resolusi konflik agama dalam integrasi sosial di desa …
TRANSCRIPT
RESOLUSI KONFLIK AGAMA DALAM INTEGRASI SOSIAL DI DESA BILA KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Pada Program Studi Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh NUR INDAH FAJRINI. S
NIM. 105381118116
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI 2020
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Disaat ku memohon kepada Allah untuk diberikan kekuatan, bersama dengan itu
Allah hadirkan kesulitan agar aku menjadi kuat.
Disaat ku memohon agar diberikan kebijaksanaan Allah hadirkan berbagai
masalah untuk ku pecahkan.
Disaat ku memohon untuk diberikan keberanian Allah hadirkan keadaan terburuk
untuk kuatasi.
Segala bentuk perjuangan yang telah dilalui adalah bukti bahwa engkau belum
menyerah.
Sedangkan semua proses yang telah kau tempuh merupakan gambaran dirimu
yang sesungguhnya.
Kupersembahkan karya sederhana dariku, sebagai bentuk terimakasih dan wujud
cinta untuk kalian orang-orang special dalam hidupku. Untuk mama, papa,
saudara-saudaraku, kekasihku, sahabat-sahabatku, dan yang tak dapat ku sebutkan
satu-persatu. Terimakasih atas cinta dan kasih sayang, terimakasih atas segala doa
dan pengorbanan, terimakasih atas segala semangat dan dorongan dalam
mendukung saya dalam mewujudkan harapan menjadi kenyataan.
vii
ABSTRAK
Nur Indah Fajrini, 2020. Resolusi Konflik Agama Dalam Integrasi Sosial Di Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang. Skripsi Jurusan Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. di bimbing oleh Bapak Kaharuddin Sebagai Pembimbing I dan Bapak Lukman Ismail Sebagai Pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses resolusi konflik antar agama yang terjadinya di Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang. dan Untuk menganalisis proses terjadinya integrasi sosial melalui resolusi konflik agama di Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang.
Jenis Penelitian ini yaitu penelitian deskriptif kualitatif. Informan dalam penelitian ini adalah kepala desa, tokoh masyarakat yang beragama islam dan hindu, serta masyarakat desa bila sendiri. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, integrasi bisa saja hidup bersebelahan dengan konflik, bahkan melalui resolusi konflik keseimbangan hubungan dapat ditata dan diciptakan kembali. Konsep yang ditawarkan tersebut mengisyaratkan bahwa integrasi tercipta melalui proses yang panjang pasca resolusi konflik yaitu melalui interaksi dan komunikasi yang intensif. Serta kelompok-kelompok sosial yang berintegrasi membangun social networks dalam suatu unit sosial yang relative koherensif. Selain itu keikutsertaan individu masing-masing kelompok agama untuk menunjang berbagai kegiatan sosial yang diadakan oleh pemerintah juga turut mendukung terbangunnya partisipasi, solidaritas dan kekerabatan dalam masyarakat.
kata kunci: Resolusi konflik, integrasi sosial, konflik agama.
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat meyusun Skripsi ini
dengan baik, sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pendidikan.
Sholawat serta salam tetap tercurah kepada kehadiran pemimpin sang illahi Rabbi
Nabi Besar Muhammad SAW, Sang revolusiuner sejati. Sosok pemimpin yang
terpercaya, jujur, dan berakhlak karimah yang telah bersusah payah mengeluarkan
manusia dari kungkungan kebiadaban, sehingga sampai saat ini manusia mampu
memposisikan diri sebagai warga negara yang senantia beriman dan bertaqwa
dijalan Allah SWT.
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan penulis, skripsi ini lahir dan
tempat sebagai manifestasi dari suatu usaha yang tak mengenal lelah dan pantang
menyerah. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa mulai dari penyusunan, hingga
selesai skripsi ini di tulis, tidak sedikit hambatan dan tantangan yang di hadapi
penulis. Namun , tantangan dan hambatan tersebut dapat di hadapi berkat bantuan
dari beberapa pihak. Oleh sebab itu, tidak berlebihan sekiranya pada kesempatan
ini penulis menyampaikan ungkapan terimakasih yang setinggi-tingginya dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag Selaku Rektor Universitas
Muhammadiyah Makassar .
ix
2. Bapak Erwin Akib, S.Pd., M.Pd., Ph.D. Selaku Dekan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
3. Bapak Drs. H Nurdin, M.Pd. Selaku Ketua Prodi Pendidikan Sosiologi
4. Bapak Kaharuddin, M.Pd, Ph.D. Selaku Pembimbing I yang dengan penuh
kesabaran dan keikhlasan membimbing penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
5. Bapak Lukman Ismail S.Pd, M.Pd Selaku Pembimbing II yang juga
dengan penuh kesabaran dan keikhlasan membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Teristimewa Orang Tua saya ayahanda Syafruddin dan ibunda Normawati
tercinta atas segala doa dan dukungan yang tak terhingga yang selalu
tercurah untuk keberhasilan ananda.
7. Orang terkasih, serta seluruh keluarga yang selalu mendukung dalam
segala hal.
8. Teman-teman Seperjuangan khususnya Sahabat yang selalu memberi
motivasi dan dukungan dalam pembuatan skripsi ini.
9. Semua pihak yang telah ikut serta memberikan bantuannya, yang tidak
sempat di sebutkan namanya satu persatu.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas amal ibadah dan bantuan yang
di berikan dengan ikhlas serta limpahan rahmat dan karunian-Nya senantiasa
tercurah kepada kita. Amin.
Sebagai seseorang yang masih dalam tahap belajar, tentu saja skripsi ini
masih banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk itu penulis dengan hati terbuka
menerima segala kritik dan saran yang bersifat konstruktif, guna perbaikan dan
x
peningkatan kualitas penulis di masa yang akan datang. Karena penulis yakin
bahwa satu persoalan tidak akan berarti sama sekali tanpa adanya keritikan.
Mudah-mudahan skripsi ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca terutama
bagi diri pribadi penulis. Aamiin.
Makassar, 28 Oktober 2020
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................ iii
SURAT PERNYATAAN .......................................................................... iv
SURAT PERJANJIAN ............................................................................. v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................ vi
ABSTRAK ................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................................... viii
DAFTAR ISI .............................................................................................. ix
DAFTAR TABEL...................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 7
E. Definisi Operasional ....................................................................... 7
a. Resolusi Konflik ......................................................................... 7
b. Integrasi Sosial ........................................................................... 8
c. Agama ......................................................................................... 9
d. Manusia dan Masyarakat ............................................................ 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................... 11
A. Kajian Konsep ................................................................................ 11
xii
a. Konsep Resolusi Konflik ............................................................ 11
b. Integrasi Sosial ........................................................................... 17
B. Kajian Teori ................................................................................... 25
a. Teori Agama dan konflik sosial karl marx dan
lewis cooser ................................................................................ 25
b. teori tindakan sosial dalam persfektif marx weber dan
talcot parsons .............................................................................. 26
C. Penelitian Relevan .......................................................................... 28
D. Kerangka Pikir ............................................................................... 30
BAB III METODE PENELITIAN ......................................................... 32
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ..................................................... 32
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 33
C. Informan Penelitian ........................................................................ 35
D. Fokus Penelitian ............................................................................. 36
E. Instrumen Penelitian ....................................................................... 36
F. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 37
G. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 38
H. Teknik Analisis Data ...................................................................... 41
I. Teknik Keabsahan Data ................................................................. 43
J. Etika Penelitian .............................................................................. 45
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ..................... 44
A. Sejarah Lokasi Penelitian ................................................................ 44
B. Letak Geografis Dan Jumlah Penduduk .......................................... 44
xiii
C. Keadaan Keagamaan ....................................................................... 46
D. Keadaan Sosial Budaya ................................................................... 46
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 48
A. Hasil Penelitian ............................................................................... 48
a. Proses Resolusi Konflik Agama Dalam Integrasi Sosial
Di Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang ............................. 48
b. Proses Terjadinya Integrasi Sosial Melalui Resolusi Konflik
Agama Di Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang ................. 57
B. Pembahasan ..................................................................................... 60
a. Proses Resolusi Konflik Agama Dalam Integrasi Sosial Di
Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang .................................. 60
b. Proses Terjadinya Integrasi Sosial Melalui Resolusi Konflik
Agama Di Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang ................ 63
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 68
A. Simpulan ......................................................................................... 68
B. Saran ................................................................................................ 70
a. Saran Kepada Masyarakat .......................................................... 70
b. Saran Kepada Pemerintah ........................................................... 70
c. Saran Kepada Peneliti Selanjutnya ............................................. 70
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 71
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah ”conflict” di dalam bahasa aslinya adalah suatu ”perkelahian,
peperangan atau perjuangan” berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak, dan
definisi Webster yang kedua tentang ”conflict” adalah persepsi mengenai
perbedaan kepentingan (perceived divergence of interrest). Konflik adalah
interaksi antar individu, kelompok dan organisasi yang membuat tujuan atau arti
yang berlawanan, dan merasa bahwa orang lain sebagai pengganggu yang
potensial terhadap pencapaian tujuan mereka. Wijono, 2012:203 dalam
(Kaharuddin 2013) Pendapat lain sebagaimana dikemukakan Simmel (Poloma
2003:107) bahwa, konflik merupakan bentuk interaksi dimana tempat, waktu serta
intensitas dan lain sebagainya tunduk pada perubahan, sebagaimana dengan isi
segitiga yang dapat berubah. Sedangkan menurut Coser (dalam Zeitlin 1998:156)
bahwa konflik sosial adalah suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuannya
terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber
pertentangan dinetralisisr, dilangsungkan, atau dieliminir saingan-sainganya.
Teori konflik merupakan suatu perspektif dalam ilmu sosiologi yang
memandang masyasarakat sebagai suatu sistem sosial yang terdiri dari komponen-
komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, dimana komponen
yang satu berusaha untuk melemahkan komponen yang lainnya guna memenuhi
kepentingan atau memperoleh keuntungan sebesar-besarnya Coser,1957;
Dahrendorf, 1958 dalam (Kaharuddin 2013). Kenyataan sosial menyatakan bahwa
2
struktur sosial adalah penyebaran secara kuantitatif penganut agama yang berbeda
di dalam berbagai posisi sosial yang berbeda dan saling mempengaruhi hubungan
diantara mereka (termasuk di dalamnya hubungan konflik).
Konflik antar agama merupakan konflik yang dapat ditimbulkan akibat
dari perbedaan keyakinan, yang tidak bisa disiasati dengan sikap saling
menghormati dan menghargai perbedaan. Di Indonesia kebebasan dalam
menganut keyakinan atau kepercayaan telah diatur dalam UUD 1945 pasal 28E
ayat 1 dan pasal 29 ayat 2. Kebebasan dalam memeluk agama telah diatur secara
jelas dan tidak ada satu pihakpun yang dapat ikut campur didalamnya. Undang
undang juga mengatur kebebasan dalam beribadah dengan aman sesuai dengan
keyakinan yang di anut. Sebagai negara nultikultural tentu saja di Indonesia tidak
hanya terdiri dari 1 agama saja seperti juga contoh konflik antar ras. Pemerintah
telah mengakui 6 agama sebagai agama resmi yang bisa dianut oleh para
pemeluknya. Keenam agama tersebut antara lain islam, kristen, khatolik, hindu,
budha dan konghucu.
Proses terjadinya suatu konflik dalam masyarakat yg berkaitang dengan
agama biasanya terjadi karena faktor individu yang sangat tidak mendasar, seperti
karena ketersinggungan agama. Selain itu, konflik cenderung terjadi biasanya
disebabkan oleh perbedaan pendapat tentang budaya, suku, dan adat-istiadat.
Kelompok masyarakat tertentu menganggap dirinya paling benar dan tidak mau
tersaingi oleh kelompok lain. Negara kita, Indonesia merupakan negara majemuk
yang terdiri dari beragam budaya, adat istiadat, suku, dan agama. Peristiwa dari
tanah air decade ini di mana perbedaan yang ada di masyarakat tidak mendukung
3
terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. peristiwa yang sering terjadi adalah
adanya konflik perbedaan agama dan keyakinan. Hal ini Menjadi perhatian
banyak pihak, baik dari pemerintah sendiri dan kalangan masyarakat pada
umumnya.
Konflik dapat diselesaikan dengan cara-cara yang tidak formal biasa
dilakukan terlebih dahulu yang kemudian dilakukan dengan cara-cara yang
formal. Sejalan dengan itu, Hendropuspito dalam Alimudin (2006:49)
mengemukakan bahwa cara yang lazim digunakan dalam penyelesain konflik
adalah konsiliasi, mediasi, arbitrase, correction (paksaan), dan detente. Urutan-
urutan penyelesaian konflik tersebut dibuat berdasarkan kebiasaan seseorang
dalam mencari penyelesaian suatu masalah yaitu dari cari yang termudah (tidak
formal) yang dilakukan terlebih dahulu baru kemudian ditempuh dengan cara
resmi (formal) jika cara yang pertama tidak berhasil. Pada bagian lain Huug Miall
dalam Alimuddin (2006:49-54) menawarkan bentuk-bentuk dari penyelesaian
konflik melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, memecahkan masalah, dan
rekonsiliasi. Jika terjadi perbedaan pendapat, hal itu akan diselesaikan melalui
diskusi yang sopan dan negosiasi, dalam upaya untuk membangun resolusi.
Umumnya resolusi terhadap suatu konflik dicapai melalui diskusi di halaman
pembicaraan. Jika ini tak berhasil, juga dimungkinkan untuk menggunakan
proses penyelesaian perselisihan, yang dirancang untuk membantu pencapaian
konsensus jika komunikasi melalui halaman pembicaraan tidak berhasil.
Menurut Tella dan Yahya (2010) dan Craib (1986) dalam (Kaharuddin
2013) konflik dilihat dari sudut pandang teoritik, konflik merupakan fenomena
4
yang selalu hadir dalam setiap masyarakat. Konflik dapat terjadi secara berulang-
ulang karena konflik tersebut tidak terselesaikan dengan baik dan berdampak pada
permusuhan, dendam antara pihak yang berkonflik. Selain dari itu, segitiga
konflik Galtung merupakan analisis hubungan sebab akibat atau interaksi yang
memungkinkan terciptanya konflik sosial karena terjadinya pertentangan sikap,
perilaku yang berdampak pada kontradiksi Galtung, 1973; Nuvri S., 2009 dalam
(Kaharuddin 2013). Proses inilah yang mengakibatkan konflik meledak dan
berujung pada pembunuhan. Selain dari itu, konflik semacam itu tidak hanya
berakhir sampai saat itu, akan tetapi berdampak pada konflik yang lebih besar
karena faktor penyelesaian konflik yang tidak dilakukan dengan baik.
Upaya pencegahan konflik yang dilakukan dengan terstruktur, mendalam
dan konsisten tentu akan membuat akar konflik mati dan potensi-potensi konflik
tidak muncul kepermukaan. Sebagaimana tertuang dalam pasal 2 hingga pasal 7
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015, upaya pencegahan konflik dapat
dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya membangun sistem peringatan dini
konflik, penguatan kerukunan umat beragama, pendidikan bela Negara dan
wawasan kebangsaan dan juga pemetaan wilayah konflik melalui penelitian yang
komprehensif guna membabat habis akar konflik. Pemerintah daerah juga dalam
hal ini harus mulai merubah paradigma pencegahan konflik, bahwa upaya
pencegahan konflik tidak dapat dilakukan dengan cara reaktif terhadap kasus
konflik yang sedang terjadi dan cenderung “jalan sendiri”. Pemerintah harus
mampu merangkul berbagai kalangan, baik masyarakat, aparat kepolisian dan
militer, organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan guna mendapatkan
5
masukan-masukan dalam setiap upaya pencegahan konflik karena merekalah yang
pada umumnya berada pada ranah akar rumput (grassroot) dan memahami akar
konflik. Pemerintah juga harus menyadarkan berbagai golongan tersebut bahwa
semua golongan tersebut memiliki potensi yang sama besarnya untuk mengalami
konflik agama.
