referat penanganan dan tata laksana kejang pada kehamilan (pembimbing : dr. arie widiyasa, spog)
TRANSCRIPT
REFERAT
Manajemen dan Tata-Laksana Kejang pada Ibu Hamil
Pembimbing:
dr. Arie Widiyasa, SpOG
disusun oleh:
Adeline - 07120120006
KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE MEI – JULI 2016
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I : PENDAHULUAN 1
BAB II : PEMBAHASAN 2
2.1 Definisi.............................................................................................................................
2.2 Epidemiologi...................................................................................................................
2.3 Etiologi dan Patofisiologi ..............................................................................................
2.3.1 Terhambatnya Pembentukan Aliran Darah dalam Uterus............................
2.3.2 Stress Oksidatif...................................................................................................
2.3.3 Disfungsi Endotel................................................................................................
2.3.4 Gangguan Aliran Darah Otak...........................................................................
2.4 Gejala Klinis...................................................................................................................
2.5 Diagnosis.......................................................................................................................
2.6 Komplikasi....................................................................................................................
2.6.1 Komplikasi Maternal.......................................................................................
2.6.2 Komplikasi Perinatal........................................................................................
2.7 Prognosis.......................................................................................................................
2.8 Pencegahan...................................................................................................................
2.9 Tata Laksana................................................................................................................
2.9.1 Terapi Farmakologi..........................................................................................
2.9.1.1 Magnesium Sulfat..................................................................................
2.9.1.2 Diazepam 35
BAB III : KESIMPULAN 37
DAFTAR PUSTAKA 39
2
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang pada ibu hamil merupakan suatu kondisi komplikasi serius yang
tidak jarang ditemukan. Kejang pada ibu hamil disebut sebagai eklampsia.
Terjadinya eklampsia merupakan kejadian akut pada wanita hamil, dalam
persalinan atau nifas yang pada umumnya ditandai dengan adanya gejala dan
tanda preeklampsia. Preeklampsia sendiri merupakan suatu sindrom khusus
kehamilan yang dapat mengenai setiap sistem organ. Preeklampsia memiliki
kriteria minimum dengan tekanan darah 140/90 mmHg setelah usia kehamilan
20 minggu disertai proteinuria yang telah disebutkan diatas. Eklampsia
merupakan keadaan lanjutan dari preeklampsia dengan timbulnya gejala kejang
tanpa adanya penyebab lainnya.
Eklampsia yang timbul merupakan kejang umum dan dapat terjadi
sebelum, saat, atau setelah persalinan. Dari hasil penelitian yang di dapatkan, 10
persen perempuan mengalami eklampsia khususnya pada nulipara, tidak
mengalami kejang hingga 48 jam pasca partum. Insidensi terjadinya eklampsia
sendiri telah mulai menurun karena adanya asuhan antenatal yang adekuat
sehingga pencegahan dapat dilakukan. Di negara maju, insiden eklampsia berkisar
antara 1 dalam 2.000 kelahiran. 1
Umumnya pencegahan segera dilakukan pada wanita hamil yang memiliki
tekanan darah tinggi/hipertensi gestasional dengan atau tanpa proteinuria. Apabila
eklampsia sendiri terjadi walaupun pencegahan telah dilakukan, maka berbagai
tatalaksana dapat dilakukan. Obat yang paling sering digunakan adalah MgSO4
dan berbagai obat lainnya. Karena eklampsia merupakan keadaan gawat, maka
penanganannya harus segera dilakukan dan pencegahannya harus dioptimalkan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Kejang pada ibu hamil disebut juga dengan eklampsia. Definisi eklampsia
adalah kejang pada perempuan dengan preeklampsia tanpa penyebab lain.
Preeklampsia merupakan kondisi ibu hamil dengan tekanan darah tinggi
melebihi atau sama dengan 140/90 yang terjadi setelah usia kehamilan mencapai
20 minggu disertai dengan adanya proteinuria 300mg/24 jam atau +1 pada
pemeriksaan dipstik. Preeklampsia sendiri harus dibedakan dengan hipertensi
gestasional dan hipertensi kronis. Pada hipertensi gestasional, tekanan darah yang
pertama kali ditemukan harus 140 mmHg pada tekanan sistolik dan 90 mmHg
pada tekanan diastolik. Hipertensi gestasional harus kembali ke normal sebelum
12 minggu pasca partum. Hipertensi kronis merupakan suatu keadaan tekanan
darah 140/90mmHg yang ditemukan sebelum kehamilan atau terdiagnosis
sebelum kehamilan 20 minggu. Hipertensi kronis akan tetap ditemukan setelah 20
minggu pasca partum.
Kejang eklampsia bersifat kejang umum dan dapat terjadi sebelum, saat,
atau sesudah persalinan. Sebelum terjadinya eklampsia, umumnya wanita hamil
disertai dengan tanda-tanda perburukan gejala preeklampsia seperti tekanan darah
yang meningkat 160/110mmHg, proteinuria sebanyak +2, adanya nyeri kepala
yang menetap/gangguan visual maupun gangguan serebral lainnya serta adanya
nyeri epigastrik presisten. Melalui berbagai teori yang ditemukan, terjadinya
eklampsia dapat disebabkan oleh adanya hiperperfusi otak yang memaksa cairan
dalam kapiler keluar ke interstitium akibat adanya aktivasi endotel dan
menyebabkan edema perivaskular2.
4
Magnesium Sulfat terjadi selama merupakan obat yang sampai saat ini
dianggap paling baik untuk menangani kejang eklampsia. Magnsium sulfat
merupakan suatu jenis mineral yang bekerja untuk mengganti magnesium dalam
tubuh manusia. Selain itu magnesium sulfat juga dapat menurunkan impuls
neuron dalam otot sehingga menurunkan serangan kejang.
2.2 Epidemiologi
Eklampsia atau kejang pada ibu hamil merupakan suatu bentuk komplikasi
yang jarang terjadi namun bersifat fatal. Setiap tahunnya dapat ditemukan 50.000
ibu meninggal di dunia akibat eklampsia. Dari berbagai tempat di dunia, dapat
ditemukan data ratio insidensi terjadinya eklamsia berkisar antara 1:100 hingga
1:1700.
Eklampsia umumnya terjadi pada wanita kulit bewarna, nulipara dan
golongan sosial ekonomi rendah. Insiden tertinggi terjadi pada usia remaja
ataupun usia pada awal 20 tahun, dan prevalensi nya terus meningkat pada wanita
diatas 35 tahun. Eklampsia jarang terjadi pada usia kehamilan dibawah 20 minggu
dan dapat meningkat pada kehamilan mola atau sindroma antifosfolipid.
Beberapa Faktor risiko terjadinya eklampsia3:
- Nuliparitas, primigravida
- Riwayat keluarga dengan preeklampsia, riwayat preeklampsia dan eklampsia
- Komplikasi pada kehamilan sebelumnya seperti plasenta abrutio, Intrauterine
Growth Retardation, , Kematian janin
- Kehamilan ganda
- Kehamilan pada usia muda / usia diatas 35 tahun
- Keadaan medis seperti : obesitas, hipertensi kronis, gangguan ginjal, defisiensi
protein C, defisiensi protein S, gangguan pembuluh darah dan jaringan, Diabetes
gestasional, SLE.
Karena eklampsia ini sendiri mempersulit kehamilan dan bersifat fatal,
maka berbagai cara pencegahan diupayakan sebisa mungkin. Target utama dalam
5
pencgahan ini adalah untuk menurunkan tekanan darah yang meningkat baik itu
berupa preeklampsia, hipertensi kronis, maupun hipertensi gestasional. Pemberian
obat sebagai profilaksis eklampsia, dan penurun tekanan darah juga umumnya
segera diberikan.
Dalam suatu studi multisenter dan multinasional untuk membandingkan
berbagai cara pengobatan terhadap eklampsia, ditemukan bahwa Magnesium
sulfat merupakan obat yang paling efektif untuk mengatasi kejang eklampsia
dibandingkan dengan obat diazepam maupun obat lainnya. (The Eclampsia
Collaborative Trial Group, 1995, Neilson, 1995 Lucas, Levano and Cunningham ,
1995)
2.3 Etiologi dan Patofisiologi
Eklampsia merupakan suatu kondis komplikasi fatal dari suatu
preeklampsia berat yang bersifat grand-mal atau umum dan dilanjutkan dengan
keadaan koma ketika kehamilan atau pascapartum. Eklampsia dapat berupa 1 atau
lebih kejang yang terjadi berkelanjutan. Umumnya pada eklampsia dapat
ditemukan 2 fase. Fase pertama terjadi selama 5-20 detik dan diawali dengan
adanya kedutan pada wajah, kemudian badan menjadi kaku dan kejang terjadi
pada seluruh tubuh. Fase kedua dapat terjadi selama 60 detik dan diawali pada
rahang pasien yang kemudian merambat ke daerah wajah dan pada akhirnya
seluruh tubuh. Setelah itu pasien kemudian menjadi tidak sadar dan ketika
kesadarannya pulih pasien menjadi cemas tanpa menyadari dirinya baru terserang
kejang.
