report on socio-political implications of pemekaran · pdf filebertolak dari keinginan untuk...
TRANSCRIPT
PROSES DAN IMPLIKASI
SOSIAL-POLITIK PEMEKARAN: STUDI KASUS DI SAMBAS DAN BUTON
Dari Percik untuk
USAID Democratic Reform Support Program (DRSP)
dan Decentralization Support Facility (DSF)
December 2007
DESENTRALISASI 2
007
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 1
DAFTAR ISI
1. PENGANTAR...............…………………………………….………………...........1
1.1. Tujuan Studi ……….….................…………………….……………………….......1
1.2. Penentuan Lokasi Studi ….……………….….……….……………….…………....1
1.3. Pengumpulan Data....………………….…….………………………………….......4
2. PEMEKARAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF NASIONAL……………........4
2.1. Sejarah Pemekaran dan Perkembangan Makna Pemekaran……………...................4
2.2. Kebijakan Pemekaran Daerah.…….………………………………….….................5
2.3. Implementasi Pemekaran Dalam Perspektif Nasional ….………………….…........8
3. MUNCULNYA IDE PEMEKARAN DAERAH ….……………….….….………11
3.1. Faktor Penyebab Pemekaran Daerah ….……………….….……….……….......…11
3.2. Faktor-Faktor Yang Memfasilitasi Pemekaran ….………………….…………......17
4. PROSES SOSIAL POLITIK PEMEKARAN DAN PELESTARIAN
HASIL PEMEKARAN ….……………….….……….……………….…...………20
4.1. Proses Perjuangan Pemekaran ….……………….….……….……….……........…20
4.2. Proses Pelestarian Hasil Pemekaran ….…………….……………….………….....25
5. PERKEMBANGAN KAPASITAS SOSIAL-POLITIK DOB ……….…….......…27
5.1. Kemampuan Memperoleh Sumber Daya Fiskal ….……………….….…….......…28
5.2. Corak Fisik Pada Awal Daerah Otonomi Baru ….……………….….……….........29
5.3. Kemampuan Berotonomi Dalam Konteks Lintas Daerah .................................…..30
5.4. Kebangkitan Kohesivitas Etno-Kultural Dalam Konteks Masyarakat
Multikultural ….…………….……………….……….......................................…31
5.5. Rekruitmen PNS ….…………….……………….…………..................................32
5.6. Rentang Kendali Pelayanan Publik ….…………….……………….……….....…32
5.7. Terbentuknya DPRD di Daerah Otonomi Baru ….…………….…………………33
5.8. Perkembangan Pelayanan Publik ….…………….……………….………….........33
6. PERKEMBANGAN RELASI SOSIAL-POLITIK ….…………….………..........34
6.1 Perkembangan Relasi Sosial-Politik Antar Masyarakat Sipil……….…………....34
6.2. Relasi Sosial-Politik Antara Masyarakat dengan Pemda ….…………….………..36
6.3. Relasi Sosial-Politik Antar Pemda ….…………….………....................................38
6.4. Relasi Sosial-Politik Antara Daerah dengan Pemerintah Pusat ….…….........……40
6.5. Relasi Sosial-Politik Antar Pemda Dengan Negara Lain ….…………….…..……43
7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ….…………….….……43
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 2
1. PENGANTAR
Peningkatan jumlah daerah otonom baru pada era reformasi menunjukkan
perkembangan yang menakjubkan. Sejak tahun 1999 hingga tahun 2004 telah lahir tujuh
provinsi, 114 kabupaten, dan 27 kota; yang baru. Informasi terakhir menunjukkan bahwa
sampai tahun 2007 jumlah kabupaten baru telah mencapai 158 buah, dan diperkirakan lebih
dari 100 lokalitas sedang dalam proses pemekaran menjadi kabupaten baru. Apa
sesungguhnya yang sedang terjadi di Indonesia pada era reformasi ini sehingga masyarakat
seolah-olah menginginkan dibentuknya daerah-daerah otonom baru? Jika diamati secara
sepintas, kondisi ini disatu pihak menunjukkan adanya perkembangan yang mengarah kepada
perbaikan dan pendekatan pelayanan publik kepada masyarakat yang diharapkan akan
mensejahterakan penduduk di wilayah yang baru dimekarkan. Namun di lain pihak
perkembangan ini juga menimbulkan kekawatiran karena beban APBN untuk membiayai
daerah otonom baru akan semakin berat. Lebih dari itu, pemekaran yang marak ini belum
tentu akan lebih mengefisiensikan kinerja pemerintahan, mendekatkan pelayanan publik dan
belum tentu pada akhirnya akan mensejahterakan rakyat seperti yang dikemukakan oleh para
pemrakarsanya. Meskipun telah cukup banyak kajian yang mencoba mengevaluasi gejala
pemekaran ini namun umumnya terfokus pada segi dampak dan sedikit sekali yang mencoba
melihat segi prosesnya secara sosial politik. Memahami proses sosial politik pemekaran
sangat diperlukan karena dengan demikian diharapkan bisa dianalisis keterkaitan dan
dinamika berbagai aspek sosial politik yang berpengaruh dalam proses terbentuknya daerah
otonom baru. Bertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan
daerah otonom baru itulah kemudian disepakati oleh DRSP-USAID (Democratic Reform
Support Program- USAID) Jakarta, Yayasan Percik Salatiga dengan dibantu oleh peneliti
LIPI, untuk mengadakan suatu penelitian kualitatif yang mendalam tentang proses sosial-
politik pemekaran atau terbentuknya daerah otonom baru. Dengan pertimbangan mayoritas
pembentukan daerah otonom baru terjadi di luar Jawa penelitian ini diarahkan ke wilayah
luar Jawa.
1.1. Tujuan Studi
Studi tentang pemekaran ini, khususnya yang diselenggarakan terhadap pemekaran di
wilayah kabupaten luar Jawa, adalah telaah kasus pemekaran untuk mengungkapkan
dinamika sosial-politik-budaya berkaitan dengan pemekaran, sehingga teridentifikasikan
berbagai aspek dari pemekaran, yaitu proses terjadinya pemekaran, faktor-faktor penyebab
pemekaran (baik faktor pendorong dari dalam maupun faktor penarik dari luar), aneka
dampak yang telah terjadi sesudah pemekaran, dan upaya-upaya berkenaan dengan
pemeliharaan hasil proses pemekaran.
Sesudah melalui pembicaraan intensif, seminar internal, dan diskusi-diskusi
disepakatilah beberapa tujuan studi yang lebih empirik sifatnya yaitu untuk:
(1) Menggambarkan faktor-faktor penyebab pemekaran daerah
(2) Menggambarkan faktor-faktor yang memfasilitasi pemekaran daerah
(3) Menggambarkan proses sosial-politik pemekaran daerah
(4) Menggambarkan proses sosial-politik pemekaran dan pelestarian hasil pemakaran
daerah
(5) Menggambarkan perkembangan kapasitas sosial-politik Daerah Otonomi Baru
(6) Menggambarkan perkembangan relasi sosial-politik
1.2. Penentuan Lokasi Studi
Adalah sebuah kenyataan yang menarik bahwa maraknya pemekaran daerah yang
lebih bersifat pemecahan daerah ini lebih banyak terjadi di luar Jawa daripada di Jawa.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 3
Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, seperti luas wilayah yang sangat luas,
jumlah penduduk yang semakin banyak, dan kehendak masyarakat lokal untuk memekarkan
diri. Berbeda dengan masyarakat lokal di Jawa yang relatif homogen, masyarakat lokal di
luar Jawa sangat heterogen dan terfragmentasi secara etno-kultural. Luasnya wilayah dan
masih miskinnya sarana transportasi seringkali menyebabkan komunikasi antar komunitas
yang berbeda secara etno-kultural menjadi terbatas. Keadaan semacam ini diduga ikut
berpengaruh terhadap besarnya keinginan masyarakat di luar Jawa untuk membentuk daerah
otonom baru. Mempertimbangkan beberapa hal di atas, studi ini akan ditekankan di wilayah
luar Jawa. Untuk menentukan lokasi studi yang lebih tepat maka pihak DRSP, Yayasan
Percik, dan LIPI memulai langkahnya dengan mengadakan diskusi, mencari informasi dari
banyak pihak (seperti Bappenas, Depdagri, dan Depkeu, dan juga dengan rekan-rekan peneliti
lain atau pakar pemekaran daerah), dan melakukan studi literatur. Berdasar hasil penjajagan
awal inilah kemudian ditentukan dua wilayah studi yaitu: Wilayah Studi Kabupaten Sambas,
di provinsi Kalimantan Barat; dan Wilayah Studi Kabupaten Buton, di provinsi Sulawesi
Tenggara.
Wilayah Studi Kabupaten Sambas dipilih karena pemekaran di wilayah ini merupakan
pemekaran yang pertama yang terjadi di era reformasi sebelum keluarnya UU No 22 Tahun
1999. Pemekaran Kabupaten Bengkayang dari Kabupaten Sambas terjadi pada tanggal 20
April 1999 dengan ditetapkannya UU No. 10 tahun 1999. Bersamaan dengan Pembentukan
Kabupaten Bengkayang yang merupakan pemisahan dari Kabupaten Sambas, ibu kota
Kabupaten Sambas juga berpindah dari Singkawang ke Sambas. Dalam perkembangannya,
dua tahun setelah pembentukan Kabupaten Bengkayang (2001) terjadi lagi pembentukan
daerah baru yaitu Kota Singkawang. Sementara itu di Kabupaten Sambas yang baru, pada
tahun 2002an juga muncul tuntutan pemekaran dua wilayah baru yang terjadi hampir
bersamaan yaitu Kabupaten Sambas Pesisir (KSP) dan Kabupaten Sambas Utara (KSU).
Selain itu Kabupaten Sambas dipilih karena corak masyarakatnya dapat dianggap lebih
heterogen dipandang dari segi suku dan agama, dimana suku dan agama tertentu
mendominasi wilayah tertentu.
Wilayah Studi Kabupaten Buton dipilih karena pemekaran di Kabupaten Buton baru
terjadi pada tahun 2001 dan Kabupaten Buton dipilih karena corak masyarakatnya dapat
dianggap lebih homogen dilihat dari segi agama. Namun dari segi adanya dominasi suku
tertentu terhadap suku lain tidak terlalu kelihatan. Selain itu Kabupaten Buton dipilih sebagai
lokasi studi karena proses pemekaran di lokasi ini menunjukkan geneologi pemekaran yang
relatif “lengkap”, yaitu dari wilayah induk (Kab. Buton) telah memunculkan Kota Bau-Bau
pada tahun 2001, selanjutnya pada tahun 2003 dari sisa wilayah induk mekar menjadi dua
kabupaten, yaitu Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana. Akhirnya pada Januari
2007, sisa dari wilayah induk Kabupaten Buton telah terjadi persiapan pemekaran ke dalam
dua wilayah pemekaran lagi, yaitu Buton Tengah dan Buton Selatan.
Perlu dikemukakan bahwa hasil penelitian ini memiliki beberapa kelemahan yang
memang harus dan akan diperbaiki yaitu:
(a). Penelitian ini lebih menekankan ke wilayah atau lokasi penelitian di Daerah Otonomi
Baru yang sudah agak lama mengalami pemekaran, sedangkan untuk Daerah Otonomi
Baru yang baru kembali mengalami pemekaran belum tercakup dalam penelitian ini.
(b). Di dalam desain penelitian dirancang akan dilaksanakan suatu proses checking dan
pendalaman lewat beberapa kegiatan, seperti: Seminar, raoun table discussion, dan
kegiatan konsultasi publik di bebarap daerah. Dua kegiatan yang pertama telah
dilakukan namun untuk kegiatan konsultasi publik ini belum dilakukan.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 4
1.3. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan lewat beberapa cara yaitu dengan melakukan wawancara
mendalam dengan sejumlah informan kunci baik pada aras provinsi, kabupaten/kota,
kecamatan, dan aras desa/kelurahan, dengan menggunakan pedoman pertanyaan yang sudah
disiapkan sebelumnya. Selain itu juga dilakukan observasi baik pada aras kabupaten/kota,
kecamatan, maupun desa/keluruhan menyangkut aspek proses dan fasilitas pelayanan publik
yang ada, perkembangan fisik, dan kondisi wilayah Daerah Otonomi Baru. Untuk melengkapi
data pada tataran yang lebih general dikumpulkanlah data sekunder baik dari dinas sektoral,
pemerintah daerah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupten/kota dan provinsi), maupun dari
pihak NGO atau swasta. Pada akhirnya dilakukan cheking dan pelengkapan data dengan
melakukan Focus Group Discussion (FGD), baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.
Penelitian ini dilakukan sejak akhir Bulan Maret sampai Pertengahan April 2007, oleh
staf Percik yang dibantu beberapa staf LIPI, staf pengajar Program Pascasarjana Universitas
Tanjungpura, Pontianak dan staf pengajar Pascasarjana Universitas Haluoleo, Kendari.
Berikut ini adalah uraian yang merupakan ringkasan laporan penelitian yang dapat
dijadikan bahan pertimbang untuk pengambilan kebijakan secara cepat dan tepat di dalam
proses pemekaran daerah.
2. PEMEKARAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF NASIONAL
Sejak bergulirnya arus reformasi, bangsa Indonesia menaruh harapan besar terhadap
perubahan-perubahan sistem bernegara. Dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan
administrasi daerah terkandung harapan bahwa pembentukan, pemisahan, penggabungan dan
penghapusan daerah akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan warga, akibat pelayanan
yang lebih baik, peningkatan kehidupan demokratis, pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat,
meningkatnya keamanan dan ketertiban dan relasi-relasi yang harmonis antar-daerah.
2.1. Sejarah Pemekaran dan Perkembangan Makna Pemekaran
Pada tahun 1880, perdebatan tentang perlunya desentralisasi pemerintahan di Daerah
Jahan Hindia Belanda mulai santer disuarakan oleh anggota Dewan Rakyat (Tweede Kamer)
yang didukung oleh kaum Swasta Belanda yang bergerak di berbagai bidang perkebunan.
Kelompok ini merasa bahwa kekuasaan sentralistik di tangan seorang Gubernur Jenderal
dianggap terlalu besar. Namun demikian baru pada tanggal 23 Juli 1903 munculah Undang-
Undang yang memungkinkan adanya desentralisasi. Undang undang yang lengkap yang
disebut sebagai Wet Houndende Decentralizatie in Nederlandsch Indie (disingkat sebagai
Decentralisatie Wet 1906) mulai diundangkan untuk mengurangi kekuasaan sentral yang
berpusat di Belanda (Wignjosoebroto, 2004).
Ide desentralisasi ini tidak hanya didorong untuk mengurangi kekuasaan sentralistis
pusat namun juga oleh adanya tuntutan dari daerah-daerah yang mempunyai variasi sifat,
potensi, identitas, dan kelokalan yang berbeda-beda untuk memperoleh kewenangan yang
lebih besar. Proses desentralisasi yang mulai tertata ini mengalami keruntuhan dengan
masuknya Pemeritahan Militer Jepang yang bersifat fasis. Sejak saat itu, sistem kekuasaan
pemerintahan menjadi tersentralisasi kembali. Munculnya UUD 1945 yang menjadi dasar
Republik Indonesia Merdeka, yang pembentukannya dipengaruhi oleh adanya keberadaan
Jepang yang bersifat fasis menyebabkan warna sentralistis menjadi lebih kuat dengan bentuk
Negara Kesatuan. Baru sesudah para pemimpin negara dapat berpikir lebih jernih dan tidak
dipengaruhi oleh pemerintahan Jepang yang fasis, menyebabkan makna desentralisasi
menjadi lebih memperoleh tempat yang utama terutama dengan munculnya UUD Republik
Indonesia Serikat, tahun 1955, yang menjadi dasar munculnya bentuk Negara Indonesia
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 5
Federal. Di sini wilayah-wilayah luar Jawa menjadi mempunyai kewenangan yang lebih
nyata dan besar. Makna Kebinekaan di Indonesia menjadi lebih nyata dan diakui.
Munculnya Dekrit Presiden pada tahun 1959, yang menyatakan kembali
menggunakan UUD 1945 yang mendasari adanya Negara Kesatuan, menyebabkan
kekuasaan yang desentralisasi digantikan dengan kekuasaan yang sentralistis kembali. Di sini
makan Ketunggal Ikaan menjadi lebih nyata katimbang warna Kebhinekaan. Runtuh nya
Orde Baru yang ditandai oleh perubahan politik yang luar biasa pada tahun 1998
menyebabkan wilayah luar Jawa yang selama hampir 40 tahun merasa kurang diperhatikan
dan kurang memperoleh perlakuan yang adil telah mendorong (memaksa) Pemerintahan
Habibie untuk mengeluarkan Undang-Undang Otonomi Daerah (UU No. 22 Tahun 1999). Di
sini desakan politik dari daerah telah mendorong pemerintahan pusat untuk mengembalikan
kekuasaan/kewenangan ke daerah. Dengan kata lain makna Kebhinekaan di dalam kekuasaan
pemerintahan lebih menonjol dan lebih dikehendaki dibandingkan makna Ketunggal-Ikaan.
Walaupun ada usaha untuk kembali meresentarlisasi kekuasaan dengan munculnya
UU No 32 Tahun 2004 (Suwondo 2005), namun dorongan untuk lebih mewujudkan makna
Kebhinekaan menjadi lebih jelas dan menggebu-gebu. Selama sekitar 9 tahun sejak
diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 telah muncul (mekar) sekitar 150 Kabupaten/Kota
Baru. Terlepas dari kemampuan sosial-politik-ekonomi untuk secara teknis dapat dikatakan
sebagai “benar-benar mampu mekar”, namun kapasitas sosial-politik dan keinginan daerah
untuk memperoleh pembagian “kue pembangunan” yang lebih adil nampaknya menjadi lebih
besar, lebih kuat, dan akan sulit dibendung. Makna desentralisasi kekuasaan tidak hanya
berkisar pada adanya kewenangan untuk melakukan pemerintahannya sendiri namun telah
bergeser kepada dorongan untuk memperoleh perlakuan yang lebih adil dari baik dari
Pemerintahan Pusat maupun dari Daerah Induk.
Tarik menarik antara desentralisasi dan sentralisasi kekuasaan tidak terlepas dari
makna negara dan rakyat memaknai antara Ketunggal-Ikaan dengan Kebhinekaan. Tarik
menarik tersebut terjadi sejak lama dan memang menunjukkan adanya permasalahan selaku
Bangsa (Indonesia) secara keseluruhan. Walaupun demikian makna Kebhinekaan dengan
segala atribut identitas sosail-politik kedaerahan menjadi hal utama yang nampaknya lebih
didesakkan oleh rakyat yang mau-tidak mau harus memperoleh perhatian baik dari
Pemerintahan Pusat maupun Pemerintahan Induk.
2.2. Kebijakan Pemekaran Daerah
Dalam kondisi negara yang lemah (strong society and weak state), maka munculnya
Undang-undang Otonomi Daerah merupakan salah satu usaha untuk di satu pihak
“mendinginkan” euforia reformasi dan di lain pihak untuk menjaga keutuhan NKRI. Dengan
demikian maka “nada” atau isi dari UU No 22 Tahun 1999 tersebut lebih memberikan
kebebasan yang nyata dan seluas-luasnya bagi daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahannya sendiri demi untuk kesejahteraan daerahnya sendiri-sendiri. Prinsip
kebebasan, demokrasi, partisipasi (kewenangan pada rakyat) menjadi prinsip bahkan menjadi
tujuan dan bukan hanya sebagai sarana.1
Era reformasi yang diawali pada tahun 1998 dengan tergesernya paradigma
desentralisasi administratif, yang dianut Orde Baru, menjadi desentralisasi politik pasca UU
22 Tahun 1999. Pemekaran daerah atau pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di era
reformasi merupakan konskuensi logis dari penerapan kebijakan desentralisasi politik, oleh
1 Pada masa Otonomi Daerah ini, sebenarnya perbedaan bentuk NKRI dan “Negara Federal Indonsia” sudah
hampir tidak ada. Hal ini bisa dilihat bahwa, seperti di Negara-negara federal, yang tetap diatur atau dikuasai
oleh pemerintah pusat adalah masalah atau aspek Pertahanan, Keamanan, Moneter dan fiskal, Politik Luar
Negeri, dan Peradilan. Bedanya untuk di Indonesia masih ditambah dengan permasalahan atau aspek agama
masih harus diatur oleh Pemerinah Pusat.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 6
pemerintah pusat, di daerah. Dengan desentralisasi politik maka pemerintah pusat
membentuk daerah-daerah otonom atau daerah-daerah yang mempunyai pemerintahan, yaitu
daerah-daerah yang mempunyai wilayah, masyarakat hukum, kepala daerah, dan anggota
DPRD yang dipilih oleh rakyat, pegawai, dan kewenangan serta keleluasaan mengatur dan
mengurus daerah.
Kebijakan pemekaran daerah pasca ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah mempunyai perbedaan yang signifikan jika dibandingkan pengaturan
pemekaran daerah berdasar UU No. 5 Tahun 1975. Kebijakan pemekaran daerah pada Orde
Baru, memang bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, yang perencanaan dan
implementasi pemekaran lebih merupakan inisiatif pemerintah pusat, daripada partisipasi dari
bawah. Proses pemekaran daerah seringkali menjadi proses yang tertutup dan menjadi arena
terbatas di kalangan pemerintah pusat.
Meskipun pada masa Orde Baru kebijakan pemekaran lebih bersifat elitis dan
sentralistis, namun pada masa itu pemerintah telah mencoba mendorong upaya penyiapan
infrastruktur birokrasi (bukan infrastruktur politik), sebelum pembentukan daerah otonom.
Masa transisi teknokratis disiapkan sedemikian rupa sebelum menjadi DOB, misalnya
sebelum menjadi kotamadya disipakan terlebih dahulu sebagai kota administratif. Demikian
juga pembentukan kabupaten baru akan didahului dengan dibentuknya wilayah kawedanan.
Sedangkan daerah transisi untuk tingkat propinsi dikenal dengan karesidenan. Dalam masa
transisi pembentukan daerah baru tersebut, lebih menekankan pada mekanisme teknokratis
daripada mekanisme politik, misalnya dengan penyiapan administrasi birokrasi, infrastruktur,
gedung perkantoran, dll. Setelah penyiapan teknokratis dirasa cukup barulah kemudian
penyiapan politik dilakukan yaitu dengan pembentukan DPRD, dari situ barulah kemudian
dibentuk DOB.
Proses-proses penyiapan teknokratis tersebut pada kebijakan pemekaran daerah
berdasar UU No. 22 Tahun 1999 tidak ada tetapi justru lebih menekankan pada proses-proses
politik. Ruang bagi daerah untuk mengusulkan pembentukan DOB dibuka lebar oleh
kebijakan pemekaran daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999. Dengan kebijakan yang
demikian ini, kebijakan pemekaran daerah sekarang lebih didominasi oleh proses politik
daripada proses teknokratis.
Semakin meningkatnya jumlah daerah otonomi baru di Indonesia sebenarnya harus
dipahami dari mekanisme lokal dan mekanisme nasional. Pertama dari konteks lokal,
dinamika kepentingan elite lokal menjadi penyumbang terbesar dari banyaknya dan semakin
meningkatnya usulan pemekaran daerah. Dari peta jumlah usulan pemekaran daerah, usulan
pemekaran kebanyak berasal dari daerah luar Jawa terutama daerah Indonesia Timur yang
merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam tetapi kondisi ekonominya stagnan.
Kondisi perkembangan ekonomi yang stagnan sementara peningkatan kualitas sumberdaya
manusia melalui peningkatan pendidikan cukup berhasil, telah berdampak pada banyaknya
semberdaya manusia lokal yang terdidik yang tidak mempunyai ruang untuk mengabdikan
dirinya di daerah. Dengan demikian harapan terbesar untuk berkembang terletak pada arena
negara. Ketika institusi pemerintahan sudah tertutup, pilihan rasional yang tersedia adalah
membentuk institusi-institusi pemerintahan baru.
