respon indonesia terhadap kebijakan pertahanan maritim australia

34
RESPON INDONESIA TERHADAP KEBIJAKAN PERTAHANAN MARITIM AUSTRALIA (AUSTRALIA’S MARITIME IDENTIFICATION ZONE) PADA TAHUN 2004- 2005 Proposal Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Choirul Anam 108083000020 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 0

Upload: choirul-anam

Post on 11-Nov-2015

38 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

hubungan internasional

TRANSCRIPT

RESPON INDONESIA TERHADAP KEBIJAKAN PERTAHANAN MARITIM AUSTRALIA (AUSTRALIAS MARITIME IDENTIFICATION ZONE) PADA TAHUN 2004- 2005Proposal Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Choirul Anam

108083000020

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013A. PERNYATAAN MASALAHAustralias Maritime Identification Zone (AMIZ) adalah sebuah kebijakan pertahanan Australia yang berbasis pada pertahanan maritime, AMIZ dikeluarkan oleh perdana menteri Australia, John Howard pada 15 desember 2004. Di dalam AMIZ diberlakukan jangkauan sejauh 1000 mil laut (1850 KM) dari pelabuhan- pelabuhan Australia, oleh karenanya setiap kapal yang berlayar dan berada dalam jangkauan AMIZ harus memberikan informasi mengenai identitas kapal, awak kapal, kargo, lokasi dan pelabuhan tujuan di Australia dengan tujuan agar dapat diidentifikasi terlebih dahulu kapal yang akan masuk ke wilayah Australia tersebut (www.theage.com. 2004). AMIZ adalah salah satu implementasi dari kebijakan pertahanan Australia yang bernama Defence White Paper, yang merupakan kelanjutan dari strategi strategi pertahanan Australia yang telah dibuat sebelumnya, berikut adalah rangkuman evolusi kebijakan pertahanan Australia mulai dari tahun 1986-2005. Kebijakan pertahanan Australia pada awalnya atau mulai dari Dibs Report 1986 sampai dengan Australias Strategic Policy 1997 memiliki banyak kesamaan yaitu diantaranya masih berada pada fokus strategi pertahanan secara kontinental (Pudjiastuti et al, 2005) dalam artian menunggu sampai musuh masuk ke wilayah pantai Australia dan baru akan diserang jika musuh sudah mencapai daratan. Hal ini kemudian mulai berbeda ketika dikeluarkannya Buku Putih 2000 yang mana di dalamnya mulai mewacanakan untuk fokus pada pertahanan maritime. Berikut adalah rangkuman selengkapnya, di dalam Dibs Report 1986 menjelaskan bahwa mempertahankan Australia adalah tugas prioritas pertahanan dan di dalamnya mengusulkan strategi penangkalan secara defensif, yang kemudian dijabarkan ke dalam empat lapis strategi penangkalan defensif di area kepentingan militer langsung Australia (Alex tewes, 2004). Keempat lapis strategi penangkalan defensif tersebut adalah pertama intelligence and surveillance yang komperehensif yaitu menggunakan radar jarak jauh untuk untuk mendeteksi para penyusup di wilayah udara dan laut, sedangkan yang kedua adalah memaksimalkan kemampuan pertahanan laut dan udara untuk mengatasi ancaman, kemudian yang ketiga adalah fokus pada kemampuan defensif yang lebih dekat pada garis pantai atau jalur pelayaran Australia untuk mencegah musuh mendekat kewilayah penting atau jalur pelayaran Australia, dan yang keempat yaitu mobile ground forces yang akan menumpas musuh yang telah berhasil melintasi wilayah laut dan udara Australia yang akan mengancam aset- aset penting dan pemukiman penduduk. Akan tetapi muncul kritik terhadap kebijakan ini, Dibs Report dianggap terlalu defensif dan isolaionisme (Pudjiastuti et al, 2005).

