, parestesia atau nyeri (Meliala, 2001).Nyeri yang ditimbulkan oleh disfungsi primer pada susunan saraf ini, yang dikenal dengan nyeri neuropatik, adalah kondisi yang melemahkan, nyeri yang timbul dapat mengganggu tidur, bahkan dapat mengganggu kualitas hidup penderitanya. Diperkirakan 15 hingga 20 juta penduduk Amerika Serikat di atas usia 40 tahun mengalami berbagai tipe neuropati. Beberapa di antaranya murni atau dominan mengenai small fiber (Meliala, 2001; Tavee, Zhou, 2009). Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas tentang aspek diagnosis dan penatalaksanaan neuropati perifer yang menimbulkan gejala nyeri, khususnya small fiber neuropathy (SFN) yang sering juga disebut painful neuropathy suatu bentuk neuropati nyeri akibat rusaknya serat A bermielin tipis dan serat C yang tanpa myelin. Sebenarnya small fiber neuropathy melibatkan baik serat somatik maupun otonom, namun gejala somatik nyeri seringkali dominan. Hal ini menjelaskan mengapa terminologi painful neuropathy sering digunakan sebagai sinonim small fiber neuropathy walaupun sebenarnya ini tidak benar. Dalam kenyataan, gejala nyeri juga dapat terjadi pada neuropati yang mengenai large fiber. Banyak penelitian klinis pada neuropati sensoris distal memperlihatkan adanya satu rangkaian kejadian dimana mula-mula terjadi lesi small fiber yang kemudian diikuti lesi large fiber (Lauria, 2005).Penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa SFN atau yang selanjutnya dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai painful neuropathy merupakan jenis yang paling umum pada pasien berusia di atas 50 tahun. Karena karakteristik fisiologinya neuropati ini tidak dapat diidentifikasi melalui tes elektrofisiologis rutin, menyebabkan diagnosisnya menjadi sulit ditegakkan dan dalam kebanyakan kasus, tidak ditemukan penyebabnya. Pada tipe lain neuropati dengan keluhan nyeri, ketidaknyamanan yang timbul tidak hanya disebabkan oleh kerusakan serabut saraf kecil, tetapi juga serabut saraf besar (A dan A) yang bertanggung jawab untuk proprioseptif, sensasi getar, refleks regang dan kekuatan otot ikut berperan. Dalam klinis, kedua jenis ini dan penyebab yang mendasari perlu diidentifikasi. Lepas dari subtipenya, rasa sakit yang dihasilkan oleh kerusakan serabut saraf kecil melemahkan dan berespon buruk terhadap pengobatan. Menemukan dan mengobati penyebabnya adalah strategi jangka panjang terbaik tetapi tidak secara rutin dapat dilakukan (Lauria, 2005; Mendell, Sahenk, 2003).Painful neuropathy sebagian besar idiopatik, beberapa penyakit dasar yang sering dengan kondisi ini meliputi diabetes, neuropati paraneoplastik, polineuropati amiloid familial, peripheral nerve vasculitis, neuropati pada gagal ginjal, sensoris neuropati herediter, Fabrys disease, Celiac disease dan neuropati pada penderita HIV (Mendell, Sahenk, 2003)

