referat sjs ten

Upload: laurensius-billie

Post on 19-Oct-2015

199 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

sjs

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Steven Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) adalah penyakit mukokutaneus yang jarang, bersifat akut dan mengancam nyawa dengan karakteristik berupa nekrosis dan pelepasan dari lapisan epidermis yang luas yang hampir selalu berhubungan dengan konsumsi obat. Manifestasi disebabkan karena adanya kematian sel-sel keratinosit yang luas yang mengakibatkan pemisahan yang luas pada dermal-epidermal junction memberikan gambaran kulit yang melepuh (bula). Penyakit ini berjalan tanpa dapat diprediksi. Mula-mula timbul dermatosis yang tampak tidak berbahaya namun dapat menjadi progresif dalam watu singkat, dan setelah terjadi pelepasan kulit (skin detachment) yang luas maka tidak dapat diprediksi kapan penyakit akan sembuh. Beberapa penelitian telah meneliti tentang gejala klinis dari SJS dan TEN dan telah membentuk suatu c$riteria diagnosis. Risiko kematian juga dapat diprediksi secara akurat dengan menggunakan tingkat keparahan penyakit yang dapat digunakan sebagai prediksi prognosis dari TEN (SCORTEN)1. Prognosis ditentukan dari seberapa cepat obat yang menjadi penyebabnya diidentifikasi dan dihentikan. Meskipun TEN dan terutama SJS dulu dianggap termasuk dalam spectrum penyakit yang di dalamnya termasuk Eritema Multiforme Mayor, kelainan ini kini dibedakan karena penyebab, penatalaksanaan dan prognosisnya biasanya berbeda. SJS dan TEN juga harus dibedakan dari dermatosis seperti Stapylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS), fixed drug eruption, drug-induced linear IgA bullous dermatosis, eritema toksik akibat kemoterapi dan pustulosis eksantematous generalisata akut karena penatalaksanaan dan prognosis yang berbeda. Belum ada terapi spesifik untuk SJS dan TEN yang menunjukkan efektvitas dalam prosesnya. Prevalensi yang rendah dan potensi mengancam nyawa menjadikan penyakit ini sulit untuk dilakukan penelitian1. Bentuk penyakit yang cenderung berat dan dapat menyebabkan kematian memerlukan penatalaksanan yang cepat dan tepat sehingga jiwa pasien dapat segera tertolong5.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 DefinisiSteven Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) adalah penyakit mukokutaneus yang jarang, bersifat akut dan mengancam nyawa dengan karakteristik berupa nekrosis dan pelepasan dari lapisan epidermis yang luas yang hampir selalu berhubungan dengan konsumsi obat. Manifestasi disebabkan karena adanya kematian sel-sel keratinosit yang luas yang mengakibatkan pemisahan yang luas pada dermal-epidermal junction memberikan gambaran kulit yang melepuh (bula)1,4. 2.2 SejarahPada tahun 1922, dua orang dokter berkebangsaan Amerika, Stevens and Johnsons menjelaskan tentang sindrom mukokutaneus akut pada dua orang anak laki-laki. Kondisi tersebut ditandai dengan adanya konjungtivitis purulen yang berat, stomatitis berat, dan neksosis mukosa yang luas dan lesi kutan yang menyerupai eritema multiforme (EM). Kelainan ini kemudian dikenal sebagai Steven-Johnson Syndrome (SJS) dan diketahui sebagai penyakit mukokutaneus berat yang dapat berakhir fatal. SJS kemudian dimasukan sebagai EM mayor oleh Bernard Thomas pada tahun 1950. Namun, penelitian yang dilakukan dewasa ini telah menemukan bahwa SJS dan EM merupakan dua kelainan yang berbeda1,4. Pada tahun 1956, Alan Lyell menjelaskan tentang empat orang pasien dengan erupsi berupa bula pada kulit yang olehnya diberi istilah toxic epidermal necrolysis. Lyell juga mengamati adanya serangan pada membrane mukosa