referat ttr print.doc
DESCRIPTION
ttrTRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
GRAVE’S OPHTHALMOPATHYDIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANNYA
Disusun oleh :
Dr. Satya Hutama P
Pembimbing :
Dr. A. Kentar Arimadyo, Sp.M
Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Semarang
2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................... 1
BAB 2 PEMBAHASAN ......................................................................... 3
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI
2.1.1 KELENJAR THYROID ........................................... 3
2.1.2 CAVUM ORBITA .....................................................
2.2 PATOGENESIS GRAVES OPHTHALMOPATHY
2.3 DIAGNOSIS GRAVES OPHTHALMOPATHY
2.3.1 GEJALA DAN TANDA
2.3.2 PEMERIKSAAN FISIK
2.3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.4 TATALAKSANA GRAVES OPHTHALMOPATHY
BAB 3 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Kelainan mata yang menyertai hipertiroidisme mempunyai arti penting, karena
sebagian besar penderita kelainan mata akibat tiroid adalah penderita penyakit Graves. Istilah
umum penyakit Graves telah digunakan untuk menyebut hipertiroidisme yang disebabkan
oleh suatu penyakit autoimun. Pada penyakit Graves dapat ditemukan kelainan mata berupa
edema pretibial, kemosis, proptosis, dan clubbing fingers walaupun sangat jarang. Namun
walaupun oftalmopati sering dijumpai bersamaan dengan penyakit Graves, defek respon
imun pada oftalmopati berbeda dengan penyakit Graves. Sasaran respon imun pada
oftalmopati ialah otot ekstra orbital dan mungkin kelenjar lakrimal, sedangkan pada penyakit
Graves ialah sel-sel folikel tiroid.5,13
Istilah oftalmopati mempunyai arti yang luas yaitu mencakup semua kelainan mata
yang dapat menyertai hipertiroidisme. Beberapa istilah dapat dijumpai dalam kepustakaan
sehubungan dengan oftalmopati pada hipertiroidisme seperti oftalmopati tiroid, oftalmopati
Graves, penyakit mata tiroid, dan akhir-akhir ini digunakan juga nama oftalmopati terkait
tiroid (thyroid associated ophthalmopathy). Istilah oftalmopati Graves lebih sering dipakai
oleh karena sebagian dari oftalmopati ditemukan pada penderita Graves. Hanya sebagian
kecil saja dapat dijumpai pada hipertiroidisme non Graves dan pada tiroiditis Hashimoto.5
Studi epidemiologi pada kulit putih Amerika tahun 1996 dengan TED menunjukkan
insidensi pada wanita 16 per 100.000 populasi per tahun, sementara pria 3 per 100.000
populasi /tahun. TED mempengaruhi wanita 6x lebih sering dari pria (86% vs 14%). Insiden
puncak terjadi pada usia 40-44 th dan 60-64 th pada wanita dan 45-49 th dan 65-69 th pada
pria. Umur median saat didiagnosis TED adalah 43 tahun. Perokok tujuh kali lebih beresiko
TED.15
1
Tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien oftalmopati Graves dapat bervariasi,
tergantung kepada stadiumnya. Awalnya pada stadium akut atau subakut akan ditemukan
tanda-tanda inflamasi, barulah setelah itu timbul tanda dan gejala lain yang menyertai sesuai
dengan stadium yang mengenai pasien, umumnya akan ditemukan fibrosis.
Sebagian besar penderita Graves akan mengunjungi ahli penyakit dalam karena
keluhan kardiovaskuler, sebagian lain ke ahli bedah atau ahli THT karena keluhan benjolan
di leher yang jelas, dan sebagian lagi akan mengunjungi ahli mata akibat kelainan mata
khususnya eksoftalmus. Mengingat hal itu, maka sudah selayaknya apabila oftalmopati
Graves harus dikenal, dari bentuk yang paling ringan sampai yang terberat.1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI
2.1.1 KELENJAR THYROID
Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4 - 4 cm, yaitu pada
akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid berasal dari lekukan faring antara
branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum,
kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami migrasi ke bawah,
akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus
tiroglossus, berawal dari foramen sekum di basis lidah. Pada umumnya duktus ini
akan menghilang pada usia dewasa, tetapi pada beberapa keadaan masih menetap,
sehingga dapat terjadi kelenjar di sepanjang jalan tersebut, yaitu antara kartilago
tiroid dengan basis lidah. Kegagalan menutupnya duktus akan mengakibatkan
terbentuknya kelenjar tiroid yang letaknya abnormal yang disebut persistensi
duktus tiroglossus11.
Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri atas dua lobus, yang
dihubungkan oleh isthmus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Kapsul fibrosa
menggantungkan kelenjar ini pada fasia pratrakea sehingga pada setiap gerakan
menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya kelenjar ke arah kranial, yang
merupakan ciri khas kelenjar tiroid. Sifat inilah yang digunakan di klinik untuk
menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tiroid
atau tidak.
Setiap lobus tiroid yang berbentuk lonjong berukuran panjang 2,5-4 cm, lebar
1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Pada orang dewasa beratnya berkisar antara 10-20
gram.Vaskularisasi kelenjar tiroid terdiri dari9 :
A.tiroidea superior berasal dari a. karotis komunis atau a. karotis eksterna
A. tiroidea inferior dari a. Subclavia
Sedangkan sistem vena berasal dari pleksus perifolikular yang menyatu di
permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior. Aliran darah ke
kelenjar tiroid diperkirakan 5 ml/gram kelenjar/ menit; dalam keadaan
hipertiroidisme aliran ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop terdengar
bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar9,11.
