refrat gilut

47
1 Refrat GILUT HUBUNGAN ANTARA PERIODONTITIS DENGAN OSTEOPOROSIS Di Susun Oleh: DIAH RUSTIANI S G0005081 Penguji: Drg. Pradipto Subiyantoro, Sp.BM

Upload: anindhito-kurnia-pratama

Post on 27-Nov-2015

105 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: refrat gilut

1

Refrat GILUT

HUBUNGAN ANTARA PERIODONTITIS DENGAN OSTEOPOROSIS

Di Susun Oleh:

DIAH RUSTIANI S

G0005081

Penguji:

Drg. Pradipto Subiyantoro, Sp.BM

BAGIAN ILMU KESEHATAN GIGI DAN MULUT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET-RSUD

Dr.MOEWARDI SURAKARTA2010

Page 2: refrat gilut

2

BAB I

PENDAHULUAN

Periodontitis dan osteoporosis adalah dua penyakit yang banyak

ditemukan baik pada wanita maupun pria dalam populasi dunia. Dua penyakit ini

meningkat intensitasnya seiring dengan usia. (Marques et al, 2003)

Osteopenia bersama osteoporosis adalah proses reduksi tulang yang

diakibatkan ketidakseimbangan resorpsi dan formasi tulang, dimana terjadi

peningkatan resorpsi. Gangguan ini membawa pada demineralisasi tulang yang

bermanifestasi klinis melalui nyeri, deformitas, dan fraktur tulang. Risiko fraktur

bergantung pada densitas absolut mineral tulang. Tingkat kehilangan mineral

tulang dua kali tinggi pada wanita daripada pria, sebagai akibat kekurangan

estrogen pada wanita di periode post menopausal.

Periodontitis didefinisikan sebagai inflamasi pada jaringan penyangga

gigi, yang biasanya diikuti dengan proses destruksi progresif dan menuju pada

kehilangan ligamen periodontal dan tulang alveolar. Proses destruksi pada

jaringan periodontal membahayakan stabilitas pembusukan gigi dan akhirnya

menyebabkan gigi tanggal. Periodontitis adalah penyebab mayor hilangnya gigi

pada orang dewasa. (Lin Lai, 2004)

Baik osteoporosis maupun penyakit periodontal adalah penyakit resorptif

tulang. Osteoporosis dan osteopenia dikarakteristikkan dengan reduksi pada

massa tulang dan dapat menyebabkan fraktur dan fragilitas tulang. Kehilangan

tulang alveolar yang berhubungan dengan osteoporosis membuat host rentan

terhadap penyakit periodontal. (Sumintarti, 2005)

Defisiensi estrogen mempertinggi tingkat kerusakan komponen jaringan

ikat dari ginggiva dengan menstimulasi sinstesis matrix metalloproteinases

(MMP-8 dan MMP-13), nitric oxide, dan beberapa sitokin yang terlibat dalam

resorpsi tulang. Defisiensi estrogen juga meningkatkan konsentrasi IL-6 pada

sumsum tulang, serum, dan ginggiva (Johnson et al, 2002), yang secara kooperatif

menstimulasi resorpsi tulang osteoklas. Oleh sebab itu, wanita pascamenopause

berisiko mengalami osteoporosis dan penyakit periodontal.

Page 3: refrat gilut

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PERIODONTITIS

1. Definisi

Periodontitis adalah peradangan atau infeksi pada jaringan

penyangga gigi (jaringan periodontium). Yang termasuk jaringan

penyangga gigi adalah gusi, tulang yang membentuk kantong tempat gigi

berada, dan ligamen periodontal (selapis tipis jaringan ikat yang

memegang gigi dalam kantongnya dan juga berfungsi sebagai media

peredam antara gigi dan tulang).

Suatu keadaan dapat disebut periodontitis bila perlekatan antara

jaringan periodontal dengan gigi mengalami kerusakan. Selain itu, tulang

alveolar (tulang yang menyangga gigi) juga mengalami kerusakan.

Periodontitis dapat berkembang dari gingivitis (peradangan atau infeksi

pada gusi) yang tidak dirawat. Infeksi akan meluas dari gusi ke arah tulang

di bawah gigi sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih luas pada

jaringan periodontal.

2. Etiologi dan Faktor Risiko

Page 4: refrat gilut

4

Pengamatan klinis menunjukkan bahwa mikroorganisme cepat

berkumpul di permukaan gigi ketika sesorang berhenti menjaga kebersihan

mulutnya. Hanya dengan beberapa hari, tanda-tanda mikroskopis dan

klinis dari gingivitis sudah terlihat. Perubahan peradangan bisa

ditanggulangi ketika orang tersebut kembali menjaga kesehatan mulutnya

secara intensif.

Mikroorganisme yang berasal dari plak pada gigi dan

menyebabkan gingivitis juga termasuk pelepasan bakteri yang

menyebabkan peradangan jaringan. Percobaan klinis menekankan pada

kebutuhan untuk membuang microbial plaque pada supra- dan

subgingival dalam perawatan gingivitis dan periodontitis ( Kinene, Denis

F et all, 2006)

Plak gigi merupakan microbial yang mengawali terjadinya

penyakit jaringan periodontal. Namun bagaimana hal itu dapat

mempengaruhi suatu subjek, bagaimana penyakit tersebut timbul dan

bagaimana dengan progressnya, semuanya tergantung dari kekebalan atau

pertahanan dari host itu sendiri. Faktor pendukung yang mempengaruhi

semua hal dari periodontitis secara utama dengan efeknya terhadap

kekebalan normal dan pertahanan terhadap pembengkakan adalah sebagai

berikut :

2.1 Infeksi HIV

Meskipun banyak orang yang terinfeksi HIV tanpa periodontitis,

mereka mungkin sering mengalami gangguan dalam rongga mulut,

beberapa ditemukan pada periodontium. Jaringan periodontal pada

penderita HIV-positif termasuk linear gingival erythema, necrotizing

ulcerative gingivitis, periodontitis lokal parah dan severe destructive

necrotizing stomatitis yang mempengaruhi gingival dan tulang (mirip

noma dan cancrum oris) (Janet HS, George WT, and Panagiota GS, 2006)

2.2 Tekanan Emosi

Page 5: refrat gilut

5

Stress yang berkepanjangan telah menjadi faktor pendukung

timbulnya necrotizing ulcerative gingivitis. Dampak negatif dari stress

pada jaringan periodontium dapat disebabkan juga oleh perubahan

perilaku, misalnya kebersihan mulut yang buruk dan rokok. Hal ini dapat

merusak fungsi imun sehingga meningkatkan kerentanan terkena infeksi.

