refrat plexus
DESCRIPTION
plexus brachialisTRANSCRIPT
REFERAT
LESI PLEKSUS BRAKIALIS
PEMBIMBING:
DR. JOSEPHINE RETNO, SP.S
OLEH:
RIA PITASARI (2014-061-033)
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN NEUROLOGI
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
PERIODE 27 APRIL 2015 – 30 MEI 2015
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………. 1
PENDAHULUAN……………………………………………………………………… 2
DEFINISI………………………………………………………………………………. 2
ANATOMI………………………………………………………..……………………. 2
ETIOPATOFISIOLOGI……………………………………….………………….…… 6
DERAJAT KERUSAKAN………………………………………..…………………… 7
GAMBARAN KLINIS………………………………………………………………… 8
PEMERIKSAAN PENUNJANG……………………………………………………….. 13
TATALAKSANA………………………………………………………………………. 14
PROGNOSIS…………………………………………………………………………… 15
KESIMPULAN………………………………………………………………………… 16
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….. 17
1
I. Pendahuluan
Lesi Pleksus brakialis (pleksopati brakialis) merupakan gangguan saraf perifer yang
mengenai pleksus brakhialis. Lesi pleksus brakhialis kejadiannya 10% dari lesi saraf perifer
dan kira-kira 14% lesi neurologik di anggota gerak atas adalah akibat lesi di pleksus
brakhialis. Trauma merupakan penyebab tersering kasus ini, terlebih lagi karena letaknya
didaerah leher dan bahu yang sering bergerak.1
II. Definisi
Lesi pleksus brakhialis, atau yang sering disebut pleksopati brakhialis adalah suatu
gangguan saraf perifer yang lesinya menimbulkan kerusakan saraf yang membentuk pleksus
brakhialis, yakni kumpulan saraf yang terdiri dari radix, trunkus, divisions dan cords
(fasciculus). Pleksus brachialis adalah pangkal dari serabut-serabut saraf yang berasal dari
medulla spinalis C5-Th1, dan mempersarafi ekstremitas superior. Pleksus brakialis juga
merupakan pleksus saraf somatik dibentuk oleh intercommunications antara rami ventral
(akar) dari saraf serviks 4 lebih rendah (C5-C8) dan saraf dada pertama (T1). Lesi pada
pleksus brachialis dapat diklasifisikasikan sesuai dengan derajat kerusakan saraf Pleksus
brachialis berawal dari ramus anterior radiks hingga fasikulus2 (gambar 1)
III. Anatomi
Pleksus brakhialis berawal dari serabut saraf yang berasal dari ramus anterior radiks
saraf C5-T1. C5 dan C6 akan bergabung membentuk trunkus superior, C7 membentuk
trunkus medialis, dan C8 dan T1 bergabung membentuk trunkus inferior. Trunkus berjalan
melewati klavikula dan disana membentuk divisi anterior dan posterior. Divisi posterior dari
masing-masing dari trunkus tadi akan membentuk fasikulus posterior. Divisi anterior dari
trunkus-trunkus superior dan media membentuk fasikulus lateralis. Divisi anterior dari
trunkus inferior membentuk fasikulus medialis. Kemudian fasikulus posterior membentuk n.
radialis dan n. axilaris. Fasikulus lateral terbagi dua dimana cabang yang satu membentuk n.
muskulokutaneus dan cabang lainnya bergabung dengan fasikulus media untuk membentuk
n. medianus. Fasikulus media terbagi dua dimana cabang pertama ikut membentuk n.
medianus dan cabang lainnya menjadi n. ulnaris.1,2
2
Gambar 1. Anatomi pleksus brakhialis
Plexus brachialis menerima komponen simpatis melalui ganglion cervicale medius,
yaitu n.spinalis C5-6, melalui ganglion cervicale inferius atau ganglion stellatum untuk
n.spinalis C6-7-8, dan melalui ganglion para vetebrae Th I dan II nervus spinalis Th1-2.
Menurut letaknya terhadap clavicula percabangan plexus brachialis dibagi menjadi
pars supraclavicularis dan pars infraclavicularis. Yang termasuk percabangan pars
supraclavicularis adalah :2
N.thoracalis posterior.