Gambar 1. Glandula Thyroid
Secara fungsional glandula thyroid terbagi dua bagian. Parafollicular (C) cell
mensekresi calcitonin dan tidak berperan dalam fisiologi thyroid. Thyroid folikel
terbentuk dari sel epitel selapis yang membungkus koloid, yang terdiri dari
thyroglobulin, tempat penyimpanan hormon T3 dan T4.
T4 (thyroxine) adalah produk sekret utama gland thyroid mengandung 4 atom
iodine.Deiodinisasi T4 yang terjadi di hepar dan ginjal, meningkatkan T3 –
triiodithyronin, hormon thyroid aktif metabolit. Hormon tiroid mengandung 59-
65% elemen yodium. Hormon T4 dan T3 berasal dari iodinasi cincin fenol residu
tirosin yang ada di tiroglobulin. Proses biosintesis hormon tiroid secara skematis
dapat dilihat dalam beberapa tahap, sebagian besar distimulir oleh TSH, yaitu11,12:
a. Tahap trapping ( penangkapan iodida )
b. Tahap oksidasi iodida menjadi iodium
c. Tahap organifikasi iodium menjadi monoiodotirosin dan diiodotirosin
d. Tahap penggabungan prekursor yang teriodinisasi
e. Tahap penyimpanan
f. Tahap pelepasan hormon
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4
endogen mengalami konversi lewat proses monodeiodinasi menjadi T3. Jaringan
yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan (konversi) ini ialah jaringan
hati, ginjal, jantung dan hipofisis. 80% serum T3 dibentuk dari deiodinisasi,sisanya
disekresi oleh thyroid. Hanya sedikit hormon yang beredar di plasma (0,02% total
T4 dan 0,3% total T3); sisanya terikat oleh thyroxine-binding globulin (TBG),
transthyretin, dan albumin.
Fungsi tiroid berhubungan dengan hipotalamus, hipofise, dan aktifitas thyroid.
Thyrotropin releasing hormon (TRH) disekresi hipotalamus, menyebabkan sintesis
dan pelepasan TSH dari hipofise anterior. TSH menstimulasi thyroid melepas T4
dan T3. T4 dan T3 menghambat pelepasan TSH dan TSH response ke TRH di
hipofise.
Peranan hormon thyroid adalah regulasi metabolisme sintesis protein di
jaringan. Perkembangan SSP normal membutuhkan hormon tiroid selama 2 tahun
pertama kehidupan. Hipotiroid kongenital menyebabkan retardasi mental
ireversibel (cretinisme). Pertumbuhan normal dan pematangan tulang juga
membutuhkan hormon yang cukup12.
Gambar 2. Regulasi Hormon Tiroid
Efek Metabolik Hormon Tiroid
Kalorigenik
Termoregulasi
Metabolisme protein
Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam dosis besar
bersifat katabolik.
Metabolisme karbohidrat
Bersifat diabetogenik, karena resorpsi intestinal meningkat, cadangan
glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis dan
degradasi insulin meningkat.
Metabolisme lipid
Meskipun T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan ekskresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat,
sehingga pada hiperfungsi tiroid kolesterol rendah. Sebaliknya pada
hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat2,6.
Efek Fisiologis Hormon Tiroid
Pertumbuhan fetus
Efek pada konsumsi oksigen, panas, dan pembentukan radikal bebas
Kedua peristiwa diatas dirangsang oleh T3 lewat Na+K+ATPase di semua
jaringan kecuali otak, testis dan limpa. Metabolisme basal meningkat.
Hormon tiroid menurunkan kadar superoksida dismutase hingga radikal
bebas anion superoksida meningkat.
Efek kardiovaskular
T3 menstimulasi: a) transkripsi miosin hc-β akibatnya kontraksi otot
miokard menguat. b) transkripsi Ca2+ ATPase di retikulum sarkoplasma
meningkatkan tonus diastolik. c) mengubah konsentrasi protein G, reseptor
adrenergik, sehingga akhirnya hormon tiroid ini mempunyai efek
yonotropik positif. Secara klinis terlihat sebagai naiknya curah jantung dan
takikardia.
Efek simpatik
Karena bertambahnya reseptor adrenergik-beta miokard, otot skelet, lemak
dan limfosit, efek pasca reseptor dan menurunnya reseptor adrenergik alfa
miokard, maka sensitivitas terhadap katekolamin amat tinggi pada
hipertiroidisme dan sebaliknya pada hipotiroidisme.
Efek hematopoetik
Kebutuhan akan oksigen pada hipertiroidisme menyebabkan eritropoiesis
dan produksi eritropoetin meningkat.
Efek gastrointestinal
Pada hipertiroidisme motilitas usus meningkat. Kadang ada diare. Pada
hipotiroidisme terjadi obstipasi dan transit time gaster melambat.
Efek pada skelet
Hipertiroidisme dapat menyebabkan osteopenia. Dalam keadaan berat
mampu menghasilkan hiperkalsemia dan hiperkalsiuria
Efek neuromuskuler
Turn-over yang meningkat juga menyebabkan miopati. Kontraksi serta
relaksasi otot meningkat (hiperrefleksia)2,6.
2.1.2 CAVUM ORBITA
Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang
membentuk dinding orbita. Volume orbita dewasa kira-kira 30 cc dan bola mata
hanya menempati sekitar 1/5 bagian ruangannya. Lemak dan otot menempati
bagian terbesarnya. Perdarahan berasal dari A.Ophthalmica yang bercabang
menjadi : 1. Cabang menuju otot ekstraokuler, 2. A.Retina Sentralis, 3.
A.Ciliaris Posterior.
Mata terletak didalam 2 rongga orbita, dgn volume sekitar 30cm3 berbentuk
seperti buah pir,dengan nervus opticus diibaratkan tangkainya. Pintu masuk
orbita berkisar 35mm diameter vertikal & 45mm diameter horizontal. Pada
orang dewasa, kedalaman orbita bervariasi dari 40-45mm dari apertura sampai
apex orbita3.