Pengaruh stress pada jaringan periodontium yaitu dapat meningkatkan

level sirkulasi kortikostiroid. Meskipun stress merupakan faktor yang tidak

mudah diukur, level kortikostiroid pada urin dapat diukur dan ditemukan

lebih tinggi pada pasien necrotizing ulcerative gingivitis. (Janet HS,

George WT, and Panagiota GS, 2006)

2.3 Osteoporosis

Penelitian pada hewan studi pada domba menunjukkan bahwa

kekurangan estrogen dapat menyebabkan meningkatnya penyakit

periodontal. Sebuah studi pada 28 wanita berumur antara 23 dan 78 tahun

dengan membaginya menjadi 2 kelompok, kelompok yang lebih tua

postmenopausal dan yang lebih muda premenopausal. Kelompok yang

lebih tua mengalami kekurangan dalam kepadatan alveolar bone, dimana

penulis menyimpulkan bahwa menopause dapat menyebabkan

berkurangnya kepadatan dalam alveolar bone. Studi yang lain pada

manusia dengan osteopenia dan osteoporosis, menunjukkan bahwa

keakutan dari osteopenia berhubungan dengan berkurangnya alveolar

cristal height dan gigi tanggal pada wanita yang mengalami

postmenopause (Taguchi A, Sanada M, Suei Y, at all).

2.4 Tembakau

Merokok dan mengunyah tembakau merupakan faktor yang signifikan

dalam menyebabkan penyakit periodontal. Merokok menurunkan sistem

imun sehingga mempermudah terjadinya infeksi periodontal. Merokok

juga menjadikan suasana dalam ronnga mulut lebih kondusif untuk tempat

berkumpulnya bakteri dan menghambat proses eliminsai bakteri dalam

Page 6: refrat gilut

6

rongga mulut. Oleh sebab itu, respon perokok terhadap periodontal juga

menjadi lebih rendah daripada bukan perokok.

2.5 Herediter

Jumlah dari gangguan genetik meningkat seiring dengan

periodontitis kronis. Plak microbial, berubah sesuai level dan durasi

penumpukan faktor lingkungan, misal merokok, diabetes, systemic health,

dan genetik seseorang.

Salah satu gangguan genetik yaitu Down’s syndrome

dikarakteristik oleh awal dari periodontitis yang bermanifestasi pada

dentition utama dan berlanjut hingga dewasa. Keakutan dari penyakit

periodontal tersebut sangat tinggi dibandingkan dengan lainnya, atau

individu cacat mental lainnya (Janet HS, George WT, and Panagiota GS,

2006).

2.6 Obat-obatan

Beberapa obat antidepresan, influenza, dan antihistamin mengandung

bahan-bahan yang mengurangi produksi saliva. Karena saliva memiliki

fungsi cleansing effect dan membantu menghambat pertumbuhan bakteri,

maka penurunan produksinya dapat menyebabkan mudah terbentuknya

plak dan tartar. Obat-obat lain, terutama obat antikonvulsan, calcium

channel blocker, dan obat-obatan penghambat sistem imun dapat

menyebabkan gingival hyperplasia sehingga plak semakin sulit

dihilangkan.

2.7 Diabetes

Penyakit jaringan periodontal merupakan komplikasi ke enam dari

penyakit diabetes mellitus. Beberapa review menunjukkan bukti dari

keterkaitan secara langsung antara diabetes mellitus dengan penyakit

periodontitis. Hubungan antara diabetes mellitus dengan periodontitis

tampak dengan kuat dalam populasi khusus.

Page 7: refrat gilut

7

Sebuah studi melibatkan 75 penderita diabetes diabetes (IDDM dan

NIDDM) bertujuan untuk memeriksa hubungan antara kontrol diabetes,

sebagaimana dievaluasi oleh glycosylated hemoglobin levels dan

periodontitis. Dalam studi tersebut, keakutan dari dari periodontitis

meningkat seiring dengan control yang buruk dari diabetes. Sebuah

laporan menyebutkan bahwa metabolik kontrol dapat menjadi faktor

terpenting antara kesehatan periodontal dengan IDDM. Data tersebut

mendukung hipotesis bahwa diabetes dan level dari metabolik kontrol

penting dalam hubungannya dengan penyakit periodontitis (Janet HS,

George WT, and Panagiota GS, 2006).

2.8 Perubahan Hormonal

Elevasi di level plasma dari hormone sex selama kehamilan

menyebabkan modifikasi dari respon host pada plak gigi, namun hal ini

mempegaruhi jaringan yang lembut yang meningkatkan pembengkakan

dan gingivitis kronis. Beberapa studi menyebutkan keadaan dari

kemerahan gusi, edema, pendarahan, meningkat pada bulan ke-2

kehamilan sampai bulan ke-8 dan akhirnya menurun. Fluktuasi gingivitis

dengan fase siklus menstruasi dan efek dari kontrasepsi oral pada gingival

merupakan efek dari hormon sex terhadap jaringan periodontal. Lebih

lanjut pubertas juga merupakan hal yang dapat menaikkan pembengkakan

gingiva dan peningkatan respon pada plak merupakan akibat dari

konsentrasi hormone sex dalam plasma (Taguchi A, Sanada M, Suei Y, at

all)

2.9 Defisiensi Gizi

Diet buruk, terutama defisiensi kalsium, vitamin B dan C, berperan dalam

terjadinya penyakit periodontal. Kalsium penting untuk menjaga kesehatan

tulang, termasuk tulang penyangga gigi. Vitamin C membantu memelihara

integritas jaringan ikat dan sebagai antioksidan yang mencegah perusakan

jaringan oleh radikal bebas.

Page 8: refrat gilut

8

3. Klasifikasi

a. Periodontitis Kronis

Dapat pula diartikan sebagai adult periodontitis, dimulai saat

remaja, merupakan penyakit dengan progresifitas lambat dan mulai terlihat

tanda-tanda klinisnya sekitar pertengahan usia 30 tahun dan berlanjut

selama hidup. Pada keadaan ini periodontitis terus berlanjut dan bertambah

atau berkurangnya bergantung pada respon imun.

b. Periodontitis Agresif

Dikenal juga sebagai early onset periodontits, sering terdapat pada

anak muda. Defisiensi imun dan faktor genetik merupakan penyebab

terjadinya semua tipe periodontitis agresif. Apabila keadaan ini dilokalisir

dan diterapi, prognosisnya baik. Pasien dengan periodontitis agresif berat

dan meluas memiliki kecenderungan yang besar mengalami gigi tanggal.

Sel darah putih yang lemah dan adanya bakteri memicu periodontitis

agresif. Periodontitis ini dibagi lagi menjadi 2 tipe, yaitu:

1) Periodontitis sebelum pubertas. Jenis ini jarang terjadi. Penyakit

dimulai saat gigi pada tahun pertama dan menyebabkan peradangan

hebat serta kerusakan tulang dan gigi. Periodontitis prepubertas

umumnya berhubungan dengan penyakit sistemik, seperti akut dan sub

akut leukemia, defisiensi adhesi leukosit, hipofosfatasia.

