rencong telang.pdf (861.5kb)
TRANSCRIPT
1
BAB I
GAMBARAN UMUM KAWASAN
Sebelum masuk pada uraian yang bersifat khusus tentang berbagai aspek
masyarakat adat Rencong Telang terlebih dahulu akan digambarkan beberapa hal
yang bersifat umum dari masyarakat adat ini. Gambaran umum diperlukan agar
pembaca memiliki sudat pandang yang lebih lengkap sehingga bisa memahami
masyrakat adat ini secara lebih tepat. Untuk itu dalam bab pertama ini akan diuraikan
kondisi geografis, dinamika perekonomian, serta keyakinan dan praktek keagamaan
masyarakat adat Rencong Telang ini.
A. Geografis
Masyarakat adat Rencong Telang terletak di Alam Kerinci. Secara
geografis Kerinci berada di daerah pegunungan di tengah kepungan Bukit Barisan
Sumatera bagian tengah. Alam Kerinci terletak pada posisi antara 101°4’ dengan
101°55’ bujur timur dan antara 1°35’ dengan 2°25’ lintang selatan. Wilayah ini
merupakan wilayah yang dibatasi oleh alam yang pada masa lalu sulit dilintasi
manusia karena merupakan bagian dari kawasan yang permukaannya bergelombang,
berbukit, bergunung, terdiri dari dataran tinggi dan dataran rendah.1 Sebagai daerah
yang berada di sekitar khatulistiwa, secara umum kawasan ini ditumbuhi oleh rimba
raya yang sangat lebat dengan berbagai jenis hewan dan tumbuhan yang hidup di
dalamnya.
Secara historis Alam Kerinci meliputi wilayah di sepanjang daerah aliran
sungai (DAS) Batang Merangin. Ini dimulai dari bagian hulu di kaki Gunung
Kerinci sampai ke bagian muara di daerah Pamenang dan sekitar sungai Batang
Tembesi di Kabupaten Merangin. Di dalam kawasan ini terdapat banyak sungai. Pada
bagian timur sungai-sungai bermuara ke sungai Batanghari sebelum berakhir di Laut
Cina Selatan. Selain Batang Merangin pada bagian timur ini terdapat sungai Batang
Jujuhan, Batang Bungo, Batang Tebo, Batang Pelepat, Batang Senemat, Batang
Tantan, Batang Tabir, dan Batang Mesumai. Pada bagian barat sungai-sungai
bermuara di Samudera Hindia di pantai barat Sumatera. Sungai-sungai itu antara lain
Sungai Tenang, Sungai Pekan, Sungai Menjuto, Sungai Riang, Sungai Dikit, Sungai
Selegan, Air Ipuh, dan Air Sebelat.2
Kondisi georafis demikian menyebabkan Alam Kerinci dikelompokkan
ke dalam dua bagian wilayah: Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah. Kerinci
Tinggi adalah kawasan yang berada pada pegunungan Bukit Barisan bagian barat.
Sungai-sungai yang berada di kawasan ini berarus deras, berriam, berair terjun
(bertelun), berbatu, dan berpermukaan sempit. Kerinci Rendah merupakan wilayah
yang berada pada Bukit Barisan bagian timur. Wilayah ini lebih rendah dari pada
wilayah barat. Topografi kawasan ini berbukit-bukit dimana sungai-sungai mengalir
dengan arus yang tenang, tidak berbatu, berpermukaan lebar, sehingga dapat dilayari
kapal-kapal kecil.3
1 Mursal Esten (ed.), Struktur Sastra Lisan Kerinci, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal.
8-9. 2 Idris Djakfar dan Indra Idris, Menguak Tabir Prasejarah di Alam Kerinci, Sungai Penuh:
Pemerintah Kabupaten Kerinci, 2001, hal. 13-14. 3 Idris Jakfar dan Indra Idris, op.cit., hal. 14, 17.
2
Secara adminsitratif Kerinci kini berada di tengah-tengah tiga propinsi:
Jambi, Sumatera Barat, dan Bengkulu. Kerinci kini merupakan bagian dari
Propinsi Jambi yang berada pada bagian paling barat. Pada bagian timur Kerinci
berbatasan dengan Kabupaten Bungo dan Kabupaten Merangin (Propinisi Jambi).
Pada bagian selatan Kerinci berbatasan dengan Kabupaten Merangin (Propinsi
Jambi). Pada bagian barat Kerinci berbatasan dengan Kabupaten Muko Muko
(propinsi Bengkulu) dan Kabupaten Pesisir Selatan (Propinsi Sumatera Barat).
sedangkan pada bagian utara Kerinci berbatasan dengan Kabupaten Solok Selatan
(Propinsi Sumatera Barat).
Di dalam Kabupaten Kerinci, masyarakat adat Rencong Telang berpusat
di Pulau Sangkar sebuah dusun yang berada di kawasan Kerinci bagian Hilir.4
Secara administrasi pemerintahan kawasan Kerinci Hilir pada masa awal berdirinya
Kabupaten Kerinci (1959) merupakan salah satu dari tiga kecamatan. Dua Kecamatan
lainnya adalah Kerinci Tengah dan Kerinci Hulu. Kini Kerinci telah berkembang
menjadi beberapa kecamatan dan puluhan desa.5 Kecamatan yang termasuk dalam
kawasan Kerinci Hilir kini adalah: Kecamatan Gunung Raya, Kecamatan Batang
Merangin, dan Kecamatan Bukit Kerman. Dusun Pulau Sangkar sendiri dulu
tergabung ke dalam Kecamatan Gunung Raya. Kini dusun ini telah berkembang
menjadi empat Desa: Desa Baru dan Desa Seberang Merangin yang masuk ke dalam
Kecamatan Batang Merangin serta Desa Pulang Sangkar dan Desa Pondok yang kini
bergabung ke dalam Kecamatan Bukit Kerman.
Secara historis sebagai sebuah kawasan masyarakat adat Rencong Telang
meliputi wilayah yang luas. Jika dilihat secara geografis dan administrasi
pemerintahan kini kawasan Rencong Telang meliputi tiga kabupaten dan dua propinsi.
Bagian timur-utara kawasan masyarakat ini berada di Kecamatan Batang Merangin
(Kabupaten Kerinci). Bagian selatan kawasan ini berada di Kecamatan Gunung Raya
(Kabupaten Kerinci), Kecamatan Tanjung Kaseri, dan Kecamatan Jangkat
(Kabupaten Merangin). Bagian utara kawasan ini kini menjadi bagian dari Kecamatan
Keliling Danau (Kabupaten Kerinci). Sedangkan bagian barat kawasan ini berada
dalam Kecamatan Gunung Raya (Kabupaten Kerinci) dan Kabupaten Muko-Muko
Propinsi Bengkulu bagian utara.
Meskipun secara historis sangat luas, meliputi tiga kabupaten dan dua
propinsi, kini kawasan yang berada dalam penguasaan Depati Rencong Telang telah
menyusut sedemikian rupa. Sebagian kawasan yang dikenal dengan Lekuk 50 Tumbi
dulunya merupakan tempat migrasi orang Pulau Sangkar sehingga memiliki ikatan
adat yang kuat dengan Depati Rencong Telang, kini sudah berkembang pesat
sehingga menjadi kawasan adat yang makin otonom. Pada sisi lain, sejak
diresmikannya Taman Nasional kerinci Sebelat (TNKS) sebagian besar tanah ulayat
Rencong Telang menjadi bagian dari TNKS. Sehingga semakin sulit disentuh oleh
otoritas adat Rencong Telang. Dengan demikian secara praktis tanah ulayat Rencong
Telang kini hanya meliputi kawasan empat desa yang merupakan pemekaran dari
dusun Pulau Sangkar yaitu Desa Pulau Sangkar, Desa Baru, Desa Seberang Merangin,
dan Desa Pondok.
4 Dusun adalah satuan pemerintahan paling bawah di Kerinci sebelum dirobah menjadi desa
menurut UU Desa 1979. Gabungan dari beberapa dusun disebut kemendapoan dan gabungan dari
beberapa kemendapoan adalah kecamatan. Kini dusun di Kerinci sudah berubah nama menjadi desa
dan kemendapoan tidak lagi digunakan. 5 Tentang sejarah terbentukan Kabupaten Kerinci antara lain lihat Gusti Asnan, 2007.
Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal.
237-238.
3
Sebagaimana Alam Kerinci pada umumnya, kawasan masyarakat adat
Rencong Telang berada pada dataran tinggi yang sangat indah. Terdapat dua
sungai utama yang mengalir di tengah-tengah kawasan yaitu Batang Merangin dan
Air Lingkat. Batang Merangin merupakan sungai yang mengalirkan air Danau Kerinci
menuju sungai Batang Tembesi sebelum masuk ke sungai Batang Hari. Air Lingkat
adalah sungai yang mengalirkan air Danau Lingkat dari kawasan Lempur menuju
muaranya di Sungai Batang Merangin yang berada di tengah dusun Pulau Sangkar. Di
tengah dataran tinggi yang dialiri dua sungai utama dan dikelilingi puluhan bukit dan
gunung itulah masyarakat adat Rencong Telang menjalani dinamikanya hingga
sekarang.
Meskipun berada di pegunungan sejak dulu kawasan ini merupakan daerah
yang terbuka. Terdapat beberapa jalur perjalanan yang digunakan penduduk untuk
berhubungan dengan dunia luar. Lima jalur keluar-masuk kawasan adalah jalur
Lempur-TNKS, jalur Muak-Sungai Penuh, jalur Batang Merangin-Bangko, jalur
Tarutung-Air Liki, dan jalur Tarutung-Sungai Penuh. Tiga jalur (Muak-Sungai
Penuh, Batang Merangin-Bangko, Tarutung-Sungai Penuh) kini sudah menjadi jalan
raya dan jalur utama keluar masuk kawasan Kerinci pada umumnya. Dua jalur
lainnya (jalur Lempur-TNKS dan jalur Tarutung-Air Liki) karena masuk ke dalam
hutan larangan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) maka tidak bisa
dikembangkan menjadi jalan raya sehingga masih tetap seperti semula sebagai jalan
setapak yang melewati rimba raya.6
Kondisi georafis di persimpangan antar daerah membuat Kerinci
memiliki keunikan secara budaya maupun bahasa. Secara umum Kerinci
merupakan negeri Melayu yang dalam kategorisasi Melayu Tua dan Melayu Muda,
dimasukkan ke dalam kawasan melayu Tua.7 Bagi orang Jambi Kerinci sering dilihat
sebagai bagian dari Jambi dan bagi orang Minangkabau Kerinci merupakan bagian
dari negeri mereka yang dikelompokkan ke dalam Minang Rantau.8 Secara kultural
budaya Kerinci memang kaya karena mengandung unsur-unsur dari budaya Jambi,
Minangkabau, dan bahkan Jawa. Kerinci juga memiliki bahasa sendiri.
Sesungguhnya Bahasa kerinci adalah Bahasa Melayu. Hanya saja Bahasa Melayu
Kerinci ini memiliki dialek yang unik yang tidak mudah dipahami oleh orang dari luar
Kerinci. Bahkan di dalam negeri Kerinci sendiri, antar desa memiliki sub-dialek yang
berbeda. Sesama Orang Kerinci bisa mengenal asal desa teman bicara hanya dengan
mengenal sub-dialek bahasa Kerinci yang digunakan oleh sang teman.
B. Perekonomian
Masyarakat Rencong Telang sejak lama dikenal sebagai masyarakat
yang makmur. Hal ini disebabkan oleh kondisi alam yang subur. Meski dikepung
banyak bukit-gunung, di dalam kawasan ini terbentang dataran tinggi yang mengalir
sungai-sungai di tengahnya. Bagian lahan yang lebih rendah dan datar dijadikan
sawah oleh penduduk. Bagian lahan yang berada di lereng perbukitan menjadi lokasi
perladangan. Dengan demikian kawasan Rencong Telang memiliki lahan pertanian
maupun perkebunan yang subur dan luas. Sawah dan ladang yang menjadi sumber
kemakmuran penduduk ini telah dibangun oleh para perintis kawasan ini sejak masa
yang bisa diingat oleh sejarah lisan setempat.
6Lebih lanjut lihat Mahli Zainuddin Tago, Memperalat Agama Perubahan Rasionalitas
Tindakan Sosial, Yogyakarta: Samudera Biru, 2014, hal. 34-39. 7 Lihat Idris Jakfar dan Indra Idris, op.cit., hal. 41-42.
8 Lihat Mahli Zainuddin Tago, op.cit., hal. 1.
4
Pada zaman kolonial Belanda Kerinci pada umumnya dikenal sebagai
lumbung beras Sumatera bagian tengah. Dari semua kecamatan yang ada di
Kerinci pada masa itu Kecamatan Gunung Raya dimana sebagian besar wilayah
Rencong Telang berada di dalamnya merupakan kecamatan paling makmur.
Kebutuhan pokok penduduk tercukupi bahkan berlebih dari hasil mengolah sawah.
Ladang yang luas yang memasuki era 1920-an didukung oleh tanaman keras berupa
karet alam dan kopi mendatangkan kemakmuran yang lama bagi penduduk setempat. 9
Pada masa itu terdapat beberapa tanda kemakmuran masyarakat
Rencong Telang. Pertama, luasnya kepemilikan tanah produktif baik berupa sawah
maupun ladang. Kedua, kepemilikan bilik (lumbung padi). Ini merupakan dampak
langsung dari sawah yang luas. Bilik adalah simbol surplus produksi. Masing-masing
keluarga memiliki satu bilik. Sebagai petani subsisten mereka tidak menjual hasil
panen yang melimpah. Sehingga setiap selesai panen mereka menumpuk padi di
dalam bilik. Sampai era 1980-an di Pulau Sangkar masih ada puluhan bilik yang
didirikan secara berkelompok di pinggir-pinggir pemukiman. Ketiga, gelar haji yang
dimiliki oleh hampir semua penduduk. Karena hasil panen padi selalu melebihi
kebutuhan konsumsi maka selalu ada surplus padi. Dengan demikian penghasilan
dari perkebunan yang luas menjadi sumber kemakmuran. Inilah yang menyebabkan
perjalanan ke Mekah yang mahal terasa ringan bagi masyarakat setempat pada masa
itu.
Perekonomian masyarakat Rencong Telang mengalami kemerosotan
pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) dan masa pergolakan PRRI sampai
Gestapu PKI (1957-1965). Pada era pendudukan Jepang masyarakat mengalami
kesulitan hidup terutama karena kuatnya penindasan yang dilakukan penjajah Jepang.
Meskipun demikian, dibanding dengan daerah lain wilayah ini masih relatif
beruntung. Sawah yang luas dan ladang yang subur menyebabkan masyarakat mampu
bertahan. Sehingga pada masa ini tercatat beberapa pendatang dari wilayah sekitar
masuk ke wilayah ini untuk sekedar bertahan hidup. Kemerosotan ekonomi pada
akhir 1950-an berlangsung seiring dengan menguatnya pergolakan politik yaitu PRRI
yang melibatkan banyak warga Rencong Telang. Di luar masa pendudukan Jepang
dan pergolakan PRRI sampai Gestapu PKI perekonomian masyarakat Rencong
Telang berada dalam kondisi yang baik.
Setelah Gestapu PKI, pada peralihan era 1960-an menuju 1970-an
kemakmuran masyarakat Rencong Telang sudah pulih sepenuhnya. Ini terjadi
karena mahalnya harga komoditas andalan yaitu kopi, karet, dan terutama kulit
manis. Kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi dengan bersawah dan berladang.
Surplus dari perladangan membuat masyarakat memiliki dana lebih. Maka
pembangunan rumah mulai berjalan kembali. Hanya dengan menanam cabe saja
orang bisa membuat rumah, apalagi dengan memiliki ladang kopi. Sehingga pada
masa ini rumah-rumah penduduk semuanya bagus-bagus. Pada sisi lain anak-anak
muda umumnya memiliki sepeda motor dan para ibu memiliki ringgit emas. Setiap
tahun paling sedikit 20 orang Pulau Sangkar berangkat ke Mekah. Puncak
kemakmuran terlihat pada tahun 1987. Pada tahun ini 47 orang dari satu dusun Pulau
Sangkar ini berangkat bersama-sama menunaikan ibadah haji ke Mekah.
9 Lihat Watson , C. W., Kinship, Property and Inheritance in Kerinci, Central Sumatra.
Lihat juga Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Yogyakarta: Ombak, 2007, hal. 8.
Uraian tentang dinamika perekonomian masyarakat Rencong Telang selanjutnya disarikan dari
Mahli Zainuddin Tago, op.cit., hal. 91-119.
5
Maka bisa dimaklumi bahwa saat itu Pulau Sangkar menjadi pusat
perekonomian kawasan. Hal ini antara lain dari balai (pasar mingguan) Pulau Sangkar
sangat ramai. Balai yang berlangsung pada hari Jumat itu dipenuhi oleh para
pedagang dan penduduk setempat dan sekitarnya. Kondisi ini berlangsung sampai era
1980-an. Penghasilan bersih rata-rata per bulan orang Rencong Telang pada era 1970-
an itu setara dengan 10 ringgit atau 25 gram emas.
Pada peralihan era 1960-an menuju 1970-an ini perekonomian orang
Rencong Telang pulih sepenuhnya. Ini terjadi karena mahalnya harga komoditas
andalan masya-rakat yaitu, kopi, karet, dan terutama kulit manis. Kulit manis (latin:
casiavera) adalah pohon yang memiliki masa panen pada interval umur 5-20 tahun.
Makin tua makin besar nilai ekonominya. Pada usia ideal (10 tahun) 1 batang kulit
manis menghasilkan sekitar 20 kg kulit manis basah. Seorang penggarap tanpa kuli
tambahan bisa mengerjakan sendiri kebun kulit manisnya maksimal 1 ha yang
biasanya berisi sekitar 500 batang kulit manis umur 10 tahun. Kalau panen dilakukan
10 tahun sekali maka seorang petani bisa memperoleh 10 ton (500 btg X 20 kg ) kg
kulit manis basah yang setara dengan 5 ton kg kulit manis kering. Kalau itu dikonversi
ke dalam pendapatan bulanan maka seorang petani bisa memperoleh (5.000 kg/120
bulan) = 41,7 kg kulit manis kering per bulannya. Harga kulit manis pada 1978 adalah
3.000,-/kg. Artinya pada masa itu petani kulit manis memperoleh pendapatan
125.000/bulan.
Pendapatan ini terasa sangat tinggi bila harga emas dijadikan sebagai
ukuran. Pada era 1970-an itu harga emas 24 karat adalah Rp. 5.000,- per gram. Ini
berarti pendapatan penduduk Pulau Sangkar saat itu setara dengan 25 gr (125.000 :
5.000,-) emas . Bila diukur dengan nilai emas sekarang maka itu setara dengan (25 x
500.000,-) Rp. 12.500.000,- per bulan. Pendapatan ini menjadi faktor kemakmuran
karena itu merupakan penghasilan bersih. Orang Pulau Sangkar tidak membeli
padi/beras. Seluruh warga pada era ini memiliki sawah yang dikerjakan sendiri. Padi
hasil panen kemudian disimpan di dalam bilik (lumbung padi) yang menjamin
keamanan cadangan makanan pokok selama satu tahun. Sementara lauk pauk pada
umumnya tercukupi oleh: tanaman muda yang ditanam untuk memenuhi kebutuhan
sendiri di sekitar sawah/kebun, mencari ikan secara sporadis di sungai yang mengalir
di tengah desa, dan kebiasaan orang Kerinci Hilir yang memiliki kandang ayam di
bawah dapur rumah mereka.
Sejak era 1960-an masyarakat Rencong Telang dan Kerinci pada
umumnya memang dimakmurkan oleh komoditas andalan kulit manis. Meskipun karet dan kopi yang sudah ada sebelumnya masih bertahan, kulit manis
telah mendominasi ladang-ladang di seluruh Kerinci. Hampir semua orang Kerinci
menanam kulit manis di ladang-ladang mereka yang terletak di lereng-lereng Bukit
Barisan disana. Oleh karena itu naik turunnya nilai tukar komoditas andalan ini
langsung berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan mereka. Toko-toko di pasar
ibukota Kabupaten Kerinci yaitu Sungai Penuh menjadi bergairah ketika nilai tukar
kulit manis naik. Sebaliknya toko-toko di Sungai Penuh bahkan seluruh Kerinci
termasuk di Pulau Sangkar meredup bila nilai tukar kulit manis jatuh.
Bersamaan dengan melemahnya nilai tukar kulit manis ekonomi
masyarakat Rencong Telang mulai meredup pada era 1990-an. Harga kulit manis
sebenarnya tidak banyak berbeda dengan era sebelumnya. Satu kg kulit manis yang
bagus masih berharga sampai lima ribu rupiah. Tetapi harga barang yang harus dibeli
masyarakat telah melambung tinggi. Sebagai ilustrasi, pada era 1970-an dengan satu
kilo kulit manis bisa diperoleh satu slop rokok Gudang Garam Surya. Pada era 1990-
an satu kilo kulit manis hanya bisa untuk membeli setengah bungkus rokok yang
6
sama. Puncak dari lemahnya nilai tukar kulit manis adalah ketika harga balok
kayunya lebih mahal dari harga kulit manis itu sendiri. Akibatnya banyak kulit manis
ditebang sekedar untuk diambil balok kayunya. Meskipun demikian orang Rencong
Telang masih terbantu oleh kopi yang harganya masih bertahan. Perekonomian
mereka betul-betul meredup ketika harga kopi juga melemah.
Pada sisi lain kondisi perekonomian masyarakat Rencong Telang
semakin berat karena hasil panen tidak lagi mencukupi kebutuhan pokok
penduduk. Luas sawah yang ada relatif sama sama dengan era 1970-an. Jumlah
warga yang semakin meningkat menyebabkan berkurangnya luasan persawahan
karena beralih menjadi kawasan pemukiman. Sawah baru sulit dibuat karena
topografi kawasan ini didominasi lereng-lereng perbukitan-pegunungan. Sehingga
saat itu tidak banyak lagi ditemukan surplus panen padi. Maka lumbung padi (bilik)
perlahan menghilang. Kondisi perekonomian ini diperparah oleh berkembangnya
berbagai bentuk kebutuhan baru yang muncul seiring dengan perkembangan zaman.
Menurunnya perekonomian kini dirasakan langsung dampaknya oleh
masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Jumlah jamaah haji menurun,
pertumbuhan rumah yang dibangun melambat, para pendatang yang pada era-era
sebelumnya membanjiri wilayah Rencong Telang meninggalkan kawasan ini. Bahkan
penduduk asli banyak yang pindah ke luar kawasan. Mereka merantau antara lain ke
Batam, Malaysia, Jambi, dan Jakarta. Dulu ngupan (menjadi buruh) tidak
terbayangkan akan dikerjakan oleh orang Rencong Telang. Kini banyak dari mereka
menjadi anak upan (buruh) di berbagai lokasi perantauan mereka.
Pada era 2000-an, perekonomian masyarakat Rencong Telang mulai
kembali menggeliat karena masyarakat mulai beralih ke komoditas baru. Mereka tidak lagi mengandalkan kulit manis dan mulai mengembangkan tanaman
muda seperti cabe rawit, terong ketupat, terong hitam, pare, gambas, dan tomat,
yang harganya saat itu tinggi. Pada era sebelumnya masyarakat hanya mengenal
toke kulit manis dan kopi. Kini masyarakat mulai akrab dengan pedagang terong.
Para pedagang ini membawa terong dan hasil tanaman muda lainnya ke wilayah yang
jauh dari kawasan Rencong Telang. Seiring dengan bagusnya jalan dan sarana
transportasi para pedagang lokal ini membawa produk pertanian setempat ke
Bangko, Muaro Bungo, Kuamang Kuning, Rimbo Bujang, bahkan sampai ke kota
Jambi dan Jakarta. Di samping para pedagang muncul pula profesi baru yaitu
pengecer. Mereka umumnya adalah induk-induk yang menjual hasil pertanian mereka
sendiri dan terkadang ditambah dengan barang belian dari petani lainnya. Kini mudah
menemukan puluhan induk-induk dari Pulau Sangkar menjadi pengecer sayuran di
Sungai Penuh. Sebagian dari mereka bahkan sampai ke pasar Rantau Panjang, pasar
Bangko, dan pasar Muaro Bungo.
C. Keberagamaan
Seluruh warga Rencong Telang adalah pemeluk agama Islam. Agama
ini sudah masuk dalam waktu yang lama di negeri Melayu ini. Ada beberapa pendapat
tentang hal ini. Sebagian meyakini bahwa agama ini sudah masuk ke Kerinci sejak
abad ke-13 M.10
Sebagian meyakini Islam masuk setelah itu. Meskipun demikian
setidak-tidaknya Islam sudah masuk di Kerinci pada dekade terakhir abad ke-19. Para
pendatang muslim ini selanjutnya melakukan dakwah Islam dengan serius disana.
10
Lihat Idris Jakfar dan Indra Idris, op.cit., 2001, hal. 49.
7
Pengislaman berlangsung pesat pada akhir abad ke-19. Pada 1891, seluruh wilayah
Kerinci sudah menjadi muslim.11
Warga Rencong Telang sendiri meyakini Islam masuk pertama kali ke
negeri mereka dibawa oleh beberapa tokoh. Pertama, Hangtuao Maligei, putra
daerah yang memiliki nama lain Tuanku Nan Bagonjong. Dia diyakini membawa
Islam masuk dari Minangkabau. Kedua, Hangtuao Lubuk Camtaeh yang berasal dari
Muko-muko dan membawa Islam masuk dari tepi laut melalui Sungai Ipuh. Ketiga,
Hangtuao Palanao Pekak. Tetapi mereka mengalami penolakan karena berbagai
tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran Islam sudah berurat berakar di tengah
masyarakat setempat. Mereka lalu menetap di luar desa. Hangtuao Maligei di Sungai
Pagar. Hangtuao Lubuk Camtaeh setelah suraunya dibakar menyeberang Batang
Merangin, pindah ke dekat Muan. Sementara itu Hangtuao Palanao Pekak menyingkir
ke Sungai Bulan, juga di seberang Batang Merangin.12
Islam yang pertama kali masuk ke dalam masyarakat Rencong Telang
sangat bernuansa sinkretis. Ini sama dengan Islam yang masuk ke berbagai wilayah
Nusantara lainnya, Hal itu antara lain bisa dilihat dari berbagai naskah Melayu dan
Jawa kuno.13
Islam yang demikian tidak menghilangkan semua kepercayaan
tradisional. Terjadi koeksistensi yang kemudian melahirkan berbagai kepercayaan
dan amalan sinkretis yang merupakan campuran unsur pribumi, India dan Arab.
Bahkan di beberapa daerah ada cabang tarekat yang menyerap sedemikian banyak
kepercayaan dan amalan mistik setempat, sehingga hampir tidak bisa dikenali lagi
aspek tarekatnya.14
Di negeri-negeri Melayu dua kepercayaan tradisional yaitu
‘hantu’ dan ‘penunggu’, misalnya, sampai saat ini masih hidup di tengah masyarakat
muslim setempat.15
Bentuk-bentuk amalan sinkretis lainnya adalah memuliakan
kuburan orang suci, melakukan kenduri sebagai persembahan, dan memakai azimat
untuk hindari nasib buruk.16
Dalam masyarakat Rencong Telang Islam Sinkretis mengambil berbagai
bentuk kepercayan dan amalan. Ini terutama terlihat pada berbagai keyakinan dan
praktek para dukun sebagai tokoh Islam Sinkretis. Berbagai kepercayaan itu
umumnya bersifat animistik-dinamistik, berkaitan dengan makhluk halus, berkaitan
dengan arwah nenek moyang, dan berkaitan dengan hewan yang mempunyai kekuatan
gaib. Ada juga yang bersifat panteistik dan beberapa kepercayaan lokal lainnya.
Selanjutnya ada berbagai bentuk praktek sinkretistik seperti pengobatan, penglaris,
pengasihan, ilmu silat, sampai ilmu kebal. Para praktisi Islam Sinrektis juga memiliki
cara yang berbeda dalam memperoleh ilmu-ilmu mereka. Selanjutnya terdapat
berbagai teknik yang mereka gunakan dalam menggarap para pasien/klien. Mereka
melayani pasien/klien antara lain lain dengan bimbingan sesuatu yang gaib, menawar
11 Lihat Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan,
1992, hal. 128. 12
Lihat Mahli Zainuddin Tago, op.cit., hal. 120.
13 Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yogyakarta: Bentang,
1995, hal, 14-15. 14
Lihat Martin van Bruinessen, op.cit., hal. 109 dan hal. 218.
15 Lihat Ahmad Ibrahim , Reading on Islam in Southeast Asia, Singapore: Institute of South
East Asia Studies-ISEAS, 1985, hal. 295.
16 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1988.
8
benda-benda tertentu, atau menggunakan ramuan yang berasal dari berbagai
tumbuhan setempat.17
Dominasi Islam sinkretis ini nampak sekali dalam Blek Sekao
(perhelatan pusaka). Ini merupakan puncak tradisi masyarakat Rencong Telang.
Blek Sekao terakhir berlangsung pada tahun 1936. Mereka bejemboa (memberikan
sesaji) di rumah tokoh masyarakat. Ada jemboa tujuh, jemboa sembilan, jemboa
sebelas, jemboa tiga belas. Sesaji utama dihamparkan di Rumah Gedang selama
beberapa hari berbentuk kepala kerbau. Sesaji itu dilakukan untuk memanggil roh-
roh nenek moyang. Kalau ada anak-anak berjalan di depan sesaji maka berteriaklah
sang dukun memarahi mereka. Mereka percaya bahwa berjalan di depan jemboa bisa
menyebabkan penyakit.18
Pada akhir era 1930-an anak-anak muda Rencong Telang mulai
menimba ilmu ke Padang Panjang dan sekitarnya. Pada masa itu kawasan ini
merupakan pusat pendidikan agama di Indonesia. Padang Panjang saja didatangi oleh
sekitar 1.300 siswa.19
Sekolah yang mereka tuju umumnya adalah Perguruan
Sumatera Thawalib yang sedang naik daun pada masa itu. Generasi pertama Rencong
Telang diperkirakan memasuki kawasan ini pada akhir 1920-an. Kecenderungan ini
dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya dengan jumlah yang lebih besar, dan
meliputi laki-laki maupun perempuan. Faktor pendorong utama dari fenomena ini
adalah keterbukaan pemikiran tokoh-tokoh masyarakat Rencong Telang terhadap
berbagai kemajuan zaman dan bagusnya kondisi perekonomian pada era itu.20
Di Padang Panjang dan sekitarnya anak-anak muda Rencong Telang
menimba ilmu pengetahuan keagamaan dari kaum pembaharu. Ironisnya ilmu
yang mereka dapatkan dalam banyak hal bertentangan dengan apa yang orang tua
mereka yakini dan amalkan di kampung halaman. Setelah pulang kampung para
alumni Padang Panjang dan sekitarnya itu mengembangkan faham dan praktek
keagamaan baru. Untuk itu mereka rajin bertabligh dan mendirikan lembaga
pendidikan berupa sekolah. Sekolah yang didirikan adalah sekolah Muhammadiyah
dan diberi nama Ma’had Irsyaadunnaas.21
Anak-anak muda alumni Padang Panjang dan sekitarnya ini sangat
dominan dalam perkembangan masyarakat Rencong Telang. Ini terjadi antara
lain karena: pertama, mereka orang terhormat. Orang tua mereka adalah para dukun
besar yang sangat dihormati pada masa itu. Kedua, mereka orang cerdas. Dalam strata
masyarakat Rencong Telang masa itu mereka merupakan peraih pendidikan tertinggi.
Ketiga, umumnya mereka adalah anak orang kaya. Orang tua mereka berada pada
level paling atas dalam status sosial ekonomi mayarakat Rencong Telang. Keempat,
mereka pemberani. Sebagaimana orang-orang Rencong Telang yang merantau pada
masa itu mereka pada umumnya belajar ilmu bela diri.22
Maka di samping mengembangkan faham dan praktek keagamana baru,
para alumni Padang Panjang dan sekitarnya ini juga menjadi tokoh
masyarakat. Salah satu di antara mereka di samping dikenal sebagai buya, orator
ulung, juga dikenal sebagai aktivis partai Masyumi yang disegani di tingkat
17
Mahli Zainuddin Tago, op.cit., hal. 236. 18
Wawancara dengan Hidayat Chatib di kota Jambi, 22-03-2009.
19 Lihat Deliar Noer, op.cit., hal. 61. Lihat juga Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan
Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995. 20
Wawancara dengan Siti Ruma di Pulau Sangkar, 18-03-2009. 21
Wawancara dengan Akmal Abbas, di Kota Jambi, 24-03-2009. 22
Wawancara dengan Hidayat Chatib di kota Jambi, 22-03-1009.
9
Kabupaten Kerinci dan sekitarnya. Alumni lainnya menjadi Kepala Dusun Pulau
Sangkar. Selanjutnya ada juga alumni yang menjadi buya sekaligus tokoh adat. Dia
lama menjabat sebagai Depati Tago sekaligus Depati Rencong Telang, gelar adat
tertinggi di masyarakat adat ini.
Pada akhirnya usaha generasi demi generasi anak-anak muda Rencong
Telang sejak era 1930-an berhasil menanamkan pengaruh Islam Syariat yang
sangat kuat dan lama dalam kehidupan keagamaan di masyarakat Rencong
Telang. Maka seiring dengan berkembangnya gerakan pembaharuan Islam pada awal
abad ke-20 di Sumatera Barat, Islam Syariat juga berhasil menanamkan pengaruh di
Kerinci. Dalam konteks pembaharuan Islam pada masa itu, Kerinci memang menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika Islam di Sumatera Barat. Pada 1928,
misalnya, Buya Hamka sudah masuk ke Kerinci. Pada saat itu terjadi gerakan
penolakan terhadap rencana penjajah kolonial Belanda yang ingin menerapkan
Ordonansi Guru di Minangkabau. Para ulama melakukan rapat akbar di Padang
Panjang. Sebelum rapat akbar dilakukan Hamka sebagai anak muda dikirim menjadi
utusan menuju Kerinci untuk menyampaikan maksud itu ke para tokoh agama di
Kerinci. Sehingga di antara 2.000-an hadirin pada rapat akbar menentang Ordonansi
Guru pada 1928 itu sebagian berasal dari Kerinci.23
Dengan demikian sejak dekade 1930-an Islam Syariat menjadi arus
utama dalam paham dan amalan keagamaan di Kerinci pada umumnya dan
masyarakat Rencong Telang pada khususnya. Sejak itu dalam masyarakat
Rencong Telang berbagai kepercayaan dan praktek keagamaan animistik mulai
berkurang dan digantikan oleh kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan yang
sesuai dengan syariat Islam. Orang yang memuja berbagai tempat yang dianggap
keramat mulai menghilang. Peran para dukun dan praktek-praktek Islam Sinkretis
yang dominan pada dekade 1920-an dan sebelumnya mulai digantikan oleh para tokoh
dan praktek-praktek Islam Syariat.
Kuatnya dominasi para alumni Padang Panjang dan sekitarnya ini
berujung pada berhentinya blek sekao (perhelatan/kenduri pusaka). Sebagai
sebuah perhelatan adat Blek sekao dipenuhi dengan berbagai kepercayaan dan amalan
sinkretis. Perhelatan ini sudah menjadi tradisi kuat sejak ratusan tahun sebelumnya.
Blek sekao terakhir adalah pada 1936. Ini berarti dua tahun setelah kepulangan anak-
anak muda alumni Padang Panjang dan sekitarnya ke kampung halaman mereka.
Sampai kini tradisi lama yang syarat dengan praktek sinkretisme itu tidak pernah lagi
muncul ke permukaan pada masyarakat Rencong Telang.
Selanjutnya, beriringan dengan marginalisasi Islam Sinkretis, muncul
pengelompokan dalam bentuk baru antar kelompok di dalam Islam Syariat itu
sendiri yaitu antara kelompok Muhammadiyah dan kelompok Perti. Pengelompokan ini lebih merupakan sebuah perbedaan dalam pemahaman keagamaan
daripada sebuah perselisihan. Orang Rencong Telang sendiri menyebut
pengelompokan itu sebagai aliran kuno dan aliran modern. Istilah lain untuk
pengelompokan ini adalah Kaum Tua dan Kaum Muda. Mereka memiliki surau
sebagai pusat aktifitas yang berbeda. Tetapi meski surau berbeda, masjid orang
Rencong Telang pada masa itu tetap satu yaitu Masjid Dusun. Perbedaan faham
keagamaan diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan konflik. Dominasi
23Hamka, Ayahku, Jakarta: Umminda., 1982, hal. 168.
10
Islam Syariat dengan varian Muhammadiyah dan Perti di Komuntas Rencong Telang
berlangsung sampai era 1980-an.24
Memasuki era 1990a-an terjadi krisis jumlah tokoh Islam Syariat pada
masyarakat Rencong Telang. Saat itu generasi tua (alumni Thawalib angkatan
1930-an) banyak yang sudah meninggal dunia. Sedangkan generasi penerus yaitu
generasi 1950-an berlatar pendidikan sekolah umum. Mereka memperoleh
pengetahuan agama hanya dari membaca buku. Mereka itulah yang menuntun
kehidupan keagamaan masyarakat Rencong Telang pada era 1990-an. Demikian juga
halnya dengan generasi di bawah mereka yang belakangan menjadi aktifis masjid.
Mereka berani naik mimbar berkhutbah atau berceramah hanya dengan membaca
buku. Sehingga mereka dikenal dengan buya teksbook yaitu buya yang berani
berkhutbah dengan membaca buku-buku teks khutbah. Maka begitu buya generasi
1930-an habis, Masyarakat Rencong Telang merasa tidak lagi memiliki banyak
“tukang pekik” yaitu buya yang berani berteriak lantang menyampaikan kebenaran
agama di tengah mereka.25
Krisis tokoh agama di masyarakat Rencong Telang pada era 1990-an
tergambar dari kisah seorang informan. Saat itu generasi alumni sekolah agama 1930-
an sudah habis dimakan usia. Sang informan adalah alumni sekolah menengah umum
tahun 1950-an dan dilanjutkan dengan kuliah di jurusan MIPA. Dia lalu meniti karir
sebagai guru IPA sampai akhirnya purna tugas sebagai pejabat di Kanwil Depdiknas
Jambi. Pada pertengahan 1990-an dia pulang kampung karena terpilih menjadi
Kepala Desa Pulau Sangkar. Sebagai pemimpin dia harus memberi contoh langsung
agar program-program desa bisa berjalan optimal. Untuk menggiatkan kehidupan
keagamaan, karena ketiadaan buya atau tokoh agama maka kadang-kadang dia harus
naik mimbar menjadi penceramah agama di masjid. Mengenang hal itu dia berujar,
”mana ada aku sekolah agama. Aljabar, ilmu bumi bisalah aku. Ketika ceramah ada
anak-anak yang mengejek, nanggut (kakek) itu mengajar sambil melihat buku. Mau
apa lagi. Aku memang melihat Qur’an dan Terjemahannya.”26
Menghilangnya para buya berdampak pada berbagai hal. Salah satunya
adalah menurunnya kualitas materi-materi /ceramah keagamaan. Pada era 1990-an ini
tidak ada ceramah atau khutbah yang membahas masalah-masalah sosial
kemasyarakatan yang aktual sebagaimana dilakukan oleh buya-buya generasi 1930-
an. Topik yang paling sering disampaikan buya yang ada umumnya terkait ibadah
praktis. Khususnya adalah perbaikan bacaan-bacaan dalam shalat, mulai dari kabiro
sampai tahiyat. Setiap malam sang buya membimbing mereka secara bergiliran. Ayat
yang dibaca ditunjuk oleh buya yaitu sabbihis. Bacaan shalat itupun tidak dibahas
sampai ke artinya.27
Pada sisi lain jumlah jamaah yang aktif shalat berjamaah di masjid juga
menurun. Dibandingkan dengan era 1970-an, jamaah yang shalat di masjid-masjid
di Pulau Sangkar pada era 1990-an ini jauh lebih sedikit. Padahal jumlah penduduk
era 1990-an jauh lebih banyak dibanding era 1970-an. Jamaah Masjid Mujahidin ,
masjid terbesar di Pulau Sangkar kini pada sembahyang magrib dan Isya tinggal
setengah shaf. Sementara itu jamaah Masjii Seberang Merangin sekitar sepuluh
24
Wawancara dengan Jafni Nawawi di Sungai penuh, 24-07-2009, dengan Nasmawi Parimpun
di Pulau Sangkar, 29-07-2009, dan dengan Bukhari Syafii di Kota Jambi, 21-03-2009. Lebih lanjut
Lihat Mahli Zainuddin Tago, op.cit., hal. 128-129.
25
Lihat Mahli Zainuddin Tago, op.cit., hal. 136-137. 26
Wawancara dengan Bukhari Syafii di Jambi, 21-03-2009. 27
Wawancara dengan Nasmawi Parimpun di Pulau Sangkar, 29-07-2009.
11
sampai lima belas orang jamaah laki-laki dan perempuan. Di Masjid Desa Baru
jamaah magrib dan Isya sekitar 20 orang laki-laki dan sekitar 30 perempuan. Kalau
jamaah Shubuh perempuan sekitar 20 dan laki-laki tidak sampai 10. Bahkan kadang
hanya ada 4 orang saja. Sedangkan saat lohor dan Asar tidak ada jamaah. Jamaah
masjid Desa Lama pada saat shalat magrib sekitar 18 orang. Bahkan pernah terjadi
shalat berjamaah tidak jadi dilaksanakan karena tidak ada imamnya. Di masjid ini
juga seorng informan pernah mengalami ketika shalat Shubuh di masjid Desa Lama
dia azan, komat, imam dan makmum sendiri.28
Sisi lain dari kehidupan keagamaan di masyarakat Rencong Telang yang
lebih menarik terjadi pada era 2000-an yaitu menguatnya kembali Islam
Sinkretis. Varian Islam yang selama enam dekade sebelumnya mengalami
marginalisasi kembali menguat. Mereka seakan-akan menemukan momentum untuk
bangkit kembali. Penguatan Islam Sinkretis pada era ini menampakkan diri dalam
berbagai wajah, antara lain perdukunan, persilatan, dan kesenian rakyat.
Jumlah dukun dalam masyarakat Rencong Telang kini berkembang
terus. Pada era ini ketika satu dukun meninggal maka muncul minimal dua orang
dukun baru penggantinya. Uniknya pemunculan dukun baru ini tidak melalui proses
belajar. Ilmu perdukunan seakan-akan datang sendiri kepada calon pengantinya.
Gejala peningkatan jumlah dukun itu mulai nampak sekitar tahun 2000-an, khususnya
pasca gempa besar melanda Kerinci pada 1997. Dukun pengganti yang muncul
umumnya adalah anak, cucu, atau kemenakan dukun sebelumnya. Pada era 1990-an
dan sebelumnya dukun yang eksis hanya tiga orang, pada pada era 2000-an ada lima
belas orang yang dikenal luas oleh masyarakat setempat berpraktek sebagai dukun.
Karena banyaknya dukun ini, ada cerita tentang seorang buya yang berumah di tepi
jalan raya. Dia dihampiri orang bermobil bagus yang mencari dukun dan bertanya
dimana rumah dukun. Sang buya lalu menjawab, “dimana kehendak hati, kemana
telunjuk diarahkan, di negeri ini dukun ada dimana-mana.”29
Islam Sinkretis juga menampakkan diri dalam bentuk olaharaga silat yang
berkaitan dengan memanggil tuah. Perkumpulan silat jenis ini di masyarakat
Rencong Telang lebih dikenal dengan silat harimau. Sebagaimana perdukunan, silat
merupakan warisan budaya yang pada masa lalu menjadi bagian tidak terpisahkan
dari kehidupan masyarakat setempat. Persilatan ini diminati terutama oleh generasi
muda. Mereka terdiri dari siswa SD sampai anak SMA di masyarakat Rencong
Telang. Menjadi bekal saat merantau nanti merupakan salah satu alasan mereka
belajar ilmu silat mistik ini.30
Hal lain yang berbau Islam Sinkretis dan sangat diminati dalam masyarakat
setempat adalah kesenian dalam bentuk tarian kamason. Tarian kamason
(kemasukan) adalah tarian yang berujung pada kerasukan makhluk ghaib. Salah satu
satu tarian dimaksud adalah tari Rantak Kudo. Ketika berlangsung, pertunjukan
kesenian ini sangat mengasikkan. Semua orang yang hadir, para artis dan para
penonton, tua dan muda, asik bergoyang sepanjang pertunjukan. Karena itu Rantak
Kudo menjadi huburan favorit dalam berbagai keramaian di Kerinci sampai saat ini.
Sebagai tarian massal Rantak Kudo berlangsung diawali dengan pembakaran
kemenyan oleh seorang dukun, diiringi gendang dan canang yang ditabuh dalam
suasana ekstase, berlangsung dari jam sembilan malam sampai jam dua dini hari. Tim
inti penari ini hanya beberapa orang. Tetapi setelah berjalan maka hampir semua
28
Wawancara di Pulau Sangkar dengan Ilyas Tasir 20-03-2009, dengan Nasmawi Parimpun
29-07-2009, dan dengan Ha Azhari, 15-03-2009. 29
Wawancara dengan Hasyimi Nurdin di Pulau Sangkar, 15-03-2009. 30
Wawancara dengan Firman Pahmi di Pulau Sangkar, 18-03-2009.