Kemudian setelah Dibs Report Australia mengeluarkan Buku Putih Pertahanan 1987: The Defence of Australia, kebijakan ini hampir sama dengan kebijakan yang diusulkan oleh Paul Dibb dalam Dibs Report, yang membedakan hanyalah kebijakan ini tidak lagi seutuhnya defensif, melainkan lebih menekankan pada serangan offensif (Pudjiastuti et al, 2005). Selanjutnya adalah Buku Putih Pertahanan 1994: Defending Australia, kali ini kebijakan pertahanan Australia cenderung berbeda dengan buku pertahanan sebelumnya, hal ini terkait dengan berubahnya lingkungan strategis di Asia Pasifik dan Pasifik Selatan seperti berakhirnya perang dingin yang menghilangkan kemungkinan terjadinya ancaman perang secara global, untuk itu dalam kebijakan pertahanan ini lebih memprioritaskan pada kerjasama pertahanan dengan negara- negara tetangga dan kurang menekankan pada ikatan pertahanan dengan AS, pengenduran ikatan kerjasama pertahanan dengan AS dikarenakan waktu itu Australia dipimpin oleh partai buruh dan ini adalah wujud dari independensi politik luar negeri Australia, pasalnya ketika partai buruh berkuasa maka politik luar negerinya akan cenderung lebih nasionalistik dan juga berpandangan luas terhadap negara negara tetangga di Asia dan pasifik selatan (Pudjiastuti et al, 2005).

Setelah Defending Australia, Australia kemudian menerbitkan Australias Strategic Policy 1997, pada saat ini kepemimpinan Australia dipegang oleh John Howard yang notabene adalah hasil kemenangan dari koalisi Partai Liberal- Nasional yang kemudian membawa perubahan mendasar dalam kebijakan luar negeri dan pertahanan Australia. Pada pemerintahannya John Howard kembali menitik beratkan pada kerjasama dengan induk semangnya yaitu Inggris dan juga AS. Pada kebijakan ini menekankan bahwasanya strategi maritime lebih tepat bagi Australia kalau dilihat dari geo stretegisnya, akan tetapi strategi yang dibangun tetap saja menunjukan bahwa strategi pertahanan Australia masih pada strategi kontinental, atau bisa digambarkan bahwa kebijakan pertahanannya masih tetap pada strategi pertahanan kontinental akan tetapi dengan orientasi utama pada kekuatan matra laut dan ditunjang oleh kekuatan udara (Pudjiastuti et al, 2005).

Kebijakan pertahanan Australia yang awalnya lebih terkonsentrasi pada pertahanan kontinental mulai berubah sejak dikeluarkannya Defence White Paper 2000: Our Future Defence Force. Perubahan menuju strategi maritime tampak nyata dalam buku putih 2000 yang menyatakan secara tegas bahwa matra darat memiliki peran vital dan sentral dalam suatu stretegi pertahanan, namun tak berbeda dengan Dibbs Report bahwa peran matra darat masih dalam bentuk mempertahankan aset- aset vital dan melakukan operasi- operasi secara ofensif pada kekuatan lawan yang sudah mendarat di teritori Australia. Di dalam buku Buku Putih Pertahanan 2000 menekankan bahwa kekuatan maritim harus ada dalam ketiga angkatan bersenjata Australia (Pudjiastuti et al, 2005).