Sementara itu, regulasi pusat juga membuka peluang dan mendukung alasan untuk
pengurangan pengangguran melalui pemekaran daerah. Kebijakan susunan dan kedudukan
legislatif dan eksekutif, paling tidak sudah memberikan lowongan pekerjaan yang menarik
bagi sekitar 20 orang, seperti sebagai: kepala dearah dan wakil kepada daerah, sekretaris
daerah, asisten, kepala-kepala dinas, kepala kontor, dan pegawai-pegawai. Dilihat dari sisi
masyarakat, pembentukan Daerah Otonomi Baru, termasuk juga pembentukan kecamatan
baru, merupakan suatu proses pengembangan, pembelajaran, dan pemberdayaan masyarakat
dan wilayahnya.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 7
Pembentukan daerah baru yang disertai dengan pembentukan kecamatan baru,
peningkatan pembangunan, pengembangan fasiltas pelayanan publik, dan kesempatan kerja
sebagai PNS, di sekitar wilayah yang akan dijadikan ibu kota DOB dapat dipastikan akan
disertai dengan peningkatan pembangunan fisik berupa pembangunan jalan, listrik, telephon,
dan lain-lain. Dalam konteks masyarakat lokal yang demikian, pemekaran daerah merupakan
cara masyarakat untuk “memaksa” pemerintah pusat agar memperhatikan pembangunan di
daerah. Dengan demikian dari aspek politik lokal, pemekaran daerah merupakan kesempatan/peluang
bagi elite-elite lokal untuk duduk di DPRD ataupun ekskutif. Sedangkan bagi elite politik nasional,
pemekaran daerah dapat dilihat sebagai upaya menciptakan daerah-daerah pemilihan baru yang
mungkin berguna bagi pemilu. Hal ini berimplikasi bagi terciptanya transaksi politik antara elite lokal
dan elite nasional. Pandangan ini dibenarkan oleh salah satu anggota Komisi II DPR yang menyatakan
bahwa pemekaran daerah adalah sebuah bentuk kompensasi kepentingan politik dari partai-partai
politik di DPR. Dengan demikian, pemekaran daerah telah berdampak pada terciptanya daerah-daerah
otonom baru yang berimplikasi politis pada penambahan daerah-daerah pemilihan baru. Implikasi
lebih lanjut dari adanya penambahan daerah-daerah pemilihan baru tersebut adalah semakin
meluasnya conflick of interest antara partai-partai politik di tingkat nasional yang diwakili oleh elite-
elite politik di DPR RI dan ini berdampak pada prose pemekaran yang lebih didasarkan atas
pertimbangan politik daripada kebutuhan untuk menata daerah dalam tingkat nasional.
Kedua, dari konteks nasional, peranan regulasi juga telah menjadi penyumbang
meningkatnya tuntutan dan pembentukan DOB karena kebijakan meloloskan tuntutan DOB
terletak pada pemerintahan pusat. Kebijakan adanya dua pintu pemekaran juga dimanfaatkan
oleh masyarakat sebagai jalan “mudah” bagi masyarakat. Ketika pintu pemerintah tertutup,
maka masyarakar akan menggunakan celah melalui pintu DPR yang relatif lebih mudah.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa selama sembilan tahun berotonomi sejumlah
dampak positif dari prinsip otonomi telah muncul seperti:
(1). Berkembangnya prinsip demokrasi, partisipasi, dan kebebasan memang mencuat ke
permukaan
(2). Di lihat dari sudut rakyat di aras lokal, munculnya Daerah Otonomi Baru
menyebabkan adanya perkembangan infrastruktur (gedung pemerintahan, jalan,
puskesmas, sekolahan, dan lain-lain)
(3). Pelayanan publik menjadi lebih dekat terutama di bidang pelayanan pemerintahan.
(4). Identitas sosial-politik lokal menjadi mempunyai kesempatan untuk diakui
eksistensinya.
Walaupun ditemui sejumlah hasil yang menggembirakan namun sejumlah masalah
juga muncul dan semakin-lama menjadi semakin besar, yaitu:
(1). Kenthalnya warna kedaerahan (termasuk ide dominasi putra daerah) di dalam semua
proses dan bidang sosail, politik, budaya, dan ekonomi
(2). Banyaknya Provinsi dan Kabupaten/Kota baru yang kemunculannya selalu
menimbulkan konflik kepentingan antar elite yang pada akhirnya berdampak pada
konflik antar massa masing-masing pendukung
(3). Ketidak jelasan relasi antar fungsi dalam sistem pemerintahan pusat dengan daerah
dan antar daerah. Selain itu juga muncul ketidak jelasan peran Gubernur di dalam
mengkoordinasi dan mensinergikan kinerja antar kepala daerah yang ada
“dibawahnya” (Bupati dan Walikota). Hal yang terakhir ini muncul karena adanya
pasal 4 ayat 2 dari UU No 22 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa “masing-masing
daerah otonom berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama
lain”
(4). Pertentangan antar wilayah (bahkan antar desa) untuk memperebutkan Sumber Daya
Alam menjadi sangat tidak rasional
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 8
(5). Persaingan antara eksekutif dan legislatif di aras lokal (Pemerintah Desa dengan
Badan Perwakilan Desa atau BPD), di aras regional antara Bupati/Walikota dengan
DPRD Kabupaten/Kota atau antara Gubernur dengan DPRD Provinsi, bahkan
pertentangan sampai di tingkat nasional yang dipuncaki dengan dengan jatuhnya
Pemerintahan Gus Dur.
Adanya dampak positif dan negatif dari adanya proses pemekaran wilayah yang lebih
menunjukkan Kbhinekaan ini memang merupakan konsekwensi logis yang akan muncul.
Persoalannya adalah bagaimana usaha yang perlu dilakukan untuk mengurangi sebanyak
mungkin kemungkinan dampak negatif dan mendorong semaksimal mungkin munculnya
dampak positif. Usaha ini harus dilakukan baik oleh rakyat dan pemeritahan di aras lokal
maupun oleh pemerintahan di aras nasional.
2.3. Implementasi Pemekaran Dalam Perspektif Nasional
Dari aspek proses, keputusan pemekaran daerah merupakan respon terhadap tuntutan
pemekaran daerah. Jadi pemekaran daerah biasanya diawali oleh adanya kemauan politik
masyarakat yang juga didukung oleh pemerintahan daerah setempat. Kemudian pemerintah
daerah membuat usulan yang disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melaui gubernur
yang disertai lampiran hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga independen atas biaya
APBD daerah setempat dan persetujuan DPRD. Di tingkat pusat, apabila usulan tersebut
dipandang layak akan ditindaklanjuti oleh Mendagri yang akan memproses lebih lanjut dan
menugaskan tim untuk observasi ke daerah yang hasilnya menjadi dasar rekomendasi bagi
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Mengenai realitas peran DPOD ini, Eko
Prasodjo berpendapat bahwa peran DPOD hanya bersifat formalitas sebagai ”pengetuk” palu.
Yang lebih berperan adalah tim teknis yang anggotanya mayoritas terdiri dari direktur-
direktur di Depdagri.2 Disamping itu peran konsultan juga cukup penting.
3 Kinerja dari Tim
Observasi Pusat/Tim Teknis ini oleh beberapa pihak cukup diragukan. Seorang anggota DPD
dari Kalbar menyangsikan observasi yang dilakukan Tim Observasi Pusat yang diangkat oleh
DPOD untuk melakukan penelitian secara sungguh-sungguh mengingat yang dilakukan
hanyalah monitoring dalam waktu yang relatif singkat dan hanya bersumber pada informasi
elite. Tim ini lebih banyak melakukan penelitian dokumen dan ”temu muka” formal dengan
”masyarakat” yang sebagian besar adalah elite-elite di daerah.
Di tingkat pusat, mekanisme pemekaran daerah dilakukan melalui dua pintu yang oleh
seorang pejabat Depdagri dipilah ke dalam cara yang normal dan cara yang tidak normal.4
Cara yang normal yaitu cara yang mengikuti jalur atau pintu ekskutif, dan cara yang
dipandang tidak normal yaitu melalui jalur atau pintu legislatif kemudian baru mengikuti
prosedur eksekutif. Kedua cara tersebut tidak terkait dengan aspek legalitas karena keduanya
2 Sebagai contoh yang bisa memberi gambaran dominasi Depdagri dalam pokok ini, diantaranya adalah dalam
kasus calon Kabupaten Buton Utara (Pemekaran dari Kabupaten Muna), Propinsi Sultra, Tim Observasi
Pusat/Tim Teknis (dari DPOD) yang berkunjung ke lapangan adalah: (1) Direktur Penataan Daerah dan
Otonomi Daerah Depdagri (sebagai koordinator tim); (2) Direktur Kawasan Khusus Ditjen PUM Depdagri
(anggota); (3) Satu orang staff dari Depdagri (sebagai sekretaris merangkap anggota); (4) Staf dari Depdagri
(anggota); (5) Empat staf dari Depdagri (masing-masing sebagai anggota); (6) Satu orang staf ahli Menteri dan
Kementrian PAN (anggota); Staf Ahli Hukum dan HAM dari Sekretaris Kabinet (anggota); (7) Staf Khusus
Mensesneg dari Sekretarian Negara (anggota); (8) Asdep Partisipasi Politik Kemenko Bidang Polhukam
(anggota); (9) Direktur Penanganan Konflik Ditjen Kesbangpol Depdagri (anggota); (10) Direktur Fasilitas
Rancangan Peraturan daerah Departemen Hukum dan HAM (anggota); (11) Kepala Pusat Batas Wilayah dari
bakorsurtanal (anggota); (12) Staf dari Departemen Keuangan (anggota); (12) Satu Tenaga Ahli (anggota). 3 Wawancara dengan Eko Prasojo, anggota Tim Pakar DPOD dan seorang guru besar Universitas Indonesia, di
Jakarta, 24 April 2007.
4 Wawancara dengan Dody, Ryadmaji Kepala Bagian Penataan Daerah Dirjen Otonomi Daerah, Depdagri pada
tanggal 9 April 2007 di Jakarta.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 9
sama-sama berdasarkan hukum. Berdasarkan hukum, proses pemekaran melalui pintu DPR
memang dimungkinkan karena berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen tahun 20005, DPR
memiliki kekuasaan sebagai badan pembentuk undang-undang. Pengaturan dalam UUD
tersebut dipertegas dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.6 Sebagai implikasinya DPR berhak mengajukan RUU inisiatif
termasuk pemekaran daerah. Dikatakan sebagai cara tidak normal karena DPR membuat
RUU Pemekaran dan mengajukannya kepada presiden, yang mana hal ini memberi kesan
bahwa seolah-olah ada dualisme kekuasaan yang memegang peranan dalam proses
pemekaran daerah di Indonesia. Selain DPR dan ekskutif (dalam hal ini Depdagri), lembaga-
lembaga seperti DPD dan DPOD juga memiliki peran dalam pemekaran daerah meskipun
harus diakui peran tersebut kurang signifikan. berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 atau UU
No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 129 Tahun 1999.
Terhadap kewenangan DPR dalam penyusunan UU tersebut diperoleh tanggapan dari
seorang pemerhati desentralisasi, Alfitra Salamm. Menurut Alfitra Salamm, sebuah UU
seharusnya disetujui bersama, baik oleh ekskutif maupun legislatif. Apabila ada sebuah RUU
yang tidak disahkan oleh Presiden dalam batas waktu yang ditetapkan, maka RUU yang
bersangkutan seharusnya gugur (tidak sah) dan otomatis tidak dapat diundangkan, terutama
yang menyangkut pemekaran. Rasionalisasi dari pandangan ini adalah bahwa masalah
pemekaran daerah merupakan domain ekskutif (karena menyangkut operasional pemerintah
daerah) sehingga sebaiknya ”pintu” pemekaran daerah cukup lewat Depdagri saja. DPR dan
DPD cukup mengawasi kebijakan pemerintah mengenai pemekaran.7 Sementara itu
keterlibatan DPR dalam pemekaran daerah juga dipandang bisa menimbulkan conflict of
interest karena ada kepentingan-kepentingan tertentu yang diperjuangkan pada daerah
pemekaran.8 Proses pemekaran bisa dijadikan investasi politik di daerah baru. Selain itu
dengan pemekaran daerah berarti terjadi perluasan daerah pemekaran dan perluasan lembaga-
lembaga pemerintahan, maka pemekaran daerah akan menjadi arena baru bagi partai-partai
politik untuk menempatkan kader-kadernya di DPRD dan kekuasaan-kekusaan lain di daerah
yang baru tersebut. Pemekaran daerah melalui DPR tidak dapat dilepaskan dari kepentingan
politik untuk memperoleh kekuasaan politikny di tingkat lokal.
Ketentuan perundang-undangan di atas yang dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum justru berdampak pada ketidakpastian hukum. Yang terjadi selama ini,
menurut Alfian Salamm, ketika proposal pemekaran yang diajukan oleh daerah ditolak oleh
Depdagri, umumnya para pengusul (biasanya dengan tekanan mobilisasi massa) lari ke
anggota DPR-RI (khususnya komisi II) untuk memperjuangkannya. Anggota DPR-RI
kemudian mengabulkannya dengan alasan ”aspirasi konstituen”. Presiden tidak mempunyai
kewenangan untuk menolak RUU inisiatif DPR, sedangkan posisi DPD lemah.
Sejalan dengan pandangan di atas, menurut pejabat Depdagri, meskipun kebijakan
pemekaran daerah sangat sarat dengan logika administratif, dalam implementasi justru aspek
politik yang lebih menonjol. Menurutnya, dari sekian banyak usulan pemekaran daerah yang
5 Lihat UUD 1945 hasil amandemen IV yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002, pada pasal 20 (ayat 1)
menyatakan: “DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-undang”.
6 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dalam pasal 17 dinyatakan
bahwa RUU yang dapat diajukan oleh DPR antara lain berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat-
daerah, pembentukan, penggabungan serta pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya
ekonomi, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan. Selanjutnya pasal 17 (ayat 5) bermaksud
memberikan kepastrian hukum dengan mengatur: “ Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama (dengan DPR-
pen) tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah
menjadi UU dan wajib diundangkan”.
7 Wawancara dengan Alfian Salamm, mantan anggota DPOD (dari unsur ADEKSI) di Jakarta, April 2007.
8 Wawancara dengan Eko Prasojo, tanggal 16 April 2007.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 10
lebih cepat disetujui adalah usulan pemekaran yang diusulkan melalui pintu DPR. Anggota
DPR dengan menggunakan tekanan politiknya seringkali justru ”mengingkari” persayaratan-
persayaratan administratif dan melakukan tekanan-tekanan politik ke DPOD9. Tetapi di lain
pihak, DPR juga mengaku memperoleh tekanan dari rakyat di daerah. Hal ini tampak
misalnya ketika rapat anggota DPRD, di balkon ruang rapat sudah ditunggu oleh orang-orang
daerah untuk mendengar keputusan diloloskannya atau tidak usulan pemekaran yang
diajukan. Dari pengalaman implementasi kebijakan pemekaran daerah, terutama menyangkut
aspek proses, dapat dilihat bahwa daerah dapat dengan mudah melakukan pemekaran. Ada
dua asumsi teoritik yang mendasari mudahnya proses pemekaran. Asumsi yang pertama
adalah peraturan atau persyaratan yang tidak terlalu detail sehingga memudahkan inisiator-
inisiator pemekaran melakukan terobosan. Asumsi kedua adalah bahwa peraturan dan
persyaratan (adminstratif) sudah detail tetapi karena kuatnya tekanan politis menjadikan
proses pemekaran dapat dengan mudah dilakukan.10
Kekuasaan formal yang memutuskan disetujui atau tidak disetujuinya usulan
pemekaran daerah ada pada sidang DPOD. Namun, dalam proses sidang tersebut terdapat
sebuah proses yang memframe (mengarahkan) bahwa sidang DPOD hanya bersifat formalitas
sehingga pihak yang memiliki the real power adalah Tim Observasi/Teknis yang menyiapkan
dan menganalisis angka-angka kualitatif yang mudah untuk dimanipulasi. Di balik
kekuasaan formal itu terdapat kekuasaan non formal yang menentukan berhasil atau tidaknya
usulan pemekaran daerah. Dengan demikian, kekuasaan yang menentukan proses pemekaran
terletak pada birokrasi yang menempatkan Tim Teknis dan Konsultan hanya sebagai alat
legitimasi intelektual dari sebuah proses yang tertutup bagi publik. Birokrasi di balik Tim
Teknis dan Tim Konsultan inilah sebagai pihak-pihak yang disebut sebagai the real power.11
Dari aspek keuangan negara, evaluasi pemekaran daerah selama enam tahun menunjukkan
bahwa terdapat 94% daerah yang mengandalkan dana dari pusat (DAU dan dana perimbangan). Jadi
hanya beberapa daerah yang bisa survive dengan pendanaan sendiri. Pengalokasian dana bagi daerah
baru hasil pemekaran sebagian besar anggaran justru tidak dipakai untuk pelayanan publik. Alokasi
dana untuk pelayanan publik hanya sebesar 30%, infrastruktur berupa perkantoran sebesar 20%, untuk
belanja rutin gaji pegawai sebesar 42%, dan 20% dana dialokasikan untuk belanja lain-lain. Dengan
demikian pemekaran daerah yang sudah dilakukan belum memenuhi standar pelayanan publik yang
ideal. Sementara itu dampak yang paling dirasa pada aras nasional adalah persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan belanja negara. Pada APBN tahun 2006 misalnya, penyelenggaraan pemerintahan
daerah pemekaran memerlukan ± 250-300 triliun rupiah (±20% dari PDB). Menurut catatan APBN
tahun 2000-2004, dana yang dialokasikan untuk belanja daerah meningkat dari tahun ke tahun. Tahun
1999 dana untuk penyelenggaraan pemerintah daerah berjumlah Rp. 29,9 trilyun (2,6 dari PDB),
meningkat menjadi Rp. 33,1% trilyun (3,4% dari PDB) pada tahun 2000. Peningkatan inipun terjadi
pada tahun selanjutnya, yaitu 81,1 trilyun (5,6% terhadap PDB) tahun 2001, Rp 94,8 trilyun (5,9%
terhadap PDB) tahun 2002, Rp 116,9 trilyun (6% terhadap PDB) tahun 2003, dan Rp. 130 trilyun
(6,2% terhadap PDB) tahun 2004.12
Peningkatan pengeluaran negara tersebut adalah karena
pembentukan daerah baru memerlukan kantor polisi baru, kantor agama baru, kantor pengadilan baru,
dll.
Dari sisi politik keamanan, pemekaran daerah akan mendorong berkembangnya lembaga-
lembaga militer dan kepolisian di luar Jawa terutama di daerah-daerah rawan konflik sosial dan
konflik separatisme. Kehadiran aparat keamanan di daerah pemekaran terutama di luar Jawa dapat
menjadi persoalan di masa depan jika mereka tidak dapat dikontrol oleh pemerintah dan masyarakat
nasional. Selain itu pemekaran daerah akan membuka peluang bagi tumbuhnya etnosentrisme yang
menjadi tantangan bagi integrasi nasional. Dalam realitasnya, elite lokal yang mengusulkan
9 Hasil Roundtabel Discussion, Percik-DRSP : “Mengembangkan Kebijakan Penataan Daerah Yang Peka
Terhadap Perspektif Lokal”, diselenggarakan di Kampoeng Percik pada tanggal 20 Juli 2007. 10
Ibid 11
Wawancara dengan Eko Prasojo di Universitas Indonesia Depok pada tanggal 16 April 2006. 12
Jurnal Update Indonesia vol. 02/Tahun I Maret 2006, hal 59
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 11
pemekaran daerah seringkali mengusung simbol-simbol etnis dan perbedaan budaya sebagai basis dari
legitimasi politik pemekaran daerah.
3. MUNCULNYA IDE PEMEKARAN DAERAH
Ide dan perjuangan pemekaran daerah sebenarnya sudah lama ada di kalangan rakyat
Sambas dan Buton. Proses perjuangan pemekaran itu sendiri juga sebenarnya berjalan lamban
namun tidak disertai dengan tindak kekerasan. Munculnya ide pemekaran (dalam makna
pemecahan) daerah dapat dilihat dari dua sisi yaitu: (1) faktor-faktor penyebabnya, yang
mencakup (a) faktor pendorong pemekaran yang berada di lingkungan internal daerah yang
ingin mekar, dan (b) faktor penarik yang berasal dari lingkungan eksternal; dan (2) faktor-
faktor yang memfasilitasi munculnya pemekaran. Faktor-faktor penyebab pemekaran maupun
faktor-faktor yang memfasilitasi munculnya pemekaran dapat berlaku di dua wilayah
penelitian (Sambas dan Buton) namun dapat juga bahwa faktor-faktor tertentu hanya berlaku
di salah satu wilayah penelitian.
Beberapa faktor penyebab terjadinya pemekaran di antaranya adalah (a) faktor-faktor
pendorong seperti (1) faktor kesejarahan, (2) faktor tidak meratanya pembangunan, (3)
rentang kendali pelayanan publik yang jauh, dan (4) tidak terakomodasinya representasi
politik dan (b) faktor penarik, yaitu kucuran dana (fiskal) dari pusat. Sedangkan faktor yang
memfasiltasi munculnya pemekaran diantaranya adalah: (1) Proses persiapan untuk mekar;
(2) Political crafting oleh para elite; (3) Kondisi perpolitikan nasional; dan (4) faktor tuntutan
kemanan daerah perbatasan.
Perlu dikemukakan sebelumnya bahwa secara kronologis formal, Wilayah Induk
Kabupaten Sambas mengalami pemekaran yang pertama, adalah dengan keluarnya UU
Nomor 10 Tahun 1999, tanggal 22 April 1999 (mendahului munculnya UU Nomor 22 Tahun
1999 yang mengatur tentang pemekaran daerah). Undang-undang tersebut menetapkan
Sambas menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sambas dengan
Ibu Kota di Sambas13
. Kemudian pada tahun 2001 dengan keluarnya Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2001 ditetapkanlah Singkawang, yang semula merupakan bagian dari Kabupaten
Bengkayang, menjadi Kota Otonom. Dengan demikian Kabupaten Induk Sambas telah mekar
menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, dan Kota
Singkawang.
Kabupaten Induk Buton secara kronologis formal telah mengalami pemekaran yang
pertama pada 21 Juni 2001 dengan keluarnya UU Nomor 13 Tahun 2001, yang menetapkan
Bau-Bau sebagai Kota Otonom. Kemudian pada tahun 2003, dengan keluarnya Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2003, Kabupaten Buton mengalami pemekaran yang kedua dengan
terbentuknya DOB Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana. Dengan demikian maka
Kabupaten Induk Buton telah mengalami pemekaran menjadi DOB Kabupaten Buton,
Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, dan Kota Otonom Bau-Bau.
3.1. Faktor Penyebab Pemekaran Daerah
Sebuah territorial reform sebagaimana diamanatkan dalam UU 22 tahun 1999 dan PP
129 tahun 2000 sebenarnya mengusung pesan bagaimana teritori ditata dalam kebijakan
penggabungan, penghapusan, dan pemekaran. Pilihan pada salah satu dari tiga kebijakan
13
Di sini, sebenarnya ada ketetapan yang menunjukkan adanya pemindahan letak Ibu Kota Kabupaten Sambas,
yang semula ada di Kota Singkawang dipindahkan ke Sambas. Dengan keluarnya UU Nomor 10 Tahun 1999
tersebut, Kota Singkawang yang semula menjadi Kota Administratif dan sekaligus sebagai Ibu Kota Sambas
telah dipahami sebagai penurunan status hanya menjadi kecamatan dan menjadi bagian dari Kabupaten
Bengkayang, walaupun menurut ketentuan perundang-undangan sesungguhnya tetap berstatus sebagai kota
administratif (lihat UU No. 12 Tahun 2001, pasal 5 dan pasal 12 ayat (2).
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 12
tersebut secara administrasi publik merupakan sebuah evaluasi, apakah kemudian sebuah atau
beberapa daerah sekaligus akan mengalami penggabungan, penghapusan, ataupun
pemekaran. Bagi kebanyakan negara maju, kebijakan territorial reform biasanya berbentuk
amalgamasi atau penggabungan yang merupakan sebuah pilihan yang harus ditempuh karena
pertimbangan efisiensi dalam penyediaan pelayanan publik. Sedangkan bagi sejumlah negara
yang berkembang (termasuk Indonesia), beberapa kebijakan territorial reform memang lebih
berbentuk sebagai pemecahan. Persoalannya adalah mengapa semua bentuk territorial reform
di Indonesia mengambil bentuk pemecahan (yang untuk selanjutnya disebut sebagai
pemekaran daerah), apa saja yang menjadi penyebab terjadinya pemekaran, dan apakah
pemekaran merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh akses terhadap sumber-sumber
sosial, ekonomi, dan politik bagi daerah yang bersangkutan ? Semua pertanyaan itulah yang
akan diungkapkan dalam uraian berikut.
Beberapa faktor penyebab yang berupa pendorong munculnya pemekaran saling
berkaitan satu dengan yang lain. Sementara faktor penyebab berupa penarik yang berperan
dalam pemekaran adalah kucuran dana (fiskal) dari pusat.