12
penonton, mulai dari anak-anak, remaja,sampai orang tua, lelaki perempuan, menari
bersama-sama. Mereka mengikuti irama musik dan lagu khas Rantak Kudo. Pada
puncak dari pertunjukan tarian masal ini banyak peserta yang kerasukan.31
Kehadiran para dukun dan pembakaran kemenyan pada awal ritual dimulainya
tari rantak kudo telah menimbulkan penolakan keras di kalangan beberapa buya lokal
yang masih berorientasi Islam Syariat. Karena itu beberapa tahun terakhir tarian ini
telah mengalami banyak perubahan menjadi hiburan pop semata. Pada sisi lain tari ini
sudah lama tidak dikenal masyarakat setempat. Mungkin hilangnya tari yang dikenal
juga dengan nama Tari Taub di tengah masyarakat Rencong Telang telah berlangsung
sejak era 1930-an era dimana para alumni Padang Panjang dan sekitarnya melakukan
pemurnian berbagai faham dan amalan agama warga setempat. Kesenian ini muncul
kembali ke permukaan setelah belakangan dikembangkan oleh bupati Kerinci sebagai
salah satu komoditas pariwisata lokal. Maka tarian ini kembali menjadi hiburan
populer disana. Pada setiap hiburan yang melibatkan orang banyak orang tarian ini
sering menjadi puncak acara.32
31
Wawancara dengan Sastra Lima, di Yogyakarta, 18-03-2008. 32
Uraian lebih mendalam tentang dinamika keberagamaan masyarakat Rencong Telang, lihat
Mahli Zainuddin Tago, op.cit., hal. 119-148.
13
BAB II
ASAL USUL PENDUDUK
Penduduk Rencong Telang meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal
dari persilangan antara penduduk asli dengan para pendatang. Para pendatang itu
berasal dari berbagai kawasan, dekat maupun jauh. Pendatang awal adalah orang
Proto Melayu (Melayu Tua). Selanjutnya masuk orang Minangkabau. Pendatang
berikutnya berasal dari Jawa Mataram. Kemudian masuk pendatang dari India.
Akhirnya masuk pendatang dari berbagai wilayah lainnya yang berada di sekitar
kawasan Rencong Telang.
A. Dari Kecik Wok Gedang Wok sampai Anak Jantan Anak Betino
Penduduk asli Rencong Telang maupun Kerinci pada umumnya sudah
berada disana sejak waktu yang sangat lama. Bahkan orang Kerinci diyakini
termasuk dari kelompok suku bangsa asli yang mula-mula masuk ke pulau Sumatera.
Mereka diduga sudah mendiami Alam Kerinci sejak 10.000 tahun yang silam.
Berbagai penemuan arkeologis di wilayah ini membuktikan hal itu.33
Secara
arkeologis Kerinci memang dikenal sebagai sorga arkeologi karena banyaknya
temuan-temuan benda pra sejarah di kawasan ini.
Penduduk asli itu oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan
generasi Kecik Wok Gedang Wok (kecil Wok besar Wok). Sebutan ini diberikan
karena mereka belum mengenal nama panggilan. Mereka saling memanggil, baik
kepada orang tua maupun orang muda dengan panggilan Wok. Mereka masih primitif,
tinggal di dalam gua dan ceruk tebing batu, memakan jukut (babi hutan), dan
membuat kuburan dalam bentuk tumpukan-tumpukan batu. Mata pencaharian mereka
adalah berburu binatang, menangkap ikan di sungai, danau dan rawa-rawa, serta
mengumpulkan bahan makanan dari hutan sekitar. Berbagai kuburan kuno berupa
batu-batu yang tersusun sedemikian rupa di kawasan Rencong Telang dikenal
penduduk setempat secara turun temurun sebagai kuburan Hangtuwao Kecik Wok
Gedang Wok.34
Sekitar tahun 4.000 SM orang-orang Melayu Tua (Proto Melayu) masuk
ke Kerinci. Mereka menjalankan pola kehidupan yang lebih maju dari pada generasi
Kecik Wok Gedang Wok. Mereka pandai membuat alat-alat perkakas dan senjata dari
batu yang diasah. Mereka juga sudah bisa membuat pondok-pondok kecil sebagai
tempat kediaman, bercocok tanam, dan membuka lahan perladangan di sekitarnya.
Pola kehidupan ini ditiru oleh generasi Kecik Wok Gedang Wok. Pada akhirnya
generasi Kecik Wok Gedang Wok keluar dari gua dan ceruk tebing untuk berinteraksi
dengan manusia Proto Melayu. Percampuran antara generasi Kecik Wok Gedang Wok
dengan manusia Proto Melayu inilah yang kemudian diyakini sebagai penduduk asli
Rencong Telang.35
Pendatang berikutnya yang masuk ke komunitas Rencong Telang berasal
dari Minangkabau. Pendatang ini diyakini bernama Datuk Perpatih nan Sebatang. Dia
masuk sekitar abad ke-14 dan berasal dari istana Pagarruyung, ibukota kerajaan
Minangkabau. Datuk Perpatih nan Sebatang bersama Datuk Katumanggungan tidak
33
Lihat Idris Jakfar dan Indra Idris, Menguak Tabir Prasejarah di Alam Kerinci, Sungai
Penuh: Pemerintah Kabupaten Kerinci, 2001, hal. 22-23. 34
Wawancara di Pulau Sangkar dengan Juhaimi Tamim 11=03-2009 dan dengan Sarel
Masyhud 19-03-2009, dengan Bukhari Syafii di Kota Jambi 21-03-2009. 35
Lihat Idris Jakfar dan Indra Idris, op.cit., hal. 40-42.
14
mau diperintah raja baru yang bernama Aditiawarman yang masih memiliki hubungan
keluarga dengan Raja Majapahit di Jawa. Mereka keluar dari Istana Pagarruyung
untuk menjelajahi wilayah baru di luar kerajaan. Setiba di daerah Durian Takuk Raja
di wilayah Siak mereka berpisah. Datuk Ketumanggungan melanjutkan perjalanan
ke Jambi. Disana anak keturunannya diakui warga Anak Dalam atau Orang Rimba
sebagai nenek moyang mereka. Sedangkan Datuk Perpatih nan Sebatang melanjutkan
perjalanan ke Alam Kerinci. Dalam masyarakat Rencong Telang sang datuk dikenal
dengan nama Nenek Sigindo Sri Sigerinting atau Datuk Tan Syamsiah Sigindo Rao.36
Kisah kedatangan Datuk Perpatih nan Sebatang ini di kalangan masyarakat
Rencong Telang diabadikan dalam seloka adat Menyiah Alam Minangkabau
Maraorao ka Alam Kincai.
Tetapi keyakinan ini berbeda dengan cerita rakyat
Minangkabau itu sendiri. Menurut Tambo Minangkabau, ketika Aditiawarman
berkuasa raja lama yang pergi meninggalkan kerajaan hanya Datuk
Katumanggungan. Datuk Perpatih nan Sebatang diyakini tidak keluar dari Kerajaan
Mibangkabau dan meninggal di suatu kawasan di dalam wilayah kerajaannya.37
Versi lain tentang Sigindo Sri Sigerinting diyakini masyarakat Serampas
dan sekitarnya yang dulu dikenal sebagai daerah Kerinci Rendah. Menurut
mereka, Sigindo Sri Sigerinting adalah nama lain dari Sigindo Batinting. Dia
merupakan anak Hulu Balang Sakti di Kerajaan Melayu Dhamasraya. Batinting
meninggalkan kerajaan guna menghindarkan Puti Cindai Alus adik perempuannya
dari pernikahan paksa dengan panglima Kerajaan Singasari yang sedang menguasai
Kerajaan Dhamasraya saat itu. Batinting kemudian menetap di Pulau Sangkar dan
bergelar Sigindo Sri Sigerinting. Sedangkan adik perempuannya yang bergelar
Sigindo Balak menetap di Tanjung Kasri dan adik laki-lakinya yang bergelar Sigindo
Ilok Misai menetap di Kuto Tapus. Dua daerah terakhir ini kini termasuk ke dalam
Kabupaten Merangin Propinsi Jambi.38
Sigindo Sri Sigerinting memiliki keturunan bernama Hangtuao Maligei. Maligei kini adalah nama tempat yang berada sekitar dua kilometer ke arah hulu
Batang Merangin dari Pulau Sangkar. Disana dulu terdapat sebuah istana atau
mahligai (dalam dialek setempat diucapkan dengan kata maligei). Bangunan mahligai
yang memiliki panjang sekitar sepuluh meter itu menjorok ke arah sungai dan
memiliki sebuah mihrab. Sisa-sisa pondasi mahligai itu sampai sekarang masih
terlihat. Di depannya ada pondasi aula dan tempat ibadah yang terbuat dari batu.
Disinilah anak Sigindo Sri Sigerinting berdomisili dan dikenal dengan nama
Hangtuao Maligei. Dia tidak mau tinggal di dusun. Dia memilih menetap disana,
memisahkan diri dari orang dusun, karena di dusun masih berlaku berbagai tradisi
peninggalan lama yang tidak disetujuinya.39
Hangtuao Maligei juga dikenal dengan nama Bujang Palembang. Ini
terkait dengan kisah kelahirannya. Setelah orang tuanya yaitu Sigindo Sri Sigerinting
hidup tentram sebagai raja Kerajaan Pamuncak Nan Tigo Kaum di Pulau Sangkar,
36
Wawancara di Pulau Sangkar dengan Juhaimi Tamim 11-03-2009 dan dengan Sarel
Masyhud 19-03-2009, dengan Bukhari Syafii di Kota Jambi 21-03-2009. Menurut para informan
pengetahuan tentang asal usul nenek moyang mereka peroleh dari cerita turun temurun yang hidup di
tengah masyarakat.
37
Lebih lanjut lihat Sago Datoek Batoeah, Tambo Alam Minangkabau. Payakumbuh:
Limbago, 1959.
38
Lebih lanjut lihat Muchtar Agus Cholif, Timbul Tenggelam Persataun Wilayah Luak XVI
Tukap Khunut di Bumi Undang Tambang Teliti, Jambi: tanpa penerbit, 2009, hal. 33-47. 39
Lihat Mahli Zainuddin Tago, op.cit., hal. 45.
15
tanpa diduga datanglah penyerbuan dari Kerajaan Palembang. Istri Sigindo Sri
Sigeriting yang bernama Puti Serunduk Pinang Masak yang waktu itu sedang
mengandung berhasil diculik oleh tentara dan dibawa ke Kerajaan Palembang. Di
suatu daerah yang bernama Bukit Siguntang-Guntang yang berada di antara Jambi dan
Palembang Puti Pinang Masak melahirkan seorang anak laki-laki. Tetapi malang tak
dapat ditolak, sang ibu meninggal dunia. Sedangkan sang anak kemudian
dipersembahkan kepada raja Palembang yang kemudian memerintahkan agar
dipelihara dengan baik.
Sigindo Sri Sigeriting berusaha keras untuk mendapatkan anaknya. Untuk itu
dia mengirim pasukan yang dipimpin para hulubalang yang dikenal dengan nama
Kademang Nan Batujuh. Tetapi sang utusan gagal mendapatkan sang anak meskipun
telah berperang dengan banyak rakyat dan hulubalang menjadi korban. Sehingga
muncul pepatah mesiu habis Palembang tak kalah. Sekian waktu kemudian Sigindo
Sri Sigerinting berangkat sendiri ke Palembang. Kali ini dia berhasil mendapatkan
anaknya melalui suatu perundingan dengan Raja Palembang. Untuk itu dia harus
membayar tebusan berbentuk emas sejumlah sebiduk daun ketari sekarung lengan
baju sepenuh lesung pesuk. Sang anak saat itu sudah menginjak remaja. Setelah
sampai di Pulau Sangkar sang anak kemudian dikenal dengan nama baru yaitu Bujang
Dagang Palembang.40
Setelah dewasa Maligei alias Bujang Dagang Palembang menemui
neneknya di Istana Pagarruyung. Disana oleh neneknya dia diberi gelar Tuanku
Nan Bagonjong. Penamaan ini dia peroleh setelah mendalami ilmu agama. Dia
mempelajari ilmu fiqih dan ilmu tasawuf yang belakangan digunakan untuk
melawan pengaruh agama Buddha dan agama Hindu yang masih kuat dianut
masyarakat Rencong Telang. Belakangan, di kampung halamannya masyarakat
meyakini doa Hangtuao Maligei pasti dimakbulkan Allah SWT. Hal ini mungkin
karena perannya sebagai ulama, tabib, pendekar, sekaligus sebagai raja. Siapa saja
orang sakit yang datang kesana, Insya Allah sehat. Untuk melayani banyaknya orang
yang meminta didoakan maka dia menawar (menjampi) anak sungai yang ada di
dekat rumahnya dengan doa siapa saja yang meminum air sungai itu maka doa mereka
akan dikabulkan Allah SWT. Sungai itu kemudian dikenal dengan nama Sungai Air
Tawar. Sebagian orang sampai kini percaya bahwa dengan meminum air sungai itu
maka doa-doa mereka akan makbul.41
Sebagai raja yang memimpin masyarakat Hangtuao Maligei memiliki
gelar Depati Rencong Telang. Untuk itu dia menjadi tempat orang banyak
membayar uang pangecik pangedoa (pajak dan upeti). Orang banyak juga
memberikan berbagai bentuk terima kasih karena telah dibantu disehatkan dari
berbagai penyakit, meski beliau tidak memintanya. Setelah berhasil membantu
menyehatkan orang Hangtuao Maligei lalu mengajarkan agama Islam kepada orang
yang diobatinya itu. Dengan demikian Hangtuao Maligei telah berperan sebagai salah
satu penyebar awal agama Islam di kawasan Rencong Telang.
Hangtuao Mailgei menikah dengan Putri Dayang Ayu, anak dari Sigindo
Balak dari Tanjung Kasri. Dari pernikahan ini mereka mendapatkan tiga anak:
Sutan Maharajo Gerah, Sutan Maharajo Aro, dan Puti Beruji. Selanjutnya Sutan
Maharajo Grah memiliki lima anak, tiga perempuan dan dua laki-laki. Anak
40
Wawancara di Pulau Sangkar dengan Juhaimi Tamim 11-03-2009 dan dengan Sarel
Masyhudud 19-03- 2009. Lihat juga Rasyid Yakin, Menggali Adat Lama Pusako Usang di Sakti
Alam Kerinci, Sungai penuh: tanpa penerbit, 1986, hal. 5-6. 41
Lihat Mahli Zainuddin Tago, op.cit., hal. 45-46.
16
perempuan pertama menikah dengan seorang adipati dari Jawa Mataram dan bergelar
Depati Talago. Anak perempuan kedua menikah dengan orang Tanah Tumbuh dan
bergelar Depati Agung. Anak perempuan ketiga menikah dengan orang Palembang
dan bergelar Depati Anggo. Anak keempatnya laki-laki bergelar Depati Belinggo dan
anak kelimanya juga laki-laki dan bergelar Depati Kerinci. Kelima orang keturunan
Sutan Maharajo Gerah ini kemudian dikenal dengan Depati Nan Berlimo.
Sementara itu Sutan Marajo Aro memiliki tiga orang anak: Pamutih
Gemuk, Mantiga, dan Mantikow. Dua anak pertama tidak memiliki keturunan.
Anak ketiga yaitu Mantikow sebagai anak laki-laki dan bungsu memiliki gelar Rajo
Kecik. Dia menghabiskan masa mudanya dengan pergi merantau dan menikah di
daerah Jambi. Disana dia tidak memperoleh keturunan. Setelah berusia 80 tahun dia
pulang ke kampung halamannya. Dia menemukan kenyataan bahwa saudara-saudara
sepupunya (keturunan Sutan Mahaharajo Grah) sudah berkembang biak dan sebagian
menikah dengan para adipati dari Mataram. Mereka sudah menguasai dan
mengembangkan negeri.
Di kampung halaman Rajo Kecik begendoak (memberontak meminta
gelar) kepada Hangtuao Maligei, neneknya yang sekaligus menjadi Depati
Rencong Telang. Padahal menurut adat Pagarruyung, gelar mengikuti garis ibu.
Sedangkan dia hanya memiliki garis ayah terhadap Hangtuao Maligei. Sebagai
kompromi maka diberlakukan prinsip reboah wet karang setiao, eatuh wet karang
setiao (rubuh dan naiknya kekuasaan adalah melalui sumpah karang setia). Maka
diselenggarakanlah kenduri adat dengan ayam seratus dan kerbau seekor. Dengan
demikian Mantikow alias Rajo Kecik memperoleh gelar baru yaitu Depati Sangkar.
Selanjutnya oleh anak keturunannya beliau dikenal dengan Depati Sangkar I atau
Depati Sangkar Mula Jadi.
Peristiwa ini lebih lanjut berdampak pada pembagian pusaka dalam
masyarakat Rencong Telang. Bahwa bagi masyarakat setempat pusaka, baik pusaka
tinggi (gelar adat) maupun pusaka rendah (sawah basah) tidak lagi kembali ke
mamak sebagaimana di Pagarruyung. Pusaka selanjutnya diwariskan kepada anak
jantan anak betino (anak keturunan sendiri baik laki-laki maupun perempuan) dengan
hak yang sama banyak.
Rajo Kecik kemudian menikah dengan orang Lubuk Paku. Dari
pernikahan ketika sudah berusia 83 tahun ini dia memperoleh dua anak: Gentosuri
dan Rajo Bujang. Rajo Bujang kemudian dikenal sebagai Depati Sangkar Dua atau
Depati Pulau. Sebagai depati, Rajo Kecik selanjutnya meminta tanah ulayat kepada
saudara-saudaranya yaitu Depati nan Berlimo yang sudah mengembangkan negeri itu
terlebih dahulu. Dia lalu memperoleh tanah warisan dalam bentuk lahan yang
sekarang dikenal sebagai Sawah Panjang.42
Anak Hangtuao Maligei yang ketiga yaitu Puti Beruji menetap di Jambi.
Disana dia mengikuti suaminya yang juga seorang adipati dari Jawa Mataram. Dia
tinggal di Jambi Seberang dan memiliki tiga anak kembar. Bersama suaminya oleh
raja Jambi dia diberi sesuatu yang berharga yang tidak lapuk dek paneh dan lekang
dek hujan berbentuk wilayah kekuasaan dalam wilayah kerajaan Jambi. Wilayah itu
meliputi kawasan Depati Setiyo Nyato di Muaro Panco, Depati Setio Rajo di Lubuk
Gaung, dan Depati Setio Beti di Nalo.43
Wilayah mereka itu kemudian dikenal
dengan Tigo Dibaruh. Dengan demikian mereka juga adalah cucu Rencong Telang
alias merupakan orang Pulau Sangkar.
42
Wawancara dengan dengan Sarel Masyhud pada 19-03-2009 di Pulau Sangkar. Lihat juga
manuscrift Hidayat Chatib, Silsilah Depati Sangkar, 2006. 43
Lihat manuscrift Hidayat Chatib, Silsilah Depati Sangkar, 2006.
17
Dari uraian di atas terlihat bahwa pada masa Hangtuao Maligei itu
pendatang dari Jawa telah masuk ke komunitas Rencong Telang. Kala itu
sekitar abad ke-17, Belanda sudah mulai menanamkan kekuasaanya di Palembang.
Karena itu Raja Palembang Mangkurat Seda Ing Ngrajeg meminta bantuan ke
Kerajaan Mataram Islam yang berkedudukan di Jawa. Kerajaan Mataram lalu
mengirimkan beberapa adipati perang ke Palembang. Tetapi mereka dikalahkan oleh
Belanda. Mereka kemudian tidak pulang ke Mataram. Sebagian melanjutkan
perjalanan ke negeri-negeri di pegunungan Bukit Barisan dengan menyusuri sungai-
sungai dan akhirnya sampai di Alam Kerinci. Sebagian dari mereka akhirnya menetap
di kawasan Rencong Telang. Oleh masyarakat setempat mereka dikenal sebagai
depati (adipati) yang berasal dari kerajaan Jewoa Mentaraa.44
Di samping pangeran Minangkabau yang berasal dari Pagarruyung dan para
adipati yang berasal dari Jawa Mataram, masyarakat Rencong Telang pada masa lalu
juga dimasuki oleh orang India. Terkait dengan ini ada cerita rakyat yang populer
dengan judul Hantu Tamulun. Cerita ini menjadi penjelasan atas kenyataan adanya
beberapa orang Rencong Telang yang dari segi fisik berbeda dengan orang Rencong
Telang pada umumnya.
Konon pada suatu masa Depati Agung pergi menahah (membuat biduk)
di kawasan tepi rimba Tamulun. Selama beberapa hari dia kehilangan makanan
bawaan. Maka dia memasang siasat. Dia menelungkupkan biduk dan bersembunyi
dibawahnya. Tertangkaplah dua orang, suami istri, yang sebelumnya disangka hantu.
Mereka berkulit hitam dan berbulu banyak. Setelah dicukur rapi, mereka dibawa
pulang dan dipekerjakan sebaga pelayan. Singkat cerita sang pelayan ini mempunyai
anak perempuan bernama Sulohmakan. Singkat cerita lagi anak laki-laki Depati
Agung jatuh cinta pada Sulohmakan. Tetapi sang depati tidak setuju. Dia lalu
menyuruh anaknya mencari jodoh ke Jawa Mataram. Di sana sang anak tidak
menemukan jodoh. Demikian juga ketika dia pergi ke Palembang. Sang anak tetap
menghendaki Sulohmakan. Akhirnya anak sang depati menikah dengan Sulohmakan.
Inilah latar belakang keturunan Depati Agung berwajah seperti orang India. Para
lelaki berbadan besar dan tinggi. Para perempuan cantik dan berhidung mancung.
Tetapi umumnya mereka berkulit hitam. Dalam kelakar orang Rencong Telang
mereka dikatakan keturunan Hantu Tamulun.45
Percampuran generasi Kecik Wok Gedang Wok, manusia Proto Melayu,
pangeran Minangkabau, para adipati Jawa Mataram, dan pendatang dari India, inilah
yang diyakini menjadi cikal bakal penduduk Rencong Telang kini. Mereka adalah
keturunan dari tiga anak Hangtuao Maligei yaitu Sutan Marajo Gerah, Sutan Marajo
Aro, dan Puti Beruji. Para pemimpin mereka disebut Depati nan Berenam ditambah
dengan Tigo di Baruh. Lima depati adalah anak/menantu Sutan Maharajo Gerah yaitu
Depati Talago, Depati Agung, Depati Anggo, Depati Belinggo dan Depati Kerinci.
Satu depati adalah anak dari Sutan Maharajo Arao yaitu Depati Sangkar. Tiga depati
adalah keturunan dan Puti Beruji yaitu Depati Setiyo Nyato, Depati Setio Rajo, dan
Depati Setio Beti. Selanjutnya warga negeri mereka dikenal dengan istilah anak
jantan anak betino.
Percampuran etnis asli dan pendatang itu lebih lanjut melahirkan
budaya komunitas yang unik. Budaya ini merupakan campuran dari sisi tertentu
masing-masing budaya asal. Budaya Minangkabau sebagai tempat asal Datuk
Perpatih nan Sebatang menganut sistem matriarchat yang dalam banyak hal
44
Wawancara dengan Juhaimi Tamim 11-03-2009 dan dengan Sarel Masyhud 19-03-2009 di
Pulau Sangkar. 45
Wawancara dengan Juhaimi Tamim 11-03-2009 di Pulau Sangkar.
18
mengutamakan kaum perempuan. Budaya Jawa sebagai budaya asal para depati
menggunakan sistem patriarchat dimana peran kaum laki-laki lebih dominan.
Berbeda dengan keduanya, dalam masayarakat Rencong Telang kedua budaya itu
digabungkan sehingga kedudukan laki-laki dan perempuan lebih seimbang.
Keseimbangan kedudukan laki-laki dan perempuan ini antara lain
terlihat dalam penataan tembao (garis keturunan atau silsilah). Anak jantan anak
betino dalam komunitas Rencong Telang menelusuri silsilah dengan prinsip suku
duo timbal belik ninek empat puyang delapan (dua suku timbal balik/ayah-ibu, empat
nenek, dan delapan buyut). Untuk si A, misalnya, suku duo timbal balik nya adalah
ibu si A dan ayah si A. Kemudian ninek empat si A adalah dua orang (kakek dan
nenek) dari pihak ayahnya dan dua orang (kakek dan nenek) dari pihak ibunya.
Selanjutnya puyang delapan adalah delapan orang yang merupakan orang tua dari
empat nenek/kakek si A itu. Meski bisa ditelusuri lebih jauh ke atas, silsilah yang
tidak boleh terlupakan oleh anak jantan anak betino adalah sampai pada level
puyang delapan itu.
B. Mereka yang Datang dan Mereka yang Pergi
1. Para Pendatang: dari Mancanegara dan Mancanegeri
Sebagai daerah perlintasan wilayah Rencong Telang lama menjadi kawasan
hunian yang ramai. Pada suatu periode ada banyak anak negeri yang merantau dan
pada periode yang lain ada lebih banyak pendatang yang masuk. Mereka yang masuk
ke negeri ini pada umumnya karena tarikan kepentingan ekonomi. Sebagian ada juga
yang karena faktor tekanan politik di tempat asal. Mereka yang keluar di samping
karena alasan-alasan ekonomi umumnya karena alasan melanjutkan pendidikan.
Selanjutnya mereka menetap di berbagai negeri yang dekat maupun jauh.
Pada awal abad ke-19 orang Eropa sudah masuk ke Kerinci. Pada 1800
peneliti Inggris Charles Campbell sudah sampai di Kerinci dan pada November 1804
sampai Maret 1805 Letnan Hasting Dare bersama rombongan prajuritnya dikirim
dari Bengkulu ke wilayah ini.46
Belanda masuk ke Kerinci pada 1901.47
Sejak itu
orang Kerinci pada umumnya dan orang Rencong Telang pada khususnya tidak asing
lagi dengan orang Eropa. Di samping orang Belanda yang datang untuk kepentingan
kolonisasi, pada zaman kolonial Belanda ini sebuah perusahaan perkebunan milik
orang Jerman juga masuk ke negeri Rencong Telang.
Pada era 1930-an masyarakat Rencong Telang mengalami masa berinteraksi
langsung dengan Belanda asli. Pada masa itu wilayah Rencong Telang sangat
makmur. Komoditas andalan adalah karet dan kopi yang pada umumnya dimiliki oleh
penduduk. Pemerintah kolonial menerapkan sistem kupon yang dikeluarkan oleh
mantri pertanian Belanda. Ditemani oleh pemuda desa, mantri itu menelusuri semua
ladang karet yang ada. Lalu ditaksir berapa pikul getah yang keluar dari ladang karet
itu. Maka dikeluarkanlah kupon sesuai dengan nilai pikulan getah itu.48
46 Wiiliam Marsden, Sejarah Sumatra, diterjemahkan dari History of Sumatra (1811) oleh
A.S. Nasution dan Mahyudin Mendim, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999, hal. 181-195.
47 Tim Penelitian Sejarah dan Budaya Kerinci. 1972. Depati Parbo Pahlawan Perang
Kerinci, Sungai Penuh: Pemda Kerinci, 1972, hal. 16. 48
Wawancara dengan Siti Ruma pada 18-03-2009 di Pulau Sangkar. Lebih lanjut lihat Mahli
Zainuddin Tago, op.cit., hal. 62-65.
19
Salah satu bukti otentik kehadiran orang Eropa di kawasan ini adalah
sebuah jembatan yang menghubugkan dua kawasan di wilayah ini. Jembatan
yang dikenal dengan Jembatan Berayun ini dibangun oleh J. Kerman seorang Jerman
pengusaha perkebunan pada tahun 1928. Dia menyewa lahan untuk membuat
perkebunan teh di sekitar Danau Gedang untuk masa 75 tahun. Wilayah yang
disewa perusahaan asing itu sampai kini dikenal sebagai Padang Teh. Daerah itu kini
meliputi Ujung Sungai Lintah, Danau Gedang, lalu Mangae atau seberang Lubuk
Paku, sampai ke Kebun 20. Memasuki zaman kemerdekaan perusahaan ini dibeli
oleh Perusahaan Teh Kayu Aro yang kemudian menutup kebuh teh di Danau Gedang
dan melanjutkan perkebunan teh di Kayu Aro yang lebih luas.49
Bersamaan masuknya perkebunan teh maka menetap pula ratusan
keluarga dari Jawa. Mereka menjadi kuli kontrak pada perusahaan itu. Mereka
membentuk komunitas sendiri dan tinggal secara berkelompok di perkampungan yang
agak berjauhan dengan penduduk asli Rencong Telang. Sekarang anak keturunan
mereka sudah ada beberapa generasi dan kampung-kampung mereka sudah menjadi
desa-desa tersendiri. Di antara desa-desa di sekitar Rencong Telang kini yang sejak
lama dihuni banyak orang Jawa adalah Kebun-lima, Sembulun Pantai, Kebunbaru,
Batang Merangin dan Pematang Lingkung.
Selain dalam bentuk perusahaan perkebunan, tentu saja orang Rencong
Telang tidak asing dengan berbagai pendatang perorangan atau berkelompok
dari berbagai negeri sekitar. Pada zaman Jepang sudah banyak pendatang tinggal
disini. Lantai dasar rumah penduduk pada masa itu umumnya sudah dihuni oleh para
pendatang. Mereka antara lain berasal dari Pariaman, Bukittinggi, dan Padang
Panjang. Pendatang yang paling banyak adalah Orang Pariaman. Karena banyak
pendatang maka di Komunitas Rencong Telang pada masa itu ada banyak lepau nasi
dan orang berjualan lainnya.
Seorang informan masih ingat ketika pada masa kecilnya di umin (lantai
satu) rumahnya selalu dipenuhi oleh para pendatang yang menetap. Demikian
juga di umin rumah sekitar rumahnya. Dia juga ingat di sebelah rumahnya juga ada
pendatang musiman. Mereka berprofesi sebagai tukang gigi emas dan tukang subang
(anting-anting). Para pendatang itu datang sekali seminggu pada hari Jumat. Para
pendatang yang menetap ada juga yang membuka rumah makan. Di antara rumah
makan itu adalah rumah makan Bepok Salinaeh dan rumah makan Tukang Saman.
Orang berjualan memang banyak pada masa itu karena balai (pasar) Pulau Sangkar
memang paling ramai dibanding dengan balai-balai desa lain di sekitarnya.50
Pendatang lainnya yang juga sudah masuk ke Komunitas Rencong
Telang pada era 1940-an ini berasal dari Jambi. Seorang informan bercerita bahwa
dia dia bersama tiga orang kakak dan adiknya masuk kesini pada masa penjajahan
Jepang. Pada masa itu mereka berjalan kaki dari Jambi menuju Pulau Sangkar.
Perjalanan memakan waktu satu bulan. Selanjutnya mereka menetap di Pulau
Sangkar. Ibu sang informan meninggal dunia di Pulau Sangkar. Setelah ibunya
meninggal sang informan berpindah dari satu keluarga ke keluarga lainnya. Dia lama
mengikuti keluarga penulis sampai akhirnya menikah dan mengikuti suaminya. ”awak
jahat kelakuan, maklum masih anak-anak dan anak yatim lagi. Awalnya ikut rumah
Siti Ruma. Lari dari situ, aku ikut Induk Syamsir. Lari dari induk Syamsir, aku ikut
induk awak (kamu)...” 51
49
Wawancara dengan Juhaimi Tamim pada 29-07-2009 di Pulau Sangkar. 50
Wawancara dengan Daniah Saleh dan Zainal di Pulau Sangkar 17-03-2009. 51
Wawancara dengan si Fulanah di Pulau Sangkar 11-03-2009.
20
Pada era 1950-an pendatang yang banyak masuk ke kawasan Rencong
Telang berasal dari Pesisir Selatan Sumatera Barat. Seorang informan orang
Pesisir Selatan masuk Komunitas Rencong Telang pertama kali saat masih bujang
pada masa PRRI tahun 1958. Sebagai pendatang yang sukses dia bisa memiliki
banyak lahan disini. Tanah itu kemudian dia jual karena dia pulang kampung. Dia
kemudian sempat merantau ke Dumai. Karena tidak sukses di Dumai dia kemudian
kembali lagi ke komunitas Rencong Telang. Tetapi tidak lagi untuk menetap. Sebagai
pendatang baru kini dia menanam cabe menggunakan lahan orang lain. Kadang dia
tinggal di kampung halamannya di Pesisir Selatan. Lima anak bersama istrinya
ditinggal di kampungnya.52
Selanjuntya pada era 1950-an ini beberapa pendatang lainnya yang masuk
kawasan Rencong Telang nerasal dari Jawa. Seorang informan adalah pendatang yang
berasal dari Karawang, Jawa Barat. Pada masa itu dia diajak pamannya. Untuk sampai
di Pulau Sangkar dia harus menempuh perjalanan jauh. Dia naik kapal dari Tanjung
Priok Jakarta menuju Teluk Bayur Padang. Lalu dia harus naik kendaraan darat dari
Padang menuju Sungai Penuh. Perjalanan berlanjut dari Sungai penuh menuju Pulau
Sangkar. Sebelum sampai ke Kebun Baru tempat tinggalnya sekarang, dari Pulau
Sangkar dia harus berjalan kaki melewati kawasan yang saat itu masih berbentuk
hutan lebat. Kini seorang cucunya mendapat suami orang Pulau Sangkar yang baru
menikah sekitar sebulan sebelumnya.53
Pada era 1960-an, pendatang makin banyak memasuki kawasan Rencong
Telang. Seorang informan yang berasal dari Jawa Tengah masuk Komunitas
Rencong Telang pada 1965. Kini dia dikenal sebagai pendatang dari Jawa yang
paling awal menetap di dalam desa Pulau Sangkar. Dia meninggalkan kampung
halamannya Prembun-Kebumen pada 1952. Dia meninggalkan Jawa naik kapal api
dari Tanjung Priok dan mendarat di Teluk Bayur. Setelah 13 tahun tinggal di Kayu
Aro, kawasan perkebunan teh buatan Belanda di kaki Gunung Kerinci, dia diajak
maktuonya mencari peruntungan baru di Kebun Lima Pulau Sangkar seminggu
setelah Gestapu PKI 1965. Sejak merantau pada 1952 dia baru dua kali menengok
kampung halamannya. Ketidakberanian berjalan jauh sendirian dan ketiadaan biaya
menjadi kendala dia untuk mudik. Setelah 52 tahun merantau, pada 2004 sang
informan bisa menengok kampung halamannya untuk pertama kali. Dia ditemani oleh
anaknya yang sudah besar. Cerita sang informan lebih lanjut, ”ternyata masih banyak
saudara disana. Paklek, bulek, adik. Ponakan banyak. Saat ketemu pada nangis.
Rencana aku kemaren mau ke Jawa lagi. Tapi duwitnya tidak cukup. Aku mau
melihat candi. Candi Budur.” 54
Di samping karena alasan ekonomi, beberapa pendatang masuk kawasan
Rencong Telang pada era 1960-an karena alasan politik. Seorang informan
dibawa oleh ayahnya dari Lakitan Pesisir Selatan ke Kerinci pada 1960. Waktu itu
dia baru berumur satu tahun, belum ingat apa-apa. Dia dibawa ayahnya bersama
ibunya dan kakaknya. Pada masa itu ada kader PKI yang menjadi Wali Nagari
tinggal di rumah kakek sang informan dan ingin menguasai rumah itu. Ayah sang
informan marah sampai menancapkan pisau di atas meja. Maka diadukanlah ayah
sang informan oleh Wali Nagari ke polisi. Sang ayah dikatakan sebagai PKI oleh
Wali Nagari yang sesungguhnya adalah PKI. Gara-gara isu PKI itu sang informan
52
Wawancara dengan Muhammad Zahir di Kebunlima, 12-03-2009.
53
Wawancara dengan Ukay di Kebun Baru, 12-03-2009.
54
Wawancara dengan Abu Masno di Pulau Sangkar 12-03-2009.
21
dibawa ayahnya meninggalkan negerinya. Kalau tidak lari maka mereka akan
dimasukkan ke dalam PKI. Sang informan masih mengingat kata-kata ayahnya kala
itu, ”awak bukan PKI. Bapakku saja mati karena ditangkap Belanda karena
mempertahankan agama. Awak orang siak, masak dimasukkan ke dalam PKI.” 55
Pendatang lainnya yang masuk kawasan Rencong Telang pada era 1960-
an berasal dari Muko-muko, Bengkulu bagian utara. Seorang informan masuk
komunitas Rencong Telang pada 1969. Sang informan masuk Pulau Sangkar sebagai
bujang kecil bersama teman satu kampungnya yang sedang mudik dari merantau di
Pulau Sangkar saat itu. Karena masa itu belum ada jalur kendaraan maka sang
informann berjalan kaki melewati jalan setapak dalam rimba raya dari Muko-muko
menuju Kerinci. Dia berangkat ke Pulau Sangkar karena mereka hidup miskin di
kampung halaman di Muko-muko. ”Awak induk sudah tidak ada. Ikut saudara sama-
sama tahu sajalah, macam-macam perangai awak di rumah saudara itu. Daripada
bertengkar kakak awak sekeluarga, lebih bagus awak pergi.”56
Pendatang lainnya masuk ke kawasan Rencong Telang pada era ini
berasal dari Kibul. Kibul bagi orang Pulau Sangkar masa itu merupakan negeri yang
sangat jauh karena berada di Kabupaten Muara Bungo. Sekarang dia menetap di
Pulau Sangkar karena sudah menikah dengan penduduk asli setempat. Adik sang
informan juga sering ke Pulau Sangkar karena banyak teman sekolahnya di Thawalib
Padang Panjang adalah anak-anak Pulau Sangkar.
Puncak kehadiran pendatang di kawasan Rencong Telang adalah pada
era 1970-an sampai 1980-an. Pada pergantian era 1960-an menuju 1970-an, separuh
penduduk Pulau Sangkar adalah para pendatang. Bukit dan lembah di kawasan
Rencong Telang dipenuhi oleh pendatang. Bukit Muan, lembah Temulun, lembah
Padang Teh, Bukit Melgan dipenuhi para pendatang yang berladang. Sebagian mereka
tinggal di ladang yang jauh dari desa dan sebagian yang lain mengontrak lantai satu
rumah-rumah penduduk. Secara arsitektural rumah-rumah orang Rencong Telang
pada masa itu umumnya berlantai dua. Bagian atas dipakai oleh pemiliknya dan
hampir seluruh umoh umin (lantai dasar) diisi oleh para pendatang.
Ada banyal rumah yang disewa oleh para pendatang era ini. Rumah Upok
Mursal, rumah Upok Cae, rumah Upok Swar, Rumah Upok Krel, rumah Nunggoh
Rafli, Rumah Panjang, rumah Haji Abbas, adalah beberapa di antara rumah-rumah
yang terisi oleh pendatang itu. di bawah rumahnya penuh oleh anak upan (buruh
pendatang). Seorang informan ingat pada masa kecilnya bagaimana surau yang
berada di dekat rumahnya menjadi pos orang yang membawa parang panjang yang
berprofesi sebagai tukang tebas lahan. Disanalah sang informan ketika masih anak-
anak belajar merokok. Sementara itu ratusan KK buruh pendatang lainnya tinggal
dan menetap di ladang. Untuk mereka dibuatkan sudung (gubug) yang bagus yang
beratap seng dan berdinding papan atau kadang berdinding pelupuh saja.57
Sebagian pendatang yang masuk pada era 1970-an ini berasal dari Jawa.
Seorang informan yang berasal dari Kebumen Jawa Tengah, misalnya, masuk ke
Komunitas Rencong Telang pada 1974. Dia masuk Kebun Lima, sebuah
perkampungan yang masuk wilayah komunitas Rencong Telang dan banyak dihuni
orang Jawa, pada 1974. Sebelum ke Kerinci sejak 1967 dia sudah lama tinggal di
55
Wawancara dengan Emma Husin di Lakitan Pesisir Selatan Sumatera Barat 23-07-2009.
56
Wawancara dengan Saidina di Lakitan Pesisir Selatan Sumatera Barat, 23-07-2009. 57
Wawancara dengan Mirza Yahya, Kepala Dusun Pulau Sangkar era 1970-an, di Sungai
Penuh, 27-07-2009, dengan Paruk Abbas dan Juhaimi Tamim di Pulau Sangkar 09-03-2009.
22
Tanjung Karang-Lampung bekerja sebagai pedagang ayam. Sang informan kini
sudah beranak pinak di Kebun Lima. Ketika pertama kali datang dia masih
menumpang di lahan milik orang lain. Kini dia dan keluarganya sudah memiliki lahan
sendiri di kawasan ini.58
Pada era 1980-an pendatang dari berbagai penjuru masih mengalir
masuk ke Komunitas Rencong Telang. Selain perantau dari Jawa, Jambi, Sumatera
Barat, dan Bengkulu, di kawasan Rencong Telang juga masuk perantau sesama orang
Kerinci, khususnya Kerinci Tengah dan Kerinci Hulu. Di kawasan Rencong Telang
mereka dikenal dengan Uhang Kinci Udik. Di antara mereka berasal dari desa Koto
Payang. Orang Koto Payang pertama yang masuk adalah Induk Beh. Di Pulau
Sangkar dia menjadi anak upan (buruh tani) dan dengan itu dia bisa naik haji. Cerita
sukses Induk Beh menjadi magnet bagi saudara dan tetangganya di Koto Payang
untuk juga masuk ke Pulau Sangkar. Salah satu dari mereka adalah seorang informan
yang masuk Pulau Sangkar pertama kali pada 25 Juni 1979. Pada tahun 1988 ayahnya
juga menyusul masuk kawasan Rencong Telang. Mereka memiliki kelompok behin
(arisan tenaga tani) khusus laki-laki yang beranggotakan 21 orang yang antara lain
ditujukan untuk membeli sapi menjelang hari raya. Jumlah total orang Koto Payang
yang masuk ke Pulau Sangkar pada masa itu lebih dari 50 jiwa.59
Banyaknya pendatang yang masuk ke komunitas Rencong Telang pada
era ini juga tergambarkan pada cerita para induk semang (majikan) tentang
jumlah anak upan (buruh tani) yang mereka miliki. Pada masa itu umumnya
orang Rencong Telang menjadi induk semang sementara para pendatang menjadi
anak upan. Para anak upan paling banyak pada rentang tahun 1985 sampai 1995.
Beberapa orang dengan masing-masing anak upan adalah: Bustamam Ilyas (7 KK),
Kasman Zainuddin (10 KK), Juhaimi Tamin (10 KK), Hamdan Gusti (7 KK), Nawawi
Jakpar (10 KK). Informan lainnya menanggung tujuh anak upan yang berasal dari
Pendung. Dia mempekerjakan mereka untuk menggarap satu lokasi dengan luas lebih
dari lima ratus patah atau sekitar dua puluh hektar. Lahan itu berupa lereng di
sebalik Bukit Melgan arah ke hilir. Informan lainnya bercerita, “aku mempunyai anak
upan yang aku urus sendiri sampai 40 orang. Itu di luar yang kongsi dengan adikku.
Dulu itu mereka menetap semua tinggal di ladang. Kini yang menetap betul tinggal
dua KK. Banyak yang sudah pergi.”60
Bukit-bukit yang mengelilingi kawasan Rencong Telang pada masa itu
memang menjadi lenguih (bersih, tidak ada rimba rayanya). Ini terjadi karena
semua lahan itu dipakai sebagai tempat berladang. Bahkan wilayah perladangan orang
Rencong Telang sampai tertumbuk ke wilayah desa tetangga, Tamiai. Bukit Melgan,
Sembulun Pantai, Tembulun, Sungai Pagar, adalah daerah-daerah yang terisi oleh
pendatang baik sebagai anak upan (buruh) maupun peladang mandiri. Mereka
menggunakan lahan milik komunitas atau tanah ulayat dengan membayar sepanjang
adat (kas adat).
Para pendatang di Temulun, sebagaimana di Sungai Pagar dan Padang
Teh, masuk ke wilayah komunitas Rencong Telang dengan meminta izin untuk
menggarap lahan. Izin diberikan oleh pemangku adat dengan imbalan mengisi
58
Wawancara dengan Panut di Sembulun Pantai 12-03-2009.
59
Wawancara dengan Adi dan Ida di Yogyakarta 10-05-2007..
60
Wawancara dengan Bustamam Ilyas, Kasman Zainuddin, Juhaimi Tamin, Hamdan Gusti,
Jafni Nawawi, di Pulau Sangkar pertengahan Maret 2009 dan dengan Kafrawi Darwis di Tamiai 29-
07-2009.
23
sepanjang adat (kas adat) dalam bentuk dua sampai tiga sak semen. Sebagian
imbalan berbentuk uang. Itu semua disetorkan ke panitia pembangunan masjid. Jadi
pendatang ini tidak ngupan (menjadi buruh) pada orang Rencong Telang. Mereka
menaruko (membuka lahan) dengan menebang rimba yang lokasinya ditunjukkan oleh
orang adat. Tetapi mereka tidak punya hak milik. Mereka menulis perjanjian di atas
segel bahwa sesudah habis hasilnya maka tanah kembali ke adat atau kembali menjadi
milik negeri.61
Salah satu pendatang adalah Husin. Di Kerinci Hilir pada masa itu dia
membuka usaha jahitan dan ikut berladang. Dengan pendapatan dari menjahit maka
dia sekeluarga bisa membawa anak upan untuk menggarap ladang mereka. Mereka
tidak menjadi anak upan karena mereka membuka lahan milik adat di Ladang Teh.