Kemudian pemerintah Australia memperbaharui Buku Putih 2000 dengan Defence White Paper 2003: A Defence Update. Departemen pertahanan Australia memperbaharui buku pertahanannya karena berpandangan bawasanya saat ini ancaman itu datangnya bukan lagi secara konvensional atau aktornya merupakan negara, melainkan menjadi non- konvensional seperti terorisme, penyelundupan, imigran ilegal dan lain sebagainya yang sebagian besar aktornya bukanlah negara (Pudjiastuti et al, 2005). Kemudian setelah dikeluarkannya A Defence Update ini Australia secara resmi pada desember 2004 mengeluarkan strategi pertahanan barunya yang fokus pada pertahanan maritim yaitu AMIZ. Sedangkan alasan perubahan kebijakan pertahanan Australia dari yang awalnya lebih terfokus pada pertahanan kontinental yang kemudian ditahun 2000-an mulai mewacanakan untuk berubah pada pertahanan maritime ini dikarenakan adanya beberapa hal yang dianggap sebagai sebuah ancaman dan akan datang dari wilayah perairan Australia, sebenarnya sebelum tahun 2000 persoalan maritime sudah menjadi perhatian dan dianggap sebagai ancaman atas kedaulatan Australia. Pada waktu itu Australia mengangap bahwa ancaman militer akan datang dari utara atau bangsa Asia melalui perairannya (Nusa Bhakti et al, 1997) akan tetapi fokus pertahanan Australia pada saat itu masih pada strategi pertahanan secara kontinental. Hal ini berbeda pada saat tahun 2000-an sebagaimana dinyatakan dalam buku putih pertahanan Australia 2003 bahwa Australia memandang ancaman atas kedaulatan Australia ini datangnya bukan lagi dari ancaman militer akan tetapi lebih pada non- militer, potensi ancaman non- militer yang dimaksud adalah migrasi illegal, penyelundupan obat- obat terlarang, senjata, bajak laut, money loundry dan juga terorisme, dan sebagian besar aktivitas ancaman non- tradisional tersebut terjadi lewat jalur laut. Perdana menteri Australia John Howard yang memimpin Australia dari tahun 1996 sampai 2007 secara tegas menyatakan tentang kemungkinan- kemungkinan akan adanya ancaman dan serangan melalui wilayah laut, untuk itu perlu adanya sistem keamanan maritim secara nasional (Pudjiastuti, 2005). Kemudian Kebijakan pertahanan maritime ini juga difungsikan untuk melindungi sumber minyak lepas pantai dan fasilitas gas alam yang berada dilandas kontinent barat laut pantai Australia (Pudjiastuti et al, 2005). Selain itu salah satu alasan diresmikannya AMIZ sebagai strategi pertahanan Australia adalah terkait dengan hubungan antara Australia dan Amerika Serikat (AS). Di dalam Defence White Paper 2000 dinyatakan bahwa, bagi Australia melanjutkan hubungan dengan AS akan sangat mendukung kemampuan pertahanan Australia dan tentu Australia akan mampu memainkan peranan penting dalam mewujudkan stabilitas strategis dikawasan Asia Pasifik (Pudjiastuti, et al, 2005), antara Australia dan AS terjalin sebuah kerjasama dalam bidang pertahanan, kerjasama tersebut dikenal dengan istilah Australia- New Zealand- United State (ANZUS) yang ditanda tangani pada tahun 1951, di dalam perjanjian tersebut disepakati bahwasanya setiap negara yang terikat dalam ANZUS ini wajib untuk membantu negara lain mempertahankan wilayah dari ancaman luar dan mempertahankan kepentingan keamanannya (Pudjiastuti et al, 2005) dan AMIZ dikeluarkan oleh Australia adalah sebagai wujud dukungan Australia terhadap kebijakan keamanan AS di Asia Pasifik yaitu kebijakan Proliferation Security Iniative (PSI) (pudjiastuti et al, 2005). Hasil penelitian dari LIPI yang berjudul Kebijakan Pertahanan Australia dan Respon Negara- negara Asia Timur dan Selandia baru memberikan sebuah pernyataan mengenai kaitan program AMIZ dengan AS yaitu sebagai berikut:Jika dikaji lebih mendalam, perubahan strategi pertahanan ini amat terkait dengan perubahan strategi maritime AS dalam memerangi terorisme dan diperkenalkannya PSI oleh Presiden G. W. Bush pada mei 2003 (Pudjiastuti et al, 2005 H.44)

