refrat fitri

Upload: fitriyah-hardiyanti-astutik

Post on 14-Oct-2015

63 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

krisis Kolinergik

TRANSCRIPT

3

BAB 1. PENDAHULUAN1.1 LATAR BELAKANGAsetilkolin merupakan bahan penghantar rangsang saraf (neurotransmitter) yang di buat di dalam ujung serabut saraf melalui proses asetilasi kolin ekstrasel dan koenzim A. Asetilkolin disimpan dalam kantung atau gudang yang disebut vesikel.Asetilkolin berdifusi sepanjang celah sinaps selebar 100-500 dan bergabung dengan reseptornya dengan akibat terjadinya depolarisasi membrane saraf pascaganglion yang disebut potensial perangsangan pasca sinaps (excitatory postsynaptic potential, EPSP). Depolarisasi terjadi terutama akibat peningkatan permeabelitas Na+. Potensial perangsangan pascasinaps akan merangsang terjadinya potensial aksi saraf (PAS) di saraf pascaganglion yang sesampainya di sinaps saraf efektor akan menyebabkan penglepasan transmitter lagi untuk meneruskan sinyal ke sel efektor akan menyebabakan penglepasan transmiter lagi untuk meneruskan sinyal ke efektor (setiawati et al, 2009).Suatu transmisi neurohumoral tidak selalu menyebabkan depolarisasi tetapi juga dapat menyebabkan hiperpolarisasi. Hiperpolarisasi pada membran saraf pascaganglion disebut potensial inhibisi pascasinaps (inhibitor postsynaptic potential, IPSP) dan menyebabkan hambatan organ pascasinaps. Hiperpolarisasi terjadi akibat peningkatan permeabilitas K + dan Cl- (setiawati et al, 2009).Bila transmiter tidak diinaktifkan maka transmisi sinaptik akan terus berlangsung pada mebran pascasinaps dengan akibat terjadinya perangsangan yang berlebihan atau bahkan disusul dengan blokade. Kerena itu harus ada mekanisme untuk menghentikannya. Pada suatu sinaps kolinergik terdapat asetilkolinesterase, suatu enzim penghidrolisis asetilkolin yang kerjanya sangat cepat (setiawati et al, 2009).

Asetilkolinesterase terutama terdapat ditempat transmisi kolinergik pada membrane pra-maupun pascasinaps, dan merupakan kolinesterase yang terutama memecah asetilkolin. Transmisi kolinergik praktis dihentikan oleh enzim asetilkolinesterase sehingga penghambatan enzim ini akan menyebabkan aktifitas kolinergik yang berlebihan dan perangsangan reseptor kolinergik secara terus-menerus akaibat penumpukan asetilkolin yang tidak dihidrolisis. Kelompok zat yang menghambat asetilkolinesterase dikenal sebagai antikolinesterase.Antikolinesterase bekerja menghambat kerjar enzim asetikolinesterase dengan cara berikatan dengan enzim tersebut baik secara substrat maupun tidak. Efek utama antikolinestrerase adalah penghambatan hidrolisis asetilkolin di ujung saraf kolinergik (Zunilda, 2009). Penggunaan antikolinesterasi menguntungkan dalam beberapa kasus yaitu atonia otot polos, miotikum, dan untuk mendiagnosis dan pengobatan miatenia gravis. Namun penggunanan Antikolinesterase yang berlebihan akan menyebabkan suatu kerugian pula yang di kenal dengan krisis kolinergik.

Krisis kolinergik adalah over-stimulasi pada sambungan neuromuskuler karena kelebihan asetilkolin, sebagai suatu akibat dari tidak aktif (bahkan mungkin penghambatan ) dari enzim asetilkolinesterase , yang biasanya memecah asetilkolin. Dalam pengobatan, hal ini terlihat pada pasien dengan myasthenia gravis yang mengambil terlalu tinggi dosis obat antikolinesterase, atau dilihat dalam beberapa kasus bedah (Jukarnain, 2011).Krisis kolinergik memiliki persamaan gejala dengan krisis miasteni yang menandakan adanya kelemahan pada otot,tidak dapat menelan, tidak dapat membersihkan ystem atau bernapas tanpa bantuan alat.BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ASETILKOLIN2.1.1 Definisi