2) Juvenile periodontitis, terjadi saat pubertas, ditandai dengan kerusakan

tulang yang parah di sekitar gigi molar pertama dan incisivus. Lebih

sering terjadi pada anak perempuan daripada laki-laki. Tanda klinis

seperti peradangan, perdarahan, dan akumulasi plak secara relatif jarang

ditemukan.

c. Disease-related Periodontitis

Periodontitis dapat juga berhubungan dengan peyakit-penyakit

sistemik, seperti diabetes mellitus tipe 1, down syndrome, AIDS, kelainan

leukosit yang berat.

d. Penyakit Acute Necrotizing Periodontal

Page 9: refrat gilut

9

Merupakan penyakit akut pada gusi, ditandai dengan : jaringan

mati (nekrosis), perdarahan spontan, nyeri dengan onset yang cepat, bau

mulut tak sedap, gusi tumpul (normalnya berbentuk seperti corong). Stres,

diet yang buruk, merokok, dan infeksi virus adalah faktor predisposisi

terjadinya acute necrotizing periodontal.

4. Tanda dan Gejala

a. Gusi merah dan bengkak

b. Perdarahan gusi

Perdarahan pada gusi saat menyikat gigi merupakan tanda peradangan

dan penanda utama terjadinya penyakit periodontal, pengecualian pada

juvenile periodontitis yang gejalanya sangat ringan bahkan tidak ada.

c. Bau mulut tak sedap

Debris dan bakteri menjadikan bau mulut tak sedap dapat persisten.

d. Penurunan gusi dan gigi tanggal

Periodontitis menyebabkan gusi menjadi turun dan kerusakan pada

struktur tulang penyangga gigi sehingga gigi menjadi mudah tanggal

e. Abses

f. Pocket periodontal yang dalam antara gusi dan tulang dapat

menghambat pengeluaran tartar dan partikel-partikel makanan. Pada

infeksi, sel darah putih yang melawan akan tertahan dan mati,

terbentuklah pus dan menjadi abses. Abses dapat menghancurkan gusi

dan jaringan-jaringan gigi, menyebabkan gigi yang terdekat menjadi

tanggal dan sangat nyeri, mungkin didapatkan demam serta

pembengkakan kelenjar getah bening.

Page 10: refrat gilut

10

5. Patofisiologi

Periodontitis dimulai dari terbentuknya plak, lapisan lengket pada

gigi terbentuk ketika karbohidrat dan glukosa dalam makanan berinteraksi

dengan bakteri yang pada keadaan normal dapat ditemukan dalam mulut

(flora normal). Walaupun dengan menyikat gigi plak ini dapat dihilangkan,

namun dapat kembali dibentuk dengan cepat dalam waktu 24 jam.

Plak yang bertahan pada gigi dalam waktu lebih dari 2 hari dapat

mengeras pada alur gusi dan berubah menjdi tartar atau kalkulus atau

karang gigi. Sayangnya sikat gigi dan flossing tidak dapa

menghilangkannya. Semakin lama tartar bertahan pada gigi, kerusakan

yang terjadi semakin serius. Pada mulanya terjadi peradangan dan iritasi

ringan pada gusi yang mengelilingi gigi, disebut gingivitis yang

merupakan stadium paling ringan dari penyakit periodontal. Bila

peradangan ini terus berlanjut, maka terbentuklah pocket diantara gigi dan

gusi yang diisi oleh plak, tartar, dan bakteri. Pada suatu saat, plak menjadi

semakin dalam dan bakteri semakin terakumulasi di dalamnya sehingga

terjadilah periodontitis.

Periodontitis terjadi bila peradangan dan infeksi pada gusi

(gingivitis) tidak diobati atau pengobatan terlambat. Peradangan dan

infeksi menyebar dari gusi ke ligamentum dan tulang yang menyangga

gigi. Kerusakan jaringan yang menyangga menyebabkan gigi tanggal.

Peradangan yang terus berlanjut menyebabkan terjadinya destruksi

pada jaringan dan tulang penyangga gigi. Karena plak ini mengandung

bakteri, terjadilah infeksi dan bahkan mungkin terbentuk abses gigi yang

memperkuat terjadinya destruksi tulang.

Page 11: refrat gilut

11

6. Diagnosis

a. Riwayat Medis

Dokter gigi pertama kali akan menanyakan riwayat medis pasien

untuk mengungkapkan masalah periodontal pada masa lalu dan sekarang,

underlying disease yang mungkin berperan, dan pengobatan yang telah

pasien dapatkan. Setelah mencatat keadaan umum dari oral hygiene

pasien, dokter gigi akan menanyakan tentang perawatan gigi yang

dilakukan di rumah.

b. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi pada gusi. Inspeksi meliputi warna dan bentuk gusi pada

daerah permukaan buccal dan lingual masing-masing gigi dan

dibandingkan dengan standar yang sehat. Warna merah, lunak, dan

perdarahan menunjukkan adanya peradangan.

c. Periodontal Screening and Recording (PSR)

PSR adalah prosedur untuk mengukur dan menentukan tingkat

keparahan penyakit periodontal. Dokter gigi menggunakan kaca dan

periodontal probe yang digunakan untuk menilai kedalaman pocket.

Pocket yang lebih dalam dari 3 mm merupakan indikasi adanya penyakit.

PSR membantu penilaian kondisi jaringan pengikatnya dan besarnya

pertumbuhan atau penurunan ginggiva.

d. Testing Tooth Movement

Mobilitas gigi dinilai dengan menekan gigi menggunakan 2 alat

dan dilihat pergerakannya. Mobilisasi gigi merupakan indikasi adanya

kerusakan tulang penyangga gigi.

e. X-rays

Page 12: refrat gilut

12

X-rays dapat untuk menunjukkan hilang struktur tulang penyangga

gigi. Delapan belas x-rays serial seluruh mulut penting untuk diagnosis.

7. Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan :

Menghentikan dan mengontrol penyakit

Memperbaiki jaringan periodontal yang masih bisa dirawat

Jika dimungkinkan, memperbaiki struktur penyangga gigi, termasuk

tulang, gusi, dan ligamen

Tahap pengobatan :

a. Pembersihan, scalling, kuretase

b. Operasi, dilakukan untuk mengurangi kedalam pocket setelah tahap

pembersihan

c. Antibiotik oral atau topikal

d. Perawatan

Tujuan pengobatan periodontitis adalah menghilangkan bakteri

dalam pocket dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Beberapa orang

dengan periodontitis berhasil diobati dengan terapi non infasiv. Jika pocket

yang terbentuk ≤ 5 mm, lebih baik menggunakan scalling dan perawatan

saluran akar, kadang ditambah dengan antibiotk. Apabila pasien tersebut

konsisten menjaga oral hygiene di rumah, mungkin hanya terapi ini yang

diperlukan.