Untuk itu dia membayar sekian sak semen ke masjid.62
Para pendatang yang masuk kawasan Rencong Telang umumnya beda
daerah asal beda pula profesi mereka. Tukang cangkul dan tebas sawah berasal
dari desa Sungai Deras, Tanah Kampung, dan Sungai Abu, daerah Kerinci bagian
tengah. Sedangkan pembuka dan penggarap ladang umumnya adalah orang Minang
dari Pesisir Selatan, khususnya dari nagari Kambang dan sekitarnya. Para pendatang
dengan profesi khusus ini ada yang bekerja sendiri-sendiri dan ada pula yang bekerja
secara berkelompok.63
Ramainya para pendatang di ladang-ladang membuat sebagian wilayah
perladangan itu menjadi seperti desa tersendiri. Salah satu kawasan perladangan
masa itu adalah Bukit Temulun. Karena banyaknya pendatang yang tinggal maka
disana didirikan satu Sekolah Dasar dan dua surau. Di samping sudung orang juga
membuat rumah disitu. Para penghuninya umumnya adalah orang Minang yang
berasal dari Bayang, Kambang, Painan, Balai Selasa, negeri-negeri di Pesisir Selatan
Sumatera Barat. Jumlah mereka lebih dari seratus KK. Ninik mamak Tamulun pada
masa itu bernama Masyhud Bepoak Sarel dan ketua anak dagangnya adalah Sukun
Malin Diman. Seorang informan masih ingat pernah diundang kesana untuk acara
israk mikraj dan maulid Nabi. ”Bermalam aku disitu. Kami makan gulai kambing.
Kepala kambing bulatnya itu betul yang disuguhkan. Wai, lemak nian. Allahu
robbi.”64
2. Para Perantau: Menetap dan Menepat
Ketika kawasan Rencong Telang menjadi tujuan pendatang, pada sisi
lain sebagian orang Rencong Telang pergi merantau. Sejak masa lalu mereka
memang sudah terbiasa merantau. Ini dilakukan orang perorang maupun secara
berkelompok. Sebagian dari mereka menetap di berbagai tempat rantauan sehingga
anak keturunan mereka berkembang disana, dekat maupun jauh. Ketika generasi
berikutnya berangkat pula merantau biasanya mereka akan mencari saudara, teman
satu desa, atau sesama orang Kerinci yang sudah lebih dulu menetap disana untuk
dijadikan sebagai tempat menepat (transit). Pada giliran selanjutnya mereka ini akan
menetap di suatu lokasi untuk kemudian menjadi tempat menepat pula bagi orang-
orang Rencong Telang yang datang setelah mereka.
61
Wawancara dengan Ilyas Tasir di Pulau Sangkar 20-03-2009.
62
Wawancara denga Emma Husin di Pesisir Selatan 23-07-2009). 63
Wawancara dengan Paruk Abbas di Pulau Sangkar 09-03-2009. 64
Wawancara dengan Ilyas Tasir di Pulau Sangkar 20-03-2009.
24
Orang Rencong Telang merantau ke segala penjuru melalui berbagai
jalur yang ada. Ini sudah berlangsung sejak masa lalu. Di berbagai jalur keluar
masuk yang ada sebagaimana disebutkan di atas, mereka meninggalkan jejak.
Melalui Jalur Lempur mereka derdomisili sementara ataupun beranak keturunan di
Lempur, Sungai Ipuh bahkan sampai daerah Rejang Lebong. Di jalur Batang
Merangin mereka menetap di Perentak, Muaro Panco, Bangko, Jambi dan sekitarnya.
Di Jalur Tarutung mereka menetap di Air Liki dan Kibul. Di jalur Sungai Penuh
mereka menetap di Sungai Penuh, Padang. Melalui berbagai jalur itu mereka juga
sampai dan sebagian menetap di Jakarta, Jogja, Malaysia, bahkan Hongkong dan
India.
Salah satu kawasan perantauan terdekat orang Rencong Telang adalah
Lempur. Negeri ini juga dikenal dengan Lekok 50 tumbi (Lembah 50 KK). Angka 50
mengacu kepada jumlah KK warga Pulau Sangkar yang hijrah kesana dan
membentuk negeri baru bercampur dengan orang dari Negeri Serampas. Meski sudah
menjadi negeri baru, wewenang kedepatian bagi orang Lempur, bahkan sampai di
negeri Selampaong (negeri tetangga Lempur) masih berada di Pulau Sangkar. Kalau
ada apa-apa di Lempur maka dipanggillah depati dari Pulau Sangkar. Ini karena
tidak ada batas wilayah antar dua negeri ini sebagai mana pepatah adat antarao
Lempo dan Longkaa belum ado larek jaluong (antara Lempur dan Pulau Sangkar
belum ada batas wilayahnya). Tetapi walaupun kekuasaan berada pada Depati
Sangkar/Rencong Telang yang berada di Pulau Sangkar, di Lempur sudah ditunjuk
wakil depati dengan nama Patih Tunggu Terawang Lidah. Kebun Lima, misalnya,
yang kini banyak dihuni orang-orang Jawa diyakini sebagai salah satu bagian
wilayah orang Lempur yang berada di bawah kekuasaan Depati Sangkar dengan
diwakili oleh Patih Tunggu Terawang Lidah itu.65
Jika perjalanan melalui Jalur Lempur ini dilanjutkan maka masuk
kawasan tradisional lainnya tempat orang Rencong Telang merantau yaitu
Sungai Ipuh. Negeri ini berada di sebelah barat kawasan Rencong Telang dan
sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Muko-muko, Propinsi Bengkulu bagian
utara. Orang Kerinci pada masa lalu mencari garam di daerah ini. Sebagian
masyarakat Rencong Telang meyakini bahwa Islam masuk ke Kerinci melalui jalur
ini. Hangtuao Gunung adalah salah satu orang Rencong Telang yang lama menetap di
Sungai Ipuh. Dia menjadi pedagang dan pengangkut garam melalui jalur ini. Dia
sempat berkeluarga dan memiliki anak keturunan disana sebelum kemudian kembali
ke kampung halamannya dan beranak pinak di Pulau Sangkar. Keturunan Hangtuao
Gunung di Saungai Ipuh menggunakan gelar Depati Lagak untuk nama keluarga
mereka. Pada masa perlawanan PRRI hangtuao Haji Syarif Yakin yang menjadi salah
satu komandan lapangan PRRI lama tinggal di Sungai Ipuh memimpin pasukannya
melawan APRI dari sana.66
Malaysia juga negeri yang banyak menjadi tujuan perantauan orang
Rencong Telang sejak zaman dulu sampai sekarang. Di Kuala Lumpur sendiri kini
65
Wawancara dengan Depati Lipan, orang asli Lempur di Selempaong 20-03-2009. Menurut
informan, Lekok 50 Tumbi berdiri pada 1903, dua tahun setelah Perang Manjuto antara orang Kerinci
melawan Belanda. Pada masa itu Lempur masih bernama Ujung Tanjung Muara Danau.
66
Wawancara dengan Sit Ruma (82) di Pulau Sangkar 18-03-2009, Burlian (orang Sungai
Ipuh) dan dengan Uyup orang Sungai Ipuh) melalui telepon Maret 2011. Menurut Burlian di
desanya memang dikenal nama Depati Lagak yang memiliki banyak keturunan. Uyup mengaku
sebagai penduduk Sungai Ipuh keturunan Depati Lagak yang berasal dari Pulau Sangkar. Mereka kini
sudah generasi ke delapan dari Depati Lagak dan meliputi sekitar 50 KK.
25
dikenal adanya Kampung Kerinci. Orang Pulau Sangkar sebagai bagian dari orang
Kerinci memang tidak asing dengan Malaysia. Sejak zaman penjajahan Belanda
sudah ada orang Pulau Sangkar yang meninggalkan negerinya dan menetap di
Malaysia. Salah satu dari mereka adalah Haji Abdullah. Dia merantau dan menetap di
Malaysia sejak zaman Belanda. Dia tidak pulang lagi ke Pulau Sangkar sampai
meninggalnya di Singapura. Anak keturunan Haji Abdullah ini dalam perode
berikutnya banyak menjadi tempat menepat bagi orang Pulau Sangkar yang merantau
kesana sampai sakarang.67
Di samping karena alasan ekonomi perantauan orang Rencong Telang
juga dilatarbelakangi soal asmara. Haji Fulan salah satu contohnya. Ini terjadi
pada zaman penjajahan Belanda. Ketika remaja dia menyenangi seorang gadis satu
desa tetapi tidak mendapat izin orang tua untuk menikahinya. Maka dia
menghilangkan diri dari kawasan Rencong Telang. Dia merajuk. Maka sejak itu tidak
ada lagi berita tentang Haji Fulan ini. Pada awal 1970-an tanpa sengaja Haji Fulan
ditemukan oleh saudaranya sendiri di Mekah sebagai sesama jamaah haji. Saudaranya
itu berangkat ke Mekah dari Pulau Sangkar melalui Malaysia dan Haji Fulan
berangkat dari Muara Aman, Rejang Lebong-Bengkulu, tempat dimana dia merantau
dan menetap setelah melarikan diri dari kawasan Rencong Telang.
Sulitnya transportasi dan komunikasi membuat hubungan keluarga itu terputus
kembali sebelum dan sesudah pertemuan di Mekah pada awal 1970-an itu. Pada
1973 seorang informan yang sedang remaja karena masalah yang mirip dengan adik
kakeknya yaitu si haji Fulan juga pergi meninggalkan kawasan Rencong Telang. Dia
bertualang ke arah selatan dan mencari rumah adik kakeknya di Rejang Lebong-
Bengkulu itu. Lanjut sang informan, ”pelarianku membuka hubungan keluarga yang
lama putus itu. Aku dapat data tentang mereka dari ayah. Karena ingin merantau,
maka kesanalah aku lari. Disana sayang orang kepada aku.”68
Selanjutnya bagi anak muda Rencong Telang merantau juga bagian dari
petualangan. Chatib Yusuf adalah salah satu contoh anak muda petualang ini.
Setamat dari Parabek Bukittinggi pada 1934 dia tidak pulang kampung. Dia pemuda
berjiwa petualang. Bersama teman sekolahnya yaitu Yahya Latief dia merantau ke
Malaysia. Selanjutnya sendirian dia melanjutkan petualangan. Pada 1936 Chatib
Yusuf sudah berada di Hongkong. Dia sampai ke Burma. Ia juga menetap sampai 3
tahun di Bombay, India. Dia menjadi orang gipsi di negeri yang jauh. Ketika induk
dan upoaknya meninggal dia tidak menghadapinya. Tahun 1950 barulah dia pulang
dan menetap di Pulau Sangkar.69
Pada era 1950-an Azhari Madin menjadi orang Rencong Telang pertama
yang menetap di Padang. Pada masa itu dia sudah menikah dengan orang
Bukittinggi dan tinggal di Padang sebagai kepala galangan kapal Tanah Timbun.
Rumah Azhari di Padang ini selanjutnya menjadi tempat menepat bagi generasi demi
generasi anak-anak muda Rencong Telang yang sekolah atau sekedar transit di
Padang. Pada 1968 seorang informan menamatkan SMA di Sungai Penuh dan
berangkat ke Padang untuk melanjutkan pendidikan. Di Padang dia bersama Zamri
67
Wawancara dengan cucu Haji Abdullah yaitu Mirza Yahya di Sungai Penuh 27-07-2009
dan Azwar Yahya di Pulau Sangkar 30-072009.
68
Wawancara dengan Azwar Yahya di Pulau Sangkar 30-07-2009. 69
Wawancara dengan Hidayat Chatib anak dari Chatib Yusuf di kota Jambi 22-03-2009.
26
Ahmad teman se desanya menepat di rumah Azhari. Orang Lempur yang juga
merupakan keturunan Rencong Telang juga menepat disana.70
Perantau pertama Rencong Telang yang berdomisili di Jakarta adalah
Hasyim Rauf. Jejak langkah Hasyim diteruskan oleh kemenakannya, Rosdiana
Simak. Rosdiana dikenal sebagai perempuan pertama Rencong Telang yang
melanjutkan studi ke Jakarta. Dia meninggalkan Pulau Sangkar pada 1958. Dia
diizinkan orangtua sekolah di Jakarta karena disana ada pamannya yaitu Hasyim
Rauf. Dalam perjalanan menuju Jakarta di Padang Rosdiana menepat di rumah
Azhari Madin. Pada perjalanan menuju Jakarta untuk pertama kali dia naik kapal
Oriental Qeen. Dari Teluk Bayur menuju Tanjung Priuk kala itu memakan waktu
sekitar dua malam. Selanjutnya dua orang anak muda Pulau Sangkar merantau ke
Jakarta mengikuti jejak Rosdiana. Mereka adalah adik kandung Rosdiana yang
bernama Rustam Simak, dan adik sepupu Rosdiana yang bernama Bustami Ilyas.71
Bustami Ilyas masuk Jakarta pada 1959 untuk melanjutkan sekolah, masuk
SMP. Dia menjadikan rumah Hasyim Rauf pamannya sebagai tempat menepat.
Setelah menamatkan SMP di Jakarta, sempat sekolah di SMA Warga di Solo dan
menamatkan sekolah di SMA Negeri Sungai Penuh, dia berangkat lagi ke Jakarta.
Kali ini karena sudah menikah maka dia bekerja sambil kuliah. Ketika G-30-S
meletus dia sempat terlibat domonstrasi angkatan 66. Dia tidak sempat
menyelesaikan kuliahnya. Pada 1971 ada rasionalisasi di Sarinah Departemen Store
tempat dia bekerja. Atas permintaan orang tua akhirnya dia mundur, pulang kampung
ke Kerinci.72
Sementara itu Rustam menetap lebih lama di Jakarta. Dia masuk Jakarta pada
1966 saat kelas 6 SD dan menamatkan SMP serta SMA di Jakarta. Pada 1978 dia
menikah di Pulau Sangkar dan memboyong istrinya ke Jakarta. Rustam lama bekerja
di Garuda dan menetap di Klender Jakarta Timur. Meski semua anak-anak Rustam
yang berjumlah empat orang lahir dan besar di Jakarta, pada masa pensiun Rustam
menetap di kampung halamannya. Rumah Rustam dan Rosdiana kakaknya selalu
menjadi tempat menepat bagi gelombang demi gelombang orang Rencong Telang
yang datang belakangan hari ke Jakarta untuk berbagai keperluan. Penulis yang sejak
1979 melanjutkan sekolah masuk SMP di Jogja juga sering menjadikan rumah
Rustam di Klender sebagai tempat transitnya, baik ketika pulang ke Kerinci maupun
ketika kembali ke Jogja.73
Orang Komunitas Rencong Telang juga sudah mulai menetap di
Pekanbaru sejak akhir 1950-an. Salah satu perintis jalan disini adalah Akmal
Abbas. Pada 1957 dia sebenarnya sudah kuliah di Bukittinggi. Saat semester kedua
PRRI meletus dan para mahasiswa pun ikut bergolak. Maka Oktober 1957 dia
meninggalkan Bukittinggi, menuju Pekanbaru. Disana dia bekerja pada maskapai
asing milik Amerika. Tetapi pada masa ini suasana kacau karena perang sudah
meletus. Di tempat dia bekerja di Duri tentara pusat datang, tentara PRRI berangkat
ke hutan. Ketika PRRI meletus pada 1959 dia sempat merantau ke Jakarta
melanjutkan kuliah. Dia berhenti dari pekerjaannya karena mendengar kabar bahwa
70
Wawancara dengan Fauzi Sulaiman di Jambi 23-03-2009.
71
Wawancara dengan Rosdiana Simak kemenakan Hasyim di Jakarta 03-03-2009.
72
Wawancara dengan Bustami Ilyas di Pulau Sangkar 12-03-2009. 73
Wawancara dengan Rustam Rauf di Sungai Penuh, 24-07-2009.
27
ayahnya ditahan tentara pusat karena terlibat PRRI di Kerinci. Pada 1965 dia masuk
lagi ke Pekanbaru bekerja sampai tahun 1976.74
Sebagaimana para pioner di tempat lain, Akmal juga menjadi tempat menepat
bagi orang Rencong Telang yang tiba di Pekanbaru. Salah seorang yang menepat di
rumah Akmal adalah Fauzi Sulaiman. Pertengahan 1968 Fauzi tamat sarjana muda
dari IKIP Padang. Karena jurusan tempat kuliahnya tidak membuka program doktoral
maka pergilah dia ke Pekanbaru. Disana dia menepat di rumah Akmal. Fauzi sempat
mencari pekerjaan di Caltex dan sempat ingin pula ke Malaysia. Tetapi saat itu orang
tidak bisa ke Malaysia begitu saja sebagaimana sebelumnya. Disana sedang ada
pertikaian antara orang Melayu dengan orang Cina. Sehingga untuk masuk Malaysia
sudah harus menggunakan paspor. Maka dengan naik kapal Fauzi meninggalkan
Pekanbaru. Dia melanjutkan perantauan menuju Jambi.75
Jalur lain keluar dari Pulau Sangkar adalah jalur Batang Merangin. Jalur
ini menuju ke Bangko. Di sepanjang jalur ini dari dulu sampai sekarang terdapat
beberapa desa dimana ada orang Pulau Sangkar yang merantau dan memiliki anak
keturunan. Di Perentak, salah satu tokoh masyarakat yang lama menjadi pesirah
(kepala desa) yaitu Marah Ismail masih mengingat dan hapal garis keturunannya dari
Pulau Sangkar. Rumah Marah Ismail pada era 1970-an sering menjadi tempat transit
orang Pulau Sangkar yang menuju ke Jambi. Penulis sendiri beberapa kali melakukan
hal itu.
Selain di Perentak, orang Pulau Sangkar juga ada yang menetap di
Simpang Parit dan Muaro Panco. Seorang informan yang berasal dari Simpang
Parit merasa dekat dengan orang Pulau Sangkar. Di samping banyak teman
sekolahnya di Thawalib Padang Panjang yang berasal dari Pulau Sangkar dia
mengakui bahwa di desanya Simpang Parit ada beberapa orang keturunan Pulau
Sangkar yang menetap disana sejak dulu. Pada 1959 informan lainnya berangkat ke
Jambi untuk pertama kalinya melalui jalur ini. Perjalanan Pulau Sangkar-Bangko dia
lalui dengan lima kali menginap di perjalanan dan salah satunya adalah di Muaro
Panco. Disini dia menginap di rumah Haji Zakaria yang masih keturunan orang Pulau
Sangkar. Perentak, Simpang Parit, dan Muaro Panco kini berada di Kecamatan
Sungai Manau Kabupaten Merangin, sebuah kabupaten perbatasan di sebelah timur
Kerinci.76
Jika keluar dari Kerinci melalui jalur Tarutung-Air Liki, maka akan
dilalui beberapa wilayah yang pada masa lalu dikenal dengan Rantau nan Tigo
Kaum. Rantau adalah kawasan di tepi sungai yang landai sehingga bisa dibangun
persawahan dan dijadikan pemukiman. Setelah melewati rantau, aliran sungai di
kawasan pegunungan Bukit Barisan ini menjadi sangat deras, berisi batu-batu besar,
dan sepanjang tepi kanan dan kirinya dibentengi oleh tebing yang tinggi dan terjal.
Tiga rantau ini terdiri dari Rantau Ayik Liki, Rantau Ngao, dan Rantau Tarentam.
Ayik Liki terletak di tepi sungai Batang Tabir bagian hulu. Setelah melewati Ayik
Liki orang seakan keluar dari pintu lalu masuk ke pintu lagi. Di kiri kanan sungai
ada tebing tinggi menjulang sebelum mengembang lagi ketika memasuki Rantau
Ngao. Begitu juga menjelang Rantau Tarentam di hilir. Hulu sungai ini adalah
74
Wawancara dengan Akmal Abbas di Batang Kapas, Pesisir Selatan, Sumatera Barat 24-07-
2009. 75
Wawancara dengan Fauzi Sulaiman di Jambi 23-03-2009.
76
Wawancara dengan Marzuki Yahya, orang Simpang Parit Kabupaten Merangin di Bangko,
27-07-2009, dengan Bukhari Syafii di Jambi, 21-03-2009.
28
Danau Bento di kaki Gunung Kerinci. Dewasa ini daerah ini terbagi ke dalam tiga
kecamatan: Rantau Panjang, Tabir, dan Tabir Ulu yang semuanya masuk ke dalam
wilayah Kabupaten Merangin Propinsi Jambi.
Desa lainnya yang berada di daerah ini bernama Kibul. Bagi orang Pulau
Sangkar negeri Kibul merupakan negeri yang tidak asing. Di Pulau Sangkar terdapat
banyak orang Kibul. Sebagian dari mereka menetap disana. Pada masa lalu orang
Kibul juga banyak yang sekolah di Kerinci. Pada sisi lain orang Pulau Sangkar juga
ada yang bermukim di Kibul. Hangtuao Uben, salah satu tokoh masyarakat yang
pernah menjadi Depati Tago di masyarakat adat Rencong Telang pada masa lalu juga
menikah dan memiliki sawah yang luas di Kibul. 77
Negeri rantau orang Pulau Sangkar lainnya adalah Jambi. Orang Pulau
Sangkar pertama yang merintis jalan dan menetap di Jambi adalah Bukhari Syafii.
Pemberontakan PRRI 1957 membuat kuliah dia di PGSLP Bukittinggi berantakan.
Dia terpaksa pulang ke Pulau Sangkar. Setelah sempat bertani disana pada 1959 dia
kembali meninggalkan kampung halamannya. Kali ini dia mencari kerja berbekal
ijazah SMA. Dia berangkat pertama kali ke Jambi pada Agustus 1959 dengan berjalan
kaki melalui Batang Merangin. Dia menjadi orang Pulau Sangkar satu-satunya di
Jambi pada masa itu. Bukhari menetap di Jambi dan sering menjadi tempat menepat
bagi orang Pulau Sangkar yang merantau ke Jambi berikutnya. Semua anaknya lahir
dan besar di Jambi. Sesudah Bukhari barulah masuk ke Jambi orang Pulau Sangkar
lainnya antara lain Idris Jakfar dan Fauzi Sulaiman.78
Bangko sejak dulu juga menjadi tempat strategis bagi orang Rencong Telang
yang akan menuju Jambi. Setelah jalan lintas Sumatera dibuka pada era 1980-an maka
Bangko juga menjadi jalur transit bagi orang Kerinci yang akan menuju Jakarta.
Sebelumnya perjalanan ke Jakarta dilakukan melalui Padang dengan naik kapal dari
Teluk Bayur menuju Tanjung Priok Jakarta. Sejak jalan lintas Sumatera dibuka, orang
Rencong Telang lebih senang ke Jakarta melalui Bangko. Karena itu tidak
mengherankan banyak orang Rencong Telang yang merantau di Bangko ini. Sebagian
menetap dan sebagian lainnya sekedar transit.
Orang Rencong Telang paling awal yang menetap di Bangko adalah Fauzi
Sulaiman. Selama tinggal di Bangko dia juga menjadi tempat menepat bagi orang
Rencong Telang yang memiliki keperluan di Bangko. Dia tamat dari IKIP Padang
pada 1968. Dia sempat berkelana ke Pekanbaru, Tembilahan, dan Jambi. Di
Pekanbaru dia menjadikan rumah Akmal Abbas orang Pulau Sangkar yang sudah
menetap disana sebelumnya sebagai tempat menepat. Ketika masuk Jambi untuk
pertama kalinya Fauzi menepat di rumah Bukhari. Dia memulai karirnya sebagai guru
PNS di Bangko.79
Perantauan orang Rencong Telang dengan pola menetap di suatu tempat lalu
kemudian menjadi tempat menepat terlihat jelas pada cerita tentang petualangan
seorang remaja pada awal 1970-an. Bersama temannya sesama remaja pada saat itu
dia pergi meninggalkan negeri tanpa izin dari keluarga. Mereka menuju Pekanbaru
dan menepat di rumah Akmal Abbas. Mereka sebenarnya ingin bekerja di kapal.
Tetapi Akmal menasehati mereka untuk pulang kampung saja. Maka mereka
berputar haluan melalui jalan lintas Sumatera menuju Bangko. Di Bangko mereka
menepat di rumah Bukhari dan rumah Fauzi yang sudah bekerja sebagai guru disana.
Mereka juga dinasehati agar kembali ke kampung halaman saja. Maka dua remaja
77
Wawancara dengan Juhaimi Tamin di Pulau Sangkar 29-07-2009.
78
Wawancara dengan Bukhari Syafii di Jambi, 21-03-2009. 79
Wawancara dengan Fauzi Sulaiman di Jambi, 23-03-2009.
29
‘nakal’ ini menyatakan akan pulang ke Pulau Sangkar. Mereka dibelikan tiket oto Jip
Nasrul untuk perjalanan Bangko-Kerinci oleh Bukhari dan Fauzi. Tetapi ketika Fauzi
dan Bukhari berangkat shalat Jumat, dua remaja itu mendatangi Nasrul untuk
mengambil uang tiket mobil itu. Mereka ingin melanjutkan perjalanan ke Curup.
Kelakuan mereka dilaporkan Nasrul ke Bukhari. Maka dua remaja itu dimarahi
Bukhari. Teman sang informan akhirnya takluk, kembali ke kampung halaman.
Tetapi sang informan lari dan naik oto ke arah Curup.
Sesampai di Curup sang informan menepat di desa Karangdapo Rejang, di
rumah adik kakeknya yang sudah lama menetap disana. Sang informan langsung
disambut gembira keluarganya itu. Selama disana dia hidup senang, tidur berkelambu,
makan sambal ayam, dan rokok dibelikan orang. Mereka tidak mengizinkan sang
informan pulang ke Kerinci. Tetapi setelah sekitar lima bulan datanglah kakak sang
informan menjemput. Sang kakak mengatakan ibu mereka sakit di Pulau Sangkar.
Semua pakaian, celana dan baju sang informan langsung diangkut sang kakak.
Hanya sarung dan baju terpakai yang tidak dia angkat. Maka selama perjalanan dari
Curup sampai Lubuk Linggau sang informan tidak bercelana, hanya bersarung.
Sesampai di Linggau saat menginap di hotel barulah sang kakak mengembalikan
pakaian sang informan. Sang informan dihukum karena lari dari kampung halaman.
Sepanjang perjalanan dia tidak diberi makan padahal dia tidak punya uang. Dia hanya
diberi rambutan. Cerita sang informan lebih lanjut, “Udiy, sempurna. Setiba di
rumah, ternyata tidak ada indok sakit. Kurang ajar betul. Padahal di Karangdapo itu
bukan main senangnya aku, mewah, dan pacar sudah ada pula.” 80
Kini orang Rencong Telang sudah bertebaran dimana-mana. Mereka merantau
di Medan, Padang, Bengkulu, Semarang, bahkan Jogja. Sebagian menjadi pegawai
negeri, pegawai swasta, atau wiraswasta. Pola menetap dan menepat masih berlaku
dalam perantauan orang Pulau Sangkar. Sejak era 1980-an mereka paling banyak
merantau ke Jambi. Puluhan orang kini menetap di Malaysia sebagai TKI. Sebagian
dari mereka bahkan sudah menjadi warga negara Malaysia. Tetapi untuk urusan
sekolah, sejak era 1950-an sampai era 2000-an, Jogja masih menjadi tempat favorit.
Apalagi sejak era 1990-an beberapa orang Pulau Sangkar sudah menjadi warga Jogja
bekerja sebagai tenaga pendidik. Mereka selalu menjadi tempat menepat bagi anak-
anak muda baru yang akan melanjutkan pendidikan disana.
C. Kependudukan Kini
1. Interaksi Sosial Pendatang dengan Penduduk Setempat
Meski sejak dulu sudah terbiasa merantau dan ada banyak pendatang masuk
ke negeri mereka, sebagian orang Pulau Sangkar tidak mudah menjalin
interaksi dengan orang dari luar desa mereka. Berbagai citra negatif tentang orang
dari negeri lain berkembang cukup lama di negeri ini. Kadang hal itu terbawa ketika
beberapa anak negeri merantau ke negeri orang. Pada sisi lain para pendatang juga
tidak mudah untuk merasa diterima di tengah masyarakat Pulau Sangkar meski
sudah bertahun-tahun menetap disana.
Sampai era 1970-an, orang Pulau Sangkar sangat berhati-hati ketika
berada di negeri orang. Ini seakan sudah menjadi alam bawah sadar karena
didoktrinkan sejak anak-anak. Tiga orang anak desa ini pada 1979 setamat SD
melanjutkan pendidikan ke Jogja. Ketika transit di sebuah rumah di Cikini Jakarta,
80
Wawancara dengan Azwar Yahya di Pulau Sangkar, 30-07-2009.
30
mereka disuguhi teh manis dan kue oleh tuan rumah. Anak-anak ini saling
memperingatkan untuk jangan meminum dan memakan kue itu karena khawatir ada
racun di dalamnya. Begitulah alam bawah sadar mereka, penuh dengan kehati-hatian
bahkan mendekati kecurigaan. Bukan hanya ke Jakarta, pergi ke Tarutung atau ke
Pengasi yang merupakan desa terdekat mereka juga memiliki pikiran seperti itu.
Dewasa ini kekhawatiran itu sudah semakin berkurang. Apalagi kalau mereka pergi
ke negeri tetangga itu dalam jumlah besar. Cerita seorang informan, “ dulu anak
Mamak Yurnal menikah dengan orang Tarutung. Tentunya awak pergi perhelatan,
makan bersama-sama. Tidak mungkin tidak makan karena makanan sudah
dihidangkan. Maka makanlah kami. Ternyata tidak terjadi apa-apa.”81
Pada sisi lain pada masa lalu para pendatang merasakan sulitnya masuk
menjadi bagian masyarakat Pulau Sangkar. Seorang informan pendatang dari
Muko-muko masuk Pulau Sangkar pada era 1970-an. Dia mengaku pada tahap awal
sulit untuk bisa diterima. Menurut dia pendatang dari Jawa lebih susah lagi masuk
karena kendala bahasa. Ini terjadi karena orang Pulau Sangkar semua merasa sebagai
raja dan dari segi ekonomi sangat kuat. Tetapi ketika sudah bisa masuk ke dalam,
sudah memiliki dua-tiga orang teman dekat, maka pendatang akan merasa sangat
nyaman di Pulau Sangkar. Dewasa ini keadaan sudah berubah. Ini karena orang
Pulau Sangkar sudah banyak yang pergi merantau. Mereka sudah mencicipi negeri
orang. Bahkan banyak dari mereka yang menikah di luar. Lanjut sang informan,
”baru terasa luas dunia ini. Ada yang berbini dengan orang Jawa, lalu dibawanya
orang Jawa itu pulang ke Pulau Sangkar, ternyata kadang lebih baik orang Jawa itu
daripada orang Pulau Sangkar.”82
Soal lain dari interaksi antara pendatang dengan penduduk asli Pulau
Sangkar adalah bahasa. Sulit sekali bagi pendatang untuk bisa berbahasa Kerinci.
Dalam pengucapan bahasa daerah ini terdapat banyak pemenggalan kata dan
pengucapan kata yang sama secara berbeda. Sementara itu di dalam Bahasa Kerinci
itu sendiri terdapat perbedaan dialek antar desa. Antara Pulau Sangkar, Lubuk Paku,
dan Tamiai, desa-desa yang berdekatan terdapat perbedaan dialek. Seorang informan
yang sudah tinggal di Pulau Sangkar lebih dari 10 tahun sampai kini belum bisa
berbahasa Kerinci dialek Pulau Sangkar. Kalau ada orang berbicara Bahasa Kerinci
dia sudah bisa mengerti. Tetapi dia belum bisa berbicara dalam Bahasa Kerinci.
Lanjut sang informan, ”kami kadang bingung. Kalau ngomong bahasa sini orang
yang mendengar tertawa. Akhirnya tidak jadi berbahasa sini. Dialeknya susah
ditiru.”83
Tetapi tidak demikian bagi mereka yang masuk ke Kerinci sejak usia anak-
anak. Meski lahir di Pacitan Jawa Timur, pada umur delapan bulan anak seorang
informan sudah dibawa merantau mengikuti ayahnya yang menjadi guru di Kerinci.
Anak-anak sang informan kini menggunakan Bahasa Kerinci dialek Pulau Sangkar
ketika berbicara sehari-hari dengan teman-teman mereka. Sehingga orang tua mereka
kadang tidak mengeri apa yang si anak-anak perbincangkan. Informan lainnya yang
masuk Kerinci pada 1960 saat masih kanak-kanak sampai sekarang juga masih lancar
81
Wawancara dengan Rustam Simak di Sungai Penuh 24-07-2009. 82
Wawancara dengan Saidina dan Emma Hussin di Lakitan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat,
23-07-2009.
83
Wawancara dengan Narto guru yang berasal dari Jawa Timur dan istrinya di Pulau Sangkar,
17-03-2009.
31
berbahasa Pulau Sangkar, mesipun dia kini sudah pulang ke kampung halamannya di
Pesisir Selatan.84
Di samping faktor bahasa, interaksi khususnya antara pendatang dari
Jawa dengan penduduk asli Pulau Sangkar kurang berjalan lancar karena
faktor tempat tinggal yang berjauhan. Para pendatang dari Jawa dan masuk Pulau
Sangkar karena dibawa Belanda sebagai kuli kontrak umumnya tinggal
mengelompok di lokasi yang agak jauh dari desa inti Pulau Sangkar. Sekitar empat
kilometer ke arah selatan Pulau Sangkar terdapat kampung Sembulun Pantai,
Kebunlima, dan Kebunbaru yang dihuni pendatang dari Jawa. Mereka sudah berada
disana sejak zaman Belanda. Wilayah ini masuk ke dalam kawasan tanah ulayat adat
Rencong Telang. Sepanjang waktu yang lama interaksi antara pendatang dari Jawa
ini dengan penduduk Pulau Sangkar berjalan hanya dalam perekonomian. Pada era
2000-an barulah mulai banyak terjadi hubungan pernikahan antar desa ini.
Pada era 1970-an larangan menikah dengan orang luar Pulau Sangkar
masih dominan dalam masyarakat setempat. Kalau ada remaja nikah dengan orang
luar maka dimarahi orang banyak. Seorang informan ingat suatu saat dimarahi
seorang ibu. Waktu itu sang remaja bersama beberapa teman yang belum menikah
mengobrol di depan sebuah lepau. Berhadap-hadapan dengan lepau itu seorang ibu
sedang mengobrol pula dengan sesama perempuan. Sang informan dan kawan-kawan
mengobrol tentang nikah dengan wanita luar Pulau Sangkar. Karena asiknya topik itu
mereka sampai tertawa terbahak-bahak. Rupanya si ibu dan kawan-kawannya
menyimak obrolan remaja laki-laki yang adalah anak-kemenakan mereka sendiri.
Tiba-tiba salah satu dari ibu-ibu itu keluar dari lingkaran obrolannya, mendekati
lingkaran obrolan sang informan. Dia marah besar dan menyebut beberapa lelaki
Pulau Sangkar yang sudah menikah di luar lalu lupa kampung halaman karena
mengikuti istri mereka. Lanjut sang ibu, “tidak ada yang beres kalian orang jantan ini.
Bawa saja tikar buruk nenek kalian ke rumah bini kalian. Bawa pergi merantau
sana. Kawin di luar saja khayalan kalian….”85
Betapa kuatnya penolakan terhadap pernikahan lelaki Pulau Sangkar dengan
orang luar pada era 1970-an terlihat pada cerita jalinan asmara antara Si Fulan jejaka
asli Pulau Sangkar dengan si Fulanah gadis pendatang dari Pesisir Selatan. Mereka
sudah mudo asek (pacaran serius). Mereka ingin melanjutkan hubungan ke jenjang
pernikahan. Bahkan mereka sudah sepakat akan kawin lari. Tetapi banyak orang,
terutama ayah si Fulan tidak mengizinkan anaknya menikah dengan mendah (sebutan
yang merendahkan bagi para pendatang). Si Fulan rupanya tidak kuat menghadapi
tekanan orangtuanya. Maka pada hari kawin lari direncanakan muncul luka di kaki si
Fulan. Luka itu dia buat sendiri untuk dijadikan alasan kepada si Fulanah kekasihnya
agar tidak jadi berangkat kawin lari.86
Tetapi larangan untuk menikah dengan orang luar ini tidak berlaku
ketat bagi anak perempuan Pulau Sangkar. Meski ada yang karena terpaksa, pada
masa PRRI ada banyak gadis setempat yang menikah dengan tentara APRI/Pusat yang
sedang menguasai desa ini. Pernikahan perempuan Pulau Sangkar dengan lelaki luar
tidak menjadi masalah karena ada prinsip yang diyakini orang disana dimano kambing
betino disitu kambing jantan. Ini bermakna bahwa orang Pulau Sangkar percaya
84
Wawancara dengan Narto guru yang berasal dari Jawa Timur dan istrinya, di Pulau
Sangkar, 17-03-2009, dengan Saidina dan Emma Hussin di Lakitan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat,
23-07-2009.
85
Wawancara dengan Jafni Nawawi di Sungai Penuh, 24-07-2009. 86
Wawancara dengan Win saudara si Fulan di Lubuk Paku, 29-03-2009.
32
kalau ada anak wanita mereka menikah dengan lelaki dari luar maka mereka akan
kembali, menetap, dan membangun rumah di kampung halaman si wanita itu
sendiri.87
Meskipun demikian perempuan Pulau Sangkar yang menikah dengan orang
luar pada era 1960-an kadang-kadang masih mendapatkan cibiran. Pada era ini wanita
menikah di luar belum merupakan hal biasa. Seorang informan pada era 1960-an
mengalami kendala psikologis ketika menikah dengan orang Jakarta. Sang informan
diizinkan ayahnya menikah di luar dengan syarat harus menikah dengan orang Islam
dan mempertahankan nama baik keluarga. Suami sang informan adalah seorang
wartawan berita sekaligus fotografer. Ketika diajak pulang ke Pulau Sangkar maka
mucullah komentar miring masyarakat tentang pernikahan sang informan. Ada yang
mencibir, “dia itu sekolah tinggi sampai Jakarta. Tapi kok dapat suami cuma tukang
foto.”88
Karena sulitnya penerimaan umum bagi pernikahan antara penduduk asli
Pulau Sangkar dengan mendah maka pada era 1980-an dan sebelumnya para
pendatang di Pulau Sangkar banyak yang menikah dengan sesama pendatang. Seorang
perempuan informan yang berasal dari Pesisir, misalnya, menikah dengan lelaki
sesama pendatang tetapi berasal dari Muko-muko pada tahun 1976. Dia sebelumnya
memiliki calon suami anak asli Pulau Sangkar. Mereka saling menyintai dan siap
menikahi. Mereka bahkan sudah siap untuk kawin lari. Tetapi kuatnya tekanan dari
keluarga sang calon suami membuat hubungan mereka putus di tengah jalan.
Pada era 2000-an pernikahan anak-anak Pulau Sangkar dengan orang
dari luar desa mereka semakin sering terjadi. Meski demikian beberapa ibu belum
sepenuhnya bisa menerima kenyataan bahwa menantu mereka bukan orang sedesa
sendiri. Seorang informan, misalnya, membutuhkan beberapa waktu dan banyak
nasehat untuk bisa menerima realitas bahwa anaknya menikah dengan orang Minang-
Jambi. Padahal sang informan bersama keluarganya sudah bertahun-tahun tinggal di
Jambi. Suami sang informan lebih bisa menerima kenyataan itu. Dia tidak memarahi
anaknya yang menikah dengan orang luar desa mereka. Bagi dia ini hal yang sudah
terjadi. Jadi terserah pada si anak. Sesuatu yang penting adalah mereka harus
seagama. Suatu saat sang informan dinasehati oleh pamannya, ”Fulanah, menantu kau
itu janganlah dimarah-marahi lagi. Itu sudah jadi nasib dia. Orang luar juga banyak
yang baik-baik. Kenyataannya kini orang Jawa bini adikku itu yang baik pada
anakku yang kuliah di Jogja.”89
Rendahnya hubungan timbal balik memudahkan munculnya ketegangan
antara para pendatang dengan penduduk asli Pulau Sangkar. Di samping itu
tekanan ekonomi yang melanda kawasan ini pada era 1990-2000-an menambah faktor
pemicu konflik. Pada awal 2000-an sebuah konflik terbuka terjadi antara penduduk
asli Pulau Sangkar dengan pendatang yang sudah lama bermukim di Kebunbaru.
Lahan milik adat yang sudah lama digarap oleh pendatang diambil paksa oleh
penduduk asli. Mereka juga mengambil paksa lahan yang digarap pendatang yang
memegang bukti kepemilikan dalam bentuk segel jual beli dari penjual yang orang
Pulau Sangkar. Konflik tidak berlanjut setelah aparat terkait turun tangan dan
masyarakat pendatang tetap sabar, tidak melakukan aksi-aksi.
Para pendatang percaya bahwa watak asli orang Pulau Sangkar itu baik.
Seorang informan yang merupakan tokoh pendatang meyakini bahwa dalam
87
Wawancara dengan Rustam Simak di Sungai penuh, 24-07-2009. 88
Wawancara dengan si Fulanah di Jakarta, 03-03-2009. 89
Wawancara dengan Azmani Atmam , Sukyardi Muis, dan Kasman Z ainuddin, di Pulau
Sangkar, 16-03-2009.
33
peristiwa itu ada biang kerok. Selama ini hubungan orang Pulau Sangkar dengan para
pendatang berjalan baik. Dia juga percaya bahwa orang Pulau Sangkar bijaksana.
Kalau sebelumnya dikatakan bahwa itu memang tanah adat maka sebagaimana pada
masa lalu mereka mau berduyun-duyun membayar uang adat itu. Dalam kasus
pengambilam paksa itu tidak ada petinggi adat yang kulonuwun ke tempat mereka.
Padahal pada masa lalu sistem bayar uang adat itu sudah biasa terjadi. Bagi dia itu
adalah sewajarnya karena tanah-tanah itu memang milik adat. Sang informan yakin
bahwa orang Pulau Sangkar itu arif. ”Wong nyatanya saya sejak tahun 84 mengantar
pisang ke orang Pulau Sangkar, saya tidak pernah disalahi. Termasuk saya juga belum
pernah menyalahi. Jadi baik sama baiknya.”90
2. Mereka yang Pergi dan Mereka yang Bertahan
Kemunduruan perekonomian menjadi penyebab utama para pendatang
meninggalkan Pulau Sangkar. Mereka yang membanjiri Pulau Sangkar pada era 1980-
an dan sebelumnya itu, mulai 1990-an kesini meninggalkan Pulau Sangkar, mencari
tempat perantauan yang baru atau kembali ke kampung halaman masing-masing.
Meski demikian beberapa pendatang memutuskan tetap tinggal di Pulau Sangkar.
Seorang informan yang masuk Pulau Sangkar pada 1960, kini menetap di
kampung halamannya di Pesisir Selatan. Dia pulang kampung sejak 1993 mengikuti
langkah yang dilakukan kedua orang tuanya. Anak-anaknya semua lahir di Pulau
Sangkar tetapi kemudian dibesarkan oleh nenek mereka di Pesisir Selatan. Salah satu
pertimbangan informan menyusul pulang kampung adalah karena anak-anaknya
sudah besar dan sudah tidak mampu lagi dijaga hanya oleh neneknya.Tentu saja
alasan pokok kepindahan para pendatang seperti informan ini adalah kemerosotan
ekonomi Pulau Sangkar. Lebih lanjut dia berkata “Sedangkan ekonomi Pulau
Sangkar sudah mulai agak payah. Padahal sebelumnya ekonomi disana bisa untuk
membiayai kehidupan kami disini. Rumah kami di sini ini saja asalnya dari Pulau
Sangkar.”91
Di samping petani penggarap lahan, para pendatang lainnya yang kini tidak
betah tinggal di negeri ini adalah guru PNS. Seorang informan yang berasal dari Jawa
Timur adalah guru PNS di SMA N di Pulau Sangkar sejak 1998. Teman-temannya
sesama guru yang tidak menikah dengan pendudik asli kini sudah balik ke Jawa
semua. Mereka yang menetap hanya sedikit, antara lain seroang guru yang memang
beristri dengan penduduk Kerinci. Informan sendiri dulu ketika berangkat pertama
kali ke Jambi sudah bersama dengan istri dan anak. “Kalau seandainya bujang,
mungkin sudah lama meninggalkan Kerinci. Saya nunggu sertifikasi Pak. Kalau saya
tinggalkan, kan sayang. Nanti disana (di Jawa) antrinya dari bawah lagi.”92
Tetapi sebagian pendatang memutuskan tetap tinggal di Pulau Sangkar. Salah
satu dari mereka adalah Mbah Panut. Sebagian anak Mbah Panut lahir di Tanjung
Karang dan sebagian yang lain lahir di Kebunlima Pulau Sangkar. Dia juga masih
memiliki banyak saudara di desa Jlegiwinangun, Kutowinangun Kebumen. Meski
demikian dia berencana di masa depan akan terus menetap di Kebunlima Pulau
Sangkar. Dia masuk kawasan ini sejak 1970-an. Dimulai dengan menjadi buruh tani,
kini dia sudah memiliki lahan dan rumah sendiri. Dia menegaskan, ”saya akan tetap
disini. Susah payah, pahit getir, sudah dijalani disini. Di Jawa ada kematian, ada
90
Wawancara dengan Panut, tokoh masyarakat Jawa pendatang di Sembulun Pantai, 12-03-
2009.
91
Wawancara dengan Emma Husin di Lakitan, Pesisir Selatan Sumatera Barat, 23-07-2009. 92
Wawancara dengan Narto di Pulau Sangkar, 17-03-2009.
34
makan, disini juga ada. Badan sudah lama disini dan secara mencari makan sudah
faham disini.”93
Pada sisi lain para pendatang yang sudah mudik ke kampung halamannya
tidak bisa melupakan Pulau Sangkar yang lama membesarkan mereka. Seorang
informan dan istrinya kini tinggal di kampung halaman istrinya di Pesisir Selatan.