Tujuh tulang yang membentuk rongga orbita :
1. Frontal
2. Zygomatic
3. Maxilla
4. Ethmoid
5. Sphenoid
6. Lacrimal
7. Palatine
Atap Orbita
Disusun oleh Os. Frontalis dan alla minor Os.Sphenoid
Bangunan yang penting adalah fossa glandula lacrimalis terdapat lobus orbital
dari glandula lacrimalis ; fossa untuk trochlea dari tendo oblique superior 5mm
dibelakang rima orbita superior nasal dan supraorbital notch / foramen yang
menjadi saluran vasa supraorbital dan cab.N frontalis
Dinding Lateral Orbita
Disusun oleh Os. Zygomaticus dan alla mayor Os.Sphenoid
Bangunan yang penting adalah tuberculum of Whitnall, tendon cantus lateral,
check ligament rectus lateral, ligamentum Lockwood dan Whitnall, dan sutura
frontozygomatic 1cm diatas tuberculum. Dinding lateral orbita adalah dinding
yang paling tebal.
Dinding Medial Orbita
Disusun oleh Os.Ethmoid, Os.Lacrimalis,Os.Maxilla, dan Os.Sphenoid
Bangunan yang penting adalah sutura frontoethmoid yang merupakan pintu
masuk arteri ethmoid anterior dan posterior. Terdapat lamina papyracea,
dinding paling tipis yang membatasi Sinus Ethmoid dan Os. Maxilla.
Dasar Orbita
Disusun oleh Os.Maxilla, Os.Palatina,dan Os.Zygomatic
Bangunan yang penting adalah Infraorbital groove dan infraorbital canal yang
berisi arteri infraorbital dan cabang maxillaris dari N.Trigeminus3,5.
Gambar 3. Cavum Orbita
Otot- Otot Ekstraokuler
Terdiri atas :
1. M.rectus : medial, lateral, superior, inferior
2. M.oblique : superior, inferior
3. M.levator palpebrae superioris
Gambar 4.Otot-otot ekstraoculer
Muscle Origin Insertion Blood supply SizeMedial rectus
Inferior rectus
Lateral rectus
Superior rectus
Superior oblique
Annulus of Zinn
Annulus of Zinn at orbital apex
Annulus of Zinn spanning the superior orbital fissure
Annulus of Zinn at orbital apex
Medial to optic foramen,between
Medially,in horizontal meridian 5,5 mm from limbus
Inferiorly,in vertical meridian 6,5 mm from limbus
Laterally,in horizontal meridian 6,9 mm from limbus
Superiorly,in vertical meridian 7.7 mm dari limbus
To trochlea,through
Inferior muscular branch of ophthalmic artery
Inferior muscular branch of ophthalmic artery & intraorbital artery
Lacrimal artery
Superior muscular branch of ophthalmic artery
Superior muscular
40.8mm long;tendon : 3.7mm long,10.3mm wide
40mm long;tendon : 5.5mm long,9.8 mm wide
40.6mm long;tendon : 8 mm long,9.2 mm wide
41.8mm long;tendon : 5.8 mm long,10.6 mm wide
40mm long;tendon : 20
Inferior oblique
Annulus of Zinn and periorbita
From a depression on orbital floor near orbital rim
pulley, at orbital rim,then hooking back under superior rectus, inserting posterior to center of rotation
Posterior inferior temporal quadrant at level of macula; posterior to center of rotation
branch of ophthalmic artery
Inferior branch of ophthalmic artery and infraorbital artery
mm long,10.8 mm wide
37mm long;tendon : 9.6 mm wide
Inervasi Otot Ekstraokular
M.rectus lateral diinervasi CN VI (abducens), M.Oblique superior
diinervasi CN IV (trochlear), levator palpebra superior,rectus superior,rectus
medial,rectus inferior, dan oblique inferior diinervasi oleh CN III. CN III
punya cabang superior dan inferior : cabang superior menginervasi levator
palpebra superior dan M.rectus superior, dan cabang inferior menginervasi
rectus medial,rectus inferior, dan oblique inferior5.
Struktur Periorbita
Hidung dan Sinus Paranasal
Tulang orbita berbatasan dengan cavum nasi dan sinus paranasal. Sinus
berguna untuk mengurangi berat tulang tengkorak, atau berfungsi sebagai
resonator suara. Proses patologis di tempat ini secara sekunder dapat
mempengaruhi orbita termasuk sinonasal carcinoma, inverted papiloma,
Zygomycoses,Wegener Granulomatosis, dan Mukokel seperti sinusitis yang
dapat menyebabkan selulitis atau abses orbita3,5.
Gambar 5. Sinus Paranasal
2.2 PATOGENESIS GRAVES OPHTHALMOPATHY
Sampai akhir dekade ini, fokus riset in vitro bergeser dari ekstraocular
muscle/myocytes menuju ke orbital fibroblast sebagai target utama dari proses
inflamasi terkait dengan TED. Orbital fibrobalst memegang peranan dalam mengatur
proses inflamasi. Tidak seperti fibroblast dari bagian tubuh lainnya, orbital fibroblast
mengekspresikan reseptor CD40 , umumnya terdapat dalam sel B. Ketika dirangsang
oleh T-cell bound CD154, beberapa fibroblast proinflamatory gen akan aktif,
termasuk interleukin (IL-6), IL-8, dan prostaglandin E-2 PGE2 yang menyebabkan
sintesis hyaluronan dan glikosaminoglikan (GAG) meningkat. Peningkatan regulasi
sintesis GAG dianggap penting dalam patologi TED, dan itu terjadi 100x lipat pada
fibroblast orbita dibanding fibroblast abdomen.Regulasi ini ditekan melalui pemberian
kortikosteroid dosis terapi.
