refleksi kasus tonsilitis kronis.docx
TRANSCRIPT
REFLEKSI KASUS DOKTER MUDATONSILITIS KRONIS
BAGIAN ILMU KESEHATANTELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER
DISUSUN OLEH:Kemal Luthfan Hindami
10/296727/KU/13673
DIBIMBING OLEH:Prof. dr. Soepomo Soekardono, Sp. THT-KL (K)
BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KLRSUP DR SARDJITO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA
2015
A. Identitas PasienNama : SAFUmur : 26 tahunJenis Kelamin : PerempuanAlamat : Tonggalan, KlatenPekerjaan : Ibu rumah tanggaTanggal Periksa : 29 September 2015
B. Anamnesis1. Keluhan Utama
Gatal pada tenggorok dan nyeri menelan.
2. Riwayat Penyakit SekarangPasien mengeluhkan rasa gatal dan mengganjal pada tenggorokan serta nyeri saat menelan sejak 4 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak dan pilek. Dari kedua lubang hidung keluar cairan berwarna bening. Pasien merasakan hidung tersumbat terutama pada pagi dan malam hari. Demam, nyeri pada hidung, dan keluhan pada telinga disangkal (-).
3. Riwayat Penyakit DahuluPasien sering menderita sakit tenggorokan berulang dan batuk pilek sejak usia 13 tahun. Pasien mengaku sudah batuk pilek sebanyak 4 kali dalam setahun terakhir dan belum diterapi. Riwayat imunisasi lengkap. Riwayat diabetes, hipertensi, alergi, dan asma disangkal (-).
4. Riwayat Penyakit KeluargaIbu pasien sering menderita pilek.
C. Resume AnamnesisSeorang pasien perempuan berusia 26 tahun datang dengan keluhan gatal pada tenggorok dan nyeeri menelan sejak 4 hari yang lalu disertai dengan batuk berdahak dan pilek. Keluhan dirasakan sejak pasien berusia 13 tahun dan kambuh-kambuhan.
D. Analisis Keluhan Pasien1. KONGENITAL
Keluhan Laryngomalasia Atresia laring kongenital Laryngocele KasusStridor inspiratoar + + - -Distress pernapasan + - - -Hoarseness - + + -Sesak nafas - + + -
2. TRAUMAKeluhan Singer’s node Granuloma Hematoma Ulkus kontak Kasus
Hoarseness + + + + -Nyeri - - - + +Massa + + + - -
3. INFEKSI
KeluhanBibir dan mulut Faring dan laring Kasu
sLudwig angina
Tonsilitis difteri
Abses peritonsil
Laringitis tuberkulosa
Abses retrofaring
Abses parafaring
Laringitis sifilis
Demam + + + - + + - -Nyeri tenggorok + + + - - + - +
Otalgia - - + + - - - -Pembengkakan + + + - - + - -
Nyeri telan - +/- + - + + - +Batuk - - - + - - - +Suara serak - - + + - - + -
4. INFLAMASI
KeluhanBibir dan mulut Faring-laring Tonsiliti
sKasu
sStomatitis
Glossitis
Faringitis
Laringitis
Esofagitis erosiva
Hiperemis + + + + + + +Edema + - - + - + +Nyeri tekan - - + - - - +Demam - - + + - + +Nyeri tenggorokan - - + + - + +
Nyeri telan - - - + - + +Hoarseness - - + + - - -Otalgia - - + - - + -
5. NEOPLASMA
Keluhan Karsinoma nasofaring
Angiofibroma nasofaring belia
Tumor ganas laring
Tumor ganas esofagus
Kasus
Perdarahan + + + + -Gangguan penghidu + + - + -
Benjolan + + - - -Gangguan pendengaran + + - - -
Hoarseness - - + + -
6. LAIN-LAIN
Keluhan Corpus alienum
Hiperplasi adenoid
Hiperplasi tonsil
Rinitis
Granuloma maligna
Sifilis
Frambusa
Kasus
Batuk + - - - - - - -Sesak nafas + +/- + +/- - +/- - -Mual/muntah +/- +/- - - - + + -Sulit makan/menelan +/- + + + - - + -
Destruksi tulang - - - - + + + -
E. Pemeriksaan Fisik1. Keadaan Umum : Baik, gizi cukup, compos mentis2. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 120/80 mmHgb. Nadi : 85x/menitc. Respirasi : 18x/menitd. Suhu : 36,5 ºC
3. Status Lokalis THT- Telinga
Inspeksi : Pada daun telingan kanan dan kiri tidak ditemukan deformitas, edema, dan hiperemis. Pada lubang liang telinga kanan dan kiri tidak ditemukan deformitas, membran tympani intak, tampak cone of light.
