refrat 4 dispepsia
TRANSCRIPT
DISPEPSIA
PENDAHULUAN
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek klinis
sehari-hari1. Istilah dispepsia mulai gencar dikemukan sejak akhir tahun 80-an, yang
menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala ( sindrom), yang terdiri dari nyeri atau rasa
taknyaman di epigastrium, mual, muntah ,kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa,
regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar ke dada. Sindrom atau keluhan ini dapat didasari oleh
berbagai penyakit, tentunya termasuk pula penyakit pada lambung, yang diasumsikan penyakit
maag / lambung1.
Beberapa penyakit di luar system gastrointestinal dapat pula bermanisfestasi dalam
bentuk sindrom dispepsia, seperti gangguan kardiak (iskemia inferior/infark miokard), penyakit
tiroid, obat-obatan, dan sebagainya1. Melihat banyaknya penyakit dasar yang menuju gejala
dalam bentuk keluhan dispepsia, diperlukan suatu perhatian pendekatan diagnostik yang baik
terutama untuk meningkirkan atau menegakkan penyebab yang dapat menimbulkan morbiditas
yang berat bahkan kematian2. Berbagai sarana penunjang digunakan untuk mencari penyebab
dispepsia3. Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk mengekslusi
gangguan organik atau biokimiawi1.
Luasnya lingkup manajemen pada kasus dispepsia fungsional menggambarkan adanya
ketidakpastian dalam patogenesisnya2. Adanya respon plasebo yang tingi mempersulit untuk
mencari regimen pengobatan yang lebih pasti. Penjelasan kepada pasien mengenai latar belakang
keluhan yang dialaminya, merupakan langkah awal yang penting, mengingat dispepsia
merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami oleh seseorang. Dispepsia
fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang akurat, mempunyai
prognosis yang baik1.
1
DISPEPSIA FUNGSIONAL
II.1.Definisi
Dispepsia adalah kondisi yang umum dan bentuk yang paling sering dijumpai adalah
Dispepsia Non Ulkus (DNU). Setelah menyingkirkan kelainan organik, dokter dan pasien harus
menentukan bersama apakah dilakukan endoskopi awal untuk menegakkan diagnosis pasti
terlebih dahulu atau dicoba sebelumnya dengan terapi empirik. Antasid, Antagonis Reseptor H2
dan obat promotilitas efektif untuk beberapa pasien dan peranan HP dalam DNU masih sedang
dipelajari. Untuk membantu dokter dalam menghadapi pasien dispepsia dibentuk algoritma
pengobatan, walaupun masih banyak versi. Penanganan stres dan dibentuknya hubungan yang
baik antara dokter dan pasien juga memegang peranan penting terutama untuk pasien dengan
gejala yang kronis.
II.2.Epidemiologi
Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami oleh
seseorang. Diperkirakan hampir 30% kasus pada praktek umum dan 60 % pada praktek
gastroenterologist merupakan kasus dyspepsia ini. Bedasarkan penelitian pada populasi umum
didapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Dari
data negara barat didapatkan angka prevalensinya berkisar 7- 41 %, tapi hanya 10-20 % yang
mencari petolongan medis. Angka insiden dyspepsia diperkirakan antara 1-8 %. Belum ada data
epidemiologi di Indonesia1.
