referat terapi hepatitis b
DESCRIPTION
refrat penyakit dalamTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hepatitis B merupakan penyakit yang banyak ditemukan didunia
dan dianggap sebagai persoalan kesehatan masyarakat yang harus
diselesaikan. Hal ini karena selain prevalensinya tinggi, virus hepatitis B
dapat menimbulkan problema pasca akut bahkan dapat terjadi cirroshis
hepatitis dan karsinoma hepatoseluler primer. Sepuluh persen dari infeksi
virus hepatitis B akan menjadi kronik dan 20 % penderita hepatitis kronik
ini dalam waktu 25 tahun sejak tertular akan mengalami cirroshis hepatis
dan karsinoma hepatoselluler (hepatoma). Kemungkinan akan menjadi
kronik lebih tinggi bila infeksi terjadi pada usia balita dimana respon imun
belum berkembang secara sempurna.(Siregar, 2003)
Penyakit Hepatitis B adalah salah satu penyakit menular yang
berbahaya di dunia. Penyakit ini disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB)
yang menyerang hati dan menyebabkan peradangan hati akut atau
menahun. Walaupun terdapat 7 macam virus Hepatitis yaitu A, B, C, D, E,
F dan G, hanya Hepatitis B dan C yang berbahaya karena dapat menjadi
kronis dan akhirnya menjadi kanker hati. (Suprayitno, dkk, 2006)
Yang di golongkan sebagai hepatitis B kronis adalah hepatitis yang
perjalanan penyakitnya tidak menyembuh secra klinis atau labortorium
atau pada gambaran patologi anatomi selama lebih dari 6 bulan. (hadi,
2002)
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui etiologi,
patofisologi, cara penularan, gambaran klinis, prognosis dan terapi dari
hepatitis B virus, diharapkan dapat mencegah komplikasi yang mungkin
terjadi.
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
A. Etiologi
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh "Virus
Hepatitis B" (VHB), suatu virus DNA bercangkang ganda yang memiliki
ukuran 42 nm, anggota famili Hepadnavirus dengan masa inkubasi 26 –
160 hari dengan rata- rata 70 – 80 hari.( Harnawatiaj, 2008)
B. Patologi
Pada manusia hati merupakan target organ bagi virus hepatitis B.
Virus Hepatitis B (VHB) mula-mula melekat pada reseptor spesifik
dimembran sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma
sel hepar. Dalam sitoplasma VHB melepaskan mantelnya, sehingga
melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus
dinding sel hati. Di dalam inti asam nukleat VHB akan keluar dari
nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan berintegrasi;
pada DNA tersebut. Selanjutnya DNA VHB memerintahkan hati untuk
membentuk protein bagi virus baru dan kemudian terjadi pembentukan
virus baru. Virus ini dilepaskan ke peredaran darah, mekanisme terjadinya
kerusakan hati yang kronik disebabkan karena respon imunologik
penderita terhadap infeksi. Apabila reaksi imunologik tidak ada atau
minimal maka terjadi keadaan karier sehat. (Siregar, 2003)
C. Penularan
HBV dapat menular secara parenteral, perinatal, dan hubungan
seksual. HBV dapat menular melalui transfusi atau darah yang terinfeksi
atau produk darah, transpalantasi organ dari donor yang terinfeksi, dan
penggunaan bersama jarum suntik pada pecandu obat-obat terlarang.
Trauma jarum suntik pada petugas kesehatan merupakan faktor risiko
untuk terinfeksi. Insidensi infeksi HBV pada petugas kesehatan melalui
jarum suntik mendekati 10%. (Buggs, 2004)
2
D. Gambaran Klinis
Penyakit seringkali asimtomatik atau dengan keluhan terutama
perasaan lelah. Mungkin ada riwayat pernah transfusi atau penyalahgunaan
obat suntik, tetapi sering pula tidak ada riwayat yang relevan. Perjalanan
penyakit berlangsung secara perlahan-lahan ditandai dengan fluktuasi
transaminase yang terjadi dalam beberapa tahun. Setiap peninggian enzim
ini ada kaitannya dengan episode viremia. Kadar transaminase rata-rata
biasanya tiga kali nilai normal, jarang melampaui angka enam kali nilai
normal. Kadar albumin dan bilirubin menjadi mula-mula normal, secara
perlahan menjadi abnormal. Tanda-tanda hipertensi portal, jarang
ditemukan pada awal berobat, splenomegali ditemukan pada 50% kasus.