Mereka mengaku selalu memiliki rencana untuk sesekali pergi reuni ke Pulau
Sangkar. Dia merasa enak tinggal di Pulau Sangkar. Serasa tinggal di kampung
sendiri. Disana dia juga memiliki banyak kawan. Selama tinggal di Pulau Sangkar dia
memang tidak tinggal di ladang, dia tinggal di tengah kampung, sehingga apa saja
kegiatan kampung dia ikut serta. Tetapi, lanjut sang informan, ”melaksanakan rencana
untuk reuni ke Pulau Sangkar itu yang payah kini. Eekonomi kini tidak seperti dulu
lagi. Tanggungan masih banyak...”94
Uraian di atas memperlihatkan bahwa naik turun perekonomian berdampak
langsung pada naik turunnya orang yang masuk dan orang yang keluar Pulau Sangkar.
Pada suatu masa ketika Pulau Sangkar sedang makmur maka kawasan ini dibanjiri
pendatang. Bahkan sampai terjadi separuh populasi adalah pendatang. Pada masa
yang lain, seperti pada dekade 1990-an sampai 2000-an dimana perekonomian
sedang merosot, maka negeri ini tidak menarik lagi bagi para pendatang. Bahkan
banyak anak negeri yang bertebaran mengadu nasib ke negeri orang di berbagai
penjuru. Dengan berbagai dinamika mereka yang pergi dan mereka yang bertahan itu,
dewasa ini penduduk Pulau Sangkar keseluruhannya adalah 2.764 jiwa. Jumlah itu
sudah meliputi tiga desa yang merupakan pemekaran dari desa asal Pulau Sangkar.
Dari 2.764 jiwa itu penduduk perempuan (1.355) lebih banyak 54 jiwa dari laki-laki
(1.409). Tingginya angka perantauan barangkali menjadi salah satu penyebab
mengapa penduduk laki-laki lebih sedikit dibandingkan penduduk perempuan di
Pulau Sangkar kini.95
93
Wawancara dengan Panut di Sembulun Kerinci, 12-03-2009. 94
Wawancara dengan Saidina dan Emma Hussin di Lakitan, Pesisir Selatan Sumatera Barat,
23-07-2009. 95
BPS Kabupaten Kerinci, Kecamatan Batang Merangin dalam Angka Tahun 2005.
35
BAB III
SEJARAH PEMERINTAHAN
DAN WILAYAH KEKUASAAN
Sistem pemerintahan pada masyarakat adat Rencong Telang memiliki akar
sejarah yang panjang. Pemerintahan pertama yang dikenal adalah Tanah Sigindo
yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan Manjuto atau Pamuncak Nan Tigo
Kaum. Selanjutnya wilayah ini menjadi bagian dari kerajaan Daulat Depati Empat
Alam Kerinci. Kini di era Negara Kesatuan Republik Indonesia wilayah komunitas
adat Depati Rencong Telang tersebar ke beberapa desa yang termasuk ke dalam
beberapa kecamatan di Kabupaten Kerinci bagian hilir. Desa Pulau Sangkar, yang kini
berada di Kecamatan Bukit Kerman Kabupaten Kerinci merupakan desa asal yang
masih menjadi pusat komunitas adat Depati Rencong Telang sampai saat ini.
A. Tanah Sigindo dan Kerajaan Manjuto/Pamuncak nan Tigo Kaum
Sistem pemerintahan awal dengan batas-batas wilayah yang jelas atas
wilayah Kerinci pada umumnya mulai terlihat pada era Tanah Sigindo. Tanah
Sigindo adalah kawasan pemukiman atau dusun yang otonom secara politik dan
mandiri secara ekonomi. Pada masa itu di Kerinci, baik Kerinci Tinggi maupun
Kerinci Rendah, terdapat beberapa Tanah Sigindo. Tanah Sigindo yang terkenal di
Kerinci Tinggi antara lain Tanah Sigindo Ilok Misai di daerah Dusun Sungai Tenang
(Koto Tapus), Tanah Sigindo Balak di Tanjung Kasri, Tanah Sigindo Rawang di
Dusun Rawang, Tanah Sigindo Kuning di Dusun Seleman, Tanah Sigindo Bauk di
Dusun Tamiai, Tanah Sigindo Batinting atau Sigerinting di Jerangkong Tinggi, Tanah
Sigindo Sakti di Tanjung Muara Sekiau. Sedangkan Tanah Sigindo di daerah Kerinci
Rendah adalah Tanah Sigindo Sigilintang di Dusun Sungai Lintang dekat Pamenang,
tanah Sigindo Purba Timben di Tanah Renah, dan Tanah Sigindo Dusun Purba
Muara Semukun di Lubuk Gaung.96
Seiring dengan perjalanan waktu, kemudian berdiri kerajaan Manjuto.
Kerajaan ini bersifat federatif yang merupakan gabungan dari beberapa Tanah
Sigindo. Pada awalnya Kerajaan Manjuto berpusat di Tanjung Kasri dibawah
penguasa Sigindo Balak. Setelah Sigindo Balak wafat, menantunya yang bernama
Sigindo Sri Sigerinting dan bertempat tinggal di Jerangkong Tinggi diangkat menjadi
raja. Sebagai penguasa baru dia memindahkan pusat pemerintahan ke Pulau Sangkar.
Nama Kerajaan kemudian lebih dikenal dengan Kerajaan Pamuncak Nan Tigo Kaum.
Ini terkait dengan wilayah kekuasaan kerajaannya yang merupakan gabungan dari
tiga wilayah: wilayah Sigindo Ilok Misai atau Pamuncak Bungsu di Muara
Tapus/Jangkat Sungai Tenang, wilayah Sigindo Balak atau Pamuncak Tengah di
Tanjung Kasri, dan wilayah Sigindo Sri Sigerinting sendiri atau Pamuncak Tuo di
Pulau Sangkar.97
Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, menurut cerita rakyat
setempat Sigindo Sri Sigerinting ini adalah nama lain dari Datuk Perpatih Nan
Sebatang, penguasa yang berasal dari Istana Pagarruyung. Di Istana Pagaruyung
saat itu terjadi konflik dalam kerajaan yang menyebabkan dia keluar dari istana. Dia
96
Tentang Tanah Sigindo ini lebih lanjut lihat Idris Djakfar dan Indra Idris, Menguak Tabir
Prasejarah di Alam Kerinci, Sungai Penuh: Pemerintah Kabupaten Kerinci, 2001, hal. 15-16. 97
Rasyid Yakin, Menggali Adat Lama Pusako Usang di Sakti Alam Kerinci, Sungai Penuh:
tanpa penerbit, 1986, hal. 3.
36
pergi dengan membawa rombongan keluarganya menuju ke arah Gunung Kerinci.
Selama dalam perjalanan sang anak raja ini membawa pengiring antara lain orang
Selampaung sebagai teman dalam perjalanan. Karena gagah dan perkasa maka di
daerah Kerinci Hulu dia mendapat gelar Tan Siah Sigindo Rao. Dia menyiah
(membersihkan) Batang Merao dengan menyingkirkan batu-batu yang berada di
sebelah kiri dan kanan sungai hanya dengan batang kayu. Pada akhir dari perjalan dia
rnenetap di Jerangkong Tinggi di kawasan Rencong Telang.
Ketika Datuk Perpatih nan Sebatang masuk pertama kali ke kawasan
Rencong Telang, disana sudah ada masyarakat Kecik Uwok Gedang Uwok. Mereka sudah memiliki sistem sosial dimana kekuasaan dipegang oleh tiga orang
raja: yang tertua Karinggao Bungkuk, yang menengah Mutong Itam, yang bungsu
Tebung Tandam. Semua nama ini di Kerinci kini dikenal sebagai nama-nama
binatang. Tebung tandam adalah nama binatang penyengat, mutong itam adalah
nama lain untuk takhaeh yang juga juga bisa menggigit. Sedangkan karinggao
bungkuk adalah binatang penyengat yang kalau menggingit, walau sampai putus
kepalanya, tidak bisa dilepaskan dari objek gigitannya.
Kehadiran Saang Datuk segera memunculkan konflik perebutan
kawasan. Sang Datuk menyatakan wilayah itu milik istana Pagarruyung. Sedangkan
Uwok menegaskan wilayah itu milik nenek moyang mereka. Uwok adalah orang yang
lurus, kuat, dan segala iya segala jadi. Segala iya berarti siap untuk menghadapi
siapapun dan apapun. Segala jadi bermakna apa yang dia kehendaki selalu menjadi
kenyataan. Tetapi sang Datuk adalah orang yang cerdas. Dia tidak menggunakan
kekerasan, dia lebih senang berdiplomasi. Untuk itu dia mengucapkan sebuah
sumpah di hadapan Uwok. Sumpah sang Datuk yang diingat turun temurun oleh orang
Pulau Sangkar berbunyi
“kalau doak milik Pagarruyung tanah sebingkah di bawah tongkat aku inai, kleh
umput lantae buluh biloah di ateh mutong di bawah ngadah, hidup seperti kayau
ateh tbet. Di ateh doak bepucuk ke bawoh doak beurek di tengah digehuk
kumbang. Di bewoh sumpah karang setiao, di ateh piagoa pandai beketo. Selagi
burung gegeok itaa burung buntuu puteh laut tagenoa geroam masii, hidup doak
agi beik. Hidup sinaa pundoo mati akaa, hidup segoa mati dok ndoak, sina abu
diateh tunggow, dikutuk kur-a tigo puluh juih”
(kalau bukan milik Pagarruyung kawasan tanah di bawah tongkat saya ini, maka
hidup saya akan seperti kayu di atas kolam. Di atas tidak berpucuk di bawah tidak
berakar, di tengah dilobangi kumbang. Di bawah sumpah karang setia, di atas
piagam pandai berkata, selagi burung gagak berwarna hitam, burung buntuu
berwarna putih, laut tergenang garam asin, hidup saya tidak lagi menjadi baik.
Hidup seperti pundoo yang akarnya mati, hidup segan mati tidak mau, seperti abu
di atas tunggul, dikutuk Al-Qur’an tiga puluh juz).98
Kesanggupan sang Datuk bersumpah dengan segala akibatnya
meluluhkan hati Uwok. Sang Datuk akhirnya menerima penyerahan wilayah yang
diperebutkan itu dari Uwok. Wilayah itu kemudian dikenal dengan nama Tanah Nan
Sebingkah alias Pulau Sangkar. Sang Datuk kemudian mendapatkan gelar baru yaitu
Sigindo Sri Sigerinting alias Sigindo Batinting. Batinting artinya tahan terhadap
98
Wawancara dengan Sarel Masyhud di Pulau Sangkar, 19-03-2009. Lihat juga Rasyid
Yakin, op.cit, Sungai Penuh: tanpa penerbit, 1986, hal.4-5. Beberapa bagian dari sumpah Datuk
Perpatih nan Sebatang ini selanjutnya secara turun temurun diucapkan dalam sumpah jabatan bagi
orang yang diangkat menjadi depati di kawasan Rencong Telang.
37
segala macam senjata. Selanjutnya para uwok yang kalah itu menjadi sahabat Sigindo
Sri Sigerinting. Masing-masing mereka ditempatkan di wilayah yang baru dan diberi
gelar. Karenggo Bungkuk ditempatkan di Lubuk Paku dan diberi gelar Menggung.
Mutong Hitam bertempat di Jerangkong Tinggi atau Muak dan bergelar Rio.
Sedangkan Tebung Tandam tinggal berdampingan dengan beliau di Dusun Pondok
dan bergelar Mangku.99
Cerita tentang Kerajaan Pamuncak nan Tigo Kaum memperlihatkan
adanya hubungan yang sangat erat antara Sigindo Sigerinting dengan Sigindo
Balak dan Sigindo Ilok Misai. Masyarakat di Wilayah Serampas (Jangkat, Tanjung
Kasri dan Muara Tapus) juga mengakui hal ini. Tetapi uniknya masyarakat di wilayah
ini memiliki versi yang berbeda tentang hubungan persaudaraan antar tiga sigindo itu.
Bagi mereka Sigindo Sigerinting itu kakak beradik dengan Sigindo Balak dan Sigindo
Ilok Misai. Sigindo Sigerinting adalah anak tertua, anak kedua adalah Sigindo balak,
dan anak ketiga atau bungsu adalah Sigindo Ilok Misai. Mereka menjadi raja yang
sama di negeri Jerangkong Tinggi Pulau Sangkar. Keadaan seperti itu tentu membuat
keadaan tidak nyaman karena wilayah terasa sempit. Maka tiga orang kakak beradik
tersebut membuat kesepakatan yang diikat dengan Janji Karang Setio dan siapa yang
melanggar akan dimakan biso kawi.
Kesepakatan pertama antar tiga bersaudara itu terkait dengan
pembagian wilayah. Mereka bersepakat bahwa Sigindo Batinting tetap bekuasa di
Jerangkong Tinggi Pulau Sangkar. Wilayah kekuasaan Sigindo Balak haruslah di
bagian arah matahari terbit/timur wilayah kekuasaan Sigindo Batinting. Selanjutnya
wilayah kekuasaan Sigindo Ilok Misai haruslah di arah matahari terbit/sebelah timur
kekuasaan Sigindo Balak.
Kesepakatan kedua terkait dengan keamanan wilayah. Untuk itu mereka
berjanji bila datang musuh dari arah matahari terbenam/barat maka yang bertanggung
jawab adalah Sigingo Batinting. Dia harus bebenteng dado berkuto betis dan beranjau
tunjuk menjaga wilayah adik perempuannya yaitu Sigindo Balak. Artinya langkahi
dulu mayat Sigindo Batinting baru musuh boleh masuk ke wilayah Sigindo Balak.
Bila datang musuh dari arah timur maka yang bertanggung jwab adalah Sigindo Ilok
Misai. Dia harus bebenteng dado berkuto betis dan beranjau tunjuk menjaga wilayah
Sigindo Balak kakak perempuannya. Artinya langkahi dulu mayat Sigindo Ilok Misai
baru musuh boleh masuk ke wilayah Sigindo Balak.
Kesepakatan ketiga terkait dengan pola pemerintahan di dalam dan
antar negeri mereka. Bahwa antar mereka tidak boleh: pepat di luar rencong di
dalam, budi menyuruk akal merangkak, menggunting dalam lipatan, menohok kawan
seiring. Bahwa antar mereka harus: sesopan semalu, ke hilir dayung di rengkuh ke
mudik satang serentak, dapat samo belabo hilang samo merugi, samo makan tanah
bilo telungkup samo minum air bilo teletang. Bahwa dalam memerintah harus: samo
baik, memakan habis memancung putus menghukum adil, di papan jangan mengentak
di duri jangan menginjek, tambah kuah jangan batambuh tampak cabe jangan
berhenti, ke darat samo dipungut bungo kayu, ke air samo dipungut bungo pasir,
siapo timpang balik muko bak kijang betanduk tigo, orang timpang bailik muko,
aling-aling di atas bukit titian galei tengah negeri, burung gedang ciling mato ke
mudik bawa kampil ke hilir bawa karung, jadi bencah payo agung. Dimakan biso
99
Wawancara dengan Sarel Masyhud di Pulau Sangkar, 19-03-2009. Lihat juga Rasyid
Yakin, Rasyid Yakin, op.cit., Sungai Penuh: tanpa penerbit, 1986, hal. 5.
38
kawi ditelan sakti pusako rajo Rencong Sitiawa, kulok kati bagumbak emas, sumpit
gading badamak ipuh anak damak pulang pai dan keris ganjahera.100
Ketika pusat kerajaan Pamuncak Nan Tigo Kaum ini berada di Pulau
Sangkar ini dikenal pepatah Depati Rencong Telang tegak di ateh ubun-ubun
nan tigo. Ini artinya Sigindo Sri Sigerinting alias Depati Rencong Telang sebagai
penguasa tertinggi Pamuncak Tuo sekaligus penguasa kerajaan Pamuncak nan Tigo
Kaum. Ini juga berarti pemilik ulayat seluruh wilayah yang masuk ke dalam
kekuasaan Pamuncak Nan Tigo Kaum adalah Depati Rencong Telang. Namun
demikian sistem pemerintahan yang berlaku bersifat federatif. Artinya seluruh tanah
di dalam kerajaan Pamuncak nan Tigo Kaum itu membentuk negara bagian yang
memiliki otonomi tetapi dengan pemegang hak ulayat adalah Depati Rencong yang
berdomisili di Pulau Sangkar.
Kerajaan ini berada diantara dua kerajaan tetangga pada masa itu yaitu
Kerajaan Minangkabau di sebelah utara dan Kerajaan Jambi di sebelah timur.
Luas daerah taklukan kerajaan Manjuto/Pamuncak Nan Tigo Kaum dirumuskan
dalam kalimat “Semenjak dari Pematang Tumbuk Tigo, sampai Sebih Kuning Muaro
Saliman, sampai Semerap mendaki Gunung Raya, turun ke Sungai Batang Silaut,
sampai Sungai Serik, sampai ke Ombak Bedebur. Sebelah Utara bagian Timur dari
Pematang Tumbuk Tigo berbatas dengan Depati Muaro Langkap, menuju ke arah
Peratin Tuo dengan Pembarab Tiang Pumpung, terus ke Limun Batang Asai, ke
Sungai Suo di Muara Aman, sampai mengalir ke Batang Ketaun, sampai ke Ombak
Nan Berdebur.101
Untuk keadaan sekarang wilayah ini berada pada pertemuan tiga
wilayah yaitu Sumatera Barat bagian selatan, Jambi bagian barat, dan Bengkulu
bagian utara.
Dalam perkembangan sejarahnya Kerajaan Pamuncak nan Tigo Kaum
mulai mengalami kemunduran. Beberapa wilayah mulai lepas kendali karena satu
dan lain hal. Puncaknya kerajaan ini tinggal menjadi catatan sejarah. Inilah kerajaaan
yang disebut Mr. Mohd.Yamin, sebagaimana dikutip Rasyid Yakin (1986), dengan
sebuah kerajaan yang menghilang dengan nama Kerajaan Hulu Sungai. Hal ini
disebut Yamin ketika beliau datang ke Kerinci dan mengadakan pertemuan dengan
tokoh-tokoh adat Kerinci pada tahun 1934.
Salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Puncak Nan Tigo Kaum dikenal
dengan daerah ombak nan bedebur. Wilayah ini berada di pantai barat Sumatera atau
daerah Muko-muko dan sekitarnya. Wilayah ini kemudian dimasuki oleh Inggris.
Pamuncak Tuo atau Rencong Telang lalu menyerahkan pengurusan kawasan ini
kepada Depati Anum Mulai Jadi. Karena itu bunga-pasir (pajak/sewa lahan) bagi
Inggris karena memasuki wilayah ini diterima oleh Depati Anum Mula Jadi. lnggris
membayar bunga pasir berupa alat-alat makan, kain, uang, bedil, dan meriam.
Meriam itu disembunyikan di dalam parit di Lempur Mudik ketika Belanda yang
menggantikan Inggris di Sumatera berhasil menembus benteng Depati Parbo dalam
perang Kerinci 1901. Meriam sebagai bukti sejarah ini ini sampai kini belum berhasil
ditemukan.102
100
Lihat Muchtar Agus Cholif, Timbul Tenggelam Pesataun Wilayah Luak XVI Tukap Khunut
di Bumi Undang Tambang Teliti, Jambi: tanpa penerbit, 2009. Hal. 41-43. 101
Rasyid Yakin, op.cit, hal. 5-6. Wawancara dengan Sarel Masyhud di Pulau Sangkar 19-
03-2009. 102
Rasyid Yakin, op.cit., hal. 5-6. Wawancara dengan Juhaimi Tamin di Pulau Sangkar 11-
03-2009.
39
B. Daulat Depati Empat Alam Kerinci
Sistem pemerintahan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Pamuncak Nan
Tigo Kaum adalah Daulat Depati Empat Alam Kerinci. Munculnya nama ini
terkait dengan cerita tentang seorang adipati yang bernama Raden Serdang. Dia juga
dikenal dengan nama Tiang Bungkuk Mendugo Rajo. Sebagaimana adipati-adipati
yang berasal dari Mataram lainnya, Raden Serdang juga menikah dengan penduduk
setempat. Dia menikah dengan anak Sigindo Bauk di Tamiai. Ini terjadi pada era
Hangtuao Maligei sedang berkuasa di Pulau Sangkar sebagai Depati Rencong Telang.
Pada sekitar permulaan abad ke-16, sebagai keturunan Kerajaan
Mataram dia meminta pusat kerajaan Mataram untuk mengirim kain
kebesaran adipati ke Kerinci. Oleh Kerajaan Mataram dikirimlah empat helai kain
kebesaran adipati menuju Kerinci. Tetapi ketika melewati daerah Jambi, kain
kebesaran itu diambil oleh Raja Jambi dengan maksud dia sendiri yang mengantarkan
kain kebesaran itu. Artinya Jambi ingin menunjukkan bahwa Kerajaan Jambi
berkuasa atas Kerinci. Peristiwa ini menimbulkan kemarahan Raden Serdang. Dia
kemudian bersikap antipati terhadap segala hal yang berbau Jambi. Dalam tradisi lisan
setempat sikap melawan Jambi ini terekam dalam kata-kata berletuk (berjantung)
pisang menghadap Jambi ditebas berkokok ayam menghadap Jambi dipancung.
Oleh karena itu Raja Jambi berusaha menaklukkan Raden Serdang. Dia
mengirim hulubalang Jenang nan 40 untuk menangkap Tiang Bungkuk hidup atau
mati. Tiang Bungkuk berhasil mengalahkan Jenang nan 40 sehingga mereka hilang
raib padam berito. Usaha ini diulangi untuk kedua kalinya dengan hasil yang sama.
Akhirnya Raja Jambi mengirim Pangeran Temenggung. Pangeran ini datang ke
Tamiai dengan membawa kain kebesaran kerajaan yang terbuat dari sutera dan
bersulam emas yang menyilaukan mata. Dia juga membawa hulubalang pilihan dan
tipu muslihat. Ketika pakaian kebesaran disorongkan, Tiang Bungkuk melepas
bajunya guna memakai pakaian kebesaran itu. Ternyata pakaian kebesaran itu
digunakan oleh hulubalang untuk menutup mata Tiang Bungkuk dan keris Mataram
yang menjadi andalan Tiang Bungkuk berhasil dirampas. Maka kekuatan Tiang
Bungkuk berkurang. Meski melawan, dia ibarat mencit seekor penggedo seratus. Dia
berhasil ditawan hulubalang Jambi, ditangkap hidup-hidup, diseret dengan siksaan,
dan dibawa ke Jambi.103
Setelah Raden Serdang meninggal dunia Pangeran Tumenggung diutus
atas nama Kerajaan Jambi menuju Kerinci. Dengan menghulu Batang Merangin
dia membawa empat helai kain kebesaran yang berasal dari Kerajaan Mataram
tersebut. Sesampai di Tamiai kain kebesaran pertama diberikan kepada Depati Muara
langkap keturunan Sigindo Bauk. Selanjutnya sampailah dia di Pulau Sangkar.
Disini kain kebesaran kedua diberikan kepada Depati Rencong Telang keturunan
Sigindo Sri Sigerinting. Selanjutnya sesampai di Pengasi kain kebesaran ketiga
diberikan kepada Depati Biangsari keturunan Sigindo Teras. Akhirnya rombongan itu
sampai di Hiang. Kain kebesaran yang keempat lalu diberikan kepada Depati Hatur
Bumi keturunan Sigindo Kuning.
Tetapi di bagian hulu Alam Kerinci masih ada beberapa depati yang juga
berhak menerima kain kebesaran itu. Untuk itu atas dasar runding dan mufakat
kain kebesaran yang keempat atau terakhir dibagi menjadi delapan helai kain
kebesaran. 1/8 helai helai kain pertama untuk Depati Hatur Bumi di Hiang. Depati
103
Rasyid Yakin, op.cit., hal. 8-11.
40
Batu Hampar di Tanah Kampung, Depati Sirahmato di Saleman, dan Depati Mudo di
Penawar, masing-masing mendapat 1/8 helai kain. Depati Tujuh di Sekungkung,
Depati Kepala Sembah di Semurup, Depati Situo di Kemantan, masing-masing
mendapat 1/8 helai kain. Sedangkan 1/8 helai kain terakhir diberikan kepada Depati
Tanah Rawang. Tiga yang pertama dikenal dengan nama Tiga di Hilir dan tiga yang
kedua dikenal dengan nama Tiga di Hulu. Inilah yang melatar belakangi istilah Tiga
di Hilir Tiga di Hulu Empat Tanah Rawang. Sehingga nama lengkap dari sisitem
pemerintahan di Kerinci pada era ini adalah Daulat Depati Empat Delapan Helai Kain.
Meskipun demikian yang lebih dikenal kemudian adalah nama Daulat Depati IV
Alam Kerinci.104
Setelah mendapatkan kain kebesaran para depati itu berkuasa atas
wilayah masing-masing yang disebut wilayah mendapo atau kemendapoan.
Inilah yang melatarbelakangi munculnya sistem kemendapoan di Kerinci. Di Kerinci
pada masa itu dikenal ada 11 kemendapoan. Ini sesuai dengan jumlah adipati yang
mendapatkan kain kebesaran itu. Masing-masing kemendapoan memiliki sistem
pemerintahan yang terdiri dari depati sebagai penguasa tertinggi, ninik mamak, dan
aparatur lainnya. Antar mendapo memiliki batas wilayah sendiri dengan batas ke air
berpasang batu ke darat berpasang lantak.
Selain empat tanah depati asal, Kerajaan Daulat Depati Empat Alam
Kerinci selanjutnya mengalami perkembangan wilayah. Di samping wilayah asal
yang kemudian disebut Kerinci Tinggi, juga terdapat wilayah yang dikenal dengan
Kerinci Rendah. Secara keseluruhan Kerinci meliputi tujuh tanah depati. Empat tanah
depati berada di Kerinci Tinggi yaitu:, Tanah Depati Atur Bumi, Tanah depati Biang
Sari, Tanah Depati Rencong Telang, Tanah Depati Muara Langkap Tanjung Sekiau.
Sedangkan tiga tanah depati terletak di Kerinci Rendah yaitu Tanah Depati Setio
Nyato yang berada di sebagian Kecamatan Sungai Manau sekarang, Tanah Depati
Setio Nyato yang berada pada sebagian Kecamatan Bangko, dan Tanah Depati Setio
Beti yang juga berada di sebagian Kecamatan Bangko. Tiga depati di Kerinci Rendah
ini adalah keturunan dari Anak Hangtuao Maligei yang ketiga yaitu Puti Beruji yang
menetap disana.
Selain tujuh Tanah depati itu Daulat Dapati Empat Alam Kerinci juga
memiliki dua daerah khusus. Dua daerah khusus ini tumbuh dan berkembang setelah
terbentuknya tiga tanah depati di Kerinci Rendah. Kedua tanah khusus ini terletak
pada daerah aliran sungai Batang Merangin di bagian hilir sampai ke muara yang
masuk ke sungai Batang Tebesi. Kedua tanah khusus itu disebut Tanah Pemarap yaitu
Tanah Pamuncak Pulau Rengas dan Tanah Pemarap Pemenang. Masing-masing tanah
ini terdiri dari sembilan dusun. Sedangkan orang Kerinci yang menyebar keluar dari
tujuh tanah depati disebut dengan orang Batin. Karena itu orang menyebut Pamuncak
Pulau Rengas dengan nama Batin Sembilan di Hulu dan Pemarap Pamenang dengan
nama Batin Sembilan di Hilir. Iniliah yang melatarbelakangi penyebutan Daulat
Depati Empat Alam Kerinci dengan nama Empat di Atas Tigo di Baruh Pamuncak
Pulau Rengas Pemarap Pemenang.105
Dalam kerajaan Daulat Depati Empat Alam Kerinci lembaga
pemerintahan tertinggi dikenal dengan nama Hamparan Besar Alam Kerinci. Lembaga yang berbentuk balai permusyawaratan ini berlokasi di Sanggaran Agung.
Di samping itu khusus untuk Depati Delapan Helai Helai Kain memiliki hamparan
khusus yang berada di Hamparan Rawang. Hamparan Rawang diikuti oleh Tigo di
104
Rasyid Yakin, op.cit., hal. 12. 105
Idris Djakfar dan Indra Idris, op.cit., hal. 19-21.
41
Hulu Empat Tanah Rawang, Tigo di Hilir Empat Tanah Rawang, ditambah Sungai
Penuh Pegawai Jenang Pegawai Rajo, Suluh Bindang Alam Kerinci. Hamparan ini
juga di bawah pengawasan Depati Nan Batujuh, Pemangku Nan baduo, Pementi Nan
Sepuluh.106
Daulat Depati Empat Alam Kerinci memiliki wilayah yang merupakan
satu kesatuan. Ini dirumuskan dalam kata-kata adat Siulak melentuk hilir Tamiai
melentuk mudik. Ke atas sepucuk ke bawah seurat. Sedentum bedilnyo sealun
suraknyo. Ke hilir serengkuh dayung ke mudik serentak satang. Kata-kata ini
bermakna bahwa Daulat Depati Empat Alam Kerinci merupakan negara kesatuan
berdaulat yang wilayahnya dimulai dari wilayah Siulak di mudik sampai wilayah
Tamiai di hilir. Semua kawasan dalam wilayah itu merupakan satu kesatuan hukum
seperti sebatang pohon yang sepucuk seakar. Ini berarti juga bahwa wilayah ini
berdaulat penuh dan mempunyai undang-undang dan hukum sendiri. Ini juga berarti
kerajaan ini tidak lagi berundang ke Alam Minangkabau dan berteliti ke Jambi.
Selanjutnya dalam hal semangat juang seluruh penduduk di wilayah ini berada dalam
satu komando dalam sebuah perahu besar untuk maju bersama.
Sebagai sebuah kerajaan Daulat Depati Empat Alam Kerinci merupakan
kerajaan yang bersifat federatif. Penguasanya adalah Jerangkong Tinggi. Dalam
prakteknya kekuasaan tersebar ke empat anaknya yang kemudian dikenal dengan
empat orang depati yaitu Depati Hatur Bumi, Depati Biang Sari, Depati Muara
Langkap, dan Depati Rencong Telang. Depati Hatur Bumi bertugas mengajun
mengarah (mengatur bumi/tanah) yang ada di alam Kerinci. Depati Biang Sari
berkedudukan sebagai cendekiawan. Depati Muara Langkap memegang peti nan
beduang (kas kerajaan) sebagai bendaharawan. Sedangkan Depati Rencong Telang
berfungsi pemegang kata akhir dari suatu masalah/perkara.
Persoalan-persoalan yang berkembang di tengah masyarakat dalam
kerajaan federatif ini diselesaikan secara bertahap. Tahap pertama diselesaikan
oleh Depati Biang Sari. Dalam menyelesaikan masalah digunakan prinsip tegok
nanyaao ito duduk nanyao unding (bediri menanyakan berita duduk menjalankan
perundingan). Tetapi bila sudah jenuh berunding tidak juga selesai, maka
permasalahan diserahkan kepada Depati Rencong Telang. Dialah yang memutuskan
perkara dengan prinsip mutuih ngan gunting ngilang beketo, satapak betuhut
salangkah bebelik. Ngehat mutuih, makaa abih (memotong dengan gunting,
menyelesaikan masalah dengan ucapan, setapak maju diikuti setapak mundur
berbalik, memotong sampai putus memakan sampai habis).107
Kekuasaan dalam Depati Empat Alam Kerinci merupakan Daulat
Mufakat. Kekuasaan dalam kerajaan ini bukanlah kekuasaan raja tunggal. Mufakat
dipelopori oleh para depati, antara lain Depati Nan Empat itu. Dalam
permusyawaratan para depati membawa kembar-rekan masing-masing sebagai
anggota Dewan Permusyawaratan Alam Kerinci. Depati Rencong Telang membawa
kembar-rekannya Depati Nan Berenam Pulau Sangkar, Depati Muara Langap
membawa kembar-rekannya depati Nan Berenam dari Pengasi, Depati Muara
Langkap membawa Depati nan Berenam dari Tamiai, dan Depati Hatur Bumi
membawa rekannya yaitu Tigo di Hilir Tiga di Hulu Empat Tanah Rawang.
C. Masa Penjajahan dan Masa Kemerdekaan
106
Rasyid Yakin, op.cit., hal. 13-14. 107
Wawancara dengan Sarel Masyhud, di Pulau Sangkarr, 19-03-2009.
42
Ketika kekuasaan yang lebih besar dari luar masuk ke Kerinci maka
Alam Kerinci mengalami berbagai dinamika sistem pemerintahan. Hal itu terjadi
baik pada masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, maupun masa kemerdekaan
Indonesia. Kekuasaaan Daulat depati Empat Alam Kerinci bercampur dengan sistem
pemerintahan baru dari luar yang masuk kesana. Pada satu ketika Kerinci menjadi
bagian dari kekuasaan yang berpusat di Jambi dan pada kesempatan lain Kerinci
menjadi bagian dari kekuasaan yang berpusat di Minangkabau atau Sumatera Barat.
Meskipun demikian kekuasaan adat yang ada dalam negeri Alam Kerinci masih terus
berjalan di tengah masyarakat, sampai sekarang. Termasuk di dalam hal ini adalah di
dalam negeri Rencong Telang.
Sebagaimana disebutkan di atas, Pada 1901, Belanda masuk Kerinci
untuk pertama kali.108
Meskipun demikian pada awal awal abad ke-19 orang Eropa
sudah masuk ke wilayah komunitas adat Rencong Telang. Pada 1800 peneliti Inggris
Charles Campbell sudah masuk wilayah ini dan pada November 1804 sampai 2 Maret
1805 Hasting Dare, letnan Inggris dari Benteng Marlborough Bengkulu bersama
rombongan prajuritnya dikirim ke wilayah ini untuk memadamkan serangan orang
Kerinci ke Sungai Ipuh yang berada dalam kekuasaan kompeni pada masa itu.109
Kehadiran Belanda berbuah pertempuran dengan penduduk Kerinci pada umumnya
dan orang Rencong Telang pada khususnya. Rakyat Kerinci tentu saja tidak menerima
kehadiran Belanda. Tetapi walaupun telah dilawan dengan sepenuh hati dan sekuat
tenaga, Belanda tetap berhasil menguasai dan menjajah Kerinci.
Pada sisi lain wilayah Kerinci Rendah, yang merupakan satu kesatuan
adat dengan Depati Empat Alam Kerinci dipisahkan dari Kerinci Tinggi. Saat
masuk ke Kerinci pada 1901 Belanda melakukan politik devide et impera. Belanda
memecah Daulat Depati Empat Alam Kerinci menjadi dua bagian. Kerinci Rendah
dimasukkan ke dalam underafdeeling Bangko yang bergabung dengan residensi
Palembang. Sedangkan Kerinci Tinggi dijadikan Landchap Korintji (daerah Swapraja
Kerinci) yang dimasukkan ke dalam Gevermnent Sumatra’s Westskust (Sumatera
Barat). Depati IV Alam Kerinci masih diberikan wewenang memerintah tanah depati
masing-masing. Namun mereka harus tunduk pada Asisten Residen yang ditempatkan
Belanda di daerah ini.
Setelah dipisahkan dengan Kerinci dan bergabung dengan Jambi, maka
wilayah Kerinci Rendah mulai memnggunakan tata pemerintahan baru. Kepala
wilayah tidak lagi bernama mendapo sebagaimana di Kerinci. Kepala wilayah di
Kerinci Rendah mengikuti nama yang sama di daerah Jambi yaitu Pasirah sebagai
kepala marga. Pada era ini di wilayah Kerinci Rendah dikenal ada enam pasirah yaitu:
Pasirah kepala Marga Serampas Tanjung Kasri, pasirah Kepala Marga Alam Sungai
Tenang Jangkat, Pasirah kepala Marga Pertin Tuo Dusun Tuo, Pasirah kepala Marga
Senggerahan Nilo, Pasirah kepala Marga Tiang Pumpung Muara Siau, dan pasirah
kepala Marga Renah Pembarap Guguk.110
Pada tahun 1906 Belanda mengeluarkan Jambi dari Residensi Palembang
dan mendirikan karesidenan baru dengan nama Residensi Jambi. Landschap
Kerinci lalu dikeluarkan dari Sumatera Barat dan dimasukkan ke dalam Residensi
Jambi. Bersamaan dengan ini Sultan Jambi dan Depati IV Alam Kerinci diberhentikan
108
Tim Penelitian Sejarah dan Budaya Kerinci, Depati Parbo Pahlawan Perang Kerinci,
Sungai Penuh: Pemda Kerinci, 1972, hal. 16. 109
Marsden, Wiiliam. Sejarah Sumatra, diterjemahkan dari History of Sumatra (1811) oleh
A.S. Nasution dan Mahyudin Mendim, Bandung: Remaja Rosda-karya, 1999, hal. 181-195. 110
Muchtar Agus Cholif, op.cit., hal. 17.
43
dari jabatan mereka. Kerinci lalu menjadi satu afdelling yang berada di bawah
kekuasaan Keresidenan Jambi. Sebagai afdelling Kerinci dibagi menjadi dua
onderdistrik, yaitu onderdistrik Kerinci Ilir dengan ibu negeri Sanggaran Agung dan
onderdistrik Kerinci Ulu dengan ibu negeri Semurup.
Tahun 1922 Kerinci dicabut dari Karesidenan Jambi dan dimasukkan kembali
ke dalam Karesidenan Sumatera Barat. Tetapi Kerinci dipindah ke afdelling Kerinci-
Painan yang merupakan bagian dari Karesidenan Westkust van Sumatera (Sumatera
Barat). Karesidenan ini beribukota di Padang. Selanjutnya pada masa pendudukan
Jepang yang dimulai pada tahun 1942, Kerinci dan Inderapura dijadikan sebagai
daerah bungsu (kabupaten tersendiri) yaitu Kerinci-Inderapura Bungsu yang termasuk
ke dalam Residensi Sumatera Barat.111
Kerinci memang sering mengalamai perubahan dalam status pemerintahan dan
wilyah. Berbagai kepentingan ingin menarik Kerinci masuk ke dalam wilayah
mereka. Meskipun demikian karena sejak awalanya merupakan satu kesatuan
masyarakat maka dalam hal adat istiadat, baik masyarakat yang mendiami daerah
Kerinci Tinggi yang sekarang menjadi Kabupaten Kerinci maupun Kerinci Rendah
yang sekarang bergabung dalam Kabupaten Merangin merupakan satu kesatuan. Hal
ini terlihat jelas dari norma-norma yang mendasari dan berlaku di tengah masyarakat
yang bisa dikatakan hampir tidak ada perbedaannya.112
Setelah kekuasaan penjajahan Belanda berakhir, pada masa
pemerintahan Republik Indonesia status pemerintahan Kerinci masih
berbentuk Kabupaten Kerinci-Inderapura. Kabupaten ini termasuk ke dalam
Karesidenan Sumatera Barat. Pada masa itu pulau Sumatera, berdasarkan UU No. 10
tahun 1948, dibagi menjadi tiga propinsi yaitu Propinsi Sumatera Utara yang
beribukota Medan, Propinsi Surnatera Tengah yang beribukota Bukittinggi, dan
Propinsi Sumatera Selatan dengan ibukota Palembang. Propinsi Sumatera Tengah
sendiri terdiri dari tiga karesidenan yaitu Karesidenan Selumatera Barat, Karesidenan
Riau, dan Karesidenan Jambi. Berdasar UU ini Kerinci bersama Inderapura
merupakan sebuah kabupaten dalam Karesidenan Sumatera Barat dengan nama
Kabupaten Pesisir Selatan-Kerinci yang disingkat dengan Kabupaten PSK.113
Sebagai sebuah kabupaten, ibukota kabupaten Pesisir Selatan-Kerinci
awalnya di Balai Selasa. Tetapi pada tahun 1948 ibukota kabupaten ini dipindahkan
ke Sungai Penuh. Sebagai sebuah kabupaten PSK ini dibagi menjadi tiga kawedanan:
Kawedanan Balai Selasa yang berkedudukan di Balai Selasa, Kawedanan Painan yang
berkedudukan di Painan, dan Kawedanan Kerinci yang berkedudukan di Sungai
Penuh. Kawedanan Kerinci sendiri dibagi menjadi tiga kecamatan: Kecamatan
Kerinci Hulu berkedudukan di Semurup, Kecamatan Kerinci Tengah berkedudukan di
Sungai Penuh, dan Kecamatan Kerinci Hilir berkedudukan di Sanggaran Agung.114
Kerinci sebagai sebuah kabupaten tersendiri resmi berdiri pada 10
November 1958. Pembentukan kabupaten baru ini seiring dengan pemekaran
Propinis Sumatera Tengah menjadi tiga propinsi yaitu Sumatera Barat, Riau, dan
Jambi. Sebagai kabupaten baru Kerinci terpisah dengan Pesisir Selatan. Kabupaten
Kerinci masuk ke Propinsi Jambi dan Kabupaten Pesisir Selatan tetap berada dalam
Propinsi Sumatera Barat. Di dalam Kabupaten Kerinci sendiri terdapat tiga kecamatan
111
Lihat, Indra dan Idris, op.cit. hal. 21. Lihat juga Rasyid Yakin, op.cit., hal. 15. 112
Idris Djakfar dan Indra Idris, op.cit., hal. 22.
113
Rasyid Yakin, op.cit., hal. 15.
114
Rasyid Yakin, op.cit., hal. 16.
44
sebagaimana pada saat masih menjadi Kabupaten PSK yaitu Kecamatan Kerinci Hulu
dengan ibukota Semurup, Kecamatan Kerinci Tengah dengan ibukota Sungai Penuh,
dan Kecamatan Kerinci Hilir dengan ibukota Sanggaran Agung. Kemudian sejak 1
April 1963 di Kabupaten Kerinci ditetapkan adanya 6 (enam) kecamatan: Gunung
Raya, Danau Kerinci, Sitinjau Laut, Sungai Penuh, Air Hangat, dan Gunung
Kerinci.115
Sejak terbentuknya enam kecamatan di Kabupaten Kerinci pada 1963
ini, nama Pulau Sangkar muncul kembali. Pulau Sangkar menjadi ibukota
kemendapoan. Kemendapoan adalah sebuah tingkatan pemerintahan di bawah
kecamatan dan di atas dusun/desa di Kerinci pada masa itu. Pulau Sangkar menjadi
ibukota Kemendapoan Tiga Helai Kain. Tiga helai kain merujuk pada tiga helai kain
kebesaran depati yang dikirim dari Kerajaan Mataram pada masa lalu kepada Depati
Muara Langkap, Depati Rencong Telang dan Depati Biang Sari. Pulau Sangkar tidak
menjadi ibukota kecamatan Gunung Raya dimana ia berada di dalamnya. Kecamatan
Gunung Raya beribukota di Lempur. Padahal pada zaman dahulu Pulau Sangkar
pernah menjadi ibukota kerajaan Pamuncak Nan Tigo Kaum yang wilayahnya
meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Gunung Raya.
Sepanjang dinamika sejarah kekuasaan pemerintahan sebagaimana
disebutkan di atas, dalam hal adat Posisi Pulau Sangkar tetap sentral sebagai
pusat kekuasaan adat. Ketika era Kerajaan Manjuto atau Pamuncak Nan Tigo
Kaum, Pulau Sangkar pernah menjadi ibukota kerajaan. Pada era Daulat depati IV
Alam kerinci, Pulau Sangkar menjadi salah satu dari empat pusat kekuasaan Daulat
Depati IV Alam Kerinci itu. Peran sebagai pusat komunitas adat itu tetap berlangsung
pada era kekuasaan negara dipegang oleh penjajah Belanda, penjajah Jepang, dan era
kemerdekaan.
Tetapi Pulau Sangkar tidak lagi menjadi pusat kekuasaan pemerintahan.
Ketika Kabupaten Kerinci terbentuk, ibukota kabupaten adalah Sungai penuh. Ketika
Kecamatan Gunung Raya berdiri dimana Pulau Sangkar berada di dalamnya, ibukota
kecamatan itu adalah Lempur. Hanya pada era kemedapoan masih berlaku, Pulau
Sangkar pernah menjadi ibukota Kemendapoan Tiga Helai Kain. Lalu ketika terjadi
pemekaran kecamatan di Kerinci dengan munculnya Kecamatan Batang Merangin,
ibukota kecamatan itu adalah Tamiai. Kini (2016) Pulau Sangkar yang sudah
berkembang menjadi empat desa, terpisah ke dalam dua kecamatan. Desa Pulau
Sangkar dan Pondok Pulau Sangkar menjadi bagian dari kecamatan Bukit Kerman.
Sedangkan Desa Baru dan Desa Seberang Merangin bergabung ke dalam Kecamatan
Batang Merangin. Semua desa ini berada di Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi.
115
Rasyid Yakin, op.cit., hal. 17-18.
45
BAB IV
SISTEM KEHIDUPAN SOSIAL
Kehidupan sosial dalam masyarakat Rencong Telang diatur melalui
suatu lembaga yang bernama adat. Istilah lain untuk adat adalah undang. Peran
adat dalam mengatur masyarakat bersifat fungsional dan mencakup berbagai bidang
dan aspek kehidupan. Adat juga mempunyai akar sejarah yang kuat. Ia mulai ditata
semenjak Datuk Perpatih Nan Sebatang berhasil menguasai Tanah Sabingkah yang
kemudian dikenal dengan nama Pulau Sangkar. Sebelumnya negeri ini tidak
mengenal adat. Kehidupan bersama diatur oleh alo dengan patut (asas alur atau garis
keturunan dan asas kepatutan) saja. Artinya kehidupan bersama diatur berdasar
kebiasaan yang sudah ada dalam masyarakat pada masa itu.
