rencana aksi kegiatan (rak) 2020 -2024...rencana strategik kementerian kesehatan tahun 2020-2024...
TRANSCRIPT
1
DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT KEMENTERIAN KESEHATAN RI
2020
RENCANA AKSI KEGIATAN (RAK) 2020 -2024
2
KATA PENGANTAR
Dengan Rasa Syukur atas Rahmat Allah Yang Maha Kuasa atas Berkat dan Karunia-Nya
sehingga Penyusunan Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tular Vektor dan Zoonotik Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tahun
2020-2024 ini dapat diselesaikan.
Penyusunan Rencana Aksi Kegiatan ini bertujuan untuk Meningkatnya Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik dengan tujuan dan sasaran strategis, arah
kebijakan dan strategi, target kinerja dan kegiatan.
Sebagai buku Rencana Aksi Kegiatan pertama untuk tahun RPJMN 2020-2024, kami
merasakan buku ini masih memiliki banyak kekurangan karena dukungan data yang belum
memadai terutama data-data yang digunakan sebagai bahan analisis situasi, prioritas program/
kegiatan, dan upaya rencana aksi. Selanjutnya kedepan akan terus disempurnakan dan
disesuaikan dengan perkembangan kegiatan pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor
dan zoonotik. Diharapkan program dan kegiatan dalam RAK tahun 2020-2024 dapat dijadikan
dasar dan acuan dalam melaksanakan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor
dan zoonotik. Bagi kepala subdit dan seksi dibawah Satuan Kerja, diharapkan RAK 2020-2024
dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun Rencana Kerja dan Sasaran Kerja Pegawai.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berproses
bersama dan mendukung tersusunnya Rencana Aksi Kegiatan (RAK) 2020-2024 ini, semoga buku
ini menjadi dokumen bersama dan dijadikan acuan dalam pelaksanaan pencegahan dan
pengendalian penyakit tular vektor dan zoonotic dan bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, September 2020
Direktur P2PTVZ
Dr.drh. Didik Budijanto, M.Kes NIP 196204201989031004
3
DAFTAR ISI
BAB. I. Pendahuluan 4
A. Latar Belakang ……………………………………………………………………………………. 4
B. Kondisi Umum…………………………………………………………………………………….. 5
C. Sumber Daya Manusia…………………………………………………………………………. 33
D. Tugas Pokok dan Fungsi………………………………………………………………………. 35
E. Potensi dan Permasalahan…………………………………………………………………… 36
BAB.II. Tujuan dan Saran 40
A. Tujuan………………………………………………………………………………………………… 40
B. Sasaran……………………………………………………………………………………………….. 41
BAB. III. Arah Kebijakan, Strategi dan Kerangka Regulasi 42
41A. Arah Kebiajakn dan Strategi………………………………………………………………… 42
B. Kerangka Regulasi………………………………………………………………………………. 49
BAB IV. Target Kinerja Kegiatan dan Kerangka Pendanaan 52
A. Target Kinerja…………………………………………………………………………………….. 52
B. Kegiatan dan Kerangka Pendanaan…………………………………………………….... 61
BAB.V. Pemantauan dan Penilaian Pelaporan 84
A. Pemantauan………………………………………………………………………………………… 84
B. Penilaian…………………………………………………………………………………………….. 84
C Pelaporan…………………………………………………………………………………………… 84
BAB VI. Penutup 85
Lampiran
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Periode tahun 2020-2024 merupakan tahapan terakhir dari Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, sehingga merupakan periode pembangunan jangka
menengah yang sangat penting dan strategis. RPJMN 2020-2024 akan memengaruhi pencapaian
target pembangunan dalam RPJPN, di mana pendapatan perkapita Indonesia akan mencapai
tingkat kesejahteraan setara dengan negara-negara berpenghasilan menengah atas (Upper-Middle
Income Country) yang memiliki kondisi infrastruktur, kualitas sumber daya manusia, pelayanan
publik, serta kesejahteraan rakyat yang lebih baik.
Sejalan dengan Visi Presiden Republik Indonesia Tahun 2020-2024 yaitu Terwujudnya
Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong - Royong,
dimana peningkatan kualitas manusia Indonesia menjadi prioritas utama dengan dukungan
pembangunan kesehatan yang terarah, terukur, merata dan berkeadilan. Pembangunan kesehatan
bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat tersebut, dibutuhkan program kesehatan
yang bersifat preventif dan promotif salah satunya adalah Program Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit (P2P). Berbagai kegiatan dilakukan untuk mendukung pencegahan dan pengendalian
penyakit, salah satunya kegiatan pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor dan
zoonotik.
Undang undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional mengamanatkan bahwa Kementerian/Lembaga menyusun Rencana Strategi (Renstra).
Selanjutnya merujuk kepada Keputusan Menteri Kesehatan nomor 21 tahun 2020 tentang
Rencana Strategik Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024 bahwa tingkat Eselon I
menjabarkan dalam Rencana Aksi Program (RAP) dan Eselon II atau satuan kerja menjabarkan
Rencana Aksi Kegiatan (RAK).
5
B. Kondisi Umum
Berbagai masalah dan tantangan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit tular
vektor dan zoonotik telah berkembang semakin kompleks dan munculnya tantangan baru baik
skala nasional, maupun global. Terlihat dengan adanya transisi epidemiologi, transisi demografi
dan lingkungan, perubahan sosial budaya masyarakat, perubahan keadaan politik, ekonomi,
keamanan, disparitas status kesehatan, kondisi kesehatan lingkungan, perubahan gaya hidup
masyarakat serta keterbatasan, kesenjangan dan distribusi sumber daya manusia kesehatan.
1. Status Malaria di Indonesia
Peta persebaran endemisitas malaria per kabupaten/Kota dapat dilihat dalam gambar
dibawah, terlihat bahwa kabupaten/kota endemis tinggi malaria masih terkonsentrasi di
kawasan timur Indonesia yaitu di Provinsi Papua, Papua Barat dan NTT dan hanya 1 Provinsi
diluar wilayah timur yang masih memiliki kabupaten endemis tinggi yaitu Provinsi
Kalimantan Timur di Kabupaten Penajam Paser Utara.
Gambar I.1. Peta Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2019
Berikut tabel rincian jumlah kabupaten/kota dan penduduk per wilayah endemisitas di Indonesia.
6
Tabel I.1. Jumlah Kab/Kota dan Penduduk Berdasarkan Endemisitas 2019
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa 77% penduduk Indonesia telah hidup di daerah bebas
malaria dan sekitar 23% penduduk Indonesia masih tinggal di daerah endemis malaria.
Sebanyak 89% kabupaten/kota di Indonesia telah mencapai API<1 per 1000 penduduk dan
58%nya telah mencapai eliminasi malaria. Berikut rincian endemisitas kabupaten/kota per
Provinsi Tahun 2019.
Tabel I.2. Endemisitas Malaria Per Provinsi 2019
No Provinsi Jumlah Kab/ Kota
Kab Eliminasi
Kab Endemis Rendah
Kab Endemis Sedang
Kab Endemis Tinggi
% Kab Eliminasi
1 DKI Jakarta 6 6 100%
2 Jawa Timur 38 38 100%
3 Bali 9 9 100%
4 Jawa Tengah 35 33 2 94%
5 Aceh 23 21 2 91%
6 Sumatera Barat 19 17 1 1 89%
7 Kep Bangka Belitung 7 6 1 86%
8 Jawa Barat 27 23 4 85%
9 Riau 12 10 2 83%
10 Sulawesi Selatan 24 20 4 83%
11 Sulawesi Barat 6 5 1 83%
12 DI Yogyakarta 5 4 1 80%
13 Banten 8 6 2 75%
14 Lampung 15 11 3 1 73%
15 Kalimantan Tengah 14 10 4 71%
16 Jambi 11 7 4 64%
17 Sumatera Utara 33 21 11 1 64%
18 Kalimantan Selatan 13 7 6 54%
19 Sulawesi Tenggara 17 9 7 1 53%
No Endemisitas Penduduk 2019 Kab/Kota 2019
# % # %
1 Eliminasi (Bebas Malaria) 208,160,937 77.7% 300 58%
2 Endemis Rendah (API < 1) 52,474,602 19.6% 160 31%
3 Endemis Sedang (API 1-5) 4,478,911 1.7% 31 6%
4 Endemis Tinggi (API > 5) 2,960,115 1.1% 23 4%
Total 268,074,565 100% 514 100%
7
No Provinsi Jumlah Kab/ Kota
Kab Eliminasi
Kab Endemis Rendah
Kab Endemis Sedang
Kab Endemis Tinggi
% Kab Eliminasi
20 Sumatera Selatan 17 8 9 47%
21 Kep Riau 7 3 3 1 43%
22 Sulawesi Utara 15 6 9 40%
23 Sulawesi Tengah 13 5 8 38%
24 Gorontalo 6 2 4 33%
25 Bengkulu 10 3 7 30%
26 Nusa Tenggara Barat 10 3 7 30%
27 Kalimantan Timur 10 3 5 1 1 30%
28 Kalimantan Barat 14 3 11 21%
29 Kalimantan Utara 5 1 4 20%
30 Maluku Utara 10 8 2 0%
31 Maluku 11 8 3 0%
32 Nusa Tenggara Timur 22 15 4 3 0%
33 Papua Barat 13 3 6 4 0%
34 Papua 29 4 10 15 0%
Total 514 300 160 31 23 58%
Berdasarkan tren kasus positif malaria dan API pada grafik dibawah terlihat penurunan kasus
yang signifikan dari Tahun 2010-2014, namun cenderung stagnan dari Tahun 2014-2019.
Tren kasus yang cenderung stagnan tersebut terjadi karena tren kasus malaria di Provinsi
Papua stagnan dan cenderung meningkat. Secara keseluruhan hampir terjadi penurunan
kasus malaria di seluruh provinsi di Indonesia dari Tahun 2015-2019. Penurunan tersebut
dapat dilihat pada grafik tren penurunan kasus di Provinsi Papua dan diluar Provinsi Papua.
Gambar I.2. Tren Kasus Positif dan API Tahun 2010-2018
Penurunan kasus malaria terlihat signifikan di luar Provinsi Papua, namun di Provinsi Papua
kasus cenderung meningkat seperti terlihat pada grafik dibawah ini.
8
Gambar I. 3. Tren Kasus Malaria di Papua dan Di luar Papua 2014-2018
Kasus malaria Tahun 2019 di Indonesia sebanyak 250.644, kasus tertinggi yaitu di Provinsi
Papua sebanyak 216.380 kasus, disusul dengan Provinsi NTT sebanyak 12.909 kasus dan
Provinsi Papua Barat sebanyak 7.079 kasus.
Gambar I.4. Grafik Kasus Positif Malaria di Indonesia Tahun 2019
Malaria merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian jika tidak diobati atau ditangani
dengan baik. Kasus kematian akibat malaria masih dilaporkan dari beberapa daerah di Indonesia.
Tren kematian akibat malaria terus menurun. Tahun 2019 dilaporkan terdapat 49 kasus kematian
malaria.
Gambar I.5. Grafik Tren Kematian Malaria Tahun 2013-2019
-
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Papua Diluar papua
216,
380
12,9
09
7,0
79
2,0
65
1,5
21
1,3
02
1,0
33
954
861
861
812
636
602
580
501
436
316
297
202
194
179
139
137
130
92
91
82
66
56
33
32
32
22
12
385
217
157 161
74
3449
2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
9
Kasus kematian malaria tahun 2019 dilaporkan dari 12 provinsi, kasus kematian tertinggi di
Provinsi Papua sebanyak 26 kasus. Rincian kematian malaria per provinsi dapat di lihat pada
gambar di bawah.
Gambar I.6. Kematian Malaria per Provinsi Tahun 2019
Malaria pada ibu hamil merupakan masalah Kesehatan masyarakat yang serius, kerena dapat
menyebabkan berbagai masalah seperti anemia, bayi lahir prematur, Berat Badan Bayi Lahir
Rendah (BBLR) dan bahkan kematian Ibu dan Bayi. Risiko malaria pada ibu hamil dalam
jangka panjang yaitu masalah pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak akibat lahir
prematur dan BBLR.
Penelitian malaria dalam kehamilan di Kabupaten Mimika menunjukkan bahwa infeksi pada
Ibu hamil menyebabkan anemia berat pada Ibu dan penurunan berat lahir janin. Malaria pada
bayi merupakan penyebab utama anemia berat dan bersama dengan kecacingan menjadi
penyebab utama stunting di daerah endemis malaria. Berdasarkan data Tahun 2019 sebanyak
58% (92 dari 160) Kabupaten/Kota prioritas stunting merupakan daerah endemis malaria.
Gambar I.7. Diagram Persentasi Endemisitas Malaria di 160 Kabupaten/Kota Prioritas
Stunting
26
5 4 3 3 2 1 1 1 1 1 1
Eliminasi42%
Endemis Rendah39%
Endemis Sedang10%
Endemis …
Endemis Tinggi II1%
Endemis Tinggi III2%
10
Pada Tahun 2019 dari seluruh kasus malaria di Indonesia, 39% terjadi pada anak usia di
bawah 15 tahun (96.659 kasus) dan 14% atau sebanyak 36.293 kasus terjadi pada balita
termasuk 3.858 kasus (2%) terjadi pada bayi. Kasus malaria pada ibu hamil Tahun 2019 yaitu
sebanyak 1.769, kasus terbanyak dilaporkan dari Provinsi Papua. Proporsi kasus malaria pada
Ibu Hamil dibandingkan seluruh kasus positif malaria yaitu 0.5%.
Gambar I.8. Grafik Kasus Malaria pada Ibu Hamil Tahun 2019
Kegiatan terpadu pengendalian malaria dengan pelayanan kesehatan ibu hamil dan balita
bertujuan untuk melindungi ibu hamil dan bayi dari penularan malaria dan mendorong
peningkatan cakupan layanan rutin ibu hamil serta memberikan kontribusi terhadap
penurunan stunting melalui penurunan kejadian anemia pada ibu hamil dan balita yang
disebabkan oleh malaria.
Kegiatan integrasi dilaksanakan melalui penapisan atau skrining malaria dan pemberian
kelambu anti nyamuk terhadap ibu hamil yang dilaksanakan pada saat kunjungan pertama
pelayanan masa kehamilan serta pemeriksaan sediaan darah malaria terhadap balita sakit.
Kegiatan integrasi diutamakan dilaksanakan di Kabupaten/Kota endemis tinggi dan
dilaksanakan secara selektif di kabupaten endemis sedang, rendah dan eliminasi malaria.
Sebanyak 377.392 ibu hamil dan 44,158 balita sakit telah diskrining malaria pada Tahun
2019. Berikut persebaran data skrining malaria pada ibu hamil dan balita sakit per provinsi
Tahun 2019. Data pada grafik menunjukkan bahwa skrining ibu hamil terbanyak dilaksanakan
di Provinsi NTT yaitu sebanyak 71.855 ibu hamil dan skrining balita sakit terbanyak dari
Provinsi Papua yaitu sebanyak 20.440 balita.
1,0
53
43
31
6
4
4
3
2
2
2
2
1
1
1
1
1
Positif Ibu Hamil
11
Gambar I.9. Jumlah Skrining Malaria pada Ibu Hamil dan Balita Sakit
Kebijakan skrining ibu hamil terutama dilaksanakan di kabupaten/kota endemis tinggi
merupakan kebijakan baru yang disosialisasikan pada Tahun 2018. Berdasarkan tabel
dibawah terlihat bahwa kasus malaria pada ibu hamil di daerah endemis tinggi persentasinya
sebanyak 93% dari total nasional namun skrining Ibu hamil di kabupaten endemis tinggi
hanya menyumbang 7% dari total skrining ibu hamil. Berdasarkan hal tersebut maka perlu
upaya untuk meningkatkan kegiatan skrining malaria pada ibu hamil di daerah endemis tinggi
malaria. Kegiatan skrining malaria pada ibu hamil dan balita sakit pada Tahun 2020
diharapkan tetap dilaksanakan di 28 kabupaten/kota endemis tinggi Tahun 2018.
Populasi Khusus adalah kelompok populasi yang memiliki resiko terinfeksi malaria lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok populasi lainnya dan memerlukan strategi pencegahan
dan pengendalian tersendiri. Beberapa pekerjaan seperti pekerja perambah hutan, pekerja di
perkebunan, pekerja tambang illegal, nelayan, dan anggota militer/polisi, mereka memiliki
risiko untuk terinfeksi malaria lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain disebabkan oleh
karakteristik pekerjaannya.
Kelompok populasi khusus lainnya yang berisiko tinggi antara lain komunitas suku adat
terpencil dan wisatawan. Sistem Informasi Malaria telah melaporkan bahwa dari 63
Kabupaten/Kota yang mengalami stagnansi penurunan kasus lebih dari 5 tahun, 19 kabupaten
diantaranya memiliki populasi yang tinggal di hutan atau bekerja di daerah sulit terjangkau
secara geografis oleh layanan kesehatan. Dukungan lintas sektor dan program diperlukan
untuk menanggulangi malaria pada Populasi Khusus tersebut.
Upaya pengendalian nyamuk anopheles sebagai vektor utama malaria yaitu dengan
penggunaan kelambu anti nyamuk. Distribusi kelambu utamanya difokuskan pada kabupaten
endemisitas tinggi dan desa fokus pada kabupaten endemis sedang dan rendah. Kampanye
kelambu berinsektida mengusung tema peremajaan dan pemasangan kelambu baru secara
serentak yang telah dilaksanakan setiap 3 tahun sekali.
71
,83
5
51
,58
3
30
,09
6
21
,98
4
17
,55
9
17
,14
7
15
,94
5
14
,63
2
14,0
51
12
,47
5
10
,27
1
9,6
56
9,6
09
9,2
61
8,9
47
8,88
1
8,7
03
7,7
31
5,7
16
4,8
70
4,3
17
4,1
63
3,72
9
3,6
24
3,5
79
3,1
84
1,2
65
1,1
43
1,0
45
36
9
22
- - -
10
,81
1
34
3
64
20
,44
0
38
7
99
2,2
47
31
6
61
47
12
7
24
1 2
,89
3
5,7
58
2 4 78
6
4
1
6 9 1
- 41
1
1
- 8
8
- - 1
-
Skrining Bumil Skrining Balita Sakit
12
Distribusi kelambu masal untuk seluruh penduduk di daerah endemis tinggi dan diwilayah
fokus di daerah endemis sedang berdasarkan kelompok tidur telah dilaksanakan pada Tahun
2014 dan 2017 serta akan kembali dilaksanakan pada Tahun 2020. Sebanyak 10,7 Juta
kelambu telah didistribusikan melalui kampanye distribusi kelambu masal di Tahun 2014 dan
2017. Berdasarkan survei terakhir Tahun 2019 diketahui bahwa cakupan penggunaan
kelambu masih rendah yaitu 60.5% sehingga diperlukan upaya bersama untuk meningkatkan
cakupan penggunaan kelambu.
