repo.iainbukittinggi.ac.idrepo.iainbukittinggi.ac.id/101/1/jurnal beni firdaus iain... · web...
TRANSCRIPT
1
Ketentuan Fikih Mazhab Maliki dalam Kitab al-Mudawwanah al-Kubra
dan Analisa Metode Istinbath Hukumnya
Oleh: Beni Firdaus, SHI, MA
Abstrak
Kitab al-Mudawanah al- Kubra adalah kitab fikih dalam mazhab Maliki.
Kitab ini berisi pendapat-pendapat Imam Malik bin Anas al-Ashbahi tentang
fikih yang merupakan riwayat Imam Sahnun bin Sa’id at-Tanukhi yang
bersumber dari Imam Abdurrahman bin Qasim (Ibnu Qasim). Dalam tulisan
ini penulis akan membahas beberapa persoalan fikih yang terdapat dalam
Kitab al Mudawwanah al Kubra serta metode istinbath hukum yang
digunakan dalam penetapan hukumnya. Dalam menetapkan hukum Imam
sangat kuat berpegang pada teks nash.
A. Pendahuluan
Nama lengkap Imam Malik adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi
‘Amir al-Ashbahi. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H.1
Imam Malik adalah seorang ahli hadis serta seorang mufti dan ahli
istinbath. Sebagai seorang ahli hadis, orang-orang besar dari guru-gurunya
meriwayatkan hadis darinya, seperti Rabi’ah, Yahya bin Sa’id, Musa bin
‘Uqbah dan lain-lain. Teman-temannya meriwayatkan hadis darinya seperti
Sufyan ats-Tsauri, Abi Laits bin Sa’id, al-Auza’i, Sufyan bin ‘Uyainah dan
Abu Yusuf teman Abu Hanifah. Dan murid-muridnya yang meriwayatkan
hadis darinya seperti Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Abdullah bin
Mubarak, Muhammad bin Husain asy-Syaibani dan lain-lain. Dan dari segi 1Muhammad Ali as-Sayis, Tarikh al-Fiqh al Islami, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, tth),
h.111
2
bahwa ia seorang mufti dan ahli istinbath, ulama-ulama besar dari imam-
imam madzhabnya mengambil masalah-masalah darinya.
Imam Malik menetap di Madinah sejak lahir sampai meninggal di
Madinah pada tahun 179 H. Umat Islam dari berbagai negeri datang
kepadanya untuk menerima hadis dan masalah-masalah darinya sampai ia
wafat tahun 179 H. Sebagian besar orang yang datang kepadanya adalah
orang-orang Mesir dan Maghribi dari Afrika dan Andalusia.
Adapun orang-orang yang datang kepadanya dari Mesir yang
merupakan tokoh-tokoh di antaranya adalah Abu Abdullah Abdurrahman bin
Qasim bin Khalid bin Junadih al-Itqi (Ibnu Qasim). Setelah belajar pada Ibnu
Wahab ia pergi ke tempat Imam Malik beberapa tahun lamanya, dan dia tidak
mencampur ilmu yang diperolehnya dari Imam Malik dengan orang lain
sehingga ia menjadi yang paling mantap padanya. Ibnu Wahab berkata kepada
Abu Tsabit: “Jika saya menghendaki urusan fikih Malik maka tetaplah pada
Ibnu Qasim karena tidak ada tokoh bandingannya dan kami sibuk dengan
yang lainnya”. Ia meninggal pada tahun 191 H.2
Adapun pengikut Imam Malik yang datang dari Afrika di antaranya
adalah Abdussalam bin Sa’id at-Tanukhi yang dijuluki Sahnun. Ia asli
berbangsa Syam dari Hamsyah. Ia belajar ilmu di Qairawan dari para gurunya,
terutama Ali bin Ziyad, dimana ia pergi kepadanya di Tunisia. Kemudian dia
pergi ke Mesir dan belajar kepada Ibnu Qasim, Ibnu Wahab dan lain-lain. Ia
menjadi penghubung antara Malik dengan para pelajar dari negeri Maghribi.
