relevansi aturan kewenangan pencatatan perceraian...
TRANSCRIPT
RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN
DALAM UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA TERHADAP
ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ASEP KUSTIA ERAWANDI
N I M . 1 0 9 0 4 4 1 0 0 0 1 5
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H / 2016 M
LEMBARPERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatulah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan basil karya asli saya atau
merupakan basil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam (UIN) Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta. 30 Juni 2016
Asep Kustia Erawandi
ABSTRAK
ASEP KUSTIA ERAWANDI. NIM 109044100015. RELEVANSI ATURAN
KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN DALAM UNDANG-
UNDANG PERADILAN AGAMA TERHADAP ASAS PEMBENTUKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Program Studi Hukum Keluarga,
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1437 H/2016 M. x + 72 halaman.
Skripsi ini bertujuan mengetahui pengaturan kewenangan pencatatan
perceraian dalam Pasal 84 ayat (4) UU Peradilan Agama koheren dengan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan pengaturan materi
muatan tersebut mencerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library
research yaitu melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan tema sentral dalam skripsi ini dan buku-buku, jurnal-jurnal
yang berkaitan dengan judul.
Hasil penilitian ini yakni pengaturan kewenangan pencatatan perceraian
dalam UU Peradilan Agama tersebut menimbulkan konflik norma dan terjadi
insinkronisasi norma secara vertikal dan horizontal sehingga tidak mencerminkan
asas ketertiban dan kepastian hukum sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (1)
huruf i UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
Kata Kunci : Kewenagan Pencatatan Perceraian, UU Peradilan Agama,
UU Adminstrasi Kependudukan. Asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
Pembimbing : Dr. Kamarusdiana, S.Ag., M.H.
Daftar Pustaka : 1983 s.d 2012
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada sang kholiq yang telah memberikan
kekuatan dan kemudahan serta nikmat sehingga dengan izin-Nya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skriipsi ini. Tak lupa shalawat dan salam penulis
haturkan kepada Baginda Rasulullah SAW., semoga syafaat-Nya senantiasa
tercurahkan kepada umat muslimin.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana
Syariah pada Program Studi Hukum Keluarga, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak
dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan terima kasih penulis
sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Dr. Abdul Halim, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga
(Ahwal Syakhsiyyah) dan Bapak Arip Purkon, M.A., Sekretaris Program Studi
Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah);
3. Bapak Dr. Kamarusdiana pembimbing penulis yang senantiasa memberikan
masukan dan bimbingannya sehingga tulisan ini selesai.
4. Bapak Qosim Arsadani, MA dan Ibu Rosdiana MA Penguji penulisa yang
vii
memberikan kritik dan saran untuk kesempurnaan tulisan ini.
3. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membimbing penulis
dari awal hingga akhir sehingga dapat menyelesaikan studi;
4. Segenap Pegawai dan Karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatulah Jakarta yang telah membantu mempermudah pelayanan dalam
penyelesaian studi penulis;
5. Ayahanda dan Ibunda sebagai penyemangat dan motivator dalam hidup penulis;
6. Sahabat-sahabat terbaik penulis yang menemani hingga penyelesaian studi Uuf
Rouf, S.Sy, SH., Muhammad Ishar Helmi, SH, MH, Dewi Ratna S.Sy, Ihsan
Badruni SH, S.Sy. terima kasih canda tawa kalian selalu teringat;
7. Teman-teman Prodi Hukum Keluarga Khususnya angkatan 2009;
8. Semua pihak yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu terima kasih atas
bantuannya dalam penyelesaian studi ini;
Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan
penyusunan skripsi selanjutnya.
Jakarta, 15 Juni 2016
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Pembatasana dan Perumusan Masalah .................................................... 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 4
D. Studi Review ........................................................................................... 5
E. Metode Penelitian .................................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan .............................................................................. 11
BAB II Dualisme Kewenangan Pencatatan Perceraian
A. Urgensi Pencatatan Perceraian ................................................................ 13
B. Kewenangan Pencatatan Perceraian Oleh Peradilan Agama .................. 16
C. Kewenangan Pencatatan Perceraian Perspektif Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Admnistrasi Kependudukan ................ 22
BAB III PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik ............ 29
B. Materi Muatan Undang-Undang dan Peraturan
Perundang-Undangan Lainnya ................................................................ 34
C. Asas Kepastian dan Kemanfaatan ........................................................... 49
ix
BAB IV RELEVANSI PENGATURAN KEWENANGAN PENCATATAN
PERCERAIAN DALAM UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA
DENGAN ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN YANG BAIK
A. Koherensi Pengaturan Kewenangan Pencatatan Perceraian Dalam
Pasal 84 Ayat (4) UU Peradilan Agama Dengan Asas Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik ........................................... 56
B. Penerapan Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum Dalam
Pengaturan materi Muatan ...................................................................... 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 73
B. Saran ....................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 75
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI Tahun 1945) yang merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia mengamanatkan dalam Pasal 22A bahwa “Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-
undang”.1
Perkembangan pengaturan asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik dalam pembentukan undang-undang di Indonesia untuk
pertama kali ditegaskan dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurut I. C. Van der
Vlies, asas tersebut dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu asas formal dan
asas material. Asas formal berkenaan dengan format, sifat, wadah, kelembagaan
yang berperan, teknis perumusan, dan sebagainya, sedangkan asas material
1 Ketentuan mengenai pembentukan undang-undang tersebut diatur dengan UU No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2
menyangkut materi muatan yang harus terkandung dalam peraturan perundang-
undangan.2
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan mengatur asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
yang bersifat formal dalam Pasal 5, sedangkan asas yang bersifat material dalam
Pasal 6. Dalam Pasal 10 ayat (1) ditentukan mengenai materi muatan yang harus
diatur undang-undang berisi (a) pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD
Negara RI Tahun 1945, (b) perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan
undang-undang, (c) pengesahan perjanjian internasional tertentu, (d) tindak lanjut
atas putusan Mahkamah Konstitusi, dan/atau (e) pemenuhan kebutuhan hukum
dalam masyarakat.
Pembentukan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah
perintah UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman untuk mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara yang berlaku di
lingkungan peradilan agama atau termasuk dalam klasifikasi Pasal 10 ayat (1)
huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Akan tetapi, dalam Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama ditemukan fakta normatif pengaturan kewenangan pencatatan
perceraian dengan memberikan kewenangan kepada panitera yang merupakan
aparat peradilan untuk menerbitkan akta perceraian. UU tersebut telah diubah
2 Maria Farida Indrawati S., Ilmu Perundang-undangan, (Kanisius: Yogyakarta, 1996), h, 196-
197.
3
dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 Tahun
2009 (selanjutnya disebut UU Peradilan Agama), namun ketentuan tersebut tidak
termasuk pasal yang diubah.
UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 juga mengatur bahwa
kewenangan tersebut adalah kewenangan pegawai pencatat pada KUA Kecamatan
sehingga terjadi konflik norma (conflict of norm). Adanya norma hukum (legal
norms) sebagai legal product yang saling bertentangan sehingga menimbulkan
masalah dalam tataran pelaksanaan (law aplication) tidak dapat dipisahkan dengan
proses pembentukan hukum (law making process).
Dari sinilah penulis terbesit untuk menulis dalam sebuah skripsi yang
berjudul Relevansi Pengaturan Kewenangan Pencatatan Perceraian Dalam
Undang-Undang Peradilan Agama Terhadap Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Yang Baik.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan terarah dengan baik, penulis membatasi masalah
dalam penulisan skripsi ini. Penulis meneliti mengenai koherensi norma hukum
(legal norm) Pasal 84 ayat 4 UU Peradilan Agama dengan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik (algemene beginselen van behoorlijke
4
regelgeving) yaitu asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
serta perwujudan asas ketertiban dan kepastian hukum.
2. Rumusan Masalah
a. Apakah pengaturan kewenangan pencatatan perceraian dalam Pasal 84 ayat
(4) UU Peradilan Agama koheren dengan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, yaitu asas kesesuaian antara jenis, hierarki,
dan materi muatan?
b. Apakah pengaturan materi muatan tersebut mencerminkan asas ketertiban
dan kepastian hukum?
C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui pengaturan kewenangan pencatatan perceraian dalam Pasal 84
ayat (4) UU Peradilan Agama koheren dengan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik.
b. Mengetahui pengaturan materi muatan tersebut mencerminkan asas
ketertiban dan kepastian hukum.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:
a. Menambah wawasan keilmuan tentang penerbitan akta cerai.
5
b. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan referensi/rujukan bagi yang ingin
mendalami tentang pencatatan perceraian di Indonesia.
D. Studi Review
Pembahasan dalam penelitian ini penulis melakukan telaah studi terdahulu
pada hasil penelitian yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan yang
akan diangkat oleh penulis yaitu:
No. Identitas Subtansi Pembeda
1
Dualisme
Kewenangan
Pencatatan
Perceraian antara
Panitera PA dan
Pegawai Pencatat
pada KUA
Dr. Musthofa Sy,
SH, MH, Hakim
Pengadilan Agama
Giri Menang
Artikel ini menjelaskan
mengenai dualism
kewenanga pencatatan
perceraian antara
Pengadilan Agama dan
kantor Urusan Agama
Perbedaan dengan
skripsi ini adalah
penulis membahas
mengenai.
Relevansi aturan
kewenangan
pencatatan
perceraian dalam
undang-undang
peradilan agama
terhadap asas
pembentukan
peraturan
perundang-
6
2
Ichtijanto, Undang-
undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama
dan Permasalahan
Perceraian di
Indonesia, dalam
Jurnal Mimbar
Hukum, Al-Hikmah
dan Dibinbapera
Islam, Jakarta, No.
17 Th. V 1994.
Membahas aturan
mengenai permasalahan
perceraian di Indonesia
undangan
Perbedaan dengan
skripsi ini adalah
penulis membahas
mengenai.
Relevansi aturan
kewenangan
pencatatan
perceraian dalam
undang-undang
peradilan agama
terhadap asas
pembentukan
peraturan
perundang-
undangan
7
E. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini,
maka penulis menggunakan metode:
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi ini,
adalah:
a. Penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.3
b. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan
dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur, dan
yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini
antara lain:
a. Pendekatan perundang-undangan yang didalamnya terdapat pasal-pasal yang
berkaitan (statute approach) ialah pendekatan dengan melakukan pengkajian
terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang yang berhubungan
dengan tema sentral penelitian skripsi ini khususnya berkenaan dengan
independensi hakim.4
3 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia
Publishing, 2008), h. 294.
4 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, h. 295.
8
b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) Pendekatan konseptual
(conceptual approach) pendekatan ini dilakukan manakala peneliti tidak
beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakuka karena memang
belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yag dihadapi. Dalam
membangun konsep ia tidak hanya melamun dan mencari dalam hayalan
melainkan pertama kali ia harus beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.5
2. Sumber Bahan Hukum
Dalam menyusun karya ilmiah yang baik agar sesuai dengan tujuan yang
diteliti maka dalam penyusunan karya ilmiah harus memiliki data yang
kompeten. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan dua jenis
sumber data, yaitu:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan
perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki perundang-
undangan dengan undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahan hukum primer yang
tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama dan
5 Marzuki Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta, Kencana, 2010), h, 137.
9
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Admnistrasi
Kependudukan.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan
kepustakaan.6 Bahan hukum yang terdiri atas buku-buku (textbook) yang
ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh (de hersendee leer), jurnal-
jurnal hukum, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang mutakhir yang
berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini. Bahan hukum sekunder
tersebut terdiri dari buku-buku hukum, media cetak, artikel-artikel baik dari
internet maupun berupa data digital.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penyusunan skripsi untuk memperoleh data yang baik dan benar
maka dibutuhkan teknik pengumpilan data. Untuk menyusun skripsi ini, teknik
pengumpulan bahan hukum yang penulis lakukan berisi uraian logis prosedur
pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bagaimana
bahan hukum tersebut diinterventariskan dan diklasifikasikan dengan
menyesuaikan masalah yang dibahas.
Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode
dokumentasi/library research. Metode dokumentasi/ library research adalah
6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Pustaka Pelajar. 1992), h.51.
10
mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surut kabar, media
online, majalah, dan sebagainya.7
4. Teknis Analisis Bahan Hukum
Teknis analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan
dengan pengolaan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan untuk
menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.
Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum hakikatnya
merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhdap bahan-bahan
hukum tertulis. sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan
hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.
Dalam analisis bahan hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain:
a. Memilih pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan tentang
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berisi kaidah-kaidah
hukum.
b. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut
yang kemudian dihubungkan dengan masalah yang penulis angkat sehingga
menghasilkan klasifikasi tertentu.
7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitif Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Press,
1985), h. 201.
11
5. Teknik Penulisan
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam
bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan
suatu masalah yang diteliti. Adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut:
Pertama, membahas mengenai pendahuluan latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian,
studi review, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Kedua, membahas dualisme kewenangan pencatatan perceraian meliputi
kewenangan pencatatan perceraian persepektif undang-undang nomor 3 tahun
2006 tentang peradilan agama dan kewenangan pencatatan perceraian perspektif
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.
Ketiga, membahas pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas kemanfaatan, dan
asas kepastian.
Keempat, membahas relevansi pengaturan kewenangan pencatatan
perceraian dalam undang-undang peradilan agama dengan asas pembentukan
12
peraturan yang baik meliputi koherensi pengaturan kewenangan pencatatan
perceraian dalam Pasal 84 ayat (4) UU Peradilan Agama dengan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik penerapan asas ketertiban
dan kepastian hukum dalam pengaturan materi muatan.
Sebagai penutup, dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab ini
penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan
sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab. uraian
terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan
dengan apa yang telah penulis kaji.
13
BAB II
DUALISME KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN
A. Urgensi Pencatatan Perceraian
Perceraian hanya dapat terjadi apabila dilakukan di depan pengadilan, baik
itu suami karena suami yang telah menjatuhkan cerai (thalaq), ataupun karena istri
yang menggugat cerai atau memohonkan hak talak sebab sighat taklik talak.
Meskipun dalam ajaran agama Islam, perceraian telah dianggap sah apabila
diucapkan seketika itu oleh si suami, namun harus tetap dilakukan di depan
pengadilan. Tujuannya untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul
sebagai dari akibat hukum atas perceraian tersebut.1
Di mata hukum, perceraian tentu tidak bisa terjadi begitu saja. Artinya, harus
ada alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan sebuah
perceraian. Itu sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang notabene
berwenang memutuskan, apakah sebuah perceraian layak atau tidak untuk
dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang menyangkut konsekuensi
terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan melakukan perceraian.
Misalnya soal hak asuh anak, serta pembagian harta gono-gini.2
Perceraian adalah hal yang tidak diperbolehkan baik dalam pandangan
Agama maupun dalam lingkup Hukum Positif. Agama menilai bahwa perceraian
1 Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, (Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2007), h. 17. 2 Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, h. 21
14
adalah hal terburuk yang terjadi dalam hubungan rumah tangga. Namun demikian,
Agama tetap memberikan keleluasaan kepada setiap pemeluk Agama untuk
menentukan jalan islah atau terbaik bagi siapa saja yang memiliki permasalahan
dalam rumah tangga, sampai pada akhirnya terjadi perceraian. Hukum Positif
menilai bahwa perceraian adalah perkara yang sah apabila memenuhi unsur-unsur
cerai, diantaranya karna terjadinya perselisihan yang menimbulkan percek-cokan
yang sulit untuk dihentikan, atau karna tidak berdayanya seorang suami untuk
melaksanakan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga.3
Permasalahannya adanya regulasi pencatatan perceraian ini telah
menimbulkan perdebatan tersendiri, mengenai dimana ia harus ditempatkan
posisinya. Dualisme peraturan terkait pencatatan perceraian tersebut mengakibat
benturan hukum dalam peraturan perundangoundangan. Apakah pencatatan
perceraian ada di Pengadilan Agama sebagaimana UU Peradilan Agama ataukah
di KUA sebagamana UU Adminduk.
Pencatatan perceraian sangatlah urgent. Selain demi terjaminnya ketertiban
akta cerai bisa digunakan untuk mendapatkan hak-hak suami atau isteri yang telah
berpisah. Kendatipun pencatatan perceraian hanya bersifat administratif tetap
harus dianggap penting karena melalui pencatatan perceraian tersebut akan
diterbitkan akta cerai yang nantinya sebagai bukti otentik jika sorang laki-laki atau
perempuan akan menikah lagi.
3 Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, h. 21
15
Manhaj yang digunakan dalam pengambilan hukum pencatatan perceraian
ini adalah qiyas. Qiyas menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu
yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya”. Menurut istilah
Ushul fiqh qiyas adalah:
4احلق امر غري منصوص على حكمة الشعي أبمر خمصوص كمه إلشرتاكهما يف علة حكم
Menghubungkan (menyamakan hukum) sesuatu yang tidak ada ketentuan
hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan
illat antara keduanya.
ا الذينا ى فااكت بوه يا أاي ها م ل مسا ين إلا أاجا ايانتم بدا (282: 2)البقراة : آمانوا إذاا تادا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”.
Hukum yang terdapat pada Al Ashl adalah sunnah karena Al-Qur'an yang
menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah. seperti pada
surat al-Baqarah ayat 282. Yang menunjukkan perintah mencatat perihal hutang-
piutang. Kalimat فأكتبوا adalah kalimat anjuran yang menekan, dan setiap anjuran
dalam kaidah fiqih adalah sunnah. Kesimpulannya hokum yang terdapat pada al
ashl adalah sunnah muaqad.
Illat adalah sifat yang terdapat dalam hukum asal, dipakai sebagai dasar
hukum yang dengan illat itu dapat diketahui hukum cabang(furu’) Illat dari
4 Satria Effendi, 2005, Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana), h,130.
16
pencatatan hutang piutang adalah bukti keabsahan perjanjian/transaksi muamalah
(bayyinah syar’iyah).
Kesimpulannya bahwa hukum pencatatan perceraian adalah sunnah muaqad
sebagaimana hukum pencatan dalam akad hutang piutang. Dalam kaidah
fiqhiyahnya:
5الثابت ابلرب هان كالثابت ابلعيان
“Sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan bukti(keterangan) sepadan dengan
yang telah di tetapkan berdasarkan kenyataan”.
B. Kewenangan Pencatatan Perceraian Oleh Peradilan Agama
UU NRI mengatur kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 ayat (1)
bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.6”
Kekuasaan kehakiman diatur lebih lanjut dengan UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kewenangan badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 25 dan untuk badan peradilan agama
ditegaskan dalam Pasal 25 ayat (3).7
5 Satria Effendi, 2005, Ushul Fiqh, h,130. 6 Lebih lanjut lihat Pasal 24 ayat (2) lebih lanjut menegaskan: “Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi." 7 Lebih lanjut lihat Pasal 25 ayat (3) “Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang
beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.”
17
Ketentuan mengenai peradilan agama diatur dengan UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun
2006 dan UU No. 50 Tahun 2009.8
Berdasarkan norma-norma tersebut, pengadilan agama merupakan salah
satu penyelenggara kekuasaan kehakiman dan kewenangannya adalah
menyelenggarakan peradilan yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam.
Kewenangan pengadilan agama terhadap perkara bidang perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah tersebut adalah
kewenangan untuk menyelenggarakan peradilan.Pasal 24 ayat (1) UUD Negara
RI Tahun 1945 yang merupakan hukum dasar telah menegaskan bahwa
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan …”. Frasa “untuk menyelenggarakan peradilan”
pada kalimat tersebut berarti bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
untuk menyelenggarakan peradilan atau fungsi yudisial. Bagir Manan
memberikan rumusan bahwa “kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah
kekuasaan dalam menyelenggarakan peradilan atau fungsi yudisial yang
meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa, dan
8 Kewenangan pengadilan agama ditegaskan dalam Pasal 49: "Pengadilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f.
zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syariah.”
18
kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum.”9
Salah satu kewenangan pengadilan agama adalah bidang perkawinan.
Bidang perkawinan di Indonesia diatur dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Perwujudan teori pembagian kekuasaan dalam bidang perkawinan
dapat dibedakan dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function),
eksekutif (the executive or administrative function), dan yudisial (the judicial
function). Fungsi legislatif adalah fungsi pembentuk undang-undang, fungsi
eksekutif atau administratif yang melaksanakan undang-undang, dan fungsi
yudikatif untuk menghakimi atau menegakkan undang- undang.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan produk
legislasi. Hans Kelsen mengemukakan bahwa fungsi eksekutif dan fungsi
yudikatif saling berkaitan erat. Eksekutif adalah pelaksana norma-norma hukum
yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Pelaksana hukum itu juga merupakan
fungsi yudikatif atau kehakiman. Keduanya mempunyai fungsi yang sama
sebagai pelaksana norma-norma hukum. Perbedaannya terletak pada yang
melaksanakan norma-norma hukum itu, yang satu dilaksanakan oleh
pengadilan, sedangkan yang lain dilaksanakan oleh organ eksekutif atau
administratif. 10
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto PP No. 9 Tahun
9 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004,
(Yogyakarta: FH UII Pess, 2007), h. 29-30. 10 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel and Russel, 1971),
diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, (Bandung: Nusa
Media, 2013), h. 360-361.
19
1975 telah menentukan bahwa pencatatan perceraian dilakukan oleh Pegawai
Pencatat pada KUA. bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam dan Pegawai Pencatat pada Kantor Pencatatan Sipil bagi yang
melangsungkan perkawinan menurut selain agama Islam.11 Fungsi yudikatif
ditegaskan dalam Pasal 63 ayat (1) bahwa kewenangan pengadilan bidang
perkawinan dibagi menjadi dua, yakni pengadilan agama bagi mereka yang
beragama Islam dan pengadilan negeri bagi yang selain beragama Islam.
Kewenangan pengadilan agama bidang perkawinan antara lain
subbidang perceraian karena talak dan gugatan perceraian. Perceraian karena
talak atau cerai talak adalah perceraian yang diajukan oleh suami yang memohon
untuk diizinkan menjatuhkan talak terhadap istrinya. Kewenangan pengadilan
agama dalam perkara cerai talak adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara atau menyelenggarakan fungsi yudikatif dan produknya
berupa putusan memberi izin kepada suami untuk menjatuhkan talak terhadap
istrinya di depan sidang Pengadilan Agama. Setelah putusan tersebut
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), pengadilan agama
menyelenggarakan sidang penyaksian ikrar talak dengan produk penetapan
yang menyatakan bahwa perkawinan putus karena cerai talak. Perceraian
terjadi sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat
11 Pasal 1 huruf d PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
20
dimintakan upaya hukum banding atau kasasi.12 Gugatan perceraian atau cerai
gugat adalah perceraian yang diajukan oleh istri. Produk hukum atas gugatan
perceraian adalah putusan. Perceraian dianggap terjadi dengan segala akibatnya
hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.13
Kewenangan pengadilan agama adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara antara lain bidang perkawinan. Untuk menyelenggarakan
kewenangan tersebut pada pengadilan agama terdapat aparat (ambtsdrager) atau
pejabat pengadilan. Pasal 45 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan bahwa “Selain hakim, pada Mahkamah Agung dan
badan peradilan di bawahnya dapat diangkat panitera, sekretaris, dan/atau juru
sita.”