Sampai sekarang ini, belum ada etiologi yang jelas mengenai terjadinya
eklampsia, namun pada beberapa literatur ditemukan bahwa penyebab kejang
adalah stress oksidatif dan terhambatnya pembentukan aliran darah di dalam
uterus. Penyebab lainnya yang masih diteliti atara lain adalah adanya suatu
keadaan dimana adanya gangguan regulasi aliran darah pada otak serta adanya
disfungsi endotel.
6
7
2.3.1 Terhambatnya Pembetukan Alran Darah dalam Uterus
Didalam berbagai penelitian, ditemukan bahwa pada pasien dengan
eklampsia ditemukan adanya gangguan dalam pembentukan arteri
uteroplasental. Umumnya pada saat kehamilan akan terjadi berbagai
perubahan pembuluh darah di dalam uterus, namun pada pasien
preeklampsia, perkembangan tersebut terganggu. Invasi trofoblas menjadi
terganggu sehingga lapisan otot dan endotel yang berfungsi untuk
memperlebar diameter pembuluh darah menjadi terganggu dan pembuluh
darah tidak terdilatasi dengan baik sehingga tekanan darah pun meningkat.
Selain itu faktor-faktor dalam pembuluh darah atau tepatnya
endotel itu sendiri juga dapat berperan dalam vasokonstriksi pembuluh
drah di rahim tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah sel-sel
inflamatorik seperti prostaglandin dan terlepasnya nitat oksida.1
8
2.3.2 Stress Oksidatif
Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis preeklamsi
eklampsia. Hal ini disebabkan karena adanya hipoksia pada endotel
sehingga terjadi kerusakan endotel dan kebocoran arteriole dan
pendarahan mikro. Perfusi uteroplasental ini akan menyebabkan terjadinya
maladptasi plasenta sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan
hipoksia/anoksia jaringan yang dimana hal ini memicu terjadinya
hiperoksidasi lemak yang memerlukan oksigen lebih pula sehingga hal ini
menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme di dalam sel. Hasilnya
adalah terjadinya peningkatan dari peroksidase lemak yang menyebabkan
adanya hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak ini merupakan
radikal bebas yang apabila kesemimbangannya terganggu menimbulkan
keadaan stress oksidatif.
Pada kejadian preeklamsi-eklampsia serum anti oksidan dalam
tubuh wanita hamil menurun dan plasentalah yang menjadi sumber
terjadinya peroksidase lemak. Pada wanita hamil normal, serum anti
oksidan ini mengandung transferin, ion tembaga, dan sulfhidril yang
berperan sebagai anti oksidan yang cukup kuat. Peroksidase lemak
kemudian beredar melalui ikatan lipoprotein dan sampai ke semua
komponen sel termasuk sel-sel endotel. Sel-sel endotel tersebut kemudian
akan menjadi rusak akibatnya 6:
- Adesi dan agregasi trombosit
- Gangguan permeabillitas lapisan endotel terhadap plasma
- Terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin
- Produksi prostasiklin terhenti
- Keseibangan prostasiklin dan tromboksan
- Hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen
9
2.3.3 Disfungsi Endotel
Disfungsi endotel yang terjadi pada keadaan preeklampsia
menyebabkan terjadinya suatu gangguan di dalam sirkulasi sitemik wanita
hamil. Disfungsi endotel ini kemudian menyebabkan meningkatnya
tekanan darah sistemik yang disebabkan oleh faktor-faktor endotel seperti 4:
- Fibronectin
- Faktor Von Willebrand
- Cell adhesion molecules (VCAM-1)
- Intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1)
- Sitokin (IL-6, dll.)
- TNF-a
Kebocoran protein dalam sirkulasi ini kemudian menyebabkan
terjadinya edema generalisata yang merupakan faktor yang berhubungan
dengan preeklampsia-eklampsia.
10
2.3.4 Gangguan Aliran Darah Otak5
Eklampsia dapat terjadi akibat adanya gangguan atau abnormalitas
pada aliran darah di dalam otak yang disebabkan oleh hipertensi yang
berat. Akibatnya terjadi gengguan dalam regulasi darah di otak yang
meningkatkan permiabilitas dan edema otak sehingga terjadi iskemi dan
ensepalopati. Pada hipertensi berat, sistem kompensasi menjadi defektif
sehingga aliran darah menjadi terganggu. Tekanan intra kranial menjadi
meningkat sehingga terjadi gangguan visual. Apabila pada keadaan yang
lebih berat maka dapat terjadi pendarah serebral akut yang menekan
struktur di dalam otak dan menyebabkan munculnya berbagai gejala
seperti sakit kepla berat, pusing, muntah, kehilangan keseimbangan, dsb.
Pada saat terjadinya gejala preeklampsia, ditemukan adanya
hiperperfusi otak yang memaksa cairan dalam kapiler keluar ke
interstisium akibat aktivasi endotel sehingga menyebabkan edema
perivaskuler. Hal ini kemudian menyebabkan kondisi otak yang abnormal
sehingga terjadi pelepasan neurotransmiter eksitatorik yang berlebih,
dalam kasus ini glutamat, adanya depolarisasi jaringan neuron dalam
jumlah besar dan adanya peningkatan aksi potensial.
Akibat adanya abnormalitas pada perfusi jaringan otak ini
mengubah struktur otak sehingga menyebabkan terjadinya eklampsia.
Berbagai perubahan yang terjadi adalah :
- Edema serebral
- Pendarahan serebral
- Infark serebral
- Vasospasme serebral
- Pertukaran ion antara intra dan ekstra seluler
- Koagulopati intravaskuler serebral
- Ensefalopati hipertensi
2.4 Gejala Klinis
11
Pada awal terjadi kejang, biasanya diawali dengan memburuknya
preeklampsia seperti adanya gangguan penglihatan, mual, nyeri epigastrium, nyeri
kepala, dan hiperrefleks. Apabila tidak segera ditangani, maka kejang dapat terjadi
dan berakibat fatal karena sangat membahayakan baik ibu maupun janin.
Konvulsi/kejang dalam eklampsia dibagi kedalam 4 tingkatan yaitu7 :
1. Tingkat awal/aura: disebut juga dengan tingkat invasi. Keadaan ini berlangsusng
kurang lebih selama 30 detik dengan kondisi mata pasien terbuka tanpa melihat.
Kelopak mata nampak bergetar disertai dengan tangan dan kepala diputar ke
kanan maupun kiri
2. Tingkat kejangan tonik (kontraksi): Berlangsung selama 30 detik dan seluruh otot
menjadi kaku. Wajah kaku disertai dengan tangan yang mengepal dan kaki
menghadap dalam. Pernafasan berhenti dan wajah nampak biru (sianotik).
Perhatikan bahwa lidah dapat tergigit.
3. Tingkat kejang klonik (konvulsi): berlangsung selama 1-2 menit dan merupakan
spasmus tonik. Semua otot ditubuh berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo
yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat tergigit, Bola mata
menonjol dan dapat mengeluarkan busa dari dalam mulut, Wajah mnunjukkan
kongesti dan sianosis. Pasien menjadi tidak sadar. Pada akhirnya, pasien akan
menarik nafas panjang dan mendengkur
4. Tingkat koma: Lama waktu keberlangsungan tidak menentu dan secara perlahan-
lahan pasien menjadi sadar tanpa ada ingatan sama sekali mengenai kejang yang
baru terjadi. Akan tetapi, dapat pula terjadi keadaan dimana pasien tidak sempat
sadar dan terjadi serangan kejang yang kedua dan berulang.
Frekuensi pernafasan biasanya meningkat setelah serangan berhenti hingga
mencapai 50 kali per menit dan dapat menyebabkan hiperkarbia hingga asidosis
laktat. Pada kasus yang berat dapat terjadi sianosis. Apabila terjadi demam, maka
harus dicurigai adanya pendarahan pada susunan saraf pusat.