2. Status Arbovirosis di Indonesia
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit Arbovirosis yang paling banyak
dijumpai di Indonesia. Kasus DBD yang pertama dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan
Surabaya dengan 58 kasus dan 24 kematian Case Fatality Rate (CFR 41,3%). Dalam kurun
waktu 50 tahun (1968 – 2017) angka kematian (CFR) DBD telah berhasil diturunkan menjadi
di bawah 1%. Pada tahun 2017 CFR DBD Nasional sudah menurun menjadi 0,72%.
Dalam 10 tahun terakhir (2008 – 2017), Incidence Rate (IR) DBD berada pada kisaran 26,1
per 100.000 penduduk hingga 78,8 per 100.000 penduduk. Angka morbiditas DBD yang
berfluktuatif ini juga berhubungan dengan pemahaman masyarakat terkait pencegahan DBD
yang masih perlu ditingkatkan.
Upaya pencegahan dan pengendalian DBD mempunyai target penurunan jumlah kasus/IR dan
angka kematian/CFR. Target nasional adalah IR DBD < 49 per 100.000 penduduk dan CFR<
1%. Di Indonesia ada 4 serotipe virus Dengue yang bersirkulasi, yaitu Den1, Den2, Den3, dan
Den4. Data ini diperoleh dari hasil surveilans sentinel dengue di 6 rumah sakit yang tersebar
di 6 provinsi: Sumatera Utara, Yogyakarta, Kalimantan Timur, NTB, Sulawesi Utara, dan
Maluku. Serotipe yang dominan di Indonesia adalah Den3 (50,08%), diikuti oleh Den1
(20,7%). Untuk situasi DBD pada tahun 2019 dilaporkan sebanyak 138.127 kasus dengan
jumlah kematian akibat DBD sebanyak 919 kematian (IR = 51,48 per 100.000 penduduk dan
CFR = 0,67 %). Saat ini (sampai dengan tanggal 19 Agustus 2020) 34 provinsi sudah terpapar
DBD dan dari 514 Kab/Kota di seluruh Indonesia telah 470 Kab/Kota yang terjangkit penyakit
DBD
13
Tabel. I.3 Trend Kasus, Kematian dan IR dan CFR DBD 5 tahun terakhir
NO Data Tahun
2015 2016 2017 2018 2019 2020 (sd Mg ke
34Th 2020)
1. Jumlah Penderita DBD
129.650 204.171 68.407 65.602 138.127 81.382
2. IR DBD/ 100.000 pddk
50,75 78,85 26,10 24,73 51,48 30
3. Jumlah penderita DBD yang meninggal
1.071 1.598 493 467 919 517
4. Case Fatality (CFR) DBD
0,83 0,78 0,72 0,71 0,67 0,64
Gambar I.10 Situasi Kasus DBD Tahun 2020 (per 19 Agustus 2020)
N Kasus 81.382
14
Gambar I.11. Situasi Kematian DBD Tahun 2020 (per 19 Agustus 2020)
Gambar I.12 Kasus DBD Tahun 2020 Per Provinsi (per 19 Agustus 2020)
Gambar I.13 Situasi Kasus Kematian DBD 2020 Per Provinsi (per 19 Agustus 2020)
-
5,000
10,000
15,000
JAB
AR
JATI
M
LAM
PU
NG
N.T
.B
JATE
NG
BA
NTE
N
SUM
SEL
J A
M B
I
KA
LSEL
BEN
GK
ULU
SULU
T
SULT
RA
AC
EH
BA
BEL
SULB
AR
PA
PU
A
KA
LTA
RA
14
,46
3
8,9
30
6,8
19
5,5
96
5,4
49
4,2
27
4,0
24
3,0
58
2,8
46
2,5
33
2,2
80
2,2
70
1,8
96
1,7
84
1,7
39
1,5
95
1,5
76
99
8
97
6
95
2
94
6
82
2
76
4
72
4
72
3
69
9
69
5
63
7
56
3
26
7
21
2
13
6
12
7
56
N Kasus 81.382
- 20 40 60 80
100 120 140
JAB
AR
JATI
M
N.T
.T.
JATE
NG
R I
A U
LAM
PU
NG
BA
NTE
N
SULS
EL
B A
L I
KA
LTIM
N.T
.B
J A
M B
I
KA
LSEL
SULU
T
SULT
RA
BEN
GK
ULU
SULT
ENG
GO
RO
NTA
LO
MA
LUK
U U
TR
KA
LTEN
G
D.I
YO
GYA
MA
LUK
U
KEP
RI
SUM
SEL
KA
LBA
R
SUM
BA
R
SUM
UT
SULB
AR
BA
BEL
KA
LTA
RA
DK
I JK
T
PA
PU
A
AC
EH
PA
PU
A B
AR
AT
121
58 5842
25 23 21 20 18 14 13 12 11 9 8 8 7 7 6 5 5 5 4 3 3 2 2 2 2 1 1 1 - -
N Kematian 517
N Kematian 517
15
Jumlah penderita DBD yang dilaporkan pada tahun 2020 sebanyak 81.382 kasus dengan
jumlah kematian 517 orang (IR= 30 per 100.000 penduduk dan CFR= 0,64 %*update per
tanggal 19 Agustus 2020). Angka kasus tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak
14.463 dan kasus terendah di Provinsi Maluku sebanyak 56 kasus, sedangkan kematian
retinggi di provinsis Jawa Barat sebanyak 121 kematian dan Tidak ada kematian di provinsi
Papua barat.
Virus Chikungunya ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus. Terdapat tiga faktor yang memegang peranan dalam penularan penyakit
Chickungunya, yaitu: manusia, virus dan vektor perantara. Beberapa penyeba timbulnya
Kejadian Luar Biasa (KLB) demam chickungunya adalah:
a. Perpindahan penduduk dari daerah terinfeksi
b. Berkembangnya penyebaran dan kepadatan vektor nyamuk akibat sanitasi lingkungan
yang kurang baik.
Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan pada tahun 1973 di
Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur dan di Jakarta. Sejak ditemukan pertama kali sampai
dengan tahun 2019, telah 3 provinsi dan 1 kota serta 2 kabupaten di Indonesia pernah
melaporkan adanya KLB Chikungunya. KLB Chikungunya sering terjadi pada awal dan akhir
musim hujan dan penyakit ini lebih sering terjadi di daerah sub urban seperti di pulau Jawa
dan Kalimantan.
Japanese Encephalitis (JE) adalah infeksi virus JE dari genus Flavivirus yang menyerang
susunan saraf pusat, menyebabkan radang otak dan dapat menimbulkan kecacatan seumur
hidup bahkan kematian. JE dikenal sebagai virus zoonotic emerging infectious diseases
(VZEID) yang berpotensi menjadi episentrum dari suatu pandemi. Ditularkan melalui gigitan
nyamuk terutama Culex tritaeniorhynchus dengan babi dan hewan besar lainnya serta burung
yang hidup di rawa-rawa sebagai amplifying host.
JE pertama kali ditemukan pada sebuah wabah di Jepang pada tahun 1871 dan sejak itu
menyebar ke negara-negara Asia. Saat ini melalui kegiatan Surveilans Sentinel, 8 Provinsi di
Indonesia telah melaporkan insiden JE. Suatu study bahkan ada yang menyebutkan bahwa
Indonesia merupakan Center of Origin dari virus JE yang menyebar di wilayah Asia. Di
Indonesia virus JE pertama kali berhasil diisolasi oleh Van Pennen dan kawan-kawan dari
nyamuk dan babi di daerah kapuk Jakarta Barat.
16
Tahun 1994-2004 Kemenkes mengadakan surosurvey di 14 provinsi di Indonesia. Tahun
2014 program Nasional pencegahan dan pengendalian JE dimulai di Indonesia bersamaan
dengan dimulainya kegiatan Sistem Surveilans Sentinel JE. Pada tahun 2018 catch up
campaign vaksinasi JE dilaksanakan di provinsi Bali untuk anak usia 9 bulan s/d < 15 tahun
dengan cakupan 101,78% dan sejak itu diberlakukan sebagai vaksinasi program reguler untuk
anak 10 bulan.
Sebagai kegiatan surveilans kasus JE, sejak tahun 2014 hingga saat ini kementerian kesehatan
telah melaksanakan Surveilans Sentinel JE Berbasis Rumah Sakit di 11 Provinsi, 23 Kab/Kota
dan 58 rumah sakit, provinsi tersebut, yaitu : Provinsi Sumatera Utara, Kepulauan Riau, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat dan
Sulawesi Utara, hampir seluruh wilayah di Indonesia kecuali provinsi Gorontalo, Sulawesi
Barat, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara, hasil pemeriksaan terhadap virus JE pada vektor
dan hewan reservoir menunjukkan hasil positif. Melalui kegiatan Surveilans Sentinel JE tahun
2014 -2019 di 11 Provinsi, didapatkan hasil beberapa wilayah merupakan daerah endemis JE
yang ditandai dengan munculnya kasus JE selama 3 tahun berturut-turut, yaitu di Provinsi
Bali, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan DI Yogyakarta Provinsi DKI
Jakarta, Kepulauan Riau, dan Jawa Tengah merupakan wilayah sporadis sementara wilayah
lain di Indonesia kecuali provinsi Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara
Gambar I.14. Kasus Tersangka Japanese Encephalitis (JE) tahun 2015 – 2019
0
10
20
30
40
50
Th 2015 Th 2016 Th 2017 Th 2018 Th 2019
4043
6 610
Kasus Japanese Encephalitis (JE) Di IndonesiaTahun 2015 sd Tahun 2019
Sumber : Subdit Arbovirosis
17
Kasus tersangka JE tertinggi dilaporkan pada tahun 2015 sebanyak 40 dan tahun 2016
sebanyak 43. Pada Tahun 2017 sd 2019 terjadi penurunan kasus JE. Program JE belum
menjadi Program Rutin di Indonesia. Data yang didapat berdasarkan dari hasil kegiatan
Surveilans Sentinel JE. Surveilans berbasis laboratorium ini dilaksanakan di 11 provinsi yaitu
Provinsi Bali, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi NTT, Provinsi DKI
Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi D I Yogjakarta, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Sumatera
Utara, Provinsi NTB dan Provinsi Kepulauan Riau.
Tabel I.4 Tersangka JE tahun 2019 per Provinsi
Provinsi Positif IgM JE
Provinsi Bali 1
Provinsi Kalimantan Barat 9
Provinsi Sulawesi Utara 0
Provinsi Nusa Tenggara Timur 0
Provinsi DKI Jakarta 0
Provinsi Jawa Barat 0
Provinsi D I Yogjakarta 0
Provinsi Jawa Tengah 0
Provinsi Sumatera Utara 0
Provinsi Nusa Tenggara Barat 0
Provinsi Kepulauan Riau 0
Gambar I.15 Data Chikungunya di Indonesia pada Tahun 2015 – 2019
0
2,000
4,000
6,000
Th 2015 Th 2016 Th 2017 Th 2018 Th 2019
2,2551,702
123 97
5,042
Kasus Chikungunya Di IndonesiaTahun 2015 sd Tahun 2019
Sumber : Subdit Arbovirosis
18
Kasus Demam Chikungunya mengalami penurunan kasus secara signifikan selama tahun 2017 –
2018. Pada tahun 2015 sebanyak 2.255 kasus dilaporkan. Tetapi mulai tahun 2016 – 2018 kasus
demam Chikungunya mengalami penurunan yang sangat tajam dan pada tahun 2019 terjadi
kenaikan kasus yang significant. Sebanyak 32 provinsi yang tersebar di 210 kab/kota melaporkan
adanya kasus chikungunya Hal ini dikarenakan berjalannya sistem surveilans laporan
kewaspadaan dini chikungunya. Sebanyak 5.042 kasus terlaporkan. Pada tahun 2019 terdapat 3
kabupaten dari 3 provinsi yang melaporkan terjadinya KLB Chikungunya yang dilaporkan melalui
laporan W1 yaitu Kabupaten Tasikmalaya (Provinsi Jawa Barat), Kabupaten Pamekasan (Provinsi
Jawa Timur), Kabupaten Kapuas (Provinsi Kalimantan Tengah). Hingga saat ini belum pernah
dilaporkan adanya kematian akibat Chikungunya. Faktor penyebab meningkatnyanya kasus
antara lain kondisi cuaca yang relative lembab dengan curah hujan yang cukup tinggi dan periode
musim hujan yang panjang. Kasus Chikungunya banyak yang tidak terlaporkan karena kurangnya
pengenalan tanda dan gejala dari chikungunya itu sendiri.
Gambar I.16 Jumlah Kasus dan Kab/kota yang Terinfeksi Chikungunya di Indonesia Tahun 2001-2020
539 1,818
8,870
1,266 442 1,407 2,378 2,608
83,756
55,183
2,998 2,602
15,324
8,980
2,282 1,702 126 97
5,042
134 2 6
31
8 9 13
29 27
97
81
39
23
61
78
22 20
4 1
210
3 0
50
100
150
200
250
0
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
80,000
90,000
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
20
12
20
13
20
14
20
15
2016
20
17
20
18
20
19
20
20
Kasus
TAHUN
Kab/Kota terinfeksi chikungunya
19
Pada dekade 2001 sampai dengan 2020 jumlah kasus terbanyak terdapat pada tahun 2009
dimana terdapat sejumlah 83.756 kasus chikungunya.dan pada tahun 2019 terdapat 5042
kasus.
Saat ini terdapat 3 laboratorium pemeriksa JE di Indonesia, yaitu BBTKLPP Jakarta, BBTKLPP
DI Yogyakarta dan BBTKLPP Surabaya. PBTDK Litbangkes sebagai Laboratorium Quality
Control dari ke-3 BBTKLPP tersebut. PBDTK Litbangkes yang berlokasi di Jakarta merupakan
jejaring laboratorium JE Regional WHO SEAR yang secara rutin mendapatkan review dari
Laboratorium rujukan WHO SEAR di Bangalore, India.
3. Status Zoonosis di Indonesia
Rabies terus menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia dan sampai bulan Juli 2020, daerah
tertular rabies adalah 26 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia. Saat ini hanya delapan (8)
provinsi yang masih dinyatakan sebagai daerah bebas rabies yaitu Kep.Riau, Bangka Belitung,
DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua dan Papua Barat. Penentuan
suatu daerah dikatakan tertular Rabies berdasarkan ditemukannya hasil positif pemeriksaan
laboratorium terhadap hewannya, kewenangan ini ditentukan oleh Kementerian Pertanian.
Pada Tahun 2019 terdapat 100.826 kasus Gigitan Hewan Pembawa Rabies (GHPR) dengan
105 kasus kematian karena Rabies.
Gambar I.17. Situasi Rabies Di Indonesia Tahun 2019
ACEH
SUMUT
SUMBAR
RIAUJAM
BISUMSEL
BENGKULU
LAMPUN
G
BANTEN
JABAR
JATENG
DIYMALUKU
BALI NTT NTBSULUT
GORONTALO
SULTENG
SULTRA
SULSEL
SULBAR
KALSEL
KALTENG
KALTIM
KALTARA
KALBAR
MALUT
GHPR 799 6830 3980 1982 993 1779 1573 1559 136 1563 254 56 1110 3737 1359 0 2919 639 3392 1009 6431 716 402 711 680 99 3952 306
VAR 555 5415 2353 1466 815 1611 1472 1507 110 944 89 0 835 1968 1181 0 1623 616 3250 1003 4559 675 346 486 584 58 3757 283
Lyssa 0 12 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 3 4 15 13 17 4 8 1 12 0 0 0 0 0 14 0
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
40000
20
Sejak Januari hingga akhir Juli 2020, dilaporkan kasus Gigitan Hewan Penular Rabies
(GHPR)sebanyak 24.745 kasus, yang diberi vaksin anti rabies sebanyak 14.263 kasus dengan
jumlah kematian karena rabies sebanyak 12 kematian yang terdistribusi di Provinsi Sumatera
Barat, Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Maluku. Kegiatan yang
dilakukan untuk menurunkan angka kematian karena kasus rabies adalah dengan melakukan
tatalaksana kasus yaitu bila seseorang digigit Hewan Penular Rabies (HPR) harus segera
dilakukan cuci luka dengan sabun/deterjen dan air mengalir selama 15 menit lalu beri
antiseptik. Selain itu dilaksanakan pembuatan buku pedoman, penyediaan media Komunikasi
Informasi dan Edukasi (KIE) berupa leaflet, poster, banner, komik elektronik, penayangan TV
Spot, penyediaan Vaksin Anti Rabies dan Serum Anti Rabies sebagai buffer stock provinsi,
penyediaan Refrigerator, melakukan pelatihan tatalaksana kasus GHPR, advokasi dalam
rangka pengendalian rabies di daerah tertular baru, kerja sama lintas sektor (Tikor Rabies)
dan lintas program. Kerjasama lintas sektor ini harus selalu dijalin untuk menurunkan kasus
GHPR.
Upaya pengendalian rabies dilakukan dengan senantiasa melakukan koordinasi dengan pihak
Kementan dalam hal ini dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
sedangkan untuk pemberdayaan masyarakat memerlukan koordinasi dengan Kemendagri
melalui pemerintah daerah setempat dengan sasaran masyarakat risiko tinggi.
Pes merupakan salah satu penyakit yang jarang ditemukan namun dapat menimbulkan
masalah kesehatan di Indonesia. Provinsi yang pernah melaporkan terjadinya kasus pes pada
manusia yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Barat. Pada keempat daerah
fokus Pes ini dilakukan surveilans aktif dan pasif, yaitu pengamatan terhadap rodensia dan
pinjal yang dilakukan secara rutin. Bila ditemukan kasus suspek segera diobati dan dilakukan
pengamatan terhadap manusia & rodensia. Apabila di sekitar lokasi fokus pes terdapat gunung
berapi yang aktif, maka dikeluarkan surat kewaspadaan terhadap Pes.
Dalam 3 tahun terakhir yang aktif melakukan pengamatan terhadap rodensia adalah provinsi
Jawa Timur. Pada tahun 2007 dilaporkan terdapat 82 kasus Pes pada manusia di Kabupaten
Pasuruan, Jatim. Pada tahun tersebut kemudian dilaksanakan kegiatan surveilans rutin
rodensia Pes di Provinsi Jabar, Jateng DIY dengan 1.214 spesimen yang diperiksa, ada 12
spesimen positif. Pada tahun 2011 Provinsi DI Yogyakarta melakukan survei Pes pada
rodensia yang melibatkan kecamatan Cangkringan, Pakem, Ngaglik, Ngemplak. Jumlah tikus
yang ditangkap sebanyak 1.167 ekor dan yang diperiksa sebanyak 1.101 ekor.
21
Pelaksanaan Survei rodensia pada tahun 2014 dilakukan di Pasuruan Jatim dengan hasil
penangkapan 626 ekor tikus (626 spesimen), 680 ekor pinjal (81 pool pinjal). Sehubungan
dengan tidak tersedianya reagen Fraction 1 untuk pemeriksaan tersebut karena keterbatasan
anggaran sehingga tidak ada hasil laboratoriumnya.