3.1.1. Faktor-faktor Penyebab Yang Berupa Pendorong:
(1) Faktor Kesejarahan
Aspek yang berkaitan dengan sejarah baik di Sambas maupun Buton nampaknya
menjadi pendorong munculnya ide untuk mekar, walaupun dengan intensitas yang tidak
sama. Keberadaan Kasultanan Sambas ataupun Buton pada masa-masa sebelum kemerdekaan
menjadi faktor yang menentukan. Di Kabupaten Buton, aspek kesejarahan terkait dengan
masih bertahannya ingatan/kesadaran kolektif komunitas di wilayah Buton. Modal sosial
dalam bentuk ingatan kolektif atau kesadaran kolektif tentang sejarah kejayaan masa lalu
Kesultanan Buton yang terekam dalam benak komunitas masyarakat di Buton dan wilayah
yang akan dimekarkan, menginspirasi bahwa dengan ingatan kolektif ini kejayaan masa lalu
dapat diraih kembali dengan memanfaatkan momentum pemekaran daerah untuk kemudian
membentuk sebuah wilayah teritori Provinsi Buton Raya.14
Kejayaan masa lalu yang
dimaksud adalah bahwa Kesultanan Buton pernah menjadi kawasan transito dagang berbasis
kelautan, pusat pemerintahan yang otonom tidak tersubordinasi oleh siapapun. Bagi
Komunitas Buton ingatan kolektif ini dapat berfungsi sebagai perekat sosial sehingga
kohesivitas sosial menjadi pendorong pemekaran wilayah termasuk munculnya Bau-bau
sebagai kota otonom yang sekaligus juga mengukuhkan identitas Buton. Penetapan Bau Bau
sebagai Kota Otonom terealiasi pada 21 Juni 2001 dengan terbitnya UU Nomor 13 Tahun
2001.
Di Sambas aspek kesejarahan yang berkaitan dengan ingatan kolektif kejayaan
Kasultanan Sambas juga terasa namun lebih terasa di Daerah Otonomi Baru Sambas (hasil
pemekaran Kabupaten Induk Sambas), sedang di Kabupaten Bengkayang dan Kota
Singkawang tidak terlalu kelihatan. Keterikatan yang lemah dengan ikatan memori kejayaan
14
Sejak 1538 di wilayah Buton berdiri Kesultanan Buton. Kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama Buton,
Muna dan Kabaena, Kepulauan Tukang Besi serta dua daerah di bagian tenggara pulau Sulawesi (Rumbia dan
Poleang). Pada tahun 1960 kesultanan yang berusia lebih dari empat abad itu dibubarkan. Setahun sebelumnya
di wilayah Kesultanan Buton, berdasarkan UU 29 Thn 1959, dibentuk dua kabupaten, yaitu Kabupaten Muna
dan Kabupaten Buton. Kabupaten Muna terletak di utara Muna dan Buton, dan Kabupaten Buton meliputi
bagan-bagian lain dari bekas wilayah kesultanan. Jejak peninggalan Kesultanan Buton hingga kini masih tersisa
baik yang berupa tempat dan bangunan kraton, benteng maupun kultur yang pernah berkembang pada masa
kesultanan, yang menjadi ingatan kolektif masyarakat Buton (terutama yang tinggal di Pulau Buton) mengenai
kejayaan kesultanan. Ingatan kolektif tentang kejayaan Kesultanan Buton ini pada gilirannya memberi warna
dalam proses pemekaran di Kabupayen Buton. Meskipun derajad pengaruhnya berbeda antara wilayah yang satu
dengan wilayah yang lainnya.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 13
Kasultanan Sambas di Kabupaten Bengkayang dan Singkawang nampaknya terkait dengan
pengalaman yang tidak menyenangkan dengan daerah induk dan adanya politik identitas dari
kedua wilayah tersebut. Ide pembentukan Provinsi Sambas Raya nampaknya juga lebih
banyak terdengar dan diusahakan di Daerah Otonomi Baru Kabupaten Sambas, yang sedang
gencar mengusahakan pemekaran kembali Daerah Otonom Baru Kabupaten Sambas menjadi
tiga kabupaten yaitu: Kabupaten Sambas, Kabupaten Sambas Utara, dan Kabupaten Sambas
Pesisiran. Strategi pemekaran kabupaten yang baru ini memang diusahakan dalam rangka
membentuk Provinsi Sambas yang dapat mengingatkan masa kejayaan Kasultanan Sambas.15
Di Sambas aspek kesejarahan yang menonjol lebih banyak berupa ketegangan,
persaingan, dan bahkan konflik berulang antar etnis yang penyebabnya dapat dilacak pada
rentang sejarah yang panjang. Pada jaman kolonial Belanda tindakan represip pemerintah
terhadap pemberontakan yang berbau ikatan kesukuan dilakukan dengan memanfaatkan
dukungan dari suku yang lain. Situasi ini menempatkan relasi yang saling berhadapan antar
suku. Situasi ini tidak berubah sesudah jaman kemerdekaan. Situasi kesejarahan ini
memunculkan pandangan yang dianut secara luas dilingkungan para elite politik dan tokoh
adat setempat bahwa ”pemisahan” dominasi suku pada DOB yang berbeda melalui
pemekaran akan menyelesaikan problem laten antar etnis.
(2) Ketimpangan Pembangunan
Faktor tidak meratanya pembangunan sangat dirasakan oleh wilayah-wilayah yang
bukan merupakan pusat kegiatan atau pusat pemerintahan (ibu kota). Ketidakmerataan
pembangunan bisa terjadi karena pihak elite birokrasi pemerintahan, legislatif, dan pelaku
pembangunan yang kebanyakan tinggal di pusat pemerintahan, sering tidak memprioritaskan
daerah pinggiran dan perbatasan untuk memperoleh jatah pembangunan yang adil.
Pengalaman kurang menyenangkan dengan daerah induk ini terasa, baik di Buton maupun di
Sambas.
Gambaran adanya pengalaman kurang menyenangkan dalam hubungan dengan
wilayah induk di Buton dapat dilihat dari tertinggalnya pembangunan fisik (prasarana dan
sarana pelayanan publik) di tiga Daerah Otonomi Baru (Kabupaten Wakatobi, Kabupaten
Bombana, dan Kota Bau-Bau). Bagi tiga kawasan yang mekar (Kabupaten Wakatobi,
Kabupaten Bombana, dan Kota Bau-Bau), kondisi sebelum mekar merupakan cermin dari
situasi yang kurang menyenangkan dengan alasan berbeda. Bagi Kota Bau-Bau alasan utama
adalah karena pertimbangan tidak adanya otoritas (kewenangan) dalam menetapkan/mengatur
kota Bau-Bau dengan kompleksitas masalah perkotaan yang muncul. Kabupaten Wakatobi
dan Kabupaten Bombana memiliki argumentasi bahwa selama belum mekar, tidak
dimungkinkan adanya pelayanan publik yang maksimal, dibandingkan apa yang bisa
diberikan pada kabupaten induk. Diskriminasi pelayanan publik, rentang kendali yang terlalu
panjang, dibandingkan dengan kawasan yang dekat pusat pemerintahan, terasa sebagai
praktik ketidakmerataan pembangunan. Praktik ketidakadilan ini sekaligus juga merupakan
perwujudan praktik marginalisasi oleh wilayah induk bahkan oleh negara pusat terhadap
wilayah pinggiran. Dengan demikian pemekaran merupakan satu-satunya jalan yang paling
15
Usaha untuk memindahkan ibukota Sambas dari Singkawang ke Sambas yang dilakukan sejak tahun 1961
juga merupakan usaha untuk mengingatkan akan adanya kejayaan masa lalu Sambas. Perjuangan untuk
memindahkan Ibu Kota Kabupaten ini diawali dengan adanya aspirasi, tuntutan, dan gerakan masyarakat
Sambas yang muncul pada tahun 1961. Tuntutan pemindahan ini didasarkan pada UU No. 27 tahun 1959
tentang Pembentukan daerah Tingkat II Di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun
1953), yang dalam pasal 3 ayat (1) menetapkan Daerah Tingkat II Sambas berkedudukan di Sambas. Kenyataan
menunjukkan (de facto) bahwa Ibu Kota Kabupaten Sambas berada di Singkawang, sehingga sebagian besar
pembangunan fisik ada di sekitar Singkawang. Perjuangan untuk mengembalikan Ibu Kota Kabupaten Sambas
dari Singkawang ke Sambas baru berhasil dengan keluarnya UU No. 10 Tahun 1999.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 14
cepat dan efektif untuk memperoleh akses ekonomi dan politik untuk membangun
wilayahnya.
Gambaran yang tidak jauh berbeda juga terjadi di DOB Kabupaten Bengkayang dan
Sambas. Usaha untuk memindahkan (mengembalikan) Ibu Kota Sambas dari Singkawang ke
Sambas dan adanya usaha untuk memekarkan diri dari wilayah Bengkayang untuk menjadi
DOB Kabupaten Bengkayang merupakan gambaran adanya ketidak puasan DOB Kabupaten
Sambas dan DOB Kabupaten Bengkayang terhadap Singkawang (sebagai Ibu Kota Sambas)
karena tidak meratanya pembangunan pelayanan publik. Secara faktual dapat diamati bahwa
(juga data sekunder) menunjukkan ketertinggalan wilayah pedalaman dan perbatasan
dibandingkan wilayah yang dekat dengan pusat pemerintahan Singkawang.
(3) Luasnya Rentang Kendali Pelayanan Publik
Usaha untuk mendekatkan pelayanan publik ke rakyat sebenarnya bisa dilakukan
dengan memperbanyak (menyebarkan ke pinggiran) pusat-pusat pelayanan publik (seperti
kantor kecamatan, puskesmas, Polsek, sekolah, dll), membangun prasarana jalan, dan
memberi kewenangan untuk melayani publik ke aras kecamatan. Namun selama belum ada
pemekaran (sejak jaman Orde Lama sampai Orde Baru), semua pembangunan lebih banyak
terpusat di ibu kota kabupaten. Oleh sebab itu pemekaran merupakan jalan tercepat
(langsung) dan efektif untuk mendekatkan pelayanan publik ke masyarakat.
Untuk wilayah Kalimantan Barat (termasuk Kabupaten Induk Sambas) yang
mempunyai wilayah sangat luas dengan garis perbatasan yang sangat panjang maka
pelayanan terhadap kepentingan publik menjadi suatu prioritas yang harus diusahakan oleh
kabupaten induk. Sebagai gambaran, rakyat di wilayah pinggiran atau perbatasan untuk
mencapai Ibu Kota Kabupaten Sambas harus menempuh perjalanan sekitar 200 Km yang
harus ditempuh (sebelum mekar) selama minimal 4 jam dengan ongkos kendaraan bisa
mencapai Rp 50.000,-. Kondisi ini mendorong munculnya DOB Kabupaten Sambas dan
DOB Kabupaten Bengkayang. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi di Buton yang
wilayahnya sangat luas dengan bentuk wilayah kepulauan. Hanya dengan memekarkan diri
dengan membentuk DOB Kabupaten Wakatobi, DOB Kabupaten Bombana, dan sampai
derajat tertentu Kota Otonom Bau-Bau maka pelayanan publik menjadi lebih dekat, murah,
dan efisien.
(4) Tidak Terakomodasinya Representasi Politik
Representasi politik dari suatu wilayah tertentu menjadi satu kebutuhan yang sangat
penting. Bagi daerah-daerah pinggiran yang mayoritas penduduknya mempunyai perbedaan
yang mencolok dengan mayoritas penduduk di wilayah Kabupaten Induk, selalu merasa
bahwa aspirasi mereka tidak terwadahi karena wakil-wakil yang duduk di pemerintahan
dianggap tidak merepresentasikan aspirasi kelompoknya. Ketidakterakomodasikannya
kepentingan dan representasi politik mereka menyebabkan mereka berusaha untuk
memekarkan diri demi untuk menunjukkan eksistensi dan politik identitas mereka.
Mekarnya Kabupaten Bengkayang dari Kabupaten Induk Sambas (juga mekarnya
Kota Singkawang) menunjukkan adanya usaha dari mayoritas rakyat di Kabupaten
Bengkayang dan Kota Singkawang untuk menunjukkan identitasnya yang memang berbeda.
Mayoritas penduduk di DOB Kabupaten Bengkayang (kecuali Kecamatan Sungai Raya,
Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, dan Kecamatan Capkala) adalah Suku Dayak yang
beragama Kristen (Katolik dan Protestan), sedangkan mayoritas penduduk Kota Singkawang
adalah Suku Cina yang beragama Non Islam. Kedua wilayah tersebut jelas berbeda dengan
wilayah DOB Kabupaten Sambas yang didominasi oleh Suku Melayu yang beragama Islam.
Oleh sebab itu kedua wilayah DOB tersebut mempunyai kecenderungan untuk menunjukkan
identitasnya yang memang berbeda dengan identitas mayoritas daerah induk. Sebagai
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 15
gambaran, pada akhir-akhir ini telah marak pemakaian simbol-simbol kesukuan dan agama
di tempat umum dan perkatoran DOB Kabupaten Bengkayang dan Singkawang. Semua itu
menunjukkan adanya usaha untuk menunjukkan eksistensi dari identitas yang memang
berbeda.
Kondisi yang sama juga terjadi di DOB Kota Singkawang. Pada awal Pemekaran
Kabupaten Sambas (UU Nomor 10 Tahun 1999) secara langsung telah meninggalkan Kota
Singkawang yang semula menjadi ibukota Kabupaten Sambas telah dipahami sebagai
penurunan status Singkawang menjadi hanya sekedar kecamatan, walaupun menurut
ketentuan perundang-undangan sesungguhnya Singkawang tetap berstatus sebagai kota
administratif (lihat juga catatat kaki no. 15). Kondisi ini menjadi penyebab utama munculnya
tuntutan rakyat Singkawang untuk mekar dan mandiri menjadi kota. Secara faktual,
Singkawang sudah menikmati menjadi Ibu Kota Kabupaten sejak keluarnya UU No 27 Tahun
1959 (lebih dari 40 tahun), tiba-tiba status kotanya turun hanya menjadi Ibu Kota Kecamatan
dengan keluarnya UU No 10 Tahun 1999. Dalam kondisi semacam ini banyak fasilitas fisik
yang kemudian ditinggalkan tanpa ada pemeliharaan. Selama statusnya turun, yaitu sekitar
dua tahun, Singkawang menjadi kota yang hampir tidak tersentuh dengan pembangunan.
Bahkan sejumlah bangunan fisik perkantoran tidak dimanfaatkan.
Keinginan para elit Singkawang untuk memperjuangkan pemekaran, selain
dilatarbelakangi oleh kekecewaan terhadap penurunan status dan kemerosotan kualitas
kesejahteraan hidup kota Singkawang, juga diwarnai kekhawatiran para elit Melayu untuk
berada dibawah dominasi Dayak bila Singkawang menjadi bagian dari Bengkayang. Semua
kondisi tersebut menyebabkan perjuangan untuk memekarkan diri merupakan satu-satunya
jalan yang paling cepat untuk mengatasi permasalahan ini.Gambaran yang sama juga ditemui
di Kabupaten Induk Buton terutama di DOB Kabupaten Bombana dan Wakatobi. Bagi
Wakatobi soal representasi politik tidak terlalu kuat dibandingkan dengan semangat
mewujudkan pelayanan publik. Sedangkan komunitas Bombana merasa bahwa selain
kurangnya akses untuk memperoleh sumber ekonomi dan politik, juga kurang
terepresentasikannya komunitas Moronene (yang merupakan mayoritas suku di DOB
Kabupaten Bombana), yang selama ini merasa termarginalkan. Upaya memisahkan diri bagi
Bombana sebenarnya telah dilakukan semenjak tahun 1948.16
Namun karena hegemoni
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, usaha ini baru berhasil dilakukan pada tahun 2003.
Usaha ini sebenarnya bukan merupakan prakarsa tunggal karena di Bombana juga
tinggal penduduk Kabaena dan suku Bugis. Komunitas Bombana ini, untuk membangun
kohesivitas sosialnya, mengembangkan cara pandang ”territorial-pluralis-inklusif” yang
mengandalkan tiga pilar Rumbia (Moronene) - Poleang (Bugis) – Kabaena (Moronene).
Komunitas ini melandasi diri dalam lembaga tandualle. Sebelum Bombana mekar,
pemerintah Kabupaten Buton melakukan hegemoni atas Bombana. Namun, pada saat yang
sama, meskipun baru berhasil pada tahun 2003, komunitas Bombana telah pula berhasil
melakukan counter-hegemony atas pemerintahan kabupaten induk. Kesadaran kolektif ini
juga menjadi kian mengerucut karena representasi politik (anggaran) melalui legislatif dari
Bombana tak juga mampu mewujudkan keadilan akses kue pembangunan. Bombana, yang
telah memberi kontribusi hampir 50 persen terhadap pendapatan Kabupaten Buton, ternyata
alokasi pembangunan infrastruktur wilayah Bombana dirasakan tidak adil. Dengan posisi
representasi seperti itu maka langkah pemisahan diri menjadi jalan keluar terbaik bagi
Bombana untuk membangun governance sendiri. Degan begitu Bombana akan memiliki
16
Di masa Hindia-Belanda komunitas sosial Moronene yang terhimpun dalam Kerajaan Moronene dimasukkan
dalam wilayah administrasi Kesultanan Buton. Masuknya Kerajaan Moronene ke dalam Kesultanan Buton ini
dipandang sebagai praktik hegemoni Kesultanan Buton atas Kerajaan Moronene. Ingatan kolektif inilah yang
juga mendorong usaha pemisahan diri dari Kabupaten Buton.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 16
identitas sendiri, otonom, dan representasi politik yang dibangun kelak tak direcoki dengan
hierarki yang tidak adil dalam membagi kue pembangunan.
3.1.2. Faktor Penyebab Yang Berupa Penarik (Kucuran Dana Dari Pusat).
Limpahan fiskal yang berasal dari APBN, yang dapat diwujudkan lewat turunnya
DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Kusus), merupakan sebuah simbol
bahwa kue pembangunan (dari negara pusat) dapat diakses melalui mekanisme pemekaran
ini. Dengan limpahan fiskal seperti ini sebenarnya menegaskan bahwa sumber satu-satunya
kue pembangunan (atau dalam bahasa lain disebut dengan common pools resources-CPR)
bagi daerah yang akan mekar dapat diakses. Jumlah fiskal sebelum mekar yang diterima
ketika itu dibandingkan dengan setelah mekar terlalu jauh bedanya. Kondisi semacam ini
menyebabkan semakin banyaknya wilayah yang mencoba memekarkan diri dengan alasan
untuk memperoleh limpahan dana dari pusat tersebut. Kondisi semacam ini terjadi baik di
Sambas maupun di Buton.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa hasil wawancara (lewat FGD) dengan
sejumlah tokoh di DOB Kabupaten Sambas yang sedang giat berjuang untuk memekarkan
kembali DOB Kabupaten Sambas menjadi tiga (Kabupaten Sambas, Kabupaten Sambas
Utara, dan Kabupaten Sambas Pesisiran). Demikian pula ada usaha untuk memekarkan
kembali DOB Kabupaten Buton menjadi tiga Kabupaten Baru, yaitu Kabupaten Buton,
Kabupaten Buton Selatan, dan Kabupaten Buton Barat (usaha di DOB Buton ini bahkan telah
masuk dalam Perda Kabupaten Buton). Berkaitan dengan usaha ini para elite yang
diwawancarai menyebutkan bahwa mereka tidak terlalu memperhitungkan ketidak
terpenuhinya sejumlah syarat untuk mekar (sesuai dengan PP No 129 Tahun 2000), yang
memang dapat dimanipulasi. Yang paling penting bagi mereka adalah turunnya DAU dari
pemerintah pusat. Dengan demikian maka pemekaran adalah satu-satunya jalan untuk
memperoleh akses terhadap sumber ekonomi dari pusat. Bahkan kesan ”balas dendam”
sangat terasa karena pemekaran merupakan ”pukulan balik” bagi pusat yang sudah cukup
lama dan cukup banyak menyerap kekayaan daerah untuk mengembalikan kekayaan tersebut
ke daerah.
Kasus nyata yang lain dapat dikemukakan proses pembangunan di DOB Kabupaten
Bengkayang. Semenjak menjadi DOB Bengkayang telah mengembangkan jumlah kecamatan
dari semula hanya tujuh kecamatan menjadi 17 kecamatan. Pembangunan kecamatan
biasanya akan diikuti oleh pembangunan sarana pelayanan publik yang lain seperti:
Puskesmas, Sekolahan (SLTP bahkan SLTA), Polsek, dan lain-lain (lihat lampiran 1). Selain
itu dengan adanya Dana Alokasi Umum maka Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkayang
dapat mengangkat sekitar 500 Calon Pegawai Negeri baru.Gambaran di DOB Kabupaten
Wakatabi juga menunjukkan hal yang sama. Perbandingan jumlah dukungan dana dari pusat
antara sebelum dan sesudah pemekaran menunjukkan perbedaan yang sangat besar. Dari
wawancara di lapang, kasus yang mirip juga terjadi di Bombana. Fakta ini juga menegaskan
bahwa negara pusat merupakan sebuah institusi satu-satunya yang dapat memberikan
common pools resources seperti ini. Tak ada sumber lain selain negara yang memungkinkan
untuk bisa diakses kue pembangunannya. Pada kasus pemekaran di Buton meski dibalut
dengan keinginan memperjuangkan identitas etnis, namun harapan memperoleh CPR juga
besar.17
17
Hasil wawancara dengan Ketua DPRD, Staf WWF dan ketua KNPI (tgl 30/3/2007), diperoleh informasi
bahwa, dihitung dari waktu sekarang (2007), Kabupaten Wakatobi sudah memasuki tahun ketiga dalam proses
penganggaran. Anggaran tahun pertama (2005) sebesar Rp 47 milyar, tahun kedua (2006) sebesar Rp 280
milyar, dan tahun ketiga (2007) sebesar 300 milyar. Setelah mekar, Kabupaten Wakatibi memperoleh dana
pembinaan dari Kabupaten Buton sebesar Rp 1,5 milyar. Sebelum mekar, oleh Kabupaten Buton, wilayah
Wakatobi mendapat alokasi pendanaan pembangunan senilai Rp 500 juta.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 17
3.2. Faktor-Faktor Yang Memfasilitasi Pemekaran
Dalam bagian ini akan disajikan sejumlah faktor pendukung yang yang
memungkinkan para aktor yang terlibat dalam proses pemekaran menggulirkan usaha
pemekaran. Cakupan dari faktor yang akan disebutkan berikut bisa jadi merupakan bentuk-
bentuk ketersediaan kerangka regulasi nasional, proses dan saluran-saluran prosedur yang
harus ditempuh, dan kemungkinan pengalaman yang sudah dirintis sebelumnya. Sejumlah
faktor pendukung mengapa pilihan pemekaran menjadi keputusan banyak daerah yang akan
mekar disajikan dibawah ini.
(1) Persiapan Pemekaran
Persiapan untuk memekarkan wilayah di Kabupaten Sambas sebenarnya telah terjadi
dalam waktu yang lama dan berjalan damai. Kabupaten Sambas yang pertama, terbentuk
berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang Penetapan UU Darurat No. 3 Tahun 1953
tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan Barat. Berdasarkan UU tersebut, Ibu
Kota Kabupaten Sambas ditetapkan di Sambas. Sejak tahun 1963 status kawedanan dihapus
sehingga wilayah Pemerintahan Kabupaten Sambas berubah menjadi 15 wilayah kecamatan
dan pada tahun 1988, kecamatan bertambah menjadi 19 kecamatan. Dua kecamatan
diantaranya merupakan bagian wilayah dari Pemerintahan Kota Adminstratif Singkawang.
Lintasan sejarah panjang tersebut tidak hanya menampakkan adanya usaha untuk
mekar namun dibalik semua peristiwa formal tersebut juga menunjukkan peristiwa dan gejala
yang meletakkan berbagai suku di Kalbar untuk bersaing dan saling berhadapan. Perseteruan
antar suku tersebut dapat dilacak kembali sejak pemerintahan Belanda. Sudah sejak jaman
kasultanan melayu yang Islam, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda harus menghadapi
pemberontakan dari para sultan. Pada abad 19 pemerintah Belanda juga harus menghadapi
kerusuhan di kongsi-kongsi penggalian tambang oleh orang-orang Cina yang datang dari
daratan Cina. Sementara itu komunitas Dayak di pedalaman yang kurang berkembang secara
ekonomis memperoleh kemajuan di bidang pendidikan dan kesehatan dari kehadiran zending.
Kedekatannya dengan Belanda menyebabkan Suku Dayak “menjadi mempunyai jarak”
dengan kedua suku (Melayu dan Cina) lain yang juga merupakan suku-suku utama.
Pemekaran Kabupaten Sambas sebenarnya tidak lepas dari adanya tuntutan awal
pemindahan Ibu Kota Kabupaten Sambas dari Singkawang ke Sambas. Perjuangan untuk
memindahkan Ibu Kota Kabupaten ini diawali dengan adanya aspirasi, tuntutan, dan gerakan
masyarakat Sambas yang muncul pada tahun 1961. Tuntutan pemindahan ini didasarkan pada
UU No. 27 tahun 1959 tentang Pembentukan daerah Tingkat II Di Kalimantan (Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 1953), yang dalam pasal 3 ayat (1) menetapkan
Daerah Tingkat II Sambas berkedudukan di Sambas.