Selama serangan kejang terjadi, harus diawasi terjadinya lidah tergigit,
luka, fraktur, gangguan pernafasan, solusio plasenta dan perdarah otak yang
merupakan komplikasi.
12
Kematian dapat terjadi pada eklampsia karna dapat menyebabkan edema
paru-paru, apoplexia dan asidosis, pneumonia aspirasi (beberapa hari setelah
kejang), kerusakan hati dan gangguan faal ginjal.
2.5 Diagnosis
Diagnosis eklampsia pada umumnya tidak sulit ditegakan. Diagnosis
ditegakkan apabila terdapat tanda dan gejala pre eklampsia yang disertai dengan
seranga kejang. Gejala eklampsia harus dapat dibedakan dengan kejang epilepsi
maupun kejang oleh karena obat. Faktor-faktor resiko pun harus diperhatikan.
Diagnosis dapat ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemerksaan penunjang. Pada anamnesis, pasien di tanyakan apakah terdapat
tanda-tanda preeklampsia berat seperti nyeri kepa,a gangguan penglihatan,
flushing, dyspnea, nyeri dada, mual muntah, kejang, berat badan bertambah. Lalu
di tanyakan apakah pada kehamilan sebelumnya terdapat hipertensi, atau
hipertensi sebelum kehamilan, penyulit kontrasepsi hormonal, penyakit ginjal,
maupun UTI dan apakah ada riwayat keluarga dengan keluhan serupa. Pada
pemeriksaan fisik, diperiksa tanda-tanda vital, edema paru, nyeri hepar, keadaan
rahim dan janin, klonus, maupun retinopati
.
13
14
2.6 Komplikasi
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa eklampsia merupakan suatu
jenis keadaan fatal dan membahayakan sehingga komplikasi terberat yang dapat
terjadi adalah terjadinya kematian baik terhadap ibunya, bayi maupun keduanya.
Selain itu berbagai komplikasi juga sering ditemukan baik perubahan-perubahan
pada ibu maupun pada bayi tersebut.
2.6.1 Komplikasi Maternal
A. Paru
Edema paru sering terjadi akibat adanya pneumonitis aspirasi
akibat inhalasi isi lambung yang terjadi apabila pasien memuntahkan isi
perutnya pada saat kejang, Selain itu, juga dapat disebabkan sebagai akibat
dari penanggulangan hipertensi berat dengan pemberian cairan intravena
yang berlebihan sehingga menyebabkan kegagalan fungsi jantung. Edema
paru merupakan suatu tanda prognostik yang buruk.
B. Otak
Kejang yang terjadi dapat menimbulkan terjadinya perdarahan otak
yang berakibat fatal. Komplikasi paling buruk adalah kematian. Kematian
yang disebabkan oleh perdarahan otak umumnya bersifat mendadak.
Selain itu, apabila perdarahan terjadi pada sublethal maka pasien akan
mengalami hemiplegia. Perdarahan otak cenderung terjadi pada wanita
usia tua dengan hipertensi kronik. Komplikasi di otak yang jarang terjadi
lainnya adalah pecahnya aneurisma arteri atau kelainan vasa otak (seperti :
stroke) yang berujung pada perdarahan otak. Koma atau penurunan
kesadaran tidak jarang di temukan. Apabila tekanan di dalam otak
meningkat maka dapat terjadi suatu herniasi batang otak yang dapat
menyebabkan kematian8.
15
C. Mata
Kebutaan dapat terjadi setelah atau bersamaan dengan kejang.
Penyebab kebutaan antara lain adalah ablasio retina yang ringan sampai
berat dan iskemia atau infark pada lobus oksipitalis. Pada banyak kasus,
penglihatan pasiien dapat kembali normal setelah 1 minggu terminasi
kehamilan.
D. Psikosis
Komplikasi ini merupakan komplikasi yang jarang terjadi.
Eklampsia diikuti dengan keadaan psikosis dan mengamuk yang
berlangsung sampai 2 minggu. Apabila sebelum kehamilan pasien tidak
memiliki gangguan mental maka prognosis untuk kembali normal
sangatlah baik.
E. Hematologi
Plasma darah menjadi menurun dengan meningkatnya viskositas
darah. Terjadi hemokonsentrasi, gangguan pembekuan darah, DIC dan
sindroma HELLP.
F Ginjal dan hepar
Filtrasi glomerullus menurun dan aliran plasma meningkat. Hal ini
dapat menyebabkan gagal ginjal akut. Sedangkan pada hepar akan terjadi
nekrosis periportal dan gangguan sel hati.
G. Uterus
Solusio plasenta dapat terjadi karena adanya vasokonstriksi
pembuluh darah uteroplasental yang menyebabkan pembuluh darah
tersebut mudah lepas dan di antara plasenta dan dinding endometrium
menghasilkan darah. Apabila tidak segera ditangani maka dapat terjadi
perdarahan antepartum.
16
H. Kardiovaskuler
Komplikasi yang dapat terjadi adalah serangan jantung, spasme
vaskular menurun, tahanan pembuluh darah tepi meningkat, indeks kerja
ventrikel kiri meningkat, tekanan vena sentral menurun dan tekanan paru
menurun.
I. Kematian
Kematian maternal akibat eklampsia dapat disebabkan oleh
perdarahan otak, kelainan perfusi otak, infeksi, perdarahan dan sindroma
HELLP.
2.6.2 Komplikasi Perinatal
Karena pada saat kejang kontraksi uterus meningkat dan otot-otot
uterus terus meningkat maka akan terjadi vasospasme pada arterioli
sehingga aliran darah menuju retroplasenter semakin berkurang. Denyut
Jantung Janin (DJJ) kemudian akan meningkat seperti takikardia yang
diikuti dengan bradikardia. Beberapa komplikasi lainanya yang dapat
terjadi pada perinatal antara lain :
A. Dismaturitas
Bayi baru lahir dengan berat badan yang tidak sesuai dengan usia
kehamilan disebut dengan dismaturitas. Dikatakan seperti itu apabila berat
lahir perinatal dibawah presentil ke-10 menurut kurva pertumbuhan
intrauterin Lubhenco atau dibawah 2SD.
Ketika kejang berlangsung, maka arteriol spiralis desidua menjadi
spasme sehingga aliran darah menuju ke plasenta menurun. Perubahan-
perubahan fisiolois yang seharusnya terjadi menjadi dipercepat sehingga
mesoderm menjadi jaringan fibrotik. Hal ini menyebabkan terjadi nya
gangguan fungsi plasenta yang dapat menyebabkan dismaturitas karena
17
pertumbuhnan janin terganggu. Pada hipertensi pendek, dismaturitas
terjadi akibat adanya kekurangan oksigen.
Dismaturitas pada perinatal dapat menyebabkan sindrom aspirasi
mekonium yang disebabkan oleh keadaan dimana perinatal dengan sangat
berusaha untuk mengadakan gaping. Hipoglikemia simptomatik dicurigai
disebabkan oleh persediaan glikogen yang sangat kurang, Asfiksia
neonatorum adalah suatu keadaan gawat janin akibat gagal bernafas secara
spontan dan teratur. Apabila berat dan berkelanjutan maka menjadi
asidosis. Derajat asfiksia :
B. Prematuritas
Prematuritas sering terjadi karena adanya kenaikan tonus uterus
dan kepekaan terhadapat perangsangan,
C. Sindroma Distress Respirasi
Faktor yang berperan dalam eklampsia adalah adanya hipovolemik,
asfiksia dan aspirasi mekonium.
D. Trombositopenia
Trombositopenia pada bayi yang baru lahir dapat merupakan
penyakit sistemik primer sistem hemopoetik atau suatu transfer faktor-
faktor yang abnormal.
E. Hipermagnesemia
Kondisi ini terjadi apabila kadar magnesium serum dalam darah
lebih besar atau sama dengan 15 mEq/L. Hal sering ditemukan pada bayi
18
dengan ibu yang menderita eklampsia dan diobati dengan magnesium
sulfat. Pada keadaan ini dapat menyebabkan adanya depresi susunan saraf
pusat dan paralisis otot-otot skeletal.
F. Neutropenia
Bayi yang dilahirkan dengan ibu eklampsia maupun dengan
sindroma HELLP dapat ditemukan neutropenia yang sampai sekarang
belum diketahui dengan jelas, namun perkiraan yang terjadi adalah adanya
kerusakan endotel pembuluh darah ibu melewati jalan plasenta lahir.