sebagai bagian dari sindroma dan mengamati bahwa inflamasi yang terjadi pada dermis sangat minimal,yang kemudian disebut sebagai dermal silence, salah satu ciri-ciri yang membedakan dengan infiltrate inflamasi yang jelas dari penyakit vesikobulosa lainnya seperti EM, dermatitis herpetiformis dan pemfigus bulosa. TEN pada waktu itu dianggap sebagai reaksi kutaneus akibat stimulus multiple, termasuk obat (sulfonamid), dan mikroba (Staphylococcus) 1.Penelitian yang dilakukan pada tikus neonatal yang mengalami subgranular epidermal split setelah pajanan terhadap phage S. aureus grup II, penemuan eksotoksin staphylococcal baru yang disebut epidermolytic toxic berujung pada dibedakannya TEN dengan Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). Dengan semakin banyaknya insidensi TEN pada tahun-tahun mendatang setelah penelitian Lyell, menjadi jelas bahwa beberapa obat tertentu seperti sulfonamide, pyrazolon, barbiturate, dan antikonvulsan sering berkaitan dengan timbulnya TEN. Pada waktu yang sama, obat-obatan juga semakin dikaitkan sebagai penyebab timbulnya EM mayor dengan stomatitis berat. Karena itu, EM, SJS dan TEN dulu dianggap sebagai bagian dari spectrum reaksi kutaneus. Sekarang telah ditemukan bahwa penyebab mayor dari EM adalah HSV dan virus ini tidak berhubungan dengan penyebab TEN. Penelitian oleh Jean-Claude Roujeaujuga membuktikan bahwa SJS dan EM adalah dua penyakit yang memiliki penyebab dan prognosis yang berbeda. SJS dan TEN sekarang dianggap sebagai satu kesatuan epidermolisis berat karena reaksi kutaneus akibat obat, dimana perbedaan hanya meliputi luas permukaan tubuh yang terkena1,4. 2.3 Epidemiologi dan Faktor RisikoSJS dan TEN merupakan penyakit langka yang mengenai perempuan lebih sering dari laki-laki. Sindrom ini lebih sering terjadi pada orang dewasa dan jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitasnya yang belum begitu berkembang5. Pada anak-anak infeksi Mycoplasma merupakan salah satu penyebab SJS dan dapat sangat mirip dengan SJS akibat obat2. Beberapa golongan pasien tertentu memiliki risiko meningkat untuk terjadinya SJS/TEN, termasuk pasien yang memiliki genotip slow-acetylator, immunocompromised (HIV),menjalani radioterapi, antikonvulsan, atau yang memiliki alel spesifik HLA (Human Leukocyte Antigen). Contoh dari faktor predisposisi genetic ini adalah HLA B*1502 pada orang Asia dan India yang terpajan dengan karbamazepin dan HLA*B5801 pada populasi Han di Cina yang terpajan dengan allopurinol. Pada pasien dengan AIDS, risiko terjadinya TEN meningkat 1000 kali lebih tinggi dari populasi umum1,4. Angka kematian bervariasi pada sebagian besar kasus dimana hanya dilakukan terapi suportif, dan diketahui bahwa angka ini sangat bergantung pada berbagai faktor seperti usia pasien dan luas lesi. Angka kematian pada pasien dengan TEN 25-5-%, dan 5% pada SJS1. Penggunaan obat dilaporkan pada lebih dari 95% pasien denganTEN. Hubungan erat antara konsumsi obat dengan munculnya erupsi kutaneus dilaporkan pada 80% kasus. Penyebab lainnya yang jarang dapat berupa infeksi dan imunisasi. Penelitian melaporkan hubungan yang kurang jelas (dibandingkan TEN) antara konsumsi obat dengan SJS, dimana hanya 50% yang dinyatakan berhubungan dengan obat. Lebih dari 100 jenis obat yang telah diidentifikasi berhubungan dengan SJS/TEN1. Menurut penelitian oleh Adhi Djuandaa selama 5 tahun (1998-1002) pada pasien SJS, diduga alergi obat tersering adalah analgetik/antipiretik (45%), karbamazepin (20%), jamu (13.3%). Kausa lainnya berupa amoksisilin, kotrimoksasol, klorokuin, seftriakson dan adiktif5. Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan SJS dan TEN1