Ligan dari reseptor kolinergik adalah sistemtansmitter asetilkolin. Asetilkolin merupakan molekul ester-kolin (choline ester) yang pertama diidentifikasi sebagai neurotansmiter. Asetilkolin merupakan bahan penghantar rangsang saraf (neurotransmitter) yang di buat di dalam ujung serabut saraf melalui proses asetilasi kolin ekstrasel dan koenzim A. Asetilkolin disimpan dalam kantung atau gudang yang disebut vesikel. Asetilkolin dibuat di dalam susunan saraf pusat oleh saraf yang badan selnya terdapat pada batang otak dan forebrain, selain itu disintesis juga dalam saraf lain di otak. Asetilkolin beraksi pada sistem saraf otonom di perifer dan di pusat, dan merupakan transmitter utama pada saraf motorik di neuromuscular junction pada vertebrata.

Gambar 2.1 Stuktur kimia Asetilkolin2.1.2 Reseptor

Reseptor kolinergik telah dibagi dalam 2 kelompok besar berdasarkan reaksi terhadap alkaloid muskarinik dan nikotin. Nikotin menstimulasi ganglion otonom dan reseptor otot skeleton (reseptor nikotinik), sedang muskarin mengaktifkan sel efektor pada end-organ pada otot polos bronkiale, kelenjar salivasi, dan nodus SA (reseptor muskarinik). Sistem saraf pusat memiliki kedua jenis reseptor, nikotinik dan muskarinik. Reseptor nikotinik dihambat oleh relaksan otot, dan reseptor muskarinik dihambat oleh obat antikolinergik seperti atropin. Walaupun reseptor nikotinik dan muskarinik berbeda responnya dalam menghadapi agen agonis (nikotin dan muskarin) dan beberapa antagonis (atropin, pancuronium), keduanya bereaksi terhadap asetilkolin. Agonis kolinergik yang tersedia dalam praktek melawan hidrolisis oleh kolinesterase. Metakolin dan betanekol adalah agonis muskarinik primer, sedang karbakol memiliki kedua kemampuan agonis terhadap muskarinik dan nikotinik. Metakolin inhalasi digunakan dalam uji provokasi asma, betannekol digunakan dalam atonia vesica urinaria, dan karbakol digunakan secara topikal untuk glaukoma sudut lebar. Dalam membalik hambatan neuromuskuler, tujuan utamanya adalah memaksimalkan transmisi nikotinik dan meminimalkan efek samping muskariniknya.Berdasarkan karekteristik reseptor kolinergik dapat dilihat pada tabel dibawah ini.Tabel 2.1 Karakteristik Reseptor Kolinergik

2.1.3 Enzim-enzim yang berperan dalam sintesis dan degradasi ACh.Choline Acetyltransferase (kolin asetiltransferase) enzim ini mengkatalisa asetilasi kolin dengan asetil koenzim A, merupakan protein konstituen dari saraf, disintesis diantara perikarion kemudian ditransport sepanjang akson sampai ujungnya. Transport kolin dari plasma ke saraf-saraf dipengaruhi oleh perbedaan tinggi dan rendahnya afinitas sistem transport. Sistem afinitas tinggi bersifat unik terhadap saraf kolinergik dan tergantung pada kada Na+ ekstraseluler, dan bisa dihambat oleh hemikolinium.

Asetilkolin esterase terdapat pada saraf kolinergik. Enzim ini mempunyai dua sisi pengikatan keduanya penting untuk degradasi asetilkolin. Daerah anionic berfungsi untuk pengikatan sebuah molekul asetilkolin pada enzim. Begitu asetilkolin terikat, reaksi hidrolisis terjadi pada sisi aktif yang disebu daerah esteratik. Di sini asetilkolin terurai menjadi kolin dan asam asetat. Kolin kemudian diambil lagi melalui sistem uptake kolin berafinitas tinggi pada membran presinaps. setilkolin sebagai neurotransmitter dalam sistem motorik dan sistem saraf tertentu harus dihilangkan dan diaktivasi dalam waktu tertentu. Hidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asetat memerlukan waktu kurang dari satu milisecond pada neuromuscular junction.