Peranan TSH-R dalam proses ini juga diperiksa intensif. Ekspresi TSH-R dapat
terjadi pada semua sel tubuh. Respon orbital fibroblast terhadap TSH-R bisa jadi
karena up-regulation TSH-R mRNA sintesis pada populasi sel ini. Sinyal melalui
reseptor ini pada orbital fibroblast menyebabkan adipogenesis,memacu ekspansi
kompartemen lemak orbita yang terlihat pada pasien TED15.
Studi terbaru juga mengidentifikasi adanya peran IgG yang mengenali dan
mengaktifkan reseptor insulin-like growth factor I yang ada di permukaan
bermacam-macam sel,termasuk fibroblast.Antibodi jenis ini banyak ditemukan pada
pasien Graves disease dan bisa menyebabkan orbital patogenesis dengan
merangsang orbital fibroblast untuk mengeluarkan glycosaminoglycan,cytokin,dan
chemoattractants.Respon ini mungkin bisa menyebabkan inflamasi dan kongesti
orbital. Memanipulasi jalur ini dengan agen biologi seperti rituximab baru-baru ini
menunjukkan strategi terapi yang menjanjikan sebagai terapi pasien dengan TED
yang severe15. Secara spesifik, TED melibatkan reaksi autoimun organ spesifik
dimana Ig G menyebabkan perubahan7 :
1. Inflamasi otot extraocular
Pleomorphic cellular infiltration, berhubungan dengan peningkatan sekrresi
glycosaminoglycan dan imbibisi osmotic air. Otot membesar, dan bisa menekan
N2.Degenerasi serat otot menyebabkan fibrosis, yang menyebabkan restrictive
myopathy dan diplopia
2. Infiltrasi sel radang
Limfosit,plasma sel,makrofag, mast sel jaringan inteerstisial, lemak orbita,dan
gland lacrimal dengan akumulasi glycosaminoglycan dan retensi cairan.
Volume orbita meningkat dan TIO naik sekunder.
Gambar 6. Skema Patogenesis Graves Ophthalmopathy
2.3 DIAGNOSIS GRAVES OPHTHALMOPATHY
2.3.1 MANIFESTASI KLINIS
Gejala
Dekade 3-4 dengan penurunan Berat badan tetapi nafsu makan baik, peningkatan
bowel frequency, berkeringat, heat intolerance, nervousness, irritability, palpitasi,
weakness, dan fatigue7,8
Tanda
a. External
Pembesaran tiroid difus, fine hand tremor, palmar erythema, keringat dingin,
clubbing fingers dan onycholysis (plummer nails), pretibial myxoedema –
dermopathy infiltratif ditandai peningkatan plaque pada sisi anterior kaki
meluas sampai dorsum pedis.
b. Kardiovaskular
Sinus tachycardi, atrial fibrilasi, premature ventricle beats, dan high output
heart failure
Manifestasi Klinis pada Mata7,8
1. Soft Tissue Involvement
Gejala dapat berupa grittiness, photophobia, lacrimasi, retrobulbar discomfort.
Didapatkan tanda-tanda epibulbar hyperemia yang merupakan tanda inflamasi;
Periorbital edema dibelakang septum orbita, berhubungan dengan kemosis
dan prolaps lemak retroseptal ke kelopak mata; Superior limbic
keratoconjungtivitis
Prinsip penanganan dengan Lubricants untuk melindungi ocular surface, anti
inflamasi topikal (steroid,NSAID,Cyclosporin), head elevation utk mencegah
periorbiutal edema, Eyelid taping untuk mengurangi exposure
2. Lid retraction
Disebabkan oleh :
1. Fibrotic contractur : pada M.Levator berhubungan dengan adhesi pada
orbital tissue, Fibrosis M.Rectus Inferior bisa menyebabkan retraksi
2. Overaksi sekunder superior rectus complex : sebagai respon hypotropia
karena fibrosis rectus inferior. Retraksi palpebra inferior bisa karena
overaksi rectus inf karena fibrosis rectus superior
3. Overaksi M.Muller : overstimulasi simpatis karena kadar hormon
meningkat
Tanda :
Normalnya upper 2mm dari limbus, lid retraction bila ada scleral show.
1. Dalrymple sign : retraksi palpebra pada keadaan ortoforia
2. Kocher sign : disebut sebagai penampakan memandang ketakutan, yang
timbul saat fiksasi pada satu objek
3. Von Graefe sign : Palpebra superior tak dapat mengikuti gerak bola mata,
bila penderita melihat ke bawah. Palpebra superior tertinggal dalam
pergerakannya
3. Proptosis
Proptosis timbul akibat pergeseran bola mata kedepan akibat peningkatan
volume orbita yang dikelilingi oleh struktur keras berupa tulang. Proptosis
dapat aksial, unilateral atau bilateral, simetris atau asimetris yang timbul pada
sekitar 80% penderita Grave’s oftalmopati dan sering permanent. Proptosis
yang berat dapat menyulitkan penutupan palpebra.
4. Neuropati optik
Neuropati optik disebabkan oleh kompresi nervus optik ataupun aliran darah
yang memperdarahi nervus optic pada apex orbita oleh kongesti. Penekanan
ini, yang dapat timbul tanpa adanya proptosis yang bermakna. Gejalanya dapat
berupa kegagalan pada visus sentral. Oleh karena itu keadaan atau visus pasien
harus sering dikontrol.