Direncanakan tahun 2016 untuk pembuatan Jukis Assesment Pes di empat provinsi (Jatim,
Jateng, DIY, Jabar) selanjutnya akan dilakukan Assesment Pes di tahun 2017 di empat provinsi
tersebut.
Penilaian eksternal juga telah dilakukan oleh WHO bersama CDC Fort Collins pada tanggal 7-
14 Januari 2019, dengan hasil bahwa saat ini Indonesia merupakan daerah Pes dengan risiko
yang sangat rendah dan terlokalisir, namun tidak mengurangi kesiapsiagaan terhadap
kemungkinan terjadinya KLB Pes melalui Sistim Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR).
Antraks merupakan penyakit menular akut dan sangat mematikan yang disebabkan oleh
Bacillus anthracis. Mengingat penyakit ini berpotensi menimbulkan wabah maka penyakit ini
menjadi salah satu program pengendalian penyakit yang menjadi perhatian Kementerian
Kesehatan di Subdit Zoonosis.
Daerah endemis antraks pada hewan terdapat di Jambi, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, NTB dan NTT. Dalam 5 tahun
terakhir (2009 – 2014) kasus antraks pada manusia ditemukan di Provinsi Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan, dan NTT. Adapun penularan pada manusia paling banyak disebabkan kontak
dengan hewan mati akibat antraks yang mengakibatkan antraks tipe kulit yang dikenal dengan
lesi Eschar. Kematian akibat antraks pada manusia biasanya disebabkan oleh penularan
melalui saluran pencernaan yang menimbulkan akut abdomen, hematemesis dan melena.
Kasus antraks di Indonesia Tahun 2015 – 2019 sebanyak 171 kasus antraks, maka rata-rata
kasus antraks selama 5 (lima) tahun terakhir sebanyak 35 kasus antraks.
Kasus antraks di Tahun 2016 sebanyak 52 Kasus, Tahun 2017 sebanyak 63 kasus dan Tahun
2019 sebanyak 44 kasus ini lebih tinggi dari rata-rata kasus antraks selama 5 (lima) tahun
terakhir. Hal ini disebabkan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) di Kabupaten Gorontalo –
Gorontalo, Kabupaten Pacitan - Jawa Timur dan Kabupaten Kulon Progo - DI Yogyakarta di
Tahun 2016 dan Kabupaten Gunung Kidul – DI Yogyakarta di Tahun 2019 serta peningkatan
kasus di Kabupaten Gorontalo - Gorontalo pada Tahun 2017.
Kegiatan yang dilakukan oleh Kemenkes dalam rangka pengendalian Antraks adalah
penyusunan pedoman dan media penyuluhan, pelatihan, sosialisasi dan kegiatan surveilans
rutin. Kegiatan dalam rangka kewaspadaan dini terutama dilakukan menjelang Idul Fitri dan
22
Idul Adha. Adanya kasus antraks baik pada hewan maupun pada manusia maka akan segera
ditindaklanjuti upaya penanggulangan bersama dengan lintas sektor terkait. Kegiatan yang
dilakukan adalah investigasi terpadu, tatalaksana kasus, penyuluhan, dan karantina wilayah.
Flu Burung merupakan penyakit yang mulai merebak di Indonesia sejak Juni 2005 sampai saat
ini. Dalam upaya pengendalian Flu Burung diperlukan kerjasama lintas sektor yang baik
antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, dan kementerian terkait lainnya,
dimana saat ini sudah terjalin dengan baik. Penularan Flu Burung sampai saat ini masih
berasal dari unggas ke manusia.
Sampai Juli 2020, kasus FB pada manusia ditemukan tersebar secara sporadik di 15 provinsi
(Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Lampung, Banten, Jawa Barat, DKI
Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Bengkulu dan NTB).
Tiga provinsi yang memiliki kasus terbanyak adalah DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten.
Sejak Juni 2005 – Juli 2020 dilaporkan kasus konfirmasi sebanyak 200 dengan kematian 168
(Case Fatality Rate sebesar 84 %). Namun dalam 4 tahun terakhir ini (2017 – 2020) kasus FB
pada manusia terlihat menurun. Kasus konfirmasi terakhir dilaporkan September 2017 di
Kabupaten Klungkung – Bali sebanyak 1 kasus konfirmasi.
Kegiatan yang dilakukan sebagai upaya pengendalian flu burung antara lain: surveilans
terintegrasi dalam bentuk Tim Gerak Cepat (TGC) antara Kementerian Kesehatan dan
Kementerian Pertanian; penguatan koordinasi lintas program dan lintas sektor secara
terintegrasi; sosialisasi pengendalian Flu Burungm diagnosa dini dan tatalaksana kasus lu
Burung pada dokter puskesmas dan praktek swasta; pembuatan buku pedoman, leaflet,
poster, banner sebagai media KIE; Model Harmonisasi Surveilans Epidemiologi dan Virologi
Influenza (H5N1 dan influenza lainnya) berbasis sentinel di Jakarta Timur; pertemuan para
ahli Flu Burung untuk membahas perkembangan epidemiologi dan virologi FB pada manusia
dan Avian Influenza (AI) pada hewan.
Dalam rangka pengendalian penyakit Flu Burung ini, Kementerian Kesehatan tetap harus
terjalin bekerjasama yang baik dengan Kementerian Pertanian dan kementerian/lembaga
terkait lainnya, salah satunya dengan pihak Kemendagri dalam menggali terus upaya
pemberdayaan masyarakat
Leptospirosis adalah juga salah satu penyakit yang menjadi bagian tugas di Subdit
Pengendalian Zoonosis. Leptospira merupakan zoonosis yang diduga paling luas
penyebarannya di dunia. Sumber infeksi pada manusia biasanya akibat kontak secara
langsung atau tidak langsung dengan urine hewan yang terinfeksi, adapun sumber penular
23
utama adalah tikus. Leptospirosis merupakan penyakit yang terlihat ringan namun bila
terlambat penanganannya dapat menyebabkan kematian. Penyakit ini biasanya akan
meningkat pada musim banjir, namun di daerah persawahan penyakit ini juga dapat
ditemukan.
Pada tahun 2015 - 2019 kasus Leptospirosis ditemukan di 9 (sembilan) propinsi: Banten, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan
Utara dan Maluku dengan jumlah kasus leptospirosis yang dilaporkan sebanyak 3.989 kasus
dengan 531 kematian (CFR 13,83%).
Tahun 2019 sebanyak 920 kasus dengan 122 orang meninggal yang dilaporkan berasal dari
Propinsi 1) Banten 52 kasus, 19 orang meninggal, 2) DKI Jakarta 37 kasus, 0 orang meninggal,
3) Jawa Barat 32 kasus, 1 orang meninggal, 4) Jawa Tengah 458 Kasus, 67 orang Meninggal, 5)
D.I. Yogyakarta 183 kasus, 8 orang meninggal, 6) Jawa Timur 147 Kasus, 23 orang meninggal,
7) Maluku 2 kasus, 1 orang meninggal, 8) Sulawesi Selatan 1 kasus, 0 orang meninggal, 9)
Kalimantan Utara 8 kasus, 3 orang meninggal.
Gambar I. 18. Situasi Leptospirosis Di Indonesia Tahun 2019
Berdasarkan survey Leptospirosis pada rodent dari tahun 2018 diketahui bahwa terdapat 29
provinsi yang memberikan hasil positif Leptospirosis pada rodent, namun yang melaporkan
kasus pada manusia baru 12 provinsi, diantaranya yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan
Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
24
Untuk menjaring kasus lebih banyak, kami telah mengembangkan Surveilans Sentinel
Leptospirosis sejak Tahun 2017 di Kabupaten Tangerang dan Serang Provinsi Banten serta
Kota Palembang dan Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan serta Provinsi DKI
Jakarta. Kemudian dilanjutkan di Kota Probolinggo Provinsi Jawa Timur.
Tahun 2021 akan diperluas pembenntukan Surveilans Sentinel Leptospirosis di Kabupaten
Boyolali dan Klaten Provinsi Jawa Tengah.
4. Status Filariasis dan Kecacingan di Indonesia
Filariasis atau penyakit kaki gajah adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh
cacing filaria dan ditularkan melalui nyamuk. Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga
spesies cacing filaria yaitu: Wucheria Bancrofti, Brugia Malayi dan Brugia Timori. Vektor
penular di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus
Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor penular
penyakit kaki gajah.
Penyakit ini merupakan salah satu penyakit Neglected Tropical Diseases (NTDs) yang masih
menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat di Indonesia. Program eliminasi penyakit ini
memberikan kontribusi dalam peningkatan kualitas kesehatan masyarakat dengan
menurunkan angka kecacatan dan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penyakit tersebut.
Di dunia terdapat sekitar 1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular penyakit kaki Gajah di
lebih dari 72 negara, 60% kasus berada di Asia Tenggara. Indonesia termasuk salah satu
negara dengan jumlah penduduk terbanyak yang berisiko tinggi tertular penyakit kaki Gajah.
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia ikut serta dalam Kesepakatan Global yang
ditetapkan oleh WHO untuk mengeliminasi Filariasis. Upaya untuk memberantas Filariasis
sebagai bagian dari eliminasi Filariasis global di Indonesia dilakukan melalui Dua pilar
kegiatan yaitu:
1. Memutuskan mata rantai penularan filariasis dengan Pemberian Obat Pencegahan Massal
(POPM) Filariasis di daerah endemis sekali setahun selama 5 tahun berturut-turut.
2. Mencegah dan membatasi kecacatan dengan penatalaksanaan kasus filariasis mandiri.
Berdasarkan hasil pemetaan daerah endemis di Indonesia diperoleh sebanyak 236
kabupaten/kota merupakan daerah endemis Filariasis sedangkan daerah non endemis
sebanyak 278 kabupaten/kota dari total 514 kabupaten/kota se-Indonesia. Hal ini
menunjukkan bahwa hampir sebagian dari penduduk Indonesia tinggal di daerah endemis
sehingga berisiko tertular Filariasis.
25
Upaya percepatan eliminasi Filariasis ini dimulai dengan Pencanangan Bulan Eliminasi Kaki
Gajah (BELKAGA) pada tanggal 1 Oktober 2015 oleh Menteri Kesehatan RI di Cibinong
Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, dilanjutkan pencanangan BELKAGA kedua tahun 2016
di Kabupaten Demak Provinsi Jawa Tengah, BELKAGA ketiga di Kabupaten Gunung Mas
Provinsi Kalimantan Tengah, BELKAGA keempat di Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat
dan BELKAGA kelima di Kabupaten Malaka Provinsi Nusa Tenggara Timur. BELKAGA adalah
bulan dimana setiap penduduk kabupaten/kota endemis Kaki Gajah serentak minum obat
pencegahan Filariasis. Dengan Pencanangan BELKAGA diharapkan seluruh kabupaten/kota
endemis Filariasis melaksanakan POPM Filariasis.
Gambar I.20. Situasi Filariasis di Indonesia sd Bulan Juli 2020
Pada tahun 2019 dari 236 kabupaten/kota endemis Filariasis sebanyak 118 kabupaten/kota
melaksanakan POPM Filariasis, dan sebanyak 118 kabupaten/kota berada pada tahap
evaluasi penilaian Pre TAS, TAS 1, TAS 2, TAS 3 dan surveilans pasca POPM. Percepatan
pencapaian eliminasi Filariasis masih menjadi tantangan saat ini, mengingat masih terdapat
beberapa Kabupaten/Kota yang tidak berhasil mencapai cakupan pengobatan efektif serta
ada yang gagal dalam evaluasi penilaian penularan Filariasis, sehingga memperpanjang
putaran pengobatan Filariasis. Dalam rangka percepatan eliminasi filariasis, maka mulai
tahun 2020 akan dilakukan pengobatan regimen IDA (Ivermectin, DEC, dan Albendazole) di
beberapa Kabupaten/Kota yang memenuhi kriteria, yaitu Kabupaten Sumba Barat Daya, Kota
Pekalongan dan Kabupaten Mamuju.
: POPM (Pemberian Obat Pencegahan Massal) : Pre-TAS (Transmission Assessment Survey) : TAS1 (Transmission Assessment Survey 1) : Tahap Surveilans Periode Stop POPM : Eliminasi (Lulus TAS 3)
26
Kecacatan seumur hidup yang disebabkan oleh Filariasis juga menimbulkan stigma sosial
bagi penderita dan keluarganya. Di Indonesia berdasarkan hasil survei dan laporan daerah,
hingga tahun 2019 terdapat 10.758 penderita kasus klinis kronis yang tersebar di 34 provinsi
dengan penderita kasus kronis terbanyak yaitu Prov Papua, Nusa Tenggara Timur dan Papua
Barat. Angka ini terlihat menurun dari data tahun sebelumnya dikarenakan beberapa kasus
meninggal dan adanya perubahan konfirmasi diagnosis kasus klinis kronis yang dilaporkan
sebelumnya.
Upaya penemuan dan pelacakan kasus kronis Filariasis harus aktif dilakukan oleh tenaga
kesehatan terlatih sehingga penderita dapat ditangani dan ditatalaksana dengan baik.
Gambar I.21. Persebaran Kasus Kronis Filariasis di Indonesia sd Tahun 2019
Schistosomiasis (bilharziasis) atau penyakit demam keong adalah penyakit menular menahun
yang disebabkan oleh cacing schistosoma (serkaria), cacing ini hidup dalam pembuluh darah
vena manusia dan binatang mamalia di daerah tropik dan sub tropik. Cacing Schistosoma yang
terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah adalah Cacing Schistosoma japonicum. Cacing dewasa
hidup di dalam vena mesenterica superior serta cabang-cabangnya. Di Indonesia hanya
ditemukan di Provinsi Sulawesi Tengah dan hanya di dua kabupaten, yaitu di dataran tinggi
Lindu (Kabupaten Sigi), Napu dan Bada (Kabupaten Poso). Terdapat 28 desa endemis
Schistosomiasis di Kabupaten Sigi dan Poso dengan rincian sebanyak 5 desa endemis di
Kabupaten Sigi (Desa Anca, Tomado, Olu, Puroo, dan Langko) serta sebanyak 23 desa endemis
di Kab. Poso (Desa Banyusari, Sedoa, Kaduwoa, Alitupu, Tamadue, Mekarsari, Maholo,
583
183
187
157
287
166 102
64
33 116
81
23
735 402
3 262 2 10 1540
245
52
20
319
11
20
193
82 50
5
55
39
27
1089
3615
27
Winowanga, Dodolo, Torire, Watutau, Wuasa, Wanga, Siliwanga, Betue, Kalemango,
Watumaeta, Kageroa, Tomehipi, Lengkeka, Tuare, Koloni, Leleo).
Pada Tahun 2017 telah di luncurkan Peta Jalan (Roadmap) Eliminasi Schistosomiasis tahun
2018 - 2025 oleh Bappenas, Kementerian Kesehatan dan lintas Kementerian terkait yang
berisikan strategi, tahapan pelaksanaan, penetapan sasaran dan target capaian, pemetaan
program dan kegiatan lintas sektor, serta mekanisme pemantauan evaluasi untuk mengukur
capaian. Selanjutnya, roadmap ini diharapkan dapat memandu dan menjadi acuan arah
perencanaan program, kegiatan, dan anggaran dan evaluasi tahunan dari seluruh pemangku
kepentingan terkait di tingkat pusat dan di tingkat daerah dalam menghasilkan sinergi upaya
pengentasan Schistosomiasis di Indonesia yang didanai dari berbagai sumber pembiayaan
baik APBN, APBD, dana transfer daerah (DAK) maupun dana desa. Serta pada tahun 2018 telah
diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan No 19 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan
Eradikasi Demam Keong.
Kementerian Kesehatan melaksanakan upaya Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM)
Schistosomiasis pada penduduk diatas usia 5 tahun dengan obat Praziquantel sebanyak satu
kali setiap tahun. Serta penguatan pemberdayaan masyarakat bersama dengan Pemerintah
Daerah dalam upaya intervensi pengendalian schistosomiasis pada lingkungan sebagai salah
satu upaya dalam memutus rantai penularan. Selain hal tersebut juga dilaksanakan kegiatan
surveilans pada manusia didesa endemis.
Gambar I.22. Grafik Jumlah Cakupan POPM Schistosomiasis tahun 2014-2019
2014 2015 2016 2017 2018 2019
Diobati 192 6,720 5,319 2,206 19,553 19,222
-
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
Jum
lah
Pen
du
du
k
(Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah)
28
Gambar I.23. Grafik Prevalensi Schistosomiasis Pada Manusia di Kab. Sigi dan Poso
Tahun 2019
Berdasarkan Laporan hasil pemeriksaan feses manusia yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Provinsi Sulawesi Tengah dapat dilihat bahwa prevalensi schistosomiasis pada manuasia
mengalami fluktuasi baik di kabupaten Sigi maupun di Kabupaten Poso sepanjang tahun 2014-
2019. Pada Tahun 2019 prevalensi schitosomiasis pada manusia di Kabupaten Sigi dan
Kabupaten Poso terlihat menurun dibandingkan tahun 2018, yaitu menjadi 0,11% dan 0,05%.
Berdasarkan Permenkes No. 19/2018 tentang Penyelenggaraan Eradikasi Demam Keong dan
Roadmap Eradikasi Demam Keong, target dalam pengendalian Schistosomiasis di Indonesia
adalah tercapainya eliminasi tahun 2020 dengan angka prevalensi pada pada manusia 0%,
pada keong 0% dan pada hewan perantara juga 0%.
Kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di berbagai belahan dunia
termasuk Indonesia. Secara global diperkirakan 230 juta anak umur 0 – 4 tahun terinfeksi
dengan cacing. Di Indonesia, sampai 2013 survei pada anak Sekolah Dasar menunjukkan
angka 0-85,9% (survei di 175 kabupaten/kota) dengan rata-rata prevalensi 28,12%.