Kemudian ia pergi ke Madinah dan bertemu dengan ulama-ulamanya setelah
Malik wafat. Dialah penyusun kitab al-Mudawanah al-Kubra yang menjadi
pegangan penduduk Qairawan. Pada tahun 234 H ia menjabat sebagai hakim
di Afrika sampai wafatnya pada tahun 240 H
2Muhammad Khudhari Bik, Tarikh Tasyri’ al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikri, 1997),cet. Ke-8, h. 206
3
Kitab al-Mudawanah al- Kubra adalah kitab fikih dalam mazhab
Maliki. Kitab ini berisi pendapat-pendapat Imam Malik bin Anas al-Ashbahi
tentang fikih yang merupakan riwayat Imam Sahnun bin Sa’id at-Tanukhi
yang bersumber dari Imam Abdurrahman bin Qasim (Ibnu Qasim).
Maksudnya pendapat-pendapat Imam Malik dalam kitab ini adalah
berdasarkan penjelasan dari Ibnu Qasim sebagaimana yang langsung ia terima
dari Imam Malik. Kemudian Ibnu Qasim menyampaikan pendapat Imam
Malik tersebut kepada Sahnun sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang
dikemukakan oleh Sahnun. Selanjutnya Sahnun menuliskannya sehingga
menjadi kitab al-Mudawwanah al-Kubra ini.
B. Ketentuan Fikih Mazhab Maliki dalam Kitab al-Mudawwanah al-Kubra
dan Analisa Metode Istinbath Hukumnya
1. Bab Ibadah (Masalah Menyapu Kepala)
Ulama telah sepakat bahwa mengusap kepala merupakan fardhu
wudhu’. Namun mereka berbeda pendapat tentang kadar bagian kepala yang
diusap. Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa yang wajib
disapu adalah sebagian dari kepala. Sedangkan Imam Malik berpendapat
bahwa yang wajib disapu adalah seluruh kepala.
Perbedaan pendapat ini menurut Ibnu Rusyd bertitik tolak dari
perbedaan pemahaman arti ganda (isytirak) huruf “ba” dalam bahasa Arab.
Kadang-kadang ba’ itu hanya berfungsi sebagai huruf zaidah
(tambahan/pelengkap) dan kadang-kadang mengandung arti tab’idh
(sebagian). 3
3 Abu al- Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ruysd al Qurthubi al-Andalusi (selanjutnya disebut Ibnu Ruyd), Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Surabaya: al-Hidayah, t.th), Juz I, h. 8-9
4
Menurut pakar nahwu Kufah, ulama yang berpendapat bahwa ba’
berfungsi sebagai zaidah (pelengkap) mewajibkan mengusap seluruh kepala.
Maksud “zaidah” di sini adalah berfunsi sebagai “penguat”. Sedangkan ulama
yang menganggap ba’ itu berarti sebagian, maka mewajibkan menyapu
sebagian rambut kepala. 4
Menurut Imam Malik bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dalam hal menyapu kepala, Artinya mereka harus menyapu
seluruh kepala.5 Dalam hal ini tampaknya Imam Malik memahami bahwa
huruf ba’dalam ayat wudhu’ itu sebagai ba’ zaidah, sehingga ia mewajibkan
menyapu seluruh kepala.
Mengenai hukum mengusap surban dan khimar, ulama berselisih
pendapat. Ahmad bin Hambal, Abu Tsaur, Qasim bin Salam, serta beberapa
ulama yang lain memperbolehkannya. Sedangkan ulama lain seperti Malik,
Syafi’i dan Abu Hanifah melarangnya.