A. Sumber Norma dan Hukum Adat
Adat dalam masyarakat Rencong Telang disusun dari berbagai sumber. Sumber dalam menyusun berbagai norma dan hukum yang ada dalam adat itu adalah
lingkungan atau alam sekitar, adat negeri tetangga, dan yang terutama yaitu ajaran
atau syariat Islam. Bahwa adat bersumber dari alam sekitar terlihat dengan jelas dalam
berbagai rumusan adat yang terkait dengan alam sekitar. Kaitan itu bisa berupa kaitan
redaksional maupun substansial. Dalam hal ini ada begitu banyak kata-kata adat yang
berbentuk kata-kata mutiara yang menyebut alam sekitar. Kata-kata indah itu diambil
dari dunia tumbuh-tumbuhan, dunia hewan, maupun lingkungan alam secara
keseluruhan.
Negeri tetangga yang khazanahnya menjadi sumber berikutnya
penyusunan adat adalah Minangkabau, Jambi, dan Jawa Mataram. Untuk dua
negeri pertama terlihat dari pepatah adat yang berbunyi pepatah adet tuhuu dehi
Pagarruyo undang naek dehi Jembi (adat turun dari Pagarruyung/Minangkabau
undang naik dari jambi). Minangkabau menjadi sumber karena salah satu nenek
moyang orang Rencong Telang yaitu Hangtuao Maligei adalah keturunan dari Datuk
Perpatih nan Sebatang yang berasal dari istana Pagarruyung. Jambi menjadi sumber
karena kerajaan ini pembawa empat helai kain ke Kerinci sebagai simbol dari
kekuasaan pada masa itu. Kuatnya pengaruh Jawa Mataram dikarenakan banyak
depati yang menjadi penguasa awal di Rencong Telang dan kain sebagai simbol
kekuasaan yang dibagikan di masa Daulat Depati Empat Alam Kerinci berasal dari
Jawa Mataram. Di samping itu hal ini juga tercermin dari adanya banyak istilah
kepemangkuan adat yang berbau Jawa seperti: rio, menggung, pateh, dan depati itu
sendiri.
Beberapa adat yang turun dari Pagarruyung dan undang yang naik dari
Jambi yang tidak seiring sejalan disempurnakan dengan apa yang disebut teliti.
Teliti berkaitan dengan aspek kepatutan. Ini merupakan hasil kebijaksanaan orang
Rencong Telang sendiri. Bisa tidaknya suatu adat atau undang diberlakukan dilihat
dulu aspek kepatutannya. Dalam hal ini aspek perasaan dipertimbangkan. Dalam hal
warisan, misalnya, menurut undang yang naik dari Jambi anak lelaki mendapat
bagian warisan dua kali lebih besar dari anak perempuan. Ini sejalan dengan syarak
atau syariat Islam. Sebaliknya menurut adat yang turun dari Manangkabau wanita
mewarisi semuanya. Dalam masyarakat Rencong Telang warisan dibagi dengan
prinsip sama besarnya. Kalau anak jantan dapat sedepa maka anak perempuan juga
dapat sedepa. Kalau ada yang dapat lebih, maka dikeluarkan untuk saudaranya yang
lain. Dengan adanya teliti itu maka tidak terjadi sengketa di belakang hari. Bahkan
terkadang terjadi seseoang yang secara adat dan undang tidak berhak mendapat
46
bagian tetap diberi bagian oleh saudaranya. Ini antara lain karena pertimbangan agar
tidak ada efek negatif yang bisa muncul di belakang hari.116
B. Adat dan Islam
Tentu saja sumber pokok lainnya dari adat di Rencong Telang adalah
ajaran Islam. Sumber ini bahkan sangat dominan pengaruhnya dalam adat Rencong
Telang. Sehingga bisa dikatakan bahwa adat dalam masyarakat Rencong Telang
sudah menyatu dengan syariat Islam. Dalam hal ini dikenal pepatah adat yang
berbunyi adat bersandi syarak dan syarak bersandi kitabullaah (adat berpondasikan
syariat Islam dan syariat Islam berpondasikan Kitab Allah/ Al-Qur’an). Kuatnya
hubungan antara ajaran Islam dengan adat ini membuat orang Kerinci pada umumnya
dan orang Rencong Telang pada khususnya menjadikan Islam sebagai identitas utama
mereka.
Dalam kaitan antara agama dengan etnis, di Indonesia memang dikenal
ada beberapa etnis yang mengidentikkan diri dengan Islam. Orang Bugis di
Sulawesi, orang Aceh dan Minangkabau di Sumatera, orang Melayu di Sumatera,
Kalimantan dan Malaysia, orang Moro di Mindanao, orang Banjar di Kalimantan,
orang Sunda di Jawa Barat dan orang Madura di Pulau Madura dan Jawa Timur
adalah orang Nusantara dengan identitas keislaman paling kuat.117
Bagi orang
Melayu, Islam memang sejak lama telah menjadi faktor penting dalam sejarah
kehidupan meraka. Isam tidak hanya berperan dalam sistem kepercayaan dan sistem
nilai tetapi juga dalam kehidupan sosio-ekonomi, budaya, politik, pendidikan dan
semua aspek kehidupan. Islam juga telah menjadi dasar dalam keresmian kekuasaan
para bangsawan Melayu khususnya di kalangan sultan. Identifikasi Melayu sama
dengan Islam sudah bermula sejak Islam bertapak di Semenanjung Tanah Melayu.
Karena itu istilah masuk Melayu berarti memeluk agama Islam sudah lama digunakan
untuk orang-orang bukan Melayu. Hal ini sudah berlangsung sejak lama sehingga
gerakan Kristenisisi yang dijalankan Portugis sejak 1511 mengalami kegagalan.118
Dalam masyarakat Kerinci, salah satu dari sub etnis Melayu, kedudukan
Islam yang sangat tinggi itu antara lain tercermin dalam pembagian adat. Adat
di kalangan mereka dibagi empat: adat yang sebenar adat (yaitu adat yang bersandi
syarak dan syarak bersendi kitabullah), adat istiadat (adat kebiasaan yang turun
termurun dari nenek moyang), adat yang diadatkan (adat yang dibuat dengan kata
mufakat), dan adat yang teradat (hal-hal yang biasa dikerjakan oleh seorang
pribadi).119
Dari empat macam adat itu, sebagaimana namanya, adat yang sebenar adat
menduduki kedudukan paling tinggi. Masyarakat setempat juga mengaitkan hal ini
dengan sabda Nabi taraktu fiikum amraini inntamasaktum bihiimaa lan tadilluu
116
Wanacara dengan Akmal Abbas di Jambi Agustus 2013, dengan Sarel Masyhud di Pulau
Sangkar, 19-03-2009. Terkait dengan teliti ada pendapat yang agak berbeda. Teliti bagi Sarel
bermakna sesuatu yang berasal dari Jambi. Maksud dari teliti menurut Sarel adalah ketelitian dalam
melihat keadaan. Menurut Sarel, sejarah hukum adat di Pulau Sangkar ini dibakukan dengan istilah
undang masok dehi Pagarruyo telitai naek dehii Jembi (undang masuk dari Pagarruyung teliti naik
dari Jambi). Penulis lebih setuju dengan pendapat Akmal Abbas sebagaimana ditulis di atas. Sulit
membayangkan masyarakat Kerinci yang memiliki sejarah ketidakharmonisan dengan Jambi lalu
mengambil banyak hal dari adat Jambi sebagai sumber utama hukum mereka.
117
Christian Pelras, Manusia Bugis. Jakarta: Nalar, 2006, hal. 4. 118
Amini Amir Abdullah, ”Pendekatan Islam Hadhari dan Pemerkasaan Hubungan Etnik.”
dalam www.upm.edu.may
119
Rasyid Yakin, Menggali Adat Lama Pusako Usang di Sakti Alam Kerinci, Sungai Penuh:
tanpa penerbit, 1986, hal. 33.
47
abada kiatabllaaha wa sunnatar rasuluh (“Aku tinggalkan kepadamu dua hal jika
kalian berpegang teguh kepadanya maka tidak akan tersesat selamanya yaitu kitab
Allah dan sunnah rasul-Nya).
Bagi masyarakat Rencong Telang syariat Islam memang telah menyatu
dengan adat. Adat bagi mereka sama dengan agama, khususnya dalam arti syarak
(syariat Islam). Dalam kaitan ini juga dikenal pepatah adat yang berbunyi:
Tebit ayik dehi ulu, tebit getoah dehi betoang. Adet ersendi syarak, syarak
besendi kitabullah. Syarak mangatao adet mamakae. Nan dok lapok dek ujoa
doak lekaa dek panaeh. Itulah dio idup nan dipeke matai nan ditumpoa.
Tebit ayik dehi ulu (terbit air dari hulu) burmakna bahwa semua
hukum dan norma adat bersumber dari hulu yaitu 6.666 ayat al-Qur’an. Bagi
orang Rencong Telang tidak ada yang lebih hulu sebagai sumber pedoman hidup
selain dari ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan Al-Qur’an juga diyakini sebagai kitab adat
bagi mereka. Tebit getoah dehi betoang bermakna getah terbit dari batang. Batang
yang dimaksudkan disini adalah perkataan, perbuatan, dan kejadian yang disetujui
Rasulullah. Syarak mangatao adet mamakae bermakna apa saja yang dikatakan oleh
syariat Islam akan dipakai oleh adat. Dengan kata lain syariat Islam sebagai sesuatu
yang sifatnya normatif agar bisa dipraktekkan dalam realitas kehidupan sehari-hari
maka disampaikan dalam bentuk rumusan-rumusan adat.
Dalam prakteknya aplikasi norma atau hukum adat selalu bisa
dirujukkan kepada norma atau hukum yang ada dalam syariat Islam. Sebagai
contoh, ketika terjadi perkelahian antar warga, maka berlaku ketentuan adat betinju
behempuh di halamaa tahutaa beselom abih uhang duo (berkelahi dua pihak di
halaman, terkena denda adat dan bersalaman tuntas). Ini bermakna bahwa antar orang
Rencong telang tidak boleh berkelahi. Jika perkelahian itu terjadi juga maka kedua
pihak akan dikenai sanksi adat. Sanksi untuk suatu perkelahian adalah suatu
perjamuan atau makan bersama dimana satu pihak harus menanggung satu ekor ayam
dan pihak lain menanggung biaya perjamuan lainnya. Akhir dari proses perdamaian
adalah saling bersalaman antara kedua pihak dan pembacaan do’a minta ampun secara
bersama.
Terkait dengan ini syariat Islam mengajarkan tentang tidak bolehnya
memutus silaturrahmi. Bahwa orang Islam itu bersaudara. Kalau terjadi konflik maka
harus saling memaafkan. Tali silaturrahmi harus tetap terhubung paska sebuah
perkelahian. Untuk itu dalam doa perdamaian itu dibacakan ayat ”innamal
mukminuuna ikhwah fa aslihuu baina akhawaikum wattaqullaah la’all-akum
turhamuun (Q.S. Al-Hujurat: 10, “Sesungguhnya orang mukmin itu ber-saudara
maka damaikanlah di antara saudara-saudaramu yang sedang berselisih dan
bertakwallah kepada Allah agar engkau termasuk orang yang disayang Allah”). Lalu
ditambah pula dengan hadits bahwa tidak beriman seseorang sebelum menyintai
saudaranya sebagaimana dia menyintai diri sendiri. 120
Nan dok lapok dek ujoa doak lekaa dek panaeh berarti sesuatu yang tidak
lapuk karena hujan dan tidak lekang karena panas. Ini bermakna bahwa dalam
pemahaman masyarakat setempat adat yang bersatu dengan syari’at Islam itu bersifat
abadi. Hal ini lebih lanjut diperkuat oleh kata-kata adat idup nan dipeke matai nan
ditumpoa (dipakai ketika hidup di dunia dan menjadi tumpangan setelah kematian).
Bahwa adat itu menjadi pedoman selama hidup, sejak kini sampai di akhirat nanti.
120
Wawancara dengan Sarel Masyhud di Pulau Sangkar 19-03-2009.
48
Bersatunya syariat Islam dan adat juga terlihat dari sentralnya fungsi
ulama dalam sidang adat atas suatu perkara. Dalam hal ini dikenal kata-kata adat
depati nan berenam, ninik mamak nan selapan, pegawai nan berempat, dan alim
ulama (enam depati, delapan ninik mamak, empat pegawai, dan alim ulama). Ketika
ada suatu masalah di tengah masyarakat yang tidak bisa diselesaikan antar keluarga
maka dilaksanakan Sidang Ninik Mamak. Pada sidang ini pegawai agama yang
disebut bilal bertindak menjadi saksi. Jika perkara tidak selesai dalam Sidang Ninik
Mamak maka dinaikkan ke Sidang Depati. Sidang para depati ini harus dihadiri oleh
imam atau ketib masjid. Musyawarah di dalam sidang ini harus berdasar pada
Qur’an dan Sunnah Nabi, dengan menunjukkan ayat dan hadits terkait. Kalau terjadi
penyimpangan dari Qur’an dan Sunnah Nabi maka keputusan dibatalkan dan proses
persidangan harus diulang kembali. Jadi dalam Sidang Depati, kata-kata buya (imam
dan ketib masjid) yang didasarkan pada syariat Islam (Al-Qur’an dan Hadits) menjadi
kata putus.
Seorang informan bercerita tentang Sidang Depati yang pernah dia ikuti. Pada sidang itu dia hadir dalam perannya sebagai imam masjid. Persoalan yang
dibahas harus dicari penyelesaiannya karena dalam sidang pada tingkat yang lebih
bawah yaitu Sidang Ninik Mamak tidak ditemukan kata putus. Maka persoalan naik
menjadi agenda Sidang Depati. Akhirnya para depati berhasil menjatuhkan keputusan
bersama. Sesudah itu maka mereka bertanya kepada sang informan tentang
kecocokan keputusan hukum adat itu dengan dalil-dalil agama yang dikuasai oleh
sang informan sebagai imam masjid. Ketika dia mengatakan cocok barulah keputusan
adat itu bisa dilaksanakan. Untuk itu keputusan itu ditulis dan ditandatangani secara
bersama oleh pihak-pihak terkait yang hadir dalam Sidang Depati itu.121
Karena kuatnya kaitan antara syariat Islam dengan adat maka dalam realitas
kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Rencong Telang pada masa dulu
tokoh agama pada umumnya sekaligus merupakan tokoh adat. Orang yang
menjadi depati adalah para buya, yang selalu rajin ke masjid. Begitu juga sebaliknya
kepengurusan masjid ditunjuk oleh depati dan ninik mamak. Depati juga ditaboakan
(dikukuhkan) di masjid. Jabatan depati itu sendiri umumnya juga dikaitkan dengan
usaha untuk membangun masjid. Ayah dari seorang informan, misalnya, sepulang dari
Sumatera Thawalib di Padang Panjang pada pertengahan 1930-an, langsung menjadi
buya di desanya. Pada era 1950-an, dalam usia yang relatif muda dia diangkat orang
menjadi Depati Tago. Jabatan ini dipegangnya sampai era 1970-an. Pada era ini juga
dia ditunjuk masyarakat menjadi Ketib Masjid dan ketua panitia pembangunan masjid
Mujahidin.122
C. Pegong Pakae Adat yang juga dikenal dengan undang merupakan pgong pakae dalam
masyarakat Rencong Telang. Ini bermakna bahwa adat merupakan sesuatu yang
dipegang dan dipakai atau sesuatu yang digunakan secara langsung dalam kehidupan
bermasyarakat. Adat menjadi pedoman hidup dalam berbagai level dan ranah
kehidupan. Adat mengatur mulai dari bagaimana prosesi pernikahan, pengaturan tata
ruang pemukiman, pemanfaatan tanah ulayat, sampai persoalan hubungan dengan
negeri-negeri tetangga. Dalam prakteknya adat itu dirumuskan dengan berbagai
bentuk mulai yang bersifat umum sampai yang bersifat khusus. Rumusan-rumusan
121
Wawancara dengan Ilyas Tasir di Pulau Sangkar 20-03-2009. 122
Wawancara dengan Mursal Zainuddin dan Ilyas Tasir, Pulau Sangkar 20-03-2009.
49
Adat itu juga ada yang bersifat prinsip-prinsip dasar dan ada yang berkaitan dengan
hal-hal teknis atau terapan.
1. Adat
nan Empat
Rumusan-rumusan adat pertama dan berisifat umum adalah Adat nan
Empat.123
Sebagai rumusan umum Adat nan Empat berisi hal-hal prinsip, tidak
memuat hal-hal yang bersifat rincian dan teknis, dan menjadi pondasi dari semua
rumusan lainnya. Perumusan Adat nan Empat berdasarkan pada kekuatan sumbernya.
Karena itu makin kuat sumbernya makin kuat pula pengaruhnya dalam mengikat
masyarakat. Sebaliknya makin lemah sumbernya makin lemah pula pengaruhnya di
tengah masyarakat. Sebagaimana namanya, Adat Nan Empat terdiri dari empat
rumusan adat sebagaimana berikut ini.
Adat nan Empat pertama adalah Adat nan Sebenar Adat. Rumusan lengkap
dari adat ini adalah Adat nan Sebenar Adat, Adat nan Bersendi Syarak, Syarak
Besendi Kitabullaah, Doak Lapok Dek Hujoan Doak Lekang Dek Panaeh. Inilah
rumusan adat tertinggi. Sebagai adat tertinggi maka semua adat di bawahnya tidak
boleh bertentangan dengan adat ini. Adat ini juga menjadi ruh atau sumber semangat
bagi semua adat yang ada di bawahnya. Sebagai adat tertinggi juga maka adat ini
mengikat dengan kuat seluruh anggota masyarakat adat Rencong Telang. Pelanggaran
terhadap adat ini akan melahirkan sangsi adat yang berat. Adat ini juga bersifat abadi,
tidak mengenal batas waktu, tidak mengenal lapuk dan retak. Sumber utama rumusan
ini adalah Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW dan bentuk nyatanya adalah
hukum Allah atau syariat Islam.
Adat nan Empat kedua adalah Adat Istiadat. Ini adalah adat yang berasal dari
kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang dipraktekkan sejak dahulu sampai
sekarang. Ada berbagai bentuk adat yang berasal dari nenek moyang dan masih
berlaku di tengah masyarakat. Contohnya adalah kebiasaan melaksanakan kenduri
adat setiap sesudah panen padi dan setiap hendak turun ke sawah. Tujuan utama
kenduri adat ini adalah untuk bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang sudah
diperoleh. Selanjutnya kenduri adat juga digunakan sebagai forum untuk meninjau
kembali berbagai adat atau tradisi yang sudah ada. Barangkali ada adat nan lah lapuk
lembago nan lah sumbang yang memerlukan perubahan. Tentu saja kenduri adat juga
bertujuan menjamu sesama saudara dan tetangga secara bersama penuh kegembiraan.
Adat nan Empat yang ketiga adalah Adat nan Diadatkan. Ini adalah adat yang
dibuat berdasarkan kata mufakat dalam suatu rapat. Terkadang dalam perajalanan
kehidupan bersama muncul persoalan baru sesuai dengan perkembangan zaman yang
belum bisa diselesaikan hanya dengan hukum syarak dan tradisi nenek moyang.
Untuk itu diperlukan suatu rapat dari para penguasa negeri yang akan melahirkan
sebuah mufakat. Contoh dari mufakat itu adalah kesepakatan bersama untuk
bergotong royong membangun jalan ke suatu tempat yang belum ada jalan
sebelumnya. Mufakat itu selanjutnya menjadi hal yang harus dillaksanakan di tengah-
tengah kehidupan bersama. Mufakat itulah yang dimaksud dengan Adat nan
Diadatkan.
Adat nan Empat yang keempat adalah Adat nan Teradat. Adat ini lahir dari
kebiasaan pribadi atau kelompok tertentu dalam masyarakat karena sering dikerjakan.
Misalnya, kebiasaan seseorang yang merokok setiap habis makan. Karena bersifat
perseorangan maka adat ini hanya berlaku pada tingkat pribadi saja. Segala resiko dari
123
(Yakin, 1986: 33), Sarel mas’ud, Yahya Pra
50
kebiasaan itu juga ditanggung oleh pribadi yang bersangkutan. Jadi adat ini tidak bisa
diberlakukan untuk keseluruhan anggota masyarakat adat Rencong Telang.
2. Undang nan Empat
Rumusan adat selanjutnya adalah Undang nan Empat. Adat dalam Undang
nan Empat ini lebih bersifat terapan. Di dalamnya terdapat sanksi bagi siapa saja yang
bersalah. Dengan begitu maka kehidupan dalam negeri menjadi lebih tertib.
Ketertiban menjadi dirasakan manfaatnya oleh warga karena adanya prinsip keadilan
yang harus ditegakkan. Pemangku adat bila menghukum harus seadil-adilnya. Dalam
hal ini berlaku pepatah adat tibo di phut doak dikempihkan tibo di matao doak
dipicingkan tibo di papan doak berentak, tibo di duhi doak maningkaek (tiba di perut
tidak dikempiskan, tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di papan tidak berentak, dan
tiba di duri tidak mengangkat kaki). Ini bermakna bahwa pemangku adat tidak boleh
menghindar dari suatu perkara. Bila ada suatu perkara muncul maka dia harus turun
tangan untuk menyelesaikannya. Ini juga berarti bahwa dalam menyelesaikan suatu
perkara pemangku adat tidak boleh membedakan orang dekat dengan orang jauh, baik
kedekatan yang terjadi karena hubungan darah maupun karena hubungan pertemanan.
Undang nan Empat meliputi empat bagian yaitu Undang Luhak, Undang
Negeri, Undang nan Duo Puluh, dan Undang Dalam Negeri. Undang Luhak
merupakan aturan main yang mengatur perangkat apa saja yang ada dalam suatu
luhak, suatu kampung, suatu negeri, dan suatu rantau. Undang Negeri berisi aturan-
aturan yang terkait dengan etika yang harus ditaati untuk terciptanya ketertiban dalam
suatu negeri. Undang nan Duo Puluh berisi hukum perdata dan hukum pidana yang
berlaku dalam suatu negeri. Sedangkan Undang dalam Negeri berisi berbagai
peraturan adat lebih jauh yang lebih detil sesuai dengan kebutuhan bersama
masyarakat.
a. Undang Luhak
Undang Luhak berbunyi luhak berpenghulu, kampung bertuo, negeri berajo,
rantau berjenang. Luhak bepenghulu bermakna bahwa setiap luhak yang ada dalam
suatu negeri haruslah memiliki penghulu adat sebagai pemimpin luhak tersebut.
Pemimpin luhak adalah depati dan ninik mamak. Bila suatu luhak tidak memiliki
depati dan ninik mamak maka luhak itu akan mengalami ketidaktertiban dan
ketidaknyamanan. Demikian juga yang terjadi bila suatu luhak memiliki depati dan
ninik mamak tetapi mereka tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya kehidupan seluruh
negeri akan terpengaruh. Di negeri itu tidak ada lagi adat yang bisa diberlakukan
karena tidak ada pemimpin yang disegani. Keadaan ini seperti kata pepatah tanjung
doak ditunggu imao kuboang doak ditunggu lucaek (tanjung yang tidak ada
harimaunya dan kubang yang tidak ada lucaeknya) yang bermakna suatu kawasan
yang tidak memiliki pemimpin yang berwibawa sehingga yang berlaku adalah hukum
rimba.
Kampung betuo bermakna bahwa dalam setiap kampung pasti ada orang yang
dituakan. Orang yang dituakan dalam suatu kampung adalah tuo tengganai. Mereka
merupakan orang yang paling dihormati dalam suatu kampung karena kedudukan
dalam silsilah yang lebih tinggi, umur yang lebih tua, atau pengalaman dan
pengetahuan yang lebih luas. Tugas utama mereka adalah menyiapkan kaderisasi
kepemimpinan. Dengan demikian mereka berwenang menunjuk siapa yang berhak
menjadi depati dan ninik mamak maupun memberhentikan depati dan ninik mamak.
Ketiadaan tuo tengganai dalam suatu negeri bisa menyebabkan terjadinya rebutan
jabatan penghulu dalam suatu luhak. Masing-masing anak jantan anak betino akan
51
sekehendak hati mengangkat penghulu adat. Atau bisa juga terjadi situasi luhak tidak
berpenghulu karena tidak ada orang yang mau menjadi penghulu adat.
Negeri berajo bermakna bahwa dalam suatu negeri ada pemimpin tertinggi.
Kepemimpinan dalam masyarakat adat Rencong Telang bersifat kolektif. Pemimpin
tertinggi berbentuk dewan para depati. Untuk keperluan tertentu para depati akan
menunjuk salah satu dari mereka menjadi ketua depati. Sebutan untuk ketua depati
alias raja ini adalah Depati Rencong Telang. Sebagai raja, Depati Rencong Telang
mengayak di atas depati nan berenam. Ini bermakna sebagai ketua dia berdiri di atas
pundak depati lainnya. Sebagai cermin dan pembawa aspirasi para depati lainnya dia
tidak bisa berbuat sekehendak hati tanpa mempertimbangkan para depati lainnya.
Masa jabatan Depati Rencong Telang tergantung pada kesepakatan para depati nan
berenam. Jadi tidak melekat selamanya pada seorang depati.
Keberadaan seorang raja yang bergelar Depati Rencong Telang membuat
pelaksanaan pemerintahan berjalan lebih baik. Musyawarah yang berlangsung dalam
suatu negeri bisa berjalan dengan lancar. Demikian juga ketika negeri harus
berhubungan dengan negeri yang lain maka Depati Rencong Telang menjadi orang
pertama yang diberangkatkan. Ini bisa terjadi karena depati yang ditunjuk menjadi
Depati Rencong tentu memiliki berbagai kelebihan dibanding depati lainnya.
Kelebihan itu terutama terkait dengan kemampuan berbicara dan keberanian sang
depati menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah di dalam maupun di luar
negerinya.
Sedangkan rantau berjenang bermakna bahwa di setiap rantau ada orang yang
ditunjuk menjadi pemimpin yang disebut jenang. Rantau adalah suatu wilayah yang
berada jauh dari luhak atau negeri tetapi masih berada dalam kekuasaan suatu luhak
atau negeri. Untuk mengatur suatu rantau maka seorang depati sebagai penguasa
luhak menunjuk seorang Jenang. Dengan demikian seorang jenang merupakan tangan
panjang dari sang depati. Di rantau sang jenang bertanggung jawab mengatur negeri
sesuai dengan adat yang berlaku dalam luhak atau negeri induknya. Dia juga harus
melaporkan pelaksanaan pekerjaannya kepada depati yang mengangkatnya dalam
jangka waktu tertentu.
b. Undang Negeri
Berbeda dengan Undang Luhak yang fokus pada kepemimpinan Undang
Negeri terkait dengan aturan pokok yang ada dalam suatu negeri. Undang Negeri
berbunyi negeri bepagoa adet tapian bepagoa baso. Negeri bepagoa adet
mengandung makna bahwa sebuah negeri pasti memiliki adat yang menjaga
kehidupan bersama warga yang ada di dalamnya. Adat itu mengikat semua anggota
masyarakat, baik yang hanya sebagai anak jantan anak betino apalagi para pemangku
adat seperti depati dan ninik mamak. Dengan begitu kehidupan bersama dalam sebuah
negeri bisa berjalan dan berkembang dengan baik. Dengan begitu pula anak jantan
anak betino bisa mengembangkan berbagai potensi positif yang mereka miliki.
Karena lain negeri lain adatnya maka orang Rencong Telang juga harus memahami
adat yang berlaku di negeri lain, terutama negeri tetangga. Hal ini untuk menjalin
hubungan yang baik dan menghindari terjadinya konflik antar masyarakat adat.
Sedangkan tapian bepagoa baso mengandung makna umum dan makna
khusus. Makna umum dimaksudkan bahwa dalam pergaulan antar anak negeri ada
sopan santun yang harus ditegakkan. Sopan santun itu terkait dengan hubungan timbal
balik atau pergaulan antara anak dengan orang tua, kemenakan dengan
mamak/datung, keluarga dengan orang semendao, orang yang lebih muda dengan
orang yang lebih tua, laki-laki dengan perempuan. Sedangkan makna khusus terkait
dengan tepian tempat mandi. Bahwa sebuah tepian atau tempat mandi anak negeri
52
juga diatur oleh baso atau sopan santun. Pada umumnya tepian tempat mandi suatu
negeri dibedakan antara tepian laki-laki dan tepian perempuan. Laki-laki tidak boleh
mandi di tepian perempuan dan perempuan tidak boleh mandi di tepian laki-laki.
c. Undang nan Duo puluh
Bagian selanjutnya dari Undang nan Empat adalah Undang nan Duo Puluh.
Undang ini berisi hukum adat yang terkait dengan perdata dan pidana. Hukum adat ini
terdiri dari Delapan Pucuk Larangan atau Induk Undang nan Delapan dan Undang
nan Duo Belas. Delapan Pucuk Larangan berisi delapan bentuk tindakan yang
dilarang keras untuk dilakukan. Sedangkan Undang Nan Duo Belas terdiri dari dua
bagian. Pertama, Enam Undang Tuduh yang berisi enam alasan untuk menuduh
adanya suatu tindakan pidana atau perdata. Dengan kata lain ini adalah tuduhan
dengan disertai bukti. Kedua, Enam Undang Cimo yang berisi enam alasan untuk
menyangka terjainya suatu tindakan pidana atau perdata. Dengan kata lain ini adalah
sangakaan yang tidak disertai bukti.
1) Delapan Pucuk Larangan
Delapan Pucuk Larangan disebut juga dengan Induk Undang nan
Delapan. Induk Ini merupakan hukum adat yang berisi delapan hal yang dilarang
keras untuk dilakukan oleh semua anak jantan anak betino. Delapan pucuk larangan
itu adalah sebagai berikut.
Pertama, tikam-bunuh. Tikam adalah tindakan menusuk atau melukai orang
dengan benda atau senjata tajam. Istilah lain untuk ini adalah penganiayaan berat.
Bunuh adalah tindakan menghilangkan nyawa orang lain. Pembunuhan bisa
dilakukan dengan menggunakan senjata atau tanpa senjata. Pembunuhan juga bisa
dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja. Pembunuhan juga dilakukan dengan
spontan atau dengan perencanaan sebelumnya.
Kedua, upeh-racun. Upeh-racun adalah tindakan meracuni yang menyebabkan
matinya seseorang atau menyebabkan sakitnya seseorang dengan sengaja ataupun
tidak sengaja. Upeh adalah jenis racun yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Termasuk
dalam upeh racun ini adalah penyalahgunaan narkoba yang menyebabkan rusaknya
jiwa dan raga, bahkan berujung pada kematian.
Ketiga, rampok-rampeh. Rampok-rampeh adalah tindakan mengambil paksa
harta orang lain di hadapan pemiliknya baik melalui perampokan maupun melalui
perampasan. Istilah lain untuk ini adalah samun-sakar. Samun ialah pencegatan
terhadap seseorang di tempat yang lengang dengan maksud mengambil barang
bawaannya disertai kekerasan dan penganiayaan, bahkan pembunuhan. Sakar adalah
perbuatan merampok atau merampas disertai kekerasan.
Keempat, maling-curi. Maling-curi adalah tindakan megambil harta orang lain
dengan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Maling dilakukan pada malam hari di
tempat penyimpanan harta. Sedangkan curi dilakukan pada siang hari di tempat
penyimpanan harta juga. Termasuk dalam hal ini adalah nutoh-kapayang yaitu
menebang hutan secara liar sehingga merugikan kepentingan orang banyak dan nubo-
tepian yaitu tindakan meracuni ikan atau binatang ternak milik orang lain.
Kelima, siang-bakar. Siang-bakar ialah kegiatan membakar yang merugikan
orang lain. Contohnya adalah kegiatan membakar rumah, tanaman, ladang, dan lain-
lain. Termasuk dalam hal ini adalah kelalaian yang menyebabkan terjadinya
kebakaran. Misalnya adalah membuang puntung rokok atau puntung suluh yang
belum padam sehingga mengakibatkan kebakaran barang berharga milik orang lain.
Keenam, lancung-kicuh. Lancung-kicuh adalah tindakan berlaku curang
dengan menipu, mengicuh, untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya untuk
53
diri sendiri dan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Istilah lain untuk ini adalah
umbuk umbai. Umbuk adalah bujukan dengan kata-kata manis atau janji-janji muluk.
Umbai adalah rayuan dengan maksud menipu atau memperdaya.
Ketujuh, dago-dagi. Dago adalah perbuatan melawaan orang yang berwibawa,
pejabat, atau orang-orang terhormat di muka umum. Dagi adalah tindakan menentang
atasan, membangkang perintah, menyebarkan desas desus, fitnah, sehingga
menimbulkan kekacauan atau merugikan orang lain.
Kedelapan sumbang-salah. Sumbang salah adalah kelakuan atau perangai
yang tidak pantas, tidak patut, tidak senonoh. Ini karena kelakuan itu meyalahi adat,
hukum, atau agama. Contohnya adalah menikahi saudara sendiri, berzina, memerkosa,
dan perbuatan lain yang melanggar kesusilaan.124
2) Undang nan Duo Belas
Undang nan Duo Belas adalah bagian kedua dari Undang nan Duo Puluh.
Undang ini terdiri dari dua belas pasal. Enam pasal pertama berisi Undang Tuduh,
disebut juga Jalan Tuduh, yaitu alasan-alasan yang dipakai untuk menuduh
seseorang melakukan tindakan melawan adat. Enam pasal kedua berisi Undang Cimo,
disebut juga Jalan Cimo, yaitu alasan-alasan yang dapat digunakan untuk menyangka
seseorang telah melakukan tindakan melanggar adat.
a) Undang Tuduh
Pertama, terlelah-terkejar. Maksudnya adalah keadaan seseorang yang letih,
lelah, kepayahan akibat berlari jauh karena dikejar orang banyak sehingga dia
tertangkap.
Kedua, tertando-terbukti. Maksudnya adalah: ditemukan tanda-tanda atau
bukti yang menunjuk pada suatu pelanggaran hukum di badan atau pakaian seseorang,
ditemukan benda milik seseorang di tempat kejadian pelanggaran hukum, atau
ditemukan benda yang hilang berada pada tangan orang tersebut.
Ketiga, terikat-terkungkung. Maksudnya adalah seseorang berada dalam
keadaan terikat atau terkurung sehingga tidak bisa melarikan diri lagi atau terkena
mantera/jampi-jampi yang mengakibatkan dia tidak bisa lagi melihat jalan keluar.
Keempat, tertambak-terciak. Maksudnya adalah benda/binatang yang hilang
ditemukan berada dalam keadaan terikat pada tali yang tertambat di tanah seseorang.
Sedangkan binatang itu mengeluarkan bunyi/suara pula.
Kelima, tercencang-terekah. Maksudnya seseorang terpergok sedang
mengemas barang yang bukan miliknya/barang curian lalu mencoba hendak lari
namun tersangkut di pagar atau tertarung sesuatu atau terkena ranjau sehingga
berbekas ditubuhnya.
Keenam, tertangkap-basah. Maksudnya terpergok sedang melakukan
pelanggaran hukum adat sehingga tidak dapat mengelak lagi. Istilah lainnya adalah
tertangkap tangan.125
Bila ada orang berada dalam salah satu dari enam keadaan di atas maka itu
menjadi bukti bahwa dia telah melakukan pelanggaran adat. Hal ini sebagaimana
dikatakan dalam pepatah adat rusa berlari membawa jaring, burung terbang
membawa damak (anak sumpitan), mendaki jejak tertukik, menurun jejak terlancar,
merenah runut terbentang. Dalam hal ini sang tertuduh tidak dapat mengelak lagi, dia
124
Wawancara dengan Sarel Masyhud, …. Lihat juga Yunasril Ali, dkk, Adat Basendi Syara’
Sebagai Fondasi Membangun Masyarakat Madani Kerinci, Kerinci: STAIN Kerinci Press, 2005, hal.
139-143. 125
Wawancara dengan Sarel Masyhud, …. Lihat juga Yunasril Ali, dkk, Adat Basendi Syara’ Sebagai
Fondasi Membangun Masyarakat Madani Kerinci, Kerinci: STAIN Kerinci Press, 2005, hal. 139-143.
54
sah menjadi pelaku, seperti kata pepatah adat yang lain ayam putih terbang siang
hinggap di kayu tak berdaun.
b) Enam Undang Cimo
Pertama, basurih bak sipasin. Maksudnya adalah adanya jejak kaki yang bila
ditelusuri akan sampai kepada seseorang. Ini seperti binatang sipasin yang
meninggalkan surih (alur) di tempat yang dilaluinya. Istilah lain untuk ini adalah
berbau bak embacang.
Kedua, berjejak-berbekas. Maksudnya adalah adanya jejak atau bekas yang
bisa ditelusuri seperti jejak roda pedati, jejak roda sepeda, jejak sepeda motor, jejak
mobil, sidik jari, yang mengarah kepada seseorang.
Kedua, enggang terbang ranting patah. Maksudnya adalah seseorang yang
menghilang dari suatu negeri dan pada saat yang sama ada barang yang hilang di
negeri itu.
Ketiga, kacondong mato orang banyak. Maksudnya adalah seseorang tiba-
tiba berubah tidak seperti biasanya yang mendatangkan kecurigaan bagi orang
banyak. Ini juga bermakna keadaan seseorang yang sering melakukan pelanggaran
hukum adat lalu ketika terjadi pelanggaran hukum adat lainnya maka orang banyak
akan condong menjadikan dia sebagai tersangka.
Keempat, terbayak-tertabur. Maksudnya adalah sesuatu yang sudah tercecer
dimana-mana. Kabar berita terkait dengan pelanggaran yang dilakukan seseorang
sudah tersiar kemana-mana sehingga semua orang sudah mengetahuinya.
Kelima, berjalan tergegas-gegas pergi malam balik malam. Maksudnya
adalah keadaan seseorang yang berjalan tergesa-gesa, terburu-buru seperti dikejar
orang lain. Ungkapan lain untuk hal ini adalah menjual bermurah-murah yaitu
keadaan dimana seseorang menjual sesuatu dengan tergesa-gesa, asal cepat laku,
karena takut ketahuan oleh pemilik barang yang sesungguhnya.
Bila ada orang berada dalam salah satu dari enam keadaan di atas maka hal itu
bisa menjadi alasan yang dapat digunakan untuk menyangka bahwa dia telah
melakukan pelanggaran hukum adat.
d. Undang Dalam Negeri Undang ini disebut juga dengan Anak Undang Nan 50, Anak Undang nan
100, atau lebih dari itu, sesuai dengan seko atas tumbuh lembago atas tumpak. Anak
Undang ini misalnya adalah luko dipampaih, mati dibangun, balu ditepung, iram
dilembago, hilang dicari, tatimbun dikekeh, hanyut dipinteh, gadai ditebus, hutang
dibayar, piutang diterima. Rincian tentang Undang Dalam Negeri ini ditulis secara
khusus dalam BAB VI PEPATAH PETITIH.
Selain itu adat di masyarakat Rencong Telang juga berkaitan dengan keluarga.
Sebagai contohnya adalah aturan yang terkait dengan tembo/silsilah, panggilan
terhadap orang lain, pernikahan, perceraian, dan waris.
D. Adat Kekeluargaan 1. Tembao dan Pemanggilan Orang
Orang Rencong Telang melihat garis keturunan dari dua sisi yaitu sisi
ayah dan sisi ibu sekaligus. Untuk itu dikenal pepatah adat suku duo timbal belik
ninek empat puyang delapan (suku dua timbal balik, nenek empat, dan moyang
delapan). Untuk si A, misalnya, suku duo timbal balik nya adalah ibu si A dan ayah
si A. Kemudian ninek empat si A adalah dua orang (kakek dan nenek) dari pihak
55
ayahnya dan dua orang (kakek dan nenek) dari pihak ibunya. Selanjutnya puyang
delapan adalah delapan orang yang merupakan orang tua dari empat nenek/kakek si
A itu. Meski bisa ditelusuri lebih jauh ke atas silsilah yang tidak boleh terlupakan
oleh orang Rencong Telang adalah sampai pada level puyang delapan itu.126
Orang Rencong Telang juga memiliki panggilan tertentu terhadap
anggota keluarga mereka. Mengikuti garis vertikal menaik, panggilan untuk ibu
adalah Indok. Panggilan untuk bapak adalah Upoak. Panggilan untuk ibunya Indok
adalah Ninao dan panggilan untuk bapaknya Indok adalah nakek. Panggilan untuk
ibunya upoak adalah Nunggoh Jantan dan panggilan untuk ibunya upoak adalah
Nunggoh Tinu. Naik lagi ke atas, panggilan dari bapak maupun ibu dari nino-nakek-
nunggoh tinu-nunggoh jantan adalah nunyang. Sedangkan mengikuti garis vertikal
menurun, panggilan untuk anak adalah anak. Panggilan untuk anaknya anak adalah
cucong. Sedangkan panggilan untuk anaknya cucong adalah puyang. Sedangkan
panggilan untuk adik atau kakak dari kakek dan nenek (baik nino, nakek, nunggoh
jantan dan nunggoh tinu) pada umumnya adalah nanggut untuk yang laki-laki dan
ninaek untuk yang perempuan.
Selanjutnya mengikuti garis horisontal, anak tertua di Pulau Sangkar disebut
dengan Wao, anak kedua disebut dengan Ngah, anak ketiga disebut dengan Ndaek,
anak keempat dengan Buh/Buw, anak kelima dengan Cik, dan anak terakhir dengan
Ncuw/Nzuw. Dalam hal jumlah anak lebih dari enam orang maka setelah Cik,
dibuatlah sebutan tertentu. Kalau si anak itu bertubuh tinggi biasanya disebut dengan
Njang. Bila si anak berbadan besar maka biasanya dipanggil dengan Dong. Bila si
anak itu perempuan gemuk atau bulat maka biasanya disebut dengan Uleet atau
Uleak.
Sebutan untuk seorang paman dari jalur bapak adalah Upoak dengan tambahan
sesuai urutan dari sang paman. Kalau sang paman ini anak pertama maka dia akan
dipanggil oleh kemenakannya dengan Upoak Tuwao. Kalau sang paman itu anak
nomor dua maka dia dipanggil dengan Upoak Ngah. Begitu seterusnya berlaku untuk
Upoak Ndaek, Upoak Buh, Upoak Cik, Upoak Njang, Upoak Nzuw/Ncuw.
Sedangkan untuk seorang bibi dari jalur bapak dipanggil dengan Indok ditambah
dengan panggilan urutan dari sang bibi. Kalau bibi itu anak pertama maka akan
disebut dengan Induk tuwao. Begitu seterusnya ada Induk Ngah, Induk Ndak,
Induk Buh, Induk Cik, dan Induk Nzuw.
Sebutan kepada paman dari pihak ibu adalah mamak ditambah dengan nama
panggilan urutan. Sehingga ada Mamak Tuwao, Mamak Ngah, Mamak Ndaek,
Mamak Buh, Mamak Cik, Mamak Nzuw. Sedangkan sebutan untuk bibi dari pihak
ibu adalah datung di tambah dengan panggilan urutan dari sang bibi itu. Maka ada
Datung Tuwao, Datung Ngah, Datung Ndak, Datung Buh, Datung Cik, dan
Datung Nzuw.
Perbedaan cara memanggil mengisyaratkan kedekatan nasab atau kedekatan
personal antar sesama orang Rencong Telang. Sebutan-sebutan khusus sebagaimana
tersebut di atas umumnya berlaku terhadap keluarga yang masih berada dalam
lingkaran suku duo timbal balik nenek empat puyang delapan. Ketika hubungan
keluarga sudah melewati lingkaran ini maka panggilan untuk seorang paman cukup
dengan mamak saja dan sebutan untuk seorang bibi cukup dengan datung saja.
Sedangkan panggilan untuk orang yang lebih tua cukup dengan kayao atau
Bepoak/Indok si Anu.
126
Wawancara dengan Paruk Abbas, di Pulau Sangkar, 09-03-2009.
56
2. Pernikahan
Sebelum berlangsungnya sebuah pernikahan sepasang muda-mudi Rencong
Telang terdapat beberapa tahapan adat yang lazim dilalui. Tahap pertama sebagai
tahap pendahuluan adalah bertandang. Tahap ini melibatkan sepasang muda-mudi
dan teman atau orang terdekat mereka. Tahap kedua adalah menyilau. Tahap ini
melibatkan famili dekat si pemuda dan famili dekat si pemudi. Tahap ketiga adalah
menyasat. Tahap ini melibatkan tuo tengganai kedua belah pihak. Setelah proses-
proses ini berlangsung barulah sebuah blek pernikahan dilangsungkan.
Bertandang adalah tradisi dimana seorang anak bujang mengunjungi rumah
seorang anak gadis yang diidamkannya. Dia akan datang bersama satu atau dua teman
dekat.Tradisi ini bertujuan membuat mereka saling mengenal lebih dekat dan saling
menilai budi pekerti masing-masing. Kualitas percakapan dalam bertandang ini sangat
tinggi karena dialog bersifat dua arah, berbentuk kias mengkias/sindir menyindir, dan
pantun berbalas pantun. Kualitas seorang anak bujang akan terlihat dalam proses ini.
Untuk itu peran dari sahabat si bujang dan orang kepercayaan si gadis yang
menemani menjadi sangat penting. Mereka menjadi pembantu si bujang dan si gadis
bila terjadi kemacetan dalam proses percakapan diplomatis ini.
