referat skleritis mata felix.doc
DESCRIPTION
buat yg lagi koass mata di RS manapunTRANSCRIPT
Referat Ilmu Penyakit Mata
Skleritis
Pembimbing:
Dr. Astri Anggraini, Sp.M
Disusun oleh:
Felix Hariyanto Salim
(406138062)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Maret 2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan
adanya infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler.1 Proses
peradangan ini terjadi karena adanya proses imunologis, atau karena suatu infeksi.
Trauma lokal juga dapat mencetuskan proses peradangan tersebut. Skleritis sering
berasosiasi dengan suatu infeksi sistemik atau suatu penyakit autoimun.2
Skleritis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Insidensi di Amerika
Serikat diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi penduduk. Dari kasus skleritis
yang ditemukan, sekitar 94 % merupakan skleritis anterior dan sisanya ialah
skleritis posterior. Skleritis lebih sering dijumpai pada wanita, pada umumnya
sekitar umur 20-60 tahun. Hampir separuh dari kasus skleritis terjadi secara
bilateral. Dari data internasional, tidak ada distribusi geografis yang pasti
mengenai insiden skleritis. Pada 15% kasus, skleritis bermanifestasi sebagai
gangguan kolagen vaskular dan gejala bertambah hingga beberapa bulan. Angka
morbiditas ditentukan oleh penyakit primer skleritis itu sendiri dan penyakit
sistemik yang menyertai. Rasio antara perempuan dan laki-laki adalah 1,6:1.
Berdasarkan umur skleritis biasanya terjadi pada usia 11-87 tahun, dan rata-rata
orang yang menderita skleritia adalah usia 52 tahun.1,2,3
Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa
nyeri berat yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang
dapat membangunkan dari tidur akibat sakitnya yang sering kambuh. Pergerakan
bola mata dan penekanan pada bulbus okuli juga dapat memperparah rasa nyeri
2
tersebut. Rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat dibedakan dari rasa nyeri
ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien
sebagai sensasi benda asing di dalam mata. Selain itu terdapat pula mata merah
berair, fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan.3,4
Skleritis dapat menimbulkan berbagai komplikasi jika tidak ditangani
dengan baik berupa keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio
retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Penatalaksanaan skleritis
tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Oleh karena itu perlu diagnosis
yang tepat sesuai dengan etiologinya guna penatalaksanaan lebih lanjut.1,2
Terapi inisial untuk skleritis adalah dengan pemberian NSAIDs.
Kebanyakan kasus menunjukkan penurunan rasa sakit yang bermakna dengan
pemberian NSAIDs ini. Apabila terapi ini tidak menunjukkan respon yang baik
selama 1-2 minggu, dapat diberikan Prednison oral. Pada kasus yang berat
terkadang diperlukan Metilprednisolon 1 gram intravena. Apabila mikroorganisme
penyebab telah teridentifikasi, maka sebaiknya diberikan antibiotik spesifik.3,4,5
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi dan Fisiologi Sklera
I.1. ANATOMI SKLERA
Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan
kelanjutan dari kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya,
kecuali di bagian depan bersifat transparan yang disebut kornea. Sklera
merupakan dinding bola mata yang paling keras dengan jaringan pengikat yang
tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan dengan
berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan sejumlah
pigmen, yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan pada dewasa karena
terdapatnya deposit lemak, sklera tampak sebagai garis kuning.3
Gambar 1. Anatomi Mata
Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir
pada kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular
disisipkan ke dalam sklera. Jaringan sklera menerima rangsangan sensoris dari
nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima
4
rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus
koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera
mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh darah
tersusun melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh
darah yang melekat pada sklera.3
Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada
bola mata posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea,
untuk menentukan bentuk bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan
menyediakan kebutuhan bagi penempatan otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus
oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati foramen skleralis posterior.
Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan
1/3 lainnya berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu
penampang yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar
melalui serat optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm
pada kutub posterior hingga 0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau
akuator.3,4
Gambar 2. Sklera
Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu:6
5
Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan
merupakan tempat meletaknya kornea pada sklera.
Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar
nervus optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari
sejumlah membran seperti saringan yang tersusun transversal melintas
foramen sklerasis posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang ini untuk
menuju ke otak.
Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan
berkas-berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai
tebal 10-16 μm dan lebar 100-140 μm, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan
endotelium. Struktur histologis sklera sangat mirip dengan struktur kornea.
I.2. FISIOLOGI
Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen
intra okular. Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan
pergerakan bola mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya.
Pendukung dasar dari sklera adalah adanya aktifitas sklera yang rendah dan
vaskularisasi yang baik pada sklera dan koroid. Hidrasi yang terlalu tinggi pada
sclera menyebabkan kekeruhan pada jaringan sklera. Jaringan kolagen sklera dan
jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan
perbandingan yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan socket.
Perbandingan ini sering terganggu sehingga menyebabkan beberapa penyakit yang
mengenai struktur artikular sampai pembungkus sklera dan episklera.3
II. Skleritis
6
II.1. Definisi Skleritis
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang
ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang
mengisyaratkan adanya vaskulitis.1
II.2. Epidemiologi
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat
insidensi kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien
yang ditemukan, didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya
adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit
ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau
mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan.2 Peningkatan
insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak
terkena daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis terutama
terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun.2
II.3. Etiologi Skleritis7,8
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh
proses imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan
tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus,
mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses
imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah
katarak dan operasi pterigium.1
7
II. 4. Patofisiologi Skleritis
Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50
persen kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang
menyebabkan skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing
spondylitis, systemic lupus erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's
granulomatosis, herpes zoster virus, gout dan sifilis.7
Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah
gejala utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan
regulasi autoimun pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi
penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme menular,
8
bahan endogen, atau trauma. Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks
imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun
respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).9,10
Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari
antibody IgG dengan antigen. Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan
netrofil mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan
membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada
bermacam – macam lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering
dari hipersensitivitas tipe III adalah komplikasi post – infeksi seperti arthritis dan
glomerulonefritis.11
Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi hipersensitivitas yang
disebabkan oleh sel T spesifik – antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga
hipersensitivitas tipe lambat. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat
adalah tuberkulosis. Contoh yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak
yang diakibatkan dari pemaparan seorang individu dengan garam metal atau
bahan kimia reaktif.11
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi
sel T dan makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis.
Inflamasi dari sklera bisa berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan
menyebabkan penipisan pada sklera dan perforasi dari bola mata.12
Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit
imun sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto
imun secara umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi
bisa disebabkan oleh kompleks imun yang berhubungan dengan kerusakan
9
vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon kronik granulomatous (reaksi
hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari sistem imun aktif
dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun pada
pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan venula
post kapiler dan respon imun sel perantara.7
Adanya autoantibodi dan mediator inflamasi pada serum pasien dengan
skleritis membuktikan adanya keterlibatan sistem imun. Antibodi antipospolipid
dan meningkatnya TNF pada serum penderita skleritis pernah dilaporkan.
Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera,
yaitu deposisi kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler
(peradangan mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis
dapat menyebar pada bagian anterior atau bagian posterior mata.
Faktor lain seperti trauma lokal juga dapat mencetuskan terjadinya skleritis
akibat dari operasi mata. Proses operasi mengawali terjadinya paparan antigen ke
dalam mata dibawah proses lingkungan yang meradang yang dapat mencetuskan
tersensitisasinya kedua imunitas humoral dan seluler.10
II. 5. Klasifikasi Skleritis
Skeleritis dapat di klasifikasikan menjadi skleritis anterior dan skleritis
posterior:13,14
1. Skleritis Anterior
95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior
sebesar 40% dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya.
Skleritis nekrotik terjadi sekitar 14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik
dari skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan penyebab penyakit khusus,
10
walaupun penyebab klinis dan prognosis diperkirakan berasal dari suatu inflamasi.
Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih
nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati.
1. Difus. Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster
oftalmikus dan gout. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada
seluruh permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.