Namun demikian kenyataannya di kehidupan modern adaptasi sosial
menjadi sulit diterapkan di tengah perbedaan prinsip masyarakat terlebih pada
persoalan keyakinan atau agama. Ada yang sepakat dengan pengaruh modernisasi
yang muncul namun, ada pula yang tidak bisa menerima karena pandangan dalam
keyakinan dianutnya bertentangan dengan pengaruh modernisasi yang masuk
dalam lingkungan masyarakat. Karena semakin gencarnya pengaruh modernisasi
yang selalu berdatangan dan masuk dalam lingkungan masyarakat sehingga bisa
dikatakan bahwa modernisasi juga merupakan faktor yang memicu munculnya
perbedaan pandangan antara pemeluk agama dan perbedaan keyakinan.
Hal ini terjadi pada kelompok masyarakat di desa Bila Kecamatan
Duapitue Kabupaten Sidenreng Rappang. Di desa tersebut terdapat kelompok
masyarakat yang berbeda keyakinan yakni kelompok yang berkeyakinan Islam
dan Hindu, menurut masyarakat yang tinggal di desa tersebut konflik yang terjadi
biasanya adalah pemeluk agama tertentu kurang respek dengan pemeluk agama
lain, biasa pula anak-anak mereka yang menjadi Sebab utama kurang baiknya
hubungan antara pemeluk agama, anak pemeluk agama lain biasanya tidak saling
bergaul karena perbedaan keyakinan, sesuai diperboleh diperbolehkan pemeluk
lain. Biasa pula terjadi konflik antara anak remaja yang berbeda paham dengan
6
pemeluk agama lain sehingga terjadi kesalah pahaman yang menimbulkan
masalah-masalah antar pemeluk agama yang berbeda keyakinan.
Pada dasarnya konflik terjadi bukan karena adanya perbedaan pandangan
akan keyakinan yang diyakini. Namun, lebih kepada aksi individu atau kelompok
yang menyulut kemarahan satu kelompok agama tertentu. Tentu saja hal ini harus
segera diredam, karena jika tidak segera diatasi maka dampaknya tidak hanya
meeugikan bagi mereka yang beekonflik. Namun, juga bisa mengancam keutuhan
dalan NKRI. Toleransi dan sikap salimg menghormati harus dijunjung tinggi
sebagai upaya pengendalian timbulnya konflik
A. Rumusan Masalah
1. Bagaima proses resolusi konflik agama dalam integrasi sosial di Desa Bila
Kabupaten Sidenreng Rappang ?
2. Apakah integrasi sosial dapat terjadi melalui resolusi konflik agama di Desa
Bila Kabupaten Sidenreng Rappang ?
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui proses resolusi konflik antar agama yang terjadinya di
Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang
2. Untuk menganalisis proses terjadinya integrasi sosial melalui resolusi
konflik agama di Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang
7
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini juga dilakukan dengan harapan menghasilkan manfaat-manfaat
sebagai berikut:
1. Manfaat praktis
Hasil dari penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat dan berguna untuk
memberikan informasi kepada para masyarakat dalam hal Resolusi Konflik
Agama dalam Integrasi Sosial di Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang.
2. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan bisa melengkapi kajian tentang Resolusi
Konflik Agama dalam Integrasi Sosial di Desa Bila Kabupaten Sidenreng
Rappang, khususnya jurusan sosiologi fakultas keguruan dan ilmu
pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
b. Secara sosial biasa menyumbangkan pemahaman tentang bentuk-bentuk
Resolusi Konflik Agama dalam Integrasi Sosial di Desa Bila Kabupaten
Sidenreng Rappang.
D. Definisi Operasional
Setelah beberapa konsep yang diuraikan dalam hal yang berkaitan dengan
penelitian ini, maka untuk mempermudah dalam mencapai tujuan. Peneliti perlu
menyusun definisi operasional yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam
penelitian ini, antara lain:
1. Resolusi Konflik
Penyelesaian konflik dapat diselesaikan dengan cara-cara tidak formal yang
biasa dilakukan terlebih dahulu yang kemudian dilakukan dengan cara-cara
8
formal. Sejalan dengan itu, Hendropuspito dalam Alimudin (2006:49)
mengemukakan bahwa cara yang lazim digunakan dalam penyelesain konflik
adalah konsiliasi, mediasi, arbitrase, correction (paksaan), dan detente. Urutan-
urutan penyelesaian konflik tersebut dibuat berdasarkan kebiasaan seseorang
dalam mencari penyelesaian suatu masalah yaitu dari cari yang termudah (tidak
formal) yang dilakukan terlebih dahulu baru kemudian ditempuh dengan cara
resmi (formal) jika cara yang pertama tidak berhasil.
Konflik sosial dalam masyarakat dapat disebebakan karena masalah-masalah
sosial budaya, idiologi yang tidak sama. Adanya perasaan curiga, tidak senang,
cemburu disertai dengan stereotype terhadap individu, kelompok yang berbeda
dengan kelompoknya. Dalam hal ini faktor prasangka (predjudice), yaitu sikap
negatif terhadap seseorang disebabkan karena kurangnya keterbukaan dan saling
mengenal secara benar dan baik antara orang atau kelompok satu terhadap yang
lain. Dari berbagai pengalaman sejarah tentang pertikaian atau konflik antar umat
manusia dapat dipastikan bahwa konflik tidak pernah dapat membawa perdamaian
dalam hubungan antar individu maupun kelompok.
Selanjutnya ketidakdamaian tidak pernah menghasilkan kesejahteraan bagi
umat manusia, melainkan melahirkan kekacauan dan ketidaktentraman dalam
hidup. Oleh karena itu konflik tidak perlu berkepanjangan melainkan perlu
diakhiri dan diselesaikan. Dalam hal ini Simmel dalam Johnson (1994)
mengemukakan beberapa cara untuk mengakhiri konflik. Pertama, menghilangkan
dasar-dasar konflik dari tindakan mereka yang terlibat konflik. Kedua,
kemenangan pihak yang satu dan kekalahan pihak yang lain. Ketiga, kompromi.
9
Keempat, perdamaian. Kelima, ketidak mungkinan untuk berdamai. Dengan
demikian meskipun konflik merupakan gejala sosial alamiah namun tidak perlu
berkepanjangan. Alasan atau motivasi mengakhiri konflik bisa karena bosan atau
lelah atau adanya keinginan untuk mencurahkan tenaganya untuk hal-hal lain.
2. Integrasi Sosial
Menurut Vocabulaire Philosophique Lalande, integrasi berarti suatu usaha
untuk membangun independensi yang lebih erat antara bagian-bagian dari
organisme hidup atau anggota dalam masyarakat, sehingga tercipta suatu
kondisiyang harmoni, yang memungkinkan terjalinnya kerjasama dalam rangka
mencapai tujuan yang ditentukan bersama (Duverger, 993:340). Senada dengan
hal itu pendapat Mas’oed (1991:2) adalah secara umum integrasi bisa diberi arti
sebagai kondisi atau proses mempesatukan bagian-bagian yang sebelumnya saling
terpisah. Proses ini berjalan melalui tahapan yang dilalui, akan merupakan
landasan bagi terselenggarakannya tahapan berikutnya. Adapun Karl Deutch
(1957) mengatakan bahwa integrasi harus berjalan secara damai dan berlangsung
secara sukarela. Ia memandang integrasi sebagai unit-unit yang sebelumnya
terpisah kemudian mampu menciptakan hubungan-hubungan independensi dan
secara bersama menghasilakn unsur-unsur suatu sistem yang tidak bisa mereka
hasilkan ketika mereka saling terpisah.
3. Agama
Agama merupakan ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah
10
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta manusia
dengan lingkungannya.
4. Manusia dan Masyarakat
Manusia adalah makhluk sosial, di mana manusia satu dengan lainnya
saling membutuhkan. manusia saling melengkapi kebutuhan interaksi sosial
melalui sebuah komunikasi. Manusia dikatakan makhluk sosial yaitu makhluk
yang di dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain.
Sedangkan masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk
sebuah sistem semi tertutup atau semi terbuka, serta melakukan interaksi antara
individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut, dan memiliki
kebudayaan didalamnya. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu
jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah
komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. KAJIAN KONSEP
1. Konsep Resolusi Konflik
a. Bentuk Konflik
Sebagai bentuk interaksi sosial, konflik dapat dibedakan kedalam beberapa
bagian, yaitu:
1. Konflik individual, merupakan konflik yang terjadi karena ada benturan
dua kepentingan dari dua individu yang berbeda. Hal ini terjadi karena
setia orang memiliki keinginan dan kebutuhan yang berbeda.
Contoh: Seorang adik yang berebut mainan dengan kakaknya.
2. Konflik antar kelas sosial, dikenal dengan konflik vertikal, merupakan
konflik yang terjadi karena adanya benturan kepentingan dan kebutuhan
antara dua kelas yang berbeda.
Contoh: Demo buruh yang meminta kenaikan upah kepada pengusaha
tempat ia bekerja.
3. Konflik antar kelompok sosial, dikenal dengan konflik horizontal,
merupakan konflik yang terjadi karena adannya benturan dua kepentingan
dari dua kelompok sosial yang berbeda.
Contoh: Kasus bentrok lampung pada tahun 2012
4. Konflik rasial, konflik yang terjadi karena ada benturan antara dua ras
yang berbeda mengenai suatu isu. Faktor pemicunya adalah timpangnya
12
kondisi sosial ekonomi yang memiliki dampak kepentingan sosial di
masyarakat.
Contoh: Kasus Timor Timur, DOM Aceh, Malari (SARA).
5. Konflik politik, timbul karena adanya kepentingan untuk meraih
kekuasaan dengan menumbangkan kekuasaan pemerintah sebelumnya.
Contoh: Tumbangnya Orde Lama oleh Orde Baru.
6. Konflik internasional, terjadi karena adanya benturan antar Negara yang
berkaitan dengan kepentingan masing-masing Negara.
Contoh: Sengketa Selat Ambalat antara Malaysia dan Indonesia.
Jadi menurut keterangan dari beberapa konflik diatas, penelitian ini
mengarah kepada konflik antar kelompok sosial. Dimana konflik ini
melibatkan beberapa orang yang terbentuk menjadi suatu kelompok sosial
dalam masyarakat.
b. Proses Resolusi Konflik
Dalam menyelesaikan suatu konflik, kembali harus dilihat bagaimana
cara atau proses para pihak dalam bersungguh-sungguh dan dengan semangat
bersama untuk mencapai perdamaian. Kees Schuyt, telah memperkenalkan teori
‘penyelesaian konflik’ sebagai teori yang memberikan penjelasan dan pilihan
bagi para pihak yang berselisih.
Penyelesaian konflik dapat diselesaikan dengan cara-cara tidak formal
yang biasa dilakukan terlebih dahulu yang kemudian dilakukan dengan cara-
cara formal. Sejalan dengan itu, Hendropuspito dalam Alimudin (2006:49)
mengemukakan bahwa cara yang lazim digunakan dalam penyelesain konflik
13
adalah konsiliasi, mediasi, arbitrase, correction (paksaan), dan détente. Urutan-
urutan penyelesaian konflik tersebut dibuat berdasarkan kebiasaan seseorang
dalam mencari penyelesaian suatu masalah yaitu dari cari yang termudah (tidak
formal) yang dilakukan terlebih dahulu baru kemudian ditempuh dengan cara
resmi (formal) jika cara yang pertama tidak berhasil.
Pada hakikatnya, bentuk-bentuk penyelesaian konflik perlu dianggap
sebagai alternatif-alternatif pilihan para pihak yang berkonflik. Sehingga,
alternatif penyelesaian konflik dapat menjadi pilihan dari beberapa pilihan
dalam penyelesaian konflik. Pada bagian lain Huug Mall dalam Alimuddin
(2006:49-54) menawarkan bentuk-bentuk dari penyelesaian konflik melalui
negosiasi, mediasi, konsiliasi, memecahkan masalah, dan rekonsiliasi.
1. Negosiasi
Bentuk pertama adalah negosiasi, Huug Miall dalam Alimuddin (2006:50)
mengatakan bahwa negosiasi adalah proses dimana pihak-pihak yang
bertikai mencari cara untuk mengakhiri atau menyelesaikan konflik. Lebih
lanjut Goodpaster dalam Alimudin (2006:50) menyatakan bahwa terdapat
beberapa hal yang sangat mempengaruhi negosiasi antara lain kekuatan
tawar menawar, pola tawar menawar, dan strategi dalam tawar menawar.
2. Mediasi
Bentuk kedua adalah mediasi, Hendropuspito dalam Alimudin (2006:52)
menjelaskan bahwa mediasi yaitu suatu cara menyelesaikan pertikaian
dengan menggunakan perantara atau mediator. Dalam hal ini seorang
mediator tidak mempunyai wewenang dalam memberikan keputusan yang
14
mengikat dan hanya bersifat konsulatif. Pihak-pihak yang yang
bersengketalah yang harus mengambil keputusan untuk menghentikan
perselisihan. Moore dalam Alimudin (2006:52) mengemukakan bahwa pada
prinsipnya mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak penengah
(mediator) yang netral dan tidak memihak serta dapat mendorong para pihak
untuk melakukan tawar-menawar secara seimbang. Tanpa negosiasi tidak
ada yang disebut mediasi, mediasi merupakan perluasan dari negosiasi.
3. Konsiliasi
Bentuk ketiga adalah Konsiliasi, Oppenheim dalam Alimuddin (2006:53)
menjelaskan bahwa konsiliasi adalah penyelesaian sengketa, menyerahkan
pada suatu komisi yang bertugas untuk menguraikan atau menjelaskan fakta
dan biasanya setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar mereka
mencapai suatu kesepakatan, membuat ususlan-usulan untuk suatu
penyelesaian, namaun keputusan tersebut tidak mengikat. Konsiliasi bersifat
lebih lunak dari pada paksaan dan membuka kesempatan bagi pihak-pihak
yang bersangkutan untuk berasimilasi. Institute for democracy and electoral
assistance dalam Alimudin (2006:53) mengemukakan tujuan utama dari
konsiliasi adalah untuk membantu mengidentifikasi isu-isu terpenting yang
menyebabkan ketegangan, untuk meredakan ketegangan dan menggerakan
kedua pihak untuk melakukan interaksi langsung mengenai isu-isu
teridentifikasi.
15
4. Pemecahan Masalah
Bentuk keempat adalah Memecahkan Masalah, Huug Miall dalam Alimudin
(2006:54) mengemukakan bahwa memecahkan masalah adalah sebuah
usaha yang lebih ambisius bahwa pihak-pihak yang bertikai diundang untuk
mengonseptualisasikan ulang konflik dengan sebuah pandangan untuk
menemukan hasil yang kreatif. Dalam suatu proses penyelesaian konflik
melalui proses memecahkan masalah, dibutuhkan adanya dialog-dialog yang
luas dikalangan masyarakat yang bertikai pada semua lapisan mengenai
masalah yang menjadi sumber konflik, akibat konflik, dan penyelesain
konflik dengan pendekatan suatu model dialog, dan pemecahan masalah.
5. Rekonsiliasi
Bentuk kelima adalah rekonsiliasi, Lambang Triono dalam Alimuddin
(2006:54) mengatakan bahwa rekonsiliasi adalah sebuah proses, dan bukan
semata-mata menemukan penyelesaian masalah namun mengubah hubungan
pihak-pihak yang berkonflik dari permusuhan menuju pada pertemanan dan
kerja sama. Dengan kata lain bahwa rekonsiliasi merupakan tujuan akhir
dari semua upaya peneyelesain konflik. Lebih jauh Assefa dalam Alimudin
(2006:55) mengartikan bahwa rekonsiliasi adalah sebagai suatu proses
pemuliahan hubungan.
c. Tujuan Resolusi Konflik
Penyelesaian konflik bertujuan agar supaya pertikaian ataupun perdebatan
dari kedua pihak dapat diredam dan menemui hasil yang baik, konflik tentu
harus segera diselesaikan sehingga tidak berkelanjut dimana hal tersebut dapat
16
meimicu munculnya kembali perselisihan antara kedua pihak. Dalam
penyelesaian konflik tentunya diharapkan ada ide-ide positif yang dapat
dihadirkan diantara mereka yang sedang berselisih dan memberikan solusi atas
masalah yang sedang di permasalahkan.
d. Dampak Resolusi Konflik
Dampak dari penyelesaian konflik tentunya ada dampak positif yang
dihasilkan. Sebagaimana kita tau konflik terjadi karena adanya dualisme
masyarakat yang mencoba membenarkan asumsi masing-masing dan
permasalahan seperti ini jika tidak segera diselesaikan maka bia saja akan
semakin mendekati pertikaian yang akan berujung kekerasan sehingga akan
menimbulkan dampak negatif. Sehingga diharapkan agar sebuah konflik yang
terjadi didalam masyarakat dapat diselesaikan sehingga hal-hal positif yang
dikhawatirkan tidak akan terjadi dan keadaan tetap aman.
e. Faktor Penyebab Resolusi Konflik
Adapun beberapa faktor penyelesaian konflik yang di dapatkan yakni,
pendekatan penyelesaian konflik dikategorikan dalam dua dimensi ialah
kerjasama/tidak bekerjasama dan tegas/tidak tegas. dengan menggunakan
dimensi tersebut ada 5 macam pendekatan penyebab penyelesaian konlik
antara lain:
1. Kompetisi, penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak
mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk
kompetisi dikenal dengan istilah win-lose orientation.
