referat tiara

Upload: aya-alamsjah

Post on 10-Oct-2015

52 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

KATA PENGANTARSegala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Penatalaksanaan Anestesi Pada Pasien dengan Perdarahan Intra Abdominal.Sehubungan dengan penyusunan referat ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Rosalia sp.An selaku pembimbing serta kepada dokter-dokter pembimbing lainnya di bagian anestesi RSAL dr. Mintohardjo. Adapun, tujuan dari pembuatan referat ini selain untuk menambah pengetahuan penulis serta pembacanya, juga ditujukan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Anestesiologi. Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna dan tidak luput pula dari berbagai kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya masukan, baik itu kritik maupun saran yang dapat membantu penulis lebih baik lagi kedepannya.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga tugas ini dapat menambah informasi dan pengetahuan bagi kita semua.

Jakarta, Juni 2013

Penulis,

Sitti Monica Astrilia Ambon

DAFTAR ISI

Kata Pengantar... 1Daftar Isi.. 2

Bab I

Pendahuluan. 3Bab II

Pembahasan.. 5Bab III Kesimpulan...37Daftar Pustaka38BAB I

PENDAHULUAN

Dewasa ini trauma melanda dunia bagaikan wabah karena dalam kehidupan modern penggunaan kendaraan bermotor, senjata api dan masalah-masalah yang dialami masyarakat semakin banyak dijumpai. Sayangnya, penyakit akibat trauma sering ditelantarkan sehingga trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok usia muda dan produktif di seluruh dunia. Angka kematian ini dapat diturunkan melalui upaya pencegahan trauma dan penanggulangan optimal yang diberikan sedini mungkin pada korbannya. 1Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul atau peluru. Cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan, perlambatan (deselerasi), dan kompresi, baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru, ledakan, panas, ataupun zat kimia. Akibat cedera ini dapat berupa memar, luka jaringan lunak, cedera musculoskeletal, dan kerusakan organ.1Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusio atau laserasi jaringan atau organ yang berada dibawahnya. Trauma tumpul sendiri dapat berupa benturan benda tumpul, perlambatan (deselerasi), dan kempaan. Benturan benda tumpul pada toraks dapat menyebabkan cedera berupa patah tulang iga. Benturan benda tumpul pada abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga (seperti usus, kandung kemih, ureter dan lambung) berupa perforasi atau organ padat (seperti hepar, lien, pancreas, ginjal) berupa perdarahan (perdarahan intra abdominal). Pada intraperitoneal, trauma tumpul abdomen paling sering menciderai organ limpa (40-55%), hati (35-45%), dan usus halus (5-10%). Sedangkan pada retroperitoneal, organ yang paling sering cedera adalah ginjal, dan organ yang paling jarang cedera adalah pankreas dan ureter.1

Cedera yang terjadi ini dapat menimbulkan syok bagi korbannya. Dalam kasus seperti ini Waktu adalah nyawa dimana dibutuhkan suatu penanganan yang profesional yaitu cepat, tepat, cermat dan akurat, baik di tempat kejadian, transportasi sampai tindakan definitif di rumah sakit.1 BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi AbdomenAbdomen dapat didefinisikan sebagai daerah tubuh yang terletak antara diaphragma di bagian atas dan pintu masuk pelvis dibagian bawah. Untuk kepentingan klinik, biasanya abdomen dibagi dalam sembilan regio oleh dua garis vertikal, dan dua garis horizontal. Masing-masing garis vertikal melalui pertengahan antara spina iliaca anterior superior dan symphisis pubis. Garis horizontal yang atas merupakan bidang subcostalis, yang mana menghubungkan titik terbawah pinggir costa satu sama lain. Garis horizontal yang bawah merupakan bidang intertubercularis, yang menghubungkan tuberculum pada crista iliaca. Bidang ini terletak setinggi corpus vertebrae lumbalis V.

Pembagian regio pada abdomen yaitu : 1. Regio hypochondrium kanan.

9. Regio iliaca kiri.22. Regio epigastrium.

3. Regio hypocondrium kiri. 4. Regio lumbalis kanan.

5. Regio umbilicalis.

6. Regio lumbalis kiri. 7. Regio iliaca kanan

8. Regio hypogastrium Sedangkan pembagian abdomen juga dipermudah menjadi empat kuadran dengan menggunakan satu garis vertikal dan satu garis horisontal yang saling berpotongan pada umbilicus. Kuadran tersebut adalah kuadran kanan atas, kuadran kiri atas, kuadran kanan bawah dan kuadran kiri bawah.

Dinding perut ini terdiri atas beberapa lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan subkutis; lemak subkutan dan fasia superfisial (fasia Scarpa); kemudian ketiga otot dinding perut, m. oblikus abdominis eksternus, m. oblikus abdominis internus, dan m. tranversus abdominis; dan akhirnya lapisan preperitoneal, dan peritoneum. Otot di bagian depan terdiri atas sepasang otot rektus abdominis dengan fasianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.2

Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga abdominal. Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen dinamakan peritoneum parietale, sedangkan bagian yang meliputi organ dinamakan peritoneum viscerale.Lapisan ganda peritoneum yang berisi lemak, menggantung seperti celemek di sebelah atas depan usus bernama omentum majus. Bangunan ini memanjang dari tepi lambung sebelah bawah ke dalam bagian pelvik abdomen dan kemudian melipat kembali dan melekat pada colon tranversum. Ada juga membran yang lebih kecil bernama omentum minus yang terentang antara lambung dan liver.Organ pada rongga abdomen dibagi menjadi 2, yaitu :1. Organ intraperitoneal

Organ-organ dibawah ini diliputi atau dilapisi oleh peritoneum : Hati

Limpa

Lambung Kandung empedu

Duodenum (bagian pertama)

Pancreas (hanya bagian kaudal) Rectum

Sigmoid colon

2. Organ retroperitoneal

Organ-organ dibawah ini berada dibelakang peritoneum, antara peritoneum dan dinding abdomen: Kelenjar suprarenal Aorta dan vena cava inferior

Duodenum (kecuali bagian pertama)

Pancreas (kecuali bagian kaudal)

Ureter dan kandung kemih Colon (ascending dan descending) Kidney Esofagus

Rectum (bagian 2/3 bawah saja)Vaskularisasi organ-organ intra abdominal berasal dari aorta abdominalis yang mempercabangkan 3 cabang besar yaitu a. Coeliaca (Coeliaca Trunk), a. Mesenterica Superior, dan a. Mesenterica Inferior. Cabang-cabang dari a. coeliaca adalah a. gastrica sinistra, a. hepatica dan a. Lienalis. Cabang a. mesenterica Superior adalah a. colica media, a. colica dextra, a. ileocolica, a. pancreaticoduodenalis inferior, aa. Jejunales dan ilei. Cabang a. mesenterica inferior adalah a. colica sinistra, a. sigmoidea, a. hemorrhoidalis superior. A. mesenterica superior menyuplai darah pada bagian distal duodenum, jejunum, ileum, caecum, appendiks, colon ascenden dan sebagian besar colon transversum. A. mesenterica inferior menyuplai darah pada 1/3 distal colon transversum, flexura colica sinistra, colon descenden, colon sigmoid, rectum dan sebagian anus.3,4

2.2 Perdarahan Intra Abdominal DefinisiPerdarahan intra abdominal adalah perdarahan yang terjadi di dalam abdomen yang biasanya disebabkan oleh adanya suatu trauma, baik itu trauma tumpul, trauma tajam maupun trauma tembak. Namun, paling sering perdarahan yang terjadi di dalam abdomen tanpa disertai dengan perdarahan yang keluar dari tubuh disebabkan oleh trauma tumpul abdomen seperti yang terjadi pada kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari ketinggian, penganiayaan, atau cedera olahraga. PatofisiologiBila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan.5Trauma juga tergantung pada elastisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan.5 Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme :

1. Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.

2. Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.3. Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.

KlasifikasiBerdasarkan jenis organ yang cedera dapat dibagi dua :1. Pada organ padat seperti hepar dan limpa dengan gejala utama perdarahan.