N.subclavius
N.supraclavicularis
Pars infraclavicularis mempercabangkan:
Nn.thoracalis anterior
Nn.subscapularis
N.thoraco dorsalis
N.axillaris, disebut n.circumflexus
N.cutaneus brachii medialis
N.cutaneus antebrachii medialis
3
Cabang terminal plexus brachialis adalah :
1. N.musculocutaneus
2. N.medianus
3. N.ulnaris
4. N.radialis
Secara skematis percabangan terminal plexus brachialis adalah sebagai berikut :
Fasciculus lateralis mempercabangkan :
1. N.musculocutaneus
2. Radix superior nervus medianus
Fasciculus medialis mempercabangkan :
1. N.ulnaris
2. N.cutaneus brachii medialis
3. N.cutaneus antebrachii medialis
4. Radix inferior nervus medianus
Fasciculus posterior mempercabangkan :
1. N.axillaris
2. N.radialis
4
Gambar 2. Berbagai persebaran dermatom inervasi sensoris pleksus
IV. Etiopatofisiologi
5
Penyebab lesi dan patofisiologi pleksus brakhialis bervariasi, diantaranya:
i. Trauma3
Merupakan penyebab terbanyak lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa maupun
neonatus. Keadaan ini dapat berupa cedera tertutup, cedera terbuka, cedera iatrogenic.
Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak pembuluh
darah. Kompresi yang berat dapat menyebabkan hematom intraneural yang dapat
menjepit jaringan saraf sekitarnya.
ii. Tumor 4
Tercatat dari penelitian yang dilakukan oleh Binder D, et al. kejadian lesi plexus
brachialis dapat disebabkan karena tumor primer (dari yang paling sering):
schwannoma, neurofibroma, malignant peripheral nerve sheath tumors. Hingga
tumor desmoid. Kejadian metastasis juga dilaporkan cukup sering terjadi akibat
kanker mamae, paru dan limfoma.
iii. Radiation-induced
Frekuensi cedera pleksus brachialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak
1,8 – 4,9% dari lesi. Mekanisme dari proses ini diduga terjadi akibat kombinasi
dari kegagalan proliferasi sel dan iskemik lokal akibat radiasi, yang mengakibatkan
kerusakan pada sel akson dan sel schwann.4
iv. Entrapment
Keadaan ini merupakan penyebab cedera pleksus brakhialis pada thoracic outlet
syndrome. Postur tubuh dengan bahu yang lunglai dan dada yang kolaps
menyebabkan thoracic outlet menyempit sehingga menekan struktur neurovaskuler.
Adanya iga accessory atau jaringan fibrous juga berperan menyempitkan thoracic
outlet. Faktor lain yaitu payudara berukuran besar yang dapat menarik dinding dada
ke depan (anterior dan inferior).1
v. Idiopatik
6
Pada Parsonage Turner Syndrome terjadi pleksitis tanpa diketahui penyebab yang
jelas namun diduga terdapat infeksi virus yang mendahului. Presentasi klasik adalah
nyeri dengan onset akut yang berlangsung selama 1–2 minggu dan kelemahan otot
timbul lebih lambat. Nyeri biasanya hilang secara spontan dan pemulihan komplit
terjadi dalam 2 tahun.3
Gambar 3. Patofisiologi lesi pleksus brakhialis
V. Derajat Kerusakan
Derajat Kerusakan pada lesi saraf perifer dapat dilihat dari klasifikasi Sheddon (1943)
dan Sunderland (1951).6
Klasifikasi Sheddon, yaitu :
a. Neuropraksia
Pada tipe ini terjadi kerusakan mielin, namun akson tetap intak. Dengan adanya
kerusakan mielin dapat menyebabkan hambatan konduksi saraf. Pada tipe cedera
seperti ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga proses penyembuhan
lebih cepat dan merupakan derajat kerusakan paling ringan.
b. Aksonotmesis
Terjadi kerusakan akson namun semua struktur selubung saraf termasuk endoneural
masih tetap intak. Terjadi degenerasi aksonal segmen saraf distal dari lesi (degenerasi
Wallerian). Regenerasi saraf tergantung dari jarak lesi mencapai serabut otot yang
dienervasi tersebut. Pemulihan sensorik cukup baik bila dibandingkan motorik.
c. Neurotmesis
7
Terjadi ruptur saraf dimana proses pemulihan sangat sulit terjadi meskipun dengan
penanganan bedah. Bila terjadi pemulihan biasanya tidak sempurna dan dibutuhkan
waktu serta observasi yang lama. Merupakan derajat kerusakan paling berat.
