referat sindroma neuroleptic malignant
TRANSCRIPT
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
NEUROLEPTIC MALIGNANT SYNDROME
Disusun Oleh :
Dewa Ayu Ratna Mahaprawitasari, S.Ked 08700159
Dita Prima Desta, S.Ked 08700163
Pembimbing :
dr. Utoyo Sunaryo, Sp.S
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD Dr. MOH SALEH PROBOLINGGO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
2013
LEMBAR PENGESAHAN
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
SMF Ilmu Penyakit Saraf
Judul :
NEUROLEPTIC MALIGNANT SYNDOROME
Telah disetujui dan disahkan pada :
Hari : …………………….
Tanggal : …………………….
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
dr. Utoyo Sunaryo, Sp.S
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-nya, sehingga
kami bisa menyelesaikan tugas tinjauan kepustakaan yang berjudul “NEUROLEPTIC
MALIGNANT SYNDROME” ini. Tugas ini merupakan salah satu persyaratan untuk
memenuhi tugas kepranitraan klinik SMF Ilmu Penyakit Saraf di RSUD Dr. Moh. Saleh Kota
Probolinggo.
Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada pembimbing kami, dr. Utoyo
Sunaryo, Sp.S yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan masukan
yang sangat bermanfaat kepada kami dalam kepaniteraan klinik ini.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
hingga tersusunya tugas tinjauan kepustakaan ini, serta teman-teman dokter muda.
Akhir kata, kami menyadari bahwa tugas tinjauan kepustakaan ini masih jauh dari
sempurna. Dan kami membuka diri atas kritik dan saran yang membangun guna
kesempurnaan tugas tinjauan kepustakaan ini. Semoga tugas tinjauan kepustakaan ini dapat
berguna untuk menambah ilmu pengetahuan kita.
Terima kasih.
Probolinggo, September 2013
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………… ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………….. 1
1.1 Pendahuluan ……………………………………………………………………… 1
1.2 Tujuan ……………………………………………………………………………. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………… ………………….. 3
2.1 Definisi …………………………………………………………………………... 3
2.2 Etiologi……………… …………………………………………………………… 3
2.3 Faktor Resiko……………………………………………………………………… 4
2.4 Patofisiologi……………………………………………………………………….. 4
2.5 Gambaran Klinis………………...………………………………………………… 5
2.6 Pemeriksaan Labolatorium……………………………………………………….. 6
2.7 Diagnosis …………………………………………………………………………. 6
2.8 Diagnosis Banding ……………………………………………………………….. 7
2.9 Penatalaksanaan …………………………………………………………………. 8
2.10 Komplikasi ……………………………………………………………………… 9
2.11 Prognosis ………………………………………………………………………... 9
2.12 Pencegahan ……………………………………………………………………… 10
BAB III KESIMPULAN ………………………………………………………………… 11
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………….. 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Psikosis adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense of
reality ). Kelainan seperti ini dapat diketahui berdasarkan gangguan-gangguan pada perasaan,
pikiran, kemauan, motorik, dst. sedemikian berat sehingga perilaku penderita tidak sesuai
lagi dengan kenyataan. Perilaku penderita psikosis tidak dapat dimengerti oleh orang normal,
sehingga orang awam menyebut penderita sebagai orang gila. Efek samping obat anti-
psikosis sangat penting kita ketahui, mengingat penggunaan oabat ini kemungkinan diberikan
dalam jangka panjang. efek samping dapat berupa : sedasi dan Inhibisi Psikomotor (rasa
mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif
menurun), gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik :mulut kering,
kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intreokuler yang tinggi,
gangguan irama jantung), gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom
parkinson : tremor, bradikinesia, rigiditas), gangguan Endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia)
metabolik (jaundice), hematologik (agranulositosis), biasanya pada pemakaian panjang,
syndrome neuroleptik maligna.(13)
Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM adalah
hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Morbiditas dan mortalitas
pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal.(1)
Frekuensi SNM secara internasional bersamaan dengan penggunaan antipsikotik,
khususnya neuroleptik. Di Cina didapatkan insidensi SNM mencapai 0,12 % pada pasien
dengan terapi neuroleptik. Suatu penelitian retrospektif di India menunjukkan insidensi
0,14%.1 Sedangkan di Amerika SNM dilaporkan terdapat pada 0,2% - 1,9% pasien.(2)
Meskipun neuroleptik (haloperidol, fluphenazin) lebih sering menyebabkan SNM,
semua obat anti psikotik, tipikal maupun atipikal dapat menyebabkan sindrom ini. Obat-
obatan tersebut adalah prochlorperazine (Compazine), promethazine (Phenergan), clozapine
(Clozaril), and risperidone (Risperdal). Selain itu obat-obat non neuroleptik yang dapat
memblok dopamin dapat menyebabkan SNM juga, obat-obat tersebut adalah metoclopramide
(Reglan), amoxapine (Ascendin), and lithium4. Deteksi awal dan penegakan diagnosis yang
cepat pada SNM penting karena komplikasi dari keadaan ini adalah kematian. (5) Kematian