Sebab perselisihan mereka itu adalah perbedaan pendapat di antara
mereka mengenai pelaksanaan hadis riwayat Mughirah6 dan yang lain bahwa
Rasulullah Saw. mengusap pilingan dan surbannya, dan berdasarkan qiyas
dengan mengusap muzah (sepatu) yang disyaratkan dalam keadaan terpakai
dan suci. Hadis ini ditolak oleh sebagian ulama; karena dianggap tidak sahih
atau dianggap bertentangan dengan al-Quran, yaitu perintah untuk mengusap
kepala (bukan surban). Dan mungkin karena amalan itu belum populer bagi
ulama yang mensyaratkan kemasyhuran amalan jika jika berdasarkan hadis
ahad.7
4Ibid, h.9 5Imam Malik bin Anas, Riwayat Imam Sahnun bin Sa’id al Tanukhi (bersumber) dari Imam
Abdirrahman bin Qasim al-‘Itqiy, al-Mudawanah al-Kubra,(Mesir: Assa’adah, 1323H), juz I, h. 166Hadis tersebut berbunyi:
) ) ومسلم ري البخا صيته واه بنا فمسح ضأ تو والسالم الصالة عليه النبي أن مة العما وعلي
7 Ibnu Rusyd, op. cit., h. 9-10
5
Hadis ini menurut Abu Umar bin Abdul Barr mengandung cacat
(ma’lul). Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi mengusap surban dan
tidak ada sebutan pilingan (an-nashiyah). Oleh karena itu, sebagian ulama
tidak mensyaratkan mengusap pilingan jika surban sudah diusap. Sebab, asal
(pilingan) dan penggantinya (surban) tidak dapat dikumpulkan dalam satu
perbuatan.8
Dalam kitab al-Mudawanah al Kubra Imam Malik menyatakan
apabila seorang wanita menyanggul atau menjalin rambutnya maka wajib ia
menyapu sanggul atau jalinan rambutnya itu, dan tidak sah bila ia hanya
menyapu kerudung (khimarnya) saja.9
Diantara alasan Imam Malik dalam hal ini menurut analisi penulis
adalah karena hadis tentang mengusap surban ini tidak masyhur dikalangan
ahlul madinah. Disamping itu dalam kitab al-Muwatha’ Imam Malik
mengemukakan beberapa atsar sahabat yang menjelaskan tentang tidak
sahnya wudhu’ dengan sekedar mengusap surban atau khimar.
Diantara astar tersebut adalah sebagai berikut:
"نه ب"ل"غ"ه أ"ن الك أ دث"نى ي"حي"ى ع"ن م" و"ح"ارى سئل" ع"ن ابر" بن" ع"بد الله األ"نص" ج"
تى ال" ال" ح" ق" ة ف" ام" سح ع"ل"ى العم" الم"اء عر بالم" ح" الش 10يمس"
Artinya: Yahya menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik bahwa ia menyampaikan: bahwasanya Jabir bin Abdillah al Anshari ditanya tentang mengusap surban, maka ia berkata: tidak boleh, hingga seseorang itu menyapu kepalanya dengan air
8Ibid., h. 10 9Imam Malik bin Anas, Loc.cit 10Imam Malik, Al-Muwatha’ (Maktabah Syamilah), Juz I, h. 86
6
ام بن الك ع"ن هش" دث"نى ع"ن م" و"ح"ب"ير ك"ان" ي"نزع "ب"اه عرو"ة" بن" الز عرو"ة" أ"ن أ
اء ه بالم" أس" ح ر" ي"مس" ة" و" ام" 11العم"
Artinya: Diceritakan kepadaku dari Malik, dari Hisyam bin ‘Urwah bahwasanya bapaknya ‘Urwah bin Zubair menanggalkan surbannya dan menyapu kepalanya dengan air.