Klasifikasi Sunderland lebih merinci kerusakan saraf yang terjadi dan membaginya dalam 5
tingkat, yaitu :
1. Tipe I: hambatan dalam konduksi (neuropraksia)
2. Tipe II: cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak (aksonotmesis)
3. Tipe III: aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural dan
epineural masih intak.
4. Tipe IV: aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi epineural
masih baik.
5. Tipe V: aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan epineural
(neurotmesis).
VI. Gambaran Klinis
Gejala yang timbul umumnya unilateral berupa kelainan motorik, sensorik dan
bahkan otonom pada bahu dan/atau ekstremitas atas. Gambaran klinisnya mempunyai banyak
variasi tergantung dari letak dan derajat kerusakan lesi. Dalam keperluan klinis, lesi pleksus
brakhialis dapat dibagi menjadi regio supraklavikular dan regio infraklavikular.3,6,7
8
Gambar 4. Pleksus supraclavikular dan infraklavikular
Pleksopati supraklavikuler
Pada Pleksopati supraklavikuler lesi terjadi ditingkat radiks, trunkus atau
kombinasinya. Lesi ditingkat ini paling sering terjadi.6
1. Lesi tingkat radiks (roots)
Pada lesi pleksus brakhialis ini biasanya berkaitan dengan kejadian avulsi radiks.
Gambaran klinis sesuai dengan dermatom dan miotomnya. Lesi di tingkat ini dapat
terjadi paralisis parsial dan hilangnya sensorik secara inkomplit, karena otot-otot tangan
dan lengan biasanya dipersyarafi oleh beberapa radiks.
Gambar 5. Gambar miotom servikal
9
Presentasi klinis pada lesi radiks :
Radiks saraf Penurunan Refleks Kelemahan Hipestesi/kesemutan
C5 Biseps brakhii Fleksi siku Lateral lengan atas
C6 Brakhioradiialis Ekstensi pergelangan tangan Lateral lengan bawah
C7 Triceps brakhii Ekstensi siku Jari tengah
C8 - Fleksi jari2 tangan Medial lengan bawah
T1 - Abduksi jari2 tangan Medial siku
2. Sindroma Erb-Duchenne
Biasanya lesi terjadi akibat trauma. Pada bayi, kejadian ini terjadi karena penarikan
kepala saat proses kelahiran dengan penyulit distokia bahu, sedangkan pada orang
dewasa terjadi karena jatuh pada bahu dengan kepala terlampau menekuk kesamping.
Presentasi klinis pasien berupa waiter’s tip position dimana lengan berada dalam posisi
adduksi (kelemahan otot deltoid dan supraspinatus), rotasi internal pada bahu (kelemahan
otot teres minor dan infraspinatus), pronasi (kelemahan otot supinator dan
brachioradialis) dan pergelangan tangan fleksi (kelemahan otot ekstensor karpi radialis
longus dan brevis). Selain itu terdapat pula kelemahan pada otot biseps brakhialis,
brakhialis, pektoralis mayor, subscapularis, rhomboid, levator scapula dan teres mayor.
Refleks bisep biasanya menghilang, sedangkan hipestesi terjadi pada bagian luar (lateral)
dari lengan atas dan tangan.
3. Sindroma Klumpke’s Paralysis
Lesi di radiks servikal bawah (C8, T1) atau trunkus inferior dimana penyebab pada bayi
baru dilahirkan adalah karena penarikan bahu untuk mengeluarkan kepala,sedangkan
pada orang dewasa biasanya saat mau jatuh dari ketinggian tangannya memegang sesuatu
kemudian bahu tertarik. Presentasi klinis berupa deformitas clawhand (kelemahan otot
lumbrikalis) sedangkan fungsi otot gelang bahu baik. Selain itu juga terdapat kelumpuhan
pada otot fleksor carpi ulnaris, fleksor digitorum, interosei, tenar dan hipotenar sehingga
tangan terlihat atrofi. Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi n. Medianus dan
ulnaris. Kelainan sensorik berupa hipestesi pada bagian dalam/ sisi ulnar dari lengan dan
tangan.
10
Gambar 6. lokasi lesi pada Erb’s palsy dan Klumpke’s palsy
4. Lesi di trunkus superior
Gejala klinisnya sama dengan sindroma Erb di tingkat radiks dan sulit dibedakan. Namun
pada lesi di trunkus superior tidak didapatkan kelumpuhan otot rhomboid, seratus
anterior, levator scapula dan saraf supra - & infraspinatus. Terdapat gangguan sensorik di
lateral deltoid, aspek lateral lengan atas dan lengan bawah hingga ibu jari tangan.