Kenyataan menunjukkan (de facto) bahwa Ibu Kota Kabupaten Sambas berada di
Singkawang. Penunjukkan ini menyebabkan konsentrasi pembangunan berada di
Singkawang, yang kebetulan mayoritas sukunya adalah Suku Cina. Hal ini menyebabkan
Sambas, yang mayoritasnya Suku Melayu, kemudian hanya menjadi daerah pinggiran yang
secara fisik menjadi tertinggal. Perkembangan politik semasa Orde Baru juga tidak
memberikan perbaikan posisi hubungan antar etnis di atas. Pada tahun 1967, pada akhir era
konfrontasi dengan Malaysia telah membawa nasib buruk bagi Etnis Cina. Pada masa itu
muncul tuduhan bahwa komunitas Cina di hulu-hulu sungai, di pedalaman, dan di perbatasan
dengan Serawak, merupakan sumber dukungan logistik dari kelompok PGRS/PARAKU.
Atas dasar tuduhan tersebut, mereka di kejar-kejar, banyak yang di bunuh, dan dipaksa
pindah dari daerah hulu sungai di pedalaman, ke kota-kota di pesisiran, melalui sebuah
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 18
operasi militer yang didukung oleh para tokoh adat Dayak setempat. Diantara tahun 1967-
1972 setidaknya 100.000 etnis Cina di relokasi.
Dengan demikian proses pemekaran Kabupaten Sambas yang berjalan sudah sangat
lama dan kelihatannya damai, namun pada kenyataannya proses damai tersebut sebenarnya
berada di atas tumpukan bara persaingan dan pertentangan antar etnis yang sangat kuat, yang
setiap saat akan meledak. Ketegangan dan konflik antara Suku Dayak dengan Suku Madura
pada sekitar tahun 1997, kemudian mengalami akselerasi konflik yang luar biasa pada era
reformasi. Peristiwa “penghapusan” Suku Madura dari Daerah Kabupaten Sambas pada Era
Reformasi, yang dilakukan baik oleh Suku Dayak maupun Suku Malayu, sebenarnya juga
merupakan manifestasi ketegangan dan konflik tersebut. Dengan demikian maka pemekaran
daerah dari Kabupaten Sambas menjadi Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, dan
Kota Singkawang, yang kebetulan ketiga wilayah kabupaten/kota baru tersebut jatuh sama
dengan perbedaan suku dan agama di masing-masing wilayah, merupakan satu-satunya jalan
bagi masing-masing kelompok di atas memperoleh akses ekonomi dan politik di Kalimantan
Barat. Selain itu muncul pula pandangan di kalangan kelompok elite dari suku-suku utama di
Sambas, yang menganggap adanya pemekaran Kabupaten Sambas akan dapat meredam
ketegangan dan konflik antar suku-suku utama di Kalimantan Barat (Sambas).
Dari uraian proses perjuangan yang sangat panjang tersebut maka munculnya
pemekaran dapat lebih dipercepat karena proses penyiapannya sudah berjalan lama. Adanya
persiapan pemekaran juga terjadi di Kabupaten Buton. Dari catatan yang terdokumentasikan,
proses pemekaran di kabupaten Buton diawali dengan keluarnya SK Bupati Kabupaten Buton
Nomor 46 Tahun 1999 tertanggal 25 Mei 1999 tentang pembentukan Tim Khusus untuk
mempersiapkan Bau-Bau menjadi kota otonom, pemindahan kabupaten Buton dan
pembentukan Kabupaten Wakatobi. Meskipun SK ini tidak menyebut Kabupaten Bombona,
tetapi prakarsa lokal untuk mempersiapkan pemisahan diri Bombana dari Kabupaten Buton
telah jauh dirintis sebelumnya. Bagi Kabupaten Buton Baru (sisa setelah dimekarkan) atau
sering disebut dengan kabupaten induk, prakarsa mekar ini juga berimpit dengan keinginan
untuk mewujudkan kembali kejayaan Kesultanan Buton melalui pembentukan Provinsi Buton
Raya. Alasan lain bagi kabupaten induk untuk melepaskan sebagian wilayahnya adalah
rentang kendali yang memang panjang dengan kawasan yang akan dimekarkan ini.
(2) Political Crafting Oleh Elite
Dengan melihat perkembangan sosial politik dan fisik baik di Sambas maupun Buton,
nampak ada sejumlah permasalahan mendasar yang dapat menyebabkan pemekaran di
wilayah masing-masing. Namun demikian semua faktor tersebut tidak akan mencapai hasil
seperti sekarang kalau tidak ada campur tangan elite lokal, regional, dan pusat yang
memanfaatkan kondisi yang ada untuk memekarkan daerah. Semua permasalahan tersebut
merupakan kombinasi faktor yang sangat kuat yang oleh elite lokal, regional, dan pusat
dijadikan dasar bagi ide dan perjuangan pemekaran daerah. Di dalam hal ini dapat terjadi
bahwa di satu pihak para elite daerah (atau elite pusat yang berasal dan berakar di daerah)
memiliki peluang untuk memperoleh akses ke sumber-sumber ekonomi dan politik bagi
kepentingan pribadi (rent seekers), namun di lain pihak bisa juga memang betul-betul di
desak oleh rakyat di daerahnya untuk memperjuangkan pemekaran agar semua permasalahan
tersebut dapat diatasi
Munculnya aktor-aktor elite yang hadir sebagai pejuang pemekaran yang dengan
alasan apapun mampu mendorong penyiapan proses proses menjadi sebuah kenyataan. Para
elite ini ternyata memegang peranan penting dalam membaca dan sekaligus menyikapi
perkembangan tata pemerintahan. Mereka juga mengikuti perjalanan sejarah Kabupaten
Sambas atau Kabupaten Buton yang sebelumnya merupakan bentuk Kasultanan Sambas dan
Kasultanan Buton kemudian terjadi pembekuan monarki yang diikuti dengan pembentukan
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 19
kabupaten bar. Elite ini juga belajar bagaimana menyikapi hadirnya regulasi dalam bentuk
UU No. 5 tahun 1974 dan kemudian UU No. 22 tahun 1999 dan PP 129 tahun 2000.
Dinamika elite ini bukan saja sebatas bergerak pada teritori di mana ia berdomisili, tetapi
juga membangun jejaring pada aras provinsi dan pusat. Jika dapat dikategorisaskan, maka
para elite ini dapat dipilah dalam tiga kelompok, yakni: birokrasi, legislatif, tokoh masyarakat
(civil society), dan gabungan dari ketiganya. Dalam praktik membangun interaksi politik, bisa
terjadi elemen-elemen elite tersebut menjadi berbaur. Meski demikian, wilayah yang mekar
baik di Sambas maupun Buton dapat ditandai dengan aktifnya elite yang berasal dari elemen
birokrasi dan politisi. Sedangkan dari DOB Kabupaten Sambas dan DOB Kabupaten
Bombana, elite yang aktif dalam proses pemekaran didominasi oleh peran tokoh civil society.
Elite (yang sama) ini jika dicermati ternyata tidak hanya aktual dalam satu penggal
momentum pemekaran saja, melainkan juga proaktif menyikapi perkembangan perpolitikan
pascapemekaran.
(3) Kondisi Perpolitikan Nasional
Kondisi perpolitikan nasional yang membuka ruang politik dan ruang untuk
memekarkan diri, sebagaimana diundangkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan PP 129
Tahun 2000, menjadi akselerator pemekaran daerah. Sejumlah alasan pemekaran yang sudah
diuraikan di atas, sebenarnya menjadi tidak cukup signifikan jika tidak ada kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah tentang desentralisasi yang di antaranya mengatur tentang penataan
daerah. Dengan keluarnya regulasi seperti itu, maka bagi sejumlah aktor
politik/birokrasi/tokoh lokal, regulasi semacam ini tidak hanya menjadi akselerator
pemekaran namun juga menjadi ruang satu-satunya untuk merealisasikan ketidakpuasan atas
sulitnya rentang kendali, disparitas akses kue pembangunan, pertimbangan akan
dikucurkannya limpahan fiskal, yang sekaligus berimpit dengan kesadaran kolektif akan
kejayaan masa lalu, menjadi dorongan kuat untuk mekar.
Diluncurkannya regulasi UU No 22 tahun 1999 dan PP 129 Tahun 2000 tidak diikuti
dengan penegakan syarat regulatif yang kualitatif. Syarat pemekaran hanya didominasi
indikator kuantitatif. Dengan substansi regulasi seperti ini maka ruang untuk melakukan studi
kelayakan menjadi relatif longgar. Dalam posisi seperti ini, maka dapat dikatakan bahwa
pihak negara berada pada posisi yang relatif lemah.
(4) Pertimbangan Keamanan Wilayah Perbatasan
Khusus untuk Wilayah Sambas yang mempunyai daerah perbatasan yang sangat
panjang dengan Serawak Malaysia dan Singapura, terdapat faktor yang mengakselerasi
terjadinya pemekaran, yaitu adanya skenario dari atas untuk dimekarkan dengan
pertimbangan utama adalah memperkuat keamanan wilayah NKRI. Di lihat dari aspek
pertahanan keamanan (hankam), daerah perbatasan semacam Kabupaten Sambas ini cukup
rawan karena orang asing (yang dapat dianggap musuh) dapat dengan mudah keluar masuk
wilayah Indonesia. Dengan demikian Kabupaten Sambas dengan wilayah perbatasan yang
sangat panjang ini, dilihat dari segi keamanan memang menuntut perhatian ekstra dan spesial.
Berkaitan dengan keamanan di wilayah perbatasan tersebut, pada tahun 1988
munculah Perda di Propinsi Kalimantan Barat yang mempersiapkan ide pemekaran di
Kabupaten Sambas dengan tujuan utama selain untuk membuka isolasi daerah perbatasan
juga sekaligus ada upaya untuk lebih memperhatikan keamanan di wilayah perbatasan
dengan sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata) yang lebih mendorong
partisipasi rakyat untuk ikut menjaga keamanan di wilayah perbatasan. Pada tahun 1994
muncul pula skenario pemekaran Kabupaten Sambas yang tercantum dalam Pola Dasar
Pembangunan Daerah Tingkat II Kabupaten Sambas. Dari dua fakta di atas nampak bahwa
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 20
munculnya ide pemekaran wilayah Kabupaten Sambas sebenarnya juga diakselerasi
(diwarnai) oleh skenario dan rancangan dari pihak pusat (paling tidak pada aras provinsi dan
kabupaten), dengan menekankan pemeliharaan aspek keamanan di wilayah perbatasan.
Dengan demikian maka pemekaran wilayah Kabupaten Sambas yang memiliki wilayah
perbatasan sangat panjang, adalah suatu keharusan demi menjaga keamanan wilayah
perbatasan. Walaupun demikian, ide dan skenario pemekaran Kabupaten Sambas yang
berasal dari atas tersebut dan yang menyangkut keamanan ini, nampaknya cocok dengan ide
pemekaran dari elite dan rakyat Kabupaten Sambas untuk memekarkan diri dengan berbagai
macam alasan. Kombinasi dan resultante dari dua kehendak untuk mekar itulah yang
mendorong pemekaran di Sambas dapat terjadi lebih cepat.
4. PROSES SOSIAL POLITIK PEMEKARAN DAN PELESTARIAN HASIL
PEMEKARAN
Pembahasan tentang proses pemekaran Kabupaten Sambas dan Kabupaten Buton
tidak hanya pada aspek bagaimana pemekaran tersebut diperjuangkan namun juga proses
pemeliharaan (pelestarian) yang dilakukan oleh daerah otonomi baru sehingga mencapai
bentuk daerah otonom seperti yang terjadi sekarang ini.
4.1. Proses Perjuangan Pemekaran
Usaha untuk memperjuangkan pemekaran dapat dilihat dari tiga segi yaitu: (1). Peran
elite lokal dan elite pusat di dalam memperjuangkan pemekaran; (2). Adanya perjuangan
rakyat yang berada di daerah; dan (3). Proses pemenuhan syarat administratifi. Berikut ini
gambaran ke tiga segi yang berkaitan dengan proses perjuangan untuk mekar.
(1) Peran Elite Politik Lokal
Adnya pemekaran sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari adanya usaha konsolidasi
para elite (birokrasi, politisi, ketua-ketua adat, dan pengusaha) baik di aras lokal, regional,
maupun nasional (pusat). Usaha yang dilakukan oleh para aktor pemekaran ini selain dalam
bentuk konsolidasi elite dan mobilisasi massa juga dilakukan upaya pemenuhan sejumlah
persyaratan adminsitrasi. Berdasar kenyataan adanya permasalahan di daerah dan munculnya
sejumlah faktor penyebab seperti terurai di muka menyebabkan munculnya sejumlah tokoh
yang memperjuangkan pemekaran. Di bagian muka juga disebutkan bahwa para elite ini
kemudian juga berfungsi sebagai akselerator pemekaran. Proses yang dilakukan oleh para
elite untuk memperjuangkan pemekaran adalah melakukan pengembangan jejaring dengan
aktor elite negara (birokrasi) dan elite politik baik di aras lokal maupun nasional.
Pembangunan jejaring ini merupakan keharusan karena dalam proses-proses penyiapan
pemekaran diperlukan relasi pengambilan keputusan, baik resmi maupun tidak resmi, untuk
memuluskan persiapan pemekaran. Kesadaran kolektif berbasis teritori-etnik dari tokoh
masyarakat (civil society) memaksa mereka untuk bekerjasama dengan pejabat negara pada
aras kabupaten, provinsi, bahkan pusat. Pada saat yang sama, mereka juga menyadari bahwa
ada sejumlah saluran politik untuk menguatkan proses pemekaran yang juga harus digunakan
untuk mendukung proses pemekaran ini, misalnya anggota DPR RI di Komisi II. Mobilisasi
kaum elite di calon Daerah Otonomi Baru (DOB) dalam menyiapkan pemekaran memiliki
dinamika sendiri-sendiri. Dinamika mobilisasi elite ini juga berimpit dengan proses interaksi
politik. Secara keorganisasian, para elite pejuang pemekaran ini mengorganisasi diri dalam
bentuk panitia.
Kepanitiaan ini bisa bersifat tidak resmi namun pada akhirnya juga bersifat resmi.
Kegiatan yang pertama yang biasanya dilakukan adalah dengan mengadakan diskusi-diskusi
informal, seminar resmi, sampai kepada bentuk-bentuk unjuk rasa damai. Semua kegiatan ini
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 21
biasanya dilakukan pada masa awal sebelum munculnya UU No 22 Tahun 1999. Kepanitiaan
ini juga bertugas dalam merumuskan proposal atau profil daerah yang akan mekar dengan
merujuk pada PP 129 Tahun 2000. Proposal atau studi kelayakan ini kemudian mereka
konsultasikan dengan konsultan independen, kelengkapan resmi dari DPRD, dan Gubernur.
Persiapan ini juga mengakomodasikan lobi dan penyampaian aspirasi kepada DPR RI dan
Depdagri. Konsolidasi yang bertumpu pada aktivitas para elite inilah yang kemudian
bermuara pada sejumlah kegiatan terencana seperti: penyiapan proposal pemekaran,
kelayakan pemilihan calon ibukota kabupaten, permohonan restu dari gubernur, permohonan
restu dari DPRD, penyaluran aspirasi kepada DPR RI Komisi II (yang salah satunya adalah
putra daerah Wakatobi). Selain konsolidasi elite pejuang pemekaran ini muncul pula
mobilisasi massa dari sejumlah kelompok pendukung pemekaran.
Diperoleh kesan bahwa “kerjasama” antar aktor-aktor politik lokal dan nasional
(lobbying)dapat memunculkan praktek penyuapan untuk mempercepat proses pemekaran.
Disamping itu adanya semangat yang besar untuk memekarkan diri menyebabkan di satu
pihak terjadinya manipulasi regulasi pemekaran kabupaten/propinsi, namun di lain pihak
proses pemekaran tersebut menjadi peluang pengungkapan aspirasi dan hak politik
masyarakat lokal untuk memperoleh otonomi daerahnya. Hasil wawancara menunjukkan
bahwa secara terbuka diakui adanya manipulasi beberapa data terutama menyangkut kesiapan
fisik untuk memenuhi persyaratan pemekaran.
Di Sambas peran elite lokal di dalam memperjuangkan pemekaran Keberhasilan
pemekaran Kabupaten Sambas tidak dapat dipisahkan dari peran elite lokal di dalam
memperjuangkan pemekaran tersebut sekaligus juga memperjuangkan kesempatan untuk
memperoleh akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik. Para elite daerah tersebut
dapat berupa elite di kalangan pemerintahan (termasuk para birokrat, anggota DPRD dan
anggota DPR), elite pengusaha, dan elite atau tokoh agama dan budaya. Dapat pula
dikemukakan bahwa di Kabupaten Sambas peran elite yang menjadi tokoh budaya
masyarakat juga memegang peran besar di dalam proses pemekaran tersebut. Di wilayah
bekas Kasultanan atau Kerajaan Sambas, sultan (raja) dan kerabatnya mempunyai peran
penting di dalam ide dan proses pemekaran wilayah. Di dalam hal ini bisa saja sultan atau
raja dan kerabatnya hanya dijadikan alat oleh elite tertentu untuk mencapai maksudnya.
Khusus Pemekaran Kabupaten Sambas juga tidak bisa dilepaskan dari peran elite
politik dan elite militer di aras pusat. Proses pemekaran di Kabupaten Sambas sebenarnya
selalu terkait dengan ide dan design pemekaran yang ada di tataran pemikir pusat atau
provinsi. Seperti diuraikan di muka design pemekaran Kabupaten Sambas yang mempunyai
wilayah perbatasan sangat panjang, juga ditentukan oleh adanya usaha dari elite nasional
untuk mengamankan wilayah perbatasan dengan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta.
Berkaitan dengan keamanan di wilayah perbatasan tersebut, pada tahun 1988 munculah Perda
di Propinsi Kalimantan Barat yang mempersiapkan ide pemekaran di Kabupaten Sambas
dengan tujuan utama selain untuk membuka isolasi daerah perbatasan juga sekaligus ada
upaya untuk lebih memperhatikan keamanan di wilayah perbatasan dengan sistem Pertahanan
Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata) yang lebih mendorong partisipasi rakyat untuk ikut
menjaga keamanan di wilayah perbatasan.
Pada tahun 1994 muncul pula skenario pemekaran Kabupaten Sambas yang tercantum
dalam Pola Dasar Pembangunan Daerah Tingkat II Kabupaten Sambas. Di dalam Pola Dasar
tersebut secara jelas dirancang bahwa pada akhirnya Kabupaten Sambas akan dipecah
menjadi tiga yaitu: Kabupaten Sambas Utara dengan ibukota Sambas; Kabupaten Sambas
Selatan dengan ibukota Bengkayang; dan Kota Madya Dati II Singkawang dengan ibukota di
Singkawang. Dengan demikian maka proses pemekaran Kabupaten Sambas sebenarnya
sudah berjalan lama dan memperoleh dukungan dari elite di aras nasional dan pusat, terutama
justru dari pihak Hankam. Proses pemekaran tersebut memperoleh percepatannya pada era
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 22
reformasi. Munculnya UU Nomor 10 Tahun 1999 (yang mendahului UU No 22 Tahun 1999)
merupakan fakta bahwa pemekaran di Kabupaten Sambas memang terkait dengan
persetujuan dan design dari pihak pusat.
Dari dua fakta di atas nampak bahwa munculnya ide pemekaran wilayah Kabupaten
Sambas sebenarnya diwarnai juga dengan skenario dan rancangan oleh elite di aras pusat
(paling tidak pada aras provinsi dan kabupaten), dengan menekankan pemeliharaan aspek
keamanan di wilayah perbatasan. Dengan demikian maka pemekaran wilayah Kabupaten
Sambas yang memiliki wilayah perbatasan sangat panjang, adalah suatu keharusan demi
menjaga keamanan wilayah perbatasan. Walaupun demikian, ide dan skenario pemekaran
Kabupaten Sambas yang berasal dari elite pusat tersebut dan yang menyangkut keamanan ini,
nampaknya juga cocok dengan ide dan perjuangan pemekaran dari elite dan rakyat
Kabupaten Sambas yang memang sudah ada sebelum ide dan usaha dari elite tersebut terjadi.
Kenyataan ini menyebabkan proses pemekaran Kabupaten Sambas sebenarnya merupakan
proses yang memperoleh dukungan baik dari atas maupun dari bawah dan telah melalui suatu
proses seleksi alam yang sangat panjang. Dengan demikian maka keberadaan Daerah
Otonomi Baru di ex Kabupaten Sambas sebenarnya merupakan daerah yang memang secara
teknis dan ideologi telah lebih siap untuk mekar.
Di Kabupaten Buton adanya sinyal pemekaran yang berasal dari regulasi tentang
penataan daerah pada aras nasional (UU No 22 Tahun 1999), langsung terjadi akselerasi
persiapan pemekaran setidaknya dalam dua gelombang penyiapan administrasi. Pertama,
mobilisasi pemekaran Kota Administratif Bau-Bau menjadi Kota Otonom Bau-Bau
Mobilisasi ini berujung pada penetapan Bau-Bau sebagai Kota Otonom pada 2001. Penetapan
Bau Bau sebagai Kota otonom berarti menepis peluang turun status menjadi kecamatan.18
Kedua, penyiapan wilayah Wakatobi dan Bombana menjadi kabupaten baru yang terealisasi
ssecara bersamaan pada tahun 2003. Penetapan dua kabupaten baru ini bersamaan dengan
penetapan Kolaka Utara sebagai kabupaten baru yang tertuang dalam UU No 29/2003. Proses
mobilisasi ini sendiri memerlukan interaksi politik di antara para pejuang pemekaran dan
pejabat aras kabupaten, provinsi, dan pusat.
(2) Proses Perjuangan Panjang Rakyat di Daerah
Proses pemekaran Daerah baik di Kabupaten Sambas maupun di Kabupaten Buton
sebenarnya juga ditentukan oleh perjuangan panjang rakyat di wilayah yang bersangkutan
untuk memekarkan diri. Sebagai gambaran yang lebih jelas adalah proses perjuangan untuk
memindahkan Ibukota dari Singkawang ke Sambas merupakan proses perjuangan yang
sangat panjang namun damai dengan menggerakkan sebagian besar organisasi
kemasyarakatan di Kabupaten Sambas terutama di daerah Suku Melayu (Sambas Pesisir).
Perjuangan untuk memindahkan Kabupaten dari Singkawang ke Sambas sebenarnya dapat
dibagi menjadi tiga periode perjuangan yaitu: (a). Periode Tahun 1960 – 1970; (b). Periode
tahun 1980an; dan (c). Periode tahun 1990an.
Perjuangan untuk memindahkan Ibu Kota Kabupaten ini diawali dengan adanya
penyampaian aspirasi, tuntutan, dan gerakan masyarakat Sambas yang muncul pada tahun
1961. Sejumlah organisasi kemasyarakatan ikut terlibat di dalam proses penyampaian
aspirasinya. Tuntutan pemindahan ini didasarkan pada UU No. 27 tahun 1959 tentang
Pembentukan daerah Tingkat II Di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 9
18
Dalam sebuah lembaran informasi mengenai Pembentuan Daerah Otonom Baru Setelah Terbitnya UU No. 22
Tahun 1999, tercatat bahwa pada tahun 1999 terdapat 24 Kota Administratif. Dari 24 kota administratif ini yang
naik status menjadi kota otonom berjumlah 16, termasuk di dalamnya adalah Bau Bau dan Singkawang (UU No.
2 Tahun 2001 tertanggal 21 Juni 2001). Sedangkan 8 kota administratif lainnya turun menjadi berstatus
kecamatan. Kedelapan kotif yang turun menjadi kecamatan adalah: Baturaja, Kisaran, Rantau Prapat,
Watampone, Jember, Cilacap, Klaten, dan Purwokerto.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 23
Tahun 1953), yang dalam pasal 3 ayat (1) menetapkan Daerah Tingkat II Sambas
berkedudukan di Sambas”. Gerakan-gerakan masyarakat pada dekade 60-an tersebut tidak
direspon oleh pemerintah secara positif, bahkan pada tanggal 1 April 1963 terbit Surat
Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No. Dbs. 52/2/36-33 yang
memutuskan pemindahan tempat kedudukan Pemerintah Daerah Tingkat II Sambas dari
Sambas ke Singkawang dan mulai berlaku surut sejak 1 Januari 1963.
Gerakan masyarakat untuk mengembalikan Ibu Kota Dati II Sambas kembali muncul
pada tahun 1988. Bermula dari kegiatan MTQ tingkat Propinsi Kalbar yang diadakan di
Sambas, secara terus menerus sejak tahun 1988, 1989, 1990 yang mengggulirkan keinginan
kuat untuk mengembalikan Ibu Kota Dati II Sambas ke Sambas. Sejumlah usaha untuk
menyampaikan aspirasi-aspirasi masyarakat Sambas mengenai pemekaran wilayah
Kabupaten Dati II Sambas ditujukan kepada DPRD II, Sambas, DPRD I Kalbar, dan DPR RI,
serta Bupati Sambas dan Gubernur Kalbar.