5. Miopati restriktif
Motilitas okular terbatas diawali oleh udem inflamasi dan berakhir dengan
fibrosis. Tekanan intraokular dapat meningkat pada pandangan keatas akibat
dari kompresi okular oleh m.rectus inferior yang fibrosis dan dapat timbul
glaukoma akibat penurunan aliran vena episklera. Tandanya dapat berupa
gangguan pergerakan mata berdasarkan frekuensi yang tersering yaitu
elevasi, abduksi, depresi, dan adduksi7,8.
Gambar 7. Manifestasi Klinis Graves Ophthalmopathy
2.3.2 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan mata dapat dilakukan mulai dari visus, slit lamp, funduskopi,
tonometri, eksoftalmometer, dimana normal penonjolan mata sekitar 12-20 mm.
Selain itu dapat pula dilakukan tes lapangan pandang1.
Protrusi dari mata merupakan gejala klinik yang penting dari penyakit mata.
Eksoftalmometer Hertel adalah sebuah alat yang telah diterima secara umum
untuk menilai kuantitas proptosis. Eksoftalmometer adalah alat yang dipegang
tangan dengan dua alat pengukur yang identik (masing-masing untuk mata satu),
yang dihubungkan dengan balok horizontal. Jarak antara kedua alat itu dapat
diubah dengan menggeser saling mendekat atau saling menjauh, dan masing-
masing memiliki takik yang tepat menahan tepi orbita lateral. Bila terpasang
tepat, satu set cermin yang terpasang akan memantulkan bayangan samping
masing-masing mata di sisi sebuah skala pengukur, terbagi dalam milimeter2,6.
Jarak dari kornea ke tepian orbita biasanya berkisar dari 12 sampai 20 mm, dan
ukuran kedua matanya biasanya berselisih tidak lebih dari 2 mm. Jarak yang lebih
besar terdapat pada eksoftalmus, bisa unilateral atau bilateral2,6.
Gambar 8. Exophthalmometer Hertel
2.3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium12
Serum T4
Total serum T4 terdiri dari 2 bagian : fraksi ikatan protein dan free hormon. Levet
T4 total bisa berubah akibat perubahan tingkat TBG, sementara eutiroid kadar T4
tetap normal. TBG dan T4 meningkat pada kehamilan dan kontrasepsi oral,
sementara T4 free tetap normal.TBG dan T4 rendah menunjukkan penyakit kronis,
malnutrisi protein, hepatic failure, pemakaian glucocorticoid.
Laboratorium menilai T4 dengan radioimmunoassay. T4 free dihitung dengan
multiplikasi T4 dengan uptake resin T3.
Serum T3
T3 tidak merefleksikan fungsi glandula tiroid karena :
1. T3 bukan produk sekresi utama tiroid
2. Karena banyak faktor bisa mempengaruhi T3 seperti nutrisi,medikasi, dan
mekanisme regulasi enzim yang mengubah T4 jadi T3
T3 level diindikasi pada pasien T3 thyrotoxicosis, dimana T4 dan free T4 normal
tetapi T3 meningkat
Serum TSH
TSH disekresi oleh hipofise memiliki mekanisme negative feedback oleh serum T4
ddan T3. TSH meningkat pada hypotiriod dan turun pada hipertiroid. Serum TSH
menrupakan indikator disfungsi thyroid.
Konsentrasi TSH sangat rendah sehingga cukup sulit menentukan TSH normal atau
turun. Dalam tahun terakhir, sudah bisa didteksi penurunan 0,005 mU/L cukup
untuk membedakan kondisi normal atau abnormal. TSH test berguna untuk :
1. Screening penyakit tiroid
2. Memonitor terapi pengganti pasien hipotiroid (berubah setelah 6-8 minggu
3. Monitor terapi supresif untuk nodul tiroid atau kanker.
Serum Thyroid hormone-binding Protein Test
Konsentrasi TBG diukur dengan immunoassay. Namun, kurang penting untuk
mengetahui level TBG pada klinis.
Radioactive iodine uptake
Test selama 24 jam untuk mengukur kemampuan tiroid untuk memproduksi satu
dosis radioactive iodine, radioactive iodine uptake (RAIU) tidak selalu
akurat.RAIU digunakan untuk pasien hyperthyroid disebabkan oleh Graves disease
(RAIU >30-40%) toxic nodular goiter (normal)atau subakut tiroiditis (<2-4%)
Test for antithyroid antibodi
Antibodi penyakit tiroid bisa ditemukan dalam darah. Yang umum thyroid
microsomal antibody 95% Hashimoto, 55% Graves disease, 10% pada dewasa
tanpa penyakit tiroid.Kemudian juga ditemukan antibodi thyroglobulin. Pasien
Graves memliki antibodi pada TSH reseptornya.Menstimulus thyriod hormon.
Serum level thyroid-stimulating immunoglobulin dan hilangnya antithyroproxidase
antibody merupakan faktor resiko Graves ophthalmopathy12.
CT Scan16
CT scan mampu memberikan visualisasi yang baik dari otot ekstraokuler dan
lemak intraconal, begitu juga apex orbita. Pembesaran otot terjadi hampir
bersamaan pada badan otot, dan penebalan biasanya lebih dari 4 mm.Insersi otot
biasanya tidak membesar. Perlu diperhatikan apex orbita untuk mengetahui bukti
kompresi nervus opticus, yang teridentifikasi pada potongan coronal. Derajat
proptosis sehubungan dengan dinding lateral orbita bisa diukur dengan CT Scan.
Scan struktur tulang orbita dan sinus disekitarnya dilakukan bila akan dilakukan
orbital decompression. Penambahan lemak intraconal juga dapat berakibat
proptosis.