Scalling menghilangkan tartar dan bakteri dari permukaan gigi

bawah dan gusi. Perawatan saluran akar untuk menjaga akar gigi dan

selanjutnya mengurangi tartar. Sebagai tambahan, periodontist mungkin

meresepkan antibiotik atau obat lain untuk mengontrol infeksi. Pemberian

antibiotik topikal sejak awal akan mengurangi pengobatan sistemik

sehingga efek samping dan resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat

dikurangi.

Page 13: refrat gilut

13

Terkadang ditemukan periodontits lanjut, dimana kedalam pocket > 5 mm

dan jaringan gusi tidak respon terhadap terapi non infasiv. Pada kasus

tersebut, pilihan terapi yang diberikan :

a. Operasi flap (pocket reduction surgery)

Pada prosedur ini, periodontist membuat irisan kecil pada gusi

sehingga gusi dapat diangkat, akar dapat terlihat dan memudahkan

scalling. Karena periodontitis hampir selalu menyebabkan kerusakan

tulang, maka tulang yang bermasalah diatasi terlebih dahulu sebelum

gusi dijahit kembali ke tempatnya. Prosedur ini memerlukan waktu 2-3

jam dengan anatesi lokal.

b. Cangkok jaringan lunak (soft tissue graft)

Pada penyakit periodontal, gusi mengalami penurunan sehingga

terlihat lebih terbuka dibandingkan normalnya. Penggantian jaringan

yang rusak, dilakukakan dengan memindahkan sebagian kecil jaringan

dari palatum dan menempelkannya pada tempat yang rusak yang

bertujuan: membantu gusi yang mengalami penurunan, menutupi akar

gigi yang terbuka, menjaga dari kerusakan dan mengurangi sensitifitas

terhadap panas dan dingin, serta atas tujuan kosmetik.

c. Bone grafting

Prosedur ini dilakukan bila sudah terjadi kehancuran tulang di sekitar

akar gigi. Tulang dapat berasal dari diri sendiri, sintetik, atau donatur.

Page 14: refrat gilut

14

Tidak hanya mencegah gigi tanggal, tapi bone grafting juga sebagai

‘plafon’ untuk pertumbuhan kembali tulang yang baru. Pada kasus ini,

bone grafting selalu dilanjutkan dengan teknik yang disebut guided

tissue regeneration.

d. Guided tissue regeneration

Prosedur ini dapat memacu kembali pertumbuhan tulang yang telah

dihancurkan oleh bakteri. Dokter gigi akan meletakkan bahan khusus

diantara tulang yang masih ada dan gigi. Bahan ini mencegah jaringan-

jaringan yang tidak diinginkan masuk ke tempat yang dalam masa

penyembuhan, dan memicu pertumbuhan tulang kembali

e. Penanaman gigi

Prosedur ini seringkali berhasil pada pasien yang telah kehilangan gigi

karena penyakit periodontal. Untuk satu gigi diperlukan 5-7 bulan

sampai lengkap.

B. OSTEOPOROSIS

1. Definisi

Penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas tulang dan

perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan

mudah patah (Marques et al, 2003).

2. Etiologi dan Faktor Risiko

Page 15: refrat gilut

15

2.1 Faktor risiko yang tidak bisa diubah

Umur

Tiap peningkatan 1 dekadi, risiko meningkat 1,4-1,8

Genetik

Etnis (kaukasia dan oriental > kulit hitam dan polinesia), seks (wanita >

pria), riwayat keluarga

2.2 Faktor risiko yang bisa diubah

Lingkungan

Defisiensi kalsium, aktivitas fisik kurang, obat-obatan (kortikosteroid,

anti konvulsan, heparin, siklosporin), merokok, defisiensi vitamin D,

alkohol, gangguan makan (anoreksia), risiko terjatuh yang meningkat

(gangguan keseimbangan, licin, gangguan penglihatan)

Hormonal dan penyakit kronis

Defisiensi estrogen/androgen, tirotoksikosis, hiperparatiroidisme

primer, hiperkortisolisme, penyakit kronik (sirosis hepatis, gagal ginjal,

gastrektomi)

Sifat fisik tulang

Densitas, ukuran dan geometri, miroarsitektur, komposisi

3. Klasifikasi

Chehab Rukmi Hylmi (1994) membagi osteoporosis sebagai berikut :

b. Osteoporosis Primer

Adalah suatu osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya dengan

jelas, ini merupakan kelompok terbesar. Osteoporosis primer dibagi

menjadi: 1) Osteoporosis tipe I yang timbul pada wanita post

menoupouse, 2) Osteoporosis tipe II yang terdapat pada kedua jenis

kelamin dengan usia yang semakin bertambah (senilis)

c. Osteoporosis Sekunder

Adalah suatu osteoporosis yang diketahui penyebabnya jelas. Biasanya

disebabkan oleh : 1) Penyakit endokrin, 2) Nutrisi, 3) Obat-obatan

d. Osteoporosis Idiopatik

Page 16: refrat gilut

16

Adalah terjadinya pengurangan masa tulang pada: 1) Anak-anak, 2)

Remaja, 3) Wanita pra menoupouse, 4) Laki-laki berusia

muda/pertengahan. Osteoporosis jenis ini lebih jarang terjadi.

4. Patofisiologi

4.1 Umum

Sel tulang terdiri atas osteoblas, osteosit dan osteoklas yang dalam

aktifitasnya mengatur homeostasis kalsium yang tidak berdiri sendiri

melainkan saling berinteraksi. Homeostasis kalsium pada tingkat seluler

didahului penyerapan tulang oleh osteoklas yang memerlukan waktu 40

hari, disusul fase istirahat dan kemudian disusul fase pembentukan tulang

kembali oleh osteoblas yang memerlukan waktu 120 hari. Dalam

penyerapannya, osteoklas melepas Transforming Growth Factor yang

merangsang aktivitas awal osteoblas. Dalam keadaan normal, kuantitas

dan kualitas penyerapan tulang oleh osteoklas sama dengan kuantitas dan

kualitas pembentukan tulang baru oleh osteoblas. Pada osteoporosis

penyerapan tulang lebih banyak dari pada pembentukan tulang baru

(Roeshadi, 2001).

4.2 Osteoporosis Primer

Estrogen memang merupakan salah satu faktor terpenting dalam

mencegah hilangnya kalsium tulang. Selain itu, estrogen juga merangsang

aktivitas osteoblas serta menghambat kerja hormon paratiroid dalam

merangsang osteoklas. Estrogen memperlambat atau bahkan menghambat

hilangnya massa tulang dengan meningkatkan penyerapan kalsium dari

saluran cerna. Dengan demikian, kadar kalsium darah yang normal dapat

dipertahankan. Semakin tinggi kadar kalsium di dalam darah, semakin

kecil kemungkinan hilangnya kalsium dari tulang (untuk menggantikan

kalsium darah).