23

AllopurinolAminopenicillinAmithiozone (Thioacetazonde)Antiretroviral BarbiturateCarbamazepineChlormezanonePhenytoinPiroxicamSulfadiazineSulfasalazineTrimethoprim-sulfametoxazole

Pada umumnya risiko terjadinya SJS/TEN paling tinggi pada minggu-minggu awal dari terapi. Lebih jauh lagi, obat-obatan dengan waktu paruh lama lebih sering mengakibatkan reaksi obat dan akibat fatal dibandingkan obat dengan waktu paruh singkat1,2. 2.4 PatogenesisHingga kini urutan pasti dari proses molekuler dan seluler yang terjadi dalam SJS/TEN baru dipahami sebagian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SJS/TEN terkait dengan ketidakmampuan tubuh dalam detoksifikasi metabolit obat reaktif. Prosesnya diawali dengan adanya respon imun terhadap kompleks antigenik yang dibentuk dari reaksi metabolit tersebut dengan jaringan tubuh tertentu1. Patogenesis utama diduga akibata adanya proses hipersensitivitas tipe II (sitotoksik)4,5. Suseptibilitas genetic juga memainkan peran, dibuktikan dengan identifikasi dari alel HLA spesifik terkait obat (specific-drug related HLA) sebagai gen suseptibilitas mayor untuk perkembangan SJS dan TEN1. Sel T sitotoksik mengekspresikan skin-homing receptor, cutaneous lymphocyte-associated antigen (CLA) dapat ditemukan pada lesi kutaneus awal. Sel-sel ini kemungkinan adalah suatu T sitotoksik terkait obat (drug-spesiic cytotoxic T cells). Sitokin-sitokin penting seperti IL-6, TNF-, interferon , IL-18 dan Fas ligand (FasL) juga terdapat pada epidermis yang mengalami kelainan dan/atau cairan bula dari pasien dengan TEN, dan kerja dari sitokin-sitokin ini dapat menjelaskan sebagian dari gejala TEN dan ketidaksesuaian antara luas kerusakan pada epidermis dengan infiltrat inflamasi yang minimal. Selain itu, interval tipikal antara onset dari terapi obat dengan timbulnya SJS/TEN adalah 1- 3 minggu, mengindikasikan adanya periode sensitasi dan menunjang peran imunitas dalam patogenesisnya. Periode ini memendek secara signifikan pada pasien yang terpapar kembali oleh obat yang sebelumnya mengakibatkan SJS/TEN1.Penelitian menunjukkan bahwa kerusakan jaringan yang dideskripsikan sebagai nekrolisis epidermal adalah akibat kematian sel-sel keratinosit yang luas melalui proses apoptosis. Apoptosis dari keratinosit merupakan suatu ciri khas pada stadium awal SJS dan TEN, dan merupakan tanda morfologik awal yang jelas dari kerusakan jaringan spesifik. Gambaran histologik klasik berupa nekrolisis epidermal yang luas sesungguhnya merupakan gambaran akhir dari apoptosis keratinosit. Keadaan apoptotik dari sel bersifat sementara, dan akan diikuti dengan keadaan nekrosis bila sel-sel apoptotic tersebut tidak segera difagositosis. Pada SJS dan TEN, dalam kurun waktu singkat (hitungan jam), apoptosis keratinosit tertimbun sangat banyak pada kulit yang terkena dan melebihi kapasitas fagositosisnya. Dalam hitungan jam sampai hari, keratinosit yang apoptosis tersebut menjadi nekrosis dan kehilangan kemampuan kohesinya pada kehilangan viabilitasnya, mengakibatkan gambaran histologik khas berupa full thickness epidermal necrolysis1. Fas ligand (FasL), salah satu sitokin TNF, memiliki kemampuan menginduksi apoptosis dengan berikatan pada reseptor permukaan sel spesifik yaitu Fas (CD95, Apo-1) death receptor. Death receptors secara fisiologis memiliki fungsi sebagai sensor di permukaan sel yang mendeteksi adanya sinyal kematian sel spesifik dan secara cepat mengaktifkan dekstruksi sel melalui apoptosis. Pada pasien dengan TEN, apoptosis keratinosit yang luas dikaitkan dengan peningkatan signifikan ekspresi FasL dari keratinosit dengan ekspresi Fas receptor yang tetap1,2. Penelitian oleh Chung, et al, menunjukkan bahwa molekul sitotoksik lainnya turut berperan dalam apoptosis keratinosit pada SJS maupun TEN. Konsentrasi tinggi dari granulysin, protein sitolitik yang diproduksi oleh limfosit T sitotoksik (CTLs), natural killer cell (NK), dan natural killer T cell (NKT) ditemukan pada cairan bula yang didapat dari pasien SJS/TEN. Injeksi dari granulysin rekombinan ke dalam kulit tikus mmengakibatkan terjadinya nekrolisis epidermal dan infiltrat sel inflamasi1. Model patogenesis dari SJS/TEN kini dideskripsikan sebagai berikut: setelah pajanan dari obat-obatan tertentu, seseorang dengan faktor predisposisi tertentu akan membentuk reaksi imun spesifik terhadap obat atau metabolitnya. Dengan mekanisme yang masih belum sepenuhnya diketahui, reaksi ini mengakibatkan molekul FasL diekspresikan dalam jumlah besar pada keratinosit disertai sekresi granulysin dari CTLs, NK dn NKT. Proses ini berujung pada FasL- dan granulysin-mediated apoptosis dari keratinosit diikuti nekrosis epidermal1.