Perdarahan varises esophagus merupakan gejala pada stadium lanjut.
Terjadi trombositopenia sejalan dengan pembesaran limpa.(Abdurachman,
1996)
E. Pemeriksaan
Hepatitis akut:
Level ALT dan AST yang meningkat (1000-2000 IU/ml). Nilai
yang lebih tinggi ditemukan pada pasien hepatitis dengan ikterik.
Biasanya ALT lebih tinggi daripada AST.
Terdapat peningkatan level Alkaline phosphatase, tetapi biasanya
tidak lebih dari 3 kali batas atas normal.
Level albumin dapat mengalami sedikit penurunan, dan level
serum iron dapat mengalami peningkatan. Pada periode preicteric
sering ditemukan leukopenia, limfositosis, dan peningkatan LED.
Beberapa penanda serologi adalah didapatkannya HBsAg dan
HBeAg pada permulaan yang diikuti dengan HBc Ab(IgM).
3
Pada pasien yang membaik ditemukan serokonversi HBsAb dan
HBeAb serta IgG HBcAb. Pasien dengan HBsAg yang menetap
lebih dari 6 bulan berkembang menjadi hepatitis kronik.
Hepatitis Kronik inaktif:
Level AST dan ALT normal, dan penanda infectivitas (HBeAg
Dan HBV DNA) negatif.
Pada serum dapat ditemukan HBsAG, IgG HBcAb, dan HBeAb.
Hepatitis Kronik aktif:
Ditemukan peningkatan aminotransferase (≤5 kali batas atas
normal). Level ALT > AST. Peningkatan yang tinggi level ALT
didapatkan pada saat terjadi eksaserbasi atau reaktivasi penyakit
yang biasanya disertai gangguan fingsi hati (penurunan level
albumin, peningkatan level bilirubin dan peningkatan PT).
Ditemukan level HBV DNA yang tinggi. Pada serum ditemukan
HBsAg dan HBcAb (IgM/IgG).
AST > ALT.
Pemeriksaan HBV DNA (Rekomendasi PAPDI 2007)
Pemeriksaan HBV DNA tidak diperlukan untuk menegakkan
diagnosis awal.
Pemeriksaan HBV DNA sebagai tanda keberhasilan terapi
menggunakan metode yang dapat mendeteksi kadar virus sampai
dengan < 104 kopi/mL.
Biopsi hati tidak harus dilakukan untuk penilaian awal maupun
hasil pengobatan antivirus pada hepatitis B kronik.
F. Diagnosis Banding
Hepatitis alkoholik, abses hepar amoeba, hepatitis autoimun,
hepatitis non B
4
G. Komplikasi
Nekrosis hati akut/subakut, hepatitis kronik, sirosiss, gagal hati,
dan karsinoma hepatoseluler. (Buggs, 2004)
H. Prognosis
Sangat bervariasi; pada sebagian kasus, penyakit berjalan ringan
dengan perbaikan biokimia terjadi secara spontan dalam 1 – 3 tahun. Pada
sebagian kasus lainnya, hepatitis kronik persisten dan kronik aktif berubah
menjadi keadaan yang lebih serius, bahkan berlanjut menjadi sirosis.
Secara keseluruhan, walaupun terdapat kelainan biokimia, pasien tetap
asimptomatik dan jarang terjadi kegagalan hati.(Abdurachman, 1996)
I. Terapi hepatitis B
Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B kroik yaitu:
Kelompok imunomodulasi
1. Interferon
2. PEG interferon
Kelompok terapi antivirus
1. Lamivudine
2. Adenovir dipivoksil
3. Entecavir
Tujuan pengobtan hepatitis B kronik adalah mencegah terjadinya liver
injury dengan cara menekan replikasi virus tersebut.
Dalam pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang sering di
pakai adalah hilangnya pertanda repliksi virus yang aktif dan menetap
(HBeAg dan HBV DNA)
J. Terapi imunomodulator
Interferon (IFN) alfa.