Estrogen juga menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone

marrow stromal cell dan sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6, dan

Page 17: refrat gilut

17

TNF-α yang berperan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian

penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi

berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas osteoklas meningkat.

Menopause juga menurunkan absorbsi kalsium di usus dan

meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Untuk mengatasi keseimbangan

negatif kalsium, maka kadar PTH akan meningkat sehingga osteoporosis

akan semakin berat. Selain itu, menopause juga menurunkan sintesis

berbagai protein yang membawa 1,25 (OH)2 D, sehingga pemberian

estrogen akan meningkatkan konsentrasi 1,25 (OH)2 D di dalam plasma.

Secara umum, pada usia tua terjadi ketidakseimbangan remodeling

tulang, dimana resorpsi tulang meningkat sedangkan formasi tulang tidak

berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa

tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur.

Peningkatan resorpsi tulang merupakan risiko fraktur yang independen

terhadap BMD. Peningkatan osteokalsin seringkali didapatkan pada usia

tua, tetapi hal ini lebih menujukkan peningkatan turnover tulang dan

bukan peningkatan formasi tulang. Sampai saat ini belum diketahui pasti

penyebab penurunan fungsi osteoblas pada usia tua, diduga karena

penurunan kadar estrogen dan IGF-1.

Page 18: refrat gilut

18

4.3 Osteoporosis Sekunder

Defisiensi kalsium dan vitamin D sering disebabkan oleh asupan

yang kurang, anoreksia, malabsorbsi, dan paparan sinar matahari yang

rendah. Akibat defisiensi kalsium akan timbul hiperparatiroidisme

sekunder yang persisten sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi

tulang dan kehilangan massa tulang.

Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi protein yang akan

menyebabkan penurunan sintesis IGF-1. Defisiensi vitamin K juga akan

menyebabkan osteoporosis karena meningkatkan karboksilasi protein

tulang, misalnya osteokalsin.

Defisiensi estrogen juga menjadi salah satu penyebab osteoporosis

baik pada pria maupun wanita. Defisiensi estrogen pada pria juga berperan

pada kehilangan massa tulang. Karena pria tidak pernah mengalami

menopause (penurunan kadar estrogen mendadak), maka kehilangan massa

tulang yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Estrogen pada

pria berfungsi mengatur resorpsi tulang, sedangkan estrogen dan

progesteron mengatur formasi tulang. Penipisan trabekula pada pria terjadi

karena penurunan formasi tulang, sedangkan putusnya trabekular pada

wanita disebabkan karena peningkatan resorpsi yang berlebihan akibat

penurunan kadar estrogen yang drastis saat menopause.

Penurunan hormon pertumbuhan (GH) dan IGF-1 juga berperan

terhadap peningkatan resorpsi tulang.

5. Aspek Biologi Osteoporosis

5.1 Remodeling Tulang

Proses yang seimbang dari resorpsi tulang secara berlanjut akan

membentuk kembali tulang normal, termasuk tulang alveolar, oleh

osteoklas, diikuti deposisi tulang oleh osteoblas. (Rodan, Martin, 2000)

Osteoblas mensekresi protein matriks tulang, termasuk kolagen

tipe-I, proteoglikan, osteokalsin, osteopontin, dan faktor pertumbuhan, lalu

kemudian menstimulasi mineralisasi tulang. Osteoklastogenesis juga

Page 19: refrat gilut

19

dibawah pengaruh osteoblas, semenjak osteoblas dipengaruhi oleh faktor-

faktor yang dapat mendukung resorpsi tulang, seperti hormon paratiroid

(PTH), 1,25 dihidroksivitamin D3, kalsitonin, dan prostaglandin E2

(PGE2). Tidak seperti osteoklas, osteoblas tidak memiliki turunan

hemopoetik, tapi diambilkan dari prekursor mesenkimal. Prekursor sel

ditarik secra kemotaktik, kemudian sel tulang mitogen, termasuk growth

factor beta (TGFb) transform, platelet-derived growth factor (PDGF),

protein morfogenetik tulang, fibroblast growth factor, dan insulin-like

growth factors-I dan II, menyebabkan proliferasi dan diferensiasi mereka

pada osteoblas. Banyak dari faktor-faktor pertumbuhan ini dirilis sebagai

osteoklas pelarut tulang. Resorpsi demikian secara otomatis memicu

penggantian.

5.2 Osteopenia

Osteopenia didefinisikan sebagai reduksi pada massa tulang dan

deteriorasi pada arsitektur tulang, yang dapat terjadi pada usia diatas 40

tahun, merupakan ciri dari osteoporosis yang berakibat pada peningkatan

fragilitas tulang dan mudahnya terjadi fraktur. (Kanis et al, 2002)

Sekarang ini tidak ada metode yang akurat untuk mengukur

keseluruhan kekuatan tulang. Bone Mineral Density (BMD) sering

digunakan sebagai pengukuran yang mewakili dan menghitung sekitar

70% kekuatan tulang. (Kanis et al, 2002)

Berdasarkan densitas massa tulang (pemeriksaan massa tulang

dengan menggunakan alat densitometri), WHO membuat kriteria sebagai

berikut :

5.3 Faktor Risiko untuk Osteoporosis

Normal : Nilai T pada BMD > -1Osteopenia : Nilai T pada BMD antara -1 dan -2,5Osteoporosis : Nilai T pada BMD < -2,5Osteoporosis Berat : Nilai T pada BMD , -2,5 dan ditemukan fraktur

Page 20: refrat gilut

20

Prevalensi dari osteoporosis dan insidensi dari fraktur bervariasi

dari segi jenis kelamin dan ras/etnik. Baik pria maupun wanita mengalami

penurunan BMD terkait usia semenjak pertengahan hidup. Wanita

mengalami kehilangan tulang yang lebih cepat pada awal-awal tahun

menginjak menopause, yang menempatkan mereka pada risiko untuk

fraktur lebih dini. (Rodan, Martin, 2000)

Penyebab tersering osteoporosis pada wanita adalah penurunan

estrogen yang menyertai menopause. Kehilangan estrogen dikaitkan

dengan peningkatan resorpsi tulang yang disebabkan oleh peningkatan

sitokin yang meregulasi generasi osteoklas, seperti: RANK-ligand; TNF-a;

interleukin-1 (IL-1), IL-2, IL-6; M-CSF (Macrophage-Colony Stimulating

Hormone), dan prostaglandin E. Produksi dari seluruh sitokin ini secara

langsung maupun tidak langsung ditekan atau diregulasi oleh estrogen.