Pada organisasi pengadilan, hakim adalah pejabat negara yang
menjalankan kekuasaan negara untuk menyelenggarakan peradilan yaitu
memeriksa, mengadili, dan memutus. Keberadaan panitera tidak dapat
dipisahkan dari tugas pokok pengadilan untuk menerima, memeriksa, mengadili,
dan menyelesaikan perkara.14 Panitera adalah pejabat yang memimpin
kepaniteraan pengadilan untuk melaksanakan tugas pelayanan teknis
12 Pasal 71 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan UU
No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 Tahun 2009. 13Periksa Pasal 81 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah
dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 Tahun 2009 juncto Pasal 34
PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 14 Wildan Suyuthi M., Panitera Pengadilan, Tugas, Fungsi, dan Tanggung Jawab, (Jakarta:
Mahkamah Agung RI, 2002), h. 17-18.
21
administrasi perkara dan administrasi peradilan lainnya.15 Panitera pengadilan
sebagai pejabat fungsional di bidang administrasi perkara tunduk dan
bertanggungjawab kepada ketua pengadilan atau ketua majelis hakim. Dalam
hukum tata negara dan hukum administrasi negara, jabatan panitera dibedakan
dengan jabatan administrasi pelaksana tugas pemerintah (bestuurvoering).16
Panitera pengadilan bukan pegawai negeri sipil yang menjalankan fungsi
eksekutif, tetapi pejabat pengadilan yang menjalankan fungsi administrasi
perkara.
Adminitrasi perkara tidak bisa dipisahkan dengan tugas pokok
pengadilan agama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yaitu menerima,
memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara. Rangkaian tugas panitera
bidang administrasi perkara meliputi kegiatan penerimaan perkara, kegiatan
penyelenggaraan persiapan persidangan, kegiatan memeriksa dan mengadili
perkara, serta kegiatan pelaksanaan putusan.
Cabang kekuasaan eksekutif adalah cabang kekuasaan yang
memegang kewenangan administrasi pemerintahan negara tertinggi.17 Presiden
adalah lembaga negara yang memegang kekuasaan eksekutif. Intensitas
intervensi pemerintah berbeda- beda antara bidang yang satu dan lainnya.
Intervensi pemerintah dalam bidang perkawinan pada lingkup administrasi
15 Musthofa Sy., Kepaniteraan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana: 2005), h. 33-46. 16 M. Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali, 1998), h.4. 17 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 59-
64.
22
belaka. Ridwan mengemukakan bahwa ada tiga kriteria untuk menentukan
suatu bidang termasuk urusan pemerintah, yaitu:
1. “Urusan itu merupakan bidang publik atau menyangkut kepentingan
umum (algemeen belang).
2. Ada intervensi atau keterlibatan pemerintah secara langsung atau tidak
langsung dalam urusan tersebut.
3. Peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan kepada
pemerintah untuk mengurus (besturen) dan mengatur (regelen) urusan
tersebut.”18
C. Kewenangan Pencatatan Perceraian Perspektif Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2013
Sebagaimana amanat UUD Negara RI Tahun 1945, UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah19 membedakan urusan
pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan
konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah
urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi
antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi
18 Ridwan, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 40. 19 LN RI Tahun 2014 No. 244, TLN RI No. 5587, diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014.
23
kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan.20
Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas urusan pemerintahan wajib
dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan pemerintahan wajib terdiri atas
urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar21 dan urusan
pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Urusan
pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi
antara lain administrasi kependudukan dan pencatatan sipil.22 Pencatatan sipil
adalah pencatatan peristiwa penting yaitu kejadian yang dialami oleh seseorang
meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan
anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama, dan perubahan
status kewarganegaraan.23 Pencatatan perceraian merupakan bagian pencatatan
sipil yang termasuk dalam ranah kewenangan pemerintah.
Kewenangan pemerintah untuk menyelenggarakan pencatatan
tersebut dilaksanakan oleh Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis Dinas
(UPTD) Instansi Pelaksana. Instansi Pelaksana adalah Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota, sedangkan UPTD Instansi Pelaksana
adalah UPTD Kependudukan dan Pencatatan Sipil di tingkat kecamatan.
20 Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 21 Pelayanan dasar adalah pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara”
meliputi pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan
permukiman; ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; dan sosial. Lihat Pasal 1
angka 16 jo. Pasal 11 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 22 Pasal 12 ayat (2), urusan pemerintahan pilihan diatur dalam Pasal 12 ayat (3) UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 23 Periksa Pasal 1 angka 15 dan angka 17 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan
yang diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013.
24
Pencatatan perkawinan, perceraian, dan rujuk bagi penduduk yang beragama
Islam dilakukan oleh pegawai pencatat pada KUA Kec.24
Sistem hukum bersifat konsisten mengatasi konflik dan menyediakan
sarana untuk mengatasi konflik sehingga sistem hukum tidak akan membiarkan
konflik itu berlangsung berlarut-larut.25 Jika terjadi konflik norma hukum
(antinomi hukum), berlaku asas penyelesaian konflik norma yang disebut asas
preferensi hukum sebagai berikut:26
1. Lex postereore derogat legi priore, yaitu undang-undang yang baru
menegasikan atau mengalahkan undang-undang yang lama. Jika terjadi
konflik norma antara dua undang-undang yang materinya sama, sedangkan
norma dalam undang-undang yang lama tidak dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku oleh undang-undang yang baru sehingga pada saat yang sama berlaku
dua undang-undang yang mengatur materi yang sama tetapi bertentangan satu
sama lain, maka untuk mengatasi konflik tersebut berlaku prinsip undang-
undang yang baru menegasikan atau mengalahkan undang- undang yang
lama.
2. Lex supreiore derogat legi infiriore, yaitu peraturan perundang-undangan
24 Pasal 1 angka 23, Pasal 8, Pasal 40 UU No. 23 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan UU
No. 24
Tahun 2013 juncto Pasal 75 Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008. 25 “Sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terorganisasi, terstruktur (a structured whole)
yang terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian yang mengadakan interaksi satu sama lain dan
mendakan kerja sama untuk kepentingan dan tujuan kesatuan”. Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum,
(Yogyakarta: Universitas Arma Jaya, 2011), h. 51-55. 26 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta: Universitas Arma Jaya, 2011), h. 51-55,
Lihat juga Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum., (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2011), h. 31-32.
25
yang lebih tinggi menegasikan atau mengalahkan peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah.
3. Lex specialis derogat lex generalis, yaitu undang-undang yang bersifat
khusus menegasikan atau mengalahkan undang-undang yang bersifat umum.
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab keberlakuan norma karena
adanya konflik norma antara Pasal 84 ayat (4) UU Peradilan Agama27 dan
norma dalam UU Adminduk. Berdasarkan fakta hukum ditemukan ada dua
undang-undang mengatur materi yang sama yakni kewenangan pencatatan
perceraian berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan agama. Pasal 84
ayat (4) UU Peradilan Agama mengatur kewenangan tersebut adalah
kewenangan panitera pengadilan agama, sedangkan norma dalam UU
Adminduk mengatur kewenangan tersebut adalah kewenangan pegawai
pencatat pada KUA.
Norma yang mengatur pencatatan perceraian adalah kewenangan
panitera pengadilan agama terdapat dalam Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang diundangkan pada 29 Desember 1989.
Ketika UU tersebut diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 pada 28 Februari
2006, norma tersebut tidak termasuk yang diubah. Demikian pula ketika
perubahan kedua dengan UU No. 50 Tahun 2009 pada 29 Oktober 2009,
27 Pasal 84 ayat (4) yang berbunyi: Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat
bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.
26
norma tersebut tidak diubah.28
Norma yang mengatur pencatatan perceraian adalah kewenangan
pegawai pencatat pada KUA Kec. terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan yang diundangkan pada 29 Desember
2006. UU tersebut diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan
atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pada 24
Desember 2013.
Dalam ketentuan peralihan UU No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan tidak ditemukan ketentuan yang mencabut atau
menyatakan tidak berlaku ketentuan Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang saat itu telah diubah dengan UU No. 3 Tahun
2006. Demikian pula dalam UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, tidak ditemukan
ketentuan yang mencabut atau menyatakan tidak berlaku ketentuan Pasal 84 ayat
(4) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan
UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009. Akibatnya, ada dua norma
yang sama berlaku mengatur materi yang sama dan bertentangan satu sama lain.
Salah satu asas pereferensi hukum adalah asas lex postereore derogat
legi priore, artinya undang-undang yang baru menegasikan atau mengalahkan
undang-undang yang lama. Undang-undang yang baru dalam konflik norma ini
28 Lihat UU No. 7 Tahun 1989, UU No. 3 Tahun 2009, dan UU No. 50 Tahun 2009 Tentang
Peradilan Agama.
27
adalah UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana
diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013. UU tersebut merupakan penjabaran
amanat UUD Negara RI Tahun 1945 dalam Pasal 26 ayat (3) bahwa “hal-hal
mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan Undang-undang.”
Pengaturan dalam undang-undang yang lama dalam konflik norma ini
adalah UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dibentuk
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.29 Kendati UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama tersebut pada era Reformasi telah diubah dengan
UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 Tahun
2009, akan tetapi norma pengaturan kewenangan pencatatan perceraian
dalam Pasal 84 ayat (4) tersebut tidak diubah. Oleh sebab itu, sesuai dengan
asas lex postereore derogat legi priore, norma yang mengatur kewenangan
pencatatan perceraian dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan yang diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013 menegasikan norma
Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah
dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 Tahun
2009.
Asas preferensi hukum lainnya adalah asas lex supreiore derogat
legi infiriore dan asas lex specialis derogat lex generalis. Fakta hukum berupa
29Pasal 12 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
sebagai berikut: “Susunan, Kekuasaan, dan Acara dari Badan-badan Peradilan seperti dalam Pasal 10
ayat (1) diatur dalam Undang-undang tersendiri.”
28
konflik norma dalam penelitian ini terjadi dalam dua undang-undang yang
berkedudukan sama dan bukan antara undang-undang yang bersifat umum dan
khusus. Penggunaan asas lex supreiore derogat legi infiriore dan asas lex
specialis derogat lex generalis tersebut berlaku harus dalam regim hukum yang
sama dan sederajat30 sehingga asas-asas tersebut tidak dapat digunakan untuk
menyelesaikan konflik norma dalam pembahasan ini.
Asas-asas tersebut ditujukan kepada pelaksana atau yang
menjalankan undang- undang, bukan ditujukan kepada pembentuk undang-
undang. Pembentuk undang-undang harus menentukan kepastian norma yang
berlaku dengan mengatur secara eksplisit jika menghendaki mengubah norma
yang lama. Jika terjadi kealpaan dalam pembentukan undang-undang sehingga
terjadi konflik norma sebagaimana dalam pembahasan ini, maka berlaku asas
preferensi hukum yakni hukum yang baru menegasikan hukum yang lama.31
30 Bagir Manan, Hasbi Doktor Ilmu Hukum, (Jakarta: Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun
XXV No. 291 Februari 2010), h. 11-12. 31 Bagir Manan, Hasbi Doktor Ilmu Hukum, h. 11-12.
29
BAB III
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA
A. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan adalah suatu
pedoman atau suatu rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik. Dalam bidang hukum yang menyangkut pembentukan
peraturan.