17
2. Akomodasi, penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi
bayangan cermin yang memberikan keseluruhan penyelesaiannya pada
pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses
tersebut adalah taktik perdamaian
3. Sharing, suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi
kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lain
menerima sesuatu, kedua kelompok tersebut berpikiran moderat, tidak
lengkap, tetapi memuaskan.
4. Kolaborasi, bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua
belah pihak. Usaha ini adalah pendekatan pemecahan problem (problem
solving approach) yang memerlukan integrasi dari kedua pihak.
5. Penghindaran, menyangkut ketidakpedulian dari kedua kelompok.
Keadaan ini menggambarkan penarikan kepentingan atau mengacuhkan
kepentingan kelompok lain.
2. Integrasi Sosial
a. Pengertian Integrasi Sosial
Integrasi merupakan salah satu topik menarik sosiologi, yang menjelaskan
bagaimana berbagai elemen masyarakat menjaga kesatuan satu dengan yang lain.
Hakikat integrasi dalam lingkungan komunitas terjadi melalui cara membangun
solidaritas sosial dalam kelompok dan dapat menjalani kehidupan dalam
kebersamaan. Dan Integrasi sosial mengacu pada suatu keadaan dalam masyarakat
dimana orang-orang saling berhubungan. Istilah integrasi berasal dari kata Latin
Integrare yang artinya memberi tempat dalam suatu keseluruhan. Dari kata kerja
18
itu dibentuk kata benda Integritas artinya keutuhan atau kebulatan. Dari kata yang
sama dibentuk kata sifat Integer artinya utuh. Sementara itu di dalam kamus
populer, kata integrasi (bahasa Belanda) mengandung arti menjadikan satu,
penyatuan dari usaha-usaha yang terpecah-pecah (Habeyh, 1981:169). Sementara
itu dalam kamus Inggris-Indonesia, kata integration mengandung arti
penggabungan (Echols dan Shadly, 1984:326).
Menurut Vocabulaire Philosophique Lalande, integrasi berarti suatu usaha
untuk membangun independensi yang lebih erat antara bagian-bagian dari
organisme hidup atau anggota dalam masyarakat, sehingga tercipta suatu
kondisiyang harmoni, yang memungkinkan terjalinnya kerjasama dalam rangka
mencapai tujuan yang ditentukan bersama (Duverger, 993:340). Senada dengan
hal itu pendapat Mas’oed (1991:2) adalah secara umum integrasi bisa diberi arti
sebagai kondisi atau proses mempesatukan bagian-bagian yang sebelumnya saling
terpisah. Maka, istilah integrasi berarti membuat unsur-unsur tertentu menjadi
satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dalam hal tersebut penulis menyimpulkan
bahwa integrasi sosial berarti membuat masyarakat menjadi satu keseluruhan
yang bulat, seperti yang terjadi di Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang pasca
terjadinya konflik.
Integrasi adalah proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam
masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang berbeda tersebut
dapat meliputi perbedaan kedudukan sosial, ras, etnis, agama, bahasa,
kebiasaan, sistem nilai dan norma. Integrasi sosial akan terbentuk apabila
sebagian besar anggota masyarakat tersebut sepakat mengenai struktur
19
kemasyarakatan yang dibangun termasuk nilai-nilai, norma-norma dan pranata-
pranata sosialnya. Integrasi juga dapat dilihat sebagai suatu proses yang
memperkuat hubungan dalam suatu sistem sosial, dan memperkenalkan aktor
baru dan kelompok ke dalam sistem dan lembaga-lembaganya.
Menurut Ogburn dan Nimkoff integrasi merupakan suatu ikatan
berdasarkan norma, yaitu karena norma kelompoklah merupakan unsur yang
mengatur tingkah laku, dengan mengadakan tuntutan tentang bagaimana
integrasi berhasil apabila anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil
mengisi kebutuhan satu sama lain, apabila tercapai semacam consensus
mengenai norma sosial, apabila norma-norma cukup lama dan tidak berubah-
ubah.
Ada dua unsur pokok dari integrasi sosial, yaitu: pembauran atau
penyesuaian dan unsur fungsional, Integrasi sosial dianggap gagal apabila
kemajemukan sosial tidak sesuai. Talcot Parson berpendapat bahwa integrasi
merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interaksi antara para anggota
dalam sistem sosial itu. Supaya sistem sosial itu berfungsi secara efektif sebagai
satu satuan, harus ada paling kurang suatu tingkat solidaritas di antara individu
yang termasuk di dalamnya. Masalah integrasi menunjuk pada kebutuhan untuk
menjamin bahwa ikatan emosional yang cukup menghasilkan solidaritas dan
kerelaan untuk bekerja sama dikembangkan dan dipertahankan. Integrasi pada
dasarnya merupakan suatu proses jika proses ini berhasil, masyarakat dikatakan
terintegrasi.
20
b. Syarat-syarat Integrasi Sosial
Menurut William F. Ogburn dan Mayor Nimkoff yang dikutip oleh
Kamanto Sunarto mengemukakan syarat-syarat berhasilnya suatu integrasi
sosial adalah: anggota masyarakat merasa telah berhasil mengisi satu kebutuhan
satu dengan yang lainnya, masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan
bersama mengenai norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menjadi pedoman
hidup, masyarakat telah menjalani nilai dan norma secara konsisten.
Menurut peneliti integrasi sosial akan terbentuk dimasyarakat apabila
sebagian besar anggota masyarakat tersebut memiliki konsensus tentang batas
wilayah tempat mereka tinggal. Sebagian besar masyarakat sepakat mengenai
struktur sosial yang dibangun seperti nilai, norma, pranata sosial dan sistem
religi yang berlaku dalam masyarakat.
c. Proses Integrasi Sosial
Dhurkheim menegaskan bahwa sumber-sumber ketegangan dalam
masyarakat pada dasarnya berkembang dari heterogenitas dan individualitas yang
semakin besar. Heterogenitas yang tinggi ini dapat mengendorkan ikatan bersama
yang mempersatukan berbagai anggota masyarakat. Dalam hal ini individu mulai
mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang lebih terbatas yang terdapat
dalam masyarakat, seperti kelompok pekerjaan, profetis, etnis, ras dan agama.
Ketika setiap orang atau kelompok mengejar kepentingannya sendiri dengan
merugikan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, maka kemungkinan
terjadi konflik akan lebih besar (Johnson, 1986:169). Proses ini berjalan melalui
tahapan yang dilalui, merupakan sebuah landasan bagi terselenggarakannya
21
tahapan berikutnya. Adapun Karl Deutch (1957) mengatakan bahwa integrasi
harus berjalan secara damai dan berlangsung secara sukarela. Ia memandang
integrasi sebagai unit-unit yang sebelumnya terpisah kemudian mampu
menciptakan hubungan-hubungan independensi dan secara bersama menghasilakn
unsur-unsur suatu sistem yang tidak bisa mereka hasilkan ketika mereka saling
terpisah.
Mengacu pada uraian di atas, maka seperti yang dikemukakan oleh
Dhurkeim (Johnson, 1986:181-188) dalam studi tentang integrasi sosial, bahwa
integrasi sosial dapat terwujud jika terjadi saling ketergantungan antara bagian
yang terspesialisasikan. Dalam hal ini solidaritas didasarkan atas kesamaan dalam
kepercayaan dan nilai saling tergantung secara fungsional antara masyarakat yang
heterogen. Kesamaan dalam kepercayaan dan nilai saling tergantung ini akan
memberi kesadaran kolektif untuk menciptakan kesatuan. Dalam hal ini Dhurkeim
(David 1972:382) membedakan integrasi sosial atas 2 yaitu, integrasi normatif
dalam perspektif budaya, dengan menekan solidaritas mekanik yang terbentuk
melalui nilai dan kepercayaan membimbing masyarakat dalam mencapai sukses.
Integrasi fungsional dengan menekankan pada solidaritas organik, yaitu
solidaritas yang terbentuk melalui relasi saling tergantung antara bagian atau
unsur yang tergantung dalam masyarakat.
Dalam hal ini Dhurkeim menekankan pembagian kerja dengan tidak saja
mempertimbangkan faktor ekonomi melainkan faktor moral. Sementara itu
Cooley (David 1972:381) membedakan integrasi atas dua yaitu, pertama, integrasi
normatif, merupakan tradisi baku masyarakat untuk membentuk kehidupan
22
bersama bagi mereka yang mengikatkan diri dalam kebersamaan itu. Kedua,
integrasi komunikatif yaitu komunikasi efektif hanya dapat dibangun bagi mereka
yang memiliki sikap yang saling tergantung dan mau diajak kerjasama menuju
tujuan yang dikehendaki. Ketiga, integrasi fungsional, hanya akan terwujud bila
anggota yang mau mengikat diri itu sungguh menyadari fungsi dan perannya
dalam kebersamaan itu.
Dalam konteks tersebut integrasi bukanlah untuk menghilangkan
diferensiasi, karena yang terpenting adalah kesadaran untuk memelihara dan
menjaga keseimbangan untuk menciptakan hubungan sosial yang harmonis.
Menurut Usman, integrasi merupakan bentuk kontradiktif dari konflik, namun
meskipun demikian integrasi dan konflik bukanlah dua hal yang harus
dipertentangkan. Karena integrasi bisa saja hidup bersebelahan dengan konflik,
bahkan melalui konflik keseimbangan hubungan dapat ditata dan diciptakan
kembali. Konsep yang ditawarkan tersebut mengisyaratkan bahwa integrasi
tercipta melalui proses interaksi dan komunikasi yang intensif.
d. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
Menurut Esser yang dikutip oleh Wolfgang Bosswick dan Friedrich
Heckmann, integrasi sosial dapat terjadi dalam empat bentuk yakni:
Pertama, Akulturasi (acculturation). Akulturasi atau proses sosialisasi
adalah proses dimana seorang individu memperoleh pengetahuan, standar
budaya dan kompetensi yang dibutuhkan untuk berinteraksi dengan sukses
dalam masyarakat.
23
Kedua, Penempatan (placement). Penempatan berarti seorang individu
mendapatkan posisi dalam masyarakat, dalam sistem pendidikan atau ekonomi,
dalam profesi, atau sebagai warga negara. Penempatan juga menyiratkan
perolehan hak yang berhubungan dengan posisi tertentu dan kesempatan untuk
membangun hubungan sosial dan untuk memenangkan modal budaya, sosial
dan ekonomi. Akulturasi merupakan prasyarat untuk penempatan.
Ketiga, Interaksi (interaction). Interaksi adalah pembentukan hubungan
dan jaringan, oleh individu yang berbagi orientasi bersama. Ini termasuk
persahabatan, hubungan romantis atau pernikahan, atau keanggotaan yang lebih
umum dari kelompok sosial.
Keempat, Identifikasi (identification). Identifikasi mengacu pada
identifikasi individu dengan sistem sosial orang melihat dirinya sebagai bagian
dari tubuh kolektif. Identifikasi memiliki aspek kognitif dan emosional.
Jadi menurut Wolfgang Bosswick dan Friedrich Heckmann dapat
disimpulkan bahwa integrasi dianggap gagal jika tidak adanya empat bentuk
tersebut, integrasi sosial terjadi karena adanya perpaduan dari berbagai bentuk,
seperti adanya akulturasi, penempatan, interaksi dan identifikasi sehingga
terwujud satu kesatuan wilayah, sosial dan agama yang membentuk jadi diri
suatu bangsa.
e. Faktor-Faktor Pendukung Integrasi Sosial
Suatu integrasi sosial dapat berlangsung cepat atau lambat, tergantung
pada faktor-faktor pendukungnya, yakni:
Pertama, homogenitas kelompok. Dalam kelompok atau masyarakat yang
24
tingkat homogenitasnya rendah, integrasi sosial akan mudah dicapai.
Sebaliknya, dalam kelompok atau masyarakat majemuk, integrasi sosial akan
sulit dicapai dan memakan waktu yang sangat lama. Dengan demikian, dapat
kita katakan bahwa semakin homogen suatu kelompok atau masyarakat,
semakin mudah pula proses integrasi antara anggota di dalam kelompok atau
masyarakat tersebut. Contoh kelompok atau masyarakat yang homogen adalah
kelompok atau masyarakat dengan satu suku bangsa.
Kedua, besar kecilnya kelompok. Umumnya, dalam kelompok yang kecil,
tingkat kemajemukan anggotanya relatif rendah sehingga integrasi sosialnya
akan lebih mudah dicapai. Hal tersebut dapat disebabkan, dalam kelompok
kecil, hubungan sosial antara anggotanya terjadi secara intensif sehingga
komunikasi dan tukar-menukar budaya akan semakin cepat. Dengan demikian,
penyesuaian antara perbedaan-perbedaan dapat lebih cepat dilakukan.
Sebaliknya, dalam kelompok besar, yang tingkat kemajemukannya relatif
tinggi, integrasi sosial akan lebih sulit dicapai.
Ketiga, mobilitas geografis. Anggota kelompok jika baru datang tentu
harus menyesuaikan diri dengan identitas masyarakat yang ditujunya. Namun,
semakin sering anggota masyarakat datang dan pergi, semakin sulit pula proses
integrasi sosial. Sementara itu, dalam masyarakat yang mobilitasnya rendah,
seperti daerah atau suku terisolasi, integrasi sosial dapat cepat terjadi.
Keempat, efektivitas komunikasi. Efektivitas komunikasi dalam
masyarakat juga akan mempercepat integrasi sosial. Semakin efektif
komunikasi berlangsung, semakin cepat integrasi antara anggota-anggota
25
masyarakat tercapai. Sebaliknya, semakin tidak efektif komunikasi yang
berlangsung antara anggota masyarakat, semakin lambat dan sulit integrasi
sosial tercapai.
Dari beberapa definisi tentang integrasi sosial di atas adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi proses sosial, untuk menuju arah integrasi yaitu ada
tidaknya kesatuan pendapat dalam hal tujuan-tujuan pokok yang ingin dicapai
bersama.
B. Kajian Teori 1. Teori Agama dan Konflik Sosial Karl Marx dan Lewis Cooser
Menurut Karl Marx Agama menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya
disintegrasi. Marx mengatakan bahwa analisis konflik menggaris bawahi peran
agama dalam menciptakan ketidaksetaraan dalam masyarakat. Manusia cenderung
untuk berusaha mendapatkan hal-hal yang dianggap baik (menurut hemat mereka
sendiri). Karena itulah bisa menimbulkan persaingan antara individu satu dengan
individu yang lain atau kelompok yang satu dengan kelompok lain, yang
mencakup suatu proses untuk mendapatkan kekayaan, kekuasaan, atau
kedudukan. Dan biasanya suatu yang dianggap baik ini adalah sesuatu yang
menyangkut kepentingan kelompok yang berkuasa (atau bisa dikatakan kelompok
yang dominan). Marx menganggap bahwa proses pertikaian ini adalah proses
pertentangan kelas.
Menurut Cooser Lewis ia juga menghasilkan teori konflik yang didalam
teorinya Cusser mengatakan bahwa konflik yang terjadi dimasyarakat berawal
dari anggota subordinat dan sistem yang tidak adil mempertanyakan keabsahan
keberadaan distribusi sumber-sumber langka dan melibatkan berbagi konflik yang
26
membingkainya, seperti: konflik antar kelas (social class conflict), konflik ras
(ethnics and racial conflicts), konflik antar pemeluk agama (religions conflict),
konflik antar komunitas (communal conflict), dan lain sebagainya.Subordinat
yang menanyakan keabsahan sumber langka memfokuskan pada pertentangan dan
perjuangan untuk mendapatkan sumber langka tersebut. akibat perjuangan dari
subordinat, pertentangan tidak dapat terelakkan lagi sehingga konflik muncul
kepermukaan.