G. Kematian Perinatal
Kematian umumnya terjadi karena adanya asfiksia neonatorum
berat, trauma saat kejang intrapartum, dismaturitas yang berat. Beberapa
kasus ditemukan bay yang meninggal di dalam kandungan ibunya sendiri.
2.7 Prognosis
Eklampsia meskipun jarang insidensi nya namun tetap memakan korban
nyawa yang cukup besar baik kepada ibu maupun bayi nya. Dari berbagai
literatur, kematian bayi yang tercatat sekitar 9.8% - 25.5 % dan angka kematian
bayi tercata sebanyak 42.2 % - 48.9 persen. Angka kematian ini lebih tinggi pada
negara-negara berkembang dan kurang maju karena adanya ketidak waspadaan
dan kurangnya pengawasan antenatal. Hal ini memicu terhadap keterlambatan
pengobatan dan pencegahan yang tidak tepat. Kematian pada maternal disebabkan
oleh perdarahan otak, dekompansasio kordis, edema paru, gagal ginjal, dan
aspirasi makanan kedalam jalan pernafasan ketika kejang berlangsung8.
Penyebab utama kematian bayi disebabkan oleh hipoksia intrauterin dan
prematuritas. Preeklampsia dan eklampsia sendiri tidak akan menyebabkan
terjadinya hipertensi kronik namun pada suatu penelitian ditemukan bahwa angka
insidensi terjadinya hipertensi lebih tinggi pada pasien setelah 10-15 tahun pasca
partum.
19
Prognosa bagi ibu dan anak kurang baik terutama bagi mereka yang
merupakan multipara dan berusia lebih dari 35 tahun. Apabila jumlah urin lebih
sedikit dari 800 cc dalam 24 jam atau kurang dari 200 cc setiap 6 jam yang
disebut oliguria, maka prognosis menjadi lebih buruk.
Gejala-gelaja yang memperburuk prognosa antara lain :
- Koma dalam waktu lama
- Nadi > 120x/menit
- Suhu > 39oC
- TD > 200 mmHg
- Lebih dari 10 serangan
- Proteinuria 10 gr / hari atau lebih
- Edema (-)
2.8 Pencegahan
Pencegahan atau profilaksis dapat dilakukan kepada wanita hamil dengan
tekanan darah tinggi, baik hipertensi kronik, hipertensi gestasional, dengan atau
tanpa proteinuria atau pada preeklampsia. Dari berbagai penelitian, ditemukan
bahwa magnesium sulfat memiliki keunggu;an daripada obat lainnya dalam
mencegah eklampsia.
Di dalam suatu penelitian yang telah dilakukan, dimana magnesium sulfat
dibandingkan dengan nimodipine. Nimodipie merupakan suatu penyekat kanal
kalsium yang memberikan dampak vasodilator pada serebral spresifik dan
berfungsi untuk mencegah eklampsia. Namun begitu, pada penggunaan
Nimodipine ditemukan adanya insidensi eklampsia meningkat 3 kali lipat lebih
daripada penggunaan magnesium sulfat. Pada penelitian lain yang
membandingkan fenitoin dengan magnesium sulfat, ditemukan bahwa magnesium
sulfat lebih unggul pada wanita dengan hipertensi gestasional maupun
preeklampsia9 .
20
Magnesium sulfat akan mencegah berulangnya kejang pada perempuan
dengan penyakit yang juga memburuk. Pemberian magnesium kepada wanita
hamil pada sebgaian literatur diberikan secara universal, yang berarti kepada
semua wanita hamil dengan hipertensi gestasional, namun pada beberapa literatur
ada juga yang menerapkan pemberiannya dilakukan secara selektif. Kriteria berat
atau ringannya suatu preeklampsia dan hipertensi gestasional menjadi faktor
penting, namun presepsi disetiap bagian negara dan berbagai penelitian berbeda-
beda untuk menentukan tingkat keparahan suatu preeklampsia.
Hingga tahun 2000, semua perempuan dengan hipertensi gestasional
diberikan profilaksis magnesium secara intramuskular seperti yang dipaparkan
oleh Pitchard pada tahun 1955. Setelah tahun 2000, kemudian diterapkan
pemberiannya melalui intravena. Pada saat yang bersamaan, pemberian secara
universal diubah menjadi pemberian secara selektif, yakni hanya kepada mereka
yang memenuhi kriteria hipertensi gestasional berat. Kriteria-kriteria yang ada
pada perempuan dengan hipertensi awitan baru yang disertai proteinuria (minimal
1 kriteria)10 :
- Tekanan darah sistolik 160 atau tekanan darah diastolik 110 mmHg
- Proteinuria 2+ pada pengukuran spesimen urin hasil kateterisasi dengan cari
celup
- Kreatinin serum > 1.2 mg/dL
- Hitung trombosit <100/000/Ml
- Kadar aspartat transaminase (AST) meningkat 2x lipat melebihi batas kisaran
normal
- Skotomata atau nyeri keapala presisten
- Nyeri kuadran kanan atas atau pertengahan epigastrium yang menetap
Setelah penelitian dilakukan, maka ditemuan bahwa kejang eklamptik tetap
terjadi terhadap 1 diantara 358 pada 3935 pasien dan dapat disimpulkan bahwa
terjadi kegagalan terapi. Selain itu pada mereka yang tidak memenuhi kriteria dan
tidak diterapi, 1 diantara 92 pasien mengalami kejang eklamptik. Seperempat dari
21
seluruh pasien dengan hipertensi gestasional membutuhkan penanganan bedah
sesar emergensi yang bersifat kontroversial karena intubasi tidak dapat dilakukan
pada pasien dengan kejang eklamptik yang mengalami edema laringotrakea. Oleh
sebab itu, maka magnesium sulfat sebagai profilaksis kembali diberikan secara
universal yaitu kepada semua pasien yang mengalami hipertensi gestasional.
Ergomentrine tidak boleh diberikan kepada wanita hamil dengan
preeklampsia, eklampsia maupun hipertensi gestasional, karena dapat
meningkatkan resiko terjadinya kejang dan kerusakan sereberovaskular.
Selain itu, perlu adanya observasi dan tatalaksana untuk menurunkan
tekanan darah tinggi dari ibu hamil tersebut. Berbagai obat antihipertensi yang
dapat digunakan dipertimbangkan berdasarkan kondisi pasien dan pengalaman
dokter . Beberapa obat antihipertensi yang dapat digunakan antara lain adalah :
Nama Obat Dosis Keterangan
Nifedipin 4x 10-30 mg per oral (short acting)
1 x 20-30 mg per oral (long
acting/Adalat OROS)
Dapat menyebabakan
hipoperfusi pada ibu dan janin
bila diberikan sublingual
Nikardipin 5 mg per jam dapat ditotrasi 2.5
mg/jam tiap 5 menit hingga
maksimum 10 mg/jam
Metildopa 2 x 250-500 mg per oral (dosis
maksimum : 2000 mg/hari)
Ibu yang memiliki riwayat penggunaan obat anti hipertensi di sarankan
melanjutkan dengan obat yang sama hingga persalinan.
Pemeriksaan penunjang tambahan diperlukan untuk memonitor kondisi
ibu. Pemeriksaan yang disarankan adalah hitung darah perifer lengkap, golongan
darah ABO, Rh dan uji pencocokan silang, Fungsi hati (LDH, SGOT, SGPT),
22
Fungsi ginjal (ureum, kreatinin serum), profil koagulasi (PT, APTT, fibrinogen),
dan USG.
2.9 Tata Laksana
Penatalaksanaan dalam kejadian eklampsia adalah untuk menghentikan
berulangnya serangan kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara
yang aman setelah keadaan ibu stabil. Pengawasan dan perawatan yang intesif
penting bagi penanganan penderita eklampsia. Tujuan utama dalam pengobatan
eklampsia adalah untuk menghentikan kejang, mengurangi vasospasmus, dan
meningkatkan diuresis.
Pada saat kejang terjadi, maka wanita hamil harus diperhatikan terlebih
dahulu keselamatannya dan harus dilindungi terutama jalan nafasnya. Perhatikan
gerakan wanita karena kekuatan kejang tersebut dapat membuat wanita terlempar
dari posisinya. Selain itu lidah wanita hamil juga dapat tergigit. Fase otot ini
terjadi selama kurang lebih 1 menit dan kemudian pergerakan otot menjadi lebih
pelan dan jarang. Pada akhirnya pasien akan berbaring dan tidak bergerak atau
yang disebut dengan pasca-iktal (dalam beberapa kasus, pasien dapat menjadi
koma). Apabila pasien dalam keadaan koma, waktu untuk sadar bervariasi dan
dalam kasus yang sangat jarang, dapat timbul kematian. Setelah pasien sadar,
kondisi pasien menjadi agresif dalam keadaan setengah sadar. Dapat juga timbul
suatu gejala dimana pasien tidak sadar namun kejang timbul kembali atau yang
disebut dengan status epilepticus dan harus segera diberikan sedasi dalam maupun
anestesia umum.