Selanjutnya dalam Bab II tentang Asas Peraturan Perundang-undangan
berisi Pasal 5, 6, dan 7 UU No. 12 Tahun 2011, ditentukan pula bahwa dalam
membentuk Peraturan Perundang-Undangan harus berdasarkan pada asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Asas- asas yang
dimaksud itu meliputi:
1. Kejelasan Tujuan
Yang dimaksud dengan “kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang
jelas yang hendak dicapai.1
1 Jazim Hamidi dan Budiman N.P.D. Sinaga, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dalam Sorotan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan , (Jakarta, P.T. Tatanusa. 2005), h. 40.
30
2. Kelembagaan atau Organ Pembentuk Yang Tepat
Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang
tepat”adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat
oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang
berwenang.2 Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.3
3. Kesesuaian Antara Jenis dan Materi Muatan
Asas “kesesuaian antara jenis dan materi muatan” adalah bahwa dalam
pembentukan peraturan perundangan-undangan harus benar-benar
memerhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-
undangannya.4
4. Dapat Dilaksanakan
Asas “dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-
undangan di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun
sosiologis.
2Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h, 260. 3Jazim Hamidi dan Budiman N.P.D. Sinaga, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dalam Sorotan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, h. 40. 4 A. Hamid S. Attamimi, 1993 “Ilmu Perundang-undangan (Gesetzgebungslehre) dan Teori
Perundangundangan (Gesetzgebungstheorie) serta pengajarannya di Fakultas Hukum”. Dalam Maria
Farida Indrati Soeprapto (1998) Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya,
(Kanisius, Yogyakarta, 1998), h. 258.
31
5. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan
Asas “kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
6. Kejelasan Rumusan
Asas “kejelasan rumusan” yaitu bahwa setiap peraturan Perundang-
undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan
perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta
bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan
interpretasi dalam pelaksanaannya.
7. Keterbukaan
Asas “keterbukaan” adalah bahwa dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan,
dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh
lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk seluas-luasnya
memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
Selanjutnya, Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 juga menentukan
adanya asas-asas yang harus terkandung dalam materi muatan setiap Peraturan
Perundang-undangan. Asas-asas yang dimaksud adalah asas:
32
1. Pengayoman
Asas “pengayoman” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.
2. Kemanusiaan
Asas “kemanusiaan” yaitu bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan
hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara profesional.
3. Kebangsaan
Asas “kebangsaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia
yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia.
4. Kekeluargaan
Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminakn musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.5
5Jazim Hamidi dan Budiman N.P.D. Sinaga, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dalam Sorotan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan , h. 43 .
33
5. Kenusantaraan
Asas “kenusantaraan”, yaitu bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan senantiasa memerhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan meteri muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di
daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila.6
6. Bhinneka Tunggal Ika
Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
memerhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi
khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah
sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.7
7. Keadilan
Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa
kecuali.
8. Kesaman Kedudukan Dalam Hukum dan Pemerintahan
Bahwa setiap materi muatan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-
hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau, status sosial.
6Jazim Hamidi dan Budiman N.P.D. Sinaga, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dalam Sorotan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan , h. 43. 7 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, h, 260.
34
9. Ketertiban dan Kepastian Hukum
Bahwa setiap materi perundang-undangan harus dapat menimbulkan
ketertiban dalam masyarat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
10. Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan
Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan
bangsa dan negara.
Sedangkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, yaitu:
1. Undang-Undang Dasar;
2. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peratura Presiden;
5. Peraturan Daerah.
Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011, kekuatan
hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
B. Materi Muatan Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan
Lainnya
1. Materi Muatan Undang-Undang (sebelum perubahan UUD 1945)
35
Istilah muatan Undang-undang ini pertama kali diperkenalkan oleh A.
Hamid Attamimi, dalam Majalah hukum dan pembangunan No. 3 Tahun ke-IX,
Mei 1979, sebagai terjemahan dari ‘het eigenaardig onderwerp der wet’.8
A. Hamid Attamimi berpendapat bahwa materi muatan Undang-Undang
Indonesia merupakan hal yang penting untuk kita teliti dan kita cari, oleh
karena pembentukan Undang-Undang suatu Negara bergantung pada cita
Negara dan teori bernegara yang dianutnya, pada kedaulatan dan pembagian
kekuasaan dalam negaranya pada sistem pemerintahan negara yang
diselenggarakannya.
Apabila dilihat pada tata susunan (hierarki) dari peraturan perundang-
undangan di Indonesia, maka hal tersebut bukan hanya ditetapkan semata-mata,
akan tetapi hal itu lebih dikarenakan peraturan perundang-undangan di
Indonesia selain dibentuk oleh lembaga yang berbeda juga masing-masing
mempunyai fungsi dan sekaligus materi muatan yang berbeda sesuai dengan
jenjangnya, sehingga tata susunan, fungsi dan materi muatan perundang-
undangan itu selalu membentuk hubungan fungsional anatara peraturan yang
satu dengan yang lainnya.9
Sebagai mana telah diketahui bahwa dalam Undang-Undang Dasar 1945
tidak ditetapkan hal-hal apa saja yang menjadi materi muatan dari undang-
undang, akan tetapi di dalamnya ada petunjuk-petunjuk yang dapat dipakai
8 A. Hamid S. Attamimi, Ilmu Perundang-Undangan, h. 234. 9 A. Hamid S. Attamimi, Ilmu Perundang-Undangan, h. 235.
36
untuk mencari dan menemukannya. Untuk menemukan materi muatan
Undang-Undang, dapat digunakan tiga pedoman, yaitu:
1. Dari Ketentuan Batang Tubuh UUD 1945
Apabila dilihat dalam batang tubuh UUD 45 maka dapat ditemukan 18
masalah yang harus diatur, ditetapkan, atau dilaksanakna berdasarkan
Undang-Undang. Dari kedelapan belas pasal tersebut dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok:
a. Kelompok hak-hak (asasi) Manusia: Pasal 12, Pasal 23 (2), Pasal 23 (3),
Pasal 26 (1), Pasal 26 (2), Pasal 28, Pasal 30 (2), Pasal 31 (1).
b. Kelompok pembagian kekuasaan Negara: Pasal 2 (1), Pasal 19 (1), Pasal
24 (1), Pasal 24 (2), dan Pasal 25.
c. Kelompok penetapan organisasi dan alat kelengkapan Negara: Pasal 16
(1), Pasal 18, Pasal 23 (1), Pasal 23 (4), dan Pasal 23 (5).
Dari pengelompokan ketentuan dalam batang tubuh UUD 1945
tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa pengaturan tentang hal-hal yang
mengenai hak-hak mengenai asas manusia, pembagian kekuasaan Negara,
dan penetapan organisasi dan alat kelengkapan negara (dalam hal ini
lembaga tertinggi dan tinggi negara), ditetapkan dengan Undang-Undang.10
2. Berdasarkan Wawasan Negara Berdasar Atas Hukum
Dalam penjelasan UUD 1945 ditentukan bahwa Negara Indonesia
ialah Negara yang berdasarkan atas hukum. Wawasan Negara yang
10 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, h. 234
37
berdasarkan atas hukum ini mengandung beberapa konsekuensi di bidang
perundang-undangan, oleh karena itu menyangkut masalah pembagian
kekuasaan Negara dan perlindungan hak-hak manusia.
Wawasan negara berdasar atas hukum ini dimulai dengan terbentuknya
Polizeistaat sampai pada perkembangan yang terakhir sebagai Rechtsstaat
material atau sosial, dimana perkembangan tersebut secara singkat dapat
diuraikan sebagai berikut: 11
1. Polizeistaat
Polizeistaat ini terbentuk sebagai reaksi dari adanya kekuasaan negara yang
absolut (monarki absolut), yang menguasai seluruh perikehidupan manusia.
Dalam amsa polizeistaa salah satu cirinya adalah bahwa undang-undang itu
dibentuk dengan tujuan mengatur untuk semua rakyat, tetapi pengaturannya
tidak oleh rakyat sendiri melainkan oleh negara.
2. Rechtsstaat Sembit/Liberal
Dalam negara berdasar atas hukum yang sempit/liberal ini negara
mempunyai fungsi untuk menjaga ketertiban dan ketenangan masyarakat,
sehingga negara hanya bertindak apabila ada gangguan terhadap ketertiban
dan ketenangan masyarakat. Ciri-ciri dari negara berdasar atas hukum yang
sempit/liberal ini adalah mulai terlihat adanya pengaturan dalam undang-
undang yang bercirikan:
a. Perlindungan hak-hak asasi manusia.
11 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, h. 234
38
b. Prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan.
3. Rechtsstaat Formal
Dalam negara berdasar atas hukum formil ini, negara sudah mulai
melaksanakan pengaturan untuk kepentingan masyarakat dan tidak dapat
lagi melaksanakan/menyelenggarakan segala kebutuhannya sendiri, tetapi
untuk hal-hal tertentu telah disarankan perlunya campur tangan pemerintah
atau negara sesuai yang ditentukan dalam undang-undang.
Ciri-ciri dari reechtsstaat formal ini ditandai dengan adanya:
- Prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia.
- Prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan.
- Prinsip pemerintahan berdasar undang-undang.
- Prinsip adanya peradilan administrasi.12
4. Rechtsstaat Material/Sosial.
Rechtsstaat material/sosial yang sering juga disebut dengan weelfare
state atauverzorgingstaat atau negara bedasar atas hukum modern. Dalam
negara berdasar atas hukum yang modern ini penguasaan terhadap
pemerintahan negara itu selain dengan undang-undang dapat juga dilakukan
dengan peraturan yang berada dibawah undang-undang. .
12 Dengan adanya prinsip pemerintahan berdasar undang-undang dan adanya peradilan
administrasi, diharapkan bahwa hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat dapat diselenggarakan oleh
negara atau penguasa dan sekaligus menghindari adanya tindakan-tindakan penguasaan negara yang
sewenang-wenang atau tidak berdasarkan ketentuan undang-undang.
39
Dalam negara berdasar atas hukum materil ini negara berkewajiban
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, sehingga campur tangan
pemerintah dalam mengurusi kepentingan ekonomi rakyat, kepentingan
politik dan sosial, kepentinagn budaya dan lingkungan hidupnya serta
masalah-masalah lainnya tidak dapat dielakkan, oleh karena negara bertugas
mengurusi rakyat, dan disamping itu undang-undang diharapkan
memberikan pengarahan kepada pemerintah dalam hal perlindungan hak-hak
asasi warga negara.
Ciri-ciri dari rechtsstaat material/sosial ini ditandai dengan adanya:
- Prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia.
- Prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan.
- Prinsip pemerintahan berdasar undang-undang.
- Prinsip peradilan administrasi.
- Prinsip pemerintahan yang menciptakan kemakmuran rakyat.13
3. Berdasarkan Wawasan Pemerintahan Berdasarkan Sistem Konstitusi
Berdasarkan wawasan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi
merupakan pasangan adanya wawasan negara berdasar atas hukum. Dalam
wawasan pemerintahan berdasarkan sitem konstitusi ini, kewenangan
pemerintah beserta segala tindakannya dalam menjalankan tugas-tugasnya
13 Dapat diambil kesimpulan bahwa Negara Republik Indonesia adalah termasuk dalam negara
berdasar atas hukum material/sosial, hal ini dapat ditemukan dalam pembukaan UUD 1945 alenia
keempat.
40
dibatasi oleh adanya konstitusi (hukum dasar) negara tersebut. Oleh karena
Negara Republik Indonesia menganut adanya wawasan pemerintahan
berdasar sitem konstitusi, maka kekuasaan perundang-undangan di Negara
Republik Indonesia terikat oleh UUD dan Hukum Dasar, sedangkan
kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan peradilannya terikat oleh undang-
undang dan hukum negara.