II.3.Etiologi
2
Istilah dispepsia mulai gencar di kemukakan sejak akhir 80an, yang menggambarkan
keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri dari rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah,
kembung, cepat kenyang , rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar
ke dada. Sindrom atau keluhan ini dapat di dasari atau dapat disebabkan oleh berbagai penyakit,
tentunya termasuk pula penyakit pada lambung, yang diasumsikan oleh orang awan sebagai
maag/lambung. Penyakit hepato-pankreato-bilier (hepatitis, pancreatitis kronik, kolesistitis
kronik, dll) merupakan penyakit tersering setelah penyakit yang melibatkan gangguan patologis
pada esofago-gastro-duodenal (tukak peptic, gastritis, dll). Beberapa penyakit diluar system
gastrointestinal dapat pula bermanifestasi dalam bentuk sindrom dispepsi seperti gangguan
kardiak ( iskemia inferior/ infark miokard) penyakit tiroid, obat-obatan, dll.1
Esofago-gastro-duodenal Tukak peptic, gastritis kronis, gastritis
NSAID, keganasan
Obat-obatan Anti inflamasi nonsteroid, teofilin,
digitalis, antibiotic
Hepatobilier Hepatitis, kolesisititis, kolelitiasis,
keganasan, disfungsi sfingter odii
Pancreas Pancreatitis, keganasan
Penyakit sistemik Diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal
ginjal, kehamilan, penyakit jantung
koroner/iskemik
Gangguan fungsional Dyspepsia fungsional ( stress
psikogenik, kecemasan, depresi),
irritable bowel syndrome
II.4.Patofisiologi
3
Patofisiologi DNU masih sedikit diketahui, beberapa faktor berikut mungkin berperan penting
(multifaktorial): (1,5,9,14)
• Sekresi asam lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung,
baik sekresi basal maupun dengan stimulus pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga adanya
peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di
perut.
• Ambang rangsang persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor
mekanik, dan nociseptor. Berdasarkan studi tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai
hipersensitivitas visceral terhadap distensi balon digaster dan duodenum. Bagaimana
mekanismenya masih belum dipahami. Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik
mendapat hasil pada 50% populasi dengan dispepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri atau
tidak nyaman diperut pada inflasi balon dengan volume yang lebih rendah dibandingkan dengan
volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi kontrol.
• Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersesitivitas gastrointestinal pada
kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan
relaksasi bagian proksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan
gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
• Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastografi dilaporkan
terjadi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tapi ini bersifat inkonsisten.
• Hormonal
4
Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya
penurunan kadar hormone motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam
beberapa percobaan, progestron, estradiol, dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos
dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.
• Abnormalitas Motorik Gaster
Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien DNU mempunyai
keterlambatan pengosongan makanan dalam gaster. Demikian pula pada studi monometrik
didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut
dengan gejala-gejala dispepsia tidak jelas.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang “kaku” bertanggung jawab
terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat
mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari
corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa
pasien DNU, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu
cepat.
• Perubahan sensifitas gaster
Lebih 50% pasien DNU menunjukkan sensitifitas terhadap distensi gaster atau
intestinum, oleh karena itu mungkin diakibatkan oleh makanan yang sedikit mengiritasi seperti
makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi gaster intestinum atau distensi dini bagian
Antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.
• Stres dan faktor psikososial
Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan morbiditas psikiatri
lebih tinggi secara bermakna pada pasien DNU dari pada subyek kontrol yang sehat. Banyak
pasien mengatakan bahwa stres mencetuskan keluhan dispepsia. Beberapa studi mengatakan
stress yang lama menyebabkan perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguan akomodasi dan
motilitas gaster.
Kepribadian DNU menyerupai pasien Sindrom Kolon Iritatif dan dispepsia organik,
tetapi disertai dengan tanda neurotik, ansietas dan depresi yang lebih nyata dan sering disertai
5
dengan keluhan non-gastrointestinal seperti nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan mudah letih.
Mereka cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat nyeri dan mempunyai
fungsi sosial lebih buruk dibanding pasien dispepsia organik. Demikian pula bila dibandingkan
orang normal. Gambaran psikologik DNU ditemukan lebih banyak ansietas, depresi dan
neurotik.
• Gastritis HP
Gambaran gastritis HP secara histologik biasanya gastritis non-rosif non-spesifik. Di sini
ditambahkan non-spesifik karena gambaran histologik yang ada tidak dapat meramalkan
penyebabnya dan keadaan klinik yang bersangkutan. Diagnosa endoskopik gastrtitis akibat
infeksi HP sangat sulit karena sering kali gambarannya tidak khas. Tidak jarang suatu gastritis
secara histologik tampak berat tetapi gambaran endoskopik yang tampak tidak jelas dan bahkan
normal. Beberapa gambaran endoskopik yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi HP
adalah (Malfertheimen, 1994):
a. Erosi kronik di daerah antrum.
b. Nodularitas pada mukosa antrum.
c. Bercak-bercak eritema di antrum.
d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah korpus.