BAB IIDIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN PAINFUL NEUROPATHY2.1. Aspek Diagnosis Painful NeuropathySerat saraf perifer menurut ukurannya, yang berkorelasi dengan derajat mielinisasi dapat terbagi menjadi serabut saraf besar dengan selubung mielin tebal yang terdiri dari serat A dan A, serat dengan ukuran sedang yang terdiri dari A dan serat-serat kecil yang terdiri dari serat A dan C. A memediasi kekuatan motorik, A memediasi sensasi vibrasi dan raba, sedangkan A membawa informasi ke muscle spindle. Serabut saraf kecil A dan serat C menginervasi kulit (serat somatik) dan otot-otot involunter (serat otonom). Keduanya menghantarkan sensasi nyeri, suhu dan fungsi otonom (Tavee, Zhou, 2009). Neuropati perifer adalah kerusakan susunan saraf perifer yang dapat timbul oleh berbagai penyebab. Selain dikelompokkan berdasarnya pola distribusi dan etiologinya, neuropati juga digolongkan berdasarkan ukuran serat saraf yang terkena. Small fiber neuropathy yang sering disebut sebagai painful neuropathy adalah suatu bentuk neuropati nyeri akibat rusaknya serat A bermielin tipis dan serat C yang tanpa mielin. Sebenarnya small fiber neuropathy melibatkan baik serat somatik maupun otonom, namun gejala somatik nyeri seringkali dominan. Hal ini menjelaskan mengapa terminologi painful neuropathy sering digunakan sebagai sinonim small fiber neuropathy walaupun sebenarnya ini tidak benar. Dalam kenyataan, gejala nyeri juga dapat terjadi pada neuropati yang mengenai large fiber. Banyak penelitian klinis pada neuropati sensoris distal memperlihatkan adanya satu rangkaian kejadian dimana mula-mula terjadi lesi small fiber yang kemudian diikuti lesi large fiber (Lauria, 2005).Gejala positif pada painful neuropathy dapat muncul secara spontan atau setelah suatu stimulus. Nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar, seperti tersetrum, menusuk-nusuk, kesemutan dan baal dengan distribusi khas yang bersifat length dependent dan bilateral simetris atau stocking glove, dimana bagian distal terkena lebih dulu, secara perlahan menyebar ke proksimal yaitu ke tungkai bawah, yang mana pada saat itu tangan mungkin sudah terkena. Umumnya jika gejala telah mengenai tungkai atas, tanda-tanda disfungsi large fiber akan dapat dijumpai. Pada kasus yang sangat jarang, pasien mengeluhkan distribusi yang luas atau patchy distribution yang dapat berhubungan dengan penyebab akut yang idiopatik atau kelainan sistem imun. Distribusi keluhan yang jarang juga dijumpai hanya di lengan, wajah atau mulut seperti pada burning mouth syndrome ( Horowitz, 2007; Lauria, 2003; Tavee, Zhou, 2009). Gambar 1: Distribusi stocking glove yang meliputi nyeri, kesemutan, baal dan disfungsi otonom (gangguan berkeringat) pada tangan dan kaki, dikutip dari Small fiber neuropathy, a burning problem halaman 298 Neuropati bukanlah satu-satunya penyebab nyeri yang dirasakan di kaki. Dalam evaluasi awal, klinisi hendaknya memastikan dahulu bahwa lesi saraf perifer merupakan sumber penyebabnya. Riwayat penyakit akan membantu membedakan nyeri kaki akibat fasciitis plantar, arthritis, bursitis, tendonitis ataupun polimialgia reumatika. Nyeri yang berasal dari lesi saraf perifer dideskripsikan sebagai kesemutan (tingling), baal (numbness), dan rasa tegang pada kaki (feeling tight). (Mendell, Sahenk, 2003).Pada awal penyakit, gejala painful neuropathy mungkin ringan dan samar. Beberapa pasien mengeluhkan rasa tidak nyaman seperti sedang memakai kaos kaki, kaki terasa baal atau perasaan seperti sedang melangkahkan kaki pada pasir. Gejala khas lainnya dan dirasakan sangat mengganggu adalah menyebarnya keluhan ke proksimal yang disertai oleh nyeri menusuk, nyeri seperti tersetrum atau kram pada kaki dan tumit. Gejala biasanya memburuk pada malam hari dan sering mengganggu tidur. Sebagian pasien mengeluhkan kakinya terasa dingin atau menjadi sensitif terhadap stimulus hangat atau dingin. Di antara gejala yang diinduksi stimulus, alodinia karena bersentuhan dengan selimut atau alas kaki atau penekanan pada kaki sering tidak tertahankan oleh pasien. Keluhan kram pada bagian distal tungkai menandai adanya penyebaran hipereksitabilitas membran akibat disfungsi nosiseptor di otot. (Mendell, Sahenk, 2003; Lauria, 2005; Tavee, Zhou, 2009).Nyeri pada jari-jari kaki yang berhubungan dengan kompresi N. Tibialis Posterior pada terowongan tarsal dapat menyerupai painful neuropathy. Dua tanda klinis yang dapat membantu membedakan nyeri akibat sindroma terowongan tarsal dari painful neuropathy adalah adanya Tinnels sign dan tenderness pada perabaan diatas flexor retinakulum. Hilangnya sensasi yang terbatas pada bagian medial kaki, tidak mengenai daerah tumit, juga mengarah pada sindroma terowongan Tarsal (Lauria, 2005; Mendell, Sahenk, 2003).Jika serat otonom juga terlibat, maka dapat dijumpai keluhan mata kering, mulut kering, konstipasi, inkontinensia urin, hipotensi ortostatik, disfungsi seksual, keluhan berkeringat dan perubahan warna kulit menjadi merah atau pucat. Selain itu kulit pada daerah yang terkena dapat terlihat atrofi, mengkilat, kering ataupun sedikit edema akibat gangguan sudomotor dan vasomotor. Gangguan otonom yang berat jarang dijumpai pada lesi small fiber murni. Jika ada maka diabetes, amiloidosis, kelainan imun dan neuropati herediter perlu dipertimbangkan sebagai penyebab (Lauria, 2005; Tavee, Zhou, 2009).Pada kelainan yang hanya mengenai small fiber, ada ketidaksesuaian yang dramatis antara keluhan pasien dan hasil pemeriksaan neurologis. Hasil pemeriksaan yang normal, dijumpai pada lesi murni small fiber. Pada pasien di atas 50 tahun, dijumpai kehilangan pinprick sensation pada kaki, yang dapat meluas secara sentripetal hingga setinggi lutut (namun tidak pernah melebihi lutut). Sensasi raba juga bisa berkurang, sementara yang lainnya masih baik. Pada neuropati nyeri yang mengenai baik small fiber maupun large fiber, dijumpai gangguan proprioseptif, penurunan reflex regang dan kelemahan otot yang merupakan ciri keterlibatan large fiber. Menurunnya sensasi vibrasi yang hanya terbatas pada jari-jari kaki dapat merupakan penemuan normal pada usia tua, namun abnormal jika meluas hingga pergelangan kaki (Mendell, Sahenk, 2003).Evaluasi selanjutnya memerlukan pemeriksaan elektromiografi dan pemeriksaan kecepatan hantar saraf. Pemeriksaan elektrodiagnostik pada painful neuropathy adalah sangat penting untuk membedakan nyeri yang muncul akibat mononeuropati (seperti pada sindroma terowongan Tarsal), membedakan mononeuropati multipel dari polineuropati yang bersifat simetris, dan membedakan neuropati aksonal dengan mielinasi. Hasil pemeriksaan yang normal, sesuai dengan kerusakan murni small fiber (Mendell, Sahenk, 2003).Jika hasil pemeriksaan elektrodiagnostik normal, penyebab nyeri yang non neuropatik perlu dipertimbangkan seperti artritis atau fasciitis plantar yang menimbulkan inflamasi fokal, ataupun kelainan susunan saraf pusat seperti pada mielopati. Pemeriksaan lanjutan berupa test reflek sudomotor akson yang mengukur fungsi berkeringat, test biopsi kulit yang memperlihatkan hilangnya serat-serat saraf intraepidermal dan test sensoris kuantitatif yang mengevaluasi ambang kepekaan nyeri dan suhu di kulit diperlukan untuk menegakkan diagnosis telah terjadi kerusakan small fiber mengingat serat A dan C berperan dalam fungsi-fungsi yang diukur tersebut (Horowitz 2007; Mendell, Sahenk, 2003). 2.1.1 Test sensoris kuantitatifTest sensoris kuantitatif atau yang dalam bahasa Inggris disebut quantitative sensory testing (QST) adalah pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui nilai ambang sensasi rasa nyeri, sentuhan, vibrasi, panas dan dingin. Tersedia berbagai perlengkapan stimulasi dan pencatatannya mulai yang sederhana hingga terkomputerisasi, dimana hasilnya akan dibandingkan dengan angka normal menurut umur dan jenis kelamin. Dengan cara ini lesi serat spesifik dapat dideteksi. Untuk mengetahui fungsi serat A dan C maka diukur nilai ambang rasa dingin dan panas serta stimulasi nyeri oleh rasa dingin dan panas. Meningkatnya nilai ambang berkorelasi dengan hilangnya fungsi sensoris dan penurunan nilai ambang terjadi pada hiperalgesia dan alodinia. Pada polineuropati umum, dimana semua ukuran serat saraf terlibat, semua nilai ambang sensoris meningkat, sementara jika terjadi disosiasi dimana nilai ambang vibrasi normal tetapi ambang batas lainnya meningkat, maka telah terjadi kerusakan small fiber (Horowitz, 2007).