Laju pernafasan cenderung meningkat hingga 50x/menit sebagai respon
terhadap hiperkarbia, asidemia laktat dan hipoksemia transien. Demam tinggi
dapat merupakan suatu tanda bahaya yang terjadi akibat adanya perdarahan
serebrovaskular. Proteinuria sering ditemukan dan berat. Edema perifer dan pada
wajah dapat terjadi. Apabila setelah pelahiran jumlah urin meningkat, hal ini
23
merupakan tanda bahwa kondisi pasien telah membalik. Proteinuria dan edema
pun akan menghilang pada 1 minggu pasca partum.
Pada eklampsia antepartum, bayi harus segera dlahirkan setelah timbul
kejang. Kejang pada saat persaliinan dapat menyebabkan meningkatnya kontraksi,
meningkatnya intensitas frekuesi dan durasi persalinan memendek. Selain itu,
karena hipoksemia dan asidemia laktat pada ibu kejang, maka tidak jarang
ditemukan adanya bradikardia janin paska kejang yang umumnya kembali pulih
setelah 3-5 menit.
Edema paru sering ditemukan oleh karena pneumonitis aspirasi oleh sebab
adanya inhalasi isi lambung saat muntah. Selain itu, perdarahan dan gangguan
vaskular pada otak dapat menyebabkan gangguan visual,, sakit kepala, dan yang
paling parah adalah kematian. Terkadang eklampsia diikuti dengan kejadian
psikosis dan pengobatan antipsikosis dapat diberikan.
A. Tata Laksana Umum
Tata laksana kejang
- Bila tejadi kejang, perhatikan jalan napas, pernapasan (oksigen), dan
sirkulasi (cairan intravena)
- MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia
sebagai tatalaksana kejang dan preeklampsia berat sebagai pencegahan
kejang. Pemberian dapat dimulai dengan loading dose intravena yang
kemudian dilanjutkan dengan pemberian MgSO4 per
infus/intramuskuler secara periodik
- Pada kondisi dimana MgSO4 tidak dapat diberikan, berikan dosis awal
(loading dose) lalu rujuk segera ke fasilitas kesehatan yang memadai
- Lakukan intuasi jika terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu ke
ruang ICU (bila tersedia) yang sudah siap denga fasiitas ventilator
tekanan positif.
- Berikan obat antihipertensi
- Koreksi hipoksemia dan asidosis
24
- Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat ( Jumlah cairan dalam 24 jam
sekitar 200 ml
Anti Hipertensi
- Hipertensi berat selama kehamilan perlu diobati dengan obat
antiphipertensi
- Diberikan apabila tekanan darah diastolik > 110 mmHg
- Obat ini diberikan secara intermitten intra vena atau oral untuk
menurunkan tekanan darah. (Batasan diastolik) berbeda-beda, 100-110
mmHg)
- Obat antihipertensi yang direkomendasikan : Nifedipin, Nikardipin,
Metildopa
- Nifedipine digunakan sublingual 10 mg. Setelah 1 jam apabila tekanan
masih tinggi dapat diberikan berulang 5-10 mg sublingual atu oral
dengan interval 1jam, 2 jam, atau 3 jam sesuai kebutuhan
- Penurunan tidak boleh terlalu agresif (diastolik harus diatas 90 mmHg)
/ penurunan maksimal 30%
- Antihipertensi golongan ACE inhibitor, dan ARB (diuretik) tidak
diberikan kecuali pada kasus kehilangan cairan yang berat seperti
muntah atau diare yang berlebihan atau pada kasus edema paru, gagal
jantung kongestif, dan edema anasakra
- Hindari penggunaan cairan hiperosmotik
- Terapi anti hipertensi juga diberikan untuk hipertensi pasca salin berat.
Perawatan saat kejang:
- Dirawat dikamar isolasi yang cukup tenang
- Masukkan sudip lidah / spatel ke dalam mulut penderita
- Kepala di rendahkan, lendir diisap dari daerah orofaring
25
- Fiksasi badan pada tempat tidur harus aman namun cukup longgar
untuk menghindari fraktur
- Pemberian oksigen
- Dipasang kateter menetap /foley kateter.
Perawatan pada saat koma
- Monitor kesadaran dan dalamnya koma memakai GCS
- Perlu dilakukan pencegahan dekubitus dan makanan penderita
- Pada koma yang lama (>24 jam), makanan harus masuk melalui
hidung / NGT
Penatalaksanaan penunjang tambahan
- Hitung darah lengkap (DPL)
- Golongan darah ABO, Rh, dan uji pencocokan silang
- Fungsi hati (LDH, SGOT, SGPT)
- Fungsi ginjal (ureum, kreatinin serum)
- Profil koagulasi (PT, APTT, fibrinogen)
- USG (terutama apabila terdapat indikasi gawat janin/pertumbuhan
janin terhambat)
Terminasi Kehamilan
- Bayi harus segera dilahirkan dalam 12 jam setelah terjadinya kejang
tanpa memandak umur kehamilan maupun keadaan janin
- Terminasi harus dilakukan apabila sudah ada stabilisasi hemodinamika
dan metabolisme ibu, yaitu 4-8 jam setelah 1 atau lebih keadaan
dibawah ini :
o Setelah pemberian obat anti kejang terakhir
o Setelah kejang terakhir
o Setelah pemberian obat antihipertensi terakhir
o Penderita mulai sadar (responsif dan orientasi)
26
- Induksi persalinan dianjurkan bagi ibu dengan preeklampsia berat
dengan janin yang belum atau tidak akan viable dalam 1-2 minggu
- Apabila ibu dengan preeklampsia berat dan janin sudah viable namun
usia kehamilan belum mencapai 34 minggu, manajemen ekspektan
dianjurkan asalkan tidak terdapat kontraindikasi. Lakukan pengawasan
ketat.
- Pada ibu dengan preeklampsia berat dengan usia kehamilan sudah 34-
37 minggu, manajemen ekspektan boleh dianjurkan, asalkan tidak
terdapat hipertensi yang tidak terkontrol, disfungsi organ ibu dan
gawat janin.
- Pada ibu dengan preeklampsia berat yang kehamilannya sudah aterm,
persalinan dini dianjurkan
- Pasien dengan preeklampsia ringan atau hipertensi gestasional ringan
yang sudah aterm, induksi persalinan dianjurkan.
- Apabila tidak terdapat respon terhadap penanganan konservatif atau
anak hidup pertimbangkan seksio sesaria.
27
Perawatan Pasca Persainan
- Persalinan pervaginam : monitor TTV
- Pemeriksaan LAB setelah 1x24 jam persalinan
- Perbakan pada umumnya terjadi setelah 24-48 jam pasca persalinan.
B. Tata Laksana Khusus
Edema Paru
- Posisikan ibu dalam posisi tegak
- Berikan oksigen
- Berikan furosemide 40mg IV
- Apabila produksi urin masih rendah (<30mg/jam dalam 4 jam),
pemberian furosemide dapat diulang
- Ukur keseimbangan cairan. Batasi cairan yang masuk
Sindroma HELLP
- Lakukan terminasi kehamilan.
2.9.1 Terapi Farmakologi
2.9.1.1 Magnesium Sulfat
Farmakologi
Pada penatalaksanaan eklampsia, obat yang paling sering dan
efektif digunakan adalah Magnesium Sulfat. Magnesium Sulfat USP
adalah MgSO4.7H2O dan bukan hanya MgSO4 sederhana. Pemberian
Magnesium Sufat biasanya dilakukan secara intravena melalui infus
kontinu atau secara intramuskular melalui injeksi berkala. Wanita denga
preeklampsia-eklampsia, magnesium sulfat diberikan selama persalinan
dan 24 jam pasca partum.
28
Magnesium sulfat merupakan kristal kecil yang tidak bewarna dan
digunakan sebagai antikonvulsi, dan pengganti elektrolit yang sering
digunakan untuk mengobati preeklampsia eklampsia. Magnesium sulfat
juga sering digunakan sebagai penangan disritmia (seperti : Torsades de
Pointes) dan toksisitas digitalis. Penggunaannya juga sering dipakai untuk
mengobati hipokalsemia, nefritis akut pada anak kecil, dan hipomagnesia
akut. Kegunaan lain nya dapat digunakan untuk mengobati tetani uterus
sebagai relaksan miometrium.