Gambar 2.1 Patogenesis Stevens-Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal Necrolysis1.2.5 Gejala KlinikGejala awal dari TEN dan SJS dapat berupa demam, mata perih, nyeri menelan, yang mendahului timbulnya lesi kulit 1-3 hari pertama. Lesi kulit biasanya muncul pertama kali pada batang tubuh yang kemudian menyebar ke leher, wajah dan ekstremitas proksimal. Bagian distal dari tangan dan kaki biasanya jarang terkena, namun telapak tangan dan kaki dapat pula menjadi lokasi lesi awal. Eritema dan erosi mukosa buccal, okular dan genital ditemukan pada lebih dari 90% pasien. Epitel dari saluran pernafasan juga turut terlibat pada 25% pasien dengan TEN dan lesi gastrointestinal, esofagitis, dan diare dapat juga terjadi. Lesi kulit biasanya lunak dan nyeri, dan erosi mukosa terasa sangat nyeri. Manifestasi sistemik tambahan termasuk demam, limfadenopati, hepatitis dan sitopenia1,2. Pada SJS terlihat trias kelainan berupa kelainan pada kulit, kelainan pada mukosa orifisium (mulut, genital, hidung dan anus), dan kelainan mata5. Morfologi dari lesi kulit telah dipelajari secara mendetail. Mula-mula, lesi tampak sebagai macula eritematous atau purpura dengan bentuk dan ukuran yang irregular dan mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan lesi di dekatnya. Pada stadium ini, dengan adanya keterlibatan mukosa dan rasa nyeri, risiko progresi ke arah SJS/TEN harus dicurigai. Dalam keadaan dimana tidak terjadi spontaneous epidermal detachment, harus diperiksa adanya Nikolsky sign yaitu dengan memberikan tekanan mekanis ringan dengan jari pada beberapa zona eritematous. Tanda Nikolsky dinyatkan positif bila terjadi pemisahan epidermis-dermis. Pada beberapa pasien lesi macular dapat mempunyai bagian tengah agak kehitaman hingga memiliki gambaran target-like appearance. Lesi ini harus dibedakan dengan typical target lesion yang mempunyai tiga lingkaran konsentris yang khas dan dengan atypical target lesion yang papular pada EM1.

Gambar 2.2 Lesi awal dari SJS dan TEN

Clinical Features That Distiguish Steven Johnson Syndrome (SJS), Toxic Epidermal Necrolisis (TEN), and SJS-TEN Overlap1Clinical EntitySJSSJS-TENTEN

Primary lesionsDusky and/or dusky red lesions, flat atypical targetsDusky and/or dusky red lesions, flat atypical targetsPoorly delineated erythematous plaques, epidermal detachment (spontaneous or by friction), Dusky and/or dusky red lesions, flat atypical targets.

DistributionIsolated lesionsConfluence (+) on face and trunkIsolated lesions Confluence (++) on face and trunkIsolated lesions (rare)Confluence (+++) on face and trunk and elsewhere

Mucosal involvementYesYesYes

Systemic symptomsUsuallyAlwaysAlways

Detachment (%BSA)30

Seiring dengan progresi menuju full thickness necrosis, lesi makula eritem kehitaman akan berubah warna menjadi keabuan yang khas. Proses ini dapat terjadi sangat cepat (dalam hitungan jam) atau dalam beberapa hari. Epidermis yang nekrosis kemudian akan terlepas dari lapisan dermis dibawahnya dan cairan akan mengisi rongga di antara kedua lapisan tersebut, mengakibatkan terbentuknya bula. Bula yang terjadi memiliki ciri khas: mudah pecah, dapat meluas ke lateral dengan penekanan ringan oleh ibu jari seiring dengan meluasnya pelepasan epidermis (Asboe-Hansen sign). Keadaan kulit menyerupai gambaran kertas rokok yang basah (wet cigarette paper), yang dapat lepas dengan adanya trauma, memperlihatkan dermis kemerahan dan berdarah, yang disebut sebagai scalding. Pasien-pasien seperti ini harus ditangani dengan sangat hati-hati. Bula yang tegang biasanya terlihat hanya pada permukaan palmoplantar dimana epidermis lebih luas sehinggga lebih tahan terhadap trauma ringan1.

Gambar 2.3 Pasien Toxic Epidermal Necrolysis dengan skin detachment yang luas

Gambar 2.4 Lesi berupa bula pada pasien dengan TEN

Saat merawat pasien dengan kondisi seperti ini, luas dari nekrolisis harus dievaluasi secara tepat dan hati-hati karena merupakan salah satu faktor penentu prognosis. Dalam hal ini aturan untuk mengukur total luas permukaan tubuh (Body Surface Area) yang digunakan dalam luka bakar dapat dipakai. Pengalaman menunjukkan bahwa sangat sering terjadi overestimasi dalam mengukur luas pelepasan kulit (skin detachment). Pengukuran harus meliputi lesi kulit yang terlepas baik secara spontan maupun tidak (Nikolsky sign +), dan tidak termasuk area yang hanya berupa eritema saja (Nikolsky sign -). Berdasarkan luas lesi skin detachment, klasifikasi pasien terbagi menjadi 3 grup2:a. SJS: < 10% body surface area (BSA)b. SJS-TEN overlap: 10-30% BSAc. TEN: >30% BSA