Diagram 1 : Algoritma pemeriksaan pasien dengan neuropati nyeri, dikutip dari Painful sensory neuropathy, halaman 1247Karena QST sangat tergantung pada kerjasama pasien, dapat terjadi bias hasil pemeriksaan yang disebabkan oleh kurang pahamnya pasien, malingering, kelelahan, ngantuk atau kurang perhatian. Juga belum ada prosedur standard pemeriksaan dan pelaporan hasil. Karena beberapa hal tersebut QST kurang obyektif jika dibandingkan dengan test konduksi saraf konvensional. AAN memberi rekomendasi level C bagi penggunaan QST pada pasien dengan kecurigaan neuropati small fiber dan dalam rekomendasinya yang dikeluarkan tahun 2008 AAN mengingatkan agar test ini tidak digunakan sebagai satu-satunya kriteria menegakkan diagnosis dan agar abnormalitas pada QST harus diinterpretasikan bersama-sama dengan hasil pemeriksaan klinis, EMG, ENG, biopsi kulit, biopsi saraf dan hasil-hasil imejing yang berhubungan (Chong and Cros, 2004). Gambar 2; Test sensoris kuantitatif Dikutip dari http://www.neurology.upmc.edu/neuromuscular/patient_info/testing.html#qst, Cited 20 september 2011

2.1.2 Biopsi kulitBiopsi kulit adalah metode diagnostik yang sedikit invasif, tidak nyeri, murah dan dapat dipercaya untuk mengidentifikasi kerusakan small fiber, yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan neurofisiologi rutin. Contoh jaringan diambil dari kulit berambut. Teknik pengecatan imuno histo kimia mampu menampilkan morfologi serat saraf bermielin tipis dan yang tanpa myelin. Biopsi kulit telah terbukti merupakan cara pemeriksaan yang dapat dipercaya dan reproducible. Keuntungan lainnya jika dibandingkan dengan biopsi saraf konvensional adalah masih dapat dibedakan antara serat somatik dan otonom. Karena perubahan morfologi saraf di kulit sudah terjadi pada fase awal polineuropati perifer maka biopsi kulit merupakan pemeriksaan yang menjanjikan untuk dijadikan metode evaluasi terhadap progresifitas penyakit maupun efek terapi yang diberikan. Biopsi kulit dianjurkan bagi pasien dengan keluhan painful neuropathy dengan hasil pemeriksaan neurofisiologis yang normal. European Federation of Neurological Societies (EFNS) memberikan rekomendasi level A untuk pemeriksaan ini karena memiliki efisiensi dan nilai prediktif yang sangat tinggi. (Cornblath et al, 2005; Lauria, Devigilli, 2007). Gambar 3: Inervasi normal pada epidermis, A. Kulit paha B. Kulit pada distal tungkai bawah. Morfologi normal inervasi intradermal ditunjukkan oleh anak panah. Serat-serat saraf tampak jelas dengan lekukan-lekukan ringan dikutip dari Skin biopsy as a diagnostic tool in peripheral neuropathy halaman 547