Gambar 9. Potongan axial menunjukkan pembesaran badan otot extraocular tanpa keterlibatan tendo otot
Gambar 10. Potongan coronal menunjukkan pembesaran otot extraocular didalam orbita
Gambar 11. Potongan sagital menunjukkan penambahan lemak intraconal serta pembesaran ringan otot extraoculer
Akurasi cukup tinggi, untuk menegakkan diagnosis thyroid ophthalmopathy. USG
orbita juga memiliki akurasi tinggi serta lebih hemat dan mudah,membuat USG
lebih dipilih ketika dibutuhkan visualisasi serial. Tidak jarang dapat terjadi
misinterpretasi karena orbital myositis juga mirip thyroid ophthalmopathy. Kondisi
ini sering unilateral, dan insersi tendo otot ekstraoculer juga membesar. Tumor
metastasis otot ekstraokuler juga mirip TED, walaupun lesinya biasanya
berhubungan dengan metastasis tulang atau orbita. Namun, etiologi lain perlu
dipertimbangkan apabila ditemukan pembesaran M.Rectus Lateral saja, karena hal
itu hampir tidak pernah ada pada Thyroid Orbitopathy.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI juga memberikan gambaran yang baik dari otot ekstraokuler. Jumlah lemak
dan gambaran Nervus Opticus juga lebih baik dari CT Scan. Pembesaran otot
biasanya isointense pada T1-weighted image dan isointense sampai minimal
hiperintense pada T2-weighted image. Intensitas tinggi pada otot extraoculer di T1
jarang terlihat,yang menunjukkan adanya infiltrasi lemak. Penemuan ini dapat
membedakan thyroid orbitopathy dari pseudotumor.
Gambar 12. MRI axial menunjukkan pembesaran massa otot
Gambar 13. MRI Axial menunjukkan pembesaran M.rectus Inferior
Gambar 14. MRI Coronal menunjukkan pembesaran M.Rectus Inferior kanan
Gambar 15. MRI Corona menunjukkan penjepitan (crowding) N.Opticus akibat pembesaran Otot Ekstraoculer
Ultra Sonografi
USG Orbita sangat baik untuk diagnosis, dan temuan khas biasanya hiperrefleksi
otot ekstraocular yang membesar. Insersi tendo juga dapat dilihat dengan mudah.
Gambar 16. USG B-Scan menunjukkan pembesaran M.Rectus Medial serta visualisasi insersi tendo
Gambar 17. USG A-scan yang menunjukkan refleksi sedang sampai tinggi dari otot ekstra ocular
Orbital myositis juga menyerupai thyropid orbitopathy. Tetapi insersi tendo juga ikut membesar.Hal itu yang membedakan dari thyroid ophthalmopathy16.
2.3.4 DIAGNOSIS
Diagnosis Graves Ophthalmopathy ditegakkan apabila memenuhi 2 dari 3
tanda yang meliputi5 :
1. Riwayat pengobatan disfungsi Tiroid yang meliputi salah satu dari
penyakit dibawah ini :
a. Graves hyperthyroidism
b. Hashimoto thyroiditis
c. Adanya thyroid antibodi vaskuler tanpa ditemukan distiroid : TSH-r
(TSH-reseptor) antibodi, Thyroid binding Inhibitory
Immunoglobulins (TBII), Thyroid stimulating Immunoglobulins
(TSI), dan antimicrosomal antibody.
2. Tanda Orbita Tipikal :
a. Retraksi palpebra unilateral atau bilateral
b. Proptosis unilateral atau bilateral
c. Restrictive strabismus dalam pola tertentu
d. Compressive optic neuropathy
e. Edema palpebra / eritema
f. Kemosis / edema caruncular
3. Bukti radiografis berupa pembesaran fusiform unilateral/bilateral satu
atau lebih dari :
a. M. Rectus Inferior
b. M. Rectus Medial
c. M.Rectus Superior
d. M.Rectus Lateral
Bila hanya ditemukan tanda-tanda orbita, sebaiknya diobservasi untuk
kemungkinan penyakit orbita yang lain atau evaluasi perkembangan distiroid.
Selain kriteria diatas, didapatkan sistem klasifikasi lain yaitu14 :
The Mourits Classification System to Access Disease Activity in Graves
Ophthalmopathy14
Pain
Painfull,oppresive feeling on or behind globe
Pain on attempted up,side, or down gaze
Redness
Redness of the eyelids
Diffuse redness of the conjunctiva
Swelling
Chemosis
Swollen caruncle
Edema of the eyelids
Increase in proptosis of 2mm or more over a period of 1-3 months
Impaired function
Decrease in visual acuity of one or more lines of the Snellen chart (using a
pinhole) during a period of 1-3 months
Decrease of the eye movement in any direction equal to or more than 5
degrees during a period of 1-3 months
Sistem ini berdasarkan dari tanda-tanda inflamasi ( dolor, rubor, tumor, kalor,
functio laesa ). Untuk setiap tanda yang muncul,bernilai satu poin. Jumlah
keseluruhan poin menunjukkan derajat aktivitasnya.
Klasifikasi lainnya yaitu NOSPECS yang diperkenalkan oleh Dr.Sidney C.
Werner tahun 1963, yang diperbarui oleh American Thyroid Association
(ATA). Klasifikasi ini juga dikenal sebagai klasifikasi ATA1,2.
Detailed classification of eye changes of Graves Disease (Modified 1977)
0 No physical signs or symptoms
I Only Signs
II Soft-tissue involvement with symptoms and signs
o Absent
a Minimal
b Moderate
c Marked
III Proptosis ≥ 3 mm in excess of upper normal limit, with/without symptoms
o Absent
a 3-4 mm increase over upper normal
b 5-7 mm increase
c 8 or more mm increase
IV Extraocular muscle involvement,usually with diplopia,other symptoms/sign
o Absent
a Limitation of motion, at extreme gaze
b Evident restriction of motion
c Fixation of globe or globes
V Corneal involvement (primarity due to lagophthlmos)
o Absent
a Stippling or cornea
b Ulceration
c Clouding, necrosis, perforation
VI Sight lost caused by optic nerve involvement
o Absent
a Disc pallor or choking, or visual field defect acuity 20/20 to 20/60
b Same, acuity 20/70 to 20/200
c Blindness (failure to perceive light), acuity less than 20/200
2.3.5 Diagnosis banding16
1. Pseudotumor Orbita
Terdapatnya nyeri yang lebih hebat dan progresifitasnya cepat. Pseudotumor
orbital lebih sering proptosis dibandingkan retraksi palpebra, dan lebih sering
hanya terdapat penebalan m.rectus lateralis.