أ"ى "نه ر" الHHHك ع"ن ن"HHHافع أ و"ح"HHHدث"نى ع"ن م"أ"ة" ع"بHHد الله بن فية" بنت" أ"بى عب"يد امHHر" ص"ا ه" HHأس ح ع"ل"ى ر" "HHت"مس ه"HHا و" ار" ر" ت"نزع خم" عم"الHHك ئل" م" HHغير. و"س ئذ ص" ن"افع ي"وم" اء و" بالم"ق"HHال" ار ف" الخم" ة و" ام" سح ع"ل"ى العم" ع"ن الم"جHHHل و"ال" الم"HHHرأ"ة ح" الر "HHن ي"مس" ال" ي"نب"غى أا ع"ل"ى ح" "HHHلي"مس ام"HHHة و"ال" خم"HHHار و" أ" ع"ل"ى عم" HHل ت"و"ضHHج الHHك ع"ن ر" ا. و"سئل" م" رءوسهم"تى ج"HHف ه ح" HHأس ح" ع"ل"ى ر" "HHن ي"مس" ن"سى" أ ف"إن ه و" HHأس ح" بر" "Hن ي"مس" ى أ و"ضوءه ق"HHال" أ"ر"
ال"ة" لى أ"ن يعيد" الص د ص" 12ك"ان" ق"
Artinya: Diceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi’ bahwasanya ia melihat shafiyah binti Abi ‘Ubaid isteri ‘Abdillah bin ‘Umar menanggalkan khimarnya dan mengusap kepalanya dengan air sedangkan Nafi’ ketika itu masih kecil. Dan ditanya Malik tentang mengusap surban dan khimar, maka ia menjawab: tidak pantas seorang laki-laki maupun perempuan mengusap surban dan tidak pula khimarnya, dan hendaklah mereka mengusap kepala mereka. Dan ditanya pula Malik tentang seseorang yang berwudhuk lalu ia lupa mengusap kepalanya sampai kering bekas wudhuknya, Ia berkata: saya 11Ibid, h. 87 12Ibid., h. 88
7
berpendapat bahwa ia harus mengusap kepalanya dan jika ia telah selesai melaksakan shalat, maka hendaklah ia mengulang shalatnya
2. Bab Munakahat (Izin Wali dalam Pernikahan)
Ulama berbeda pendapat apakah wali menjadi syarat sahnya nikah
atau tidak. Abu Hanifah, Zufar, asy-Sya’bi dan az-Zuhri berpendapat bahwa
apabila seorang perempuan melakukan akad nikahnya tanpa wali, sedang
calon suami sebanding, maka nikahnya itu boleh. Sedangkan Malik
berdasarkan riwayat Asyhab berpendapat bahwa tidak ada nikah tanpa wali,
dan wali menjadi syarat sahnya nikah. Pendapat ini juga dikemukakan oleh
Syafi’i.13
Dalam masalah ini Imam Malik mengemukakan dalil-dalil sebagai
berikut:14
ابن وهب) وأخبرني الضحاك بن عثمان( عن عبد الجبار عن الحسن أن رسول
الله صلى الله عليه و سلم قال : ال يحل نكاح المرأة إال بولي وصداق
وشاهدي عدل Artinya:
(Diterima) dari Ibnu Wahab (ia berkata): telah menceritakan dhahak bin ‘Utsman dari Abdil Jabbar dari Al-Hasan, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Tidak halal nikah seorang perempuan kecuali dengan wali, mahar dan dua orang saksi yang adil
( ابن وهب) عن سفيان الثوري عن أبي إسحاق الهمذاني عن أبي بردة عن
أبي موسى األشعري أن رسول الله13Ibnu Rusyd, Op.cit., juz II, h. 7 14Imam Malik, Al-Mudawanah al-Kubra, op.cit., juz IV, h. 15-16
8
صلى الله عليه و سلم قال : ال نكاحالمرأة بغير إذن ولي
Artinya:(Diterima) dari Ibnu Wahab dari Sufyan ats-Tsauri dari Abi Ishaq al- Hamdani dari Abi Burdah dari Abi Musa al-Asy’ari bahwa Rasulullah Saw. berkata: Tidak ada nikah bagi perempuan tanpa izin walinya
ابن وهب عن أبي جريج عن سليمان بن موسى عن ابن شهاب عن عروة بن
الزبير عن عائشة أم المؤمنين أن رسول الله صلى الله عليه و سلم