5. Lesi di trunkus media
Sangat jarang terjadi dan biasanya melibatkan daerah pleksus lainnya (trunkus superior
dan/atau trunkus inferior) Gejala klinis didapatkan kelemahan otot triceps dan otot-otot
yang dipersyarafi n. Radialis (ekstensor tangan), serta kelainan sensorik biasanya terjadi
pada dorsal lengan dan tangan.
6. Lesi di trunkus inferior
Gejala klinisnya yang hampir sama dengan sindroma Klumpke di tingkat radiks. Terdapat
kelemahan pada otot-otot tangan dan jari-jari terutama untuk gerakan fleksi, selain itu
juga kelemahan otot-otot spinal intrinsik tangan. Gangguan sensorik terjadi pada aspek
medial dari lengan dan tangan.
7. Lesi pan-supraklavikular (radiks C5-T1 / semua trunkus)
Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh otot ekstremitas atas, defisit sensorik yang jelas
pada seluruh ekstremitas atas dan mungkin terdapat nyeri. Otot rhomboid, seratus
11
anterior dan otot-otot spinal mungkin tidak lemah tergantung dari letak lesi proksimal
(radiks) atau lebih ke distal (trunkus).
Pleksopati Infraklavikuler1
Pada pleksopati infraklavikuler terjadi lesi ditingkat fasikulus dan/atau saraf terminal.
Lesi infraklavikuler ini jarang terjadi dibanding supraklavikuler namun umumnya
mempunyai prognosis lebih baik. Penyebab utama terjadi pleksopati infraklavikuler biasanya
adalah trauma dapat tertutup (kecelakaan lalu lintas) maupun terbuka (luka tembak).
Mayoritas disertai oleh kerusakan struktur di dekatnya (dislokasi kaput humerus, fraktur
klavikula, scapula atau humerus).
Gambaran klinis sesuai dengan lesinya :
1. Lesi di fasikulus lateral
Dapat terjadi akibat dislokasi tulang humerus. Lesi disini akan mengenai daerah yang
dipersyarafi oleh n. Muskulocutaneus dan sebagian dari n. Medianus. Gejala
klinisnya yaitu kelemahan otot fleksor lengan bawah dan pronator lengan bawah,
sedangkan otot-otot intrinsik tangan tidak terkena. Kelainan sensorik terjadi di lateral
lengan bawah dan jari 1 – III tangan.
2. Lesi di fasikulus medial
Disebabkan oleh dislokasi subkorakoid dari humerus. Kelemahan dan gejala sensorik
terjadi dikawasan motorik dan sensorik n. Ulnaris. Lesi disini akan mengenai seluruh
fungsi otot intrinsik tangan seperti fleksor, ekstensor dan abduktor jari-jari tangan,
juga fleksor ulnar pergelangan tangan. Secara keseluruhan kelainan hampir
menyerupai lesi di trunkus inferior. Kelainan sensorik terlihat pada lengan atas dan
bawah medial, tangan dan 2 jari tangan bagian medial.
3. Lesi di fasikulus posterior
Lesi ini jarang terjadi. Gejala klinisnya yaitu terdapat kelemahan dan defisit sensorik
dikawasan n. Radialis. Otot deltoid (abduksi dan fleksi bahu), otot-otot ekstensor
lengan, tangan dan jari-jari tangan mengalami kelemahan. Defisit sensorik terjadi
pada daerah posterior dan lateral deltoid, juga aspek dorsal lengan, tangan dan jari-
jari tangan.
12
VII. Pemeriksaan Penunjang5
a. Radiografi
Adanya cedera saraf tepi biasanya disertai dengan cedera tulang dan jaringan iikat
sekitar yang dapat dinilai dengan pemeriksaan radiografi. Pada kasus cedera
traumatik, penggunaan X-ray dapat membantu menilai adanya dislokasi,
subluksasi atau fraktur yang dapat berhubungan dengan cedera pleksus tersebut.
Pemeriksaan radiografi:
1. Foto vertebra servikal untuk mengetahui apakah ada fraktur pada vertebra
servikal
2. Foto bahu untuk mengetahui apakah ada fraktur skapula, klavikula atau
humerus.