Bertandang berlangsung setelah hari mulai gelap. Si anak bujang mendatangi
rumah si gadis pujaan hatinya sesudah shalat magrib. Malam hari dipilih agar proses
ini tidak diketahui orang banyak. Di dalam rumah si bujang bersama temannya
ditemui oleh si gadis yang didampingi oleh ibu atau orang kepercayaannya. Pada
kondisi ini biasanya ayah si gadis sedang tidak berada di rumah. Ayah yang alim
sedang berada di masjid mendengarkan pengajian sampai berlangsungnya shalat isya.
Ayah yang awam sedang asik duduk mengota di lepau. Kalaupun si ayah pulang ke
rumah pada jam-jam ini sehingga mendapati ada tamu khusus sedang berada di
rumahnya maka dia akan putar badan. Dia kembali lagi ke lepau guna memberi
kesempatan pada sang tamu menyelesaikan urusannya.
Tujuan bertandang bisa tercapai dan bisa juga gagal. Bertandang yang
gagal terjadi ketika dua hati tidak berhasil dipersatukan. Untuk itu bertandang hanya
berlangsung dalam satu kali kunjungan. Ini tidak menjadi soal. Martabat si anak
bujang tidak terganggu di mata umum karena proses bertandang berlangsung pada
malam hari sehingga tidak diketahui masyarakat umum. Bertandang yang berhasil
terjadi ketika cinta tidak bertepuk sebelah tangan. Maka bertandang akan berlanjut
pada malam-malam berikutnya sesuai keinginan. Dengan demikian hubungan muda-
mudi memasuki fase serius.
Setelah tujuan bertandang tercapai, setelah si bujang dan si gadis telah
bersetuju hati maka sebuah tanda mata dipertukarkan. Si anak bujang
meninggalkan sebuah barang berharga miliknya untuk disimpan oleh si anak gadis.
Barang itu bisa berupa sehelai kemeja, sepotong celana, atau sebuah cincin emas.
Sebagai imbangannya si anak gadis memberikan sesuatu yang spesial bagi sang
pujaan hati. Biasanya ini dalam bentuk sehelai kain panjang dan selembar sapu
tangan. Sapu tangan si anak gadis dihiasi rajutan indah singkatan namanya. Sapu
tangan inilah yang kemudian dibawa oleh si bujang kemanapun dia pergi. Ini menjadi
bukti tidak terbantahkan yang bisa dia tunjukkan kepada teman-temannya. Bahwa
cinta dia tidak bertepuk sebelah tangan. Bahwa dia sudah memiliki seseorang yang
bila sudah tiba waktunya bersedia dia persunting.
Keberhasilan dalam bertandang ditindaklanjuti dengan adat menyilau. Dalam
menyilau pihak terlibat adalah saudara dekat, bukan lagi teman dekat. Saudara dekat
ini biasanya adalah mamak (paman dari pihak ibu) si anak bujang dan mamak (paman
57
dari pihak ibu) si anak gadis, baik mamak dekat maupun mamak jauh. Sang mamak
ini tentu sebelumnya telah mendapat mandat dari ayah si anak bujang. Setelah
memastikan bahwa cintanya berbalas, si anak bujang akan meminta bantuan kakak
atau salah satu kelurga dekatnya guna memberi tahu ayah mereka. Bahwa dia sudah
memiliki seorang anak gadis yang dia cintai. Bahwa si anak gadis telah bersedia untuk
dijalini hubungan lanjut yang lebih serius. Saudara dari si anak bujang lalu
melaporkan hal itu kepada ayah si anak bujang. Dengan dasar itu maka ayah si anak
bujang meminta bantuan si mamak untuk melaksanakan kegiatan menyilau.
Sebagaimana dalam bertandang, dalam menyilau pun percakapan
berlangsung dalam sindir menyindir, kias mengkias, pantun berbalas pantun.
Kedua belah pihak akan bertutur kata dengan penuh arif dan bijaksana. Pihak si anak
bujang, misalnya, akan menengok ke belakang rumah. Disana ternyata terlihat
setandan pisang. Maka dia berkata, ”apakah pisang yang sudah hampir tua ini sudah
wajar ditebang atau belum? Apakah pisang ini sudah milik orang lain atau belum?”
Jika si anak gadis belum dipinang orang, maka pihak si anak gadis akan menjawab,
”kalau ada orang yang ingin menebang pisang kami itu, itu nian yang kami minta.
Pucuk dicinto ulam tibo.” Percakapan dianggap selesai bila kata sepaham telah
didapat. Sehingga situasi menjadi jelas, kok biang hampir tembus kok genting telah
memutus. Artinya kedua belah pihak telah menemukan buku dengan ruas. Artinya
juga silau si anak bujang telah berhasil.
Setelah silau berhasil maka utusan si anak bujang kembali ke rumah keluarga
si anak bujang. Mereka melaporkan bahwa silau sudah berhasil. Meski demikian para
utusan ini masih terus melakukan pembicaraan-pembicaraan yang lebih serius sampai
diperoleh kata pasti ketat telah berbuku lancar telah berruas. Dengan begitu ayah si
bujang sudah memiliki keyakinan yang kuat untuk melanjutkan langkah ke tahap yang
lebih serius yaitu menyasat.
Menyasat adalah kegiatan pihak keluarga si anak bujang melamar si anak
gadis. Menyasat ini dilakukan oleh para tuo tengganai (orang-orang tua atau yang
dituakan) dalam keluarga besar pihak si anak bujang. Rombongan membawa tandao
berbentuk barang-barang berharga. Kedatangan pihak si anak bujang yang sudah
ditunggu-tunggu oleh pihak si anak gadis ini disambut oleh pihak tuo tengganai
keluarga si anak gadis. Mereka menyebut peristiwa ini dengan malam berletak taruh
berkapak tando. Setelah serah terima tandao agenda pokok selanjutnya dalam
menyasat ini adalah penentuan waktu akad nikah oleh tuo tengganai masing-masing
pihak.
Setelah tandao diterima pihak perempuan maka kedua belah pihak tidak
boleh lagi surut ke belakang. Pernikahan antara si anak bujang dengan si anak gadis
harus secepatnya dilangsungkan. Bila karena satu dan lain hal pernikahan batal maka
ada sanksi adat yang harus diterima pihak yang membatalkan. Kalau urung dari pihak
jantan tando hilang, kalau urung dari pihak betino tando dikembalikan duo kali lipat.
Selanjutnya blek atau walimatul ursy diselengarakan sebagai forum peresmian
sekaligus syukuran hubungan seorang anak gadis dengan seorang anak bujang. Blek
boleh diselenggarakan secara besar-besaran bagi orang yang mampu, dengan ala
sederhana, atau hanya di Balai Nikah saja bagi orang yang tidak mampu.
Setelah resmi menikah untuk tahun perrtama sepasang suami istri
bertempat tinggal di rumah orang tua pengantin perempuan. Dalam hal ini
pepatah mengatakan dimano ayam betino disitu ayam jantan. Secara tidak langsung
ini juga merupakan bentuk bantuan yang diberikan orang tua pengantin perempuan
kepada anak dan menantu mereka yang baru merintis masa depan ini. Kadang-kadang
mereka tinggal di rumah orang tua lebih dari setahun atau kurang dari setahun. Hal ini
58
tergantung dari cepat lambatnya mereka bisa hidup berdikari atau membangun rumah
sendiri.
3. Perceraian
Meski tidak diharapkan oleh semua pihak terkadang sebuah pernikahan
berujung pada sebuah perceraian. Jika hal yang terakhir ini terjadi maka dalam adat
Kerinci berlaku sarang dibagi sekutu dibelah, jika bulat dikeping jika panjang
dikerat. Ini bermakna bahwa keaadilan tetap harus ditegakkan di atas sebuah
perceraian. Segala harta yang dimiliki oleh pasangan keluarga yang bercerai harus
dibagi seadil-adilnya.127
Secara lebih detil adat Kerinci mengenal dua bentuk perceraian: cerai hidup
dan cerai mati. Jika perceraian dalam bentuk cerai hidup maka berlaku norma adat
sarang dibagi sekutu dibelah. Hidup dan kehidupan dalam sebuah rumah tangga dan
harta pencaharian yang diperoleh dalam sebuah rumah tangga merupakan hasil
kerjasama suami istri. Oleh karena itu ketika terjadi perceraian, harta pencaharian
suami istri dibagi dua. Pepatah lain dalam hal ini adalah "bulat dikeping, panjang
dikerat".
Tetapi harta bawaan, yaitu harta yang dibawa oleh si suami atau si istri sejak
sebelum mereka menikah akan kembali ke pemilik asalnya. Soal anak juga di luar
hitungan. Ini karena anak tetap menjadi tanggung jawab bapak dan ibu. Pengecualian
terjadi bila ada kesepakatan bersama di antara pihak-pihak yang bercerai. Dalam hal
ini berlaku pepatah alah seko dek janji, alah janji dek suko sama suko. Jika ada
kesepakatan maka harta pencaharian, misalnya, bisa dibagi tiga antara suami, istri,
dan anak mereka.
4. Pewarisan.
Waris di Pulau Sangkar ada dua: waris harta pusaka dan waris sekao (gelar).
Harta Pusaka ada dua: pusakao tinggai dan pusakao rendah. Pusako tinggai ialah harta
warisan dari nenek moyang yang turun temurun sampai kepada sekarang ini.
Bentuknya ada dua: yang digalung ditaruko dengan tembilang besi dan yang diteruko
dengan tembilang perak atau emas (dimiliki karena dibeli).
Harta yang dihasilkan dari menaruko dengan tembilang besi, maka
pewarisannya menurut adat berlaku aturan amanah pado anak betino kuaso pado
anak jantan. Ini artinya anak perempuan diberi hak untuk mengolah tanah tanah basah
(sawah) tetapi dengan tidak boleh menggadaikan atau menjualnya. Bila terjadi
penjualan maka anak-jantanlah yang berhak menerima uang hasil penjualan itu.
Prinsip ini diberlakukan dalam rangka supaya harta pusaka tidak dijual. Tetapi prinsip
ini tidak berlaku bila ada kejadian khusus seperti mayit tabulu di tengah umah, umah
gedang ketirisan, atau gadih gdang doak beleki. Situasi khusus lainnya adalah bila
terjadi anak-jantan belik mao pdang bedehoh. Dalam situasi darurat itu maka harta
pusaka boleh dipinjam-gadaikan.
Selanjutnya harta pusaka yang berasal dari tembilang-perak, dimiliki karena
dibeli, dikuasi oleh anak jantan. Sedangkan waris sekao (gelar) pada umumnya
diterimakan dari pihak ibu.
5. Adat atas Hak Milik yang Terkena Bencana Alam
Bila terjadi bencana alam sehingga merugikan kepada satu pihak dan
menguntungkan kepada pihak lain, menurut adat hal ini disebut tanjung putus, pulau
127
Rasyid Yakin, ….
59
beralih, tak disangka lubuk menjadi pulau, pula menjadi lubuk. Bagi pihak yang
beruntung ini disebut mas picak tibo malayang mas bulet tibo begulii. Sedangkan bagi
pihak yang merugi ini disebut mas tboa ninggalkan pulao, padi berengket ninggalkan
rankiang, bembam nulak licin, dan rebung nulak miang. Artinya kedua hal ini tidak
dipersoalkan menurut adat. Ini dianggap sebagai hukum alam yang biasa terjadi.
Bila terjadi bencana yang disebabkan oleh kebakaran di kawasan delom parit
nan besudut empat, delom lawang nan bekatup duo sehingga memusnahkan rumah
yang ada di dalamnya, maka tanah ajun arah belik ke rajo (depati dan ninik mamak.
Untuk membangun kembali yang lebih teratur maka para depati dan ninik mamak
mengajun dan mengarahkan kembali tanah perkampungan tersebut.128
D. Aplikasi Adat Dalam Masyarakat
Kondisi adat langsung berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan
bersama di tengah masyarakat Rencong Telang. Adat yang tertata dengan baik
maka berdampak positif di tengah masyarakat setempat. Dampak itu bisa dalam
bentuk menunjang pembangunan sarana-prasarana umum, menyelesaikan persoalan-
persoalan bersama, khususnya menyelesaikan masalah anak jantan anak betino. Adat
juga menunjang kehidupan perekonomian bersama. Sebaliknya ketika adat tidak tetata
dengan baik maka dampaknya juga segera dirasakan oleh masyarakat banyak.
Misalnya pembangunan melambat, tanah ulayat tidak termanfaatkan secara optimal,
akhlak masyarakat merosot.
Berikut ini adalah beberapa contoh kasuu dimana adat sangat fungsional
mengatasi berbagai masalah kemasyarakatan dalam masyarakat Rencong Telang.
Pertama, berkaitan dengan Masjid Mujahidin. Masjid itu bisa dibangun antara lain
dengan dana hasil dari ajum arah (pengaturan secara adat) tanah ulayat. Ketentuan
adat dalam bentuk upeti semen diberlakukan terhadap para pendatang yang
mengunakan tanah ulayat. Di samping itu para pemakai tanah ulayat juga memberi
bantuan berupa biduk yang digunakan untuk mengangkut pasir guna pembangunan
masjid Mujahidin. Ada dua biduk yang diberikan oleh mereka yang mula-mula datang
sebagai penggarap lahan adat. Para pendatang ini umumnya berasal dari daerah
Semerap dan menggarap tanah ulayat di daerah Sungai Teruk, sampai ke Pematang
Tumbok Tigo, Serek Belerik, dan Ranah Kayu Sigi. Ketentuan seperti ini sudah
berlangsung sejak tahun 1960-an. Dengan begitu pembangunan Masjid Mujhidin
berjalan lancar dan masjid ini menjadi masjid termegah di Kerinci pada era 1980-an
dan sebelumnya.
Kedua, berkaitan dengan pembangunan sekolah. Pada tahun 1980 di Pulau
Sangkar sudah berdiri SMP PGRI. Bangunan fisik sekolah ini berdinding pelupuh.
Maka orang Rencong Telang ingin membuatnya menjadi berdinding permanen dari
semen. Maka diadakanlah rapat. Kayu untuk SMP itu sudah ada yaitu kayu bekas
surau Madrasah Irsyadunnaas dulu. Setelah surau itu hangus, orang pergi mengisek
(mengolah kayu di hutan) mencari kayu penukarnya. Kayu itu ada di Sungai Tekang
di Muan. Pemangku adat lalu mengeluarkan perinta ajum arah (pengaturan secara
adat), sesuai dengan resor masing-masing. Salah satu resor itu adalah RT 3 yang
wilayahnya sampai ke Keluru. Keputusan Depati dalam hal ini adalah kewajiban bagi
pengguna lahan untuk setiap satu hektar menyetor tiga sak semen. Karena jumlah
mereka banyak maka semen berhasil dikumpulkan dalam jumlah banyak pula. Semua
semen dilekatkan menjadi bangunan SMP PGRI itu.
128
Rasyid Yakin, …
60
Dalam pembangunan SMP PGRI ini proses penggalian dana yang berasal dari
pemakai tanah ulayat berlangsung secara musyawarah dan transparan. Seorang
informan menjadi salah satu ninik mamak ketika ajum arah pembangunan ini. Saat itu
para pendatang ingin membayar uang sewa lahan di lokasi mereka berada. Maka sang
informan berkata kepada mereka, “aku ini pergi nan belepeh, belik nan betentik (saya
sebagai utusan resmi ketika berangkat dilepas dan ketika pulang ditunggu). Kalau
mau membayar maka forumnya adalah pada musyawarah di dusun.” Maka
datanglah 18 orang sebagai perwakilan para penggarap lahan ke dusun Pulau
Sangkar. Jumlah keseluruhan penggarap lahan itu lebih dari 40 orang. Mereka
membawa uang. Salah satu dari Depati nan Enam lalu mengetik surat sebagai tanda
terima. Sesudah itu distempel oleh Depati Rencong Telang. Sang informan sebagai
tukang ajum arah juga bertanda tangan. Pelaksana ajumarah juga mendapat
persenan sebagai tukang pungut yang diterimakan malam itu juga. Tegas sang
informan, “begitu caranya kami dahulu. Dengan itu terbangunlah SMP PGRI. Dalam
membangun SMP PGRI ini tidak ada uang Bandes masuk kesitu. Semua swadaya,
dengan melibatkan semua RT.”129
Ketiga, berkaitan dengan palambang (tempat mendirikan) rumah. Pada tahun
1978 seorang warga bernama si Fulan meminta palambang bilik (lumbung padi)
milik ayahnya untuk dijadikan palambang rumah kepada pemangku adat. Untuk itu
rapatlah para depati dan ninik mamak. Menurut orang-orang tua sebagai pemangku
adat dalam rapat itu, palambang bilik adalah tanah milik negeri. Dalam hal ini berlaku
pepatah adat lolos penyait lolos pula kelindan (lolos jarum lolos pula benang). Kalau
satu orang diizinkan menggunakan tanah negeri maka tentu semua orang satu negeri
lainnya juga harus diizinkan. Padahal tanah yang diminta M si Fulan itu adalah tanah
milik bersama, milik depati nan berenam yang tidak boleh digunakan untuk
kepentingan pribadi. Maka diputuskan izin tidak diberikan. Tanah itu hanya boleh
digunakan untuk membangun masjid, madrasah, rumah sakit, atau untuk sarana umum
lainnya.
Keempat, berkaitan dengan fitnah atas seseorang. Pada suatu waktu keluarga
X mengadu ke ninik mamak karena merasa mendapat malu dari seorang warga yang
bernama Y. Di rumah salah satu warga Y bercerita bahwa ada orang memberi nasi
angau (sesuatu yang memalukan) di rumah X. Berita itu ternyata kemudian menyebar
yang membuat malu bagi keluarga X yang disebutkan itu. Secara adat kalau ada fitnah
menyebar maka diusutlah mana sumbernya, kalau tidak ke ujung maka ke pangkal.
Penyebar fitnah pertama kali akan tahutang (dikenai sangsi adat). Akhirnya diadakan
pengusutan dan dilanjutkan ke sidang adat. Ternyata Y tidak bisa menunjukkan asal
usul cerita yang dia obrolkan. Semua orang yang disebut D sebagai sumber cerita
tentang nasi angau itu tidak ada yang mengaku. Maka akhirnya perkara meletus
(berbalik arah) ke Y. Sehingga dia terkena sangsi adat karena dianggap sebagai
penyebar fitnah.
Kelima, berkaitan dengan tempat memelihara hewan. Pada suatu waktu ada
seorang bernama T tinggal di rumah H yang berada di dekat masjid. T ini ternyata
memelihar anjing yang dia ikatkan di dekat rumahnya. Orang banyak merasa
terganggu dengan keberadaan anjing itu. Ketika orang sedang shalat, anjing itu sering
menyalak. Di samping itu bau kencing anjing itu menyengat. Maka dilakukan sidang
depati. Singkat cerita para depati kemudian memerintahkan agar anjing itu
dipindahkan.
129
Wawancara dengan SrM (68 thn) 19-03-2009.
61
Keenam, berkaitan dengan tata letak rumah. Pada suatu waktu ada rumah milik
warga yang berukuran besar. Tetapi cucuran air dari rumah itu mengenai rumah
tetangga yang berada di sebelah hilir dan sebelah mudiknya. Maka diadakanlah
sidang ninik mamak dan depati. Sidang itu memutuskan mengeluarkan perintah
dalam bentuk ajun arah (pengaturan secara adat). Ajun arah atas rumah itu adalah
bahwa cucuran air rumah itu tidak boleh lagi mengenai rumah orang yang di sebelah
mudik dan di sebelah hilirnya. Oleh karena itu sebagian dari rumah itu harus
dipotong. Sehingga ukuran rumah itu kini menjadi lebih kecil dibandingkan
sebelumnya. Kasus seperti ini juga terjadi pada beberapa rumah yang lain di Pulau
Sangkar.
Ketujuh, berkaitan dengan tuduhan perzinaan. Ada seorang bernama AU yang
merupakan ayah dari si N. Mereka tinggal di luar dusun Pulau Sangkar, di Padang
Teh. Si N yang belakangan menjadi istri S waktu itu masih gadis. Tetapi perut si N
besar. Muncullah fitnah yang mengatakan bahwa si N dihamili oleh ayah kandungnya
sendiri yaitu AU. Tentu saja AU tidak senang. Mengadulah dia ke ninik mamak.
Dalam hukum adat ini namanya menikam ulu mencarak telo mandi. Maka dilakukan
pengusutan. Kata si ini, saya mendengar dari si itu. Kata si itu, saya mendengar dari si
ini. Ternyata tuduhan akhirnya berbalik ke mertua AU sendiri yang adalah kakek si
N. Sang kakek dari semula ingin membawa cucunya ikut dengan dia tetapi sang cucu
tidak mau. Maka si kakek menyebarkan fitnah itu. Perut yang besar itu ternyata
disebabkan penyakit. Setelah diobati maka si N sehat, perutnya menjadi normal.
Kedelapan, berkaitan dengan tuduhan kawin lagi. Dalam kasus ini seorang
warga yang bernama Haji N terkena fitnah yang berakibat dia bercerai dengan
istrinya. Pada masa itu Haji N sedang kaya. Lalu muncul cerita yang mengatakan
bahwa dia kawin lagi di desa lain yaitu Desa Pondok Tinggi. Tentu saja istrinya
bertindak. Mereka bertengkar dan istrinya minta bercerai. Masalah keluarga itu
akhirnya menjadi urusan adat. Maka dilakukan pengusutan. Pada kasus itu informan
penelitian ini menjalankan tugas sebagai ninik mamak. Usut punya usut,
tertumbuklah perkara itu ke R. Dari R ke S. Dari S1 akhirnya sampai ke S2. Di ujung
pengusutan, R dan S1 mengaku tidak menyebarkan berita itu. Mereka hanya
mendengar dari S2. Maka S2 tahutang (kena denda adat). Setelah S2 ditetapkan
sebagai tahutang masalah dianggap selesai. Selanjutnya selesai sidang adat, malam itu
juga Haji N langsung datang ke rumah informan, minta dirujukkan dengan istrinya
itu. Maka rujuklah mereka malam itu juga.130
Kesembilan, berkaitan dengan perselingkuhan. Pada suatu waktu terjadi gewe
kamah (serong) yang dilakukan oleh seorang pendatang yaitu Anak Si L. Maka
dikirimlah beberapa ninik mamak dan hansip ke dehet (ke lereng bukit/ke ladang)
tempat si tertuduh berladang untuk menangkap dia. Anak Si L itu lalu dibawa ke
rumah kepala desa saat itu Dahlan Rushdy. Disana dia disidang secara adat. Dalam
kasus yang lain ada orang mengadukan bahwa M memperkosa istri Mat N di
ladangnya. Mat N orang Tapan, M orang Pesisir. Mereka berladang pada Beker di
Maligei. Maka oleh ninik mamak dia ditangkap di ladangnya dan dibawa ke dusun
untuk disidang adat. Mau tidak mau dia mengaku karena cukup data dan ada bukti.
Kedua terdakwa itu kemudian kena hukum adat yang disebut panjiy. Setelah
sampai masa pada pukul tujuh tigo kali tujuh (7 x 24 jam) ternyata hutang adat itu
tidak dibayar oleh sang terdakwa. Dia ingkar. Maka berangkatlah informan dan ninik
mamak lainnya ke mudik menemui si tersangka di ladangnya. Mereka itu adalah Upok
Adi/Saman, informan, upok Pindi, Tabrom, Upok Ita/Mat Rusli. Kepada terdakwa,
130
Wawancara dengan SrM (68 thn) 19-03-2009.
62
diberikan dua pilihan. Pertama, diusir angkat kakai ayun tangan, nan behet tinggal
nan ingan beo (angkat kaki ayunkan tangan, harta yang berat ditinggalkan harta yang
ringan silahkan dibawa). Kedua, kulit manis miliknya diambil dengan menyuruh
orang memanen dan menjualnya guna membayar denda yang harus dibayarnya. Sang
terdakwa akhirnya sanggup dipanen kulitnya untuk membayar denda adat itu.
Kemudian dibuatlah surat yang lalu diteken oleh dia. Sehingga masalah itu akhirnya
selesai.
Denda yang harus dibayar oleh sang terdakwa adalah emas kaen sapao.
Undang-undang adat yang berkaitan dengan kasus ini berbunyi kalau tatunjok lima
emas, kalau tatepok sepuluh mas, dan kalau tapakae emas kaen sapao. Sang informan
saat kasus-kasus itu terjadi menjadi salah satu ninik mamak yang dikirim oleh sidang
depati unutk menjadi eksekutor. Sedangkan bertindak sebagai orang tua cerdik pandai
adalah hangtuao Haji Yakin. Menurut Haji Yakin pada masa Belanda dulu denda
emas kaen sapao yang harus dibayar terdakwa sama dengan satu ekor kerbau atau
enam puluh rupiah. Itulah hutang yang harus dibayar oleh para pelaku. Sejumlah itu
pula kulit manis si terdakwa harus diserahkan ke kas adat.131
Adat yang fungsional di tengah masyarakat diikuti oleh adanya transparansi
pengelolaan dana. Semua uang yang masuk sebagai hasil dari denda adat menjadi kas
adat. Demikian juga uang yang masuk karena adanya orang menikah. Semua
pengeluaran dicatat oleh pemangku adat yang ditugaskan untuk itu dengan rapi.
Dengan demikian dana adat yang keluar masuk bisa dimanfaatkan dengan optimal
untuk kepentingan masyarakat adat. Adat juga didukung oleh administrasi yang baik.
Dalam berbagai penugasan adat, orang-orang yang diberi tanggung jawab pada masa
itu memakai surat tugas. Surat itu dibuat oleh tiga pihak: Depati Rencong Telang,
Mendapo Tiga Helai Kain, dan Depati Agung. Salah satu contoh surat itu adalah yang
dibuat tahun 1953 yang berisi penugasan panitia untuk bergerak guna membangun
masjid Mujahidin.
Kalau dana kas akan digunakan maka diadakan rapat terlebih dahulu. Para
informan masih mengingat beberapa kejadian dimana dana kas adat dibuka untuk
digunakan. Pada tahun 1980 orang Selampaong, tetangga jauh desa Pulau Sangkar
mendirikan masjid. Mereka mengirim utusan ke Pulau Sangkar. Sebagai
penghormatan kepada adat Pulau Sangkar mereka meminta pucuk masjid kepada
masyarakat Pulau Sangkar. Jadi tidak mungkin orang Pula Sangkar tidak
menyumbang pembangunan masjid itu. Lalu pemangku adat mengadakan rapat. Maka
dibukalah peti nan begiwang (kas desa) untuk membantu masjid Selampaong. Setelah
itu ada lagi rapat yang juga membuka peti nan begiwang ketika babi mengganas di
sekeliling Pulau Sangkar. Masyarakat mau membeli tuba. Kebetulan pula dari
pemerintah ada permintaan membeli triplek karena bupati meminta setiap rumah
diberi kode RT dan nomornya. Maka diadakan rapat. Diputuskan bahwa untuk tuba
dibeli sebagaimana juga triplek. Untuk itu dibentuklah panitia yang menjalankan
keputusan itu.132
131
Wawancara dengan SrM (68 thn) 19-03-2009. 132
Wawancara dengan SrM (68 thn) 19-03-2009.
63
BAB V
STRUKTUR MASYARAKAT
DAN KEPEMANGKUAN ADAT
Struktur masyarakat Rencong Telang dibangun secara berjenjang dari
bawah. Masing-masing jenjang memiliki pemimpin dengan fungsi masing-masing
pula. Berbagai persoalan yang terjadi di tengah masyarakat diusahakan selesai pada
tingkat paling bawah. Persoalan dalam suatu tumbaidiselesaikan pada tingkatan
tumbai dengan dipimpin oleh kepala keluarga. Persoalan yang melibatkan antar
keluarga yang masih berada dalam satu pehut diselesaikan pada tingkat pehut dengan
dipimpin oleh tuo tengganai. Jika persoalan terjadi antar pehut maka diselesaikan
pada tingkat kalbu dengan dipimpin oleh ninik mamak. Forum terakhir tempat
menyelesaikan persoalan ada pada tingkat dusun yang dipimpin oleh seorang depati.
Pada level ini keputusan akhir harus diambil dan hasilnya wajib diterima oleh semua
pihak.
A. Struktur Masyarakat
1. Anak Jantan Anak Betino Pondasi paling dasar dari struktur sosial masyarakat Rencong Telang
adalah anak jantan anak betino.Anak jantan adalah sebutan untuk semua anak yang
berjenis kelamin laki-laki dalam suatu pehut. Anak jantan juga digunakan untuk
menyebut para istri dari anak laki-laki dalam pehut tersebut.Anak betino adalah
sebutan untuk semua anak perempuan dalam suatu pehut. Anak betino juga digunakan
untuk menyebut para suami dari anak-anak perempuan dalam suatu pehut. Dengan
demikian warga Rencong Telang yang sudah menikah memiliki dua kedudukan.
Seorang laki-laki di samping menjadi anak jantan dalam pehut asalnya (pehut orang
tuanya) juga menjadi anak betino dalam pehut istrinya. Seorang perempuan disamping
menjadi anak betino dalam pehut asalnya (pehut orang tuanya) juga menjadi anak
jantan dalam pehut suaminya.
Penyebutan laki-laki dan perempuan secara bersamaan mengindikasikan
dalam masyarakat Rencong Telang ada kesetaraan kedudukan di antara
keduanya.Kesetaraan itu terlihat dalam banyak aspek kehidupan bersama. Dalam hal
kepemangkuan adat seorang perempuan memang tidak bisa menjadi ninik mamak atau
depati. Tetapi suami mereka sebagai anak betinobisa ditunjuk oleh pehut menjadi
pemangku adat. Hal ini bahkan juga berlaku bagi para suami yang berasal dari luar
negeri setempat. Ketika sebuah pehut memperoleh giliran menerimawaris
pusaka(memangku jabatan adat) sedangkan di dalam pehut itu tidak ada anak laki-laki
yang patutuntuk itu, maka pehut itu bisa memilih anak betino (suami dari anak
perempuan dalam pehut itu) untuk memangku jabatan adat yang menjadi hak
pehutitu.
Nama lain untuk seseorang menantu, baik laki-laki maupun perempuan,
di pehut mertuanya adalah uhang semendao.Seorang laki-laki semendao memiliki
hak yang sama dengan anak laki-laki dalam pehut istrinya dalam hal pusakao tinggai
(gelar adat). Dia tidak dianggap sebagai orang lain/asing. Demikian juga halnya dalam
duduk adatatau upacara-upacara adat seperti kenduri skao, dia berhak untuk duduk
pada posisi di depan. Dalam hal ini kedudukan uhang semendao dalam komunitas
adat Rencong Telang berbeda dengan kedudukan urang sumando dalam masyarakat
matrilineal Minangkabau. Dalam masyarakat yang terakhir ini urang sumando berada
64
pada posisi lemah sebagaimana pepatah Minangkabau urang sumando ibarat abu di
atas tunggul bila ditiup akan beterbangan.133
Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari atau dalam duduk
kurungkedudukan uhang semendaotetap terbatas. Dalam hal ini dia adalah panjemput
nan jeuh pangangat nan behet. Dalam keluarga istrinya dia harus menghormati
mertuanya dan kakak maupun adik sang mertua, baik yang dekat maupun jauh.
Dalam suatu kurung atau pertemuan keluarga, misalnya, tempat duduk uhang
semendao juga terbatas. Ada baris di luan (tempat paling depan) yang tidak boleh dia
masuki. Jika dia duduk dalam baris itu maka akan menjadisesuatu yang sumbang di
mata masyarakat. Dia dianggap sebagai orang yang tidak tahu tatakrama.Walaupun
demikian terkadang dalam praktek bermasyarakat tata krama ini tidak berlaku untuk
uhang semendao tertentu.
2. Tumbai dan Kepala Keluarga Di atas anak jantan anak betino, dalam konunitas Rencong Telang
terdapat unit sosial yang dikenal dengan nama tumbai.Tumbai merupakan
organisasi keluarga yang anggotanya terdiri dari bapak, ibu, dan anak. Sebuah tumbai
akan muncul setelah berlangsungnya sebuah pernikahan dan anggotanya akan
bertambah setelah lahir keturunan dari hasil pernikahan itu. Pada umumnya sebuah
tumbai terdiri dari seorang ibu, bapak, dan anak-anak mereka. Sering juga ke dalam
sebuah tumbai bergabung nenek-kakek, ayah-ibu, atau cucu-cucu. Tetapi kakek-
nenek, apalagi ayah-ibu yang masih bisa memenuhi kebutuhan mereka sendiri lebih
senang tinggal di rumah mereka sendiri. Sesekali mereka akan menengok rumah
anak-anak. Pada kesempatan yang lain anak-anak mereka yang akan berkunjung
secara rutin ke rumah mereka.
Tumbai dipimpin oleh bapak sebagai kepala keluarga. Sebagai kepala
keluarga dia bertanggungjawab penuh atas keberlangsungan keluarganya dengan
memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Sedangkan istri dalam keluarga
bertanggung jawab mengurus segala urusan rumah tangga seperti memelihara rumah
dan menyelenggarakan kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Pendidikan anak dalam
sebuah keluarga menjadi tanggung jawab bersama suami istri. Selanjutnya setelah
dewasa anak-anak harus mengabdi kepada kedua orang tua dan keluarga mereka.
Sebuah tumbai wajib terlibat dalam kehidupan bersama. Kewajiban itu
terkait dengan pehut-kalbudan dusun. Keterlibatan itu antara lain dalam bentuk pepu-
pepan (beriuran). Iuran adalah pengumpulan dana untuk menyelenggarakan suatu
program atau kegiatan bersama yang membutuhkan dana yang besar. Sebuah tumbai
juga wajib terlibat dalam gerbuh (gotong royong). Gotong royong biasanya terkait
dengan kegiatan yang memerlukan tenaga. Selanjutnya tumbai juga harus terlibat
dalam behin. Behin adalah tolong menolong terutama dalam penyelesaian pekerjaan
di ladang dan di sawah. Behin biasanya dilaksanakan dalam suatu kelompok orang
dekat. Penyelesaian suatu pekerjaan akan dikeroyok bersama bergilir dari satu lokasi
milik anggota ke lokasi yang lainya. Kewajiban lainnya yang tidak boleh ditinggalkan
oleh sebuah tumbai adalah kenduri (perayaan), pajak, dan ronda desa. Di dalam
semua kegiatan sosial di atas terjalin kebersamaan yang membuat masyarakat
semakin rukun antar sesama mereka.
Sebuah tumbai akan bubar ketika suami istri yang belum mempunyai
anak becerai. Tetapi tidak demikian dengan keluarga yang sudah mempunyai anak.
133
Lihat Idris Djakfar dan Indra Idrris, Hukum Waris Adat Kerinci, Sungai Penuh: Pustaka
Anda, 1995, hal. 6, 25-26.
65
Jika sebuah keluarga bercerai dan mempunyai anak yang ikut ibunya maka kepala
tumbaipindah kepada sang ibu. Sebaliknya jika si anak mengikuti bapaknya maka
kepala tumbai tetap dipegang oleh bapaknya. Selanjutnya bila si ibu yang janda
menikah kembali dengan laki-laki lain maka jabatan kepala tumbai berpindah ke
suami barusang ibu. Bila seorang bapak yang duda menikah lagi maka terbentuk
sebuah tumbai baru diamana sang bapak menjadi kepala tumbai dan anak yang ikut
dengannya menjadi anggota tumbai itu. Sedangkan nama dari sebuah tumbai
disamakan dengan nama dari kepala tumbai.134
3. Pehut dan Tengganai Gabungan dari beberapa tumbai disebut pehut(perut). Sebagai contoh, A
dan B menikah dan memiliki beberapa orang anak. Kemudian anak-anak mereka
menikah sehingga lahir beberapa orang cucu. Pada giliran selanjutnya para cucu itu
juga akan memiliki keluarga sendiri. Gabungan dari beberapa keluarga yang
merupakan keturunan dari A dan B itu disebut pehut.135
Besar kecilnya sebuah pehut
tergantung dari perkembangan jumlah tumbai yang menjadi anggotanya. Makin
banyak jumlah tumbai yang ada di dalamnya makin besar sebuah pehut. Ukuran besar
kecilnya sebuah pehut bukan pada jumlah orang atau warga tetapi pada jumlah tumbai
yang ada di dalamnya.136
Sebuah pehut dibangun berdasarkan garis keturunan ibu (matrilineal).
Orang-orang yang satu pehut mempunyai nunyang perempuan yang sama sebagai ibu
asal. Dengan kata lain orang yang nenek mereka berasal dari satu ibu disebut satu
pehut. Maka anggota pehutadalah gabungan dari beberapa tumbai yang merupakan
keturunan dari seorang ibu asal sampai pada keturunan derajat ketiga. Istilah lain
untuk orang-orang yang bersaudara pada keturunan derajat ketiga ini adalah bersanak
puyang. Sedangkan orang-orang yang bersaudara pada keturunan derajat kedua
disebut bersanak nenek dan orang yang bersaudara pada keturunan derajat pertama
disebut bersanak depa. Dengan pengertian ini bila dua orang yang bersaudara satu
bapak tetapi berlainan ibu maka mereka berlainan pehut.
Setiap pehut memiliki silsilah atau tembao. Tembao diperlukan untuk
mengetahui asal usul, hubungan darah, dan ahli waris. Untuk itu tembao dituturkan
dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Tembao juga diperlukanuntuk
mengetahui hubungan antara satu orang dengan orang lainnya. Untuk itu setiap pehut
atau kalbu menuliskan tembao mereka. Pada zaman dahulu tembao ditulis dalam
tulisan asli Kerinci yaitu Tulisan Rencong pada tanduk kerbau, kulit kayu, daun
lontar, kain, dan kertas. Setelah agama Islam masuk tembao banyak ditulis dalam
huruf Arab gundul. Kemudian setelah masa penjajahan Belanda tembao ditulis dalam
huruf Latin.Dalam hal ini ada pepatah ilang tuto ilang sedeho ilang tembao ilang
puskao. Ini bermakna bila seseorang tidak mengetahui asal usul keturunan maka dia
akan kehilangan saudara dan bila seseorang tidak mengetahui silsilah atau tembao
maka dia akan kehilangan pusaka (baik pusaka rendah dalam bentuk harta maupun
pusaka tinggi dalam bentuk gelar adat).137
134
Idrsi Djakfar dan Indra Idrris, Hukum Waris Adat Kerinci, Sungai Penuh: Pustaka Anda,
1995, hal. 25-26. 135
Lihat Rasyid Yakin, : 30-31 136
Lihat Idrsi Djakfar dan Indra Idrris, Hukum Waris Adat Kerinci, Sungai Penuh: Pustaka
Anda, 1995, hal. 27. 137
Lihat Idrsi Djakfar dan Indra Idrris, Hukum Waris Adat Kerinci, Sungai Penuh: Pustaka
Anda, 1995, hal. 28.
66
Gabungan tumbai dalam satu pehut biasanya akan berkumpul dalam
peristiwa-peristiwa penting. Bila ada anggota suatu pehut melahirkan anak maka
menjadi kewajiban bagi anggota seluruh pehut untuk mengunjungi dan memberi
bantuan. Demikian juga bila ada orang satu pehut menikah maka anggota pehut
lainnya akan bergotong royong membantu keluarga yang sedang punya hajat
pernikahan itu. Mereka akan menjadi tenaga inti dalam membantu keluarga yang
sedang berhajat sesuai dengan kemampuan dan keahlian masing-masing. Demikian
juga yang terjadi ketika salah satu anggota pehutmeninggal dunia.
Pehut dipimpin oleh tengganai.Tengganai adalah mamak rumah atau anak
laki-laki dari ibu.138
Tengganai tidak ditunjuk berdasarkan proses pemilihan.
Kemunculan tengganai lebih karena pengakuan akan keberadaan seseorang. Orang
yang bisa menjadi tengganai adalah anak-laki-laki (anak jantan) dari warga suatu
pehut. Dalam hal inikakek atau paman diutamakan, baru kemudian saudara laki-laki
yang dianggap patut untuk itu. Jika tengganai berasal dari kekek atau paman maka
disebut tengganai tuo dan bila tengganai berasal dari kakak laki-laki maka disebut
tengganai mudo. Kepatutan seorang menjadi tengganai dilihat dari kebaikan akhlak,
kecerdasan, kecakapan, dan pengabdiannya kepada kerabat.139
Tugas seorang tengganai adalah mengurus dan membimbing anak
kemenakan anggota pehutnya.Tugas seorang tengganai adalah melepas pagi
mengurung petang, rantau dekat dikendano rantau jauh diulangi.Ini berarti bahwa
tengganai wajib menuntun dan mengarahkan anak kemenakannya agar selalu
mengikuti norma-norma adat. Peran yang besar itu membuat tengganai berpengaruh
dalam pehutnya. Bahkan pengaruhnya bisa melebihi kekuasaaan pemimpin formal
setempat.140
Dalam sebuah pehut bisa terjadi terdapat beberapa tengganai. Ini terjadi
karena anggota pehut itu cukup banyak dan anggota yang memenuhi syarat untuk
menjadi tengganai lebih dari satu orang. Dalam hal demikian jika terjadi suatu
masalah dalam sebuah pehut maka para tenganai akan bermusyawarah dalam forum
yang disebut duduk tengganai. Jika persoalan yang dibahas mencakup pehut lain
maka dimusyawarahkan dalam forum yang melibatkan tengganai dari pehut yang lain.
Forum ini disebut dengan kerapatan tengganai. Dalam forum ini tengganai yang
paling tua akan menjadi pemimpin musyawarah.
Dalam duduk tengganai maupun kerapatan tengganaiasas musyawarah
dan mufakat sangat dijunjung tinggi. Sesuatu yang ingin diputuskan diusahakan
disetujui secara aklamasi atau dengan kata lain sakatao. Dalam hal ini pepatah adat
mengatakan bulat ayi dek pambuluh, bulat katao dek mufakat, bulat sudah bulih
digulingkan, pipih sudah bulih dilayangkan.141
Pepatah ini mengajarkan bahwa
permusyawaratan itu hendaknya menghasilkan kesepakatan. Setelah kesepakatan
diperoleh barulah kemudian keputusan musyawarah bisa dijalankan dengan sebaik-
baiknya.
4. Kalbu dan Ninik Mamak
138
Rasyid Yakin: 59. 139
Lihat Idrsi Djakfar dan Indra Idrris, Hukum Waris Adat Kerinci, Sungai Penuh: Pustaka
Anda, 1995, hal. 28. 140
Lihat Idrsi Djakfar dan Indra Idrris, Hukum Waris Adat Kerinci, Sungai Penuh: Pustaka
Anda, 1995, hal. 28. 141
Lihat Idrsi Djakfar dan Indra Idrris, Hukum Waris Adat Kerinci, Sungai Penuh: Pustaka
Anda, 1995, hal. 29.
67
Gabungan dari beberapapehut disebut kalbu.Sebagai kesatuan orang se
geneologis (se keturunan darah)kalbu terdiri dari beberapa pehut yang berasal dari
satu ibu asal dan secara bersama-sama membentuk sebuah kalbu. Kalbu biasanya
berasal dari garis keturunan beberapa generasi di atas nungkat (orang tua dari
moyang/nunyang). Biasanya orang satu kalbu berasal dari paling tinggi tujuh generasi
di atas nungkat. Bila seorang anak jantan anak betino menikah ke dalam suatu kalbu
maka dia langsung menjadi anggota kalbu tersebut. Dengan demikian dia akan
mempunyai dua kalbu yaitu kalbu asal dan kalbu baru dimana dia diterima sebagai
menantu.142
Kalbu dipimpin oleh seorang pemangku adat yang disebut ninik mamak.
Ninik mamak berasal dari tengganai atau anak jantan/anak betino yang ditunjuk
anggota kalbu.Dia ditunjuk dan diangkat melalui prosedur adat skao begili sandang
begenti.Artinya jabatan ninik mamak adalah pusakao tinggai yang dipergilirkan antar
anak jantan/anak betino dari pehut yang berbeda dalam suatu kalbu.Setiap pehut
sudah ditentukan urutannya. Jika sudah sampai pada gilirannya maka anak jantan
anak betino suatu pehutakan menunjuk ninik mamak pilihan mereka. Jika pehut
tersebut tidak berhasil menemukan ninik mamak mereka maka giliran berpindah ke
pehut berikutnya.Pehut yang tidak berhasil menunjuk ninik mamak itu dianggap telah
menggunakan haknya.Selanjutnya gelar ninik mamak tidak melekat selama-lamanya
pada diri seorang anak jantan anak betino. Karena satu dan lain hal dia bisa berhenti
atau diberhentikan oleh anak jantan anak betino yang ada dalam kalbunya.