قال : ال تنكح امرأة بغير إذن وليها فإن نكحت فنكاحها باطل ثالث مرات فإن
أصابها فلها مهرها بما أصاب منها فإناشتجروا فالسلطان ولي من ال ولي له
Artinya: (Diterima) dari Ibnu Wahab dari Abi Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Zubair dari Aisyah Ummil Mukminin bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: Tidak sah nikah perempuan tanpa izin walinya, lalu jika ia menikah (tanpa izin wali) maka nikahnya batil (diulang tiga kali). Dan jika ia dipergauli maka baginya mahar dengan sebab pergaulan itu, dan jika para mereka bertengkar maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak punya wali
ابن وهب عن ابن جريج أن عبد الحميد بن جبير بن شيبة حدثه أن عكرمة بن
خالد حدثه قال : جمع الطريق ركبا فولت امرأة أمرها غير ولي فأنكحها
9
رجال منهم ففرق عمر بن الخطاببينهما وعاقب الناكح والمنكح
Artinya: (Diterima) dari Ibnu Wahab dari Ibnu Juraij bahwa Abdul Hamid bin Jubair bin Syaibah menceritakan kepadanya bahwa Ikrimah bin Khalid menceritakan kepadanya, ia berkata: Thariq mengumpulkan suatu kafilah, lalu seorang perempuan menyerahkan urusannya kepada orang yang bukan walinya, kemudian seseorang dari mereka itu menikahkannya, maka Umar bin Khatab menceraikan mereka berdua dan menghukum laki-laki yang menikahi dan menikahkan
ابن وهب عن عمرو بن الحارث أن يزيد بن حبيب حدثه أن عمHHر بن عبHHد العزيHHز كتب إلى أيوب بن شHHرحبيل أيمHHا رجHHل نكح امرأة بغHHير إذن وليهHHا فHHانتزع منHHه
المرأة وعاقب الذي أنكحه Artinya:
(Diterima) dari Ibnu Wahab dari Umar bin Haris bahwa Yazid bin Hubaib menceritakan bahwasanya Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Ayyub bin Syurahbil: Siapa saja laki-laki yang menikahi perempuan tanpa izin walinya maka pisahkanlah perempuan itu darinya dan hukumlah oranh menikahkannya.
Dari dalil-dalil yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa
Malik mensyaratkah wali sebagai salah satu syarat sahnya nikah berlandaskan
kepada hadis nabi dan atsar sahabat. Di samping itu dalam menafsirkan kata-
kata ال نكاح nampaknya Imam Malik memahaminya “tidak sah nikah”.
3. Bab Mu’amalah (Masa Khiyar dalam Jual Beli)
Jumhur ulama membolehkan khiyar dalam jual beli kecuali Ats-
Tsauri, Ibnu Abi Syubrumah, dan sekelompok ahli Zhahir, berdasarkan hadis
riwayat Hibban Muqidz dan Hadis riwayat Ibnu Umar r.a. Sedangkan Fuqaha
10
yang melarang beralasan bahwa khiyar adalah penipuan (ketidakjelasan),
sedangkan prinsip jual beli adalah kepastian. Kecuali jika ada dalil yang
menunjukkan jual beli khiyar dari Kitabullah, hadis atau ijma’.15
Menurut Imam Malik jual beli khiyar itu adalah jual beli yang sejak
awal dinyatakan bahwa jual beli itu dengan hak khiyar. Misalnya ketika
melakukan jual beli dikatakan bahwa pakaian ini, atau rumah ini, atau hamba
sahaya ini, atau ternak ini aku jual kepadamu dengan hak khiyar untuk satu
hari, satu minggu atau satu bulan.