Magnesium merupakan senyawa kedua terbanyak di dalam cairan
intraselular. Magnesium penting untuk aktivitas berbagai enzim dan
berperan penting dalam transmisi neurokimia dan eksitabilitas muskular.15
Magnesium sulfat mengurangi kontraksi otot lurik dan menghambat
adanya transmisi neuromuskular perifer dengan mengurangi jumlah
asetilkolin yang dilepaskan di neuromuscular junction. Selain itu,
magnesium juga menghambat masuknya Ca2+ melalui dihydropyridine
dan voltage dependent kanal. Magnesium sulfat juga berperan sebagai
relaksan terhadap otot halus di pembuluh darah.
Magnesium termasuk non kompetitif inhibitor dari inositol trifosfat
gated saluran kalsium dan berfungsi sebagai antagonis kalsium endogen.
Magnesium dapat memberikan efek penekanan saraf pusat karena
berperan sebagai antagonis respetor N-Methyl D-Aspartat (NMDA),
glutamat dan penghambatan pelepasan katekolamin.
29
Magnesium sulfat juga dapat digunakan untuk menanggulangi
asma apabila bronkodilator tidak dapat digunakan. Magnesium sulfat
bekerja untuk menghambat kontraksi otot polos, mengurangi pelepasan
histamin dari sel mas, dan menghambat pelepasan asetilkolin. Oleh sebab
itu, penggunaan magnesium dapat memberikan dampak relaksasi otot
polos dengan menhambat masuknya kalsium ke dalam sitosol.
Penggunaannya juga dapat meningkatkan fungsi daripada bronkodilator.16
Membran dan pompa membran
Magnesium menurunkan aktivasi Ca ATPase dan Na-K ATPase
yang terlibat dalam pertukaran ion selama fase depolarisasi-repolarisasi.
Apabila tubuh kekurangan magnesium, maka dapat mengganggu pompa
sehingga jumlah Natrium akan meningkat bersamaan dengan
meningkatnya kalsium ekstrasel namun kalium intrasel akan menurun.
Membran dan organ sel di dalam plasma akan menjadi tidak stabil.11
Kanal ion
Peran magnesium di dalam kanal ion adalah untuk mengatur
keseimbangan yang ada sehingga konsentrasi magnesium yang rendah
dapat mengakibatkan kalium keluar sel dan konduksi serta metabolisme
sel menjadi terganggu.
Susunan saraf pusat
Magnesium berperan sebagai antagonis reseptor NMDA dan
penghambat kalsium sehingga terjadi vasodilatasi arteriol dan mencegah
vasospasme. NMDA berperan dalam memasukan ion kalsium dan
magnesium ekstraseluler yang menutup celah tersebut. NMDA terletak
pada kornu posterior dan berperan dalam mengendalikan suhu tubuh.
Sehingga, apabila NMDA berkurang maka suhu tubuh akan meningkat
dan begitu sebaliknya.
30
Kardiovaskular
Magnesium berperan baik secara langsung maupun tidak langsung
pada otot jantung dengan menghambat asupan kalsium oleh troponin C
pada miosit. Apabila dosis magnesium ditingkatkan, maka akan
memberikan efek inotropik negatif yang menurunkan tekanan arteri
sistemik dan pulmonal dan efek tersebut dapat dirasakan pada pemberian
magnesium dosis 3 atau 4 gram dengan cepat. Dismagnesia dapat
menyebabkan adanya perubahan dan gangguan dalam pergerakan ion
dalam sel yang mempengaruhi eksitabilitas sel-sel jantung pada nodus SA
sehingga dapat menyebabkan gangguan irama jantung.
Otot dan Neuromuskular
Kadar magnesium yang rendah dapat meningkatkan kontraksi otot
sehingga kalsium terlepas dari retikulum sarkoplasma dan sebaliknya.
Hipomagnesia sendiri dapat menyebabkan hipereksitabilitas
neuromuskular, sedangkan hipermagnesia dapat menyebabkan kelemahan
neuromuskular atau penurunan refleks tendon.
Magnesium sulfat bersifat antikonvulsan dan neuroprotektif.
Mekanisme kerjanya meliput penurunan pelepasan presinaptik
neurotransmiter glutamat, penyekatan respetor N-metil-D-aspartat
(NMDA) glutamatergik, potensiasi kerja adenosin, perbaikan sistem
pedapran kalsium dalam mitokondria, dan penyekatan masuknya kalsium
melalui voltage gated chanel
31
Pemberiannya secara parenteral hampir seluruhnya dibersihkan
oleh ekskresi ginjal, dan intoksiskasi magnesium jarang terjadi apabila
filtrasi glomerulus tetap normal. Oleh sebab itu, kadar kreatinin harus
selalu di periksa untuk mengawasi tanda penurunan laju filtrasi di
glomerolus.
Apabila kadar magnesium sulfat di dalam serum darah meningkat
hingga 10 meq/L atau sekitar 20 mg/dL Latu mencapai kadar keracunan
magnesium, maka refleks patella dapat mengihilang. Apabila kadar
melebihi 10 mEq/L maka pernafasan akan melemah. Pada kadar diatas 12
mEq/L terjadi paralisis pernapasan yang diikuti dengan henti napas. Pada
kadar 15 mEq/L timbul depresi napas yang memerlukan ventilasi mekanik.
Ketika hal ini terjadi, maka pemberian kalsium glukonak atau kalsium
klorida 1 g intravena disertai dengan penghentian magnesium sulfat
biasanya memulihkan depresi napas ringan hingga sedang. Namun, efek
32
dari pemberian kalsium hanya bertahan sesaat, sehingga untuk depresi
nafas yang bera dan henti nafas, intubasi trakea segera dan ventilas
mekanis harus segera dilakukan untuk menyelamatkan jiwa.
Pada jantung, toksisitas yang dapat terjadi berlangsung pada
miokardium. Setelah pemberian awal 4g maka tekanan darah arteri
menurun sedikit dan peningkatan indeks jantung mencapai 13 persen.
Sehingga, magnesium sulfat dapat disimpulkan menurunkan tahanan
vaskular sistemik, dan tekanan arteri, meningkatkan curah jantung tanpa
tanda-tanda depresi miokardium. Gejala yang paling sering ditemukan
adalah adanya flushing dan nausea yang menteap sehlama 15 menit12.
Dosis magnesium awal 4 g aman diberikan, namun apabila
ekskresi ginjal menurun, penting untuk tidak menurunkannya. Hal yang
harus dilakukan adalah mempertahankan kadar seimbangnya.
MgSO4 terahadap uterus1
Kadar magnesium yang tinggi menekan kontraktilitas miometrium
baik in vivo maupun in vitro. Tanda penekanan ini adalah adanya
penurunan sementara aktivitas miomerium selama dan sesaat setelah dosis
awal intravena. Magnesium tidak menimbulkan perubahan bermakana
pada kebutuhan stimulasi oksitosin untuk persalinan atau interval masuk
perawatan hingga pelahiran ataupun rute pelahiran. Mekanisme kerja
uterus diduga adalah merupakan efek magnesium terhadap kalsium
intrasel. Hal ini hanya terjadi pada kadar MgSO4 sebanyak 8 – 10 mEq/L
yang terdeteksi di dalam serum darah.
MgSO4 terhadap janin1
Magnesium yang mengalir di dalam darah ibu akan menyebrangi
plasental untuk mencapai keseimbangan di dalam serum janin dan hanya
sebagian kecil memasuki cairan amnion. Namun begitu, kadar di dalam
33
amnion terus meningkat bersamaan dengan lama nya transfusi dilakukan.
Pada janin, pemberian dosis magnesium sulfat secara terus menerus akan
menyebabkan kondisi hipermagnesia pada saat perlahiran. Di dalam suatu
penelitian di simpulkan bahwa pemberian magnesium sulfat dapat
memberikan dampak penurunan denyut jantung janin yang tidak
signifikan.
Pemberian MgSO4 diduga memiliki dampak protektf terhadap
janin sehingga menurunkan angka terjadinya palsi serebral pada bayi
dengan berat badan rendah. Efek lainnya adalah efek neuroprotektif
sehingga menurunkan angka terjadinya gangguan fungsi motorik kasar.