Kecacingan menggambarkan masalah kesehatan masyarakat khususnya di daerah tropis
dimana kondisi sanitasi masih belum memadai. Ada tiga jenis cacing yang umumnya
menginfeksi anak-anak, khususnya usia prasekolah dan memberikan dampak yaitu: Ascaris
lumbricoides (cacing gelang), Ancylostoma duodenale (cacing tambang) dan Trichiuris
trichiura (cacing cambuk). Cacingan secara umum mengakibatkan kerugian langsung oleh
2014 2015 2016 2017 2018 2019
Kab. Sigi 1.61 0.7 0.93 0.36 0.48 0.05
Kab. Poso 0.82 1.39 0.55 0.84 0.35 0.11
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
PER
SEN
TASE
(%
)
(Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah)
29
karena adanya gangguan pada intake makanan, pencernaan, penyerapan serta
metabolismenya. Secara kumulatif, infeksi cacing atau cacingan dapat menimbulkan kerugian
gizi berupa kekurangan kalori dan protein serta kehilangan darah. Hal ini akan mengakibatkan
hambatan perkembangan fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja, dapat menurunkan
ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan NO 15 tahun 2017 tentang Penanggulangan Cacingan,
salah satu program pengendalian Kecacingan di Indonesia adalah melalui Pemberian Obat
Pencegahan Massal (POPM) dengan Albendazol dengan sasaran yaitu anak usia 1-12 tahun,
yang terdiri dari anak sekolah dasar/MI dan anak balita mengingat dampak yang ditimbulkan
akibat cacingan pada pada anak usia dini akan menimbulkan kekurangan gizi yang menetap
(persisten malnourish) yang kemudian hari akan menimbulkan dampak pendek menurut
umur (stunting). Untuk itu program pengendalian kecacingan perlu di integrasikan dengan
berbagai program yang memiliki sasaran yang sama, antara lain Program Pengendalian
Filariasis, Program UKS untuk anak – anak SD/MI, sedang untuk lebih menjangkau anak balita
maka integrasi dengan Program Pemberian Vitamin A di Posyandu. Kegiatan Pengendalian
cacingan harus diikuti dengan kegiatan penyuluhan tentang hidup bersih dan memperbaiki
sanitasi lingkungan di wilayah tersebut. Untuk Target cakupan POPM cacingan adalah minimal
75% dari sasaran.
Pada daerah endemis filariasis, kegiatan pemberian obat cacing dilaksanakan berintegrasi
dengan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis dimana pada kegiatan POPM
Filariasis diberikan kombinasi obat Diethylcarbamazine Citrate (DEC) menurut kelompok
umur dan Albendazole 400 mg. Pemberian kombinasi obat ini terbukti cukup efektif
meningkatkan efek DEC dalam mematikan cacing filaria dewasa dan mikrofilaria sekaligus
dapat mematikan cacing di dalam usus. Sedangkan pada kabupaten/kota non endemis
filariasis dan kabupaten/kota yang telah menyelesaikan POPM Filariasis selama 5 tahun,
dilakukan pemberian obat cacing terintegrasi dengan UKS dan Bulan Vitamin A.
30
Gambar I.24 Grafik Cakupan POPM Cacingan Per Provinsi Tahun 2019
Gambar I.25. Grafik Jumlah Cakupan POPM Cacingan Tahun 2014-2019
5. Status Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit di Indonesia
Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit, merupakan tulang punggung
keberhasilan eradikasi, eliminasi dan reduksi penyakit tular vektor dan zoontik, seperti
100%100%99%99%99%99%98%98%98%98%98%97%97%97%96%96%96%95%94%93%92%92%92%91%91%90%89%88%86%
82%
73%
55%
41%
94%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Ban
gka
Be
litu
ng
Pap
ua
Bar
at
Bal
i
Yogy
akar
ta
Kal
iman
tan
Se
lata
n
Jaw
a Ti
mu
r
Sum
ater
a U
tara
Jaw
a Te
nga
h
Kep
ula
uan
Ria
u
Sum
ater
a B
arat
Sula
wes
i Sel
atan
Ban
ten
Kal
iman
tan
Tim
ur
Sum
ater
a Se
lata
n
Lam
pu
ng
NTT
NTB
Jaw
a B
arat
Jam
bi
Sula
wes
i Uta
ra
Kal
iman
tan
Uta
ra
Ben
gku
lu
Sula
wes
i Bar
at
Kal
iman
tan
Ten
gah
Ria
u
Sula
wes
i Ten
ggar
a
Ace
h
Mal
uku
Mal
uku
Uta
ra
Sula
wes
i Ten
gah
Kal
iman
tan
Bar
at
DK
I
Go
ron
talo
Pap
ua
Ind
on
esia
2014 2015 2016 2017 2018 2019
Anak Pra Sekolah 1,468,417 6,395,136 9,372,348 12,246,318 12,766,138 13,370,369
Anak Sekolah 4,020,086 12,270,701 15,562,569 20,612,030 23,209,517 32,713,560
-
5,000,000
10,000,000
15,000,000
20,000,000
25,000,000
30,000,000
35,000,000
Jum
lah
An
ak
(Sumber : Subdit Filariasis dan Kecacingan)
31
Malaria, DBD, Chikungunya, Japanese encephalitis (JE), Filariasis, Schistosomiasis, Pes,
leptospirosis dan lain-lain.
Kabupaten/kota yang melaksanakan pengendalian vektor terpadu pada tahun 2019 sebanyak
456 kabupaten/kota atau sebesar 88,72 % dari seluruh kabupaten/kota. Target Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2019 terhadap indikator Persentase Kabupaten/Kota
yang melakukan pengendalian vektor terpadu (PVT) sebesar 80% dengan capaian sebesar
88,72% (456 kabupaten/kota) atau persentase realisasi capaian sebesar 110,9% dari target
yang ditetapkan.
Gambar I.26 Perbandingan Target dan Capaian Persentase Kabupaten/Kota yang Melakukan Pengendalian Vektor Terpadu dari Tahun 2015-2019
Pada Gambar di atas menunjukkan bahwa selama lima tahun (2015-2019) terjadi peningkatan
jumlah kabupaten/kota yang melakukan pengendalian vektor terpadu, dengan realisasi setiap
tahunnya melebihi dari target yang ditentukan (kecuali tahun 2016 target dan realisasi sama).
Target kabupaten/ kota yang melakukan pengendalian vektor terpadu selama lima tahun
berturut-turut (2015-2019) adalah 40%, 50%, 60%, 70% dan 80%). Adapun realisasi
kabupaten/ kota yang melakukan pengendalian vektor terpadu selama lima tahun berturut-
turut (2015-2019) adalah 42,2%, 50%, 60,7%, 71,8% dan 88,72%. Gambar di atas juga
menunjukkan bahwa antara target dan pencapaian realisasi kinerja pengendalian vektor
terpadu selalam lima tahun (2015-2019) selalu di atas 100% (kecuali tahun 2016 sebesar
100%).
40
% 50
% 60
% 70
% 80
%
42
,20
%
50
% 60
,7%
71
,8% 8
8,7
2%
2015 2016 2017 2018 2019
Target Capaian
32
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kinerja pengendalian vektor dan binatang pembawa
penyakit sudah sesuai dengan harapan dan menunjukkan keberhasilan dari tahun ke tahun.
Gambar I.27 Provinsi dengan Persentase Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Pengendalian Vektor Terpadu, Tahun 2019
Gambar diatas menunjukkan tahun 2019 secara Nasional (Indonesia) telah mencapai target
yaitu Kab/ Kota melaksanakan pengendalian vektor terpadu di atas 80% (sebesar 88,72%).
Beberapa Provinsi yang Kab/ Kota nya telah 100% melaksanakan pengendalian vektor
terpadu adalah Provinsi Riau, Jambi, Babel, Kepri, DKI Jakarta, Banten, Bali, NTB, Kalsel,
Kaltim, Sulut, Sulsel, Gorontalo dan Sulbar. Ada dua Provinsi di bawah target 80% yaitu
Provinsi NTT dan Sulteng.
Keberhasilan pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit diiringi dengan
meningkatkan jumlah kabupaten/ kota yang eliminasi malaria, eliminasi filaria dan reduksi
demam berdarah di Indonesia. Selama lima tahun(2015-2019) upaya strategis yang telah
dilakukan antara lain :
a. penyiapan perumusan kebijakan di bidang vektor dan binatang pembawa penyakit.
b. pelaksanaan kebijakan di bidang vektor dan binatang pembawa penyakit.
33
c. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang vektor dan
binatang pembawa penyakit.
d. fasilitasi pengelolaan di bidang vektor dan binatang pembawa penyakit.
e. pelaksanaan kegiatan teknis berskala nasional di bidang vektor dan binatang pembawa
penyakit.
f. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang vektor dan binatang pembawa
penyakit.
g. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang vektor dan binatang pembawa
penyakit.
C. Sumber Daya Manusia
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik dalam
pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya didukung dengan sumber daya manusia yang
berjumlah 90 pegawai ASN meliputi jabatan struktural dan fungsional yang terdistribusi di
masing-masing sub direktorat sebagai berikut:
Gambar I.28. Distribusi Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin
Distribusi pegawai berdasarkan jenis kelamin adalah sebagai berikut; pegawai dengan jenis
kelamin perempuan adalah 58.62% atau sebanyak 52 orang dan jenis kelamin laki-laki adalah
sebanyak 38.
34
Gambar I.29. Distribusi Pegawai Berdasarkan Golongan Distribusi pegawai berdasarkan golongan adalah sebesar 4.44% adalah golongan II,
golongan III menempati porsi terbanyak (63.33%) dan golongan IV sebanyak
32.22%.
Gambar I.30. Distribusi Pegawai Berdasarkan Pendidikan
35
Berdasarkan grafik jumlah pegawai terbanyak adalah dengan tingkat pendidikan S2 sebanyak
45.98%, selanjutnya pendidikan S1 sebanyak 37,93%, SLTA 6,90%, Diploma III 5,75%, Doktor
sebanyak 2,30% dan SLTP sebanyak 1.15%.
D. Tugas Pokok dan Fungsi
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Repulik Indonesia Tahun
2015 Nomor 1508), Pasal 328, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular
Vektor dan Zoonotik mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan,
penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan
supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pencegahan dan pengendalian
penyakit tular vektor dan zoonotik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 328 Direktorat Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik menyelenggarakan fungsi:
a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang pencegahan dan pengendalian malaria,
zoonosis, filariasis dan kecacingan, dan arbovirosis, serta vektor dan binatang pembawa
penyakit;
b. Penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan dan pengendalian malaria,
zoonosis, filariasis dan kecacingan, dan arbovirosis, serta vektor dan binatang pembawa
penyakit
c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pencegahan dan
pengendalian malaria, zoonosis, filariasis dan kecacingan, dan arbovirosis, serta vektor dan
binatang pembawa penyakit;
d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pencegahan dan
pengendalian malaria, zoonosis, filariasis dan kecacingan, dan arbovirosis, serta vektor dan
binatang pembawa penyakit;
e. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pencegahan dan pengendalian malaria,
zoonosis, filariasis dan kecacingan, dan arbovirosis, serta vektor dan binatang pembawa
penyakit; dan
f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.
36
E. Potensi dan Permasalahan
Berbagai masalah dan tantangan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor dan
zoonotik telah berkembang semakin kompleks dan munculnya tantangan baru baik skala nasional,
maupun global. Terlihat dengan adanya transisi epidemiologi, transisi demografi dan lingkungan,
perubahan sosial budaya masyarakat, perubahan keadaan politik, ekonomi, keamanan, disparitas
status kesehatan, kondisi kesehatan lingkungan, perubahan gaya hidup masyarakat serta
keterbatasan, kesenjangan dan distribusi sumber daya manusia kesehatan.
1. Pencegahan dan Pengendalian Malaria
a. Capaian target penyelidikan epidemiologi (PE) tahun 2019 di daerah endemis rendah dan
eliminasi masing rendah yaitu 71,7% yang seharusnya semua daerah endemis rendah dan
eliminasi semua kasus positif harus dilakukan PE. Hal ini disebabkan belum semua kasus
di daerah eliminasi dan endemis rendah dilakukan PE. Potensi menyelesaikan masalah
yang telah dlakukan program adalah pelatihan PE sampai tingkat Fasyankes, sosialiasai
dan koordinasi dengan daerah, anggaran PE baik bersumber APBN (Dekon, DAK Non fisik/
BOK), dana bersumber hibah dan lain lain. Untuk daerah endemis rendah PE merupakan
salah satu kegiatan wajib dalam penilaian eliminasi malaria. Tahun 2020 capaian PE per 9
Desember 2020 hanya sekitar 68% juga berkaitan dengan adanya pandemic sehingga
keterbatasan dari sumber daya manusia, anggaran serta untuk memastikan kembali turun
ke lapangan juga berpengaruh.
b. Capaian Positivity Rate secara nasional tahun 2019 sebesar 10.05%. Capaian tersebut
masih lebih tinggi dari target nasional yaitu 5%. Hal tersebut disebabkan karena
kurangnya system pencatan dan pelaporan dari daerah serta penemuan dan deteksi dini
kasus yang masih rendah. Potensi penyelesaian masalh tersebut dengan mengembangkan
system pencatatan dan pelaporan serta penigkatan penemuan kasus baik oleh tenaga
kesehatan maupun oleh kader sesuai dengan PMK nomor 41 tahun 2018. Selain itu
program juga berintegrasi dengan layanan kesehatan masyarakat dalam program mtbs
dimana seluruh balita sakit di daerah endemis tinggi harus diperiksa malaria.
c. Capaian Distribusi kelambu massal sekitar 64%. Hal tersebut sangat berkaitan dengan
pelaksanaan distribusi kelapangan yang terbatas dan kebijakan masing-masing daerah
dengan adanya pandemic tahun 2020.
d. Cakupan Penggunaan Kelambu masih rendah harusnya cakupan 85%, hal ini disebabkan
masih rendahnya system pengasawan dan monitoring daerah maupun system pencataan
37
dan pelaporannya. Program telah membuat system aplikasi berbasis monitoring
penggunaan kelambu masal (ONA)
e. Pemetaan Reseptifitas capaian baru 16%. Hal ini disebabkan belum semua daerah dapat
melakukan pemetaan reseptifitas. Potensi penyelesaian masalah dengan melaksanakan
pelatihan pemetaan GIS dan mengganggarkan kegiatan reseptifitas di dekon maupun dak
non fisik/BOK.
f. Ketepatan dan kelengkapan pelaporan yang belum optimal. Saat ini program telah
mengembangkan system informasi malaria V2 berbasis web dan sudah dilakukan
pelatihan sampai tingkat fasyankes.
2. Pencegahan dan Pengendalian Arbovirosis
Kasus infeksi Dengue / DBD dan penyakit arbovirosis lainnya masih terus terjadi dan
berpotensi tetap KLB. Beberapa faktor yang menjadi permasalahan dalam pencegahan dan
pengendalian infeksi dengue/DBD adalah:
a. PSN 3M Plus melalui Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik (G1R1J) sebagai upaya
pencegahan DBD (dan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk lainnya) belum membudaya
secara merata sehingga masih perlu digali penyebab belum maksimalnya G1R1J dengan
mengetahui aspek sosio antropologi masyarakat setempat untuk menentukan intervensi
selanjutnya.
b. Belum maksimalnya dukungan dan partisipasi lintas sector terkait dalam pecegahan dan
pengendalian infeksi dengue / DBD, antara lain terkait dengan strategi mengantisipasi
perubahan iklim dan cuaca yang juga mempengaruhi kejadian kasus infeksi Dengue/DBD
dan penyakit arbovirosis lainnya, serta dalam hal pelibatan peserta didik dan anggota
masyarakat dalam PSN3M Plus secara berkualitas, serentak, menyeluruh dan
berkesinambungan.
c. Di masa pandemi COVID-19 ini perlu diwaspadai kemungkinan timbulnya Kasus infeksi
ganda, antara COVID-19 dan infeksi dengue atau penyakit arbovirosis lainnya serta
diperlukannya penyesuaian dan inovasi dalam pelaksanaan strategi P2 infeksi Dengue/
DBD serta arbovirosis lainnya di masa pandemi dan Adaptasi Kebiasaan Baru COVID-19.
3. Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
Angka kesakitan dan angka kematian karena zoonosis sampai saat ini masih cukup tinggi dan
penyebarannya cukup luas di beberapa daerah di Indonesia. Keadaan ini ditunjang dengan
38
makin tingginya mobilitas manusia dan hewan sebagai sumber penularan zoonosis dan
disertai dengan sulitnya pengawasan lalu lintas hewan antar wilayah. Selain itu juga saat ini
terlihat semakin dekatnya hubungan manusia dengan lingkungan/satwa liar sebagai salah
satu faktor risiko atau sumber penularan zoonosis akibat pembukaan hutan, pemukiman yang
mendekati hutan termasuk kedekatan manusia dengan hewan karena hobby, ekonomi dan
lain-lain. Oleh karena itu perlu adanya upaya akselerasi dalam pencegahan dan pengendalian
pada penyebab penularan di sektor hulu (sumbernya). Selain itu juga Sosio-budaya dan tradisi
masyarakat harus mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan zoonosis.
Dengan situasi dan kondisi diatas sebagai tantangan dalam penanggulangan zoonosis maka
upaya penanggulangan zoonosis tidak dapat dilakukan per sektoral, tetapi harus dilakukan
secara terpadu multi sektor dengan pendekatan “One Health”, sehingga diharapkan
keberhasilan penanggulangan zoonosis dapat dicapai.
g. Pencegahan dan Pengendalian Filariasis dan Kecacingan
Kondisi geografis beberapa wilayah di Indonesia yang sulit terjangkau. Kegiatan POPM
Filariasis dilaksanakan untuk seluruh penduduk di kabupaten/kota endemis Filariasis,
dimana beberapa daerah tersebut merupakan daerah terpencil dan kepulauan yang sulit
aksesnya, sehingga pelaksanaan POPM Filariasis di daerah tersebut sulit menjangkau seluruh
sasaran, terutama di desa-desa terpencil. Adanya Kejadian Ikutan pasca POPM yang terjadi di
masyarakat dapat menurunkan angka partisipasi minum obat pada waktu POPM Filariasis.
Kurangnya partisipasi masyarakat menyebabkan cakupan minimal minum obat
kabupaten/kota endemis filariasis.
h. Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
Dalam perjalanan atau proses upaya untuk mencapai keberhasilan program dan capaian
target kinerja pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit masih tetap mepunyai
beberapa tantangan, antara lain:
a. Indonesia sangat luas dengan iklim yang mendukung perkembangan vektor.
b. Informasi vektor belum menjadi kekuatan utama untuk digunakan sebagai dasar
pengendalian Vektor
c. Surveilans vektor belum dilaksanakan secara menyeluruh, baik lintassektor maupun
lintas Program sebagai langkah awal/ dasar dalam Sistim kewaspadaan dini (SKD)
39
dalam pencegahan terjadinya penyakit tular vektor/KLB serta menentukan strategi
upaya pengenadalian vektor yang efektif dan tepat sasaran
d. Pengendalian vektor terpadu (PVT) atau Integrated Vector Management (IVM) belum
dilaksanakan secara menyeluruh, baik lintas sektor maupun lintas program.
e. Pengendalian vektor secara kimiawi masih menjadi pilihan utama disebagian daerah.
f. Adanya kebijakan perubahan anggaran
g. Belum ada/terbatasnya tenaga khusus dalam pengendalian vektor di Dinkes Prop dan
Dinkes Kab/Kota (Entomolog).
h. Tidak meratanya kemampuan teknis/kurangnya jumlah tenaga teknis di P2PTVZ
i. Jejaring dan koordinasi dalam surveilans dan pengendalian vektor masih perlu
ditingkatkan
Tantangan program pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit yang
teridentifikasi diatas bukan menjadi penghalang untuk terus berupaya mencapai tujuan untuk
mencegah dan mengendalikan penyakit tular vektor. Program secara berkesinambungan telah
mengupayakan berbagai kegiatan diantaranya peningkatan kapasitas teknis tenaga entokes di
daerah maupun UPT, rapat koordnasi serta advokasi ke LS/LP terkait, Penyusunan regulasi,
bimbingan teknis, dan kegiatan lainnya yang bertujuan untuk mendorong seluruh daerah
melakukan surveilans vektor dan pengendalian vektor secara terpadu, tepat sasaran dan
tentunya berdasarkhan data/bukti (evidence based).