Penjelasan UUD 1945 menentukan pelimpahan kewenangan kepada
undang-undang untuk mengatur hal-hal yang merupakan pengaturan lebih
lanjut dari Undang-Undang Dasar, dan pembentukan undang-undang itu
memerlukan persetujuan DPR. Selain itu, Presiden mempunyai
kewenangan membentuk peraturan pemerintah bagi pelaksanaan lebih
lanjut dari undang-undang, serta adanya kewenangan Presiden untuk
membentuk peraturan lainnya dalam menjalankan pemerintahan, sehingga
sebenarnya seluruh peraturan yang ada di Indonesia ini dapat
dikelompukkan menjadi dua bagian:14
a. Peraturan perundang-undangan yang memerlukan persetujuan DPR,
yaitu undang-undang.
b. Peraturan perundang-undangan yang tidak memerlukan persetujuan
DPR, yaitu keputusan Presiden, dimana peraturan perundang-
14 Lihat Penjelaan UUD NRI 1945.
41
undangan disini merupakan peraturan yang sifatnya delegasian atau
atribusian dari undang-undang.
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditemukan adanya 9 butir materi
muatan dari undang-undang Indonesia, yaitu hal-hal:
a. Yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan TAP MPR
b. Yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD,
c. Yang mengatur hak-hak (asasi) manusia.
d. Yang mengatur hak dan kewajiban warga negara.
e. Yang mengatur pembagian kekuasaan negara.
f. Yang mengatur organisasi pokok, lembaga-lembaga tertinggi/tinggi
negara.
g. Yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara.
h. Yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan
kewarganegaraan.
i. Yang dinyatakan suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-
undang.
Berdasarkan adanya sembilan butir materi muatan undang-undang
tersebut, yang merupakan pena-pena penguji, maka untuk menetapkan
pengaturan suatu masalah haruslah diuji terlebih dahulu dengan sembilan
butir materi muatan tersebut. Apabila masalah yang akan diatur itu sesuai
42
dengan butir-butir materi muatan tersebut, maka masalah tersebut harus
diatur dalam bentuk undang-undang, dan sebaliknya.15
2. Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan Lainnya (sebelum
perubahan UUD 1945)
1. Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang merupakan peraturan
yang setingkat dengan undang-undang yang dibuat dengan kegentingan yang
memaksa, dibentuk oleh presiden, dan mempunyai fungsi yang sama dengan
undang-undang.
Oleh karena peraturan pemerintah pengganti undang-undang adalah
peraturan pemerintah yang setingkat dengan undang-undang, maka materi
muatannya adalah sama dengan materi muatan dari undang-undang.
2. Materi Muatan Peraturan Pemerintah
Peraturan pemerintah adalah peraturan yang dibentuk sebagai
peraturan yang menjalankan undang-undang, atau peraturan yang dibentuk
agar ketentuan dalam undang-undang dapat berjalan. Peraturan pemerintah
ini dibentuk oleh presiden, dan berfungsi menyelenggarakan ketentuan
dalam undang-undang baik secara tegas maupun secara tidak tegas
menyebutnya. Oleh karena itu materi muatan peraturan pemerintah adalah
keselurahan materi muatan undang-undang yang dilimpahkan kepadanya,
15 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, h. 236
43
atau dengan perkataan lain materi muatan peraturan pemerintah adalah sama
dengan materi muatan undang-undang sebatas yang dilimpahkan kepadanya.
3. Materi Muatan Keputusan Presiden
Keputusan presiden adalah peraturan yang dibentuk oleh presiden
sebagai penyelenggara fungsi pemerintahan sesuai dengan Pasal 4 (1) UUD
1945, dimana fungsi disini merupakan atribusi dari UUD 1945, sedangkan
fungsi dari keputusan presiden lainnya adalah menyelenggarakan pengaturan
lebih lanjut dari peraturan pemerintah baik secara tegas-tegas
pemerintahannya atau yang tidak secara tegas-tegas, dimana fungsi di sini
merupakan deligasi dari peraturan pemerintah.16
4. Materi Muatan Peraturan Di Bawah Keputusan Presiden
Materi muatan peraturan perundang-undangan lainnya merupakan
materi muatan yang bersifat atribusian maupun delegasian dari materi
muatan undang-undang, atau keputusan presiden, oleh karena peraturan
perundang-undangan lainnya merupakan peraturan pelaksanaan undang-
undang dan keputusan presiden.17
16 kedua fungsi tersebut, maka materi muatan dari suatu keputusan presiden tersebut merupakan
materi muatan sisa dari materi muatan Undang-Undang dan peraturan pemerintah, yaitu materi yang
bersifat atribusian, serta materi muatan yang merupakan delegasian dari undang-undang dan peraturan
pemerintah. Dalam hal luas dan batas lingkupnya, maka kewenangan yang bersifat atribusi yaitu dalam
membentuk keputusan presiden yang mandiri, merupakan kewenangan yang sangat luas dibandingkan
dengan kewenangan yang berasal dari delegasi undang-undang atau peraturan pemerintahannya.
17 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, h. 238
44
3. Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan (sesudah Perubahan
UUD 1945)
Setelah perubahan UUD 1945, pendapat mengenai materi muatan
undang-undang dan peraturan dan peraturan perundang-undangan lainnya
yang dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi tersebut secara resmi diakui.
Pengakuan tersebut dituangkan dalam rumusan pasal-pasal undang-undang
No. 10/2004 tentangpembentukan peraturan perundang-undangan yang
merupakan pelaksanaan dari Pasasl 22 A UUD 1945 perubahan, dan Pasal 6
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000.
Dengan berlakunya UUD 1945 perubahan, cara mencari dan
menemukan materi muatan undang-undang tetap dapat dilaksanakan melalui
ketiga cara yang diajukan oleh A. Hamid S. Attamimi, yaitu melalui:18
I. Ketentuan batang tubuh UUD 1945.
Berbeda dengan pendapat A. Hamid H. Attamimi yang
mengelompokkan ke 18 materi muatan yang dinyatakan secara tegas
oleh UUD 1945 (sebelum perubahan) kedalam 3 kelompok masalah
yang mempunyai kesamaan, ssat ini ke 43 hal yang dinyatakan secara
tegas oleh UUD 1945 perubahan tersebut dapat dibagi kedalam 3
kelompok yang memiliki kesamaan, dan 3 kelompok lainnya, walaupun
pembagiann tersebut tidak dapat dibedakan secara tegas, karena adanya
18 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, h. 238
45
hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Pembagian tersebut
sebagai berikut:
a. Kelompok lembaga negara: Pasal 2 ayat 1, pasal 6 ayat 2, pasal 6A ayat
5, pasal 19 ayat 2, pasal 20A ayat 4, pasal 22B, pasal 22C ayat 4, pasal
22D ayat 4, pasal 23G ayat 2, pasal 24 ayat 3, pasal 24A ayat 5, pasal
24B ayat 4, pasal 24C ayat 6, dan pasal 25.
b. Kelompok penetapan organisai dan alat kelengkapan negara: pasal 16,
pasal 17 ayat 4, pasal 18 ayat 1, pasal 18 ayat 7, pasal 18A ayat 1, pasal
23D, pasal 23 ayat 4, pasal 23 ayat 5.
c. Kelompok hak-hak (asasi) manusia: pasal 12, pasal 15, pasal 18A ayat
2, pasal 18B ayat 1, pasal 18B ayat 2, pasal 22E ayat 6, pasal 23 ayat 1,
pasal 23A, pasal 23B, pasal 23D, pasal 23E ayat 3, pasal 26 ayat 1, pasal
26 ayat2, pasal 28, pasal 28I ayat 5, pasal 30 ayat 5, pasal 31 ayat 1,
pasal 33 ayat 5, dan pasal 34 ayat 4.
d. Kelompok pengaturan wilayah negara: Pasal 25A.
e. Kelompok pengaturan atribut negara: pasal 36C.
f. Kelompok lain-lain: pasal 11 ayat 3, pasal 22A.
II. Berdasarkan Wawasan Negara Berdasar Atas Hukum (Rechtsstaat)
Dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 Perubahan, ditentukan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Wawasan negara
yang berdasarkan atas hukum ini memilik beberapa konsekuensi di
46
bidang perundang-undangan, oleh karena hal itu menyangkut masalah
pembagian kekuasaan negara dan perlindungan hak-hak (asasi) manusia.
III. Berdasarkan Wawasan Pemeritahan Berdasarkan Sistem Konsitusi
Wawasan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi ini merupakan
pasangan adanya wawasan negara berdasarkan sistem kostitusi ini,
kewenangan pemerintah beserta segala tindaknya dalam menjalankan
tugas-tugasnya dibatasi oleh adanya konstitusi (Hukum Dasar) negara
tersebut.
Oleh karena Negara Republik Indonesia menganut adanya wawasan
pemerintahan berdasar sistem konstitusi, maka kekuasaan perundang-
undangan di Negara Republik Indonesia terikat oleh Undang-Undang
Dasar dan Hukum Dasar, sedangkan kekuasaan pemerintahan dan
kekuasaan peradilannya terikat oleh Undang-Undang dan hukum
negara.
Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan hal mengenai materi muatan undang-
undang dan peraturan perundang-undangan lainnya dirumuskan dalam
pasal-pasalnya. Perumusan materi mauatan Undang-Undang dan
peraturan perundang-undangan lainnya tersebut adalah sebagai
berikut:19
19 Lihat UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
47
1. Materi Muatan Undang-Undang
Materi muatan Undang-Undang secara rinci dirumuskan dalam
pasal 8 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 sebagai berikut:
a. Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang meliputi:
1) Hak-hak asasi manusia;
2) Hak dan kewajiban warga negara;
3) Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian
negara dan pembagian daerah;
4) Wilayah negara dan pembagian daerah;
5) Kewarganegaraan dan kependudukan;
6) Keuangan negara,
b. Diperintahkan oleh Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-
Undang.
2. Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPU)
Dalam penjelasan pasal 22 UUD 1945 dinyatakan bahwa Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) adalah peraturan yang
setingkat dengan Undang-Undang, sehingga dalam pasal 9 Undang-
48
Undang No. 10 Tahun 2004 ditetapkan materi muatan PERPU adalah
sama dengan materi muatan Undang-Undang.20
3. Materi Muatan Peraturan Pemerintah
Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah seluruh materi muatan
Undang-Undang tetapi sebatas yang dilimpahkan, artinya sebatas yang
perlu dijalankan atau diselenggarakan lebih lanjut oleh Peraturan
Pemerintah.
Pasal 10 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 pasal 9 menetapkan
bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Dalam penjelasan pasal 10 dirumuskan, bahwa yang dimaksud
dengan sebagaimana mestinya adalah materi muatan yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur
dalam Undang-Undang yang bersangkutan.
4. Materi Muatan Peraturan Presiden
Seperti pendapat A. Hamid S. Attamimi, setelah mengetahui dan
menemukan apa yang menjadi materi muatan Undang-Undang dan
materi muatan Peraturan Pemerintah, maka dapat diketahui materi
muatan sisanya, yaitu materi muatan dari Keputusan Presiden (sekarang
Peraturan Presiden), baik yang bersifat delegasi maupun atribusi.
20 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, h. 238.
49
Dalam pasal 11 Undang-Undang No.10 Tahun 2004 ditetapkan
bahwa “materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang
diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan
Peraturan Pemerintah.”
5. Materi Muatan Peraturan Daerah
Dalam pasal 12 UU No. 10 Tahun 2004 menetapkan bahwa materi
muatan Peraturan Daerah, adalah seluruh materi muatan dalam rangka
menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
6. Materi Muatan Peraturan Desa
Dalam pasal 13 UUD No. 10 Tahun 2004 ditetapkan bahwa materi
muatan Peraturan Desa atau yang setingkat, adalah seluruh materi
muatan dalam rangka menyelenggarakan urusan desa atau yang
setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi. Menurut penjelasan pasalnya, yang dimaksud dengan
“yang setingkat” adalah nama lain dari pemerintahan tingkat desa.21
C. Asas Kepastian dan Kemanfaatan
Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan
masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem, dapat berperan
21 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, h. 243
50
dengan baik dan benar ditengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya
dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum.