Menindaklanjuti aspirasi masyarakat tersebut, Pemda Dati II Sambas membentuk Tim
Peneliti Kemampuan Wilayah yang akan dimekarkan dengan SK Bupati No. 326 tahun 1994
tanggal 14 Oktober 1994 yang kemudian melaksanakan tugas dengan merumuskan pokok-
pokok pikiran tentang pemekaran wilayah. Selanjutnya Bupati Kepala Daerah Dati II Sambas
dengan surat nomor 135/032/Tapem tanggal 8 Januari 1996 Tanggal 21 Desember 1995
menjelaskan kepada DPRD Tingkat II Sambas tentang perlunya menindaklanjuti aspirasi
masyarakat yang berkembang dengan melakukan pengkajian secara mendalam.
Pada tahun 1996 di tingkat Kabupaten Sambas telah dibentuk Tim Penelitian dan
Evaluasi Pemekaran Kabupaten Sambas dengan SK Bupati Sambas No. 406 tahun 1996 yang
merupakan penyempurnaan SK Bupati KDH Tingkat II Sambas No. 326 Tahun 1994 tanggal
14 Oktober 1994. Gubernur KDH Tingkat I Kalbar dengan Surat Nomor 135/0728/Pem.C.
tanggal 15 Pebruari 1996, meminta agar Bupati Sambas dan DPRD Sambas segera
mengambil langkah-langkah konkrit untuk mewujudkan aspirasi masyarakat. Sehubungan
dengan surat Gubernur di atas, kemudian DPRD Tingkat II Sambas dengan surat No.
135/200/DPRD tanggal 13 Juni 1996 melalui Bupati KDH II Sambas meminta agar Tim
Pemekaran Daerah Otonom segera menyusun Proposal Pemekaran Wilayah. Pada tahun 1996
tersebut di tingkat Kabupaten Sambas telah dibentuk Tim Penelitian dan Evaluasi Pemekaran
Kabupaten Sambas dengan SK Bupati Sambas No. 406 tahun 1996. Surat Keputusan ini
merupakan penyempurnaan dari SK Bupati No. 326 Tahun 1994. Tim ini bertugas menyusun
proposal untuk diajukan kepada Pemda Sambas.
Berdasar hasil kajian team ini akhirnya Bupati KDH II Sambas mengusulkan kepada
Pemerintah Pusat tentang pemekaran Kabupaten Sambas menjadi Kota Madia Singkawang;
Kabupaten Sambas; dan Kabupaten Bengkayang. Namun keputusan Pusata lewat UU Nomor
10 Tahun 1999 hanya membagi Kabupaten Sambas menjadi Kabupaten Sambas dengan
ibukota di Sambas dan Kabupaten Bengkayang. Dengan demikian muncul pula permasalahan
yang menginginkan Singkawang menjadi Kota Otonom Baru.Untuk memperkuat tekanan
politik oleh para elite politik dibentuklah organisasi-organisasi pergerakan masyarakat.
Paling tidak ada lima belas organisasi yang mendukung pembentukan Kota Singkawang.
Kebanyakan organisasi itu merupakan bentukan baru dan bersifat instan. Namun dalam
perkembangannya beberapa diantaranya tetap eksis, berkembang dengan baik dan menjadi
awal /embrio dari kebangkitan organisasi civil society di Singkawang.
Salah satu organisasi penting khususnya dalam loby politik dan pendanaan adalah
Kelompok Peduli Singkawang (KPS). Kelompok ini beranggotakan 17 orang yang terdiri dari
beberapa tokoh politik, birokrat, dan pengusaha. Ada sembilan pengusaha yang bergerak di
perbagai bidang, antara lain jasa konstruksi (kontraktor), pengadaan barang, percetakan,
perhotelan, dsb bergabung dalam KPS. KPS ikut mendampingi panitia pemekaran yang
dibentuk Bupati Bengkayang untuk melakukan lobi di tingkat daerah, propinsi, bahkan juga
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 24
pusat. Perwakilan mereka ikut ke Jakarta dalam pertemuan dengan Tim Konsultan
Independen di Hotel Mercury Jakarta. Dalam mengusahakan dana, mereka juga berusaha
menghimpun dana dari jaringan pengusaha Cina Singkawang di Jakarta dan di kota-kota
besar lain di Indonesia. Perjuangan yang tidak dilakukan dengan kekerasan tersebut akhirnya
berhasil disetujui oleh Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2001, yang menetapkan Singkawang sebagai Kota Otonom.
Proses yang sama sebenarnya juga terjadi pada pemekaran di wilayah Buton. Sebagai
contoh dapat dikemukakan secara ringkas proses perjuangan rakyat Buton di dalam
memperjuangkan Kota Bau-Bau sebagai Kota Otonom, seperti terlihat pada boks di bawah
ini.
(3) Proses Pemenuhan Persyaratan Administratif
Para aktor yang memperjuangkan pemekaran tak bisa mengelak dari ketentun
persyaratan indikator yang harus dipenuhi sebagaimana diamanatkan dalam PP 129 Tahun
2000. Khusus untuk persiapan Kotif Bau-Bau menjadi Kota Otonom, penyiapan proposal
dibantu oleh Tim CRISE dari Jakarta. Dalam penyiapan proposal pemekaran, sebenarnya
juga terbuka peluang untuk melakukan manipulasi data, meskipun secara teoretik manipulasi
data tersebut sebenarnya dapat ditekan dengan adanya indikator kuantitatif yang kebanyakan
bersumber dari data Biro Pusat Statistik. Hanya saja justru karena sudah diketahui sumber
legitimasi data ada pada lembaga BPS, maka melalui pintu inilah kemudian data, misalnya
tentang luas wilayah dan jumlah penduduk, di mark-up.
Proses pemenuhan syarat-syarat administratif ini juga tidak terlepas dari usaha dan
persepsi para elite yang ada di aras nasional. Persepsi penataan daerah pada aras nasional,
yang dikerucutkan menjadi persoalan pemekaran, merupakan sebuah usaha melacak persepsi
penerapan kebijakan penataan daerah sebagaimana diatur dalam UU 22 Tahun 1999 (yang
kemudian direvisi dalam UU No 32 Tahun 2004) dan PP 129 Tahun 2000. Persepsi bertolak
dari sumber dokumen dan wawancara pada sejumlah informan kunci. Persepsi yang hendak
digali merujuk pada penelitian di lapang (dua studi kasus di wilayah yang mekar Sambas,
Kronologi Pemekaran Kotif Bau Bau menjadi Kota otonom Bau Bau
20 Mei 1999 – Walikota Administratif Bau Bau, Umar Abibu mengajukan usulan
peningkatan status Kotif Bau Bau menjadi Kota otonom kepada Bupati
Buton
25 Mei 1999 – Bupati Bupton, Saidoe, menerbitkan SK Pembentukan Tim Khusus untuk
mempersiapkan Bau Bau menjadi kota otonom, pemindahan ibukota
Kabupaten Buton, dan pembentukan Kabupaten Wakatobi.
01 Juni 1999 – Mosi Aspirasi untuk peningkatan status kot administratif menjadi kota
otonom dari Forum Silaturohmi partai Politik Kabupaten Buton kepada
Mendagri (17 partai politik)
10 Juni 1999 – Resolusi Forum Silaturahmi Partai Politik Kabupaten Buton kepada Bupati
Buton yang terkait dengan ibukota Kabupaten ditempatkan di Batuaga.
14 Juni 1999 – Permintaan Bupati Buton kepada DPRD Kabupaten Buton dalam rangka
peningkatan status kotif Bau Bau menjadi kota otonom.
28 Juni – Persetujuan DPRD Kabupaten Buton mengenai peningkatan kota
adminsitratif Bau Bau menjadi kota otonom
01 Juli 1999 – Usulan Bupati Buton kepada Gubernur Kendari untuk peningkatan status
kotif Bau Bau menjadi kota otonom.
19 Juli 1999 – Perantara rekomendasi dari DPRD provinsi untuk peningkatan status Kotif
Bau Bau menjadi Kota otonom
06 Agustus 1999 – Persetujuan DPRD Provinsi atas usul peningkatan status kota Bau-Bau.
14 Agustus 1999 – Penetapan DPRD Kab. Buton tentang ibukota Kabupaten Buton: Loompo,
Batuaga.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 25
Provinsi Kalimantan Barat, dan Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pemaparan persepsi ini
akan disajikan dari dialektika persepsi negatif dan persepsi positif.
Kecenderungan ”membingkai” kerja DPOD oleh elite politik yang tak berdasarkan
pada kajian akademik tetapi lebih mengutamakan proses prosedural dan legal-formal
mengakibatkan pihak yang bekerja adalah tim teknis yang rawan manipulasi data. Dengan
kata lain determinasi politik terhadap DPOD selain dilakukan oleh para politisi juga
dilakukan oleh tim teknis, yang prosesnya tidak transparan bagi publik.
Kerja Tim Teknis dan Tim Konsultan sebenarnya tak bisa dilepaskan dari peran elite-
elite politik (baik lokal maupun nasional) dalam keinginan memperebutkan kontrol terhadap
sumber daya ekonomi dan politik. Jika sinyalemen yang dikemukakan oleh Eko Prasojo
benar, maka catatan ini lebih mengukuhkan adanya praktik oligarkhi para elite politik lokal
dan nasional
Tiadanya check and balances antara pihak Depdagri dan DPR dalam pengambilan
keputusan tentang mekar atau tidak sebuah daerah: Ada dua jalur pengajuan usulan
pemekaran. Pertama adalah jalur pintu Depdagri yang mengandalkan PP 129 tahun 2000 jo
UU No. 22 tahun 1999, yang dikenal dengan jalur normal. Kedua, selain jalur normal, masih
ada jalur,”tidak normal” yakni melalui DPR. Dalam hal ini bisa saja terjadi conflict of interest
antara elite politik nasional dan elite politik lokal. Hal ini dijelaskan oleh Eko Prasodjo
sebagai berikut, ”Pemekaran daerah melalui DPR tidak dapat dilepaskan dari kepentingan
partai politik untuk memperoleh kekuasaan politik dan menanamkan pengaruh politiknya di
tingkat lokal. Pemekaran daerah bukanlah semata-mata kepentingan para elite lokal saja
tetapi juga urusan para elite tingkat nasional dan relasi antar-elite lokal-nasional yang
bercorak simbiosis mutualisme berdasarkan politik pembagian kekuasaan yang bersifat
vertikal. Bagi elite-elite politik di DPR, pemekaran daerah adalah pembukaan panggung-
panggung politik baru dengan DPR sebagai pemain utama dan masyarakat daerah sebagai
penonton saja.”
Usaha membangun panggung-panggung politik baik oleh elite lokal maupun nasional
tak bisa dipungkiri sangat sensitif dengan transaksi politik uang. Pihak eksekutif yang
mendorong lancarnya proses pemekaran akan ”membiayai” para DPR Daerah. Atau, DPRD
sebuah daerah yang akan dimekarkan akan berperan sebagai fasilitator atau broker.
4.2. Proses Pelestarian Hasil Pemekaran
Pelestarian pemekaran menjadi suatu proses penting yang dapat mencegah adanya
kemungkinan Daerah Otonomi Baru menjadi mekar kembali dan sekaligus mencegah gejolak
ketidak puasan dari rakyat di wilayah pinggiran baru yang muncul oleh akibat pemekaran.
Sejumlah usaha dilakukan untuk memelihara kelestarian wilayah namun baik untuk
Kabupaten Sambas maupun untuk Kabupaten Buton usaha tersebut nampaknya tidak
sepenuhnya berhasil. Hal ini terlihat bahwa di DOB Kabupaten Sambas pada tahun 2007
telah muncul usaha untuk memecah kembali Kabupaten Sambas menjadi tiga kabupaten baru,
yaitu Kabupaten Sambas, Kabupaten Sambas Utara, dan Kabupaten Sambas Pesisir.
Demikian pula di DOB Kabupaten Buton pada tahun 2007 telah muncul usaha untuk kembali
memecah DOB Kabupaten Buton menjadi tiga kabupaten yaitu: Kabupaten Buton,
Kabupaten Buton Barat, dan Kabupaten Buton Selatan.
Gambaran tentang kekurangberhasilan pelestarian DOB di DOB Kabupaten Sambas
dan Buton ini sebenarnya lebih didorong oleh keinginan untuk memperoleh limpahan dana
dari pusat (lewat DAU dan DAK) dan oleh adanya keinginan untuk membangun “kembali”
Provinsi Sambas Raya dan Provinsi Buton Raya. Di samping adanya kekurangberhasilan
melestarikan DOB seperti terurai di atas, sejumlah DOB sudah dengan serius mengusahakan
pelestarian DOB yang sudah mereka mekarkan. Beberapa usaha untuk melestarikan wilayah
dapat dikemukakan sebagai berikut.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 26
(1) Membentuk Kecamatan, Desa, dan Kelurahan Baru
Salah satu usaha untuk melestarikan kabupaten Sambas adalah dengan membentuk
kecamatan baru. Dengan cara ini maka pelayanan kepada publik dan pembangunan fisik
dapat lebih merata dan tidak terkonsentrasi di Ibu Kota Kabupaten. Selain itu dari usaha ini
diharapkan ketidak puasan wilayah pinggiran dapat diredam. Sejak pemindahan Ibukota
Kabupaten Sambas dan pemekaran Kabupaten Bangkayang (tahun 1999) sampai dengan
tahun 2006, telah terbentuk delapan Kecamatan Baru di Kabupaten Sambas. Hal yang sama
juga terjadi di Kabupaten Bengkayang, yaitu semenjak terbentuknya Kabupaten Bengkayang
telah munculnya tujuh kecamatan baru. Yang semula jumlah kecamatan hanya 10 telah
berkembang menjadi 17 kecamatan. Di Kota Singkawang juga terjadi pemekaran jumlah
kecamatan. Pada tahun 2005 dari 3 kecamatan dimekarkan menjadi 5 Kecamatan, dan
bersamaan dengan itu semua desa diubah statusnya menjadi kelurahan. Kondisi yang sama
juga berlaku di DOB Buton, yang pada saat Bau-Bau, Bombana, dan Wakatobi memisahkan
diri pada tahun 2003, jumlah kecamatan DOB Kabupaten Buton hanya 9 kecamatan maka
pada tahun 2005 jumlah kecamatan sudah menyamai jumlah kecamatan sebelum pemekaran
yaitu 21 kecamatan. Penambahan kecamatan baru ini selalu diikuti oleh pembangunan sarana
pelayanan publik lain, seperti puskesmas, sekolahan (SLTP dan SLTA), Polsek, dan fasilitas
pelayanan publik lain.
Pemekaran lanjut untuk tingkat kecamatan untuk Kota Singkawang nampaknya tidak
lagi diperlukan mengingat luas wilayah yang relatif kecil. Walaupun demikian, pemekaran
pada tingkat kelurahan masih akan berlangsung terus. Saat ini sedang di proses pemekaran
Desa Sedau di Kecamatan Singkawang Selatan yang memang memiliki jumlah penduduk dan
luas wilayah yang lebih besar. Alasan utama untuk memekarkan Sedau menjadi 3 kelurahan
(Sedau Utara, Sedau Tengah dan Sedau Selatan) adalah agar selain dapat melayani rakyat
lebih intens juga mempunyai peluang untuk mendapatkan bantuan dari pusat untuk
“pembangunan” daerah menjadi semakin besar. Setiap pemekaran kelurahan akan membuka
lowongan pegawai sekitar 15-20 staf (Lurah, Seklu, Kasipem, Kasi Trantib, Kasi Ekon dan
Pendapatan, Kasi Pembangunan, plus masing-masing kasi punya dua sampai tiga staf).
Kondisi yang hampir sama sebenarnya juga terjadi di Kota Otonom Bao-Bau.
(2) Pelayanan Yang Lebih Intens Bagi Wilayah Pinggiran
Adanya pemekaran memang selain meningkatkan efisiensi pelayanan publik, namun
juga bisa terjadi untuk wilayah tertentu justru terjadi hal yang sebaliknya. Oleh sebab itu
untuk kondisi khusus semacam itu maka diperlukan pelayanan publik yang lebih intens.
Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa cakupan Daerah Otonomi Baru Bengkayang
tidak hanya berada di wilayah pedalaman tetapi juga (telah ditetapkan) sampai di wilayah
pantai yaitu wilayah Kecamatan Sungai Raya, yang kebetulan pula Wilayah Sungai Raya
terletak berbatasan dengan Kota Singkawang namun berjarak sekitar 100 Km dari Ibukota
Kabupaten Bengkayang. Rakyat di Daerah Kecamatan Sungai Raya merasa tidak puas karena
sebelumnya letak ibukota kabupaten adalah lebih dekat yaitu Kota Singkawang. Mereka
berkehendak untuk bergabung dengan Kota Singkawang atau Kabupaten lain, lewat satu
proses perjuangan yang panjang (demonstrasi dan membawa ke pengadilan negeri).
Perjuangan mereka mengalami kegagalan karena pengadilan tetap memutuskan bahwa
Kecamatan Sungai Raya masuk dalam Daerah Otonomi Kabupaten Bengkayang.
Untuk meredam ketidakpuasan rakyat di wilayah Kecamatan Sungai Raya,
pemerintah Kabupaten Bengkayang kemudian memecah Kecamatan Sungai Raya menjadi
tiga, yaitu Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Capkala (tahun 2005), dan Kecamatan
Sungai Raya Kepulauan (2006). Selain itu Kabupaten Bengkayang memberi perhatian lebih
terhadap pelayanan publik di tiga kecamatan tersebut. Sebagai contoh, untuk pengurusan
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 27
Kartu Keluarga (KK) dan KTP rakyat Sungai Raya tidak perlu datang ke kantor kabupaten
yang letaknya jauh namun cukup diselesaikan di kantor kecamatan masing-masing. Demikian
pula proses pembayaran pajak kendaraan dapat dilakukan di Kota Singkawang. Selain itu,
mengingat sebagian besar penduduk Kecamatan Sungai Raya adalah nelayan maka pihak
kabupaten mendirikan Kantor Cabang Dinas Perikanan yang bertempat di Kecamatan Sungai
Raya Kepulauan.
(3) Pemerataan dan Prioritas Pembangunan
Seiring dengan pembentukan kecamatan baru dan kelurahan baru seperti terurai ÿÿ
atas, maka pembanguman fisikk, seperti: Kantor kecamatan, Puskesmas, SD, SLTP, jalan,
dan jembatan juga mulai dapat disebarkan ke wilayah di luar Ibu Kota Kabupaten. Dengan
cara ini diharapkan ketidakpuasan wilayah pinggiran yang akan dan sudah muncul akan dapat
diredam. Selain usaha untuk memeratakan pembangunan ada pula usaha untuk
memprioritaskan pembangunan bagi jenis-jenis pembangunan yang memang langsung
dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa di DOB
Kabupaten Bengkayang, DOB Kabupaten Bombana, dan DOB Kabupaten Wakatobi pada
tahun-tahun awal pemerintahannya, mereka tidak mengutamakan untuk mengembangkan
PAD, tetapi memprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur. DAK dan semua dana yang
ada diprioritaskan untuk membangun berbagai prasarana yang dapat dirasakan langsung oleh
rakyat seperti: membangun jalan dan jembatan di wilayah terpencil dan perbatasan;
membangun kantor-kantor kecamatan dan desa baru, membangun puskesmas di setiap
kecamatan, membangun SD dan SLTP di setiap kecamatan.19
Disamping membangun
prasarana fisik hampir semua Daerah Otonomi Baru mempunyai usaha untuk menambah
pegawai negeri demi untuk mengefektifkan pelayanan publik. Jumlah pegawai negeri baru
yang mereka terima setiap tahunnya bisa mencapai 500 orang. Selain itu dapat pula
dikemukakan usaha lain yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melestarikan
pemekaran adalah dengan memberi fasilitas yang memadai bagi datangnya investor, terutama
untuk bidang pertambangan, kelautan, pengolahan hasil kayu,20
dan perkebunan kelapa
sawit.21
Semua usaha tersebut paling tidak dapat memberikan kesempatan kerja bagi rakyat.
5. PERKEMBANGAN KAPASITAS SOSIAL-POLITIK DOB
Paling tidak ada delapan hal yang akan dibahas di dalam sub bab ini yaitu: (1)
Kemampuan Memperoleh Sumberdaya Fiskal; (2) Corak Fiskal pada Awal Daerah Otonomi
Baru; (3) Kemampuan Berotonomi Dalam Konteks Lintas Daerah; (4) Kebangkitan
Kohesivitas Etno-Kultural Dalam Konteks Masyarakat Multikultural; (5) Rekritmen PNS;
(6). Rentang Kendali; (7) Masuknya DPRD Baru; dan (8) Perkembangan DOB.
19
Khusus untuk DOB Kabupaten Bengkayang, pembangunan kantor kabupaten yang megah baru dilakukan
pada tahun-tahun terakhir. Bahkan pembangunan rumah dinas Bupati Bengkayang tidak dilakukan. Walaupun
rumah dinas bupati tidak dibangun Bupati Bengkayang telah berhasil membangun rumah pribadinya dengan
sangat megah. 20
Pada saat penelitian ada investor dari Finlandia yang akan melakukan investasi untuk membangun dermaga di
salah satu pulau dari 13 pulau yang ada di Kecamatan Sungai Raya Kepulauan dan akan membuat industri
pengolahan kayu. 21
Pada saat ini sudah muncul pemahaman bahwa adanya perkebunan kelapa sawit tidak selalu menguntungkan,
sehingga sebagian Suku Dayak menolak perkebunan kelapa sawit karena dapat merusak lingkungan (tidak dapat
menahan air) dan dapat menyebabkan ketergantungan kepada pabrik.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 28
5.1. Kemampuan Memperoleh Sumber Daya Fiskal
Membayangkan Indonesia sebagai sebuah kawasan kepulauan dengan keragaman
etnis, bahasa, dan budaya, maka tantangan terbesar untuk keberlangsungan hidup Indonesia
sebagai negara-bangsa adalah bagaimana menjaga prinsip keberlangsungan berdasarkan
pada distribusi kue pembangunan secara adil. Kue pembangunan, yang adalah terkumpulnya
sumber-sumber daya publik (common pool resources), sudah selayaknya dapat diakses
melalui mekanisme representasi politik yang adil pula. Prinsip ini merupakan prinsip yang
dapat saja mendorong tumbuhnya praktik yang sebaliknya, yakni membangun ketidakadilan
dalam membagi kue pembangunan tetapi juga sekaligus memandulkan representasi politik
masyarakat sipil (civil society). Ketiadaan representasi politik inilah yang mendorong
tumbuhnya oligarkhi berupa kekuasaan di tangan segelintir orang yang secara sistematis
melakukan perampokan atas state resources atau elite captures. Jika ini terjadi, maka
fenomenanya adalah tragedi atas milik bersama (tragic of the the common). Tantangan seperti
inilah yang akan menguji apakah kebijakan penataan daerah yang digulirkan oleh negara
akan membawa angin keadilan dalam pembagian kue pembangunan atau justru semakin
maraknya praktik investasi politik yang mendorong perampokan sumber-sumber negara.
Kebijakan desentralisasi yang terjadi sekarang ini telah menjadi dasar terjadinya
transfer sumber keuangan dan kewenangan yang cukup besar dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Pemerintah daerah menjadi pelaku pembangunan di berbagai sektor.
Kebijakan desentralisasi yang diikuti munculnya kebijakan pemberian DAU ( dan DAK) ke
daerah merupakan konskuensi dari kebijakan desentralisasi kewenangan kepada daerah.