yang disebabkan oleh SNM mencapai 21%.(3)
1.2. TUJUAN
Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan penulis
khususnya mengenai Neuroleptik mulai dari definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,
diagnosis. Serta lebih khususnya mengenai ” Neuroleptic Maligna Syndrome ”.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI
Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM adalah
hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Morbiditas dan mortalitas
pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal.(1)
DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) mendefiniskan
sebagai gangguan rigiditas otot berat, peningkatan temperatur dan gejala lainnya yang terkait
(misalnya diaphoresis, disfagia, inkontinensia, perubahan tingkat kesadaran dari konfusi
sampai dengan koma, mutisme, tekanan darah meningkat atau tidak stabil, peningkatan
kreatin phosphokinase (CPK) yang berkaitan dengan pengunaan pengobatan neuroleptik.(6)
Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin biasanya dipakai
untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti skizoprenia, gangguan afek mayor
(gangguan depresi, bipolar), delirium, gangguan tingkah laku karena dimensia, nausea,
disfungsi usus dan penyakit parkinson. Sindroma ini mengakibatkan disfungsi sistem syaraf
otonom. Sistem syaraf otonom adalah sistem syaraf yang bertanggung jawab untuk aktivitas
tubuh yang tidak dikendalikan secara sadar, seperti denyut jantung, tekanan darah,
pencernaan, berkeringat, suhu tubuh dan kesadaran juga terpengaruh.(7)
2.2. ETIOLOGI (1)
1. Semua kelas anti psikotik berhubungan dengan SNM termasuk neuroleptik potensi
rendah, neuroleptik potensi tinggi dan antipsikotik atipikal. SNM sering pada pasien
dengan pengobatan haloperidol dan chlorpromazine.
2. Penggunaan dosis tinggi antipsikotik (terutama neuroleptic potensi tinggi),
antipsikotik aksi cepat dengan dosis dinaikan dan penggunaan antipsikotik injeksi
long acting.
3. Faktor lain berhubungan dengan farmakoterapi. Penggunaan neuroleptik yang tidak
konsisten dan penggunaaan obat psikotropik lainnya, terutama lithium, dan juga terapi
kejang.
2.3. FAKTOR RESIKO (1)
Faktor resiko dari SNM antara lain :
1. Faktor lingkungan dan psikologi yang menjadi predisposisi terhadap SNM adalah
kondisi panas dan lembab, agitasi, dehidrasi, kelelahan dan malnutrisi.
2. Faktor genetik, terdapat laporan kasus yang mempublikasikan bahwa SNM dapat
terjadi pada kembar identik.
3. Pasien dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren. Resiko
rekurensi tersebut berhubungan dengan jarak waktu antara episode SNM dan
penggunaan antipsikotik. Apabila pasien diberikan anti psikotik dalam 2 minggu
episode SNM, 63 % akan rekurensi. Jika lebih dari 2 minggu, persentasenya hanya
30%.
4. Sindrom otak organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan lithium,
riwayat ECT (Elektro Convulsive Therapy), penggunaan neuroleptik tidak teratur.
5. Penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis neuroleptik di
naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi.
2.4. PATOFISIOLOGI
Sesuai dengan istilahnya, Sindrom Neuroleptik Maligna berkaitan dengan pemberian
pengobatan neuroleptik. Mekanisme pastinya belum diketahui, tetapi terdapat hipotesis yang
menyatakan bahwa defisiensi dopamin atau blokade dopamin yang menyebabkan SNM.
Pengurangan aktivitas dopamin di area otak (hipothalamus, sistem nigrostartial, traktus
kortikolimbik) dapat menerangkan terjadinya gejala klinis SNM.(3)
Pengurangan dopamin di hipothalamus dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
pengaturan suhu sehingga terjadi demam dan juga dapat menyebabkan ketidak stabilan saraf
otonom. Di sistem nigrostratial dapat menyebabkan rigiditas, di sistem traktus kortiko limbik
dapat menyebabkan perubahan kesadaran. Perubahan status mental disebabkan karena
blokade reseptor dopamin di sistem nigrostartial dan mesokortikal.(7)
2.5. GAMBARAN KLINIS
Sindrom Neuroleptik Maligna merupakan reaksi idiosinkrotik yang tidak tergantung
pada kadar awal obat dalam darah. Sindrom tersebut dapat terjadi pada dosis tunggal
neuroleptik (phenotiazine, thioxanthene, atau neuroleptikal atipikal), biasanya berkembang
dalam 4 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan dengan neuroleptik. SNM sebagian
besar berkembang dalam 24-72 jam setelah pemberian obat neuroleptik atau perubahan dosis
(biasanya karena peningkatan dosis).(6) Sindroma neuroleptik maligna dapat menunjukkan
gambaran klinis yang luas dari ringan sampai dengan berat.(7)
Gejalanya yaitu:(1)
a) Gejala disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea, takikardi dan
tekanan darah meningkat atau labil.
b) Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia
dan diskinesia. Tremor dan aktivitas motorik berlebihan dapat mencerminkan agitasi
psikomotorik. Konfusi, koma, mutisme, inkotinensia dan delirium mencerminkan
terjadinya perubahan tingkat kesadaran.