40
BAB II
TUJUAN DAN SASARAN
Dalam rangka mencapai terwujudnya Visi Presiden yakni: “Terwujudnya Indonesia Maju
yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian, Berlandaskan Gotong Royong”, maka telah
ditetapkan 9 (sembilan) Misi Presiden 2020-2024, yakni: Peningkatan Kualitas Manusia
Indonesia, Penguatan Struktur Ekonomi yang Produktif, Mandiri dan Berdaya Saing,
Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan, Mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan,
Kemajuan Budaya yang Mencerminkan Kepribadian Bangsa, Penegakan Sistem Hukum yang
Bebas Korupsi, Bermartabat, dan Terpercaya, Perlindungan bagi Segenap Bangsa dan
Memberikan Rasa Aman pada Seluruh Warga, Pengelolaan Pemerintahan yang Bersih, Efektif, dan
Terpercaya dan Sinergi Pemerintah Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan.
Guna mendukung peningkatan kualitas manusia Indonesia, termasuk penguatan struktur
ekonomi yang produktif, mandiri dan berdaya saing, Kementerian Kesehatan telah menjabarkan
Misi Presiden Tahun 2020-2024, melalui Menurunkan angka kematian ibu dan bayi, Menurunkan
angka stunting pada balita, Memperbaiki pengelolaan Jaminan Kesehatan Nasional dan
Meningkatkan kemandirian dan penggunaan produk farmasi dan alat kesehatan dalam negeri.
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik sebagai unit
pelaksana teknis dibawah Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian penyakit
mendukung pelaksanaan penjabaran visi misi presiden yang telah ditetapkan oleh Kementerian
Kesehatan.
A. Tujuan
Guna mencapai tujuan Kementerian Kesehatan khususnya Ditjen Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit dalam peningkatan pencegahan dan pengendalian penyakit dan
pengelolaan kedaruratan kesehatan masyarakat, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik memiliki tujuan yaitu terselenggaranya pencegahan dan
pengendalian penyakit tular vektor dan zoonotik melalui:
1. Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Malaria.
2. Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Arbovirosis.
3. Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis.
4. Pelaksanaan dan Pengendalian Filariasis dan Kecacingan.
5. Pelaksanaan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit.
41
6. Pelaksanaan Dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada kegiatan
pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor zoonotik.
B. SASARAN
Dalam mencapai tujuan ditetapkan sasaran, yaitu meningkatnya pencegahan dan
pengendalian penyakit tular vektor dan zoonotik pada akhir tahun 2024 yang ditandai dengan:
Tujuan
•Terselenggaranya pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor dan zoonotik
Sasaran
•Meningkatnya pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor dan zoonotik
Indikator Sasaran
•Meningkatnya jumlah kabupaten/kota yang mencapai API<1/1.000 penduduk sebanyak 500 kabupaten/kota.
•Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1% sebanyak 236 kabupaten/kota.
•Jumlah kabupaten/kota yang memiliki ≥ 20% puskesmas rujukan Rabies Center (RC) sebanyak 184 kabupaten/kota.
•Persentase kabupaten/kota yang mempunyai IR DBD < 49 per 100.000 penduduk sebesar 90%.
•Jumlah kabupaten/kota yang memiliki 25% puskesmas yang melaksanakan surveilans vektor sebanyak 200 kabupaten/kota.
•Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi sebanyak 28 desa.
42
BAB III
ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI DAN KERANGAKA REGULASI
A. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI
Arah kebijakan dan strategi kegiatan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tular Vektor dan Zoonotik mendukung kebijakan dan strategi Ditjen P2P dan Kementerian
Kesehatan sehingga ditetapkan arah kebijakan dan strategi Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik sebagai berikut:
1. Pencegahan dan Pengendalian Malaria
Gambar 1. Timeline Eliminasi Malaria di Indonesia
1. Tujuan Umum, Tujuan Khusus dan Strategi Penanggulangan Malaria, 2020 -2024
TUJUAN
Tujuan:
Tercapainya 75% wilayah Indonesia bebas penularan malaria dan tidak ada lagi
kabupaten endemis tinggi pada akhir tahun 2024.
Tujuan khusus:
1. Berkurangnya jumlah Kabupaten/Kota dengan API> 1 ‰ dari 61 pada tahun 2018
menjadi 13 pada akhir tahun 2024.
2. Meningkatnya jumlah Kabupaten/Kota Bebas Malaria dari 285 Kabupaten/Kota pada
tahun 2018 menjadi 405 Kabupaten/Kota pada akhir tahun 2024.
3. Dipertahankannya status bebas malaria pada Kabupaten/Kota yang telah menerima
sertifikat Bebas Malaria.
43
2. Pencegahan dan Pengendalian Arbovirosis
Upaya pencegahan dan pengendalian DBD
1. SURVEILANS KASUS DAN VEKTOR
2. MANAJEMEN KASUS
3. PENGENDALIAN VEKTOR
KEBIJAKAN KESEHATAN
1. PENGUATAN KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN LAYANAN PRIMER 2.
MENINGKATKAN PROMOTIF DAN PROGRAM PENCEGAHAN
PERAN SEKTOR LAINNYA
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PELAYANAN KESEHATAN
Intervensi kunci: 1. Peningkatan penemuan
kasus malaria 2. Penguatan sistem data
dan manajemen data malaria
3. Penguatan penyelidikan epidemiologi kasus dan fokus malaria
4. Sistem Kewaspadaaan Dini dan Penanggulangan KLB-Bencana
5. Surveillans efikasi obat 6. Penguatan surveilans
migrasi 7. Penanggulangan malaria
pada populasi khusus 8. Penguatan surveilans P.
knowlesi 9. Penguatan surveilans
vektor
Intervensi kunci: 1. Peningkatan komitmen dan
kepeminpinan Pemerintah Pusat dan Daerah untuk percepatan dalam penanggulangan dan eliminasi malaria serta pencegahan penularan kembali
2. Penguatan dukungan lintas program dan lintas sektor termasuk swasta)
3. Komunikasi Perubahan Perilaku
Intervensi kunci: 1. Penguatan manajemen
program yang terintegrasi di dalam sistem kesehatan
2. Penguatan manajemen sertifikasi eliminasi malaria.
3. Peningkatan koordinasi lintas batas wilayah antar negara, provinsi dan kabupaten
4. Riset operasional untuk mendukung kebijakan program dan pelaksanaan kegiatan.
Intervensi kunci: 1. Diagnosis: Peningkatan akses pemeriksaan laboratorium malaria di semua fasilitas kesehatan (pemerintah dan swasta) 2. Diagnosis: Peningkatan jaminan kualitas pemeriksaan mikroskopis dan RDT 3. Pengobatan: Peningkatan akses pengobatan malaria sesuai standar di semua fasilitas layanan kesehatan dan komunitas oleh tenaga terlatih. 4. Integrasi pelayanan malaria dengan Kesehatan Ibu dan Anak 5. Pengendalian vektor: Perlindungan menyeluruh (universal protection) dengan LLIN di daerah penularan malaria 6. Pengendalian vektor: Perlindungan dengan IRS di daerah terpilih 7. Pengendalian vektor berbasis masyarakat termasuk integrated vector management.
1. Memastikan akses universal masyarakat terhadap upaya pencegahan, diagnosis dan
pengobatan malaria.
3. Mendorong terciptanya kebijakan yang mendukung upaya
pencapaian eliminasi malaria melalui komunikasi perubahan
perilaku dan keterlibatan masyarakat yang mandiri
2. Mentransformasi surveilans malaria
menjadi inti intervensi eliminasi malaria.
STRATEGI
4. Penguatan sistem kesehatan yang mampu
mencapai eliminasi malaria
INTERVENSI
KUNCI
44
Upaya Pencegahan dan Pengendalian DBD terdiri dari 3 pilar pendekatan, yaitu:
1. Surveilans Kasus dan Vektornya
2. Manajemen Kasus dan
3. Pengendalian Vektornya.
Tiga pilar tersebut diperkuat dengan keterlibatan sektor lain dalam bentuk Kelompok
kerja Operasional (Pokjanal). Penguatan Pelayanan Kesehatan sangat diperlukan dan
tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya pemberdayaan
masyarakat melalui Gerak 1 Rumah 1 Jumantik.
Strategi terpenting dalam penanggulangan DBD adalah pemberdayaan masyarakat yang
diarahkan pada Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3 M Plus, yaitu Menguras
bak penampungan air, Menutup wadah air, dan Mendaur ulang (barang-barang yang tak
digunakan lagi agar tidak menjadi tempat genangan air), Plus mencegah gigitan dengan
penggunaan repellent, memberantas jentik nyamuk dengan larvasida. Upaya ini diperkuat
dengan Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik, yaitu gerakan untuk mewujudkan di setiap
rumah, selalu ada satu orang anggota keluarga yang berperan sebagai Juru Pemantau Jentik
(Jumantik). Jumantik bertugas memeriksa dan memastikan bahwa tidak ada jentik nyamuk
di rumah tersebut setiap hari.
3. Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
Strategi untuk pencapaian tujuan Penanggulangan Zoonosis di Indonesia dengan menerapkan
konsep One Health
45
Strategi yang dilaksanakan dalam mencapai tujuan program pencegahan dan
pengendalian zoonosis (P2 Zoonosis) adalah:
a. Peningkatan kegiatan surveilans untuk deteksi dini dan kewaspadaan KLB zoonosis,
serta melaksanakan surveilans sentinel untuk Leptospirosis di fasyankes di beberapa
daerah
b. Peningkatan peran serta masyarakat melalui penyediaan media cetak dan elektronik,
seminar daring, serta kegiatan Germas
c. Advokasi kepada penentu kebijakan lintas sektor terkait di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota.
e. Penguatan koordinasi pelaksanaan P2 Zoonosis baik secara lintas program maupun
lintas sektor terkait dengan pendekatan One Health.
f. Peningkatan kapasitas sumber daya untuk mendukung detect, prevent, dan respond di
masing-masing Kementerian/Lembaga dalam penanggulangan Zoonosis serta
peningkatan peran individu, keluarga, dan masyarakat, termasuk kalangan swasta dan
dunia usaha.
g. Menyusun pedoman, petunjuk teknis dan mendistribusikan untuk pengelola program
di setiap tingkat administrasi.
h. Dalam situasi pandemi Covid-19 menyusun protokol Layanan Kasus Gigitan Hewan
Penular Rabies dan kasus Leptospirosis di era adaptasi kebiasaan baru, layanan
dilakukan sesuai pedoman dan dilakukan dengan memperhatikan protokol kesehatan
baik dalam tatalaksana kasus maupun saat penyelidikan epidemiologi.
h. Melaksanakan bimbingan teknis dan supervisi serta assessment Rabies Center
i. Menyediakan Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR) untuk manusia
dan Rapid Diagnostic Test (RDT) Leptospirosis.
j. Menyusun Rodmap penanggulangan rabies yang telah disusun bersama lintas sektor
terkait, untuk mencapai komitmen global dimana pada tahun 2030 kematian rabies
menjadi nol.
k. Membantu daerah dalam upaya penanggulangan KLB zoonosis dan penyelidikan
epidemiologi.
4. Pencegahan dan Pengendalian Filariasis dan Kecacingan
a. Memutuskan rantai penularan Filariasis dengan Pemberian Obat Pencegahan secara
Massal (POPM) Filariasis di Kabupaten/Kota Endemis Filariasis
46
b. Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis Filariasis
c. Pengendalian vektor secara terpadu
d. Memperkuat surveilans, jejaring laboratorium dan mengembangkan penelitian
e. Menyediakan obat untuk mendukung POPM Filariasis dan Cacingan
f. Melakukan kerja sama dan jejaring kerja dengan lembaga internasional;
g. Melakukan advokasi dan kerjasama antar lembaga/kementerian
h. Melakukan kegiatan POPM filariasis yang juga mencakup pemberian obat cacing pada
anak sekolah dan pra sekolah.
i. Integrasi dengan kegiatan UKS di SD/MI untuk sasaran anak usia pra sekolah dan usia
sekolah dasar.
j. Integrasi dengan pemberian vitamin A untuk sasaran anak balita.
k. Meningkatkan kemampuan teknis sumber daya manusia.
5. Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
Sebagaimana Permenkes Nomor 374 Tahun 2010 tentang Pengendalin Vektor, Pengendalian
Vektor Terpadu (PVT) merupakan pendekatan yang menggunakan kombinasi beberapa
metode pengendalian vektor yang dilakukan berdasarkan azas keamanan, rasionalitas dan
efektifitas pelaksanaannya serta dengan mempertimbangkan kelestarian keberhasilannya.
Menurut Permenkes Nomor 50 Tahun 2017, upaya pengendalian vektor terpadu dapat
dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
• Biofisika, misalnya melepaskan predator dan pemasangan perangkap
• Biokimiawi, misalnya melepaskan predator dan menggunakan pestisida
• Bioenviro, misalnya melepaskan predator dan melakukan rekayasa lingkungan
• Fisikakimiawi, misalnya pemasangan perangkap dan menggunakan kelambu
berpestisida
47
• Biofisikakimiawi, misalnya melepaskan predator, pemasangan perangkap, dan
menggunakan kelambu berpestisida
• Bioenvirofisikakimiawi, misalnya melepaskan predator, melakukan rekayasa
lingkungan, pemasangan perangkap, dan menggunakan pestisida
• dan lain-lain.
Dalam rangka peningkatan pengendalian vektor terpadu berbagai upaya yang dapat
dilakukan, antara lain:
a. Bimbingan teknik pengendalian vektor terpadu di wilayah provinsi dan kabupaten/ kota
serta UPT Kemenkes (BTKLPP dan KKP).
b. Monitoring dan evaluasi pengendalian vektor terpadu di wilayah provinsi dan
kabupaten/ kota serta UPT Kemenkes (BTKLPP dan KKP).
c. Distribusi NSPK pengendalian vektor terpadu di wilayah provinsi dan kabupaten/ kota
serta UPT Kemenkes (BTKLPP dan KKP).
d. Distribusi bahan dan peralatan pengendalian vektor terpadu di wilayah provinsi dan
kabupaten/ kota serta UPT Kemenkes (BTKLPP dan KKP).
e. Peningkatan kapasitas entomolog kesehatan dalam pengendalian vektor terpadu di
wilayah provinsi dan kabupaten/ kota serta UPT Kemenkes (BTKLPP dan KKP).
f. Sosialisasi dan Penggerakan Masyarakat, LP-LS dalam pengendalian vektor terpadu di
wilayah provinsi dan kabupaten/ kota.
1) Bimtek PVT
2) Monev PVT
3) DistribusiNSPK PVT
4) Distribusibahan dan
peralatan PVT
5) PeningkatanKapasitas Nakes
dalam PVT
6) Sosialisasidan
PenggerakanMasyarakat, LP-
LS dalam PVT
48
Upaya pengembangan pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit adalah
surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit yang real time dan terintegrasi melalui
program elektronik (aplikasi website dan android). Sebagaimana Amanah PP nomor 66 tahun
2014 dan Permenkes nomor 50 tahun 2017, bahwa setiap kondisi lingkungan harus menjaga
kepadatan vektor dan binatang pembawa penyakit yang aman sehingga tidak menularkan
penyakit. Adapun untuk mengetahui kepadatan vektor dan binatang pembawa penyakit
diperlukan surveilans yang akan digunakan sebagai dasar pengendaliannya.
Di era revolusi industri 4.0 saat ini teknologi digitalisasi sangat berkembang pesat. Teknologi
digitalisasi dapat digunakan oleh semua bidang ilmu termasuk bidang survilans vektor dan
binatang pembawa penyakit. Saat ini Kementerian Kesehatan (melalui Direktorat P2PTVZ)
telah menyiapkan Surveilans Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit (SILANTOR) berbasis
website dan android yang real time dan terintegrasi, mulai dari Puskesmas, Dinkes Kab/Kota,
Dinkes Provinsi dan Nasional (Kementerian Kesehatan).
Dengan adanya sistem surveilans ini akan dapat diketahui dengan cepat aman atau tidaknya
kondisi vektor di suatu wilayah, jika hasil surveilans didapatkan kondisi vektor tidak aman
(melebihi nilai baku mutu) maka harus segera dilaksanakan upaya-upaya pengendaliannya,
karena kondisi tersebut mempunyai potensi untuk terjadinya penularan penyakit.
Selama lima tahun ke depan (2020-2024) indikator pengendalian vektor dan binatang
pembawa penyakit adalah Jumlah Kab/ Kota yang memiliki 25% Puskesmas yang
melaksanakan Surveilans Vektor. Defenisi operasional idikator tersebut adalah Jumlah Kab/
Kota yang memiliki 25% Puskesmas yang melaksanakan surveilans nyamuk Aedes dan/ atau
nyamuk Anopheles secara rutin setiap bulan sekali yang diinput melalui aplikasi Silantor.
Rumus/ formula indikator tersebut adalah kumulatif jumlah Kab/ Kota yang memiliki 25%
Puskesmas yang melaksanakan surveilans nyamuk Aedes dan/ atau nyamuk Anopheles
secara rutin setiap bulan sekali berdasarkan data yang ada di aplikasi Silantor. Taget
indikator selama 5 tahun (2020-2024) berturut-turut yaitu 40 Kab/ Kota, 80 Kab/ Kota, 120
Kab/ Kota, 160 Kab/ Kota, 200 Kab/ Kota. Adapun realisasi dari target 40 Kab/Kota tahun
2020 adalah sebesar 61 Kab/Kota (capaian = 152,5%). Ini adalah capaian yang luar biasa
ditengah situasi pademi Covid-19, capaian kinerja sebesar 152,5%.
Dalam upya pencapaian indikator Jumlah Kab/ Kota yang memiliki 25% Puskesmas yang
melaksanakan Surveilans Vektor, upaya yang akan dilakukan antara lain:
a. penyiapan perumusan kebijakan di bidang vektor dan binatang pembawa penyakit.
b. pelaksanaan kebijakan di bidang vektor dan binatang pembawa penyakit.
49
c. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang vektor dan
binatang pembawa penyakit.
d. fasilitasi pengelolaan di bidang vektor dan binatang pembawa penyakit.
e. pelaksanaan kegiatan teknis berskala nasional di bidang vektor dan binatang pembawa
penyakit.
f. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang vektor dan binatang pembawa
penyakit.
g. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang vektor dan binatang pembawa penyakit.
B. KERANGKA REGULASI
Dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi sebagai pelaksana pelayanan. Sebagai
pelaksana pemerintah berkewajiban menyediakan pelayanan yang bermutu. Dalam menjalankan
peran pemerintah ini tentunya membutuhkan dukungan regulasi yang menjadi landasan dan
dasar hukum sehingga tidak salah arah dan mempunyai aspek perlindungan yang kuat.