Kebijakan keuangan untuk daerah yang demikian telah menjadi alasan bagi masyarakat di
daerah untuk berlomba membentuk DOB dengan jalan pemekaran. Dengan demikian
kebijakan keuangan pemerintah pusat telah menjadi faktor penarik utama tuntutan
pemekaran. Limpahan fiskal yang berasal dari APBN, yang dapat diwujudkan lewat turunnya
DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus), serta bantuan lainnnya
merupakan sebuah simbol bahwa kue pembangunan (dari negara pusat) dapat diakses melalui
mekanisme pemekaran ini. Dengan limpahan fiskal seperti ini sebenarnya menegaskan bahwa
sumber satu-satunya kue pembangunan bagi daerah yang akan mekar dapat diakses. Jumlah
fiskal sebelum mekar yang diterima ketika itu dibandingkan dengan setelah mekar terlalu
jauh bedanya. Kondisi semacam ini, yang terjadi baik di Sambas maupun Buton,
menyebabkan semakin banyaknya wilayah yang mencoba memekarkan diri dengan alasan
untuk memperoleh limpahan dana dari pusat tersebut.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa hasil wawancara (lewat FGD) dengan sejumlah
tokoh di DOB Kabupaten Sambas yang sedang giat berjuang untuk memekarkan kembali
DOB Kabupaten Sambas menjadi tiga (Kabupaten Sambas, Kabupaten Sambas Utara, dan
Kabupaten Sambas Pesisiran). Demikian pula ada usaha untuk memekarkan kembali DOB
Kabupaten Buton menjadi tiga Kabupaten Baru, yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Buton
Selatan, dan Kabupaten Buton Barat (usaha di DOB Buton ini bahkan telah masuk dalam
Perda Kabupaten Buton). Berkaitan dengan usaha ini para elite yang diwawancarai
menyebutkan bahwa mereka tidak terlalu memperhitungkan ketidak terpenuhinya
sejumlah syarat untuk mekar (sesuai dengan PP No 129 Tahun 2000), yang memang dapat
dimanipulasi. Yang paling penting bagi mereka adalah turunnya DAU dari pemerintah
pusat. Dengan demikian maka pemekaran adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh
akses terhadap sumber ekonomi dari pusat. Bahkan kesan ”balas dendam” sangat terasa
karena pemekaran merupakan ”pukulan balik” bagi pusat yang sudah cukup lama dan
cukup banyak menyerap kekayaan daerah untuk mengembalikan kekayaan tersebut ke
daerah.
Kasus nyata yang lain dapat dikemukakan proses pembangunan di DOB Kabupaten
Bengkayang. Semenjak menjadi DOB Bengkayang telah mengembangkan jumlah kecamatan
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 29
dari semula hanya tujuh kecamatan menjadi 17 kecamatan. Pembangunan kecamatan
biasanya akan diikuti oleh pembangunan sarana pelayanan publik yang lain seperti:
Puskesmas, Sekolahan (SLTP bahkan SLTA), Polsek, dan lain-lain (lihat lampiran 1). Selain
itu dengan adanya Dana Alokasi Umum maka Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkayang
dapat mengangkat sekitar 500 Calon Pegawai Negeri baru.Gambaran di DOB Kabupaten
Wakatabi juga menunjukkan hal yang sama. Perbandingan jumlah dukungan dana dari pusat
antara sebelum dan sesudah pemekaran menunjukkan perbedaan yang sangat besar. Dari
wawancara di lapang, kasus yang mirip juga terjadi di Bombana. Fakta ini juga menegaskan
bahwa negara pusat merupakan sebuah institusi satu-satunya yang dapat memberikan
common pools resources (CPR) seperti ini. Tak ada sumber lain selain negara yang
memungkinkan untuk bisa diakses kue pembangunannya. Pada kasus pemekaran di Buton
meski dibalut dengan keinginan memperjuangkan identitas etnis, namun harapan
memperoleh CPR juga besar.22
Demikian pula untuk DAK yang pada dasarnya merupakan dana untuk kegiatan
pembangunan yang lebih banyak dikelola oleh dinas sektoral merupakan sumber utama bagi
dinas sektoral di aras regional untuk melaksanakan kegiatannya. Dengan demikian maka
DAK juga menjadi salah satu faktor pemacu munculnya DOB, namun penggunaan dari DAK
ini seringkali hanya berorientasi kepada rencana dinas yang datang dari atas dan tidak sesuai
dengan kebutuhan rakyat di daerah.
5.2. Corak Fisik Pada Awal Daerah Otonomi Baru
Di Daerah Otonomi Baru (DOB) yang lewat pemekaran menjadi kabupaten,
ketersediaan dana kucuran dari pusat diutamakan atau diprioritaskan untuk membangun
sarana dan prasarana fisik, khususnya gedung perkantoran, rumah jabatan bupati dan rumah
jabatan wakil bupati (khusus di Kabupaten Bengkayang rumah jabatan bupati sengaja tidak
diprioritaskan untuk dibangun), gedung DPRD (khusus untuk gedung DPRD kurang
ditunjukkan oleh DOB yang semula sudah menjadi ibu kota kabupaten induk), sementara
prioritas berikut barulah untuk pembangunan sarana dan prasarana publik (seperti jalan,
jembatan, dan sebagainya). Walaupun demikian adapula wilayah yang juga memprioritaskan
pembangunan sarana dan prasarana pelayanan publik tanpa terlebih dahulu membangun
gedung untuk rumah jabatan kepala daerah. Pola ini mengungkapkan antara lain:
(1). Pertanda visual bahwa DOB yang bersangkutan telah memiliki status baru, sehingga
sarana dan prasarana fisik itu menjadi pertanda konkret tentang status baru itu yang
pada masa sebelum pemekaran belum ada. Proses pembangunan sarana dan prasarana
fisik untuk kepentingan umum (jalan, jembatan, dan sebagainya) juga mendukung
tujuan untuk menunjukkan status DOB itu.
(2). Untuk daerah tertentu, yang memprioritaskan pembangunan sarana dan prasarana
fisik untuk kepentingan pejabat dan legislatif (yang bias elite), selain menunjukkan
adanya pengalokasian yang tidak langsung bermanfaat bagi rakyat namun juga
berfungsi sebagai pengungkapan kebanggaan dan identitas DOB.
(3). Dalam kebanggaan ini yang lebih kuat menonjol adalah citra pembangunan sarana-
prasarana yang bias elite, yaitu dibangunnya bangunan rumah-rumah dinas lebih
dahulu ketimbang sarana-prasarana jembatan, pelabuhan, jalan, dan puskesmas yang
22
Hasil wawancara dengan Ketua DPRD, Staf WWF dan ketua KNPI (tgl 30/3/2007), diperoleh informasi
bahwa, dihitung dari waktu sekarang (2007), Kabupaten Wakatobi sudah memasuki tahun ketiga dalam proses
penganggaran. Anggaran tahun pertama (2005) sebesar Rp 47 milyar, tahun kedua (2006) sebesar Rp 280
milyar, dan tahun ketiga (2007) sebesar 300 milyar. Setelah mekar, Kabupaten Wakatobi memperoleh dana
pembinaan dari Kabupaten Buton sebesar Rp 1,5 milyar. Sebelum mekar, oleh Kabupaten Buton, wilayah
Wakatobi mendapat alokasi pendanaan pembangunan senilai Rp 500 juta
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 30
lebih melayani rakyat banyak. Akibatnya pelayanan publik yang seharusnya bisa lebih
didahulukan menjadi tertunda.
(4). Pembangunan seperti terurai di atas lebih menegaskan fenomena kedaerahan yang
sempit, yang hanya berorientasi untuk daerah sendiri. Pada sisi lain, klaim
kedaerahan yang sempit ini merupakan sebuah arena pengukuhan identitas daerah
yang selama ini tak dapat dijadikan sebagai faktor posisi tawar terhadap daerah lain
(5) Munculnya relasi sosial yang berbasis neo-feodalisme, khususnya di komunitas Bau-
Bau yang memiliki anggapan hanya kelompok tertentu –Kaomu dan Walaka – yang
mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kalau di Kalimantan Barat,
kebanggaan sebagai Suku Melayu Sambas yang terkait dengan keberadaan
Kesultanan Sambas menjadi penentu di dalam menentukan pemimpin
(6) Aktor-aktor pejuang pemekaran, sangat berkepentingan menjadikan dirinya sebagai
bagian dari representasi politik masyarakat di DOB, meskipun dalam praktiknya
cenderung lebih mengedepankan kepentingan elite itu sendiri. Dalam kondisi seperti
ini, maka dalam rangka kehadiran DOB muncul juga fenomena yang bercorak
oligarkhis.
5.3. Kemampuan Berotonomi Dalam Konteks Lintas Daerah
Idealnya pemekaran daerah akan mendorong masing-masing DOB untuk
mengembangkan kemampuan daerahnya baik berupa PAD, dan sekaligus mampu
meningkatkan ekonomi regional. Namun pada kanyataannya sebagian besar DOB masih
lebih menggantungkan pengembangan ekonominya pada kucuran dana dari pusat. Di dalam
hal ini kampanye elite politik lokal untuk mendatangkan kucuran dana dari pusat yang
sekaligus juga mengurangi beban rakyat dari “kewajiban” meningkatkan PAD. Kondisi ini
kemudian menjadi penanda adanya kepedulian atau keberhasilan pemimpin lokal terhadap
nasib rakyatnya.
Orientasi kepada pengembangan potensi regional bersama dengan DOB sebagai
sumber pembiayaan dan kesejahteraan masyarakat dimasa depan belum nampak. Ketiadaan
proses persiapan sebelum pemekaran dan ketiadaan masa transisi yang cukup menyebabkan
pada periode lima tahun pertama pasca pemekaran kebanyakan DOB masih disibukkan
dengan pembangunan infrastruktur fisik, pengembangan keorganisasian, dan pengembangan
sumberdaya manusia. Upaya untuk memfasilitasi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan
rakyat secara langsung nampaknya masih minimal.
Makna kawasan regional adalah suatu kawasan (daerah) yang dimungkinkan adanya
kerjasama antar-daerah secara sinergis. Kerjasama antar-daerah yang didukung
pengembangan kawasan berbasis spatial planning, memungkinkan adanya peningkatan
pendapatan asli daerah. Namun jika dilacak dalam politik anggaran nasional yang tertuang
dalam APBN, ternyata yang justru ditekankan adalah bukan pengembangan kawasan regional
yang terefleksikan dengan adanya kerjasama lintas sektoral; yang ditekankan dalam
kebijakan APBN adalah kerja sektoral. Akibat dari kebijakan penganggaran yang demikian,
maka sulit membayangkan akan berhasilnya sebuah spatial planning di kawasan yang
dimekarkan. Bagi daerah, prinsip regionalisasi dari wilayah yang baru saja mekar sebenarnya
akan sangat menguntungkan secara mutualistis. Yang jelas dengan regionalisasi seperti ini
akan banyak penghematan dalam aktivitas perekonomian regional. Di sini dapat diharapkan
adanya perwujudan kawasan Wakatobi atau Singkawang sebagai salah satu pelabuhan
transito dan dorongan bagi daerah-daerah yang berdekatan dengan Wakatobi atau
Singkawang untuk saling bekerjasama.
Sesudah pemekaran di kebanyak DOB hampir seluruh kegiatan pembangunan
diarahkan kepada pemenuhan prasaranan administratif pemerintahan, seperti gedung-gedung
perkantoran, rumah dinas, termasuk jalan-jalan yang menuju ketempat dimana prasarana
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 31
pemerintahahn itu berada. Kerjasama untuk membangun ekonomi kawasan bersama belum
nampak, demikian pula kerjasama antara daerah induk dan daerah pemekaran nampaknya
belum terjadi. Yang terjadi justru sebaliknya yaitu munculnya persaingan dalam
memperebutkan sumber ekonomi. Di Sambas misalnya, masing-masing kabupaten ingin
memiliki lapangan terbang dan pelabuhan laut. Kabupaten Singkawang misalnya ingin
membangun pelabuhan laut sendiri sekalipun sebelum pemekaran mereka memakai
pelabuhan Sintete yang kini masuk kedalam wilayah kabupaten Sambas. Semangat kerjasama
ini juga dihambat oleh persoalan perebutan asset dan sengketa tapal batas. Walaupun
demikian dibeberapa daerah kerjasama antar daerah juga terjadi (lihat uraian di Bab 6).
5.4. Kebangkitan Kohesivitas Etno-Kultural Dalam Konteks Masyarakat
Multikultural
Adanya pemekaran daerah selalu dibarengi dengan bangkitnya kohesivitas etnik yang
semula dalam posisi minoritas. Dengan adanya pemekaranp posisi tawar etnik yang semula
minoritas tersebut menjadi semakin kuat, terutama dengan derasnya dana fiskal dari pusat. Di
dalam hal ini perkembangan kohesivitas etnik ini perlu diletakkan dalam hubungan antar
etnik yang bersifat plural.
Dengan kondisi seperti ini, upaya membangun keberagaman representasi politik
beragam etnik itu masih merupakan sebuah pertanyaan. Jika prinsip ”kesatuan dalam
keragaman” hendak dipertahankan di tengah naik pasangnya identitas lokal etnis, maka
beberapa catatan berikut perlu dikemukakan, yaitu:
(a). Pentingnya visi nasionalisme NKRI yang juga menjadi preferensi para pemimpin
lokal (politisi dan birokrasi).
(b). Terkait dengan konflik batas wilayah yang sekaligus berimpit dengan isu etnisitas
perlu didorong peran mediasi pada aras provinsi untuk mampu menjadi penengah
melalui rekonsiliasi konflik,
(c). Perlunya peningkatan kapasitas para pihak yang berkonflik agar bisa menyelesaikan
persoalan dengan agenda duduk bersama dengan memanfaatkan regulasi
pemerintahan yang telah tersedia.
Pemekaran di Kabupaten Sambas dan di Kabupaten Buton nampaknya sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan rakyat. Selain memperoleh pelayanan publik yang lebih baik dan
efektif dari negara, pemekaran juga menyebabkan kelompok tertentu atau etnis tertentu
menjadi teraktualisasi identitasnya. Sebagai gambaran masyarakat Suku Dayak di Kabupaten
Bengkayang yang selama ini merasa identitasnya tersubordinasi oleh Suku Melayu maka
sesudah pemekaran mereka dapat menunjukkan identitas dirinya secara lebih jelas. Simbol-
simbol budaya Dayak terpampang di hampir setiap kantor pemerintahan, dan kantor
pelayanan publik yang lain.
Demikian pula kelompok masyarakat Kabupaten Sambas (sebelah utara) yang selama
ini identitasnya tertutup oleh elite Singkawang, maka sesudah pemekaran mereka dapat lebih
menunjukkan identitasnya ke-Sambasan-nya kembali terutama terkait dengan makna
Kasultanan di Sambas.
Di Singkawang perjuangan untuk memperoleh identitas sebagai kota dagang dan kota
pariwisata sangat diwarnai oleh persoalan etnisitas terutama dari Suku Cina. Di sini Suku
Cina mempunyai kesempatan lebih terbuka untuk menunjukkan identitasnya sebagai suku
yang sejajar dengan suku lain. Bahkan terbuka kemungkinan menjadikan Singkawang
sebagai Centre of Origin dari Suku Cina di Indonesia. Selain itu Pemekaran Singkawang
membuka partisipasi politik yang lebih luas bagi golongan Cina yang selama ini karena
politik nasional dan sentiment regional posisi mereka selalu depresif.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 32
Munculnya DOB Kabupaten Bombana juga mencerminkan adanya pengakuan
terhadap keberadaan Suku Moronene dan Bugis yang selama ini lebih menjadi subordinasi
Suku Buton. Munculnya institusi tandualle merupakan landasan identitas baru wilayah
Bombana yang lebih mengetengahkan pandangan territorial-plural-inklusif. Lembaga ini
nampaknya dapat menjadi dasar pembangunan wilayah yang lebih mengetengahkan
kerjasama yang searas dari pada kerjasama atasan dan bawahan.
5.5. Rekruitmen PNS
Penyelenggaraan daerah otonomi baru (DOB) memerlukan dukungan sumber daya
manusia yang memadahi. Dengan demikian pembentukan DOB telah membuka peluang bagi
sumber daya manusia di tingkat lokal untuk mengisi jabatan-jabatan yang ada baik di ekskutif
maupun legislatif sebagai konskuensi pembentukan DOB. Dari aspek pengisian pegawai ini,
pemekaran daerah telah menyumbangkan upaya pengurangan pengangguran di DOB
tersebut. Dalam rangka meningkatkan serta mendorong pencapaian pelayanan publik yang
efektif dan efisien diperlukan ketersediaan sumber daya manusia yang mempunyai kapabel.
Persoalan yang sedang dihadapi sekarang oleh DOB adalah kurangnya SDM yang
memadai. Selain itu, ketersediaan SDM di DOB seringkali tidak bisa memenuhi kompetensi
dan kualitas SDM seperti yang sudah ditetapkan dalam regulasi tentang syarat golongan dan
eselonisasi untuk menduduki jabatan tertentu di daerah itu. Selama ini kebijakan rekruitmen
PNS memang menjadi kewenangan pemerintah pusat, kebijakan ini nampaknya sulit untuk
diimplementasikan di daerah karena keterbatasan SDM yang ada. Kelemahan lain dari proses
rekruitmen ini disebabkan oleh ketidakadaan persiapan pada masa sebelum pemekaran. Tidak
adanya masa transisi yang khusus memprogramkan penataan dan rekriutmen pegawai ini
menyebabkan beberapa akibat yang kurang baik. Beberapa dampak ketidakadaan masa
transisi, yang terjadi baik di Sambas maupun di Buton, diantaranya adalah seperti dibawah
ini:
(a). Adanya tarik menarik pegawai lama yang dianggap berkualitas antara DOB dengan
Daerah Induk
(b). Munculnya usaha untuk melakukan bongkar pasang pegawai
(c). Para guru yang biasanya mempunyai kemampuan intelektual dan pengalaman yang
lebih baik dari kebanyak pegawai, menjadi sangat dibutuhkan, sehingga banyak guru
“terpaksa” ditempatkan pada posisi diatas namun dengan kompetensi yang
sebenarnya tidak cocok dengan bidang baru yang ditanganinya.
Ke tiga proses penataan pegawai di daerah tersebut biasanya sangat kenthal diwarnai
oleh ikatan-ikatan primordia (agama dan suku). Dengan cara ini dimungkinkan adanya
dominasi dari suku atau etnis tertentu, yang biasanya merupakan suku mayoritas, di daerah
tertentu.
Kondisi yang kurang baik tersebut pada akhir-akhir ini sudah mulai memperoleh
masukan dan koreksi dari banyak pihak. Hal ini ditunjukkan oleh adanya keinginan dan
kesadaran daerah (baik di DOB maupun Daerah Induk), untuk memulai menyeimbangkan
komposisi keetnisan dari pegawai yang ada. Usaha ini lebih nampak nyata di kelompok
pegawai golongan bawah (seperti eselon IV atau pegawai baru yang berijazahkan setingkat
SLTA). Selain itu adanya seleksi PNS yang bersifat terbuka, yang mendasarkan penerimaan
pegawai pada kompetensi calon, menyebabkan variasi etnis pegawai yang diterima menjadi
lebih banyak. Dengan kondisi ini maka dominasi etnis tertentu pada PNS di masa depan
diharapkan akan lebih berkurang.
5.6. Rentang Kendali Pelayanan Publik
Rentang kendali (span of control) terasa lebih baik pada masa setelah pemekaran.
Rentang kendali pelayanan publik yang didukung oleh birokrasi memang didorong untuk
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 33
mengarah pada peningkatan pelayanan publik. Sejumlah catatan perlu ditegaskan berkaitan
dengan praktik rentang kendali, yakni:
(a). Visi-misi-tupoksi sebuah daerah yang baru mekar perlu dipahami secara sama oleh
seluruh jajaran birokrasi dan aktor politik (legislatif). Dengan dipahaminya visi-misi
secara sama, diharapkan bahwa penerjemahan di dalam program tahunan SKPD (Satuan
Kerja Perangkat Daerah) dapat diandalkan untuk mengawal proses good governance;
(b). Pemahaman visi-misi-tupoksi seperti ini juga dibarengi dengan kesamaan wawasan
oleh mitra pemerintah (rekanan pemerintah yang akan mengikuti tender). Jika hal ini
diabaikan, kapasitas proses governance yang harus bergulir menjadi tereduksi dan
akibatnya limpahan fiskal tak dapat dimanfaatkan maksimal;
(c). Selain memahami visi-misi-tupoksi, di kawasan DOB belum dijalankan program
pelatihan pegawai secara optimal. Gejala seperti ini nampak di kawasan Wakatobi dan
Bombana. Jika program pelatihan ini dapat dijalankan, maka kekurangan dalam
mekanisme rekrutmen dapat diimbangi dengan pelatihan yang optimal. Dengan
demikian profesionalitas dalam menjalankan good governance berangsur dapat dicapai
5.7. Terbentuknya DPRD di Daerah Otonomi Baru
Pemekaran membuka peluang bagi organisasi-organisasi kekuatan politik (terutama
parpol), yang semula hanya ada di kabupaten induk, untuk membentuk kepengurusan
organisasinya di tiap DOB. Parpol-parpol itu mendapat peluang untuk merepresentasikan
kepentingan masyarakat konstituennya dalam badan legislatif (DPRD) di DOB. Dengan
begitu, pemekaran telah membuka peluang representasi politik secara lebih luas di DPRD-
DPRD DOB dibandingkan sebelum pemekaran yang hanya terbuka di DPRD kabupaten
induk. Dengan begitu, check and balances dapat terwujud di tiap DOB dan tidak hanya
kabupaten induk.
Kapasitas anggota-anggota DPRD di DOB masih perlu dikembangkan (antara lain
dalam menyusun perda-perda; misalnya jumlah perda yang disusun atas inisiatif DPRD jauh
lebih kecil dibandingkan dengan jumlah perda yang disusun atas inisiatif eksekutif di DOB).
Peningkatan kapasitas DPRD itu antara lain dapat mengurangi kecenderungan kolusi atnara
DPRD dan ekesekutif dan/atau potensi munculnya oligharki baru.
5.8. Perkembangan Pelayanan Publik
Perkembangan pelayanan publik di DOB merupakan modal dasar bagi munculnya
kapasistas sosial-politik daerah. Oleh sebab itu perlu dikemukakanperkembangan pelayanan
publik di DOB.
Untuk wilayah seperti Kabupaten Sambas yang mempunyai wilayah yang sangat luas
(walaupun jumlah penduduknya sedikit), atau wilayah seperti Kabupaten Buton yang terdiri
dari sejumlah pulau (kepulauan) adanya pemekaran membawa dampak yang positif.
Tersebarnya pembangunan fisik yang berupa komplek perkantoran, pelayanan publik,
dan perdagangan selain dapat memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan lebih
efisien, proses pembangunan fisik itu sendiri (bangunan fisik dan prasarana lain) juga telah
memberi kesempatan kerja yang cukup baik. Dengan adanya bangunan fisik dan telah
berfungsinya pusat-pusat pelayanan publik, seperti pembangunan kantor kabupaten, kantor
kecamatan, kantor desa/kelurahan, rumah sakit, puskesmas, sekolah, dan kantor-kantor lain
menyebabkan rakyat di DOB merasakan adanya kemudahan dan keefektifan pelayanan
publik. Selain itu letak fasilitas pelayanan publik yang lebih dekat menyebabkan rakyat
merasa memperoleh pelayanan yang lebih murah dan mudah.
Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa di sepanjang jalan utama di Kota
Sambas telah selesai dibangun paling tidak 20 bangunan baru dengan satu bangunan lama
yang direnovasi sebagai kantor Bupati Sambas. Di Jalan Pembangunan ini terdapat satu
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 34
bangunan baru yang baru saja diselesaikan yaitu Gedung Pengadilan Negeri Sambas, tetapi
sampai sekarang Gedung tersebut belum dipergunakan. Di seberang jalan Pembangunan
tepatnya di Jalan Terigas (eks Jalan Sukaramai) terdapat paling tidak lima bangunan baru
yang dibangun pasca pemindahan Ibu Kota Kabupaten Sambas. Di luar dua lokasi tersebut,
masih ada beberapa bangunan baru seperti Kantor Polsek Sambas, rumah sakit (yang baru
saja direnovasi), kantor-kantor kecamatan yang baru, dll. Selain itu untuk membangun akses
perhubungan telah dirintis akses jalan ke Serawak Malaysia dengan Proyek Palsa (Paloh –
Sajingan).
Di Kabupaten Bengkayang terdapat komplek perkantoran terpadu (satu atap) yang
sangat megah yang merupakan kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkayang, Gedung
DPRD Kabupaten Bengkayang, Pengadilan, PU dan lain-lain yang jelas lebih mendekatkan
pelayanan publik ke masyarakat. Demikian pula pembangunan sarana kesehatan (rumah sakit
dan puskesmas), kemanan (Polsek), pendidikan, prasarana jalan (dan jembatan), bahkan
perbaikan wilayah perbatasan (di Kecamatan Jagoi Babang) menyebabkan rakyat di wilayah
yang semula jauh dari pusat pemerintahan menjadi lebih mudah terlayani oleh negara.
Demikian pula di DOB Kabupaten Buton, Kabupaten Bombana, dan Kabupaten
Wakatobi juga terjadi hal yang hampir sama dengan di DOB Kabupaten Sambas dan
Kabupaten Bengkayang. Sejumlah kantor pemerintahan dan pelayanan publik dibangun di
sejumlah wilayah kecamatan baru yang dirasakan manfaatnya oleh rakyat secara langsung.
6. PERKEMBANGAN RELASI SOSIAL-POLITIK
Sebagai sebuah wilayah yang baru mekar dan sekaligus sebagai wilayah yang menjadi
wilayah ”sisa”, maka tantangan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana melakukan
konsolidasi birokrasi dan konsolidasi politik. Dua konsolidasi ini sekaligus mendorong
adanya kredo baru dalam melakukan praktik good governance (tata pemerintahan yang baik).