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan dan krepitasi pada kedua telinga
Pada pemeriksaan telinga kanan dan kiri tidak ditemukan kelainanKomponen Kanan Kiri
Auricula Normal NormalPlanum mastoideum Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)Glandula lymphatica Normal Normal
Canalis auditoris eksterna Edema (-), hiperemis (-), laserasi (-)
Edema (-), hiperemis (-), laserasi (-)
Membran tympani Intak, cone of light (-) Intak, cone of light (-)
- HidungInspeksi : Pada pemeriksaan hidung luar tidak terlihat deformitas. Pada
pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan discharge serosa pada kedua lubang hidung. Tidak ditemukan adanya edema maupun hiperemis.
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan pada daerah paranasal.
Pemeriksaan rhinoskopi anterior ditemukan kelainan sebagai berikut:Komponen Kanan Kiri
Discharge Serosa (+) Serosa (+)Conchae Merah muda Merah mudaSeptum Hiperemis (-), deviasi (-) Hiperemis (-), deviasi (-)Tumor (-) (-)
Sinus Paranasalis Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-)
Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-)
- OrofaringMukosa buccal Warna merah muda, sama dengan daerah sekitarGinggiva Warna merah muda, sama dengan daerah sekitarLidah Dalam batas normalGigi geligi Karies (-)Arcus faring Simetris (+), hiperemis (-)Palatum Warna merah muda, sama dengan daerah sekitarUvula Warna merah muda, sama dengan daerah sekitarDinding posterior orofaring Hiperemis (-), granulasi (-)
- TonsilKomponen Kanan Kiri
Ukuran T2 T2Kripta Melebar MelebarPermukaan Granulasi (+) Granulasi (+)Warna Hiperemis (+) Hiperemis (+)Detritus (+) (+)Peritonsil Abses (-) Abses (-)Arcus interior Hiperemis (+) Hiperemis (+)
F. DiagnosisTonsilitis kronis eksaserbasi akut
G. PenatalaksanaanMedikamentosa:- Cefadroxil 500mg 2x sehari- Parasetamol 500mg diminum bila perlu
H. Edukasi- Menjaga kebersihan mulut- Sering kumur dengan air hangat- Banyak minum air putih- Hindari makan makanan berlemak dan berminyak- Istirahat cukup minimal 8 jam sehari- Kontrol jika belum membaik untuk direncanakan tonsilektomi- Awasi tanda-tanda indikasi tonsilektomi, seperti tidur mendengkur, sesak napas,
sulit tidur, sulit menelan, dan kejang demam
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Tonsilitis merupakan keradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil yang
umumnya didahului oleh suatu keradangan di bagian tubuh lain, misalnya sinusitis, rhinitis,
infeksi umum seperti morbili, dan sebagainya. Sedangkan Tonsilitis Kronis adalah
peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi
subklinis.
ANATOMI DAN FISIOLOGI DASAR
Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang letaknya di
bawah epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ. Pada tonsil terdapat epitel
permukaan yang ditunjang oleh jaringan ikat retikuler dan kapsul jaringan ikat serta kriptus di
dalamnya.
Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi:
1. Tonsilla lingualis, terletak pada radix linguae.
2. Tonsilla palatina (tonsil), terletak pada isthmus faucium antara arcus
glossopalatinus dsan arcus glossopharingicus.
3. Tonsilla pharingica (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring.
4. Tonsilla tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium tuba
auditiva.
5. Plaques dari Peyer (tonsil perut), terletak pada ileum.
Dari kelima macam tonsil tersebut, tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla
pharingica dan tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran
nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan
jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe
pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada
umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.
Jaringan limfoid pada Cincin Waldeyer berperan penting pada awal kehidupan, yaitu
sebagai daya pertahanan lokal yang setiap saat berhubungan dengan agen dari luar (makan,
minum, bernafas), dan sebagai surveilen imun. Fungsi ini didukung secara anatomis dimana
di daerah faring terjadi tikungan jalannya material yang melewatinya disamping itu
bentuknya tidak datar, sehingga terjadi turbulensi khususnya udara pernafasan. Dengan
demikian kesempatan kontak berbagai agen yang ikut dalam proses fisiologis tersebut pada
permukaan penyusun cincin Waldeyer itu semakin besar.