Gambar 4: Gambar biopsi kulit pada seorang penderita diabetes small fiber neuropathy. A. Kulit paha. B. Kulit di bagian distal tungkai bawah. Tampak densitas serat saraf intra epidermal yang menurun, terutama pada gambar B. Dikutip dari Skin biopsy as a diagnostic tool in peripheral neuropathy halaman 550

2.1.3 Tes reflek sudomotor axonEvaluasi fungsi otonom pada pasien dengan nyeri neuropatik adalah penting, mengingat kesamaan anatomi serat saraf nyeri dan otonom pada susunan saraf perifer. Pasien dengan nyeri neuropatik sekitar 90% memperlihatkan tanda dan gejala disfungsi otonom seperti mata atau mulut kering, perubahan temperatur atau warna kulit, gangguan berkeringat dan hipotensi ortostatik. Kelainan otonom juga didapatkan pada polineuropati perifer yang tidak nyeri. Tes-tes fungsi otonom pada painful neuropathy telah dilakukan pada banyak penelitian, didapatkan bahwa tes yang paling berguna antara lain adalah Quantitative Sudomotor Axon Reflex Test (QSART) (Horowitz, 2007).QSART adalah pemeriksaan fungsi otonom terhadap produksi keringat. Elektrode diletakkan pada lengan, kaki atau tungkai distal. Stimulasi kelenjar keringat terdekat dilakukan dengan menghantarkan zat kimia tertentu melalui kulit secara elektrik. Selama test, jumlah keringat dibawah kapsul pengukur akan dicatat dan dibandingkan dengan nilai normal. Sebelum tes dilakukan, pasien dilarang mengkomsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi fungsi kelenjar keringat seperti golongan trisiklik antidepresan dan anti histamin (Horowitz,2007). Gambar 5 : Tes Refleks kuantitatif sudomotor aksonal, diambil dari http://www.neurology.upmc.edu/neuromuscular/patient_info/testing.html#qst, cited 20 september 2011

Kriteria diagnosis pasti untuk SFN belum didefinisikan dan gold standard untuk kepentingan klinis praktis dan penelitian belum ada. Lauria dkk pada tahun 2007 mengadakan penelitian terhadap 124 pasien dengan neuropati sensoris. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan spesifisitas dan sensitifitas pemeriksaan klinis, QST dan biopsi kulit untuk diajukan sebagai kriteria diagnostik SFN. Dari jumlah tersebut didapatkan 67 orang dengan diagnosis SFN berdasarkan kriteria gold standard baru yang mereka tetapkan dimana diagnosis ditegakkan bila 2 abnormalitas dari gejala klinis, QST dan biopsi kulit ditemukan. Sebesar 43,3% dari 67 pasien didapatkan pemeriksaan klinis dan biopsi kulit yang sesuai, 37,3% dengan biopsi dan QST yang positif, 11,9% dengan klinis dan QST positif dan 7,6% yang ketiganya positif. Mereka mendapatkan bahwa biopsi kulit mempunyai efikasi diagnosis sebesar 88,4%, pemeriksaan klinis sebesar 54,6%, dan QST sebesar 46,9% (Lauria, 2005; Devigili et al, 2008)

2.2. Aspek Penatalaksanaan Painful NeuropathyPrinsip penanganan painful neuropathy adalah memberikan terapi pada kelaianan dasar yang menjadi penyebabnya dan penanganan keluhan nyeri. Yang akan diuraikan dalam tinjauan pustaka ini adalah penanganan gejala nyeri tanpa memandang penyakit dasarnya.Menejemen nyeri sangat penting dalam penanganan painful neuropathy mengingat nyeri yang timbul dapat sangat melemahkan dan menimbulkan depresi. Diperlukan kerjasama tim yang meliputi ahli saraf, ahli nyeri dan psikiatri. Penatalaksanaan secara umum meliputi terapi non farmakologis dan farmakologis. Selama ini terapi non farmakologis terkesan hanya sebagai terapi komplementer dan bukti-bukti efikasinya masih kurang. Beberapa terapi non farmakologis yang pernah dilaporkan memberi manfaat adalah transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS), percutaneus electrical nerve stimulation, terapi kognitif dan psikoterapi suportif (Gilron et al, 2006). Laporan subkomite Therapeutics and Technology Assesment AAN tentang efikasi TENS dalam menejemen nyeri berbagai kelainan neurologi pada tahun 2010 merekomendasikan TENS dapat dipertimbangkan dalam penanganan nyeri neuropatik pada painful diabetic neuropathy dengan tingkan eviden level B berdasarkan dua penelitian kelas 1 yang dikaji subkomite ini hingga tahun 2009 (Dubinsky, Miyasaki, 2010). Adapun terapi farmakologis untuk mengatasi nyeri pada painful neuropathy ini meliputi anti konvulsan, anti depresan, anestesi topikal maupun obat-obatan golongan narkotika dan non narkotika (Tavee, Zhou, 2009).