Tentu saja yang dimaksudkan dengan praktik tata pemerintahan yang baik memiliki indikator
pengikat yang dapat diukur, misalnya: partisipasi, transpransi, akuntabilitas, dan lain-lain.
Munculnya DOB juga menyebabkan berkembangnya relasi sosial politik baik yang
terjadi antar masyarakat sipil; antara masyarakat sipil dengan Pemda; antar pemda; antara
pemda dengan pemerintah pusat; dan antara pemda dengan negara lain. Temuan di wilayah
penelitian Sambas dan Buton dapat dikemukakan sebagai berikut.
6.1. Perkembangan Relasi Sosial-Politik Antar Masyarakat Sipil
Pada masa perjuangan untuk memperoleh status Daerah Otonomi Baru sejumlah
organisasi yang bisa dikelompokkan menjadi masyarakat sipil telah melakukan fungsinya
dengan baik, namun pada perkembangannya peran masyarakat sipil bisa berkembang kearah
yang berbeda-beda. Tiga hal yang akan dikemukakan di dalam subab ini yaitu menyangkut:
Konflik Antar Elite; Perubahan adesi sosial; dan Munculnya pengusaha politik baru.
(1) Konflik Antar Elite
Potensi konflik antar elite dapat muncul dalam proses pilkada yang dapat
mengaburkan kohesivitas sosial yang sudah terbentuk. Pada kasus Bau-Bau, misalnya,
pilkada yang diselenggarakan pada November 2007 diwarnai dengan perseteruan antara
Walikota dan Bupati yang telah mendahuluinya (batas wilayah akan diperebutkan baik oleh
Walikota Bau-Bau maupun oleh anak Bupati mencalonkan diri). Konflik juga terjadi sejak
tahun 2004, antara bupati dan wakil bupati dalam memperebutkan kewenangan, yang diikuti
oleh perpecahan antar kelompok pendukung. Konflik antar elite juga dapat muncul oleh
adanya akibat alih fungsi lahan untuk keperluan pembangunan sarana/prasarana umum,
perumahan, atau pembukaan perkebunan.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 35
Berbeda dengan di Bau-bau, di Bengkayang hubungan antar elite yaitu antara
eksekutif dengan legislatif, terlihat sangat harmonis tanpa konflik yang berarti. Kondisi yang
terlihat harmonis ini bisa jadi justru dapat menimbulkan permasalahan lain apabila terjadi
konspirasi kedua pihak yang merugikan rakyat.
Apa yang kemudian mencuat menjadi konflik di atas bila ditelusuri lagi nampaknya
bersumber dari kurang sempurnanya regulasi yang mengatur tentang pembagian aset,
penetapan batas wilayah, mekanisme proses sosialisasi regulasi pada para birokrat. Sosialisasi
tentang regulasi juga harus dilakukan kepada masyarakat yang akan menjadi subyek
penetapan batas wilayah, karena berdasar konflik batas wilayah tersebut memungkinkan
konflik antar elite di daerah yang bersangkutan.
(2). Perubahan Adhesi Sosial
Seperti sudah dikemukakan di muka proses pemekaran biasanya terjadi sejalan
dengan pemisahan berdasarkan perbedaan etnis. Salah satu dampak adanya pemekaran adalah
adanya dominasi satu suku tertentu (atau semakin dominannya). Dilihat dari sudut pandang
modal sosial dampak adanya pemekaran ialah semakin kuatnya bounding di antara
masyarakat yang sesuku (kohesi sosial yang menguat), namun bridging (adesi atau relasi
dengan suku lain) menjadi semakin lemah. Kondisi semacam ini kalau tidak segera disadari,
akan memperbesar kemungkinan munculnya ketegangan bahkan konflik di masa mendatang.
Sebagai contoh, munculnya Kabupaten Bengkayang yang mayoritasnya Suku Dayak (non-
Muslim), Kabupaten Sambas yang menjadi semakin Melayu (Muslim), dan Kota Singkawang
yang dapat dianggap pusatnya Suku Cina, dan Kabupaten Buton yang menjadi semakin
Buton di masa mendatang akan menghadapi permasalahan kerukunan antar suku dan umat.
Khusus untuk Kota Singkawang perkembangan pemaknaan suku mayoritas dan
pandangan putra daerah yang sempit dapat menimbulkan permasalahan di kemudian hari.
Namun demikian perkembangan penduduk Suku Cina yang cukup tinggi seringkali juga
merisaukan suku yang bersangkutan. Adanya jargon tentang “KB wajib” yang bermaksud
menekan pertumbuhan Suku Cina seringkali akan merisaukan suku mayoritas Cina.
Sebaliknya kerisauan di antara Suku Melayu juga terjadi, terutama berkaitan dengan adanya
paham lunturnya ke-Islam-an karena berkembangnya budaya Cina yang dapat memusrikkan
umat (contoh kasus tatung).
Sementara itu dapat pula dikemukakan reproduksi ingatan kolektif tentang Kesultanan
Buton yang terjadi di Kota Bau-Bau, yang menebarkan pengetahuan mengenai pelapisan
sosial yang pernah tercipta pada masa lalu, terutama pelapisan sosial yang mempunyai hak
memegang (yaitu antara Kaomu dan Wakala). Reproduksi ingatan kolektif ini membawa
anggapan bahwa para keturunan dari Kaomu dan Wakala saja yang dapat menjadi pimpinan
dalam arena kontestasi politik. Kondisi ini merupakan suatu anggapan yang mengabaikan
lapisan sosial lainnya dan etnis lain (minoritas) yang tinggal di wilayah ini.23
Dengan demikian munculnya DOB yang mencirikan menguatnya bounding (kohesi
sosial), dapat melemahkan bridging (adhesi sosial) di antara kelompok primordial yang ada.
Di dalam hal ini munculnya kaum minoritas baru di DOB perlu memperoleh perhatian lebih.
(3). Munculnya Pengusaha Politik Baru
Munculnya pengusaha politik baru yang ada di semau DOB ini tidak terlepas dari
proses pemekaran DOB. Pada waktu awal proses pemekaran kelompok yang
memperjuangkan membutuhkan dukungan dana yang besar baik untuk biaya pemekaran,
maupun untuk biaya lainnya. Untuk itulah biasanya kelompok ”pejuang pemekaran” ini akan
23
Pada tataran yang lebih rendah kondisi ini juga terjadi di wilayah Kasultanan Sambas, namun persoalannya
lebih terfokus pada perebutan pemanfaatan keturunan Sultan Sambas sebagai alat untuk mencapai tujuan politik
dari elite tertentu.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 36
menarik sejumlah pengusaha. Bisa saja pengusaha tersebut adalah tokoh politik, elite daerah,
namun bisa saja pengusaha tersebut benar-benar seorang pengusaha (murni).
Sesudah daerah yang mereka perjuangkan mekar maka para pengusaha tersebut akan
muncul sebagai pemborong proyek-proyek pembangunan di DOB yang memang mempunyai
program pembangunan fisik yang sangat banyak. Di samping itu para pengusaha tersebut
mulai dapat melanjutkan ”dominasinya” di bidang politik dan pemerintahan. Dari sini
mulailah muncul sejumlah pengusaha politik baru. Kemunculan para pengusaha politik baru
menimbulkan dampak yang berbeda tergantung posisi yang dipegangnya. Di satu pihak para
pengusaha politik baru dapat memperkuat masyarakat sipil namun di lain pihak justru dapat
melemahkan posisi dan peran masyarakat sipil untuk mengkritisi kebijakan Pemda di DOB.
6.2. Relasi Sosial-Politik Antara Masyarakat dengan Pemda
Paling tidak ada lima aspek yang akan dikemukakan di dalam sub bab ini yang
menyangkut aspek: Partisipasi Masyarakat Sipil; Checks And Balances; Aspek Transparansi;
Peran Media Massa; dan Peran Organisasi Masyarakat Sipil.
(1). Partisipasi Masyarakat Sipil
Partisipasi masyarakat sipil (civil society) belum sepenuhnya terjadi dalam proses
perencanaan pembangunan melalui mekanisme musrenbang (musyawarah pembangunan).
Meskipun telah diselenggarakan musrenbang, namun pesertanya masih bersifat elitis. Di
bawah payung UU No. 25 tahun 2005 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
maka ruang partisipasi seharusnya sudah bisa digulirkan. Hanya saja dalam temuan di
sejumlah FGD, praktik partisipasi seperti itu belum bisa berjalan ideal, kalau tak mau disebut
bias elite dan terjadi distorsi dalam proses ini. Apalagi UU No 25 Tahun 2005 belum ada
PPnya dan juga belum disahkannya regulasi ADD (Alokasi Dana Desa). Berkaitan dengan
hal ini, pola partisipasi dalam pembangunan masih lebih kuat nuansa mobilisasinya
dibandingkan dengan kewenangan di dalam proses pengambilan keputusan.
Perkembangan demokratisasi dan partisipasi masyarakat sipil antar wilayah
nampaknya memberi gambaran yang berbeda. Di wilayah yang kekuasaan politiknya
dikuasai oleh kelompok minoritas, seperti di Singkawang yang walaupun mayoritas
penduduknya adalah Suku Cina kekuatan politik dikuasai oleh elite dari Suku Melayu, maka
perkembangan demokrasi dan masyarakat sipil menuju arah yang lebih baik, kritis,
menghendaki transparansi, dan ada tuntutan untuk kesamaderajadan.
Di wilayah semacam ini media massa (Radio, TV, dan Surat Kabar) tidak hanya naik
oplahnya karena pemberitaan tentang aspek-aspek perkembangan pemekaran, namun juga
menjadi alat atau saluran proses kontrol masyarakat sipil terhadap pemerintahan lokal yang
cukup efektif (seperti isu korupsi, perselingkuhan pejabat, dan program pembangunan yang
tidak memihak rakyat).
(2) Checks And Balances
Kualitas legislatif, yang mestinya menjalankan fungsi pengawasan-penganggaran-
pembuat regulasi, nampaknya juga belum memadai untuk melakukan fungsi checks and
balances. Kecuali di Bau-Bau, Buton Baru, Sambas, dan Singkawang, kapasitas legislatif
juga belum optimal. Produk hukum yang dominan dikeluarkan (diperdakan) paling dominan
adalah Perda APBD dan soal Tatib.
Selain itu dapat pula dikemukakan bahwa proses kontrol oleh DPRD (sebagai
perwujudan dari checks and balances) yang biasanya diwarnai oleh pertentangan dan konflik,
namun pada ujung-ujungnya bermuara pada tawar-menawar untuk berbagi anggaran demi
kepentingan eksekutif dan legislatif. Bahkan bisa jadi proses checks and balances jutru
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 37
berwujud sebagai konspirasi untuk saling mendukung demi kepentingan masing-masing
pihak.
(3) Aspek Transparansi
Aspek transparansi belum bisa optimal dilakukan karena informasi kebijakan publik
baru bisa diakses ketika proses pembuatan LPJ Bupati tidak terpublikasikan dengan dalih
belum diperiksa oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).24
Dengan tidak bisa diaksesnya LPJ
maka masih harus dipertanyakan aspek akuntabiltas yang juga belum optimal. Peran media di
DOB cukup baik dalam arti bahwa kini media telah memberitakan peristiwa-peristiwa yang
terjadi di masing-masing DOB. Namun ada kalanya media juga digunakan sebagai
advertorial bagi pihak-pihak yang bertikai. Fenomena seperti ini telah meletakkan media
cetak sebagai bagian dari komodifikasi para politisi melalui media.
(4) Peran Media Massa
Bagi media massa, transparansi setelah mekar memang sudah semakin terbuka dan
intens. Memang perlu menjadi catatan apakah memang media massa cetak telah melakukan
prinsip cover both sides atau masih berorientasi sumber kebenaran ada pada pemerintah;
Beberapa media massa cetak (tabloid) yang beredar di Bau Bau, Wakatobi, dan Bombana
adalah: Kendari Pos, Kendari Ekspres dan Media Sultra. Media ini biasanya banyak beredar
di kantor-kantor pemerintah dan baru tiba sehari setelah terbit. Di Kabupaten Bengkayang
pernah terbit Bengkayang Post, namun kemudian tidak terbit lagi karena kurangya pelanggan
dan permasalahan kurangnya usaha untuk memanfaatkan media koran sebagai alat kontrol
kekuasaan.
(5) Peran Organisasi Masyarakat Sipil
Pada masa pra mekar telah muncul perwakilan-perwakilan organisasi masyarakat dan
partai politik. Persoalannya adalah bahwa perwakilan-perwakilan organisasi kemasyarakatan
dan politik (partai) belum optimal melaksanakan fungsinya. Harus diakui bahwa peran riil
organisasi kemasyarakatan (CSO – Civil Society Organization) pada era pra mekar telah
mulai terlihat. Namun pasca mekar, peran ini belum optimal, bahkan beberapa organisasi
tersebut tidak aktif. Keberdayaan masyarakat sipil (civil society) juga kuat diwarnai dengan
patrimonialisme dan patronase. Belum cukupnya dasar pendidikan politik menyebabkan tidak
jarang bahwa proses penyelesaian perbedaan pendapat lebih sering disajikan dalam bentuk
demonstrasi ketimbang dalam bentuk konsultasi publik. Meski demikian, untuk kasus
Wakatobi yang merupakan wilayah konservasi internasional, telah terjadi kolaborasi CSO
yang memfasilitasi pemerintahan lokal-penduduk lokal-DPR lokal-negara pusat dalam
menyiapkan draft perda tentang zonasi laut di lingkup Kepulauan Tukang Besi dan sekaligus
draft perda tata ruang darat(-an). Kondisi civil society (melalui Paguyuban Moronene) di
Bombana yang semula begitu proaktif sebelum mekar hingga menjelang mekar, kemudian
menjadi redup pasca mekar. Para aktor kunci masyarakat sipil (civil society) di Wakatobi
lebih banyak berdomisili di Kendari ketimbang di Wakatobi. Kasus terakhir ini juga
menggambarkan ketergantungan masyarakat sipil di Wakatobi pada masyarakat sipil yang
ada di Kendari. Di DOB Kabupaten Bengkayang, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang
semula aktif memperjuangkan pemekaran wilayahnya, sesudah pemekaran kemudian menjadi
tidak aktif. Adanya rasa puas bahwa telah berhasil mendorong terbentuknya pemerintahan
dari etnis di wilayahnya dan adanya patronase dari elite lokal menyebabkan organisasi
masyarakat sipil ini menjadi enggan untuk melakukan counter balances terhadap
pemerintahan daerah.
24
Periksa kasus LPJ Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bengkayang..
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 38
Dengan kondisi seperti di atas sebenarnya dapat dinilai bahwa promosi governance
dengan mengandalkan civil society sebagai yang berdaulat patut dipertanyakan, lantaran
peran partisipasi telah dipangkas atau tidak sungguh-sungguh diterapkan. Dalam konteks
demokrasi, maka dengan menguatnya oligharki seperti ini, dapat diduga kuat bahwa telah
terjadi pembajakan demokrasi (hijacked democracy), sehingga representasi politik tidak
dijalankan secara sungguh-sungguh.
6.3. Relasi Sosial-Politik Antar Pemda
Dua hal yang akan dikemukakan di dalam sub bab relasi sosial-politik antar pemda
yang terjadi di wilayah penelitian yaitu; Adanya perebutan aset antar-pemda; Penetapan
ibukota yang memunculkan sengketa antar kabupaten; Munculnya konflik perbatasan; dan
Kerjasama antar-daerah.
(1). Perebutan Aset-Aset Daerah
Kasus perebutan aset terjadi antara pihak DOB Kabupaten Buton dan Kota Bau-Bau
dan antara DOB Kabupaten Sambas dengan Kota Singkawang, karena perbedaan penafsiran
atas regulasi pembagian aset. Bagi DOB Kabupaten Buton (atau Sambas), pembagian aset ini
tidak bisa dipersamakan antara pemekaran menjadi Kabupaten Baru dan pergantian status
Kota Administratif menjadi Kota Otonom Bau-Bau (atau Singkawang). Sementara bagi Bau-
Bau (atau Singkawang) mendasarkan pada UU No. 22/ 1999. Berbeda halnya dengan
perpindahan aset di Kabupaten Wakatobi. Di Kabupaten ini telah diklaim dua pusat wisata
laut (Operation Wallacea dan Tomia Dive Resort) yang semula menjadi otoritas pemerintah
provinsi dan pusat sebagai bagian dari proyeksi sumber PAD terbesar. Namun dalam
pelaksanaannya dua kawasan tersebut terkesan belum tersentuh oleh pihak Pemkab
Wakatobi.
(2). Penetapan Lokasi Ibukota Kabupaten Baru yang Memunculkan Masalah
Penetapan sebuah ibukota kabupaten, nampaknya perlu ketegasan dan pertimbangan
yang matang. Penetapan ibukota kabupaten tersebut merupakan syarat yang tak bisa ditawar
di dalam proses pemekaran daerah. Meskipun pada akhirnya penetapan sebuah ibukota telah
dinyatakan definitif, namun ketegangan di antara para pejuang pemekaran tak dapat
dihindarkan. Beberapa ketegangan tersebut diantaranya adalah:
(a). Terjadinya ketersendatan pembangunan di kawasan perbatasan dan pembangunan
infrastruktur DOB.
(b). Perasaan tak puas tetapi pasrah dengan keputusan penetapan ibu kota.
(c). Perasaan tak puas, tetapi masih berupaya untuk mengubah lokasi ibu kota.
Ketegangan di atas dimungkinkan karena ternyata calon lokasi ibu kota lebih dari satu
nominasi. Dalam hal ini dapat dimengerti bahwa sebelumnya telah terjadi kesepakatan
penentuan sebuah ibukota pertama-tama lantaran karena syarat penilaian administratif fisik.
Hanya saja kesepakatan ini masih menyisakan agenda tersebunyi terkait soal representasi
identitas daerah Buton atau Sambas.
Contoh yang cukup menonjol dalam hal ini adalah kontestasi antar-elite pejuang
pemekaran di DOB Kabupaten Buton yang semula telah diputuskan oleh DPRD bahwa ibu
kota Kabupaten Buton adalah di La Ompo, Kecamatan Batuaga,25
tetapi yang kemudian
dijadikan ibu kota adalah Pasar Wajo. Di Bombana, meskipun telah dicapai keputusan
tentang penetapan lokasi ibu kota kabupaten, pertarungan mengenai lokasi ibukota masih
menyisakan gemanya sebagai dampak pemekaran. Dalam kampanye pilkada bupati/wakil
25
Periksa Keputusan DPRD kabupaten Buton Nomor 14/DPRD/1999 tertanggal 14 Agustus 1999 yang
menetapkan Laompo di Kecamatan Batuaga sebagai ibukota Kabupaten Buton.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 39
bupati, untuk mencari dukungan suara pemilih dari komunitas Bugis di Poleang dijanjikan
pemindahan lokasi ibu kota dari Kasipute ke Poleang, sementara untuk mencari dukungan
suara pemilih dari komunitas Moronene dijanjikan lokasi ibukota itu tetap di Kasipute.
Tentang lokasi ibu kota itu juga masih mencuatkan dampaknya sesudah pemekaran, yaitu
dalam penempatan lokasi gedung Polres Bombana yang ditetapkan 50 km jauhnya dari
Kasipute, sehingga gedung yang akan dibangun untuk Kantor Kabupaten akan ditempatkan
tidak jauh dari lokasi gedung Polres. Ini adalah keputusan DPRD Bombana yang dulu
sebagian anggotanya menginginkan lokasi ibu kota kabupaten berada di Poleang dan bukan
di Kasipute. Nuansa pertarungan yang muncul di masa proses pemekaran masih
menggemakan dampaknya sesudah pemekaran terwujud.
Gambaran yang hampir sama juga terjadi terhadap penetapan Ibu Kota Kabupaten
Sambas yang semula sudah ditetapkan di Sambas kemudian diubah menjadi di Singkawang.
Penetapan ibukota yang terakhir ini menimbulkan ketegangan karena hampir sebagian besar
pembangunan fisik lebih banyak diletakkan di Singkawang. Kondisi ini menimbulkan
ketidakpuasan dan semangat untuk mengembalikan ibu kota Kabupaten Sambas dari
Singkawang ke Sambas.
(3) Konflik Batas Wilayah.
Pemekaran yang lebih berarti sebagai pemecahan wilayah, selalu memunculkan
permasalahan di dalam penentuan batas wilayah baru. Penentuan batas wilayah tidak hanya
terjadi pada tataran kabupaten namun juga terjadi pada aras antar kabupaten (antar penduduk
dari wilayah kabupaten yang berbeda). Di sini penentuan batas wilayah selalu mengandung
potensi bagi munculnya konflik yang berkepanjangan. Sengketa batas wilayah terjadi baik
antara kelompok di Kabupaten Bengkayang dengan kelompok di Kota Singkawang.
Demikian pula yang terjadi antar-kecamatan atau antar-individu di dalam Kabupaten Sambas.
Di Buton, sengketa perbatasan terjadi antara Kota Otonom Bau-Bau dengan DOB Kabupaten
Buton. Konflik semacam ini bisa berakibat terabaikannya pelayanan publik dan melemahnya
kerjasama antar daerah.
Ketegangan di dalam penentuan batas wilayah sebenarnya sudah terjadi sejak lama
karena berkaitan dengan aspek ekonomi, namun menjadi semakin merebak ketika pemekaran
dijalankan. Beberapa sebab ketegangan berkaitan dengan tapal batas kepemilikan lahan, yang
secara laten ada, di antaranya adalah:
(a). Semakin komersialnya petani di wilayah perbatasan antar-desa atau antar kecamatan.
(b). Masuknya perkebunana baru (terutama kelapa sawit) yang berusaha untuk menyewa
atau membeli lahan pertanian, nampaknya menjadi penyebab utama semakin
komersialnya petani di wilayah yang bersangkutan. Para pengusaha ini di dalam
mengolah lahan selalu menggunakan alat berat untuk menggarap tanah (traktor).
Penggunaan alat berat ini juga menyebabkan tapal batas kepemilikan menjadi hilang.
(c). Ketidaktuntasan proses penentuan tapal batas oleh Dinas Pertanahan (sertifikat tanah)
sebelum pemekaran terjadi (meninggalkan bom waktu). Selain itu ketiadaan bukti
/basis legalitas yang sah dalam penentuan batas menyebabkan proses jual-beli dan
penggarapan dapat menimbulkan konflik.
(d). Adanya perebutan sumber ekonomi dan perebutan memperoleh akses ke laut atau
perebutan lahan untuk perkebunan menyebabkan petani semakin komersial dan
semakin mempertinggi ketegangan dan konflik antar kelompok masyarakat
(e). Sentimen etnis (etnosentrisme) yang ada sejak sebelum pemekaran nampaknya
menjadi semakin berkembang dengan adanya pemekaran yang secara geografis
pemekaran tersebut berujung pada pemisahkan penduduk menurut kelompok etnis.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 40
Kesulitan di dalam menafsir batas administrasi dimunculkan oleh lemahnya bukti-
bukti resmi kepemilikan atas tanah. Seringkali penetapan batas wialayah yang disepakati
penduduk adalah hanya merupakan kesepakatan lesan yang didasarkan kepada batas-batas
seperti: sungai, pohon, batu, dan lain-lain. Munculnya sengketa tapal batas juga didorong
oleh adanya ketegangan antar DOB khususnya menyangkut letak sumber ekonomi dan PAD.
Pada kenyataannya proses pemekaran memang tidak mempersiapkan diri untuk mengatasi
kemungkinan munculnya sengketa perbatasan, sehingga sengketa perbatasan yang ada
menjadi sulit untuk diselesaikan. Sengketa yang berkepanjangan pada akhirnya akan
menyebabkan terabaikannya kegiatan pelayanan publik di wilayah yang bersangkutan.
(4). Kerjasama Antar Daerah (Pemda).
Dapat dikemukakan bahwa program KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu) Khatulistiwa di Singkawang yang dibentuk tahun 2002 sebagai perluasan dari
KAPET Sanggau th 1998 (berdasarkan Keppres 13 th 1998) tidak ada implementasinya
karena tidak memperoleh dukungan yang memadai dari kabupaten-kabupaten terkait.
Program ini juga gagal dalam menarik para investor.
Pada tahun 2005 upaya penyusunan integrated planning untuk daerah Singkawang,
Sambas dan Bengkayang juga pernah disponsori oleh JICA (Japan International Cooperation
Agency), namun tidak diikuti dengan langkah tindak lanjut yang konkrit karena perhatian
masing-masing kabupaten masih kepada pengembangan dilingkungan masing-masing.