Manfaat Klinis
Pada penelitian Eclampsia Trial Collaborative Group yang meliputi
banyak negara dengan menggunakan dua regimen antikonvulsan berbeda
didaptkan berbagai hasil. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pada
penggunaan MgSO4 dibandingkan dengan diazepam, didapatkan kejang
berulang dengan perbandingan 5/24, dan dengan Lytic cocktail 1/45,
fenitoin sebanyak 60/453. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa terapi
magnesium sulfat dikaitkan dengan penurunan bermakna insiden kejang
berulang dibandingkan dengan antikonvulsan lainnya.
Cara Pemberian MgSO4
Prinsip – prinsip yang digunakan dalam penggunaan MgSO4:
1. Pengendalian kejang dengan menggunakan MgSO4 dalam dosis awal
yang diberikan secara intravena yang kemudian dilanjutkan dengan
infus magnesium sulfat berkesinambungan.
2. Pemberian obat antihipertensi intermiten untuk menurunkan tekanan
darah saat dianggap terlalu tinggi sehingga berbahaya.
34
3. Penghindaran penggunaan diuretik kecuali terdapat edema paru yang
nyata,pembatasan pemberian cairan intravena kecuali terjadi
kehilangan cairan dalam jumlah besar.
4. Pelahiran janin dengan tujuan menyembuhkan.
Syarat pemberian Magnesium Sulfat:
- Harus tersedia antidotum MgSO4 yaitu Kalsium glukonas 10%
diberikan iv secara perlahan apabila terdapat tanda-tanda intoksikasi
- Refleks patella (+)
- Frekuensi pernafasan > 16x/menit
- Produksi urin >100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0.5cc/kgBB/jam)
- Pemberian Magnesium Sulfat sampai 20gr tidak perlu
mempertimbangkan diurese.
Seperti yang telah tertulis di atas bahwa pemberian MgSO4 pada
wanita hamil dengan preeklampsia berat dan eklampsia dapat dilakukan
melalui infus intravena maupun injeksi intramuskular intermiten, Melalui
dua rute yang disebutkan, pemberian MgSO4 berbeda baik dosis maupun
caranya.
Pada infus intravena kontinu awalnya diberikan dosis awal
magnesium sulfat 4-6gr yang diencerkan di dalam 100 mL cairan IV dan
selama 15-20 menit. Kemudian dilanjutkan dengan memulai infus rumatan
2gr/jam dalam 100 mL cairan IV atau dapat sebanyak 1gr/jam. Pantau
toksisitas magnesium dengan terus memeriksa refleks tendon dalam secara
berkala, mengukur kadar mangensium serum pada jam ke 4 dan 6 sesuai
dengan kecepatan infus, dan mengukur kadar magnesium serum jika
kreatinin serum diatas 1.0 mg/dl. Pemberian magnesium sulfat dihentikan
setelah 24 jam pasca kelahirnan.
Lain halnya dengan injeksi intra muskular yang menggunakan 4 gr
magnesium sulfat (MgSO4 . 7 H2O USP) sebagai larutan 20% intravena
dengan kecepatan tidak melebihi 1 gr/menit. Segera lanjutkan dengan 10
35
gram larutan magnesium 50%. Kemudian, sebagian dimasukan ke
profunda di kuadran kanan luar kedua bokong dengan jarum ukuran 20
sepanang 3 inci. Penambahan 1mL lidokain 2% meminimalkan nyeri.
Apabila kejang menetap setelah 15 menit, berikan kembali magnesium
sulfat dalam larutan 20% dengan dosis hingga 2 gr dan kecepatan tidak
melebihi 1g/menit. Apabila perempuan dengan tubuh besar, maka dapat
diberikan hingga 4 gr secara berkala. Setelah itu, berikan 5gr magnesium
sulfat setiap 4 jam yang disuntikan profunda pada kuadran kanan luar
bokong kanan dan kiri secara bergantian. Pada pemberian, harus
dipastikan bahwa refleks patella positif, respirasi tidak tertekan, dan
keluaran urin dalam 4 jam terakhir melebihi 100mL. Magnesium sulfat
dapat dihentikan 24 jam setelah partum.
Pemberian MgSO4 dilakukan dengan dosis awal 4gr dan sembari
menunggu dapat dilakukan dosis rumatan 6gr. 4 gr dosis awal ini
merupakan 10 mL larutan MgSO4 40% yang dilarutkan dengan 10 mL
akuades. Pemberian dilakukan secara intravena dan perlahan selama 20
menit. Apabila akses intravena sulit dilakukan, maka pemberian dapat
dilakukan sebanyak 5gr MgSO4 IM pada bokong kiri dan kanan. Untuk
dosis rumatan, 6 gr MgSO4 yang berupa 15 mL MgSO4 cair 40% yang
dilarutkan di dalam 500 mL Ringer Lactate/Ringer Asetat yang diberikan
secara IV dalam kecepatan 28 tetes per menit selama 6 jam dan diulang
hingga 24 jam pasca persalinan atau kejang berakhir. Selama pemberian,
harus tersedia Ca Glukonas 10% dan jumlah urin minimal 0.5ml/kg
BB/jam serta refleks patela harus ada.
Setelah pemberian MgSO4 maka pasien harus selalu di monitor
dan pemeriksaan fisik tiap jam harus dilakukan seperti TTV, dan refleks
patella serta jumlah urin. Apabila frekuensi nafas <16x/menit dan refleks
patella (-), disertai dengan oliguria dimana produksi urin <0.5 ml/kg
BB/jam, pemberian MgSO4 harus segera dierhentikan. Pada pasien
dengan depresi nafas, Ca glukonas harus segera diberikan. Selama ibu
36
dengan preeklampsia dan eklampsia dirujuk, pantau dan nilai kondisi dan
awasi apabila ada perburukan. Apbaila terjadi preeklampsia maka harus
dilakukan penilaian awal dan tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan
kembali MgSO4 2 gr IV perlahan (15-20 menit). Apabila setelah
pemberian ulangan masih terjadi kejang, maka dapat dipertimbangkan
pemberian diazepam 10 mg IV selama 2 menit.
Efek Samping MgSO4
Dosis pemberian dan kadar MgSO4 di dalam tubuh mempengaruhi
efek samping yang dapat terjadi di dalam tubuh manusia. Umumnya efek
samping yang dapat terjadi seperti yang telah diuraikan diatas adalah
37
hilangnya refleks patela, flushing, berkeringat, hipotensi, depresi susunan
saraf pusat, depresi jantung dan depresi napas. Dosis-dosis yang dapat
mempengaruhi :
Kondisi Dosis
Kadar Normal 1.5-2.5 mEq/L
Kadar terapeutik untuk mencegah kejang 4-7 mEq/L
Refleks patella (-) 8-10 mEq/L
Rasa hangat, flushing, somnolen, pandangan kabur 10-12 mEq/L
Depresi nafas 12-14 mEq/L
Paralisis otot, kesulitan bernafas 15-17 mEq/L
Henti jantung 30-35 mEq/L
Apabila ditemukan satu dari gejala toksisitas diatas, maka kadar
magnesium harus segera diperiksa. Kalsium glukonas 1 gram intravena
selama 3 menit harus diberikan secara perlahan (untuk menghindari
hipotensi atau bradikardia). Oksigenasi juga dapat diberkan apabila
diperlukan.
38
2.9.1.2 Diazepam
Pemberian diazepam dapat diberikan kepada pasien dengan kejang
yang tidak memiliki tanda-tanda eklampsia dengan dosis 10 mg IV
perlahan selama 2 menit dan dapat diulangi apabila setelah 10 menit
kejang berulang.
Diazepam merupakan derifat benzodiazepin. Diazepam adalah obat
anxiolytic, sedative, relaksan otot, dan antikonvulsif. Diazepam bekerja
dengan menempel pada gamma-aminobutyric acid-A (GABA-A) sehingga
meningkatkan efek dari GABA. Ini kemudian membuka canal klorida
sehingga menyebabkan membran sel terhiperpolarisasi dan mencegah
adanya eksitasi pada sel17.
Pada suatu penelitian, ditemukan bahwa penggunaan diazepam IV
dibandingkan dengan magnesium sulfat IV maupun IM meningkatkan
angka mortalitas yang lebih tinggi dan bayi dengan skor APGAR yang
lebih rendah.18.