Pelaksanaan hukum itu dapat berlangsung secara normal, tetapi juga dapat terjadi
karena pelanggaran hukum, oleh karena itu hukum yang sudah dilanggar itu harus
ditegakkan. Menurut Gustav Radbruch terdapat tiga (3) unsur utama/tujuan dalam
penegakan hukum, yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum
(Rechtssicherheit) dan kemanfaatan (Zweckmaβigkeit).22
Kepastian hukum oleh setiap orang dapat terwujud dengan ditetapkannya
hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Hukum yang berlaku pada dasarnya
tidak dibolehkan menyimpang, hal ini dikenal juga dengan istilah fiat justitia et
pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang
diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan
yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang
akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.
Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya
kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan
kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. Sebaliknya masyarakat
mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah
untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi
22Gustav Radbruch: Gerechtigkeit, Rechtssicherheit, Zweckmaβigkeit, dikutip oleh Shidarta
dalam tulisan Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan,dari buku
Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara (Jakarta: Komisi Yudisial, 2010), h. 3.
51
manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Hukum tidak identik dengan keadilan.
Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.
Barang siapa mencuri harus dihukum, dimana setiap orang yang mencuri harus
dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Kepastian hukum sangat
identik dengan pemahaman positivisme hukum. Positivisme hukumberpendapat
bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan
berarti semata-mata penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit.23
Undang-undang dan hukum diidentikkan.24 Hakim positivis dapat dikatakan
sebagai corong undang-undang. Montesquieu menuliskan dalam bukunya “De
l’esprit des lois” yang mengatakan:
Dalam suatu negara yang berbentuk Republik, sudah sewajarnya
bahwa undang-undang dasarnya para hakim menjalankan tugasnya sesuai
dengan apa yang tertulis dalam undang-undang. Para hakim dari negara
tersebut adalah tak lain hanya merupakan mulut yang mengucapkan
perkataan undang-undang, makhluk yang tidak berjiwa dan tidak dapat
mengubah, baik mengenai daya berlakunya, maupun kekerasannya.25
Dengan pernyataan itu, legisme sejalan dengan Trias Politika
dariMontesquieu, yang menyatakan bahwa, hanya apa yang dibuat oleh badan
legislatif saja yang dapat membuat hukum, jadi suatu kaidah yang tidak ditentukan
oleh badan legislatif bukanlah merupakan suatu kaidah, hakim dan kewenangan
23 Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2001), h. 42-43. 24Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana
(Bandung: Alumni, 2005), h.120. 25 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), h. 114.
52
pengadilan hanya menerapkan undang-undang saja.26 Penegakan hukum yang
mengutamakan kepastian hukum juga akan membawa masalah apabila penegakan
hukum terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat tidak dapat
diselesaikan berdasarkan hati nurani dan keadilan.
Keadilan adalah harapan yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum.
Berdasarkan karakteristiknya, keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak
menyamaratakan. Apabila penegak hukum menitik beratkan kepada nilai keadilan
sedangkan nilai kemanfaatan dan kepastian hukum dikesampingkan, maka hukum
itu tidak dapat berjalan dengan baik. Demikian pula sebaliknya jika menitik
beratkan kepada nilai kemanfaatan sedangkan kepastian hukum dan keadilan
dikesampingkan, maka hukum itu tidak jalan. Idealnya dalam menegakkan hukum
itu nilai-nilai dasar keadilan yang merupakan nilai dasar filsafat dan nilai-nilai
dasar kemanfaatanmerupakan suatu kesatuan berlaku secara sosiologis, serta nilai
dasar kepastian hukum yang merupakan kesatuan yang secara yuridis harus
diterapkan secara seimbang dalam penegakan hukum.
Hal menarik yang perlu dicermati apabila terdapat 2 (dua) unsur yang
saling tarik menarik antara Keadilan dan Kepastian Hukum, Roeslan Saleh
mengemukakan:27
26 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum (Progresif,Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), h.30. 27 Roeslan Saleh dikutip dalam Bismar Siregar, Kata Hatiku, Tentangmu (Jakarta: Diandra
Press, 2008), h, 121-122.
53
“Keadilan dan kepastian hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerap
kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu
peraturan hukum yang lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum, maka
semakin besar pada kemungkinannya aspek keadilan yang terdesak.
Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini dalam praktik dapat diatasi dengan jalan
memberi penafsiran atas peraturan hukum tersebut dalam penerapannya pada
kejadian konkrit. Apabila dalam penerapannya dalam kejadian konkrit, keadilan
dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin harus
mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”.
Roscue Pound sebagai salah satu ahli hukum yang bermazhab pada
Sosiological Jurisprudence, terkenal dengan teorinya yang menyatakan bahwa,
“hukum adalah alat untuk memperbarui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of
social engineering)”28. Hal inilah yang menjadi tolak pemikiran dari Satjipto
Raharjo dengan menyatakan, ”bahwa hukum adalah untuk manusia, pegangan,
optik atau keyakinan dasar, tidak melihat hukum sebagai suatu yang sentral dalam
berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum.
Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk
manusia, bukan manusia untuk hukum”.29
28 Darji Darmodiharjo, Shidarta. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filosafat
Hukum Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1995), h.113. 29 Abdul Halim, Teori-teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-kritiknya
dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. II, 2009, h. 390. Diakses dariwww.google.com pada 14 April
2016.
54
Dengan demikian, bahwa kedudukan keadilan merupakan unsur yang
sangat penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Indonesia memiliki kultur
masyarakat yang beragam dan memiliki nilai yang luhur, tentunya sangat
mengharapkan keadilan dan kemanfaatan yang dikedepankan dibandingkan unsur
kepastian hukum. Keadilan merupakan hakekat dari hukum, sehingga penegakan
hukum pun harus mewujudkan hal demikian. Disamping kepastian hukum dan
keadilan, unsur lain yang perlu diperhatikan adalah kemanfaatan.
Kemanfaatan dalam penegakan hukum merupakan hal yang tidak bisa
dilepaskan dalam mengukur keberhasilan penegakan hukum di Indonesia. Menurut
aliran Utilitarianisme, penegakan hukum mempunyai tujuan berdasarkan manfaat
tertentu (teori manfaat atau teori tujuan), dan bukan hanya sekedar membalas
perbuatan pembuat pidana, bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau
pengimbalan kepada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai
tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.30 Kemanfaatan disini diartikan sebagai
kebahagiaan (happiness). Hukum yang baik adalah hukum yang memberikan
kebahagiaan bagi banyak orang. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Jeremy
Bentham,bahwa:
“Pemidanaan itu harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan seberapa
kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah
30 Syaiful Bakhri, Pidana Denda Dan Korupsi (Yogyakarta: Total Media, 2009), h. 129.
55
dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima
apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar”.31
Maka, apabila melihat hal yang ideal berdasarkan 3 (tiga) unsur/tujuan
penegakan hukum yang telah dikemukakan di atas, penegakan hukum di Indonesia
terlihat cenderung mengutamakan kepastian hukum. Harmonisasi antar unsur yang
diharapkan dapat saling mengisi, ternyata sangat sulit diterapkan di Indonesia.
Aparat penegak hukum cenderung berpandangan, hukum adalah perundang-
undangan dan mengutamakan legal formil dalam setiap menyikapi fenomenal
kemasyarakatan.
31 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), h. 275
56
BAB IV
RELEVANSI PENGATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN
DALAM UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA DENGAN
ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN YANG BAIK
A. Koherensi Pengaturan Kewenangan Pencatatan Perceraian Dalam Pasal 84 Ayat (4) UU
Peradilan Agama Dengan Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang
Baik
Untuk membahas koherensi norma tersebut perlu dibahas terlebih dahulu
mengenai asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dasar ontologis
pembentukan undang-undang, dan ratio legis pengaturan kewenangan pencatatan
perceraian sehingga kewenangan tersebut menjadi kewenangan pengadilan agama.
1. Asas Kesesuaian antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal
5 mengatur sebagai berikut:
“Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada
asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan
f. kejelasan rumusan; dan
57
g. keterbukaan.”
Dalam Penjelasan Pasal 5 huruf c dijelaskan bahwa yang dimaksud asas
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan adalah “dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan harus benar-benar memerhatikan materi muatan yang
tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.”
Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan merupakan konsekuensi
adanya jenis dan hierarki peraturan perundangan-undangan sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan sebagai berikut:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Penjelasan Pasal 7 ayat (2) menguraikan lebih lanjut bahwa yang dimaksud
dengan hierarki adalah “penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang
didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
58
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”
Penggunaan istilah “materi muatan” dikenalkan oleh Abdul Hamid Saleh
Attamimi sebagai pengganti istilah dalam bahasa Belanda het onderwerp dalam
rangkaian kata het eigenaardig onderwerp der wet yang digunakan oleh Thorbecke
dalam Aantekening op de Grondwet yang diterjemahkan sebagai berikut:
“Grondwet meminjam pemahaman tentang wet hanyalah dari orang/badan hukum
yang membentuknya. Grondwet membiarkan pertanyaan terbuka mengenai apa
yang di negara kita harus ditetapkan dengan wet dan apa yang boleh ditetapkan
dengan cara lain. Sebagaimana halnya dengan Grondwet-grondwet lainnya.
Grondwet (ini pun) berdiam diri (untuk) merumuskan materi muatan yang khas
bagi wet (het eignaardig oderwerp der wet).1
Rangkaian kata het eigenaardig onderwerp der wet diterjemahkan “materi muatan
yang khas bagi undang-undang” yakni materi pengaturan yang khas hanya dan semata-
mata dimuat dalam undang-undang dan karena itu menjadi muatan undang-undang.2
Pengertian materi muatan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan disebutkan dalam Pasal 1 angka 13 bahwa “materi
muatan peraturan perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam peraturan
perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-
undangan.” Materi muatan undang-undang ditentukan dalam Pasal 10:
(1) “Materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi:
1 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaran Pemerintahan Negara, Disertasi, Universitas Indoensia, Jakarta, 1990, h. 205. 2 Maria Farida Indrawati S., Ilmu Perundang-Undangan, h. 123.
59
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.”
(2) “Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.”
Ketentuan materi muatan undang-undang dalam Pasal 10 tersebut akan dijadikan
dasar pengujian koherensi materi muatan UU Peradilan Agama berkenaan dengan
pengaturan kewenangan pencatatan perceraian dalam Pasal 84 ayat (4).
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan
pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Penegasan kata
“harus” dalam rumusan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan tersebut menunjukkan adanya kaidah hukum perintah. Perintah
adalah kewajiban untuk melakukan sesuatu sehingga merupakan kewajiban pembentuk
peraturan perundang-undangan dalam membentuk peraturan perundang-undangan
mendasarkan pada asas tersebut.
1. Dasar Ontologis Undang-undang Peradilan Agama
Dasar ontologis pembentukan UU dapat dicermati dalam konsiderans, dasar
hukum, dan penjelasan umum. Dasar ontologis UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
60
Agama dapat dicermati dalam tabel berikut.
Tabel Dasar Ontologis UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Pasal 10 ayat (1) “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum; b. Peradian Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara.”
Pasal 12 “Susunan, Kekuasaan, dan Acara dari Badan-badan Peradilan seperti dalam Pasal 10 ayat (1) diatur dalam Undang-undang tersendiri.”