Perubahan dan penyusunan regulasi disesuaikan dengan tantangan global, regional dan
nasional. Kerangka regulasi diarahkan untuk: 1) penyediaan regulasi dari turunan Undang-
Undang yang terkait dengan kesehatan; 2) meningkatkan pemerataan sumber daya manusia
kesehatan; 3) pengendalian penyakit dan kesehatan lingkungan; 4) peningkatan pemberdayaan
masyarakat dan pembangunan berwawasasn kesehatan; 5) penguatan kemandirian obat dan
alkes; 6) penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional yang lebih bermutu; 7) penguatan peran
pemerintah di era desentralisasi; dan 8) peningkatan pembiayaan kesehatan.
Disamping peraturan perundang-undangan yang disusun oleh pusat juga diperlukan
peraturan dalam bentuk Standar Operating Procedur (SOP) yang dibuat oleh satuan Kerja.
Dukungan regulasi yang baik akan menjamin standar dan mutu dalam pelayanan.
Saat ini sudah tersedia regulasi, anatara lain:
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005- 2025.
4. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan.
50
6. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah.
7. Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan lingkungan
8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014 Tentang Sistem Akuntabilitas
Kinerja Isntansi Pemerintah.
9. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2019 Tentang Organisasi
Kementerian Negara.
10. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024.
11. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 214 / PMK.02/20 17 Tentang
Pengukuran Dan Evaluasi Kinerja Anggaran Atas Pelaksanaan Rencana Kerja Dan Anggaran
Kementerian Negara/ Lembaga
12. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga Tahun 2020-2024
13. Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1035/Menkes/SK/V/2011 tentang Kelompok Kerja
Nasional Eliminasi Filariasis.
14. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 94 tahun 2014 tentang Penanggulangan Filariasis.
15. Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor HK.02.02/Menkes/95/2015 tentang Komite Ahli
Pengobatan Filariasis
16. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 15 tahun 2017 tentang Penanggulangan cacingan.
17. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2017 tentang Standar
Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan untuk Vektor dan Binatang
Pembawa Penyakit serta Pengendaliannya.
18. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 19 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Eradikasi
demam keong.
19. Keputusan Menteri Kesehatan No 556 tahun 2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tatalaksana Malaria
20. PMK NO 41 tahun 2018 tentang Pelaksanaan Deteksi Dini dan Pemberian Obat Anti Malaria
(OAM) oleh Kader pada Situasi Khusus
21. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2015 tentang Pedoman Jejaring Dan
Pemantapan Mutu Laboratorium Malaria
51
22. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 293/Menkes/SK/VI/2009 tentang Eliminasi Malaria;
23. Keputusan Menteri Kesehatan 042/Menkes/SK/I/2007 tentang Pedoman penyelenggaraan
Sistem kewaspadaan Dini (SKD) dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit
Malaria;
24. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 049/Menkes/SK/I/2007 Tahun 2007 tentang
Pedoman Penemuan Penderita Malaria; dan
25. Keputusan menteri Kesehatan Nomor 275/Menkes/SK/III/2007 tentang Pedoman
Surveilans Malaria,
52
BAB IV
TARGET KINERJA KEGIATAN DAN KERANGKA PENDANAAN
Memperhatikan Rencana Aksi Program Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit tahun 2020-2024, Tujuan, Arah Kebijakan, Strategi dan Sasaran Strategis sebagaimana
diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka ditetapkan target kinerja dan kerangka pendanaan
kegiatan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik 2020-
2024.
A. Target Kinerja
Target kinerja merupakan penilaian dari pencapaian program yang diukur secara berkala
dan dievaluasi pada akhir tahun 2024. Sasaran kinerja dihitung secara kumulatif selama lima
tahun dan berakhir pada tahun 2024.
Tabel. IV.1
Target Kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan
Zoonotik 2020-2024
NO INDIKATOR KINERJA TARGET
2020 2021 2022 2023 2024
I Meningkatnya Pencegahan dan Pengendalian Tular Vektor dan Zoonotik
1 Jumlah kabupaten/kota yang mencapai API < 1/1.000 penduduk
466 475 484 495 500
2 Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1%
136 190 207 220 236
3 Jumlah kabupaten/kota yang memiliki ≥20% puskesmas rujukan Rabies Center (RC)
55 73 110 147 184
4
Persentase kabupaten/kota yang mempunyai IR DBD ≤ 49 per 100.000 penduduk
70 75 80 85 90
5 Jumlah kabupaten/kota yang memiliki 25% puskesmas yang melaksanakan surveilans vektor
40 80 120 160 200
6 Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi
11 15 19 24 28
II Meningkatnya tata kelola Manajemen
7 Nilai Kinerja Anggaran 80 83 85 88 90
8 Nilai Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran 90 93 94 96 98
9 Kinerja Implementasi WBK satker 70 72 75 77 80
10 Persentase Peningkatan kapasitas ASN 80% , sebanyak 20 JPL
45 80 85 90 95
53
1. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai API < 1/1.000 penduduk
Annual Paracites Incidence (API) adalah jumlah kasus positif malaria per 1000 penduduk
pada satu tahun. API ini digunakan untuk menentukan trend morbiditas malaria dan
menentukan endemisitas suatu daerah (masih terjadi penularan malaria). API juga merupakan
salah satu syarat suatu daerah masuk dalam fase eliminasi yaitu jika API kurang dari 1 per 1000
penduduk.
a. Definisi Operasional Indikator
Jumlah Kumulatif Kabupaten/Kota dengan API < 1 per 1.000 penduduk
b. Rumus perhitungan pencapaian indikator
1) Rumus perhitungan API :
Jumlah kasus positif malaria
------------------------------------- x 1000 penduduk
Jumlah Penduduk
2) Rumus Perhitungan Indikator :
Jumlah kumulatif kabupaten/kota yang mencapai API < 1
c. Analisa SMART dalam penetapan target kinerja Jumlah Kabupaten/Kota dengan API< 1
per 1.000 Penduduk sebagai berikut:
No
Kriteria
Penjelasan
1 Spesific Dalam pertemuan WHA ke 60 di Geneva tahun 2007 tentang eliminasi malaria bagi tiap negara dan komitmen regional (Asia Pasific malaria Elimination Network/APMEN) tahun 2014 tentang eliminasi di kawasan Asia Pasifik pada tahun 2030. Berdasarkan Kepmenkes Nomor 293 tahun 2009 tentang eliminasi malaria ditetapkan pentahapan menuju eliminasi. Untuk mencapai eliminasi salah satunya daerah Kabupaten/Kota harus menurunkan tingkat endemisitas malaria sampai dengan API < 1 per seribu penduduk
2 Measurable Indikator Jumlah Kabupaten/Kota dengan API < 1/1.000 penduduk dihitung dari jumlah kumulatif kab/kota yang mencapai API < 1/1.000 penduduk pada akhir tahun penghitungan
3 Achievable Beberapa kabupaten/kota telah mampu menurunkan API < 1/1.000 penduduk, sehingga dapat diperhitungkan tercapainya target tahunan Kabupaten/kota yang dapat mencapai API<1/1.000 penduduk
4 Relevance Indikator ini relevan dengan target jangka panjang program malaria yaitu eliminasi malaria nasional tahun 2030. Untuk mencapat status eliminasi dan masuk ke tahap pemeliharaan,
54
Kabupaten/Kota harus menurunkan angka kesakitan malaria hingga API<1/1.000 penduduk
5 Timebound Perhitungan setiap tahun dilakukan untuk melaksanakan monitoring dan eliminasi terhadap pencapaian target yang telah ditetapkan
2. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1%
a. Definisi Operasional Indikator
Jumlah Kab/kota endemis yang telah melaksanakan POPM filariasis selama minimal 5
tahun dan berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1%
b. Rumus perhitungan pencapaian indikator
Kumulatif jumlah Kab/kota endemis yang telah melaksanakan POPM filariasis selama
minimal 5 tahun dan berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1%
c. Analisa SMART sebagai berikut:
Specific
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia ikut serta dalam Kesepakatan Global yang ditetapkan oleh WHO untuk mengeliminasi Filariasis. Pemberian obat pencegahan massal (POPM) Filariasis adalah kegiatan utama dari program eliminasi Filariasis nasional untuk mencapai goal eliminasi Filariasis dengan tujuan memutuskan rantai penularan filariasis. Kombinasi DEC dan Albendazole diberikan kepada semua sasaran di Kabupaten/Kota endemis satu kali setahun selama minimal 5 tahun berturut-turut. Dampak dari pemberian obat adalah penurunan transmisi aktif Filariasis ke tingkatan aman, yaitu <1% angka mikrofilaria pada penduduk yang tinggal di kabupaten/kota endemis Filariasis
Measurable
Indikator Jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1 dihitung dari akumulasi Jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1% adalah jumlah kab/kota endemis filariasis yang telah selesai melakukan Pemberian Obat Pengobatan Massal (POPM) Filariasis selama 5 tahun berturut-turut, kemudian 6 bulan setelahnya pada pemeriksaan darah jari berhasil menurunkan angka mikrofilaria (mf rate) menjadi < 1%.
achieveable
seluruh kabupaten/kota endemis telah memulai tahapan POPM Filariasis sehingga dapat diperhitungkan target tahunan jumlah kab/kota berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1% yang dapat dicapai
Relevance
sesuai dengan hasil penelitian para ahli yang menunjukkan bahwa cakupan minum obat yang efektif yaitu minimal 65% jumlah total pendudk dapat menurunkan angka mikrofilaria pada batas aman yaitu <1%
55
Timebound perhitungan setiap tahun dilakukan untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap pencapaian target yang telah ditetapkan
3. Jumlah kabupaten/kota yang memiliki ≥20% puskesmas rujukan Rabies Center (RC)
a. Definisi Operasional Indikator
Capaian Kinerja pemerintah daerah kab/kota yang memiliki minimal 20% puskesmas
yang berfungsi sebagai rabies center dalam kurun waktu satu tahun Rumus perhitungan
pencapaian indikator.
b. Rumus perhitungan:
Kumulatif jumlah kab/kota yang memiliki minimal 20% puskesmas yang berfungsi sebagai rabies center
c. Analisa SMART
Specific Rabies terus menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia dan sampai bulan Juli 2020, daerah tertular rabies adalah 26 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia
Measurable Kumulatif jumlah kab/kota yang memiliki minimal 20% puskesmas yang berfungsi sebagai rabies center
achieveable Jumlah beberapa kabupaten/kota yang suddah memiliki ≥20% puskesmas yang melayani atau berfungsi sebagai Rabies Center
Relevance Rabies Center diharapkan menjadi rujukan dalam pencegahan dan pengendalian dan penangannan kasus Rabies
Timebound perhitungan setiap tahun dilakukan untuk sebagai pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap pencapaian target yang telah ditetapkan
4. Persentase kabupaten/kota yang mempunyai IR DBD ≤ 49 per 100.000 penduduk
a. Definisi Operasional Indikator
Capaian Kinerja Pemerintah Daerah Kab/Kota dalam menurunkan angka insidens rate ≤ 49/100.000 penduduk dalam kurun waktu satu tahun
b. Rumus / cara perhitungan pencapaian indikator
Presentase Kab/Kota dengan Insidens Rate (IR) DBD ≤ 49/100.000 penduduk x 100 %Jumlah Kab/ Kota pada kurun satu tahun yang sama.
c. Analisa SMART dalam penetapan target kinerja Persentase kabupaten/kota dengan IR
DBD < 49 per 100.000 penduduk sebagai berikut:
Specific
Dalam Target Global untuk pengendalian DBD adalah penurunan angka kasus sebanyak 25 % pada tahun 2020 dari baseline data tahun 2010. Sehingga setiap provinsi selama 5 tahun diharapkan dapat mencapai IR < 49/100.000 penduduk
56
Measurable Indikator jumlah persentase kab/kota dengan IR < 49/100.000 penduduk dihitung dari jumlah kumulatif kab/kota yang mencapai IR < 49/100.000 penduduk
achieveable beberapa kabupaten/kota telah mampu menurunkan angka IR sampai dengan < 49/100.000 penduduk sehingga dapat diperhitungkan target tahunan kab/kota yang dapat mencapai IR < 49/100.000 penduduk
Relevance IR < 49/100.000 penduduk diharapkan dapat menekan terjadinya KLB DBD
Timebound perhitungan setiap tahun dilakukan untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap pencapaian target yang telah ditetapkan
5. Jumlah kabupaten/kota yang memiliki 25% puskesmas yang melaksanakan surveilans
vektor
a. Definisi Operasional Indikator
Jumlah Kab/ Kota yang memiliki 25% Puskesmas yang melaksanakan surveilans
nyamuk Aedes dan/ atau nyamuk Anopheles secara rutin setiap bulan sekali yang
diinput melalui aplikasi Silantor
b. Rumus perhitungan pencapaian indikator
Kumulatif jumlah Kab/ Kota yang memiliki 25% Puskesmas yang melaksanakan surveilans nyamuk Aedes dan/ atau nyamuk Anopheles secara rutin setiap bulan sekali berdasarkan data yang ada di- aplikasi Silantor
c. Analisa SMART dalam penetapan target kinerja
Specific
Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit, merupakan tulang punggung keberhasilan eradikasi, eliminasi dan reduksi penyakit tular vektor dan zoontik, seperti Malaria, DBD, Chikungunya, Japanese encephalitis (JE), Filariasis, Schistosomiasis, Pes, leptospirosis dan lain-lain. Kabupaten/kota yang melaksanakan pengendalian vektor terpadu pada tahun 2019 sebanyak 456 kabupaten/kota atau sebesar 88,72 % dari seluruh kabupaten/kota.
Measurable
Kumulatif jumlah Kab/ Kota yang memiliki 25% Puskesmas yang melaksanakan surveilans nyamuk Aedes dan/ atau nyamuk Anopheles secara rutin setiap bulan sekali berdasarkan data yang ada di- aplikasi Silantor
achieveable Kab/ Kota yang telah memiliki 25% Puskesmas yang melaksanakan surveilans nyamuk Aedes dan/ atau nyamuk Anopheles secara rutin setiap bulan sekali dan dilakukan input data di- aplikasi Silantor
Relevance
pencapaian indicator target tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 66 tahun 2014, Permenkes nomor 50 tahun 2017, Permenkes nomor 64 tahun 2015 dan Permenkes nomor 45 tahun 2014, Surveilans vektor dan binatang pembawa penayakit merupakan
57
bagian penting yang harus dikerjakan dalam rangka kewaspadaan dini terhadap peningkatan populasi vektor dan adanya potensi penularan penyakit.
Timebound perhitungan setiap bulan, triwulan dan tahun dilakukan untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap pencapaian target yang telah ditetapkan.
6. Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi
a. Definisi Operasional Indikator
Jumlah desa endemis schistosomiasis yang berhasil menurunkan prevalensi pada
manusia menjadi 0%
b. Rumus perhitungan pencapaian indikator
Kumulatif jumlah desa endemis schistosomiasis yang berhasil menurunkan prevalensi pada manusia menjadi 0%
c. Analisa SMART dalam penetapan target kinerja desa endemis schistosomiasis yang
mencapai eliminasi sebagai berikut:
Specific
Data WHO menunjukkan pada tahun 2015, jumlah populasi yang memerlukan pengobatan preventif terhadap schistosomiasis akibat infeksi Schistosoma mansoni, S. hematobium, S. japonicum dan tiga spesies Schistosoma lain adalah sebanyak 218,7 juta orang yang tersebar di 52 negara. Di Indonesia penyakit Schistosomiasis Japonicum hanya terdapat di Lembah Bada, Napu, dan Lindu di Provinsi Sulawesi Tengah. Penyakit ini mendera 28 desa yang tersebar di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi, dan seusai Roadmap Eliminasi Filariasis diharapkan tahun 2020 sudah eliminasi
Measurable
Indikator program Schistosomiasis adalah Jumlah desa endemis Schistosomiasis yang mencapai eliminasi. Jumlah Desa Endemis Schistosomiasis yang Mencapai Eliminasi adalah Jumlah desa dengan hasil survei prevalensi schistosomiasis 0% pada manusia.
achieveable Seluruh desa endemis Schistosomiasis tahun 2018 – 2019 memasuki Fase akselerasi sehingga tahun 2020 sudah dapat diperhitungkan tahapan eliminasinya
Relevance Berdasarkan Roadmap Eliminasi Schistosomiasi, fase eliminasi dimulai dari fase akselerasi, fase pemilaraan dan Fase deklarasi eliminasi. Eliminasi dicapai jika prevalensi pada manusia mencapai 0%
Timebound Perhitungan setiap tahun dilakukan untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap target yang telah ditetapkan
7. Nilai kinerja anggaran
a. Definisi Operasional Indikator
Capaian keluaran kegiatan diukur dari realisasi Volume Keluaran (RVK) dan realisasi
volume keluaran kegiatan (RIKK) dengan menggunakan formula rata geometric
b. Rumus perhitungan pencapaian indikator
58
Realisasi volume kegiatan / target volume kegiatan x realisasi indikator kegiatan /
target indikator kegiatan
c. Analisa SMART dalam penetapan target kinerja:
Specific
Setiap rupiah APBN harus dikelola secara efisien & efektif untuk meningkatkan Value for Money APBN bagi pembangunan Indonesi. Evaluasi Kinerja Anggaran sebagai tool untuk membuktikan (prove) apakah dokumen anggaran telah dilaksanakan sesuai rencana, dan sebagai umpan balik (feed-back) untuk perbaikan (improve) penganggaran pada periode berikut-berikutnya
Measurable Diukur dari realisasi Volume Keluaran (RVK) dan realisasi volume keluaran kegiatan (RIKK) dengan menggunakan formula rata geometrik
achieveable Capaian dapat dilihat pada dashboard monev anggaran Direktorat Jenderal Anggaran
Relevance
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 214/PMK.02/2017 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan AnggaranKementerian/Lembaga (RKA-K/L) Peraturan Direktur Jenderal Anggaran nomor PER-1/AG/2018 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Anggaran
Timebound Perhitungan setiap bulan, triwulan dan tahun dilakukan untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap target yang telah ditetapkan
8. Nilai Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran
a. Definisi Operasional Indikator
Kualitas kinerja pelaksanaan anggaran belanja Kementerian Negara/ Lembaga dari sisi kesesuaian terhadap perencanaan, efektivitas pelaksanaan anggaran, efisiensi pelaksanaan anggaran, dan kepatuhan terhadap regulasi
b. Rumus perhitungan pencapaian indikator
Perhitungan IKPA ditetapkan oleh Kementerian Keuangan.