3. Foto thorak untuk melihat disosiasi skapulothorak serta tinggi diafragma pada
kasus paralisa saraf phrenicus.
CT scan dapat digunakan untuk menilai adanya fraktur tersembunyi yang tidak
dapat dinilai oleh x-ray. Sedangkan myelografi digunakan pada lesi
supraklavikular berat, yang berguna untuk membedakan lesi preganglionik dan
postganglionik. Kombinasi CT dan myelografi lebih sensitif dan akurat terutama
untuk menilai lesi proksimal (avulsi radiks). MRI dapat memberikan gambaran
yang lebih jelas mengenai jaringan ikat sekitar lesi dan penilaian pleksus
brakhialis ekstraforaminal normal atau tidak normal.
b. Elektrofisiologi
Hasil pemeriksaan kecepatan hantar syaraf untuk Compound Muscle Action
Potentials (CMAP) didapatkan amplitudo yang rendah setelah hari ke-9.
SNAPs (Sensory Nerve Action Potentials) berguna untuk membedakan lesi
preganglionic atau lesi postganglionic.
EMG (Elektromiografi) dengan jarum pada otot dapat tampak fibrilasi, positive
sharp wave (pada lesi axonal), amplitudo dan durasi. Dimana denervasi terlihat
setelah minggu ke-2.
13
VIII. Tatalaksana
Penatalaksanaan pada pleksus brakhialis menjadi tantangan, terutama karena
beberapa penyebab tidak ada terapi yg spesifik. Lesi dengan manifestasi ringan
biasanya dapat sembuh sendiri tanpa terapi yang spesifik. Penatalaksanaan suportif,
dengan berfokus pada kontrol nyeri dan disertai dengan penatalaksanaan aspek
rehabilitasi dan tindakan operasi diindikasikan pada lesi pleksus brakhialis berat dan
umumnya dilakukan 3-4 bulan setelah trauma dan tidak dianjurkan jika telah lebih
dari 6 bulan karena hasil kesembuhan tidak optimal. Jika lesi sangat luas dan
perbaikan keseluruhan tidak memungkinkan maka tujuan utama perbaikan bedah
adalah mengembalikan fungsi fleksi siku, kemudian dapat dilanjutkan dengan fungsi
ekstensi pergelangan tangan dan fleksi jari-jari.5
Beberapa tindakan operasi yang dilakukan pada lesi pleksus brakhialis adalah:
1. Bedah primer
Pembedahan dengan standart microsurgery dengan tujuan memperbaiki
injury pada plexus serta membantu reinervasi. Teknik yang digunakan tergantung
berat ringan lesi.8
Neurolysis : Melepaskan constrictive scar tissue disekitar saraf
Neuroma excision: Bila neuroma besar, harus dieksisi dan saraf dilekatkan
kembali dengan teknik end-to-end atau nerve grafts
Nerve grafting : Bila “gap” antara saraf terlalu besar, sehingga tidak mungkin
dilakukan tarikan. Saraf yang sering dipakai adalah n suralis, n lateral dan
medial antebrachial cutaneous, dan cabang terminal sensoris pada n interosseus
posterior
Neurotization : Neurotization pleksus brachialis digunakan umumnya pada
kasus avulsi pada akar saraf spinal cord. Saraf donor yang dapat digunakan :
hypoglossal nerve, spinal accessory nerve, phrenic nerve, intercostal nerve, long
thoracic nerve dan ipsilateral C7 nerve. Intraplexual neurotization menggunakan
bagian dari root yang masih melekat pada spinal cord sebagai donor untuk saraf
yang avulsi.
Perbaikan primer yang segera biasanya direkomendasikan bila laserasi saraf
bersih dari benda tajam.
14
2. Bedah sekunder
Tujuan untuk meningkatkan seluruh fungsi extremitas yang terkena. Ini
tergantung saraf yang terkena. Prosedurnya berupa tendon transfer, pedicled
muscle transfers, free muscle transfers, joint fusions and rotational, wedge or
sliding osteotomies.