2. Teori Tindakan Sosial dalam Perspektif Max Weber dan Talcot Parsons
Tindakan Sosial Menurut Max Weber, Bagi Weber suatu tindakan hanya
dapat disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan
mempertimbangkan perilaku orang lain, dan berorientasi pada perilaku orang lain.
Menyanyi di kamar mandi menghibur diri sendiri misalnya, bukan tindakan sosial.
Tetapi menyanyi di kamar mandi dengan maksud menarik perhatian orang lain
bisa disebut tindakan sosial.
Bagi Weber, dunia terwujud karena tindakan sosial. Weber mengklasifikasinya
menjadi empat tipe tindakan dasar, yang dibedakan dalam konteks motif para
pelakunya:
a. Tindakan Rasionalitas Instrumental (berorientasi tujuan). Tindakan yang
dilakukan untuk mencapai tujuan dengan pertimbangan rasional, seperti
orang belajar agar pintar.
b. Tindakan Rasionalitas Nilai (berorientasi nilai/berdasarkan nilai). Tindakan
yang dilakukan berdasarkan pertimbangan nilai etis, estetis, religius, seperti
menghormati yang tua dan mencintai yang muda.
27
c. Tindakan Afektif. Tindakan yang dilakukan lebih berdasar faktor
emosi/perasaan, seperti orang yang sedang jatuh cinta.
d.Tindakan Tradisional. Tindakan yang dilakukan karena sudah menjadi
kebiasaan dan lazim dilakukan, seperti mudik waktu lebaran.
Untuk mempelajari tindakan sosial itu Weber menganjurkan melalui
penafsiran dan pemahaman, atau menurut terminologi Weber disebut
dengan verstehen. Bila seseorang hanya berusaha meneliti perilaku saja, dia tidak
akan meyakini bahwa perbuatan itu mempunyai arti subyektif dan diarahkan
kepada orang lain. Menurut Weber ada dua cara memahami motif tindakan yaitu :
kesungguhan, mengenangkan dan menyelami pengalaman si pelaku.
Teori Tindakan menurut Sosial Talcot Parsons, Pengaruh pemikiran Weber
berpengaruh terhadap teori Parsons, dan ini terbukti dari bukunya tentang the
Structure of social action menyangkut konsep tindakan sosial yang
rasional. Dalam analisisnya, Parsons menggunakan kerangka alat
tujuan (means ends framework) yang intinya:
1. Tindakan itu diarahkan pada tujuannya atau memiliki suatu tujuan.
2. Tindakan terjadi suatu situasi, di mana beberapa elemennya sudah pasti,
sedangkan elemen-elemen lainnya digunakan oleh yang bertindak sebagai
alat untuk mencapai tujuan tersebut.
3. Secara normatif tindakan itu diatur sehubungan dengan penentuan alat dan
tujuan. Dalam arti bahwa tindakan itu dilihat sebagai satuan kenyataan sosial
yang paling kecil dan paling fundamental. Elemen-elemen dasar dari suatu
tindakan adalah tujuan, alat, kondisi dan norma. Antara alat dan kondisi itu
28
berbeda, orang yang bertindak mampu menggunakan alat dalam usahanya
untuk mencapai tujuan, sedangkan kondisi merupakan aspek situasi yang
dapat dikontrol oleh orang yang bertindak.
C. Penelitian Relevan
Adapun hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan judul penelitian
Dan peneliti masukan untuk menguatkan penelitian untuk menghindari terjadinya
kesamaan terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya.
1. Muhammad Zuldin, 2013 “Konflik Agama Dan Penyelesaiannya Kasus
Ahmadiyah Di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat”
Resolusi konflik antara Ahmadiyah dengan Islam mainstream di kabupaten
Tasikmalaya melalui dua cara, yaitu resolusi konflik non litigasi dan resolusi
konflik litigasi. Resolusi konflik non litigasi dilakukan dengan proses mediasi
yang melibatkan aparat pemerintah,mulai dari tingkat RT, RW, desa, Muspika,
Muspida, dan kepolisian. Pihak FPI melalui intelnyadan laporan masyarakat
mendapat informasi tentang kegiatan-kegiatan Jemaat Ahmadiyah yang dianggap
melanggar peraturan yang ada.
Kemudian minta kepada pemerintah untuk menegur dan memberhentikan
kegiatan-kegiatan. Bila pemerintah dan pihak aparat tidak memberhentikan
kegiatan Ahmadiyah, maka FPI dan ormas Islam lainnyalah yang turuntangan.
Biasanya didahului dengan proses mediasi. Dalam proses ini, sering tidak dicapai
titik temu karena masing-masing mempertahankan pendapatnya. Akibatnya terjadi
tindakan kekerasan terhadap Ahmadiyah berupa perusakan masjid dan aset-aset
lainnya. Sedangkan resolusi konflik litigasi dilakukan melalui proses peradilan.
29
Proses ini dilakukan setelah tidakada kesepakatan dari kedua pihak dan telah
memenuhi unsur pidana.
2. Hendry Bakry, 2015 “Resolusi Konflik Melalui Pendektan Kearifan Local
Pola Gandong Di Kota Ambon”
Konflik ini bermula dari konflik biasa dari kedua orang kebetulan berbeda
agama. Dari beberapa sumber bermula dari perkelahian antara supir dan keneknya
di pasar Mardika. Oleh karena terpancing emosi maka terjadilah konflik besar
antara masyarakat Mardika dan Masyarakat Batu Merah. Seperti yang
diungkapkan oleh Libeli: “Awal terjadinya konflik, awal kejadian oleh karena
penganiayaan sopir oto (mobil angkutan), awalnya ini kriminal murni,tapi karena
termakan isu maka larinya ke SARA,apalagi bertepatan dengan lebaran orang
Islam, 19 januari 1999,”. Ketegangan berubah menjadi kebencian, pada akhirnya
kebencian mendesak orang-orang yang tidak sabar untuk mengangkat senjata
saling menyerang. Pengkotakan masyarakat ke dalam pembagian Islam dan
Kristen mempermudah dan memperlancar tindak kebencian. Ini seperti di
ungkapkan Justus Patipawae: “Konflik di Ambon menandai indikasi lemahnya
spririt agama sebagai kekuatan civil society yang pro kemanusiaan.
Dengan adanya dua hasil penelitian terdahulu di atas yang berkaitan dengan
judul yang diajukan peneliti maka peneliti tertarik turun untuk meneliti masalah
tersebut untuk mengetahui resolusi konflik dalam masyarakat dengan perbedaan
keyakinan. sebagaimana yang penulis informasikan di atas merupakan informasi
yang didapat dari masyarakat. Maka dari itulah peneliti ingin mengkaji lebih
dalam di lapangan terkait dengan masalah sosial yang terjadi antar masyarakat
dengan yang berbeda.
30
D. Kerangka Fikir
Kerangka fikir merupakan penjelasan sementara gejalah yang menjadi objek
permasalahan di sebuah topik penelitian. Yang menjadi kriteria utama dalam
membuat suatu kerangka berfikir agar dapat meyakinkan ilmuwan adalah alur-alur
pemikiran yang logis dalam membuat suatu kerangka berfikir dapat membuat
kesimpulan. Perbedaan dan permasalahan yang cukup dalam masyarakat
diperlukan adanya adaptasi untuk meminimalisir segala perbedaan dan
permasalahan yang muncul dalam masyarakat.
Namun demikian kenyataannya di kehidupan modern adaptasi sosial
menjadi sulit diterapkan di tengah perbedaan prinsip masyarakat terlebih pada
persoalan keyakinan atau agama. Ada yang sepakat dengan pengaruh modernisasi
yang muncul namun, ada pula yang tidak bisa menerima karena pandangan dalam
keyakinan dianutnya bertentangan dengan pengaruh modernisasi yang masuk
dalam lingkungan masyarakat. Karena semakin gencarnya pengaruh modernisasi
yang selalu berdatangan dan masuk dalam lingkungan masyarakat sehingga bisa
dikatakan bahwa modernisasi juga merupakan faktor yang memicu munculnya
perbedaan pandangan antara pemeluk agama dan perbedaan keyakinan. Toleransi
dan sikap saling menghormati harus dijunjung tinggi sebagai upaya pengendalian
timbulnya konflik.
31
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat digambarkan kerangka pikir sebagai
beriku
GAMBAR 2.1 Bagan Kerangka Fikir
Konflik Antar Agama
Faktor Penyebab Terjadinya Resolusi
Konflik Agama
1. kompetisi
2. akomodasi
3. sharing
4. kolaborasi
5. penghindaran
INTEGRASI SOSIAL
Proses terjadinya resolusi konflik
agama
1. Negosiasi
2. Mediasi
3. Konsiliasi
4. Pemecahan Masalah
5. Rekonsiliasi
Resolusi Konflik Agama
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang besifat kualitatif
deskriptif. Dengan menggunakan metode atau pendekatan studi kasus (case
study). Menurut Maleong penelitian kualitatif adalah penelitian yang
mengedepankan proses interaksi dan komunikasi yang mendalam antara peneliti
dengan apa yang diteliti. Sedangkan menurut Creswell, penelitian kualitatif adalah
proses untuk memahami masalah sosial berdasarkan metodologi yang berbeda.
Jadi penelitian ini memusatkan diri secara intensif pada satu obyek tertentu yang
mempelajarinya sebagai suatu kasus. Data studi kasus dapat diperoleh dari semua
pihak yang bersangkutan.
Penelitian studi kasus akan kurang kedalamannya bilamana hanya dipusatkan
pada fase tertentu saja atau salah satu aspek tertentu sebelum memperoleh
gambaran umum tentang kasus tersebut. Sebaliknya studi kasus akan kehilangan
artinya kalau hanya ditujukan sekedar untuk memperoleh gambaran umum,
namun tanpa menemukan sesuatu atau beberapa aspek khusus yang perlu
dipelajari secara intensif dan mendalam. Studi kasus yang baik harus dilakukan
secara langsung dalam kehidupan sebenarnya dari kasus yang diselidiki.
Walaupun demikian, data studi kasus dapat diperoleh tidak saja dari kasus
yang diteliti, tetapi, juga dapat diperoleh dari semua pihak yang mengetahui dan
mengenal kasus tersebut dengan baik. Dengan kata lain, data dalam studi kasus
dapat diperoleh dari berbagai sumber namun terbatas dalam kasus yang akan
33
diteliti. Secara ringkasnya yang membedakan metode studi kasus dengan metode
penelitian kualitatif lainnya adalah kedalaman analisisnya pada kasus yang lebih
spesifik baik kejadian maupun fenomena tertentu.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang terkait dengan kasus yang peneliti akan teliti yakni di
Desa Bila, Kecamatan Dua Pitue, Kabupaten Sidenreng Rappang.
Alasan pemilihan lokasi dan ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian
di lokasi tersebut yaitu, selain karena desa tersebut beda di provinsi yang sama
dengan kampung halaman peneliti yakni di Kabupaten Sidenreng Rappang,
sehingga dapat memudahkan peneliti untuk menjangkau lokasi tersebut. Selain itu
Desa Otting juga merupakan desa yang terkenal dengan warga yang penganut
Agama Hindu, dibandingkan dengan desa lain di kecamatan tersebut.
Selanjutnya mengapa peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di lokasi
tersebut karena sesuai dengan judul yang diangkat oleh peneliti yaitu konflik antar
agama, jadi kesaannya sangat cocok dan mudah untuk mendapatkan informasi,
terkait dengan konflik antargama yang pernah terjadi didesa tersebut. Sehingga
membuat peneliti sangat penasaran serta ingin melakukan penelitian secara
mendalam mengenai faktor penyebab terjadinya konflik, bagaimana proses
penyelesaiannya, serta seperti apa keadaan masyarakat yang berbeda keyakinan
pasca terjadinya konflik di desa tersebut.
34
2. Waktu Penelitian
Waktu Penelitian yang direncanakan untuk melakukan penelitian ini sebagai
berikut :
No.
Jenis kegiatan
Bulan I
Bulan II
Bulan III
BULAN IV
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengusulan judul
2 Penyususnan proposal
3 Konsultasi pembimbing
4 Seminar proposal
5 Pengurusan izin penelitian
6 Observasi? Pelaksanaan penelitian
7 Pengambilan data penelitan
8 Pengolahan data, analisis dan penyususnan laporan
9 Bimbingan laporan hasil
10 Seminar ujian skripsi
Gambar Tabel 3.1 waktu penelitian
35
Penelitian ini di laksanakan pada masa pandemi Covid 19 dengan sistem
bimbingan online yakni di mulai pada awal bulan april sampai pada awal mei
2020.
C. Informan Penelitian
Informan penelitian yang dimaksud disini yaitu dimana peneliti diberi
informasi oleh informan yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Subjek
penelitian menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang
diperlukan selama proses penelitian.
Menurut Hendarsono dalam Suyanto (2005:171-172), informan penelitian ini
meliputi tiga macam yaitu:
1. Informan kunci (key informan), yaitu mereka yang mengetahui dan
memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian.
Dalam hal ini yaitu kalangan masyarakat tempat penelitian. Seperti, Kepala
Desa, tokoh masyarakat, warga desa setempat yang beragama Islam dan
Hindu, dan lain-lain.
2. Informan utama, yaitu mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi
sosial yang diteliti. Informan utama dalam penelitian ini adalah peneliti
sendiri yang akan terjun dilapangan meneliti resolusi konflik agama dalam
integrasi sosial.
3. Informan tambahan, yaitu mereka yang dapat memberikan informasi
walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang diteliti. Seperti,
aparat penegak hukum dan juga pendatang yang berada di desa tersebut
36
yang secara tidak langsung mengetahui tentang konflik atau permasalahan
tanpa terlibat didalamnya,
D. Fokus Penelitian
Pada penelitian ini peneliti memfokuskan penelitian pada proses resolusi
konflik antar agama dalam integrasi sosial, serta integrasi sosial melalui resolusi
konflik agama.
E. Instrumen Penelitian
Instrument penelitian merupakan segala unsur yang digunakan dalam proses
penelitian yang diharapkan akan menunjang keberhasilan peneliti dalam
penelitiaanya. Pada umumnya, penelitian tentu membutuhkan beberapa instrumen
dan semakin banyak instrument yang digunakan maka akan besar peluang
keberhasilan suatu penelitian.
Penelitian ini, maka peneliti mulai tahap awal penelitian sampai hasil
penelitian ini seluruhnya dilakukan oleh peneliti. Selain itu untuk mendukung
tercapainya hasil penelitian maka peneliti menggunakan alat bantu berupa lembar
observasi, panduan wawancara, serta catatan dokumentasi sebagai pendukung
dalam penelitian ini.
1. Penelitian sebagai pengamat penuh dan kehadirannya diketahui statusnya
sebagai peneliti itu sendiri oleh informan.
2. Lembar observasi, berisi catatan-catatan yang diperoleh penelitian pada saat
melakukan pengamatan langsung di lapangan.
3. Panduan wawancara merupakan seperangkat daftar pertanyaan yang sudah
disiapkan oleh peneliti sesuai dengan rumusan masalah dan pertanyaan
37
peneliti yang akan dijawab melalui proses wawancara. Pedoman wawancara
sebagai salah satu cara atau metode yang digunakan dalam pengumpulan
data.
4. Catatan dokumentasi adalah data pendukung yang dikumpulkan sebagai
penguatan data observasi dan wawancara yang berupa gambar, data sesuai
dengan kebutuhan penelitian.
5. Kamera ponsel sebagai alat dokumentasi setiap kegiatan peneliti.
6. Buku catatan, alat tulis dan laptop sebagai penunjang.
F. Jenis dan Sumber Data
Adapun suber data yang dikumpulkan peneliti adalah, sebagai berikut:
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari informan yang
memenuhi kriteria penelitian melalui teknik wawancara dan interview secara
langsung dan mendalam. Sumber data primer diperoleh dari kalangan
masyarakat desa setempat.