Gambar 4. Diffuse Anterior Scleritis
2. Nodular. Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus.
Ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul radang yang eritem, tidak
dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior. Sekitar 20% kasus
berkembang menjadi skleritis nekrosis.
11
Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah resolusi
dari nodul
3. Necrotizing. Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi
sistemik atau komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan
penurunan visus. 29% pasien dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5
tahun. Skleritis nekrotik yang diakibatkan operasi biasanya dapat terjadi
setelah operasi katarak, trabekulektomi, dan operasi retina. Muncul
sebagai akibat dari imflamasi pada fokal area akibat insisi sklera atau
limbus.11(1050pdf)
Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu:
Dengan inflamasi. Biasa mengikuti penyakit sistemik seperti
rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada sklera
terlihat jelas. Apabila disertai dengan inflamasi kornea, dikenal
sebagai sklerokeratitis.
12
Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans). Biasa terjadi pada
pasien yang sudah lama menderita rheumatoid arthritis.
Diakibatkan oleh pembentukan nodul rematoid dan absennya
gejala. Juga dikenal sebagai skleromalasia perforans.
2. Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan
skleritis anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan
penurunan kemampuan melihat. Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya
perubahan fundus, adanya perlengketan massa eksudat di sebagian retina,
perlengketan cincin koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem
makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli
anterior dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan retraksi
kelopak mata bawah. Terdapat perataan dari bagian posterior bola mata,
penebalan lapisan posterior mata (koroid dan sklera), dan edema retrobulbar. Pada
skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina eksudatif, edema makular,
dan papiledema.3
Gambar 6. Skleritis Posterior
13
II.6. Diagnosis
Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.8
a. Anamnesis
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan penyakit,
riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun riwayat
pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh. Gejala-gejala
dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan
ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri adalah gejala
yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif..
Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf akibat adanya
inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam
menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam,
kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang sementara dengan penggunaan obat
analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis tanpa disertai sekret
mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan
dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi
keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal.2,3,4,8
Gambar 7. Skleritis
14
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya
penyakit sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat
menyebabkan skleritis seperti :2
1. Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
2. Penyakit infeksi. Infectious scleritis is a serious but uncommon ocular
disorder. Ciri-cirinya adanya nodul abses dan nekrosis, memburuk dengan
terapi kortikosteroid, dan merespon dengan terapi antibiotik sesuai kultur.
Proses kembalinya ketajaman visus biasanya baik pada beberapa
kasus.410
3. Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)
4. Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata
5. Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid
dan ibandronate.
6. Post pembedahan pada mata
7. Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati,
8. penyakit ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.
9. Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung
dan responnya terhadap pengobatan.
b. Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi
Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan
pemeriksaan tajam penglihatan.11
15
o Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.
o Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.
Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru dapat
dilakukan apabila dicurigai adanya penyakit sistemik.
Pemeriksaan Sklera10
o Pemeriksaan Daylight
Sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa
peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan
menimbulkan uvea gelap.
Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi oleh
peradangan aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses
berlanjut, maka area tersebut akan menjadi avaskular dan
menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah, dan di kelilingi
oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap.
o Pemeriksaan slit – lamp10,11
Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau
segmental. Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse
anterior scleritis.
Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam
episklera dengan beberapa bendungan pada jaringan superfisial
episklera. Pada tepi anterior dan posterior cahaya slit lamp bergeser
ke depan karena episklera dan sklera edema. Pada skleritis dengan
pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan superfisial episklera
16
yang pucat tanpa efek yang signifikan pada jaringan dalam
episklera.2
o Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan
menandai jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam
dari jaringan episklera.
o Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area
avaskular pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50%
kasus.
o Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau
konjungtivitis juga dapat dilakukan.
Pemeriksaan skleritis posterior11
o Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi
dan proptosis.
o Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior.
Skleritis posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal.
o Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan
koroid, dan perdarahan atau ablasio retina.17
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis.