2. Pada organ berongga seperti usus dan saluran empedu dengan gejala utama adalah peritonitis. Berdasarkan daerah organ yang cedera dapat dibagi dua, yaitu :a. Organ IntraperitonealIntraperitoneal abdomen terdiri dari organ-organ seperti hati, limpa, lambung, colon transversum, usus halus, dan colon sigmoid. Ruptur HatiHati dapat mengalami laserasi dikarenakan trauma tumpul ataupun trauma tembus. Hati merupakan organ yang sering mengalami laserasi, sedangkan empedu jarang terjadi dan sulit untuk didiagnosis. Pada trauma tumpul abdomen dengan ruptur hati sering ditemukan adanya fraktur costa VII IX. Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan nyeri pada abdomen kuadran kanan atas. nyeri tekan dan defence muskuler tidak akan tampak sampai perdarahan pada abdomen dapat menyebabkan iritasi peritoneum ( 2 jam post trauma). Kecurigaan laserasi hati pada trauma tumpul abdomen apabila terdapat nyeri pada abdomen kuadran kanan atas. Jika keadaan umum pasien baik, dapat dilakukan CT Scan pada abdomen yang hasilnya menunjukkan adanya laserasi. Jika kondisi pasien syok, atau pasien trauma dengan kegawatan dapat dilakukan laparotomi untuk melihat perdarahan intraperitoneal. Ditemukannya cairan empedu pada lavase peritoneal menandakan adanya trauma pada saluran empedu.6 Ruptur LimpaLimpa merupakan organ yang paling sering cedera pada saat terjadi trauma tumpul abdomen. Ruptur limpa merupakan kondisi yang membahayakan jiwa karena adanya perdarahan yang hebat. Limpa terletak tepat di bawah rangka thorak kiri, tempat yang rentan untuk mengalami perlukaan. Limpa membantu tubuh kita untuk melawan infeksi yang ada di dalam tubuh dan menyaring semua material yang tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti sel tubuh yang sudah rusak. Limpa juga memproduksi sel darah merah dan berbagai jenis dari sel darah putih. Robeknya limpa menyebabkan banyaknya darah yang ada di rongga abdomen. Ruptur pada limpa biasanya disebabkan hantaman pada abdomen kiri atas atau abdomen kiri bawah. Kejadian yang paling sering meyebabkan ruptur limpa adalah kecelakaan olahraga, perkelahian dan kecelakaan mobil. Perlukaan pada limpa akan menjadi robeknya limpa segera setelah terjadi trauma pada abdomen. Pada pemeriksaan fisik, gejala yang khas adanya hipotensi karena perdarahan. Kecurigaan terjadinya ruptur limpa dengan ditemukan adanya fraktur costa IX dan X kiri, atau saat abdomen kuadran kiri atas terasa sakit serta ditemui takikardi. Biasanya pasien juga mengeluhkan sakit pada bahu kiri, yang tidak termanifestasi pada jam pertama atau jam kedua setelah terjadi trauma. Tanda peritoneal seperti nyeri tekan dan defans muskuler akan muncul setelah terjadi perdarahan yang mengiritasi peritoneum. Semua pasien dengan gejala takikardi atau hipotensi dan nyeri pada abdomen kuadran kiri atas harus dicurigai terdapat ruptur limpa sampai dapat diperiksa lebih lanjut. Penegakan diagnosis dengan menggunakan CT scan. Ruptur pada limpa dapat diatasi dengan splenectomy, yaitu pembedahan dengan pengangkatan limpa. Walaupun manusia tetap bisa hidup tanpa limpa, tapi pengangkatan limpa dapat berakibat mudahnya infeksi masuk dalam tubuh sehingga setelah pengangkatan limpa dianjurkan melakukan vaksinasi terutama terhadap pneumonia dan flu dan juga diberikan antibiotik sebagai usaha preventif terhadap terjadinya infeksi.7

Ruptur Usus HalusSebagian besar, perlukaan yang merobek dinding usus halus karena trauma tumpul menciderai usus dua belas jari. Dari pemeriksaan fisik didapatkan gejala burning epigastric pain yang diikuti dengan nyeri tekan dan defans muskuler pada abdomen. Perdarahan pada usus besar dan usus halus akan diikuti dengan gejala peritonitis secara umum pada jam berikutnya. Sedangkan perdarahan pada usus dua belas jari biasanya bergejala adanya nyeri pada bagian punggung. Diagnosis ruptur usus ditegakkan dengan ditemukannya udara bebas dalam pemeriksaan Rontgen abdomen. Sedangkan pada pasien dengan perlukaan pada usus dua belas jari dan colon sigmoid didapatkan hasil pemeriksaan pada Rontgen abdomen dengan ditemukannya udara dalam retroperitoneal.7

b. Organ Retroperitoneal

Retroperitoneal abdomen terdiri dari ginjal, ureter, pancreas, aorta, dan vena cava. Trauma pada struktur ini sulit ditegakkan diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik. Evaluasi regio ini memerlukan CT scan, angiografi, dan intravenous pyelogram. Ruptur GinjalTrauma pada ginjal biasanya terjadi karena jatuh dan kecelakaan kendaraan bermotor. Dicurigai terjadi trauma pada ginjal dengan adanya fraktur pada costa ke XI XII. Jika terjadi hematuri, lokasi perlukaan harus segera ditentukan. Laserasi pada ginjal dapat berdarah secara ekstensif ke dalam ruang retroperitonial. Gejala klinis : Pada ruptur ginjal biasanya terjadi nyeri saat inspirasi di abdomen dan flank, dan tendensi CVA. Hematuri yang hebat hampir selalu timbul, tapi pada mikroscopic hematuri juga dapat menunjukkan adanya ruptur pada ginjal.Diagnosis, membedakan antara laserasi ginjal dengan memar pada ginjal dapat dilakukan dengan pemeriksaan IVP atau CT scan. Jika suatu pengujian kontras seperti aortogram dibutuhkan karena adanya alasan tertentu, ginjal dapat dinilai selama proses pengujian tersebut. Laserasi pada ginjal akan memperlihatkan adanya kebocoran pada zat warna, sedangkan pada ginjal yang memar akan tampak gambaran normal atau adanya gambaran warna kemerahan pada stroma ginjal. Tidak adanya visualisasi pada ginjal dapat menunjukkan adanya ruptur yang berat atau putusnya tangkai ginjal.8 Ruptur PankreasTrauma pada pankreas sangat sulit untuk di diagnosis. Kebanyakan kasus diketahui dengan eksplorasi pada pembedahan. Perlukaan harus dicurigai setelah terjadinya trauma pada bagian tengah abdomen, contohnya pada benturan stang sepeda motor atau benturan setir mobil. Perlukaan pada pankreas memiliki tingkat kematian yang tinggi. Perlukaan pada duodenum atau saluran kandung empedu juga memiliki tingkat kematian yang tinggi. Gejala klinis, kecurigaan perlukaan pada setiap trauma yang terjadi pada abdomen. Pasien dapat memperlihatkan gejala nyeri pada bagian atas dan pertengahan abdomen yang menjalar sampai ke punggung. Beberapa jam setelah perlukaan, trauma pada pankreas dapat terlihat dengan adanya gejala iritasi peritonial. Diagnosis, penentuan amilase serum biasanya tidak terlalu membantu dalam proses akut. Pemeriksaan CT scan dapat menetapkan diagnosis. Kasus yang meragukan dapat diperiksa dengan menggunakan ERCP ( Endoscopic Retrogade Canulation of the Pancreas) ketika perlukaan yang lain telah dalam keadaan stabil.Terapi, penanganan dapat berupa tindakan operatif atau konservatif, tergantung dari tingkat keparahan trauma, dan adanya gambaran dari trauma lain yang berhubungan. Konsultasi pembedahan merupakan tindakan yang wajib dilakukan. 9 Ruptur UreterTrauma pada ureter jarang terjadi tetapi berpotensi menimbulkan luka yang mematikan. Trauma sering kali tak dikenali pada saat pasien datang atau pada pasien dengan multipel trauma. Kecurigaan adanya cedera ureter bisa ditemukan dengan adanya hematuria pasca trauma.Mekanisme trauma tumpul pada ureter dapat terjadi karena keadaan tiba-tiba dari deselerasi/ akselerasi yang berkaitan dengan hiperekstensi, benturan langsung pada Lumbal 2 3, gerakan tiba-tiba dari ginjal sehingga terjadi gerakan naik turun pada ureter yang menyebabkan terjadinya tarikan pada ureteropelvic junction. Pada pasien dengan kecurigaan trauma tumpul ureter biasanya didapatkan gambaran nyeri yang hebat dan adanya multipel trauma. Gambaran syok timbul pada 53% kasus, yang menandakan terjadinya perdarahan lebih dari 2000 cc. Diagnosis dari trauma tumpul ureter seringkali terlambat diketahui karena seringnya ditemukan trauma lain, sehingga tingkat kecurigaan tertinggi ditetapkan pada trauma dengan gejala yang jelas. Pilihan terapi yang tepat tergantung pada lokasi, jenis trauma, waktu kejadian, kondisi pasien, dan prognosis penyelamatan. Hal terpenting dalam pemilihan tindakan operasi adalah mengetahui dengan pasti fungsi ginjal yang kontralateral dengan lokasi trauma.