2.2.1 Obat-obatan anti depresanAnti depresan trisiklik telah diketahui efikasinya dalam penanganan nyeri neuropatik sejak kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu. Efek analgetiknya terjadi melalui hambatan terhadap reuptake serotonin dan noradrenalin, antagonis terhadap reseptor NMDA dan menginhibisi saluran natrium. Pemakaian anti depresan trisiklik memberi respon yang baik terhadap nyeri spontan maupun hiperalgesia, namun efektifitasnya sering dibatasi oleh efek samping yang ditimbulkan terutama pada pasien tua (Mendell, Sahenk, 2003; Gilron, 2006).Anti depresan trisiklik dapat memberikan beberapa efek samping yang serius seperti blok konduksi jantung, sedasi, hipotensi ortostatik, confusion, penambahan berat badan, dan efek antikolinergik seperti mulut kering, konstipasi, retensi urin dan pandangan kabur. Perlu kehati-hatian pada pasien yang berpotensi mendapatkan efek samping dan tidak boleh diberikan pada pasien dengan riwayat infark jantung, blok irama jantung, hipertrofi prostat dan pada penderita narrow angle glaucoma (Gilron, 2010).

Obat anti depresanSedian

Anti depresan trisiklik

Tersiery amineAmitriptilin, Clomipramin, Imipramin, Doxepin, Trimipramin

Secondary amineNortriptilin, Desipramin, Maprotilin, Protryptilin, Amoxapin

Serotonine Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRI)Venlafaxin,Duloxetin, Sibutramin, Milnacipran, Desvenlapaxin, Reboxetine, Viloxazin, Bicifadine

Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)Fluoxetin, Paroxetin, Citalopram, Sertralin, Lofepramin, Dapoxetin, Zimeldin

Monoamine Oxidase InhibitorsPhenelzine, Tranylcypromine, Iproniazid, Isocarboxazid, Nialamide, Maclobemide, Selegilin, Pirlindole

Anti depresan lainTrazodon, Nefazodon, Mianserin, Mirtazapin, Bupropion,Atomoxetine

Tabel 1: Klasifikasi farmakologis obat-obat anti depresan (dikutip dari Clinical Pharmacology of Antidepresants and Anticonvulsants for the Management of Pain, dalam Pain 2010 an updated review) halaman 194 Kajian European Federation of Neurological Societies (EFNS) terhadap penelitian-penelitian painful polineuropathy kelas 1 dan 2 yang memakai metode acak dengan kontrol dari tahun 1966 hingga 2006, mendapatkan bahwa jumlah yang dibutuhkan untuk diterapi (JDD) bagi obat yang menghambat reuptake serotonin dan noradrenalin yang memberikan perbaikan nyeri minimal 50% adalah 2,1. (95% CI 1,8-2,6). Sedangkan untuk obat-obatan yang utamanya menghambat reuptake noradrenaline didapatkan JDD sebesar 2,5 (95% CI 1,9-3,6). Dalam salah satu penelitian yang dikaji didapatkan bahwa Amitriptilin secara bermakna sedikit lebih efektif dibandingkan maproptilin. Kelompok SSRI ataupun mianserin dalam empat penelitian acak dengan kontrol didapatkan tidak efektif dalam terapi nyeri neuropatik. Sementara itu kelompok SNRI seperti Venlapaxin (150-225 mg/hari) dan Duloxetin (60-120 mg/hari) mempunyai efikasi moderat dengan JDD berturut-turut 4,6 (95% CI 2,9-10,6) dan 5,2 (95%CI = 3,7-8,5) (Attal, 2006).Sultan et al tahun 2008 mengadakan kajian kepustakaan sistematik terhadap tiga penelitian acak dengan kontrol yang melibatkan jumlah sampel yang besar penderita diabetic painful neuropathy derajat sedang dan diterapi selama 12-13 minggu mendapatkan JDD untuk minimal 50% pengurangan rasa nyeri sebesar 5,8 (95% CI 4,5-8,4) untuk duloxetin 60 mg dan 5,7 (95% CI 4,5-5,7) untuk duloxetin 120 mg.Venlafaxin memiliki efek samping yang lebih ringan dari TCA karena berikatan lebih rendah pada reseptor muskarinik, histamine dan 1 adrenergik. Suatu penelitian acak dengan sampel kecil memperlihatkan bahwa venlafaxin efektif pada painful neuropathy akibat kanker (Mendell, Sahenk, 2003).Golongan SNRI seperti duloxetin dan venlapaxin ditoleransi lebih baik dengan efek samping serius yang lebih kecil dan lebih sedikit dibandingkan golongan anti depresan trisiklik. Namun demikian hubungan venlapaxin dengan peningkatan tekanan darah menyebabkan SNRI kontra indikasi pada penderita hipertensi tidak terkontrol. Sindroma serotonin adalah suatu kondisi fatal yang berhubungan dengan efek toksik obat-obat anti depresan yang memberikan gejala berupa agitasi, diaphoresis, hipertermi, mioklonus, tremor dan confusion. Walaupun sindroma serotonin sering dihubungkan dengan pemakaian MAO inhibitor bersama obat-obat serotoninergik lainnya, namun harus selalu diwaspadai dua atau lebih obat-obatan serotoninergik pada pasien nyeri neuropatik. Direkomendasikan penggunaan dosis kecil, titrasi bertahap dengan durasi pemberian yang adekuat (Gilron, 2010).