2. Data sekunder
Data sekunder yaitu sumber data yang memberikan informasi secara tidak
langsung. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang
diperoleh dari laporan-laporan yang berkaitan dengan penelitian ini, yang
berupa buku, teori-teori, jurnal, blog, web, arsip, data lain yang relevan
sebagai landasan teoritis yang dibutuhkan untuk melengkapi data penelitian
38
G. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan metode sebagai berikut:
1. Observasi
Observasi merupakan aktivitas penelitian dalam rangka mengumpulkan
data yang berkaitan dengan masalah penelitian melalui proses pengamatan
langsung di lapangan. Peneliti berada ditempat itu, untuk mendapatkan bukti-
bukti yang valid dalam laporan yang akan diajukan. Observasi adalah metode
pengumpulan data dimana peneliti mencatat informasi sebagai mana yang
mereka saksikan selama penelitian (Gulo, 2002:116). Pada dasarnya teknik
observasi digunakan untuk melihat atau mengamati perubahan fenomena sosial
yang tumbuh dan berkembang, serta kemudian dapat dilakukan penilaian atas
perbuatan tersebut. Kegiatan observasi yang akan dilakukan oleh peneliti
adalah mengunjungi rumah informan di desa tersebut.
2. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interview) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu (Moleong, 2010:186). Ciri utama wawancara adalah kontak
langsung dengan tatap muka antara pencari informasi dan sumber
informasi. Peneliti melakukan wawancara langsung terhadap informan yang
bersangkutan dengan -masalah yang diteliti. Wawancara antara peneliti dengan
informan secara langsung kemudian mengajukan beberapa pertanyaan yang
39
menjadi inti masalah penelitian kepada informan, selanjutnya para informan ini
memberikan jawaban menurut informan masing-masing. Hasil tanya jawab ini
direkam dan dicatat untuk mempermudah penulis dalam melakukan tabulasi
data. Teknik pewawancara dalam penelitian ini dilakukan secara terencana atau
terstruktur, di mana pewawancara menyusun secara terperinci dan sistematis
pedoman pertanyaan menurut pola kaidah tertentu dengan menggunakan
format yang baku. pada penelitian ini digunakan wawancara terstruktur dan
wawancara tidak terstruktur.
a. Wawancara terstruktur yaitu wawancara yang dilakukan dengan
menggunakan pedoman wawancara pada instrument penelitian.
b. Wawancara tidak terstruktur yaitu wawancara yang dilakukan dengan lebih
bebas dari wawancara terstruktur, yang mengembangkan pertanyaan
wawancara sesuai dengan kondisi informan. Tentu saja kreatifitas
pewawancara sangat diperlukan, bahkan hasil wawancara dengan jenis ini
lebih banyak tergantung dari pewawancara.
Dalam wawancara ini akan didata pihak-pihak mana saja yang akan
menjadi subyek penelitian yang akan memperkuat data yang diperoleh, karena
dari pihak-pihak tersebut dapat diperoleh data-data yang valid. Metode
wawancara tersebut akan digunakan untuk memperoleh jawaban dari pihak-
pihak tersebut diatas. Dalam penelitian ini akan mewawancarai dengan
beberapa pihak diantaranya, Kepala desa, masyarakat yang beragama Islam
maupun Hindu, dan tokoh-tokoh masyarakat di desa tersebut.
40
H. Teknik Analisis Data
Penelitian ini adalah deskriptif, dengan lebih banyak bersifat uraian dari hasil
wawancara. Data yang telah diperoleh akan dianalisis secara kualitatif serta
diuraikan dalam bentuk deskriptif. Analisis data kualitatif menurut Bogdan &
Bilken dalam Moleong (2007: 248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan
yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan apa yang
penting dan apa yang dipelajari, dan memutusakan apa yang dapat diceritakan
kepada orang lain.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan langkah-langkah seperti yang dikemukakan oleh Burhan Bungin
(2003: 70) yaitu sebagai berikut :
1. Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi Data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-
catatan tertulis dilapangan. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan dimulai
dengan membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-
gugus, menulis memo, dan sebagainya dengan maksud menyisihkan
data/informasi yang tidak relevan. Contohnya yaitu membuat suatu catatan,
misalnya catatan wawancara. Catatan tersebut dikumpulkan sampai jenuh,
kemudian dipilih catatan yang dianggap paling relevan dan menyisihkan
data yang tidak terpakai, kemudian dimunculkan dalam bentuk display.
41
2. Display Data
Display data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif.
Penyajian juga dapat berbentuk matrik, diagram, tabel dan bagan.
3. Penarikan Kesimpulan
Merupakan kegiatan akhir dari analisis data. Penarikan kesimpulan berupa
kegiatan interpretasi, yaitu menemukan makna data yang telah disajikan.
Antara display data dan penarikan kesimpulan terdapat aktivitas analisis data
yang ada. Dalam pengertian ini analisis kualitatif merupakan upaya berlanjut,
berulang, dan terus-menerus. Masalah reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan/verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara beruntun sebagai
rangkaian kegiatan analisis yang terkait. Selanjutnya data telah dianalisis,
dijelaskan dan dimaknai dalam bentuk kata-kata untuk medeskripsikan fakta yang
ada dilapangan, pemaknaan atau untuk menjawab pertanyaan penelitian yang
kemudian diambil intisarinya saja.
Berdasarkan keterangan diatas maka setiap tahap dalam proses tersebut
dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah seluruh data yang
dari berbagai sumber yang telah didapat dari lapangan data dokumentasi melalui
metode wawancara.
I. Teknik Keabsahan Data
Dalam penelitian kualitatif dapat dipertanggung jawabkan sebagai
penelitian ilmiah perlu dilakukan uji keabsahan data pemeriksaan terhadap keabsa
42
han data pada dasarnya, selain digunakan untuk menyanggah balik yang
dituduhkan kepada penelitian kualitatif yang mengatakan tidak ilmiah, juga
merupakan sebagai unsur yang tidak terpisahkan dari tubuh pengetahuan
penelitian kualitatif (Moleong, 2007:320).
Triangulasi dalam pengujian kredibilitas diartikan sebagai pengecekan data
dari berbagai sumber dengan berbagai waktu (Wiliam Wiersma,1986). Dengan
demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan
waktu (Sugiyono, 2007:273).
1) Triangulasi Sumber
Untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang
telah diperoleh melalui beberapa sumber. Data yang diperoleh dianalisis oleh
peneliti sehingga menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya dimintakan
kesepakatan (memberchek) dengan sumber data (Sugiyono, 2007:274). Jadi
tujuan memberchek adalah agar informasi yang diperoleh dan akan digunakan
dalam penulisan laporan sesuai dengan apa yang dimaksud sumber data atau
informan (Sugiyono, 2007:276).
2) Triangulasi Teknik
Untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada
sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya untuk mengecek
data bisa melalui wawancara, observasi, dokumentasi. Bila dengan teknik
pengujian kredibilitas data tersebut menghasilkan data yang berbeda, maka
peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang
43
bersangkutan untuk memastikan data mana yang dianggap benar (Sugiyono,
2007:274).
3) Triangulasi Waktu
Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara tergantung dengan
kesepakatan dengan informan kapan waktu yang tepat untuk melakukan
proses wawancara dan informan memberikan data yang valid sehingga lebih
kredibel. Selanjutnya dapat dilakukan dengan pengecekan dengan
wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda.
Bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan secara
berulang-ulang sehingga sampai ditemukan kepastian datanya (Sugiyono,
2007:274).
J. Etika Penelitian
Etika penelitian adalah standar tata perilaku peniliti selama melakukan
penelitian, mulai dari menyusun desain penelitian, mengumpulkan data lapangan
(melakukan wawancara, observasi, dan pengumpulan data dokumen), menyusun
laporan penelitian hingga mempublikasikan hasil penelitian. Misalnya :
1. Menginformasikan tujuan penelitian kepada informan.
2. Meminta persetujuan informan (Informan Consent) untuk diwawancarai.
3. Menjaga kerahasiaan identitas informan, jika terkait informasi sensitif.
4. Meminta izin informan jika ingin merekam wawancara, atau ambil foto/
video.
44
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Desa Bila
Bila mempunyai arti buah Bila atau buah Maja. Konon katanya dahulu desa
tersebut di tumbui banyak sekali pohon Bila/Maja. Sehingga ia dinamakan Desa
Bila. Secara administratif Desa Bila terdiri dari 4 dusun adalah sebagai berikut:
a) Dusun I Larumpu
b) Dusun II Pallae
c) Dusun III Larumpu
d) Dusun IV Abbanuangge
Sumber: Kantor Desa Bila Tahun 2020
B. Letak Geografis Dan Jumlah Penduduk
a. Batas Wilayah
a) Sebelah Utara :Bila Riase
b) Sebelah Selatan :Desa Taccimpo
c) Sebelah Timur :Desa Sogi/Desa Botto
d) Sebelah Barat :Desa Bola Bulu
Luas wilayah Desa Bila adalah 1.370 Hektar dan terletak pada
koordinat bujur 120.060.306 dan koordinat lintang -3.849.228 letaknya yang
yang dekat dengan garis khatulistiwa menjadikan Desa Bila beriklim tropis.
Wilayah ini terbagi menjadi dua tipe hujan, yaitu tipe hujan Monsoon dan tipe
hujan lokal.
45
Desa Bila terletak pada dataran rendah, sehingga pemukiman di Desa
tersebut memanjang atau berderet dan mengelompok disepanjang jalan dusun.
Rumah-rumah penduduk pada umumnya menghadap ke jalan Desa.
Sumber: Kantor Desa Bila Tahun 2020
b. Jumlah Penduduk
Penduduk merupakan satu aspek yang sangat berpengaruh terhadap
pembangunan, disebabkan karena maju mundurnya daerah sangat berpengaruh
pada kualitas sumber daya manusianya. Desa Bila memiliki jumlah penduduk
sebanyak 3.048 jiwa dengan rincian jumlah laki-laki 1.480 jiwa dan jumlah
perempuan 1.568 jiwa. Dahulu Desa Bila di dominasi oleh penduduk yang
beragama Hindu namun seiring berjalannya waktu masayarakat yang
beragama Hindu sudah mulai berkurang di Desa Bila. Untuk lebih jelasnya
jumlah penduduk dapat di lihat pada table berikut.
No Nama Dusun Laki-Laki Perempuan Total
1 Dusun I Larumpu 463 451 914
2 Dusun II Pallae 438 497 935
3 Dusun III Larumpu 330 347 677
4 Dusun IV
Abbanuangge
249 271 520
Jumlah 1.480 1.568 3.048
Tabel 4.1 jumlah penduduk Desa Bila
Sumber: Kantor Desa Bila Tahun 2020
46
3. Keadaan Keagamaan
Pada dasarnya penduduk Desa Bila dominan menganut agama Islam,
namun ada beberapa di antaranya penganut agama hindu dan khatolik. selain dari
latar belakang agama, budaya, ras, dll. pasca terjadinya konflik agama di Desa
tersebut penduduk desa hidup dengan rukun dan damai hingga saat ini.
Adapun tabel jumlah penduduk berdasarkan latar belakang agama
diantaranya adalah:
No Agama Laki-Laki Perempuan
1. Islam 1388 1440
2. Hindu 100 109
3. Khatolik 3 0
Total 1491 1549
Tabel 4.2 jumlah penduduk berdasarkan agama
Sumber: Kantor Desa Bila Tahun 2020
4. Keadaan Sosial Budaya
a. Sosial
Keadaan Sosial saat ini pasca terjadinya konflik di Desa tersebut
sebagaimana masyarakat umumnya yang ada di pedesaan yang sangat
menjunjung tinggi rasa saling menghargai dan kepedulian antar masyarakat.
Seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat setempat sangat menanamkan
rasa kepedulian terhadap sesama yang saling membutuhkan bantuan. Selain
daripada itu mereka juga terbuka terhadap orang-orang yang membutuhkan
informasi tentang kondisi setempat. Terlepas dari hal tersebut terdapat pula
47
keadaaan sosial yang ada di Desa Bila yakni menjalin hubungan interaksi
yang cukup bagus dan sangat menjalin hubungan persudaraan karena
hubungan kekerabatan yang begitu dekat.
Sumber: Kantor Desa Bila Tahun 2020
b. Budaya
Terlepas dari keadaan sosial yang ada di lokasi penelitian dapat pula
dijelaskan tentang bagaimana kondisi dan keadaan budaya yang terdapat pada
desa tersebut. Keadaan budaya yang ada di Desa Bila memiliki kekhasan dan
budaya tersendiri yang sering dilakukan. Masyarakat disana dapat dikatakan
terbuka dan ramah untuk orang-orang yang ingin mencari informasi khusunya
tentang bagaimana kondisi masyarakat setempat. Masyarakat yang ada di
lokasi tersebut menggunakan bahasa daerah sebagaimana yang umumnya
digunakan di Kabupaten Sidrap. Beberapa masyarakat di tempat tersebut
sering melakukan ritual adat yang telah menjadi kebiasaannya pada waktu-
waktu tertentu
Sumber: Kantor Desa Bila Tahun 2020
48
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Setelah melakukan observasi dan wawancara, maka pada bagian ini peneliti
akan paparkan hasil penelitian sebagai berikut.
a. Proses Resolusi Konflik Agama Dalam Integrasi Sosial Di Desa Bila
Kabupaten Sidenreng Rappang
1) Negosiasi
Negosiasi merupakan proses dimana pihak-pihak yang berkonflik mulai
mencari cara untuk mengahkiri atau menyelesaikan konflik yang sedang terjadi.
Adapun hal yang sangat mempengaruhi negosiasi yaitu kekuatan proses tawar-
menawar.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti tahap negosiasi
pada proses resolusi konflik di desa tersebut benar dilakukan. Adapun proses dari
negosiasi yang dilakukan di Desa Bila yaitu, dari kedua pihak yang berkonflik
mulai mencari jalan atau cara untuk menyelesaikan konflik tersebut terutama pada
pihak yang memulai, dengan bantuan para tokoh masyarakat dan pimpinan desa.
Diantaranya masyarakat Hindu mengusulkan perdamaian dengan syarat,
pada saat mereka melakukan perjalanan dengan rombongan menuju tempat
peribadatan mereka, meminta agara diberikan keamanan ketat dari pihak
pemerintah berupa pengawalan dari aparat kepolisian. Begitupun dengan
masyarakat Islam, mereka juga mengajukan syarat bahwa tidak dibolehkan
melakukan tindak kekerasan secara sepihak apabila terdapat kesalahpahaman
49
yang tidak disengaja oleh masyarakat yang berbeda agama. Berdasarkan syarat
dari kedua belah pihak kemudian dirundingkan dan dimusyawarahkan oleh kepala
desa, para tokoh masyarakat, serta masyarakat yang terlibat konflik, untuk
memperoleh hasil yang dinginkan.
Dikutip dari hasil wawancara dengan H.Kuba (53) sebagai Kepala Desa
Bila, menyatakan bahwa:
“Proses penyelesaian konflik pada saat itu, dari kedua belah pihak yang
berkonflik mereka masing-masinng memberikan syarat atas perdamaian tersebut, proses negosiasi istilahnya, barulah setelah itu kedua syarat tersebut kemudian dimuyawarahkan oleh para tokoh masyarakat dari kedua agama yang berikai, sehingga proses penyelesaian konflik menemukan titik terang, dan menuju ketahap berikutnya.” (Wawancara, informan inisial HK 21 September 2020). Dan dikuatkan dengan hasil wawancara dengan La Wello (64) sebagai tokoh
masyarakat Hindu menyatakan bahwa:
“Dari yang dilihat di desa sekarang sekarang ini sudah sangat aman, jika
kita lihat dari konflik besar yang pernah terjadi, pengawalan juga pada saat kami melakukan perjalanan menuju tempat ibadah sudah sangat baik. Tujuannya dilakukan pengawalan itu hanya untuk mengantisipasi adanya kejadian-kejadian yang tidak diinginkan selama perjalanan” (Wawancara, informan inisial LA 22 September 2020) Sedangkan berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti, bentuk
dari negosiasi tersebut yaitu, dilihat dari sudut pandang manapun Desa Bila sudah
sangat aman, dilihat dan diamati selama beberapa tahun terakhir setelah terjadinya
konflik tersebut. Dikuatkan juga dari jumlah polisi yang ditugaskan dalam
pengawalan tersebut. Jadi yang terlihat ada 1 rombongan yang terdiri dari 10
orang oleh aparat kepolisian, Polsek Tanrutedong Kecamatan Duapitue
Kabupaten Sidenreng Rappang yang ikut serta dalam mengamankan atau
mengawal rombonga agama Hindu yang hendak beribadah.