Kerjasama yang terjadi adalah kerjasama antara daerah pemekaran dengan daerah lain
(bukan daerah induk), walaupun masih dalam tahap awal. Sebagai gambaran adalah
kerjasama antara Kabupaten Bengkayang dengan Kabupaten Pontianak dengan
penandatanganan MoU pengelolaan air bersih dan pertambangan (3 April 2007). Demikian
pula kerjasama terjadi antara DOB Kabupaten Buton dengan dua kabupaten lain atau antara
DOB Kabupaten Buton dengan Kota Bau-Bau.
6.4. Relasi Sosial-Politik Antara Daerah dengan Pemerintah Pusat
Dalam perkembangannya, kebijakan-kebijakan pemerintah pusat terkait dengan
territorial reform-nya direspon oleh daerah secara berbeda. Respon daerah tersebut terjelma
ke dalam alasan atau faktor pendorong maraknya keinginan daerah untuk melakukan
pemekaran daerah, yaitu: 1) Motivasi untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi
administrasi pemerintahan mengingat wilayah daerah yang begitu luas, penduduk yang
menyebar, dan ketertinggalan pembangunan di daerah-daerah; 2) kecenderungan untuk
homogenitas (etnis, bahasa, agama, urban-rural, tingkat pendapatan, dll; 3) adanya
kemanjaan fiskal yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan bagi daerah-daerah
pemekaran (seperti disediakannya dana alokasi umum bagi pemerintah daerah otonom), bagi
hasil (revenue sharing) sumber daya alam, dan disediakannya sumber-sumber pendapatan
asli daerah); 4) motif politik ekonomi (bureaucratic and political rent-seeking) dari
pemekaran daerah. Disamping itu masih ada motif “tersembunyi” didorongkannya upaya
pemekaran dari pusat, yaitu gerrymander atau usaha-usaha pembelahan daerah secara politik.
Dalam implementasi kebijakan territorial reform di Indonesia dewasa ini,
teridentifikasi tiga pola proses yang teramati. Pertama, proses pemekaran sarat dengan
kolaborasi antar-elite lokal, pengusaha, dan elite nasional. Kondisi seperti ini menyebabkan
biaya pemekaran daerah menjadi tinggi dan pada gilirannya menimbulkan persekongkolan
yang tak sehat. Dalam roundtable disscusion, Percik-DRSP (2007) terungkap bahwa
kolaborasi antara elite-elite dalam pemekaran menjadi arena untuk sharing baik kekuasaan
maupun ekonomi (proyek-proyek) apabila daerah baru terbentuk. Kedua, dalam proses
pemekaran ini sangat kuat nuansa penggunaan paradigma public administration yang
muncul dalam wujud pemenuhan syarat yuridis-formal. Tetapi sebaliknya, terungkap dalam
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 41
proses roundtable disscusion,26
meskipun pada tataran kebijakan pemekaran daerah
didominasi oleh logika administratif yang lebih mengedepankan pemenuhan persyaratan
administratif yang bersifat formal, dalam tataran implementasi justru aspek politik yang lebih
dominan dan sering menggeser aspek-aspek formal adminstratif. Proses pemekaran sering
dimanfaatkan sebagai ajang melakukan investasi politik di daerah oleh elite-elite nasional
sehingga pemenuhan tuntutan pemekaran tidak didasarkan pada pertimbangan yang obyektif.
Ketiga, kepercayaan adanya kebesaran masa lalu mendorong keinginan untuk membentuk
provinsi dengan warna etno-kultural dominan. Ingatan kolektif menjadi pengikat untuk
melakukan gerakan bersama untuk membentuk daerah (provinsi) baru. Ingatan kolektif
tersebut semakin memperoleh peluang sebagai dasar untuk memekarkan diri dengan lahirnya
kebijakan desentralisasi. Kebijakan desentralisasi yang dimaksudkan lebih memberi peluang
bagi daerah untuk mengembangkan identitas budaya lokal yang mengekpresikan dirinya
dalam pembangunan telah menjadi pendorong aspirasi kelompok yang selama ini merasa
tertekan dan terpinggirkan untuk memiliki unit wilayah administratif yang mewakili ingatan
kolektif tentang batas-batas territorial sebelumnya.
Seperti diketahui, pemekaran daerah di Indonesia sampai saat ini masih mengacu pada
Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 199927
sebagai penjabaran dari UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004. Dalam
perspektif nasional, sebagaimana termuat dalam PP No. 129/1999, tujuan pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
melalui peningkatan pelayanan, percepatan demokrasi, percepatan pertumbuhan
perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan
ketertiban, serta peningkatan hubungan serasi antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan
demikian, setiap kebijakan pemekaran dan pembentukan daerah baru harus menjamin
tercapainya akselerasi pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat. Proses pemekaran
seringkali hanya merupakan agenda elite yang menjadi inisiator-inisiator pemekaran. Inisiator
ini bisa berupa elite daerah di daerah atau elite daerah yang ada di Jakarta. Elite daerah yang
ada di daerah ini meliputi para politisi lokal, ekskutif lokal (camat yang daerahnya akan
menjadi wilayah dari daerah yang akan dimekarkan), pemimpin tradisional, aktivis LSM
maupun para pengusaha lokal yang berharap jika suatu daerah berhasil dimekarkan para aktor
tersebut akan memperoleh sharing baik kekuasaan maupun proyek-proyek. Proses pemekaran
26
Bandingkan dengan Riwanto Tirtosudarmo, 2007. Pemekaran sebagai Arena Perebutan dan Pembagian
Kekuasaan – Kritik terhadap Dominasi “Public Administration School” dalam kebijakan Desentralisasi di
Indonesia. Percik-DRSP, Seminar Internasional ke-8. Public administration school yang dmaksudkan Riwanto
adalah: dalam territorial reform ini aspek legal-formal dan administrasi publik ini kemudian melupakan aspek
keruangan (spasial-geografis) dan dimensi sosial-kultural. Konsep yang seharusnya dipertimbangkan, misalnya,
adalah pertimbangan bioregion yang memiliki “ecological boundaries” yang perlu dipertimbangkan sebelum
batas administratif diputuskan. Konsep bioregion inipun sangat erat hubungannya dengan aspek sosio-kultural,
hal.3-6;10-11; Bdk. Gabe Ferazzi, 2007, hal.5; hal 22-23.
27 Keberadaan PP No. 129 tahun 1999 ini oleh beberapa kalangan sudah dianggap tidak relevan lagi untuk
mengatur tentang penataan daerah sehingga muncul dorongan yang kuat untuk mengubah PP No. 129 Tahun
1999 tersebut. Salah satu pihak yang mendorong supaya PP No. 129 Tahun 1999 diuabah adalah Dewan
Perwakilan Daerah. Dalam Pengantar Pandangan dan Pendapat DPD RI terhadap 11 RUU Inisiatif DPR RI
tentang Pembentukan Daerah tanggal 6 Meret 2007, DPD mendesak supaya penyempurnaan PP No. 129 Tahun
1999 segera dilakukan mengingat semakin kompleknya persoalan pemekaran daerah. Penyempurnaan yang
didesakkan oleh DPD ini termasuk juga dipikirkan tentang model pembentukan daerah baru melalui masa
persiapan dalam kurun waktu 1-2 tahun dan juga mengoptimalkan dan mensinergiskan peran lembaga negara
yang ada.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 42
tidak dilakukan melelui proses horizontal learning atau kesediaan saling belajar dari para
elite daerah sehingga hanya akan mengulang kesalahan dan menumpuk persoalan.28
Persoalan yang menyangkut relasi sosial-politik antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah Otonomi Baru akan selalu terkait dengan gencarnya usaha daerah untuk
menyerap dan memanfaatkan DAU dan DAK dan Inefisiensi pelayanan publik,
(1) Pemanfaatan DAU dan DAK
Turunnya DAU dan DAK secara langsung ataupun tidak langsung menjadi sumber
dana bagi geliat ekonomi dan pembangunan. Sejumlah program pembangunan dan
pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan), perkantoran pemerintahan, dan sarana
pelayanan publik lain (rumah sakit atau puskesmas), dapat dilaksanakan karena adanya dana
tersebut. Pelaksanaan proyek pembangunan tersebut selain secara langsung memberikan
kesempatan kerja dan pendapatan bagi para pekerja di dalam proses pembangunannya juga
menyebabkan pelayanan publik menjadi lebih baik. Selain itu DAU juga memungkinkan
pemerintah daerah mengangkat pegawai baru yang jumlahnya bisa mencapai 500 orang
pertahun.
Dengan demikian adanya DAU dan DAK memang benar-benar mampu memberikan
dampak positif bagi daerah. Dalam perkembangannya adanya DAU dan DAK ini seringkali
memang menjadi tujuan utama dimekarkannya suatu daerah, dengan tanpa memperdulikan
beban negara yang dapat semakin besar.
Walaupun adanya DAU dan DAK memberi dampak yang benar-benar positif bagi
perkembangan DOB namun dilihat dari semakin beratnya beban anggaran yang haruys
ditanggung oleh negara maka aspek efisiensi pemanfaatan DAU dan DAK selalu menjadi
pokok relasi sosial-politik antara DOB dan Pemerintah Pusat yang kurang harmonis.
(2) Inefisiensi Pelayanan Publik
Begitu gencarnya pembangunan prasarana perkantoran untuk memberi pelayanan
publik, kadang-kadang untuk wilayah tertentu menjadi tidak efisien karena jumlah yang
dilayani terasa terlalu sedikit. Kondisi ini terjadi di dua wilayah penelitian (Kalimantan Barat
dan Sulawesi Tenggara). Sebagai gambaran dapat dikemukakan di Kabupaten Bengkayang
terdapat kecamatan baru (baru dibentuk) yang hampir satu hari penuh tidak dikunjungi oleh
rakyat. Tersedianya aparat birokrasi di kecamatan yang bersangkutan kurang dimanfaatkan
karena sedikitnya jumlah warga yang haris dilayani dan tidak adanya program pembangunan
yang jelas yang seharusnya mereka jalankan.
Terlepas dari dampak positif yang memungkinkan munculnya efektifitas pelayanan
publik, namun untuk wilayah tertentu pelayanan publik menjadi tidak efektif dan lebih
menjauhkan rakyat dari pusat pemerintahan. Kasus masyarakat Kecamatan Sungai Raya yang
semula memperoleh pelayanan publik yang lebih baik dan lebih dekat dengan pusat
pemerintahan, sesudah ada pemekaran wilayah justru menjadi lebih jauh dari pusat
pemerintahan.
Adanya resistensi warga terhadap inefisiensi pelayanan publik, seperti kasus di
Kecamatan Sungai Raya, sebenarnya tidak hanya dilandasi ketidakpuasan atas tidak
efisiennya pelayanan publik oleh pihak kabupaten namun juga didorong oleh adanya
ketidakpuasan dan kekawatiran oleh adanya perubahan status kemapanan (kekuasaan). Warga
Sungai Raya yang semula merupakan etnis mayoritas, dengan adanya pemekaran
menyebabkan mereka menjadi kelompok minoritas di Kabupaten Bengkayang.
28
Hasil Roundtabel Discussion Percik-DRSP, “Mengembangkan Kebijakan Penataan Daerah yang Peka
Terhadap Perspektif Lokal”, diselenggarakan di Kampoeng Percik pada tanggal 20 Juli 2007.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 43
Inefisiensi pelayan publik seperti kasusu diatas memungkinkan adanya relasi sosial-
politik antara Pemerintah Pusat dengan DOB menjadi kurang harmonis. Walaupun demikian
tindak lanjut (usaha) untuk mengatasi masalah ini nampaknya belum jelas.
6.5. Relasi Sosial-Politik Antar Pemda Dengan Negara Lain
Relasi sosial-politik antara DOB dengan pihak luar negeri lebih banyak terjadi kalau
DOB tersebut berbatasan langsung dengan wilayah negara lain. Kabupaten Bengkayang dan
Kabupaten Sambas mempunyai wilayah perbatasan dengan Nagera Malaysia yang cukup
panjang.
Di wilayah perbatasan, di samping terdapat jalan utama dan jalan formal untuk
pelintas batas, juga terdapat sejumlah jalan tidak formal yang bisa dilalui pelintas batas secara
ilegal. Masuknya sejumlah TKI dari Indonesia ke Malaysia sudah bukan rahasia lagi
sehingga sering menimbulkan ketegangan. Namun demikian jalan-jalan yang lintas batas
yang tidak formal tersebut juga menjadi jalan utama perdagangan gelap yang memang sangat
menguntungkan bagi para spekulan. Biasanya dari Malaysia akan masuk ke Indonesia
barang-barang makanan dalam kaleng atau kemasan plastik yang canggih dan dengan harga
yang lebih murah dari harga di Indonesia, sedangkan dari Indonesia akan keluar hasil bumi
yang harganya sangat murah. Penanganan pelintas batas informal (selain TKI gelap) tersebut
sampai sekarang nampaknya tidak dapat ditangani secara intens karena proses lintas batas
tersebut merupakan proses lintas batas yang sudah membudaya yang melibatkan dua rumpun
melayu yang “sesaudara”.
Kerjasama dengan luar negeri yang lebih formal sudah semakin nyata dan cepat,
terutama dengan mulai dibangunnya jalan menuju perbatasan. Di Kabupaten Bengkayang
nampak adanya persiapan untuk membuka lintas batas formal (di Kecamatan Jagoibabang).
Kerjasama yang lebih formal tersebut terjadi dengan munculnya (dengan mudah) sejumlah
pengusaha Malaysia untuk membangun proyek-proyek pembangunan di Kabupaten
Bengkayang dan Sambas). Yang menarik adalah bahwa adanya gejala bahwa begitu
mudahnya warganegara Malaysia dengan kendaraannya masuk ke Indonesia (sampai ke
Pontianak) namun begitu sulitnya warganegara Indonesia untuk masuk ke Malaysia.
Persoalan yang sudah berbau politik ini nampaknya hanya dapat diselesaikan dengan pihak
Pemerintah Pusat. Selama belum ada penyelesaian politis maka proses-lintas batas yang
bersifat informal, ilegal, dan diskriminatif tersebut akan terus berjalan.
7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Desentralisasi atau proses pemberian (pengembalian) kewenangan untuk mengelola
pemerintahan diaras non pusat (provinsi atau Kabupaten/kota) secara otonom akan selalu
terkait dengan suatu proses terik menarik antara kepentingan nasional (pusat) dan
kepentingan lokal (daerah). Oleh sebab itu, kesimpulan hasil dan rekomendasi dari penelitian
pemekaran daerah sebenarnya tidak akan bersifat hitam putih yang terpisah secara tegas,
namun merupakan gambaran yang tidak tegas (“abu-abu”) bahkan seringkali bisa bersifat
dilematis atau tarik-menarik antara isu dan kepentingan nasional (pusat) dengan isu dan
kepentingan lokal (daerah). Isu atau kepentingan nasional (pusat) yang biasanya bersifat:
memelihara pluralisme, kesatuan nasional, dan lebih menekankan efisiensi pelayanan publik,
akan berhadapan dengan isu atau kepentingan lokal yang biasanya bersifat ingin
menunjukkan identitas atau dignity, bervariasi dan spesifik, serta lebih menekankan
efektifitas pelayanan publik.
Demikian pula proses-proses otonomi daerah, bukanlah merupakan sesuatu yang
bersifat sebagai final product (sesuatu yang bersifat final atau selesai) tetapi bersifat on going
(atau sesuatu yang terus berjalan). Perkembangan hasil dari proses-proses pemekaran daerah
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 44
sangat tergantung dari kemampuan dan kapasitas crafting masing-masing daerah di dalam
menyelesaikan permasalahan pemekaran daerah. Dengan demikian hasil yang diperoleh dapat
berbeda dari ssatu daerah ke daerah lain. Selain itu hasil dan perkembangan pemekaran
daerah juga bisa berubah dari waktu ke waktu. Hasil pemekaran bisa terlihat negatif karena
adanya peran aktor tertentu dan pada kondisi tertentu tetapi pada akhirnya bisa saja pada
perkembangannya menjadi bersifat positif oleh adanya aktor lain atau kondisi lain.
Beberapa hasil penelitian yang diperoleh dan rekomendasi yang dapat dikemukakan
di antaranya dapat dilihat pada uraian skematis di bawah ini.
KESIMPULAN REKOMENDASI
Adanya keterbatasan kapasitas
Pemerintah Pusat untuk memahami
dinamika pemekaran di aras daerah.
Adanya kecenderungan Pemerintah Pusat
untuk menyeragamkan keputusan dan
prosedure pelaksanaan pemekaran
daerah.
Pemerintah sebaiknya segera membuat
kebijakan yang bersifat umum menyangkut
institutional design (perencanaan
kelembagaan) pemekaran daerah.
Kebijakan pemekaran daerah yang lebih
rinci ditetapkan oleh otoritas pemerintahan di
atasnya, seperti:
a. Pemerintah provinsi oleh pusat
b. Pemerintaha Kabupaten/Kota oleh
Provinsi
c. Pemerintahan Kecamatan/Desa/ Kelurahan
oleh Kab/Kota
Dipandang dari sudut kepentingan politik
daerah dan socio-cultural daerah (seperti
dignity rakyat dan identitas daerah),
pemekaran adalah penting, namun
demikian pemekaran daerah memang
membutuhkan biaya tinggi dan dukungan
dari pusat yang sekaligus juga
membebani bagi pusat
Pemekaran daerah, untuk sementara ini, tidak
perlu dihentikan tetapi harus dilanjutkan
dengan lebih meningkatkan efisiensi
organisasi pemerintahan daerah dan
pengorganisasian proses-proses pemekaran
itu sendiri. Prosedure dan sistem pemekaran
daerah perlu terus dikembangkan kearah
efisiensi.
Fenomena pemekaran nampaknya akan
terus berlanjut sampai ke taraf yang tidak
rasional. Penambahan jumlah Daerah
Otonomi Baru, pada akhirnya akan
membebani Anggaran Negara dan
sekaligus menyebabkan tidak efisiennya
pelayanan publik.
Hal ini bisa terjadi karena daerah
memandang bahwa pemekaran daerah
merupakan satu-satunya jalan untuk
mengembangkan diri, memberi
pelayanan publik yang lebih efektif, dan
sekaligus dapat digunakan sebagai jalan
untuk menyerap dana dari pusat secara
legal.
Kalau selama ini pemerintah pusat hanya
mempunyai kebijakan menyangkut
pemekaran daerah maka perlu segera dibuat
kebijakan yang menyangkut pembatasan
jumlah daerah yang dapat mekar atau mekar
kembali (jumlah maksimal yang dapat
mekar).
Di dalam hal ini kaidah struktur disinfektif
atau cost and responsibility dapat digunakan.
Perlu pengaturan kembali persyaratan dan
perhitungan pemberian DAU dan DAK yang
lebih condong ke usaha untuk memperbesar
pelayanan publik dan bukan pada
pengembangan administrasi pemerintahan
atau mengembangkan kekuasaan administrasi
daerah).
Diperlukan kebijakan yang memungkinkan
adanya pengembangan pelayanan publik
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 45
lewat pemekaran kecamatan yang tidak
disertai dengan pemekaran daerah
(Kabupaten /Kota)
Di beberapa wilayah ditemukan adanya
keengganan untuk kerjasama antar-
daerah yang tidak berjalan dengan baik
(bahkan konflik).
Makna UU No. 32 Tahun 2004 yang
menyangkut kerjasama lintas daerah ,
terlalu banyak diambil-alih oleh
pemerintah di atasnya dan usaha ini tidak
berjalan dengan baik.
Dalam rangka mengembangkan kerjasama
antar (lintas) daerah yang baik, diperlukan
adanya pembebasan (perlu ruang) bagi
daerah untuk mengembangkan dan
melaksanakan prakarsa lokal. Di dalam hal
ini pengembangan kerjasama antar daerah,
tidak hanya harus menanti pengambilalihan
oleh pemerintahan di atasnya namun harus
dilakukan oleh mereka sendiri sesuai dengan
kondisi dan permasalahan spesifik di daerah
masing-masing.
Di beberapa daerah, sengketa antara
Daerah Otonomi Baru dengan Daerah
Induk selalu terjadi. Hal ini nampaknya
terkait dengan tidak adanya penjabaran
institusi kelembagaan yang memberi
makna bahwa Daerah Otonomi Baru
perlu didukung dan bukan dianggap
sebagai kompetitor. Daerah Induk harus
mempunyai kewenangan dan kapasitas
untuk mengembangkan kerjasama dan
pengembangan bersama.
Perlu dirumuskan suatu kebijakan
menyangkut manajemen transisi, yang
mengatur secara kelembagaan semua proses
pemekaran kedepan terutama terkait dengan
kerjasama antar daerah dan pengembangan
bersama.
Ditemukan adanya ketidak jelasan
tentang wilayah yang dianggap Daerah
Induk dan wilayah yang dianggap Daerah
Otonomi Baru (anak). Demikian pula
menyangkut penetapan daerah dijadikan
ibukota. Hiruk-pikuk dan keruwetan
pemekaran daerah tersebut bisa
disebabkan oleh tidak adanya
Institutional design pemekaran (terutama
pada masa transisi), dan ketidaktepatan
manajemen yang tidak tuntas (walaupun
ada juga konflik di daerah menyebabkan
keruwetan diatas).
Perlu dirumuskan kebijakan institutional
design yang menyangkut kejelasan dan
konsekwensi Penetapan Darah Induk dan
Penetapan Ibukota
Berbagai karakteristik lokal memiliki
pengaruh yang besar terhadap proses
sosial politik pembentukan daerah
otonom baru. Era reformasi dan semangat
desentralisasi merupakan momentum
perwujudan dari keinginan memekarkan
diri yang dalam berbagai daerah telah ada
di dalam masyarakat. Peraturan
perundang-undangan tentang pemekaran
sekedar dipakai sebagai alat legitimasi
legal-formal oleh para elit politik, baik
lokal maupun nasional, untuk mencapai
Format pemekaran wilayah (territorial
reform) di masa depan harus
mempertimbangkan secara sungguh-sungguh
adanya keragaman ekologi maupun sosio-
kultural yang merupakan karakteristik lokal.
Tanpa adanya pertimbangan akan pentingnya
karakteristik lokal, setiap perundangan dan
peraturan tentang desentralisasi dan
pemekaran wilayah (territorial reform)
hanya akan menjadi kerangka legal-formal
yang dipakai sebagai alat legitimasi untuk
membentuk daerah otonom baru demi
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 46
tujuan pemekaran. kepentingan-kepentingan elite politik belaka
(elite captures).
Desain desentralisasi dan pemekaran
wilayah (territorial reform) tidak
memberi kesempatan bagi
teraktualisasinya potensi daerah dan
masyarakat lokal (rakyat) sebagai
representasi dari masyarakat sipil (civil
society).
Selain itu dengan kerangka legal-formal
yang ada justru mendorong berkembang
dan menguatnya sentimen etno-kultural
yang sempit yang mendorong
terfragmentasinya wilayah geografis
berdasarkan batas-batas etno-kultural
sempit tanpa mempertimbangkan
viabilitas dan interkoneksitas ekonomi
antar daerah.
Kebijakan desentralisasi dan pemekaran
perlu didesain ulang (redesign) dengan lebih
membuka diri untuk berkembangnya ruang
publik, yang memungkinkan lahirnya check
and balances.
Selain itu, pada skala makro, diperlukan
“rethinking” tentang konsep desentralisasi
yang memungkinkan dikembangkannya
desain-desain pemekaran wilayah (territorial
reform) yang berbasis “region” dan
“regionalism” mengingat kompleksnya
konfigurasi geografis, demografis maupun
kultural di Indonesia.
Dilihat dari kacamata daerah (rakyat),
pembentukan kabupaten baru yang
disertai dengan pengembangan
kecamatan baru, pada umumnya
menyebabkan pelayanan publik menjadi
lebih dekat kepada masyarakat dan
manfaatnya dapat lebih langsung
dirasakan oleh masyarakat. Namun
demikian efisiensi pelayanan publik perlu
diperhatikan (rasio jumlah penduduk
yang dilayani dengan jumlah pelayan
publik).
Selain itu, resentralisasi pelayanan publik
ke aras kabupaten (seperti pengurusan
KTP, KK, dll) menyebabkan
pembentukan kecamatan baru dan
pelayanan publik menjadi tidak efektif
lagi.
Perlu adanya (penetapan) kebijakan (bisa
sampai kebijakan di aras nasional) beserta
konsekwensinya yang memberikan
kewenangan yang lebih besar bagi kecamatan
baik di Daerah Otonomi Baru maupun di
Daerah Induk (daerah lain) untuk
memberikan pelayanan publik.
Selian itu dipandang perlu adanya perumusan
collective designing secara partisipatoris
yang tidak hanya ada pada tataran grand
design di tingkat pusat, tetapi juga grand
design di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota. Dalam perumusan kebijakan,
tujuan, dan proses pemekaran daerah,
seharusnya juga diperhatikan dan
diakomodasi kepentingan kelompok yang
selama ini terpinggirkan
*****
.