Tonsil merupakan organ yang unik karena keterlibatannya dalam pembentukan
imunitas lokal dan pertahanan imunitas tubuh. Limfosit B berproliferasi di “germinal center”.
Imunoglobulin (Ig G, A, M, D), komponen komplemen, interferon, lisosim dan sitokin
berakumulasi di jaringan tonsillar. Infeksi bakterial kronik pada tonsil akan menyebabkan
terjadinya antibodi lokal, perubahan rasio sel B dan sel T. Efek dari adenotonsilektomi
terhadap integritas imunitas seseorang masih diperdebatkan. Pernah dilaporkan adanya
penurunan produksi Imunoglobulin A nasofaring terhadap vaksin polio setelah
adenoidektomi atau adanya peningkatan kasus Hodgkin’s limfoma. Namun bagaimanapun
peran tonsil masih tetap kontroversial dan sekarang ini belum terbukti adanya efek
imunologis dari tonsilektomi.
ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatine yang adalah bagian dari cincin Waldeyer.
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa di dalam rongga mulut, yaitu tonsil
faringeal, tonsil palatine, tonsil lingual, dan tonsil tuba eustachius. Penyebaran infeksi dapat
melalui droplet udara, makanan, dan kontak langsung. Berdasarkan waktunya, tonsillitis
dapat dibagi menjadi tonsillitis akut dan tonsillitis kronis.
Tonsilitis Akut
Tonsilitis akut dapat dibagi menjadi 2 berdasarkan penyebabnya, yaitu tonsillitis
bacterial dan tonsillitis viral. Gejala dari tonsillitis viral menyerupai common cold yang
disertai dengan nyeri tenggorokan. Penyebabnya yang paling sering adalah infeksi virus
Epsteinn Barr. Terapinya hanya butuh istirahat yang cukup, makan dan minum yang bergizi,
supplemen vitamin, analgetik, dan bila gejala berat bisa diberikan antivirus. Tonsilitis
bacterial kebanyakan disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus b-hemolitikus. Infiltrasi
bakteri pada lapisan epitel akan menyebabkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit PMN
sehingga terbentuk detritus. Detritus adalah kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel
yang terlepas.
Tonsilitis Kronik
Faktor predisposisi terjadinya tonsillitis kronis adalah rangsangan terus menerus dari
rokok, jenis makanan, kebersihan mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan, dan
pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat. Bakteri penyebabnya biasanya sama dengan
penyebab dari tonsillitis akut, namun dapat berubah menjadi bakteri golongan negatif.
Proses radang yang berulang menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid
terkikis sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang
akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Proses berjalan terus sehingga
menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar
fossa tonsilar.
Tonsilitis kronis dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis
kronis, sinusitis, atau otitis media. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen
dan dapat menimbulkan endokarditis, artritis, nefritis. Gejala klinis tonsilitis kronis adalah
nyeri tenggorok atau nyeri telan, kadang seperti ada benda asing di tenggorokan, mulut
berbau, badan lesu, dan nafsu makan menurun.
Pembesaran tonsil ditanyakan dalam ukuran T1-T4. Thane R. Cody membagi
menjadi:
T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai 1/4 jarak pilar anterior-
uvula
T2 : batas medial tonsil melewati 1/4 sampai 1/2 jarak pilar anterior-uvula
T3 : batas medial tonsil melewati 1/2 sampai 3/4 jarak pilar anterior-uvula
T4 : batas medial tonsil melewati 3/4 jarak pilar anterior-uvula atau lebih
PATOFISIOLOGI DAN MANIFESTASI KLINIS
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian tonsilitis kronik, yaitu:
Rangsangan kronik (rokok, makanan)
Higiene mulut yang buruk
Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)
Alergi (iritasi kronik dari alergen)
Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripti tonsil. Karena proses radang
berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut
sehingga kripti akan melebar, ruang antara kelompok melebar yang akan diisi oleh detritus
(akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa
eksudat berwarna kekuning-kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan
akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini
disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula.
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang
berulang-ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi),
nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa
kering dan pernafasan berbau.
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronik yang
mungkin tampak, yakni :
Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan
sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau
seperti keju.
Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti
terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang
melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus
menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, kadang-kadang ada demam dan
nyeri pada leher.
Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian
kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta
tersebut. Pada beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul
amat banyak terlihat pada kripta.
Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil.
Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan berbagai derajat
keganasan, seperti Streptokokus beta hemolitikus grup A, Streptokokus viridans, Stafilokokus,
atau Pneumokokus.