2.3 Penatalaksanaan Anestesi Pada Perdarahan Intra AbdomenPerdarahan intra abdomen yang disebabkan oleh trauma ini biasanya termasuk dalam suatu kegawatdaruratan yang harus segera ditatalaksana dengan dilakukannya pembedahan darurat. Anestesi untuk pasien yang harus di bedah secara darurat mempunyai kekhususan karena keadaan umum pasiennya dapat sangat bervariasi dari yang masih normal sehat sampai yang menderita penyakit dasar berat yang kemudian masih dibebani lagi dengan adanya kelainan bedahnya. Pada umumnya, masalah yang dihadapi oleh dokter anestesi adalah (1) keterbatasan waktu untuk melakukan evaluasi pra anesthesia yang lengkap (2) pasien sering dalam keadaan takut gelisah (3) lambung sering berisi cairan dan makanan (4) system hemodinamik sering terganggu, keadaan umum sering buruk (hipotensi, takikardi) (5) menderita cidera ganda (6) kelainan yang harus dibedah kadang-kadang belum diketahui dengan jelas (7) riwayat sebelum sakit sering tak dapat diketahui (8) komplikasi/penyakit yang ada kadang-kadang tidak dapat diobati dengan baik sebelum pembedahan. Keadaan terakhir ini yang sering menyebabkan mortalitas pasien dengan keadaan bedah darurat menjadi legih tinggi disbanding dengan bedah elektif. Yang penting agar pengelolaan anestesi dapat berjalan sukses adalah kesiapannya dalam menangani kejadian yang akut dan berat. Termasuk dalam hal ini kesiapan alat dan tenaga kamar operasi untuk melakukan pembedahan yang sifatnya kapan saja. Peralatan yang diperlukan adalah untuk memberi O2 tinggi, intubasi, suction, monitor, cairan infus (koloid, kristaloid), kalau perlu darah atau komponen, pompa cairan dan darah, obat anestesi, dan lain-lain. A. Pemeriksaan Awal

Pemeriksaan awal untuk pasien trauma dapat dilakukan di tempat kejadian, diruang gawat darurat, atau lebih jarang, di kamar operasi. Perawatan distandarisasi berdasarkan Advanced Trauma Life Support (ATLS), yang dikembangkan oleh American Collage of Surgeon, yang protocol pertamanya berlaku tahun 1980. Idealnya, evaluasi trauma meliputi evaluasi yang terkoordinasi dengan baik oleh dokter jaga dan atau dokter bedah, perawat khusus dan radiografer dengan kapabilitas yang sesuai. Dokter bedah saraf dan bedah ortopedi harus siap kapanpun diperlukan. Tujuan utama anestesiologis adalah untuk mempertahankan fungsi sistem saraf, memelihara pertukaran gas respirasi yang adekuat dan homeostasis sirkulasi.10Berdasarkan protocol ATLS, eveluasi awal harus meliputi tiga komponen, penilaian cepat, survey primer dan survey sekunder : Penilaian cepat : fase ini harus mengambil waktu beberapa detik saja dan harus dapat menentukan apakah pasien stabil, tidak stabil, meninggal atau kritis. Survey primer: evaluasi yang lebih detail dalam hal fungsi fisiologis yang penting untuk kehidupan, yang meliputi jalan napas, pernapasan dan sirkulasi. Jika terdapt ganguan dari ketiga fungsi ini maka tindakan penanganan harus dilkukan segera. Penilaian disabilitas yang difokuskan pada pemeriksaan neurologis juga dilakukan pada fase ini. Survey sekunder: evaluasi yang detail dan sistemik dari setiap regio anatomi. Disposisi ditentukan. Informasi dari pasien atau dari orang-orang di sekitar pasien didapatkan untuk memperoleh data tentang penyakit lain yang dialaminya.

B. Manajemen Jalan Nafas

Anestesiologis memainkan peran penting dalam menajemen dini untuk pasien trauma untuk mengamankan jalan nafasnya dan berperan pula sebagai konsultan dalam prosedur kegawatan yang lain. Evaluasi membutuhkan diagnosis trauma jaringan lunak, penilaian potensi obstruksi akut dan prediksi bertambah parahnya cidera yang mungkin akibat intervensi jalan napas yang menyebabkan:

Hipoksia : Hipoksia pada trauma umumnya disebabkan oleh obstruksi jalan napas, apneu, cidera thorax, dan status sirkulasi yang buruk. Sianosis kadang sulit untuk dideteksi pada pasien yang anemis, hipovolemik dan pasien yang berpigmen kulit gelap. Pulse oxymetri sering diperlukan untuk menilai oksigenasi dan analisis gas darah arterial harus didapatkan secara dini jika terdapat keraguan. Oksigen supplemental harus diberikan, dan intervensi jalan napas definitif diambil jika terdapat kecurigaan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Obstruksi jalan napas sering disebabkan oleh laserasi, sekresi, benda asing, fraktur pada pasien yang tidak sadar. Intrervensi awal meliputi oksigen supplemental, head tilt, chin lift, jaw thrust, pembersihan orofaring dan pemasangan oro atau naso pharyngeal airway.11 Kontrol definitif jalan napas adalah penting untuk melindungi pasien dari aspirasi pulmoner dan obstruksi jalan napas, serta untuk mempertahankan perrtukaran gas selama dilakukannya resusitasi.Indikasi mutlak untuk intubasi segera antara lain :12 GCS kurang dari 9

Ancaman shock

Obstruksi jalan napas

Pasien yang gelisah dan membutuhkan sedasi Trauma dada dengan hipoventilasi Hipoksia

Henti jantung

Resiko Aspirasi Aspirasi isi lambung sewaktu induksi anestesi atau sewaktu akan sadar kembali harus sebisa mungkin dicegah. Waktu pengosongan memanjang oleh makanan berlemak tinggi (8 - 10 jam), pengaruh emosional, dan obat narkotik. Disamping itu hiperventilasi atau gangguan pernafasan, menyebabkan penderita menelan udara sehingga timbul perut kembung, yang memudahkan regurgitasi atau muntah. Sekalipun telah dipasang naso gastric tube (selang lambung), pengosongan lambung secara lengkap melalui selang tidak dapat dijamin. Pasien dalam keadaan koma atau setengah sadar, mudah aspirasi. Bila akan menguras lambung maka jalan pernafasan harus diamankan dulu dengan tube endotrakeal yang mempunyai cuff yang dapat dikembangkan.

Paling aman jika kita beranggapan bahwa setiap penderita yang akan menjalani anestesi darurat mempunyai lambung yang terisi dan bertindak dengan tepat. Beberapa kewaspadaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :1. Pipa nasogastrik (NGT; ukuran 16 untuk orang dewasa) dapat dimasukkan. Sesungguhnya NGT berguna dalam mengeluarkan cairan atau gas. Jika dibiarkan ditempatnya, NGT tersebut dapat menyebabkan inkompetensi sfingter esofagus bagian bawah dan menaikkan resiko aspirasi.