Beberapa pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:
1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah
2. Faktor rheumatoid dalam serum
3. Antibodi antinuklear serum (ANA)
17
4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)
5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks
6. Serum FTA-ABS, VDRL
7. Serum asam urat
8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis
posterior.5
Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya
akumulasi cairan pada kapsul tenon
II.7. Diagnosa Banding
a. Episkleritis
Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara
konjungtiva dan permukaan sklera.4 Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi
toksik, alergik, bagian dari infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan
idiopatik. Episkleritis umumnya mengenai satu mata, terutama pada wanita
usia pertengahan dengan riwayat penyakit reumatik. Episkleritis sering
tampak seperti skleritis. Namun, pada episkleritis proses peradangan dan
eritema hanya terjadi pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan
18
konjungtiva. Episkleritis mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang
lebih ringan dibandingkan dengan skleritis. Selain itu episkleritis tidak
menimbulkan turunnya tajam penglihatan.
Gambar 8. Episkleritis
Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa
mengganjal. Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada
episkleritis mempunyai gambaran benjolan setempat dengan batas tegas dan
warna merah ungu di bawah konjungtiva. Bila benjolan ini ditekan dengan kapas
atau ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan timbul rasa sakit yang
dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan
melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini
dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis,
melebarnya pembuluh darah sklera tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin
2,5% topikal.
19
Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan
pemberian fenilefrin 2,5% topikal.
Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan
pemberian fenilefrin 2,5% topikal.
20
Tabel 3. Perbandingan episkleritis dengan skleritis
II. 8. Penatalaksanaan
Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik.
Pasien yang terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan
yang spesifik juga.10 Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada
skleritis yang tidak infeksius, pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta
21
konsultasi kepada bagian terkait apabila dicurigai ada penyakit sistemik yang
menyertai.
1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau
obat imunomodulator dapat digunakan. Pengobatan secara topikal saja tidak
mencukupi. Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon
pengobatan, efek samping, dan penyakit penyerta lainnya.
o Diffuse scleritis atau nodular scleritis
Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat
menggunakan 2 jenis NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko
tinggi, berikan juga misoprostol atau omeprazole untuk perlindungan
gastrointestinal.
Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi
remisi, dipertahankan menggunakan NSAIDs.
Jika oral kortikosteroid gagal, obat – obatan imunosupresif dapat
digunakan. Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tapi dapat juga
digunakan azathioprine, mycophenolate, mofetil, cyclophosphamide,
atau cyclosporine. Untuk pasien dengan Wegener’s granulomatosis
atau polyarteritis nodosa, cyclophosphamide adalah pilihan utama.
Jika masih gagal, dapat diberikan obat – obatan imunomodulator
seperti infliximab atau adalimumab yang diharapkan dapat efektif.
o Necrotizing scleritis
Obat – obatan imunosupresif ditambahkan dengan kortikosteroid pada
bulan pertama, kemudian jika mungkin dikurangi perlahan – lahan.
Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.
22
Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat
memperparah proses nekrosis yang terjadi.
2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan
atau tanpa antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara
kortikosteroid dan imunosupresif tidak boleh digunakan.
3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit
penyerta, dan konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk
pengawasan terapi imunosupresif.
Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi
sklera atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi
kerusakan hebat akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis
Wegener atau poliarteritis nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea.