Peranan infeksi HP pada gastritis dan ulkus peptikum sudah diakui, tetapi apakah HP dapat
menyebabkan DNU masih kontroversi. Pravelensi HP pasien DNU tidak berbeda dengan
kontrol. Di negara maju, hanya 50% pasien DNU menderita infeksi HP, sehingga penyebab
dispepsia pada DNU dengan HP negatif dapat juga menjadi penyebab dari beberapa DNU
dengan HP positif. Bukti terbaik peranan HP pada DNU adalah gejala perbaikan yang nyata
setelah eradikasi kuman HP tersebut, tetapi ini masih dalam taraf pembuktian studi ilmiah.
Banyak pasien mengalami perbaikan gejala dengan cepat walaupun dengan pengobatan plasebo.
Studi “follow up” jangka panjang sedang dikerjakan, hanya beberapa saja yang tidak kambuh.
• Kelainan GI fungsional
6
DNU cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan fungsional GI, termasuk di sini
Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada non-kardiak dan nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari 80%
dengan Sindrom Kolon Iritatif menderita dispepsia dan lebih dari sepertiga pasien dengan
dispepsia kronis juga mempunyai gejala Sindrom Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti
ini sering ada gejala extra gastrointestinal seperti migrain, myalgia dan disfungsi kencing dan
ginekologi.
Pada anamnesis dispepsia jangan lupa menanyakan gejala Sindrom Kolon Iritatif seperti
nyeri abdomen mereda setelah defekasi, perubahan frekuensi buang air besar atau bentuknya
mengalami perubahan, perut tegang, tidak dapat menahan buang air besar dan perut kembung.
Beberapa pasien juga mengalami aerophagia, lingkaran setan dari perut kembung diikuti oleh
masuknya udara untuk menginduksi sendawa, diikuti oleh kembung yang lebih parah. Ini
memerlukan perbaikan tingkah laku.
Abnormalitas di atas belum semua diidentifikasi oleh semua peneliti dan tidak selalu
muncul pada semua penderita. Hasil yang kurang konsisten dari bermacam terapi yang
digunakan untuk terapi DNU mendukung keanekaragaman kelompok ini.
II.5.Diagnosis Dispepsia Fungsional
Diagnostic criteria for Fungsional dyspepsia Konsensus Roma III (2006)
At least 3 months,with onset at least 6 months previously, of 1 or more of the following:
Bothersome postprandial fullness
Early satiation
Epigastric pain
Epigastric burning, and
No evidence of structural disease (including at upper endoscopy) that is likely to
explain the symptoms
1. Anamnesis (history-taking)
Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas / kualitasnya pada setiap pasien, maka
disarankan untuk mengkalsifikasi dispepsia fungsional menjadi beberapa subgroup berdasarkan
pada keluhan yang paling mencolok atau dominan1.
7
Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari dikategorikan
sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like dyspepsia)
Bila kembung, mual,cepat kenyang merupakan keluhan yang sering dikemukan,
dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe dismotilitas (dismotility like dyspepsia)
Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan dikategorikan sebagai dispepsia non-
spesifik.
Seperti dalam algoritme penanganan dispepsia, bahwa ada alarm symptoms :
Penurunan berat badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang prominen, maka
merupakan penunjuk awal akan kemungkinan adanya penyebab organik uang
memerlukan pemeriksaan penunjang secara lebih intensif1.
Beberapa hal yang perlu untuk ditanyakan1-6 :
penggunaan obat-obatan,alkohol,kebiasaan merokok
rasa sakit akan berkurang dengan makan atau dengan obat-obatan seperti antasida
gejala ansietas atau depresi dan biasanya memiliki riwayat penggunaan obat-obatan
psikotropik.
rasa panas pada dada atau rasa tidak nyaman pada episgastrium penyakit reflux
gastroesophageal (gejala spesifik yang timbul pada 90% kasus).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik biasanya dapat berguna. Tanda dari penyakit organik yang serius dapat
berupa conjuctiva anemis, penurunan berat badan disertai dengan organomegali, massa
pada abdomen dan adanya darah pada feces memerlukan pemeriksaan yang lebih lanjut
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada dasarnya pemeriksaan penunjang adalah untuk mengekslusiganguan organik atau
biokimiawi.