c. Analisa SMART dalam penetapan target kinerja:
Specific
IKPA merupakan alat monev kinerja pelaksanaan anggaran yang dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN sesuai dengan PMK Nomor 195/PMK.05/2018 tentang Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga (K/L). IKPA yang saat ini telah terintegrasi pada Aplikasi OM-SPAN dan digunakan oleh satker K/L diharapkan mampu mendorong peningkatan kinerja dari sisi teknis administratif pelaksanaan anggaran
Measurable Pengukuran menggunakan 13 indikator IKPA
59
achieveable merupakan hasil perhitungan dari transaksi pelaksanaan anggaran dengan KPPN dan Kanwil DJP
Relevance
Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran (IKPA) menjadi ukuran evaluasi kinerja pelaksanaan anggaran yang memuat 13 indikator dan mencerminkan aspek kesesuaian perencanaan dan pelaksanaan anggaran, kepatuhan pada regulasi, serta efektifitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan
Timebound Perhitungan setiap bulan, triwulan dan tahun dilakukan untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap target yang telah ditetapkan
9. Kinerja implementasi WBK satker
a. Definisi Operasional Indikator
Perolehan nilai implementasi menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) pada Satuan
Kerja melalui penilaian mandiri (self Assesment) yang dilakukan oleh Satuan Kerja
dengan menggunakan Lembar Kerja Evaluasi (LKE) Zona Integritas menuju
WBK/WBBM yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang berlaku dan kemudian dilakukan
evaluasi oleh Unit Pembina Sekretariat Direktorat Jenderal P2P.
b. Rumus perhitungan pencapaian indikator
Nilai implementasi WBK Satker dihitung dari akumulasi Nilai Total Pengungkit dan
Nilai Total Hasil.
c. Analisa SMART dalam penetapan target kinerja:
Specific
Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) adalah predikat yang diberikan kepada Satker yang memenuhi sebagian besar program Manajemen Perubahan, Penataan Tatalaksana, Penataan Sistem Manajemen SDM, Penguatan Pengawasan dan Penguatan Akuntabilitas Kinerja
Measurable Nilai implementasi WBK Satker dihitung dari akumulasi Nilai Total
Pengungkit dan Nilai Total Hasil
achieveable
Perolehan nilai implementasi menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) pada Satuan Kerja melalui penilaian mandiri (self Assesment) yang dilakukan oleh Satuan Kerja dengan menggunakan Lembar Kerja Evaluasi (LKE) Zona Integritas menuju WBK/WBBM yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang berlaku dan kemudian dilakukan evaluasi oleh Unit Pembina Sekretariat Direktorat Jenderal P2P
Relevance Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 52 tahun 2014
Timebound Perhitungan tahun dilakukan untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap target yang telah ditetapkan
60
10. Persentase Peningkatan kapasitas ASN sebanyak 20 JPL
a. Definisi Operasional Indikator
Pengembangan kompetensi bagi ASN yang dilakukan paling sedikit 20 (dua puluh) jam
pelajaran dalam 1 (satu) tahun dan dapat dilakukan pada tingkat instansi dan nasional
b. Rumus perhitungan pencapaian indikator
Jumlah ASN yang ditingkatkan kapasitas sebanyak 20 JPL dibagi jumlah seluruh ASN
dikali 100%
c. Analisa SMART dalam penetapan target kinerja:
Specific
Sesuai PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang manajemen PNS, PNS memiliki hak dan kesempatan untuk diikutsertakan dalam pengembangan kompetensi dilakukan paling sedikit 20 (dua puluh) jam pelajaran dalam 1 (satu) tahun
Measurable Jumlah ASN yang ditingkatkan kapasitas sebanyak 20 JPL dibagi jumlah
seluruh ASN dikali 100%
achieveable Dilakukan pendataan terhadap seluruh pegawai di lingkungan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik
Relevance Sesuai dengan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil dan PerLAN Nomor 10 Tahun 2018 tentang Pengembangan Kompetensi PNS
Timebound Perhitungan tahun dilakukan untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap target yang telah ditetapkan
61
B. Kegiatan dan Kerangka Pendanaan
Sebagai upaya mencapai target indicator tersebut, kegiatan yang dilakukan dan
pendanaan bersumber dari APBN baik yang bersumber dari Rupiah Murni Pinjaman dan/atau
Hibah Luar Negeri (PHLN)adalah:
1. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai API<1/1.000 penduduk sebanyak 500
kabupaten/kota di 34 Propinsi
No Tahun Target Kegiatan Alokasi Dana
1 2020 466 Kab/Kota
1. Koordinasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
2. Sosialisasi pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
3. NSPK pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
4. Layanan Investigasi SKD/KLB Malaria
5. Media komunikasi, informasi, edukasi pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
6. Pengembangan /pemeliharaan Sistim Informasi Pencegahan dan Pengendalian Malaria
7. pendidikan dan pelatihan SDM Malaria
8. Bimbingan teknis pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
9. Assesment dan Pra Asesment Eliminasi Malaria
10. Pengadaan alat dan bahan pencegahan pengendalian malar
1. APBN : 9.266.125.000,-
2. Hibah : 79.690.519.000,-
62
11. Surveilans dan deteksi dini penyakit malaria Tingkat Provinsi
12. IRS/Indoor Residual Spraying (Penyemprotan insektisida pada dinding rumah)
13. Survei Darah Massal Malaria
14. Intensifikasi percepatan eliminasi malaria Papua dan Papua barat
2 2021 475 1. Koordinasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
2. Sosialisasi pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
3. NSPK pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
4. Layanan Investigasi SKD/KLB Malaria
5. Media komunikasi, informasi, edukasi pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
6. Pengembangan /pemeliharaan Sistim Informasi Pencegahan dan Pengendalian Malaria
7. pendidikan dan pelatihan SDM Malaria
8. Bimbingan teknis pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
9. Assesment dan Pra Asesment Eliminasi Malaria
10. Pengadaan alat dan bahan pencegahan pengendalian malar
1. APBN: Rp 58,048,233,000
Hibah :
63
11. Surveilans dan deteksi dini penyakit malaria Tingkat Provinsi
12. IRS/Indoor Residual Spraying (Penyemprotan insektisida pada dinding rumah)
13. Survei Darah Massal Malaria
14. Intensifikasi percepatan eliminasi malaria Papua dan Papua barat
3 2022 484 1. Koordinasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
2. Sosialisasi pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
3. NSPK pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
4. Layanan Investigasi SKD/KLB Malaria
5. Media komunikasi, informasi, edukasi pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
6. Pengembangan /pemeliharaan Sistim Informasi Pencegahan dan Pengendalian Malaria
7. pendidikan dan pelatihan SDM Malaria
8. Bimbingan teknis pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
9. Assesment dan Pra Asesment Eliminasi Malaria
10. Pengadaan alat dan bahan pencegahan pengendalian malar
1. APBN : Rp 69,657,879,600
Hibah :
64
11. Surveilans dan deteksi dini penyakit malaria Tingkat Provinsi
12. IRS/Indoor Residual Spraying (Penyemprotan insektisida pada dinding rumah)
13. Survei Darah Massal Malaria
14. Intensifikasi percepatan eliminasi malaria Papua dan Papua barat
4 2023 495 1. Koordinasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
2. Sosialisasi pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
3. NSPK pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
4. Layanan Investigasi SKD/KLB Malaria
5. Media komunikasi, informasi, edukasi pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
6. Pengembangan /pemeliharaan Sistim Informasi Pencegahan dan Pengendalian Malaria
7. pendidikan dan pelatihan SDM Malaria
8. Bimbingan teknis pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
9. Assesment dan Pra Asesment Eliminasi Malaria
10. Pengadaan alat dan bahan pencegahan pengendalian malar
1. APBN : Rp 81.267.526.000,-
Hibah :
65
11. Surveilans dan deteksi dini penyakit malaria Tingkat Provinsi
12. IRS/Indoor Residual Spraying (Penyemprotan insektisida pada dinding rumah)
13. Survei Darah Massal Malaria
Intensifikasi percepatan eliminasi malaria Papua dan Papua barat
5 2024 500 1. Koordinasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
2. Sosialisasi pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
3. NSPK pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
4. Layanan Investigasi SKD/KLB Malaria
5. Media komunikasi, informasi, edukasi pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
6. Pengembangan /pemeliharaan Sistim Informasi Pencegahan dan Pengendalian Malaria
7. pendidikan dan pelatihan SDM Malaria
8. Bimbingan teknis pencegahan dan pengendalian penyakit malaria
9. Assesment dan Pra Asesment Eliminasi Malaria
10. Pengadaan alat dan bahan pencegahan pengendalian malar
APBN : Rp 104.486.819.600,-
66
11. Surveilans dan deteksi dini penyakit malaria Tingkat Provinsi
12. Survei Darah Massal Malaria
13. Intensifikasi percepatan eliminasi malaria Papua dan Papua barat
2. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1%
sebanyak 236 kabupaten/kota di 28 Propinsi
No Tahun Target Kegiatan Alokasi Dana
1 2020 55 1. Pendampingan Survey Penilaian Pasca POPM Filariasis
2. Koordinasi LP/LS dalam rangka penguatan program pencegahan dan pengendalian
3. Assessment Persiapan Eliminasi filariasis dan schistosomiasis
4. NSPK Penanggulangan Filariasis dan Kecacingan
5. Pelaksanaan Pengadaan Alat dan Bahan Penanggulangan Filariasis dan Kecacingan
6. Pelaksanaan Pengadaan Media KIE pencegahan dan Pengendalian Filariasis dan Kecacingan
7. Survei Tinja Penilaian Prevalensi Cacingan Pasca POPM
2.703.921.000
562.617.000
2 2021 73 1. Pendampingan Survey Penilaian Pasca POPM Filariasis 2.Koordinasi LP/LS dalam rangka penguatan program pencegahan dan pengendalian
123.100.000.000
67
3.Assessment Persiapan Eliminasi filariasis dan schistosomiasis 4.NSPK Penanggulangan Filariasis dan Kecacingan 5.Pelaksanaan Pengadaan Alat dan Bahan Penanggulangan Filariasis dan Kecacingan 6.Pelaksanaan Pengadaan Media KIE pencegahan dan Pengendalian Filariasis dan Kecacingan 7.Survei Tinja Penilaian Prevalensi Cacingan Pasca POPM
3 2022 110 1.Pendampingan Survey Penilaian Pasca POPM Filariasis 2.Koordinasi LP/LS dalam rangka penguatan program pencegahan dan pengendalian 3.Assessment Persiapan Eliminasi filariasis dan schistosomiasis 4.NSPK Penanggulangan Filariasis dan Kecacingan 5.Pelaksanaan Pengadaan Alat dan Bahan Penanggulangan Filariasis dan Kecacingan 6.Pelaksanaan Pengadaan Media KIE pencegahan dan Pengendalian Filariasis dan Kecacingan 7.Survei Tinja Penilaian Prevalensi Cacingan Pasca POPM
126.300.000.000
4 2023 147 1.Pendampingan Survey Penilaian Pasca POPM Filariasis 2.Koordinasi LP/LS dalam rangka penguatan program pencegahan dan pengendalian 3.Assessment Persiapan Eliminasi filariasis dan schistosomiasis 4.NSPK Penanggulangan Filariasis dan Kecacingan
130.100.000.000
68
5.Pelaksanaan Pengadaan Alat dan Bahan Penanggulangan Filariasis dan Kecacingan 6.Pelaksanaan Pengadaan Media KIE pencegahan dan Pengendalian Filariasis dan Kecacingan 7.Survei Tinja Penilaian Prevalensi Cacingan Pasca POPM
5 2024 184 1.Pendampingan Survey Penilaian Pasca POPM Filariasis 2.Koordinasi LP/LS dalam rangka penguatan program pencegahan dan pengendalian 3.Assessment Persiapan Eliminasi filariasis dan schistosomiasis 4.NSPK Penanggulangan Filariasis dan Kecacingan 5.Pelaksanaan Pengadaan Alat dan Bahan Penanggulangan Filariasis dan Kecacingan 6.Pelaksanaan Pengadaan Media KIE pencegahan dan Pengendalian Filariasis dan Kecacingan 7.Survei Tinja Penilaian Prevalensi Cacingan Pasca POPM
131.000.000.000
3. Jumlah kabupaten/kota yang memiliki ≥ 20% puskesmas rujukan Rabies Center (RC)
sebanyak 184 kabupaten/kota di 34 propinsi
No Tahun Target Kegiatan Alokasi Dana
1 2020 136 1. Advokasi dan Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
2. Koordinasi LS/LP Pencegahan dan Pengendalian
3. Assesment Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
4. Surveilans Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
2.678.586.000
69
5. Monitoring Kewaspadaan Dini dan Penanggulangan KLB Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Zoonosis
6. Pelaksanaan Pengadaan Media KIE Zoonosis
7. Norma/Standar/Prosedur/Ketentuan (NSPK) Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
8. Pelaksanaan Pengadaan Alat dan Bahan Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
2 2021 190 1. Advokasi dan Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
2. Koordinasi LS/LP Pencegahan dan Pengendalian
3. Assesment Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
4. Surveilans Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
5. Monitoring Kewaspadaan Dini dan Penanggulangan KLB Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Zoonosis
6. Pelaksanaan Pengadaan Media KIE Zoonosis
7. Norma/Standar/Prosedur/Ketentuan (NSPK) Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
8. Pelaksanaan Pengadaan Alat dan Bahan Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
66.581.000.000
3 2022 207 1. Advokasi dan Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
2. Koordinasi LS/LP Pencegahan dan Pengendalian
3. Assesment Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
4. Surveilans Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
5. Monitoring Kewaspadaan Dini dan Penanggulangan KLB Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Zoonosis
6. Pelaksanaan Pengadaan Media KIE Zoonosis
7. Norma/Standar/Prosedur/Ketentuan (NSPK) Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
73.239.000.000
70
8. Pelaksanaan Pengadaan Alat dan Bahan Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
4 2023 220 1. Advokasi dan Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
2. Koordinasi LS/LP Pencegahan dan Pengendalian
3. Assesment Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
4. Surveilans Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
5. Monitoring Kewaspadaan Dini dan Penanggulangan KLB Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Zoonosis
6. Pelaksanaan Pengadaan Media KIE Zoonosis
7. Norma/Standar/Prosedur/Ketentuan (NSPK) Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
8. Pelaksanaan Pengadaan Alat dan Bahan Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
80.563.000.000
5 2024 236 1. Advokasi dan Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
2. Koordinasi LS/LP Pencegahan dan Pengendalian
3. Assesment Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
4. Surveilans Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
5. Monitoring Kewaspadaan Dini dan Penanggulangan KLB Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Zoonosis
6. Pelaksanaan Pengadaan Media KIE Zoonosis
7. Norma/Standar/Prosedur/Ketentuan (NSPK) Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
8. Pelaksanaan Pengadaan Alat dan Bahan Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
88.619.000.000
4. Persentase kabupaten/kota yang mempunyai IR DBD < 49 per 100.000 penduduk sebesar
90% di 34 propinsi
71
No Tahun Target Kegiatan Alokasi Dana
1 2020 70 1. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis Pusat a. Surveilans pencegahan
dan pengendalian arbovirosis Pendampingan Investigasi Peningkatan Kasus dan SKD/KLB DBD/Penyakit Arbovirosis Lainnya
b. Pelaksanaan Penurunan IR DBD
i. Gerakan Masyarakat dalam rangka Advokasi dan Sosialisasi arbovirosis terpadu
ii. Koordinasi Teknis LS/LP Arbovirosis
iii. Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian DBD dalam Tatanan dan Adaptasi Kebiasaan Baru di Masa COVID – 19
iv. Preparation Meeting Development of National Strategy for Dengue Control 2021-2025
v. Cosensus Meeting for the Development of National Strategic Plan HLN (KPPN.140-Khusus Pinjaman dan Hibah / Reg. 25XDMRHA)
c. Penyusunan/Finalisasi NSPK pencegahan dan pengendalian arbovirosis 1) Fasilitasi Terkait NSPK
Arbovirosis di Indonesia
d. Pelaksanaan pengadaan alat/bahan pencegahan dan pengendalian arbovirosis 1) Pelaksanaan Pengadaan Alat/Bahan
6.320.014.000 313,720,000 313,720,000 653,514,000 59,786,000 318,920,000 217,090,000 12,338,000 14,720,000 89,110,000 89,110,000 5,073,920,000 5,073,920,000 189,750,000 189,750,000 471.470.000 216.179 Paket (28.763.749.588)
527 Unit (14.880.046.040)
72
Pencegahan dan Pengendalian
e. Pelaksanaan Pengadaan Media Promosi dan KIE Arbovirosis
i. Pelaksanaan Pengadaan Media Promosi dan KIE Arbovirosis
2.Layanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis Dekon
3.DAK Fisik Penugasan (Paket RDT Combo DBD dan BTI DBD) di 175 Kab/kota di 30 Provinsi
DAK Fisik Reguler (Mesin Fogging) di 75 Kab/Kota di 25 Provinsi
2 2021 75 Arbovirosis 1. RO:Koordinasi
pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit arbovirosis. Komponen a. Pemberdayaan
masyarakat dalam rangka Advokasi dan Sosialisasi Arbovirosis Terpadu
b. Koordinasi Teknis LS/LP Arbovirosis
c. Peringatan ASEAN DENGUE DAY
d. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan surveilans Arbovirosis
2. RO : Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis Komponen a. Sosialisasi Juknis
Penilaian Implementasi PSN 3 M Plus melalui G1R1J
b. Sosialisasi Juknis Pencegahan dan
30,822,831,000 629,020,000 285.420.000 291.610.000 7.590.000 44.400.000 27,880,000 5.680.000 22,200,000 505,981,000 187,741,000 174,360,000
73
Pengendalian Arbovirosis
3. RO : NSPK pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis a. Penyusunan Juknis
penilaian implementasi PSN 3 M plus melalui G1R1J
b. Penyusunan Kurikulum Modul TOT dan Pelatihan Teknis bagi pemegang program arbovirosis
c. Revisi Juknis Pencegahan dan Pengendalian Arbovirosis
4. RO : Investigasi Kejadan Luar Biasa penyakit arbovirosis a. Pendampingan Investigasi SKD/KLB DBD, JE, ZICA dan Chikungunya dan Penyakit Arbovirosis lainnya
5. RO : Surveilans Sentinel Arbovirosis a. Penguatan Surveilans
S3A b. Pendampingan
Pelaksanaan Surveilans Sentinel Arbovirosis
6. RO: Media Komunikasi, Informasi dan Edukasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis a. Pengadaaan Media
Promosi Arbovirosis b. Pengadaaan Media
KIE Arbovirosis c. Pengadaan pembuatan
dan Penayangan ILM 7. RO : Pengadaan Alat dan
Bahan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian Arbovirosis
143,880,000 258,000,000 258,000,000 272,520,000 216,120,000 56,400,000 8,024,200,000 206,000,000 600,000,000 7,218,200,000 20,373,100,000 20,373,100,000 500,000,000 500,000,000 232,130,000 18,980,000 213,150,000 1.490.000.000
74
a. Pengadaan Alat dan Bahan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian Arbovirosis
8. RO : Pengembangan /pemeliharaan Sistim Informasi Penyakit pencegahan dan pengendalian penyakit Arbovirosis a. Sistim Informasi
Arbovirosis (SIARVI) 9. RO : Pendidilkan pelatihan
pencegahan pengendalian penyakit arbovirosis a. Workshop Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis bagi pengelola Program
b. Workshop Pengoperasian Alat dan Bahan Pengendalian vektor dan deteksi dini Arbovirosis
10. RO : Bimbingan Teknis Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis (Dekon)
11. DAK Fisik Reguler BMHP RDT Combo DBD di 135 Kab/kota di 32 Provinsi
DAK Fisik Reguler BMHP BTI DBD di 139 Kab/Kota di 32 Provinsi
15.010 box (27.691.777.655) 251.191 Botol (18.912.901.808)
3 2022 80 1. RO:Koordinasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit arbovirosis.