2. Metoklopramid (10 mg intramuskular atau intravena) akan meningkatkan motilitas lambung sehingga waktu pengosongan lambung menjadi pendek dan hal tersebut menurunkan resiko terjadinya muntah. 3. Sekresi asam dalam cairan lambung dapat dikurangi oleh AH2 (anti histamine 2). Kerusakan paling buruk terhadap jaringan paru berasal dari inhalasi isi lambung dengan pH kurang dari 2,5. Obat yang paling memuaskan adalah ranitidin 150 mg intramuskular, atau melalui mulut sekurang-kurangnya dua jam sebelum pembedahan. Simetidin 300 mg (intravena secara lambat, intramuskular atau melalui mulut), yang mula kerjanya lebih cepat tetapi lama kerjanya singkat, dapat juga digunakan, tetapi kurang begitu efektif. Penghambat reseptor H2 ini mengurangi volume dan keasaman cairan lambung yang disekresikan setelah obat tersebut diberikan tetapi jelas tidak akan mempunyai pengaruh pada asam lambung yang telah disekresikan.13Adapun Tehnik yang biasanya digunakan pada pasien dengan risiko yang mengalami aspirasi lambung dan risiko terjadinya intubasi sulit yaitu dengan Rapid Sequence Induction (RSI). Reflek jalan nafas yang ditumpulkan dengan pemberian obat anestesia, pada pasien lambung penuh sangat berisiko mangalami aspirasi lambung (asam atau makanan yang belum tercerna) akan menghasilkan morbiditas dan mortalitas.Prosedur RSI adalah sebagai berikut :1. Persiapan

Obat : Thiopenthone (bias juga propofol dan ketamine), suxamethonium (bias juga recuronium), efedrin, atropine. Endotracheal tube : dengan ukuran yang bervariasi, dan dicek cuffnya untuk meyakinkan bahwa cuff tidak bocor. Laringoskope : dengan 2 ukuran blade yang bervariasi. Suction

Stilet : bila endotracheal tube mengalami kesulitan untuk penempatannya.

Canule intravenous

2. Monitoring

Blood presure, ECG, pulse oximetry, end tidal CO2 (jika ada)

3. AsistenSeseorang yang diperlukan untuk memberikan krikoid pressure selama proses RSI. Krikoid kartilago adalah kartilago yang berbentuk cincin dibawah laring. Jika ditekan ke posterior akan menekan dan menutup esofagus. Hal ini untuk mencegah regurgitasi pasif dari isi lambung.

4. Induksi Pasien diberikan preoksigenasi secara penuh dalam waktu 3 menit untuk membuang semua nitrogen dari paru dan memberikan kembali O2. Thiopenthone diberikan, diikuti dengan cricoid pressure (perasat Sellick), kemudian diberikan suxametonium. Krikoid adalah tulang rawan laring yang melingkari laring secara menyeluruh. Krikoid berbentuk segi tiga pada potongan melintang dengan permukaan posterior datar. Tekanan langsung ke belakang pada krikoid, diarahkan ke arah vertebrae servikalis yang kemudian akan menyumbat esofagus dan mencegah cairan memasuki laring. Walaupun perasat ini tampak mudah tetapi membutuhkan keahlian dan ketepatan penempatan tangan asisten yang bisa saja menyumbat laringoskop sehingga menggangu anatomi normal laring atau gagal menutup esofagus. Jika penderita muntah secara aktif penekanan krikoid harus dihilangkan karena esofagus dapat menjadi ruptur. Penderita yang dapat muntah pada saat antara pemberian agen induksi dan suksametonium, biasanya masih dapat mempertahankan kerja refleks untuk menjaga saluran pernafasannya sendiri, dan akan menjadi aman biladiberikan peralatan penyedot efektif (suction) yang dapat membersihkan muntahan dari dalam faring.12 Pasien tidur ketika reflek bulu mata hilang, dan relaksasi setelah hilangnya fasikulasi (jika menggunakan agen depolarisasi). Pasien di intubasi kemudian cuff diinflasikan dan tube terkunci. Cricoid presure tidak dilepaskan sebelum ahli anesthesi yakin bahwa tube sudah tepat penempatannya. Untuk meyakinkan bisa didengarkan suara nafas bilateral, dan diamati gerakan kedua dada. 5. Maintanance Anesthesia

Ketika anesthesilog yakin dengan jalan nafas yang sudah dikuasai, kemudian akan memberikan agent : fentanyl, pelumpuh otot depolarisasi, volatil agent (isoflurane) untuk maintanance anesthesia. Agen non depolarisasi sekarang dapat ditambahkan untuk menjaga selama relaksasi otot.

6. EmergenceJika pembedahan sudah selesai, semua agent anesthesia diturunkan dan kemudian dimatikan, oksigen 100 % diberikan, neuromuskular blok dekembalikan, dan pasien di bangunkan dari aneshesia. Permulaan risiko terjadinya regurgitasi isi lambung sangat besar. Jalan nafas dibersihkan secara hati-hati dengan menggunakan suction dan ETT dapat tetap ditinggalkan sampai pasien sadar penuh.

C. Manajemen VentilasiJika jalan napas telah diamankan, maka perhatian selanjutnya difokuskan pada ventilasi dan oksigenasi. Hampir semua pasien yang mengalami cidera yang kritis membutuhkan bantuan ventilasi atau ventilasi mekanis. Alat masker/ kantung yang dapat mengembang sendiri yang non breathing digunakan pada pasien yang bernapas spontan dan dapat dipasangkan pada selang endotrakhal pada pasien yang terintubasi. Jika keparahan cidera tidak begitu akut dan jalan napas intak, pengangkutan oksigen melalui kanula nasal atau face mask dalah mencukupi selama pasien sadar, dengan refleks protektif positif. Kerika terintubasi, ventilasi tekanan positif harus diberikan hanya jika posisi selang telah diyakinkan dengan auskultasi dada dan pengembangan paru bilateral. Pemeriksaan gas darah arterial dapat membantu menentukan adekuatnya ventilasi dan oksigenasi.14Adanya fraktur pada sekurangnya tiga costae yang berurutan, dengan fraktur sternal atau pemisahan costochondral, merupakan tanda sugestif untuk flail chest.Kontusio pulmoner yang berhubungan dengan cedera dan hemothorax dapat memperbutuk insufisiensi respirasi. Penilaian kembali psien-pasien tersebut secara sering dan seksama diperlukan untuk menyingkirkan insufisiensi ventilasi yang bermakna, namun flail chest bukan semata-mata indikasi untuk diberikannya ventilasi mekanis. Penggunaan ventilasi mekanis yang tidak sesuai dapat meningkatkan resiko komplikasi pulmoner dan morbiditas pasien tersebut. Analgesia yang adekuat dapat menunda atau membatalkan diperlukannya ventilasi mekanis dengan mengurangi tahanan dan kesulitan napas. Analgesia epidural thoraksik merupakan pilihan terbaik untuk memperbaiki ventilasi sebab dapat menurunkan resiko depresi respirasi seperti jika digunakan opioid parenteal.Profil koagulasi harus diukur sebelum dilakukan pemasangan anestesi epidural.D. Manajemen Sirkulasi dan ShockHipotensi pada pasien trauma merupakan kejadian yang paling banyak terjadi sebagai akibat hipovolemia dan hipoventilasi. Etilogi lain diantaranya tamponade pericardial, kontusi jantung, penyakit koroner yang sudah ada sebelumnya, pneumothorax tekan dan cidera medula spinalis. Pemeriksaan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, tekanan nadi, volume keluaran urin, kecepatan respirasi dan status mental dengan tidak adanya trauma kepala merupakan parameter yang paling sederhana dan dapat dipercaya untuk menentukan status sirkulasi. Respon sistemik terhadap perdarahan meliputi peningkatan produksi renin plasma, sekresi hormon antidiuretik, dan aktivitas katekolamin yang berakibat terjadinya takikardi dan vasokonstriksi arteriolar. Mekanisme ini dilakukan untuk mempertahankan tekanan darah sampai penurunan tekanan darah sebesar 30-40%. Oleh karena itu, pasien yang mengalami hipovolemia yang parah mungkin masih memiliki tekanan darah yang normal. Namun jika perkiraan kehilangan darah meleihi 40% maka mekanisme kompensasi akan gagal dan terjadilah shock hipovolemik. Gangguan perfusi yang persisten menyebabkan iskemia organ, hilangnya integritas membran dan hipoksia intraseluler yang progresif. Sebagian besar penderita bedah darurat (Trauma abdomen) mengalami gangguan hemodinamik berupa perdarahan atau fluid loss.11 Secara umum kehilangan darah 10% dari Estimated Blood Volume dapat ditolerir tanpa perubahan-perubahan yang serius (EBV dewasa 70 cc/kg BB), anak < 2 th (80 cc/kg BB). Kehilangan > 10% memerlukan penggantian berupa Ringer Laktat. Batas penggantian darah dengan Ringer Laktat adalah sampai Kehilangan 20% EBV atau Hematokrit 28% atau Hemoglobin 8 gr%. Jumlah cairan masuk harus 2- 4 x jumlah perdarahan. Cara hemodilusi begini bukan untuk menggantikan tempat transfusi darah, tetapi untuk :

Tindakan sementara, sebelum darah datang. Mengurangi jumlah transfusi darah sejauh transpor oksigen masih memadai. Menunda pemberian transfusi darah sampai saat yang lebih baik (misalnya pemberian transfusi perlahan-lahan/postoperatif setelah penderita sadar, agar observasi lebih baik kalau-kalau terjadi reaksi transfusi).