Penipisan sklera pada skleritis yang semata-mata akibat peradangan jarang
menimbulkan perforasi kecuali apabila juga terdapat galukoma atau terjadi trauma
langsung terutama pada usaha mengambil sediaan biopsi. Pada penipisan kornea
atau telah terjadi perforasi dapat dilakukan donor sklera, fascia lata, periostioum,
atau material lainnya dapat digunakan. Lamellar patch graft dapat digunakan pada
ulkus kornea yang berat atau keratolisis.7,11,12
Tandur sklera pernah digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam terapi
skleritis, tetapi tandur semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga
disertai pemberia kemoterapi.11
23
Tabel 4. Klinis skleritis
24
B.9.Komplikasi
Penyulit sleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina,
ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Keratitis
bermanifestasi sebagai pembentukan alur perifer, vaskularisasi perifer, atau
vaskularisasi dalam dengan atau tanpa pengaruh kornea. Uveitis adalah tanda
buruk karena sering tidak berespon terhadap terapi. Kelainan ini sering disertai
oleh penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi galukoma sudut
terbuka dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukom akibat steroid. 1,8
Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti
uveitis atau keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat terjadinya nekrosis sklera
atau skleromalasia maka dapat terjadi perforasi pada sklera. Penyulit pada kornea
dapat dalam bentuk keratitis sklerotikan, dimana terjadi kekeruhan kornea akibat
peradangan sklera terdekat. Bentuk keratitis sklerotikan adalah segitiga yang
terletak dekat skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi akibat gangguan
susunan serat kolagen stroma. Pada keadaan initidak pernah terjadi
neovaskularisasi ke dalam stroma kornea. Proses penyembuhan kornea yaitu
berupa menjadi jernihnya kornea yang dimulai dari bagian sentral. Sering bagian
sentral kornea tidak terlihat pada keratitis sklerotikan. 3,8
B.10.Prognosis
Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada
spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana
termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata
Skleritis pada penyakit Wagener adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan
buta permanen dimana termasuk tipe skleritis nekrotik dengan komplikasi pada
25
mata. Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah tipe skleritis difus,
nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada
penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau
autoimun. Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan
lebih respon terhadap tetes mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe
yang paling destruktif dan skleritis dengan penipisan sklera yang luas atau yang
telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih buruk.
26
BAB III
PENUTUP
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang
ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang
mengisyaratkan adanya vaskulitis. Skleritis disebabkan oleh berbagai macam
penyakit baik penyakit autoimun ataupun penyakit sistemik, infeksi, trauma dan
idiopatik. Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi episkleritis, skleritis anterior
dan skleritis posterior. Gejala-gejala pada skleritis dapat meliputi rasa nyeri, mata
berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Terapi skleritis
meliputi terapi medikamentosa dengan NSAID, kortikosteroid, imunosupresan,
dan pembedahan. Komplikasi berupa keratitis, uveitis, galukoma, granuloma
subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia.
Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Eva PR. Sklera. Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J,
Editor. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: EGC, 2000.169-73
2. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of
Ocular Diagnosis and Therapy. Second Edition. United States of America:
Library o Congress Catalog. 1988; 111-6
3. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2008. 118-20
4. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with
rheumatoid arthritis and with other systemic immune-mediated diseases.
Ophthalmology. 1994.
5. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with
systemic vasculitic diseases. Ophthalmology. 1995.
6. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F.
Clinical Characteristics of a Large Cohort of Patients with Scleritis and
Episcleritis. Ophthalmology 2012;119:43–50
7. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F.
Skleritis Theraphy. Ophthalmology 2012;119:51–58
8. Lani T. H, Lyndell L.L, Brian V, Dongseok C and James T. R.
Antineutrophil Cytoplasmic Antibody–Associated Active Scleritis. Arch
Ophthalmol. 2008;126(5):651-655
9. Douglas A. J, Abdulbkhi M, J.P. DUNN and Martha J. M. Episcleritis and
Scleritis: Clinical Features and Treatment Results. Ophthalmol
2000;130:469–476
10. Wagner K.A, Luciene B.S, Virgínia F.M.T, Hellen F and Luís E.C. A.
Sclera-Specific and Non-Sclera-Specific Autoantibodies in the Serum of
Patients with Non-Infectious Anterior Scleritis.Rev Bras Reumatol;
2007;47(3):174-179
28
11. Scott O et all. Haemophilus influenzae associated scleritis. Br J
Ophthalmol 1999;83:410–413
12. Zainah A, Donald T H T, and S-P Chee. Necrotising scleritis after bare
sclera excision of pterygium. Br J Ophthalmol 2000;84:1050–1052
13. Srikant K S, Sujata D, Savitri S and Kalyani S. Clinico-Microbiological
Profile and Treatment Outcome of Infectious Scleritis: Experience from a
Tertiary Eye Care Center of India. International Journal of
Inflammation:2012:1-8
14. Jacquelin M, et all. Comparative study of ophthalmological and
serological manifestations and the therapeutic response of patients with
isolated scleritis and scleritis associated with systemic diseases. Arq Bras
Oftalmol . 2011;74(6):405-9
29