2. Myositis Orbital
Merupakan penyakit inflamasi otot ekstraokular yang disertai dengan nyeri dan
diplopia. Penyakit ini menyebabkan restriksi pergerakan pada otot yang terkena.
Biasanya penyakit ini tidak dikaitkan dengan penyakit sistemik, namun
keabnormalitas tiroid harus disingkirkan. Pada CT-Scan dan MRI didapatkan
penebalan otot ekstraokular disertai penebalan tendon yang tidak ditemukan
pada Grave’s oftalmopati.
2.4 Tatalaksana Graves Ophthalmopathy
TED self limiting disease sekitar 1 tahun pada bukan perokok dan 2-3 tahun
pada perokok. Reaktivasinya terjadi pada 5-10% kasus.Treatment TED tergantung
dari gejala,pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang. Sebagian besar pasien
TED hanya membutuhkan terapi suportif, meliputi topikal eye lubricant. Pada kasus
tertentu cyclosporine topikal mampu menurunkan inflamasi ocular surface.
Mengubah life style seperti diet rendah garam mampu menurunkan retensi air dan
orbital edema. Tidur dengan kepala tempat tidur naik mengurangi retensi cairan di
orbita. Pemakaian kacamata menurunkan dry eye dan fotofobia. Bila ada diplopia
gunakan prisma.
Bila inflamasinya parah, mungkin perlu intervensi untuk mencegah corneal
exposure, globe subluxation,atau optic neuropathy. Terapi ditujukan untuk
menurunkan kongesti dan inflamasi orbita melalui pemakaian periocular
kortikosteroid, atau jika respon tak adekuat, digunakan Kortikosteroid sistemik atau
periocular radiotherapi atau memperluas volume orbita dengan operasi orbital
decompresion. Hypertiroid diobati dengan antitiroid. Bila tidak berespon, dilakukan
radioactive iodine (RAI) sebagai modalitas terapi.
Beberapa pasien diterapi Kortikosteroid oral, walaupun ini adalah strategi
untuk pasien resiko tinggi, pemakaian dosis moderat prednisone 1mg/kg selama 3
bulan, selama itu thyroid gland mengecil, tapi tidak indikasi untuk resiko rendah.
Terapi I-131, methamizole, dan thyroxine mampu mencegah eksaserbasi.
20% pasien TED menjalani operasi (7% orbital decompression, 9% operasi
strabismus,13% operasi kelopak mata. Operasi bisa ditunda sampai penyakitnya
stabil. Kecuali keadaan darurat untuk menghambat kehilangan visus karena
kompresi neuropati optik atau corneal exposure . Operasi elektif dilakukan sampai
euthyroid dan tanda ophthalmologi stabil selama 6-9 bulan.
Kortikosteroid oral Prednisone 1 mg/kg selama 2-4 minggu sampai ada
perbaikan klinis. Dosis kemudian diturunkan berdasar respon klinis dari fungsi
nervus opticus. Pada keadaan yang parah atau progress cepat perlu dipertimbangkan
dengan Metil prednisolone iv. Liver Function Test perlu dilakukan sebelum dan
selama pemberian karena ada hubungan hepatotoxicity utk obat ini. Walaupun
efektif merehabilitasi kompresi Nervus Opticus, tetapi kortikosteroid dosis tinggi
memiliki efek samping sistemik yang membatasi pemberian jangka panjang.
Beberapa peneliti menganjurkan adjuvant terapi berupa orbital radiotherapy (200
cGy). Mekanismenya masih belum dipahami dengan jelas, tetapi disamping
sterilisasi limfosit temporer juga terminal diferensiasi fibroblast dan membunuh
tissue-bond monocyte sebagai antigen presentation. Catatan,terapi radiasi kontra
indikasi pada pasien Diabetes Melitus atau vaskulitis dan juga radiasi mampu
menyebabkan retinopathy12.
Beberapa studi membuktikan keefektifan orbital radiotherapy ini pada
treatment compressive N2 dalam mengurangi ketergantungan terhadap surgical
decompression. Namun clinical trial ttg keefektifan radiotherapy dengan terapi sham
tidak berbeda signiikan secara statistik.Keterbatasan trial ini adalah mengeksklusi
pasien dengan optic neuropathy, kritik median waktu dari onset TED sampai
radiotherapy adalah 1,3 tahun.
Orbital decompression walaupun secara sejarah dipakai untuk mengelola optic
neuropathy, kongesti orbita, dan advanced proptosis, dipakai sebagai prosedur
elektif untuk mengembalikan posisi bola mata pada pasien tanpa sight-threatening
ophthalmopathy. Pada fase stabil, rencana operasi dekompresi ditentukan
berdasarkan review preoperatif untuk mengetahui seberapa banyak dekompresi yang
dibutuhkan serta CT scan preoperatif untuk mencari keterlibatan pembesaran otot
ekstraokuler dan ekspansi lemak pada proptosis. Typically, ada perbedaan pada
keterlibatan orbita, pasien < 40th menunjukkan pembesaran kompartemen lemak
orbita, sementara pasien >40th menunjukkan pembesaran otot ekstraokular.