Cairan Ringer Laktat mengembalikan sequestrasi/third space loss yang terjadi pada waktu perdarahan/shock. Jumlah darah yang hilang tidak selalu dapat diukur namun dengan melihat akibatnya pada tubuh penderita, jumlah darah yang hilang dapat diperkirakan sbb. :

Preshock : kehilangan s/d 10% Shock ringan : kehilangan 10 - 20%. Tekanan darah turun, nadi naik, perfusi dingin, basah, pucat. Shock sedang : kehilangan 20 - 30%. Tekanan darah turun sampai 70 mmHg. Nadi naik sampai diatas 140. Perfusi buruk, urine berhenti. Shock berat : kehilangan lebih dari 35% : Tekanan Darah sampai tak terukur, nadi sampai tak teraba. Untuk fluid lose pada kasus-kasus abdomen akut diberikan Ringer Laktat dengan pedoman berkurangnya volume cairan intersisial menyebabkan terjadinya tanda-tanda interssisial yaitu : turgor kulit jelek, mata cekung, ubun-ubun cekung, selaput lendir kering. Berkurangnya volume plasma menyebabkan terjadinya "tanda-tanda plasma" yaitu : takikardi, oliguria, hipotensi, dan shock. Cara terapi dan monitoring :111. Apabila defisit berat berikan 20 ml/kg Ringer Laktat atau 0,9% NaCl cepat. Jika setelah itu shock belum dapat diatasi, ulangi lagi. Tujuan tindakan pertama ini adalah memulihkan volume darah/plasma dan mengatasi shock.2. Berikutnya dalam 8 jam Pertama 50% dari defisit yang diperhitungkan diberikan. 16 jam berikutnya diberikan sisa 50% dari defisit. Setelah shockdapat diatasi, cairan maintenance dapat diberikan bersama-sama dengan terapi defisit. Cairan maintenance : dewasa 50 cc/kg BB dengan Natrium 2 4 mEq/lg BB; sisanya sebagai larutan dextrosa.3. Jika produksi urine sudah ada, kalau perlu dapat dibe- rikan Kalium 1 2 mEq/kg dalam 24 - 36 jam.4. Adakan evaluasi keadaan penderita secara berkala tiap 4-6 jam.5. Sebagai tanda bahwa sirkulasi dan perfusi sudah baik adalah telapak tangan atau kaki hangat, merah dan kering (sebagai kebalikannya pada waktu defisit, teraba dingin, kelabu dan lembab).Apabila diperlukan dapat dilakukan transfusi darah. Penggantian darah yang hilang hendaknya sesuai dengan kebutuhan. Pemberian darah lengkap memungkinkan penyulit seperti kelebihan volume sirkulasi atau infeksi hepatitis lebih banyak terjadi. Transfuse komponen darah lebih spesifik sehingga lebih tepat, berguna dan ekonomis. Respon tubuh terhadap perdarahn bergantung kepada volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Pertimbangan untuk transfusi darah pada kadar Hb 7-10 g/dl adalah bila pasien akan menjalani operasi yang menyebabkan banyak kehilangan darah serta adanya gejala dan tanda klinis dari gangguan transportasi oksigen yang dapat diperberat oleh anemia. Kehilangan darah akut sebanyak 25% dan perdarahan belum dapat diatasi. Kehilangan volume darah >40% dapat menyebabkan kematian. Sebaiknya hindari transfusi darah menggunakan darah simpanan yang lebih dari sepuluh hari karena tingginya potensi efek samping akibat penyimpanan.Darah yang disimpan lebih dari 7 hari memiliki kadar kalium yang tinggi, pH rendah, debris sel tinggi, usia eritrosit pendek dan kadar 2,3-diphosphoglycerate rendah. Pertimbangan dalam memutuskan jumlah unit transfusi sel darah merah: Menghitung berdasarkan rumus umum sampai target Hb yang disesuaikan dengan penilaian kasus per kasus. Rumus :Hb normal Hb pasien= hasil.Kemudian hasil x BB x jenis darahKeterangan :

Hb normal = Hb yang diharapkan atau Hb normalHb pasien = Hb pasien saat iniHasil = hasil pengurangan Hb normal dan Hb pasienJenis darah = darah yang dibutuhkan= PRC dikalikan 3= WB dikalikan 6 Menilai hasil/efek transfusi yang sudah diberikan kemudian menentukan kebutuhan selanjutnya.

E. Pelaksanaan Anestesi Setelah pasien memasuki ruang operasi, monitor harus dipasang berdasarkan pada bagaimana cedera yang dialami pasien, status hemodinamik, dan kondisi yang menyertai. Anestesi umum bisanya merupakan teknik yang dipilih, sedangkan pendekatan regional dipersiapkan untuk cidera ekstremitas perifer saja. Tujuan dari anestesi umum adalah pemeliharaan yang adekuat dari ventilasi dan oksigenasi, stebilitas kardiovaskuler, kontrol hipertensi intracranial, normalisasi asam-basa / elektrolit dan pencegahan untuk terjadinya hipotermia dan koagulopati.Obat-obatan yang digunakan :151. Obat Induksia. ThiopentalDeskripsi : thiopental adalah obat golongan barbiturat dengan aksi ultra pendek, mempunyai onset cepat dengan induksi dari hipnosis dan amnesia tapi bukan analgesia, dan tiopental tidak menimbulkan nyeri. Pulih sadar setelah pemberian bolus adalah cepat dan baik, meski pemberian dosis ulangan mungkin menimbulkan akumulasi dan pemanjangan durasi. Depresi jantung dan vasodilatasi dengan hipotensi bisa menjadi berat. Thiopental merupakan pendepresi pernapasan yang poten. Thiopental menurunkan aliran darah ke otak, dan juga menurunkan laju metabolik otak untuk oksigan dan glukosa. Meski demikian, kejadian hipotensi lebih menonjol daripada penurunan konsumsi osksigen, dan sudah seharusnya hipotensi dicegah pada trauma cedera otak.Indikasi : obat induksi, anti kejang, sedatif, pengontrol tekanan intrakranial.Kontraindikasi : Poriphiria.Peringatan: Tiopental menyebabkan hipotensi dan depresi jantung dan harus menjadi peringatan atau pengurangan dosis jika digunakan pada pasien dengan risiko hipovolemia dan atau hipotensi, hipertensi, riwayat penyakit jantung dan pasien tua.Dosis: Dewasa 3-5mg/kg, pediatrik/neonatus 5-6mg/kg. Rute: Intravena.

b. KetamineDeskripsi : ketamine adalah turunan phencyclidine yang menghasilkan aksi cepat anestesia disosiatif, dengan sedasi, amnesia, menghasilkan analgesia dan immobilitas. Mempunyai efek minimal depresi jantung dan meningkatan denyut nadi dan tekanan darah melalui stimulasi sentral simpatis. Induksi dengan ketamine menyebabkan peningkatan hampir 25% tekanan darah arteri. Ketamin merupakan bronkodilator dan mempunyai efek minimal depresi pernapasan. Mempunyai karakteristik meningkatkan sekresi saliva. Ketamine mempunyai efek analgesikIndikasi: obat induksi, analgesia.

Kontraindikasi : pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.Perhatian : Hipotensi mungkin tampak pada pasien yang bergantung pada symphatetic drive-nya, pasien dengan hipertensi dan penyakit jantung, halusinasi dan reaksi emergence biasa terjadi.

Dosis: 1-2mg/kgbb, Rute: intravena.

c. PropofolDeskripsi : putih seperti susu, emulsi alkohol yang menghasilkan onset cepat dengan tanpa analgesik. Dimetabolisme dan diredistribusikan secara cepat sehingga memberikan durasi aksi yang pendek. Propofol merupakan vasodilator poten depresi jantung dengan hipotensi yang tampaksetelah pemberian. Propofol menghasilkan penurunan arterisistemik hampir 30 % pada orang sehat dan lebih drastis lagi pad hipovolemia. Juga pendepresi pernapasan yang poten.Indikasi : agen induksi, sedative.

Kontraindikasi : pasien dengan alergi telur atau susu kedelai.Perhatian: pasien tua, hipovolemia, hipertensi kurangi dosis jika diperlukan, mungkin menyebabkan iritsi vaskular jika diberikan pada vena kecil, campuran emulsi memicu pertumbuhan bakteri dan dianjurkan untuk sekali pemakaian.