Diazepam merupakan obat yang dikategorikan D untuk diberikan
kepada ibu hamil karena dapat meningkatkan malformasi kongenital dan
abnormalitas. Bayi akan menjadi flaccid, terdapat kesulitan untuk bernafas
dan makan serta hipotermia. Selain itu, pemberiannya juga dapat
menyebabkan janin menjadi cacat baik fisik maupun fungsional. Faktor
risiko lainnya yang dapat terjadi adalah adanya gangguan pertumbuhan,
keganasa, mutasi genetik. Obat diazepam dapat diberikan kepada pasien
apabila keuntungan yang diberikan lebih besar daripada risiko terjadinya
suatu abnormalitas.
Diazepam dapat menembus sawar plasenta dan berdampak pada
depresi nafas pada janin dan juga hipotermia serta hiperbilirubinemia
karena adanya destruksi sel darah merah. Pada pemberian MgSO4 dan
diazepam masih tetap ditemukan adanya kejadian kejang berulang, namun
prevalensi nya lebih kecil pada pemberian MgSO419. Selain itu pada
39
pemberian MgSO4 juga ditemukan adanya penurunan angka kematian
pada ibu dan fetal yang lebih signifikan dibandingkan dengan pemberian
diazepam20.
40
BAB III
KESIMPULAN
Eklampsia adalah suatu kondisi kejang yang dialami oleh ibu hamil
dengan diawali oleh gejala preeklampsia berat. Preeklampsia dikatakan berat
apabila tekanan darah mencapai 160/110 mmHg dan proteinuria sebanyak +2
disertai dengan gangguan serebral seperti nyeri epigastrik, nyeri kepala, dan
gangguan visual. Eklampsia merupakan suatu jenis komplikasi berat yang jarang
terjadi namun sangat membahayakan. Angka kematian ibu yang disebabkan oleh
eklampsia muali menurun karna pecegahan nya sudah banyak diketahui dan
dilaksanakan.
Penyebab terjadinya eklampsia sampai sekarang masih belum terlalu jelas
diketahui, namun berbagai patofisiologi mulai diketahui. Beberapa patofisiologi
yang ada adalah terhambanya pembentukan aliran darah dalam uterus, stres
oksidatif, disfungsi endotel dan gangguan perfusi/aliran darah di dalam otak.
Patofisiologi ini saling berkesinambungan sehingga menyebabkan suatu kondisi
abnormalitas di dalam otak seperti edema serebral, pendaraha, infark, vasospasme,
koagulopati intravaskuler, dan ensefalopati hipertansi.
Karena tingkat morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi, maka penata-
laksanaannya harus di edukasikan dan dijalankan dengan tepat. Tatalaksana
eklampsia dimulai dari pencegahan dan pengobatan. Pencegahan dapat dilakukan
dengan mengobservasi dan mengawasi kondisi pasien yang memiliki tekanan
darah tinggi, baik dengan proteinuria (preeklampsia) maupun yang tidak
(hipertensi gestasional). Dalam pencegahannya, pasien dapat diberikan obat
antihipertensi yang aman bagi janin dan obat MgSO4. Pemberian MgSO4 terbukti
efektif dalam mencegah terjadinya kejang dalam kehamilan. Selain itu,
pemeriksaan penunjang tambahan juga diperlukan seperti darah rutin, fungsi hari,
profil koagulasi, dan USG.
41
Dalam penatalaksanaannya, terlebih dahulu harus diperhatikan
keselamatannya dan harus dilindungi terutama jalan nafasnya. Kemudian
dilakukan penatalaksanakan umum dengan pemberian oksigen dan cairan
intravena. Lalu diberikan MgSO4 loading dose sebanyak 4gr. Obat antihipertensi
dapat juga diberikan kecuali ACE inhibitor dan ARB atau golongan diuretik.
Terapi farmakologis yang pada umumnya diberikan adalah Magnesium
Sulfat. Mekanisme kerja dari obat ini adalah dengan menghambat reseptor N-
Methyl D-Aspartat (NMDA), glutamat, dan katekolamin sehingga menghambat
canel kalsium. Oleh sebab itu, penggunaan MgSO4 bersifat perifer dan depresan
sehingga kejang dapat dihentikan. Pemberiannya diberikan 4 gr atau 10 mL dari
40% MgSO4 yang dilarutkan dalam 10 mL akuades, setelah itu dilanjutkan 6 gr
MgSO4 atau 15 mL MgSO4 cair 40%, Pemberiannya dapat diulang hingga 24
jam pasca persalinan atau kejang berakhir. Harus diperhatikan adanya ketersian
kalsium glukonas 10% untuk menanggulangi apabila terjadi depresi pernafasan.
Atau bisa juga diberikan MgSO4 2 gr IV perlahan selama 15-20 menit. Apabila
setelah pemebrian ulangan masih terjadi kejang, maka dapat dipertimbangkan
pmberian diazepam 10 mg IV selama 2 menit.
Pemberian diazepam (benzodiazepin) tidak terlalu efektif seperti pada
pemberian MgSO4. Hal ini dinyatakan bahwa dalam penggunaan diazepam, dapat
meningkatkan faktor resiko terjadinya malformalitas kongenital dan abnormalitas.
Selain itu bayi lebih cenderung menjadi flaccid dan kesulitan bernafas. Obat
diazepam dikahwatirkan dapat menurunkan denyut jantung janin karena obat ini
dapat disalurkan melalui plasenta.
Melalui berbagai penelitian dan teori yang ada, dapat disimpulkan bahwa
pemberian MgSO4 lebih efektif daripada pemberian diazepam. Pmeberiannya
juga lebih aman dan berperan secara periferal tidak seperti diazepam yang bekerja
secara sentral. Oleh sebab itu, maka pada algoritma penatalaksanaan kejang pada
ibu hamil, lebih banyak digunakan MgSO4 baik dalam pencegahan maupun
pengobatannya.
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, F Gary. et all. Obstetri Williams 23rded. USA : The McGraw-
Hill Companies, Inc. 2010
2. Prawihardjo S. Ilmu Kandungan. 3rd ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawihardjo; 2011.
3. ACOG. ACOG Practice Bulletin: Diagnosis and Management of Preeclampsia
and Eclampsia: The American College of Obstetricians and Gynecologists
Number 33. Jan 2002.
4. Craici I, Wagner S, Garovic VD. Preeclampsia and future cardiovascular risk:
formal risk factor or failed stress test?. Ther Adv Cardiovasc Dis. 2008
5. Lockwood CJ dan Paidas MJ. Preeclampsia and Hypertensive Disorders In
Wayne R. Cohen
6. Hubel, C. A. Oxidative strress in the pathogenesis of preeclampsia. Proc Sac
Exp Biol Med, 223. 1999
7. Indriani S, Kumala F. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian
Preeklampsia Pada Ibu Hamil. Jurnal Keperawatan. 2010;3(2):44-7.
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: InternaPublishing; 2009.
9. Lucas, M. J., Leveno., K. J., & Cunnngham, F. G. A comparison of
magnesium sulfate with phenytoin for the prevention of eclampsia. N Engl J
Med, 333. 1995
10. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). 2010 “Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) -Preeklamsia”. POGI: Jakarta.
11. Montazeri K, Fallah M. A dose Response Study of Magnesium Sulfate in
Suppressing Cardiovascular Responses to Laryngoscopy & Endotracheal
Intubation. Journal of Research in Medical Sciences.
43
12. Pritchard JA. Management of pre-eclampsia and eclampsia. Kidney Int 1980;
18: 259–66
13. Anonim, 2003, Managing Complications In Pregnancy and Childbirth, A
Guide for Midwives and Doctors,
http://who.int/reproductive-health/impac/index.html, 29 desember 2010.
14. Saftlas AF, Olson DR, Franks AL, et al. Epidemiology of preeclampsia and
eclampsia in the United States, 1979–1986. Am J Obstet Gynecol 1990
15. The Eclampsia Trial Collaborative Group. Which anticonvulsant for women
with eclampsia? Evidence from the collaborative eclampsia trial. Lancet 1995
16. Belfort, M.A., Annthony, J., Saade, G.R., & A;;en, J.c.,Jr. Acomparison of
magnesium sulfate and nimodipine for the prevention of eclampsia. N Engl J
Med. 2003
17. Duley L, Henderson‐Smart DJ, Walker GJA, Chou D. Magnesium sulphate
versus diazepam for eclampsia. Cochrane Database of Systematic Reviews
2010
18. Wagner, L.K, Diagnosis and Management of Preeclampsia, American Family
Physician.2004.
19. Yaseen Aleem Khalid efficacy of magnesium sulfate in the treatment of pre
eclampsia eclampsia, Annual KE- MC, 11
20. Duley L,Henderson SD Magnesium sulfate versus diazepam for eclampsia
The Cochran Data base of syste- matic reviews 2003
44