Pada penelitian menunjukkan bahwa pada pasien hepatitis B kronik
sering didapatkan penurunan produksi IFN. Sebagai salah satu
akibatnya terjadi gangguan penampilan molekul HLA kelas 1 pada
5
membrane hepatosit yang sangat di perlukan agar sel T sitotoksik
dapat mengenali sel – sel hepatosit yang terkena infeksi VHB. Sel-sel
tersebut menampilkan antigen sasaran VHB pada membrane hepatosit.
IFN dalah salah satu pilihan untuk pengobatan pasien hepatitis B
kronik dengan HBeg positif, dengan aktivitas penyakit ringan sampae
sedang, yang belum mengalami sirosis. Pengaruh pengobatn IFN
adalah menurunkan replikasi virus. Efek antivirus kemungkinan sekali
akibat interferon mengikat pada reseptor khusus di permukaan sel yang
kemudian reaksinya menghambat atau menggangu proses uncoating,
RNA transcription, protein synthesis dan assembly virus. (Mansjoer,
1999)
Efek samping IFN:
Gejala seperti flu
Tanda-tanda supresi sumsum tulang
Depresi
Rambut rontok
Berat badan turun
Gangguan fungsi tiroid
Dosis IFN untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg positif
adalah 5-10 MU 3x seminggu selama 16-24 minggu.penelitian
menunjukkn bahwa terapi IFN untuk hepatitis B kronik HBeAg
negative sebaiknya di berikan selama 12 bulan.
Kontra indikasi terapi IFN adalah sirosis dekompensata,
depresi atau riwayat depresi di waktu yang lalu, dan adanya
penyakit jantung berat.
PEG Interferon
Penambahan polietilen glikol (PEG) menimbulkan senywa IFN
dengan umur paruh yang jauh lebih tinggi dibandingkn dengn IFN
biasa. Dalam suatu penelitian yang membandingkan pemakaian PEG
IFN alfa 2a dengan dosis 90,180, atau 270 mikrogrm tiap minggu
6
selama 24 minggu menimbulkan penurunan DNA VHB yang lebih
cepat dari IFN biasa yag diberik 4.5 MU 3x seminggu. Serokonversi
HBeAg pada kelompok PEG IFN pada masing-masing dosis adalah
sebesar 27, 33, 37% dan pada kelompok IFN biasa sebesar 25%.
Lau et al melakukan penelitian terapi peginterferon tunggal
dibandingkan kombinasi pada 841 penderita hepatitis B kronis.
Kelompok pertama mendapatkan peginterferon alfa 2a (Pegasys) 180
ug/minggu + plasebo tiap hari, kelompok ke dua mendapatkan
peginterferon alfa 2a (Pegasys) 180 ug/minggu + lamivudin 100
mg/hari dan kelompok ke tiga memperoleh lamivudin 100 mg/hari,
selama 48 minggu. Hasilnya pada akhir minggu ke 48, yaitu: (1).
Serokonversi HBeAg tertinggi pada peginterferon tanpa kombinasi,
yaitu 27%, dibandingkan kombinasi (24%) dan lamivudin tunggal
(20%). (2). Respon virologi tertinggi pada peginterferon + lamivudin
(86%). (3). Normalisasi ALT tertinggi pada lamivudin (62%). (4).
Respon HBsAg pada minggu ke 72 : peginterferon tunggal 8 pasien,
terapi kombinasi 8 pasien dan lamivudin tidak ada serokonversi. (5).
Resistensi (mutasi YMDD) pada minggu ke 48 didapatlan pada: 69
(27%) pasien dengan lamivudin, 9 pasien (4%) pada kelompok
kombinasi, dan (6). Efek samping relatif minimal pada ketiga
kelompok. Disimpulkan bahwa berdasarkan hasil kombinasi
(serokonversi HBeAg, normalisasi ALT, penurunan HBV DNA dan
supresi HBsAg), peginterferon memberikan hasil lebih baik
dibandingkan lamivudin.