Anak jantan anak betino yang berhak menjadi ninik mamak harus
memenuhi alo dan patut.Aloartinya alur atau garis keturunan. Bahwa orang yang
berhak menjadi ninik mamak dalam adat adalah laki-laki baik itu anak jantan maupun
anak betino (suami dari anak perempuan) turunan ibu dari suatu kalbu. Sedangkan
patut bermakna seoang ninik mamak sebagai pemangku adat harus gepuk badannyo,
simbai ekornyo dan lansing kokoknyo.Ini bermakna bahwa ninik mamak haruslah
memiliki sifat-sifat seorang pemimpin. Di antara sifat-sifat itu adalah: sehat secara
fisik, makmur secara ekonomi, bersih hati, jujur, berpengetahuan luas dan pandai
bicara, bertindak adil dan berani menyatakan kebenaran.143
Untuk menjadi ninik mamak diperlukan sebuah proses.Menjadi ninik
mamak bukan sesuatu yang bersifat otomatis.Proses yang dimaksud adalah penobatan
oleh anggota kalbunya. Untuk itu berlaku pepatah adat bheh duo puluh kambing sikok
berdasar alo dan patut. Setelah memenuhi alo dan patutseorang tengganai atau anak
jantan yang ingin menjadi ninik mamak harusmenyelenggarakan kenduri
penobatannya sebagai ninik mamak. Untuk terselenggaranya kenduri itu sang calon
ninik mamak harus menyediakan kelengkapan minimal berbentukbheh duo puluh
kambing sikok (dua puluh gantang beras dan seekor kambing). Dalam kenduri itu
seluruh anggota kalbu baik anak jantan anak betino apalagi tuo tengganai harus
diundang hadir.Juga diundang dalam perayaan itu para pemangku adat lainnya, cerdik
pandai, alim ulama, dan kepala desa/dusun.
Para ninik mamak mempunyai tanggung jawab yang tidak ringan dalam
masyarakat adat Rencong Telang.Tugas utama mereka adalah mengurus anak
kemenakan dalam kalbu.Selain itu dalam tingkat dusun atas perintah depati mereka
juga memiliki beberapa tugas. Hal ini sebagai mana pepatah adat ninik mamak
mengajun-mengarah, melerek menjajou, mengilo membentang, mengile memudik,
pakaro nek pakaro gedang, mamasuk petang mangalua pagi dalam lembago kurung,
142
Idris Djakfar dan Indra Idris: 29. 143
Idris Djakfar dan Indra Idris: 30.
68
kusut selesai keruh jernih, atas titah Tuo Depati.144
Mereka berkewajiban
menelusuri, mengukur, membimbing, mengurai kekusutan, dan menjernihkan
kekeruhan atas suatu masalah yang berkembang di tengah masyarakat. Itu harus
dilakukan terhadap masalah besar maupun masalah kecil.Itu semua dilakukan oleh
ninik mamak atas perintah dari depati.
Kalbu diberi gelar yang sama dengan gelar ninikmamaknya. Dalam
komunitas Rencong Telang dikenal beberapa nama kalbu sekaligus nama ninik
mamaknya. Itu antara lain adalah Kalbu Rajo Batuah, Kalbu Suko Berajo, Kalbu Setio
Negoro.
5. Luhak dan Depati Gabungan dari beberapa kalbu disebut dengan luhah atau luhak.Sebagai
kumpulan dari ratusan keluarga atau puluhan pehut dan kalbu, luhak memiliki warga
atau anak jantan-anak betino yang sudah menyebar ke berbagai pehut. Ini terjadi
karena adanya kawin mawin antar pehut yang berbeda luhak. Selanjutnya ini
menyebabkan seorang warga tidak hanya memiliki satu luhak. Dia bisa jadi
merupakan warga dari beberapa luhak yang ada di Pulau Sangkar. Namun demikian
seorang anak jantan anak betino biasanya bisa mengidentifikasi dirinya masuk ke
dalam luhak apa saja. Penelusuran akan terjadi terutamabila ada pergantian seorang
depati. Adanya pusakao rendah berupa sawah besoh, asap jeremi, dan tunggol
pamaraih membantu indentifikasi ini.
Sebuah luhak dipimpin oleh seorang depati.Depati adalah pemangku adat
tertinggi.Depati berasal dari tengganai atau anakjantan yang diangkat masyarakat
denganmenghanguskan bheh saratuih kbosikok berdasarkan alo dan patut.Menjadi
seorang depati diharuskan mengadakan perhelatan dengan mengumpulkan orang
dalam satu luhak. Untuk itu diperlukan menyembelih seekor kerbau dan memasak
seratus gantang beras.Tentu saja perhelatan itu boleh diselenggarakan bila dua syarat
pokok yaitu alo (adanya garis keturunan) dan patut(adanya kepantasan berdasarkan
adat untuk menduduki jabatan tertinggi itu) terpenuhi terlebih dahulu oleh calon
depati.
Fungsi depati dirumuskan dalam pepatah adat yang berbunyi
depatimakan abih ngehat putuih, pegi tempat betenyo belik tempat beberito.Fungsi
pertamayaitu makan abih ngehat putuih terkait dengan fungsi depati memberi
keuputusan akhir dari suatu perkara yang berkembang di tengah masyarakat.Bahwa
depati harus menyelesaikan sebuah perkara yang berkembang di tengah masyarakat
apapun resikonya.Ketika sebuah perkara sampai pada duduk depati (sidang para
depati) maka tidak ada lagi istilah perdamaian.Para terlibat dalam suatu masalah yang
sampai dibahas pada sidang para depati tidak boleh lagi mundur ke belakang.Tentu
saja masalah itu sudah dicoba dicari penyelesaiannya dalam sidang di bawahnya yaitu
siding ninik mamak tetapi tidak ditemukan penyelesaian yang diterima para pihak
berperkara.
Fungsi selanjutnya depati adalah pegi tempat betenyo belik tempat beberito.Ini
bermakna bahwa depati menjadi tempat rujukan masyarakat.Sebelum seorang anak
jantan anak betino meninggalkan negerinya untuk suatu keperluan sewajarnya dia
datang ke depati untuk memperoleh informasi tentang negeri tujuannya. Demikian
juga setelah dia kembali ke dalam negerinya maka dia akan datang ke rumah depati
untuk bercerita tentang perjalanannya. Fungsi ini tentu saja menuntut seorang depati
untuk memiliki pengetahuan yang luas.
144
Rasyid Yakin: 59.
69
B. Luhak nan Enam Depati nan Berenam Sebagaimana disebutkan sebelumnya lapisan paling atas dalam struktur
sosial masyarakat dalam komunitas Rencong Telang adalah para depati.Mereka
memegang otoritas tertinggi dalam memutuskan berbagai persoalan yang berkembang
di tengah masyarakat. Permasalahan yang tidak bisa diselesaikan oleh tuo tengganai
maupun ninik mamak diselesaikan pada sidang para depati. Pada tingkat ini
keputusan berlaku tetap dan tidak bisa digangu gugat sebagaimana pepatah adat
depati makan abih ngehat mutuih (depati itu kalau makan haruslah sampai habis dan
kalau memotong harus sampai putus).145
Ada enam depati dalam masyarakat adat
Rencong Telang yang memimpin di luhak masing-masing. Mereka dikenal dengan
istilah Luhak nan Enam Depati Nan Berenam (enam luhak enam depati).
Tetapi meskipun menduduki jabatan tertinggi depati memimpin secara
kolegial. Seorang depati hanya memegang kekuasaan tertinggi di luhaknya. Di luhak
yang lain ada depati lain yang juga menjadi pemimpin tertinggi. Dalam praktek
memimpin masyarakat mereka akan memilih salah seorang dari mereka untuk
dituakan. Meski demikian kedudukan antar depati yang enam itu adalah sama.
Karena itu pada tingkatan komunitas adat Rencong Telang seorang depati harus
memimpin secara kolegial. Kerapatan adat yang mengumpulkan depati nan berenam
semestinyadilaksanakan setahun sekali. Setidak-tidaknya menjelang orang turun ke
sawah.Atau itu dilaksanakan menjelang puasa, mengumpulkan orang untuk membeli
kerbau. Dalam hal ini ninik mamak kasih sayang nan berenam yaitu Bagindo Sutan
Mas menjadi panitia penyelenggara kerapatan karena dia adalah sekretaris negeri.
Seorang depati diangkat oleh anak jantan anak betino dalam luhak
masing-masing. Masyarakat Pulau Sangkar memiliki enam luhak di daerah mereka.
Luhak-luhak ituadalah:Teluk Gelenggoa, Lubuk Napal, Pondok Tinggi, Sayan,
Mudik Nehat, dan Sangka.146
Versi lain menyebut bahwa luhak yang ada di Pulau
Sangkar adalah: Tepian Suhin, Pondok Tinggi, Sadan, Mudik Nehat, Rantau Lolo,
dan Sungai Kemak.147
Sedangkan enam depati yang menjadi pemimpin di luhak
masing-masing itu adalah: Depati Tago atau Depati Talago, Depati Belinggo, Depati
Nanggalo, Depati Agung, Depati Permai, dan Depati Sangkar.148
Sebagaimana
diuraikan sebelumnya, mereka adalah keturunan dari Hangtuao Maligei.Lima depati
dari garis Sutan Maharajo Gerah dan satuu depati dari garis Sutan Maharajo Arao.
Keberadaan suatu luhak memiliki tiga tanda. Pertama, kubuw pendam
(kuburan) dari depati pemegang kuasa luhak itu. Kedua,asap jeremiy (asap jerami)
yaitu orang-orang yang pernah mendapat giliran mengunakan lahan sawah
besoah(sawah warisan dari nenek moyang) dari luhak masing-masing. Ketiga, tunggol
pamaraehyaitu orang-orang tua yang dihormati dalam luhak masing-masing. Jika
seorang anak jantan anak betino ingin mendapatkan pusakao tinggai atau gelar adat
(depati atau ninik mamak) maka dia harus bisa membuktikan dirinya sebagai bagian
145
Wawancara dengan JhT (68 thn) 11-03-2009, SrM (68 thn) 19-03-2009, dan IyT (75 thn)
20-03-2009 di Kerinci Hilir, dengan AA (82 thn) di Pesisir Selatan 24-07-2009, dan dengan MzY (70
thn) di Sungai Penuh, 27-07-2009.
146
Wawancara dengan JhT (68 thn) di Kerinci Hilir 11-03-2009, SrM (68 thn) di Kerinci
Hilir 19-03-2009, dan BS (81 thn), di Jambi, 21-03-2009. 147
(Wawancafra dengan Akmal Abbas, Jambi …. 148
Wawancara dengan JhT (68 thn) di Kerinci Hilir 11-03-2009, SrM (68 thn) di Kerinci
Hilir 19-03-2009, dan BS (81 thn), di Jambi, 21-03-2009.
70
dari kubuw pendam, asap jeremiy, dan tunggol pamaraeh dari luhak dimana dia
berada.149
Gelar depati dalam masing-masing luhak disebut pusakao tinggai (pusaka
tinggi). Dalam hal pusaka dalam masyarakat Rencong Telang memang dikenal dua
macam pusaka: pusakao rendah dan pusakao tinggai. Pusakao rendah adalah sawah
besoah(sawah warisan dari nenek moyang) yang dipergilirkan hak gunanya. Pusakao
tinggai adalah gelar adat yang juga dipergilirkan pemakaiannya. Dari suatu sawah
besoah yang dipergilirkan hak gunanya dan gelar adat yang disandang secara siling
berganti, orang Pulau Sangkar bisa menelusuri siapa saja kerabat dekat maupun
kerabat jauh mereka, baik yang masih berada dalam satu pehut maupun yang sudah
berada dalam satu kalbu tetapi berlainan pehut.
Dalam pelaksanaan kekuasaan di tengah para depati nan berenam ini di
kenal gelar Depati Rencong Telang. Sebagai mana jabatan depati lainnya, jabatan
tertinggi atau gelar Depati Rencong Telang juga tidak melekat selamanya pada
seorang depati. Ia lebih bersifat fungsional. Ketika diperlukan seorang utusan yang
akan mewakili negeri ke suatu forum antar negeri/kerajaan, misalnya, maka depati
nan berenam akan bermusyawarah untuk menunjuk salah satu dari mereka sebagai
depati yang dituakan. Kepada depati yang dituakan ini dilekatkan gelar Depati
Rencong Telang. Tentang hal ini masyarakat Rencong Telang mengenal pepatah adat
Depati Rencong Telang tegoak di ateh ubun-ubun nan berenam (Depati Rencong
Telang berdiri di atas ubun-ubun enam depati). Depati Rencong Telang pertama ada-
lah Tuanku Nan Bagonjong alias Hangtuao Maligei.150
Pada sisi lain Depati nan Berenam juga memiliki wakil-wakil di luar
Pulau Sangkar.Di Tarutung, desa tetangga Pulau Sangkar misalnya, perwakilan
mereka adalah Depati Agung yang memliki dua ninik mamak. Bagi orang Pulau
Sangkar Tarutung dikenal sebagai luhak nan 33 tumbi. Demikian juga di Lempur,
desa tetangga jauh Pulau Sangkar yang dikenal sebagai lekok nan 50 tumbi, disana
juga ada para depati yang merupakan representasi dari Depati nan Berenam Pulau
Sangkar.
Depati yang berada di luar Pulau Sangkar merupakan tempat anak
jantan anak betino menepat ketika mereka berkunjung kesana. Hal ini terjadi
terutama ketika ada kenduri sekao (kenduri pusaka, perayaan/pertemuan adat
terbesar). Kalau ada orang Pulau Sangkar pergi ke Lempur saat kenduri sekao, maka
dia menepat di rumah depati yang ada keturunan dari Depati Rencong Telang yang
ada disana. Menurut seorang informan yang berasal dari Lempur, pada setiap dusun
yang berjumlah empat di Lempur kini terdapat depati yang merupakan tempat
menepat/perwakilan orang Pulau Sangkar disana. Begitu juga bila di Pulau Sangkar
ada perhelatan maka orang Lempur yang datang akan menepat di rumah depati yang
merupakan orang satu luhak dengan mereka.151
1. Tembo/silsilah Depati
149
Wawancara dengan JhT (68 thn) di Kerinci Hilir 11-03-2009, SrM (68 thn) di Kerinci
Hilir 19-03-2009, dan BS (81 thn), di Jambi, 21-03-2009. 150
Wawancara dengan JhT (68 thn) di Kerinci Hilir 11-03-2009, SrM (68 thn) di Kerinci
Hilir 19-03-2009, dan BS (81 thn), di Jambi, 21-03-2009.
151
Wawancara dengan JhT (68 thn) di Kerinci Hilir 11-03-2009, SrM (68 thn) di Kerinci Hilir
19-03-2009, BS (81 thn), di Jambi, 21-03-2009, dan DpL (55 thn) di dekat Lempur, 20-03-2000.
71
Jabatan seorang depati tidak melekat selamanya pada seorang
pemangkunya. Dalam suksesi kepemimpinan adat orang Rencong Telang
menerapkan sistem bergilir antar para ahli waris dalam suatu luhak. Pepatah adat
menyebut hal ini dengan istilah sekao silih sandang begenti (pusaka berpindah
jabatan berganti). Tetapi seseorang yang sudah pernah menjadi depatimasih bisa
menjadi depati yang sama sekali lagi dengan melalui jalur silsilah yang lain. Juga
tidak tertutup kemungkinan seseorang yang pernah menjadi depati tertentu di
kesempatan yang lain bisa menjadi depati yang lain. Tentu saja ini tidak berlaku bila
sang depati pernah jatuh di pamanjaek hanyut di parenang (jatuh di panjatan hanyut
di tempat berenang) alias terpecat secara adat.152
Jika dalam satu luhakterdapat beberapa keris bersilang (ahli waris yang
berhak dan menginginkan gelar depati) maka diadakan musyawarah.
Musyawarah dilaksanakan dalam Lembago Kurung di tingkat kalbuatau kaum dengan
dihadiri oleh anak jantan anak betino dan para tuo tengganai tunggol pamaraih
dalam luhak tersebut. Dalam hal ini kalbu bisa dari garis ibu bisa juga dari garis
ayah.Meskipun kini secara silsilah para ahli waris sudah tumpang tindih, mencari
garis orang yang mau dan berhak mengambil gelar depati bukan hal yang sulit. Untuk
itu pertama kali dipilihanak jantan anak betino yang belum pernah menyandang gelar
adat itu sebelumnya. Jika ditemukan lebih dari satu calon maka dicarilah calon yang
paling dekat dari sisi silsilah.
Seiring dengan berjalannya waktu, sebagian urutan para depati dari
yang pertama sampai yang terakhir sekarang ini ada yang masih jelas adan ada
yang sudah kabur. Artinya tidak semua nama depati nan berenam dari yang pertama
sampai yang sekarang bisa dilacak. Ini karena tidak ada pencatatan dan dokumentasi
yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain, pernikahan yang
berlangsung bersilang antar kalbu-kaum dan bolehnya orang semendao menjadi depati
juga membuat silsilah para depati itu menjadi tidak sederhana lagi. Namun demikian
masyarakat masih mengingat nama-nama depati terdekat dan dari garis mana yang
bersangkutan mengambilnya.
Untuk Depati Tago, dimana sebagian besar orang Pulau Sangkar berhak
menjadi pewarisnya, masih diketahui nama-nama para pemangkunya. Sampai
kini diperkirakan sudah ada sekitar sepuluh kali pergantian pemangku Depati Tago.
Beberapa orang yang masih diingat beberapa informan adalah Depati Tago Tulah,
Depati Tago Kait, Depati Tago Ncae. Selanjutnya ada Daepati Tago Musae yang
setelah meninggal diganti oleh Depati Tago Haji Muhammad Syah. Pada era 1960-an
sampai 1970-an Depati Tago dipegang oleh Haji Zainuddin. Setelah itu dikenal
beberapa nama yang pernah menjadi Depati Tago yaitu Haji Syarif Yakin, Harun, dan
terakhir adalah Bustami Ilyas.153
Silsilah Depati Sangkar bisa ditelusuri dengan lebih jelas.Bahkan benda
pusaka, tanah basah tanah keringnya, bisa ditelusuri dengan mudah.Kuburan Depati
Sangkar Mula Jadi juga masih terjaga dengan baik. Kuburan itu terletak di sebelah
barat Masjid Lama Pulau Sangkar dengan nisan berbentuk batu bungkuk. Ini berbeda
dengan depati lainnya yang belum terlacak dimana kuburan mereka sehingga
penunjukan para pelanjut depati-depati ini lebih memerlukan banyak
permusyawaratan di dalam luhak mereka masing-masing.Sedangkan Depati Sangkar
152
Wawancara dengan SrM (68 thn) di Kerinci Hilir, 19-03-2009.
153
Wawancara dengan JhT (68 thn) 11-03-2009 dan dengan, SrM (68 thn) 19-03-2009 di
Kerinci Hilir.
72
bisa diketahui dengan jelas mulai dari yang pertama sampai dengan yang ke sepuluh
yang masih memangku sampai saat ini.
Depati Sangkar Satu atau Depati Sangkar Mulajadi bernama Rajo Kecik.
Dia adalah anak dari Mantikow dan mempunyai dua anak: Rajo Bujang alias Depati
Pulau dan Gentosuri. Rajo Bujang kemudian dikenal sebagai Depati Sangkar
II.Selanjutnya gelar Depati Sangkar dipergilirkan di antara anak keturunan Rajo
Bujang dan anak keturunan Gentosuri ini. Depati Sangkar III adalah Cuntaw
(keturunan pertama/anak Gentosuri), Depati Sangkar IV adalah Haji Abdullah
(keturunan ke-3/cucu dari Rajo Bujang), Depati Sangkar V adalah Haji Djakfar
(keturunan ke-4/puyang dari Gentosuri), Depati Sangkar VI adalah Haji Akbar
(keturunan ke-4/puyang dari Rajo Bujang), Depati Sangkar VII adalah Djaitah/Haji
Syarif (keturunan ke-4/puyang dari Gentosuri), Depati Sangkar VIII adalah Rahmad
(keturunan ke-4/puyang dari Rajo Bujang), Depati Sangkar IX adalah Yahya Pra
(keturunan ke-5 dari Gentosuri), dan Depati Sangkar X adalah Sudirman (keturunan
ke-6 dari Rajo Bujang). Sudirman sampai sekarang masih memangku jabatan Depati
Sangkar.154
Depati ada yang memiliki wilayah teritorial dan ada yang tidak memiliki
wilayah.Depati Sangkar memiliki wilayah yang luas. Wilayah kekuasaannya bahkan
sampai ke Ombak nan Berdebur. Dari Patih Slempaong sampai Menggung di Lubuk
Paku masuk ke dalam wilayah Depati Sangkar. Karena memiliki wilayah khusus itu
maka Depati Sangkar memiliki keistimewaan yaitu memiliki dua nini mamak. Dua
ninik mamak Depati Sangkar adalah Rajo Betuah dan Rajo kecik.Depati Tago
memiliki wilayah yang meliputi Kayu Tinggi di Pondok, Riao di Muak, Tanjung
Batu, Pidung, turun ke Keluru.Depati Agung yang kembangannya adalah Depati Suko
Berajo memiliki wilayah yaitu daerah Temulun. Sedangkan depati lainnya yang tidak
memiliki wilayah fokus pada urusan dalam negeri. Mereka yang mengatur
pelaksanaan gotongroyong, memulai turun ke sawah, membangun rumah, dimana
lahik rumah yang akan dibangun dan bagaimana mengatur pembangunan rumah.
Sehingga jangan sampai sebuah rumah membelakangi rumah orang lain. Untuk
keperluan itu para depati bisa memerintahkan ninik mamak masing-masing.
2. Persyaratan Menjadi Depati dan Ninik Mamak
Persyaratan utama untuk menjadi depati maupun ninik mamak terkait
dengan garis keturunan dan aspek kepatutan. Dalam hal ini dikenal pepatah adat
depati ninik mamak bergilir berdasar alur dengan patut. Seorang depati harus
memiliki alur dan patut karena dia adalah seorang pemimpin di tengah
masyarakatnya. Dia bukan gembala ayam bukan gembala itik. Depati memerankan
fungsi sebagai gembala anak jantan anak betino memasuk petang mengeluar pagi,
jika berkata dahulu sepatah, jika berjalan dahulu selangkah, ibarat cermin gedang di
tengah negeri, tahu di undang teliti. Bahwa seorang depati adalah orang yang
bertanggung jawab mengatur pergi dan datangnya anak negeri. Bahwa seorang depati
adalah orang yang berada di depan dalam menghadapi berbagai persoalan. Oleh
karena itu dia tidak boleh pasif, dia harus punya inisiatif. Dia juga harus memiliki
wawasan yang luas tentang berbagai aturan yang berlaku dalam negerinya.
Alur berarti bahwa orang yang dapat menjadi depati dan ninik mamak berasal
dari luhak dan kalbu yang bersangkutan. Dengan kata lain mereka dipilih dari orang
154
Lihat Hidayat Chatib, Tembo/Silsilah Depati Sangkar. Tembo ini mencatat dengan teliti
siapa saja anak keturunan Depati Sangkar Mula Jadi sampai generasi sekarang. Menurut Hidayat
Chatib (keturunan ke-4 Rajo Bujang/Depati Sangkar II) Tembo itu disusun bersama Prof. Idris Jakfar ,
S.H. (keturunan ke-5 dari Gentosuri, anak dari Haji Djakfar Gelar Depati Sangkar V).
73
yang memiliki hak waris. Terkait dengan ini lebih lanjut menurut adat dikatan
berkubur berpendam, bertampang berurai, adat bersendi alur, alur bersendi patut,
patut bersendi benar. Ini bermakna bahwa bahwa alur saja tidaklah cukup. Di dalam
alur harus pula dilihat kepatutan. Alur tanpa patut menjadi tidak benar. Untuk bisa
menjadi benar maka di samping memiliki alur depati harus memiliki sendi atau
pondasi yaitu patut.
Patut artinya seorang depati haruslah memiliki syarat-syarat minimal yang
sepatutnya dimiliki oleh seorang depati sebagai pemimpin masyarakat. Kepatutan
seorang depati dirumuskan dengan pepatah adat simbai ekornyo, tajam tajinyo,
nyaring kokoknyo. Simbai ekornyo bermakna bahwa dari segi ekonomi seorang depati
harus berada. Seorang depati tidak boleh serba kekurangan. Dia mewakili
kehormatan luhaknya ketika disandingkan dengan depati-depati lain di dalam maupun
di luar negerinya. Apalagi mengingat peran dan tanggungjawabnya, tentu dia
memiliki kegiatan lebih banyak dibanding anak jantan anak betino pada umumnya.
Untuk itu dia tidak bisa semata-mata bergantung pada dukungan anak jantan dan anak
betinonya saja.
Tajam tajinyo bermakna bahwa depati harus pemberani, berwibawa, dan
memiliki watak kepemimpinan. Sebagai gembala yang harus menjaga anak negeri
maka seorang depati bertanggungjawab terhadap keamanan warganya. Untuk itu dia
harus berani berhadapan dengan berbagai resiko. Keberanian depati pada giliran
selanjutnya akan melahirkan kewibawaan. Dengan begitu dia akan disegani anak
jantan anak betino maupun oleh orang lain pada umumnya. Selanjutnya keberaniaan
dan kewibawaan menjadi modal dasar bagi seorang depati dalam menjalankan
fungsinya sebagai seorang pemimpin di tengah masyarakat.
Di samping berani seorang depati juga harus memiliki seni memimpin. Ini
sebagai mana pepatah adat nan baik ialah budi nan indah ialah baso. Di dalam
memimpin adat, misalnya, seorang depati harus mengucapkan kata-kata yang betul-
betul berasal dari lubuk hati. Setiap kata seorang depati berisi makna dan setiap
kalimatnya berisi maksud. Jadi depati tidak boleh sembarang bicara. Dalam kaitan ini
dia juga harus memahami pepatah Jika mandi ambil ke hilir, jangan sampai ke hilir
nian. Jika berkata ambil ke bawah, jangan terlampau ke bawah benar. Dengan kata
lain depati sebagai pemimpin tidak boleh sombong dengan berbicara terlalu tinggi
atau terlalu merendah sampai kehilangan harga diri.
Nyaring kokoknyo bermakna bahwa seorang depati harus bisa menjadi
pembicara yang baik di tengah masyarakat. Dengan pandai berbicara maka depati
akan memiliki pengaruh di tengah masyarakatnya. Di samping itu sebagai pembicara
yang baik depati akan sanggup mengatasi massa. Dengan pandai bicara depati juga
menjadi arif bijaksana sebagai mana pepatah adat tahu mambaco nan tersurat dan
tersirat, tahu di lereng dengan gendeng, tahu di dahan nan nak manimpo, tahu di
ranting nan nak melecut.
Bagian dari kecerdasan seorang depati adalah taktik dalm berbicara. Ini
diperlukan agar hasil akhir sebuah komunikasi sesuai dengan yang direncanakan.
Dalam hal ini pepatah adat mengatakan kalau pandai meneteh akar tumbuh daun
muda di pucuknya kalau tak pandai meneteh akar tumbuh tunas di rusuknya. Ini
bermakna bahwa seorang depati harus menggunakan cara komunikasi yang tepat
sasaran. Dengan begitu ide bisa tersampaikan dengan baik sehingga membuahkan
hasil sesuai harapan. Kalau dalam komunikasi tidak tepat sasaran maka hasil yang
diperoleh bisa bertolak belakang dengan yang diharapkan.
Pepatah lainnya mengatakan kalau pandai menyampaikan kata ibarat santan
dan tengguli kalau tidak pandai menyampaikan kata ibarat alu mencungkil duri.
74
Dengan kata lain depati harus pandai berbicara. Dia harus tahu bahwa meskipun
berniat baik tetapi kalau disampaikan secara kasar maka orang lain bisa salah
memberikan tanggapan. Sebaliknya sebuah niat buruk bisa tercapai karena dalam
penyampaiannya digunakan cara-cara yang halus. Untuk itu dalam praktek
berkomunikasi seorang depati harus mengingat pepatah adat biar beramuk dalam hati
di muko jangan dinampakkan, kalau pandai meniti buih selamat badan sampai
seberang.
Seorang depati yang baik juga harus menerapkan kepemimpinan
partisipatif. Ini bermakna depati haru bisa membuat anak jantan anak betino, dengan
kelebihan dan kekurangan masing-masing, terlibat secara aktif dalam berbagai
kegiatan kemasyarakatan. Dengan begitu tidak ada anak jantan anak betino yang
merasa ditinggalkan oleh pemimpin mereka. Dalam hal ini pepatah mengatakan
gepuk nan tak membuang lemak, cerdik nan tak membuang kawan, nan buto
menghembus lesung, nan lumpuh menghalau ayam, nan pekak penembak meriam,
nan bodoh jadi pesuruh, nan bagak jadikan kawan, nan cerdik jadikan teman. Jika
depati bisa memimpin dengan baik maka semua orang bisa menjalankan peran mereka
dengan baik pula. Semua anggota masyarakat pasti memiliki kelebihan. Bahkan
sesuatu yang nampak sebagai sebuah kekurangan bisa menjadi sebuah nilai lebih
ketika pemimpin bisa mengelola dengan baik. Orang buta bisa menjadi penghembus
lesung, orang tuli bisa menjadi penembak meriam, orang lemah akal bisa menjadi
pesuruh. Jadi tidak boleh ada di antara mereka yang tersisih.
Jika dalam suatu luhak belum ditemukan anak jantan yang patut, maka
luhak bisa mengangkat suami dari anak betino mereka menjadi depati. Dalam
beberapa kejadian pergantian depati hal ini biasa terjadi. Haji Zainuddin pada era
1950-1970-an, misalnya, memangku jabatan Depati Tago. Dia memenuhi asas patut
untuk jabatan itu karena pada era itu dia merupakan salah satu dari sedikit anak jantan
Pulau Sangkar yang memeperoleh pendidikan tertinggi. Dia alumni Sumatera
Thawalib Padang Panjang. Tetapi saat itu dia tidak memiliki alur karena luhak-
kalbunya tidak pada posisi giliran ngadoang jabatan itu. Dia bisa menjadi Depati
Tago karena ditetapkan oleh tuo tengganai dan tunggul pamaraih dalam luhak
istrinya yang sedang berada pada posisi ngadoang gelar itu.
Demikian juga yang terjadi pada seorang informan yang sekarang menjabat
sebagai Depati Suko Berajo. Depati ini adalah kembangan dari Depati Agung. Gelar
ini diberikan oleh luhak mertuanya dengan tanpa sepengetahuannya. Tiba-tiba datang
ke rumahnya tuo tengganai tunggul pamaraih dari luhak mertuanya membertahu
bahwa dia sudah ditunjuk menjadi raja mereka dengan gelar Depati Suko Berejo.
Sebagai depati dia diberi tugas menjadi kayu gedang di tengah negeri yang mengurus
anak jantan anak betino yang berada di luar negeri. Menurut sang informan dia tidak
bisa menolok penunjukan itu karena menolak gelar berarti menolak anak betino atau
istri dia yang berasal dari luhak itu.
Karena sang informan ditunjuk oleh keluarga istrinya menjadi depati
maka segala hal terkait dengan penobatannya menjadi depati ditanggung oleh
kelurga istrinya itu. Mereka mengumpulkan dana untuk membeli kerbau, memberi
beras, asam manis, dan berbagai kelengkapan lainnya guna penobatan gelar depati
untuk sang informan. Sang informan tidak mengeluarkan biaya sepeserpun. Bahkan
baju kebesaran depati pun dibelikan oleh mertuanya. Menurut sang informan dia
memang mendapatkan gelar itu sebagai uhang semendao. Hal seperti ini juga pernah
terjadi dalam kasus Djaitah pada luhak Depati Sangkar. Pada masa itu dalam kalbu
Djaitah tidak ada orang yang patut menjadi depati. Kebetulan ada suaminya sedang
75
menjadi mendapo. Maka dikukuhkanlah suami Djaitah yang juga seorang mendapo
yaitu Haji Syarif Upoak Darwis menjadi Depati Sangkar VII.155
Sebagian depati wajib berdomisili di Pulau Sangkar dan sebagian yang
lain tidak. Depati Sangkar dan Depati Tago harus berdomisili di pusat komunitas
adat Rencong Telang yaitu Tanah nan Sebingkah atau Pulau Sangkar. Mereka harus
duduk di dalam negeri karena fungsi mereka memasukkan pagi dan mengeluarkan
petang terhadap anak jantan anak betino tidak bisa diwakilkan. Ini berbeda dengan
depati nan empat lainnya. Bila ada orang Rencong Telang yang berada di luar Pulau
Sangkar dan dianggap telah menjalankan fungsi kepemangkuan adat seperti mengurus
anak jantan anak betino disana maka dia bisa diberi gelar adat. Meskipun hal itu tidak
diminta oleh yang bersangkutan. Dalam pepatah adat ini disebut ngurus kaki kembar
duo. Tentu saja proses penunjukan dilakukan di dusun, dikenaongkan di dusun, dan
dengan memenuhi persyaratan sebuah penobatan depati.156
3. Penobatan Depati
Orang-orang yang menginginkan jabatan depati maupun ninik mamak
harus membawa keris nan sebilah ke tunggul pamaraih mereka. Tunggul
pamaraih adalah orang-orang dalam suatu kalbu yang dituakan dan mengerti sejarah
dan tembao dari kalbu mereka. Tunggul pamaraih bukan sekedar orang tua. Orang
tua yang tidak mengerti sejarah dan tembao kalbunya sendiri ibarat tunggul yang
sudah lapuk. Tunggul pamaraih akan menelusuri asap jeremi dari para calon depati
untuk memastikan siapa di antara para calon yang berhak atas jabatan depati itu.
Setelah pilihan ditetapkan oleh tunggul pamaraih maka berlaku pepatah adat suka jadi
suka tidak jadi. Maksudnya adalah orang yang dipilih tunggul pamaraih tidak boleh
menolak dan orang yang tidak dipilih harus rela hati menerima pilihan yang diambil
para tunggul pamaraih.157
Setelah dipilih tunggul pamaraih seorang calon depati harus dinobatkan.
Penobatan (dalam bahasa Kerinci knaung) dilakukan dalam suatu upacara yang
melibatkan seluruh anak jantan anak betino dalam suatu luhak. Untuk itu harus
diadakan suatu kenduri besar. Kenduri besar ini harus sesuai dengan pepatah adat
depati naik di atas kerbau seekor beras seratus. Ini berarti bahwa dalam penobatan
depati harus disembelih seekor kerbau dan dimasakkan seratus gantang beras. Jadi
biaya untuk melekatkan gelar depati sebagai pemimpin tertinggi suatu luhak tidaklah
ringan. Karena itu seorang depati memang harus simbae ekornyo.
Pelaksanaan kenduri penobatan depati dalam suatu luhak didahului
dengan adat sayak tinting. Sayak tinting adalah gotong royong atau pengumpulan
bantuan dari anak jantan anak betino sewaris dari orang yang akan dinobatkan
menjadi depati. Bantuan itu bisa berbentuk dana maupun innatura. Sayak tinting
diperlukan untuk meringankan beban sang calon depati karena biaya yang harus
dikeluarkan untuk penobatan seorang depati tidaklah sedikit. Karena dipilih luhak
maka jabatan depati itu sendiri juga mencerminkan kehormatan suatu luhak. Sayak
tinting juga mencerminkan adanya kebersamaan dalam suatu luhak. Dalam hal ini
berlaku pepatah adat Anak betino yang setikar cabik, berlantai patah, bertungku
jerang, meladung beras melepit daun. Maksudnya adalah bahwa luhak sang depati
siap untuk seoptimal mungkin menyelenggarakan perhelatan penobatan sang depati.
Bahwa anak perempuan bahkan sanggup menyelenggarakan sampai tikar mereka
155
Wawancara dengan Hidayat Chatib, S.E., M.Ed. Gelar Depati Setio Negoro, di Jambi …. 156
Wawancara dengan Hidayat Chatib, S.E., M.Ed. Gelar Depati Setio Negoro, di Jambi ….
157(wawancara Hidayat, 2009)..
76
cabik, lantai mereka patah, memasak nasi dan lauk, dan menghidangkan makanan
demi melayani para tamu yang datang.
Dalam knaung seorang depati disampaikan sebuah parago (pidato adat).
Parago ini disampaikan oleh ahlinya. Kalau yang dinobatkan adalah Depati Sangkar
maka parago itu dilakukan oleh Menggung dari Lubuk Paku. Dia akan berkata bahwa
penobatan depati itu berdasarkan pada kerapatan adat dalam luhak dan sudah sesuai
pepatah adat sekao begilii sandang begenti. Menggung juga menyatakan bahwa calon
depati itu sudah sesuai alur dan patut sehingga sang calon dipilih menjadi Depati
Sangkar Kesekian. Kemudian Menggung akan bertanya kepada khalayak yang hadir,
“Apo iyo apo idoak?” Seluruh anak jantan anak betino menjawab dengan
bergemuruh “iyoo.” Maka gong dipukul oleh Menggung dari Lubuk Paku itu.
Dengan demikian resmilah jabatan sang Depati Sangkar. Sedangkan untuk depati
lainnya selain Depati Tago parago dan pemukulan gong dilakukan oleh Menggung
dari Muak.
Setelah canang ditabuh maka ditegaskan oleh Menggung bahwa dalam
melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya depati harus menegakkan keadilan. Dalam hal ini berlaku pepatah adat depati menghukum seadil-adilnya, tidak beranak
tiri tidak beranak kandung, tibo di pehut doak dikempihkan tibo di matao doak
dipicingkan tibo di papan doak berentak, tibo di duhi doak maningkaek. Maksudnya
adalah bahwa depati sebagai pemimpin masyarakat tidak boleh memberikan
perlakuan yang berbeda kepada anggota masyarakat yang berbeda seperti perlakuan
terhadap anak kandung dan anak tiri. Depati juga tidak boleh membuat perlakuan
yang berbeda ketika suatu perkara menimpa keluarga sendiri dengan perkara yang
menimpa bukan keluarga sendiri. Depati tidak boleh menegakkan hukum dengan
tegas hanya pada orang lain tetapi tidak kepada keluarga sendiri.
Kemudian menggung membacakan pantang larang depati. Pantang larang
merupakan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang depati selama dia
memegang jabatan itu. Pantang larang depati adalah: menggunting dalam lipatan
menohok kawan seiring, merojak tebing menghempas bumbung, membuat hasut dan
fitnah, gung gedang duo suaro, pepat di luar rencong di dalam lain di mulut lain di
hati, awak gdang kelakuan kecik. Kalau depati melanggar pantang larang maka dia
kena sanksi adat antara lain dalam bentuk pemecatan.158
Pantang larang pertama adalah menggunting dalam lipatan menohok
kawan seiring.Maksudnya adalah depati dilarang keras mengambil tindakan yang
berlawanan dengan kesepakatan atau janji yang telah dibuat bersama baik secara
diam-diam apalagi secara terang-terangan. Dalam memimipin seorang depati juga
tidak boleh meninggalkan depati lainnya. Kepemimpinan dalam masyarakat adat
Rencong Telang bersifat kolektif. Meskipun seorang depati merupakan penguasa
tertinggi atau raja di dalam luhaknya, dalam memimpin masyarakat Rencong Telang
dia berposisi sejajar dengan lima depati lainnya. Dia bagian dari luhak nan enam
depati nan berenam. Oleh karena itu dalam mengambil keputusan dia harus selalu
bermusyawarah dalam duduk depati. Seorang depati tidak boleh tergoda untuk
mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama.
Pantang larang kedua adalah merojak tebing menghempas bumbung.
Maksudnya adalah bahwa depati tidak boleh meruskan kerukunan dan kerjasama yang
telah terbangun dengan baik antar warga dalam masyarakat. Masyarakat yang baik itu
ibarat tebing yang kokoh atau bumbung yang kuat dimana antar unsur pembentuknya
158
Wawancara dengan Sarel mas’ud pada … di Pulau Sangkar, dengan Hidayat Chatib pada …
di Jambi. Lihat juga Rasyid Yakin
77
saling bekerjasama dengan baik sehingga saling menguatkan.Tugas depati adalah
mempertahankan kerukunan dan kerjasama dalam masyarakat itu. Pada sisi lain depati
juga harus bisa menjauhkan masyarakat dari hal-hal yang bisa merusak kerukunan dan
kerjasama antar mereka itu. Depati tidak boleh mengadu domba atau memancing-
mancing antar warga untuk berkonflik antara satu dengan lainnya agar sang depati
bisa mengambil manfaat dari konflik itu.
Pantang larang ketiga adalah membuat hasut dan fitnah. Maksudnya
adalah bahwa depati tidak boleh menyebarkan berita yang tidak berdasar atau
menyebar kebohongan. Depati juga tidak boleh membuat fitnah atau menuduh
seseorang yang tidak sesuai dengan kenyataan. Ini juga berarti bahwa depati harus
menegakkan kebenaran dalam berbagai tindakannya. Dia tidak boleh menutup-nutupi
kebenaran dengan cerita-cerita karangan sendiri yang tidak ada dasarnya. Kebenaran
merupakan salah satu pondasi terkuat dari tertib masyarakat. Sebagai pemimpin
masyarakat maka depati harus menegakkannya. Kalau seorang depati terbiasa dengan
kebohongan maka bisa dipastikan cepat atau lambat dia akan ditinggalkan anak jantan
anak betino dan tertib sosial di tengah masyarakatnya akan runtuh.
Pantang larang keempat adalah gung gedang duo suaro. Maksudnya adalah
bahwa depati dilarang bermuka dua atau tidak konsisten dalam ucapan maupun
tindakan. Dia tidak boleh mencla-mencle, pagi tahu siang tempe. Seorang depati
harus teguh memegang pendirian di berbagai waktu dan berbagai tempat. Sekali dia
mengatakan sesuatu maka dia harus mempertahankan ucapannya itu. Ini karena
sebagai pemimpin ucapannya didengarkan oleh seluruh anak jantan anak betino.
Sebagai orang yang ditokohkan seluruh tindak tanduk depati menjadi rujukan anak
jantan anak betino. Oleh karena itu ucapan dan tindakan depati harus konsisten agar
anak jantan anak betino tidak bingung dalam mengikutinya.
Pantang larang kelima adalah pepat di luar rencong di dalam lain di mulut
lain di hati. Maksudnya depati tidak boleh berkata sesuatu yang tidak sesuai dengan
apa yang dia rasakan dan pikirkan atau berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan yang
dia ucapkan. Depati harus memiliki integritas yang kuat dalam arti antara apa yang
ada dalam hati dengan ucapan dan tindakan harus sejalan. Dengan demikian anak
jantan anak betino menjadi mantap hati dalam mengikuti keputusan para depati
terhadap suatu masalah. Mereka menjadi yakin bahwa apa yang diputuskan pemimpin
mereka betul-betul keputusan yang terbaik. Karena keputusan itu muncul dari hati
nurani bukan sekedar manis di bibir saja.
Pantang larang keenam adalah awak gdang kelakuan kecik. Maksudnya
adalah depati harus menjaga etika dalam bertingkah laku. Dia tidak boleh
sembarangan dalam bertingkah laku. Depati harus mengerti apa yang pantas dan apa
yang tidak pantas lagi dia lakukan. Depati, misalnya, tidak boleh seperti anak kecil
yang sering emosional sehingga kadang berkata dan berperilaku tanpa banyak
pertimbangan sebelumnya. Hal ini diperlukan agar marwah depati sebagai pemimpin
yang dihormati di tengah masyarakat terjaga dengan baik. Sebagai pemimpin tertinggi
dalam suatu negeri depati harus menjaga ucapan dan tindakan, baik yang sifatnya
personal maupun dalam jabatannya sebagai pemimpin. Masyarakat menilai seorang
depati dengan tidak lagi membedakan dia sebagai pribadi atau sebagai pemimpin.
Setelah mengucapkan pantang larang depati, Menggung akhirnya
membacakan ancaman kepada sang depati yang baru dilantik itu. Bahwa bila
sang depati tidak menegakkan keadilan dan bahkan melakukan pantang larang
sebagaimana disebutkan di atas maka sang dia akan terkena akibat dari melanggar
sumpahnya. Akibat dari melanggar sumpah itu dirumuskan dalam pepatah adat yang
isinya seirama dengan sumpah Perpatih Nan Sebatang alias Sigindo Sri Sigerinting di
78
hadapan Uwok ketika mendirikan Tanah Sebingkah alias Pulau Sangkar pada masa
yang lalu. Dampak dari sumpah itu adalah
dimakan karang setio, dikutuk Kalamullah, dikutuk Al-Qur’an tigo puluh juz.
Dikadah ke langit, di atas celak dengan piagam, dikutungkan ke bumi, di bawah
mangkuk karang setiyo. Ibarat kayau di atas tebat, ke atas tidak berpucuk, ke
bawah tidak berurat, di tengah-tengah dijarung kumbang.159
(dimakan karang setia, dikutuk kala Allaah Al-Qur’an 30 Juz. Menghadap ke langit
di atas tinta dan piagam, menghadap ke bumi di bawah mangkuk karang setia,
ibarat kayu di atas tebat, ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, di tengah-
tengah dirusak kumbang)
4. Pemberhentian Depati
Gelar pemangku adat seperti depati dan ninik mamak tidak dijabat
seseorang secara menetap selamanya. Jabatan itu disandang secara silih berganti.
Ini sesuai dengan pepatah adat sekao silih sandang begenti. Bahwa gelar sebagai
pusaka tinggi itu dipergilirkan antar kalbu yang ada di dalam suatu luhak. Setelah
anak jantan anak betino suatu kalbu dalam suatu luhak menyandang suatu gelar depati
ninik mamak maka pada periode berikutnya gelar itu disandang oleh kalbu lain yang
ada dalam luhak yang sama. Pergiliran itu berputar terus secara urut meliputi semua
kalbu yang ada di dalam luhak. Di dalam suatu kalbu terjadi pula pengggiliran gelar
itu antar pehut yang ada di dalam kalbu itu. Pergiliran itu berlangsung secara urut
sehingga semua pehut mendapatkan jatah gelar tersebut secara bergantian.