Gambar 2.5 Spektrum penyakit berdasarkan luas permukan tubuh yang terkena1

Erosi mukosa didapatkan pada >90% pasien. Didapatkan pula keluhan fotofobia dan nyeri berkemih. Penting juga untuk dapat membedakan antara SJS dan EM dimana ciri histologik keduanya serupa sehingga tidak dapat digunakan untuk membedakan keduanya. Perbedaan didasarkan pada ciri klinis, terutama gambaran lesi target dan distribusinya. Untuk menegakkan diagnosis EM harus ada typical target lesion, sedangkan SJS dipertimbangkan sebagai diagnosis bila lesi targetnya atipikal3. Belum ada kriteria khusus yang dapat memprediksi pasien dengan SJS yang mungkin berkembang menjadi TEN1. Penyembuhan dari area dengan skin detachment melalui proses reepitelisasi umumnya terjadi dalam beberapa hari dan selesai dalam 3 minggu pada sebagian besar kasus. Proses ini dihasilkan dari proliferasi dan migrasi dari keratinosit dari area reservoir seperti jaringan epidermis yang masih sehat di sekeliling lesi dan folikel rambut. Sehubungan dengan kemampuan untuk reepitelisasi, skin graft tidak diperlukan pada SJS dan TEN1. Identifikasi dari obat pencetus adalah tugas yang penting dan sangat sulit, namun harus menjadi salah satu prioritas utama. Belum ada pemeriksaan in vitro yang dapat diandalkan untuk indentifikasi secara cepat dari obat pencetus. Patch test menunjukkan sensitivitas yang lemah terhadap SJS/TEN dan tidak cocok untuk tujuan identifikasi karena paparan kembali terhadap obat pencetus sangat berbahaya dalam penanganan pasien dengan reaksi akibat obat yang berat. Untuk itu, identifikasi sepenuhnya didasarkan pada evident-based tentang obat yang berhubungan dengan SJS/TEN sebelumnya sehingga dapat ditentukan probabilitasnya dalam mencetuskan SJS/TEN. Faktor ekstrinsik seperti jarak dari onset pemberian obat dengan onset timbulnya SJS/TEN juga harus ddiperhatikan. SJS dan TEN biasanya terjadi dalam 7-21 hari setelah pemberian obat pertama kali, namun dapat pula terjadi dalam 2 hari dalam kasus re-exposure obat yang sebelumnya pernah memicu SJS/TEN. Pada umumnya, pengobatan untuk pasien dengan SJS atau TEN harus dibatasi hingga batas minimum, penggunaan obat substitusi yang sesuai dan lebih dipilih obat-obatan dengan waktu paruh singkat1.

2.6 Diagnosis BandingDiagnosis banding dari SJS dan TEN yaitu EM, SSSS, AGEP dan generalized fixed drug eruption. Pemfigus paraneoplastik, drug-induced linear IgA bullous dermatosis (LABD), penyakit Kawasaki, lupus eritematosus, dan eritema toksik akibat kemoterapi juga dapat dipikirkan sebagai diagnosis banding tergantung dari keadaan klinisnya1. Untuk menegakkan diagnosis EM harus ada typical target lesion, sedangkan SJS dipertimbangkan sebagai diagnosis bila lesi targetnya atipikal. Pada beberapa pasien lesi macular dapat mempunyai bagian tengah agak kehitaman hingga memiliki gambaran target-like appearance. Lesi ini harus dibedakan dengan typical target lesion yang mempunyai tiga lingkaran konsentris yang khas dan dengan atypical target lesion yang papular pada EM1,3.SSSS biasanya terjadi pada anak-anak dan neonates, namun dapat pula terjadi pada dewasa yang menderita gagal ginjal dan pasien immunocompromised. SSSS diakibatkan oleh adanya eksotoksin stafilokokal. Area eritem terasa nyeri dan tersebar luas, namun tidak terdapat pada membrane mukosa, telapak tangan dan kaki. Nikolsky sign dapat (+) seperti pada TEN, tapi dihasilkan oleh pemisahan subkorneal superficial bukan pemisahan dermal-epidermal seperti pada TEN. Lesi berupa bula yang mudah pecah, diikuti pengelupasan. Pengelupasan (eksfoliasi) yang terjadi lebih superfisial, meninggalkan lapisan epidermis yang masih intak dan bukan jaringan dermis yang basah dan berwarna merah terang seperti pada TEN. Pada SSSS sering didapatkan adanya nasal discharge yang purulen1.AGEP, yang juga merupakan efek samping akibat obat, tampak sebagai area eritema yang luas dengan pustul kecil (< 3mm) multipel di atasnya. Adanya neutrofilia dan eosinofilia, ditambah dengan pustule akan membedakan dengan diagnosis TEN. Nikolsky sign dapat positif sehingga tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis. Keterlibatan membran mukosa terjadi pada 20% kasus. Histologi adalah salah satu pemeriksaan yang berguna, dimana pada AGEP ditemukan infiltrat neutrofil yang padat dengan pustul intraepidermal dan subkorneal, namun tidak ada full thickness epidermal necrosis. Lesi mukokutaneus multipel dari fixed drug eruption dapat menyerupai SJS naik secara klinis maupun histologis, untuk itu perlu ditentukan jumlah lesi yang timbul pertama kali1. 2.7 Pemeriksaan PenunjangHasil pemeriksaan laboratorium biasanya tidak khas. Bila terdapat leukositosis, penyebabnya kemungkinan karena infeksi bacterial. Bila terdapat eosinofilia, kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya karena infeksi dapat dilakukan kultur darah5. 2.8 PenatalaksanaanPenatalaksanaan optimal dari SJS dan TEN memerlukan diagnosis secara dini, penghentian dengan segera obat-obatan pencetusnya, perawatan suportif dan terapi spesifik1.