K. Terapi antivirus
Lamivudin
Lamivudin adalah suatu enantiomer (-) dari 3` tiasitidin yang
merupakan suatu analog nukleosid.nukleosid berfingsi sebagai bahan
pembentuk pregenom, sehingga analog nukleosid bersaing dengan
nukleosid asli. Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse
7
transcriptase yang berfungsi dalam transkrip balik dari RNA menjadi
DNA yang terjadi dalam replikasi VHB. Lamivudin menghambat
produksi VHB baru dan mencegh terjadinya infeksi hepatosit sehat
yang belum terinfeksi, tetapi tidak mempengaruhi sel-sel yang telah
terinfeksi Karena pada sl-sel yg telah terinfeksi DNA VHB ada dalam
keadaan covalent closed circulation (cccDNA). Karen itu setelah obat
dihentikan, titer DNA VHB akan kembali lagi seperti semula Karen
sel-sel yang terinfeksi akan memprodiksi virus baru lagi. Lamivudin
adalah analog nukleosid oral dengan aktivits antivirus yang kuat.jika di
berikan dalm dosis 100mg/hari, lamivudin akan menurunkan
konsentrasi DNA VHB sebesr 95% atau lebih dalam waktu 1 minggu.
Menurut penelitin, dalam waktu 1 tahun serokonversi HBeAg
menjadi anti-HBe terjadi pada 16-18% pasien yang mendapat
lamivudin, sedangkan serokonversi hanya terjadi pada 4-6% pasien
yang mendapat placebo dan 19% pada pasien yang mendapat IFN.
Setelah terapi, konsentrasi ALT berangsur-angsur menjadi normal.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengobatan lamivudin
selama 1 tahun telah terjadi perbaikan derajat nekroinflamasi serta
penurunan progresi fibrosis yang bermakna. Di samping itu terjdi
penurunan indeks aktivits histologik (histologic activity index) lebih
besar atau sama dengan 2 poin pada 62-70% pasien yang mendapat
lamivudin dibandingkn dengan 30-33% pada kelompok plasebo.
Lamivudin menurunkan progesi fibrosis sebesar 30% dibandingkan
dengaan 15% pada kelompok plsebo. Pada kelompok lamivudin
progesi menjadi sirosis terjdi pda 1,8% dibandingkan dengan 7,1%
pada kelompok plasebo. Suatu penelitian yang dilakukan pada 154
orang pasien sirosis yang mendapat lamivudin menunjukkan bahwa
pasien dengn sirosis yang relative lebih ringan mendapat manfaat yang
lebih besar dibandingkan dengan pasien sirosis berat.
Khasiat lamivudin semakin meningkat bila diberikan dalm waktu
yang lebih panjang. Karena itu strategi pengobatan yang tepat adalah
8
pengobatan jangka panjang. Penelitian di lakukan secara prospektif (
cohort) pada terapi yang diberikan Selama 4 tahun menunjukkan
serokonversi berturut-turut setiap tahunnya sebagai berikut: 22,29,40,
dan 47%. Sayangnya, strategi terapi berkepanjangan ini terhambat oleh
munculnya virus yang kebal terhdap lamivudin, yang biasa disebut
YMDD. Mutant tersebut akan meningkat 20% tiap tahunnya bila terapi
lamivudin di teruskan.
Efek samping lamivudin
- >10% Central nervous system: Headache (21-35%), fatigue (24-
27%), insomnia (11%)
- Gastrointestinal: Nausea (15-33%), diarrhea (14-18%), pancreatitis
(range: 0.3-18%; higher percentage in pediatric patients),
abdominal pain (9-16%), vomiting (13-15%)
- Hematologic: Neutropenia (7-15%)
- Hepatic: Transaminases increased (2-11%)
- Neuromuscular & skeletal: Myalgia (8-14%), neuropathy (12%),
musculoskeletal pain (12%)
- Respiratory: Nasal signs and symptoms (20%), cough (18%), sore
throat (13%)
- Miscellaneous: Infections (25%; includes ear, nose, and throat)
1-10%:
- Central nervous system: Dizziness (10%), depression (9%), fever
(7-10%), chills (7-10%)
- Dermatologic: Rash (5-9%)
- Gastrointestinal: Anorexia (10%), lipase increased (10%),
abdominal cramps (6%), dyspepsia (5%), amylase increased (<1-
4%), heartburn
- Hematologic: Thrombocytopenia (1- 4%), hemoglobinemia (2-3%)
9
- Neuromuscular & skeletal: Creatine phosphokinase increased
(9%), arthralgia (5-7%)
- <1% (Limited to important or life-threatening): Alopecia,
anaphylaxis, anemia, body fat redistribution, hepatitis B
exacerbation, hepatomegaly, hyperbilirubinemia, hyperglycemia,
immune reconstitution syndrome, lactic acidosis,
lymphadenopathy, muscle weakness, paresthesia, peripheral
neuropathy, pruritus, red cell aplasia, rhabdomyolysis,
splenomegaly, steatosis, stomatitis, urticaria, weakness, wheezing.