Sebagai sebuah jabatan publik seorang depati bisa berhenti di tengah
periode kepemimpinannya. Hal ini bisa terjadi karena: pertama, depati meninggal
dunia. Seorang depati yang meninggal dunia maka secara otomatis gelar depatinya
menjadi gugur. Kedua, depati berhenti secara normal. Dalam pepatah adat ini disebut
tibo di kepalo tidak terjunjung tibo di bahu tidak terpikul. Depati bisa berhenti karena
suatu keadaan yang berakibat tidak memungkinkan lagi bagi dia untuk menjalankan
tugas memimpin masyarakat. Misalnya, seorang depati bisa berhenti karena faktor
umur atau karena merasa sudah terlalu tua. Untuk ini depati bisa mengajukan
pengunduran diri. Ketiga, depati diberhentikan atau dipecat.
Pada masa pergolakan PRRI akhir 1950-an sampai awal 1960-an, pernah
terjadi seorang depati diberhentikan di tengah masa jabatannya. Saat itu dia menjabat
sebagai kepala desa Pulau Sangkar sekaligus menjabat sebagai Depati Agung. Gelar
depati itu sudah dia pegang sejak beberapa era sebelumnya. Pada era 1950-an di
Sumatera terjadi pergolakan PRRI melawan pemerintah pusat Jakarta. Dalam hal ini
banyak orang Kerinci, antara lain orang Pulau Sangkar, termasuk sang depati terlibat
dalam pergolakan itu. Karena situasi yang bergejolak sang depati bersama teman-
teman seperjuangannya keluar Pulau Sangkar untuk jangka waktu lama. Karena itu
dia meletakkan jabatannya sebagai kepala desa. Luhak sang depati kemudian
mengangkat kemenakan sang depati menjadi kepala desa baru. Tetapi sang
kemenakan melangkah lebih jauh. Dia menumbangkan gelar Depati Agung milik
pamannya itu. Sang paman karena tidak gila jabatan tidak mempermasalahkan hal
itu.160
Pemecatan seorang depati terjadi antara lain karena dia tidak
menjalankan fungsinya dengan baik.Ini terjadi misalnya ketika dia tidak
159
(Yakin, 1986: 37-38, Waancara Syahril, 2009). 160
Wawancara dengan Hidayat Chatib, Jambi, …..
79
menegakkan keadilan dalam memimpin masyarakat. Dia membedakan perlakuan
antara warga yang satu dengan warga yang lainnya. Sehingga seakan-akan ada warga
menjadi anak kandung dan ada warga menjadi anak tiri. Dia juga menerapkan
hukuman yang seringan-ringannya pada orang atau keluarga dekatnya. Bahkan dia
memicingkan mata, berpura-pura tidak tahu kalau ada kasus yang terkait dengan
orang atau keluarga dekatnya itu. Pada sisi lain ketika terkait dengan orang yang
bukan orang atau keluarga dekat dia menerapkan hukuman yang seberat-beratnya. Ini
berarti dia sudah menjadi depati yang tidak adil. Dengan demikian dia bisa dipecat.
Seorang depati juga bisa dipecat karena melanggar pantang larang
depati. Dalam pepatah adat depati yang dipecat karena melanggar panatang larang
disebut dengan hanyut di penyeberangannyo jatuh di pemanjatannyo (hanyut di
tempat dia menyeberang terjatuh di tempat dia memanjat). Maksudnya adalah bahwa
sang depati dipecat saat berada pada posisi memegang jabatan. Ini terjadi karena dia
melakukan hal-hal yang semestinya tidak boleh dilakukan oleh seorang depati.
Misalnya dia mengambil tindakan yang berlawanan dengan kesepakatan yang telah
dibuat bersama sebelumnya. Atau dia merusak kerukunan dan kerjasama yang telah
terbangun dengan baik antar warga masyarakat dengan mengadu domba atau
menyebar berita bohong. Atau dia tidak sejalan antara ucapan dengan tindakannya.
Atau dia bertingkah laku tidak sesuai dengan perannya sebagai orang yang dihormati
anak jantan anak betino seperti tidak shalat, bangun tidur selalu kesiangan, mengadu
ayam kemana-mana, bermain judi. Apalagi seorang depati melanggar Delapan Pucuk
Larangan. Maka sang depati yang demikian bisa kena pecat.
Pemecatan depati memiliki beberapa bentuk. Bentuk pertama adalah Pecat
Kemenakan. Proses pecat kemenakan berlangsung dalam sidang tertutup di dalam
rumah. Para anak jantan anak betino suatu kalbu berkumpul karena beredarnya suatu
informasi negatif tentang depati yang mereka angkat menjadi pemimpin luhak
mereka. Bahwa terdengar berita yang sumbang di mato pecah di telingo tentang
sesuatu yang tidak boleh terjadi telah dilakukan oleh sang depati. Bahwa sang depati
telah melanggar pantang larang depati. Misalnya sang depati mengganggu anak
perempuan orang. Jika itu sungguh-sungguh terjadi maka secara hakiki sang depati
sudah terpecat. Dia sudah jatuh di pemanjatannyo hanyut di perenangnyo. Anak
kemenakan atau anak jantan anak betino dalam suatu luhak lalu melaksanakan sidang
untuk meresmikan pemecatan itu. Sehingga setelah sidang pecat kemenakan itu
berlangsung maka terpecatlah sang depati.161
Bentuk kedua adalah Pecat Anak Jantan Anak Betino. Pecat anak jantan
anak betino berlangsung secara terbuka, di tempat umum, dan tanpa ada yang ditutup-
tutupi. Bisa dikatakan ini adalah bentuk pemecatan secara tidak terhormat. Pecat ini
dihadiri oleh seluruh anak jantan anak betino atau seluruh warga Rencong Telang,
bukan hanya anak kemenakan dari seorang depati. Ini terjadi karena situasi dalam
negeri yang kacau balau. Adat tidak berjalan dengan baik. Pemangku adat berjalan
sendiri-sendiri. Mereka diangkat tidak sesuai dengan prosedur adat yang semestinya
karena tidak melalaui mekanisme pemilihan dalam kalbu dan luhak terlebih dahulu.
Kenduri adat di ateh bheh nan saratuih kbo nan saikok tidak diselenggarakan.
Sehingga tidak jelas lagi siapa yang berhak memimpin dan siapa yang mereka
pimpin. Keresahan yang terjadi di tengah masyarakat jika tidak segera teratasi bisa
menjadi konlfik terbuka antar anak jantan dan anak betno.
161
Wawancara dengan Hidayat Chatib di Jambi pada …., dan dengan Akmal Abbas, pada ….
Di Jambi. Menurut informan, seorang depati X karena satu dan lain hal pernah dipecat oleh anak
kemenakan atau anak jantan anak betino di luhak mereka.
80
Peristiwa pecat anak jantan anak betino pernah terjadi di Pulau Sangkar
pada era 1980-an. Pada saat itu depati diangkat hanya oleh kepala desa. Prosedur dan
persyaratan sebagaimana diatur adat tidak dijalankan. Ini tentu saja menimbulkan pro
dan kontra di tengah masyarakat. Setelah berlangsung beberapa waktu situasi dalam
negeri Pulau Sangkar mulai memanas.Untuk menghindari situasi yang makin
memburuk diadakanlah pertemuan besar di Masjid Mujahidin. Pertemuan dihadiri
oleh tiga kepala desa, para mantan kepala desa, para cerdik pandai, para pemangku
adat yaitu depati dan ninik mamak, dan hampir semua anak jantan anak betino.
Sehingga saat itu Masjid Mujahidin baik bagian dalam maupun bagian luar dipenuhi
warga Pulau Sangkar.
Salah seorang tokoh yang disegani banyak pihak saat itu berinisiatif
mengarahkan pertemuan. Dia berkesimpulan bahwa kalau mau memperbaiki negeri
maka semua depati yang ada saat itu harus dilebur. Artinya jabatan itu ditiadakan dan
dikembalikan ke luhak masing-masing. Selanjutnya setiap luhak dipersilahkan
memilih depati dari luhak masing-masing. Itu semua harus di atas bheh nan saratuih
kebo nan saikok. Dia lalu mendahului berpidato dalam rapat itu.
“Kita ini ingin membenahi negeri atau ingin apa. Kalau ingin membenahi negeri
maka perbaiki pemimpinnya dulu. Benahi kaumnya juga. Seorang pemimpin harus
bisa membina kaumnya, bisa membina kemenakan-kemenakannya. Kalau orang-
orang ini juga yang memerintah dusun ini, yang memegang adat yang menguasai
negeri, hancurlah negeri ini.Bagaimana kalau kini tidak usah kita sebut lagi
mereka.vKita tukar dengan yang baru saja.Kita bentuk yang baru.Untuk itu kita
bentuk panitia untuk merumuskannya.”
Maka bersorak semua orang di dalam dan di luar Masjid Mujahidin itu. Dia lalu
melanjutkan pidato,
“Bagaimana, apa kita tukar orang yang duduk dalam struktur adat kita ini. Ini soal
adat, bukan soal kepala desa. Kalau kepala desa itu suka hati mereka lah.
Bagimana, iya apa tidak?”
Maka bergemuruhlan anak jantan anak betino menjawab, “ Iyooo…” Dengan
demikian sah lah keputusan itu. Artinya pada saat itu semua depati secara resmi telah
diberhentikan melalui prosedur pecat anak jantan anak betino .162
C. Lembago nan Tigo Jinjing Sekao nan Tigo Takah Meski tidak diharapkan dalam hubungan timbal balik antar warga dalam
masyarakat Rencong Telang terkadang muncul persoalan yang berkembang menjadi
sebuah perkara. Suatu perkara ada kalanya bisa dileselesaikan dan ada kalanya tidak
bisa diselesaikan antar pihak bertikai.Oleh karena itu dibutuhkan lembaga yang bisa
menjadi forum penyelesaian perkara itu. Penyelesaian berbagai perkara, sebagaimana
struktur sosial dan kepemimpinan dalam masyarakat Rencong Telang, diselesaikan
secara berjenjang dalam tiga tingkatan. Dalam hal ini dikenal istilah Lembago nan
Tigo Jinjing Sekao nan Tigo Takah. Ketiga lembaga itu adalah: Lembago Dapur,
Lembago Kurung, dan Lembago Adat. Dalam masing-masing lembaga itulah
diselenggarakan sidang sesuai dengan tingkatan perkara masing-masing.Selanjutnya
jika suatu perkara masih belum selesai atau suatu perkara terjadi antar komunitas adat
yang berbeda maka diselesaikan di tingkat yang lebih tinggi yaitu Lembago Alam.
Tempat penyelesaian perkara pertama adalah Lembago Dapur. Ini
adalah forum tempat disidangkannya perkara persengketaan antar anak-kemenakan
162
Wawancara dengan Akmal Abbas, pada …. Di Jambi, dan dengan Hidayat Chatib pada
…. Di Jambi.
81
dalam suatu keluarga. Bertindak sebagai penengah dalam lembaga ini adalah
tengganai.Tengganai adalah mamakrumah atau anak laki-laki dari ibu. Bila terjadi
persengketaan dalam suatu rumah tangga maka tengganai bertanggung jawab
menyelesaikannya.Dalam menyelesaikan perkara mereka menjalankan fungsi
sebagaimana dikatakan pepatah adat tanggo naik dalam lembago dapur, air belum
beriak, daun belum inggong, angin belum ribut busuk belum berbaun, dulu datang
kudian lari.163
Ini bermakan bahwa tengganai adalah tempat anak jantan anak betino
mengadukan perkara yang sedang mereka hadapi.Untuk itu tengganai harus
mencarikan jalan keluar secepatnya sebelum masalah menyebar keluar dari keluarga
itu.Dalam hal ini tengganai harus tahu lebih dahulu dibanding orang lain
perkembangan suatu perkara dan menjadi orang terakhir yang bertahan mengawal
sebelum perkara itu benar-benar selesai.Perkara diselesaikan oleh tengganai melalui
perdamaian menurut adat. Sebagai biaya perkara maka para pihak bertikai harus
membayar meh steh atau meh sepetai (emas seberat petai) kepada tengganai.
Dalam menyelesaikan suatu perkara tengganai dibantu oleh anak
jantan.Anak jantan dalam pengertian ini adalah anak laki-laki dalam kalbu/pehut dan
luhak.Anak jantan berfungsi mendaki bukit yang tinggi menurun lurah yang dalam
menjemput yang jauh mengumpul yang dekat dalam Lembago Kurung.164
Ini
bermakna bahwa seorang anak jantan harus siap untuk tugas-tugas yang lebih berat
dan lebih jauh jangkauannya. Dalam proses menyelesaikan perkara tengganai tentu
memiliki keterbatasan. Padahal dia dituntut lebih berhati-hati agar masalah itu tidak
melebar kemana-mana.Dalam hal ini anak jantan berperan menjadi penghubung atau
perpanjangan tangan tengganai.Anak jantan harus siap diberangkatkan kemana saja
guna mengumpulkan data dan mengumpulkan orang-orang terkait guna membantu
tengganai menyelesaikan persengketaan.
Forum penyelesiaan perkara selanjutnya adalah Lembago
Kurung.Lembaga kurung adalah lembaga tempat disidangkannya persengketaan
yang terjadi antar anak-kemenakan yang berbeda keluarga tetapi masih berada dalam
satu pehut atau satu kalbu.Dalam lembaga ini bertindak sebagai pemimpin sidang
adalah ninik mamak.Dalam sidang pada Lembaga Kurung ini sebisa mungkin para
ninik mamak mengusahakan perdamaian antar pihak yang berperkara.Bila para
terlibat tidak menerima keputusan yang diambil oleh ninik mamak maka mereka bisa
melanjutkan perkara ke lembaga yang lebih tinggi yaitu Lembaga Adat.Untuk
menyelenggarakan sidang dalam lembaga ini maka para terlibat harus membayar
biaya sidang berbentuk meh sekundi (emas seberat buah kundi) kepada ninik mamak.
lembagatertinggi tempat penyelesaian perkara dalam komunitas adat Rencong
Telangadalah Lembago Adat. Dalam lembaga ini disidangkan perkara yang terjadi
antar anak-kemenakan antar pehut-kalbu atau masalah-masalah laiinya yang
tidakputusdalam sidang pada Lembaga Kurung.Dalam lembaga Adat tidak dikenal
lagi istilah perdamaian.Keputusan dalam sidang ini bersifat final, tidak boleh lagi
diganggu gugat.Ini sesuai dengan pepatah adat depati makan abih ngehat
mutuih.Maksudnya adalah bahwa di tangan depati semua masalah selesai dan semua
perkara mendapatkan keputusan.Setuju atau tidak setuju para terlibat perkara dalam
sidang depati harus menerima kenyataan.Mereka yang kalah dalam sidang ini tetap
kalah dan mereka yang menang tetap menang.Dalam sidang ini juga berlaku pepatah
adat pusako hendak luruh hukum hendak labuh, seligi tajam timbal balik mengena
ujung pangkal.Untuk menyelenggarakan sidang depati para terlibat harus membayar
163
Rasyid Yakin: 59. 164
Rasyid Yakin: 59.
82
biaya berupa meh semeh (emas seberat satu emas) kepada depati yang menyidangkan
perkara.
Lembago Alam adalah lembaga tempat penyelesaian perkara yang terjadi
antar dusun di dalam Daulat Depati Empat Alam Kerinci.Dalam lembaga ini duduk
para depati yang tergabung dalam Daulat Depati Empat Alam Kerinci. Nama lain
lembaga ini adalah Lembago Rajo. Untuk konteks kekinian peran lembaga ini
diambil oleh Pengadilan Negeri.
83
BAB VI
PEPATAH PETITIH
Salah satu hal yang mnearik dari budaya Melayu, termasuk pada
masyarakat Rencong Telang, adalah budaya lisannya. Dalam hal ini berbagai nilai,
norma, dan hukum yang mengatur kehidupan bersama dirumuskan dalam kata-kata
yang indah. Rumusan itu ada yang berbentuk pantun dan ada yang berbentuk pepatah-
petitih. Ini semua dengan tujuan agar itu mudah diingat, disampaikan, dan
dilaksanakan oleh anak jantan anak betino. Disamping itu rumusan rumusan itu
menjadi mudah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Berikut ini adalah pepatah-petitih adat dalam masyarakat Rencong Telang.
Pepatah-petitih adat ini berisi Induk Undang nan Delapan, Pintu Salah nan Tujuh,
Pantang Larang nan Limo, Induk Undang nan Duo Puluh, Anak Undang nan Limo
Puluh, dan Ranting Undang nan Seratus.165
A. Induk Undang nan Delapan
01. Tikam bunuh : pembunuhan langsung, sengaja dan tidak sengaja, serta
pembunuhan berencana.
02. Upeh racun : penyebab matinya seseorang dengan sengaja dan tidak sengaja atau
menyebabkan orang menderita sakit seperti narkoba.
03. Rampok Rampeh : Perampokan dan Perampasan.
04. Maling curi : mengambil harta orang lain yang sedikit atau banyak.
05. Sumbang zina : orang yang melakukan atau berbuat zina suka sama suka atau
memperkosa.
06. Merumbut mato punai dan menyusun mato bawang abang : penganiayaan
terhadap orang lain seperti memotong tangan atau mencukil mata dan sebagainya
serta merusak harta orang lain seperti tanaman dan pembakaran.
07. Nutoh kapayang : merugikan kepentingan orang banyak seperti menebang hutan
secara liar dan lain-lainnya.
08. Nubo Tepian : menuba ikan dan meracuni dan lain sebagainya.
B. Pintu Salah nan Tujuh
01. Mata melihat yang dilarang oleh agama dan adat.
02. Mulut perkataan yang dilarang oleh agama dan adat.
03. Telinga mendengar yang dilarang oleh agama dan adat.
04. Hidung mencium yang dilarang oleh agama dan adat.
05. Tangan memegang atau berbuat yang dilarang oleh agama dan adat.
06. Kaki melangkah atau berjalan yang dilarang oleh agama dan adat.
07. Faraj atau kemaluan berbuat apa yang dilarang oleh agama dan adat.
C. Pantang Larang nan Limo
01. Menikam bumi (berzina dengan ibu kandung sendiri).
02. Mencarak telur (berzina dengan anak kandung sendiri).
03. Mandi pacuran gading (berzina dengan istri orang lain. Melakukan hubungan
percintaan dengan istri orang, berjalan berdua-duaan ditempat yang tidak layak
dan berbicara ditempat yang sunyi berdua-duaan).
165
Rumusan-rumusan ini berasal dari manuskrip Sarel Masyhud dan wawancara mendalam
dengannya di Bukit Tamiang Pulau Sangkar, 17-12-13.
84
04. Memfitnah terhadap orang lain yang tidak dia lakukan baik perkataaan maupun
perbuatan dan penghinaan terhadap martabat dirinya.
05. Lalat merah (adu domba atau mengambil muka, propokator, menyampai perkataan
si- A kepada si-B yang sangat tidak menyenangkan si-B. Begitu pula sebaliknya).
D. Induk Undang nan Duo Puluh
01. Umbuk umbai (penipuan).
02. Dego-degi. Artinya menakuit-nakuti mencapai tujuan.
03. Belum enggang terbang belum ranting patah belum gajah nempoh belum gurun
layu. Artinya tidak orang ini lewat di tempat itu tidak ada orang yang kehilangan,
setelah orang itu lewat ditempat itu orang kehilangan.
04. Bejejak bebekeh baurih bak mampasin. Artinya dalam penyelidikan belum dapat
buktinya.
05. Tatampok tatangkai tacino tatawang. Artinya tertangkap tangan.
06. Taburu talelah. Artinya dalam pengajaran.
07. Bunta tapak. Artinya dapat bukti padanya atau rumahnya.
08. Babaun bak embacang. Artinya sudah menjadi rahasia umum kelakuan dan
perangainya.
09. Condong mato uhang banyak. Artinya sudah menjadi perhatian dan dugaan orang
banyak.
10. Awak gedang kelakun kecik. Artinya seorang pemimpin atau pejabat perangainya
sama dengan pereman, tidak berakhlak dan beribawa.
11. Pancung luput ditikam dak sampai. Artinya mengancam dengan senjata tajam.
12. Membuat cabuh dalam negeri. Artinya membuat keributan dalam negeri yang
meresahkan orang.
13. Ngujak lubang ngempaih bumbun. A rtinya sengaja menyuruh orang bersengketa
atau perkara.
14. Ngujo ayam bataji. Artinya sengaja memanaskan situasi atau menyuruh
berkelahi.
15. Mengherek mengentam tanah memasungkan dado menyingsingkan lengan baju
menyelakan mato. Artinya mencari lawan mengajak berkelahi.
16. Titin galin dalam negeri. Artinya tidak ada berpenderian.
17. Gung gedang duo suaro. Artinya tidak bisa dijadikan pedoman dan tidak bisa jadi
panutan.
18. Mengunting dalam lipatan. Artinya menyusuk kanti seiring atau berkhianat.
19. Menyurukkan budi merangkakkan akal. Artinya mementingkan diri sendiri
merugikan orang lain.
20. Masak pagi matang petang. Artinya merubah janji.
E. Anak Undang nan Limo Puluh
01. Luko dipampeh, mati dibangun, lembam ditepung, iram belembaga. Artinya luka
itu terbagi tiga: pertama, luko tinggi. Kedua luko rendah. Ketiga luko belung.
Yang luko tinggi ialah luka tampak bekas membuat orang cacat yang tidak dapat
ditutupi oleh pakaian dan lain sebagainya seperti kening, dahi, muka, wajah dan
sebagainya. Adapun luka rendah ialah luka yang tidak tampak bekasnya dapat
ditutupi oleh rambut dan pakaian seperti paha, punggung atas, kepala dan
sebagainya. Luka balung artinya berkuak daging, putuh urat, Rencong tulang atau
luka dalam, lembam bengkak dalam yang tidak tampak menyebabkan orang
pingsan atau tidak sadar diri. Inilah yang dikatakan belah bangun artinya separuh
bangun, kalau luko tinggi dan luko rendah tidak perlu mengumpulkan keluarga
85
atau suku. Cukup sesuai keadaan alo dan patut. Kalau bangun dan belah bangun
perlu dikumpulkan keluarga atau suku diundang.
Nenek empat puyang delapan suku duo timbal balik. Kalau bangun menurut adat
limo pusako usang, jantan tujuh puluh kayu kain kapan, kalau betino delapan
puluh kayu kain kapan bangunnya karena membunuh bibit.Satu kayu dua puluh
gabung satu gabung lebih kurang 1 ½ meter.Kalau belah bangun kurang lebih
separuh bangun atau separoh dari dari itu dan oleh diganti dengan uang sesuai
situasi dan kondisi.Karena ada belembago yaitu iuran gunting/potong dikurangi
sesuai keadaan alo dan patut. Lembam ditepung iram belembago yaitu bayar
tepung petawa sesuai dengan keadaan.
02. Dosa bertobat minta maaf atau bermaaf-maafan.
03. Salah berutang kecik utang dibayar, gedang utang ditimbang atau minta
pertimbangan.
04. Panjang tali nak melilit. Artinya panjang akal atau pintar, busuk atau merugikan
orang lain.
05. Runcing tanduk nak nyimba. Artinya merasa diri mempunyai kelebihan
menghina orang lain.
06. Gedang kaso nak nurong. Artinya merasa diri orang hebat dan kuat orang lain
ditindas.
07. Teraso gedong nak malando. Artinya merasa diri orang gedang atau pejabat
pendapat orang lain diremehkan dan merasa bahwa dirinyalah yang paling benar.
08. Numpang tikap pengulu kanti. Artinya mengambil nama baik atau berjasa atas
dirinya.
09. Mampeh pahat mangun barito. Artinya mendengar berita untuk dijadikan dasar
hukum atau luka sudah sembuh, bekas sudah hilang baru menuntut pampeh.
10. Kerbau sikok duo sembelih. Artinya satu perkara dua keputusan.
11. Biduk satu nahudo duo. Artinya satu rumah tangga dua kepala keluarga.
12. Lain nak bengkak lain nan dicuil. Artinya lain yang bersalah lain nan ditangkap.
13. Lain nan gilo lain nan dipasung artinya yang diperkara lain keputusannya atau
salah hukum.
14. Tedung tidak ngulang biso sawai dak ngulan anak artinya yang benar tetap benar
yang salah tetap salah.
15. Membunuh duo kali artinya sudah selesai dengan baik kemudian diulangi
penyelesaiannya.
16. Menjilat ayik lio kelantai artinya perkataan yang sudah terlanjur tidak dapat
ditarik kembali.
17. Lain anjing nyalak lain bewak tejun lain biduk tasangkut lain galah talentak
artinya lain keputusan lain pelaksanaannya atau tidak sesuai dengan keputusan.
18. Muat camuku lua biduk muat deh lua tiang artinya meletakkan sesuatu tidak pada
tempatnya.
19. Kutik lua sangkak artinya tidak berani menyampaikan pendapat berbicara luar
forum.
20. Umah sudah pahat bedengkang api padam puntong berasap artinya barang yang
sudah selesai tidak ada masalah lagi kita mengungkit masalah barang sudah
selesai.
21. Najam duri keumpun artinya membuat keresahan dan membuat orang tidak
tentram/kondusif.
22. Besubok siang basambung malam artinya mencari kelemahan atau kesalahan
orang untuk di beberkan.
86
23. Ngaji ateh kitab maratap ateh bangkai artinya mendengar keterangan saksi dan
sesuai dengan bukti.
24. Tibo dimato dipicinngkan tibo diperut dikempeskan artinya tiba pada dirinya atau
keluarganya hukum tidak ditegakkan.
25. Tibo dipapan berentak artinya pada orang lain hukum ditegakkan.
26. Tibo di duri bersetinjak artinya memilih hukum.
27. Belah buluh diatas diangkat di bawah di injak artinya tidak adil ada uang perkara
menang tidak ada uang perkara kalah.
28. Basibak mandidi kumpai basisih mandi di lumut artinya membeda-bedakan
orang.
29. Beranak tiri beranak kandung artinya memilih kasih.
30. Beruk dirimbo disusu anak dipangkuan dibuang artinya mana yang salah tetap
salah mana yang benar tetap benar.
31. Berbudi makan berkelam artinya pemberian untuk bersama tapi makan sendiri
atau disembunyikan.
32. Tidak tajam taji makan tidak tupang kait ngenai artinya bermacam-macam cara
asal tujuan tercapai.
33. Menghukum adil artinya jujur.
34. Menimbang sama berat artinya merata.
35. Menuko sama panjang artinya mengukur sama panjang.
36. Membagi sama banyak.
37. Mati tungau sama-sama dicecah artinya sekecil apapun sama-sama
mendapatkannya.
38. Mati gajah sama-sama dilapah artinya kalau besar atau banyak sama-sama
beruntung.
39. Tunjuk lurus kalingking berkait artinya dia sangat baik niatnya sangat jahat.
40. Pepat diluar runcing didalam artinya bicara/mulut manis hati busuk.
41. Membelah nan bulat mengeping nan bundar artinya merubah hasil musyawarah
dan mufakat tidak diindahkan atau mematuhinya.
42. Tidah tahukum pecat salah hukum pecat artinya tidak bisa menyelesaikan
masalah atau perkara atau salah penyelesaiannya atau tidak sesuai dengan yang
sebenarnya.
43. Tungau diseberang tampak gajah dipelupuk mata tidak tampak artinya sekecil
apapun salah orang lain tampak sebesar apapun kesalahan dirinya tidak tampak.
44. Tungkat mambao untoh junjung mambao rebah artinya mengharap bantuan
pembelaan kepadanya kiranya dialah yang membuat kita jatuh atau kalah.
45. Paga makan tanaman artinya dia sebagai pemimpin atau pelindung dan dia pula
yang memeras atau makan uang rakyatnya.
46. Hanyut dipanjat jatuh diperenang artinya jatuh karena perbuatannya sendiri atau
pelanggaran terhadap undang-undang.
47. Awak yang meneyembelih awak pula yang menampung darah artinya salah guna
hak jabatan.
48. Kecik banamo gedang begala artinya yang dituakan orang adat atau pemimpin
dan tokoh masyarakat harus menjaga wibawa.
49. Rincah dimulut mati hati cerdik bakato bingung berakal artinya dia bodoh
mengatakan dirinya pintar, tidak tahu mengatakan tahu, tidak mengerti
mengatakan dirinya mengerti.
50. Muat nan pepat diateh nan pepat muat nan runcing diatas nan runcing artinya
membuar adat dalam adat membuat desa dalam desa membikin pemerintahan
87
dalam pemerintahan.
F. Ranting Undang nan Seratu
01. Jejak Buek Karang Setio artinya adat yang diadatkan dibuat, dikarang bersama-
sama distiai, bersama-sama sesuai dengan zaman.
02. Ubah buek Karang Setio artinya merobah adat yang diadatkan, dirobah dan
dikarang bersama-sama dan disetia bersama-sama sesuai perkembangan zaman.
03. Seko bergilir, sandang begenti artinya pergantian depati nenenk-mamak menurut
lurahnya masing-masing.
04. Hidup saling tumban dn mati saling genti, artinya seorang depati dan nenek-
mamak apabila pergi atau keluar daerah atau merantua. Maka ditumbankan atau
diwakilkan lurahnya, apabila meninggal dunia baru diganti dan dibentuk kembali
sesuai dengan luhahnya.
05. Putus pamihing umpang kedudukan artinya mengundurkan diri dari kesepakatan
bersama atau tidak, ikut atau sejalan.
06. Baju bejehit nan dipakai jalan berambah nan ditempuh artinya adat lamo pusako
usang jangan dirobah atau ikutlah adat lamo.
07. Lapo-lapok diperbaharui kumoh-kumoh disesah artinya sudah lupa diingatkan
kembali, sudah kabur dijelaskan kembali.
08. Sesap jerami tunggol pemareh artinya mantan depati dan mantan nenek-mamak
tempat bertanya tentang pakai adat.
09. Lubuk adat pendam pusako pucuk undang tebang teliti artinya adat pada depati
pelaksanaan pada nenek-mamak.
10. Pemakaian anak jantan anak betino junjung hidup dapat dipanjat junjung mati
dapat dititi artinya keterangan saksi yang ada atau masih hidup junjung mati ialah
berupa surat.
11. Cuco ayik kaluhah gulu batu ke lekok artinya kepada hak waris atau keturunan.
12. Ngeleh tuah nan telah sudah ngeleh contoh nan telah menang artinya melihat
contoh yang telah sudah mengambil pedoman yang telah sukses.
13. Cupak seladang gantang suritauladan kaur artinya membuat takaran atau sesuatu
sesuai dengan kebiasaan yang ada.
14. Kato dulu kato depati kato kemudian kato dicari artinya janji harus ditepati
terdapat kekeliruan dikemudian hari cari solusi terbaik.
15. Janji depati ikrar diuni artinya menepati janji dan menunggu hasil apa yang telah
dikatakannya.
16. Masak pagi matah petang artinyatidak sesuai perkataan dan perbuatan.
17. Lah tuo dipemudo artinya sudah diberikan diambil kembali.
18. Terang-terang diangkat imbun-imbun ditutuh artinya masalah diulang-ulangi.
19. Gedang pasak dari tiang artinya gedang pokok dari laba.
20. Sempit dipasak lapang ditukul artinya yang tidak perlu dibikin yang perlu
ditinggalkan.
21. Tagesong pasang malunjak tagesong kapin beransuu artinya pekerjaan terburu-
buru mengakibatkan patal.
22. Hilang penjahit ditebus dengan kerbau artinya untuk mendapatkan yang sedikit
mengorbankan yang banyak.
23. Lapa negeri alah artinya terjadi kelaparan negeri sepi.
24. Sio-sio utang tumboh artinya pekerjaan yang tidak hati-hati bisa mengakibatkan
mendapatkan hutang atau denda.
88
25. Tidak ingat umah tapanggang artinya hidup harus hati-hati dan mawas diri jangan
terjebak merugikan diri sendiri
26. Awak tajatuh tungkat taraba tinju sudah silat takinam artinya ilmu pengetahuan
dan kepandaian tidak dimamfaatkan.
27. Ingat sebelum keno sedia payung sebelum hujan artinya muda sebelum datang tua
sehat sebelum datang sakit kaya sebelum miskin, gunakan kesempatan sebelum
datang kebimbangan gnakan hidup sebelum mati.
28. Ba’agak antaro agi jauh berhemat antaro agi ado artinya pikir-pikir dahulu jangan
menjadi penyesalan.
29. Taimpit ndak diateh takurung ndak dilua artinya mau berbuat tidak mau
bertenggung jawab biar kawan terjerumus biar dia selamat.
30. Sino kaki naik sigai sino balam dengan katite sa’anggok iyo sagayo idak artinya
artinya tidak sepakat menurut faham masing-masing.
31. Mati angin dipicit mati ahang di bungkus artinya diberi tugas atau manah tidak
dilaksanakan.
32. Seperti tebu digunggung musang kedeteh tidak bedetak kebawah tidak bedetik ka
ayik idak berayak kedehet tidak baunut artinya tidak menyampaikan pesan atau
kiriman orang lain yang dititipkan kepadanya.
33. Setitik ndak darah satuntong ndak tulang awak menyembelih awak nampung
darah artinya awak diangkat menjadi pemimpin atau panitia awak pula
mengambil upah.
34. Jerih menentang senang rugi manentang labo artinya ada tugas atau kerja ada upah
berbuat baik kepada sesama mengharapkan balasan.
35. Letak dulu malintang tapak letak ditengah ngaco palihing letak lakang ninjak
tumbit artinya diangkat dia jadi pemimpin tidak mau bekerja ditujuk sebagai
tokoh masyarakat selalu melihat kesalahan orang lain tidak diikutsertakan dia
merusak.
36. Ambillah benih buanglah sarap artinya ambillah yang baik dan bermamfaat
buanglah yang buruk dan tidak bermamfaat.
37. Lino dikerak jarang kuku tamanih kenyang idak artinya menuruti pengaruh
lingkungan atau terbawa arus globalisasi yang tidak memberi mamfaat.
38. Oto nan mendaki awak nan payah artinya orang yang mendapat rezeki atau
jabatan awak nan merasa idak senang.
39. Lurus lubang lurus panyulok nan tuo idak bisa mengatur nan kecik idak mau
menurut artinya pemimpin yang tidak jujur dan tidak adil rakyat tidak mau patuh.
40. Angan-angan lalu faham tatumbok sangihik tidak melanteh tiang artinya
mengkhayal khayalan yang tidak mungkin tercapai diluar kemampuan.
41. Biduk lalu kiambang bataup anggau-anggau kedepan budi artinya lantaran
kita terjadi permusuhan atau perpecahan setelah diketahui penyebabnya orang
bersatu lagi dengan baik.
42. Tidak beban batu digaleh tidak anak-bini didukung artinya bukan tugas kita,
kita kerjakan, tidak seharusnya kita lakukan.
43. Kecik benamo, gedang begala artinya jagalah martabat dan kedududkan kita.
44. Anak dipanku keponakan dibimbing orang kampung dipatenggangkan artinya
anak diasuh dibesarkan dan didik, keponakan diarahkan dan di bantu.
45. Busuk daging dikancah halal jugo dimakan artinya bagaimanapun
perselisihan dalam keluarga silaturrahim jangan terputus.
46. Uhang pamengih gedang keno, uhang perajuk ilang suhang artinyaorang yang
mudah emosi mengakibatkan penyesalan, orang yang suka menyendiri atau emse
mengakibatkan asa atau
89
47. Uhang pengamang mati jatuh, uhang penyemeh mati hanyut artinya orang
yang ragu-ragu cita-cita tidak sampai orang yang tidak percaya diri tidak akan
berhasil.
48. Unye-unye mintak getah,tagih-tagih mintak utang artinya orang yang tidak
bisa menyimpan rahasia mudah ditangkap atau mendapatkan sanksi.
49. Hendak tuah diejan ndak namo dikeheih artinya amanah yang tidak bisa dia
memikulnya tetapi ia menyanggupi memikulnya supaya orang mengatakan ia
orang hebat atau memaksakan kehendak supaya orang mengatakan dia orang
terkenal.
50. Cak betih bak betih, cak lengan bak lengan artinya meremehkan orang lain
dan menurut kemauan sendiri.
51. Gepuk tidak muang lemak, cedik tidak membuang kawan artinya mau
menerima saran dan masukan dan mau menerima pendapat orang banyak dan
sebaliknya.
52. Kurang sesap tuneh tumboh, kurang sisek rumput menjadi artinya kerja
sembarangan tidak hati-hati penyelesaian tidak tuntas, sebagaimana akibatnya
memperbesar masalah.
53. Salah sisup lalang tumboh,salah barih bingkuk palantin bingkuk kesudahan
artinya dari awal sudah salah kesudahannya tudak betul.
54. Tangan nan ngerat bahu memikul artinya siapa yang salah dialah yang
menanggung akibatnya.
55. Siapa yang menyala dia yang terjun artinya siapa yang melakukan keslahan
dialah yang mendapat hukuman.
56. Uso cotok duo ciok artinya siapa yang berbuat dialah yang bertanggung
jawab.
57. Genggamlah bauntuk ingat balain-lain artinya sudah ditentukan pembagian
jagalah hak masing-masing.
58. Terang dek alam ngato dek banja artinya jelas keterangan cukup dengan
saksi-saksi.
59. Berunding balik tanah sirah artinya minta keterangan kepada orang yang telah
me..?
60. Hidup batinggal pesan mati batinggal manat artinya semasih hidup sudah
meninggal pesan sebelum mati meninggal amanat.
61. Tinggi tampak jauh putih tampak malam artinya orang-orang yang berjasa
dan berbuat baik dikenal orang.
62. Siapo nan nukak itu nan mampeh artinya siapa yang berbuat itu yang
bertanggung jawab.
63. Dicencang lumat-lumat didedik lebu-lebu raso dengan pariso kaji dengan
teliti artinya tiap-tiap perkara atau sengketa diperiksa dengan teliti supaya jangan
salah hukum mengakibatkan penyesalan.
64. Jangan denga klise daun padang nenga kalsau daun buluh artinya jangan
menerima informasi yang tidak jelas dan tidak bertanggung jawab.
65. Nuduh uhang maling nagih uhang tidak berhutang ngukum uhang tidak salah
artinya salah tuduh dan salah tangkap atau praduga tak bersalah.
66. Mati ditempo tembang artinya menjadi korban karena harta atau serakah.
67. Akit anyut titin patah jemben hak/rusaktepian bak lamolah artinya istri ang
sudah ditalak atau dicerai jangan dendam atau bermusuhan atau bermusuhan baik
dengan keluarganya tetap seperti biasa jangan putus silaturrahim.
68. Nan dipaga ebung tidak maga suloh artinya pandanglah anak balitanya dan
saudaranya.
90
69. Luko seliang disangko panau darah setitik disangko artnya keburukan orang
terhadap kita dan kesalahan orang terhadap kita biasa saja, kita maafkan dan tidak
dendam.
70. Lebih nan lah lebih jugo nan agii artinya banyak keburukan orang terhadap
kita tapi ada juga budi dan jasanya.
71. Nan segenggam ambek buet kau tapi nan seimput nailah nan aku tahan
artinya boleh kita katakan dan kita sebarkan tetapi rahasia penting jangan
dikatakan.
72. Psok tapuhong bulu mangih garugo makan mezo hutan kahutan ugo artinya di
didik diajar diberi peringatan namun dasar takkan berubah.
73. Mengih ka mincit rakiang sundul artinya benci kepada seseorang orang
banyak menjadi korban.
74. Hulu balang tajam barasah artinya kalau disanjung dipuji dia berani dan
melawan kalau tidak dia pengecut.
75. Kalau pandai santun campo tangguli kalau kito idak pandai antan panyukel
duhi artinya kalau kita pandai dia patuh dan setia kalau kita tidak pandai dia
melawan dan dia menjadi musuh kita.
76. Lantak idak giyah cermin nan idak kabuu diasak layu dianggo mati artinya
orang yang teguh pendirian dan teguh memegang pedoman walaupun diancam
dan disiksa dihum mati namun dia tak akan berubah.
77. Bak kayu bungkuk sejengkal nak ditahan tidak bisa ditahan nak diketam udak
bisa diketam artinya diajarkan dia pintar dituruti dia bodoh dipeluruskan dia
membangkang.
78. Tibo dikandang kambing kito ngembek tapi kito bukan kambing tibo
dikandang kebo kito nguak tapi kito bukan kebo artinya menyesuaikan diri
dengan sesama dan menempatkan diri dalam situasi dan kondisi namun
berprinsip tidak berubah.
79. Putuih nan genting ilang nan baketao ilang sempak dengan ciap didunia tidak
selamat diakhirat masuk narakao artinya yang salah tetap salah yang benar tetap
benar walaupun dirayu disogok diberi jabatan diancam namun tidak akan
berubah.
80. Ayam itam terbang malam tasisip selai bulu nan putih tampak artinya orang
yang menyembunyikan aib mengelabui jejak menghilangkan kesalahan tetapi
orang tahu.
81. Kalau terbang leng bunyi-bunyi tiong dalam sangkak pajelen-pejelen ketam
merangkak artinya menyuruh orang membuat nan ilok nganjurkan membuat nan
baik tetapi kita tidak mengerjakannya sama dengan kepiting tahi letak di kepala.
82. Buhuk dihi cermin di pecah artinya kita yang melakukan kesalahan orang lain
dipersalahkan atau dikambing-hitamkan.
83. Sikok kebo nan ngobong kebo sakandang nan keno lulok artinya seorang
yang berperangai jahat kaum famili yang mendapat malu.
84. Ntak ngicaik ngango-ngango ntak jalan ngeleh-ngeleh artinya kalau bicara
lihat samping kiri-kanan kita mungkin ada saudaranya atau temannya yang
tersinggung kalau berjalan perhatikan jangan terpijak atau tersandung milik orang
lain atau tersesat.
85. Kalau mandi jangan tahulu taulak jangan artinya kalau mendiami kampung
orang jangan bersifat angkuh dan sombong jangan pula bersifat pengecut dan
diperbudakkan oleh orang ambillah pertengahan.
86. Jangan pulo lebih puting dahi ulao artinya kita jangan mengambil atau
mendahului orang yang berhak atau berwewenang dari pada kita.
91
87. Anak berejo kebepoak ponakan berejo ke mamak hak anak ateh bepoak hak
ponakan ateh mamak putehnyo ngatokan kapok kok hilamnyo ngatokan uhang
artinya menentukan segala sesuatu masalah apa yang terjadi.
88. Rajo adil rajo disembah rajo dzalim rajo disanggah artinya pemimpin yang
jujur dan adil pemimpin dihormati dan dipatuhi pemimpin yang dzalim dan tidak
jujur tidak dihormati dan dipatuhi.
89. Melawan rajo ateh undang-undang, melawan guru ateh kitab melawan idaok-
bepoak ateh salah artinya pemimpin tidak menjalankan undang-undang guru
mengajarkan tidak sesuai qur’an dan sunnah/hadits ibu-bapak menyuruh
mengerjakan yang keji dan mungarilah ajarannya jangan diikuti.
90. Bakayu barimbun bapadang luweh badado lapang bapalaok dingin artinya
menghadapi situasi dan kondisi masalah yang terjadi hadapilah dengan sabar dan
pikirang yang tenang cari solusi dan jalan keluar dan musyawarahlah jangan
emosi.
91. Bak nahek ambut dalam tepung ambut doak putuih teping doak tabayoak
artinya dengan bijaksana persoalan selesai orang tidak tersinggung.
92. Nan kecik lah gedong nan bingung lah cedik nan marantau lah belik artinya
yang kecil sudah besar yang bodoh sudah pintar yang diperantauan sudah pulang
kampung.
93. Ngebut meh ka ikok anjing alo lah patut lom artinya dalam kebersamaan hak
jangan diberikan amanah kepada orang yang tidak mengerti atau tidak tahu dan
tidak mampu menjelankannya.
94. Dak tahan angin ma negoak umah deteh bukit dak tahan gelombang ma
negoak umat tepi pantai dak tahan lenok maa nyadi pedong panjang artinya kalau
tidak tahan godaan dan ujian serta cobaan jangan jadi tokoh dan pemimpin.
95. Tatepek mato pedang tatentang mato ahai artinya berani bertanggung jawab
demi membela kebenaran kapanpun daan dimanapun.
96. Hilang panyai’t ditabui dengan kebo artinya mengejar atau mencari yang
sedikit mengorbankan yang banyak.
97. Sayang ka anak letak-letak sayang ka bini tinggal-tinggal artinya sayang ke
anak pisahkan dulu sayang sama istri tinggaalkan sementara demi mencari nafkah
atau perjuangan masa depan.
98. Rajo doak nulak sembah Tuhan doak nulak tubet artinya orang minta
pertolongan atau petunjuk dan nasehat bagaimana bentuknya orang manapun dia
harus dilindungi haknya dan dinasehati.
99. Negeri bapaga adat tepian bapaga beso umah bapantang lahang laman
bapagoa undang artinya negeri ada aturan dan adatnya tepian ada basa basinya
tidak boleh laki-laki dan wanita satu tempat mandi atau tepian harus ada sopan
malu apa lagi terbuka aurat rumah ada aturannya harus minta izin masuk kalau
tidak diizinkan jangan masuk, pekarangan harus diberitahukan kepada pemiliknya
jangan kita membuka pagar sendiri.
100. Keleh umput lantai buluh bilah nan deteh ngutoang nan bewoah ngadoak
adet ke depati hukum ka kadidibaratkan artinya yang diatas Tuhan melihat
mendengar mengetahui yang dibawah masyarakat dan anak jantan-betino
menadahkan tangan minta keadilan hukum adat pada adipati ialah keputusan
hukum adat pada adi pati atau nenek mamak yang menentukan sah dan batal,
halal dan haram adalah qahdi atau pegawai syara’ yaitu adat bersendi syara’,
syara’ bersendi kitabullah, syara’ mengato adat memakai.