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Konsiderans “Menimbang”
huruf e
“bahwa sehubungan dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, dan untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dipandang perlu menetapkan Undang-undang yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.”
Dasar Hukum “Mengingat”
1 Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 Undang- undang Dasar 1945“
2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951).”
3 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316).”
Bab IV Hukum Acara
Pasal 84 ayat (4)
“Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah
putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.”
Penjelasan Umum angka 1
paragraf 5
“Dengan demikian, Undang-undang yang mengatur Susunan, Kekuasaan, dan Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama ini merupakan pelaksanaan ketentuan-ketetuan dan asas yang tercantum dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74 , Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951).”
Penjelasan Umum angka 5
“Undang-undang ini selain mengatur susunan dan kekuasaan juga mengatur Hukum Acara Peradilan.”
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa pembentukan UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama merupakan pelaksanaan UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman untuk mengatur susunan, kekuasaan,
61
dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.3
Pengaturan kewenangan pencatatan perceraian yang memberikan kewenangan
kepada panitera untuk menerbitkan akta perceraian terjadi pada saat pembentukan UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradillan Agama. Kewenangan tersebut diatur dalam Bab IV
Hukum Acara Bagian Kedua Pemeriksaan Sengketa Perkawinan Pasal 84 ayat (4).
Pengaturan kewenangan pencatatan perceraian dimasukkan dalam bagian Bab Hukum
Acara khususnya bagian pemeriksaan sengketa perkawinan. Oleh sebab itu, perlu
ditelusuri ruang lingkup hukum acara perdata di pengadilan agama untuk menemukan
jawaban apakah pengaturan tersebut merupakan bagian hukum acara.
Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum
perdata material mulai pengajuan gugatan, pemeriksaan perkara, putusan, dan
pelaksanaan putusan pengadilan. Dengan pernyataan lain, ruang lingkup hukum acara
perdata adalah hukum yang mengatur mengenai tata cara mengajukan gugatan ke
pengadilan, cara pihak tergugat mempertahankan diri atas gugatan penggugat, cara para
hakim bertindak baik sebelum dan ketika pemeriksaan dilaksanakan, cara hakim
memutus perkara yang diajukan oleh penggugat, dan cara melaksanakan putusan sesuai
peraturan perundangan-undangan yang berlaku sehingga hak dan kewajiban sebagaimana
3Dasar ontoligis UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradillan Agama untuk menyesuaikan dengan kehidupan ketatanegaraan menurut UUD Negara RI Tahun 1945 dan
perubahan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah
dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Perubahan penting terhadap UU No. 14 Tahun 1970 adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan-
badan peradilan yang semula berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan menjadi
berada di bawah Mahkamah Agung. Pembentukan UU No. 50Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradillan Agama sebagai penyesuaian atau sinkronisasi terhadap UU No. 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan perubahan atas UU No. 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
62
dalam hukum perdata dapat berjalan sebagaimana mestinya.4
Hukum acara pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap
pendahuluan, tahap penentuan, dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan adalah tahap
persiapan sebelum acara pemeriksaan di persidangan, seperti mengajukan gugatan. Tahap
penentuan adalah tahap pemeriksaan di persidangan yang dimulai dari jawab menjawab,
pembuktian peristiwa sampai pada putusan. Tahap pelaksanaan meliputi pelaksanaan
putusan sampai selesai.5 Putusan perceraian bersifat konstitutif, artinya putusan yang
menimbulkan keadaan hukum baru. Para pihak yang berstatus sebagai suami istri berubah
statusnya menjadi duda dan janda setelah putusan perceraian tersebut berkekuatan hukum
tetap. Putusan konstitutif tidak perlu pelaksanaan putusan.
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengatur hukum acara dalam
Bab IV Hukum Acara mulai Pasal 54 sampai dengan Pasal 91. Bab IV Hukum Acara
tersebut diawali penegasan dalam ketentuan Pasal 54:
“Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang
ini.”
Hukum acara yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
merupakan lex specialis hukum acara perdata. Keterangan Pemerintah atas RUU
Peradilan Agama pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 28 Januari 1989 mengenai materi
4 Abdul Manan, Penerapam Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Prenada Media,
Jakarta, 2005), h. 2. 5 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Liberty, Yogyakarta, 1988), h. 4.
63
hukum acara menegaskan antara lain bahwa hal-hal yang perlu diatur secara khusus
adalah masalah yang tidak dikenal atau berbeda pengaturannya dengan acara yang
berlaku pada peradilan umum, yaitu (a) pemeriksaan sengketa perkawinan mengatur
tentang cerai talak dan cerai gugat, (b) li’an, dan (c) biaya perkara.6
Pengaturan materi hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan peradilan
agama merupakan lex specialis hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan
peradilan umum meliputi pemeriksaan sengketa perkawinan, li’an, dan biaya perkara.
Namun, pembentuk undang-undang juga memasukkan pengaturan pencatatan perceraian
dengan kewenangan menerbitkan akta perceraian dalam bagian hukum acara yaitu bagian
pemeriksaan sengketa perkawinan. Karena itu, perlu ditelusuri lebih lanjut untuk
mengetahui ratio legis pengaturan kewenangan menerbitkan akta perceraian dalam UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2. Ratio Legis Pengaturan Kewenangan Pencatatan Perceraian
Dasar ontologis berkenaan dengan undang-undang secara keseluruhan, sedangkan
ratio legis berkenaan dengan salah satu ketentuan undang-undang yang menjadi fokus
penelitian ini. Menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip A. Hamid S. Attamimi bahwa
dalam bidang hukum (terutama hukum perdata atau hukum privat), asas hukum
(rechtsbeginsel) adalah penting untuk dapat melihat jalur “benang merah” sistem hukum
positif yang ditelusuri dan diteliti. Melalui asas hukum tersebut dapat dicari ratio legis atau
tujuan umum aturan tersebut. Ratio legis dapat dimaknai alasan adanya suatu ketentuan
hukum. Ratio legis suatu ketentuan undang-undang tidak dapat lepas dari dasar ontologis
6 Keterangan Pemerintah atas RUU Peradilan Agama, 28 Januari 1989, h.11-13.
64
dan landasan filsafati undang-undang yang memuat ketentuan itu.
Norma yang diteliti adalah Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang mengatur bahwa:
“Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada
para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.”
Berdasarkan ketentuan ini kewenangan pencatatan perceraian yang semula diatur
dalam peraturan perundang-undangan merupakan kewenangan pegawai pencatat nikah
Kantor Urusan Agama7 beralih menjadi kewenangan panitera pengadilan agama.
Untuk menemukan ratio legis norma tersebut ternyata tidak cukup dengan
melakukan penelitian terhadap legal product. Karena itu, penelitian dilanjutkan dengan
menelusuri RUU tentang Peradilan Agama tanggal 3 Desember 1988 yang disampaikan
oleh Pemerintah untuk dibahas dalam sidang DPR yang memuat antara lain norma yang
rumusannya sama dengan legal product yang berlaku saat ini. Keterangan Pemerintah
atas RUU Peradilan Agama pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 28 Januari 1989
mengenai materi hukum acara menjelaskan antara lain:
“Selain itu untuk menjamin terlaksananya ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa
perceraian hanya dapat dilaksanakan di depan sidang pengadilan, maka wewenang
untuk memberikan bukti perceraian dalam RUU ini diberikan kepada
7 UU No. 22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Tahun 1954, UU No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975.
Mahkamah Agung meneguhkan dengan SEMA No. 1 Tahun dan SEMA No. 4 Tahun 1990.
65
Pengadilan Agama, tidak lagi kepada KUA Kecamatan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975”.8
Berdasarkan keterangan Pemerintah tersebut ditemukan ratio legis yaitu untuk
menjamin pelaksanaan ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan9 sehingga kewenangan menerbitkan bukti perceraian tidak lagi menjadi
kewenangan KUA, melainkan kewenangan pengadilan agama.
Ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur
tentang perceraian karena talak yang hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
agama. Lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa
perceraian itu terjadi terhitung sejak perceraian dinyatakan di depan sidang pengadilan
agama. Ketentuan demikian juga selaras dengan Pasal 71 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan
pengadilan membuat penetapan tentang perkawinan putus tersebut. Perkawinan putus
atas gugatan perceraian diatur dalam Pasal 81 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Putusan perceraian diucapkan dalam sidang pengadilan agama dan perceraian
terjadi dengan segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan agama
tersebut berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
atau penetapan tentang perkawinan putus karena cerai talak tersebut merupakan bukti
autentik terjadi perceraian suami istri.
Berdasarkan uraian tersebut, keterangan pemerintah yang memberikan
8 Keterangan Pemerintah, 28 Januari 1989, h. 13. 9Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: “Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
keduabelah pihak.”
66
kewenangan kepada pengadilan untuk memberikan bukti perceraian adalah logis. Akan
tetapi, rumusan Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai
legal product memberikan kewenangan kepada panitera pengadilan agama untuk
memberikan bukti perceraian tersebut tidak logis. Pembentuk UU telah menempatkan
akta cerai sebagai produk akhir perkara di pengadilan agama dan memfungsikan panitera
sebagai pejabat pencatatan sipil.
Bahan hukum primer belum memberikan jawaban signifikan mengenai ratio legis,
karena itu dilanjutkan penelusuran terhadap bahan hukum sekunder. Penulusuran
bahan hukum sekunder dapat ditemukan sebuah artikel hukum berjudul “Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Permasalahan Perceraian di
Indonesia” yang ditulis oleh Ichtijanto SA pada tahun 1994. Bahan hukum ini sangat
berharga untuk menelusuri ratio legis pengaturan kewenangan pencatatan perceraian
sebagaimana dikutip berikut.
“Tentang pencatatan perkawinan, talak, dan rujuk ini Undang-undang Peradilan
Agama (UUPA) tidak memberikan ketentuan apa pun dan mencabutnya satu
pun ketentuan dalam UU Nomor 22 Tahun 1946, sebab UUPA adalah undang-
undang yang memuat hukum formal, bukan undang-undang yang memberikan
ketentuan tentang pencatatan perkawinan (termasuk perceraian). Karenanya masuk
akal bahwa UUPA tidak mencabut materi hukum tentang kewajiban orang yang
menjatuhkan talak atau bercerai untuk mencatatkan peristiwa talak atau cerainya
pada pegawai pancatat nikah.