2. RO : Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis
3. RO : NSPK pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis
75
4. RO : Investigasi Kejadan Luar Biasa penyakit arbovirosis
5. RO : Surveilans Sentinel Arbovirosis
6. RO: Media Komunikasi, Informasi dan Edukasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis
7. RO : Pengadaan Alat dan Bahan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian Arbovirosis
8. RO : Pengembangan /pemeliharaan Sistim Informasi Penyakit pencegahan dan pengendalian penyakit Arbovirosis
9. RO : Pendidilkan pelatihan pencegahan pengendalian penyakit arbovirosis
10. RO : Bimbingan Teknis Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis
11. DAK Fisik Reguler BMHP RDT Combo DBD
DAK Fisik Reguler BMHP BTI DBD
4 2023 85 1. RO:Koordinasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit arbovirosis.
2. RO : Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis
3. RO : NSPK pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis
4. RO : Investigasi Kejadan Luar Biasa penyakit arbovirosis
5. RO : Surveilans Sentinel Arbovirosis
76
6. RO: Media Komunikasi, Informasi dan Edukasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis
7. RO : Pengadaan Alat dan Bahan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian Arbovirosis
8. RO : Pengembangan /pemeliharaan Sistim Informasi Penyakit pencegahan dan pengendalian penyakit Arbovirosis
9. RO : Pendidilkan pelatihan pencegahan pengendalian penyakit arbovirosis
10. RO : Bimbingan Teknis Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis
11. DAK Fisik Reguler BMHP RDT Combo DBD
DAK Fisik Reguler BMHP BTI DBD
5 2024 90 1. RO:Koordinasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit arbovirosis.
2. RO : Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis
3. RO : NSPK pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis
4. RO : Investigasi Kejadan Luar Biasa penyakit arbovirosis
5. RO : Surveilans Sentinel Arbovirosis
6. RO: Media Komunikasi, Informasi dan Edukasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis
77
7. RO : Pengadaan Alat dan Bahan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian Arbovirosis
8. RO : Pengembangan /pemeliharaan Sistim Informasi Penyakit pencegahan dan pengendalian penyakit Arbovirosis
9. RO : Pendidilkan pelatihan pencegahan pengendalian penyakit arbovirosis
10. RO : Bimbingan Teknis Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis
11. DAK Fisik Reguler BMHP RDT Combo DBD
DAK Fisik Reguler BMHP BTI DBD
5. Jumlah kabupaten/kota yang memiliki 25% puskesmas yang melaksanakan surveilans
vektor sebanyak 200 kabupaten/kota di 34 propinsi
No Tahun Target Kegiatan Alokasi Dana
1 2020 40 1. Pendampingan Teknis Pencegahan dan Pengendalian Vektor Filariasis, Malaria, Vektor Lainnya dan BPP
2. Surveilans Vektor dan BPP terpadu menuju reduksi, eliminasi, dan eradikasi penyakit tular vektor dan zoonotik
3. Surveilans Situasi Khusus/KLB/Paska KLB Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
4. Review Efektifitas/Resistensi
4.010.541.000
78
Penggunaan Insektisida dalam Pengendalian Vektor dan BPP
5. Pembinaan dan Koordinasi Jabatan Fungsional Entomolog Kesehatan
6. Koordinasi LP/LS Pencegahan dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
7. Penyusunan NSPK Pencegahan dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
8. Sosialisasi NSPK Pencegahan dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
9. Fasilitasi peningkatan kemampuan tenaga pengendalian vektor di daerah/UPT
10. Pelaksanaan Pengadaan Alat dan Bahan Surveilans dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
11. Intervensi Pengendalian Vektor dan BPP PON Pusat
452.310.000
2 2021 80 1. Pendampingan Teknis Pencegahan dan Pengendalian Vektor Filariasis, Malaria, Vektor Lainnya dan BPP
2. Surveilans Vektor dan BPP terpadu menuju reduksi, eliminasi, dan eradikasi penyakit tular vektor dan zoonotik
3. Surveilans Situasi Khusus/KLB/Paska KLB Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
60.100.000.000
79
4. Review Efektifitas/Resistensi Penggunaan Insektisida dalam Pengendalian Vektor dan BPP
5. Pembinaan dan Koordinasi Jabatan Fungsional Entomolog Kesehatan
6. Koordinasi LP/LS Pencegahan dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
7. Penyusunan NSPK Pencegahan dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
8. Sosialisasi NSPK Pencegahan dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
9. Fasilitasi peningkatan kemampuan tenaga pengendalian vektor di daerah/UPT
10. Pelaksanaan Pengadaan Alat dan Bahan Surveilans dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
11. Intervensi Pengendalian Vektor dan BPP PON Pusat
3 2022 120 1. Pendampingan Teknis Pencegahan dan Pengendalian Vektor Filariasis, Malaria, Vektor Lainnya dan BPP
2. Surveilans Vektor dan BPP terpadu menuju reduksi, eliminasi, dan eradikasi penyakit tular vektor dan zoonotik
3. Surveilans Situasi Khusus/KLB/Paska KLB
61.150.000.000
80
Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
4. Review Efektifitas/Resistensi Penggunaan Insektisida dalam Pengendalian Vektor dan BPP
5. Pembinaan dan Koordinasi Jabatan Fungsional Entomolog Kesehatan
6. Koordinasi LP/LS Pencegahan dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
7. Penyusunan NSPK Pencegahan dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
8. Sosialisasi NSPK Pencegahan dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
9. Fasilitasi peningkatan kemampuan tenaga pengendalian vektor di daerah/UPT
10. Pelaksanaan Pengadaan Alat dan Bahan Surveilans dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
11. Intervensi Pengendalian Vektor dan BPP PON Pusat
4 2023 160 1. Pendampingan Teknis Pencegahan dan Pengendalian Vektor Filariasis, Malaria, Vektor Lainnya dan BPP
2. Surveilans Vektor dan BPP terpadu menuju reduksi, eliminasi, dan eradikasi penyakit tular vektor dan zoonotik
62.150.000.000
81
3. Surveilans Situasi Khusus/KLB/Paska KLB Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
4. Review Efektifitas/Resistensi Penggunaan Insektisida dalam Pengendalian Vektor dan BPP
5. Pembinaan dan Koordinasi Jabatan Fungsional Entomolog Kesehatan
6. Koordinasi LP/LS Pencegahan dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
7. Penyusunan NSPK Pencegahan dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
8. Sosialisasi NSPK Pencegahan dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
9. Fasilitasi peningkatan kemampuan tenaga pengendalian vektor di daerah/UPT
10. Pelaksanaan Pengadaan Alat dan Bahan Surveilans dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
11. Intervensi Pengendalian Vektor dan BPP PON Pusat
5 2024 200 1. Pendampingan Teknis Pencegahan dan Pengendalian Vektor Filariasis, Malaria, Vektor Lainnya dan BPP
2. Surveilans Vektor dan BPP terpadu menuju reduksi, eliminasi, dan eradikasi
63.150.000.000
82
penyakit tular vektor dan zoonotik
3. Surveilans Situasi Khusus/KLB/Paska KLB Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
4. Review Efektifitas/Resistensi Penggunaan Insektisida dalam Pengendalian Vektor dan BPP
5. Pembinaan dan Koordinasi Jabatan Fungsional Entomolog Kesehatan
6. Koordinasi LP/LS Pencegahan dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
7. Penyusunan NSPK Pencegahan dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
8. Sosialisasi NSPK Pencegahan dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
9. Fasilitasi peningkatan kemampuan tenaga pengendalian vektor di daerah/UPT
10. Pelaksanaan Pengadaan Alat dan Bahan Surveilans dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
11. Intervensi Pengendalian Vektor dan BPP PON Pusat
83
6. Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi sebanyak 28 desa di
Kabupaten Poso dan Sigi
No Tahun Target Kegiatan Alokasi Dana
1 2020 11 Koordinasi Lintas Kementerian dan Lembaga dalam Rangka Eliminasi Schistosomiasis
100.000.000
2 2021 15 Koordinasi Lintas Kementerian dan Lembaga dalam Rangka Eliminasi Schistosomiasis
4.430.000.000
3 2022 19 Koordinasi Lintas Kementerian dan Lembaga dalam Rangka Eliminasi Schistosomiasis
4.600.000.000
4 2023 24 Koordinasi Lintas Kementerian dan Lembaga dalam Rangka Eliminasi Schistosomiasis
4.700.000.000
5 2024 28 Koordinasi Lintas Kementerian dan Lembaga dalam Rangka Eliminasi Schistosomiasis
4.800.000.000
84
BAB V
PEMANTAUAN PENILAIAN PELAPORAN
A. PEMANTAUAN
Pemantauan dimaksudkan untuk mensinkronkan kembali keseluruhan proses kegiatan agar
sesuai dengan rencana yang ditetapkan dengan perbaikan segera agar dapat dicegah
kemungkinan adanya penyimpangan ataupun ketidaksesuaian yang berpotensi mengurangi
bahkan menimbulkan kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran. Pemantauan diarahkan guna
mengidentifikasijangkauan pelayanan, kualitas pengelolaan, permasalahan yang terjadi serta
dampak yang ditimbulkannya. Selain hal tersebut pemantauan juga dilakukan dalam rangka
memastikan target indikator yang ditetapkan berjalan sesuai dengan rencana dan melakukan
upaya dini jika ditemukan kendala dalam pelaksanaan kegiatan.
Sedangkan indikator yang digunakan dalam melakukan pemantauan adalah kegiatan dan
penugasan di setiap staf, subbag, seksi dan subdit secara berjenjang yang dilakukan melalui
kegiatan di lapangan dan atau pertemuan.
B. PENILAIAN
Penilaian rencana aksi kegiatan bertujuan untuk menilai keberhasilan penyelenggaraan aspek
dukungan terhadap program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik
di Indonesia.
Penilaian dimaksudkan untuk memberikan bobot atau nilai terhadap hasil yang dicapai dalam
keseluruhan pentahapan kegiatan, untuk proses pengambilan keputusan apakah suatu program
atau kegiatan diteruskan, dikurangi, dikembangkan atau diperkuat. Penilaian diarahkan guna
mengkaji efektifiktas dan efisensi pengelolaan program.
Penilaian kinerja kegiatan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan
Zoonotikdilaksanakan berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan dalam pencapaian
sasaran.
C. PELAPORAN
Pelaporan sebagai bentuk informasi dan bentuk penyajian fakta tentang suatu keadaan atau suatu
kegiatan. Fakta yang disajikan merupakan bahan atau keterangan untuk informasi yang
dibutuhkan, berdasarkan keadaan sebenarnya atas suatu kegiatan atau pekerjaan. Kegiatan ini
pelaporan dilakukan dalam bentuk laporanan bulanan sampai dengan laporan tahunan.
85
BAB VI
P E N U T U P
Rencana Aksi Kegiatan (RAK) Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular
Vektor dan Zoonotik Tahun 2020-2024 ini disusun untuk menjadi acuan dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian upaya Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor
dan Zoonotik dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Sehingga Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik mempunyai target kinerja yang telah disusun
dan akan dievaluasi pada pertengahan periode (2022) dan akhir periode 5 tahun (2024) sesuai
ketentuan yang berlaku.
Penyusunan dokumen ini melibatkan semua komponen di Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Oleh karena itu kepada semua pihak yang telah
berkontribusi disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Harapan kami melalui penyusunan Rencana Aksi Kegiatan (RAK) Direktorat Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, upaya dukungan manajemen memberikan
kontribusi yang bermakna dalam Pencegahan dan Pengendalian Penyakit khususnya dan
umumnya pembangunan kesehatan untuk menurunkan angka kematian, kesakitan dan kecacatan
akibat penyakit serta pencapaian sasaran program berdasarkan komitmen nasional dan
internasional.
Apabila di kemudian hari diperlukan adanya perubahan pada dokumen ini, maka akan
dilakukan penyempurnaan sebagaimana mestinya.
86
PENANGGUNGJAWAB KEGIATAN
NO SASARAN
KEGIATAN NO
INDIKATOR KINERJA
PENANGGUNG JAWAB
1 2 3 4 5 6 1 Meningkatnya
pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor dan zoonotik
1 Jumlah kabupaten/kota yang mencapai API < 1/1.000 penduduk
Kepala Sub Direktorat Malaria
Kasie Pencegahan Malaria Kasie Pengendalian Malaria
2 Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1%
Kepala Subdit Filariasis dan Kecacingan
Kasie Filariasis
3 Jumlah kabupaten/kota yang memiliki ≥20% puskesmas rujukan Rabies Center (RC)
Kepala Sub Direktorat Zoonosis
Kasie Pencegahan Zoonosis Kasie Pengendalian Zoonosis
4 Persentase kabupaten/kota yang mempunyai IR DBD ≤ 49 per 100.000 penduduk
Kepala Sub Direktorat Arbovirosis
Kasie Pencegahan Arbovirosis Kasie Pengendalian Arbovirosis
5 Jumlah kabupaten/kota yang memiliki 25% puskesmas yang melaksanakan surveilans vektor
Kepala Sub Direktorat PengendalianVektor dan Binatang Pembawa Penyakit
Kasie Vektor Kasie Binatang Pembawa Penyakit
6 Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi
Kepala Subdit Filariasis dan Kecacingan
Kasie Kecacingan
2 Meningkatnya tata kelola manajemen
1 Nilai Kinerja Anggaran
Kepala Sub Direktorat Malaria Kepala subdit Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit Kepala Sub
Kepala Sub Bag Tata Usaha
2 Nilai Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran
87
3 Kinerja implementasi WBK satker
Direktorat Zoonosis Kepala Sub Direktorat Arbovirosis Kepala Subdit Filariasis dan Kecacingan
4 Persentase Peningkatan kapasitas ASN sebanyak 20 JPL
88
MATRIKS RENCANA AKSI KEGIATAN
TAHUN 2020 – 2024
NO INDIKATOR DEFINISI
OPERASIONAL (DO)
CARA PERHITUNG
AN
TARGET
2020 2021 2022 202
3 202
4 1 Jumlah
kabupaten/kota yang mencapai API < 1/1.000 penduduk
Jumlah Kabupaten/ kota dengan angka insidens malaria < 1 per 1000 penduduk
Jumlah Kumulatif kab/ Kota dengan API<1 per 1000 penduduk. Perhitungan API = Jumlah kasus dibagi Jumlah Penduduk dikali 1000
466 475 484 495 500
2 Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1%
Jumlah Kab/kota endemis yang telah melaksanakan POPM filariasis selama minimal 5 tahun dan berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1%
Kumulatif jumlah Kab/kota endemis yang telah melaksanakan POPM filariasis selama minimal 5 tahun dan berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1%
136 190 207 220 236
3 Jumlah kabupaten/kota yang memiliki ≥20% puskesmas rujukan Rabies Center (RC)
Capaian Kinerja pemerintah daerah kab/kota yang memiliki minimal 20% puskesmas yang berfungsi sebagai rabies center dalam kurun waktu satu tahun
kumulatif jumlah kab/kota yang memiliki minimal 20% puskesmas yang berfungsi sebagai rabies center
55 73 110 147 184
4 Persentase kabupaten/kota yang mempunyai IR DBD ≤ 49 per
kabupaten/kota yang mempunyai insidens rate (IR) DBD kurang dari atau sama dengan 49 per 100.000
jumlah kab/kota yang mempunyai IR DBD < 49 per 100.000
70 75 80 85 90
89
100.000 penduduk
penduduk dalam kurun waktu satu tahun
dalam kurun waktu 1 tahun dibagi jumlah kab/kota di Indonesia dikalikan 100 %
5 Jumlah kabupaten/kota yang memiliki 25% puskesmas yang melaksanakan surveilans vektor
Jumlah Kab/ Kota yang memiliki 25% Puskesmas yang melaksanakan surveilans nyamuk Aedes dan/ atau nyamuk Anopheles secara rutin setiap bulan sekali yang diinput melalui aplikasi Silantor
Kumulatif jumlah Kab/ Kota yang memiliki 25% Puskesmas yang melaksanakan surveilans nyamuk Aedes dan/ atau nyamuk Anopheles secara rutin setiap bulan sekali berdasarkan data yang ada di- aplikasi Silantor
40 80 120 160 200
6 Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi
Jumlah desa endemis schistosomiasis yang berhasil menurunkan prevalensi pada manusia menjadi 0%
Kumulatif jumlah desa endemi schistosomiasis yang berhasil menurunkan prevalensi pada manusia menjadi 0%
11 15 19 24 28
7 Nilai kinerja anggaran
Capaian keluaran kegiatan diukur dari realisasi Volume Keluaran (RVK) dan realisasi volume keluaran kegiatan (RIKK) dengan menggunakan formula rata geometrik
Realisasi volume kegiatan / target volume kegiatan x realisasi indikator kegiatan / target indikator kegiatan
80 83 85 88 90
90
8 Nilai Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggara
Kualitas kinerja pelaksanaan anggaran belanja Kementerian Negara/ Lembaga dari sisi kesesuaian terhadap perencanaan, efektivitas pelaksanaan anggaran, efisiensi pelaksanaan anggaran, dan kepatuhan terhadap regulasi
Perhitungan IKPA ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. Satker memperoleh nilai IKPA dari aplikasi e monev DJA
90 92 94 96 98
9 Kinerja implementasi WBK satker
Perolehan nilai implementasi menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) pada Satuan Kerja melalui penilaian mandiri (self Assesment) yang dilakukan oleh Satuan Kerja dengan menggunakan Lembar Kerja Evaluasi (LKE) Zona Integritas menuju WBK/WBBM yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang berlaku dan kemudian dilakukan evaluasi oleh Unit Pembina Sekretariat Direktorat Jenderal P2P.
Nilai implementasi WBK Satker dihitung dari akumulasi Nilai Total Pengungkit dan Nilai Total Hasil
70 73 75 77 80
10 Persentase Peningkatan kapasitas ASN sebanyak 20 JPL
Pengembangan kompetensi bagi ASN yang dilakukan paling sedikit 20 (dua
Jumlah ASN yang ditingkatkan kapasitas sebanyak 20
45 80 85 90 95
91
puluh) jam pelajaran dalam 1 (satu) tahun dan dapat dilakukan pada tingkat instansi dan nasional
JPL dibagi jumlah seluruh ASN dikali 100%