Gambar 2.6 Algoritma penatalaksanaan pasien dengan SJS/TEN1Perawatan suportif yang dilakukan serupa dengan perawatan suportif pada luka bakar dan bertujuan untuk mencegah komplikasi, yang merupakan sebab utama kematian. Komplikasi meliputi hipovolemia, ketidakseimbangan elektrolit, insufisiensi qrenal, dan sepsis. Perawatan luka setiap hari, hidrasi dan nutritional support sangat penting dan sebaiknya dilakukan dalam intensive care unit bila lesi meliputi 10-20% (atau lebih) dari BSA. Penggunaan tempat tidur dengan pengatur suhu (thermoregulated bed) dengan alas alumunium lebih disarankan daripada penggunaan tempat tidur dan alas yang biasa. Semua tindakan atau manipulasi terhadap pasien harus dilakukan secara steril dan kateter vena , bila memungkinkan, harus dipasang pada regio yang tidak ada lesi1. Perawatan luka paling baik dilakukan sekali sehari dengan bantuan atau keberadaan seorang dermatologist. Pasien harus dirawat dengan meminimalisisr pergerakan sesedikit mungkin karena setiap gerakan kecil sekalipun dapat menimbulkan pelepasan epidermis. Perawatan kulit dipusatkan terutama pada wajah, mata, hidung, mulut, telinga, regio anorektal, axilla dan interdigitalis. Area yang tidak mengelupas harus dijaga agar tetap kering dan tidak dimanipulasi. Area yang mengelupas terutama di punggung dan area yang terkena tekanan kasur harus ditutup dengan Vaseline gauze sampai terjadi reepitelisasi. Untuk wajah, krusta serosa dapat dibersihkan tiap harinya dengan menggunakan NaCl steril. Antibiotik topikal (co: mupirocin) diberikan di sekitar orificium seperti telinga, hidung dan mulut. Penutup dari silicon dapat digunakan untuk menutup area yang erosi. Silicone dressing tidak perlu diganti dan dapat dibiarkan meenutup sampai terjadi reepitelisasi lesi, namun permukaannya tetap harus dibersihkan setiap hari dengan NaCl steril. Pilihan lainnya adalah menempatkan penutup yang tidak melekay (non-adherent dressing) misalnya Exu-Dry di atas kulit pasien dan di atas tempat tidur1. Untuk mata, disarankan untuk dilakukan pemeriksaan berkala oleh ophthalmolog. Kelopak mata hdibersihkan setiap hari dengan NaCl steril serta pemakaian antibiotik topikal khusus untuk mata pada kelopak mata pasien. Tetes mata antibiotic juga perlu diberikan untuk mencegah kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan timbulnya jaringan parut. Lubang hidung juga harus diberihkan setiap hari dengan cotton bud steril yang dibasahi NaCl steril dan setelahnya dibeikan antibiotik topikal. Mulut harus dibersihkan juga beberapa kali sehari dengan spuit berisi NaCl steril. Pada regio anogenital dan interdigital, perawatan kulit dilakukan setiap hari dengan mengoleskan silver nitrate solution (0.5%) pada kasus dengan maserasi atau hanya NaCl steril bila tidak ada maserasi1. Sumber lain menyatakan pengobatan topikal untuk daerah erosi dan ekskoriasi dapat diperikan krim sulfodiazin-perak (Dermazin, Silvadene) yang berfungsi sebagai astringen dan mencegah infeksi bakteri6. Hingga kini, belum ada terapi spesifik yang benar-benar efektif baik untuk SJS maupun TEN. Pada umumnya, terapi untuk pasien SJS berat sama dengan terapi untuk TEN, sementara untuk pasien SJS dengan gejala ringan dan nonprogresif hanya dibutuhkan terapi suportif. Akibat prevalensi SJS dan TEN yang rendah, penelitian sangat sulit untuk dilakukan. Karenanya, literatur untuk penyakit ini terutama bersumber dari laporan kasus . Pada beberapa penelitian, beberapa terapi, termasuk