2.6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Rigiditas dan hipertermi pada SNM disebabkan karena kerusakan otot dan nekrosis.
Kerusakan otot dan nekrosis ini dapat menyebabkan(3) :
1) Peningkatan kadar Creatin Kinase (CK) darah mencapai 2000 – 15.000 U/ L.
Peningkatan kadar CK ini tingkat sensitifitasnya tinggi untuk Sindrom Neuroleptik
Maligna.
2) Peningkatan Aminotransferase (aspartate aminotransferase [AST], alanine
aminotransferase [ALT]), and lactate dehydrogenase (LDH ).
3) Pemeriksaan laboratorium lain terdapat leukositosis (15. 000 – 30.000 x 103/ mm3),
trombositosis dan dehidrasi. Protein serebrospinal dapat meningkat. Konsentrasi
serum besi dapat menurun.
2.7. DIAGNOSIS(7)
Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada. Salah satu kriteria
berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup hiperpireksia dan rigiditas otot, dengan
satu atau lebih tanda-tanda penting seperti ketidak stabilan otonom, perubahan sensorik,
peningkatan kadar CK dan myoglobinuria.
Berdasarkan gejala klinis tersebut, SNM seharusnya menjadi diagnosis banding pada
pasien demam dengan pengobatan neuroleptik. Sebelum diagnosis SNM ditegakkan, semua
kemungkinan penyebab kenaikan suhu harus disingkirkan, dan demam harus disertai dengan
gejala klinis lain seperti rigiditas otot, perubahan status mental dan ketidakstabilan otonom.
Kriteria diagnosis menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders) :
Memenuhi kriteria A dua-duanya dan kriteria B minimal 2.
Kriteria A
1. Rigiditas otot
2. Demam
Kriteria B
1. Diaphoresis
2. Disfagia
3. Tremor
4. Inkontinensia
5. Perubahan kesadaran
6. Mutisme
7. Takikardi
8. Tekanan darah meningkat atau labil
9. Leukositosis
10. Hasil laboratorium menunjukkan cedera otot
Kriteria C
Tidak ada penyebab lain (Misal: encephalitis virus)
Kriteria D
Tidak ada gangguan mental
Diagnosis banding dari SNM sangat luas. Hal terpenting sumber infeksi dari demam
harus di singkirkan. Pungsi lumbal harus dipertimbangkan untuk membedakan SNM dengan
encephalitis virus atau encephalomyelitis post infeksi.10 SNM harus dibedakan dari sindrom
yang disebabkan oleh pengobatan lain seperti sindrom serotonin dan hipertermi maligna.
2.8. DIAGNOSIS BANDING(1)
1. Heat Stroke
Pada heat stroke kulit menjadi kering dan lembek akibat hipertermi dan hipotensi.
2. Letal Kataton
Letal kataton terjadi pada orang skizoprenia atau episode manik. Neuroleptik dapat
memperbaiki atau memperburuk gejalanya. Membedakan SNM dan letal kataton sulit,
meskipun riwayat pasien menyatakan episode kataton pada saat pasien tidak meminum
neuroleptik. Letal kataton cenderung eksitasi dan agitasi pada prodomal sedangkan SNM
dimulai dengan rigiditas.
3. Sindrom Serotonin
Sindrom serotonin sangat mirip SNM. Untuk membedakannya dengan menggali
riwayat pengobatan dengan perhatian pada perubahan dosis dan tidak adanya rigiditas berat.
2.9. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Suportif(1)
Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti psikotik dan
terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan mereda dalam 1-2 minggu. Sindrom
Neuroleptik Maligna yang dipercepat dengan depot injeksi anti psikotik long action dapat
bertahan selama sebulan.
Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan memelihara
fungsi organ yaitu:
1. Manajemen jalan nafas: intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri.
2. Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan, hemodinamik.
3. Untuk mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik.
4. Skrening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thorak, analisis cairan
serebrospinal, kultur urin dan darah.
2. Terapi Farmakologi(3)
Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti bromokriptin
dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati Sindrom Neuroleptik Maligna
berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Dantrolene dipakai untuk mengurangi rigiditas
otot, metabolisme dan peningkatan panas. Peneliti lain melaporkan tidak ada manfaat dan
setelah diamati ternyata meningkatkan komplikasi dan pemanjangan gejala karena pemakaian
obat-obat tersebut.