ConditionStudy drug(No.trial/No.participant receiving active medication)NNT(95% CI)

Various neuropathic conditionAmitriptyline (10/588)Desipramine (2/100)Imipramine (3/114)3,1 (2,5-4,2)2,6 (1,9-4,5)2,2 (1,7-3,2)

Various neuropathic conditionTCASSRISNRI3,1 (2,7-3,76,8 (3,4-441)5,5 (3,4-14)

Diabetic NeuropathyDuloxetine (3/1139)6 (5,0-10,0)

Tabel 2 : Hasil kajian kepustakaan sistematis terhadap obat-obat anti depresan dalam terapi nyeri neuropatik dikutip dari Clinical Pharmacology of Antidepresants and Anticonvulsants for the Management of Pain dalam Pain 2010 an updated review) halaman 197

ConditionReferenceDrugTreatment recommendation

Neuropathic painDworkin et alMoulin et al

Attal et alSecondary amine TCASNRITCASNRI1st line1st line2nd line1st line2nd line

Tabel 3: Pedoman terapi nyeri neuropatik terkait pemakaian obat anti depresan, dikutip dari Clinical Pharmacology of Antidepresants and Anticonvulsants for the Management of Pain dalam Pain 2010 an updated review) halaman 201

2.2.2 Anti konvulsanGabapentin dan pregabalin efektif pada diabetic painful neuropathy dimana pada penggunaan pregabalin efeknya tergantung dosis yang diberikan. Beberapa penelitian memperlihatkan hasil negatif pada dosis pregabalin 150 mg/hari, sedangkan meta analisis pada dosis 300-600 mg/hari memperlihatkan efektifitas dengan JDD 5-11 untuk neuropati diabetika (dosis lebih tinggi, mempunyai JDD lebih kecil). Suatu penelitian kelas 1 tahun 2009 yang dikaji EFNS mendapatkan bahwa gabapentin memiliki efektifitas yang sama dengan nortriptilin. Efek samping yang sering terjadi meliputi dizziness, somnolence, edema perifer, berat badan meningkat, sakit kepala dan mulut kering. Dalam penelitian yang membandingkan efek samping kedua obat tersebut, ada dua hal yang membedakan gabapentin dan nortriptilin yaitu mulut kering yang lebih sering terjadi pada pemakaian nortriptilin dan gangguan konsentrasi yang lebih sering terjadi pada penggunaan gabapentin (Attalet al 2010; Gilron, 2010).Dalam kajian yang dilakukan EFNS tahun 2006, Topiramat tidak memberikan perbaikan nyeri pada tiga penelitian besar acak dengan control pada diabetic painful neuropathy, namun penelitian terakhir memperlihatkan efek marginal dengan JDD 7,4 (95% CI 4,3-28) (Attal et al, 2006).Kombinasi anti konvulsan dengan analgetik lain dalam penanganan nyeri neuropatik telah dievaluasi pada beberapa penelitian. Penelitian yang dikerjakan oleh Gilron dkk pada tahun 2005 melaporkan bahwa terapi kombinasi gabapentin dan morfin atau gabapentin nortriptilin memberikan efikasi lebih baik daripada terapi tunggal masing-masing obat tersebut (Gilron, 2010).

ConditionStudy DrugNo.trial/No.participants receiving active medicationNNT(95% CI)

Various Neuropathic conditionCarbamazepine (7/235)Phenitoin (2/50)Lamotrigine (7/494)Valproate (5/196)Gabapentin/Pregabalin(15/2381)Topiramate (2/1582)2,0 (1,6-2,5)2,1 (1,5-3,6)4,9 (3,5-8,1)2,8 (2,1-4,2)4,7 (4,0-5,6)7,4 (4,3-28)

Painful Diabetic NeuropathyPregabalin, 300-600mg (8/176)5-11* (4-54)

Tabel 4 :Hasil kajian sistematik terhadap penelitian-penelitian acak dengan kontrol penggunaan obat-obat anti konvulsan pada nyeri neuropatik dikutip dari Clinical Pharmacology of Antidepresants and Anticonvulsants for the Management of Pain dalam Pain 2010 an updated review) halaman 198*Penggunaan dosis lebih tinggi memberikan nilai NNT atau JDD untuk pengurangan nyeri 50% yang lebih rendah

ConditionReferenceDrugTreatment recomendation

Neuropathic painDworkin et alMoulin et al

Attal et al

Gabapentin, pregabalinGabapentin, pregabalinCarbamazepine

Gabapentin, pregabalinCarbamazepine

1st line1st line1st line for trigeminal neuralgia only1st line 1st line for trigeminal neuralgia only

Tabel 6 : : Pedoman terapi nyeri neuropatik terkait pemakaian obat anti konvulsan, dikutip dari Clinical Pharmacology of Antidepresants and Anticonvulsants for the Management of Pain dalam Pain 2010 an updated review) halaman 202

Gabapentin dan pregabalin telah direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk penanganan nyeri neuropatik oleh European Federation of Neurological Societies (EFNS), Canadian Pain Societies dan International Association for the Study of Pain (IASP), kecuali untuk kondisi neuralgia trigeminal, dimana carbamazepine merupakan pilihan pertama (Gilron, 2010). DrugStarting DosageTitrationMaximum DosageDuration of Adequate Trial