siklosporrin (3-4 mg/kg/hari), siklofosfamid (100-300 mg/hari), plasmapheresis, N-acetilsistein (2 g/6 jam) dan TNF- antagonis (etanercept, infliximab) telah menunjukan hasil yang menjanjikan. Kortikosteroid sistemik telah menjadi terapi tetap selama beberapa decade, namun penggunaannya masih dianggap kontroversial, meskipun suatu studi menyatakan efektivitas kortikosteroid bila diberikan secara cepat dan dalam periode singkat sebagai dosis denyut (pulse therapy). Kortikosteroid yang digunakan berupa dexamethasone IV 1.5 mg/kg selama 3 hari berturut-turut1. Sumber lain menyatakan pada SJS dengan lesi baik dan tidak menyeluruh dapat digunakan prednisone 30-40 mg/hari, sedangkan pada SJS berat atau TEN digunakan dexamethason IV 20-40 mg perhari selama 2-3 hari kemudian dilakukan tapering off dengan menurunkan dosis secara cepat (5 mg perhari) sampai mencapai dosis 5 mg sehari. Setelah itu diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone dengan dosis 20 mg/hari, kemudian diturunkan 10 mg/hari, baru obat dihentikan, sehingga lama pengobatan kurang lebih 10 hari5.Dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi, maka imunitas pasien akan menurun, karenanya perlu diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi. Antibiotik yang dipilih sebaiknya yang jarang mencetuskan SJS/TEN, spectrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak nefrotoksis. Antibiotik juga hendaknya tidak menggunakan yang mempunyai rumus kimia sama atau segolongan dengan antibiotik pencetus. Obat pilihan antara lain siprofloksasin 2 x 400 mg IV, klindamisin (tidak berspektrum luas namun efektif untuk bakteri anaerob) 2 x 600 mg IV sehari, seftriakson 1x 2 g IV5.Secara teori, terapi yang mampu memblok secara selektif dari apoptosis keratinosit akan mempunyai potensial efek dalam mengobati SJS maupun TEN. Suatu penelitian menunjukkan bahwa Fas-mediated cell death (yang diinduksi secara in-vitro pada kulit yang berlesi pada pasien dengan TEN) dapat dihambat dengan antibody monoclonal terhadap FasL atau Fas, mengindikasikan bahwa antibody ini dapat berguna dalam pengobtan TEN. Bila digunakan dalam dosis tinggi (0.75 g/kg/hari selama 4 hari) untuk mengobati pasien dengan TEN, IVIg secara konsisten dan cepat dapat menghambat progresivitas penyakit dan pelepasan epidermis (epidermal detachment) pada 10 dari 10 pasien dalam studi1,2. Penelitian lainnya juga menunjukkan efektivitas yang kurang lebih sama, bila digabungkan, 8 dari 11 studi menunjukkan bahwa IVIg (pada dosis total >2g/kg diberikan dalam 3-4 hari) dapat mengurangi angka kematian akibat TEN1.2.9 KomplikasiPenyembuhan dari area dengan skin detachment melalui proses reepitelisasi umumnya terjadi dalam beberapa hari dan selesai dalam 3 minggu pada sebagian besar kasus. Proses ini dihasilkan dari proliferasi dan migrasi dari keratinosit dari area reservoir seperti jaringan epidermis yang masih sehat di sekeliling lesi dan folikel rambut. Sehubungan dengan kemampuan untuk reepitelisasi, skin graft tidak diperlukan pada SJS dan TEN. Namun sayangnya penyembuhan dapat berlangsung tidak sempurna, dan pasien yang selamat dapat terjadi sekuele berupa simblefaron, sinekia konjungtiva, entropion, scarring, pigmentasi irregular, erosi persisten dari membrane mukosa, phimosis, sinekia vaginal, distrofi kuku, dan kerontokan rambut difus. Pada TEN kelainan pada mata bervariasi mulai dari sindrom sicca hingga kebutaan terjadi pada 35% pasien yang selamat1,2.