Dosis : 1-2,5 mg/kgbb. Rute: intravena

2. Obat Pelumpuh Otota. SuksinilkolinDeskripsi : Merupakan obat pelumpuh otot golongan depolarisasi. Dibentuk oleh kombinasi dua molekul asetilkolin bersama-sama. Ini melepaskan reseptor asetilkolin dari saraf dan menyebabkan saraf menjadi depolarisasi yang tampak sebagai fasikulasi otot. Bukan obat yang kompetitif, sehingga akan menetap sampai di metabolisme oleh enzim kolinesterase plasma. Merupakan obat yang mempunyai aksi ultrapendek hampir kurang lebih 5 menit. Mempunyai onset aksi yang pendek dibanding obat pelumpuh manapun. Efek kardiovaskular minimal, meskipun bradikardi dan aritmia tampak. Fasikulasi dapat menyebabkan peningkatan sementara konsentrasi kalium serum pada pasien normal. Hanya sebagai agen pelumpuh, tidak mempunyai efek sedasi atau analgesi.Indikasi: pelumpuh otot skeletal cepat.Kontraindikasi: pasien dengan defisiensi enzim pseudokolinesterase, pasien riwayat atau riwayat hipertermi maligna, trauma mata penetrasi.Perhatian: Fasikulasi menyebabkan tekanan intraokuler meningkat dan merusak bola mata terbuka; mungkin juga meningkatkan tekanan intrakranial (secara klinis tidak signifikan).

Dosis: 0,3-1,1 mg/kgbb. Rute : intravena. b. RecuroniumDeskripsi : mempunyai onset cepat (60 detik). Onset dan durasi tergantung dosis. Secara umum antara 15-20 menit untuk durasinya. Efek recuronium dilawan dengan pemberian antikolinesterase dimana akan meningkatkan sejumlah asetilkolin pada resptor untuk kompetisi dengan rocuronium. Efek kardiovaskular minimal, mungkin terlihat takikardi. Recuronium mempunyai onset yang diharapkan sehingga menjadi obat pilihan untuk obat RSI ketika suksinilkolin menjadi kontrainsikasi. Jika intubasi gagal dilakukan dan ini menghasilkan keadaan tidak dapat intubasi dan tidak bisa ventilasi, maka hal ini mengapa suksinil tetap menjadi pilihan untuk RSI pada pasien trauma.Indikasi : pelumpuh otot.Perhatian : digunakan dengan perhatian, jika sama sekali, pada pasien dengan kemungkinan intubasi sulit.Dosis: 0,6-1,2 mg/kgbb. Rute: Intravena. 3. Sedatif/Analgesika. MidazolamDeskripsi: Merupakan golongan benzodiazepin, sama seperti diazepam. Penggunaan midazolam untuk induksi intravena memerlukan dosis tinggi yang mempunyai korespondensi dengan efek kardiovaskular yang dramatis. Mempunyai efek pendepresi parnapasan yang baik. Efek dilawan dengan pemberian antagonis flumazenil. Golongan benzodiazepin seharusnya tidak digunakan untuk obat induksi intravena RSI.Indikasi: sedatif

Perhatian : depresi pernapasan mungkin memperburuk tekanan intrakranial. Gunakan pengurangan dosis pada pasien tua dan hipovolemia.Dosis: 0,1-0,3 mg/kgbb. Rute : intravena.

b. FentanylDeskripsi : merupakan analgesik opioid dengan potensi sangat tinggi. 100 kali lebih poten dari morphin. Mempunyai onset cepat dan durasi aksi pendek. Pengaruh pada kardiovaskular relatif stabil dan mendukung tekanan darah. Tidak bersifat mengeluarkan histamin seperti morphin. Biasa terjadi depresi nafas dan tergantung dosis. Memiliki efek sedasi. Efek fentanyl dapat dilawan dengan nalokson.Indikasi: analgesik/sedasi, premedikasi sebelum dilakukan intubasi.Perhatian : Pasien tua, hipovolemia atau pasien dengan obat sedatif lain harus ada pengurangan dosis.Dosis : 1-3 mcg/kgBB. Rute :intravena.

c. LidokainDeskripsi: merupakan anestesi lokal golongan amida. Mekanisme aksi dengan stabilisasi membran dari jaringan saraf melalui penghambatan jalur natrium yang diperlukan untuk penjalaran impuls. Juga digunakan sebagai obat antidisritmia terutama untuk aritmia ventrikel.Indikasi: anestesi lokal, menumpulkan respon hemodinamik pada intubasi, pengobatan aritmia ventrikel.Perhatian : pasien dengan blokade jantung, hipovolemia berat, gagal jantung kongestif.Dosis : 1-2mg/kgbb 3-5 menit sebelum dilakukan intubasi. Rute : intravena, endotracheal.

Tatacara dilakukannya anestesi umum adalah sebagai berikut :1. Dilakukan premedikasi dengan tujuan memberi rasa nyaman pada pasien, memudahkan dan melancarkan induksi, mengurangi jumlah pemberian obat-obat anestesi, menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan, mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung, mengurangi rasa sakit. Obat-obat yang digunakan bisa analgetik narkotik seperti petidin, fentanyl dan morfin, atau analgetik non narkotik seperti ketorolac, tramol, asam mefenamat. Selain itu bisa juga obat-obat hipnotik seperti ketamine dan pentotal, obat-obat sedative seperti midazolam, diazepam, propofol, dan dehydrobenzperidol. Dapat juga diberi anti emetic seperti sulfas atropine, ondansentron dan ranitidine. 2. Setelah dilakukannya premedikasi, ditunggu 3-5 menit apabila premedikasi dilakukan secara intravena, lalu dilakukan induksi, dimana induksi berarti membuat pasien yang tadinya sadar menjadi tidak sadar agar dapat dimulai proses anestesi dan pembedahan. Induksi bisa dilakukan dengan obat-obatan yang telah dibahas diatas. Lihat tanda-tanda vital pasien pada monitor, apabila mengalami penurunan nilai, menandakan bahwa anestesi telah dalam. 3. Segera lakukan preoksigenasi terlebih dahulu dengan tujuan nitrogen di paru dihilangkan, sehingga dapat meningkatkan cadangan O2 dan memungkinkan periode apnea yang lebih panjang. Sehingga pada saat dilakukan intubasi trakea (dimana pasien tidak bernafas) telah tersedia cadangan O2 yang cukup di paru-paru untuk beberapa menit. 4. Masukan laringoskop dari sudut mulut kanan dan gerakkan kea rah kiri sambil mendorong lidah ke kiri setelah itu angkat lidah kedepan atas sampai terlihat epiglottis dan trakea, kemudian masukkan ETT kedalam trakea sampai batas hitam atau sampai balonnya masuk secara keseluruhan.

5. Segera hubungkan ETT dengan dengan mesin anestesi dan cek dengan stetoskop pada dada pasien apakah benar ETT sudah masuk di trakea atau belum. Apabila telah masuk segera kembangkan cuff yang ada pada ETT agar terfiksir pada trakea. Lalu fiksasi ETT bagian luar dengan plester. 6. Pemeliharaan (maintenance) anestesi selanjutnya dengan kombinasi oksigen dan N2O dimana perbandingannya adalah 30 : 70 serta agen inhalasi volatile liquid. Agen inhalasi diantaranya isofluran, sevofluran, dan desfluran. Semua agen volatile menghasilkan penurunan tekanan darah yang tergantung dosis karena ia mempengaruhi tonus vaskuler dan atau curah jantung. Agen yang dipilih harus dititrasi untuk memelihara tekanan aterial rata-rata dan tekanan perfusi serebral. Berikut akan dibahas mengenai farmakologi anestesi inhalasi :Nitrous Oksida (N2O)Merupakan gas yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, lebih berat dari udara, serta tidak mudah terbakar dan meledak (kecuali jika dikombinasikan dengan zat anestetik yang mudah terbakar seperti eter). Gas ini dapat disimpan dalam bentuk cair dalam tekanan tertentu, serta relatif lebih murah dibanding agen anestetik inhalasi lain.