50
Kesimpulannya, pada tahap negosiasi dalam proses resolusi konflik di Desa
Bila Kabupaten Sidenreng Rappang merupan proses dimana kedua pihak yang
terlibat konflik, khususnya dari pihak yang memulai, mulai mencari cara untuk
bagaimana menyelesaikan konflik tersebut, Setelah melalui beberapa proses
tawar-menawar kedua pihak kemudian sepakat untuk menyelesaikan konflik
dengan berbagai syarat. Barulah kemudian pemerintah daerah setempat bersama
dengan para tokoh masyarakat dari kedua belah pihak agama melakukan untuk
mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diingankan, barulah kemudian
mereka lanjut ketahap berikutnya. Dalam proses penyelesaian konflik tersebut,
pada tahap ini keadaan didesa tersebut sudah sangat aman dilihat dari sudut
pandang manapun, proses pelaksanaan peribadatan oleh masyarakat Hindu juga
berjalanan lancar dengan adanya pengawalan dari aparat kepolisian.
2) Mediasi
Mediasi merupakan sebuah proses penyelesaian konflik tahap kedua dengan
menggunakan mediator, tetapi dalam proses ini mediator tidak mempunyai
wewenang dalam memberikan keputusan yang mengikat dan hanya bersifat
konsulatif.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti
tahap mediasi dari proses resolusi konflik juga dilakukan di desa tersebut. Adapun
proses dari mediasi itu sendiri yaitu dari kedua pihak yang berkonflik
dipertemukan, dengan aparat dari kepolisian Polsek Tanru Tedong yang tidak
terlibat konflik di desa tersebut sebagai mediator. Pada tahap ini syarat yang
diajukan dari proses negosiasi tadi dibicarakan kembali, untuk sebuah keputusan
51
yang paten, karena keputusan tersebut didapat hanya dari kedua belah pihak yang
berkonflik. Mediator dalam tahap ini hanyalah seorang penengah yang membantu
menetralkan keadaan, akan tetapi tidak berhak untuk memberikan keputusan.
Pada proses resolusi konflik pada tahap ini tidak dilakukan dengan cara yang
sangat formal, hanya melibatkan kedua belah pihak yang berkonflik, kepala desa,
dan para tokoh masyarakat dari kedua agama.
Dikutip dari hasil wawancara dengan H.P.Saade (65) sebagai tokoh
masyarakat yang beragama Islma, menyatakan bahwa:
“Ditahap ini seperti yang dikatakan tadi, ada mediator sebagai penengah, dan mediatornya ini yang tidak terlibat langsung dengan konflik tersebut. Jadi ditahap ini bisa disimpulkan bahwa pihak yang berkonflik ini sudah sepakat mengajukan perdamaian dengaan syarat yang diajukan pada tahap sebelumnya” (Wawancara, informan inisial HPS 23 September 2020). Dikuatkan lagi dari kutipan hasil wawancara dengan Bahri (53) sebagai
warga masyarakat yang beragama Hindu, menyatakan bahwa:
“Pada tahap mediasi ini, ada yang namanya penengah, dan penengah atau
yang dikatakan sebagai mediator itu yang tidak terlibat langsung dengan konflik, jadi saat itu mediatornya dari aparat kepolisian, kepala desa minta bantuan dari polsek tanru tedong, untuk membantu pihak yang berkonflik untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut” (Wawancara, informan inisial B 22 September 2020).
Berdasarkan hasil observasi dan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti,
pada tahap mediasi pada proses resolusi konflik di desa tersebut, tahap ini
dilakukan dengan cara yang tidak terlalu formal. Adapun mediator sebagai
penengah yaitu dari pihak kepolisian yakni Polsek Tanru Tedong yang terdiri dari
1 orang mediator dan 2 orang yang turut hadir untuk mengkondusifkan suasana di
desa tersebut.
52
Jadi kesimpulannya tahap mediasi pada proses resolusi konflik di Desa Bila
dilakukan dengan cara yang tidak terlalu formal. Adapun orang yang terlibat
sebagai mediator atau penengah yakni dari aparat kepolisian yang terdiri dari 1
orang mediator dan 2 orang yang membantu untuk mengkondusifkan suasana,
selanjutnya kesepakatan yang didapatkan dari tahap tersebut dapat disimpulkan
bahwa kedua pihak yang berkonflik telah sepakat untuk mengajukan perdamaian.
3) Konsiliasi
Konsilisasi merupakan tahap ketiga dari proses resolusi konflik, dimana
konflik tersebut diserahkan pada satu komisi yang bertugas untuk menguraikan
atau menjelaskan fakta dan mengupayakan untuk mencapai suatu kesepakatan.
Berdasarkan hasi observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti,
tahap ini merupakan tahap untuk menentukan siapa salah dan siapa benar.
Gunanya agar konflik tersebut tidak berlangsung terlalu lama, pada tahap ini
semua hal yang menyebabkan terjadinya konflik dibahas dan diuraikan secara
detai baik dari pihak yang bersalah ataupun yang benar. Setealah itu hal-hal
tersebut dimusyawarahkan dengan pihak-pihak yang berkonflik, disaksikan
dengan para tokoh masyarakat dari kedua agama, kepala desa, dan mediator.
Dari hasil pengamatan, ada beberapa faktor penyebab terjadinya konflik
antar agama di Desa Bila diantaranya adalah kurangnya toleransi antar umat
beragama pada saat itu, warga desa yang terlalu sensitif, dan pemerintah setempat
yang kurang memperhatikan warganya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan H.P.Saade (65) sebagai tokoh
masyarakat yang beragama islam, menyatakan bahwa:
53
“Pada tahap ini hal yang menyebabkan terjadinya konflik diuraikan satu persatu kemudian dibahas secara detail apa inti dan pokok permasalahannya. Untuk mencapai satu keputusan untuk penyelesaian konflik ini. Dari beberapa faktor penyebab terjadinya konflik ada beberapa yang sangat umum antara lain kurang toleransi antar umat beragama pada saat itu, kemudian juga warga desanya terlalu sensitive apalagi yang non muslim (Hindu), kemudian juga pemerintah yang menjabat pada saat itu kurang memperhatikan warganya karena satu dan lain hal” (Wawancara,
informan inisial HPS23 September 2020). Dikuatan dengan hasil wawancara dengan La Wello (64) sebagai tokoh
masyarakat yang beragama Hindu, menyatakan bahwa:
“Jadi pada tahap ini, semua faktor penyebab terjadinya konflik tersebut
diuraikan dan di bahas secara detail untuk memperoleh hasil akhir yang diinginkan, kemudian setelah hasil akhirnya telah diputuskan dan dibulatkan, kemudian dilanjutkan dengan membahas batasan-batasan antara kedua pihak yang berkonflik. Dalam artian misalnya, mulaimi diterapkan toleransi antar umat beragama, dan bagaimana seharusnya batasan antara kedua agama yang berbeda tersebut” (Wawancara,
informan inisial LA 22 September 2020). Jadi kesimpulannya pada tahap konsiliasi pada proses resolusi konflik di
Desa Bila merupakan tahap dimana faktor penyebab terjadinya konflik diuraikan
kemudian dibahas secara detail dan seksama oleh kedua pihak yang berkonflik di
saksikan oleh para tokoh masyarakat, kepala desa dan mediator. Untuk
mendapatkan satu hasil yang diinginkan yaitu perdamaian dari kedua pihak yang
berkonflik.
4) Pemecahan Masalah
Memecahkan masalah adalah sebuah usaha yang lebih ambisius bahwa
pihak-pihak yang bertikai diundang untuk mengonseptualisasikan ulang konflik
dengan sebuah pandangan untuk menemukan hasil yang kreatif. Dalam suatu
proses penyelesaian konflik melalui proses memecahkan masalah, dibutuhkan
adanya dialog-dialog yang luas dikalangan masyarakat yang bertikai pada semua
54
lapisan mengenai masalah yang menjadi sumber konflik, akibat konflik, dan
penyelesain konflik dengan pendekatan suatu model dialog, dan pemecahan
masalah.
Berdasarkan hasil Observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti pada
tahap ini proses yang dilakukan hampir sama dengan yang sebelumnya, hanya
saja pada tahap ini pihak yang berkonflik diberikan kebebasan dalam hal
berbicara untuk mengkonseptualisasikan konflik tersebut dalam sebuah
pandangan untuk menemukan hasil yang lebih memuaskan dan kreatif.
selanjutnya semua pihak lain yang menjadi saksi juga ikut serta dalam bersuara
bagaimana seharusnya, seperti misalkan pada pihak satu memberikan penjelasan
penyebab terjadinya konflik kemudian diminta untuk memberikan masukan
bagaimana seharusnya penyelesaian yang harus diambil, begitupun selanjutnya.
Adapun bentuknya dilihat ari hasil observasi yaitu, faktor utama penyebab
terjadinya konflik tersebut adalah kurangnya toleransi antar umat umat beragama
di Desa, kemudian bentuk penyelesaian konfliknya yaitu pemerintah setempat
turut berperan aktif dalam hal ini, menjelaskan kepada warga masyarakat Desa
Bila bahwa perbedaan latar belakang agama tidak mesti menjadi penghalang
untuk saling berinteraksi apalagi menjadi pemicu timbulnya konflik.
Dibuktikan berdasarkan hasil wawancara dengan H.Kuba (53) sebagai
kepala Desa Bila, menyatakan bahwa:
“Pada tahap memecahkan masalah pada proses ini memang hampir sama dengan tahap sebelumnya, yakni kedua pihak ang berkonflik diundang untuk membicarakan lebih jelas lagi faktor penyebab terjadinya konflik, serta bagaimana seharusnya bentuk pemecahannya, didampingi oleh para tokoh masyarakat, pemerintah setempat, serta mediator dari pihak kepolisian. Karena pada konflik tersebut bukan hanya sekedar menyatukan 2 kepala
55
yang berbeda tetapi menyangkut 2 agama berbeda, karena ini merupakan konflik Desa jadi sebisa mungkin pemerintah setempat ingin menyelesaikan konflik ini dengan cara kekelurgaan, akan tetapi tetap mengikuti prosedur proses penyelesaian konflik” (Wawancara, informan inisial HK 21 September 2020). Dikuatkan dengan hasil wawancara dengan Bahri (53) sebagai warga
masyarakat Desa Bila, menyatakan bahwa:
“Yang saya lihat pada tahap ini, merea yang berkonflik diundang ke balai desa, disaksikan oleh para tokoh masyarakat dari kedua pihak, pemerintah desa setempat, serta mediator dari pihak kepolisian. Mereka diminta untuk menguraikan secara detail faktor penyebab terjadinya konflik serta bagaimana bentuk penyelesaian yang tepat, untuk mendapatkan satu hasil yang diinginkan” (Wawancara, informan inisial B 22 September 2020). Jadi kesimpulannya pada tahap memecahkan masalah pada proses resolusi
konflik antar agama di Desa Bila yaitu, yang paling utama pada tahap ini yaitu
menguraikan faktor penyebab terjadinya konflik, adapun faktor penyebab
terjadinya konflik yaitu, kuragnya toleransi antar umat beragama di Desa pada
saat itu, kurangnya peran pemerintah, warga desa yang terlalu sensitive, serta
kesalahpahaman yang berujung pada konflik.
Adapun bentuk penyelesaian konflik tersebut yaitu, pemerintah berupaya
untuk memberikan pemahaman kepada warga desa bahwa perbedaan agama
bukanlah sebuah penghalang untuk melakukan sebuah interaksi sosial, segala
bentuk kekerasan akan ditindak lanjuti, dan memberikan pengawalan kepada
masyarakat hindu yang hendak melakukan perjalanan menuju tempat peribadatan
mereka, bentuk penyelesaia konflik tersebut masuk kedalam syarat perdamaian
antar kedua pihak yang berkonflik.
56
5) Rekonsiliasi
Rekonsiliasi adalah sebuah proses bukan semata-mata menemukan
penyelesaian masalah namun mengubah hubungan pihak-pihak yang berkonflik
dari permusuhan menuju pada pertemanan dan kerja sama. Dengan kata lain tahap
ini merupakan tujuan akhir dari semua upaya penyelesaian konflik.
Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti, pada tahap
ini kedua pihak yang berkonflik telah sepakat melakukan perdamaian. Selanjutnya
kedua pihak tersebut mulai memperbaiki hubungan sosial yang sempat terhenti.
Dibuktikan dengan hasil wawancara dengan H.P.Saade (65) sebagai tokoh
masyarakat yang beragama islam, menyatakan bahwa:
“Jadi waktu itu kedua pihak sudah sepakat melakukan perdamaian, kemudian dilanjutkan dengan memperbaiki hubungan sosialnya, pimpinan desa juga pada saat itu sudah menjelaskan bahwa perbedaan latar belakang agama bukan satu penghalang untuk tetap melakukan interaksi sosial” (Wawancara,informan inisial HPS 23 September 2020) Dikuatkan dengan hasil wawancara dengan Hj.Pammi (55) sebagai warga
masyarakat yang beragama islam, menyatakan bahwa:
“Pada tahap ini dua pihak yang berkonflik sudah sepakat untuk berdamai, kemudian dilanjutkan dengan proses memperbaiki hubungan sosial antara keduanya” (Wawancara, informan inisial HP 23 September 2020) Jadi pada proses rekonsiliasi ini, diartikan sebagai tahap akhir pada proses
resolusi konflik antara agama di Desa Bila, dimana kedua pihak yang berkonflik
telah sepakat untuk melakukan perdamaian. kemudian dilanjutkan dengan proses
pemulihan hubungan sosial antar kedua pihak tersebut.
Kesimpulannya dari tahap negosiasi, mediasi, konsiliasi, pemecahan
masalah, dan rekonsiliasi merupakan tahap yang dilalui kedua pihak yang
57
berkonflik untuk mendapatkan sebuah pencerahan sehingga kata damai menjadi
jalan yang tepat untuk konflik tersebut. Pada proses resolusi konflik di Desa
tersebut tidak dilakukan dengan cara yang sangat formal, akan tetapi semua tahap
pada proses penyelesaian konflik tersebut di ikuti dengan baik. Tujuannya agar
apa yang diinginkan dapat tercapai dengan baik.
b. Proses Terjadinya Integrasi Sosial Melalui Resolusi Konflik Agama Di
Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang
Integrasi adalah proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam
masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang berbeda tersebut
dapat meliputi perbedaan kedudukan sosial, ras, etnis, agama, bahasa, kebiasaan,
sistem nilai dan norma. Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar
anggota masyarakat tersebut sepakat mengenai struktur kemasyarakatan yang
dibangun termasuk nilai-nilai, norma-norma dan pranata-pranata sosialnya.
Integrasi juga dapat dilihat sebagai suatu proses yang memperkuat hubungan
dalam suatu sistem sosial, integrasi sosial berjalan dengan baik jika memiliki
interaksi antara anggotanya, dalam artian integrasi mengacu pada suatu keadaan
dalam masyarakat dimana orang-orang saling berhubungan agar menghasilkan
pola kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian sosial.
Berdasar hasil wawancara peneliti dengan H. Kuba (53) sebagai kepala desa
Bila terkait dengan integrasi sosial dalam masayarakat, menyatakan bahwa:
“Kebijakan yang di lakukan pemerintah untuk mendorong terciptanya
integrasi sosial yaitu kami beserta para tokoh masyarakat baik itu Hindu dan Islam, sepakat untuk memberikan keleluasaan masyaraakat yang beragama Hindu untu menggunakan jalan dalam perjalanan menuju tempat peribadatan mereka selama dalam batas wajar, oleh karena itu pemerintah
58
bekerja sama dengan aparat kepolisian agar diberikan pengawalan ketat” (Wawancara, 21 September 2020).
Seperti yang dikatakan oleh kepala Desa Bila pada saat wawancara, terkait
dengan kebijakan yang dilakukan untuk mendorong terciptanya integrasi sosial
dalam masyarakat Desa. Bahwa pemerintah setempat bekerja sama dengan aparat
kepolisian dalam membantu kelancaran peribadatan umat Hindu, maka dari itu
integrasi dalam lingkungan msyarakat mulai tercipta secara perlahan hingga tidak
ada lagi perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat di desa tersebut.