Poliferation Security Iniative (PSI) adalah sebuah pengaturan informal yang disponsori oleh AS dan diberlakukan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perdagangan atau transfer ilegal senjata pemusnah masal antar negara atau antar aktor non-negara yang melanggar aturan dan norma internasional. Keterlibatan Australia dalam PSI merupakan salah satu upaya untuk menjaga kemitraan dengan AS, dan karena Australia merupakan Deputy Sherrif AS di kawasan pasifik maka merasa bertanggung jawab untuk menyukseskan PSI tersebut. Oleh karenanya Australia mengeluarkan kebijakan pertahanan berupa AMIZ sebagai respon atas kebijakan PSI tersebut (Pudjiastuti et al, 2005).Sebenarnya sah- sah saja Australia mengeluarkan AMIZ yang dengan jangkauan 1000 mil laut tersebut, akan tetapi tentu selama itu tidak memasuki batas yuridiksi negara lain. Akan tetapi permasalahannya ketika jangkauan 1000 mil tersebut ditetapkan maka akan menjangkau sebagian wilayah perairan kedaulatan Indonesia. Menteri Luar Negeri Indonesia Hasan Wirajuda pada waktu itu dengan tegas menolak kebijakan pertahanan maritime Australia (AMIZ) tersebut dengan menjelaskan alasan bahwasanya ketika jarak 1000 mil tersebut diterapkan dari pelabuhan Australia jarak tersebut mencapai sekitar dua per tiga wilayah perairan Indonesia, dimana laut antar kepulauan (laut pedalaman) tersebut merupakan yurisdiksi penuh Indonesia. Jika kita melihat peta maka jarak 1000 mil laut ini akan menjangkau Laut Halmahera di Maluku, Laut Sulawesi diatas Manado, Laut Arafura dan sebagian besar Laut Jawa. Karena laut-laut ini sebagian besar adalah laut yang kita sebut sebagai perairan kepulauan. maka menurut Konvensi Hukum Laut Internasional, di atas laut-laut tersebut dan laut territorial, kita mempunyai kedaulatan penuh. (www.kompas.co.id. 2004).Ketika untuk pertama kalinya konsep pertahanan maritim itu diumumkan oleh Kantor Perdana Menteri Australia pada 15 Desember 2004, reaksi penolakan sangat kuat dari Indonesia terlebih di kalangan pemerintahan maupun DPR RI (Harian Kompas, Desember 2004). Akan tetapi enam bulan kemudian gugatan- gugatan terhadap AMIZ mulai surut, bahkan pada saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Australia John Howard tidak secara khusus membicarakan tentang AMIZ, meskipun sebenarnya kerjasama keamanan menjadi tema sentral dalam pertemuan tersebut (Pudjiastuti et al, 2005). Begitu juga dengan media- media tanah air yang pada awal diumumkannya AMIZ cenderung menuliskan pemberitaan yang sangat menolak adanya AMIZ, seperti pemberitaan dari kompas yang melihat bahwa reaksi keras terhadap kebijakan maritime Australia itu sebagai karma atas perilaku Australia yang suka membangkitkan kemarahan pihak lain dan merasa banyak mempunyai ancaman (Kompas, 26 Desember 2004). Akan tetapi pada bulan mei 2005 kompas lebih berhati- hati dan hanya menekankan pada pembahasan tentang pasang surut hubungan kedua negara (Kompas, 24 mei 2005).Perubahan yang sangat cepat terhadap bagaimana Indonesia menyikapi AMIZ ini bagi penulis merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk ditelaah lebih dalam. Penulis beranggapan bahwa perubahan sikap oleh pemerintah Indonesia terhadap AMIZ yang notabene hanya terjadi dalam waktu yang kurang lebih hanya enam bulan tersebut sangatlah terlalu cepat, sehingga menimbulkan tanda tanya besar apa yang menjadi penyebab dari perubahan sikap yang sangat cepat tersebut. Untuk itulah penulis beranggapan perlu untuk mempelajari lebih dalam tentang bagaimana Indonesia merespon kebijakan pertahanan maritime Australia (AMIZ) melalui penelitian yang berjudul Respon Indonesia Terhadap Kebijakan Pertahanan Maritim Australia (Australias Maritime Identification Zone) Pada tahun 2004- 2005

B. PERTANYAAN PENELITIANBagaimana Respon Indonesia Terhadap Kebijakan Pertahanan Maritime Australia (AMIZ) Pada Tahun 2004- 2005?C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

a. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan tentang bagaimana kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia terhadap kebijakan pertahanan maritime Australia (AMIZ), karena pada dasarnya jangkauan AMIZ yang mencapai 1000 mil laut telah menjangkau sebagian dari wilayah yuridiksi Indonesia, dan tentu ini adalah sebuah pelanggaran dan mengancam kedaulatan Indonesia. b. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah diharapkan agar penelitian ini nantinya mampu memberikan berbagai informasi bagi study hubungan internasional terkait dengan bagiamana kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia terhadap sistem pertahanan maritime yang dikeluarkan oleh Australia.D. TINJAUAN PUSTAKA

Skripsi yang ditulis oleh Susi Pesta Romauli Boru Aritonang dengan judul Pengaruh Kebijakan Maritim Australia (Australias Maritime Identification Zone (Amiz)) Terhadap Batas Yurisdiksi Perairan Indonesia, di dalam skripsi ini fokus membahas tentang bagaimana pengaruh Australias Maritime Identification Zone (AMIZ) terhadap batas yuridiksi perairan Indonesia. Menjelaskan tentang kemudian juga menjelaskan tentang bagaimana AMIZ ini dalam pandangan hukum laut internasional (Susi Pesta, 2004).Tinjauan pustaka yang kedua adalah buku penelitian dari LIPI yang berjudul Kebijakan Pertahanan Australia Tahun 2000- 2005 dan Respon Negara- Negara Asia Timur dan Selandia Baru. Di dalam buku ini ini dijelaskan secara detail tentang evolusi kebijakan pertahanan Australia dari tahun 1986 sampai dengan 2003. Disini juga dijelaskan tentang bagaimana negara- negara di Asia Timur dan Selandia Baru merespon AMIZ terkait dengan jangkauannya yang mencapai 1000 mil laut dari pelabuhan- pelabuhan Australia dan juga persenjataan- persenjataan yang melengkapi sistem pertahanan tersebut (Pudjiastutu et al, 2005).