Keuntungan dan kerugian lamivudin. Keuntungan utama dari
lamivudin adalah keamanan, toleransi pasien serta harga yang relatif
murah. Kerugiannya adalah sering timbul kekebalan.
Adefovir Dipivoksil
Adefovir merupakan analog asiklik dari deoxyadenosine
monophosphate (dAMP), yang sudah disetujui oleh FDA untuk
digunakan sebagai anti virus terhadap hepatitis B kronis. Cara kerjanya
adalah dengan menghambat amplifikasi dari cccDNA virus. Dosis
yang direkomendasikan untuk dewasa adalah 10 mg/hari oral paling
tidak selama satu tahun (Fung, 2003)
Marcellin et al (2003) melakukan penelitian pada 515 pasien
hepatitis B kronis dengan HBeAg positif yang diterapi dengan adefovir
10mg dan 30mg selama 48 minggu dibandingkan plasebo.
Disimpulkan bahwa adefovir memberikan hasil lebih baik secara
signifikan (p<0,001) dalam hal : respon histologi, normalisasi ALT,
serokonversi HBeAg dan penurunan kadar HBV DNA. Keamanan
adefovir 10 mg sama dengan placebo.
Hadziyanmis et al memberikan adefovir pada penderita hepatitis B
kronis dengan HBeAg negatif. Pada pasien yang mendapatkan 10 mg
adefovir terjadi penurunan HBV DNA secara bermakna dibandingkan
10
plasebo, namun efikasinya menghilang pada evaluasi minggu ke 48.
Pada kelompok yang medapatkan adefovir selama 144 minggu
efikasinya dapat dipertahankan dengan resistensi sebesar 5,9%.
Keuntungan dan kerugian adefovir. Keuntungan penggunan
adefovir adalah jarang terjadi kekebalan, kerugiannya adalah toksisitas
terhadap ginjal yang sering di jumpai pda dosis 30mg tau lebih, harga
yang lebih mahal dan masih kurngnya data mengenai keamanan dan
khasiat dalam jangka yang sangat panjang.
EntecavirEntecavir adalah Antiretroviral Agent, Reverse Transcriptase
Inhibitor (Nucleoside), Meknisme khasiat entecavir hampir sama
dengan lamivudin dan adefovir dipivoksil. Mekanisme Aksi Entecavir
merupakan analog inhibitor guanosin yang berkompetisi dengan
substrat natural deoxyguanosine triphosphate yang secara efektif
menghambat aktivitas polimerase virus hepatitis sehingga mengurangi
sintesis DNA virus.
Dosis untuk terapi hepatitis B kronik adalah 0,5mg per hari,
sedangka pada penderita yang resisten terhadap lamivudin
menggunkan dosis 1 mg per-hari diberikan pada perut kosong (2 jam
sebelum atau setelah makan).
Efek samping:
o >10% peningkatan alanin aminotransferase (ALT/SGPT)
o CNS: pusing (2-4%), fatigue (1-3%)
o Endokrin dan metabolik : hiperglikemia (2%)
o Gastrointestinal: peningkatan lipase (7-8%), Peningkatan lipase (2-
3%), diarrhea (1%), dispepsia (1%)
o Hepatik : peningkatan AST (5%), peningkatan bilirubin (1-2%)
o Renal: Hematuria (9%), glycosuria (4%), peningkatan creatinine
(1-2%),
11
o <1% : Dizziness, hypoalbuminemia, insomnia, nausea,
somnolence, thrombocytopenia, vomiting
Keuntungan dan kerugian entecavir. Keuntungan penggunan
entecavir adalah jarang terjadi kekebalan, dapat digunakan pada pasien
yang kebal pada lamivudin, kerugiannya adalah harga yang lebih
mahal dan masih kurangnya data mengenai keamanan dan khasiat
dalam jangka yang sangat panjang.