Perbedaan ini menentukan efektifitas operasi dekompresi tulang atau lemak. Orbital
decompression mungkin mengganggu motilitas extraocular dan bila diindikasikan
perlu juga operasi strabismus5,15.
Jika terdapat diplopia pada posisi primer saat posisi membaca, operasi
strabismus perlu dilakukan. Prosedur koreksi retraksi palpebra untuk mengurangi
corneal exposure. Karena operasi otot extraocular mungkin mempengaruhi eyelid
retraction, operasi ini sebaiknya dilakukan terakhir.
Alternatif : Toxin Botulinum jarang digunakan untuk mengurangi tight orbit
secara temporer pada strabismus restrictive atau untuk melemahkan otot palpebra
superior untuk mengobati eyelid retraction.Terdapat keterbatasan teknik dan praktik
(kesulitan titrasi efek dan distribusi agen ke orbit, inefektivitas botulinum toxin pada
otot yang fibrosis), terapi ini jarang digunakan, tetapi mungkin berguna pada pasien
yang kontraindikasi operasi.
Follow up jangka panjang pasien menunjukkan kehilangan penglihatan akibat
optic neuropathy jarang dan diplopia persisten dapat dikoreksi dengan kacamata
prisma. 50% pasien menilai bahwa mata mereka terlihat normal, sementara 38%
kurang puas5,13,15.
BAB III
KESIMPULAN
Kelainan mata yang menyertai hipertiroidisme mempunyai arti penting, karena sebagian
besar penderita kelainan mata akibat tiroid adalah penderita penyakit Graves. Istilah umum
penyakit Graves telah digunakan untuk menyebut hipertiroidisme yang disebabkan oleh suatu
penyakit autoimun.
Patofisiologi penyakit ini kemungkinan berhubungan dengan inflamasi fibroblast di Orbita
yang menyebabkan pembesaran otot ekstraocular dan penambahan massa lemak orbita yang
menyebabkan proptosis, diplopia, sampai optic neuropathy. Penegakan diagnosis Graves
Ophthalmopathy didasarkan beberapa kriteria didukung oleh pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, CT Scan, MRI, dan atau Ultra Sonografi Orbita.
Penatalaksanaan Graves Ophthalmopathy bermacam- macam tergantung dari derajat
keparahannya mulai dari medika mentosa, radiotherapy, sampai surgical decompression.
Selain itu faktor resiko seperti usia, ras, jenis kelamin, serta kebiasaan merokok tampak juga
berperan terhadap timbulnya penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adam, John MF.et al.2006. Oftalmopati Graves, Epidemiologi, Klasifikasi, Dan
Penatalaksanaan. Medan : Indonesia. Hal 4-8.
2. Ain, Kenneth.MD.et al.2005. The Complete Thyroid Book. Mc.Graw-Hill. USA. Hal 315-
320
3. Chalam, K.V.MD.et al.2011. Fundamentals and Principles of Ophthalmology- Basic and
Clinical Science Course Section 2. American Academy of Ophthalmology. San
Fransisco,CA : USA. Hal 5-21.
4. Chana, L.L.MD et al.2008. Graves Ophthalmopathy : The Bony Orbit in Optic Neuropathy,
Its Apical Angular Capacity, and Impact on Prediction of Risk. American Society of
Neuroradiology.
http://www.ajnr.org/content/30/3/597.full
5. Holds, John Bryan.MD, et al.2011.Orbit,Eyelids and Lacrimal System-Basic and Clinical
Science Course Section 7. American Academy of Ophthalmology. San Fransisco,CA : USA.
Hal 47-55.
6. J M Kim, et al.2004. The Relation of Graves Ophthalmopathy to Circulating Thyroid
Hormone Status. The British Journal of Ophthalmology 88th Edition. Hal 72-74.
http://bjo.bmj.com/cgi/content/full/88/1/72#BIBL
7. Kanski, Jack J.,Brad Bowling.2011.Clinical Ophthalmology-A Systematic Approach.
Elsevier : China. Hal 84-89.
8. Kline, Lanning B.MD, et al.2011.Neuro-Ophthalmology-Basic and Clinical Science Course
Section 5. American Academy of Ophthalmology. San Fransisco,CA : USA. Hal 331-334.
9. Lubis, Rohdiah R. 2009. Graves Ophthalmopathy. Medan : Indonesia. Hal 3,5.
10. Paridaens, Dion A, et al. 2000. Transconjunctival orbital decompression in Graves'
ophthalmopathy: lateral wall approach ab interno. British Journal of Ophthalmology 84th
Edition :775-781 .Rotterdam : Netherlands.
http://bjo.bmj.com/content/84/7/775.full
11. Price, Sylvia A. 1994. Patofisiologi- Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC : Jakarta.
Hal 1070-1076.
12. Purdy, Eric P.MD, et al. 2011. Update on General Medicine – Basic and Clinical Science
Course Section 1. American Academy of Ophthalmology. San Fransisco,CA : USA. Hal 208-
211.
13. Raab, Edward L.MD, et al.2011.Pediatric Ophthalmology and Strabismus-Basic and
Clinical Science Course Section 6. American Academy of Ophthalmology. San
Fransisco,CA : USA. Hal 135-136.
14. Riordan-Eva, Paul.2007.Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. Mc Graw Hill Lange
: USA. Hal 318-320.
15. Rosa Jr., Robert H.MD, et al.2011.Ophthalmic Pathology and Intraocular Tumors-Basic
and Clinical Science Course Section 4. American Academy of Ophthalmology. San
Fransisco,CA : USA. Hal 232-233.
16. Yen, Michael T.MD. 2010. Imaging in Thyroid Ophthalmopathy.
http://emedicine.medscape.com/article/383412-overview#a23. Diakses tanggal 9
September 2013