E. KERANGKA TEORETISBerdasarkan pertanyaan penelitian tentang respon Indonesia terhadap kebijakan Pertahanan Maritime Australia maka penulis menggunakan konsep kebijakan luar negeri dan juga konsep kepentingan nasional untuk melakukan penelitian ini. Penulis menggabungkan kedua konsep tersebut dikarenakan setiap kebijakan-kebijakan luar negeri yang diambil oleh suatu pemerintah pasti mengacu kepada kepentingan nasionalnya. Kebijakan luar negeri bertujuan untuk melindungi, dan untuk mempertahankan kepentingan nasional suatu negara (Frankel, 1988). Selain konsep Kebijakan Luar Negeri dan kepentingan Nasional penulis juga menambahkan konsep Keamanan Internasional, karena kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh Indonesia dengan menolak Australias Maritime Identification Zone (AMIZ) adalah salah satu bentuk cara untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia dari ancaman- ancaman internasional, dalam kaitannya dengan kasus ini Indonesia merasa terancam dengan kebijakan pertahanan maritime Australia tersebut, bentuk dari ancaman yang terjadi akibat adanya AMIZ dalam persepsi Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam buku penelitian dari LIPI yang berjudul Kebijakan Pertahanan Australia 2000- 2005 dan Respon Negara- negara Asia Timur dan Selandia Baru adalah sebagai berikut Pertama, masalah kedaulatan dan yuridiksi. Bagi Indonesia, AMIZ merupakan sistem persenjataan Australia yang mengancam kedaulatan dan/atau yuridiksi, karena alasan hukum internasional dan kemampuannya untuk menjangkau wilayah indonesia. Kedua, AMIZ sebagai bagian dari sistem penangkalan; dan oleh karena itu kehadirannya perlu dikaitkan dengan sistem persenjataan yang lain, misalnya program pengembangan Threatre Missile defence (TMD) atau hubungan aliansi dengan AS. Ketiga, konteks AMIZ dalam hubungan diplomatik yang lebih luas, yang di dalamnya termasuk isu- isu pendukung yang lebih berkaitan dengan kemampuannya untuk memperuncing suasana. Termasuk dalam kategori ini adalah persoalan yang berkaitan dengan bagaimana AMIZ akan digunakan dan dikembangkan dikelak kemudian hari, pada perundingan yang sedang berlangsung antara Indonesia dan Australia dibidang delimitasi maritim (Pudjiastuti et al, 2005).Dalam hal ini penulis menggunakan konsep keamanan internasonal yang bersifat tradisional, di mana militer, negara, dan sistem internasional merupakan aktor utama. Konsep ini merupakan konsep lama yang mulai digunakan pada saat berlangsungnya Perang Dunia I dan II. Konsep ini juga digunakan pasca Perang Dingin. Setelah sekian lama terabaikan oleh kemunculan pemahaman mengenai liberalisme, keamanan internasional berkembang dan tidak hanya bersifat militer saja namun juga menyangkut ekonomi, budaya, dan isu-isu kontemporer seperti HAM, terorisme dan border trafficking (Amstutz 1995). Sedangkan mengenai pengertian dari kemanan internasional, pakar keamanan internasional dunia yaitu Sarkesian (1989, p.8) mendefinisikan bahwa keamanan internasional adalah :

the confidence held by the great majority of the nations people that the nation has the military capability and effective policy to prevent its adversaries from effectively using force in preventing the nations pursuit of its international interest.