Adapun tentang masa khiyar terdapat perbedaan pendapat dikalangan
ulama. Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa masa khiyar
itu tiga hari dan tidak boleh lebih dari itu. Fuqaha lainnya seperti Imam
Ahmad, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan Daud bahwa masa khiyar
dibolehkan hingga masa yang disyaratkan.16
Adapun menurut Imam Malik, pada dasarnya tidak ada batasan
tertentu, melainkan ditentukan berdasarkan besar kecilnya keperluan, dengan
memandang kepada jenis barang. Dengan demikian masa tersebut berbeda-
beda menurut perbedaan barang yang dijual. Imam Malik mengatakan, seperti
satu hari atau dua hari dalam memilih baju atau yang seumpama dengannya,
lima hari atau satu minggu dalam memilih budak perempuan, dan sebulan
atau sekitar itu dalam memilih rumah.17 Secara ringkas, Imam Malik tidak
membolehkan masa yang panjang yang dapat memisahkan pemilihan barang
yang dijual.
Perbedaan pendapat ulama dalam masalah khiyar ini menurut menurut
penulis berpangkal dari hadis hadis yang menyebutkan masa khiyar tersebut
di antaranya:
ومسلم ( ) ري البخا جه أخر ثا ثال ر الخيا ولك15Ibnu Rusyd, op.cit., h. 157 16Ibid., h. 158 17ImamMalik, al-Mudawwanah al-Kubra, op.cit., juz 10, h.2
11
Artinya: “Dan bagimu hak khiyar selama tiga hari.” (H.R. Bukhari Muslim)
Fuqaha yang membatasi khiyar hanya selama tiga hari berpegang pada
leterlek hadis di atas yang menyebutkan batas tiga hari. Sedangkan Imam
Malik berpegangan bahwa pengertian khiyar, yaitu memilih barang yang
dijual. Jika demikian halnya, maka masa tersebut harus dibatasi dalam waktu
yang memungkinkan pemilihan barang tersebut. Dan ini relatif, menurut
perbedaan barang-barang yang dijual. Ia berpendapat bahwa seolah-olah nash
tersebut datang untuk mengingatkan pengertian tersebut. Nash tersebut
termasuk kata-kata khusus yang dimaksudkan untuk pengertian umum.
Disamping itu barangkali Imam Malik melihat bahwa tujuan khiyar itu adalah
untuk kemaslahatan dan menghindari terjadinya kemudharatan. Oleh karena
itu kalau masanya dibatasi tiga hari saja maka boleh jadi untuk kasus-kasus
tertentu masa tiga hari itu tidak memadai.
4. Bab Jinayah (Nishab yang Mengharuskan Potong Tangan)
Dalam masalah pencurian harta ada beberapa syarat yang
diperselisihkan berkenaan dengan barang yang dicuri. Di antaranya yang
terkenal adalah syarat nishab.
Jumhur fuqaha mensyaratkan nishab, kecuali pendapat yang
diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri yang mengatakan bahwa hukuman
potong tangan itu harus dikenakan karena mencuri, baik barang yang dicuri
itu sedikit maupun banyak, hal ini berdasarkan keumuman firman Allah dalam
surat al-Maidah ayat 38:
Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
12
Boleh jadi pula al-Hasan al-Bashri dan lain-lainnya beralasan dengan
hadis Abu Hurairah r.a. yang ditakhrij, oleh Bukhari dan Muslim dari Nabi
Saw yang berbunyi:
الحبل لعن ويسرق يده فتقطع بيضة يسرق رق السا الله
يده فتقطعومسلم( ) ري البخا جه أخر
Artinya:
Allah melaknati pencuri, Ia mencuri telur, lalu dipotong tangannya, dan ia mencuri tali, lalu dipotong tangannya (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Malik termasuk jumhur fuqaha yang mensyaratkan adanya
nishab bagi pencurian pada hukuman potong tangan. Dalam masalah kadar
nishab tersebut jumhur fuqaha berbeda pendapat. Hanya saja perbedaan
pendapat yang terkenal itu ada dua macam. Yang pertama adalah pendapat
fuqaha hijaz yaitu Malik, Syafi’i dan lain-lain. Yang kedua adalah pendapat
fuqaha Irak.