Hasil wawancara dengan H. Kuba (57) sebagai kepala desa Bila terkait
dengan peran pemerintah dalam upaya mewujudkan kerukunan antar umat agama
menyatakan bahwa:
“Peran pemerintah yaitu menciptakan suasana kehidupan beragama
yang kondusif dalam masyarakat, dan juga berusaha meyakinkan warga masyarakat bahwa perbedaan keyakinan bukanlah sebuah penghalang dalam menciptakan integrasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat” (Wawancara, 21 September 2020).
Jadi berdasarkan hasil wawancara tersebut, peran pemerintah dalam upaya
mewujudkan kerukunan antar umat beragama di desa tersebut yaitu, suasana
kehidupan beragama yang kondusif, serta meyakinkan warga masyarakat bahwa
perbedaan keyakinan bukanlah sebuah penghalang dalam sebuah kerukunan
dalam kehidupan bermasyarakat. Dapat dilihat dari hasil pengamatan peneliti,
bahwa masyarakat saat ini sangat rukun dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil wawancara terkait faktor pendorong terwujudnya kerukunan antar
umat Beragama di desa Bila, dengan Syafruddin (52) sebagai warga masyarakat
yang beragama Islam dengan La Wello (64) sebagai tokoh masyarakat yang
beragama Hindu menyatakan bahwa:
59
“Ada beberapa faktor pendukung terwujudnya kerukunan antar umat
beragama, diantaranya toleransi terhadap perbedaan agama, dan juga sudah ada kesadaran diri sebagai makhluk sosial, serta adanya tuntutan kebutuhan” (Wawancara, 21 dan 22 September 2020).
Dari hasil wawancara tersebut, dapat kita ketahui bahwa faktor pendukung
terwujudnya kerukunan antar umat beragama yaitu, Besarnya toleransi terhadap
perbedaan keyakinan, adanya kesadaran diri sebagai makhluk sosial, serta
tuntutan kebutuhan. Sehingga kerukunan antar umat beragama saat ini sudah
sangat baik. Masyarakat sudah menyadari bahwa kerukunan antar umat beragama
dalam kehidupan beragama ini sangatlah penting, yang secara tidak sadar
membuat mereka akan saling berinteraksi, seperti misalnya pedagang dan
pembeli, serta beberapa lagi contoh lainnya.
Hasil wawancara terkait wujud kerukunan antar umat beragama di desa
Bila. Dengan H.P Saade (65) sebagai tokoh masyarakat yang beragama Islam
dengan La Wello (64) sebagai tokoh masyarakat yang beragama Hindu
menyatakan bahwa:
“Wujud kerukunan antar umat beragama yang terlihat saat sekarang ini
yaitu, masyarakat sudah tergerak hatinya untuk melakukan gotong royong, besarnya toleransi terhadap hari-hari besar antar umat beragama, tidak ada lagi perbedaan besar dalam lingkup kehidupan beragama, dan batasan pergaulan antara anak-anak, remaja, dll, yang beda agama sudah tidak ada lagi, jadi sekarang anak-anak itu bergaul tidak pandang agama mi, tidak seperti dulu bahwa kalau anak yang agama hindu di larang bergaul sama anak yang beragama islam” (Wawancara, 22 dan 23 September 2020).
Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa sudah banyak
bukti dari wujud kerukunan antar umat beragama, diantaranya masyarakat mulai
tergerak hatinya untuk melakukan gotong royong, besarnya toleransi terhadap
hari-hari besar antar umat beragama, serta pergaulan dengan perbedaan latar
60
belakang agama sudah tidak dibatasi. Jadi dulu anak-anak itu di larang untuk
berinteraksi dengan yang beda agama, begitupun sebaliknya. Dan banyak lagi
wujud kerukunan lainnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa integrasi sosial di desa Bila dapat terwujud
melalui resolusi konflik agama. Meskipun awalnya terbilang sulit, akan tetapi
berkat usaha dari pemerintah setempat dan juga para tokoh masyarakat serta
warga masyarakat desa Bila sendiri sehingga integrasi sosial dalam kehidupan
bermasyarakat dapat terwujud dengan baik, sehingga tercipta kerukunan antar
umat beragama.
B. PEMBAHASAN
a. Proses Resolusi Konflik Agama Dalam Integrasi Sosial Di Desa Bila
Kabupaten Sidenreng Rappang
Berdasarkan hasil dari observasi dan wawancara yang dilakukan oleh
peneliti. Bahwa agama pada dasarnya memiliki peranan yang sangat penting bagi
kehidupan manusia, karena agama merupakan sistem nilai yang di dalamnya
terdapat norma-norma yang mengatur pola perilaku manusia, baik dalam
kehidupannya sebagai individu maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Sehingga, agama dalam hal ini berfungsi sebagai pedoman hidup dan sekaligus
memberi solusi pada munculnya persoalan-persoalan dalam kehidupan ini.
Terlepas dari hal ideal yang diperankan agama, ternyata agama tidak seindah
konsep awalnya ketika diamalkan pemeluknya dalam kehidupan, realitas
menunjukkan bukti-bukti munculnya berbagai kekerasan, persengketaan,
perpecahan bahkan pertumpahan darah, sering terjadi dengan dalih agama.
61
Proses resolusi konflik tentunya tidak terlepas dari beberapa faktor penyebab
terjadinya konflik, bagaimana kronologi terjadinya konflik, upaya apa yang
dilakukan dalam proses penyelesaian konflik, serta bagaimana kondisi masyarakat
pasca terjadinya konflik tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bagaimana proses
terjadinya resolusi konflik antar agama dalam integrasi sosial di Desa Bila
Kabupaten Sidenreng Rappang. Konflik antar umat beragama di Desa Bila
ternyata dapat dikelola dan diselesaikan, dan bukan hanya itu kedua umat
beragama yang saling bertikai telah berhasil membangun kehidupan bersama
sebagai komunitas beragama di tengah masyarakat. Berbagai kerjasama sosial dan
kegiatan dilakukan untuk meningkatkan persaudaraan. Tentu upaya pemulihan
dan resolusi ini bukan perkara yang mudah, tetapi membutuhkan perjuangan,
komitmen dan kesadaran bersama sehingga konflik benar-benar dapat diakhiri.
Dalam hal ini meskipun agama dalam tingkat sosial berfungsi sebagai
integrasi kelembagaan masyarakat, tetapi fungsi agama sebagai integrasi
kelembagaan masyarakat pada tingat individu bukannya tidak pernah
menimbulkan masalah, karena kebutuhan masing-masing warga masyarakat yang
tidak seragam sehingga kemungkinan yang timbul dalam persamaan ialah
perbedaan kebutuhan masyarakat yang bervariasi yang pada gilirannya bisa
menimbulkan konflik. Dalam hal ini konflik keagamaan dalam kehidupan sosial
masyarakat dapat timbul karena perbedaan pemahaman dalam mengintrepetasikan
sumber yang dicampuri atau didukung oleh aspek-aspek lain misalnya budaya,
ekonomi dan sebagainya. Perbedaan tersebut disertai batas-batas yang makin jelas
satu sama lain ketika ekonomi dan politik dalam masyarakat mengimplikasi
62
keperbedaan paham yang ada. Jadi dapat dikatakan di sini bahwa agama dapat
pula memberi andil terjadinya pertikaian hubungan antar umat beragama.
Pengendalian atau penyelesaian konflik yang dimaksud di sini bukan
merupakan penyelesaian semu, namun yang utama adalah mencari sebab-sebab
yang terdalam yang menyebabkan munculnya konflik dipermukaan. Pengendalian
konflik ini untuk mencegah timbulnya disintegrasi dalam masyarakat. Asumsinya
adalah, jika penanganan konflik ini cukup efektif maka dengan sendirinya akan
tercipta integrasi antara kedua kelompok yang terlibat konflik. Namun jika
penanganan konflik tidak efektif bukan tidak mungkin konflik atau kerusuhan
akan terjadi lagi pada masa-masa yang akan datang. Selanjutnya agar
penyelesaian konflik bukan penyelesaian semu, maka pada pasca terjadinya
konflik perlu dibangun kembali hubungan baik antara pihak yang terlibat konflik.
Pemulihan hubungan baik ini tentunya untuk mengatasi api dalam sekam, agar
konflik semacam ini tidak muncul lagi di masa-masa yang akan datang. Dalam hal
ini pihak-pihak yang terlibat konflik perlu mengupayakan berbagai langkah untuk
mecapai rekonsiliasi. Agar pencapaian rekonsiliasi dapat benar-benar terlaksana
dan dapat menemukan maknanya, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Pertama, pelaku atau korban harus ditemukan atau diakui oleh hukum dan
masyarakat. Kedua, Keadilan harus ditegakkan berarti dilaksanakan restribusi
(sanksi hukum) terhadap pelaku dan restribusi (pemulihan) terhadap korban.
Ketiga, pemisahan antara pengampunan dan kepastian hukum. Keempat, bila
hukum positif yang berlaku tidak memiliki pasal-pasal yang mengatur dan
memberi sanksi pelanggaran, maka penyelesaian harus mengacu ke prinsip
63
epikeia (yang benar dan adil). Selanjutnya masalah restitusi (pemulihan) terhadap
korban juga tidak bisa diabaikan, trauma, kerugian fisik, material maupun mental
dari korban merupakan luka-luka yang sulit untuk disembuhkan, bahkan akan
terus menerus membekas dan memerlukan pemulihan.
b. Proses Terjadinya Integrasi Sosial Melalui Resolusi Konflik Agama Di
Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang
Menurut Vocabulaire Philosophique Lalande, integrasi berarti suatu usaha
untuk membangun independensi yang lebih erat antara bagian-bagian dari
organisme hidup atau anggota dalam masyarakat, sehingga tercipta suatu kondisi
yang harmoni, yang memungkinkan terjalinnya kerjasama dalam rangka mencapai
tujuan yang ditentukan bersama (Duverger, 993:340). Senada dengan hal itu
pendapat Mas’oed (1991:2) adalah secara umum integrasi bisa diberi arti sebagai
kondisi atau proses mempesatukan bagian-bagian yang sebelumnya saling
terpisah. Proses ini berjalan melalui tahapan yang dilalui, akan merupakan
landasan bagi terselenggarakannya tahapan berikutnya. Adapun Karl Deutch
(1957) mengatakan bahwa integrasi harus berjalan secara damai dan berlangsung
secara sukarela. Ia memandang integrasi sebagai unit-unit yang sebelumnya
terpisah kemudian mampu menciptakan hubungan-hubungan independensi dan
secara bersama menghasilakn unsur-unsur suatu sistem yang tidak bisa mereka
hasilkan ketika mereka saling terpisah.
Berdasarkan hasil dari observasi dan wawancara yang dilakukan oleh
peneliti. Bahwa. Integrasi sosial melalui resolusi konflik agama di Desa Bila
Kabupaten Sidenreng Rappang telah terwujud dalam masyarakat pasca konflik
64
dan hubungan baik antar umat beragama serta integrasi dalam masyarakat dapat
terpelihara dalam jangka waktu yang lama hingga saat ini. Masyarakat
menggunakan modal sosial untuk mewujudkan integrasi di Desa Bila.
Integrasi dalam masyarakat dilakukan dengan menggunakan modal sosial yaitu:
Bahasa Sebagai Alat Komunikasi Warga Masyarakat Sehari-Hari
Bahasa mempunyai kekuatan integratif untuk melakukan interaksi antara
satu kelompok dengan kelompok lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Kesamaan
dalam pemakaian bahasa telah menciptakan hubungan yang saling berdekatan
antara warga masyarakat yang berbeda agama dan etnis. Dalam konteks di Desa
Bila bahasa yang digunakan adalah bahasa Bugis. Bahasa Bugis adalah bahasa
lokal yang digunakan oleh semua warga masyarakat Kabupaten Sidenreng
Rappang khususnya Desa Bila baik penduduk asli Desa Bila maupun yang
pendatang di samping bahasa Indonesia. Berkomunikasi dengan bahasa lokal
sangat mempengaruhi kedekatan emosi dalam pergaulan dan hubungan dengan
pihak yang diajak berkomunikasi. Sebaliknya apabila seseorang memakai bahasa
Indonesia dalam berkomunikasi hubungan menjadi kurang akrab, kaku dan sangat
formal. Bahkan pemakaian bahasa Indonesia dalam berkomunikasi bisa menjadi
tanda bahwa yang sedang berkomunikasi adalah pendatang baru atau orang-orang
yang sedang berkunjung di daerah tersebut. Dengan demikian bahasa Bugis
merupakan alat komunikasi sehari-hari yang dapat menjadi alatperekat dan
kekerabatan dalam masyarakat.
65
Ketergantungan Secara Fungsional Dalam Pekerjaan Dan Ekonomi
Dalam aspek kehidupan sehari, hubungan saling bergantung secara
fungsional dalam pekerjaan dan ekonomi, di karenakan, disidrap masih sanggat
kental dengan istilah petani penggarap, jadi yang Nampak saat ini kebanyakan
dari mereka yang beragama hindu memiliki lahan/sawah yang cukup luas.
Sehingga mereka menawarkan kepada siapapun yang ingin menggarap sawahnya
sesuai dengan kesepakatan yang telah di tentukan. Sehingga masyarakat islam
yang kurang dalam perekonomian tertarik akan kerjasma tersebut. Jadi hal ini
mengakibatkan komunikasi antara masyarakat yang berbeda agama berlangsung
dengan baik hingga saat sekarang.
Kegiatan Sosial, Gotong Royong Dan Tolong Menolong
Yang dimaksud disini adalah keikutsertaan dan keperdulian warga
masyarakat yang didasari oleh perasaan persaudaraan sebagai sesama warga
masyarakat Desa Bila. Salah satu kelompok agama biasanya memprakarsai untuk
menunjang kegiatan sosial tertentu. Selain itu keikutsertaan individu masing-
masing kelompok agama untuk menunjang berbagai kegiatan sosial yang tunjang
oleh pemerintah juga turut mendukung terbangunnya partisipasi, solidaritas dan
kekerabatan dalam masyarakat. Indikator terpeliharanya partisipasi, solidaritas
dan kekerabatan nyata dalam keikutsertaan orang-orang dari kelompok agama
yang berlainan dalam kegiatan selamatan, dll. Melakukan kegiatan bersama
merupakan kebutuhan setiap individu sebagai mahkluk sosial. Kegiatan tolong
menolong antar tetangga dan warga masyarakat yang lebih luas adalah salah satu
sarana kekuatan integratif sosial di desa dan sekitarnya.
66
Kegiatan Keagamaan Yang Dirayakan Bersama Oleh Warga Masyarakat
Perayaan hari besar agama yang dilakukan oleh kelompok agama tertentu
dan didukung kelompok agama yang lain merupakan bentuk toleransi sosial yang
berhasil diwujudkan umat beragama di Desa Bila pasca konflik. Toleransi sosial
yang dimaksud di sini adalah bersedianya kedua belah pihak yang berbeda agama
saling mengakui dan menghormati pendirian satu sama lain. Indikatornya
meliputi, menerima dan menghargai nilai-nilai, pandangan, pendapat,
kepercayaan umat beragama yang berbeda walaupun berbeda ajaran atau doktrin
yang diyakininya, kesadaran diri untuk bersedia berkorban demi pemeluk agama
lain, dalam hal ini pengorbanan yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial
merupakan bentuk-bentuk toleransi sosial. Melalui silaturahmi, pengajian dan
kegiatan agama lainnya warga masyarakat berusaha untuk tetap menjaga dan
mempertahankan integritas dan toleransi sosial di Desa Bila.
Seperti yang dikatakan bahwa, integrasi bisa saja hidup bersebelahan dengan
konflik, bahkan melalui resolusi konflik keseimbangan hubungan dapat ditata dan
diciptakan kembali. Konsep yang ditawarkan tersebut mengisyaratkan bahwa
integrasi tercipta melalui proses yang panjang pasca resolusi konflik yaitu melalui
interaksi dan komunikasi yang intensif. Serta kelompok-kelompok sosial yang
berintegrasi membangun social networks dalam suatu unit sosial yang relative
koherensif. Selain itu keikutsertaan individu masing-masing kelompok agama
untuk menunjang berbagai kegiatan sosial yang diadakan oleh pemerintah juga
turut mendukung terbangunnya partisipasi, solidaritas dan kekerabatan dalam
67
masyarakat. Melakukan kegiatan bersama merupakan kebutuhan setiap individu
sebagai mahkluk sosial. Kegiatan tolong menolong antar tetangga dan warga
masyarakat yang lebih luas adalah salah satu sarana kekuatan integratif sosial di
desa dan sekitarnya.