Efek terhadap Sistem Organ

Efek terhadap kardiovaskular dapat dijelaskan melalui tendensinya dalam menstimulasi sistem simpatis. Meski secara in vitro gas ini mendepresikan kontraktilitas otot jantung, namun secara in vivo tekanan darah arteri, curah jantung, serta frekuensi nadi tidak mengalami perubahan atau hanya terjadi sedikit peningkatan karena adanya stimulasi katekolamin, sehingga peredaran darah tidak terganggu (kecuali pada pasien dengan penyakit jantung koroner atau hipovolemik berat). Efek terhadap respirasi dari gas ini adalah peningkatan laju napas (takipnea) dan penurunan volume tidal akibat stimulasi Sistem Saraf Pusat (SSP). N2O dapat menyebabkan berkurangnya respons pernapasan terhadap CO2 meski hanya diberikan dalam jumlah kecil, sehingga dapat berdampak serius di ruang pemulihan (pasien jadi lebih lama dalam keadaan tidak sadar). Efek terhadap SSP adalah peningkatan aliran darah serebral yang berakibat pada sedikit peningkatan tekanan intrakranial (TIK). N2O juga meningkatkan konsumsi oksigen serebral. Efek terhadap neuromuskular tidak seperti agen anestetik inhalasi lain, di mana N2O tidak menghasilkan efek relaksasi otot, malah dalam konsentrasi tinggi pada ruangan hiperbarik, N2O menyebabkan rigiditas otot skeletal. Efek terhadap ginjal adalah penurunan aliran darah renal (dengan meningkatkan resistensi vaskular renal) yang berujung pada penurunan laju filtrasi glomerulus dan jumlah urin. Efek terhadap hepar adalah penurunan aliran darah hepatik (namun dalam jumlah yang lebih ringan dibandingkan dengan agen inhalasi lain). Efek terhadap gastrointestinal adalah adalanya mual muntah pascaoperasi, yang diduga akibat aktivasi dari chemoreceptor trigger zone dan pusat muntah di medula. Efek ini dapat muncul pada anestesi yang lama.

Biotransformasi dan Toksisitas

N2O sukar larut dalam darah, dan merupakan anestetik yang kurang kuat sehingga kini hanya dipakai sebagai adjuvan atau pembawa anestetik inhalasi lain karena kesukarlarutannya ini berguna dalam meningkatkan tekanan parsial sehingga induksi dapat lebih cepat (setelah induksi dicapai, tekanan parsial diturunkan untuk mempertahankan anestesia). Dengan perbandingan N2O:O2 = 85:15, induksi cepat dicapai tapi tidak boleh terlalu lama karena bisa mengakibatkan hipoksia (bisa dicegah dengan pemberian O2 100% setelah N2O dihentikan). Efek relaksasi otot yang dihasilkan kurang baik sehingga dibutuhkan obat pelumpuh otot. N2O dieksresikan dalam bentuk utuh melalui paru-paru dan sebagian kecil melalui kulit.

Interaksi Obat

Kombinasinya dengan agen anestetik inhalasi lain dapat menurunkan MAC agen inhalasi tersebut sampai 50%, contohnya halotan dari 0,75% menjadi 0,29% atau enfluran dari 1,68% menjadi 0,6%.16HalotanMerupakan alkana terhalogenisasi dengan ikatan karbon-florida sehingga bersifat tidak mudah terbakar atau meledak (meski dicampur oksigen). Halotan berbentuk cairan tidak berwarna dan berbau enak. Halotan merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, di mana induksi dan tahapan anestesia dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun setelah anestetik dihentikan. Gas ini merupakan agen anestestik inhalasi paling murah, dan karena keamanannya hingga kini tetap digunakan di dunia.

Efek terhadap Sistem Organ

2 MAC dari halotan menghasilkan 50% penurunan tekanan darah dan curah jantung. Halotan dapat secara langsung menghambat otot jantung dan otot polos pembuluh darah serta menurunkan aktivitas saraf simpatis. Penurunan tekanan darah terjadi akibat depresi langsung pada miokard dan penghambatan refleks baroreseptor terhadap hipotensi, meski respons simpatoadrenal tidak dihambat oleh halotan (sehingga peningkatan PCO2 atau rangsangan pembedahan tetap memicu respons simpatis). Makin dalam anestesia, makin jelas turunnya kontraksi miokard, curah jantung, tekanan darah, dan resistensi perifer. Efek bradikardi disebabkan aktivitas vagal yang meningkat. Efek vasodilatasi yang dihasilkan pada pembuluh darah otot rangka dan otak dapat meningkatkan aliran darah. Efek terhadap respirasi adalah pernapasan cepat dan dangkal. Peningkatan laju napas ini tidak cukup untuk mengimbangi penurunan volume tidal, sehingga ventilasi alveolar turun dan PaCO2. Depresi napas ini diduga akibat depresi medula (sentral) dan disfungsi otot interkostal (perifer). Halotan diduga juga sebagai bronkodilator poten, di mana dapat mencegah bronkospasme pada asma, menghambat salivasi dan fungsi mukosiliar, dengan relaksasi otot maseter yang cukup baik (sehingga intubasi mudah dilakukan), namun dapat mengakibatkan hipoksia pascaoperasi dan atelektasis. Efek bronkodilatasi ini bahkan tidak dihambat oleh propanolol. Dengan mendilatasi pembuluh darah serebral, halotan menurunkan resistensi vaskular serebral dan meningkatkan aliran darah otak, sehingga ICP meningkat, namun aktivitas serebrum berkurang (gambaran EEG melambat dan kebutuhan O2 yang berkurang). Efek terhadap neuromuskular adalah relaksasi otot skeletal dan meningkatkan kemampuan agen pelumpuh otot nondepolarisasi, serta memicu hipertermia malignan. Efek terhadap ginjal adalah menurunkan aliran darah renal, laju filtrasi glomerulus, dan jumlah urin, semua ini diakibatkan oleh penurunan tekanan darah arteri dan curah jantung. Efek terhadap hati adalah penurunan aliran darah hepatik, bahkan dapat menyebabkan vasospasme arteri hepatik. Selain itu, metabolisme dan klirens dari beberapa obat (fentanil, fenitoin, verapamil) jadi terganggu.

Biotransformasi dan Toksisitas

Eksresi halotan utamanya melalui paru, hanya 20% yang dimetabolisme dalam tubuh untuk dibuang melalui urin dalam bentuk asam trifluoroasetat, trifluoroetanol, dan bromida. Halotan dioksidasi di hati oleh isozim sitokrom P-450 menjadi metabolit utamanya, asam trifluoroasetat. Metabolisme ini dapat dihambat dengan pemberian disulfiram. Bromida, metabolit oksidatif lain, diduga menjadi penyebab perubahan status mental pascaanestesi. Disfungsi hepatik pascaoperasi dapat disebabkan oleh: hepatitis viral, perfusi hepatik yang terganggu, penyakit hati yang mendasari, hipoksia hepatosit, dan sebagainya. Penggunaan berulang dari halotan dapat menyebabkan nekrosis hati sentrolobular dengan gejala anoreksia, mual muntah, kadang kemerahan pada kulit disertai eosinofilia. 16IsofluranMerupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Memiliki struktur kimia yang mirip dengan enfluran, isofluran berbeda secara farmakologis dengan enfluran. Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat intravena untuk mempercepat induksi. Tanda untuk mengamati kedalaman anestesia adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta peningkatan frekuensi denyut jantung.

Efek terhadap Sistem Organ

Secara in vivo, isofluran menyebabkan depresi kardiak minimal, curah jantung dijaga dengan peningkatan frekuensi nadi. Stimulasi adrenergik meningkatkan aliran darah otot, menurunkan resistensi vaskular sistemik, dan menurunkan tekanan darah arteri (karena vasodilatasi). Dilatasi juga terjadi pada pembuluh darah koroner sehingga dipandang lebih aman untuk pasien dengan penyakit jantung (dibanding halotan atau enfluran), namun ternyata dapat menyebabkan iskemia miokard akibat coronary steal (pemindahan aliran darah dari area dengan perfusi buruk ke area yang perfusinya baik). Efek terhadap respirasi serupa dengan semua agen anestetik inhalasi lain, yakni depresi napas dan menekan respons ventilasi terhadap hipoksia, selain itu juga berperan sebagai bronkodilator. Isofluran juga memicu refleks saluran napas yang menyebabkan hipersekresi, batuk, dan spasme laring yang lebih kuat dibanding enfluran. Isofluran juga mengganggu fungsi mukosilia sehingga dengan anestesi lama dapat menyebabkan penumpukan mukus di saluran napas. Efek terhadap SSP adalah saat konsentrasi lebih besar dari 1 MAC, isofluran dapat meningkatkan TIK, namun menurunkan kebutuhan oksigen. Efek terhadap neuromuskular adalah merelaksasi otot skeletal serta meningkatkan efek pelumpuh otot depolarisasi maupun nondepolarisasi lebih baik dibandingkan enfluran. Efek terhadap ginjal adalah menurunkan aliran darah renal, laju filtrasi glomerulus, dan jumlah urin. Efek terhadap hati adalah menurunkan aliran darah hepatik total (arteri hepatik dan vena porta), fungsi hati tidak terganggu.