Fuqaha Hijaz mewajibkan hukum potong tangan pada pencurian tiga
dirham yang terbuat dari perak atau seperempat dinar yang terbuat dari
emas.18 Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Malik dan Nafi
dari Ibnu Umar r.a. yang berbunyi:
ثته ثال قيمته مجن في قطع والسالم الصالة عليه النبى إن
دراهمArtinya:
Sesungguhnya Nabi Saw. memotong tangan pada (pencurian) satu tirai besi yang harganya tiga dirham.
Dan juga hadis Aisyah yang berbunyi:18Ibnu Rusyd, Op.cit, juz II, h. 335
13
فصاعدا دينار ربع في اليد تقطعArtinya:
Tangan dipotong pada (pencurian) seperempat dinar ke atas.
Sedangkan Fuqaha Irak juga berpegangan pada hadis Ibnu Umar
tersebut. Hanya saja mereka menyatakan bahwa harga tirai besi itu adalah
sepuluh dirham.
Fuqaha Hijaz berbeda pendapat tentang barang-barang curian selain
emas dan perak. Menurut Imam Syafi’i, pokok penilaian barang itu
seperempat dinar. Dan seperempat dinar itulah yang dipakai untuk menilai
dirham. Oleh karena itu menurutnya pencurian tiga dirham itu tidak terkena
hukuman potong tangan, kecuali jika tiga dirham itu senilai dengan
seperempat dinar.19
Menurut pendapat Malik, barang tersebut dinilai dengan dirham bukan
dengan dinar, Apabila tiga dirham itu berbeda nilainya dengan seperempat
dinar karena perbedaan harga pasar. Seperti pada suatu ketika seperempat
dinar itu nilainya sama dengan dua setengah dirham.
Mengenai hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Sahnun dalam
kitab al-Mudawwanah al-Kubra bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu
Qasim: Bagaimana menurut pendapatmu tentang orang yang mencuri seharga
tiga dirham menurut harga pada hari itu tapi tidak sama nilainya dengan
seperempat dinar pada hari itu, apakah harga perak itu dihitung berdasarkan
harga dinar? Apakah pada pencurian seperti itu diberlakukan hukum potong
tangan menurut Imam Malik? Ibnu Qasim menjawab: Imam Malik berkata:
Ya, diberlakukan hukum potong tangan bila seseorang mencuri senilai tiga
dirham menurut harga pada hari itu.20
Dasar hukum yang dijadikan alasan oleh Imam Malik dalam hal ini
adalah hadis Nabi Muhammad Saw. dan atsar sahabat, sebagaimana Imam 19Ibid 20Imam Malik, Almudawwanah al-Kubra, Maktabah Syamilah, h. 526
14
Malik berkata: Karena Nabi memotong tangan pencuri pada pencurian tiga
dirham, dan Utsman memotong tangan pencuri pada pencurian tiga dirham.21
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa berdasarkan keumuman
zahir surat al-Maidah ayat 38 wajib dilakukan potong tangan bagi setiap
pencuri. Namun menurut Imam Malik keumuman ayat ini tidak diterapkan
secara mutlak, karena ada hadis Nabi yang mentakhshis keumuman ayat
tersebut. Berdasarkan hal ini maka hukum potong tangan diberlakukan bagi
pencurian dengan nishab tertentu. Dan berdasarkan hadis Rasulullah Saw.
maka menurut Imam Malik nishabnya adalah tiga dirham.
5. Bab Sumpah (Masalah Puasa dalam Kafarat Sumpah)
Fuqaha berbeda pendapat tentang puasa kafarat, apakan tiga hari
berturut atau tidak. Menurut Abu Hanifah wajib berturut-turut.