(Kanis et al, 2002)

Penggunaan glukokortikoid menyebabkan bentuk paling sering

drug-related osteoporosis, dan penggunaan glukokortikoid jangka panjang

pada penyakit-penyakit seperti rheumatoid arthritis dan penyakit paru

obstrukstif kronik terkait dengan angka kejadian fraktur tulang yang tinggi

(Rodan, Martin, 2000). Orang yang menjalani transplantasi organ berada

pada risiko tinggi untuk osteoporosis mengacu pada berbagai faktor

Hipertiroidisme juga merupakan faktor risiko osteoporosis (Rodan, Martin,

2000).

6. Tanda dan Gejala

Kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada

penderita osteoporosis senilis), sehingga pada awalnya osteoporosis tidak

menimbulkan gejala. Beberapa penderita tidak memiliki gejala. Jika

kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau

hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk.

Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun.

Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau

Page 21: refrat gilut

21

karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan

di daerah tertentu dari punggung, yang akan bertambah nyeri jika

penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa

sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap

setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang

belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang abnormal dari

tulang belakang (punuk Dowager), yang menyebabkan ketegangan otot

dan sakit.

Tulang lainnya bisa patah, yang seringkali disebabkan oleh tekanan

yang ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius

adalah patah tulang panggul. Yang juga sering terjadi adalah patah tulang

lengan (radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan tangan,

yang disebut fraktur Colles. Selain itu, pada penderita osteoporosis, patah

tulang cenderung menyembuh secara perlahan.

7. Diagnosis

Pada seseorang yang mengalami patah tulang, diagnosis

osteoporosis ditegakkan berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik dan rontgen

tulang. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan untuk menyingkirkan

keadaan lainnya yang bisa diatasi, yang bisa menyebabkan osteoporosis.

Untuk mendiagnosis osteoporosis sebelum terjadinya patah tulang

dilakukan pemeriksaan yang menilai kepadatan tulang. Pemeriksaan yang

paling akurat adalah DXA (dual-energy x-ray absorptiometry).

Pemeriksaan ini aman dan tidak menimbulkan nyeri, bisa dilakukan dalam

waktu 5-15 menit. DXA sangat berguna untuk:

wanita yang memiliki risiko tinggi menderita osteoporosis

penderita yang diagnosisnya belum pasti

penderita yang hasil pengobatannya harus dinilai secara akurat.

8. Penatalaksanaan

a. Terapi Hormon

1) Hormone Replacement Therapy (HRT)

Page 22: refrat gilut

22

HRT melibatkan penggunaan estrogen, baik estrogen tunggal

maupun kombinasi dengan dengan progesteron. Terapi ini mencegah

berkurangnya massa tulang saat menopause yang disebabkan

kekurangan estrogen pada tahun-tahun berikutnya. Estrogen juga

berperan dalam homeostasis kalsium yang berkaitan dengan perbaikan

efisiensi absorbsi kalsium usus. (Lane, 2001)

Dengan pemberian yang tepat dan jumlah yang sesuai, HRT

juga akan memberikan perlindungan pada kekuatan tulang, bila

kekuatan tulang dapat dijaga, kejadian patah tulang yang berbahaya

dapat dihindari. (Leman, 2005)

2) Selective Estrogen Receptor Modulator (SERM)

Baru-baru ini timbul minat yang besar terhadap penggunaan

tamoxifen, sejenis unsur gabungan seperti estrogen (SERM) yang

memiliki khasiat sebagian estrogen tetapi tidak memiliki sebagian efek

samping negatifnya. (Lane, 2001)

Penggunaan tamoxifen pada wanita menopause, seperti halnya

penggunaan estrogen, mencegahnya berkurangnya massa tulang pada

pinggul dan tulang punggung. Oleh karena itu tamoxifen dikembangkan

untuk mencegah dan mengobati osteoporosis. (Lane, 2001)

b. Obat-obatan

1) Kalsium

Kalsium merupakan mineral yang paling sering diberikan

untuk merawat osteoporosis. Kalsium juga dapat memacu pertumbuhan

tulang pada saat remaja untuk membantu mencapai puncak massa

tulang. Pada wanita yang telah lama mengalami menopause, suplemen

kalsium dengan dosis setidaknya 1 gram per hari dapat menurunkan

tingkat berkurangnya massa tulang baik pada tulang kortikal maupun

pada tulang trabekular. (Lane, 2001)

2) Biophosphonat

Biophosphonat menstabilkan struktur tulang dengan menekan

kerja osteoklas sendiri dan beberapa enzim pendukung kerja sel

Page 23: refrat gilut

23

penyerap tulang tersebut (Muljadi, 2001). Keistimewaan biophosphonat

adalah kemampuannya untuk mencegah berkurangnya tulang.

Biophosphonat mempengaruhi dan membatasi resorpsi tulang dengan

menduduki permukaan tulang dan membentuk sel osteoklas yang

menguraikan tulang, agar tidak melekat pada tulang atau tidak

melepaskan enzim yang melarutkan tulang. Namun, unsur ini tidak

menghancurkan osteoklas. (Lane, 2001)

3) Kalsitonin

Keistimewaan kalsitonin adalah memelihara dan mencegah

berkurangnya massa tulang pada penderita osteoporosis (Lane, 2001).

Kalsitonin turut menjaga kestabilan struktur tulang dengan

mengaktifkan kerja osteoblas dan menekan kinerja osteoklas. Hanya

saja efek sampingnya juga kurang menyenangkan seperti, pusing, dada

berdebar, mual, kesemutan, gatal dan bengkak pada muka karena alergi.

(Muljadi, 2001)

c. Hormon Paratiroid

Merupakan protein hormon yang dibentuk dalam tubuh oleh

kelenjar paratiroid yang terletak di leher. Berfungsi mengontrol jumlah

kalsium dan fosfat dalam tubuh. Kalsium yang dilepaskan dari tulang

secara cepat digantikan. Hormon paratiroid juga dapat meningkatkan

aktivitas osteoblas untuk mencapai pertambahan jaringan dari tulang baru.

(Arnaud, 2001)

d. Vitamin D

Pengaruh vitamin D dalam memperlambat proses terjadinya

osteoporosis adalah melalui kemampuannya memelihara kesehatan tulang.

Caranya dengan meningkatkan meningkatkan penyerapan mineral kalsium

dari sistem pencernaan serta mengurangi ekskresinya dari ginjal. (Muljadi,

2001)

Perawatan pasien osteoporosis dengan 1,25 dihidroxyvitamin D,

meningkatkan absorbsi kalsium, memperbaiki keseimbangan kalsium dan

mengurangi kehilangan tulang. (Arnaud, 2001)

Page 24: refrat gilut

24

Perawatan estrogen pada wanita pascamenopause juga akan

meningkatkan kadar vitamin D dalam darah dan meningkatkan penyerapan

kalsium dalam usus. Namun kekurangan vitamin D dapat terjadi pada

orang yang selalu berada dalam ruangan atau mengalami malnutrisi akut.