Biotransformasi dan Toksisitas

Isofluran dimetabolisme menjadi asam trifluoroasetat, dan meski kadar fluorida serum meningkat, kadarnya masih di bawah batas yang merusak sel. Belum pernah dilaporkan adanya gangguan fungsi ginjal dan hati sesudah penggunaan isofluran. Penggunaannya tidak dianjurkan untuk wanita hamil karena dapat merelaksasi otot polos uterus (perdarahan persalinan). Penurunan kewaspadaan mental terjadi 2-3 jam sesudah anestesia, tapi tidak terjadi mual muntah pascaoperasi. 16SevofluranSevofluran terhalogenisasi dengan fluorin. Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa. Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat dicapai dalam 1-3 menit.

Efek terhadap Sistem Organ

Sevofluran dapat menurunkan kontraktilitas miokard, namun bersifat ringan. Resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arterial secara ringan juga mengalami penurunan, namun lebih sedikit dibandingkan isofluran. Belum ada laporan mengenai coronary steal oleh karena sevofluran. Agen inhalasi ini dapat mengakibatkan depresi napas, serta bersifat bronkodilator. Efek terhadap SSP adalah peningkatan TIK, meski beberapa riset menunjukkan adanya penurunan aliran darah serebral. Kebutuhan otak akan oksigen juga mengalami penurunan. Efeknya terhadap neuromuskular adalah relaksasi otot yang adekuat sehingga membantu dilakukannya intubasi pada anak setelah induksi inhalasi. Terhadap ginjal, sevofluran menurunkan aliran darah renal dalam jumlah sedikit, sedangkan terhadap hati, sevofluran menurunkan aliran vena porta tapi meningkatkan aliran arteri hepatik, sehingga menjaga aliran darah dan oksigen untuk hati.

Biotransformasi dan Toksisitas

Enzim P-450 memetabolisme sevofluran. Soda lime dapat mendegradasi sevofluran menjadi produk akhir yang nefrotoksik. Meski kebanyakan riset tidak menghubungkan sevofluran dengan gangguan fungsi ginjal pascaoperasi, beberapa ahli tidak menyarankan pemberian sevofluran pada pasien dengan disfungsi ginjal. Sevofluran juga dapat didegradasi menjadi hidrogen fluorida oleh logam pada peralatan pabrik, proses pemaketannya dalam botol kaca, dan faktor lingkungan, di mana hidrogen fluorida ini dapat menyebabkan luka bakar akibat asam jika terkontak dengan mukosa respiratori. Untuk meminimalisasi hal ini, ditambahkan air dalam proses pengolahan sevofluran dan pemaketannya menggunakan kontainer plastik khusus.

Kontraindikasi dan Interaksi Obat

Sevofluran dikontraindikasikan pada hipovolemik berat, hipertermia maligna, dan hipertensi intrakranial. Sevofluran juga sama seperti agen anestetik inhalasi lainnya, dapat meningkatkan kerja pelumpuh otot. 167. Pengawasan Tindakan Anestesi yang wajib di awasi dari pasien adalah tanda tanda vital, ukuran pupil, lakrimasi, kehilangan darah, urin yang keluar, dan cairan yang masuk. Hal lain yang tak kalah penting adalah perlunya pemasangan alat pulse oximetri, monitoring end tidal CO2, ECG, CVP dan temperatur. Mengawasi Fungsi neuromuscular juga sangat membantu untuk pasien tersebut yang tidak dapat bernafassetelah pemberian muscle relaxan.8. Akhir dari pembedahan membutuhkkan perencanaan yang matang, misalnya dengan pemberian atropine dan neostigmin supaya mendapatkan nafas spontan, kemudian suction mulut hingga faring dan lakukan ekstubasi dengan halus dari pasien.

BAB III

KESIMPULAN

Perdarahan intra abdominal adalah suatu kegawatdaruratan dimana biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada abdomen. Trauma pada abdomen biasanya menjadi penyebab yang signifikan terhadap mortalitas dan morbiditas pasien. Diagnosis dini sangat diperlukan untuk penanganan yang optimal. Pelaksanaan pembedahan pada perdarahan intra abdomen akibat trauma abdomen pun biasanya termasuk dalam pembedahan darurat yang dilakukan dengan tujuan life saving. Oleh karena itu, sangat diperlukan penanganan khusus dari bidang anestesi untuk menangani kasus bedah yang darurat. Penanganan anestesi dimulai dari penilaian awal (primary, secondary), manajemen jalan nafas (dimana pasien memiliki resiko tinggi terjadi aspirasi), manajemen ventilasi, manajemen sirkulasi dan shock serta penetalaksanaan anestesi itu sendiri. Anestesi umum sebenarnya memiliki resiko yang lebih besar karena menggunakan agen-agen yang mendepresi nafas, kardiovaskular, dan ssp. Namun, dengan anestesi umum menggunakan mesin anestesi, kita dapat mengatur kadar-kadar agen yang diberikan tersebut sesuai dengan kondisi pasien. Oleh karena itu pengelolaan yang baik pada preoperative dengan pemberian cairan haruslah adekuat, paling tidak untuk memperbaiki keadaan umumnya. DAFTAR PUSTAKA

1. De Jong W, Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, 2005.

2. Richard S. Anatomi Klinik Dasar. Jakarta : EGC, 1997.

3. Gray HFRS. Anatomy of human body. Philadelfia : Lea feniger, 1959, p.669 684.

4. Spalteholz, W. Hand Atlas of Human Antomy, Saventh Edition in English, Vol. I. Bones Joints, Ligaments, Philadelpia dan London Anonymous, page: 429 442.

5. Udeani, J. Abdominal Trauma Blunt. Department of Emergency Medicine, Charles Drew University / UCLA School of Medicine. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1980980-overview. Accessed on June, 23rd 2013.6. Khan, NA. Trauma. Chairman of Medical Imaging, Professor of Radiology, NGHA, King Fahad Hospital, King Abdul Aziz Medical City Riyadh, Saudi Arabia. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/370508-overview. Accessed on June, 23rd 2013.7. Odle, T. Blunt Abdominal Trauma. Available at : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15587615. Accessed on June, 23rd 2013.8. Holevar M. Genitourinary Trauma. Available at : http://www.east.org/resources/treatment-guidelines/genitourinary-trauma-diagnostic-evaluation-of. Accessed on June, 23rd 2013.9. Salomone, J. Blunt Abdominal Trauma. Department of Emergency Medicine, Truman Medical Center, University of Missouri at Kansas City School of Medicine. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1980980-workup. Accessed on June, 23rd 2013.10. Marwan, R. Komplikasi Trauma Abdomen. Available at : http://www.totalkesehatananda.com/internalbleeding3. Accessed on June, 23rd 2013.11. Prasetijo, TB. Tindakan Perioperatif. Available at: http://209.85.175.132/search?q=cache:U8YMT14BAmAJ:202.57.9.147/elib/Arsip/Departemen/Anaestesi/perioperatif.pdf+premedikasi+bedah+darurat&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id. Accessed on June, 23rd 2013.12. Darmawan,I. Analgesi Umum dan Spinal dalam anestesiologi. Jakarta : EGC, 1991. Hal : 171 -189.

13. Lafferty KA. Medications for Rapid Sequence Endotracheal Intubation. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/109739-overview. Accessed on June, 23rd 2013. 14. Zuchradi,TB. Anestesi Untuk Pembedahan Darurat Abdomen. Available From: http://www. kalbe.co.id /files/cdk/files/cdk_033_masalah_anestesi.pdf. June, 23rd 201315. Gunawan SG, Setiabudy RA, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Badan Penerbit FKUI; 2012.

16. Martin JL. Inhaled Anaesthetics : Metabolism and toxicity. In : Millers Anesthesia 7th edition. Miller RA, Eriksson LI, Lee A, Wiener-Kronish JP, Young WL, ed. San Francisco, California : Churcill Livingstone; 2010. p. 633-61.

PAGE 1