68
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dalam banyak kasus konflik sosial bernuansa agama pada dasarnya
disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhi baik, ekonomi, politik dan
budaya. Disamping beberapa faktor penyebab konflik, faktor agama juga bisa
menjadi penyebab terjadinya konflik dalam masyarakat yang menyebabkan
disintegrasi dalam masyarakt. Namun demikian konflik bukan tidak bisa
diselesaikan sejauh ada keinginan dan usaha bersama, terutama pihak yang
terlibat konflik untuk mewujudkan perdamaian tersebut. Dalam kasus ini umat
beragama Islam dan Hindu berhasil menyelesaikan konflik. Peran kepala desa,
para tokoh masyarakat dan warga masyarakat desa sendiri sangat besar dalam
penyelesaian konflik. Selain itu juga upaya-upaya yang dilakukan oleh kedua
umat beragama yang terlibat konflik itu sendiri. Pasca terjadinya konflik telah
dibuat kesepakatan dan upaya-upaya membangun kehidupan antarumat beragama
yang lebih kondusif sehingga integrasi dapat dibangun di Desa Bila.
Proses resolusi konflik tentunya tidak terlepas dari beberapa faktor
penyebab terjadinya konflik, bagaimana kronologi terjadinya konflik, upaya apa
yang dilakukan dalam proses penyelesaian konflik, serta bagaimana kondisi
masyarakat pasca terjadinya konflik tersebut. Sehingga dapat disimpulkan
bagaimana proses terjadinya resolusi konflik antar agama dalam integrasi sosial di
Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang. Konflik antar umat beragama di Desa
Bila ternyata dapat dikelola dan diselesaikan, dan bukan hanya itu kedua umat
69
beragama yang saling bertikai telah berhasil membangun kehidupan bersama
sebagai komunitas beragama di tengah masyarakat. Berbagai kerjasama sosial dan
kegiatan dilakukan untuk meningkatkan persaudaraan. Tentu upaya pemulihan
dan resolusi ini bukan perkara yang mudah, tetapi membutuhkan perjuangan,
komitmen dan kesadaran bersama sehingga konflik benar-benar dapat diakhiri.
Seperti yang dikatakan bahwa, integrasi bisa saja hidup bersebelahan
dengan konflik, bahkan melalui resolusi konflik keseimbangan hubungan dapat
ditata dan diciptakan kembali. Konsep yang ditawarkan tersebut mengisyaratkan
bahwa integrasi tercipta melalui proses yang panjang pasca resolusi konflik yaitu
melalui interaksi dan komunikasi yang intensif. Serta kelompok-kelompok sosial
yang berintegrasi membangun social networks dalam suatu unit sosial yang
relative koherensif. Selain itu keikutsertaan individu masing-masing kelompok
agama untuk menunjang berbagai kegiatan sosial yang diadakan oleh pemerintah
juga turut mendukung terbangunnya partisipasi, solidaritas dan kekerabatan dalam
masyarakat. Melakukan kegiatan bersama merupakan kebutuhan setiap individu
sebagai mahkluk sosial. Kegiatan tolong menolong antar tetangga dan warga
masyarakat yang lebih luas adalah salah satu sarana kekuatan integratif sosial di
desa dan sekitarnya.
70
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka pada bagian ini akan
diberikan saran sebagai berikut:
1. Kepada Masyarakat
a. Diharapkan kepada warga masyarakat agar mempertahankan integrasi
sosial di Desa Bila, agar konflik yang pernah terjadi tidak terulang
kembali.
b. Menjaga kerukunan antar masyarakat yang berbeda agama, serta
menumbuhkan sikap toleransi yang tinggi antar umat beragama.
2. Kepada Pemerintah
a. Diharapkan kepada pemerintah atau pimpinan Desa agar lebih
memperhatikan warganya dalam hal apapun,
b. Dapat menjadi penengah kepada kedua agama yang ada di desa apabila
terjadi kesalahpahaman.
3. Kepada Peneliti Selanjutnya
a. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya apabila meneliti tentang hal yang
serupa agar lebih teliti dalam memberikan pernyataan.
b. berhati-hati dalam mengajukan pertanyaan pada saat wawancara,
usahakan untuk yang tidak menyinggung narasumber,
c. Serta mematuhi aturan yang ada di tempat penelitian.
71
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Anwar, Yesmil, dan Adang,. 2013. Sosiologi untuk Universitas. Bandung : Refika Aditama
Bornard Raho. 2007 Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher), 54 Chandra, Robby. 1992. Konflik dalam kehidupan sehari-hari. Yogyakarta:
Kanisius Gulo. (2002). Metode Penelitian Sosial, Jakarta: Kencana Prenada. Hendropuspito, 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta, Rajawali, Kanisius, Hoton, Paul, B., dan Chester L, 1991 Hunt, Sosiologi. 6 th Edition (terjemahan),
Jakarta : Erlangga. John W. Creswel. (2006) . Research Design Pendekatan Metode Kualitatif. Maleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya Offiset. Musahadi (Ed.). (2007). Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia. Semarang: WMC.Semarang Nursalam, Suardi. (2016). Teori Sosiologi. Yogyakarta Writing Revilution. Peter L. Berger and Thomas Luckman. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan.
Jakarta : LP3S, Ritzer George, Goodman J. Douglas, (2010). Teori Sosiologi Modern. Jakarta :
Kencana Pernada Media Group. Robertson, R. 1988. Agama dalam Analisa dan Intrepetasi Sosiologis.
Penerjemah Achmad F. S. Jakart. CV Rajawali.
Saiffudin, A. F. 1986. Konflik dan Integrasi. Pubahan Faham dalam agama Islam. Jakarta CV Rajawali.
Soerjono, Soekanto. (2000) Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : rajawali press, Usman, S. 1995. Integrasi dan Ketahanan Nasional. Sumbangan sosial terhadap
ketahanan nasional. penyunting: Ichla sul Amal dan Armaidy
72
Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba Humanika,
B. Jurnal/Skripsi
Bakry Hendry. 2015. Resolusi Konflik Melalui Pendektan Kearifan Local Pola Gandong Di Kota Ambon. Jurnal. Tidak diterbitkan. Megister Ilmu Politi Universitas Hasanuddin.
Kaharuddin., Hasan, Z. B., Akib, E., Dawi, F., & Ernawati, A. (2013). Social
Conflict On Arak (Ballo) Drinkers'in Gowa Regency, South Sulawesi Indonesia. South Sulawesi Indonesia Source: Indian Streams Research Journal [2230-7850] 3(3).
Raharjo Wasisto. (2013). “Kearifan Lokal Sebagai Resolusi Konflik Keagamaan”
Jurnal Sosial Kebudayaan.
Zuldin Muhammad. 2013. “Konflik Agama Dan Penyelesaiannya Kasus
Ahmadiyah Di Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat” Jurnal. Tidak diterbitkan. Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik UIN Sunan Gunung Djati
c. Internet
https://muhammadmirza.blogspot.com/2018/10/interaksi-sosial.html.diakses pada tanggal 20 Oktober 2020 pukul 13.10 am.
https://ahmadwahyumaruto.blogspot.com/2017/01/konflik.keagamaan.html. diakses pada tanggal 14 Oktober 2020 pukul 10.30 am.
http://ruslanmustari.blogspot.com/2017/09/bentuk.integrasi.sosial.html.diakses
pada tanggal 15 Oktober 2020 pukul 11.02 am.
http://www.fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_15.pdf. diakses pada tanggal 17 Oktober 2020 pukul 02.20 pm.
file:///D:/SKRIPSI/konflik.antar.agama/3..%20BAB%20II%20(%20ada%20).pdf.
diakses pada tanggal 19 Oktober 2020 pukul 14.30 am.
LAMPIRAN
PROFIL INFORMAN
Pada bagian ini peneliti menyajikan berdasarkan atas gambaran tentang
identitas informan yang disesuaikan berdasarkan kriteria-kriteria dalam penentuan
subjek atau informan yang mendukung diperolehnya hasil penelitian yang sesuai
dengan kenyataan pada kehidupan masyarakat di Desa Bila. Berikut adalah
beberapa daftar informan dalam penelitian berdasarkan jenis kelamin, usia, agama
serta kedudukan dalam desa.
No Nama Jenis Kelamin
L/P
Usia Agama Kedudukan
1. H. Kuba L 53 th Islam Kepala Desa
2. H. P. Saade L 65 th Islam Tokoh
Masyarakat Islam
3. Syafruddin L 52 th Islam Kepala Dusun
Warga
4. Normawati P 52 th Islam Warga
5. Hj. Pammi P 55 th Islam Warga
6. La Wello L 64 th Hindu Tokoh
Masyarakat Hindu
7. Bahri L 53 th Hindu Warga
8. Darwis L 54 th Hindu Warga
9. Diana P 53 th Hindu Warga
10. Hasmi P 54 th Hindu Warga
Sumber: Kantor Desa Bila Tahun 2020
PEDOMAN OBSERVASI
RESOLUSI KONFLIK AGAMA DALAM INTEGRASI SOSIAL DI
DESA BILA KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG
No. Pernyataan Keterangan
Ya Tidak
1. Masyarakat Desa Bila terbagi
menjadi beberapa agama ✓
2. Pernah terjadi konflik antar agama
di Desa Bila ✓
3. Konflik yang terjadi di Desa Bila
sudah terselesaikan? ✓
4. Telah tercipta integrasi sosial di
Desa Bila ✓
5.
Pemerintah telah memberikan
berbagai kebijakan untuk
menghindari terjadinya konflik
semula
✓
6.
Masyarakat Desa Bila berinteraksi
layaknya tidak ada perbedaan
agama di antaranya
✓
7.
Kesadaran masyarakat bahwa
perbedaan agama bukanlah
penghalang untuk saling
berinteraksi
✓
PEDOMAN WAWANCARA
No Rumusan Masalah Pertanyaan 1. Bagaimana proses resolusi
konflik agama dalam integrasi sosial di Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang?
Faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya konflik antar agama di desa tersebut?
Bagaimana kronologi terjadinya konflik antar agama di desa tersebut?
Upaya apa yang dilakukan dalam proses resolusi konflik agama di desa?
Bagaimana kondisi masyarakat pasca terjadinya konflik antar agama di desa tersebut?
2. Apakah integrasi sosial dapat terjadi melalui resolusi konflik agama di Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang?
Kebijakan apa yang dilakukan untuk mendorong terciptanya integrasi sosial pasca terjadinya konflik?
Bagaimana peran pemerintah dalam upaya mewujudkan kerukunan antar umat beragama di desa?
Faktor apa yang mendukung terwujudnya kerukunan antar umat beragama di desa?
Bagaimana wujud kerukunan antar umat beragama di desa pasca terjadinya resolusi konflik agama?
DOKUMENTASI
Gambar 1.1 Kantor Desa Bila
Gambar 1.2 wujud integrasi sosial di desa
Gambar 1.3 Acara adat yang dihadiri oleh seluruh warga masyarakat
Gambar 1.4 Wawancara dengan Pengurus Desa Bila
Gambar 1.5 Wawancara informan
RIWAYAT HIDUP
Nur Indah Fajrini. dilahirkan di Makassar pada tanggal 24
November 1998 dari pasangan Ayahanda Syafruddin dan
Ibunda Normawati. Penulis pertama kali masuk ke
pendidikan formal pada tahun 2003 di TK Ababil Bila dan
tamat pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis
masuk sekolah dasar di SD Negeri 2 Bila dan tamat pada tahun 2010, kemudian
penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Duapitue dan tamat pada tahun
2013. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 3 Sidrap dan
selesai pada tahun 2016. dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan
pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Makassar dengan mengambil jurusan Pendidikan Sosiologi. dan
selesai pada tahun 2020.
LAMPIRAN
PROFIL INFORMAN
Pada bagian ini peneliti menyajikan berdasarkan atas gambaran tentang
identitas informan yang disesuaikan berdasarkan kriteria-kriteria dalam penentuan
subjek atau informan yang mendukung diperolehnya hasil penelitian yang sesuai
dengan kenyataan pada kehidupan masyarakat di Desa Bila. Berikut adalah
beberapa daftar informan dalam penelitian berdasarkan jenis kelamin, usia, agama
serta kedudukan dalam desa.
No Nama Jenis Kelamin
L/P
Usia Agama Kedudukan
1. H. Kuba L 53 th Islam Kepala Desa
2. H. P. Saade L 65 th Islam Tokoh
Masyarakat Islam
3. Syafruddin L 52 th Islam Kepala Dusun
Warga
4. Normawati P 52 th Islam Warga
5. Hj. Pammi P 55 th Islam Warga
6. La Wello L 64 th Hindu Tokoh
Masyarakat Hindu
7. Bahri L 53 th Hindu Warga
8. Darwis L 54 th Hindu Warga
9. Diana P 53 th Hindu Warga
10. Hasmi P 54 th Hindu Warga
Sumber: Kantor Desa Bila Tahun 2020
PEDOMAN OBSERVASI
RESOLUSI KONFLIK AGAMA DALAM INTEGRASI SOSIAL DI
DESA BILA KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG
No. Pernyataan Keterangan
Ya Tidak
1. Masyarakat Desa Bila terbagi
menjadi beberapa agama ✓
2. Pernah terjadi konflik antar agama
di Desa Bila ✓
3. Konflik yang terjadi di Desa Bila
sudah terselesaikan? ✓
4. Telah tercipta integrasi sosial di
Desa Bila ✓
5.
Pemerintah telah memberikan
berbagai kebijakan untuk
menghindari terjadinya konflik
semula
✓
6.
Masyarakat Desa Bila berinteraksi
layaknya tidak ada perbedaan
agama di antaranya
✓
7.
Kesadaran masyarakat bahwa
perbedaan agama bukanlah
penghalang untuk saling
berinteraksi
✓
PEDOMAN WAWANCARA
No Rumusan Masalah Pertanyaan 1. Bagaimana proses resolusi
konflik agama dalam integrasi sosial di Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang?
Faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya konflik antar agama di desa tersebut?
Bagaimana kronologi terjadinya konflik antar agama di desa tersebut?
Upaya apa yang dilakukan dalam proses resolusi konflik agama di desa?
Bagaimana kondisi masyarakat pasca terjadinya konflik antar agama di desa tersebut?
2. Apakah integrasi sosial dapat terjadi melalui resolusi konflik agama di Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang?
Kebijakan apa yang dilakukan untuk mendorong terciptanya integrasi sosial pasca terjadinya konflik?
Bagaimana peran pemerintah dalam upaya mewujudkan kerukunan antar umat beragama di desa?
Faktor apa yang mendukung terwujudnya kerukunan antar umat beragama di desa?
Bagaimana wujud kerukunan antar umat beragama di desa pasca terjadinya resolusi konflik agama?
DOKUMENTASI
Gambar 1.1 Kantor Desa Bila
Gambar 1.2 wujud integrasi sosial di desa
Gambar 1.3 Acara adat yang dihadiri oleh seluruh warga masyarakat
Gambar 1.4 Wawancara dengan Pengurus Desa Bila
Gambar 1.5 Wawancara informan
RIWAYAT HIDUP
Nur Indah Fajrini. dilahirkan di Makassar pada tanggal 24
November 1998 dari pasangan Ayahanda Syafruddin dan
Ibunda Normawati. Penulis pertama kali masuk ke
pendidikan formal pada tahun 2003 di TK Ababil Bila dan
tamat pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis
masuk sekolah dasar di SD Negeri 2 Bila dan tamat pada tahun 2010, kemudian
penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Duapitue dan tamat pada tahun
2013. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 3 Sidrap dan
selesai pada tahun 2016. dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan
pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Makassar dengan mengambil jurusan Pendidikan Sosiologi. dan
selesai pada tahun 2020.
26%SIMILARITY INDEX
23%INTERNET SOURCES
0%PUBLICATIONS
11%STUDENT PAPERS
1 9%
2 5%
3 3%
4 3%
5 2%
6 2%
7 2%
Exclude quotes Off
Exclude bibliography Off
Exclude matches < 2%
Nur Indah Fajrini.S 105381118116ORIGINALITY REPORT
PRIMARY SOURCES
media.neliti.comInternet Source
repository.uinjkt.ac.idInternet Source
tirtarimba.blogspot.comInternet Source
muttaqinhabibullah.blogspot.comInternet Source
Submitted to Kookmin UniversityStudent Paper
anzdoc.comInternet Source
www.scribd.comInternet Source