2.1.4 Penyimpanan dan Penglepasan

Asetilkolin dilepaskan dari ujung saraf motor dalam jumlah yang konstan, yang disebut quanta (atau vesikel). Perkiraan jumlah asetilkolin dalam vesikel sinaptik berkisar antara 1.000-50.000 molekul setiap vesikel. Dalam satu ujung saraf motor terdapat 300.000 atau lebih vesikel.

Di otot skelet kombinasi asetilkolin dan reseptor asetilkolin nikotinik di permukaan eksternal dari membrane postjunctional memicu peningkatan permeabilitas kation. Aktivasi reseptor oleh asetilkolin intrinsik kanal terbuka selama 1 milisecond dan kurang lebih 50.000 ion Na+ melewati kanal. Akibatnya terjadi depolarisasi diikuti potensial aksi otot yang menyebabkan terjadinya kontraksi otot.

Pada efektor otonom Stimulasi atau inhibisi dari sel efektor otonom timbul karena aktivasi reseptor asetilkolin muskarinik. Reseptor terhubung pada protein G.

Pada ganglia otonom transmisi kolinergik pada ganglia otonom serupa dengan yang terjadi pada otot skelet. Sel ganglion mengalami perubahan muatan dengan adanya sedikit asetilkolin. Depolarisasi awal terjadi karena aktivasi reseptor asetilkolin nikorinik, yaitu ligand gated cation channel yang fungsinya mirip dengan yang terdapat pada neuromuscular junction.

2.2 Antikolinesterase

2.2.1 Definisi

Antikolinesterase menonaktifkan asetilkolinesterase dengan cara berikatan dengan enzim asetilkolinesterase secara reversibel. Stabilitas ikatan memengaruhi durasi kerja obat, contoh: tarikan elektrostatik dan ikatan hidrogen edrofonium terhadap enzim ini bekerja singkat, namun ikatan kovalen neostigmin dan piridostigmin terhadap asetilkolinesterase bertahan lebih lama.2.2.2 Farmakodinamik

Segala efek asetilkolin terlihat pada pemberian antikolinesterase karena menyebabkan efek tersebut adalah asetilkolin endogen yang tidak pecah oleh asetilkolinesterase. Namun efek obat dapat berbeda akibat perbedaan jangkauan diberbagai tempat.

Reseptor kardiovaskularEfek muskarinik predominan pada jantung adalah bradikardi menyerupai refl eks vagal yang dapat berlanjut menjadi henti sinus (sinus arrest). Efek ini telah dilaporkan pada jantung yang baru ditransplantasikan (denervasi), lebih sering pada jantung yang telah ditransplantasikan 6

bulan sebelumnya (reinervasi).

Reseptor PulmonerStimulasi muskarinik dapat menyebabkan bronkospasme dan peningkatan sekresi saluran napas.

Reseptor SerebralFisostigmin adalah antikolinesterase yang dapat melewati sawar darah otak, dapat menyebabkan aktivasi elektroensefalogram yang difus karena menstimulasi reseptor muskarinik dan nikotinik susunan saraf pusat. Inaktivasi reseptor nikotinik-asetilkolin di susunan saraf pusat berperan penting pada mekanisme kerja anestesi umum.

Reseptor Gastrointestinal Stimulasi muskarinik meningkatkan aktivitas peristaltic saluran cerna (esofagus, lambung dan usus) dan juga sekresi kelenjar (kelenjar ludah, dll.). Kebocoran perioperatif post anastomosis usus, mual dan muntah, juga inkontinensia feses merupakan beberapa komplikasi penggunaan antikolinesterase.