A. Pemeriksaan Laboratorium ( darah lengkap, gula darah, fungsi tiroid, fungsi
pangkreas, elektrolit) Lebih banyak ditekankan untuk menyingkirkan
penyebab organik lainnya seperti pankreatitis kronik. Biasanya pada dispepsia
fungsional hasil laboraturium dalam batas normal 1,4-5.
8
B. Pencitraan ( barium meal, USG) USG abdomen diindikasikan apabila terdapat
suspek penyakit pankreas atau traktus biliaris.6
C. Tes noninvasif untuk helicobacter pilori (IgG serologi atau tes urea breath)
Konsensus merekomendasikan tes noninvasif untuk helicobacter pilori (IgG
serologi atau tes urea breath) untuk pasien usia muda, dan untuk pasien dispepsia
tanpa komplikasi. Jika hasil tes negatif, maka pasien tersebut menderita dispepsia
fungsional atau reflux gastroesophageal dan dapat diterapi dengan antisekretorik
agent (H2 antagonis atau Proton Pump Inhibition) atau promotility agent
(contohnya cisapride) untuk 4-8 minggu. Jika terapi tidak berhasil atau timbul
kembali setelah obat diberhentikan maka direkomendasikan untuk dilakukan
pemeriksaan endoskopi. Sedangkan jika hasil tes positif, maka diperlukan terapi
untuk ulkus peptikum.Urea breath test adalah suatu metode diagnostik
berdasarkan prinsip bahwa urea diubah oleh H. Pulory dalam lambung menjadi
amoniak dan karbondioksida (CO2). CO2 cepat diabsorpsi melalu dinding
lambung dan dapat dideteksi dalam udara ekspirasi. Uji serologi dapat tetap
positif selama beberapa bulan setelah infeksi H.pylori tereradikasi. Dari
perbandingan, uji nafas urea merupakan uji non invasif yang paling efisien 1,4-5.
D. Endoskopi paling penting untuk ekslusi penyebab organiks ataupun
biokimiawi. Endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan salah satu pilihan
untuk mendiagnosa ulkus gastroduodenal, esofagitis erosif dan keganasan pada
bagian atas gastrointestinal. Pada dispepsia fungsional gambaran endoskopinya
normal atau sangat tidak spesifik1.
Indikasi Endoskopi saluran cerna bagian atas 6:
semua pasien dengan usia diatas 45 tahun dengan gejala dispepsia yang baru
timbul (new onset)
pada semua pasien dengan penurunan berat badan, disfagia, muntah yang
berulang, ada tanda perdarahan atau anemia.
untuk pasien yang cukup peduli dengan penyakit yang mendasari timbunya
sindrom dispepsia.
9
II.6.Diagnosis Banding
II.7.Terapi
Perbaikan kebiasaan sehari-hari, pasien harus mengerti bahwa gejala dispepsia bisa
kambuh kembali tetapi dapat dicegah melalui perubahan gaya hidup dan pemilihan jenis
makanan. Keluhan yang timbul setelah makan sebaiknya mencoba dengan makanan porsi kecil
dan rendah lemak. Kopi dan alkohol harus dihindari, demikian juga makanan tertentu yang
nampaknya mencetuskan gejala. Coba hentikan obat-obat tertentu terutama OAINS. (9)
Bila secara anamnesis ditemukan adanya stresor psikososial, ada baiknya diatasi dulu
faktor psikologiknya, kalau perlu dengan konseling ke psikiater. Bila dengan cara ini keluhan
berkurang atau hilang sama sekali, gastrokopi tidak diperlukan lagi.(7)
INTERVENSI OBAT
Sebenarnya banyak pasien Dispepsia tidak memerlukan pengobatan (bahkan “FDA”
Amerika sudah menyetujui), tetapi pada beberapa kasus pemakaian obat yang bijaksana dapat
membantu. Lebih dari 60% pasien menunjukkan perbaikan dengan terapi placebo. Oleh karena
itu, perbaikan gejala bisa merupakan akibat dan efek placebo atau manfaat hubungan pasien-
dokter.(9)
• Antasid dan obat anti sekresi
Efektifitas antasid untuk terapi Dispepsia tidak nampak dalam percobaan klinik terkontrol
tetapi karena sangat aman dan tidak mahal, bisa diteruskan untuk pasien yang berespon baik.