Gambar 2.7 Sekuele pasca TENKompllikasi sistemik yang sering terjadi di Indonesia yaitu bronkopneumonia (16% kasus), lainnya dapat berupa hipovolemia, ketidakseimbangan elektrolit, insufisiensi renal, dan sepsis 1,5. 2.10 PrognosisPada TEN ada beberapa faktor yang yang dihubungkan dengan prognosis buruk, termasuk di dalamnya usia tua dan luas lesi. Selain itu, jumlah obat, peningkatan serum urea, kreatinin dan glukosa, neutropenia, limfopenia dan trombositopenia secara statistic berhubungan dengan prognosis buruk. Penghentian obat penyebab yang terlambat juga berhubungan menurunnya prognosis. Penghentian obat penyebab dengan segera dapat menurunkan risiko kematian sebesar 30%. Skor derajat berat penyakit untuk TEN telah dibuat (SCORTEN) dimana ada tujuh parameter signifikan dalam menentukan prognosis dari penyakit1.

SCORTEN: A Prognostic Scoring System For Patients with Epidermal Necrolisis4Prognostic FactorsPoints

Age > 40 year1

Heart rate > 120 beats/min1

Cancer or hematologic malignancy1

BSA involved (on day 1) > 10 percent1

Serum urea level > 10 mmol/L1

Serum bicarbonate level < 20 mmol/L1

Serum glucose level > 14 mmol/L1

SCORTENMortality Rate (%)

0-13.2

212.1

335.8

458.3

>590

Angka kematian terjadi pada 1 dari 3 pasien dengan TEN dan paling sering disebabkan oleh infeksi (S. aureus dan Pseudomonas aeruginosa). Kehilangan cairan transepidermal yang berat dikaitkan dengan ketidakseimbangan elektrolit, inhibisi dari sekresi insulin, dan resistensi insulin juga dapat menjadi faktor yang memperberat. Penatalaksanaan dari semua komplikasi dari TEN ini (dapat pula terjadi pada SJS) paling baik dilakukan dalam intensive care unit. Komplikasi tersebut di atas data berujung pada adult respiratory distress syndrome dan multiple organ failure meskipun dengan terapi suportif yang adekuat1.

BAB IIIKESIMPULAN

Steven Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) adalah penyakit mukokutaneus yang jarang, bersifat akut dan mengancam nyawa dengan karakteristik berupa nekrosis dan pelepasan dari lapisan epidermis yang luas yang hampir selalu berhubungan dengan konsumsi obat. Lebih dari 100 jenis obat yang telah diidentifikasi berhubungan dengan SJS/TEN. Patogenesis dari SJS/TEN belum sepenuhnya diketahui, diduga akibat adanya hipersensitivitas tipe II yang berujung pada FasL- dan granulysin-mediated apoptosis dari keratinosit diikuti nekrosis epidermal. Pada SJS terlihat trias kelainan berupa kelainan pada kulit, kelainan pada mukosa orifisium (mulut, genital, hidung dan anus), dan kelainan mata. Lesi awal berupa macula eritematous atau purpura dengan Nikolsky sign (+) yang diikuti terbentuknya bula. Bula yang terjadi memiliki ciri khas: mudah pecah, dapat meluas ke lateral dengan penekanan ringan oleh ibu jari seiring dengan meluasnya pelepasan epidermis (Asboe-Hansen sign).Penatalaksanaan optimal dari SJS dan TEN memerlukan diagnosis secara dini, penghentian dengan segera obat-obatan pencetusnya, perawatan suportif dan terapi spesifik. Komplikasi yang dapat terjadi berupa sekuele antara lain simblefaron, sinekia konjungtiva, entropion, scarring, pigmentasi irregular, erosi persisten dari membrane mukosa, phimosis, sinekia vaginal, distrofi kuku, dan kerontokan rambut difus.Pada TEN ada beberapa faktor yang yang dihubungkan dengan prognosis buruk, termasuk di dalamnya usia tua dan luas lesi. Penghentian obat penyebab yang terlambat juga berhubungan menurunnya prognosis. Penghentian obat penyebab dengan segera dapat menurunkan risiko kematian sebesar 30%. Skor derajat berat penyakit untuk TEN telah dibuat (SCORTEN) dimana ada tujuh parameter signifikan dalam menentukan prognosis dari penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bolognia J, Jorizzo J, Schaffer J. Textbook of Dermatology. Edisi Ketiga. 2012. Elsevier. Halaman 324-3322. James W, Berger T, Elston D. Andrews Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. Edisi Kesepuluh. 2006. Elsevier. Halaman 129-131 3. Barnhill R, Crowson A. Textbook of Dermatopathology. Edisi Kedua. 2001. McGraw-Hill. Halaman 178-1794. Wolff K, Goldsmith L, Steven K, Barbara A. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Edisi Ketujuh. 2008. McGraw Hill. Halaman 349-355.5. Adhi D, Mochtar H. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI. Edisi Keenam, 2013. Editor: Adhi Juanda, dkk. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 163-165.6. Adhi D, Mochtar H. Nekrolisis Epidermal Toksik. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI. Edisi Keenam, 2013. Editor: Adhi Juanda, dkk. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 166-168.7.