Efek samping muskarinik yang tidak diinginkan dikurangi dengan penggunaan antikolinergik sebelum atau bersamaan dengan pemberian antikolinesterase, seperti pemberian atropin bersama glikopirolat. Durasi kerja obat golongan antikolinesterase berbeda-beda. Klirens tergantung pada metabolisme hepatik (25-50%) dan ekskresi renal (50-75%). Perpanjangan kerja pelumpuh otot non-depolarisasi akan diikuti oleh peningkatan durasi kerja obat antikolinesterase. Dosis yang diperlukan tergantung derajat blok neuromuskular yang telah pulih; biasanya diperkirakan dengan melihat respons stimulasi saraf perifer. Umumnya tidak ada inhibitor asetilkolinesterase yang dapat memulihkan blok saraf sangat intens yang tidak responsif terhadap stimulasi saraf perifer.

Tidak adanya twitch sedikitpun pada 5 detik setelah stimulasi tetanik pada 50 Hz menggambarkan blok sangat intensif yang tidak bisa dipulihkan. Dosis berlebihan inhibitor kolinesterase akan memperpanjang masa pemulihan. Tanda adanya pemulihan spontan (contoh: twitch pertama pada train-of-four [TOF]) harus ada sebelum dilakukan pemulihan farmakologik. Perhitungan pasca-tetanik (jumlah twitch yang dapat dipalpasi pasca tetanik) secara umum berhubungan dengan

waktu pemulihan twitch pertama TOF, sehingga berhubungan dengan kemampuan

memulihkan paralisis intens. Pada obat kerjasedang, seperti atrakurium dan venkuronium, twitch pasca-tetanik yang teraba akan muncul 10 menit sebelum pemulihan spontan twitch pertama pada TOF. Sebaliknya, pada agen Waktu pemulihan efek blokade non-depolarisasi bergantung pada beberapa faktor, termasuk pilihan dan dosis obat inhibitor kolinesterase yang digunakan, pelumpuh otot yang diantagonis, dan derajat blokade sebelum pemulihan. Pemulihan menggunakan edrofonium umumnya berlangsung lebih cepat daripada menggunakan neostigmin. Dosis besar neostigmin berlangsung lebih cepat daripada obat yang sama dengan dosis yang lebih sedikit. Pelumpuh otot kerja sedang membutuhkan dosis agen pemulihan (untuk derajat blok yang sama) yang lebih kecil daripada agen yang lebih lama masa kerjanya. Ekskresi dan metabolisme yang memadai akan mempercepat masa pemulihan agen kerja singkat dan sedang. Keuntungan ini dapat hilang dalam kondisi kerusakan organ tingkat terminal (misalnya, penggunaan vekuronium pada pasien gagal fungsi hati) ataupun defisiensi enzim (misalnya, pemberian mivakurium pada pasien homozygous atypical pseudocholinesterase). Bergantung pada dosis pelumpuh otot yang telah diberikan, pemulihan spontan sampai ke tahap adekuat secara farmakologik dapat berlangsung lebih dari 1 jam pada pelumpuh otot kerja panjang karena metabolisme yang kurang signifi kan hingga ekskresi lambat. Faktor-faktor yang mempecepat pemulihan juga biasanya berhubungan dengan kejadian paralisis residual yang lebih kecil dan kejadian komplikasi pernafasan pascabedah.Agen pemulihan mesti diberikan secara rutin pada pasien yang mendapatkan pelumpuh otot non-depolarisasi kecuali pemulihan universal dapat dibuktikan ataupun rencana post operasi yang berkaitan dengan intubasi dan ventilasi, dimana pada situasi terakhir ini sedasi yang adekuat harus tersedia. Stimulasi saraf perifer juga mestilah digunakan untuk memonitor kemajuan dan konfi rmasi bahwa reversal sudah adekuat. Secara umum, semakin tinggi frekuensi stimulasi, semakin tinggi sensitivitas test tersebut (100-Hz tetanik >50-Hz tetanik atau TOF >single-twitch height). Dikarenakan stimulasi saraf perifer tidaklah nyaman pada pasien sadar, maka

double-burst stimulation and test alternative dari fungsi neuromuskuler yang mestinya digunakan digunakan pada pasien sadar. Variasi juga didapatkan pada sensitivitasnya (sustained head lift > inspiratory force > vital capacity > tidalvolume). Maka dari itu, batas seseorang dapat dikatakan pulih ialah tetanus yang berkelanjutan 5 detik setelah respons dari stimulus 100 Hz pada pasien terbius ataupun mengangkat kepala pada pasien sadar. Jika tidak ada titik akhir diatas yang dapat dicapai, pasien harus tetap terintubasi dan ventilasi diteruskan.