Dari penuturan tersebut dapat diketahui bahwa keamanan internasional dan nasional pada hakekatnya merupakan state of mind (Jemadu 2008) yang terikat dalam suatu entitas politik yang bernama negara, dan state of mind tersebut tidak datang dengan sendirinya melainkan didasarkan pada basis material kapabilitas nasional yaitu kekuatan militer yang di dukung oleh unsur-unsur kepentingan, dan kekuatan nasional lainnya (Jemadu, 2008). Sedangkan kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional (Jack C. Plano. Roy Olton, 1999). Kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara memang bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional masyarakat yang diperintahnya meskipun kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu ditentutakan oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu (Masoed, 1994).Menurut Rosenau, pengertian kebijakan luar negeri yaitu upaya suatu negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya, Kebijakan luar negeri menurutnya ditujukan untuk memelihara dan mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara (Rosenau et al, 1976). Sedangkan Konsep kepentingan nasional menjadi penting karena dapat menjelaskan perilaku politik luar negeri suatu negara dan sebagai upaya untuk mengejar power, yang mana power tersebut adalah segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan memelihara kontrol atas suatu negara terhadap negara lain (Theodore. 1982). Oleh karena itu, kepentingan nasional merupakan suatu bentuk tindakan survival suatu negara dalam politik internasional melalui hubungan kerjasama. Menurut Hans J. Morgenthau, arti survival tersebut adalah kemampuan minimum suatu suatu bangsa untuk melindungi identitas fisik, politik dan identitas budaya mereka dari gangguan negara-negara lain (Sepu, Antonius. 2011).Dalam hal ini Indonesia merasa kepentingan nasionalnya terancam oleh kebijakan pertahanan yang dikeluarkan oleh Australia (AMIZ), hal ini karena jangkauan AMIZ yang mencapai 1000 mil laut dari pelabuhan- pelabuhan Australia tersebut menjangkau sebagian dari wilayah Indonesia, dan ancaman ini adalah bagian dari ancaman terhadap keamanan internasional yang bersifat tradisional karena aktornya adalah sebuah negara yaitu Australia dan juga ancamannya dikarenakan berasal dari militer Australia, oleh karenanya demi melindungi kepentingan nasionalnya dari ancaman- ancaman internasional yang ditimbulkan oleh militer Australia pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah kebijakan luar negeri untuk menolak penerapan dari AMIZ tersebut. Dengan saling berkesinambungannya ketiga konsep yang penulis gunakan tersebut diharapkan dapat membantu penulis untuk menyelesaikan penelitian tentang respon Indonesia terhadap kebijakan pertahanan Australia (AMIZ). F. METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini penulis menggunakan Metode Penelitian Kualitatif, karena pada dasarnya pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini meliputi empat tipe, yaitu observasi, interview, dokumen, dan gambar visual yang masing-masing mempunyai fungsi dan keterbatasan (Creswell 1994), dan penulis disini akan lebih banyak menggunakan data- data yang berasal dari sumber dokumen, atau hasil- hasil penelitian yang sudah diolah terlebih dahulu dan telah dipublikasikan oleh para penerbit.

Sedangkan pengertian dari Metode Penelitian Kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong. 2002). Gaya penelitian kualitatif berusaha mengkonstruksi realitas dan memahami maknanya. Sehingga, penelitian kualitatif biasanya sangat memperhatikan proses, peristiwa dan otentisitas (Soemantri. 2005).

Penelitian ini disebutkan memiliki enam asumsi (Creswell. 2004). Pertama, peneliti kualitatif mementingkan proses daripada hasil atau produk. Kedua, peneliti kualitaif tertarik dalam mengartikan bagaimana manusia mengartikan kehidupan, pengalaman-pengalaman, dan struktur dunia mereka. Ketiga, peneliti kualitatif merupakan instrumen utama dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Keempat, penelitian kualitatif meliputi kerja lapangan. Kelima, penelitian kualitatif adalah deskriptif, peneliti berkepentingan dalam proses, pengartian, dan pemahaman yang diperoleh atau melalui kata-kata atau gambar. Keenam, proses penelitian kualitatif adalah induktif, dalam hal ini peneliti membuat abstraksi, konsep, hipotesis, dan teori.

Dengan menggunakan sumber kepustakaan serta pengumpulan data dengan metode kualitatif diharapkan nantinya dapat mendukung proses mendalami bagaimana Respon Indonesia terhadap Kebijakan Pertahanan Maritim Australia Tahun 2004- 2005. Karena sebenarnya sah- sah saja sebuah negara membangun kekuatan militernya baik itu pertahanan laut, darat ataupun udara, akan tetapi secara langsung atau tidak langsung juga nanti akan berpotensi menimbulkan kerugian atau sebuah ancaman bagi negara tetangga, dalam hal ini adalah Indonesia. Untuk itulah perlu dikaji lebih mendalam lagi motif apa sebenarnya yang melatar belakangi perubahan kebijakan pertahanan Australia ke Pertahanan Maritim dan juga bagaimana Indonesia meresponnya sebagai negara tetangga yang merasa terancam oleh sistem pertahanan tersebut.