PENATALAKSANAAN
Terapi Medikamentosa
Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotika penisilin yang lama, irigasi
tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripta tonsilaris dengan alat irigasi
gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronik atau
berulang-ulang.
Tindakan Operatif
Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang diusulkan oleh Celsus
dalam buku De Medicina (tahun 10 Masehi). Jenis tindakan ini juga merupakan tindakan
pembedahan yang pertama kali didokumentasikan secara ilmiah oleh Lague dari Rheims.
Tonsilektomi merupakan operasi yang sering dilakukan di bagian THT dengan
indikasi yang terdapat pada penderita tonsilitis kronis. Beberapa sitokin dihasilkan oleh
proses inflamasi pada tonsila palatina seperti interferon (INF)-γ serta tumor necrosis factor
(TNF)-α. Pada penderita tonsilitis kronis, kadar sitokin-sitokin ini akan mengalami
peningkatan dalam serum.
Operasi tonsilektomi yang dilakukan pada anak-anak masih diperdebatkan, mengenai
keuntungan menghilangkan sumber infeksi dan kerugian akibat hilangnya sumber pertahanan
mukosa lokal maupun sistemik.Hal ini disebabkan fungsi imun tonsil pada anak lebih besar
daripada dewasa, walaupun pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pada tonsilitis
kronik, fungsi imun ini menjadi berkurang.
Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology, Head and
Neck Surgery:
1) Indikasi absolut:
Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas, disfagia
menetap, gangguan tidur atau komplokasi kardiopulmunar
Abses peritonsil yang tidak respon terhadap pengobatan medis
Tonsilitis yang menimbulkan febris dan konvulsi
Biopsi untuk menentukan jaringan yang patologis (dicurigai keganasan)
2) Indikasi relatif :
Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam setahun
meskipun dengan terapi yang adekuat
Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis kronik
tidak responsif terhadap terapi media
Tonsilitis kronik atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus yang
resisten terhadap antibiotik betalaktamase
Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma
Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan apakah
mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai kandidat. Dugaan keganasan
dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya
sedikit tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena
infeksi kronik.
Obstruksi nasofaringeal dan orofaringeal yang berat sehingga boleh mengakibatkan
terjadinya gangguan apnea ketika tidur merupakan indikasi absolute untuk surgery. Pada
kasus yang ekstrim, obstructive sleep apnea ini boleh menyebabkan hipoventilasi alveolar,
hipertensi pulmonal dan kardiopulmoner.
Kontraindikasi tonsilektomi:
1) Kontraindikasi relatif
Palatoschizis
Radang akut, termasuk tonsilitis
Poliomyelitis epidemica
Umur kurang dari 3 tahun
2) Kontraindikasi absolut
Diskariasis darah, leukemia, purpura, anemia aplastik, hemofilia
Penyakit sistemis yang tidak terkontrol: DM, penyakit jantung, dan sebagainya
DISKUSI
Pasien ini sebenarnya telah menderita penyakit yang serupa sejak usia 13 tahun. Rasa
gatal dan mengganjal pada tenggorokan, nyeri menelan, dan batuk pilek telah pasien alami
secara kambuh-kambuhan. Selama setahun terakhir sakit batuk pilek, pasien mengaku tidak
diberikan terapi. Pasien ini mengalami tonsilitis kronis yang tidak mendapatkan terapi
adekuat sehingga terjadi eksaserbasi akut.
KESIMPULAN
Dilaporkan pasien perempuan berusia 26 tahun dengan diagnosis tonsilitis kronis.
Terhadap pasien ini diberikan terapi medikamentosa cefadroxil dan parasetamol. Pasien
diharapkan kontrol bila belum membaik untuk direncanakan tonsilektomi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brodsy, L dan Poje, C. 2006. Tonsilitis, Tonsilectomy and Adenoidectomy. Dalam
Bailey, BJ dan Johnson, JT. Head and Neck Surgery, ed 4. Philadelphia: Lippinscott
Williams Wilkins Publishers.
2. Rusmarjono dan Kartosoediro, S. 2007. Odinofagi. Dalam FKUI. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: FKUI.
3. Snell, RS. 2011. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, ed 9. Jakarta: EGC.
4. Soepardi, EA, Iskandar, N, Bashiruddin, J, dan Restuti, RD. 2012. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher, ed 7. Jakarta: FKUI.
5. Soepardi, EA, Pradipta, M, Trisna, DV, Waluyo, DA, Herquanto, Ekayani, F, et al.
2013. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer,
ed 1. Jakarta: IDI.