TCASecondary amine TCA: Nortriptilin,desipramine (use a tertiary amine only if a secondary amine is not available25 mg at bedtimeIncrease by 25 mg daily every 3-7 days as tolerated150 mg daily; if blood level of active medication and its metabolite is below 100ng/mL, continue titration with caution6-8 weeks with at least 2 weeks at maximum tolerated dosage

SNRI antidepressantsDuloxetine

Venlapaxine

30 mg once daily

37,5 mg once or twice dailyIncrease to 60 mg once daily after 1 weekIncrease by 75 mg each week60 mg twice daily

225 mg daily4 weeks

4-6 weeks

AnticonvulsantsGabapentin

Pregabalin

Carbamazepine (recommended only for trigeminal neuralgia)100-300 mg at bedtime or 100-300 mg three times daily

50 mg thrice daily or 75 mg twice daily as tolerated

100-200 mg dailyIncrease by 100-300 mg three times daily every 1-7 days as tolerated

Increase to 300 mg daily after 3-7 days, then by 150 mg/day every 3-7 days as tolerated

Increase weekly by 100-200 daily3600 mg daily (1200 mg three times daily):reduce if impaired renal function600 mg daily (200 mg three times or 300 mg twice daily): reduce if renal function is impaired1600 mg daily3-8 weeks for titration plus 2 weeks at maximum dosage

4 weeks

6-8 weeks

Tabel 7 : Rekomendasi pemakaian anti depresan dan anti konvulsan pada nyeri kronis, dikuti dari Clinical Pharmacology of Antidepresants and Anticonvulsants for the Management of Pain dalam Pain 2010 an updated review) halaman 203

Suatu pedoman terapi berdasarkan kajian berbasis bukti yang dikeluarkan oleh AAN, the American Association of Neuromuscular and Electrodiagnostic Medicine, dan the American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation pada tahun 2011 mengenai terapi tehadap painful diabetic neuropathy merekomendasikan pregabalin terbukti efektif dan memiliki eviden level A, sedangkan venlapaxin, duloxetin, amitriptilin, gabapentin opioid (morfin sulfat, tramadol, oxicodone controlled release) dan capsaicin juga bermanfaat dan dapat dipertimbangkan dengan efikasi eviden level B (Bril et al, 2011).

2.2.3 OpioidTramadol memiliki efek analgetik opioid dengan afinitas rendah terhadap reseptor , tramadol juga ditoleransi dengan baik dan kurang menimbulkan dependence jika dibandingkan opioid lain yang dapat menimbulkan penyalahgunaan. Dari sebuah penelitian pada penderita painful neuropathy diabetes dan non diabetes, didapatkan bahwa tramadol mempunyai efikasi menyerupai antidepresan trisiklik. Efek samping mual dan konstipasi terjadi pada 20% pasien, nyeri kepala dan somnolen dijumpai pada 15% pasien, namun secara umum dikatakan tramadol dapat ditoleransi dengan baik (Mendell, Sahenk, 2003).Oksikodon yang bermanfaat pada nyeri neuralgia trigeminal, belum ada bukti bermanfaat pada painful sensory neuropathy (Mendell, Sahenk, 2003). Phillips et al tahun 2010 yang mengadakan meta analisa penanganan painful HIV neuropathy mendapatkan 4 literatur yang melaporkan pemakaian rokok kanabis. Dua tulisan merupakan hasil survey sedangkan dua lainnya merupakan penelitian acak dengan kontrol menggunakan placebo rokok sigaret. Keduanya mendapatkan bahwa rokok kanabis memberikan perbaikan nyeri antara 30% dan 50%, dengan JDD gabungan sebesar 3,38 (95% CI 1,38-4,10).

2.2.4 Obat-obat topikalCapsaicinEfektifitas capsaicin dalam menghilangkan nyeri pada penderita painful neuropathy tidaklah konsisten, beberapa penelitian menunjukkan manfaat, sedang penelitian lain tidak. Tiga buah penelitian yang melibatkan 250 orang penderita painful diabetic neuropathy memeperlihatkan efek nyeri yang moderat. Namun capsaicin tidak bermanfaat pada painful distal neuropathy yang kronis dan yang terkait HIV (Mendell, Sahenk, 2003). Pedoman terapi berdasarkan kajian berbasis bukti yang dikeluarkan oleh AAN, the American Association of Neuromuscular and Electrodiagnostic Medicine, dan the American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation pada tahun 2011 mengenai terapi tehadap painful diabetic neuropathy menyatakan capsaicin bermanfaat dan dapat dipertimbangkan dengan efikasi eviden level B (Bril et al, 2011).Phillips et al tahun 2010 mengadakan meta analisa terhadap penderita painful neuropathy HIV terhadap penelitian-penelitian yang dilakukan dari tahun 1966 hingga tahun 2010, dimana hanya penelitian-penelitian acak dengan control yang dinilai. Terdapat dua penelitian yang layak dikaji, salah satunya menilai efek terapi capsaicin 0,075%. Peneliti mendapatkan bahwa efek capsaicin 0,075% tidak lebih baik daripada placebo. Penelitian lainnya membandingkan capsaicin 8% dengan placebo aktif capsaicin 0,04% mendapatkan bahwa capsaicin 8% mampu memberikan perbaikan nyeri minimal 50% secara bermakna dengan JDD 6,46 (95%CI 3,86-19,69).