(HBeAg-positive) (HBeAg-negative)Entecavir 0.5 mg (n=354)
Lamivudine 100 mg (n=355)
Entecavir 0.5 mg (n=325)
Lamivudine 100 mg (N=313)
HBV DNA Proportion undetectable (<300 copies/mL)
67 percent* 36 percent 90 percent* 72 percent
HBV DNA Mean changes from baseline (log10 copies/mL)
-6.86* -5.39 -5.04* -4.53
ALT normalization (1 X ULN)
68 percent* 60 percent 78 percent* 71 percent
HBeAg seroconversion
21 percent 18 percent - -
Entecavir VS Lamivudin
* p <0.05.
12
Berdasarkan tabel di atas entecavir lebih efektif dari pada
lamivudin, entecavir dapat digunakan pada pasien yang resisten lamivudin,
dan keuntungn lainnya adalah efek samping pada entecavir lebih sedikit
dibandingkan lamivudin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, S. A.: Hepatitis Virus Kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Edisi 3. Jilid 1., 269-70, 1996.
Andra., Strategi Tatalaksana Hepatitis B, Pertemuan Ilmiah Nasional PAPDI Ke-
4. Edisi Januari 2007 (Vol.6 No.6)
Buggs, A. M.: Hepatitis dalam http://www.emedicine.com/ emerg/topic244.htm.
Last updated: June 16, 2004.
Fung YM., Lai CL. Current and future antiviral agents for chronic hepatitis B. J.
Antimicrob Chemotherapy 2003 : 51 : 481-85
Hadi, S., Gstroenterologi. Edisi 7., Penerbit alumni., bandung. 2002
Hadziyannis SJ, Tassopoulos NC, Heathcote EJ, Chang TT, Kitis G, Rizzeto EJ,
Marcellin P, Lim SG, Goodman Z, Jia Ma MS, Arterbun S, Xiong S, urrie
G, Brosgart CL. Long term therapy with adefovir dipivoxil for HBVeAg-
negative chronic hepatitis B. New Engl J Med 2005; 352 : 26: 2673-81
Harnawatiaj., Hepatitis (diakses pada 1, January 2009)
http://harnawatiaj.wordpress.com/author/harnawatiaj/
Lau GK, Piratvisuth ., Lou XL, Marcellin P, Thongsawat S, Cooksley G, Gane E,
Fried MW, Chow WC, Paik SW, Chang WY, Berg T, Flisiak R, McLoud
P, Pluck N. Peginterferon alfa-2a, lamivudin, and the combination for
13
HBeAg_positive chronic hepatitis B. New Engl J Med 2005; 352 : 26 :
2682
Lok ASF., Entecavir in the treatment of chronic hepatitis B virus infection. Up to
date 2007.
Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W. I., Setiowulan, W.: Hepatitis
kronik (Hepatologi) dalam Kapita Selekta Kedokteran. Penerbit Media
Aesculapius. Jakarta. Ed 3. Jilid 1., 515-516, 1999.
Marcellin P, Chang TT, Lim SG, Tong MJ, Sievert W, Shiffman ML,Jefferes L.
et.al. Adefovir dipovoxil for treatment of hepatitis Be antigen-positive
chronic hepatitis B. New Engl J Med 2003; 348 : 806-16.
Siregaar, FA., Hepatitis B ditinjau dari kesehatan masyarakat dan upaya
pencegahan. Fakultas Kesehatan masyarakat. Universitas Sumatera Utara.,
2003
Soemohardjo, S., Gunwan, S. Hepatitis B Kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Edisi 4. Jilid 1., 2006.
Suharjo, JB., Cahyono B., Diagnosis dan Manajemen Hepatitis B Kronis, Cermin
Dunia Kedokteran No. 150, 2006.
Suprayitno, A., Putra, SE., Microsphere Drug Delivery untuk Hepatitis B (diakses
pada 1, January 2009) www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=97
14
REFERAT
TERAPI HEPATITIS B
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat MengikutiUjian Kepaniteraan Klinik Di Bagian Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul
Diajukan kepada:
dr. Waisul Choroni, Sp.PD
15
Disusun oleh :
Fadli Robby Amsriza 2004 031 0084
SMF PENYAKIT DALAM RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2009
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
TERAPI HEPATITIS B
Disusun Oleh :
Fadli Robby Amsriza 2004 031 0084
Telah disetujui dan dipresentasikan
Pada tanggal Januari 2009
16
Pembimbing
dr. Waisul Choroni T., Sp.PD
17