(Lane, 2001)

e. Olahraga

Pada usia 50-55 tahun merupakan masa pencegahan puncak, seperti

dengan latihan beban dan olahraga yang melatih ketahanan. Menurut

penelitian, olahraga dapat menahan dan membentuk massa tulang.

Olahraga merupakan aspek positif bagi kesehatan tulang. Dengan

berolahraga, bukan hanya kekuatan otot yang terpelihara, namun sumsum

tulang juga akan dipacu aktif untuk menghasilkan sel-sel darah merah.

Dengan kondisi ini, menyebabkan rendahnya pengambilan senyawa

kalsium dari tulang. (Muljadi, 2001)

C. PERIODONTITIS DAN OSTEOPOROSIS

1. Patofisiologi

Baik osteoporosis maupun penyakit periodontal adalah penyakit

resorptif tulang. Osteoporosis dan osteopenia dikarakteristikkan dengan reduksi

pada massa tulang dan dapat menyebabkan fraktur dan fragilitas tulang rangka.

Pada kebanyakan wanita, massa tulang mencapai puncaknya pada dekade

ketiga (usia 20-30 tahun) dan menurun sesudahnya. Penurunan pada massa

tulang dipercepat oleh oleh onset menopause, dan gejala-gejala oral juga

ditemukan sebagai penyerta pada menifestasi sistemik dari menopause.

Peningkatan insiden diamati dari ketidaknyamanan oral, termasuk nyeri,

sensasi terbakar, kekeringan, gangguan persepsi rasa.

Selama dekade terakhir ini, beberapa orang peneliti yang mempelajari

hubungan antara osteoporosis dan kehilangan tulang di sekitar rongga mulut

menyimpulkan bahwa osteoporosis menyebabkan perubahan yang nyata pada

tulang belakang, tulang panjang, dan juga terjadi pada tulang mandibula.

Page 25: refrat gilut

25

Kehilangan tulang alveolar secara mudah dapat menujukkan terjadinya

oesteoporosis. Usia dihubungkan dengan kehilangan tulang yang dapat

mempengaruhi tulang skeletal dalam kurun waktu tertentu, dan beberapa

peneliti mendukung bahwa meningkatnya kehilangan tulang alveolar terutama

kahilangan gigi merupakan manifestasi dari osteoporosis.

Dalam penelitian Lindawati et al (2004) menyimpulkan bahwa adanya

hubungan antara densitas tulang mandibula dan densitas tulang lainnya, dimana

dalam penelitian ini digunakan analisis trabekulasi tulang mandibula melalui

radiograf periapikal, karena osteoporosis pada wanita pasca menopause lebih

banyak mengenai tulang trabekula, yang disebabkan adanya perbedaan respon

tulang kortikal dan tulang trabekula terhadap kehilangan tulang. (Lindawati et

al, 2004)

Fisiologi tulang normal bergantung pada aktivitas seimbang 3 jenis sel

yaitu osteoblas yang berguna untuk membentuk tulang, osteosit untuk

mempertahankan, serta osteoklas untuk menghancurkan tulang. Bila

keseimbangan ini terganggu, maka tulang akan resorpsi. Gangguan

keseimbangan fisiologis tulang dapat terjadi akibat kombinasi faktor anatomis,

metabolik, dan mekanis. Faktor anatomis berupa kualitas dan kuantitas tulang

alveolar, faktor metabolik berupa faktor sistemik seperti berkurang hormon

estrogen, hormon paratiroid, faktor mekanis berupa besar, lama, serta arah gaya

yang bekerja pada tulang alveolar. Weinman dan Sicher menyatakan bahwa

beban pada tulang akan menghambat sirkulasi darah pada tulang dan

menyebabkan resorpsi tulang. (Lindawati et al, 2000)

Defisiensi estrogen mempertinggi tingkat kerusakan komponen jaringan

ikat dari ginggiva dengan menstimulasi sinstesis matrix metalloproteinases

(MMP-8 dan MMP-13), nitric oxide, dan beberapa sitokin yang terlibat dalam

resorpsi tulang. Defisiensi estrogen juga meningkatkan konsentrasi IL-6 pada

sumsum tulang, serum, dan ginggiva (Johnson et al, 2002), yang secara

kooperatif menstimulasi resorpsi tulang osteoklas. Sebuah studi cross sectional

pada wanita pre dan postmenopausal melaporkan korelasi yang signifikan

Page 26: refrat gilut

26

antara alveolar dan metacarpal BMD dan peningkatan konsentrasi IL-6 saliva

pada wanita postmenopause (Reihardt et al, 1999).

Kribbs pada penelitiannya membuktikan adanya hubungan antara

densitas mandibula dengan tulang skeletal, serta adanya pengaruh langsung

osteoporosis pada tulang mandibula. Ini dapat diasumsikan bahwa pasien

dengan densitas mandibula yang kurang, patut dicurigai adanya osteoporosis

(Lindawati et al, 2000).

Kehilangan tulang alveolar yang berhubungan dengan osteoporosis

membuat host rentan terhadap penyakit periodontal. Beberapa gambaran dapat

menerangkan kemungkinan hubungan, walaupun osteoporosis adalah suatu

penyakit metabolit tulang dan penyakit periodontal adalah suatu penyakit

inflamasi. Proses resorpsi tulang dapat diperhitungkan untuk menghubungkan

osteoporosis dan penyakit periodontal. Penyakit periodontal adalah penyakit

inflamasi kronik yang pada akhirnya menyebabkan kehilangan dari struktur

penyangga gigi, termasuk resorpsi dari tulang alveolar rahang. Periodontitis

adalah penyakit yang paling sering pada tulang pada manusia, menjadi cukup

berat untuk menyebabkan kehilangan gigi pada 10-15% orang dewasa (Brown,

Loe, 2000) dan dapat dieksaserbasi oleh faktor sistemik, seperti defisiensi

estrogen (Johnson et al, 2002).

Suatu penelitian menyimpulkan bahwa tingginya kehilangan perlekatan

disertai oleh besarnya kedalaman probing dan resesi ginggiva telah ditemukan

pada tempat-tempat osteoporosis di mandibula bukan pada maksila. Parameter

periodontal dipengaruhi oleh pemeriksaan faktor penumpukan plak, lokasi gigi,

dan rahang. Mereka juga mendukung bahwa osteoporosis pascamenopause

mempunyai peranan dalam patogenesis penyakit periodontal, khususnya pada

mandibula, walaupun penyebab dari penyakit periodontal masih tetap

multifaktorial. (Shen et al, 2004)

Wactawski-Wende mengatakan bahwa orang yang didiagnosa dengan

penyakit periodontal memiliki risiko tinggi yang mendasari osteoporosis.

Osteoporosis dan penyakit periodontal merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang cukup serius (Baker, 1998).