Lidokain topikalKerja lidikain topikal dalam menghilangkan nyeri merupakan akibat kerjanya menurunkan ecthopic neural discharge pada saraf-saraf superfisial. Pada painful neuropathy, daerah yang mengalami nyeri dapat mencakup area yang luas yang membatasi penggunaan regimen nyeri topikal. Pemakain lidokain topikal dapat berguna mengurangi nyeri di daerah yang dengan intensitas nyeri terberat (Mendel, Sahenk, 2003).

BAB IIIRINGKASAN

Painful neuropathy adalah suatu bentuk neuropati sensoris akibat rusaknya serat A bermielin tipis dan serat C yang tanpa myelin (small fiber). Painful neuropathy sebagian besar idiopatik, beberapa penyakit dasar yang sering dengan kondisi ini meliputi diabetes, neuropati paraneoplastik, polineuropati amiloid familial, peripheral nerve vasculitis, neuropati pada gagal ginjal, sensoris neuropati herediter, Fabrys disease, Celiac disease dan neuropati pada penderita HIV.Terdapat ketidaksesuaian yang dramatis antara keluhan pasien dan hasil pemeriksaan neurologis, dimana hasil pemeriksaan yang normal, dijumpai pada lesi murni small fiber. Pemeriksaan elektrodiagnostik dan kecepatan hantar sarafnyapun didapatkan normal. Pemeriksaan lanjutan berupa test reflek sudomotor akson yang mengukur fungsi berkeringat, test biopsi kulit yang memperlihatkan hilangnya serat-serat saraf intraepidermal dan test sensoris kuantitatif yang mengevaluasi ambang kepekaan nyeri dan suhu di kulit diperlukan untuk menegakkan diagnosis telah terjadi kerusakan small fiber mengingat serat A dan C berperan dalam fungsi-fungsi yang diukur tersebut.Obat-obatan untuk mengatasi nyeri pada painful neuropathy meliputi obat-obatan anti depresan, anti konvulsan, opioid dan obat analgetik topikal. Sebelum pemilihan suatu jenis obat perlu dipertimbangkan penyakit dasar menyebabnya, efektifitas dan efek samping yang mungkin timbul. Secara umum obat-obatan yang paling sederhana dan yang tidak membahayakan pasien yang sebaiknya dipilih.

Daftar PustakaAttal, N. et al, 2006. EFNS guidelines on pharmacological treatment of neuropathic pain. European Journal of Neurology 2006, 13: 11531169.Brill, V. et al, 2011. Evidence based guideline : Treatment of painful diabetic neuropathy : Report of the American Academy of Neurology, the American Association of Neuromuscular and Electrodiagnostic Medicine, and the American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation. Neurology. 2011. Published Ahead of Print on April 11, 2011 as 10.1212/WNL.0b013e3182166ebeChong, P. S., Cros, D. P., 2004. American Association of Electrodiagnostic Medicine (AAEM). Practice Topic in Electrodiagnostic Medicine: Technology literature review: quantitative sensory testing. Muscle Nerve. 2004;29:734-47.Cornblath, D. R. et al, 2005. EFNS guidelines on the use of skin biopsy in the diagnosis of peripheral neuropathy. European Journal of Neurology 2005, 12: 747758.Devigili, G. et al., 2008. The diagnostic criteria for small fibre neuropathy: from symptoms to neuropathology. Brain. 2008 Jul;131(Pt 7):1912-25.Devigili, G., Lauria. G., 2007. Skin biopsy as a diagnostic tool in peripheral neuropathy. Neurology. 2007 October: 3: p.546-555.Dubinsky, R. M., Miyasaki, J., 2011. Assessment: Efficacy of transcutaneous electric nerve stimulation in the treatment of pain in neurologic disorders (an evidence-based review) Report of the Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology. 2010;74: p.173176.Gilron, I. C. et al, 2006. Review Neuropathic pain: a practical guide for the clinician. CMAJ 2006;175(3):265-75Gilron, I., 2010. Clinical Pharmacology of antidepressants and anticonvulsants for the management of pain. In : Mogil, J., editor. Pain 2010 an updated review, Seatttle: IASP Press.p.193-204.Horowitz, S. H., 2007. The Diagnostic Workup of Patients with Neuropathic Pain. Anesthesiology Clin. 2007 July: 25 : p.699708.Lauria, G., 2005. Small fibre neuropathies. Current opinion in neurology Lippincott Williams and Wilkins 2005, 18: p.591-597.Meliala, L., 2001. Patofisiologi nyeri. In: Meliala, L., Suryamiharja, A., Purba, J.S., Sadeli, H.A., editors. Nyeri neuropatik, patofisiologi dan penatalaksanaan. Kelompok studi nyeri Perdossi 2001.p.15-16. Phillips, T. J. et al, 2010. Pharmacological Treatment of Painful HIV-Associated Sensory Neuropathy: A Systematic Review and Meta- Analysis of Randomised Controlled Trials. Plos One 5(12): e14433. doi:10.1371/journal.pone.0014433Sultan, A. et al, 2008. Research article Duloxetine for diabetic painful neuropathy and fibromyalgia pain : systematic review of randomized trials. BMC Neurology 2008, 8:29.