G. SISTEMATIKA PENULISANBAB I PENDAHULUAN

A. Latar BelakangB. Pertanyaan Penelitian C. Kerangka TeoriD. Tujuan dan Manfaat Penelitian

E. Tinjauan PustakaF. Metode Penelitian

G. Sistematika Penulisan

H. Daftar Pustaka

BAB II KERJASAMA KEAMANAN ANTARA INDONESIA DAN AUSTRALIAA. Sebelum Perang Dingin

A.1. Defence Cooperation ProgramB. Pasca Perang DinginB.1. Agreement on Maintaining Securuty

C. Kerjasama Anti Terorisme Indonesia dan Australia

BAB III KEBIJAKAN PERTAHANAN MARITIM AUSTRALIA

A. Evolusi Kebijakan Pertahanan Australia (1986- 2005) dari Strategi Kontinental ke Strategi Maritim.

B. Kebijakan Marritime Australia (Australias Maritime Identification Zone)C. Kebijakan Australias Maritime Identification Zone (AMIZ) Dalam Persepsi Indonesia.

BAB IV ANALISA RESPON INDONESIA TERHADAP KEBIJAKAN PERTAHANAN MARITIM AUSTRALIA (AMIZ)

A. Respon Indonesia Terhadap Sistem Pertahanan Maritim Australia.

B. Hubungan Indonesia dan Australia Pasca ditetapkannya Sistem Pertahanan Maritim Australia.

BAB V PENUTUP

A. KesimpulanH. DAFTAR PUSTAKA

Amstutz, Mark R. 1995. International Conflict an Cooperation: An Introduction to World, Dubuque: Brown and Benchmark.

Brenner N, Theodore N. 2002. Cities and The Geographies of Actually Existing Neoliberalism. Antipode 34.

Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks: SAGE Publications, Inc.

Frankel, Joseph. 1988, International Relations in a Changing World Fourth Edition, New York: Oxford University Press.

James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1975. World Politic: an Introduction. Newyork: The Free Press.

Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Masoed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES.

Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.Nusa Bhakti, Ikrar., ed. 1997. Persetujuan Pemeliharaan Keamanan Republik Indonesia- Australia, Kaitannya dengan Stabilitas dan Keamanan Regional Asia Tenggara: Suatu Tinjauan Strategis Politics, Jakarta: Kerjasama P2P-LIPI dengan Balitbang Departemen Luar Negeri. Pudjiastuti., ed. 2005. Kebijakan Pertahanan Australia Tahun 2000- 2005 dan Respon Negara- Negara Asia Timur dan Selandia Baru. Jakarta: LIPI Press.

P. Antonius, Sepu. 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sarkesian, Sam C. 1989. U.S National Security: Policymakers, Processes, and Politics. Boulder and London: Lynne Rienner.Plano, Jack. C dan Roy Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Bandung: Abardin.Jurnal dan HarianSoemantri, Gumilar. 2005. Memahami Metode Kualitatif. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 9, No. 2. Desember 2005: 57-65. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia. Tewes, Alex, Australias Maritime Strategy in The 21st Century, Research Brief no.4 2004-2005,Parliamentary Library 2009 November 2004.Luhulima, James.2004. Kerikil dalam Hubungan Indonesia- Australia. Kompas, 26 Desember 2004._______. 2005. Hubungan Indonesia- Australia yang Pasang Surut. Kompas, 24 Mei 2005.

Skripsi Aritonang, Susi. 2011. Pengaruh Kebijakan Maritim Australia (Australias Maritime Identification Zone (Amiz) ) Terhadap Batas Yurisdiksi Perairan Indonesia. Bandung : Universitas Komputer Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Hubungan Internasional. Website

Australian Associated Press (AAP), 15 Desember 2004. (http:theage.com/news/Breaking-News/Govt-to-spend-10m-on-maritime-safety/2004/12/15/ 1102787141125.html.) diunduh pada 01 April 2013.

Indonesia Tolak Konsep Keamanan Baru Australia, 2004. Kompas.(http.kompas.co.id/kompas-cetak/0412/17utama/1444216.htm) Diunduh pada 01 April 2013.

15