Page 27: refrat gilut

27

Kehilangan tulang secara sistemik telah dikutip sebagai faktor risiko

terhadap penyakit periodontal. Beberapa peneliti dalam penelitiannya

menyimpulkan Bone Mineral Density wanita pascamenopause dihubungkan

dengan kehilangan tulang alveolar. Penelitian lain menunjukkan bahwa wanita

yang memilki banyak kalkulus dan Bone Mineral Density yang rendah, secara

klinis menunjukkan kehilangan perlekatan yang sangat besar dibanding wanita

yang memiliki Bone Mineral Density normal.

Menurut Papas, ketika gigi masih lengkap, tulang alveolar merespon

tekanan fisiologik dengan membentuk trabekula dengan baik. Namun setelah

gigi hilang, massa tulang berkurang. Hal ini disebabkan oleh atrofi karena tidak

aktifnya tulang sehingga mempengaruhi pergantian tulang pada saat

remodeling. Penelitian lain menyatakan bahwa penurunan densitas tulang

berhubungan dengan kehilangan gigi-gigi posterior pada perempuan

pascamenopause. (Lindawati et al, 2004)

2. Evaluasi dan Penatalaksanaan

Gigi dapat mencegah tulang rahang dari penipisan. Bila seseorang

kehilangan gigi, tulang rahang menjadi kehilangan bentuknya yang

menyebabkan kesulitan dalam pembuatan implant dan gigi tiruan. Akibat

pengurangan massa tulang yang berlebihan, gigi tiruan menjadi longgar dan

goyah. Oleh karena itu, osteoporosis perlu dideteksi lebih dini agar pola

perawatannya tepat serta tidak terjadi fraktur dan patah tulang.

Ketidaknyamanan pada gigi tiruan dapat menimbulkan mulut sakit dan

kehilangan fungsi utamanya yaitu berbicara dan makan. (Lindawati et al, 2004)

Dokter gigi mempunyai posisi strategis dalam mendeteksi osteoporosis

dengan radiografi. Seorang dokter gigi dapat menggunakan status gigi

pasiennya yang menderita periodontitis dan kehilangan gigi sebagai petunjuk

mempermudah diagnosa umum dari osteoporosis, dan untuk evaluasi dari

perawatan secara sistemik serta manfaatnya pada kesehatan mulut. (Ronit et al,

2004)

Page 28: refrat gilut

28

Dokter gigi harus memberikan beberapa anjuran pada pasien yang

mengalami osteoporosis dan periodontitis. Pertama, dokter gigi harus

menegaskan kebiasaan membersihkan rongga mulut setiap hari dengan tepat.

Kedua, menginstruksikan pada pasien untuk memperbaiki gaya hidup dengan

berhenti merokok serta mengkonsumsi alkohol dan kafein yang terlalu banyak.

Terakhir, dokter gigi harus menginformasikan manifestasi osteoporosis di

rongga mulut sehingga memudahkan evaluasi medis dan perawatan.

Daftar Pustaka

Arnaud, Claude. 2001. New drug revolutionizes osteoporosis treatment. Foundation for Osteoporosis Research and Education.

Baker, Lois. 1998. Osteoporosis, Oral Health Linked; analysis of national database shows strong relationship. http://www.buffalo.edu/reporter/.html

E-Chin Shen, Ching-Hwa Gau, Yao Dung Hsieh, et al. 2004. Periodontal Status in Post-menopausal Osteoporosis : a Preliminary Clinical Study in Taiwanese Women. J Chin Med Assoc ; 67. hal: 137-40

Page 29: refrat gilut

29

Janet HS, George WT, and Panagiota GS.2006. commonality in chronic inflammatory disease:Periodontitis, diabetes and coronary artery disease. Periodontology 2000. vol 40. pp 130-43 in Istikharoh dkk, 2009, Hubungan antara Periodontitis Terhadap Penyakit Jantung Koroner, Makalah Kedokteran Gigi Airlangga. Hal :11-13

Kanis JA, Black D, Cooper C, et al. 2002. A new approach to the development of assessment guidelines for osteoporosis. Osteoporos Int; 13(7). hal: 527-36

Kinene,Denis F et al.2006.Environmental and The Modifying Factors of The Periodontal Disease. Periodonology 2000. vol 40. pp 107-19 in Istikharoh dkk, 2009, Hubungan antara Periodontitis Terhadap Penyakit Jantung Koroner, Makalah Kedokteran Gigi Airlangga. Hal :11-13

Lane LE. 2001. Lebih Lengkap Tentang Osteoporosis. Jakarta. Grafindo Persada. hal: 7-114

Leman M. 2005. Menopause & Hormon Replacement Therapy. http://www.medicastore.com/med/article

Lindawati SK, Hanna HI, Tribudi H. 2004. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Densitas Tulang Mandibula Pada Perempuan Pascamenopause. Jurnal Kedokteran Gigi Indonesia. Edisi 11, hal: 8-12

Lindawati K, Gimawati M, Evi SB, et al. 2000. Kualitas Tulang Mandibula pada Wanita Pascamenopuse. Jurnal kedkteran Gigi Indonesia (Ed Khusus). hal: 673-8

Lin Lai, Yu. 2004. Osteoporosis and Periodontal Disease. J Chin Med Assoc; 67. hal: 287-8

Marques et al. 2003. Periodontal disease and osteoporosis association and mechanisms: A review of the literature. Braz J Oral Sci vol 2 (4). hal: 137-40

Muljadi, H. 2001. Mencegah dan Mengatasi Osteoporosis. Jakarta. Puspa Swara. hal: 62-8

Rodan GA, Marin TJ. 2000. Therapeutic approach to bone disease. Science; 289. hal: 1508-14

Roeshadi, Djoko. 2001. Osteoporosis. http://www.jhonkarto.blogspot.com

Ronit HK, Tuvia A, Ayala S, Prorith HC. 2004. Biophosphonat and Estrogen Replacement Therapy for Postmenopusal Periodontitis. IMAJ;6. hal :173-7

Page 30: refrat gilut

30

Reinhardt RA, Payne JB, Maze CA, Patil KD, Gallaghaer SJ, Mattson JS. 1999. Influence of Estrogen and Osteopenia/Osteoporosis on Clinical Periodontitis in Postmenopausal Women. J Periodontol; 70. hal: 823-8

Sumintarti S. 2005. Hubungan Osteoporosis dan Penyakit Periodontal pada Wanita Menopause. Jurnal Kedokteran Gigi Airlangga (Ed Khusus Temu Ilmiah Nasional IV). hal: 81-4

Taguchi A. , Sanada M., Suei Y., et al. Tooth Loss Is Associated With an Increased Risk of Hypertension in Postmenopausal Women. http://hyper.ahajournals.org in Istikharoh dkk, 2009, Hubungan antara Periodontitis Terhadap Penyakit Jantung Koroner, Makalah Kedokteran Gigi Airlangga. Hal :11-13