Demikian pula efektifitas penggunaan Antagonis Reseptor H2 ( ARH2 ) seperti : cimetidine,
ranitidine dan famotidine belum terbukti. Beberapa studi mengenai obat anti sekresi ini
10
menyimpulkan bahwa penggunaannya paling efektif untuk dispepsia tipe refluks (penyakit
refluks gastroesofageal) dan tipe ulkus. Obat ini jarang menimbulkan efek samping. Pasien yang
berespon sebaiknya diterapi selama 2-4 minggu. Terapi jangka panjang dengan ARH2 sebaiknya
dihindari kalau penghentian obat gejala muncul kembali.(9,16)
Obat penyekat pompa proton (PPP) seperti Omeprazole dan Lansoprazole tidak
memberikan perbaikan gejala yang lebih besar pada pasien Dispepsia dibanding ARH2, sehingga
tidak direkomendasikan karena harganya lebih mahal.(9). Obat ini sangat efektif untuk terapi
refluks gastroesofageal melebihi ARH2.( 8)
• Obat promotilitas
Obat seperti Metoclopramide, Cisapride dan Domperidone sangat baik mengobati pasien
dispepsia yang disertai atau disebabkan gangguan motilitas (Dispepsia tipe dismotilitas). (7,9).
Metoclopramide dan domperidone keduanya bekerja pada antagonis reseptor D2-dopomine yang
meningkatkan motilitas gaster dan mengurangi mual. Metoclopramide melewati sawar darah
otak sehingga efek samping: anxietas, mengantuk, agitasi, disfungsi motor extrapyramidal dan
dyskinesia tarda terjadi pada kurang lebih 20%-30% pasien. Untuk penggunaan lama hati-hati
pada pasien tua.
Domperidone tidak melewati sawar darah otak sehingga efek samping seperti di atas
tidak timbul. Cisapride adalah agonis 5-HT4 serotonin bekerja meningkatkan motilitas
esophagus dan gaster. Efek samping jarang dilaporkan.(9,12)
Penelitian lebih lanjut obat promotilitas untuk Dispepsia masih diperlukan. Data saat ini
menunjukan bahwa terapi cisapride setiap hari selama 2-4 minggu lebih mahal dibanding
pengobatan yang diperlukan selama eksaserbasi gejala saja.(9)
ERADIKASI HP
Hasil percobaan klinik yang ada sekarang masih belum bisa membuktikan apakah
eradikasi HP berakibat perbaikkan gejala secara bermakna pada pasien Dispepsia. Nampaknya
hanya sebagian kecil saja pasien Dispepsia mengambil manfaat dari eradikasi kuman HP,
sebagian besar masih belum(9). Bahkan ada beberapa ahli berpendapat bahwa HP saja tidak cukup
menyebabkan gejala karena dispepsia dapat terjadi pada pasien tanpa infeksi HP, dan infeksi HP
dapat terjadi tanpa gejala dan mereka juga mempertanyakan dan memperdebatkan bukti
11
penelitian yang mendukung hipotesis bahwa HP merupakan etiologi dari Dispepsia (15).
Berdasarkan “konsensus Maastricht” (12-13 September 1996) pada pertemuan “Eropean
Helicobacter Pylori Study Group” disepakati bahwa eradikasi HP pada pasien Dispepsia hanya
disarankan (bukan sangat dianjurkan seperti misalnya pada tukak lambung/duodenum) oleh
karena tidak berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang nyata.(7)
Sampai saat ini masih terdapat perbedaan strategi dalam hal kapan sebaiknya test serologi
HP dikerjakan pada pasien dengan kecurigaan Dispepsia, apakah sebelum terapi empiris
diberikan atau setelah terapi empiris dinyatakan gagal. Kelompok studi HP Indonesia (KSHPI)
merekomendasikan test serologi sebelum terapi empiris diberikan dan terapi eradikasi HP
dikerjakan hanya pada penderita dispepsia dengan HP positif pada test serologi dan pada
pemeriksaan Rapid Urea Test (CLO), Patologi Anatomi atau Kultur (HP) yang diperoleh secara
endoskopi sedikitnya salah satu positif. KSHPI juga berpendapat bahwa eradikasi HP pada
dispepsia hanya dianjurkan (bukan sangat dianjurkan) dan terutama untuk tipe ulkus.