Sedangkan menurut Imam Malik disebutkan dalam kitab al-
Mudawwanah al-Kubra bahwa Imam Sahnun bertanya kepada Ibnu Qasim:
Bagaimanakah cara melaksanakan puasa kafarat menurut Imam Malik, apakah
berturut-turut atau tidak? Ibnu Qasim menjawab: jika berturut-turut lebih baik,
dan jika tidak maka sudah mencukupi.22
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut Imam
Malik pelaksanaan puasa kafarat tidak wajib berturut-turut, dan hanya sunat
berturut-turut.
Perbedaan pendapat dalam hal ini disebabkan oleh hal:
a. Apakah boleh ayat tersebut dibaca seperti bacaan Ibnu Mas’ud
yang berbeda dengan yang tertulis di mushaf yaitu:
متتابعات أيام ثالثة فصيامArtinya: Maka puasa tiga hari berturut-turut
21Ibid 22Ibid, juz III, h. 122
15
b. Apakah puasa yang dimaksud dalam ayat tersebut identik dengan
puasa wajib yang berturut-turut atau tidak, yakni asalkan tiga hari
walaupun tidak berturut-turut.
Dalam hal ini tampaknya Imam Malik berpendapat bahwa qiraat Ibnu
Mas’ud di atas tidak dapat dijadikan hujjah untuk mewajibkan puasa kafarat
itu dengan berturut-turut.
C. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa kitab al-Mudawwanah al-Kubra adalah kitab fikih yang menghimpun
pendapat Imam Malik yang ditulis muridnya yaitu Imam Sahnun berdasarkan
riwayat Ibnu Qasim.
Dari pembahasan tentang beberapa ketentuan fikih dalam kitab al-
Mudawwanah al-Kubra di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Dalam masalah menyapu kepala Imam Malik mewajibkan
menyapu seluruh kepala dan tidak sah bila hanya menyapu sorban
atau khimar saja. Hal ini berdasarkan pemahaman Imam Malik
terhadap ayat wudhuk dan juga beberapa atsar sahabat.
2. Imam Malik mensyaratkan wali sebagai salah satu syarat sah nikah
berlandaskan kepada hadis Nabi dan Atsar sahabat.
3. Dalam masalah khiyar, Imam Malik tidak menetapkan batasan
waktunya. Menurut Imam Malik masanya itu relatif, tergantung
kepada jenis barangnya. Alasannya karena nash mengenai khiyar
itu termasuk kata-kata khusus yang dimaksudkan untuk pengertian
umum.
4. Imam Malik mensyaratkan adanya nishab bagi pencurian pada
hukum potong tangan. Alasannya adalah karena ayat 38 surat al-
Maidah tentang wajibnya dilakukan hukum potong tangan bagi
16
setiap pencuri, ditakhshis oleh hadis Nabi. Adapun nishabnya
menurut Imam Malik adalah tiga dirham. Landasannya adalah
hadis Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.
5. Mengenai pelaksanaan puasa kafarat, Imam Malik berpendapat
bahwa pelaksanaannnya tidak wajib berturut-turut, tetapi hanya
sunat. dalam hal ini tampaknya Imam berpendapat bahwa qiraat
Ibnu Mas’ud dalam ayat puasa kafarat tidak dapat dijadikan hujjah
untuk mewajibkannya berturut-turut.
17
DAFTAR KEPUSTAKAAN
al-Andalusi, Abu al- Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ruysd al Qurthubi, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Surabaya: al-Hidayah, t.th,
al-Ashbahi, Imam Malik bin Anas, Riwayat Imam Sahnun bin Sa’id al Tanukhi (bersumber) dari Imam Abdirrahman bin Qasim al-‘Itqiy, al-Mudawanah al-Kubra,Mesir: Assa’adah, 1323H
al-Ashbahi, Imam Malik bin Anas, Al-Muwatha’ (Maktabah Syamilah), Juz I
Khudhari Bik, Muhammad, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Beirut: Dar al-Fikri, 1997,cet. Ke-8
as-Sayis, Muhammad Ali, Tarikh al-Fiqh al Islami, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, tth