Perbaikan operatif sekunder setelah 2-4 minggu secara umum
direkomendasikan untuk cedera tumpul atau cedera dengan kerusakan jaringan
lunak yang luas dimana cedera saraf sangat berat dan perbaikan primer atau
grafting tidak memungkinkan, neurotization dengan anastomosis satu saraf
dengan yang lain dapat menjadi pilihan lainnya.8
3. Rehabilitasi medis
Program rehabilitasi secara individual meliputi modifikasi dari faktor resiko,
perubahan gaya hidup, dan edukasi pada kesadaran tentang kesehatan dan kebugaran,
juga pendekatan yang mengkombinasi teknik restorasi dan adaptasi. Pendekatan
restorasi mencoba untuk mempengaruhi selama proses perbaikan dan memperoleh
kembali fungsi yang hilang, meliputi therapeutic exercise (terapi latihan), aplikasi
stimulasi elektrik (ES: electrical stimulation), atau pasien menyelesaikan gerakan
tanpa gravitasi dengan atau tanpa bantuan terapis. Tenik adaptasi meliputi
pembelajaran cara baru dalam melakukan tugas, penggunaan brace untuk menyokong
otot yang lemah atau memberikan posisi yang benar, serta peralatan khusus untuk
memungkinkan seseorang melakukan tugas dengan adanya defisit.7
IX. Prognosis
Proses regenerasi saraf terjadi kira-kira 1-2 mm/hari atau 1 inci/bulan,
sehingga mungkin diperlukan beberapa bulan sebelum tanda pemulihan dapat dilihat.
Neuropraksia mempunyai prognosis yang paling baik, dimana perbaikan spontan
dapat terjadi beberapa minggu hingga bulan (3-4 bulan setelah cedera). Pada tipe
aksonotmesis, perbaikan diharapkan dapat terjadi dalam beberapa bulan dan biasanya
komplit kecuali terjadi atrofi motor endplate dan reseptor sensorik sebelum
pertumbuhan akson mencapai organ-organ ini. Perbaikan fungsi sensorik mempunyai
15
prognosis lebih baik dibandingkan motorik karena reseptor sensorik dapat bertahan
lebih lama dibandingkan motor endplate. Pada neurotmesis, regenerasi dapat terjadi
namun fungsional sulit kembali sempurna. Faktor-faktor yang mempengaruhi
outcome yaitu luasnya lesi jaringan saraf dan derajat kerusakannya, usia tua, status
medis pasien, kepatuhan dan motivasi pasien dalam menjalani terapi.1,3
X. Kesimpulan
Lesi pleksus brakhialis kejadiannya adalah 10% dari lesi saraf perifer dan
kira-kira 14% dari lesi neurologik di anggota gerak atas dan trauma merupakan
penyebab tersering. Derajat Kerusakan bervariasi, mulai dari neuropraksia,
aksonotmesis, dan neurotmesis. Gejala yang timbul dari lesi ini berupa kelainan
motorik, sensorik dan bahkan yang mempunyai banyak variasi klinis tergantung dari
letak dan derajat kerusakan lesi. Penatalaksanaan pleksopati brakialis dapat suportif,
dengan berfokus pada kontrol nyeri disertai dengan penatalaksanaan aspek
rehabilitasi dan tindakan operasi dengan tujuan utama adalah mengembalikan fungsi
fleksi siku maupun ekstensi pergelangan tangan dan fleksi jari-jari.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Ropper, A, Brown, R. Adams and Victores Principlesof Neurology, 8th edition.
Medical Publishing Division.
2. Moore, K.L.; Agur, A.M. (2007). Essential Clinical Anatomy (3rd ed.). Baltimore:
Lippincott Williams & Wilkins. pp. 430–1. ISBN 978-0-7817-6274-8.
3. Chad DA. Disorders of nerve roots and plexuses. In: Daroff RB, Fenichel GM,
Jankovic J, Mazziotta JC, eds. Bradley’s Neurology in Clinical Practice
4. Primary Brachial Plexus Tumors: Imaging, Surgical, and Pathological Findings in
25 Patients. Devin K. Binder, M.D., Ph.D., Justin S. Smith, M.D., Ph.D.,
Nicholas M. Barbaro, M.D.
5. Ensrud E, King JC. Plexopathy-brachial. In: Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD, eds.
Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation.
6. Dumitru D, Zwarts MJ. Brachial plexopathies and proximal mononeuropathies. In:
Dumitru D, Amato AA, Zwarts MJ. Electrodiagnostic Medicine. 2nd. Philadephia:
Hanley & Belfus; 2002:777-836.
7. Mardjono. Mahar., Shidarta Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta
8. Shenaq S.M., Hand, Brachial Plexus Surgery, available from : www.emedicine.com ,
last updated : October 7, 2002, taken on May, 2015.
17