Berdasarkan karakterisktik umum peningkatan asetilkolin akibat kerja dari antikolinesterase dapat dilihat pada tabet dibawah ini.Tabel 2.2 Karakteristik Umum Kerja Antikolinesterase

2.2.3 Indikasi

Antagonisme blok neuromuskular residual

Kelemahan otot Residual adalah umum setelah penggunaan long-acting neuromuscular blocking agen. Pasien yang telah diberi non-depolarisasi neuromuscular blocking obat harus dimonitor menggunakan stimulator saraf di seluruh anestesi dan pemulihan untuk memastikan antagonisme yang lengkap. Antagonisme blok residual tidak harus dicoba kecuali tinggi kedutan telah pulih lebih dari 20% dari kontrol, atau dua berkedut terdeteksi di kereta-dari-empat stimulasi. Semakin dalam blok pada antagonisme, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk dosis standar antikolinesterase untuk mengembalikan ketinggian kedutan atau kereta-dari-empat respon untuk mengontrol nilai-nilai (hunter, 2004).

Myasthenia gravis

Penyakit autoimun ini ditandai dengan kelemahan dan kelelahan otot rangka dengan sering terjadi eksaserbasi dan remisi parsial. Lebih dari 90% pasien yang positif untuk antibodi untuk reseptor asetilkolin. Neostigmin, pyridostigmine atau ambenonium digunakan dalam pengobatan myasthenia gravis. Edrofonium digunakan terutama untuk mendiagnosis miastenia gravis. Dosis uji 2 mg diikuti 30 s kemudian oleh 8 mg iv menyebabkan peningkatan transien dalam kekuatan otot. Hal ini juga digunakan untuk menentukan apakah pasien dengan myasthenia menerima pengobatan yang tidak memadai atau berlebihan dengan obat kolinergik. Jika tidak diobati dan krisis miastenia terjadi, perbaikan sementara adalah melihat, sedangkan jika pengobatan berlebihan (krisis kolinergik) gejala meningkat (hunter, 2004).

Penyakit Alzheimer

Kekurangan neuron kolinergik struktural utuh mengarah pada demensia progresif pada pasien dengan penyakit Alzheimer. Antikolinesterase meningkatkan konsentrasi neurotransmitter kolinergik dan dapat memperlambat proses degeneratif, mereka tidak membalikkannya. Donepezil adalah antikolinesterase reversibel diberikan dalam dosis sekali sehari dan rivastigmine adalah antikolinesterase reversibel non-kompetitif yang diberikan dua kali sehari. Pengobatan dimulai dengan dosis rendah dan perlahan-lahan meningkat tergantung pada respon dan efek samping (hunter, 2004).Ileus paralitik

Neostigmin telah digunakan untuk meringankan dilatasi usus yang disebabkan oleh ileus paralitik. Hal ini kontraindikasi pada kasus obstruksi usus, peritonitis, dan ketika kelangsungan hidup usus diragukan (hunter, 2004).Glaukoma

Antikolinesterase telah digunakan untuk pengobatan glaukoma primer dan sekunder, mereka memfasilitasi drainase aqueous humor, sehingga menurunkan tekanan intraokular. Penggunaan berkepanjangan ecothiopate dan physostigmine tetes mata dapat menyebabkan defisiensi diperoleh cholinesterase dan blok berkepanjangan dari neuromuscular blocking obat yang dimetabolisme oleh enzim ini (hunter, 2004).Pembalikan keracunan yang disebabkan oleh obat antikolinergik sentral