67
Namun dalam praktik, dengan terbitnya UUPA, maka bagi umat Islam
digantilah Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 dengan Peraturan Menteri
Agama Nomor 2 Tahun 1990 yang menghilangkan kewajiban hukum orang yang
menjatuhkan talak dan cerai untuk mencatatkan ke KUA. Kelihatannya dipahami
bahwa yang berkewajiban mencatat adalah PPN pada KUA yang dianggap cukup
mendapat bahan dari tembusan yang dikirim oleh Pengadilan Agama yang
bersangkutan. Dalam praktik, pengiriman keputusan oleh Pengadilan Agama ke KUA
ternyata tidak teratur dan sesegera mungkin. Sehingga berakibat pada tidak
terselenggaranya pencatatan talak dan cerai pada KUA sesegera mungkin. Akibat
selanjutnya adalah tidak tersedianya statistik cerai dan talak pada KUA sesegera
mungkin; sedang untuk perkawinan dan rujuk dapat segera terlaksana. Hal tersebut
secara ilmiah mengakibatkan kerugian, ialah bahwa bangsa Indonesia tidak segera
dengan mudah mengetahui kualitas keluarga dari ukuran perbandingan antara nikah,
talak, rujuk, dan cerai. Dengan keadaan tersebut, para pengkaji kualitas keluarga
muslim di Indonesia tidak tahu dengan baik, berapa orang yang cerai dalam satu
tahun dibandingkan dengan jumlah nikah yang terjadi dalam satu tahun. Tidak segera
diketahui pula berapa prosen yang rujuk dari berapa yang layak, berapa orang yang
talak tidak dirujuk. Hal-hal tersebut merupakan bagian yang pokok dan penting bagi
pengkaji ilmu kekeluargaan dan sosiologi serta hukum agama. Sebagai diketahui,
sebelum UUPA, Departemen Agama (dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimas Islam dan
Urusan Haji, Direktorat Urusan Agama Islam) dapat menyajikan kepada masyarakat
68
secara meyakinkan”.10
Berdasarkan bahan sekunder, ratio legis pengaturan kewenangan pencatatan
perceraian adalah untuk kepentingan data statistik perceraian di Indonesia agar bisa
mengimbangi data statistik perkawinan dan rujuk. Pengadilan agama pada saat itu belum
teratur dalam membuat putusan atau penetapan dan tidak bisa segera mengirimkan
salinan putusan atau penetapan pada KUA sehingga berakibat pada data statistik
perceraian di Indonesia tidak mudah untuk diketahui. Sisi lain, data statistik perkawinan
dan rujuk dapat segera diketahui. Keadaaan demikian dipandang sebagai hal yang
merugikan bangsa Indonesia karena tidak mudah mengetahui kualitas keluarga mengenai
perbandingan antara nikah, talak, rujuk, dan cerai. Padahal, hal-hal tersebut merupakan
bagian pokok dan penting bagi pengkaji ilmu kekeluargaan dan sosiologi serta hukum
agama pada masa itu. Oleh sebab itu, pencatatan perceraian dengan kewenangan
menerbitkan akta perceraian sebagai bukti perceraian diserahkan kepada panitera
pengadilan agama.
Hal ini menunjukkan bahwa ratio legis tersebut mengutamakan aspek
kemanfaatan data statistik perceraian (doelmatigheid) dan mengesampingkan aspek
kepastian hukum (rechtmatigheid). Berkenaan dengan keadaan demikian, relevan
dengan yang dikemukakan Bagir Manan bahwa dalam peraturan perundang-
undangan seolah- olah doelmatigheid atau asas manfaat ditempatkan secara
bertentangan dengan rechtmatigheid. Doelmatigheid merupakan metode melunakkan
10Ichtijanto, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Permasalahan
Perceraian di Indonesia, dalam Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan Dibinbapera Islam, Jakarta, No. 17 Th. V 1994, h.
67-68.
69
ketentuan hukum, akan
tetapi asas manfaat yang digunakan sebagai dasar adalah yang sesuai dengan
hukum sehingga penerapan hukum akan terhindar dari the end justifies the means.11
B. Penerapan Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum Dalam Pengaturan materi Muatan
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dalam Pasal 6 menentukan sebagai berikut:
(1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan
Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Penegasan kata “harus” dalam Pasal 6 ayat (1) tersebut menunjukkan adanya
11 Bagir Manan, Sistim Peradilan Berwibawa, (FH UII Press, Yogyakarta, 2005), h. 73.
70
kaidah hukum perintah. Perintah adalah kewajiban untuk melakukan sesuatu atau secara
negatif diartikan tidak boleh tidak melakukan sesuatu sehingga merupakan kewajiban
pembentuk peraturan perundang-undangan dalam membentuk peraturan perundang-
undangan mendasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangan-undangan yang
baik, antara lain asas ketertiban dan kepastian hukum. Maksud asas tersebut dijelaskan
dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf i bahwa “yang dimaksud asas ketertiban dan
kepastian hukum adalah setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat
mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.”
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, tujuan pokok hukum jika direduksi pada satu
hal saja adalah ketertiban (order). Kebutuhan terhadap ketertiban merupakan syarat
pokok (fundamental) bagi adanya masyarakat yang teratur. Untuk mencapai ketertiban
dalam masyarakat diperlukan kepastian menuju keteraturan.12 Menurut Utrecht, hukum
bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechtzekerheid) dalam pergaulan hidup
manusia. Kepastian hukum itu harus menjamin keadilan dan kemanfaatan. Kepastian
merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dengan hukum, terutama untuk norma
hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat
lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian hukum merupakan
bagian teori tujuan hukum yakni keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian
hukum.13
Kepastian hukum itu meliputi dua dimensi. Pertama, kepastian hukum dalam
12 Muchtar Kusumatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, (Bandung, 2006),
h. 3. 13 Utrech, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Ichtiar Baru: Jakarta, 1983), h. 86.
71
hukum. Kedua, kepastian hukum oleh hukum. Kepastian hukum dalam hukum merupakan
hukum sebagai sistem. Hukum diwujudkan dalam norma harus konsisten. Materi
muatannya tidak boleh terjadi inkonsistensi (sinkron, harmoni), kontradiksi (saling
bertentangan), overlapping (tumpang tindih), dan ambiguity (mendua). Kepastian hukum
oleh hukum, berkenaan dengan legal validity (kekuatan mengikatnya).
Bagir Manan menguraikan beberapa sebab peraturan perundang-undangan dapat
menimbulkan atau mempengaruhi kepastian hukum yakni:
a. Aturan-aturan yang sudah ketinggalan, seperti aturan masa pemerintahan kolonial atau
aturan masa kemerdekaan yang dibuat atas landasan yang tidak berlaku lagi.
b. Aturan-aturan yang bertentangan satu sama lain atau tumpang tindih, baik isi atau
kompetensi yang tidak jelas.
c. Aturan-aturan “tergantung” tanpa aturan pelaksanaan sehingga aturan pokok tidak
dapat dilaksanakan. Kalau pun dilaksanakan semata-mata atas dasar “aturan kebijakan”
(beleidsregel) yang sering keliru menerapkan pengertian doelmatigheid dan
menegasikan aspek rechmatigheid. Dalam berbagai peraturan perundang-
undangan seolah-olah doelmatigheid atau asas manfaat ditempatkan secara
bertentangan dengan rechmatigheid. Asas manfaat atau doelmatigheid merupakan
metode melunakkan ketentuan hukum, tetapi asas manfaat yang digunakan sebagai
dasar adalah yang sesuai dengan hukum.14
d. Pengaturan kewenangan pencatatan perceraian dalam Pasal 84 ayat (4) UU Peradilan
Agama menimbulkan konflik norma dengan UU No. 23 Tahun 2006 tentang
14 Bagir Manan, Sistim Peradilan Berwibawa, h. 73.
72
Administrasi Kependudukan yang diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013 dan terjadi
insinkronisasi norma baik secara vertikal maupun horizantal.15 Secara vertikal, terjadi
insinkronisasi dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 dan UU
No. 48 tentang Kekuasaan Kehakiaman. Secara horizontal, terjadi insinkronisasi dengan
e. peraturan perundang-undangan yang sejajar yaitu UU No. 22 Tahun 1946 juncto UU No.
32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan juncto PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 2015.
f. Berdasarkan uraian hasil penelitian tersebut, pengaturan kewenangan pencatatan
perceraian dalam UU Peradilan Agama tidak mencerminkan asas ketertiban dan
kepastian hukum sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf i UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
15Uraian lebih lengkap dapat dibaca dalam artikel penulis sebelumnya berjudul “Dualime
Kewenangan Pencatatan Perceraian antara Panitera PA dan Pegawai Pencatat pada KUA.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaturan kewenangan pencatatan perceraian dalam Pasal 84 ayat (4) UU
Peradilan Agama tidak koheren dengan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, yaitu asas kesesuaian antara jenis,
hierarki, dan meteri muatan sebagaimana ketentuan Pasal 5 huruf c UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dasar ontologis UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
merupakan perintah UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berlaku saat itu untuk
mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara. Pencatatan perceraian
bersifat administratif dan bukan merupakan bagian rangkaian hukum acara
pemeriksaan sengketa perkawinan. Peraturan perundang-undangan lainnya
telah mengatur bahwa kewenangan pencatatan perceraian tersebut
merupakan kewenangan pegawai pencatat pada KUA sebagai
penyelenggara administrasi bidang perkawinan inhaerent perceraian.
2. Pengaturan kewenangan pencatatan perceraian dalam UU Peradilan Agama
tersebut menimbulkan konflik norma dan terjadi insinkronisasi norma secara
vertikal dan horizontal sehingga tidak mencerminkan asas ketertiban dan
74
kepastian hukum sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf i UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
B. Saran
1. Rekomendasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, agar dasar
kewenangan pencatatan perceraian dalam Pasal 84 ayat (4) UU Peradilan
Agama dihapus pada saat dilakukan perubahan Undang-undang tersebut
atau dicabut dalam undang-undang lain yang mengatur pencatatan perceraian.
2. Kepada para akademisi untuk ikut berkontribusi dalam perkembangan
pembentukan peraturan perundang-undangan agar terwujud peraturan
perundang-undangan yang baik dan relevan dapat digunakan di mayarakat.
75
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Attamimi A. Hamid S, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaran Pemerintahan Negara, Disertasi, Universitas Indoensia,
Jakarta, 1990.
Bakhri, Syaiful, Pidana Denda Dan Korupsi Yogyakarta: Total Media, 2009.
Effendi, Satria, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2005.
Halim, Abdul Teori-teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-
kritiknya dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. II, 2009, h. 390. Diakses
dariwww.google.com pada 14 April 2012.
Hamzah , Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996.
Ibrahim, Johny, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang : bayumedia
publishing, 2008.
Ichtijanto, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan
Permasalahan Perceraian di Indonesia, dalam Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan
Dibinbapera Islam, Jakarta, No. 17 Th. V 1994.
Indrati S, Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Jazim Hamidi dan Budiman N.P.D. Sinaga, Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dalam Sorotan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan , Jakarta, P.T. Tatanusa. 2005.
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, New York: Russel and Russel, 1971,
diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Teori Umum tentang Hukum dan Negara,
Bandung: Nusa Media, 2013.
Kusumatmadja, Muchtar, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni,
Bandung, 2006.
Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001.
Manan, Abdul, Penerapam Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Prenada Media, Jakarta, 2005.
76
Manan, Bagir, Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004,
Yogyakarta: FH UII Pess, 2007.
______, Hasbi Doktor Ilmu Hukum, Jakarta: Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun
XXV No. 291 Februari 2010.
______, Sistim Peradilan Berwibawa, FH UII Press, Yogyakarta, 2005.
Marzuki Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta, kencana, 2010.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988.
_______, Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2011.
Moerad, Pontang, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara
Pidana Bandung: Alumni, 2005.
Musthofa Sy., Kepaniteraan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana: 2005.
Paul Scholten, Handleiding tot de beoefening van het Nederlandsch Burgelijk Recht,
Algemeen deel, Zwolle: Tjeenk Willink, 1954.
Radbruch, Gustav: Gerechtigkeit, Rechtssicherheit, Zweckmaβigkeit, dikutip oleh
Shidarta dalam tulisan Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan
Kemanfaatan,dari buku Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara
Jakarta: Komisi Yudisial, 2010.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.
Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.
Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum Progresif,
Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Roeslan Saleh dikutip dalam Bismar Siregar, Kata Hatiku, Tentangmu Jakarta: Diandra
Press, 2008.
Saputra M. Nata, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali, 1998.
Shidarta Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filosafat Hukum Indonesia Jakarta: Gramedia, 1995).
77
Soerjono, Soekanto, , pengantar penelitian hukum, Jakarta : Pustaka Pelajar. 1992.
_______dan Sri Mamudji, Penelitif Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali Press, 1985.
Susilo, Budi, Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2007.
Utrech, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1983, h. 86.
Wildan Suyuthi M., Panitera Pengadilan, Tugas, Fungsi, dan Tanggung Jawab,
Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2002.