Terapi tunggal dengan benzodiazepin dilaporkan berhasil dalam beberapa kasus.
Penelitian Francis et all menyatakan benzodiazepin efektif dalam penanganan Sindrom
Neuroleptik Maligna dengan mengurangi durasi menjadi 2 – 3 hari.
2.10. KOMPLIKASI
Komplikasi dari Sindroma Neuroleptik Maligna banyak. Komplikasi yang paling
umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menerus dan akhirnya
terjadi kerusakan otot. Komplikasi lainnya gagal ginjal, pneumonia aspirasi, emboli pulmo,
edema pulmo, sindrom distress respirasi, sepsis, diseminated intravascular coagulation,
seizure, infark miocardial.(9)
Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi karena psikotik yang tidak
terkontrol. Sebagian besar pasien dengan pengobatan anti psikotik karena menderita
gangguan psikiatri berat atau persiten, kemungkinan relaps tinggi jika anti pskotik di
hentikan.(1)
2.11. PROGNOSIS(1)
Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis berat otot
yang menjadi rhabdomiolisis. Pasien dengan riwayat Sindrom Neuroleptik Maligna dapat
terjadi rekurensi. Resiko terjadi rekurensi berhubungan dengan jeda waktu antara Sindrom
Neuroleptik Maligna dan dimulainya kembali pengobatan antipsikotik.
2.12. PENCEGAHAN(6)
Pencegahan merupakan bagian penting dalam menghindari terjadinya sindrom ini.
Dosis terendah neuroleptik dianjurkan, dengan memonitor onset efek samping ekstra
piramidal. Deteksi awal dan memberikan terapi untuk mengeliminasi efek samping ekstra
piramidal, terutama rigiditas otot dapat mencegah perkembangan lebih lanjut Sindroma
Neuroleptik Maligna dan komplikasinya.
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Yang memiliki karekteristik seperti
hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Faktor resiko dari SNM
antara lain : faktor lingkungan dan psikologi, faktor genetic, pasien dengan riwayat episode
NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren, sindrom otak organik, gangguan mental non
skizoprenia, penggunaan lithium, riwayat ECT, penggunaan neuroleptik tidak teratur,
penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis neuroleptik di naikan
dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi. Gejalanya yaitu: Gejala disregulasi otonom
mencakup demam, diaphoresis, tachipnea, takikardi dan tekanan darah meningkat atau labil.
Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia dan
diskinesia. Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti psikotik dan
terapi suportif. Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti
bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati Sindrom Neuroleptik
Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Komplikasi yang paling umum adalah
rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menerus dan akhirnya terjadi kerusakan
otot. Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis berat otot yang
menjadi rhabdomiolisis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sholevar, DP., 2002, Neuroleptic Malignanat Syndrome, http://www.emedicine.com
(diakses pada 18.30, 17 September 2013)
2. Khaldarov, V, 2000, Benzodiazepines for Treatment of Neuroleptic Malignant
Syndrome, Hospital Physician. Page 51-55
3. Benzer, Theodore, 2005, Neuroleptic Malignanat Syndrome,
http://www.emedicine.com (diakses pada 19.00, 18 September 2013)
4. Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the Elderly:
Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors, Pathophysiology, and Treatment,
Clinical geriatry Vol 14 No. 5, John Hopskins Medicine. Page 39-45
5. Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review,
http:://www.turner-white.com (diakses pada 19.30, 18 September 2013)
6. Nicholson, D., Chiu., W., 2004, Neuroleptic malignant syndromem, Geriatrics August
2004 Volume 59, Number 8. Page 38-40
7. Benzer, Theodore, 2005, Neuroleptic Malignanat Syndrome,
http://www.emedicine.com (diakses pada 20.30, 18 September 2013)
8. Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review,
http:://www.turner-white.com (diakses pada 16.00, 19 September 2013)
9. Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the Elderly:
Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors, Pathophysiology, and Treatment,
Clinical geriatry Vol 14 No. 5, John Hopskins Medicine. Page 39-45
10. Kaplan H, Sadock B. 2005. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of
Psychiatry. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins. Pp: 532-67.
11. Khaldarov, V, 2000, Benzodiazepines for Treatment of Neuroleptic Malignant
Syndrome, Hospital Physician. Page 51-55
12. Khan, N.A., 2011, Atypical neuroleptic malignant syndrome: reversible
encephalopathy. http://www.docstoc.com/docs/79675578/Programme-P2T-10.
(diakses pada 15.30, 19 September 2013)
13. Maramis, W.F. (2008), Ilmu Kedokteran Jiwa . Surabaya : Airlangga University. Page
180
14. Maslim, R., 2001, Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik . Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC. Pp:5-9