Antikolinergik yang melintasi penghalang darah-otak (misalnya atropin, hiosin) dapat menimbulkan eksitasi pusat atau depresi. Hal ini dikenal sebagai sindrom antikolinergik sentral. Pasien mungkin menderita gangguan pikiran, halusinasi, ataksia, kehilangan memori baru-baru ini, dan kelainan perilaku. Hal ini dapat dibalik dengan intravena physostigmine 2 mg diikuti dengan dosis tambahan yang diperlukan (hunter, 2004).2.3 Krisis Kolinergik 2.3.1 Definisi

Krisis kolinergik adalah over-stimulasi pada sambungan neuromuskuler karena kelebihan asetilkolin, sebagai suatu akibat dari tidak aktif (bahkan mungkin penghambatan ) dari enzim asetilkolinesterase , yang biasanya memecah asetilkolin (Jukarnain, 2011).Krisis kolinergik dapat terjadi karena penggunaan berlebihan dari antikolinesterase, gejala kolinergik biasanya paling parah 2 jam setelah dosis terakhir antikolinesterase.

2.3.2 Etiologi

Pada pasien krisis kolinergik, pasien mungkin telah meminum obat secara berlebihan karena kesalahan atau dosisnya mungkin berlebihan karena terjadi remisis spontan. Dalam pengobatan, hal ini terlihat pada pasien dengan myasthenia gravis yang mengambil terlalu tinggi dosis obat antikolinesterase, atau dilihat dalam beberapa kasus bedah.2.3.3 Gejala dan Pemeriksaan FisikGejala dari krisis kolinergik yaitu, otot berhenti mendapatkan tramsmisi asetilkolin, menyebabkan flaccid paralysis , kegagalan pernafasan mengeluarkan keringat dan gangguan pernapasan moderat. Tanda-tanda vitalnya adalah sebagai berikut: suhu 36,0 0C, tekanan darah 113/99 mm Hg, denyut jantung 100 denyut / menit, laju respirasi 28 kali / menit dan saturasi oksigen 88% pada ruang udara (waseem et al, 2010).Gejala awalnya pasien sadar tetapi tampak bingung dan tidak menjawab pertanyaan. Sekresi berlebihan. Gangguan pernapasan dengan suara napas keras dan ronki seluruh kedua bidang paru-paru, takikardi juga sering ditemukan tetapi memiliki irama teratur. Abdomen tidak keras dengan peningkatan bising usus. Pasien mengelutkan kencin tanpa disadarinya. Pasien dapat memindahkan semua ekstremitas tetapi memiliki beberapa fasikulasi otot. Kulit mengeluarkan keringat, tapi tidak ada ruam atau track tanda yang jelas. Pada pemeriksaan pupil 2 mm dan non-reaktif terhadap cahaya. Saraf kranial lain tampak utuh. Sulit untuk menilai motornya, fungsi sensorik dan cerebellar karena sangat kooperatif (Waseem et al, 2010).Lima belas menit kemudian dinilai, kondisinya memburuk dengan cepat. Mengembangkan air liur berlebihan dengan jumlah besar sekresi putih berbusa, yang terus memuntahkan dari mulutnya, sehingga sangat sulit untuk menjaga jalan napas nya jelas, bahkan dengan penyedotan mekanik. Saturasi oksigen nya jatuh ke bawah 80-an, meskipun menerima oksigen aliran tinggi (Waseem et al, 2010).2.3.4 Pemeriksaan PenunjangPada pemeriksaan penunjang biasanya ditemukan, analisis glukosa serum basal adalah 186 mg / dL. Nilai laboratorium lain adalah sebagai berikut: natrium serum 138 mmol / L, kalium 2,9 mmol / L, klorida 101 mmol / L, bikarbonat 17 mmol / L, glukosa 247 mg / dL, nitrogen urea darah 16 mg / dL, dan kreatinin 1,0 mg / dL. Hitung darah lengkap menunjukkan jumlah darah putih dari 12,8 103/L dengan 58% neutrofil dan 33% limfosit, kadar hemoglobin 17,2 g / dL dan jumlah trombosit dari 311.000 103/L. Creatine kinase (CK) adalah 191 U / L (40-210) dan CK-MB adalah 1,96 ng / ml (0,0-4,99) dengan indeks CK-MB dari 1% (0,0-2,49). Tingkat Troponin I adalah