Pemeriksaan secara endoskopi wajib dikerjakan sebelum dilakukan terapi eradikasi HP.(11). Strategi lain untuk pertimbangan biaya efektivitas diusulkan oleh Fredrick, Silverstein dan
Ofman. Mereka berpendapat terapi eradikasi HP pada pasien dengan kecurigaan Dispepsia bisa
langsung dimulai begitu test serologi HP positif tanpa menunggu pemeriksaan endoskopi.
Pemeriksaan endoskopi baru dikerjakan kalau eradikasi HP gagal menghilangkan dispepsia atau
dispepsia kambuh kembali.(9)
Marshall berpendapat bahwa untuk melakukan eradikasi HP pada penderita Dispepsia
diperlukan syarat-syarat sebagai berikut: (14)
• keluhan berlangsung cukup lama dan mengganggu penderita
• faktor penyebab lain dapat disingkirkan (misalnya OAINS)
• terapi konvensional (antasid, ARH2) tidak menolong
Pilihan utama di negara maju adalah kombinasi: Penyekat Pompa Proton +
Clarithromycin + Metronidazole atau Amoxicillin. Jika gagal dipertimbangkan dengan
pemberian empat macam obat yaitu menambahkan Bismuth. Untuk di Indonesia banyak para
peneliti melaporkan angka kekebalan yang tinggi terhadap Metronidazole dan Amoxicillin. Di
samping itu kendala lain adalah efek samping Metronidazole. Menurut pengalaman penderita-
penderita Indonesia yang mendapat terapi Metronidazole untuk penyakit lain kurang dapat
mentolerir Metronidazole. Apalagi untuk penderita dispepsia yang sering kali memang sudah
12
mengeluh mual, sehingga banyak penderita tidak dapat menyelesaikannya karena angka efek
samping yang tinggi.(2,11,14)
Rekomendasi Pengobatan Anti Hp
OBAT DOSIS DURASI ERADIKASI
Kelompok 1 (3 jenis obat):
- Bismuth
- Tetracycline
- Metronidazole 4 x II tablet
4 x 500 mg
4 x 250 mg 14 hari 88% - 90%
Kelompok 2, 3 dan 4 (3 jenis obat):
- Penyekat pompa proton
- Clarithromycin atau
Amoxicillin
- Metronidazole atau
Amoxicillin 2 x I kapsul
2 x 500 mg
2 x 1000 mg
2 x 500 mg
2 x 1000 mg 10-14 hari 86% - 91%
Catatan:
Bismuth: Colloidal Bismuth Subcitrate 60 mg atau Bismuth Subsalicylate 60 mg
Penyekat Pompa Proton:Omeprazole 20 mg, Lanzoprazole 30mg atau Pantoprazole 40mg
Metaanalisis pada percobaan klinik yang sudah diseleksi menunjukkan bahwa 20% pasien
Dispepsia akan mengambil keuntungan terhadap eradikasi Hp.(16)
Penanganan Penderita dengan Gejala Refrakter
Sebagian kecil pasien tidak berespon terhadap pengobatan yang diberikan sehingga mengganggu
aktivitas sehari-hari. Pasien ini dianjurkan “check up” teratur untuk mengungkapkan keluhannya
dan status kesehatannya. Jika tidak ada perubahan secara klinik sebaiknya dihindari pemeriksaan
13
diagnostik lebih jauh karena mahal dan akan merusak kepercayaan pasien terhadap diagnosis
yang telah dibuat. Perhatian pasien perlu diarahkan dari menemukan “penyebab” ke
pembentukan strategi positif untuk melawan gejala-gejala kronik tersebut. Konsultasi ke
psikologi atau psikiater penting untuk pasien dengan gejala refrater. Antidepressant trisiklik tidak
direkomendasikan karena dapat memperlambat pengosongan gaster (terutama untuk pasien
gastroparesis). Sebaliknya Serotonin Reuptake Inhibitor dapat menyebabkan mual pada beberapa
pasien.(9)
II.8.Pencegahan
Modifikasi gaya hidup sangat berperan dalam mencegah terjadinya dispepsia bahkan
memperbaiki kondisi lambung secara tidak langsung (Ariyanto, 2007). Berikut ini adalah
modifikasi gaya hidup yang dianjurkan untuk mengelola dan mencegah timbulnya gangguan
akibat dispepsia 8 :
Atur pola makan seteratur mungkin.
Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung (coklat,
keju, dan lain-lain).
Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang, melon,
semangka dan lain-lain).
Hindari makanan yang terlalu pedas.
Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alkohol.
Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti obat anti-inflammatory, misalnya
yang mengandung ibuprofen, aspirin, naproxen, dan ketoprofen. Acetaminophen adalah
pilihan yang tepat untuk mengobati nyeri karena tidak mengakibatkan iritasi pada dinding
lambung.
Kelola stress psikologi se-efisien mungkin.
Jika anda perokok, berhentilah merokok.
Jika anda memiliki gangguan acid reflux, hindari makan sebelum waktu tidur.
Hindari faktor-faktor yang membuat pencernaan terganggu, seperti makan terlalu banyak,
terutama makanan berat dan berminyak, makan terlalu cepat, atau makan sesaat sebelum
olahraga.
Pertahankan berat badan sehat
14
Olahraga teratur (kurang lebih 30 menit dalam beberapa hari seminggu) untuk
mengurangi stress dan mengontrol berat badan, yang akan mengurangi dispepsia.
Ikuti rekomendasi dokter Anda mengenai pengobatan dispepsia. Baik itu antasid, PPI,
penghambat histamin-2 reseptor, dan obat motilitas
15
KESIMPULAN
Diagnosis dyspepsia fungsional didasarkan pada keluhan / gejala/ sindrom dyspepsia
dimana pemeriksaan penunjang baku dapat disingkirkan penyebab organic/ biokimiaw, sehingga
masuk dalam kelompok penyakit gastrointestinal fungsional(berdasarkan criteria Roma II). Ada
criteria terbaru untuk dyspepsia fungsional yang dituangkan dalam Konsensus Roma III (2006).
Dyspepsia fungsional mempunyai patofisiologi yang kompleks dan multifaktorial,
dimana tampaknya berbasiskan gangguan terhadap motilitas atau hipersensitivitas visceral.
Modalitas pengobatanyapun menjadi luas, berdasarkan kompleksitas patogenesisnya, serta lebih
kea rah hanya untuk menurunkan/menghilangkan gejala. Pilihan pengobatan berdasarkan
pengelompokan gejala utama dapat dianjurkan, walaupun masih dapat diperdebatkan
manfaatnya.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Setiati Siti.Buku ajar ilmu penyakit dalam
Jilid 1. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006. h. 335-348,352-4.
2. Rani AA, Soegondo Sidartawan, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer Arif. PB
PAPDI:Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam
indonesia.Jakarta:Interna Publishing; 2009. h. 299-301.
3. Tierney Lawrence M, Mcphee Stephen J, Papadakis MA. Current diagnosis & treatment
adult ambulatory and inpatient management. New York: The McGraw- Hill Companies;
2008. h. 614-26.
4. Kee Joyce Lefever. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. Edisi keenam.
Jakarta: EGC; 2008. h. 230-40.
5. Price SA, Wilson Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi
ke 6. Jakarta: EGC; 2006. h. 422-32.
6. Kasper, Dennis L; Fauci, Antony S; Longo, Dan L; Braunwald, Eugene; Hauser,Stephen;
Jameson, Larry S : Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th edition, 2005.
7. WM Wong, BC Wong, WK HungY, et al. Double blind,randomized.placebo controlled
study of four weeks of lansoprazole for treatment of functional dyspepsia in Chienese
patients: a case repport 2002 Dec;51:502-6.
8. http://diassetiawan.blog.uns.ac.id/
17